Está en la página 1de 4

Hukum Wajib Menutup Aurat bagi Wanita Muslimah oleh Cantik dengan Menutup Aurat pada 04 Juni 2011

jam 0:19 Ibarat sebuah barang yang berharga maka akan diperlakukan secara khusus oleh pem iliknya, antara lain dengan cara dikemas, dipak, dilapisi, dibungkus sedemikian rupa untuk menjaga ag ar barang tersebut terkena goresan, rusak dan sebagainya. Misalnya kita membandingkan antara CD sof tware asli yang harganya ratusan ribu hingga jutaan rupiah dengan CD software bajakan. Dalam hal ini kita bisa membedakan bungkus kemasan CD yang asli dengan yang bajakan. Contoh lain, dari b enda yang berasal dari batu. Kita bisa membedakan antara batu mulia dengan batu material jalan. Tentu dalam hal ini kita tidak perlu memandang manusia sebagai diposisikan sama dengan benda. Namun sedikitnya kita akan mengambil hikmah perumpamaan dari sisi kepatutan dan kesopanan seseorang dari sudut normatis. Seekor burung merak jantan yang bulunya indah nan surgawi, tentu akan tampak tidak menarik seandainya bulu-bulunya kita rontokkan semua, sehingga tampak bugil tanpa busana, pasti mengerikan. Dimensi aurat dalam pandangan Islam bukan hanya terfokus pada kaum wanita, kaum laki-laki pun sama mempunyai kewajiban untuk membaguskan dandanannya di hadapan manusia. Allah SWT berfiman : Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang ya ng berlebihlebihan. (QS. Al A raf : 31) Ayat ini menerangkan tentang kewajiban bagi kaum muslimin apabila hendak pergi b eribadah ke masjid baik untuk shalat, thawaf, maupun ibadah lainnya supaya mengenakan pakaian yang sopan. Dalam pengertian yang lebih luas dapat disimpulkan bahwa berpakaian sopan itu merupaka n ciri identitas seorang muslim. Dalam beberapa literatur fiqih dikatakan bahwa aurat laki-laki adalah bagian bad an antara pusar perut hingga lutut. Akan tetapi keterangan tersebut dapat diperlengkap dengan kandunga n ayat 31 surat Al A raf di atas. Karena dalam ukuran akhlak kita ketika hendak beribadah yang hakika tnya menghadap Allah SWT alangkah tidak sopan jika hanya mengenakan kain untuk menutupi daerah tersebut saja. Dasar Hukum Hijab (pakaian penutup) bagi Wanita Muslimah Allah SWT berfirman : Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-is teri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah a dalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab : 59)

Sebuah isyarat yang sangat mencengangkan, jika kita mendalami makna yang terkand ung pada ayat di atas. Sepintas, bisa saja ada orang yang memahami ayat ini hanya dari sudut teks tual, yaitu dengan menyimpulkan bahwa kewajiban mengenakan jilbab itu dikhususkan bagi istri-istri dan anak-anak perempuan Nabi. Namun secara kontektual dapat dimaknai bahwa Nabi-Nabi Allah itu adalah public figur, ketika menyuarakan dengan lantang, mengajak, menyeru umat, berdakwah untu k berbuat kebajikan, menutup aurat, dan sebagainya. Maka umat yang diseru secara langsung akan melakukan pengamatan balik kepada si penyeru tersebut, termasuk tidak luput terhadap kelua rganya. Di samping itu, sifat dan karakter Rasulullah SAW ketika menyerukan atau memerintahkan sesu atu, sebelum perintah itu disampaikan kepada umatnya maka beliau selalu menjadi pelaku utama dan yang pertama memberikan contoh bagi umatnya. Dalam ayat di atas juga disebutkan adanya kalimat (dan istri-istri orang mu min), hal ini memberikan penjelasan bahwa perintah mengenakan jilbab itu bukan hanya dituj ukan kepada istriistri dan anak-anak anak perempuan Nabi saja, melainkan seluruh wanita yang merasa dir inya beriman. Jilbab dalam pengertian umum artinya selendang yang berfungsi menutup seluruh tu buh wanita di atas pakaiannya (Ash-Shabuni). Sedangkan dalam penjelasan ayat 59 surat Al Ahzab dise butkan bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada. Dengan demikian, asumsi tentang jilbab yang kita temukan sehari-hari di ka langan muslimin Indonesia sepertinya keliru. Sebab kondisi ini sepertinya sudah terlebih dahulu memasyarakat bahwa jilbab itu artinya kerudung . Oleh karenanya, bisa jadi salah kaprah ketika wanita muslimah kita mengenakan kerudung, sementara badan ke bawahnya mengenakan pakaian serba ketat. Maka hal ini jelas bukanlah busana muslimah. Namun demikian pakaian seperti ini tentu akan me ndapat poin --misalnya nilai lumayan--- daripada tidak sama sekali. Sekali lagi, acapkali sudah menjadi budaya bangsa kita yang memasyarakatkan sebu ah istilah keliru atau diposisikan tidak pas dengan makna sebenarnya. Misalnya, pada saat era reformasi didengungkan maka orang rame-rame orang menurunkan pejabat pemerintah yang dipandang tidak adil. U paya menurunkan pejabat pemerintah itu mereka sebut dengan isitilah direformasi . Sehing ga masyarakat awam berasumsi bahwa direformasi itu artinya diturunkan dari suatu jabatan. Dalam ha l ini persis seperti asumsi tentang istilah jilbab yang secara umum dipahami bahwa jilbab itu art inya kerudung wanita. Para pedagang busana pun ikut-ikutan mempopulerkan istilah jilbab untuk barang dagangan yang mereka maksudkan dengan kerudung.

Salah satu tujuan disyari atkannya berjilbab adalah dentitas muslimah dibadingkan dengan wanita-wanita non muslim. Karena bahwa wanitawanita yang mempunyai karakter suka memamerkan lekuk tubuh bagian dari moralitas wanita-wanita jahiliyah. Sebagaimana

agar manusia mudah mengenali i diterangkan dalam ayat lain dan perhiasannya itu adalah firman Allah :

dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah (QS . Al Ahzab : 33) Maka tatkala wanita-wanita muslimah berpakaian mini, ketat, pamer aurat, nyaris bugil, dan seterusnya dapatlah dipastikan bahwa mereka sudah tidak lagi memiliki integritas dalam keya kinannya. Patutlah dipahami bahwa nilai keimanan seseorang tidak bisa ditawar menawar, apalagi deng an urusan duniawi yang harganya sangat murah. Wanita-wanita non-muslimah meskipun tidak diperintahkan untuk berjilbab, akan te tapi tidak boleh dibiarkan untuk merusak kultur masyarakat muslim yang dengan seenaknya pamer tub uh dan telanjang di dalam komunitas muslim. Karena masih ada norma kesopanan yang tetap harus dij aga dalam status sosial kita, apalagi bangsa Indonesia yang dengan adat ke-timur-annya memiliki a dat dan budaya tersendiri dalam tata pergaulannya. Di samping itu, kita sebagai umat Islam meya kini bahwa tak ada satu agama pun di dunia ini yang mengajarkan pada umatnya tentang bugil dan keti daksopanan dalam berbusana. Dengan nada yang lebih tegas Asy Syaikh As Sayid Sabiq berkata bahwa yang membed akan antara manusia dengan hewan adalah faktor pakaian dan alat-alat perhiasan. Allah SWT be rfirman : Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Ya ng demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS. Al A raf : 26) Pakaian dan perhiasan adalah dua aspek kemajuan dan peradaban kontemporer umat m anusia. Mengabaikan keduanya berarti kembali ke zaman primitif. Sedangkan hak milik wani ta yang paling utama adalah kemuliaan, rasa malu, kehormatan dan harga dirinya. Tak ada yang bi sa menghargai diri seseorang selain dirinya sendiri. Memelihara keutamaan-keutamaan ini berarti mem elihara hakikat martabat kemanusiawian seorang wanita dalam derajat yang paling luhur. Berbusana muslimah harus didasari dengan kesadaran yang tulus sebagai manifestas i pancaran iman. Jika berjilbab hanya didasarkan karena faktor lingkungan, pergaulan, atau ekses penilaian manusia secara umum. Atau lebih bernuansa motivasi mode dan kepatutan, alasan menutup ra

mbut yang tidak ditata kecantikan, alasan karena rambutnya sudah banyak ditumbuhi uban dan sebag ainya. Maka jilbab hanya berfungsi sebagai kedok kamuplase. Takutlah kepada Allah, wahai saudariku. Tidak perlu merasa dipaksa hanya lantara n tuntutan lingkungan, pergaulan suku dan kedaerahan. Karena berjilbab seperti itu tidak ak an menjadi nilai ibadah di hadapan-Nya. Yang pasti dari permainan sandiwara yang diperankan delam kehidu pan seseorang, bukanya akan membuat hidup seseorang menjadi lebih tenang, melainkan akan menyis akan rasa cape yang tiada batas. Sering kali kita menyaksikan beberapa tokoh wanita yang mencoba mengenakan jilba b pada acaraacara yang bersifat insidental; antara lain ketika menarik simpati masyarakat, khusus pada forum-forum tertentu agar tidak disangka bukan Islam, dan sebagainya. Sedangkan ketika merek a kembali pada profesi dan komunitasnya, maka lepaslah jilbab itu. Na uzubillah. Persoalan hukum jilbab ini adalah bagian dari ruang lingkupnya hukum Allah. Tida k seorangpun yang berhak melakukan opsi-opsian. Sehingga terjadilah pemungutan suara, alternatif p ilihannya ada dua antara setuju dengan tidak setuju. Hukum Allah itu tidak boleh dimasukan pada ra nah hukum baru produk manusia, apalagi melibatkan orang-orang yang tidak mengerti tentang syari a t sama sekali. Sebab produk hukum manusia, jika tidak menemukan kata mufakat akan berakhir pada voting. Sebut saja misalnya undang-undang tentang pornografi dan pornoaksi. Atau undangundang perkawinan. Kedua macam hukum ini diperguncingkan hingga tidak pernah putus, soa lnya pada substansi kedua aturan perundang-undangan ini jelas mangandung tuntutan syari at A llah. Sementara itu, ketika aturan syari at ditawarkan dengan opsi setuju dan/atau tidak setuju maka konsekuensinya adalah utuh keimanan atau murtad??

También podría gustarte