Está en la página 1de 28

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit Demam Berdarah Dengue ( DBD ) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang jumalah penderitanya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Pola penyebaran penyakit inipun semakin meluas. Penyakit DBD sebagian besar menyerang pada anak-anak, hal ini dikarenakan sistem imunitas/kekebalan tubuhnya yang masih rentan. Akan tetapi dewasa ini kecenderungan penderita DBD tidak didominasi oleh anak-anak saja, range umur 5 s/d 45 tahun menjadi usia yang dominan dari seluruh jumlah penderita DBD.1 Indonesia merupakan negara tropis dengan pola penyebaran virus DBD yang cenderung meluas. Banyaknya daerah endemik yang menjadi sumber penularan menjadikan semakin cepatnya penyakit ini menjadi wabah. Wabah ini hampir setiap tahun menjadi Kejadian Luar Biasa ( KLB ) yang ditandai dengan peningkatan jumlah kasus di wilayahnya. Dalam hal penanganan dan pencegahan penularan virus DBD ini, sudah bannyak kegiatan yang dilakukan, diantaranya : Pengasapan (foggingisasi ) secara massal, Abatisasi ( penebaran larvasida ) dan Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk ( PSN ) yang dilakukan secara terus menerus.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue merambah dengan cepatnya dan seringkali berakibat fatal karena kelambatan dalam penanganannya.Demam Berdarah Dengue ( DBD ) sering disebut juga dengue hemorrhagic fever ( DHF ), dengue fever ( DF ), demam dengue ( DD ), dan dengue shock syndrome ( DSS ).

BAB II
ISI
I.

DEFINISI
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)

atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.2
II.

ANAMNESIS dan PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan umum dan tanda-tanda vital : Adanya penurunan kesadaran, kejang dan kelemahan, suhu tinggi, nadi cepat, lemah, kecil sampai tidak teraba, tekanan darah menurun (sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang.1 b. Sistem tubuh : Pernafasan Anamnesa : Pada derajat 1 atau 2 awal jarang terdapat gangguan pada sistem pernafasan kecuali bila pada derajat 3 atau 4 sering disertai keluhan sesak nafas sehingga memerlukan pemasangan oksigen.2 Pemeriksaan fisik : Pada derajat 1 dan 2 kadang terdapat batuk dan pharingitis karena demam yang tinggi, suara nafas tambahan (ronchi; wheezing), pada derajat 3 dan 4 nafas dangkal dan cepat disertai penurunan kesadaran.2 Kardiovaskular Anamnesa : Pada derajat 1 dan 2 keluhan mendadak demam tinggi 2-7 hari, badan lemah, pusing, mual-muntah, derajat 3 dan 4 orang tua / keluarga melaporkan pasien mengalami penurunan kesadaran, gelisah dan kejang.2 Pemeriksaan fisik :

Derajat 1 : uji torniquet positif, merupakan satu-satunya manifestasi perdarahan.

Derajat 2 : Ptekie, purpura, ekimosis dan perdarahan konjungtiva. Derajat 3 : kulit dingin pada daerah akral, nadi cepat, hipotensi, sakit kepala, menurunnya volume plasma, meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, trombositopenia. Derajat 4 : nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur. Persarafan Anamnesa : Pasien gelisah karena demam tinggi derajat 1 dan 2 serta penurunan tingkat kesadaran pada derjat 3 dan 4.

Pemeriksaan fisik : Pada derajat 2 konjungtivaa mengalami perdarhan, sedang penurunan tingkat kesadaran ( compos mentis ke apatis ke somnolent, ke sopor lalu ke koma) atau gelisah, GCS menurun, pupil miosis atau midriasis, reflek fisiologis atau patologi sering terjadi pada derajat 3 dan 4. Perkemihan Anamnesa : Derajat 3 dan 4 kencing sedikit bahkan tidak ada kencing. Pemeriksaan fisik : Produksi urin menurun (oliguria sampai anuria), warna berubah pekat dan berwarna coklat tuaa pada derjat 3 dan 4. Pencernaan Anamnesa : pada derjat 1 dan 2 mual dan muntah / tidak ada nafsu makan, haus, sakit menelan, derajat 3 terdapat nyeri tekan pada ulu hati. Pemeriksaan fisik : Derajat 1 dan 2 mukosa mulut kering, hiperemia tenggorokan, derajat 3 dan 4 terdapat pembesaran hati dan nyeri tekan, sakit menelan, pembesaran limfe, nyeri tekan epigastrik, hematemisis dan melena. Tulang dan otot Anamnesa : pasien mengeluh otot, persendian dan punggung, kepanasan, wajah tampak merah pada derajat 1 dan 2, derajat 3 dan 4 terdapat kekakuan otot / kelemahan otot dan tulang akibat kejang atau tirah baring lama. Pemeriksaan fisik : nyeri pada sendi, otot, punggung dan kepala; kulit terasa panas, wajaah tampak merah dapat disertai dengan tanda kesakitan atau pegal seluruh tubuh pada derajat 1 dan 2 sedangkan derajat 3 dan 4 pasien mengalami parese atau kekauan bahkan kelumpuhan.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve Transcriptase

Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG. Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain : Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat. Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8. Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam. Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah. Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat. Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal. Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan. Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah. Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2. Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.

a. Radiologi Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.

pembahasan

Pada umumnya kematian pada pasien DBD terjadi akibat syok hipovolemia, yang dilatarbelakangi oleh perdarahan masif atau karena merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien DBD, ultrasonografi dapat membantu menemukan adanya perembesan plasma dari intravaskular ke ekstravaskular. Ultrasonografi dapat dengan mudah mengidentifikasi adanya: penebalan dinding kandung empedu,

Gambar 1. Penebalan dinding kandung empedu

asites dan efusi pleura serta efusi perikardial

Gambar 2. Cairan asites di peri vesica urinaria pada pasien DBD

Gambar 3. Efusi pleura kiri (volume sekitar 250 cc) pada pasien DBD

Penebalan dinding kandung empedu dan asites/efusi merupakan refleksi atau akibat dari kebocoran cairan intravaskular ke ruang interstitial/ekstravaskular. Ada beberapa kondisi penyakit yang dapat menimbulkan penebalan kandung empedu yaitu pada keadaan: hipoalbuminemia, asites dan hipertensi vena sistemik. Ada korelasi positif antara tebal dinding kandung empedu dan berat penyakit DBD. Pada penelitian ini ditemukan ada korelasi positif antara peningkatan kadar hematokrit dengan tebalnya dinding kandung empedu, dan penebalan dinding empedu berkorelasi dengan adanya asites. Adanya timbunan cairan di Morrisons pouch dan spleno-peritoneal recess

Gambar 4. Morrisons pouch

Gambar 5. Free fluid in splenorenal recess

memberikan indikator spesifik adanya cairan dalam intraperitoneal. Secara ultrasonografi, adanya cairan sebanyak 30-40 cc yang berada di Morrisons pouch dan spleno-peritoneal recess sudah dapat dideteksi yang digambarkan secara ultrasonografi sebagai moon crescent sign. Ultrasonografi lebih sensitif dalam menegakkan adanya efusi pleura dibandingkan foto toraks. USG mampu

mendeteksi adanya cairan efusi meskipun hanya 35 cc, sementara foto toraks memerlukan minimal 50 cc. Pada penelitian ini adanya ekstravasasi plasma dijumpai berupa penebalan dinding kandung empedu (76,7%), asites (56,7%), efusi pleura (48,3%). Pada penelitian ini dijumpai efusi pleura kanan sebanyak 29 pasien (48%), efusi pleura kiri tidak dijumpai. WHO telah memasukkan kriteria peningkatan hematokrit >20% sebagai salah satu kriteria diagnosis DBD. Idealnya pemeriksaan hematokrit secara serial harus dilakukan untuk mengetahui peningkatan kadar hematokrit. Namun dalam kondisi endemis sering pemeriksaan serial tidak selalu dapat dilakukan. Di samping itu penilaian kadar hematokrit sering sulit dinilai karena beberapa faktor, seperti; pengaruh infus cairan, ada/tidak riwayat anemia sebelumnya, ada/tidak perdarahan. Pada penelitian ini peningkatan kadar hematokrit didapatkan pada 31,7%. Nilai diagnostik peningkatan hematokrit >20% yang menunjukkan adanya hemokonsentrasi memiliki sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value dan negative predictive value adalah; 42,0%, 81,8%, 80% dan 45%. Nilai hematokrit yang normal tidak menjamin tidak adanya ekstravasasi cairan. 12 dari 13 pasien DBD grade III/IV dengan nilai hematokrit dan trombosit normal ternyata pada pemeriksaan USG semuanya dijumpai asites dan efusi pleura. Efusi pleura ditemukan pada pasien DBD dengan trombosit normal (13,4%) dan hematokrit <40% (14,76%). Pemeriksaan USG pada DBD mempunyai korelasi positif yang bermakna antara efusi pleura/asites/penebalan dinding empedu dan berat penyakit DBD. Pada pasien dengan DBD ringan (grade I-II) efusi pleura, asites dan penebalan dinding kandung empedu didapatkan masing-masing; 30%, 34% dan 32%. Pada DBD berat (grade III-IV) efusi pleura, asites dan penebalan dinding kandung empedu didapatkan pada 95% kasus.

Gambar 6. USG abdomen dengan ascites

Gambar 7. Sinus kostofrenikus kiri tumpul (efusi pleura)

Gambar 8. Posisi dekubitus lateral kiri tampak cairan berkumpul di sisi bawah (efusi pleura)

Pada keadaan di mana secara laboratoris tidak dijumpai adanya peningkatan hematokrit >20% namun dicurigai adanya hemokonsentrasi atau ekstravasasi cairan maka pemeriksaan USG sangat membantu dalam menemukan adanya efusi dan asites. Manfaat lain dari pemeriksaan USG pada pasien DBD adalah bahwa adanya asites dan efusi pleura yang cukup banyak dapat menjadi pertimbangan kapan sebaiknya dapat dimulai diberikan cairan koloid.

I. DIAGNOSIS KERJA
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah. a) Demam Dengue (DD) Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut: Nyeri kepala. Nyeri retro-oebital. Mialgia / artralgia. Ruam kulit. Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bending positif). Leukopenia. dan pemeriksaan serologi dengue positif, ayau ditemukan pasien DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.

b) Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini di bawah ini dipenuhi : Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut : - Uji bendung positif. - Petekie, ekimosis, atau purpura. - Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain. - Hematemesis atau melena. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul). Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut : - Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin. - Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya. - Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia. Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.

I. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan demam tiroid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.

II. ETIOLOGI
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.

Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus.

III.EPIDEMIOLGI
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya). Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu : 1. Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dilingkungan, transportasi vektor dai satu tempat ke tempat lain; 2. Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (WHO, 2000).

I. PATOGENESIS
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme

imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah : 1. Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berparan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimeasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Antibody terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pad monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE); 2. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; 3. Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; 4. Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.

Gambar 9 . Hipotesis secondary heterologus infections. Sumber : Suvatt 1977-dikutip dari Sumarmo, 1983.

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.

Kurang dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang mefagositosis kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diprosuksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma.

Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme : 1) Supresi sumsum tulang, dan 2) Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.

Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi tromobositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibody VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar btromoboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi tromobosit. Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi factor Xia namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).

I. MANIFESTASI KLINIS

Gambar 10 . Manifestasi klinis infeksi virus Dengue. Sumber : Monograph on Dengue/Dengue Haemorrahgic fever, WHO 1983

Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue (SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak adekuat.

II. DERAJAT PENYAKIT


Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel berikut.

Gambar 11 . Klasifikasi derajat penyakit virus dengue. Sumber : WHO, 1997.

III.PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dansebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter danperawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dankoloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini danmemberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dantidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.

1. Demam dengue Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkan Tirah baring, selama masih demam. Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk menurunkan suhu menjadi < 39C, dianjurkan pemberian parasetamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis. Dianjurkan pemberian cairan danelektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari. Monitor suhu, jumlah trombosit danhematokrit sampai fase konvalesen. Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit. Penerangan untuk orang tua tertera pada Lampiran 1. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi. Tatalaksana DD tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD). 2. Demam Berdarah Dengue Ketentuan Umum Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD danpenyakit lain adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dangangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dankegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan Ease awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dangangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak

pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dansebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma danmerupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada asus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus danpenurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I danII dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C danpads ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B danA. Fase Demam Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik dansuportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama ~demam pada 7BD. Parasetamoi direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di sederhanakan seperti tertera pada Tabel 1. Rasa haus dankeadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia danmuntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam.

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb Penggantian Volume Plasma Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 3060 menit). Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, danjumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit

cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dankomposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini.

Pemilihan jenis danvolume cairan yang diperlukan tergantung dari umur danberat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari tabel 3 berikut.

Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20) =1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan

plasma tidak konstan (perembesam plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dankehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang bedebihan danterus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali kedalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dandistres pernafasan. Pasien harus dirawat dansegera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dannadi lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena. Jenis Cairan (rekomendasi WHO) Kristaloid. Larutan ringer laktat (RL) Larutan ringer asetat (RA) Larutan garam faali (GF) Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL) Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA) Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF) (Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang mengandung dekstran) Koloid. Dkstran 40 Plasma Albumin 3. Sindrom Syok Dengue Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami syek dansembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada penderita SSD dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB.

Penggantian Volume Plasma Segera Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal dan umur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit. Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi. Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit

Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan. Pemberian Oksigen Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen. Transfusi Darah Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan prognosis. Monitoring Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15 30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.

Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien stabil. setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi. Jumlah dan frekuensi diuresis. Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamia perlu dipertimbangkan. Ruang Rawat Khusus Untuk DBD Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, Dan trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat didantu oleh orang tua pasien untuk mencatatjumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya. Kreteria Memulangkan Pasien. Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini 1.Tampak perbaikan secara klinis 2.Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik 3.Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis) 4. Hematokrit stabil 5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl 6. Tiga hari setelah syok teratasi 7. Nafsu makan membaik

IV.PENCEGAHAN

Gambar 12. Pencegahan demam berdarah.

Pencegahan penyakit demam berdarah (DBD) sangat tergantung dengan pengendalian pada vektornya, yaitu nyamuk aides aegypti. Pengendalian tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat baik secara lingkungan, biologis, maupun secara kimiawi, seperti : a. Lingkungan Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) pada dasarnya merupakan pemberantasan jentik atau mencegah agaar nyamuk tidak dapat lagi berkembang biak. Pada dasarnya PSN ini dapat dilakukan dengan : Menguras bak mandi dan tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali. Dikarenakan perkembangan telur nyamuk menetas sekitar 7-10 hari. Menutup rapat tempat penampungan air. Supaya agar nyamu tidak menggunakannya sebagai tempat berkembang biak. Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung setidaknya semunggu sekali.

Membersihkan perkarangan atau halaman rumah dari barang-barang yang dapat menampung air hujan. Karena berpotensi sebagai tempat berkembangnya jentikjentik nyamuk.

Menutup lubang-lubang pada pohon, terutama pohon bambu ditutup dengan menggunakan tanah. Membersihkan air yang tergenang diatap rumah juga dapat mencegah berkembangnya nyamuk tersebut. Pembersihan selokan disekitar rumah supaya air tidak tergenang.

a. Biologis Pengendalian secara bioligis merupakan pengendalian perkembangan nyamuk dan jentiknya dengan menggunakan hewan atau tumbuhan. Seperti pemeliharaan ikan cupang pada kola/ sumur yang sudah tak terpakai.

b. Kimiawi Pengendalian secara kimiawi adalah cara pengendalian serta pembasmian nyamuk dan jentik dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Diantaranya adalah : Pengasapan/togging dengan menggunakan malathion dan fenthion yang berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan aides aegypti dengan batas tertentu. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat yang sering menjadi tempat penampungan air. Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) merupakan tindakan untuk memutus mata rantai perkembangan nyamuk. Tindakan PSN terdiri atas beberapa kegiatan antaranya dengan 3M. Yaitu : Menguras, Menutup, dan Mengubur tempat-tempat yang sering dijadikan perkembangbiakan nyamuk. Semoga dengan beberapa cara tersebut dapat membantu anda dalam pencegahan demam berdarah serta pemberantasan sarang nyamuk.

I. PROGNOSIS
Bonam, dengan penanganan yang baik.

BAB III
KESIMPULAN

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Penyebab demam pada pasien dengan kejang demam harus selalu diidentifikasi, dengan tetap mempertimbangkan kausa demam yang lazim di Indonesia, yakni campak, malaria dan infeksi dengue Telah dilaporkan kasus dengan demam berdarah dengue pada pasien dengan keluhan utama kejang dengan demam. Infeksi dengue dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi. Pemeriksaan klinis dan hematokrit serial pada mulanya tidak secara khas menunjukkan adanya kebocoran plasma, namun kebocoran plasma dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi dengan foto dada lateral dekubitus kanan atau ultrasonografi patut dipertimbangkan pada pasien dengan sangkaan infeksi dengue yang tidak menunjukkan peningkatan kadar hematokrit yang signifikan

DAFTAR PUSTAKA
1. Santoso, Mardi. Pemeriksaan fisik diagnostic. Anamesa. Jakarta: Bidang

Penerbitan Yayasan Diabetes Indonesia; 2004. 2. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Panduan pelayanan medic. Jakarta : PB. PAPDI; 2009.
3. Kusumawidjaja, Kahar. Radiologi diganostik. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;

2009.
4. Philip w. Ballinger, et al. Merrils of radiographic and radiologis procedurs.

Missouri : Inc. St. Louis; 1999 5. Sutton, David. Textbook of radiology and imaging. London : Churcill Livingstone; 1992. 6. Soebandiri. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.

También podría gustarte