Está en la página 1de 10

PENERAPAN KROMATOGRAFI GAS

A. Mode Operasional Pengukuran kromatografi gas dapat dilakukan dalam dua mode operasional yaitu, mode isotermal dan mode program suhu. Dengan mode isotermal, suhu kolom dijaga tetap selama pengukuran. Sedangkan dengan mode yang kedua, suhu kolom dapat diprogram, misal pada keadaan awal pengukuran dilakukan pada suhu kolom 40oC dan pada akhir pengukuran 150oC dengan kenaikan suhu 5oC per menit. Gambar 1 memperlihatkan perbedaan hasil kromatografi gas dengan mode isotermal dan mode program suhu.

Gambar 1. Pengaruh suhu terhadap kromatogram gas. (a) mode isotermal pada suhu 45oC; (b) mode isotermal pada 145oC; dan (c) program suhu dari 30 - 180oC 1

Berdasarkan gambar diatas (a), pada mode isotermal dengan suhu operasional 45oC terlihat bahwa hanya 5 komponen keluar kolom dan jarak komponen 4 dan 5 terlalu jauh. Sebaliknya dengan mode isotermal pada 145oC (gambar (b)), solut-solut keluar kolom keluar terlalu cepat sehingga terjadi tumpang tindih peak-peak untuk komponen 1-4 walaupun pada suhu ini terlihat 8 komponen. Berbeda dengan mode isotermal, mode pemograman suhu memberikan hasil jauh lebih baik daripada mode isotermal. Dengan mode program suhu dari 30oC sampai 180oC terlihat 9 komponen keluar dari kolom dengan jarak dari satu peak ke peak yang lain tidak terlalu jauh seperti pada 45oC juga tidak terlalu berdekatan seperti pada 145oC. B. Analisis Kualitatif Tujuan utama kromatografi adalah memisahkan komponen-komponen yang terdapat dalam suatu campuran. Dengan kromatografi gas, jumlah peak yang tampak dalam kromatogram menunjukkan jumlah komponen yang terdapat dalam campuran. Walaupun demikian, kromatografi gas telah banyak dimanfaatkan sebagai suatu teknik analisis materi terutama untuk senyawa-senyawa yang mudah menguap (volatil). Misalnya, perusahaan minyak bumi seperti Pertamina telah menggunakan teknik kromatografi gas untuk analisis komponen-komponen yang terdapat dalam minyak bumi baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Contoh lain, ahli lingkungan dapat menggunakan teknik kromatografi gas untuk analisis pestisida. Gambar 2 memperlihatkan kromatogram pestisida yang dipisahkan pada kolom (panjang 1,5 m diameter 6 mm) berisi fasa diam 1,5% OV-17 dan dideteksi dengan detektor penamgkap elektron. Gambar 2. Kromatogram pestisida. (A) lindan, (B) heptaklor, (C) aldrin, (D) dieldrin dan (E) DDT

Untuk mengidentifikasi tiap peak kromatografi gas dapat dilakukan dengan berbagai metode analisis kualitatif. 1) Cara yang paling sederhana untuk mengidentifikasi peak kromatografi gas adalah membandingkan waktu retensi analit dengan waktu retensi standar. Untuk mendapatkan waktu retensi standar dapat dilakukan percobaan kromatografi gas untuk senyawa yang diketahui, misalnya dilakukan kromatografi gas hanya untuk DDT atau lindan saja, atau dieldrin saja pada kondisi yang sama. Kemudian waktu retensi standar dibandingkan dengan waktu retensi analit. Bila kedua waktu retensi (standar dan analit) tersebut sesuai maka kita dapat mengidentifikasi tiap peak pada kromatogram seperti pada gambar 2. 2) Melakukan ko-kromatografi. Standar ditambahkan ke cuplikan kemudian dilakukan kromatografi gas. Bila luas salah satu peak bertambah yang dapat terlihat dari tinggi peak maka peak analit yang mengalami pertambahan luasnya identik dengan standar. 3) Metode spektrometri dapat digunakan untuk mengidentifikasi peak kromatografi gas. Spektrometer massa atau spektrometer infra merah dapat langsung disambungkan ke kolom kromatografi gas. Setiap peak dapat direkam spektranya secara menyeluruh. Gambar 3 menggambarkan penggunaan metode spektrometri massa untuk mengidentifikasi peak kromatografi. Misalnya, apabila ingin mengetahui komponen nomor 12 (pada gambar 3 atas) yang keluar pada menit ke 11,6 maka dapat menganalisis peak nomor 12 saja dengan metode spektrometri massa. Kemudian diperoleh gambaran spektrum untuk peak nomor 12 seperti pada gambar 3 bagian bawah. Spektra tertinggi pada m/e 78 menunjukkan bahwa komponen 12 mempunyai massa 78 sehingga dapat dikatakan bahwa komponen 12 adalah benzena. 4) Setiap komponen yang telah terpisahkan dan keluar dari kolom dikondensasi untuk kemudian dilakukan analisis spektrometri NMR dengan syarat detektor nondestruktif harus digunakan seperti TCD.

Gambar 3. Kromatogram gas (atas) dan spektra massa untuk peak nomor 12 (bawah)

C. Analisis Kuantitatif Selain dapat mengidentifikasi jenis komponen (analisis kualitatif) dari suatu campuran, kromatografi gas juga dapat memberikan informasi kuantitatif. Analisis kuantitatif dengan kromatografi gas dapat didasarkan pada salah satu pendekatan, tinggi peak atau area peak analit dan standar. Selanjutnya terdapat 3 jenis metode analisis kuantitatif kromatografi gas yaitu metode standar kalibrasi, metode standar internal, dan metode normalisasi area. Pendekatan tinggi peak (peak hight) Tinggi peak kromatogram diperoleh dengan membuat base lines pada suatu peak dan mengukur tinggi garis tegak lurusyang menghubungkan base line dengan peak, seperti diperlihatkan pada gambar 4.

Gambar 4. Menentukan tinggi peak Pendekatan ini berlaku apabila lebar peak standar dan analit tidak berbeda. Dengan kata lain variasi kondisi kolom tidak boleh menyebabkan perubahan lebar peak. Oleh karena itu, beberapa variabel harus dikontrol, seperti suhu kolom, laju alir eluen, dan laju injeksi cuplikan. Selain itu, volume injeksi yang berlebih (overloading) harus dicegah. Kesalahan dengan pendekatan ini berkisar antara 5 sampai 10%. Pendekatan area peak Area peak dapat memperhitungkan lebar peak sehingga lebar peak yang berbeda antara standar dan analit tidak masalah. Oleh karena itu, melalui pendekatan ini lebih memuaskan daripada tinggi peak, dari sudut parameter analisis karena memperhitungkan aspek lebar peak. Akan tetapi, tinngi peak lebih mudah diukur dan lebih teliti ditentukan untuk peak yang runcing. Biasanya, instrumen kromatografi gas mutakhir dilengkapi dengan komputer yang dapat menghitung area peak secara tepat. Secara manual, area peak dihitung dengan memperkalikan tinggi peak dengan lebar peak pada setengah tinggi peak. Standar deviasi relatif dengan cara komputerisasi dan cara manual masing-masing adalah 0,44% dan 2,6%. Beberapa alternatif untuk mengukur luas peak adalah sebagai berikut : 1) Kromatografi biasanya dilengkapi komputer dengan programnya untuk menghitung luas peak secara otomatis. Bila base line miring maka kemiringan diperhitungkan dalam menentukan luas peak. 2) Luas peak dapat dihitung dengan alat mekanik yang disebut planimeter. 5

3) Untuk peak berbentuk Gaussian, luas peak dapat dihitung sebagai hasil kali tinggi dengan lebar peak pada setengah tinggi. Cara ini mempunyai ketelitian 84%. 4) Luas peak dapat diukur dengan menggambarkan segitiga pada peak tersebut kemudian luas segitiga tersebut dihitung (alas x tinggi). Cara ini mempunyai ketelitian 96%. 5) Bila peak sangat runcing maka tinggi peak dapat menggantikan luas peak.

Gambar 5. Menentukan area peak. Area peak = X (tinggi peak) x Y (lebar peak pada setengah tinggi peak Metode kalibrasi Analisis kuantitatif dengan metode ini kita harus mempersiapkan sederet larutan standar dan komposisinya sama dengan analit. Kemudian tiap larutan standar diukur dengan kromatografi gas sehingga diperoleh kromatogram untuk tiap larutan standar. Selanjutnya diplot area peak atau tinggi peak sebagai fungsi konsentrasi larutan standar. Plot data harus diperoleh garis lurus yang memotong titik nol (gambar ). Restandarisasi diperlukan untuk mendapatkan ketelitian tinggi. Sumber kesalahan dengan metode ini biasanya variasi volume cuplikan dan kadang-kadang laju injeksi menjadi suatu faktor kesalahan. Kesalahan dapat terjadi pada kromatografi gas-cair karena cuplikan harus disuntikkan ke dalam tempat cuplikan yang dipanaskan, penguapan dari ujung jarum suntik menyebabkan perubahan volume cuplikan yang berarti. Kesalahan yang disebabkan oleh perubahan volume cuplikan dapat dikurangi dengan menggunakan rotary sample valve, seperti sistem injeksi cuplikan pada HPLC yang pada Bab 7.

Gambar 6. Kurva kalibrasi untuk menentukan konsentrasi yodium dalam air. Metode normalisasi area Metode analisis kuantitatif ini dimaksudkan untuk mengurangi kesalahan yang berhubungan dengan injeksi cuplikan. Dengan metode ini diperlukan elusi yang sempurna, semua komponen campuran harus keluar dari kolom. Area setiap peak yang muncul dihitung. Kemudian area-area peak tersebut dikoreksi terhadap respon detektor untuk jenis senyawa yang berbeda. Selanjutkan konsentrasi analit ditentukan dengan membandingkan area suatu peak terhadap total area semua komponen. Contoh, data area berikut diperoleh dari suatu kromatogram campuran butil alkohol. Koreksi terhadap sensitifitas detektor diperoleh dari percobaan kromatografi terpisah untuk alkohol murni yang diketahui konsentrasinya.

Tabel 1. Contoh perhitungan dengan metode normalisasi. Jenis alkohol n-butil i-butil s-butil t-butil Area peak, cm2 2,74 7,61 3,19 1,66 Total area Faktor respon detektor 0,603 0,530 0,667 0,681 Area terkoreksi, cm2 1,652 4,033 2,128 1,130 8,943

Angka-angka pada kolom 4 merupakan hasil kali antara angka pada kolom 3. Selanjutnya persentase masing-masing komponen dihitung sebagai berikut:

D. Pemilihan Kondisi Kromatografi Gas Untuk mendapatkan hasil kromatografi gas yang abik tentunya diperlukan kondisi operasional yang tepat. Fasa diam apa yang akan dipakai? Gas apa yang akan dipakai sebagai fasa gerak? Jenis detektor apa yang akan dipakai? Pemilihan fasa diam tentunya disesuaikan dengan cuplikan yang akan dipisahkan dan didasarkan pada sifat kepolaran cuplikan. Berdasarkan kepolarannya, solut dapat dikelompokkan ke dalam empat golongan seperti terlihat dalam tabel 2.

Tabel 2. Penggolongan solut berdasarkan kepolaran Kurang Polar Hidrokarbon jenuh Olefin hidrokarbon Aromatik hidrokarbon Merkaptan Sulfida CS2 Agak Polar Eter Keton Aldehid Ester Amin tersier Senyawa nitro (tanpa atom H) Nitril (tanpa atom H) Polar Alkohol Asam karboksilat Fenol Amin primer dan sekunder Oksim Senyawa nitro (dengan atom H) Nitril (dengan atom H) Sangat Polar Polihidroksi alkohol Amino alkohol Asam hidroksi Asam poliprotik Polifenol

Solut-solut golongan I (kurang polar) akan tertahan kuat oleh fasa diam yang kurang polar seperti squlana, SE-30, dan apiezon. Fasa diam dibutiltetrakloro ptalat, dinonil ptalat, QF-1, OV-17, dan DEGS akan berikatan kuat dengan solut-solut golongan II (agak polar). Solut-solut dari golongan III (polar) akan tertahan kuat oleh fasa diam tetrasianoetil pentaeritriol, zonil E-7 dan XE-60. Sedangkan solut-solut golongan IV (sangat polar) akan tertahan kuat oleh fasa diam carbowax 20 M, versamid 900, tetrahidroksietilenadiamin. Contoh, fasa diam silikon gum SE-30 akan berguna untuk pemisahan campuran olefin. Hal ini dikarenakan baik solut-solut olefin maupun fasa diam SE-30 merupakan senyawasenyawa yang kurang polar. Dalam hal pemisahan golongan solut yang berbeda tapi dengan titik didih yang mirip maka urutan elusi dapat diramalkan berdasarkan tabel 3. Contoh lain, untuk memisahkan 1-propanol (titik didih 97oC) dari 2-kloropentana (titik didih 97oC). Propanol adalah senyawa polar pada golongan III sedangkan 2-kloropentana adalah senyawa yang relatif non polar pada golongan I. Bila fasa diam polar zonyl E-7 digunakan maka propanol akan terelusi sebelum 2-kloropentana. Jenis kolom yang digunakan juga dapat mempengaruhi hasil pemisahan walaupun menggunakan fasa diam yang sama. Contoh, pemisahan minyak wangi menggunakan fasa diam carbowax 20 M pada kolom pak 1,5 m dengan diameter 2 mm dan pada kolom kapiler yang panjangnya 30 m dengan diameter 0,25 mm. Terlihat dalam gambar 7 bahwa kolom kapiler memberikan hasil pemisahan lebih sempurna daripada kolom pak. Berbeda dengan fasa diam, pemilihan fasa gerak atau gas pembawa tidak terlalu bergantung pada cuplikan karena fasa gerak tidak berinteraksi dengan solut-solut yang dipisahkan. Akan tetapi pemilihan fasa gerak bergantung pada jenis detektor yang dipakai. Bila detektor daya hantar panas yang universal dipakai maka perlu dipilih gas pembawa yang mempunyai daya hantar panas yang tinggi seperti H2 dan He. H2 juga dapat digunakan sebagai gas pembawa dengan detektor fotometri nyala. Detektor fotometri nyala bersifat universal tapi destruktif, artinya solut akan rusak karena mengalami pembakaran. Sementara detektor ionisasi nyala dan detektor penangkap elektron akan lebih sensitif apabila menggunakan N2 sebagai fasa geraknya. Sedangkan detektor nyala alkali dan spektrommetri massa dapat menggunakan fasa gerak N2, He atau H2.

Gambar 7. Pemisahan komponen-komponen parfum menggunakan kolom pak (atas) dan kolom kapiler (bawah) menggunakan fasa diam carbowax 20 M. E. Rangkuman Dalam kromatografi dapat dipilih dua metode, yaitu: mode isoternal atau program suhu. Dengan isotermal, suhu kolom dijaga tetap selama pengukuran. Sedangkan dengan program suhu, suhu kolom divariasikan selama pengukuran berlangsung. Melalui mode pemisahan program suhu maka hasil pemisahan akan lebih sempurna. Analisis kualitatif gas kromatografi dapat dilakukan dengan cara spektrometri atau membandingkan waktu retensi analit dengan waktu retensi standar yang diukur pada kondisi sama. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan melalui pendekatan tinggi peak atua area peak. Pendekatan pertama akan lebih tepat untuk peak-peak yang runcing. Sementara pendekatan kedua akan lebih baik untuk peak-peak yang simetri. Untuk menentukan jumlah komponen (analisis kuantitatif) dapat dilakukan dengan metode kalibrasi, standar internal atau normalisasi. Pemilihan fasa diam bergantung pada kepolaran cuplikan sedangkan pemilihan fasa gerak bergantung pada jenis detektor yang digunakan. Sementara struktur molekul cuplikan akan menentukan pemilihan detektor.

10

También podría gustarte