Está en la página 1de 9

Membuat Undang-undang Desa Lebih Baik, Kokoh dan Aspiratif

Sutoro Eko Masalah Abadi Desa sejak dulu menjadi basis kehidupan dan penghidupan masyarakat bawah. Tanah dan penduduk merupakan basis penghidupan desa, selain transfer dana dan proyek-proyek pembangunan yang datang dari pemerintah. Lebih dari 60% penduduk republik ini hidup dalam lingkup desa. Hamparan tanah merupakan aset utama bagi desa yang digunakan untuk banyak kepentingan: tempat pemukiman penduduk, lahan pertanian, fasilitas publik, lahan perkebunan, lahan dan bangunan untuk pusat perniagaan, lahan industri dan lain-lain. Di atas hamparan tanah itu, penduduk desa membentuk kesatuan masyarakat, tempat bagi warga merajut jalinan sosial antarkerabat, antartetangga, antarteman dan seterusnya. Desa juga menjadi basis politik dan unit pemerintahan. Pemerintah Indonesia menempatkan desa sebagai unit pemerintahan lokal yang di dalamnya mempunyai domain pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Masalah dasar dan abadi yang dihadapi oleh desa adalah eksploitasi tanah dan penduduk/rakyat yang dilakukan oleh negara dan swasta. Desa-desa di Jawa mempunyai tanah yang sempit tetapi dihuni oleh penduduk yang sangat besar jumlahnya dan padat. Tanah tidak lagi mampu menampung dan menghidupi penduduk desa akibat dari ledakan penduduk dan alih fungsi lahan secara cepat dari lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian (industri, pertambangan, perumahan mewah, pabrik, pusat pernigaan, dan lain-lain). Desa-desa di Jawa merasakan dan mengalami sekian tahun lamanya dijadikan sebagai obyek pengaturan dan pembangunan dari atas. Karena luas lahan yang terbatas, maka eksploitasi yang dilakukan oleh negara adalah penduduk. Penduduk desa Jawa yang senantiasa dijadikan obyek eksploitasi mulai dari membangun Candi Borobudur, Candi Prambanan, Makam Raja-raja Mataram, kerja rodi, romusha, maupun dalam bentuk swadaya dan gotong royong di zaman republik. Penduduk desa-desa (atau nama lain) di luar Jawa hampir tidak mengalami kerja paksa seperti saudara mereka di Jawa. Desa-desa di Luar Jawa mempunyai lahan yang sangat luas tetapi penduduknya lebih sedikit. Yang menjadi sasaran eksploitasi paling utama desa-desa di Luar Jawa adalah hamparan tanah beserta isinya (hutan, kebun, tambang, dan lain-lain), yang hal ini menghilangkan kepemilikan komunal masyarakat dan meminggirkan masyarakat dari areal lahan yang telah dikuasai oleh negara maupun pemilik modal. Tidak hanya eksploitasi lahan, masalah lain yang dihadapi desa-desa di luar Jawa adalah penyeragaman yang

dilakukan pemerintah dengan UU No. 5/1979. Sampai sekarang, di berbagai daerah, kritik terhadap penyeragaman masih tetap menggema. UU No. 5/1979 itu dianggap sebagai Jawanisasi karena melakukan penyeragaman atas seluruh masyarakat adat dengan model desa-desa di Jawa. Akibatnya adalah hilangnya struktur pemerintahan asli, kepemimpinan dan kearifan lokal. Dampak buruk eksploitasi terhadap tanah dan penduduk desa itu mengalir sampai jauh dan dalam, apalagi pola pembangunan selama ini lebih mengarah pada wilayah perkotaan dan sektor-sektor nonpertanian. Desa tidak lagi menjadi basis kehidupan dan penghidupan bagi penduduk. Kemiskinan, keterbelakangan dan ketertinggalan selalu menjadi predikat utama yang melekat pada desa. Berdasarkan hitungan statistik, sekitar 40% desa dari total 70 ribu desa, mempunyai predikat sebagai desa tertinggal. Desa tertinggal umumnya miskin, terpencil, jauh dari keramaian, jarang dikunjungi pejabat, dan mengalami kesulitan akses terhadap pelayanan publik, informasi, modal, pasar, dan seterusnya. Dengan kalimat lain, desa beserta penduduknya mengalami masalah serius dalam hal aset (kepemilikan terhadap sumber-sumber penghidupan seperti tanah, sumberdaya alam, modal, ternak, dan lainlain) dan akses (perolehan terhadap informasi, pelayanan publik, anggaran, modal, lapangan pekerjaan, dll). Karena sumber penghidupan di desa terbatas, pada umumnya pada generasi muda melakukan urbanisasi ke kota atau menjadi tenaga kerja di negeri orang lain. Jalan Perubahan Lalu bagaimana keluar dari masalah abadi desa itu? Selama ini sudah banyak program-program pemberdayaan yang ditempuh oleh pemerintah yang masuk ke desa. Dulu ada Inpres Bandes, kredit candak kulak, kredit usaha kecil, koperasi, proyek IDT, ABRI Masuk Desa, koran masuk desa, listrik masuk desa, dan sebagainya. Sekarang ada proyek perbaikan infrastruktur desa di desa-desa tertinggal, ada dana bergulir dari banyak lembaga/departemen, ada Alokasi Dana Desa, ada kredit usaha tani dan nelayan, ada kredit usaha kecil, ada proyek desa mandiri energi, ada proyek desa siaga, dan lain-lain. Semua program itu tentu bermanfaat bagi warga desa. Tetapi harus diakui bahwa selama ini program-program yang masuk desa masih jauh dari upaya memberbaiki aset dan akses rakyat desa. Sebagai contoh, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang sangat dipuji berhasil oleh pemerintah, dan sekarang diteruskan dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, belum secara memadai dalam memperbaiki aset dan akses penduduk desa, misalnya akses terhadap pelayanan publik dan akses terhadap lapangan pekerjaan. Jika mau berubah, desa tidak cukup disentuh dengan pemberdayaan. Pemberdayaan terlalu kecil, parsial dan lokal. Desa membutuhkan sentuhan pembaharuan, yakni perubahan cara pandang
2

(pemikiran), gerakan dan kebijakan menuju kehidupan baru desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Dengan bahasa lain, pembaharuan desa adalah sebuah tindakan untuk mengubah desa menjadi bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik; berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah memandang dan menempatkan desa sebagai satu-kesatuan kehidupan dan penghidupan yang utuh dan terhormat. Cara pandang ini akan menggugah gerakan masyarakat, komitmen politik dan lahirnya kebijakan baru yang lebih baik. Undang-undang memang bukanlah solusi utama bagi pembaharuan desa, tetapi ia menjadi pintu masuk yang sangat penting dan strategis untuk mengawal perubahan desa menuju desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Apakah undang-undang selama ini masih lemah? Apakah belum cukup? Apakah masalahnya bukan terletak pada implementasi? Apakah diperlukan undang-undang desa yang baru dan khusus? Perjalanan sejarah selama enam dekade menunjukkan bahwa Republik Indonesia belum mempunyai komitmen politik yang kuat untuk mengangkat harkat-martabat desa. Kita belum memiliki UU daerah dan desa yang baik, kokoh dan aspiratif. Sejak UU No. 1/1945 dan UU No. 22/1948, republik ini sudah mengalami berkali-kali bongkar-pasang undang-undang daerah dan desa. UU No. 5/1979 tampaknya berumur paling panjang dan kokoh, tetapi UU ini sebenarnya menciptakan kerusakan desa dan tidak aspiratif. Karena itu kita lihat secara bersama-sama uraian tentang pengaturan desa di bawah ini, seraya kita tunjukkan dimana letak masalahnya, sekaligus masuk ke RUU Desa yang baru dan alternatif pandangan lain. Pengaturan Desa Pengaturan desa mempunyai dimensi yang sangat luas. Desa bukan sekadar pemerintahan tetapi juga sebagai organisasi masyarakat (komunitas). Substansi pengaturan mencakup kedudukan, hubungan desa dengan supradesa, keragaman, kewenangan, hak, tata pemerintahan, perencanaan, keuangan dan sebagainya. Mari kita uraikan satu per satu. Uraian akan mencakup beberapa hal: (a) pengaturan sekarang; (b) masalah yang muncul; (c) Usulan RUU Desa sekarang; dan (d) usulan alternatif lain. Kedudukan Desa 1. Substansi pengaturan: (a) Desa berada dalam subsistem pemerintahan kabupaten/kota. Bupati/walikota mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus desa, sebagaimana mengatur-mengurus sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, perikanan, kepegawaian, dan seterusnya. (b)

2. Masalah yang muncul: (a) terjadi otonomi dalam otonomi; tetapi otonomi desa tidak jelas; (b) desa menjadi obyek politisasi bupati; (c) kedudukan desa dualisme, antara sebagai unit administratif dan sebagai kesatuan masyarakat. 3. RUU Desa: masih sama dengan UU No. 32/2004, belum jelas mau dibawa kemana kedudukan desa. 4. Usulan alternatif: kedudukan desa sebaiknya dibikin secara beragam: ada desa administratif, ada desa otonom, ada desa adat atau desa sebagai kesatuan dan ada kelurahan. Ada juga usulan lain: (a) membentuk desa otonom yang tetap mengakomodasi konteks lokal; (b) desa dibentuk campuran antara adat, otonom dan administratif yang penting kewenangannya jelas (lihat bagan tipologi desa). Keragaman 1. Pengaturan: (a) UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 mengemukakan bahwa keragaman sebagai salah satu prinsip dasar pengaturan desa. Ini sebagai koreksi atas penyeragaman yang diterapkan oleh UU No. 5/1979; (b) sebutan tidak lagi seragam desa tetapi bisa dengan sebutan lain seperti nagari, gampong, marga, binua, pakraman, kampung, lembang, dan seterusnya; (c) pengaturan desa lebih lanjut diserahkan pada kabupaten/kota yang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya setempat; (d) dalam masyarakat adat, penentuan kepala desa tidak harus menggunakan mekanisme pemilihan langsung, melainkan bisa menggunakan mekanisme adat setempat; dll. 2. Masalah: (a) Ada tarik-menarik antara kepentingan standarisasi nasional dengan keragaman lokal. UU secara nasional menghendaki pembentukan desa di seluruh kabupaten/kota, yang dikelola oleh pemerintah desa, BPD, lembaga-lembaga kemasyarakatan. Ketiga unsur ini harus ada. Salah satu syarat bisa menjadi kepala desa adalah lulusan SLTP. Ini adalah standar. Tetapi standarisasi (jika bukan penyeragaman) ini tidak bisa dijalankan di setiap daerah, dan salah satu syarat itu selalu ditawar karena kata orang daerah tidak sesuai dengan kondisi lokal. (b) UU tidak membuat tipologi desa yang beragam di Indonesia untuk dijadikan sebagai dasar pengaturan yang beragam pula. (c) UU tidak menegaskan apa yang boleh dibikin beragam dan tidak boleh, siapa yang menetapkan keragaman, dan bagaimana mekanismenya. 3. RUU Desa: substansinya masih sama dengan UU No. 32/2004 dalam hal pengaturan mengenai keragaman. 4. Usulan alternatif: (a) Sebaiknya diawali dengan membuat tipologi desa yang beragam berdasarkan asal-usul desa, pengaruh adat, kondisi geografis, dan lain-lain; (b) Keragaman mencakup kedudukan, kewenangan serta susunan dan tata pemerintahan desa; (c) UU membuat standar nasional, dan kemudian Provinsi membuat
4

pengaturan yang lebih detail untuk menentukan keragaman desa, sebagaimana pengalaman di Sumatera Barat sejak 2000. Pembentukan, Penggabungan dan Pemekaran Desa 1. Pengaturan: UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2004 memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk melakukan pembentukan, penggabungan, pemekaran desa maupun alih status dari desa menjadi kelurahan. Keputusan final ada di kabupaten/kota. 2. Masalah yang muncul: (a) jumlah desa di Indonesia terlalu banyak yang membuat skala ekonomi dan skala otonomi menjadi kecil, selain menciptakan inefisiensi; (b) jarang terjadi penggabungan desa kecuali hanya di DIY dan Sumatera Barat; (c) nafsu dan laju pemekaran desa sangat cepat sebagai prakondisi pemekaran daerah; (d) desa-desa tidak mau digabung karena kuatnya lokalisme dan elite lokal takut kehilangan uang dan jabatan; (e) alih status dari desa ke kelurahan menimbulkan desa kehilangan aset dan kontrol terhadap tanah dan penduduk. 3. RUU Desa: (a) mempunyai tujuan untuk mengerem laju pemekaran desa sekaligus mendorong penggabungan desa; (b) persyaratan pembentukan desa dibikin lebih berat. Dari sisi syarat jumlah penduduk misalnya, dibuat syarat: Jumlah penduduk, yaitu: wilayah Jawa dan Bali paling sedikit 2500 jiwa atau 500 Kepala Keluarga; wilayah Sumatera paling sedikit 2000 jiwa atau 400 Kepala Keluarga; wilayah Kalimantan dan Sulawesi paling sedikit 1500 jiwa atau 300 Kepala Keluarga; dan NTB, NTT, Maluku, Papua paling sedikit 750 jiwa atau 150 Keluarga Keluarga. 4. Usulan alternatif: ada usulan untuk mempercepat penggabungan desa, tetapi ada juga penolakan atas persyaratan yang berat untuk pembentukan dan pemekaran desa. Kewenangan Desa 1. Pengaturan: Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup: (a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; (b) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c) tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan kewenangan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. 2. Masalah yang muncul: (a) pengakuan dan penetapan kewenangan asal-usul belum jelas bentuknya dan belum dilaksanakan; (b) di banyak daerah sering terjadi konflik perbatasan antardesa karena belum jelas batasnya; (c) pemerintah daerah menunggu kepastian aturan mengenai kewenangan asal-usul; (d) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan
5

pengaturannya kepada desa tidak taat azas; (e) Permendagri No. 30/2006 tentang tatacara penyerahan urusan dari kabupaten/kota ke desa lebih banyak mengandung beban (mengurus), kurang sesuai dengan kondisi lokal dan belum berjalan. Atau kabupaten/kota belum menyerahkan kewenangan kepada desa; (f) dampaknya adalah fungsi-fungsi pemerintahan desa tidak berjalan dengan baik, umumnya berjalan apa adanya sesuai dengan kebiasaan, sehingga tidak jelas juga apa makna desa bagi rakyat. 3. RUU Desa: pengaturan tentang kewenangan desa masih sama dengan UU No. 32/2004, padahal dalam naskah akademik, klausul penyerahan urusan dari kabupaten ke desa digantikan dengan klausul penetapan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat yang berskala lokal. 4. Usulan alternatif: (a) kewenangan desa sebaiknya menggunakan azas pengakuan terhadap asal-usul dan penetapan kewenangan berskala lokal; (b) kewenangan asal usul antara lain mencakup: mengatur dan mengurus tanah adat; menyelenggarakan peradilan adat; membentuk struktur pemerintahan desa mengacu pada susunan asli; memelihara adat-istiadat; (c) kewenangan berskala lokal mencakup: menyusun perencanaan dan tata ruang desa; mengelola sumberdaya alam dalam lingkup yurisdiksi desa; membentuk organisasi dan perangkat desa; melakukan pungutan desa; dll; (d) tugas pembantuan adalah urusan tambahan yang harus disertai anggaran dan mekanisme yang jelas dan terencana. Kepala Desa 1. Pengaturan: (a) masa jabatan kepala desa 6 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali periode berikutnya; (b) kepala desa dipilih secara langsung; (c) syarat pendidikan minimal SLTP; (d) kades menyampaikan LPJ kepada bupati melalui camat; LKPJ kepada BPD dan LIPJ kepada warga; (e) kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik. 2. Masalah yang muncul: (a) masa jabatan 6 tahun tidak koheren dengan masa jabatan di atasnya dan siklus perencanaan desa yang lima 5 tahun; (b) para kepala desa di Jawa menuntut masa jabatan lebih lama; (c) Parade Nusantara menolak aturan pelarangan kepala desa menjadi pengurus partai politik; dll. 3. RUU Desa: pengaturan masih sama dengan UU No. 32/2004. 4. Usulan lain: (a) masa jabatan kepala desa lima tahun agar koheren dengan pejabat di atasnya dan koheren dengan siklus perencanaan desa lima tahunan; (b) kepala desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD; (c) kepala desa tetap dilarang menjadi pengurus partai politik karena pemilihan kepala desa tidak berbasis partai. BPD
6

1. Pengaturan: UU No. 32/2004 melakukan pergantian dari Badan

Perwakilan Desa versi UU No. 22/1999 menjadi Badan Permusyawaratan Desa. BPD sekarang tidak dipilih, tetapi ditentukan berdasarkan muyawarah, yang keanggotannya berasal dari para tokoh masyarakat. BPD baru tidak mempunyai fungsi pengawasan seperti BPD 22/1999. 2. Masalah yang muncul: (a) di bawah UU No. 22/1999 BPD sangat garang dan bisa menjatuhkan kepala desa; (b) BPD versi UU No. 32/2004 kurang representatif, tidak peka kesetaraan gender; (c) fungsi pengawasan BPD mandul. 3. RUU Desa: tidak beranjak dari UU No. 32/2004. 4. Usulan alternatif: (a) BPD dikembalikan menjadi Badan Perwakilan Desa seperti BPD UU No. 22/1999; (b) BPD dipilih oleh masyarakat; (c) BPD mempunyai fungsi artikulasi, legislasi, penganggaran dan pengawasan; (d) BPD tidak bisa menjatuhkan kepala desa, dimana laporan dari kepala desa digunakan sebagai instrumen perbaikan; (e) kuota 30% anggota BPD untuk perempuan. Musyawarah Desa 1. Pengaturan: UU No. 32/2004 tidak mengenal institusi musyawarah desa; 2. Masalah: (a) Tradisi musyawarah desa terkikis; (b) keputusan strategis desa yang menyangkut tanah diputuskan sendiri oleh kepala desa. 3. RUU Desa: memberikan kesempatan kepada desa untuk menyelenggarakan musyawarah desa (bukan sebagai lembaga permanen seperti BPD) sebagai wadah ad hoc untuk mengambil keputusan strategis: pembentukan dan pemekaran desa, alih status dari desa menjadi kelurahan; keputusan mengenai invetasi yang masuk desa; keputusan tentang perencanaan dan tata ruang desa. Perangkat Desa 1. Pengaturan: (a) sekdes diisi oleh PNS. Sekdes yang ada sekarang diangkat menjadi PNS secara bertahap; (b) kepala desa dan perangkat desa memperoleh penghasilan tetap sekurang-kurangnya sebesar Upah Minimum Kabupaten/Kota. 2. Masalah: (a) Soal Sekdes-PNS menimbulkan banyak masalah, mulai dari administrasi sampai dengan kecemburuan sosial di bawah; (b) banyak kepala desa mengganti sekdes yang masih segar menjabat; (c) penghasilan perangkat desa sangat memprihatinkan; (d) para perangkat desa juga menuntut di-PNS-kan seperti Sekdes. 3. RUU: soal sekdes masih tetap sama. Ada perubahan dari sisi kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa: (a) Kepala
Desa dan Perangkat Desa menerima penghasilan tetap berasal dari APBD; (b) Kepala desa dan perangkat desa menerima tunjangan penghasilan yang

4. Usulan lain: (a) Pengisian sekdes oleh PNS sebaiknya dihentikan; (b) pemerintah kabupaten/kota dapat mengirim sejumlah PNS yang diperbantukan/dipekerjakan untuk membantu penyelenggaraan pemerintahan desa tanpa menghilangkan perangkat desa yang direkrut secara tradisional. Perencanaan 1. Pengaturan: UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2004 memberi kesempatan dan kewajiban kepada Desa untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Tahunan. 2. Masalah: (a) belum adanya kewenangan desa yang jelas mempersulit substansi perencanaan; (b) kapasita desa menyiapkan perencanaan desa masih sangat terbatas karena memang tidak disiapkan oleh kabupaten/kota; (c) desa tidak memiliki kewenangan untuk menyusun tata ruang dalam lingkup dan berskala desa. 3. RUU Desa: masih sama dengan UU No. 32/2004. 4. Usulan alternatif: (a) desa sebaiknya memiliki kewenangan untuk menyusun tata ruang dalam lingkup dan berskala desa; (b) perencanaan didasarkan pada kewenangan dan fungsi yang jelas; (c) desa mempunyai sistem perencanaan dan penganggaran yang tunggal dan terintegrasi; sehingga proyek-proyek yang datang dari luar sebaiknya menyatu dengan sistem perencanaan dan penganggaran desa. Keuangan Desa 1. Pengaturan: (a) sumber keuangan desa meliputi pendapatan asli desa (PADes); bagi hasil pajak dan rertibusi daerah; bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa (ADD); bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan; hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat; (b) Desa wajib menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD); (c) Kekayaan Desa terdiri atas tanah kas desa; pasar desa; pasar hewan; tambatan perahu; bangunan desa; pelelangan ikan yang dikelola oleh desa; dan lain-lain kekayaan milik desa. ADD merupakan block grant di luar penghasilan kepala desa dan perangkat, yang sebesar 30% untuk operasional dan 70% untuk pemberdayaan.

berasal dari APBDesa sesuai kemampuan keuangan desa; (c) Penghasilan tetap kepala desa paling sedikit satu setengah kali dari gaji sekretaris desa; (d) Penghasilan tetap kepala dusun/kewilayahan paling sedikit 80 persen dari gaji sekretaris desa; (e) Penghasilan tetap perangkat desa lainnya paling sedikit 70 persen dari gaji sekretaris desa.

2. Masalah yang muncul: (a) PADes sangat kecil, bahkan tidak ada; (b) bagi hasil pajak dan retrubusi daerah tidak berjalan hampir di semua daerah; dimana daerah resisten dengan pengaturan ini; (c) ADD baru berjalan di sekitar 50-60% kabupaten/kota dengan variasi yang sangat beragam; ada banyak kabupaten yang menyertakan penghasilan perangkat desa di dalam komponen ADD; ada banyak kabupaten yang memberi ADD kurang dari 10%, ada juga kabupaten yang menitip pesanan untuk pemanfaatan ADD sehingga ADD menjadi spesific grant; (d) banyak desa tidak mempunyai APBDes dan kemampuan mengelola ADD juga terbatas karena memang tidak disiapkan sebelumnya oleh kabupaten. 3. RUU Desa: konsep ADD masih sama dengan UU No. 32/2004. Tetapi ada tambahan lain: (a) Pemerintah Kabupaten/Kota yang tidak menyerahkan bagi hasil pajak dan retribusi serta alokasi dana desa kepada desa wajib mengembalikan dana dimaksud kepada kas negara; (b) Kekayaan terdiri atas: tanah kas desa; pasar desa; pasar
hewan; tambatan perahu; bangunan desa; pelelangan ikan yang dikelola oleh desa; pelelangan hasil pertanian yang dikelola oleh desa; hutan milik Desa; mata air milik Desa; pemandian umum; dan lain-lain kekayaan yang menjadi milik desa; (c) Kekayaan milik Desa yang diambil alih oleh Kabupaten/Kota wajib dikembalikan kepada Desa, kecuali yang telah digunakan untuk kepentingan umum. Konsepnya adalah memberikan sanksi kepada kabupaten/kota yang tidak memberikan ADD; dan kedua adalah mempertegas dan menambah asest yang menjadi hak desa.

4. Usulan alternatif: (a) ADD dari APBN, usulan asosiasi desa sebesar

10%; (b) ADD bersifat block grant.

También podría gustarte