Está en la página 1de 4

Pendahuluan Secara naluri pihak yang merasakan adanya ancaman cenderung akan mencari rasa aman dalam menjaga

. Isu keamanan dalam dunia hubungan internasional erat hubungannya dengan beberapa hal seperti survival, referent object dan existensial threat. Setelah peristiwa 9/11 beberapa tahun silam dunia Internasional sepakat bahwa mereka memiliki existensial threat yang harus dihadapi secara bersama yaitu permasalahan teroris internasional. 1 Kondisi ini tidak lepas dari peran Amerika Serikat sebagai korban yang pada akhirnya menyatakan bahwa terorisme sebagai permasalahan keamanan internasional, oleh karena itu isu terorisme telah menjadi agenda global karena peran penting AS. Penulisan ini akan berusaha menjelaskan bagaimana Amerika Serikat melakukan proses sekuritisasi terhadap permasalahan terorisme internasional. Fase yang terjadi pada proses sekuritisasi terdiri dari beberapa tahap,

pertama dimulai dari pemunculan masalah, lalu politisasi masalah, adanya perdebatan dan yang terakhir adalah pengambilan keputusan oleh Negara tersebut.
Sekuritisasi

Sekuritisasi dapat diartikan sebagai versi ekstrim dari politisasi.2 Dalam sekuritisasi, aktor melakukan perlusasan cakupan keamanan nasional ke dalam berbagai bidang sehingga semua masalah bisa dilihat sebagai keamanan nasional melalui proses politik. Menurut pemikiran konstuktivis keamanan merupakan sebuah proses yang dibangun dan bukan merupakan sesuatu yang given. Hakekat dari sekuritisasi sendiri adalah pergeseran isu dari yang mulanya hanya isu normal, menjadi isu yang diasumsikan urgent dan butuh penanganan cepat bahkan tanpa peraturan normal dan aturan-aturan pembuatan keputusan lainnya.3 Pada sekuritisasi sendiri ada beberapa komponen yang mendukung proses tersebut berjalan yaitu; actor, speech act, existential threat, referent object, dan audience.4 Seperti namanya actor disini adalah pelaku yang mengusahakan sekuritisasi melalui usaha-usaha sosialisasi ide atau yang disebut juga speech act, dengan cara mengampanyekan existential threat, yaitu isu-isu ancaman eksistensial yang diwacanakan kepada audience, atau pihak-pihak yang ingin dipengaruhi oleh aktor untuk mempercayai existential threat. Hal ini akan berpengaruh pada referent object, yaitu pihak yang akan terancam jika isu tersebut tidak disikapi secara serius.
1 2

Barry Buzan, Ole Waever, Jaap de Wilde, Security : A New Framework for Analysis, (London: Lynne Riener Publisher, 1998), hlm. 23 3 Rita Taureck, Securitization Theory, presented at the 4th annual CEEISA Convention, University of Tartu, 2006 4 Barry Buzan, Ole Waever, Jaap de Wilde, Security: A New Framework for Analysis, (London: Lynne Riener Publisher, 1998)

Keberhasilan dalam sekuritisasi dapat dikatakan tercapai jika audience setuju untuk mengasumsikan isu yang disuarakan aktor sebagai sebuah isu keamanan dan dikatakan tidak berhasil ketika kondisi sebaliknya yang terjadi. Dalam pandangan Mazhab Copenhagen, sekuritisasi bukan hal yang baik. Sekuritisasi merupakan bentuk kegagalan dari penanganan isu secara normal. Sebagai kebalikan dari sekuritisasi, deskuritisasi dimaksudkan untuk mewacanakan bahwa suatu isu tidak menjadi ancaman eksistensial dan bisa ditangani dengan jalur normal. Dengan demikian, pelanggaran terhadap aturan dan prosedur tidak perlu dilakukan. Pembahasan Serangan Al Qaeda yang terjadi pada Amerika Serikat memberikan efek trauma bagi Negara tersebut. Banyaknya korban jiwa dan terjadinya serangan pada objek-objek vital seperti WTC dan Pentagon memberikan perspektif ancaman (threat) bahwa aksi teroris dapat terjadi kepada siapapun dan dimana saja. Tayangan berita yang menggambarkan sebuah pesawat menabrak gedung World Trade Center serentak disiarkan hampir di seluruh dunia. Disini AS melalui medianya melakukan visualisasi terhadap existential threat secara gamblang yang dihadapi oleh Negara tersebut. Di dalam pembahasan ini penulis mengidentifikasi Amerika Serikat sebagai aktor pelaku yang melakukan speech act. Mengutip pernyataan George Bush yang saat itu menjabat sebagai Presiden AS either you are with us or you are with the terrorist5 seakan membentuk kembali sebuah kondisi bipolar yakni kontra terhadap teroris atau pro dengan terorisme (evil). Pidato di hadapan kongres ini juga ditujukan kepada dunia internasional sebagai audience, kutipan-kutipan pidato seperti; we ask every nation to join us, The civilized world is rallying to America's side. They understand that if this terror goes unpunished, their own cities, their own citizens may be next.
6

Pernyataan tersebut

mengindikasikan bahwa Amerika Serikat bukan referent object tunggal dalam permasalahan hal ini oleh karena itu permasalahan terorisme harus diangkat sebagai permasalahan keamanan internasional karena dianggap sebagai existential threat bersama. Respon yang diberikan dari sejumlah Negara menunjukan bahwa apa yang diagendakan oleh AS sebagai War on Terror (WoT) sesuai dan perlu ditindaklanjuti. NATO yang merupakan sekutu Amerika Serikat merespon threat yang terjadi dengan
5

Address to a Joint Session of Congress and the American People, http://georgewbushwhitehouse.archives.gov/news/releases/2001/09/20010920-8.html 6 Ibid.

berpedoman pada artikel 5 yang menegaskan bahwa serangan terhadap satu atau lebih Negara anggota, merupakan serangan terhadap keseluruhan anggota NATO. Implikasi dari terciptanya sebuah prioritas dan aksi cepat (urgency) terhadap suatu ancaman menyebabkan aktor melakukan suatu tindakan diluar batas-batas prosedur atau aturan yang telah ditetapkan, maka pada saat itulah aksi keamanan sedang dijalankan.7 .Namun, aksi keamanan bukan berarti sebuah isu sudah masuk ke dalam kategori sekuritas. Dibutuhkan penerimaan (acceptance), terutama dari audiens, bahwa suatu obyek memang akan disekuritisasi. Keberhasilan proses sekuritisasi terhadap terorisme internasional dapat dilihat dari adanya toleransi dunia internasional terhadap sejumlah kebijakan yang diambil oleh AS. Pada perkembangannya kampanye WoT telah membuktikan bahwa AS lebih mengutamakan permasalahan terorisme dibandingkan dengan isu HAM dan Demokrasi yang selama ini jadi perhatian utama Negara tersebut dalam menilai Negara lain. Skandal Guantanamo merupakan salah satu pelanggaran HAM yang dilakukan AS, namun fokus internasional lebih terpusat pada isu terorisme. Permasalahan lain yang timbul adalah kecenderungan para pembuat kebijakan AS untuk mengaitkan terorisme dengan Islam, hal ini yang kemudian dinilai dapat meningkatkan ketegangan yang semakin kompleks antara AS dan Negara-negara Islam atau Negara berpenduduk mayoritas Islam8. Kebijakan-kebijakan AS dalam mengantisipasi serangan teroris di atas secara sepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk mengambil tindakan sepihak terhadap apa yang dipersepsikan AS sebagai ancaman. Salah satu bentuk dalam merespon existential threat, pemerintah AS menerapkan 4 strategi nasional dalam memerangi terrorisme9: 1) Mencegah serangan jaringan teror dengan menangkap atau menbunuh pelaku, mengiterupsi pendanaan dan menggangu proses komunikasi organisasi teror 2) Mencegah akses kelompok teror dan rogue state terhadap senjata pemusnah massal
7 8 9

Scott D. Watson, The Securitization of Humanitarian Migration (New York: Routledge, 2009), hal. 25

Winarno, Isu-Isu Global Kontemporer (Yogyakarta: CAPS:, 2011), hal 179-180 George W. Bush, National Strategy for Combating Terrorism (Washington D.C.: The White House, September 2006), hal 11-17.

3) Mencegah dukungan rogue state terhadap organisasi teror dengan melakukan hukuman terhadap Negara yang memberikan bantuan terhadap organisasi teroris 4) Mencegah kelompok teror dari menguasai Negara tertentu untuk dijadikan sebagai basis operasi Sekuritisasi akan terpenuhi saat sebuah ancaman melegitimasi tindakan untuk melewati batas-batas aturan yang ada. Sekuritisasi terhadap isu terorisme internasional ini dilakukan Amerika Serikat untuk menggalang dukungan dalam menjustifikasi apa yang menjadi kebijakan pemerintah AS tersebut. Secara nyata apa yang dilakukan AS dalam mencegah serangan teror justru dengan menghadirkan perang di negara lain. Hilangnya kedaulatan Negara Afghanistan dan Irak merupakan bukti bahwa sekuritisasi menghilangkan batas aturan yang ada. Kesimpulan Sekuritisasi terhadap permasalahan terorisme internasional yang dilakukan AS justru dapat meningkatkan sentimen kepada AS sendiri. Kebijakan-kebijakan yang bersifat mengabaikan kedaulatan Negara lain justru memberikan motivasi bagi organisasi terorisme untuk semakin gencar melakukan serangan terhadap AS. Motivasi kelompok teror semakin teramplifikasi ketika isu HAM sudah dikesampingkan oleh AS dalam menangani permasalahan tersebut. Kondisi yang mengkhawatirkan adalah ketika proses sekuritisasi tidak memberikan efek jera, namun justru membangkitkan solidaritas diantara pelaku terorisme internasional. Dilema yang selanjutnya adalah, walaupun pandangan Mazhab Copenhagen menyatakan proses sekuritisasi adalah sebuah upaya yang gagal dalam mengatasi permasalahan secara normal, namun pada kenyataanya permasalahan terorisme tidak dapat diatasi dengan cara yang normal. Kelompok teroris sendiri merupakan aktor irasional dimana eksistensinya tidak dapat diabaikan sebagai existential threat, dan tingkat kompleksitas dari permasalahan yang ditimbulkan oleh kelompok teroris internasional tidak memungkinkan untuk diselesaikan dengan metode yang normal.

También podría gustarte