Está en la página 1de 14

ABORTUS BERULANG (Recurrent Pregnancy Loss)

PENDAHULUAN Abortus adalah penghentian kehamilan baik secara spontan maupun disengaja, sebelum janin berkembang dan dapat bertahan hidup. Secara konvensi, abortus pada umumnya digambarkan sebagai penghentian kehamilan sebelum kehamilan 20 minggu atau berat bayi kurang dari 500gram. Banyak variabel berbeda yang berlaku pada aborsi dan sejumlah definisi diperlukan untuk hal tersebut. Jika mengacu pada definisi abortus secara spontan, maka ditetapkan: Early abortion terjadi pada kehamilan 12minggu. Late abortion terjadi pada kehamilan antara 12 hingga 20 minggu. Threatened abortion mengacu pada perdarahan intrauterin pada kehamilan 20 minggu dengan atau tanpa kontraksi uterus, tanpa dilatasi serviks, dan tanpa pengeluaran hasil konsepsi. Selain itu gambrana USG harus menunjukkan adanya tanda kehidupan dari janin. (1) Recurrent Pregnancy Loss atau abortus berulang, didefinisikan menurut kriteria jumlah dan urutan. Aborsi berulang dalam definisi umum, mengacu pada tiga atau lebih aborsi spontan yang terjadi secara berturut-turut. Prognosis untuk kehamilan berikutnya pada seorang wanita berkorelasi dengan jumlah aborsi sebelumnya. Risiko untuk aborsi spontan untuk pertama kalinya adalah sekitar 15%, dan risiko ini setidaknya dua kali lipat pada wanita yang mengalami aborsi berulang. Teori populer pada 1930-an dan 1940-an menyatakan bahwa risiko untuk aborsi spontan pada kehamilan selanjutnya meningkat secara progresif dengan setiap terjadi abortus secara berturut-turut. Perhitungan berdasarkan Malpas dan kemudian oleh Eastman menyatakan bahwa 3 kali aborsi berturut-turut menunjukkan kecenderungan meningkatnya resiko aborsi pada kehamilan selanjutnya hingga 73-84,%. (2,3,4)

ETIOLOGI I. Kelainan genetik Abnormalitas kromosom parental Berdasarkan teknik banding Geisma yang konvensional, sebuah abnormalitas struktur kromosom orang tua teridentifikasi dalam 3-5% pasangan yang menderita abortus berulang. Abnormalitas yang paling sering adalah translokasi balanced atau reciprocal. Sementara pembawa dari translokasi balanced reciprocal secara fenotip normal, segregasi yang abnormal pada meiosis menyebabkan gamet mereka antara 50 dan 70% dan embrionya menjadi tidak seimbang. Perempuan dua kali lipat lebih banyak daripada laki-laki teridentifikasi sebagai pembawa abnormalitas kromosom struktural. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan oleh abnormalitas struktural pada laki-laki lebih terkait dengan sterilitas. Sementara itu translokasi telah dilaporkan untuk semua kromosom dalam berbagai macam kombinasi, angka keguguran klinis dan hasil kehamilan yang selanjutnya belum pernah dilaporkan. (5) Pada translokasi balanced reciprocal bagian dari dua autosom yang berbeda terjadi translokasi (tertukar). Pada translokasi balanced Robertsonian, dua sentrometer dari dua kromosom akrosentrik bergabung menjadi bentuk kromosom tunggal yang terdiri dari lengan panjang dari dua kromosom yang terpengaruh; lengan yang pendek (mengandung sedikit atau tidak ada material genetik yang penting) menghilang. Pada kedua kasus, pembawa translokasi diseimbangkan secara genetik dan normal secara fenotip. Sayangnya, ketika oogonia mereka atau spermatogonia mereka mengalami meiosis untuk membentuk oosit atau sperma haploid, bagian besar dari gamet menjadi tidak seimbang dan abnormal secara genetik, mengalami defisiensi atau hilangnya material genetik. Ketika gamet yang tidak seimbang secara kromosom
2

bergabung dengan gamet yang normal dari pasangan yang tidak terkena, hasil konsepsi akan menjadi trisomi dan/atau monosomi dan hampir akan selalu mengalami abortus; hasil konsepsi yang tidak seimbang terkadang bisa selamat, tetapi mereka beresiko tinggi mengalami malformasi dan retardasi mental. (4) Menurut teori, seperempat gamet yang dihasilkan oleh pembawa translokasi resiprokal dapat normal, seperempatnya bisa abnormal tetapi seimbang, dan setengahnya bisa abnormal dan tidak seimbang, menyebabkan kemungkinan sebesar 50% hamil normal (hasil konsepsi yang normal atau seimbang) dan kemungkinan sebesar 50% hamil abnormal (abortus atau mampu lahir tapi mengalami anomali), dengan asumsi penyatuan dengan gamet yang normal secara kromosom yang berasal dari pasangan yang tak terpengaruh. Namun, ketika translokasi robertsonian melibatkan kedua anggota dari untaian kromosom tunggal, pembawa tidak akan menghasilkan gamet yang normal karena semuanya akan memiliki 2 salinan atau tidak ada sainan dari kromosom yang terpengaruh. (4) Inversi kromosom jarang terjadi dibandingkan translokasi dan mungkin atau tidak memiliki implikasi reproduksi, bergantung pada ukuran dan lokasi mereka. Inversi perisentrik (yang melibatkan sentromer) seringkali tidak menimbulkan konsekuensi klinis; inverse perisentrik pada kromosom 9, inv (9)(p11q13) sangat umum terjadi sehingga beberapa ahli

mempertimbangkannya sebagai variasi normal. Akan tetapi, persilangan dan rekombinasi yang dapat terjadi dengan inverse parasentrik (yang tidak berlokasi pada satu sentromer) seringkali menyebabkan hilangnya materi genetik yang dapat menyebabkan aborsi atau anomali janin. (4) Anamnesis mengenai riwayat reproduksi harus dilakukan pada kedua pasangan, dan pemeriksaan kariotipik harus dilakukan. Pasangan dengan

riwayat masalah reproduksi yang lain, seperti KJDR atau anomali kongenital, lebih besar kemungkinan terkena abnormalitas kromosom struktural balanced. Jika kecacatannya paternal, inseminasi buatan dengan menggunakan donor dapat dilakukan. Untuk kecacatan maternal, donor telur dapat difertilisasi dengan menggunakan sperma suami. (3) Aneuploidi Janin Aneuploidi (trisomi atau monosomi) adalah abnormalitas kromosom yang paling sering teridentifikasi pada manusia dan aneuploidi janin adalah penyebab tunggal keguguran yang paling sering. Sekitar 30% dari semua abortus adalah trisomi dan 10% diakibatkan oleh monosomi atau poliploid kromosom seks. Insidensi janin trisomi meningkat seiring dengan peningkatan usia ibu, sedangkan monosmi dan poliploid kromosom seks tidak. Beberapa bukti menyatakan bahwa instabilitas yang berkaitan dengan usia atau degradasi mekanisme seluler yang mengatur pembentukan dan fungsi meiotic spindle yang menyebabkan peningkatan insidensi kesalahan segregasi meiotic dan peningkatan jumlah oosit aneuploid yang cepat pada saat akhir usia reproduksi. Estimasi terbaik yang tersedia menunjukkan bahwa prevalensi oosit aneuploid relatif rendah sebelum usia 35( kurang dari 10%) tetapi meningkat dengan cepat hingga mencapai 30% pada usia 40 tahun, 50% pada usia 43 tahun, dan hampir 100% setelah usia 45 tahun. Pengamatanpengamatan ini memberikan penjelasan yang logis untuk keseluruhan peningkatan insidensi keguguran yang berkaitan dengan usia dan semakin tingginya prevalensi aneuploidi pada abortus pada wanita yang berusia tua. (4,5) Prevalensi tes persedian ovarium yang abnormal pada wanita dengan abortus berulang yang tidak dapat dijelaskan lebih tinggi daripada wanita dengan penyebab abortus berulang yang diketahui lainnya dan setara dengan

yang diamati pada populasi wanita infertil. Pengamatan ini menunjukkan bahwa wanita pada tingkat deplesi folikular ovarium yang telah lanjut beresiko lebih tinggi mengalami keguguran tanpa memandang usianya. (4)

II.

Kelainan pada uterus Kelainan anatomi dari serviks, uterus dan badan rahim dan dikaitkan dengan abortus berulang. Penyebab anatomis mungkin saja kelainan bawaan atau kelainan yang didapat. Kelainan anatomi adalah penyebab pertama abortus berulang. Yang termasuk kelainan rahim kongenital, inkompetensi serviks, leiomyomas submukus, anomali mullerian, kelainan akibat paparan DES di rahim, dan sindrom Asherman. Kesulitan utama dalam konseling pasangan disebabkan oleh sekitar 50% wanita dengan cacat uterus tidak memiliki masalah reproduksi. Uteri bersepta tercatat sebagai penyebab tersering pada sebagian besar pasien dengan malformasi rahim dan abotus berulang. Leiomyomas Submucous memiliki presentasi yang lebih kecil sebagai penyebab abortus berulang. Umumnya abortus yang disebabkan kelainan anatomis terjadi pada trimester kedua. Interferensi dengan implantasi, kurangnya pasokan darah yang memadai, dan pembatasan pertumbuhan merupakan mekanisme yang mungkin terjadi pada abortus berulang. (3,6) Inkompetensi serviks Gambaran klasik dari inkompetensi serviks adalah pelebaran dari ostium serviks yang menyebabkan abortus, biasanya pada trimester kedua. Riwayat dilatasi serviks secara mekanik yang berlebihan dan kuretase

sebelumnya dapat menjadi penyebab inkompetensi serviks. Saat ini, untuk sebagian besar kasus, inkompetensi serviks diyakini disebabkan oleh cacat bawaan pada jaringan serviks. (7)

Sindrom Asherman Biasanya dicurigai karena adanya riwayat dan/atau adanya gambaran filling defects pada hysterosalpingography. Diagnosis dikonfirmasi dengan histeroskopi. Adhesi intraurine hampir selalu terkait dengan dilatasi terdahulu dan kuretase setelah kehamilan. Gejala termasuk ketidakteraturan menstruasi, infertilitas, dan aborsi berulang. Sindrom ini juga berhubungan dengan persalinan prematur, plasenta yang abnormal, dan janin abnormal. Banyak pasien tidak menunjukkan gejala. Pengobatan yang direkomendasikan adalah lisis dari adhesi selama histeroskopi. Tingkat aborsi telah dilaporkan menurun sebanyak 80% setelah perawatan yang tepat . (7) Anomali mulleri Merupakan kelainan uterus yang disebabkan oleh kegagalan embrionik saluran reproduksi untuk berkembang. Selama perkembangan embriologik dari janin wanita normal, saluran mulerian akan berkembang, menjadi saluran tuba dan membentuk uterus, serviks, dan sepertiga atas vagina. Jika proses ini tidak terjadi dengan benar, anomali mullerian bisa timbul. Diperkirakan bahwa abortus dalam anomali disebabkan oleh kurangnya vaskularisasi uterus dan/atau volume uterus yang terbatas. a. Septum uterus, terjadi ketika fusi dari saluran-saluran mullerian pasangan terjadi normal, tetapi septum medial antara saluran belum sepenuhnya diresorbsi. Septums adalah kelainan rahim yang paling umum didiagnosis pada wanita dengan keguguran berulang. b. Uterus unicornuate terjadi ketika salah satu dari saluran mullerian gagal untuk berkembang, sehingga terbentuk uterus dengan rongga yang terbatas. c. Uterus bicornuate terbentuk karena fusi yang tidak lengkap dari duktus mullerian sehingga menghasilkan dua rongga uterus yang terpisah, dan bergabung di serviks.

d. Didelphys uterus, terjadi karena kegagalan fusi total dari duktus mullerian, tapi diferensiasi normal dari setiap sistem duktus sehingga terbentuk dua uterus dan serviks yang terpisah, dengan ukuran masingmasing rongga uterus yang lebih kecil dari uterus normal. (8)

Gambar 1. Tujuh klasifikasi anomali mllerian oleh American Society of Reproductive medicine (Dikutip dari kepustakaan 9)

III.

Hormonal Defisiensi progesteron hCG dan progesteron yang rendah setelah implantasi terjadi akibat abortus, dan bukan merupakan penyebab abortus. Meskipun tidak ada uji coba terkontrol secara acak yang memiliki kekuatan statistik yang cukup untuk mendeteksi manfaat dari penggunaan progesteron supositoria vagina atau progesteron intramuskular dalam mencegah keguguran, namun meta-analisis

dari studi ini menunjukkan ada bukti untuk mendukung terapi progesteron untuk mengurangi kehilangan kehamilan. Perbedaan antara berbagai-bagai pencobaan mungkin muncul dari heterogenitas dari penyebab luteal yang tidak adekuat. (7) Hormon tiroid yang abnormal Pemeriksaan abortus berulang yang mencakup evaluasi atas status tiroid, sebagian besar tidak menunjukkan data yang jelas tentang dampak hipotiroidisme dan aborsi spontan. Namun, untuk mendeteksi frekuensi hipotiroidisme yang tinggi dapat dilakukan skrining dengan mendeteksi tingkat serum TSH. (7) Diabetes Diabetes yang terkontrol bukanlah sebuah faktor resiko untuk abortus berulang. Wanita yang menderita diabetes dengan kontrol metabolik yang bagus tidak memiliki kemungkinan mengalami keguguran yang lebih besar daripada wanita yang tidak menderita diabetes, tetapi wanita diabetik yang mengalami peningkatan level glukosa darah dan glycosylated hemoglobin (A1C) pada saat trimester pertama mengalami peningkatan resiko terjadinya abortus spontan yang signifikan. Pada wanita dengan diabetes yang tidak terkontrol baik, mengalami peningkatan resiko keguguran yang seiring dengan level A1C hemoglobin. Pada wanita yang menderita abortus berulang, diindikasikan pemeriksaan glukosa darah dan level AIC hemoglobin pada mereka yang diketahui atau dicurigai menderita diabetes. Sementara itu prevalensi auto-antibodi tiroid meningkat diantara wanita dengan abortus berulang. Angka kelahiran hidup pada wanita dengan abortus berulang yang memiliki antibodi tiroid sama dengan mereka yang tidak memiliki antibodi ini. (5) Sindrom polikistik ovarium (PCOS) Wanita dengan PCOS mengalami peningkatan kesulitan untuk hamil dibandingkan dengan wanita lainnya, tetapi hubungan antara PCOS dan
8

abortus berulang masih belum jelas. Beberapa kasus telah menunjukkan bahwa wanita dengan riwayat abortus berulang meiliki kadar androgen yang lebih tinggi, baik dengan dan tanpa adanya PCOS. Negara dengan hiperinsulinemia PCOS dihipotesiskan berperan pada abortus pada awal kehamilan., dan pada suatu percobaan, pengaturan metformin selama kehamilan untuk wanita dengan riwayat abortus menunjukkan dapat mengurangi resiko abortus pada trimester pertama pada wanita dengan PCOS. Dan pada percobaan lain, lebih dari 200 wanita dengan riwayat abortus berulang, prevalensi PCOS adalah 40,7%, meskipun angka kelahiran hidup pada wanita dengan PCOS dibandingkan dengan wanita dengan morfologi ovarium normal hampir sama, dan tidak satupun peningkatan serum LH atau testosteron dapat dikaitkan dengan tingkat frekuensi abortus. Kriteria cukup untuk menentukan wanita dengan PCOS memiliki prognosis yang baik atau buruk dari kehamilan tetap tidak diketahui. (7)

IV.

Infeksi Banyak agen infeksius yang berasal dari serviks, kavitas uteri, atau cairan mani menjadi faktor penyebab dari aborsi. Meskipun ada bukti bahwa endometritis klinis yang disebabkan oleh agen menular dapat menyebabkan aborsi, namun bukti apakah infeksi subklinis dengan mikroorganisme tertentu atau virus adalah penyebab aborsi spontan. Sebagian besar infeksi bakteri akut (misalnya, Staphylococcus, Streptococcus, Neisseria gonnorhoeae) dapat menyebabkan keguguran.(10) Meskipun Listeria monocytogenes menyebabkan aborsi di beberapa jenis hewan maupun manusia pada trimester kedua, tidak ada bukti bahwa itu adalah substansi yang menjadi penyebab aborsi pada wanita pada trimester pertama. Rabau dan David menemukan tidak ada bukti bakteriologis atau serologis dari infeksi Listeria pada 554 wanita yang telah abortus, termasuk 74 dengan aborsi berulang, dan Stray-Pedersen tidak dapat mengisolasi
9

organisme ini dari 48 wanita dengan aborsi berulang. Chlamydia trachomatis adalah patogen menular seksual yang paling sering, tetapi tidak ada bukti bahwa hal itu menyebabkan aborsi pada wanita tanpa gejala. Infeksi primer telah dikaitkan dengan kehilangan kehamilan, tetapi tidak berulang. (10) Banyak virus dapat menyebabkan aborsi jika diperoleh sebagai infeksi primer pada trimester pertama, namun, tidak menyebabkan abortus jika merupakan infeksi sekunder. Parvovirus B-19 mungkin embriotoksik pada trimester pertama, tapi bukan merupakan penyebab abortus berulang. Demikian pula, infeksi dari varicella, cytomegalovirus, dan rubella dapat menyebabkan abortus, tetapi tidak menyebabkan abortus berulang. Infeksi primer dengan virus herpes simpleks di saluran kelamin telah dilaporkan menyebabkan aborsi. Nahmias dan rekan kerja melaporkan bahwa jika herpes genital awalnya terjadi pada paruh pertama kehamilan, tingkat aborsi adalah sekitar 34%. Jika kehamilan terjadi dalam waktu 18 bulan setelah deteksi awal infeksi herpes, tingkat aborsi adalah 55%. Infeksi berulang dengan herpes simpleks tidak menyebabkan abortus. (10)

V.

Faktor imun Faktor autoimun Penyakit autoimun seperti lupus eritomatous sistemik adalah gangguan imunologi yang dapat diidentifikasi dan dapat diobati yang terkait dengan abortus berulang. Saat ini, pemeriksaan untuk antikoagulan lupus dan antikadiolipin adalah satu-satunya tes imunologis yang tervalidasi yang memiliki kegunaan klinis untuk mengevaluasi wanita dengan abortus berulang. (4) Faktor alloimun Pengenalan dan respon imun maternal tidak diragukan lagi memainkan peranan penting dalam kehamilan yang normal dan gangguan alloimun dapat
10

menyebabkan

abortus berulang yang tidak dapat dijelaskan. Saat ini,

disregulasi sitokin pada mekanisme imun yang bekerja pada maternal-fetal interface adalah mekanisme yang paling mungkin terlibat. Akan tetapi, semua metode terbaru untuk pemeriksaan alloimunopatologi yang dicurigai, termasuk pemeriksaan HLA, evaluasi sel imun (kultur mixed limfosit, pemeriksaan sel natural killer) dan pemeriksaan sitokin (untuk membedakan mereka pola respon imun dengan t-helper limfosit-1 dan t-helper limfosit-2 dengan antigen trofoblast in vitro) harus dipertimbangkan. (4) DIAGNOSIS Untuk mendiagnosis harus dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang menyeluruh, dengan pertanyaan yang spesifik mengenai usia kehamilan yang pasti pada saat keguguran dan gejala inkompetensi serviks yang mungkin ada. Pemeriksaan darah yang pertinent mencakup level TSH, tes untuk mendeteksi aktivitas antikoagulan lupus, dan antibody antifosfolipid. Jika pasiennya menderita diabetes, pemeriksaan A1C hemoglobin berguna untuk memperlihatkan level control glukosa. Pemeriksaan hysterosalpingogram atau sonohysterogram harus dilakukan untuk mendiagnosa anomali uterus. Jika pemeriksaan ini memperlihatkan tidak ada abnormalitas, kariotipe parental dapat dilakukan. Namun, pemeriksaan ini sangat mahal, dan hanya memberikan sedikit perubahan pada pengelolaan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Selain anamnesis rutin dan pemeriksaan fisis, beberapa pemeriksaan dibawah ini dapat berguna: y Dapatkan pemeriksaan kariotipik dari kedua orang tua. Pengaturan ulang kromosom secara struktural pada pasangan dengan abortus berulang adalah sebesar 5,34%

11

Lakukan hysterosal pingogram, histeroskopi, atau laparaskopi untuk menghapuskan kemungkinan adanya abnormalitas anatomi dari saluran reproduksi.

Minta pemeriksaan laboratorium untuk T3, T4, TSH, pemeriksaan abnormalitas glukosa (1 atau 2 jam post prandial), SMA, dan antibodi antinuclear atau antibodi pada DNA untaian ganda.

Biopsi endometrium pada saat fase luteal, atau dapatkan serum progesteron untuk menilai korpus luteum, atau lakukan keduanya

Lakukan

pemeriksaan

jaringan

sevikal

atau

endometrium

dengan

menggunakan pemeriksaan kultur untuk Listeria monocytogenes, Chlamydia, mycoplasma, U. urealyticum, Neisseiria gonorrhoeae,cytomegalovirus, dan herpes simpleks dan titer serum untuk Treponema pallidum, Brucella abortus, dan Toxoplasma gondii. (1)

PENGOBATAN Terapi yang diberikan harus sesuai dengan pemeriksaan dan diagnosis yang ditegakkan. y Abnormalitas genetik. Jika telah ditetapkan bahwa salah satu anggota pasangan memiliki translokasi kromosom seimbang, terdapat beberapa pilihan: 1. Pasangan tersebut dapat terus melanjutkan usahanya untuk hamil tanpa bantuan konsepsi buatan. Jika hanya salah satu saja orang yang mengalami translokasi seimbang, masih ada kemungkinan terjadinya konsepsi normal yang spontan 2. Fertilisasi in vitro dan diagnosis preimplantasi genetik untuk menentukan embrio normal untuk konsepsi

12

3. Donor gamet

dapat
(8)

digunakan yang dikombinasikan dengan

pengobatan fertilitas. y

Abnormalitas anatomi pada saluran reproduksi Gunakan pengangkatan polip atau septum uterus secara histereskopik, operasi uterus (misal, prosedur Jones, Tompkins, Strassman, miomektomi), cervical cerclage (abdominal atau vaginal), atau rekonstruksi servikal.

Abnormalitas hormon Ketika terjadi defisiensi, berikan tiroid, progesteron, atau klomifen sitrat. Dan juga, mungkin perlu untuk mengobati hiperprolaktinemia dan

hiperandrogenisme. y Faktor imunologis Penggunaan limfosit paternal yang dimurnikan masih dipertanyakan dan yang sedang meningkat, immunoglobulin intravena menunjukkan sebagai

pengobatan yang potensial untuk keterkaitan imunologis dengan abortus berulang. Terapi yang lain meliputi heparin, aspirin, dan keduanya. Prednisone (saja dan dikombinasikan dengan aspirin) mungkin diperlukan untuk mengobati keadaan yang mendasarinya, tetapi sudah banyak diganti dengan terapi heparin dan aspirin. y Obati gangguan sistemik secara tepat dengan menggunakan terapi yang spesifik untuk penyakit tertentu. y Ciptakan lingkungan yang paling kondusif agar bisa hamil. Hal ini melibatkan: hentikan pemakaian zat fetotoksin (misal, alcohol, rokok, kokain), mengurangi stress, dan penggunaan asam folat sebelum terjadinya kehamilan

KESIMPULAN Aborsi berulang, mengacu pada tiga atau lebih aborsi spontan yang terjadi secara berturut-turut. Lebih dari 50% wanita dengan abortus berulang, belum

13

diketahui penyebabnya. Etiologi paling sering dari abortus berulang adalah anomali kromosom. Studi sitogenetika spesimen aborsi telah menunjukkan anomali kromosom pada 20% sampai 60% dari abortus. Sekitar 95% dari kromosom janin abnormal kurang dari 8 minggu usia perkembangan. Tidak ada penanganan secara umum untuk abortus berulang. Penanganan disesuaikan dengan etiologi dari abortus tersebut.

14

También podría gustarte