Está en la página 1de 11

Observasi Terhadap Sistem Silvikultur Hutan Rakyat Dan Arah Perbaikannya

Oleh M.Sambas Sabarnurdin

Hutan, lepas dari siapa pemiliknya, perlu dikelola dengan sebaikbaiknya agar mendatangkan manfaat tanpa merugikan pihak lain yang bisa terkena dampak periakuan sipemilik terhadap hutannya. Hutan memiliki nilai tangible dan intangible dan memiliki pengaruh yang jauh melampaui batasbatas wilayahnya (bahkan global), sehingga tanggung jawab pemilik atau pengelolanya terhadap kepentingan masyarakat amat besar. Kehutanan mencakup ilmu, bisnis, seni dan praktek yang sengaja ditujukan untuk mengorganisir komponen dan mengelolanya untuk mendatangkan manfaat yang lestad. Sedangkan silvikultur adalah metoda untuk membangun, memelihara dan mengatur komunitas pohon dan vegetasi lain yang ada di dalamnya yang memiliki nilai untuk masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung. Kehutanan dan silvikultur bukan kegiatan yang semata-mata hanya mengekstraksi kayu dan komoditas lainnya, mumpung ada kesempatan. Dalam menghadapi suatu hutan seorang silvikulturis mempunyai dua pilihan alternatif yaitu apakah ia akan : i) meningkatkan produktivitas dan mutu dari kondisi yang ada atau ii) merubah karakter tegakan untuk memperoleh manfaat yang berbeda. Sistem silvikultur adalah proses atau prosedur bagaimana hutan akan dipelihara, dipanen, dan diganti dengan tanaman baru. Sistem silvikultur ini meliputi metode permudaan, bentuk hasil yang ingin dicapai, dan pengaturan hasil sepanjang rotasi dengan acuan khusus pertimbangan silvikultur, perlindungan, dan efesiensi pemanenan

Untuk kepeduan itu silvikultuds tersebut'bisa merumuskan sistem silvikultur dalam suatu skema manajemen yang menjanjikan untuk suatu tujuan tertentu, walaupun dalam beberapa hal mungkin skema manaiemen yang terbaik adalah hanya membiarkan hutan itu seperti apa adanya. Penentuan terakhir tentunya akan bergantung pada keinginan pemiliknya. Hutan rakyat Orang menanam pohon di atas lahan miliknya merupakan fenomena yang menarik karena sebelumnya sangat disangsikan apalagi membentuk hutan sepeqi yang hutan rakyat yang kita kenal sekarang.. Hambatan mengapa selama ini penduduk tidak menanam pohon antara lain adalah karena; lamanya waktu tunggu panen, lahan milik umumnya sempit dan lahan mereka dipedukan untuk kepeduan yang lebih mendesak (memproduksi pangan), tidak tersedia alternatif pekerjaan lain, keahlian terbatas, pasar kayu belum berkembang, dan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan kepemilikan (tenurial). Berkembangnya alternatif mata pencaharian penduduk sejalan dengan makin terbukanya kesempatan kerja di sekitar kampung mereka maupun di kota-kota besar, membuat penduduk tidak terialu mengandalkan hidupnya pada lahan miliknya. Mereka menanam pohon dengan lebih intensif bahkan dengan menggunakan pola agroforestry yang paling midp hutan yaitu talun; pendeknya sekarang petani benar- benar bertani pohon. Jenis-jenis yang umum ditanam adalah sengon, jati, formis, dan sonokeling. Sengon sebenamya pernah dicoba ditanam besar-besaran oleh

Jawatan Kehutanan pada tahun 50-an' di Jawa, tetapi sekarang hanya terdapat di Kedid. Nampaknyta kehutanan menyetop penanaman sengon begitu te6adi wabah serangan penggerek batang yang merugikan. Namun demikian,di Filipina tanaman sengon ini bebas dad serangan hama tersebut.

Pada waktu kehutanan menyetop pembuatan tanaman sengon, rakyat malahan menanamnya di lahan miliknya bercampur dengan jenis jenis yang lain yang telah ada di talunnya. Tindakan ini justru berhasil; dad sini ada petunjuk bahwa bagi sengon sistem tanaman campur lebih sesuai. Pada awalnya sengon berkembang di lahan milik penduduk di sekitar Bogor dan Sukabumi, Malang, kemudian meluas ke daerah daerah yang bedklim midp di seluruh Jawa, bahkan ke luar Jawa. Jati, sudah lama menjadi primadona penduduk, namun penanaman jati di lahan milik sempat terhambat karena ada larangan menanam jenis ini sejak jaman belanda dan tidak pernah dirubah sampai lama. Dewasa ini nampaknya sudah tidak ada lagi larangan itu, dan masyarakat di daerah kapur di jawa ini menanam jati besar-besaran di lahan miliknya, bahkan keberhasilan mereka sudah diakui oleh pemerintah dengan diperolehnya Kalpataru oleh beberapa daerah seperti sekitar Paranggupito (Surakarta selatan). Kalpataru dibedkan bukan karena semata-mata menanam jati, tetapi karena kesuksesan mereka membangun hutan di areal kritis yang sebelumnya gundul dengan semangat memperbaiki lingkungan hidup. Beberapa hutan rakyat malahan hanya ditujukan untuk produksi non kayu, terdapat di Krui (Lampung), mereka membangun dan memelihara hutan itu untuk penghasilan damar. Kemudian hutan mangrove di Sinjai, Sulawesi Selatan yang ditujukan untuk menahan angin, menghindari abrasi dan perbaikan lingkungan usaha pedkanan Apabila sampai saat ini rimbawan turut bergembira bahwa rakyat sudah mulai menanam hutan dengan prakarsa sendiri (sekitar 90% dari seluruh hutan rakyat yang kurang lebih 1,25 juta Ha)3 maka selanjutnya tugas mereka adalah ikut menyempurnakan dan meningkatkan produktivitas hutan rakyat dan kelestadan hasilnya dengan memberikan bantuan teknis kehutanan yang tepat.

"Sistem Silvikultur" yang sekarang ada. Perlakuan silvikultur dari hutan yang dikelola sangat bergantung pada nilai dagang kayu jenis dan spesifikasi yang diinginkan oleh pemroses dan pengguna akhir. Sortimen kayu sengon yang diminta pasar adalah panjang 2,3 meter, sedapat mungkin lurus dan kayu berwarna putih (oleh karena itu rotasinya 6 tahun). Spesifikasi seperti itu mudah dipenuhi oleh rakyat walau tanpa periakuan sedikitpun. Demikian juga persyaratan pasar untuk jati rakyat hampir tidak ada; pada saat ini semua ditedma. Untuk kayu sonokeling penduduk melakukan sedikit pedakuan karena daun sono dipakai pakan ternak; penduduk memotong pangkas batang pokok pada ketinggian sekitar 2 meter (pollarding) dan memanen trubusannya secara periodik untuk pakan ternak. Pohon sonokeling yang diperlakukan demikian biasanya ditanam sebagai tanaman batas ladang atau ditepi jalan desa namun jarang dilakukan terhadap pohon sono yang ditanam campur secara rapat. Pemilik hutan rakyat biasanya bergabung dalam kelompok tani hutan dan mengikuti aturan aturan kelompok dalam perlakuan terhadap hutannya, terutama dalam kewajiban tanam setelah memanen. Misalnya saja kelompok petani hutan di Ngalang (Gunung Kidul) mengharuskan setiap memanen sebatang pohon harus menanam 10 anak pohon, dst. Namun seringkali pengaturan waktu penebangan sukar dilaksanakan bila si pemilik dalam keadaan terdesak kebutuhan, maklum sebagian dad mereka menanam pohon sebagai suatu tabungan yang dapat ditadk sewaktu-waktu. Dad cara petani melakukan permudaan, memelihara, dan memanen pohon, apa yang mereka lakukan adalah masuk dalam katagoh high forest, (dikembangkan dad benih generation dengan melihat cara panennya, maka mungkin dapat dinamakan sistem Tebang Pilih dengan Permudaan Buatan Perkayaan (enrichment) , yaitu mereka meng insert bibit pohon yang diinginkan ke dalam sebuah talun pada relung (niche) yang sesuai, dan

memanennya secara dipilih (sistem tebang pilih) apabila ada pasaran atau bergantung pada kebutuhan keluarga. Sistem yang lain adalah penanaman serentak, mumi di atas lahan kosong atau telah dibersihkan dan diolah sebelumnya, namun pemanenannya tidak dilakukan serentak, tetapi dipilih karena tidak semua kayu bisa memenuhi ukuran diameter yang laku dipasaran. Untuk pohon -pohon yang ditinggalkan karena pertumbuhannya tertekan altematifnya adalah menunggu beberapa waktu lagi atau turut dibersihkan untuk persiapan tanaman berikutnya. Kelemahan yang nampak dad sisi silvikultur antara lain berhubungan dengan mutu bibit atau benih, dan pemeliharaan selanjutnya. Bibit tanaman umumnya berasal dari semai alam seadanya, walaupun mungkin sudah dilakukan "peningkatan" genetik dengan memilih benih atau bibit dari induk yang terbaik. Cara ini dpandang kemah karena basis genetiknya dalam pemeilihan cara ini bias amat sempit sehingga apabila ada eksplosi hama kemungkinan semuanya bisa terkena. Eksplosi hama pernah terjadi pada lamtoro gung yang diserang kutu loncat. Kelemahan lainnya adalah tindakan pemeliharaan, terutama penjarangan yang tidak perbak dilakukan. Banyak petani beranggapan bahwa menjarangi adalah merugikan karena mengurangi jumlah batang persatuan luas. Padahal jumlah pohon sedikit dengan diameter rata-rata yang lebih besar akan menghasilkan pendapatan yang lebih besar. Hal mungkin juga karena pemilik hutan rakyat nampaknya secara sadar sengaja hanya mengalokasikan sedikit waktunya untuk pemeliharaan hutannya, karena menganggap menanam pohon tidak harus intensif; Oleh larena itu sering kita lihat "hutan" mumi sengon dengan jarak tanam rapat dibiarkan begitu saja tanpa penjarangan mungkin sampai saat panen tiba enam tahun kemudian sampai waktu panen tiba.

Arah perbaikan sistem silvikultur Mengingat bahwa bertani hutan masih merupakan ha[ yang asing bagi umumnya petani, agar efektif maka usaha perbaikan silvikultur bisa dilakukan 1 . Pertama-tama mensosialisasikan kepada para pemilik hutan rakyat bahwa Bertani hutan tidak analog dengan bertani umum. Jangka waktu yang panjang memedukan rumusan rejim silvikulutr -yang terencana sederet resep pedakuan selama daur (waktu antara tanam sampai panen),- untuk mengatur pertumbuhan komunitas pohon melalui manipulasi komposisi dan kerapatan tegakan. Sistem silvikutur yang baik mampu mengoptimumkan hasil, meningkatkan mutu, menyingkat periode investasi, meminimukan biaya, dan melestadkan produktivitas serta kesehatan ekosistem. Ada kesanggupan umum;misalnya memelihara moral usaha populasi untuk erangga, ikut: jamur, melindungi tanah dan dan ekosistem mencegah secara erosi; penting; menstabilkan

miroorganisme

memperbaiki habitat untuk satwa dan tanaman asli; meningkatkan mutu dan hasil air dan menjaga habitat ikan; menyiapkan pakan dan habitat esensial untuk teranak dan satwa liar; dan menjaga mutu estetika lansekap serta menciptakan kesempatan pengembangan rekreasi alam. 2.Langkah selanjutnya adalah mempelajad keinginan pemilik, dan mencad cara atau jalan untuk menyeimbangkan komponen-komponen ekosistem dan kondisi yang tersedia untuk meyakinkan integdtas, resiliensi, dan diversitas mempertimbangkan pengaruh periakuan pada tegakan hutan rakyat tersebut terhadap lansekap sekitamya mempertimbangkan pengaruh dan hasil periakuan pada skala waktu ekologis dan mendukung aksi yang menjamin tersedianya berbagai opsi untuk pengelolaan masa datang dan mencegah perubahan ekologi yang irreversible, dan meng-ases stabilitas

finansial pedakuan dan praktek untuk mengurangi pengaruh negatif, dan pastikan kecocokannya dengan tujuan ekonomi pemilik. Akhirnya, pemilik, dari prespektif waktu ekonomi, untuk dengan tugas silvikultuds adalah

membangun dan memelihara komunitas tegakan untuk memenuhi keinginan mempersingkat nilai mutu mewujudkan apabila oleh keuntungan, dikeloia, dan pemilik, meningkatkan Meningkatkan dibandingkan manfaat yang tidak

diinginkan

merencanakan biaya operasi yang semurah-murahnya.

SOAL

1. Bagaimana penglolaan SDAE Hutan dalam artikel tersebut? 2. Apa aspek Sosial Ekononomi dalam pengelolaan SDAE Hutan tersebut? 3. Apa maslah dalam pengelolaan SDAE Hutan tersebut? JAWABAN
1. Sistem silvikultur adalah proses atau prosedur bagaimana hutan akan

dipelihara, dipanen, dan diganti dengan tanaman baru. Sistem silvikultur ini meliputi metode permudaan, bentuk hasil yang ingin dicapai, dan pengaturan hasil sepanjang rotasi dengan acuan khusus pertimbangan silvikultur, perlindungan, dan efesiensi pemanenan Pemilik hutan rakyat biasanya bergabung dalam kelompok tani hutan dan mengikuti aturan aturan kelompok dalam perlakuan terhadap hutannya, terutama dalam kewajiban tanam setelah memanen. Misalnya saja kelompok petani hutan di Ngalang (Gunung Kidul) mengharuskan setiap memanen sebatang pohon harus menanam 10 anak pohon, dst. Namun seringkali pengaturan waktu penebangan sukar dilaksanakan bila si pemilik dalam keadaan terdesak kebutuhan, maklum tabungan sebagian yang dad mereka ditadk menanam pohon sebagai cara suatu petani dapat sewaktu-waktu. Dad

melakukan permudaan, memelihara, dan memanen pohon

2. Berkembangnya alternatif mata pencaharian penduduk sejalan dengan

makin terbukanya kesempatan kerja di sekitar kampung mereka maupun di kota-kota besar, membuat penduduk tidak terialu mengandalkan hidupnya pada lahan miliknya. Mereka menanam pohon dengan lebih intensif bahkan dengan menggunakan pola agroforestry yang paling midp hutan yaitu talun; pendeknya sekarang petani benar- benar bertani pohon.Beberapa hutan rakyat malahan hanya

ditujukan untuk produksi non kayu, terdapat di Krui (Lampung), mereka membangun dan memelihara hutan itu untuk penghasilan damar. Kemudian hutan mangrove di Sinjai, Sulawesi Selatan yang ditujukan untuk menahan angin, menghindari abrasi dan perbaikan lingkungan usaha pedkanan.

3. yang nampak dad sisi silvikultur antara lain berhubungan dengan mutu bibit atau benih, dan pemeliharaan selanjutnya. Bibit tanaman umumnya berasal dari semai alam seadanya, walaupun mungkin sudah dilakukan "peningkatan" genetik dengan memilih benih atau bibit dari induk yang terbaik. Cara ini dpandang kemah karena basis genetiknya dalam pemeilihan cara ini bias amat sempit sehingga apabila ada eksplosi hama kemungkinan semuanya bisa terkena. Eksplosi hama pernah terjadi pada lamtoro gung yang diserang kutu loncat. Kelemahan lainnya adalah tindakan pemeliharaan, terutama penjarangan yang tidak perbak dilakukan. Banyak petani beranggapan bahwa menjarangi adalah merugikan karena mengurangi jumlah batang persatuan luas.

TUGAS ARTIKEL SDAE OBSERVASI TERHADAP SISTEM SILVIKULTUR HUTAN RAKYAT DAN ARAH PERBAIKANNYA

Oleh : Angga Kurniawan C1B008004

JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS BENGKULU 2010

También podría gustarte