Está en la página 1de 13

KNOWLEDGE MANAGEMENT : SISI PANDANG KEPUSTAKAWANAN Putu Laxman Pendit

Sejak

Dr.

Karl Wiig menggunakannya dalam pidato

di International Labor

Organization (ILO) di tahun 1986, istilah Knowledge Management (KM) terus menjadi pusat perhatian banyak disiplin. Penerapan prinsip-prinsipnya oleh

perusahaan besar multinasional semacam IBM dan Price Waterhouse (sekarang ditambahi Cooper), membawa KM secara spesifik ke bidang niaga. Tulisan Nonaka dan Takeuchi di Harvard Business Review tahun 1991 mengukuhkan KM sebagai bidang studi niaga dan manajemen. Sejak 1996, setelah konferensi KM pertama di tahun 1994, bidang studi ini menjadi semacam silang-kaji teknologi informasi (terutama artificial inteligence dan database), manajemen (terutama organizational change), dan ekonomi.

Tidak sedikit orang yang mencibir KM sebagai semata akal-akalan kaum bisnis untuk mencari buzzword baru, yang dengan cepat diterjemahkan oleh industri teknologi informasi (TI) sebagai keuntungan baru. Salah satu bidang yang menaruh curiga adalah kepustakawanan. Sama halnya ketika Daniel Bell dan kawan-kawan

mencuatkan istilah Information Society (IS), kepustakawanan sering berperilaku skeptis terhadap kepopuleran KM. Kita kini tahu, sosiologi dan ilmu komputer telah sepenuhnya mengambil alih kepemimpinan pengkajian dan penerapan kaidah-kaidah IS, sementara bidang lainnya (termasuk kepustakawanan) tinggal mengikuti.

Kalau mau ditarik lebih jauh lagi, sikap skeptis kepustakawanan sudah pula ditunjukkan ketika Information Retrieval (IR) muncul sebagai pusat perhatian baru dengan adanya Crafield Test. Kalau saja kepustakawanan ikut memusatkan perhatian kepada uji-coba pengindeksan berbasis mesin itu, tentu tidak perlu muncul bidang baru yang dinamakan information science. Kita kini tahu, IR lebih diperhatikan oleh ilmu komputer terutama dalam kaitannya dengan database design and development, dan oleh psiko-analisis terutama dalam kaitannya dengan information seeking behaviour. Akan halnya kepustakawanan, sama dengan kedudukannya dalam

pengkajian dan penerapan prinsip IS, adalah pengikut dari kedua bidang ilmu di atas.

Sikap skeptis kepustakawanan bukanlah tanpa alasan. Sejak IR, lalu IS, dan akhirnya KM dipopulerkan, para akademisi maupun praktisi bidang perpustakaan mendasari keacuhan dan kecurigaan mereka pada semacam keyakinan bahwa dasar dari semua jargon baru itu adalah kepustakawanan jua. Ketika IR muncul, kepustakawanan menganggap bahwa itu semata-mata penggunaan mesin dalam praktek yang sudah dari sononya urusan perpustakaan (yakni klasifikasi dan katalogisasi). Ketika IS populer, kepustakawanan melengos karena yakin bahwa public librarianships sejak baheula adalah akar dari prinsip penyebaran informasi secara sosial. Lalu ketika KM mencuat, kepustakawanan berkeyakinan bahwa keterlibatan mereka dengan data bibliografi sejak Abad Pertengahan adalah dasar dari penyebaran dan pemanfaatan pengetahuan.

Kalau kita simak

baik-baik, kepustakawanan memiliki semua justifikasi untuk

bersikap skeptis, karena memang semua jargon itu bermula dari ketergantungan peradaban manusia pada bahasa tertulis yang tentu saja bermula sejak teknologi massalnya (yakni buku!) pertama kali ditemukan manusia. Kepustakawanan boleh mengaku bahwa mereka sudah duluan (I was there first!) sebelum berbagai disiplin lain berbondong-bondong mengurusi data, informasi dan pengetahuan.

Kepustakawanan boleh menunjuk dirinya bapak atau ibu (founding fathers, founding mothers), bahkan boleh mengaku moyang dari IR, atau IS, atau KM.

Cuma,

tentu

saja,

mengaku

moyang

sama

saja

dengan

mengaku

bahwa

kepustakawanan telah lama perlaya. Sudah jadi bagian dari masa lampau yang dimumifikasi seperti layaknya penguasa-penguasa Mesir yang kini berbaring di dalam piramid-piramid raksasa.

Tulisan pendek ini ingin mengajak pembaca meninggalkan skeptisisme dan keraguan kepustakawanan kepada semua perkembangan eksternal di atas, tetapi terutama terhadap KM karena artikel ini dibuat untuk diskusi tentang KM. Penulis ingin berargumentasi bahwa kepustakawanan seharusnya adalah bidang yang dinamik, dan bahwa kepustakawanan punya kepribadian, dignity, yang tidak mengharuskannya menjadi pengikut (untuk tidak mengatakan pengekor). Kepustakawanan mengandung

di dalamnya unsur-unsur progresif yang bisa memberi sumbangan besar sekali kepada semua perkembangan baru di atas, dan juga terutama kepada KM.

Dasar dari argumentasi penulis akan diuraikan dalam tiga bagian: (1) hubungan antara data, informasi, pengetahuan; (2) hubungan antara klasifikasi dengan penemuan pengetahuan; dan (3) peran teknologi.

DIK bukan KID DIK adalah aksioma Data Information Knowledge, sedangkan KID adalah sebaliknya (lihat Tuomi, 2000). Kepustakawanan (dan banyak bidang lainnya!) sering menyangka bahwa DIK adalah aksioma yang tepat untuk KM. Asumsinya, jika kita telah mengelola D dengan baik, maka praktis I dan K sudah terkelola. Jika sudah terkelola, maka praktis sudah mudah dipakai. Jika sudah terpakai, maka praktis sudah efektif dan efisien dalam konteks pemanfaatan K. Dengan kata lain, KM berbasis pengelolaan data. Kalau kepustakawanan adalah jagoan dalam pengelolaan data, maka kepustakawanan adalah jagoan KM.

Penulis berargumentasi lain. Persoalan utama dalam KM bukan pada pengelolaan data sebagaimana yang selama ini dianut kepustakawanan pada umumnya. Kalau saja persoalannya adalah pengelolaan data, niscaya praktik-praktik klasik kepustakawanan sudah cukup untuk mengatasinya.

Sebabnya begini: data mentah (raw data) tidak pernah ada, jika pengertiannya adalah sesuatu yang terpisah dari I maupun K. Data hanya ada setelah orang punya bayangan tentang penggunaannya (potential use), harapan kebergunaan (expectation), konteks, dan konstruk (theoritical construct). Contohnya adalah sebuah angka, misalnya 2.000.000. Angka ini tidak pernah ada, kalau kepadanya tidak dilekatkan potensi, harapan, konteks, dan konstruk. Ia menjadi ada, misalnya, setelah kita

menganggapnya sebagai sejumlah nominal uang, dengan potensi untuk membeli sesuatu, dalam konteks tertentu untuk suatu keperluan tertentu. Tergantung dari jenis uangnya, dan untuk apa uang itu, angka 2.000.000 sendiri "tidak ada apa-apanya".

Dus, ada yang bilang bahwa kalau sudah diberi harapan, potensi, konteks maupun konstruk semacam itu maka kita berurusan dengan I, informasi. Dengan kata lain, sewaktu kita "membuat data" (sebelum menyimpan) kita melepaskan semua harapan, potensi, konteks maupun konstruk darinya. Bagaimanakah kita bisa memisahkan sesuatu dari harapan, potensi, konteks maupun konstruknya? Rasanya tidak mungkin bisa, kecuali sesuatu itu memang tidak ada apa-apanya, dan dengan demikian ia tidak ada!

Kunci dari persoalan di atas adalah pada kenyataan bahwa yang sebetulnya kita kelola ketika kita memakai istilah "mengelola data", adalah representasi dari data, bukan aslinya. Untuk bisa mengelola representasi data, kita memerlukan harapan, potensi, konteks, maupun konstruk yang melekat pada data (aslinya). Kalau kita tadi mengatakan bahwa semua itu adalah atribut dari informasi, maka untuk mengelola representasi data kita memerlukan informasi. Dengan kata lain, D tidak menentukan I, tetapi sebaliknya.

Harapan, potensi, konteks maupun konstruk tidak pula pernah ada dalam sebuah vakum. Bagaimana kita punya harapan tentang kurs rupiah terhadap dollar, lalu berdagang valuta asing karena melihat potensinya, membangun strategi untuk mencari pembeli dan penjual uang, dan akhirnya kaya raya seperti George Soros? Satu-satunya jalan untuk bisa menjadi seorang George Soros adalah dengan membangun

pengetahuan tentang valuta asing, ditambah moral dan etika tertentu (yang barangkali tidak kita sepakati), keberanian dan rasa tega. Dengan kata lain, I pun tidak pernah ada tanpa K yang sebelumnya. Maka bukan DIK yang berlaku, melainkan KID.

Dengan asumsi baru ini, maka KM harus dibangun dengan prinsip KID. Seseorang baru bisa membangun sistem yang "mengelola data" kalau ia punya cukup I dan cukup K. Persoalannya adalah tidak mungkin bagi siapa pun untuk punya semua I dan semua K. Untuk bisa membuat representasi data (melepaskan harapan, potensi, konteks dan konstruk dari data) seseorang harus punya semua atribut itu, dan untuk punya atribut itu seseorang harus punya semua pengetahuan tentangnya. Ini mustahil.

Sebab itu pulalah KM tidak pernah bisa didasarkan pada mengelola data (lewat representasinya). Untuk bisa memiliki KM yang baik, kita memerlukan lebih dari representasi data, lebih dari sekadar melepaskan atribut-atribut data. Lalu apa sebetulnya yang dikelola? Jawabannya adalah pada kenyataan bahwa K adalah sebuah social phenomena, bahwa pengetahuan tak pernah merupakan unit-unit terpisah dalam satu per satu kepala manusia. Berpikir, berpengetahuan, membangun pengetahuan ... semua ini tidak dilakukan satu per satu orang. Terlebih-lebih lagi, untuk bisa berpikir, berpengetahuan dan membangun pengetahuan, manusia memerlukan antar-hubungan yang didasarkan pada kemauan bersama dan kepercayaan. Jadi dalam KM implisit ada pengelolaan antar-hubungan manusia (untuk contohnya lihat Gupta dan

Govindarajan, 2000).

Mari kini kita kembali ke kepustakawanan. Dengan jalan berpikir di atas, maka mustahil bagi profesional di bidang ini untuk memberikan sumbangan kepada pengembangan KM jika tetap ngotot bahwa inti (core) dari aktifitasnya adalah mengelola data (lewat representasinya). Prinsip KID dalam KM mengharuskan kepustakawanan menunjukkan "sisi manusiawi"-nya. Sesungguhnya prinsip ini sudah sejak 1960-an coba dibangkitkan secara formal oleh Jesse Shera yang mengusulkan social epistemology bagi kepustakawanan (sebagaimana diulas Warner, 2001).

Dalam usulan

Shera,

kepustakawanan dan ilmu perpustakaan harus berhenti

berkonsentrasi kepada klasifikasi dan katalogisasi, dan harus mengembangkan profesi dan ilmu yang berdasarkan kepada orientasi antar-hubungan manusia. Entah kenapa, banyak praktisi dan akademisi perpustakaan menganggap remeh usulan ini dan sampai sekarang masih merasa cukup berkonsentrasi kepada klasifikasi dan

katalogisasi dalam rangka menjernihkan jati diri kepustakawanan.

Penulis sama sekali tidak beranggapan bahwa klasifikasi tidak penting. Bagian yang berikut ini justru menegaskan pentingnya klasifikasi, sebelum nanti kita kembali membahas mengapa diperlukan tambahan selain keahlian klasifikasi.

Klasifikasi dan Pengetahuan

Aristoteles menghubungkan semesta pengetahuan dengan klasifikasi hirarkis. Prinsip filsuf ini sampai sekarang jadi pegangan pustakawan setelah disempurnakan antara lain oleh Dewey dan Ranganathan. Pada dasarnya klasifikasi adalah cara paling sempurna yang selama ini ditemukan oleh manusia untuk mengelola pikirannya. Aristoteles dan para filsuf lain-lain berhasil membuktikan supermasi manusia atas pikirannya sendiri, sehingga peradaban bisa terus maju berdasarkan rasio.

Dari kenyataan ini saja, adalah mustahil menafikan pentingnya klasifikasi dalam dunia pengetahuan manusia, apalagi dalam KM. Berbagai jenis klasifikasi selain hirarkis, yaitu klasifikasi pohon, paradigma, facet, bersama-sama maupun sendirisendiri, telah memberikan sumbangan besar untuk mengelola dokumen dalam rangka pengembangan pengetahuan manusia. Beberapa hal penting yang menyebabkan klasifikasi mutlak dalam urusan tahu dan pengetahuan adalah (lihat Kwasnik, 1999): Mampu meringkas pengetahuan sehingga mudah dicerna, Memberikan deskripsi yang kaya terhadap sebuah butir pengetahuan dalam kaitannya dengan pengetahuan yang lain, Memperlihatkan antar-hubungan pengetahuan sehingga memungkinkan

penggunanya memiliki prespektif yang lebih menyeluruh atau holistic. Memperlihatkan "jarak" antara satu butir pengetahuan dengan yang lainnya (terutama dalam klasifikasi pohon), Dapat membantu menemukan pola atau keteraturan dalam pemberian kriteria kepada butir-butir pengetahuan.

Namun pada saat yang sama, sistem klasifikasi yang selama ini kita kenal juga mengandung kelemahan: Klasifikasi hirarkis hanya cocok untuk pengetahuan dalam domain yang sudah mapan, yang masing-masing entitasnya sudah memiliki batas dan definisi yang jelas, Klasifikasi pohon, walaupun mungkin lebih luwes untuk domain yang sedang berkembang, hanya cocok untuk menggambarkan arah perkembangan

pengetahuan yang satu dimensi,

Klasifikasi paradigma, yang mengandalkan perpotongan (intersection) dua atribut entitas, seringkali juga membatasi perspektif penggunanya, Klasifikasi facet yang diperkenalkan Ranganathan, walaupun sangat ampuh untuk menampung berbagai perspektif (multiple perspectives), sangat

bergantung kepada pengetahuan yang lengkap tentang domain yang akan diklasifikasi dan juga kebutuhan pemakai klasifikasi.

Selain itu, perlu diingat bahwa sistem klasifikasi berkembang dalam sistem sosialpolitik tertentu, sehingga sangatlah naif kalau kita mengatakan bahwa semua ideologi tercermin dengan adil dalam, misalnya, DDC. Tidak semua agama pula diwakili secara konprehensif dan setara dalam klasifikasi juga melakukan sistem klasifikasi. Secara intrinsik, sistem (penyingkiran) terhadap pandangan-

marjinalisasi

pandangan tertentu. Penyingkiran ini menimbulkan "wilayah kumuh" (ghetto) dalam keseluruhan sistem klasifikasi, sebagaimana yang dialami pengetahuan tentang wanita atau kelompok minoritas lesbian dan homoseksual (Olson, 1998)

Perkembangan pengetahuan yang sangat cepat juga menimbulkan keterbatasan dalam penggunaan klasifikasi, sebab secara alamiah sistem klasifikasi membutuhkan

standardisasi dan definisi yang mapan sebelum bisa digunakan secara efektif-efisien. Kesenjangan antara sistem klasifikasi dengan pengetahuan yang sedang berkembang bisa bertambah parah jika para praktisi yang menggunakan klasifikasi itu sendiri juga tidak pernah mengikuti perkembangan pengetahuan yang sedang diklasifikasinya.

Pada titik ini kita bisa kembali ke pembahasan di atas tentang DIK dan KID, terutama ketika kita bicara tentang KM sebagai sistem yang mengkamodasi sistem sosial dan yang berdasarkan antar-hubungan serta kepercayaan antar manusia.

Sistem

klasifikasi

sangat

berguna

dalam

pengembangan

sistem

pengelolaan

representasi data (penulis akan memakai istilah ini selanjutnya, bukan "pengelolaan data"). Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, ketika seorang pengelola memproses representasi data untuk disimpan di sebuah sistem (katakanlah sebuah pangkalan data), ia memerlukan akses ke semua atribut harapan, potensi, konteks dan konstruk dari data. Di sinilah sistem klasifikasi berperan, sebab sistem ini

memang bertugas meringkas pengetahuan sehingga bisa ditangani oleh seseorang yang tidak harus memiliki seluruh pengetahuan tentang suatu domain.

Jika diamati, selain kemampuan memakai sistem klasifikasi, ia memerlukan pula pengetahuan lain yang tak kalah penting, yakni tentang siapa yang akan menggunakan representasi data yang ia buat. Kesadaran di dalam diri pengelola sistem bahwa ada orang lain yang akan menggunakan representasi data yang dibuatnya, merupakan titik menentukan dalam keseluruhan. Mengapa?

Sebagaimana telah diuraikan di atas, pengetahuan manusia tidak pernah merupakan unit-unit terpisah, melainkan adalah sebuah hasil antar-hubungan yang berdasarkan kesepakatan dan kepercayaan. Berkembang-tidaknya sebuah pengetahuan, dan bisa digunakan-tidaknya pengetahuan tersebut di dalam sebuah organisasi manusia (karena hanya organisasi manusia yang sungguh-sungguh menggunakan pengetahuan secara sadar), ditentukan oleh kesepakatan dan saling-percaya antar anggota-anggotanya.

Bagi anggota-anggota ini

--yang bisa kita kategorikan sebagai pengguna dari maka yang pertama-tama mereka inginkan

pengetahuan untuk keperluan tertentu--

dari sebuah sistem yang merepresentasi data dari pengetahuan mereka adalah kepercayaan kepada pengelola sistem tersebut. Kalau sebuah sistem representasi data ingin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sebuah institusi dalam konteks pemanfaatan pengetahuan, maka yang pertama-tama harus tercipta adalah hubungan berdasarkan kesepakatan dan kepercayaan antara pengelola sistem dengan pengguna pengetahuan.

Di

sinilah

usul

Shera

tentang

social

epistemology

memerlukan

perhatian

kepustakawanan. Hubungan antar manusia sebagaimana digambarkan di atas, tidak bisa diciptakan atau dipelihara dengan mempelajari sistem klasifikasi semata. Kepustakawanan, jika ingin memberikan sumbangan kepada pengembangan KM, harus memberikan ruang yang cukup bagi pengembangan dan pelatihan kemampuan menciptakan dan memelihara hubungan antar manusia.

Davenport,

De Long dan Beers (1998),

setelah mengkaji berbagai proyek

pengembangan KM, juga sampai pada kesimpulan yang sama tentang pentingnya hubungan antar-manusia ini. Mereka mengistilahkannya sebagai "knowledge friendly culture" yang di dalamnya mengandung unsur keleluasaan dan kemauan untuk saling berbagi pengetahuan. Jika kita kaitkan hal ini dengan pembahasan di alinea sebelumnya, maka jelaslah bahwa sebuah sistem representasi data tidak bisa berbuat apa-apa kalau si pengelolanya tidak mampu menciptakan sumbangan kepada---atau memberikan

suasana yang saling percaya dan saling berbagi. Bahkan sebuah

sistem representasi data yang tidak dilengkapi oleh upaya untuk membangun rasa percaya pemakainya ini akan hanya menjadi penghambat bagi pengembangan KM, atau menghabiskan biaya besar yang sia-sia.

Sampai di sini barangkali akan timbul pertanyaan: bagaimana "kongkrit"-nya sistem KM dilihat dari sisi pandang kepustakawanan? Bagi banyak orang, "kongkrit" selalu dihubungkan dengan benda, terutama mesin, dan terutama lagi teknologi informasi atau komputer. Penulis berargumentasi bahwa "kongkrit" tidak selalu material. Tetapi sebelum memberikan alasannya, penulis ingin membahas dulu aspek teknologi (kongkrit) dari KM.

Teknologi untuk KM

Beckman (1999) meringkas perspektif teknologi untuk KM sebagai berikut: Knowledge repository, pada umumnya berupa database Direktori sumber Direktori sumberdaya pembelajaran Groupware Ditambah dengan "business model" yang dipengaruhi unsur: o Arsitektur TI o Platform TI (hardware) o Komunikasi o Interfaces o Software o User support

Sistem pakar merupakan salah satu teknologi andalan dalam KM, terutama melalui empat skema penerapan: (1) case-based reasoning (CBS) yang merupakan

representasi pengetahuan berdasarkan pengalaman, termasuk kasus dan solusinya, (2) rule-based reasoning (RBS) mengandalkan serangkaian rules yang merupakan representasi dari pengetahuan manusia dalam memecahkan kasus-kasus yang rumit, (3) model-based reasoning (MBR) melalui representasi pengetahuan dalam bentuk atribut, perilaku, antar-hubungan maupun simulasi proses terbentuknya pengetahuan, dan (4) constraint-satisfaction reasoing yang merupakan kombinasi dari RBS dan MBR.

Sepintas mungkin dapat dilihat bahwa tidak ada satu pun dari teknologi di atas, kecuali database, yang akrab dengan dunia kepustakawanan. Salah satu sebabnya adalah keengganan kepustakawanan dalam melangkah lebih jauh dari sekadar mengelola representasi data. Prinsip-prinsip interface dan user support, yang oleh Beckman di atas dianggap sebagai bagian dari "business model" untuk KM, tidak terlalu dikenal dalam kepustakawanan. Sistem pakar yang dikaitkan langsung dengan IR sebenarnya juga pernah coba dimasukkan kedalam kepustakawanan, tetapi tidak ditanggapi secara antusias.

Keengganan ini sebenarnya bukan ciri intrinsik kepustakawanan. Prinsip-prinsip layanan rujukan bisa dikatakan sebagai bentuk interface dan user support yang pertama kali ada dalam sebuah sistem yang berurusan dengan informasi dan pengetahuan. Boleh dikatakan, kepustakawanan sudah mengandung benih-benih

tetapi tampaknya luput menumbuh-kembangkan. Salah satu sebabnya, menurut penulis, adalah karena layanan rujukan lebih banyak berorientasi kepada menemukan dokumen katimbang membantu pemakai memecahkan masalah. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pandangan bahwa ketersediaan dokumen setara dengan ketersediaan informasi. Apalagi jika kemudian skema pengetahuan yang dipakai oleh petugas rujukan ketika menjalankan wawancara adalah skema kaku yang dipakai untuk mengklasifikasi dokumen atau representasi data.

Masalah kekakuan (rigidity) skema yang dipakai untuk menata representasi data sebenarnya bukan hanya masalah kepustakawanan, melainkan juga sudah diakui oleh para pengembang database. Berbagai upaya pendekatan dalam pengembangan database kini sangat memperhatikan keluwesan dalam re-interpretasi representasi data setelah ia ditemukan kembali lewat proses pencarian. Sebaliknya,

kepustakawanan kurang memperhatikan persoalan yang timbul dari perbedaan skema petugas rujukan dengan pengguna jasa. Bahkan ketika database mulai umum dipakai di perpustakaan pun, kepustakawanan tetap menganggap bahwa interface tidak problematik sehingga tidak perlu dipermasalahkan (dalam banyak hal,

kepustakawanan bahkan bersikeras memakai luaran tercetak katalog dari sebuah database management system).

Kesan bahwa kepustakawanan tidak kritis terhadap teknologi yang akhirnya diadopsi, sama kuatnya dengan kesan bahwa kepustakawanan enggan menerima teknologi baru. Di dalam paradigma KM, sikap seperti ini akan menimbulkan masalah. Terutama jika kita ingat bahwa KM bermaksud pula mengurus tacit knowledge (lawan dari explicit knowledge). Teknologi informasi yang telah selama ini dikembangkan adalah

teknologi yang lebih cocok untuk pengetahuan eksplisit yang oleh Nonaka dan Takeuchi dikatakan sebagai pengetahuan yang rasional, sequential, dan dengan

demikian bisa digital. Untuk bisa berurusan dengan tacit knowledge para pengembang teknologi tidak bisa hanya mengandalkan representasi data dari pengetahuan yang sudah menjadi eksplisit (misalnya dalam bentuk dokumen). Diperlukan pemahaman yang lebih dalam tentang cara kerja otak manusia berpindah-pindah dari tacit ke explicit tanpa kehilangan konteks dan konstruk pengetahuan.

Karena belum ada teknologi yang bisa meniru kecepatan dan keakuratan otak manusia dalam mengubah tacit menjadi explicit dan sebaliknya, maka teknologi yang sekarang ada hanya berhasil mengekstrasi representasi data pengetahuan eksplisit sambil mengorbankan fleksibilitas re-interpretasi. Sebab itulah, bantuan manusia (bukan bantuan mesin!) sangat dibutuhkan untuk mengkompensasi keterbatasan teknologi ini. Kepustakawanan memiliki potensi untuk memberi bantuan jika ia, pertama-tama dan terutama, bersikap kritis terhadap teknologi informasi yang tersedia dan mau melakukan eksplorasi terhadapnya secara terus menerus. Sikap ini bisa dimulai

dengan

memperluas

orientasi dari semata-mata menemukan dokumen (setelah

menyimpannya dengan baik) ke membantu memecahkan masalah. Dari orientasi ini akan timbul tuntutan kepada teknologi yang dapat mengakomodasi pengetahuan yang diperlukan untuk memahami representasi data yang tersimpan di dalam sistem.

Sampai di sini maka tulisan ini telah berputar penuh kembali ke isu utama, yakni perubahan paradigma dalam memandang data, informasi, dan pengetahuan. Penulis berharap uraian di atas cukup jelas mengetengahkan argumentasi pokok : bahwa kepustakawanan memiliki potensi untuk memberi kontribusi penting kepada

pengembangan KM, jika ia terlebih dahulu mengubah pandangannya tentang data, informasi dan pengetahuan, dan jika ia berhenti mengutamakan klasifikasi sebagai kegiatan intinya.

Implikasi dari argumentasi ini pada bidang pendidikan dan pelatihan adalah pada perubahan cukup mendasar dalam kurikulum dan orientasi pendidikan

kepustakawanan. Harus ada semakin banyak mata-ajaran tentang antar-hubungan manusia dalam konteks sistem yang berurusan dengan informasi dan pengetahuan. Juga harus ada upaya konsisten untuk menanamkan prinsip pengembangan sistem yang berorientasi kepada fleksibilitas, sebagai lawan dari sistem yang serba

terstandar, rigid, dan formal. Ini hanya bisa dilakukan jika social epistemology sebagaimana diusulkan Jesse Shera dikembalikan ke dalam kepustakawanan secara utuh.

Pembahasan yang lebih rinci tentang hal ini memerlukan diskusi yang berbeda. Sampai di sini penulis berharap agar tulisan di atas dapat menjadi picu bagi diskusi yang lebih dalam lagi tentang sumbangan dan peran kepustakawanan dalam pengembangan KM. Juga diharapkan, sikap untuk mau memberi kontribusi ini meletakkan kepustakawanan pada kedudukan yang lebih terhormat, katimbang hanya mengikuti perkembangan atau mengabaikannya.

Referensi:

Gupta, Anil K. dan Vijay Govindarajan (2000). Knowledge management's social dimension: lessons from Nucor Steel. Sloan Management Review, fall 2000, 71 - 80. Kwasnik, Barbara H. (1999). The role of classification in knowledge representation and discovery. Library Trends, 48 (1), 22 - 47. Olson, Hope A. (1998). Mapping beyond Dewey's boundaries: constructing

classificatory space for marginalized knowledge domains. Library Trends. 47 (2), 233 - 254. Tuomi, Ilkka (2000). Data is more than knowledge: implications of the reversed knowledge hierarchy for knowledge management and organizational memory. Journal of Management Information System, 16 (3), 103 - 117. Warner, Julian (2001). W(h)ither information sciences? Library Quarterly, 71 (2), 243 - 255).

También podría gustarte