Está en la página 1de 24

BAB 1 PENDAHULUAN

Lebih dari 150 tahun yang lalu, Otto Frank di Jerman dan Ernest Starling di Inggris melaporkan hubungan antara peningkatan pengisian ventrikel dan fungsi pompa dari jantung, yang menjadi prinsip fundamental dalam fisiologi jantung. Hubungan tersebut dikenal dengan Hukum Frank-Starling dimana peningkatan volume ventrikel akan mempengaruhi fungsi sistolik dari jantung.1 Hukum Frank-Starling menjadi temuan fisiologis penting dalam karakteristik jantung, dalam mengatur curah jantung tiap denyutnya. Mekanisme Frank-Starling dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk innervasi otonom, aktivitas fisik, iskemia koroner, anemia, pirau jantung, syok akibat racun, dan anestesi. Mekanisme Frank-Starling diterjemahkan dalam praktek klinis sebagai indikator fisiologis dan patofisiologis dari ventrikel, seperti ditunjukan terjadinya penurunan mekanisme Frank-Starling hingga hampir 10 kali lipat pada gagal jantung stadium akhir.2,3 Dasar dalam mekanisme Frank-Starling adalah kemampuan intrinsik otot jantung untuk menghasilkan daya aktif yang lebih kuat akibat regangan otot jantung, sehingga fenomena ini disebut length-dependent activation. Beberapa penelitian terbaru menemukan bahwa protein dalam otot jantung seperti troponin dan titin, berperan utama dalam pengaturan lengthdependent activation.
2

Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai dasar mekanisme Frank-Starling, mekanisme seluler Frank-Starling melalui hubungan panjangtegangan sarkomer, peningkatan sensitivitas Ca2+, jarak interfilamen dan perannya terhadap mekanisme Frank-Starling, peran utama protein titin dalam sistolik dan diastolik jantung serta pengaturannya yang berperan dalam rigiditas otot jantung, dan bagaimana modulasi protein titin ternyata berpengaruh dalam fungsi jantung.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kontraksi Isovolumetrik Otto Frank seorang ahli fisiologi dari Jerman menemukan bahwa pada jantung manusia terjadi hubungan isometrik panjang-tegangan. Frank mendemonstrasikan penemuannya pada aorta jantung katak yang diikat sehingga kontraksi nya menjadi isovolumetrik, mirip dengan kontraksi isometrik. Bila dinding ventrikel diregangkan akibat peningkatan volume diastolik (peningkatan preload), tekanan sistolik pun akan meningkat. Sehingga energi yang dibutuhkan saat kontraksi jantung meningkat sesuai peningkatan peregangan fase diastolik.4

Gambar 1. Efek Volume Diastolik Pada Energi Kontraksi 4 Pada kurva kontraksi isovolumetrik yang ditunjukan pada gambar 1.a, dapat ditunjukan adanya peningkatan tekanan sistolik dari 1 menjadi 4 sebanding dengan peningkatan volume diastolik. Sedangkan pada gambar 1.b, kurva bawah menunjukan hubungan tekanan pasif dan volume, dimana kekakuan ventrikel yang meningkat seiiring 2

dengan peningkatan regangan ventrikel, dan kurva atas menunjukan energi kontraksi sistolik yang meningkat akibat peningkatan regangan ventrikel tersebut.4 2.2 Ejeksi Ventrikel Ernest Starling dan asistennya di London pada awal abad ke-20, mencetuskan keadaan fisiologis yang dia beri nama ejeksi ventrikel. Starling melakukan penelitian pada jantung dan paru anjing yang diperfusi dengan darah yang sudah dioksigenasi melalui reservoir seperti yang ditunjukan pada gambar 2. Ketinggian dari reservoir sebagai kontrol dari central venous pressure (CVP), dimana tekanan tersebut menunjukan tekanan yang ada saat memasuki atrium kanan. Hal ini menunjukan right ventricular end-diastolic pressure (RVEDP). Perubahan pada CVP menandakan perubahan pada preload ventrikel kanan. Sama halnya dengan penjelasan sebelumnya, tekanan vena pulmonalis menentukan Left ventricular end-diastolic pressure (LVEDP) dan preload. Terminologi umum yang digunakan pada tekanan ini adalah tekanan pengisian. Tekanan aorta mempengaruhi afterload, dan hal ini diatur secara konstan oleh variabel resisten yang disebut Starling resistor.4

Gambar 2. Percobaan Starling pada Jantung-Paru Anjing 4 3

Hasil dari penelitian Starling pada jantung dan paru anjing seperti yang terlihat pada gambar 2. Adalah sebagai berikut 4 : a) Pengaruh CVP pada isi sekuncup Bila CVP meningkat, maka RVEDP dan volume ventrikel kanan akan meningkat, dimana akan meregangkan otot ventrikel kanan. Ventrikel akan menghasilkan energi kontraksi yang lebih besar dan akan mengeluarkan isi sekuncup yang lebih besar juga. Ventrikel kiri dengan cepat akan menyesuaikan, karena peningkatan output ventrikel kanan akan meningkatkan tekanan pada sirkulasi pulmonal. Hal ini akan meningkatkan tekanan pengisian dan regangan pada ventrikel kiri, dan diikuti peningkatan energi kontraksi di ventrikel kiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan CVP akan menyebabkan peningkatan isi sekuncup di ventrikel kanan dan kiri. b) Kurva Fungsi Ventrikel

Gambar 3. Kurva Fungsi Ventrikel 4 Gambaran dari isi sekuncup dibandingkan dengan tekanan pengisian seperti yang ditunjukan gambar 3. dinamakan kurva fungsi ventrikel atau kurva Starling. Isi sekuncup akan meningkat secara curvilinear bila tekanan pengisian meningkat dari 0 hingga 10 mmHg seperti yang ditunjukan pada gambar 3a. Pada jantung manusia (gambar 3b), kurva mencapai titik plateau pada tekanan pengisian sekitar 10 mmHg.4 Percobaan Starling pada jantung anjing (gambar 3a) menunjukan isi sekuncup menurun pada CVP sekitar 25 mmHg, menyebabkan terjadinya penurunan kurva fungsi ventrikel. Begitu 4

pula terjadi pada jantung manusia walaupun tidak sama persis dengan yang terjadi pada jantung anjing. Isi sekuncup menurun pada distensi berlebihan dari preparat jantung anjing akibat katup atrioventrikular mulai rusak.4 Pada gambar 3b. ditunjukan kurva fungsi ventrikel pada manusia, dimana LVEDP yang bervariasi akibat phlebotomy (perdarahan vena) dan berbagai manuver lainnya, serta dipengaruhi posisi supine (S) dan upright (U). Ventrikel manusia mencapai nilai plateau sekitar 10 mmHg.4 2.3 Hukum Frank-Starling pada Jantung Hasil yang ditunjukan pada gambar 3. Menggambarkan bahwa semakin besar regangan ventrikel saat fase diastolik, semakin besar juga energi isi sekuncup yang terjadi fase sistolik. Patterson, Piper dan Starling menyimpulkannya pada tahun 1914. Hubungan intrinsik antara volume diastolik akhir dan isi sekuncup dikenal sebagai hukum FrankStarling jantung. Secara sederhana, hukum ini menyatakan bahwa jantung dalam keadaan normal memompa keluar saat sistolik volume darah yang kembali padanya saat diastolik; peningkatan aliran balik vena meningkatkan isi sekuncup. 4,5

Gambar 4. Kontrol Intrinsik Isi Sekuncup (Kurva Frank-Starling) 5 Pada gambar 4 dianggap volume diastolik akhir meningkat dari titik A ke B. Kita dapat melihat bahwa peningkatan volume diastolik 5

akhir ini disertai oleh peningkatan isi sekuncup dari titik A ke titik B. Tingkat pengisian disebut sebagai preload, karena merupakan beban kerja yang dikenakan pada jantung sebelum kontraksi dimulai.5 Panjang serat otot jantung, yang ditentukan oleh tingkat pengisian vena, dalam keadaan normal lebih kecil daripada panjang optimal untuk menghasilkan tegangan maksimal. Karena itu, peningkatan volume diastolik akhir (yaitu peningkatan aliran balik vena), dengan menggeser panjang serat otot jantung mendekati panjang optimal, meningkatkan tegangan kontraktil serat-serat pada sistolik berikutnya. Kontraksi yang lebih kuat akan memompa darah lebih banyak. Jadi, karena lebih banyak darah yang kembali ke jantung dan volume diastolik meningkat maka isi sekuncup jantung juga bertambah.4,5

Gambar 5. Kurva Hubungan Volume dan Tekanan Ventrikel 4 Keterangan : A.Pembukaan katup mitral, AB.Fase pengisian ventrikel, B.Penutupan katup mitral, BC.Kontraksi isovolumetrik, C.Pembukaan katup aorta, CD.Fase ejeksi, D.Penutupan katup aorta, DA.Relaksasi isovolumetrik Hubungan volume dan tekanan ventrikel dipengaruhi oleh 2 batasan (gambar 5b). Batas bawah adalah kurva compliance pasif ventrikel, dimana menunjukan volume akhir diastolik. Hubungan volume-tekanan pasif tidaklah linear namun berbentuk kurva yang mengarah ke atas . Sedangkan batas atas adalah tekanan isovolumetrik yaitu tekanan sistolik yang dihasilkan dari ventrikel yang tidak dalam keadaan ejeksi. Kurva ini menunjukan makin besarnya volume akhir diastolik maka akan semakin besar energi kontraksi dan tekanan yang dihasilkan hingga batas titik tertentu 6

(plateau). Pada jantung yang mengalami kontraksi, tekanan sistolik tidak akan pernah mencapai batas isovolumetrik karena sebagian energi kontraksi digunakan untuk mengeluarkan darah.4 Gambar 5b menunjukan bagaimana preload dan afterload mempengaruhi isi sekuncup. Loop 1 menunjukan siklus ventrikel kiri yang normal dengan isi sekuncup 70 ml pada tekanan normal. Pada loop 2, volume akhir diastolik dan tekanan telah ditingkatkan, misalnya dengan posisi berbaring, sehingga titik B pada kurva compliance pasif bergeser ke atas. Peningkatan regangan akan meningkatkan preload, dan mempengaruhi energi kontraksi melalui mekanisme Frank-Starling. Konsekuensinya adalah isi sekuncup akan meningkat.4 Loop 3 menunjukan efek manipulasi pada afterload, dimulai dari regangan akhir diastolik yang sama seperti loop 2. Afterload dapat ditingkatkan dengan meningkatkan tekanan arteri menggunakan obat vasokonstriktor. Lebih banyak energi yang digunakan dalam peningkatan tekanan ventrikel, sehingga hanya tersisa sedikit energi yang tersisa untuk ejeksi, sebagai hasilnya isi sekuncup akan berkurang. Bila ejeksi secara total dihambat, seperti yang ditunjukan loop 4, tekanan sistolik maksimal akan tercapai, namun tidak ada isi sekuncup yang dihasilkan.4 2.4 Mekanisme Frank Starling Menyeimbangkan Output Ventrikel Kiri dan Suatu hal yang penting bahwa output ventrikel kanan harus seimbang dengan output ventrikel kiri. Bayangkan bila output ventrikel kanan lebih besar 1% saja dibanding output ventrikel kiri. Volume darah pulmonal yang normalnya 0,6 liter, akan meningkat tiap denyut jantung dan mencapai 2 liter dalam 1 jam, menyebabkan edema dan kongesti pulmonal. Pada aktivitas berat dimana output sekitar 25 l/menit, kongesti akan memberat dalam beberapa menit. Sebaliknya, output berlebihan dari ventrikel kiri akan dengan cepat mengurangi volume sirkulasi pulmonal.4 Mekanisme Frank-Starling mencegah keadaan diatas dengan menyeimbangkan output di kedua ventrikel. Bila output ventrikel kanan mulai melebihi output ventrikel kiri, peningkatan volume darah 7

Kanan

pulmonal akan meningkatkan tekanan vena pulmonal dimana akan meningkatkan pengisian darah ke ventrikel kiri. Melalui hukum FrankStarling, peningkatan ini akan meningkatkan output ventrikel kiri hingga keseimbangan kembali terjadi. Hal sebaliknya akan terjadi bila output ventrikel kiri melebihi output ventrikel kanan.4 Saat dibutuhkan curah jantung yang besar, misalnya ketika berolah raga, maka aliran balik vena ditingkatkan melalui kerja sistem saraf simpatis dan berbagai mekanisme lainnya. Peningkatan volume diastolik akhir yang terjadi akan meningkatkan isi sekuncup. Karena olah raga juga meningkatkan kecepatan jantung maka kedua faktor ini akan bekerja sama meningkatkan curah jantung sehingga lebih banyak darah dapat disalurkan ke otot-otot yang bekerja.5 Ketidakseimbangan output terkadang terjadi, namun sifatnya hanya sesaat. Pada keadaan berdiri, output ventrikel kanan lebih sedikit dibandingkan output ventrikel kiri, hal ini terjadi dalam beberapa denyut. Hal tersebut juga terjadi saat output dipengaruhi siklus respirasi.4 2.5 Mekanisme Hubungan Panjang-Tegangan Sarkomer Pengukuran panjang sarkomer pada otot jantung menggunakan difraksi laser menunjukan masing-masing sarkomer dipengaruhi panjangnya oleh preload. Terdapat hubungan yang kuat antara panjang sarkomer diastolik dan daya kontraksi, hingga mencapai daya maksimal panjang sarkomer pada 2,2-2,3 m.4

Gambar 6. Kurva Efek Panjang Sarkomer dan Daya Kontraksi 4 Pada saat panjang sarkomer lebih dari 2,3 m maka daya kontraksi otot jantung akan menurun (gambar 6). Sarkomer akan sulit meregang lebih dari 2,3 m karena kekakuan otot jantung yang semakin meningkat. Pada jantung normal akan didapatkan panjang sarkomer kurang dari 2,2 m.4

Gambar 7. Skematik Panjang Sarkomer 3 Regangan sarkomer akan menyebabkan peningkatan segera daya kontraktilitas tanpa disertai adanya peningkatan Ca2+ sitosol 9

bebas. Ada 2 mekanisme yang berkontribusi dalam keadaan tersebut yaitu, perubahan dalam overlap filamen dan peningkatan sensitivitas Ca2+. Berikut ini adalah mekanisme tersebut a) Pengaruh filamen Panjang tiap filamen actin adalah 1 m, sedangkan panjang filamen myosin yang overlap pada sarkomer adalah kurang dari 2 m. Sehingga bila panjang sarkomer kurang dari 1,6 m, filamen myosin bisa menempel pada garis Z. Untuk itu minimal regangan yang terjadi pada sarkomer adalah 1,6 2 m agar daya kontraksi yang terjadi optimal. Namun kurva hubungan panjang-regangan pada otot jantung berbeda pada otot skeletal seperti yang ditunjukan pada gambar 8.
4,6 4,6

Gambar 8. Kurva Hubungan Panjang-Regangan 7 Pada gambar 8, ditunjukan pada keadaan fisiologis kurva panjang-regangan pada otot jantung lebih curam dibandingkan pada otot skeletal walaupun panjang filamen actin dan myosin dikedua otot tersebut adalah sama. Sehingga hal tersebut belum cukup menjelaskan mengapa ada perbedaan sensitivitas terhadap regangan pada otot jantung dibanding otot skeletal.7 b) Peningkatan sensitivitas Ca2+ dipengaruhi panjang sarkomer Pada otot jantung, kontraksi diatur oleh konsentrasi mikromolar dari Ca2+ yang dikeluarkan dari sistem membran sel. Saat stimulasi otot jantung, Ca2+ masuk kedalam miosit melalui sarkolema kanal Ca2+ tipe L. Ca2+ ini kemudian akan menginduksi pengeluaran 10

Ca2+ lagi dari retikulum sarkoplasma (mekanisme Ca2+ menginduksi pengeluaran Ca2+), menghasilkan ikatan Ca2+ pada troponin C (TnC) dan kemudian menghasilkan ikatan crossbridges (interaksi actinmyosin).6 Pada kondisi regangan fisiologis, otot jantung akan menghasilkan daya bifasik sebagai respon terhadap regangan yaitu daya kejut yang meningkat segera setelah regangan, diikuti peningkatan daya secara perlahan dan bertahap. Fase pertama cepat terjadi tidak tergantung Ca2+ , dan fase kedua tergantung dari peningkatan Ca2+ (efek lambat). 2 Beberapa penelitian yang dilakukan Fitzsimons dan Moss menyebutkan bahwa panjang sarkomer akan berpengaruh terhadap tingkat sensitivitas Ca2+ melalui variasi pada jumlah ikatan kuat interaksi actin-myosin. Peningkatan panjang sarkomer mempengaruhi myosin dalam mengaktivasi actin. Untuk mendukung temuan tersebut, Fitzsimons dan Moss melakukan pengukuran radioaktif Ca2+ yang terikat pada TnC, pengukuran tersebut menghasilkan bahwa interaksi Ca2+ - TnC tergantung dari kuatnya ikatan interaksi actin-myosin dibanding panjang sarkomer itu sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perubahan geometri myofilamen akibat regangan sarkomer akan mengubah sensitivitas Ca2+ melalui efek aktivasi actin melalui myosin.2,8 c) Peningkatan sensitivitas Ca2+ dipengaruhi jarak interfilamen Salah satu hipotesis lain yang menyebutkan bahwa sensitivitas Ca2+ tidak ditentukan oleh panjang sarkomer namun ditentukan oleh jarak antar filamen. Saat sarkomer diregangkan, jarak antara filamen actin dan myosin akan berkurang sehingga memungkinkan interaksi actin dan myosin lebih siap. Seperti yang ditunjukan pada gambar 9. yang menunjukan sebuah penelitian pada otot jantung sapi dimana konsentrasi Ca2+ setengah maksimal daya kontraksi (pCa50) meningkat saat sarkomer diregangkan, namun pCa50 jauh lebih meningkat saat jarak antar filamen dikurangi melalui pemberian Dextran T-500.2,6

11

Keterangan : () tanpa Dextran T-500, (o) dengan Dextran T-500 Gambar 9. Hubungan Konsentrasi Ca2+ Setengah Maksimal Daya Kontraksi (pCa50) dengan Panjang Sarkomer 7 Sehingga dapat disimpulkan perubahan sensitivitas Ca2+ tidak hanya dipengaruhi panjang sarkomer namun juga dipengaruhi perubahan jarak antara filamen actin dengan myosin.7 2.6 Stimulasi Simpatis Meningkatkan Kontraktilitas Jantung Selain kontrol intrinsik, isi sekuncup juga berada dibawah kontrol ekstrinsik oleh faktor-faktor yang berasal dari luar jantung, dengan yang terpenting adalah kerja simpatis dan epinefrin. Stimulasi simpatis dan epinefrin akan meningkatkan kontraktilitas jantung, yaitu kekuatan kontraksi di setiap volume diastolik akhir. Dengan kata lain, pada stimulasi simpatis jantung akan berkontraksi lebih kuat dan memeras keluar lebih banyak darah yang dikandungnya sehingga ejeksi darah menjadi lebih tuntas.5 Peningkatan kontraktilitas ini disebabkan oleh meningkatnya influks Ca2+ yang dipicu oleh norepinefrin dan epinefrin. Ca2+ ekstra di sitosol menyebabkan serat otot jantung menghasilkan gaya lebih besar melalui peningkatan pembentukan siklus cross-bridges actin-myosin dibandingkan bila tidak terdapat pengaruh simpatis. Dalam keadaan normal volume diastolik akhir adalah 135 ml dan volume sistolik akhir adalah 65 ml untuk isi sekuncup 70 ml. Dibawah pengaruh simpatis 12

untuk volume diastolik akhir yang sama 135 ml, volume sistolik akhir mungkin 35 ml dan isi sekuncup 100 ml.5

Gambar 10. Pergeseran Kurva Frank-Starling ke Kiri oleh Stimulasi Simpatis 5 Pada hakikatnya, stimulasi simpatis akan menggeser kurva

Frank-Starling ke kiri seperti yang ditunjukan gambar 10. Untuk volume diastolik akhir yang sama (titik A), dihasilkan isi sekuncup yang lebih besar (dari titik B meningkatnya ke titik C) pada stimulasi simpatis akibat Kurva Frans-Starling dapat kontraktilitas jantung.

bergeser ke kiri dengan derajat bervariasi, hingga peningkatan maksimal kekuatan kontraktil sekitar 100% lebih besar dari normal.5 Stimulasi simpatis meningkatkan isi sekuncup tidak saja dengan memperkuat kontraktilitas jantung tetapi juga dengan meningkatkan aliran balik vena. Stimulasi simpatis menyebabkan konstriksi vena, yang memeras lebih banyak darah dari vena ke jantung, meningkatkan volume diastolik akhir dan karenanya semakin meningkatkan isi sekuncup.5

2.7

Peran Protein Titin dalam Mekanisme Frank-Starling a) Struktur protein titin Apa sebenarnya yang memicu pengurangan jarak antar filamen pada otot jantung saat kondisi teregang? Apakah hal tersebut terjadi secara intrinsik di sarkomer ataukah dengan bantuan dari komponen ekstraseluler seperti jaringan kolagen? Beberapa penelitian telah 13

menemukan sebuah protein besar di sarkomer yang dinamakan protein titin (sering juga disebut connectin), yang terlibat dalam pengaturan jarak antar filamen. Titin merupakan protein elastis spesifik (2970-3700 kD) yang terbentang dari garis-Z hingga garis-M pada separuh sarkomer (gambar 11).9

Gambar 11. Struktur Protein Titin dan Letaknya dalam Sarkomer 9 Protein titin dibagi empat zona sarkomer yaitu : regio garis-M, regio pita-A, regio pita I, dan regio garis-Z. Regio garis-Z mengandung rantai asam amino, sedangkan garis-M mengandung rantai carboxyl. Regio pita-A mengandung sebagian besar molekul titin, dimana pada regio ini dibentuk oleh Imunoglobulin-like (Ig) dan fibronectin type-III like (Fn3), dan menggambarkan komponen yang termasuk dalam filamen tebal (gambar 11). Regio pita-A merupakan bagian yang tidak bisa memanjang dan mengandung Ig dan Fn3 dan menunjukan komponen pada filamen tebal (gambar 11.). Sebaliknya regio pita-I merupakan bagian yang mampu memanjang sehingga berfungsi sebagai pengikat elastik antara filamen tebal dan regio garis-Z. Secara struktur, bagian protein titin pada regio pita-I lebih komplek dibanding regio pita-A, karena mengandung bagian Ig, regio N2 dan segmen PEVK (Proline-P, glutamate-E, valine-V, dan lysine-K (gambar 12A).
9

Regio pita-I memiliki diferensiasi isoform, pada sub regio N2 memiliki 2 bentuk isoform yaitu : N2A dan N2B seperti yang ditunjukan gambar 11A. Elemen N2A mengandung 4 bagian Ig, 14

sedangkan elemen N2B mengandung 3 bagian Ig. Pada gambar 12B, digambarkan N2A terdapat pada kedua otot baik otot skeletal maupun otot jantung, sedangkan N2B hanya terdapat pada otot jantung.9,10

Gambar 12A. Struktur Isoform Regio Pita I

Gambar 12B. Perbedaan Isoform Protein Titin pada Otot Skeletal dan Otot Jantung
10

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bagian elastis dari protein titin utamanya terletak pada regio pita-I. Dalam keadaan tidak adanya daya eksternal, panjang sarkomer adalah 1,8 m, dan dalam kondisi istirahat protein titin berada dalam kondisi kontraksi (gambar 13.). Dengan progresivisitas regangan sarkomer, pada awalnya bagian Ig yang meregang, kemudian segmen PEVK mulai memanjang saat panjang sarkomer mulai mencapai 2,15 m. Hal ini lah yang menyebabkan kurva hubungan tegangan pasif-panjang 15

sarkomer tidak linear, seperti yang ditunjukan gambar 14. Makin panjang sarkomer akan menyebabkan makin tingginya inklinasi dari kurva hubungan tegangan pasif-panjang sarkomer, namun hal ini tidak terjadi pada keadaan gangguan fungsi diastolik dimana mekanisme rigiditas jangka panjang terjadi. 9

Gambar 13. Regangan Protein Titin dan Panjang Sarkomer 9

Gambar 14. Kurva Hubungan Tegangan Pasif-Panjang Sarkomer 9 Protein titin tidak hanya berperan sebagai faktor penentu tegangan pasif pada respon terhadap regangan, namun juga 16

berfungsi seperti kawat gulungan elastis dua arah. Disebut demikian karena saat sarkomer memendek kurang dari panjang normal istirahat, protein titin menghasilkan daya elastis yang melawan tegangan pasif untuk mengembalikan panjang sarkomer pada nilai normal panjang nya saat istirahat, daya tersebut disebut daya pemulihan. 9 b) Protein titin dalam fungsi diastolik jantung Protein titin berperan besar dalam fungsi diastolik jantung, karena pengaruhnya dalam rigiditas otot jantung. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, karena lokasi strategisnya di sarkomer dan fungsi unik elastisnya, protein titin menjadi faktor penentu tegangan pasif otot jantung untuk panjang fisiologis sarkomer. Untuk panjang sarkomer lebih dari 2,3 m, dimana jarang terjadi pada jantung yang normal, tegangan pasif mulai ditentukan pada dasarnya oleh kolagen, dan jaringan ekstraselular. 9 Peran protein titin dalam menentukan fungsi diastolik memiliki dampak pada tingkat patofisiologis, pada pasien dengan gagal jantung diastolik terjadi perubahan proporsi relatif dari isoform protein titin, dengan peningkatan isoform N2B (lebih rigid), dimana hal ini menjelaskan gambaran rigiditas ventrikel pada pasien tersebut.9 Protein titin tidak hanya berperan dalam rigiditas ventrikel. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, protein titin juga memiliki bagian elastis yang fungsi tersebut bersifat dua arah, dimana disatu sisi protein titin menghasilkan tegangan pasif saat otot jantung teregang disisi lain saat sarkomer yang memendek, protein titin menghasilkan daya pemulihan mengembalikan panjang

sarkomer ke kondisi fisiologisnya. Dalam istilah hemodinamik, pembentukan daya pemulihan oleh protein titin menyebabkan peningkatan kecepatan relaksasi ventrikel dan pembentukan fenomena ventricular suction. Daya ini menyebabkan peningkatan pengisian ventrikel, utamanya saat fase awal diastolik, dimana hal tersebut menjadi sangat penting dalam kondisi latihan fisik atau keadaan takikardia. Lebih jauh lagi, bahkan sebelum dimulainya fase diastolik, protein titin juga memiliki efek dengan menentukan akhir 17

kontraksi otot jantung, sebuah proses yang juga tergantung dari panjang sarkomer. Faktanya, saat sarkomer memendek kurang dari nilai normal panjang fisiologis, protein titin akan memfasilitasi proses menonaktifkan ikatan actin-myosin, yang akan mempengaruhi dan menentukan akhir kontraksi otot jantung.9 c) Protein titin dalam fungsi sistolik jantung Protein titin berperan penting dalam fungsi diastolik jantung, namun protein titin juga mempengaruhi fungsi sistolik, efek tersebut tergambarkan dalam mekanisme Frank-Starling.9 Menurut hukum Frank-Starling, peningkatan preload dalam hal ini terjadi peningkatan volume akhir diastolik akan berdampak pada peningkatan fraksi ejeksi yang menggambarkan fungsi sistolik. Protein titin sebagai penentu rigiditas ventrikel dan bagian pasif dari ventrikel akan berpengaruh terhadap hubungan volume-tekanan akhir diastolik yang pada akhirnya juga berpengaruh terhadap pengisian ventrikel dan volume akhir diastolik.9 Pada tingkat seluler, mekanisme Frank-Starling dijelaskan melalui peningkatan sensitivitas Ca2+ sebagai respon terhadap peningkatan regangan sarkomer. Protein titin memiliki fungsi yang penting dalam meregulasi mekanisme ini, sebagai penggerak tegangan pasif secara langsung akan menentukan peningkatan sensitivitas kalsium. Lebih jauh lagi, protein titin sebagai bagian struktur dari filamen tebal pada regio pita-A akan mampu mempengaruhi secara langsung ikatan antara filamen actin dan myosin melalui regangan sarkomer.9 Pada gambar 15A dan 15C. yang menjelaskan saat panjang sarkomer meningkat, protein titin akan mempotensiasi ikatan antara filamen actin dan myosin dengan konsekuensi terjadi peningkatan daya kontraksi. Pada regangan yang panjang, protein titin menghasilkan daya pasif pada myofilamen. Daya tersebut dibagi menjadi komponen longitudinal dan radial yang akan mengurangi jarak antar filamen. Pengurangan jarak antar filamen tersebut akan mempengaruhi penempelan myosin pada actin sehingga akan menyebabkan pergeseran ke kiri kurva daya pCa dan peningkatan

18

daya aktivasi maksimal ca2+ seperti yang ditunjukan pada gambar 15B dan 15C.
2,8,9

(C)

Gambar 15. Ilustrasi Skematik Protein Titin dalam Modulasi Jarak Antar Filamen 2,8,9 d) Protein titin dalam sinyal intraseluler : sensor biomekanik Protein titin juga memiliki fungsi sensor biomekanik disamping fungsi struktural dan elastisitasnya. Kemampuan protein titin untuk meregang dan memendek membuatnya sensitif terhadap tingkat peregangan sehingga mampu mentransmisikan sinyal biomekanik melalui ikatan dan interaksi nya dengan beberapa struktur dan protein. Penghantaran sinyal ini muncul utamanya pada 3 regio utama yaitu : garis-Z, bagian tengah pita-I dan garis-M.9 Pada regio garis-Z, protein titin terikat pada protein teletonin (T-cap), dimana fungsinya sebagai interkoneksi antara protein titin 19

dan beberapa struktur dan molekul lainnya seperti yang ditunjukan pada gambar 16. Diantara molekul tersebut adalah protein yang terdapat pada tubulus T dan sarkoplasmik retikulum (SR) yang disebut ankyrin-1 (sANK 1), obscurin (RS) dan kanal potasium (minK/isk). Sehingga protein titin mempengaruhi tidak hanya pemeliharaan struktur sarkomer, tetapi juga struktur dan organisasi tubulus T dan sarkoplasmik retikulum.9

Gambar 16. Interkoneksi Titin, Teletonin dan Muscle Lim Protein (MLP) 10 Kompleks protein dibentuk pada regio garis-Z, dimana

fungsinya sebagai pemberi sinyal tegangan dan responya terhadap daya pasif yang dibentuk oleh filamen titin selama regangan sarkomer serta daya aktif yang ditransmisikan oleh filamen actin. Pada tingkat ini, terdapat beberapa protein yang berinteraksi dengan titin, berpartisipasi dalam kaskade sinyal intraseluler, menghasilkan ekspresi gen yang terlibat dalam remodelling otot jantung. Salah satu protein tersebut adalah MLP (Muscle LIM Protein) dan protein tersebut sudah diteliti bahwa mutasi pada protein tersebut dan berkontribusi terhadap terjadinya kardiomiopati hipertrofi

kardiomiopati dilatasi. Namun, mekanisme bagaimana protein titin berinteraksi dengan MLP sehingga terjadi regulasi transkripsi genetik 20

sampai saat ini belum diketahui. Bila peningkatan tegangan dihasilkan pada tingkat garis-Z selama regangan sarkomer, pemisahan antara protein titin dan ikatan MLP akan terjadi, dan kemudian bila terlepas hal tersebut akan memicu transkripsi beberapa gen yang terlibat dalam remodelling otot jantung.9,10

e) Modulasi Protein Titin Berperan dalam Rigiditas Otot Jantung Fungsi protein titin dalam sarkomer sebagai elemen yang dinamis, dimana dapat di modulasi, baik jangka pendek ataupun jangka panjang yang dipengaruhi beberapa faktor, sehingga menyebabkan otot jantung mampu beradaptasi terhadap perubahan hemodinamik yang terjadi. Seperti yang ditunjukan pada gambar 13, rigiditas otot jantung akan bervariasi sesuai dengan perubahan komposisi dan keadaan fosforilasinya dari protein titin. Perubahan tersebut dapat terjadi dalam waktu yang lama akibat modifikasi proporsi dua isoform protein titin, atau dalam waktu pendek melalui perubahan fosforilasi dari protein titin atau ikatan protein titin pada ion kalsium. Mekanisme regulasi tersebut akan dijelaskan seperti dibawah ini 9 : 1. Mekanisme regulasi jangka pendek Perubahan fosforilasi protein titin Segmen N2B dari protein titin dapat difosforilasi oleh protein kinase A (PKA), sehingga dapat menurunkan tegangan pasifnya. Seperti yang diduga sebelumnya, penurunan tegangan pasif yang diinduksi oleh fosforilasi protein titin lebih nyata terjadi pada otot jantung karena kadar ekspresi segmen N2B nya lebih tinggi.9 Aktivasi PKA akan terjadi setelah stimulasi adrenergik beta. Stimulasi simpatis selain memiliki efek inotropik dan kronotropik positif, juga berfek memperbaiki fungsi diastolik sehingga akan meningkatkan tidak hanya kecepatan relaksasi ventrikel namun juga adaptasi ventrikel.9 Efek fosforilasi isoform N2B oleh PKA juga terjadi pada fase akhir sistolik, sebagai penurun rigiditas otot jantung yang juga akan menyebabkan penurunan daya pemulihan otot jantung. 21

Efek ini secara teori memiliki manfaat sebagai penyeimbang dari efek PKA yang mempercepat relaksasi ventrikel, melalui fosforilasi secara simultan pada fosfolamban dan troponin. Namun perlu penelitian lebih lanjut untuk mengerti peran fosforilasi protein titin pada fungsi jantung.9 Sebagai kesimpulan, protein titin bekerja seperti kawat gulungan berperan elastis sebagai yang adaptasi bisa fungsi disesuaikan, ventrikel melalui terhadap fosforilasi/defosforilasi, terutama pada segmen N2B, sehingga kebutuhan tubuh.9 Regulasi protein titin oleh ion kalsium Ion kalsium memiliki fungsi penting sebagai pengatur distensibilitas otot jantung, terutama melalui modulasi dari interaksi antara protein titin dan filamen tipis. Penelitian telah menunjukan bahwa PEVK dalam bagian isoform N2B terikat pada actin dan interaksi ini dapat berkontribusi pada rigiditas pasif otot jantung. Walaupun ion kalsium tanpa peran lainnya tidak dapat mengganggu ikatan ini, namun bila ion kalsium terikat pada protein S100A1, interaksi ikatan tersebut akan terhambat, sehingga akan menurunkan rigiditas dari otot jantung. Peneilitian dari peningkatan rigiditas otot jantung dan penurunan konsentrasi ion kalsium selama fase diastolik mendukung mekanisme ini.9 2. Mekanisme regulasi jangka panjang Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, otot jantung mengekspresikan dua isoform protein titin, yang menyebabkannya mampu untuk mencapai tingkat tegangan pasif tertentu, dimana hal tersebut dapat dimodifikasi melalui proporsi relatif dari ekspresi N2B/N2BA. Makin tinggi ekspresi isoform N2B dikaitkan dengan peningkatan rigiditas otot jantung, dimana peningkatan compliance isoform otot N2BA dikaitkan dengan juga peningkatan mekanisme jantung. Bagaimanapun

molekular yang mendasari ekspresi salah satu isoform tersebut masih perlu dijelaskan. Dari penelitian diketahui bahwa respon 22

terhadap

perubahan

keadaan

hemodinamik

dalam

jangka

panjang akan mempengaruhi ekspresi dari dua isoform titin, seperti pada keadaan gagal jantung dan stenosis aorta.9 Hal penting yang harus diingat adalah perubahan proporsi relatif dari isoform protein titin hanya terjadi pada bagian elastis dari protein titin tanpa ada perubahan secara struktur nya, yaitu hanya bagian protein titin pada regio pita-I.9 Sebagai kesimpulan, fungsi jantung dapat dipengaruhi oleh perubahan dari bagian elastis protein titin, dimana dapat terjadi dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Peningkatan ekspresi isoform N2B dikaitkan dengan peningkatan rigiditas protein titin. Rigiditas ini dapat dikurangi melalui fosforilasi protein titin oleh PKA atau oleh peningkatan interaksi titin-actin.9 BAB 3 KESIMPULAN

Hukum Frank-Starling menjadi temuan fisiologis penting dalam karakteristik jantung, dalam mengatur curah jantung tiap denyutnya. Dasar dalam mekanisme Frank-Starling adalah kemampuan intrinsik otot jantung untuk menghasilkan daya aktif yang lebih kuat akibat regangan otot jantung. Mekanisme Frank Starling juga berperan dalam menyeimbangkan output ventrikel kiri dan kanan, sehingga perubahan hemodinamik yang terjadi dapat diadaptasi oleh jantung untuk mengatur output yang diinginkan. Selain kontrol intrinsik, isi sekuncup juga berada dibawah kontrol ekstrinsik oleh kerja simpatis dan epinefrin. Efek simpatis akan meningkatan kontraktilitas yang disebabkan oleh meningkatnya influks Ca2+. Ca2+ ekstra di sitosol menyebabkan serat otot jantung menghasilkan gaya lebih besar melalui peningkatan pembentukan siklus cross-bridges actin-myosin. Regangan sarkomer akan menyebabkan peningkatan segera daya kontraktilitas tanpa adanya peningkatan Ca2+ sitosol bebas. Ada 2 23

mekanisme yang berkontribusi dalam keadaan tersebut yaitu, perubahan dalam overlap filamen dan peningkatan sensitivitas Ca2+. Namun ternyata perubahan sensitivitas Ca2+ tidak hanya dipengaruhi panjang sarkomer namun juga dipengaruhi perubahan jarak antara filamen actin dengan myosin. Beberapa penelitian telah menemukan sebuah protein besar di sarkomer yang dinamakan protein titin (sering juga disebut connectin) yang berperan dalam pengurangan jarak antar filamen pada otot jantung saat kondisi teregang. Protein titin berperan besar dalam fungsi diastolik jantung, karena pengaruhnya dalam rigiditas otot jantung, namun sebagai penentu rigiditas ventrikel dan bagian pasif dari ventrikel akan berpengaruh terhadap peningkatan volume akhir diastolik sehingga berdampak pada peningkatan fraksi ejeksi yang menggambarkan fungsi sistolik jantung. Sehingga dapat disimpulkan protein titin berperan dalam proses sistolik dan diastolik jantung, serta dalam proses adaptasi ventrikel.

24

También podría gustarte