Está en la página 1de 5

G|ro Wa[|b M|n|mun Vs Loan Depos|t kat|o

Dewasa ini telah marak perdebatan mengenai kebijakan Bank ndonesia (B)
tentang penerapan tingkat Giro Wajib Minimum (GWM) dan Loan Deposit Ratio (LDR)
baru di dunia perbankan. Yaitu dengan tingkat GWM yang lama sebesar 5% menjadi
8% dan tingkat LDR baru minimal 78% dan maksimal sebesar 100%. Kebijakan
tersebut baru efektif 6 bulan setelah diterbitkan. Regulasi itu kabarnya akan ditetapkan
dalam waktu dekat, tinggal menunggu persetujuan dari dewan gubernur
Seperti yang kita telah ketahui bahwasanya yang dimaksud dengan GWM
adalah suatu tingkat persentase dimana suatu bank harus menyimpan uangnya di B
sebanyak yang telah ditentukan dari total jumlah dana pihak ketika. Sedangkan yang
dimaksud dengan LDR adalah suatu perbandingan dari total jumlah dana pihak ketiga
yang ada pada suatu bank dengan total jumlah kredit yang ia keluarkan. Hal ini berarti
apabila kedua persentase ini dinaikkan, maka semakin besar pula jumlah uang yang
bank harus simpan di Bank ndonesia dan jumlah uang yang harus loan-kan ke
masyarakat
Meskipun issue ini telah beredar sejak lama, namun kebijakan ini tentu akan
menuai pro dan kontra dari banyak pihak, terutama dari pihak perbankan dan pihak
lainnya yang terkait. Tidak hanya itu, keputusan tersebut juga dinilai tidak efektif dr
berbagai pihak, karena penyebab maslahnya dan solusi yang ambil B kurang tepat.
Menurut Gubernur Bank ndonesia (B), Darmin Nasution, kebijakan ini dipicu
oleh kondisi perekonomian ndonesia kini sedang menghadapi masalah ekses likuiditas
yang cukup besar. Darmin mengatakan, jika tekanan inflasi muncul dan ekses likuiditas
tidak direspon maka kondisi perekonomian bisa mengkhawatirkan dimana
mengakibatkan kenaikan inflasi. lalu beliau juga menginginkan dengan kebijakan ini
perbankan dapat meningkatan fungsinya sebagai intermediasi dengan merangsang
pertumbuhan kredit.


Darmin juga mengatakan bahwa ke depannya, Bank ndonesia kini tidak lagi
hanya menggantungkan diri kepada satu instrumen moneter yakni suku bunga acuan
(B Rate) dalam pengelolaan likuiditas. Bank ndonesia juga melirik GWM sebagai
tambahan instrumen untuk mengendalikan inflasi dan ekses likuiditas yang berlebih.
Untuk bank-bank besar yang kiranya telah memiliki permodalan dan pangsa
pasar yang luas, terutama yang memiliki tingginya tingkat Dana Pihak Ketiga (DPK) dan
tingkat liquiditas kiranya agak lebih ringan dibandingkan bank-bank dengan skala dan
permodalan kecil, tingkat liquiditas pas-pasan serta ruang lingkup usaha terbatas
seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR) akan sangat terpukul dengan kebijakan ini,
karena BPR juga harus meningkatkan LDR-nya sebatas 78%-100%, tentunya juga
dengan memperhatikan tingkat resiko Non Performing Loan (NPL) di bawah 5%.
Untuk mengendalikan inflasi, kebijakan tersebut sebenarnya berbanding
terbalik. Kalau GWM-nya dinaikkan, memang sebenarnya menyerap uang tetapi
menyerap uang di sini artinya akan menambah tekanan terhadap inflasi. Padahal
inflasi yang terjadi di ndonesia bukan karena kebijakan moneter melainkan dari .ost
push inflation, yaitu dimana berkurangnya pasokan pangan akibat cuaca buruk,
sehingga menyebabkan harga barang meningkat dan menyebabkan inflasi.
Peningkatan GWM dan B rate dalam kondisi ini pun tidak akan efektif mengendalikan
inflasi. Mengapa demikian, karena kenaikan GWM perbankan itu kurang efektif dalam
mengubah peredaran uang yang ada di masyarakat. contoh : Uang yang tadinya untuk
saya gunakan untuk membeli makanan dengan harga Rp5.000 sekarang menjadi
Rp8.000. Tambahan uang yang saya keluarkan itu karena keterpaksaan saya
membayarnya, Bukan karena keinginan untuk mengeluarkan lebih dari itu.
Kebijakan ini juga sebenarnya akan memberikan efek negative, yaitu akan
menyebabkan menigkatnya tingkat suku bunga kredit perbankan,. Mengapa demikian,
karena akan ada tambahan cost yang dikeluarkan perbankan seiring dengan
berlakunya kebijakan ini, terlebih lagi tentunya akan memaksa sejumlah bank yang
tingkat liquiditasnya pas-pasan untuk mencari dana lebih dari pasar uang yang
biayanya mahal demi untuk mematuhi aturan B. Dan ini akan menyebabkan tekanan
terhadap bunga kredit sebab tidak mungkin untuk memenuhi ketentuan LDR yang
diisyaratkan sebesar 78%-100% dalam waktu 6 bulan ke depan.

Tentunya ini sangat tidak relevan ,di saat bank dipaksa untuk menggenjot
kreditnya akan tetapi GWM dinaikan itu sangat tidak konsisten. Nampaknya B terlalu
reaktif dalam merespon tekanan pasar dan tekanan politik. karena LDR sebenarnya
lebih cenderung digunakan untuk mengukur likuiditas, bukan untuk menggenjot kredit.
Jika memang tujuannya adalah demi merangsang pertumbuhan kredit atau memacu
intermediasi, B sebenarnya tidak perlu membuat kebijakan mengenai LDR.

Ukuran pertumbuhan kredit lebih efektif jika B menargetkan setiap bank untuk
menumbuhkan kreditnya dengan perhitungan tertentu, misalnya 20% atau 25%. Jika
menggunakan LDR, hal itu bisa berbahaya bagi beberapa bank yang LDR-nya kecil
padahal kreditnya tumbuh tinggi.
Kalau hal itu sampai terjadi, maka tujuan dari kebijakan B untuk meningkatkan
fungsi bank sebagai lembaga intermediasi bisa terhambat, karena tingginya biaya dana
yang akan dikeluarkan perbankan. Dan perbankan tidak memiliki ruang untuk
melakukan pergerakan apa pun, karena tidak adanya kelonggaran likuiditas sehingga
menyebabkan likuiditas menjadi terlalu ketat dan berisiko tinggi bagi perbankan,
terutama ketika terjadi krisis. Tidak menutup kemungkinan bahwa dampak dari
kebijakan ini akan mendorong masuknya dana asing ke pasar ndonesia karena tingkat
suku bunga yang menggiurkan.
Untuk bank-bank yang tidak dapat mematuhi aturan mengenai kebijakan baru
tersebut akan dikenakan penalty. Jika LDR bank di bawah 78% maka ada dua opsi
yang bisa dilakukan, yaitu menggenjot kredit untuk menaikan LDR, atau bayar GWM
sebagai penalti. Bank akan terkena disinsentif berupa pembayaran penalti GWM
sebesar 0,5% hingga 1%. Dan yang terjadi banyak bank-bank besar yang lebih memilih
untuk membayar pinalti daripada menaikkan GWM dan LDRnya. Seperti Bank Mandiri
yang menyiapkan Rp 9,6 Triliun Bayar GWM dan Penalti ke B.


Hal itu karena pergerakan sektor riilnya lamban. Pemerintah masih relatif kurang
dapat menjamin mengenai keadaan sector riilnya. Kalau infrastrukturnya jalan dan
kepastian dalam sektor riil terjaga dengan baik pasti perolehan kredit bank akan besar.
Sekarang dengan infrastruktur yang tak berjalan, bank dipaksa menaikkan LDR-nya.
Maka daripada menganggung resiko on Performing Loan atau rasio kredit bermasalah
yang besar, ya maka bank-bank tersebut lebih memilih membayar pinalti.
Bisa dibayangkan bagaimana dengan nasib bank-bank kecil lainnya yang
kelangsungan hidup usahanya sangat pas-pasan dalam kriteria usaha bank seperti
BPR yang memiliki skala kecil dan ruang lingkup usaha terbatas, dan tingkat liquiditas
tidak begitu besar. Pasti mereka akan menjerit atas kebijakan ini. Karena mereka pasti
akan melakukan pinjaman kepada bank-bank umum yang notabene mengalami
kesulitan yang sama akibat kebijakan ini.
Di lain pihak Gubernur B, Darmin Nasution merasa yakin bank-bank akan dapat
memenuhi peraturan tersebut. Untuk mencapai target tersebut maka yang perlu
dilakukan hanyalah menerapkan tiga strategi. "Untuk meningkatkan LDR bank hanya
perlu besarkan pembilangnya, atau kecilkan penyebut atau kedua," ucapnya di Jakarta,
Jumat (16/9).
a mengatakan, hal itu berarti perbankan harusnya menaikkan kredit atau
turunkan DPK. Perbankan juga terpaksa menurunkan DPK yang memiliki bunga mahal.
Secara kebetulan bank yang mempunyai LDR rendah adalah bank yang gencar
mendorong pertumbuhan DPK. "Artinya respon yang ini artinya mendorong bunga
turun. Dengan begitu DPK berkurang, .ost of fund turun dan bunga jadi turun Darmin
mengatakan, kebijakan itu tidak akan meningkatkan .ost of fund perbankan, dengan
begitu suku bunga kredit tidak akan meningkat.
a juga meyakini bahwa pada jangka waktu yang telah ditentukan yakni pada
Maret mendatang, perbankan di ndonesia dapat mengikuti peraturan tersebut. Saat ini
LDR rata-rata perbankan nasional telah mencapai 78%.


Jadi apabila alasan B atas penggunaan GWM baru ini untuk mengendalikan
inflasi juga kurang tepat, karena GWM tidak dapat dipergunakan terus menerus, GWM
hanya bisa dinaikan sesekali, tidak mungkin berkali-kali. Begitu juga dengan B rate,
kalu B rate ditekan terus untuk mengatasi inflasi maka konsekuensinya adalah akan
menyulitkan industri dan dunia usaha. Lantas yang seharusnya dilakukan B dan
pemerintah dalam mengatasi inflasi adalah dengan menggenjot sektor rillnya, Jadi
bukannya perbankan yang ditekan terus.

También podría gustarte