Está en la página 1de 15

Tokoh-tokoh Filsafat Islam dan Tasawuf Klasik Oleh : Ferry Djajaprana

A. Tokoh Filsafat Islam, diantranya adalah : 1. Al Ghazali, 2. Al Farabi, dan 3. Ibn Sina

1. Al Ghazali : Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, lahir di Thus, Persi, 1059. karyakaryanya diantaranya adalah Maqasid al Falasifa (Maksud Filsafat) dan Tahasut Al Falasifa (kerancuan filsafat) karya ini menyerang secara sarkasme terhadap filosof. Latar belakangnya adalah kecenderungan para filsafat menjadi pemikir bebas yang cenderung menolak paham Islam dan mengabaikan dasar ritual ibadat yang menurut mereka tidak pantas bagi pencapaian intelektual. Tahun 1095 Al Ghazali mengalami krisis pribadi, kemudian keluar dari jabatan guru besar sebagian menyebut beliau adalah Rektor Universitas dan meninggalkan Baghdad, kemudian menjalani hidup Sufi dan merantau ke Damaskus, Kairo, Mekah dan Madinah. Setelah berhasil mengatasi krisis, mulai menulis karya Sufistik -Ihya Ulum Al Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), ini adalah kitab moral terbesar dan karya Master Piece-nya. Al Ghazali walaupun Sufi dari literatur tidak tercatat bahwa beliau merupakan anggota salah satu tarekat. Ada tharekat Al Ghazaliyah.. didirikan oleh pengikutnya bukan didirikan oleh Al Ghazali sendiri secara langsung. Al Ghazali dianggap para sarjana latin seperti AL Farabi dan Ibnu Sina sebagai filosof peri-patetik dan Neo Platonis.

2. Al Farabi Al Farabi adalah filosof terbesar muslim Neo Platonis pertama yang besar dan dijuluki guru kedua (al Muallim Al Tsani) wafat. 950 M. Guru pertAmanya adalah Aristoteles (Al Muallim Al Awwal). Menurut Ibna Sina, bahwa Al Farabilah yang membantu Ibnu Sina memahami ajaran metafisika Aristoteles. Al Farabi lahir di Desa Wasij wilayah Farab - Persia, tahun 870M. Al Farabi juga disebut-sebut sebagai musikus handal. Kitabmusik karyanya Buku Besar Tentang Musik (Kitab Al Musiq Kabir).

3. Ibn Sina Ibn Sina (980-1037), Ibn Sina adalah filosof dan ahli kedokteran. Sepeti filosof lain pada jamannya ia percaya bahwa manusia punya tubuh dan jiwa. Ibn Sina membagi tiga bagian jiwa manusia : Jiwa alami (nabati), jiwa hewani (hayawani) dan jiwa rasional, Tiap bagiannya mempunyai tujuannya (entelechy) masing-masing dan mengatur daya-daya yang melakukan khusus. Buku-buku karangan Ibn Sina kebanyakan tentang ilmu kedokteran diantaranya yang populer : Al Qanun fi al Tibb (buku kedokteran ditulis 14 jilid, ditulis saat usia 16 tahun).

B. Tokoh-tokoh Ilmu Tasawuf : Contohnya, diantaranya adalah :

1. Ibn Athaillah as Sakandary 2. Al Muhasibi 3. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani 4. Al Hallaj

1. Ibn Athaillah as Sakandary Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M), dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya Al Hikam, kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan.

2. Al Muhasibi Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di Basrah. Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan spiritual.

3. Abdul Qadir Al Jilani Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166) adalah seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak.

Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai Ghauts Al Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang paling populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban).

Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling pertama berdiri.

4. Al Hallaj Nama lengkapnya Husayn Ibn Mansyur Al Hallaj (857-932), seorang Sufi Persia dilahirkan di Thus yang dituduh Musyrik oleh khalifah dan oleh para pakar Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya dia dihukum mati.

Al Hallaj pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di Al Tutsari, kemudian berganti guru pada Syeikh Al Makki, kemudian mencoba bergabung menjadi murid Al Junaed Al Baghdadi, tetapi ditolak.

Al Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari masalah ini Al Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau terwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid " Al Abd yahqa al Abd al Rabb Yahqa al Rabb" artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap menjadi Tuhan".

Pada jamannya Al Hallaj dianggap musrik, akan tetapi setelah kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj disebut sebagai martir atau syahid. Sampai sekarang Al Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri karena masih pro dan kontra.

MediaMuslim.Info Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy Syaibani. Beliau lahir di kota Baghdad pada bulan rabiul Awwal tahun 164 H (780 M), pada masa Khalifah Muhammad al Mahdi dari Bani abbasiyyah ke III. Nasab beliau yaitu Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hajyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzahal Tsalabah bin akabah bin Shaab bin Ali bin bakar bin Muhammad bin Wail bin Qasith bin Afshy bin Damy bin Jadlah bin Asad bin Rabiah bin Nizar bin Maad bin Adnan. Jadi beliau serumpun dengan Nabi karena yang menurunkan Nabi adalah Muzhar bin Nizar.Menurut sejarah beliau lebih dikenal dengan Ibnu Hanbal (nisbah bagi kakeknya). Dan setelah mempunyai beberapa orang putra yang diantaranya bernama Abdullah, beliau lebih sering dipanggil Abu Abdullah. Akan tetapi, berkenaan dengan madzabnya, maka kaum muslimin lebih menyebutnya sebagai madzab Hanbali dan sama sekali tidak menisbahkannya dengan kunyah tersebut.

Sejak kecil, Imam Ahmad kendati dalam keadaan yatim dan miskin, namun berkat bimbingan ibunya yang shalihah beliau mampu menjadi manusia yang teramat cinta pada ilmu, kebaikan dan kebenaran. Dalam suasana serba kekurangan, tekad beliau dalam menuntut ilmu tidak pernah berkurang. Bahkan sekalipun beliau sudah menjadi imam, pekerjaan menuntut ilmu dan mendatangi guru-guru yang lebih alim tidak pernah berhenti. Melihat hal tersebut, ada orang bertanya, Sampai kapan engkau berhenti dari mencari ilmu, padahal engkau sekarang sudah mencapai kedudukan yang tinggi dan telah pula menjadi imam bagi kaum muslimin ? Maka beliau menjawab, Beserta tinta sampai liang lahat.

Beliau menuntut ilmu dari banyak guru yang terkenal dan ahli di bidangnya. Misalnya dari kalangan ahli hadits adalah Yahya bin Said al Qathan, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, sufyan bin Uyainah dan Abu Dawud ath Thayalisi. Dari kalangan ahli fiqh adalah Waki bin Jarah, Muhammad bin Idris asy Syafii dan Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah ) dll. dalam ilmu hadits, beliau mampu menghafal sejuta hadits bersama sanad dan hal ikhwal perawinya.

Meskipun Imam Ahmad seorang yang kekurangan, namun beliau sangat memelihara kehormatan dirinya. Bahkan dalam keadaan tersebut, beliau senantiasa berusaha menolong dan tangannya selalu di atas. Beliau tidak pernah gusar hatinya untuk mendermakan sesuatu yang dimiliki satu-satunya pada hari itu. Disamping itu, beliau terkenal sebagai seorang yang zuhud dn wara. Bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan serta menyibukkan diri dengan dzikir dan membaca Al Quran atau menghabiskn seluruh usianya untuk membersihkan agama dan mengikisnya dari kotoran-kotoran bidah dan pikiran-pikiran yang sesat.

Salah satu karya besar beliau adalah Al Musnad yang memuat empat puluh ribu hadits. Disamping beliau mengatakannya sebagai kumpulan hadits-hadits shahih dan layak dijadikan hujjah, karya tersebut juga mendapat pengakuan yang hebat dari para ahli hadits. Selain al Musnad karya beliau yang lain adalah : Tafsir al Quran, An Nasikh wa al Mansukh, Al Muqaddam wa Al Muakhar fi al Quran, Jawabat al Quran, At Tarih, Al Manasik Al Kabir, Al Manasik Ash Shaghir, Thaatu Rasul, Al Ilal, Al Wara dan Ash Shalah.

Ujian dan tantangan yang dihadapi Imam Ahmad adalah hempasan badai filsafat atau pahampaham Mutazilah yang sudah merasuk di kalangan penguasa, tepatnya di masa al Makmun dengan idenya atas kemakhlukan al Quran. Sekalipun Imam Ahmad sadar akan bahaya yang segera menimpanya, namun beliau tetap gigih mempertahankan pendirian dan mematahkan hujjah kaum Mutazilah serta mengingatkan akan bahaya filsafat terhadap kemurnian agama. Beliau berkata tegas pada sultan bahwa al Quran bukanlah makhluk, sehingga beliau diseret ke penjara. Beliau berada di penjara selama tiga periode kekhlifahan yaitu al Makmun, al Mutashim dan terakhir al Watsiq. Setelah al Watsiq tiada, diganti oleh al Mutawakkil yang arif dan bijaksana dan Imam Ahmad pun dibebaskan.

Imam Ahmad lama mendekam dalam penjara dan dikucilkan dari masyarakat, namun berkat keteguhan dan kesabarannya selain mendapat penghargaan dari sultan juga memperoleh keharuman atas namanya. Ajarannya makin banyak diikuti orang dan madzabnya tersebar di seputar Irak dan Syam. Tidak lama kemudian beliau meninggal karena rasa sakit dan luka yang dibawanya dari penjara semakin parah dan memburuk. Beliau wafat pada 12 Rabiul Awwal 241 H (855). Pada hari itu tidak kurang dari 130.000 Muslimin yang hendak menshalatkannya dan 10.000 orang Yahudi dan Nashrani yang masuk Islam. Menurut sejarah belum pernah terjadi jenazah dishalatkan orang sebanyak itu kecuali Ibnu Taimiyah dan Ahmad bin Hanbal. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat atas keduanya. Amin.

I. PENDAHULUAN

Seperti yang telah kita ketahui bahwa Islam sangat berpengaruh terhadap setiap orang yang hidup di wilayah muslim, sehingga Islam merupakan suatu warisan tersendiri yang sangat berarti. Prinsip-prinsip ajaran Islam telah mewarnai kehidupan sosial sepanjang sejarah dan ke seluruh pelosok dunia. Islam terus menerus berhasil mengemban misi pengentasan bagi persoalan hidup manusia semenjak masyarakat Islam pertama kali di Madinah dibawah pimpinan Rasulullah SAW.

Setelah Rasulullah wafat, sekelompok sahabat yang mengetahui fiqh dan ilmu serta lama menemani Rasulullah dan faham akan al-Quran dan hukum-hukumnya dihadapkan untuk memberikan fatwa dan membentuk hukum untuk kaum muslimin. Karena penyebaran Islam ini tidak hanya melalui penaklukan ke daerah-daerah saja, tetapi juga perlu adanya jerih payah dari tangan para ulama dan fuqoha untuk menyebarkan ajaran dan prinsip agama Islam.

Dan penyiaran ajaran Islam oleh para mubalighin akan selalu bertalian erat dengan para pakar-pakar mazhab dalam al-Fiqhul Islamy. Sehingga tidak layak bagi kita bila tidak mencoba mengungkap bagaimana para pakar mazhab mengawali dawatul Islam.

Kemudian, pada makalah ini kami mencoba menguraikan tentang imam mazhab keempat yakni Imam Ahmad bin Hanbal, yang biasa dikenal oleh masyarakat luas sebagai seseorang yang ahli di bidang ilmu fiqh dan sekaligus juga seorang ilmuwan hadist. Bagaimana tentang kehidupan sosial, budaya serta politik pada masa beliau dan juga tentang istinbat-istinbat hukum yang dipakainya untuk memecahkan masalah kemanusiaan.

II. PEMBAHASAN

1. Biografi Ahmad bin Hanbal

Nama lengkap Ahmad bin Hanbal ialah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syalban. Panggilan sehari-harinya Abu

Abdullah. Ahmad bin Hanbal dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 Hijriah (780 Masehi). Ayahnya menjabat sebagi walikota Sarkhas dan pendukung pemerintahan Abbasiyah. Menurut satu riwayat, ayahandanya yang bernama Muhammad asy-Syalbani telah meninggalkan beliau sebelum dilahirkan ke dunia fana ini. Sehingga beliau tumbuh remaja hanya dalam asuhan ibundanya, Syafiyah binti Maimunah seorang wanita dari golongan terkemuka kaum Banu Amir.

Imam Ahmad adalah seorang zuhud, bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan. Beliau juga dikenal seorang yang pendiam tetapi beliau tertarik untuk selalu berdiskusi dan tidak segan meralat pendapatnya sendiri apabila jelas bahwa pendapat orang lain lebih benar. Beliau adalah orang yang berwawasan luas, ulama yang sangat dalam pemahamannya terhadap ruh syariat. Selama hayatnya, Imam Ahmad cinta sekali kepada sunnah Rasulullah SAW, sehingga mendorongnya untuk banyak meniru Rasulullah dalam segala urusan agama dan dunia. Beliau tidak hafal satu hadispun kecuali mengamalkannya.[1] Sehingga ada suatu kalangan yang lebih melihat beliau sebagai seorang ilmuwan hadist daripada ilmuwan fiqh.

Sebagian fuqoha berkata tentang beliau, Ahmad menguasai seluruh ilmu. Selain itu Imam Syafii selaku gurunya juga mengungkapkan, ketika saya meninggalkan Baghdad, disana tidak ada orang yang lebih pandai dibidang fiqih dan lebih alim ketimbang Ahmad bin Hanbal.

2. Setting Sosial-Budaya Pada Masa Imam Hanbali

Ketika menginjak masa muda, Ahmad melihat kehidupan orang-orang disekitarnya sangat mengagumkan. Namun semaraknya bidah telah mengancam sunnah. Orang yang berpendidikan telah mencelakakan orang yang tidak tahu, para penimbun harta kenyang dengan emas dan perak timbunannya, tetapi mereka tidak tahu bagaimana mereka akan membelanjakannya. Tidak jarang pula mereka terjerumus dalam kemunafikan dan kejahatan. Kata-kata rayuan dan penipuan telah mengelabuhi manusia hingga mereka meninggalkan kesejahteraan hidup yang dihalalkan, yang biasa disebut wara atau zuhud.[2]

Ahmad yang sejak kecil hafal al-Quran, memahami hukum-hukumnya, dan mempelajari ilmu hadist untuk berhadapan dengan kehidupan dunia yang demikian parah. Apapun yang beliau lakukan tidak lain adalah untuk menunjukkan bahwa beliau membenci kehidupan dunia seperti itu. Beliau menamakan semua itu dengan bidah dan bernazar untuk

meluruskannya dan menghidupkan sunnah Rasulullah SAW. Namun sebagian masyarakat menuduhnya sebagai orang yang mempersulit pelaksanaan agama.

Imam Ahmad yang hidup dimasa penuh dengan bidah dan agama ditawar-tawar sehingga menggoyangkan sendi-sendinya, karena itu beliau memutuskan untuk selalu berpegang pada al-Quran dengan sekuat-kuatnya.[3] Ahmad tertuntut untuk mencari jalan bagi pembebasan diri dan bersikap keras dalam menegakkan kebenaran serta membebaskan orang-orang yang menjadi hamba bagi kondisi mereka. Alangkah jeleknya kondisi waktu itu!

Yang mulia Imam Hambali selaku seorang alim besar dari ahli sunnah, senantiasa bersikap keras akan urusan bidah dan orang yang ahli bidah, sebagai buktinya ditunjukkan pada :

a. Beliau pernah berkata : pokok pangkal sunnah itu bagi saya ialah memegang teguh dan mengikut dengan kokohnya kepada apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi, dan menjauhi atau meninggalkan perbuatan bidah, karena tiap-tiap bidah di dalam urusan agama itu sesat. Jadi, sudah cukup jelas bahwa segala perbuatan bidah yang bertalian dengan urusan ibadah itu sesat, dan tiap-tiap kesesatan itu di dalam nerakalah tempat kembalinya.

b. Beliau juga pernah berkata : janganlah kamu bertukar fikiran dengan orang ahli bidah di dalam urusan agamamu, dan janganlah kamu berkawan dengan seorangpun dengan mereka itu di dalam pelayanmu.[4]

Sehingga sudahlah jelas akan sikap Imam Hambali atas bidah itu sendiri dan juga orangorang yang termasuk dalam ahli bidah.

3. Kehidupan Politik Pada Masa Imam Hanbali

Ahmad bin Hanbal mengetahui bahwa yang paling mengundang kemarahan para penguasa bani Abbas adalah penyebaran fiqh Ali bin Abi Thalib. Keturunannya berkali-kali mengadakan pemberontakan terhadap para khalifah yang berbuat aniaya dari Bani Umayyah, juga terhadap para khalifah Bani Abbas. Hal inilah yang mengakibatkan timbulnya berbagai peperangan besar. Fiqih Imam Ali dan keputusan-keputusannya hanya dihafal oleh sejumlah kecil ulama, terutama dari kalangan syiah.

Kemudian setelah Bani Abbas merasa khawatir terhadap fiqih Ali, maka itu dipergunakan oleh para penentang fiqih Imam Ali untuk mengkritiknya. Hingga akhirnya Bani Abbas tidak tahan menghadapi pertentangan tersebut, dan bila ada orang yang datang menyampaikan pengaduan, kritikan, atau rintangan, maka pasti akan merasakan tajamnya pedang para algojo atau lidahnya membisu dibalik tembok penjara.[5]

Namun demikian, Imam Ahmad tidak bisa bersikap masa bodoh terhadap perilaku tersebut. Imam Ahmad mencari fiqih dan keputusan para Khulafaur Rasyidin, kemudian beliau mulai menyiarkan dan mempersaksikannya. Imam Ahmad tidak ingin berpolitik tetapi mulai hanya berpendapat wajib mentaati khalifah meskipun mereka menyimpang. Sebab, menurut beliau, taat kepada penguasa yang menyimpang itu lebih baik ketimbang fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang berbuat aniaya saja. Akan tetapi bukan berarti mendiamkan saja khalifah yang zalim. Dan menasehatinya akan lebih baik daripada memberontaknya.[6]

Ahmad bin Hanbal tidak menerjunkan dirinya langsung dalam kancah konflik politik yang menyala-nyala. Akan tetapi, beliau berpendapat dengan sesuatu yang beliau yakni kebenarannya dalam rangka mengikuti sunnah bagaimanapun caranya mencapai pendapat tersebut, karena beliau adalah orang yang paling ingin meniru Rasulullah SAW. Beliau berkata Ahli hadist adalah orang yang mengamalkannya.

Sepanjang riwayat, ketia yang mulai Imam Syafii diminta oleh baginda harun al-Rasyid untuk mencari ahli hukum dan yang berilmu pengethuan dalm pusat pemerintahannya, maka Imam Syafii menunjuk Imam Hanabli untuk mendudukinya. Namun, berulang kali dan secara tegas Imam Hanbali berkata : Saya datang kepada engkau ini hendak menuntut ilmu pengetahuan, bukan hendak mencari kedudukan atau pangkat disisi kepala negara.[7] Meskipun demikian, Imam Ahmad tidak dapat menjauh dari politik, karena politik selalu menyertai kehidupan dan politik juga mengantarkan manusia mendekati kemaslahatan dan menjauhi kerusakan.

Begitu juga ketika aliran Mutazilah menguasai pemerintahan Mamun bin Harun al-Rasyid yang membaca ajaran tentang kemahlukan al-Quran, kebijakan ini mendapat reaksi keras dari para ahli fiqih aliran ahlussunah terutama Imam Ahmad. Tetapi, kebijakan politik oleh penguasa Khalifah Mamun dan Mutashim tidak mampu menyurutkan dan merubah pendiriannya, meskipun beliau mendapat penyiksaan keras dari mereka. Bahkan semakin keras penyiksaan itu, semakin kuat pula pendiriannya. Hingga akhirnya, muncullah seorang khalifah baru berpaham Ahlussunah yang berhasil membasmi para pengikut aliran Mutazilah.[8]

4. Wacana Keilmuwan Yang Digunakan

Dalam pesantrennya setiap selesai sholat ashar, Imam Ahmad membiasakan memberi fatwa dan bersama dengan peserta pesantrennya menyebutkan diri dengan apa yang dilakukan oleh para ulama salaf dalam pesantren mereka, yaitu pengkajian al-Quran dan tafsirnya. Beliau mengajukan bahwa ayat al-Quran itu ditafsirkan oleh sebagian yang lain oleh sebagian yang lain atau oleh hadits dan atsar para sahabat. Beliau lebih menekankan pada pesantrennya untuk menetapkan pengetahuan di bidang bahasa arab, sastra dan ilmu bahasanya agar mereka dapat memahami al-Quran dan hadits dengan mudah.

Adapun ilmu-ilmu lainnya yang tersebar dimasa Imam Ahad adalah tentang perbincangan masalah akidah. Sebagian para pemikir dan fuqaha juga pernah mambahas tentang Jabr dan ikhtiar. Sementara yang lainnya lagi berpendapat bahwa tindakan-tindakan dan sifat Allah yang dapat ditangkap dengan panca indra haruslah ditakwilkan dari maknanya yang lain. Mereka memperpanjang dan membicarakan semua itu dengan ilmu kalam.[9]

5. Metode Istinbat Hukum

Telah kita kenal bahwasanya Ahmad bin Hambal dikenal luas sebagai pembela hadits Nabi yang gigih. Hal ini dapat dilihat dari cara-cara yang digunakannya dalam memutuskan hukum. Ia tidak suka menggunakan akal, kecuali dalam keadaan sangat terpaksa atau sangat perlu dan sebatas tidak ditentukan hadits yang menjelaskannya.

Ibn Hanbal sangat berhati-hati tentang riwayat hadits, karena hadits sebagai dasar tidak akan didapatkan faedahnya tanpa memiliki riwayatnya. Dalam hal ini beliau berkata-kata Barangsiapa yang tidak mengumpulkan hadits dengan riwayatnya serta pembedaan pendapat mengenainya, tidak boleh memberikan penilaian tentang hadits tersebut dan berfatwa berdasarkannya.[10]

Kemudian, tentang dasar-dasar yang dipakai Ahmad bin Hanbal dalam memutuskan hukum, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gurunya, Imam Syafii, yang didasarkan atas lima hal :

Nash al-Quran dan Hadits Marfu

Selama ada teks ini, Ahmad pasti akan memutuskannya berdasarkan teks tersbut, meskipun ada dasar lain.

Fatwa para sahabat Nabi

Apabila beliau tidak mendapatkan suatu nash terang, baik dari al-Quran maupun sunnah, barulah menggunakan fatwa dari sahabat yang dirasa tidak ada fatwa lain yang menandinginya. Katanya itu bukanlah ijma. Fatwa sahabat didahulukan daripada akal atau qiyas.

Apabila terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat, maka beliau Mengambil pendapat yang lebih dekat dengan bunyi teks al-Quran atau hadits dan tidak akan mencari yang lainnya. Akan tetapi bila semuanya tidak jelas, maka beliau tidak akan mengambil kesimpulan apapun.

Hadits Mursal dan Hadits Dhaif

Jalan ini diambil bila tidak dijumpai hadits lain yang setingkat. Hadits dhaif menurutnya ialah yang tidak batil atau tidak munkar, atau yang didalamnya tidak terdapat perawi yang muttaham, karena beliau memadang bahwa hadits dhoif yang bertingkatan tidak sampai ketingkat shahit, tetapi termasuk dalam hadits hasan itu lebih kuat dan lebih baik daripada qiyas.

Qiyas

Beliau menggunakan qiyas bila sudah dalam keadaan terpaksa karena tidak didapatkan dalam hadits mursal ataupun dhaif dan juga fatwa para sahabat.[11]

Tentang ijma, pendirian Imam Hanbali ini sebenarnya tiak berbeda dengan pendirian Imam Syafii, karena Imam Syafii sendiri pernah berkata Barang apa yang belum diketahui ada perselisihan di dalamnya itu belum atau bukan ijma namanya. Sedangkan Imam hanbali berpendapat bahwa ijma tidak diakui keberadaannya setelah periode sahabat. Beliau berkata,

apa yang dituduh oleh seseorang tentang ijma adalah dusta. Beliau bukannya tidak mengakui ijma setelah periode sahabat, tetapi tidak memungkinkan akan terjadinya. Karena itu beliau lebih berpegang pada qiyas setelah teks al-Quran, sunnah dan atsar sahabat.

Kemudian pendirian Imam Hanbali terdapat rayi dan ahli rayi dalam hukum keagamaan, tidak berbeda dengan para imam ahli hadits seperti Imam Maliki, Imam Syafii, dan lainnya, yakni hukum agama tidak selayaknya dan tidak pada tempatnya jika hanya bersandar atas pendapat dari buah fikiran orang yang tidak pada tempatnya jika hanya bersandar atas dalil atau alasan dari al-Quran ataupun sunnah.[12]

Imam Hanbali bukan seorang yang fanatik akan pendapt yang sampai padanya. Sehinga beliau sering melarang penulis fiqih yang diajarkannya, karena seringnya berubah pandangan. Beliau khawatir bila fiqih dibukukan, maka hukum-hukum syariat akan beku dan taklid akan merajalela sepanjang masa. Sedang fiqih seyogyanya selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman.

6. Sekilas Tentang Mazhab Hanbali

Untuk sekedar diketahui, bahwa mazhab Imam Hanbali ini mazhab yang kurang berkembang di dunia Islam. Mula mazhabnya hanya berkermbang di Bagdad, tempat kediaman Imam Hanbali. Hingga abad IV H, mazhab inipun belum merambah di negara Mesir, tetapi baru sampai pada perbatasan Irak. Dan baru pada akhir abad VI Hijriah, mazhab Hanbali terdengar beritanya di Mesir. Kemudian, dengan usaha gigih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayim, mazhab ini menjadi lebih berkembang lagi dan di abad 12 H dengan kesungguhan Muhammad ibn Abdil Wahhab Mazhab Hanbali menjadi mazhab penduduk Najed. Dan sekarang resmi di pemerintahan Saudi Arabia dan memiliki pengikut terbesar di Jazirah Arab, Palestina, Syria, Irak.[13]

III. KESIMPULAN

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka kita dapat mengetahui bahwasanya Ahmad Ibnu Hanbal merupakan seorang ilmuwan hukum yang relatif paling tektual dalam memahami alQuran dan sunah. Akan kecintaan beliau kepada sunnah dan hadits Nabi, sehingga tidak heran bila ada suatu golongan yang menyebutnya sebagai ilmuwan hadits daripada ilmuwan

fiqih. Sebagai pembela hadits Nabi yang sangat gigih dapat dilihat dari cara-cara yang digunakan dalam memutuskan hukum, yakni tidak menggunakan akal kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.

Fatwa-fatwa Ahmad bin hanbal didasarkan atas 5 hal :

Nash Al-Quran dan Hadits Marfu

Fatwa para sahabat

Bila ada perselisihan diambil yang paling dekat dengan nash al-Quran atau hadits

Hadits Mursal dan hadits Dhaif

Qiyas

DAFTAR PUSTAKA

Khalil, K.H. Munawar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Bulan Bintang, Jakarta, 1983.

Asy-Syarqawi Abdurrahman, Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka, Al-Bayan, Bandung, 1994.

Mushtofa Al-Maraghi Abdullah, Pakar-Pakar Fiqh Sepajang Sejarah, LKPSM, Yogyakarta, 2001.

Munawir Imam, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985.

Ash-Shiddieqy, Hasbi, Prof. Dr. TM, Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta, 1978.

[1] Abdurrahman Asy-Syarqawi, 5 Imam Mazhab Terkemuka, al-Bayan, Bandung, 1994, hlm 148.

[2] Ibid, hlm. 140.

[3] Ibid, 142.

[4] K.H. Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hlm. 290.

[5] Abdurrahman asy-Syarqawi, Op. Cit, hlm. 153-154.

[6] Ibid.

[7] K.H. Munawar Khalil, Op.Cit, hlm. 265.

[8] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, LKPSM, Yogyakarta, 2001, hlm. 105-106.

[9] Abdurrahman asy-Syarqawi, Op. Cit, hlm. 168-169.

[10] Imam Munawir, Mengenal pribadi 30 pendekar dan pemikiran Islam Dari masa Ke Masa, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985, hlm. 295-296.

[11] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Op.Cit, hlm. 108.

[12] K.H. Munawar, Khalil, Op.Cit, hlm. 291.

También podría gustarte