Está en la página 1de 8

ASPEK-ASPEK KULTURAL MASYARAKAT DESA Dalam bab ini ingin memperdalam pemahaman terhadap masyarakat desa, namun fokusnya

bergeser dari wacana umum kea rah wacana yang lebih spesifik mwngwnai masyarakat desa. Hal yang spesifik yang ingin di simak dalam bab ini adalah mengenai aspek kebudayaan masyarakat desa, khususnya masyarakat desa yang masih dalam kategori belum maju. Untuk memperjelas asaran pokok pembahasan dalam bab ini berikut adalah uraian ringkas mengenai apa yang dimaksud masyarakat desa yang asli itu. Masyarakat petani secara umum sering dipahami sebagai suatu kategori sosial yang seragam dan bersifat umum, artinya sering tidak disadari adanya deferensiasi atau perbedaan-perbedaan daam berbagai aspek yang terkandung dalam komunitas petani ini. Sebagai contoh, dalam komunitas petani akan terlihat berdasar atas perbedaan dalam perkembangan masyarakatnya, jenis tanaman yang mereka tanam, teknologi atau alat-alat yang mereka gunakan, system pertanian, topografi atau konisi phisik-geografinya. Diantara gambaran-gambaran yang bersifat diferensiatif pada kalangan petani umumnya, adalah perbedaan antara petani berahaja{peasant} dan petani modern{farmer}. Secara garis besar golongan pertama adalah kaum petani yang masih tergantung dan dikuasai alam karena rendahnya tingkat pengetahuan dan teknologi mereka, produksi mereka lebih ditujukan untuk sebuah usaha menghidupi keliarga, bukan untuk mencari keuntungan yang sebesarbesarnya. Golongan kedua yaitu farmef atau agricultural entreprenenur adaah petani yang usahanya ditujukan untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya. KEBUDAYAAN Dalam sosiologi, kosep kebudayaan {culture} sangat penting. Sebagaimana dikemukakan di bagian depan, obyek studi pokok sosiologi adalah masyarakat, masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Kebudayaan menurut Selo Soemardjan adalah kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Kebudayaan mencakup aspek materiil dan non materiil. Obyek pembahasan dalam buku ini adalah masyarakat desa suatu kelompok masyarakat yang secara umum dikategorikan sebagai masyarakat yang masih bersahaja dibandingkan dengan masyarakat di perkotaan, selain itu pembahasan ini dimakudkan sebagai upaya pembahasan karakteristik budaya masyarakat desa yang masih termasuk masyarakat tradisional. KEBUDAYAAN TRADISIONAL MASYARAKAT DESA Konsep kebudayaan ini mengacu kepada gambaran tentang cara hidup masyrakat desa yang belum dirasuki oleh penggunaan teknologi modern serta system ekonomi uang. Pola kebudayaan tradisional adalah merupakan produk dari besarnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidupnya tergantung pada alam. Menurut Paul H. Landis, sejauh mana besar-kecilnya engaruh alam terhadap pola kebudayaan masyarakat desa akan ditentukan oleh: 1) Sejauh mana ketergantungan mereka terhadap pertanian

2) 3)

Tingkat tekhnologi mereka Sistem produksi yang diterapkan

Ketiga factor terebut secara bersama-sama menjadi factor determinan bagi terciptanya kebudayaan tradisional, yakni kebudayaan tradisional akan tercipta apabila masyarakat amat tergantung kepada pertanian tingkat teknologinya rendah dan produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mengacu pada pendapat Paul H. Landis, dalam garis besarnya cirri-ciri kebudayaan tradisional masyarakat desa adalah sebagai berikut: 1. Pertama, sebagai konsekuensi dari ketidak berdayaan mereka terhadap alam, maka masyarakat desa yang demikian ini mengembangkan adaptasi yang kuat terhadap lingkungan alamnya. 2. Kedua, pola adaptasi yang pasif terhadap lingkungan alam berkaitan dengan rendahnya tingkat inovasi masyarakatnya, sehingga petani bekerja dengan alam. 3. Ketiga, faktor alam juga dapat mempengaruhi kepribadian masyarakatnya. 4. Keempat, pengaruh alam juga terlihat pada pola kebiasaan hidup yang lamban. 5. Kelima, dominasi alam yang kuat terhadap masyarakat desa juga mengakibatkan tebalnya kpercayaan mereka terhadap tahayul. 6. Keenam, sikap yang pasif dan adaptatif masyarakat desa terhadap alam juga nampak dalam aspek kebudayaan material mereka yang relatif bersahaja. 7. Ketujuh, ketundukan masyarakat desa terhadap alam juga menyebabkan rendahnya kesadaran mereka akan waktu. 8. Kedelapan, besarnya pengaruh alam juga mengakibatkan orang desa cenderung bersifat praktis. 9. Kesembilan, pengaruh alam juga mengakibatkan terciptanya standar moral yang kaku di kalangan masyarakat desa. Demikian karakteristik-karakterisik kebudayaan tradisional yang terbentuk oleh pengaruh alam. Besar kecilnya pengaruh ala mini tergantung kepada sejauh mana ketergantungan mereka terhadap alam, tingkat tekhnologi mereka,dan system produksi yang diterapkan. Pola kebudayaan semacam ini akan menjadi semakin pudar seiring dengan kemajuan teknologi, meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan alam, serta tujuan produksi yang semakin berorientasi pada pancarian keuntungan. PEASAN DAN SUBSTENSI Ada yang menterjemahkan peasan dengan petani kecil. Seorang peasan berjiwa subsisten, yang melakukan usaha sekedar untuk hidup dalam bentuknya yang minimal. Maka seorang peasan sekalipun memiliki tanah dalam bentuk yang luas, tetapi dia cenderung tidak akan memanfaatkannya untuk mencari keuntungan yang optimal. Berikut ini adalah beberapa definisi peasan: Menurut Raymond Firth istilah peasan terutama memiliki referensi keekonomian yaitu suatu system yang berskala kecil dengan teknologi dan peralatan yang sederhana.

Menurut Eric R. Wolf, peasan adalah penghasil pertanian yang mengerjakan tanah secara efektif yang melakukan pekerjaan itu sebagai nafkah hidupnya. Menurut Foster, komunitas peasan keberadaannya memiliki ikatan yang erat dengan kotkota besar dan kecil. Berdasarkan batasan-batasan terebut dan mengacu pendapat E. Rogers maka secara umum peasan memiliki cirri-ciri: a) Petani produsen yang subsisten, sekedar memenihi kebutuhan sendiri dan tidak untuk mencari keuntungan. b) Orientasinya yang cenderung pedesaan dan traisional tetapi memiliki keterkaitan erat ke kebudayaan kota atau pusat kekuasaan tertentu. c) Jarang yang sepenuhnya mencukupi kebutuhan diri sendiri

Terdapat sejumlah pendapat yang menyatakan bahwa peasan di dunia ini tidak homogen{seragam}. Dengan demikian sulit sekali untuk mendapatkan cirri-ciri peasan yang umum berlaku untuk seluruh peasan yang ada di dunia ini. Diantara sekian cirri yang sangat erat dengan keberadaan peasan adalah subsistensi. Subsistensi inilah yang terutama membedakan peasan dari petani modern. Subsistensi secar umum diartikan sebagai cara hidup yang cenderung minimalis. Usaha-usaha yang dilakukan cenderung ditujukan untuk sekedar hidup. Clifton R. Wharton membedakan subsistensi produksi dari subsistensi hidup. Subsistensi produksi dikarakterisasi oleh derajad komersialisasi dan monetisasi yang rendah, sedangkan subsistensi hidup berkaitan dengan tingkat hidup yang bersifat minimal hanya untuk sekedar hidup. Pertanian subsisten yang murni menurut Wharton adalah suatu unit yang dapat berdiri dan mencukupi diri sendiri. PEASAN DAN POLA KEBUDAYAAN MASYARAKAT DESA DI INDONESIA 1. Aspek cultural peasan di Indonesia Mengacu kepada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan di atas, peasan yang dimaksud disini adalah yang memiliki cirri-ciri: usaha pertanian yang lebih ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, bukan untuk mengejar keuntungan, Lebih berorientasi kepada cara hidup tergolong tradisional, tetapi merupakan bagian dari budaya kota atau pusat kekuasaan tertentu, dan tidak bersifat mandiri sevenuhnya. Dikaitkan dengan cirri-ciri peasan tersebut, tidak semua petani di Indonesia termasuk golongan peasan. Menurut Koentjaraningrat, system pertanian sawah sebenarnya hanya ada di Jawa, Bali, dan Lombok Barat. Sedangkan di luar itu hanya merupakan enclave, seperti di tanah Batak, dataran Agam di Minangkabau, daerah-daerah pantai di Kalimantan Selatan, Makasar dan Menado serta beberapa pantai di pulau Nusa Tenggara. Secara umum Indonesia mengenal dua macam perkebunan, yakni yang tradisional dan modern. Yang pertama dikenal sebagai perkebunan rakyat, yang kedua tidak terlepas dari keberadaan onderneming pada jaman Belanda. Petani ladang dalam garis besarnya terpilah menjadi dua. Pertama, adalah petani ladang berpindah di pedalaman{tertutup}, yang lebih tepat

disebut pencocok tanam. Kedua, adalah petani ladang yang telah terkena pengaruh pertanian perkebunan dengan tanaman ekspornya. 1. Aspek-aspek cultural lainnya Pola kebudayaan peasan belum cukup representativ untuk mewakili gambaran umum pola kebudayaan masyarakat desa di Indonesia. Pola kebudayaan peasan terutama hanya terlihat domonan di Jawa. Bagi masyarakat desa yang secara umum pengelompokannya relative kecil, adat-istiadat atau tradisi adalah identik dengan kebudayaan. Sebab, dalam adatistiadat atau tradisi tersebut telah terkandung system nilai, norma, system kepercayaan, ekonomi, dan lainnya yang cukup lengkap menjadi pedoman perilaku kehidupan mereka. Untuk sebagian lainnya lagi, pola kebudayaan masyarakat Indonesia umumnya, dan desa khususnya, harus dirunut dari asal muasal nenek moyang kita yang ternyata berasal dari tempat dan suku bangsa yang berbeda-beda. Dengan sendirinya juga dengan pola kebudayaan yang beragam. Keberagaman adat-istiadat dan tradisi tidak hanya didasarkan atas keberagaman system mata pencaharian. Menurut van Vollenhoven, di Indonesia terdapat 19 daerah lingkaran hokum adat, yakni: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) Aceh Batak Minangkabau Mentawai Melayu Bangka Kaimantan Minahasa Gorontalo

10) Toraja 11) Sulawesi Selatan 12) Ternate 13) Ambon Maluku 14) Irian

15) Timor 16) Bali dan Lombok 17) Jawa Tengah dan Timur 18) Surakarta 19) Jawa Barat Koentjaraningrat menunjukkan keanekaragaman yang lebih besar, yakni ada 193 suku bangsa di Indonesia. Suku-suku bangsa dengan hokum adatnya ini sangat berpengaruh terhadap masyarakat desa yang berada dalam wilayahnya. Pengaruh itu dalam bentuk kepercayaan, bahasa atau dialek, kesenian, adat-istiadat, yang berkaitan dengan siklus kehidupan masyarakatnya. ASPEK-ASPEK STRUKTURAL MASYARAKAT DESA Pembahasan struktur dalam Bab ini tidak hanya menyangkut aspek sosial, melainkan juga mencakup aspek phisik dan biologisnya. Pertimbangan yang menasari keputusan ini adaah karena dalam kenyataannya, struktur masyarakat desa tidak hanya ditentukan oleh factor sosial-budayanya, melainkan juga dipengaruhi oleh factor phisik dan biologisnya. Sebagai contoh, sering dikemukakan bahwa masyarakat yang tradisinya kuat ternyata disebabkan oleh keterisolasian mereka secara phisik-geografis STRUKTUR Secara umum istilah struktur dipahami sebagai susunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, struktur juga berarti susunan, atau cara sesuatu disusun atau dibangun. Sedangkan struktur sosial dalam kamus besar diartikan sebagai konsep perumusan asasasas hubungan antar individu dalam kehidupan masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu. STRUKTUR PHISIK DESA Struktur phisik suatu desa berkaitan erat dengan lingkungan phisik desa itu daam berbagai aspeknya. Secara agak lebih khusus ia berkaitan dengan lingkungan geogarafis dengan segala cirri-cirinya, seperti iklim, curah hujan, jenis tanah, ketinggian tanah, tingkat kelembaban udara, topografi dan lainnya. Perbedaan cirri-ciri phisik ini akan menciptakan pula perbedaan dalam jeni tanaman yang ditanam, system pertanian yang diterapkan, dan lebih lanjut pola kehidupan dari mesing-masing kelompok masyarakatnya. Pola pemukiman adalah berkaitan dengan hubungan-hubungan keruangan antara pemukiman yang satu dengan yang lain dan dengan lahan pertanian mereka. Dalam bentuknya yang paling umum terdapat dua pola pemukiman yaitu: -yang pemukimannya

berdekatan dengan satu sama lain, -yang pemukiman penduduknya terpencar dan terpisah satu sama lain, dan masing-masing berada di dalam atau tengah lahan pertanian mereka. Secara lebih rinci, Paul H. Landis membedakan empat pola pemukiman yang ia perkirakan umum terdapat di dunia yakni:

The farm village type adalah pola pemukiman dimana penduduk tinggal bersamasama dan berdekatan di suatu tempat dengan lahan pertanian berada di luar lokasi pemukiman. The nebulous farm type adalah pemukiman dimana penduduk tinggal bersamasama dan berdekatan di suatu tempat, tetapi terdapat penduduk yang tinggal tersebar di luar pemukiman. The arranged isolated farm type adalah pola pemukiman dimana penduduk tinggal di sekitar jalan dan masing-masing berada di lahan pertanian mereka, dengan suetu trade center di antara mereka. The pure isolated farm type adalah pola pemukiman yang penduduknya tinggal dalam lahan pertanian mereka masing-masing, tepisah dan berjauhan satu sma lain, dengan suatu trade center.

The farm village type merupakan pola pemukiman yang paling dominan di dunia. Menurut Paul H. Landis, pola pemukiman ini dengan beberapa perkecualian merupakan kecenderungan umum di Timur {Asia}. The farm village type ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan dua pola pemukiman lainnya, antara lain: memungkinkan terjadinya hubungan yang intim antara warga/tetangga, kedekatan warga dengan berbagai lembaga, kedekatan teman bermain bagi anak-anak , memudahkan terjadinya saling tolongmenolong atau kerja sama antara sesama warga. Singkatnya, pola pemukiman ini kaya akan kehudupan sosial. STRATIFIKASI SOSIAL Sebagaimana telah dikemukakan di atas, stratifikasi sosial, pelapisan sosial, atau struktur sosial vertical adalah penggambaran kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang hirarkis, berjenjang. Ditingkat teoritik acap kali dipertanyakan mangapa dalam masyarakat terjai pelapisan-pelapisan, sebab kehidupan manusia dilekati oleh nilai. Keberadaan nilai selalu mengandung kelangkaan, tidak mudah didapat, dan oleh karenanya member harga pada penyandangnya. Siapa yang memperoleh lebih banyak hal yang bernilai maka akan semakin terpandang dan tinggi kedudukannya. 1) Struktur Biososial

Sebagaimana dikemukakan di atas, diantara sejumlah factor yang menciptakan stratifikasi sosial adalah factor biologis. Konsep struktur biososial, yakni struktur sosial yang berkaitan dengan factor-faktor biologis, seperti jenis kelamin, usia, perkawinan, suku bangsa, dan lainnya. 2) Desa satu kelas dan dua kelas

Dalam hal ini Smith dan Zopf mengemukakan dua type desa, yakni tipe satu kelas dan tipe dua kelas. Secara garis besarnya desa tipe satu kelas data digambarkan sebagai tipe desa yang pemilikan lahan pertanian warganya rata-rata sama. Perbedaan yang ada tidak bersifat senjang. Sedangkan desa tipe dua kelas secara garis besar digambarkan sebagai desa yang di dalamnya terdapat sejumlah kecil warga yang memiliki lahan yang amat luas, dan sebaliknya dalam jumlah besar merupakan warga yang tidak memiliki lahan pertanian. Terdapat dua macam desa tipe satu kelas yang memiliki karakteristik yang berbeda. Pertama, adalah desa tipe satu kelas yang pemilikan lahan warganya rata-rata luas. Kedua, adalah desa tipe satu kelas yang pemilikan lahan warganya rata-rata sempit. Sedangkan desa tipe dua kelas cukup banyak terdapat di berbagai tempat dan merupakan pola tradisional di dunia ini. 3) Dimensi-dimensi pelapisan sosial

Stratifikasi sosial sebagai suatu paramida sosial akan lebih terlihat dalam desa tipe satu kelas, yakni apabila setidaknya memenuhi dua persyaratan. Pertama, apabila kesamaan dalam pemilikan tanah warganya tidak bersifat mutlak. Keseragaman dan kesamaan penguasaan tanah yang jelas di antara petani, umumnya lebih terlihat di negara-negara sosialis. Kedua, apabila tidak ada okupasi-okupasi lain di luar sector pertanian yang dapat menjadi alternative bebas bagi warganya. Dalam hal ini Smith dan Zopf mengetengahkan adanya lima factor yang determinan terhadap system pelapisan sosial masyarakat desa: pertama, luas pemilikan tanah dan sejauh mana pemilikan itu terkonsentrasi di tangan sejumlah kecil orang atau sebaliknya. Kedua, pertautan antara sector pertanian dan industri. Ketiga, bentuk-bentuk pemilikan atau penguasaan tanah. Keempat, frekuensi perpindahan petani dari lahan satu ke lahan lainnya. Kelima, komposisi rasional penduduk. Sutardjo Kartohadikoesoemo memberikan gambaran tentang penggolongan masyarakat desa di Jawa yang berlandaskan pemilikan tanah ini sebagai berikut: a) b) Warga baku, ialah warga yang memiliki tanah pertanian dan pekarangan -Warga yang mempunyai rumah dan tanah pekarangan

-Warga yang mempunyai rumah diatas pekarangan orang lain c) -Warga yang menikah dan mondok di rumah orang lain

-Pemuda yang belum menikah M. Jaspan menggambarkan adanya empat pelapisan sosial yang terdapat di kalangan masyarakat desa di daerah Yogyakarta. Kuli kenceng, yakni mereka yang memiliki tanah pekarangan dan sawah. Kuli gundul, yakni mereka yang hanya memiliki sawah.

Kuli karangkopek, yakni mereka yang memiliki pekarangan saja. Indung tlosor, yakni mereka yang memiliki rumah saja diatas pekarangan orang lain. Menurut Haar, pelapisan sosial masyarakat desa itu dibedakan atas:

Golongan pribumi pemilik tanah Golongan yang hanya memiliki rumah dan pekarangan saja Golongan yang hanya memiliki rumah saja diatas pekarangan orang lain

DIFERENSIASI SOSIAL Definisi diferensiasi sosial adalah berkaitan dengan banyaknya pengelompokanpengelompokan sosial yang ada dalam masyarakat itu tanpa menempatkannya dalam jenjang hirarkis. Konsep diferensiasi sosial ini secara teoritik acap kali dirumuskan bahwa semakin maju atau modern suatu masyarakat, semakin tinggi tingkat diferensiasiny, begitu pula sebaliknya. Bagaimana memahami pola-pola dasar pengelompokan sosial masyarakat desa, untuk memahaminya adalah dengan menegaskan terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan kelompok sosial itu. Menurut Smith dan Zopf, pengertian kelompok sosial harus mencakup 3 elemen yaitu, 1. Pluralitas subyek, 2. Interaksi antar subyek, 3. Solidaritas. Khusus solidsritas ini, Emile Durkheim mengetengahkan dua tipe kohesi sosial, yakni: 1. Kohesi yang didasarkan atas kesamaan-kesamaan di antara para anggota kelompok 2. Kohesi yang disarankan atas hubungan saling tergantung dalam devisi kerja Kohesi pertama, solidaritas mekanik yaitu dilandasi oleh solidarita yang terbentuk oleh kesamaan-kesamaan para anggota kelompok. Sedangkan kohesi sosial kedua, solidaritas organic yaitu dilandasi oleh solidaritas yang terbentuk justru oleh perbedaan namun saling tergantung. Secara umum, memahami diferensiasi sosial masyarakat desa di Indonesia, hendaknya memahami pluralitas masyarakat Indonesia dalam berbagai dimensi dan aspeknya. Juga perlu dipahami kesejarahan yang menjadi titik tolak untuk memahami keaslian struktur sosial masyarakat desa kita secara umum.

También podría gustarte