Está en la página 1de 40

PENILAIAN EKONOMI SUMBERDAYA LINGKUNGAN: TINJAUAN TEORITIK DAN KASUS-KASUS EMPIRIK

MADE ANTARA1), MADE SUDITA2) dan I GUSTI BAGUS MADE WIRADHARMA2)


1) Pengajar Ekonomi Lingkungan pada Program Magister Ilmu Lingkungan PPS UNUD 2) Alumni Program Magister Ilmu Lingkungan PPS UNUD

ABSTRACT Development process signed by utilize of resources, namely all of things to contribute on making of goods and services to consume, appearing positive and negative impact. Positive aspect is to increase welfare all of people and based for stage of development follows. Negative aspect is production and consumption process appearing externality that need handling. There are many techniques which can help to evaluate environment resources. From benefit side namely: (1) Technique of market value and productivity, (2) Substitute market approach (goods and services of environment that can marketed, Property Value Approach, Wage Difference Approach, Travelling Cost Approach, Hedonic Price Approach), (3) Compensation Approach, (4) Survey Approach (Willingness to Pay, WTP and Willingness to Accept, WTA). From cost side namely: (1) Cost Analysis Technique (Preventive Expenditure Technique, Substitute Cost Approach, and Shadow Project Approach), (2) Cost Effectiveness Analysis Technique. From Benefit and Cost Side, i.e. (1) Static Model (Profit analysis derivate from cost function and revenue function), (2) Dynamic Model (Benefit/Cost Analysis), (3) Linear Program, and (4) Input-Output Technique. Dissemination process of this techniques which need do by government and education institutions, so that use the resources in national, regional and local development always accounting positive and negative aspect, so that can avoided all of things unwanted by next generation. Keyword: Economic Value, Resources, Teoritic, and Empiric

BAB I PENDAHULUAN
Lingkungan hidup merupakan media hubungan timbal-balik antara manusia dan mahluk lain dengan faktor-faktor alam. Lingkungan hidup terdiri dari berbagai proses ekologi dan merupakan satu-kesatuan siklus, yang terdiri dari: (1) Siklus hidrologi, yang mengatur tata perairan; (2) Siklus hara, yang mengatur tata makanan; (3) Siklus enerji dan bahan yang mengatur penggunaan dan perubahan bentuk enerji; dan (4) Siklus lain yang merupakan struktur dasar ekosistem.

Makalah disajikan pada Seminar Nasional V dan Kongres Nasional II Masyarakat Akuntansi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Indonesia (MASLI), 11-12 Desember 2008 di Inna Kuta Bali Hotel.

Proses pembangunan yang ditandai dengan pemanfaatan sumberdaya, yaitu segala sesuatu yang menyumbang pada pembuatan barang-barang dan jasa untuk konsumsi, membahwa segi-segi positif dan negatif. Segi positif adalah meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat dan meletakkan landasan kuat untuk tahap pembangunan berikutnya. Segi negatifnya, proses produksi dan konsumsi menimbulkan pencemaran lingkungan yang perlu ditangani. Gangguan ini sebagian dapat diatasi dengan penggunaan berbagai teknologi pencegah pencemaran lingkungan. Gangguan lain yang mendasar terhadap struktur ekosistem merupakan gangguan yang tidak mungkin diatasi oleh kemampuan manusia. Gangguan seperti ini harus dihindari, sebab apabila tidak, hal itu merupakan gangguan terhadap kelangsungan hidup manusia dan mahluk lain. Teknologi yang merupakan bagian dari kehidupan manusia, memiliki peranan yaitu: (1) Memperbaiki efisiensi produksi; (2) Mencegah kemungkinan meluasnya pencemaran dari proses produksi dan konsumsi, termasuk usaha pemanfaatan kembali limbah buangan; (3) Menanggulangi kemungkinan

meluasnya pencemaran yang telah telanjur terjadi dalam lingkungan hidup manusia, termasuk usaha pemanfaatan kembali limbah buangan produksi ini; (4) Mencegah kemungkinan timbulnya limbah buangan dari usaha pemanfaatan kembali limbah konsumen,

termasuk

buangan konsumen; (5)

Menanggulangi kemungkinan meluasnya limbah buangan yang terlanjur terjadi dalam lingkungan termasuk pemanfaatan kembali limbah buangan yang datang dari konsumen ini; (6) Menemukan cadangan baru sumberdaya yang ada; (7) Menemukan sumber-sumber daya pengganti; dan (8) Mengatur lingkungan hidup pada umumnya, artinya dengan teknologi yang tersedia dapatlah tingkat kualitas lingkungan hidup dipertahankan atau ditingkatkan, terutama kualitas lingkungan hidup yang berhubungan dengan udara, air dan tanah (lihat Gambar 1.1).

Banyak

bentuk

insentif

ekonomi

yang

telah

dikembangkan

untuk

mendorong sustainable resources development and environenmental integraty. Tiga kategori luas yang berkisar dari tipe pendekatan instruksi keras (regulasi langsung) sampai pendekatan berorientasi pasar tinggi. Masing-masing memiliki keunggulan dan kerugian. Misalnya, penciptaan pasar cenderung menjadi economically paling efisien, tetapi mereka sulit dilaksanakan; regulasi langsung adalah tidak efisien, namun sering paling layak secara administratif. Banyak juridiksi dicakup bahwa pendekatan pembayaran, pajak dan subsidi adalah suatu kompromi, baik di antara efisiensi dan kelayakan. Paling banyak insentif formal di Indonesia pada regulasi langsung untuk manajemen lingkungan. Pembayaran juga digunakan membatasi tingkat, walaupun mereka secara tipikal tetap rendah dan tidak menawarkan suatu insentif besar untuk penyesuaian praktek produksi. Sebagai contoh konkrit yakni sektor pertanian di Indonesia mendapat insentif

dalam bentuk subsidi produksi. Pencemaran yang disinggung sebelumnya merupakan limbah dari kegiatan ekonomi, baik produksi maupun konsumsi manusia yang hidup di bumi yang hanya satu-satunya ini. Sebagai contoh, didirikannya kilang minyak yang menghasilkan bahan bakar, tetapi juga mengeluarkan limbah buangan atau sisa bahan yang mencemari udara daerah pemukiman sekitarnya. Dapatlah dikatakan bahwa setiap produksi bahan bakar akan menambah limbah atau sisa buangan
3

yang merugikan daerah pemukiman, baik dalam bentuk makin memburuk tingkat kesehatan masyarakat maupun kebisingan secara terus-menerus. Kerusakan karena polusi atau pencemaran merupakan externalities diseconomies atau eksternalitas negatif sehingga menimbulkan biaya sosial (social cost) atau biaya eksternal (external cost) yang tidak tampak pada pembukuan (penerimaan dan biaya) kilang. Jadi, jalan keluar dari eksternalitas ini adalah menginternalisasikan biaya eksternal (external cost), yaitu memperhitungkan semua biaya-biaya eksternal dengan menggunakan teknik-teknik penilaian ekonomi, seperti halnya memperhitungkan biaya pekerja atau biaya modal ke dalam perhitungan biaya produksi. Penyusunan dan penyajian makalah ini bertujuan memperkenalkan berbagai macam teori penilaian sumberdaya lingkungan kepada publik dan menunjukkan penterapannya pada beberapa kasus sumberdaya lingkungan.

BAB II TINJAUAN TEORITIK


Banyak teknik penilaian ekonomi sumberdaya lingkungan telah dibahas oleh penulis-penulis seperti, Reksohadiprodjo (1987), Schram and Jeremy (1989), Pearce and Kerry (1990), Pearce et al. (1990), Hartwick and Nancy (1986), Dixon and Maunard (1993), Dixon and Maynard (1993), Tietenberg (1994), dan Turner et al., (1994). Namun pada prinsipnya teknik penilaian ekonomi dapat ditinjau dari tiga segi yaitu, (1) segi manfaat, (2) segi biaya, dan (3) gabungan keduanya yaitu, segi manfaat dan biaya. Sedangkan dalam makalah ini hanya ditinjau secara teoritik beberapa teknik secara singkat dan verbal yang relatif mudah penterapannya, yang bersumber dari penulis-penulis tersebut, antara lain: A. Segi Manfaat Dari segi manfaat ada empat pendekatan yaitu: 1. Teknik Nilai Pasar atau Produktivitas Teknik ini biasanya dipakai untuk meneliti pengaruh pembangunan terhadap sistem alami, seperti pada perikanan, kehutanan, pertanian; pengaruh sistem yang dibangun manusia yaitu gedung, jembatan, bahan, juga pengaruh pada produk di sektor produsen rumahtangga. Kualitas lingkungan di sini adalah
4

faktor produksi. Perubahan dalam kualitas lingkungan menjurus pada perubahan produktivitas dan biaya produksi, sehingga harga-harga serta tingkat hasil juga berubah dan ini dapat diukur. Misal, perbaikan kualitas air irigasi dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Tambahan hasil kali harga hasil per unit merupakan manfaat perbaikan kualitas air irigasi.

2. Pendekatan Pasar Pengganti Pendekatan ini ada beberapa macam, antara lain: a. Barang-barang dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dipasarkan. Jasa lingkungan merupakan substitut barang privat yang dapat dipasarkan. Misalnya, kolam renang swasta merupakan substitut danau atau sungai, sehingga manfaat tambahan penawaran jasa lingkungan mengakibatkan berkurangnya pembelian barang privat. b. Pendekatan Nilai Milik Pendekatan nilai milik dipakai untuk menentukan kesediaan membayar (Willingness to Pay, WTP) barang lingkungan, yaitu pemanfaatan nilai pasar untuk mengestimasi secara tidak langsung suatu kurva permintaan barang lingkungan sehingga dapat dihitung manfaat atau kerugian dari perubahan kualitas atau suplai ingkungan tertentu. Pendekatan nilai milik lainnya yaitu berdasarkan perhitungan tanpa dan dengan proyek; dilihat beda/selisih tiap tahun untuk waktu mendatang. Misalnya, diadakan pemeliharaan barang-barang lingkungan untuk maksud sejarah,

pendidikan, kebudayaan, ilmiah dll, terutama untuk generasi mendatang. c. Pendekatan Selisih Upah Secara teoritis upah tergantung pada permintaan dan penawaran terhadap tenagakerja. Sedangkan permintaan tenagakerja tergantung pada produk fisik marjinal (Marginal Physical Product) tenagakerja, dan penawaran tenagakerja tergantung pada kondisi kerja dan kondisi hidup. Oleh karena itu, pengendalian polusi udara, perbaikan keindahan atau ameities kota dan pengurangan resiko kesehatan akan mempertinggi tingkat upah di kotakota. Jadi, jelaslah perbaikan kualitas lingkungan akan berpengaruh besar terhadap tingginya upah.

d. Pendekatan Biaya Perjalanan (Travelling Cost Approach) Pendekatan ini dipakai untuk menilai barang-barang yang underpriced atau dinilai terlalu rendah. Misalnya, untuk mencari kurva permintaan barang-barang rekreasi. Biasanya, makin tinggi penghasilan seseorang, makin besar permintaan terhadap barang rekreasi. Mengimpute atau menilai secara implisit reaksi harga dan jumlah yang diminta seorang konsumen barang lingkungan dilakukan dengan cara mengamati perilaku pengeluaran berdasar harga perjalanan untuk mendapatkan (pengalaman) rekreasi atau mengkonsumsi barang lingkungan. Biaya perjalanan ke tempat rekreasi mempengaruhi banyaknya kunjungan, yang dapat diformulasikan dalam bentuk fungsi permintaan: Q = f (TC, X1, .. Xn) Q = banyaknya kunjungan TC = biaya perjalanan (Travelling Cost, TC) X1, Xn = faktor-faktor lain f = fungsi atau dipengaruhi oleh e. Pendekatan Harga Hedonik (Hedonic Price) Pendekatan ini digunakan menghitung manfaat dari adanya fasilitas rekreasi/kesenangan yang diperoleh penghuni lokasi tertentu, karena adanya peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya. Misalnya, suatu komplek perubahan dengan penataan taman yang sangat asri, sehingga menambah indahnya panorama komplek perumahan tersebut. Konsumen yang menghargai keindahan dan keasrian taman tersebut akan bersedia membayar dengan harga lebih tinggi dibandingkan dengan komplek perumahan tanpa taman walau dengan harga lebih rendah.

3. Pendekatan Litigasi atau Kompensasi Pendekatan ini menggunakan perhitungan ganti rugi atau kompensasi atau pampasan yang dibayarkan kepada mereka yang menderita kerugian atau kerusakan, dengan sejumlah uang agar mereka menyerahkan hak terhadap barang lingkungan. Misalnya, nelayan-nelayan di Cilacap diberikan ganti rugi sebesar rata-rata keuntungan tahunan mereka dibagi dengan tingkat bunga yang berlaku, agar mereka menyerahkan hak menangkap ikan mereka di daerah yang tercemar oleh paberik-paberik di komplek industri Cilacap.
6

4. Pendekatan Survai (Willingness to Pay, WTP dan Willingness to Accept, WTA) Pendekatan ini menggunakan asumsi yakni harga barang-barang atau jasajasa berbeda tergantung pada perubahan dalam jumlah kualitas lingkungan yang disuplai. Penilaian didasarkan pada kesediaan orang untuk membayar (Williness to Pay, WTP) sekelompok barang yang lebih baik atau kualitas lingkungan yang lebih baik (variasi kompensasi) atau kesediaan menerima (Williness to Accept, WTA) bila memperoleh barang dan jasa yang lebih inferior atau kualitas lingkungan yang lebih buruk (variasi ekuivalen). Untuk barang publik, kurva penawaran dijumlah secara vertikal untuk memperoleh tawaran total. Biaya marjinal penyediaan barang dengan pemakai marjinal = 0. Kurva ini merupakan kurva permintaan yang dikompensasi oleh penghasilan, sehingga disebut income compensated demand curva.

Prakteknya di lapangan: (i) pewawancara menjelaskan kuantitas, kualitas, waktu, lokasi barang yang dapat dipakai dalam waktu tertentu; (ii) mulai ditanya bersedia membayar: kalau ya dinaikkan sampai dia tak bersedia membayar, kemudian, (iii) diiturunkan lagi sampai benar-benar bersedia membayar berapa; (iv) ini disebut pendekatan converging atau memfokus atau dengan kata lain orang ditanya: lebih baik membayar berapa dari pada kehilangan barang itu.

B. Segi Biaya 1. Teknik Analisis Biaya Teknik analisis biaya terdiri dari Teknik Pengeluaran Preventif, Pendekatan Biaya Ganti, dan Pendekatan Proyek Bayangan. a. Teknik Pengeluaran Preventif Teknik Pengeluaran Preventif mengestimasi nilai minimum kualitas lingkungan berdasarkan kesediaan orang mengeluarkan biaya untuk menghilangkan atau paling tidak mengurangi akibat buruk lingkungan. Misalnya, orang menghindar dari pemukiman yang dekat dengan pelabuhan udara atau dari jalan raya. Jadi kalau gangguan dirasakan tak dapat ditenggang, maka orang bersedia membayar berapa saja untuk mengurangi, menghindari atau
7

bahkan

meniadakan

sama

sekali

gangguan tersebut. Apabila dijumlah, maka jumlah tersebut merupakan nilai barang lingkungan yang mengganggu tersebut. b. Pendekatan Biaya Ganti Pendekatan biaya ganti biasanya diterapkan pada kasus konservasi tanah pegunungan. Nilai barang lingkungan yang dikonservasi adalah sebesar usaha melindungi tanah tersebut dari erosi dengan cara menutup tanah dengan alat pelindung tertentu. Nilai tanah kemudian terdiri dari nilai/harga pelindung dan manfaat yang diperoleh dari ditiadakannya banjir di bagian-bagian bawah. c. Pendekatan Proyek Bayangan Pendekatan berdasarkan pada proyek bayangan dilaksanakan dengan mengemukakan secara hipotetis suatu proyek yang dapat ditanggulangi persoalan dengan berbagai alternatif bayangan. Misalnya,

penanggulangan rawa-rawa di daerah Kalimantan Tengah. Jika ditutup sama sekali dengan tanggul-tanggul, biayanya berapa. Jika ditutup sebagian, dibuat danau di tengah-tengah, biayanya berapa. Jika ditanggul sebagian, bagian lain dibiarkan keasliannya, biayanya berapa, dan lainlain. Pada hakekatnya dicari manfaat netto dari alternatif-alternatif tersebut selama waktu tertentu dengan tingkat bunga tertentu.

2. Teknik Analisis Keefektifan Biaya Analisis keefektifan biaya juga hampir sama. Misalnya, mengurangi SO dapat dengan berbagai cara, yaitu dengan meninggikan cerobong asap,

menggunakan batubara yang baik, beralih memanfaatkan BBM dengan sulfur rendah, dan lain-lain. Berapa masing-masing biayanya. Mana yang paling dapat dipertanggung jawabkan dalam rangka mengurangi SO sampai mendekati angka nol lb/kwh dengan biaya yang dapat ditenggang. Di Proyek Perluasan Kilang Cilacap investor memilih meninggikan cerobong asap

dengan biaya tertentu untuk menanggulangi polusi dari pada harus membayar kompensasi berupa kesediaan untuk membayar (Willingness to Pay, WTP) karena udara di sekitar paberik terpolusi.

C. Segi Manfaat dan Biaya Teknik analisis ini merupakan gabungan dari segi manfaat dan segi biaya, antara lain: (1) Model Statis (analisis keuntungan yang diturunkan dari fungsi biaya dan fungsi penerimaan), (2) Model Dinamis (Benefit/Cost Analysis), (3) Program Linier, dan (4) Teknik Input-Output Wassily Leontief.

BAB III KASUS-KASUS EMPIRIK


3.1. Pariwisata Menimbulkan Eksternalitas 3.1.1. Latar Belakang Dari perspektif ekonomi, dampak positif pariwisata pada umumnya adalah (1) mendatangkan devisa bagi negara, melalui penukaran mata uang asing untuk dibelanjakan di daerah tujuan wisata; (2) pasar potensial bagi produk barang dan jasa daerah tujuan wisata; (3) meningkatkan pendapatan masyarakat yang (4)

kegiatannya terkait langsung atau tidak langsung dengan jasa pariwisata;

memperluas penciptaan kesempatan kerja, baik pada sektor-sektor yang terkait langsung seperti perhotelan, restoran, agen perjalanan, maupun sektor-sektor

yang tidak terkait langsung seperti industri kerajinan, penyediaan produk-produk pertanian, atraksi budaya, bisnis eceran, jasa-jasa lain dan sebagainya; (5)

sumber pendapatan asli daerah (PAD), dan (6) merangsang kreaktivitas seniman, baik seniman pengrajin industri kecil maupun seniman tabuh dan tari yang diperuntukkan konsumsi wisatawan. Jadi pariwisata di manapun, termasuk di Bali memang tak terbantahkan telah menimbulkan dampak positif (positive impact) bagi perekonomioan ragional dan nasional. Namun patut pula diakui bahwa pariwisata juga menimbulkan dampak negatif (negative impact), antara lain, menyusutnya lahan pertanian untuk pembangunan pendukung infrastruktur pariwisata, meningkatnya kriminalitas, munculnya PSK, kepadatan lalu lintas, urbanisasi dan emigrasi, bermuculannya ruko-ruko, shopping centre dan mall yang melanggar tataruang wilayah, degradasi lingkungan dan polusi. Dampak negatif yang disebutkan terakhir disebut eksternalitas, utamanya eksternalitas negatif (negative externality= external cost = external diseconomy), yaitu aktivitas kepariwisataan yang menimbulkan kerusakan lingkungan, polusi air (sungai, laut dan sumur) dan tanah, sehingga
9

menyebabkan kerugian sosial yang ditanggung oleh masyarakat di daerah tujuan wisata. Secara mikro untuk menurunkan eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh pariwisata (tourism) dapat dilakukan seperti prinsip-prinsip atau teori-teori yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni memberikan insentive dalam bentuk subsidi atau keringanan pajak (Pajak Hotel dan Restotan, PHR) kepada agen-agen penunjang pariwisata (misal: restoran, hotel, travel biro, Scuba Diving dan agen lainnya) yang memberikan perlindungan atau melestarikan lingkungannya.

Misalnya hotel atau agen pariwisata yang merecyling limbahnya, baik limbah padat atau cair, sehingga tidak menimnulkan pencemaran terhadap tanah dan air di sekitarnya. Sebaliknya pemerintah dapat mengenakan disincentive dalam bentuk peningkatan beban pajak (PHR) atau denda kepada agen-agen penunjang pariwisata yang mencemari lingkungannya, baik pencemaran air, tanah, dsb, yang menyebabkan kerugian masyarakat.

3.1.2. Tinjauan Teoritik dan Empirik .JIka ditinjau secara makro, maka pariwisata (tourism) berperan besar dalam meningkatklan pendapatan regional ataupun nasional. Jika diformulasikan dalam bentuk model ekonomi makro, maka pendapatan regional atau nasional yang dihitung dari sisi pengeluaran adalah sebagai berikut: Y=C+I+G+EM Di mana, Y = pendapatan regional atau nasional; C = pengeluaran konsumsi masyarakat; I = pengeluaran investasi swasta; G = pengeluaran pemerintah; E = Ekspor; dan M = Impor. Jika pariwisata maju dan berkembang, berarti akan ada peningkatan kunjungan wisatawan, berarti juga ada peningkatan pengeluaran wisatawan di daerah tujuan wisata, maka otomatas akan terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, pemerintah, pengusaha swasta dan ekspor jasa-jasa kepariwisataan. Selanjutnya pendapatan ini dibelanjakan kembali atau

dikeluarkan, sehingga menyebabkan terjadi peningkatan C, I, G dan E, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan total atau pendapatan regional/nasional (Y). Namun seperti disinggung sebelumnya, pariwisata juga menimbulkan eksternalitas, utamanya eksternalitas negatif yang secara langsung ataupun tidak
10

langsung menyebabkan degradasi sumberdaya alam, polusi air, tanah, dsb, sehingga akan menimbulkan kerugian-kerugian yang harus ditanggung

masyarakat (External Social Cost). Jika External Social Cost ini diinternalisasikan menjadi biaya riil, sudah jelas akan menurunkan pendapatan regional atau nasional. Oleh karena itu, model ekonomi makro sebelumnya harus dikoreksi dengan memasukkan komponen eksternalitas negatif ke dalam model. Y = C + I + G + E M + Ekternalitas negatif Jadi karena eksternalitas yang ditimbulkan oleh pariwisata adalah eksternalitas negatif, maka pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dari model ekonomi makro tersebut perlu dikurangi. Atau dengan kata lain perlu dilakukan economic valuation dari sumberdaya yang dipergunakan dalam aktivitas perekonomian nasional atau regional. Faktor-faktor yang harus dimasukkan dalam melakukan economic valuation dari sumberdaya yang digunakan dalam kegiatan ekonomi nasional atau regional, antara lain: 1. Penentuan harga: Hedonic price, yaitu menghitung harga lingkungan yang rusak akibat adanya aktivitas ekonomi kepariwisataan; Perlu disediakan cost prevention dalam upaya mempertahankan servis agar nilai produktivitas secara histories tetap (historical price); Real price, yaitu adanya existing market dan adanya proksi (non existing market) melalui derived demand. Future price dengan konsep willingness to pay (WTP) dan willingness to sell (=willingness to accept = WTA), di mana WTP selalu maksimum dan WTA selalu minimum. Hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu yang tidak peduli terhadap existing sesuatu barang. 2. Ekternalitas negatif, yaitu menghitung semua kerugian-kerugian yang ditanggung masyarakat akibat adanya aktivitas ekonomi kepariwisataan. Dalam economic valuation selain fixed services, perlu pula dihitung flow of services (pelayanan sumberdaya). Maksudnya perlu dihitung negosiasi antara WTP dan WTA. Sebagai contoh, dalam pembebasan lahan petani untuk kepentingan pariwisata, tidak hanya nilai lahan tersebut yang dihitung, tetapi perlu dihitung sumberdaya air yang ada di lahan tersebut. Oleh karena itu, dalam melakukan economic valuation perlu dimasukkan konsep Marketable Development Rights (MDR).
11

3.1.3. Simpulan 1. Pariwisata tak dapat dipungkiri memang menimbulkan dampak positif bagi perekonomian nasional dan regional. Namun patut pula diakui bahwa pariwisata juga menimbulkan dampak negatif, salah satunya adalah munculnya eksternalitas negatif (negative externality= external cost = external disecionomy), 2. Secara mikro menurunkan eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh pariwisata (tourism) adalah memberikan insentive dalam bentuk subsidi atau keringanan pajak (Pajak Hotel dan Restotan, PHR) kepada agen-agen pariwisata yang memberikan perlindungan atau melestarikan lingkungannya. Sebaliknya pemerintah dapat memberikan disincentive dalam bentuk peningkatan beban pajak (PHR) atau denda kepada agen-agen pariwisata yang mencemari lingkungannya, baik pencemaran air, tanah, dsb. 3. Eksternalitas yang ditimbulkan oleh pariwisata secara langsung ataupun tidak langsung menyebabkan kerugian-kerugian yang harus ditanggung masyarakat (negative externality = External Social Cost). Jika External Social Cost ini diinternalisasikan menjadi biaya riil, maka model ekonomi makro menjadi: Y = C + I + G + E M + Ekternalitas negatif 3.2. Nilai Sosial Ekonomi Air di Kawasan Pura Tirta Empul Desa Manukaya Kabupaten Gianyar Bali 3.2.1. Latar Belakang Kabupaten Gianyar merupakan salah satu wilayah yang memiliki sumber daya air, berupa air permukaan dan air tanah yang potensial. Mata air di Pura Tirta Empul yang dialirkan lewat pancuran memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang sedang berkunjung. Hasil penelitian pendahuluan

menginformasikan bahwa air yang bersumber dari mata air di Pura Tirta Empul sampai saat ini dimanfaatkan untuk air Suci atau Nunas Tirta, bahan baku air minum oleh PDAM Kabupaten Gianyar sebanyak 330,32 m 3/bulan yang bersumber dari tiga titik pengambilan (Anonim, 2000), kebutuhan air untuk Istana Presiden Tampaksiring, air irigasi subak Pulagan Kumba seluas 183,5 ha dan untuk membersihkan diri atau melebur. Wisatawan yang datang untuk mandi di permandian umum sekitar Pura Tirta Empul dominan wisatawan lokal, yang

12

sampai saat ini belum di pungut biaya apapun. Padahal ini merupakan aset yang perlu dikelola demi kelestarian fungsi dan keberlangsungan mata air di Pura Tirta Empul. Penelitian ini bertujuan menilai sumberdaya air Tirta Empul, khususnya terkait nilai sosial (social benefit), nilai ekonomi total (total economic value) yang terkandung di dalamnya, dan usaha-usaha pelestarian saat ini yang telah dan perlu dilakukan oleh berbagai pihak.

3.2.2. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan Pura Tirta Empul Tampaksiring, Desa Manukaya, dan subak Pulagan Kumba Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Propinsi Bali, yang ditentukan secara purposif (sengaja).

3.2.3. Suamber, Jenis dan Metode Pengumpulan Data Sumber Data Sumber data adalah data primer dan data sekunder. Data primer, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertama. Dalam penelitian ini, data primer yang dibutuhkan bersumber dari responden yang memanfaatkan air di kawasan Pura Tirta Empul untuk Melebur dan dari Pekaseh Subak

Pulagan Kumba; Data sekunder, yaitu data yang biasanya telah disusun dalam bentuk dokumen-dokumen, yang bersumber dari beberapa instansi, seperti PDAM Kabupaten Gianyar, Istana Presiden Tampaksiring, dll. Jenis data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif, yaitu data yang menunjukkan kuantitas atau jumlah, biasanya dalam bentuk angka-angka. Dalam penelitian ini data kuantitaf yang diperlukan berupa jumlah pemanfaatan Air oleh PDAM Gianyar, jumlah pemanfaatan air untuk Istana Presiden Tampaksiring, jumlah pemanfaatan air untuk irigasi, jumlah Sesari dan kesediaan untuk membayar (Willingness to Pay) atas barang lingkungan; Data kualitatif, yaitu data yang menyatakan kualitas atau mutu yang biasanya dinyatakan dalam bentuk pernyataan. Dalam penelitian ini data kualitatif yang diperlukan seperti persepsi masyarakat. Pengumpulan data penelitian dilaksanakan dengan beberapa metode yaitu: (i) Observasi, yaitu melakukan pengamatan atau observasi ke lapangan agar diperoleh gambaran yang lebih jelas tentang masalahnya dan mungkin petunjukpetunjuk tentang cara pemecahannya. Data yang diperoleh dengan observasi adalah data kuantitatif seperti data pemanfaatan air oleh PDAM Gianyar dan
13

kebutuhan air untuk Istana Presiden Tampaksiring; (ii) Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab dengan responden dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur (questioner). Data yang diperoleh dengan wawancara seperti data kesediaan membayar untuk melebur di kawasan Pura Tirta Empul, data selisih keuntungan bersih petani Subak Pulagan Kumba menanam padi dengan menanam palawija, data jenis swinih Subak Pulagan Kumba.

3.2.4. Sampel Penelitian Populasi yang homogen jarang ditemukan dalam kehidupan sosial. Di dalam penelitian ini akan menggunakan metode pengambilan sampel stratified proporsional random sampling untuk sampel melebur bagi masyarakat yang berasal dari Desa Manukaya, metode pengambilan sampel simpel random sampling untuk sampel krama Subak Pulagan Kumba dan metode pengambilan sampel aksidental untuk sampel dari luar Desa Manukaya yang kebetulan sedang melebur di kawasan Pura Tirta Empul. Populasi yang berasal dari Desa Manukaya akan diklasifikasikan menurut pendidikan, dengan harapan makin kecil variasi diantara anggota populasi. Pengunjung potensial didefinisikan sebagai orang yang berumur 15-75 tahun ke atas dan memiliki penghasilan, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk membayar dan juga kesediaan untuk membayar (Dixon dan Hufschmidt, 1993). Jumlah penduduk Desa Manukaya yang berumur 15-75 tahun keatas sebanyak 7.263 orang atau 73,36% dari total jumlah penduduk yaitu 9.900 orang (Hasil Sensus Penduduk, 2000). Dalam penelitian ini jumlah sampel yang diambil sebanyak 5% dari jumlah penduduk yang berumur 15-17 tahun yaitu 363,15

dibulatkan menjadi 364 orang, dengan asumsi sampel melebur sekali dalam satu bulan. Sampel dirandom secara proporsioanl pada setiap strata, yaitu strata pendidikan (Tabel 1). Jumlah krama Subak Pulagan Kumba sebanyak 200 orang yang diambil sebagai sampel sebanyak 20 orang (10%) untuk memperoleh data selisih keuntungan bersih petani menanam padi dengan mananam palawija. Sesuai hasil survei pendahuluan, rata-rata jumlah pengunjung yang melebur sebanyak 39 orang/hari, sehingga dalam satu bulan diperkirakan sebanyak 1.170 orang. Jumlah sampel dari luar Desa Manukaya akan diambil sebanyak 10% (117 orang) secara accidental, karena populasi tidak diketahui.

14

Tabel 1. Jumlah Sampel Menurut Pendidikan No Tingkat Pendidikan Sekolah Dasar SLTP SMU Diploma Sarjana Jumlah Jumlah Penduduk (orang) 2.335 941 804 86 32 4.198 Prosentase (%) 8,67 8,67 8,67 8,67 8,67 Jumlah Sampel (orang) 202 82 70 7 3 364

1 2 3 4 5

Sumber: Hasil Sensus Penduduk; 2000

3.2.5. Metoda Analisis Data Metoda analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda kuantitatif untuk data-data kuantitatif seperti nilai penggunaan langsung (melebur), nilai/manfaat sosial, nilai ekonomi total, dan metode deskriptif kualitatif untuk data yang bersifat kualitatif, yaitu memberikan makna dan interpretasi kualitatif, sehingga memberi gambaran tentang usaha konservasi yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Perhitungan nilai/manfaat sosial (Social Value) dan nilai ekonomi total (Total Economic Value) didahului dengan mengidentifikasi nilai-nilai yang terkandung di dalam sumber daya air di kawasan Pura Tirta Empul sebagai berikut: 1. Nilai Penggunaan Langsung Nilai penggunaan langsung sumber daya air di kawasan Pura Tirta Empul sampai saat ini digunakan untuk sumber bahan baku Air PDAM Kabupaten Gianyar, untuk kebutuhan air Istana Presiden Tampaksiring dan digunakan untuk melebur (membersihkan diri). Pendekatan yang digunakan untuk PDAM dan Istana Presiden Tampaksiring adalah pendekatan harga pasar dan untuk melebur digunakan teknik survei yaitu: Nilai Penggunaan Langsung = Total Pemanfaatan Air x Harga Dasar/m3. Harga dasar/m3 sesuai dengan Perda Kab. Gianyar Nomor 2 Tahun 1998 tentang Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Menurut Dixon dan Hufschmidt (1993), pendekatan teknik survei yaitu kesediaan untuk membayar (Willingnes to Pay) dari konsumsi suatu barang lingkungan. Pendekatan ini akan digunakan untuk menilai sumber daya air

15

dikawasan Pura Tirta Empul yang digunakan untuk membersihkan diri (melebur). Jangkauan kesediaan membayar (Willingness to Pay) akan dikelompokkan ke dalam kelas, dengan menggunakan pendekatan Sturges (dalam Dajan, 1976). Hasil perhitungan diperoleh interval kelas (i) = Rp. 500,00, maka jangkauan

kesediaan membayar dapat dikelompokkan ke dalam 10 kelas dengan interval kelas Rp 500,00. Kesediaan untuk membayar (Willingnes toPay) baik masyarakat Desa Manukaya maupun yang dari luar akan dihitung dengan rumus sebagai berikut, Dixon and Hufschmidt (1993):
10

TWP
Keterangan:

AWPi (
i 1

ni ) Populasi N

TWP = Kesediaan membayar total AWPi = Kesediaan membayar rata-rata, jumlah 1 sampai dengan 10. ni N = Banyaknya responden yang bersedia membayar AWPi = Banyaknya orang yang diwawancarai sebagai sampel

2. Nilai Penggunaan Tak Langsung Nilai penggunaan tak langsung sumber daya air di kawasan Pura Tirta Empul dimanfaatkan untuk obyek wisata yang dikunjungi oleh wisatawan dari manca negara. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan harga pasar dengan menghitung jumlah penerimaan dari karcis masuk ke obyek wisata PuraTirta Empul.

3. Nilai Pilihan dan Nilai Warisan Nilai pilihan dan nilai warisan air di kawasan Pura Tirta Empul dimanfaatkan untuk mengambil air suci (nunas tirta). Pendekatan yang digunakan adalah harga pasar dengan menghitung jumlah uang (sesari) yang diperoleh dari masyarakat yang mohon air suci (nunas tirta).

4. Nilai Keberadaan Nilai keberadaan air di kawasan Pura Tirta Empul dimanfaatkan untuk air irigasi Subak Pulagan Kumba. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teknik survei dengan menghitung selisih keuntungan bersih petani untuk
16

menanam padi dengan menanam palawija dalam satu tahun. Selisih keuntungan merupakan nilai atas pemanfaatan sumber daya air di kawasan Pura Turta Empul. Di samping hal tersebut Subak Pulagan Kumba yang berjumlah 200 orang ngaturang suwinih (ucapan terimakasih) ke Pura Tirta Empul. Nilai swinih diasumsikan sebagai nilai sumberdaya air di kawasan Pura Tirta Empul yang dimanfaatkan oleh subak. Jenis swinih serta pendekatan yang digunakan dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Swinih Subak Pulagan Kumba serta Pendekatan yang Digunakan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jenis Suwinih Beras 300 bungbung Bambu Klabang Mantri Dangsil Pengambean Salaran Kelapa Pejati Sesari Volume 300 kg 300 batang 300 buah 14 buah 2 buah 10 biji 2 buah 500 uang kepeng Ngayah membuat taring selama 1 200 orang hari Pendekatan Harga Pasar Harga Pasar Harga Pasar Harga Pasar Harga Pasar Harga Pasar Harga Pasar Harga Pasar UMR/UMK

Sumber: Hasil Survei Pendahuluan

5. Nilai/Manfaat Sosial Total Nilai/manfaat sosial total sumber daya air di kawasan Pura Tirta Empul diperoleh dengan menjumlahkan nilai penggunaan tak langsung (sebagai obyek wisata) dan nilai pilihan dan nilai warisan.

6. Nilai Ekonomi Total Nilai ekonomi total sumber daya air di kawasan Pura Tirta Empul diperoleh dengan menjumlahkan semua nilai yang terkandung seperti nilai penggunaan langsung, nilai penggunaan tak langsung, nilai pilihan dan warisan, serta nilai keberadaannya setelah dikurangi biaya-biaya (lihat Dixon and Hufschmidt, 1986; Munasinghe, 1993; sebagai berikut: TEV = UV + NUV atau TEV = (DUV+IUV+OV) + (EV+BV) Pearce and Kerry, 1990; Munasinghe and Lutz, 1993)

17

Keterangan: TEV = Nilai ekonomi total (Total Economic Value) UV = Nilai penggunaan (Use Value) NUV = Nilai non penggunaan (Non Use value) DUV = Nilai penggunaan langsung (Direct Use Value) IUV = Nilai penggunaan tak langsung (Indirect Use Value). OV = Nilai pilihan (Option Value). EV = Nilai keberadaan (Existence Value) BV = Nilai warisan (Bequest Value). 3.2.6. Hasil dan Pembahasan 1. Nilai Penggunaan Langsung Air yang dimaksud dalam penelitian ini adalah air yang bersumber dari mata air di kawasan Pura Tirta Empul, Desa Manukaya Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar. Pelestarian fungsi air yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelestarian fungsi air yang bersumber dari mata air di kawasan Pura Tirta Empul yang dimanfaatkan untuk bahan baku air minum oleh PDAM Kabupaten Gianyar, memenuhi kebutuhan air Istana Presiden Tampaksiring, nunas tirta dan untuk melebur. Nilai Penggunaan langsung air di kawasan Pura Tirta Empul untuk bahan baku air PDAM Gianyar adalah rata-rata pemanfaatan per bulan dikalikan harga dasar yaitu 38.456,83 m3 x Rp.75,00 = Rp.2.884.262,25/bulan atau

Rp.34.611.147,00/tahun. Istana Presiden Tampaksiring dalam memenuhi kebutuhan airnya, menggunakan dua sumber yaitu dari PDAM dan dari mata air di kawasan Pura Tirta Empul. Dari dua sumber tersebut lebih banyak digunakan air dari kawasan Tirta Empul dibandingkan dengan air PDAM, hal ini disebabkan penggunaan air PDAM lebih tinggi biayanya dibandingkan air di kawasan Pura Tirta Empul. Penggunaan langsung air di kawasan Pura Tirta Empul untuk memenuhi kebutuhan Istana Presiden Tampaksiring dari bulan Januari sampai dengan April 2004 sebesar 11.074 m3, dengan rata-rata pemakaian per bulan 2.768,5 m3. Istana Presiden Tampaksiring merupakan instansi pemerintah tidak seperti

perusahan, sehingga untuk penetapan nilai harga dasar air lebih tepat ke sektor PDAM, dengan alasan disamping mencari keuntungan, PDAM juga mengemban misi pelayanan sosial seperti instansi pemerintah lainnya. Jadi nilai penggunaan langsung air Pura Tirta Empul untuk memenuhi kebutuhan Istana Presiden Tampaksiring adalah rata-rata pemanfaatan per bulan dikalikan dengan harga
18

dasar air yaitu 2.768,5 m3/bulan x Rp. 75,00 = Rp. 207.637,50/bulan atau Rp. 2.491.650,00/tahun. Sumberdaya air di kawasan Pura Tirta Empul juga dimanfaatkan oleh

masyarakat setempat dan sekitarnya untuk membersihkan diri (melebur). Manfaat melebur merupakan nilai penggunaan langsung yang dihitung dengan pendekatan teknik survei yaitu metode Willingness to Pay (WTP). Masyarakat yang dijadikan sampel dikelompokan menjadi dua yaitu masyarakat dari Desa Manukaya dan masyarakat luar yang kebetulan sedang melebur di kawasan Pura Tirta Empul. Dari 364 masyarakat Desa Manukaya yang dijadikan sampel kegiatan melebur, dua orang tidak bersedia membayar dan 362 orang bersedia membayar dengan tingkat harga yang bervariasi. Dari jumlah sampel yang bersedia membayar sebanyak 131 orang (36%) bersedia membayar pada tingkat Rp. 501,00 Rp. 1.000.00, sebanyak 91 orang (25%) bersedia membayar pada tingkat Rp. 4.001,00 Rp. 10.000,00, sebanyak 71 orang (19,5%) bersedia membayar Rp. 1.501,00 Rp. 2.000,00. Variasi ini disebabkan masyarakat Desa Manukaya merasa memiliki air di kawasan Tirta Empu, sehingga pada umumnya hanya mau membayar pada tingkat Rp. 501,00 Rp. 1.000,00. Kesediaan membayar tertinggi oleh masyarakat Desa Manukaya untuk melebur sebesar Rp.10.000,00. Jadi total kesediaan membayar masyarakat Desa Manukaya untuk satu kali melebur sebesar Rp. 26.509.324,53/bulan atau Rp. 318.111.894,36/tahun (Tabel 3).

Tabel 3. Tingkat Kesediaan Membayar dan Nilai Ekonomi Air di kawasan Pura Tirta Empul untuk Satu Kali melebur Sampel dari Desa Manukaya No Kesediaan membayar (Rp) 0,0 1 500 501 1.000 1.001 1.500 1.501 2.000 2.001 2.500 2.501 3.000 3.001 3.500 3.501 4.000 4.001 10.000 Jumlah Rata-rata Jumlah responden (orang) 3 19 131 22 71 7 7 2 11 91 364 Prosentase (%) 0,8 5,2 36,0 6,0 19,5 1,9 1,9 0,7 3,0 25,0 100,0 Nilai (Rp)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0,0 250,5 750,5 1.250,5 1.750,5 2.250,5 2.750,5 3.250,5 3.750,5 7.000,5

0,00 129.448,38 2.679.956,45 748.299,20 3.380.215,50 428.495,20 523.695,20 176.827,50 1.122.149,60 17.326.237,50 26.509.324,53

Sumber: Hasil Wawancara dengan Responden

19

Sampel luar Desa Manukaya yang kebetulan melebur di kawasan Pura Tirta Empul diambil accidental sebanyak 117 orang, yang bersedia membayar untuk satu kali melebur cukup bervariasi. Kesediaan membayar tertinggi ada pada tingkat Rp. 4.001,00 Rp. 150.000,00 sebanyak 64 orang (54,7%), kesediaan membayar terendah ada pada tingkat Rp. 1,00 Rp. 500,00 sebanyak 1 orang (0,85%) dan sebanyak 2 orang (1,7%) tidak bersedia membayar. Kesediaan membayar tertinggi untuk satu kali melebur di kawasan Pura Tirta Empul oleh sampel dari luar Desa Manukaya sebesar Rp. 150.000,00. Hal ini disebabkan sampel dari luar Desa Manukaya memiliki keyakinan dan tingkat ekonomi yang lebih tinggi dari pada sampel dari Desa Manukaya. Setelah dihitung total kesediaan membayar sampel dari luar Desa Manukaya sebesar Rp.

50.153.075,00/bulan atau Rp. 601.836.900,00/tahun. Jadi nilai penggunaan langsung sumber daya air Pura Tirta Empul untuk melebur sebesar 76.662.399,53/bulan atau Rp. 919.948.794,36/tahun (Tabel 4). Jadi total nilai penggunaan langsung sumber daya air dikawasan Pura Tirta Empul untuk PDAM, Istana Presiden Tampaksiring dan melebur adalah 34.611.147,00 + Rp. 2.491.650,00 + Rp. 919.948.794,36 = Rp. Rp. Rp.

957.051.591,36/tahun.

Tabel 4. Tingkat Kesediaan Membayar dan Nilai Ekonomi Air di Kawasan Pura Tirta Empul Sampel dari Luar Desa Manukaya No Kesediaan Membayar (Rp) 0,0 1 500 501 1.000 1.001 1.500 1.501 2.000 2.001 2.500 2.501 3.000 3.001 3.500 3.501 4.000
4.001 150.000

Ratarata 0,0 250,5 750,5 1.250,5 1.750,5 2.250,5 2.750,5 3.250,5 3.750,5 77.000,5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Jumlah

Jumlah Responden (orang) 2 1 15 11 8 4 4 4 4 64 117

Prosentase (%) 1,70 0,85 12,82 9,45 6,80 3,42 3,42 3,42 3,42 54,70 100,00

Nilai (Rp)

0,00 2.505,00 112.575,00 137.555,00 140.040,00 90.020,00 110.020,00 130.020,00 150.020,00 49.280.320,00 50.153.075,00

Sumber data: Hasil wawancara dengan responden (2004)

20

2. Nilai Penggunaan Tak Langsung Pura irta Empul yang ditetapkan menjadi daerah obyek wisata memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Gianyar. Pemanfaatan sumberdaya air di kawasan Pura Tirta Empul sebagai obyek wisata merupakan nilai penggunaan tak langsung dari sumberdaya air yang ada di kawasan tersebut. Dana yang diperoleh bersumber dari penerimaan karcis masuk bagi wisata yang ingin berkunjung. Dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2003 jumlah penerimaan obyek wista Pura Tirta Empul sebesar Rp 3.699.048.000,00, dengan rata-rata Rp.616.508.000,00/tahun. Nilai penggunaan tak langsung sumber daya air di kawasan Pura Tirta Empul sebagai obyek wisata sebesar

Rp.616.508.000,00/tahun. Lebih jelasnya penerimaan karcis masuk dari obyek wisata Pura Tirta Empul dapat dilihat dalam Tabel 5. Tabel 5. Penerimaan dari Obyek Wisata Pura Tirta Empul No 1 2 3 4 5 6 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Jumlah Jumlah Penerimaan (Rp) 193.757.000,00 488.125.500,00 481.391.500,00 653.554.500,00 592.458.000,00 1.289.761.500,00 3.699.048.000,00

Sumber: Dinas Pariwista Kabupaten Gianyar.

3. Nilai Pilihan dan Nilai Warisan Nilai pilihan dan nilai warisan sumberdaya air di kawasan Pura Tirta Empul dimanfaatkan untuk mohon air suci (nunas tirta). Masyarakat Tampaksiring dan sekitarnya yang akan melaksanakan upacara baik dewa yadnya, manusia yadnya dan pitra yadnya, nunas tirta (mohon air suci) di Pura Tirta Empul. Sebagaimana halnya pura-pura di Bali, Pura Tirta Empul dibagi atas tiga halaman yaitu jabaan (halaman muka), jaba tengah (halaman tengah) dan jeroan (halaman dalam). Di halaman tengah (jaba tengah) terdapat kolam, yang airnya dialirkan melalui pancuran, serta masing-masing pancuran menurut tradisi rakyat mempunyai nama tersendiri diantaranya pancuran pengelukatan, pembersihan sudamala dan Pancaka Tirta (Darta, 1983).

21

Di kawasan Pura Tirta Empul, terdapat beberapa pancuran yang mengalirkan air yang memiliki fungsi sebagai Tirta Pengentas (air suci untuk keperluan upacara pitra yadnya), Tirta Pengeleburan Gering (untuk penyembuhan penyakit), Tirta Pengeleburan Ipian Ala (membuang sial karena mimpi buruk). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan harga pasar dengan menghitung jumlah sesari yang diperoleh dari masyarakat yang mohon air suci (Nunas Tirta). Penerimaan sesari di Pura Tirta Empul dari tanggal 10 sampai dengan 21 Maret 2004 sebanyak Rp.8.569.600,00. Dari sesari yang diterima sebayak Rp.1.091.800,00 (12,72%) bersumber dari sesari untuk melebur, sebanyak Rp.2.415.000,00 (28,18%) bersumber dari dana punia, sedangkan Rp.5.062.800,00 (59,1%) bersumber dari sesari nunas tirta. Rata-rata penerimaan sesari dari nunas tirta di kawasan Pura Tirta Empul sebanyak

Rp.460.254,5,00/hari, dalam waktu satu bulan jumlah penerimaan sesari dari nunas tirta sebesar Rp.13.807.635,00. Jadi nilai pilihan dan nilai warisan air di kawasan Pura Tirta Empu sebanyak Rp.13.807.635,00/bulan atau Rp.

165.691.620,00/tahun.

4. Nilai Keberadaan Nilai keberadaan sumberdaya air di kawasan Pura Tirta Empul terdiri atas nilai pemanfaatan untuk irigasi Subak Pulagan Kumba, Swinih (ucapan terimaksih) krama Subak Pulagan Kumba setiap tahun ke Pura Tirta Empul. Perhitungan nilai pemanfaatan untuk irigasi digunakan pendekatan teknik survei yaitu menghitung selisih keutungan bersih menanam padi dengan menanam palawija merupakan nilai keberadaan sumber daya air yang dimanfaatkan oleh krama subak. Dalam waktu 1 tahun Subak Pulagan Kumba 2 kali menanam padi dan 1 kali menanam palawija dengan luas lahan 183,5 ha (Dinas Pendapatan Kab. Gianyar). Berdasarkan hasil wawancara dengan para petani diperoleh keuntungan bersih menanam padi sebesar Rp.3.868.630,00/ha/tahun, sedangkan keuntungan bersih menanam palawija sebesar Rp.616.842,00/ha/tahun (Tabel 6). Selisih

keuntungan menanam padi dengan menanam palawija dikalikan luas lahan merupakan nilai keberadaan sumber daya air di kawasan Pura Tirta Empul yang digunakan sebagai air irigasi yaitu Rp. 3.251.788,00/ha/th x 183,5 ha = Rp. 596.703.098,00/tahun. Jadi nilai keberadaan sumberdaya air di kawasan Pura Tirta Empul untuk air irigasi sebesar Rp. 596.703.098,00/tahun.
22

Tabel 6.

Keuntungan Bersih Menanam Padi dan Palawija Subak Pulagan Kumba, Desa Manukaya, Gianyar, Bali Nama Krama Subak Luas Lahan (Ha) 0,15 0,15 0,25 0,25 0,20 0,25 0,30 0,25 0,25 0,25 0,20 0,20 0,25 0,35 0,30 0,15 0,15 0,30 0,25 0,30 4,75 Keuntungan Bersih Menanam Padi/ Tahun (Rp) 980.000,00 940.000,00 1.500.000,00 1.380.000,00 480.000,00 960.000,00 840.000,00 1.440.000,00 1.440.000,00 740.000,00 740.000,00 710.000,00 900.000,00 900.000,00 980.000,00 448.000,00 448.000,00 900.000,00 700.000,00 950.000,00 18.376.000,00 Keuntungan Bersih Menanam Palawija/Tahun (Rp) 200.000,00 250.000,00 200.000,00 150.000,00 75.000,00 100.000,00 85.000,00 100.000,00 100.000,00 70.000,00 95.000,00 200.000,00 225.000,00 210.000,00 150.000,00 75.000,00 75.000,00 195.000,00 175.000,00 200.000,00 2.930.000,00

No

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

I Ketut Larat I Made Tempil I Made Sudana Dewa Ketut Rembun Dewa Sutarma Sang Nyoman Puri Sang Ketut Tingting I.Bg.Widnyana I Made Darmayasa I.Bg. Pt Gede Sang Md Trampa Sang Pt Dana Sang Ny Kobong Sang Made Polos I Ny Mandra I.Bg.Kt Cakra I Tui I Nyoman Sirem I Wayan Lacur I Wayan Gara Jumlah Rata-Rata

Sumber: Hasil Wawancara dengan Krama Subak Pulagan Kumba

Krama Subak Pulagan Kumba yang berjumlah 200 orang memiliki kewajiban untuk ngaturang Swinih (ucapan terimaksih) setiap tahun ke Pura Tirta Empul dalam wujud fisik dan gotong royong, yang merupakan kompensasi krama Subak Pulagan Kumba terhadap pemanfaatan air Tirta Empul untuk air irgasi. Perhitungan nilai Swinih menggunakan pendekatan harga pasar dengan menghitung nilai swinih yang diwajibkan kepada krama Subak Pulagan Kumba (Tabel 7). Jadi nilai total keberadaan sumberdaya air di kawasan Pura Tirta Empul yang digunakan untuk air irigasi Subak Pulagan Kumba sebesar

Rp.6.247.600,00/tahun + Rp.596.703.098/tahun = Rp.602.950.698/tahun.

23

Tabel 7. Swinih Subak Pulagan Kumba ke Pura Tirta Empul No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jenis swinih Beras Bambu Kelabang Mantri Dangsil Pengambean Salaran Kelapa Banten pejati Sesari uang kepeng Ngayah membuat Taring satu hari Jumlah Volume 175 kilo gram 175 batang 175 lembar 8 buah 2 buah 1 buah 10 butir 1 buah 250 kepeng 200 orang Harga satuan (Rp) 3.000,00 5.000,00 5.000,00 100.000,00 50.000,00 50.000,00 1.000,00 25.000,00 14.875,5 * Jumlah (Rp) 525.000,00 875.000,00 875.000,00 800.000,00 100.000,00 50.000,00 10.000,00 25.000,00 12.500,00 2.975.100,00 6.247.600,00

Sumber data: Hasil Penelitian (2004) Keterangan *:Berdasarkan Keputusan Gubernur Bali Nomor 32 Tahun 2003 Tentang Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota, untuk Kota Gianyar Upah Minimum Tahun 2004 Rp.446.265 /bulan.

Dalam usaha mempertahankan keberlanjutan fungsi sumberdaya air di kawasan Pura Tirta Empul serta untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang ingin sembahyang, melebur dan nunas tirta, di kawasan Pura Tirta Empul ada petugas jaga setiap hari, petugas kebersihan dan petugas pengamanan. Petugas-petugas ini menerima imbalan dari desa adat, yang merupakan biaya dalam rangka mempertahankan kelestarian sumberdaya air di kawasan Pura Tirta Empul. Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk operasional di kawasan Pura Tirta Empul sebesar Rp.15.800.000,00/bulan atau

Rp.189.600.000,00/tahun. Biaya ini diambil dari penerimaan sesari dan dana punia yang masuk setiap hari (Bendesa Adat). Nilai/Manfaat Sosial Nilai/manfaat sosial sumberdaya air di kawasan Pura Tirta Empul diperoleh dengan menjumlahkan nilai penggunaan tak langsung (untuk obyek wisata) dengan nilai pilihan dan warisan. Nilai penggunaan tak langsung sebesar Rp. 616.508.000,00/tahun, sedangkan nilai pilihan dan nilai warisan sebesar Rp.

165.691.620,00/tahun. Jadi nilai/manfaat sosial air di kawasan Pura Tirta Empul sebesar Rp. 782.199.620,00/tahun.

24

Nilai Ekonomi Total Untuk menghitung nilai ekonomi total air di kawasan Pura Tirta Empul diperoleh dengan menjumlahkan nilai-nilai seperti nilai penggunaan langsung, nilai penggunaan tak langsung, nilai pilihan dan nilai warisan, dan nilai keberadaannya dikurangi biaya-biaya operasiobal dan rata-rata biaya konservasi pemeriantah yang dikeluarkan per tahun, yaitu Rp.957.051.591,36/tahun+

Rp.616.508.000,00/tahun+Rp.165.691.620,00/tahun+ Rp.602.950.698,00/tahun Rp. 15.800.000,00/tahun-Rp 12.361.437,50/tahun=Rp 2.314.040.471,86/tahun.

3.2.7. Simpulan dan Saran 1. Usaha pelestarian fungsi air di kawasan Pura Tirta Empul sebagai management option memberikan nilai/manfaat sosial (social benefit) sebesar Rp.782.199.620,00 per tahun. 2. Nilai ekonomi total (total economic value) air di kawasan Pura Tirta Empul sebesar Rp. 2.314.040.471,86 per tahun. 3. Dalam usaha menjaga kelestarian fungsi air di kawasan Pura Tirta Empul yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan fungsi penting, maka pengembangan daerah tangkapan air hujan (catchment area) sumber mata air di kawasan Pura Tirta Empul hendaknya dikembangkan menjadi daerah kawasan budidaya tanaman tahunan, karena tidak hanya menghasilkan secara ekonomi, tetapi juga

sebagai daerah penyangga daerah bawahan dan tetap menjaga kestabilan masuknya air hujan kedalam tanah (infiltrasi). 4. PDAM Gianyar hendaknya memanfaatkan sumber daya air di kawasan Pura Tirta Empul sebagai bahan aku air minum, sehingga airnya tidak terbuang percuma dan PDAM dapat memberikan bantuan dalam bentuk iuran demi kelestarian fungsi sumber daya air di kawasan Pura Tirta Empul.

3.3. Pelestarian Hutan Mangrove di Teluk Benoa Bali 3.3.1. Latar Belakang Ekosistem mangrove di Teluk Benoa Bali memiliki nilai strategis yaitu: (1) Terletak di antara tiga Tourist Resort utama di Bali yaitu Sanur, Kuta dan Nusa Dua, masingmasing dihubungkan oleh jalur jalan By Pass Ngurah Rai yang melalui kawasan Hutan Taman Raya Ngurah Rai; (2) Terletak di dua pintu gerbang utama Pulau Bali, yaitu Bandara Ngurah Rai sebagai pelabuhan udara
25

internasional dan pelabuhan laut Benoa yang merupakan pintu masuk ke Pulau Bali melalui laut. Melihat letak mangrove Teluk Benoa Bali yang demikian strategis, maka kawasankawasan di sekitarnya mengalami perkembangan pembangunan sangat pesat, yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan tekanan terhadap lingkungan hutan mangrove itu sendiri. Berdasarkan laporan survei arahan penggunan kawasan hutan Prapat Benoa tahun 1987, area hutan mangrove Teluk Benoa dalam perkembangannya dimanfaatkan oleh berbagai pihak dan sebagian besar (162,42 ha) dimanfaatkan sebagai tambak. Selain itu, selama 10 tahun terakhir telah terjadi pengalihan fungsi hutan mangrove untuk kepentingan lain, yaitu reklamasi Pulau Serangan, yang mengikis sekitar 103 ha hutan mangrove di pulau tersebut, pembangunan Estuary Dam di muara sungai Badung, pembangunan fasilitas air bersih, tempat pembuangan limbah minyak dari kapal, alih fungsi menjadi pabrik dan perbengkelan, pembuatan jalan pintas ke Tanjung Benoa, dan perluasan landasan pacu bandara, serta lainnya. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi seringkali menjadi alasan

klasik untuk menghalalkan perubahan peruntukan ataupun konversi terhadap lahan hutan Mangrove. Namun dibalik itu keberlanjutan dari pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam jangka panjang sangatlah kurang mendapatkan perhatian, sehingga konversi terus berlangsung yang hanya dinikmati dalam

jangka pendek. Di samping itu studi kelayakan yang dilakukan cenderung melihat hanya dari sudut pengusaha yang berorientasi Profit melalui Analisis Finansiil (Financial Analysis), dan sangatlah kurang memperhitungkan kelayakan dari sudut manfaat yang dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas (social benefit). Dengan demikian untuk mengetahui kelayakan pelestarian Hutan Mangrove di Teluk Benoa, diperlukan analisis ekonomi yang berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Adapun tujuan penelitian untuk mengetahui hal-hal berikut: (1) Nilai manfaat sosial (social benefit) yang terkandung dalam ekosistem hutan mangrove di Teluk Benoa Bali; (2) Nilai ekonomi total (total economic value) yang terdapat pada kawasan hutan mangrove di Teluk Benoa Bali.

3.3.2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di kawasan Hutan Mangrove Teluk Benoa Bali/Taman Hutan Raya Ngurah Rai, yang representatif dan potensial dalam kondisi lestari
26

yang ditunjukkan oleh kondisi pertumbuhan vegetasi yang baik. Untuk itu observasi dan pengamatan lapangan secara fisik dilakukan pada areal di sekitar pusat informasi mangrove, dengan batas-batas sebagai berikut: sebelah Barat adalah Estuari Dam, sebelah Utara adalah Jalan By-pas Ngurah Rai, sebelah Timur adalah Jalan menuju Pelabuhan Benoa, dan sebelah Selatan adalah Perairan Teluk Benoa Taman Hutan Raya/Tahura Ngurah Rai ini sebagai suatu kawasan berada pada dua wilayah administratif, yaitu wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Di wilayah Kota Denpasar yang tersebar pada lima wilayah desa administratif, yaitu Pemogan, Pedungan, Sanur, Sidakarya dan Serangan.

Sedangkan di wilayah Kabupaten Badung meliputi Benoa, Tuban, Jimbaran dan Kuta.

3.3.3. Sumber Data Berdasarkan sumbernya data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data skunder, sebagai berikut: a. Dara Primer, yaitu data yang dikumpulkan secara langsung dari sumber data pertama melalui prosedur dan teknik pengambilan data yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam hal ini data primer yang diperlukan adalah data yang menyangkut pengetahuan, pandangan dan kesediaan membayar (willingness to pay) masyarakat terhadap penggunaan alternatif (option use) dan keberadaan (existence) hutan mangrove di Teluk benoa Bali, terutama barang lingkungan yang tidak dipasarkan (non marketable). Di samping itu data primer yang diperlukan adalah harga pasar dari barang-barang lingkungan yang dapat dipasarkan (marketable). b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber tidak langsung yang telah atau data yang diperoleh dari dokumen-dokumen dan arsip-arsip resmi, seperti peta geografis dan demografis dari suatu daerah tertentu, data produktivitas atau volume tegakan hutan mangrove dan informasi lainnya

yang telah dikumpulkan oleh lembaga terkait, bentuknya berupa gambar, buku, laporan dan sejenisnya.

27

3.3.4. Identifikasi dan Pengukuran Variabel Variabel-variabel dari penelitian ini terdiri atas manfaat sosial (social benefit) yang dalam analisis dilambangkan dengan Bt dan biaya sosial (social cost) yang dilambangkan dengan Ct. Masing-masing variabel tersebut terdiri atas beberapa komponen variabel. Sebelum dilakukan penilaian secara moneter, baik terhadap komponen variabel manfaat Sosial maupun komponen variabel biaya sosial yang dapat diinventarisasikan dalam penelitian ini, maka perlu dikemukakan landasan-landasan yang dipergunakan dalam penilaian moneter tersebut. Di dalam penilaian secara moneter masing masing komponen variabel manfaat tidak menggunakan tehnik pendekatan yang sama. Namun secara

prinsip dapat digolongkan menjadi dua, yakni terhadap barang-barang lingkungan yang dapat dipasarkan (marketable) nilai moneternya didapatkan dengan teknik pendekatan nilai pasar dan produktivitas, yaitu dengan cara mengalikan tingkat produktivitas masing-masing unsur manfaat dengan harga pasarnya. Penilaian dengan cara ini dilakukan terhadap komponen variabel manfaat dari vegetasi hutan mangrove, Satwa Air/perikanan dan satwa liar yang berasosiasi dalam ekosistem hutan mangrove. Sedangkan untuk barang-barang yang tidak dipasarkan (non-marketable) secara langsung, dinilai melalui pendekatanpendekatan yang tidak termasuk dalam teknik nilai pasar dan produktivitas, yang dalam hal ini digunakan tehnik survai, yaitu dengan menggunakan Contingent Value Method, dalam mana dilakukan wawancara dengan menggunakan instrumen daftar pertanyaan/kuesioner yang di dalamnya dengan pertimbangan efektifitas dan efisiensi dipersiapkan beberapa opsi nilai satuan uang yang dapat dipilih oleh responden, sehingga dapat menunjukkan kesediaan membayar dari seseorang untuk membayar barang lingkungan jika ada tindakan-tindakan yang dapat menjaga kualitas dari barang lingkungan itu sendiri. Proporsi masingmasing interval pilihan dari responden dipergunakan untuk memprediksi kesediaan membayar (willingness to pay) dari populasi yang potensial untuk memanfaatkan barang lingkungan. Untuk itu karena adanya berbagai

keterbatasan yang tidak memungkinkan dilakukannya wawancara terhadap seluruh orang yang potensial memanfaatkan barang lingkungan (populasi), maka pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan kepada sebagian kecil dari orang-orang (sampel) yang potensial untuk memanfaatkan barang lingkungan. Hal ini

28

diaplikasikan di dalam menilai barang lingkungan yang diklasifikasikan ke dalam option value dan existence value. Penilaian terhadap hutan mangrove dalam fungsinya sebagai perangkap sedimen, memperlambat kecepatan arus dan mencegah erosi pantai yang merupakan manfaat fisik, dinilai dengan pendekatan pasar pengganti (surrogate market), yaitu dengan mengadopsi nilai dari barang-barang lain yang mempunyai fungsi yang sama dan dapat saling menggantikan (substitut) satu sama lain. Dalam hal ini dengan nilai sebuah konstruksi tertentu seperti nilai bangunan tetrapod, tanggul/senderan (repetment) di bibir pantai pada satuan tertentu yang equivalen dengan suatu satuan luas hutan mangrove. Semua nilai manfaat dianggap terjadi pada akhir tahun. Jadi aliran kas masuk (cash-inflow) yang terjadi pada/selama tahun ke-1 diasumsikan terjadi pada akhir tahun ke-1, yang terjadi pada tahun ke-2 diasumsikan terjadi pada tahun ke-2, dan demikian pula halnya untuk tahun-tahun seterusnya, kemudian didiskontokan untuk tahun itu pula. Penilaian moneter terhadap komponen variabel biaya (cost), disesuaikan dengan jenis biaya dan waktu (tahun) biaya tersebut dikeluarkan. Dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan jenis biaya yang terdiri atas sebagai di bawah ini 1. Biaya Investasi (Investment), yang dikeluarkan pada tahun ke nol dari proyek pelestarian hutan mangrove. Asumsi yang dianut adalah tahun awal proyek ditandai sebagai tahun ke-0. Meskipun Dixon & Meister (dalam

Reksohadiprojo, 1993) memberikan kebebasan menurut kebiasaan dalam pemakaian istilah tahun ke-0 atau tahun ke-1 dalam penentuan tahun dasar, asalkan tahun dasar dinyatakan dengan jelas, maka untuk itu tahun dasar yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai tahun ke-0 adalah tahun 2003. 2. Jenis biaya-biaya tahunan (annual cost), yang terdiri atas biaya langsung untuk keperluan Perlindungan Hutan mangrove (termasuk di dalamnya biaya penebangan, penjarangan dan biaya-biaya pemeliharaan lainnya), dalam rangka menjaga kelestarian hutan mangrove. 3. Biaya tidak langsung yang berkaitan dengan pemeliharaan ekosistem di dalam hutan mangrove, yaitu biaya yang terkait dengan perikanan dan biaya perlindungan spesies Satwa Liar (seperti spesies burung dan reptil). Semua biaya dianggap terjadi pada akhir tahun. Dengan demikian aliran kas keluar (cash-outflow) yang terjadi pada/ selama tahun ke-1 diasumsikan terjadi
29

pada akhir tahun ke-1, yang terjadi pada tahun ke-2 diasumsikan terjadi pada tahun ke-2, demikian pula halnya untuk tahun-tahun seterusnya, yang kemudian didiskontokan untuk tahun itu. Mengenai aplikasi pendekatan dalam penilaian manfaat dan Biaya Sosial hutan mangrove di Teluk Benoa Bali disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Pendekatan dalam Penilaian Manfaat dan Biaya Sosial Hutan Mangrove di Teluk Benoa Bali Komponen Manfaat dan Biaya Sosial Komponen Manfaat Sosial 1. Tegakan Vegetasi Hutan Mangrove (Standing Stock Forest) 2. Satwa air/ Perikanan 3. Satwa Liar 4. Fisik Pencegah Abrasi 5. Penggunaan Alternatif (Option Use) 6. Keberadaan (Existence) Komponen Biaya Sosial 1. Investasi 2. Biaya Pemeliharaan dan perlindungan Hutan mangrove 3. Biaya penangkapan Ikan 4. Biaya Perlindungan Satwa Liar Pendekatan dalam penilaian Komponen Manfaat dan Biaya Sosial 1. Harga Pasar/ Produktivitas 2. 3. 4. 5. Harga Pasar/ Produktivitas Harga Pasar/ Produktivitas Harga Pasar Pengganti Teknik Survai (Contingent Valuation Method) 6. Teknik Survai (Contingent Valuation Method)

1. Biaya Ganti Rugi 2. Biaya Ganti Rugi 3. Biaya Ganti Rugi 4. Biaya Proyek Bayangan

3.3.5. Sampel dan Instrumen Penelitian. Instrumen penelitian disesuaikan dengan jenis data, sumber data dan. metode pengumpulan data. Terhadap data primer yang menggunakan sampel sebagai bagian dari populasi yang karakteristiknya hendak diselidiki dan dianggap dapat mewakili populasi memerlukan instrumen sesuai dengan karakteristik dari data yang diperlukan. Dalam hal ini ada dua jenis sampel sebagai berikut: 1. Sampel Area (Area sampling), yaitu menentukan lokasi penelitian, dilanjutkan dengan observasi dan pengamatan, kemudian mengidentifikasi komponen variabel penelitian, baik yang termasuk dalam variabel manfaat sosial maupun variabel biaya sosial untuk kebutuhan analisis. Dalam observasi dan pengamatan dipergunakan instrumen yang terdiri atas panduan observasi, lembar dan panduan pengamatan serta daftar cocok (checklist).

30

2. Sampel responden Accidental, yaitu Stakeholders hutan Mangrove Teluk Benoa, Bali yang terdiri atas: nelayan, pengusaha, unsur pemerintah dan komponen masyarakat umum lainnya yang kebetulan dijumpai di desa-desa sekitar kawasan hutan mangrove di Teluk Benoa Bali dan kemudian ditanyakan beberapa hal tentang hutan mangrove dengan instrumen daftar pertanyaan termasuk menanyakan kesediaan untuk membayar (willingness to pay) barang lingkungan, utamanya mengenai lingkungan lestari kawasan Hutan Mangrove Teluk Benoa Bali. Hal yang sama juga digunakan di dalam memperoleh harga pasar dari barang-barang yang dipergunakan untuk menilai barang-barang lingkungan yang terdapat di Hutan Mangrove Teluk benoa Bali.

3.3.6. Tehnik Analisis Data 1. Net Present Value (NPV) NPV atau nilai sekarang bersih adalah jumlah nilai sekarang dari manfaat bersih, yang dirumuskan (lihat Kadariah, dkk, 1978; Gittinger, 1982) sebagai berikut:
n

NPV

= i=1

Bi - Ci (1 + r) i

Keterangan: B= Manfaat per tahun C= Biaya r = Discount rate per tahun i = Jangka waktu umur proyek Keputusan : Jika NPV > 0 layak Jika NPV < 0 tidak layak 2. Bnefit-Cost Ratio (B-C Ratio) Adalah rasio jumlah nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Dengan rumus (lihat Kadariah, dkk, 1978; Gittinger, 1982) sebagai berikut:
n Bt

(1 + r ) t B-C Ratio = ____________


t=1 n t=1 31

Ct (1 + r ) t

Keterangan : B = Manfaat per tahun C = Biaya r = Discount rate per tahun t = Jangka waktu umur proyek Keputusan : Jika BCR > 1 layak Jika BCR < 1 tidak layak 3. Total Economic Value (lihat Dixon and Hufschmidt, 1986; Munasinghe, 1993; Pearce and Kerry, 1990) sebagai berikut: TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + EV Keterangan : TEV = Total ekonomi value UV = Use value NUV = Non use value DUV = Direct use value IUV = Indirect use value OV = Option value EV = Existence value 3.3.7. Hasil dan Pembahasan 1. Manfaat Sosial Hutan Mangrove di Teluk Benoa Bali Komponen manfaat yang dapat diidentifikasi dan dirumuskan dalam penelitian ini terdiri atas: (1) manfaat berupa tegakan Vegetasi Hutan Mangrove; (2) Manfaat dari Satwa air/perikanan di sekitar hutan mangrove; (3) Manfaat dari satwa liar; (4) Manfaat fisik hutan mangrove sebagai pencegah abrasi; (5) Manfaat dari penggunaan (existence). Dari identifikasi dan perhitungan penilaian komponen manfaat sosial (social benefit) dalam pelestarian hutan mangrove di Teluk Benoa dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat diketahui nilai manfaat sosial masing-masing komponen pada tahun ke 1 sampai dengan tahun ke 9 sebagaimana nampak pada Tabel 9, nilai manfaat sosial alternatif (option use); dan (6) Manfaat dari keberadaan

tahun ke 10 sampai dengan tahun ke 14 pada Tabel 10, kemudian nilai manfaat sosial tahun ke 15 hingga tahun ke 19 nampak pada Tabel 11 dan untuk nilai manfaat sosial tahun ke 20 sebagaimana nampak pada Tabel 12.

32

Tabel 9.

Jenis Manfaat dan Nilai Moneter Hutan Mangrove di Teluk Benoa Bali per hekytar per Tahun, Tahun ke 1 sampai dengan Tahun ke 9 Jenis manfaat Nilai manfaat Rp. 0,00

No. 1 2 3 4 5 6

Tegakan Vegetasi Hutan Mangrove Satwa Air/ perikanan Satwa Liar Nilai Penggunaan Alternatif (Option Value) Nilai Fisik Nilai Keberadaan (Existence Value) Jumlah

Rp. 34.221.178,16 Rp. 251.010,00

Rp. 35.731.795,00 Rp. 16.000.000,00 Rp. 33.796.230,00 Rp. 120.000.213,16

Sumber : Diolah dari Primer

Tabel 10. Jenis Manfaat dan Nilai Moneter Hutan Mangrove di Teluk Benoa Bali per Hektar per Tahun, Tahun ke 10 sampai dengan Tahun ke 14 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Jenis manfaat Tegakan Vegetasi Hutan Mangrove Satwa Air/ perikanan Satwa Liar Nilai Alternatif (Option Value) Nilai Fisik Nilai Keberadaan (Existence Value) Jumlah
Sumber : Diolah dari Primer

Nilai manfaat Rp. 25.794.666,48 Rp. 34.221.178,16 Rp. 251.010,00

Rp. 35.731.795.00 Rp. 16.000.000,00 Rp. 33.796.230,00 Rp. 145.794.879,64

33

Tabel 11. Jenis Manfaat dan Nilai Moneter Hutan Mangrove di Teluk Benoa Bali per Hektar per Tahun, Tahun ke 15 sampai dengan Tahun ke 19 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Jenis manfaat Tegakan Vegetasi Hutan Mangrove Satwa Air/ perikanan Satwa Liar Nilai Penggunaan Alternatif (Option Value) Nilai Fisik Nilai Keberadaan (Existence Value) Jumlah :
Sumber : Diolah dari Primer

Nilai manfaat Rp. 39.825.333,04 Rp. 34.221.178,16 Rp. 251.010,00

Rp. 35.731.795,00 Rp. 16.000.000,00 Rp. 33.796.230,00 Rp. 159.825.546,20

Tabel 12. Jenis Manfaat dan Nilai Moneter Hutan Mangrove di Teluk Benoa Bali per Hektar per Tahun, Tahun ke 20 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Jenis manfaat Tegakan Vegetasi Hutan Mangrove Satwa Air/ perikanan Satwa Liar Nilai Alternatif (Option Value) Nilai Fisik Nilai Keberadaan (Existence Value) Jumlah :
Sumber : Diolah dari Primer

Nilai manfaat Rp. 62.283.466,21 Rp. 34.221.178,16 Rp. 251.010,00

Rp. 35.731.795,00 Rp. 16.000.000,00 Rp. 33.796.230,00 Rp. 182.283.679,37

2. Biaya Sosial Hutan Mangrove di Teluk Benoa Bali. Biaya sosial terdiri atas biaya investasi (yang dikeluarkan pada awal tahun proyek, yaitu pada tahun ke-0 dan biaya rutin tahunan yang terdiri atas biaya penjarangan sebagai bagian dari Perlindungan Hutan dan biaya-biaya lainnya. Komponen biaya investasi dan nilai moneternya terdiri atas biaya

pembibitan per hektar diperoleh atas 5.000 bibit x Rp. 28.296.000,00: 5.400 bibit, yaitu Rp.26.200.000,00 dan biaya penanaman baik secara direct planting maupun secara pot planting, masing-masing sebesar Rp. dan Rp. 49.000,00 Dalam hal ini

34

bibit yang ditanam pada lahan per hektar sebanyak 5000 bibit dengan jarak 1m x 1m, sedangkan kapasitas pembibitan adalah 5.400 bibit. Rekapitulasi biaya tahunan per hektar lahan hutan mangrove di Teluk Benoa Bali nampak seperti pada Tabel 13. Tabel 13. Komponen Biaya Tahunan dan Nilai Moneternya per Hektar per Tahun No. 1 2 3 Komponen Biaya Tahunan Nilai

Biaya Pemeliharaan Vegetasi Hutan Rp. 636.000,00 Mangrove Biaya pemanfaatan Satwa Air/ perikanan Rp. 13.728.000,00 Biaya perlindungan Satwa Liar Jumlah Rp. 26.269,62

Rp. 14.390.269,62

Sumber : Diolah dari Primer

Dari Tabel 9 sampai 13 dapat direkapitulasi nilai manfaat sosial (social benefit) dan biaya sosial (social cost) dari hutan mangrove di Teluk Benoa Bali sebagai berikut: Tabel 3.14. Rekapitulasi Nilai Manfaat Sosial, Nilai Biaya Sosial per Hektar per Tahun dan Nilai Biaya Investasi pada Tahun ke 0 Periode manfaat 1. Nilai Manfaat Sosial per hektar/tahun : a. Tahun ke 1 s/d. 9 b. Tahun ke 10 s/d.14 c. Tahun ke 15 s/d. 19 d. Tahun ke 20 2. Biaya Sosial per hektar/tahun : 3. Biaya Investasi per hektar pada tahun ke 0
Sumber : Diolah dari Tabel 2 sampai dengan 6

Jumlah

Rp.

87.841.597,66

Rp. 113.636.264,14 Rp. 127.666.930,70 Rp. 150.125.063,87 Rp. Rp. 14.390.269,62 26.291.500,00

35

Langkah selanjutnya adalah mendiskotokan nilai manfaat sosial (social benefit) dan biaya sosial (social cost) dengan tingkat bunga diskonto (discount rate) 12 %, kemudian akan dapat dihitung Net Present Value/NPV; Benefit-Cost Ratio dan Nilai Ekonomi Total. (Total Economic Value), sehingga masing-masing nilainya dapat diketahui sebagai dasar penarikan kesimpulan.

3. Net Present Value dan Benefit-Cost Ratio Net Present Value Hutan Mangrove di Teluk Benoa Bali Dengan mengurangkan nilai manfaat dengan yang telah didiskotokan, maka akan dapat dihitung Net Present Value sebagai berikut:
n

NPV NPV

=
t=1

Bi - Ci (1 + r) t

= Rp.965.680.637,14 Rp. 133.776.740,87

NPV = Rp. 831.903.896,27

Jadi dari hasil perhitungan diperoleh nilai NPV > 0 atau sebesar Rp. 31.903.896,27, yang berarti manfaat sosial yang diperoleh dari usaha pelestarian hutan mangrove di Teluk Benoa lebih besar dari pada biaya sosial yang dikeluarkan selama umur proyek. Hal ini berarti pelestarian hutan mangrove di Teluk Benoa layak untuk dilaksanakan.

Benefit-Cost Ratio Hutan Mangrove di Teluk Benoa Bali


n Bt t=1

(1 + r ) t Ct (1 + r ) t

B-C Ratio =
n t=1

Rp. 965.680.637,14 B-C Ratio = Rp. 133.776.740,87 = 7,22

36

Hasil pembagian arus benefit dengan arus biaya yang telah didikontokan diperoleh B-C Ratio > 1 atau sebesar 7,22, berarti bahwa manfaat sosial yang diperoleh adalah 7,22 kali terhadap biaya sosial yang dikeluarkan untuk

pelaksanaan proyek selama umur proyek tersebut. Ini menunjukkan pelestarian hutan mangrove melalui skenario konservasi layak untuk dilaksanakan. Manfaat bersih (Net Benefit) yang merupakan selisih antara Nilai manfaat sosial dengan biaya sosial per hektar/tahun setelah didiskontokan dengan tingkat diskonto (discount rate) 12 %, menunjukkan bahwa pemanfaatan kawasan hutan mangrove untuk pembangunan dengan melakukan konversi terhadap lahan hutan mangrove di Teluk Benoa Bali, memberikan eksternalitas ekonomi (economies externality) sebesar Rp 94.288.557,59 untuk setiap hektar kerusakan hutan mangrove per tahun, yaitu nilai manfaat bersih pada tahun pertama. Dengan demikian apabila terjadi kerusakan hutan mangrove tersebut aktivitas manusia, maka sebagai akibat

pelaku pengerusakan (poluter) dapat dibebani biaya

minimal sebesar itu per tahunnya.

4. Nilai Ekonomi Total Kawasan Hutan Mangrove di Teluk Benoa Bali Perhitungan Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) Kawasan Hutan Mangrove di Teluk Benoa Bali menggunakan rumus sebagai berikut:
TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + EV

Keterangan : TEV = Total ekonomi value UV = Use value NUV = Non use value DUV = Direct use value IUV = Indirect use value OV = Option value EV = Existence value Use Value terdiri atas tegakan dari Vegetasi di Hutan Mangrove, hasil

perikanan dan hasil pemanfaatan satwa liar. Sedangkan non use value terdiri atas nilai fungsi fisik, option value dan existence value. Atau direct use value terdiri atas tegakan dari Vegetasi di Hutan Mangrove, hasil perikanan dan hasil pemanfaatan satwa liar, sedangkan indirect use value adalah nilai manfaat fisik. Sesuai dengan rumusan tersebut diatas bila use value dan non-use value/ atau direct use value dan indirect use value dijumlahkan bersama dengan option value
37

dan existence value, kemudian dikurangkan dengan biaya sosial pada skala satuan hektar lahan, akan menunjukkan nilai manfaat sosial bersih per hektar. Sedangkan untuk mengetahui nilai ekonomi total (Total Economic Value) kawasan hutan mangrove dengan luas 1.373,5 hektar, dapat diketahui dengan mengalikan luas kawasan tersebut dengan nilai manfaat bersih (Net benefit) per hektar pada tahun pertama, setelah didiskontokan dengan discount rate yang dipergunakan. Jadi Nilai Ekonomi Total (Economic Total Value) diperoleh dari hasil perkalian antara Net Benefit ( Bt-Ct ) / hektar per tahun (setelah didiskonto dengan discount factor pada tingkat bunga 12% = Rp. 94.288.557,59) dengan luas kawasan hutan mangrove (1.373,5 hektar). Dengan demikian nilai ekonomi total dari kawasan hutan mangrove di Teluk Benoa adalah Rp. 129.505.333.853,32 yang sekaligus menunjukkan nilai asset dari sumber daya hutan magrove di Teluk Benoa per tahun.

3.3.8. Simpulan dan Saran 1. Hasil perhitungan teknik manfaat dan biaya terhadap keberadaan hutan Mangrove di teluk Benoa diperoleh nilai NPV > 0 dan B-C Ratio > 1, yang berarti proyek pelestarian hutan mangrove di Teluk Benoa layak untuk

dilaksanakan. Eksternalitas ekonomi hutan mangrove teluk Benoa Bali sebesar Rp 94.288.557,59 per hektar per tahun. 2. Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) sekaligus menunjukkan Nilai Asset sumber daya dalam bentuk kawasan hutan mangrove di Teluk Benoa seluas 1.373,5 hektar sebesar Rp. 129.505.333.853,32 per tahun. 3. Dalam pemanfaatan hutan mangrove di Teluk Benoa Bali harus dikelola sedemikian rupa dan dijaga kelestariannya agar keseimbangannya secara alamiah (ekologis) tidak terganggu, sehingga fungsi lingkungan hidup (daya dukung dan daya tampung) hutan mangrove sebagai salah satu sumber daya di daerah pesisir dan lautan dapat berfungsi dengan baik; 4. Penilaian ekonomi sumber daya perlu dipergunakan sebagai acuan dalam pengelolaan dan pembangunan wilayah pesisir dan lautan secara rasional untuk dapat berlanjutnya (sustainability) pembangunan itu sendiri.

38

BAB IV PENUTUP 1. Proses pembangunan yang ditandai dengan pemanfaatan sumberdaya, yaitu segala sesuatu yang menyumbang pada pembuatan barang-barang dan jasa untuk konsumsi, membawa segi-segi positif dan negatif. Segi positif adalah meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat dan meletakkan landasan kuat untuk tahap pembangunan berikutnya. Segi negatifnya, proses produksi dan konsumsi menimbulkan eksternalitas negative yang perlu ditangani. 2. Tersedia berbagai teknik atau metode yang dapat membantu menilai sumberdaya lingkungan, bisa segi manfaat yaitu: (1) Teknik Nilai Pasar atau Produktivitas, (2) Pendekatan Pasar Pengganti (Barang-barang dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dipasarkan, Pendekatan Nilai Milik, Pendekatan Selisih Upah, Pendekatan Travelling Cost, Pendekatan Hedonic Price), (3)

Pendekatan Litigasi atau Kompensasi, (4) Pendekatan Survai (Willingness to Pay, dan WTP dan Willingness to Accept, WTA). Segi Biaya yaitu: (1) Teknik Analisis Biaya (Teknik Pengeluaran Preventif, Pendekatan Biaya Ganti, Pendekatan Proyek Bayangan), (2) Teknik Analisis Keefektifan Biaya. Dari segi Manfaat dan Biaya, antara lain: (1) Model Statis (analisis keuntungan yang diturunkan dari fungsi biaya dan fungsi penerimaan), (2) Model Dinamis (Benefit/Cost Analysis), (3) Program Linier, dan (4) Teknik Input-Output. 3. Proses diseminasi teknik-teknik inilah yang perlu dilakukan oleh lembagalembaga pemerintah dan pendidikan, sehingga yang berkepentingan

mengetahui akan hal ini dan selalu memperhitungkan aspek positif dan negatif pembangunan nasional, regional dan lokal terhadap kualitas lingkungan sekitar, sehingga akhirnya dapat dihindari hal-hal yang tidak diinginkan baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

39

DAFTAR BACAAN
Anonim. 2000. Rencana Tata Ruang Kabupaten Gianyar. Gianyar Dajan, A. 1976. Pengantar Metode Statistik Jilid I. cet. Keempat LP3ES. Darta, Ketut. 1983. Laporan Kerusakan Pura Tirta Empul Tampaksiring, Gianyar. Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali. Dixon, John A. and Maynard Hufschmidt (Editor). 1993. Teknik Penilaian Ekonomi Terhadap Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Edisi Pertama. 255p. Dixon, J.A., and Hufschmidt, M. 1986. Economic Valuation Techniques For The Environmental: A Case Study Workbook. The Johns Hopkins University Press, Copyright by the East-West Center, East-West Environment and Policy Institute. All Rights reserved. Diterjemahkan oleh Sukanto Reksohadiprodjo, Gadjah Mada University Press. Gittinger, J. P. 1982. Economic Analysis of Agricultural Projects, Baltimore; Johns Hopkins University Press. Hartwick, John M. and Nancy D. Olewiler. 1986. The Economics of Natural Resources Use. Harper & Row Publisher, New York. 530 p. Kadariah, Lien Karlina, Clive Gray, (1978), Pengantar Evaluasi Proyek, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia. Munasinghe, Mohan. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. The World Bank, 1818 H Street, N.W, Washington, DC, USA. Munasinghe, M., and E. Lutz. 1993. Environmental Economics and Valuation in Development Decisionmaking. Environmental Economics and Natural Resource Management In Developing Countries, edited by Mohan Munasinghe copiled by Adelaide Schwab. Committee of International Development Institution on the Evironment (CIDIE), distributed for CIDIE by The World Bank Washington, DC. Pearce, David; Edward Barbier and Anil Markandya. 1990. Sustainable Develoment, Economics and Environment in the Third World. Earthscan Publications Ltd, London. 217 p. Pearce, David W. and R. Kerry Turner. 1990. Economic of Natural Resources and Environment. Harvesterwheatsheaf, New York-Tokyo. 378 p. Reksohadiprodjo, Sukanto dan Andrea Budi Purnomo. 1987. Ekonomi Lingkungan, Suatu Pengantar. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta, Edisi Pertama. 194 p. Schram, Gunther and Jeremy J. Warford (Editor). 1989. Enviornmental Management and Economic Development. The John Hopkins University Press, Baltimore and London. 207 p. Tietenberg, Tom. 1994. Environmental Economics and Policy. Harper Collin College Publisher, New York. 432 p. Turner, R. Kerry; David Pearce and Ian Bateman. 1994. Environmental Economics, An Elementary Introduction. Harvesterwheatsheaf, New York.
40

También podría gustarte