Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Author : Hery Purnobasuki, Drs., M.Si., Ph.D. Abstract : oleh Hery Purnobasuki Staf Pengajar Biologi, FST Universitas Airlangga Wilayah pesisir merupakan habitat utama dari hutan mangrove di Indonesia. Wilayah ini dikenal sarat dengan keindahan dan sekaligus konflik kepentingan, sehingga ekosistem di wilayah tersebut menghadapi berbagai ancaman dan masalah perusakan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, seperti pekerjaan reklamasi pantai, pengeboman dan peracunan terumbu karang, pembangunan perumahan, jembatan penghubung antar pulau, pembangunan dermaga, pencemaran limbah rumah tangga dan industri, penebangan dan konversi mangrove menjadi lahan pertanian, tambak, kolam ikan, daerah industri dan sebagainya, sehingga menghilangkan sebagian besar mangrove, terutama di negara tropis, seperti Indonesia. Hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh kepulauan di Indonesia di 30 provinsi yang ada. Tetapi sebagian besar terkonsentrasi di Papua, Kalimantan (Timur dan Selatan) Riau dan Sumatera Selatan.Meskipun wilayah hutan mangrove yang luas ditemukan di 5 provinsi seperti tersebut di atas, namun wilayah blok mangrove yang terluas di dunia tidak terdapat di Indonesia, melainkan di hutan mangrove Sundarbans (660.000 ha) yang terletak di Teluk Bengal, Bangladesh. Hutan mangrove di Indonesia berada dalam ancaman serius dan terus meningkat dari berbagai pembangunan, diantara yang utama adalah pembangunan yang cepat yang terdapat di seluruh wilayah pesisir yang secara ekonomi vital. Konsevasi kemanfaatan lain seperti untuk budidaya perairan, infrastruktur pantai termasuk pelabuhan, industri, pembangunan tempat perdagangan dan perumahan, serta pertanian, adalah penyebab berkurangnya sumber daya mangrove dan beban berat bagi hutan mangrove yang ada. Selain ancaman yang langsung ditujukan pada mangrove melalui pembangunan tersebut, ternyata sumber daya mangrove rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya. Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan DAS yang serampangan, dan meningkatnya pencemar hasil industri dan domestik (rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hidrologi. Hasil yang terjadi dari erosi tanah yang parah dan meningkatnya kuantitas serta kecepatan sedimen yang diendapkan di lingkungan mangrove adalah kematian masal (dieback) mangrove yang tidak terhindarkan lagi karena lentisel-nya tersumbat oleh sedimen tersebut. Polusi dari limbah cair dan limbah padat berpengaruh serius pada perkecambahan dan pertumbuhan mangrove. Ancaman langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa tahun yang lalu, yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen , dan akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkalai. Di seluruh Indonesia ancaman terhadap mangrove yang diakibatkan oleh eksploitasi produk kayu sangat beragam, tetapi secar keseluruhan biasanya terjadi karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH atau industri pembuat arang seperti di Sumatera dan Kalimantan. Kayu-kayu mangrove sangat jarang yang berkualitas tinggi untuk bahan bangunan. Kayu-kayu mangrove tersebut biasanya dibuat untuk chip (bahan baku kertas) atau bahan baku pembuat arang untuk diekspor keluar negeri. Pada umumnya jenis-jenis magrove dimanfaatkan secara lokal untuk kayu bakar dan bahan bangunan lokal. Komoditas utama kayu mangrove untuk diperdagangkan secara internasional adalah arang yang berasal dari
Page 1
Page 2
4.Rehabilitasi Secara umum ekosistim mangrove cukup tahan terhadap berbagai gangguan dan tekanan lingkungan. Namun sangat dipengaruhi oleh pengendapan atau sedimentasi, ketinggian rata-rata permukaan laut dan pencemaran perairan itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya penurunan oksigen dengan cepat yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan. Secara umum dengan kondisi semakin rusaknya mangrove, maka sangat diperlukan upaya pemulihan atau rehabilitasi agar mangrove dapat hijau dan lestari kembali. Usaha penghijauan atau reboisasi hutan mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah berulangkali dilakukan. Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kelautan dan Perikanan, maupun Departemen Kehutanan bahkan dari Pemda setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Mengapa hasilnya kurang memuaskan? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove dan masyarakat masih cenderungd ijadikan obyek dan bukan subyek dalam upaya pembangunan. Untuk itu perlu pelibatan masyarakat setempat agar lebih tepat sasaran. Dengan memberdayakan potensi masyarakat pesisir, tentunya masyarakat juga merasa bertanggung jawab. Artinya masyarakat merasa ikut memiliki (tumbuh sense of belonging) hutan mangrove yang telah mereka rehabilitasi tersebut. Begitu pula, seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar, maka masyarakat juga merasa harus mengawasinya, sehingga mereka dapat mengawasi apabila ada yang ingin mengambil atau memotong hutan mangrove hasil rehabilitasi tersebut secara leluasa. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai kuli, melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa ikut merencanakan penanaman dan lain-lain. Masyarakat merasa mempunyai andil dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan sebagai kuli lagi melainkan ikut memilikinya. Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dengan penekanan pada pemberdayaan masyarakat setempat ini biasa dikenal dengan istilah pendekatan bottom- up. 5.Konservasi Banyak arti konservasi yang telah dijabarkan dan diuraikan berbagai kalangan dan ahli konservasi. Konservasi dapat diartikan sebagai "perlindungan terhadap", baik itu terhadap hutan, kawasan pesisir maupun laut. Ada pula yang mengartikan bahwa kawasan konservasi adalah kawasan yang tidak boleh samasekali di ganggu. Kini arti konservasi mulai digeserkan kembali dalam arti " perlindungan, pengawetan maupun pemanfaatan". Dalam kasus kawasan mangrove, maka hal ini belum berlaku secara optimal. Penebangan liar dan pembukaan lahan yang tidak terkontrol dapat mengancam kelestarian mangrove dan ekosistemnya. Program pembangunan kehutanan di kawasan pantai harus mempertimbangkan aspek-aspek
Page 3
Dengan adanya tindakan atau langkah-langkah strategis tersebut di atas diharapkan paling tidak dapat
Page 4
Page 5