Está en la página 1de 2149

LAMPIRAN LAPORAN AKHIR

Penilaian Status Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria untuk Pelayanan Pemerintah Daerah

2011
Submitted by Center for Economic and Public Policy Study Universitas Gadjah Mada (CEPPS-UGM) for Decentralization Support Facility (DSF) and the Ministry of Home Affairs (MOHA)

LAMPIRAN 1 ANALISIS SOTK KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH

A. KEMENTERIAN PENDIDIKAN REPUBLIK INDONESIA 1. Deskripsi Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 yang menekankan bahwa tiap warganegara berhak mendapatkan pengajaran. Untuk itu, Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Sehubungan dengan tuntutan konstitusi dimaksud, Pemerintah berketetapan untuk membentuk lembaga yang bertanggung jawab pada usaha pencerdasan kehidupan bangsa. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah 38 tahun 2007, urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan di selenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Republik Indonesia. Bidang Urusan Pendidikan terdiri dari sub bidang pendidikan, yaitu sub bidang kebijakan, sub bidang Pembiayaan, sub bidang kurikukum, sub bidang sarana dan prasarana, sub bidang pendidik dan tenaga kependidikan, dan sub bidang pengendalian mutu pendidikan. 1.a. Visi Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan Nasional untuk Membentuk InsanIndonesia Cerdas Komprehensif. 1.b. Misi a. Ketersediaan meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan. Sebagai upaya menyediakan saranaprasarana dan infra struktur satuan pendidikan (sekolah) dan penunjang lainnya. b. Keterjangkauan Memperluas keterjangkauan layanan pendidikan. Mengupayakan kebutuhan biaya pendidikan yang terjangkau oleh masyarakat. c. Kualitas Meningkatkan kualitas/mutu dan relevansi layanan pendidikan. Sebagai upaya mencapai kualitas pendidikan yang berstandar nasional dalam rangka meningkatkan mutu dan daya saing bangsa. d. Kesetaraan Mewujudkan kesetaraan dalam memperoleh layanan pendidikan. Tanpa membedakan layanan pendidikan antarwilayah, suku, agama, status sosial, negeri dan swasta, serta gender. e. Kepastian Jaminan Menjamin kepastian memperoleh layanan pendidikan. Adanya jaminan bagi lulusan sekolah untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya atau mendapatkan lapangan kerja sesuai kompetensi.

2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 disebutkan bahwa pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri. Hal ini lebih spesifik lagi dengan dibentuknya Kementerian Pendidikan Republik Indonesia berdasarkan Perpres No. 24 Tahun 2010. Kementerian Pendidikan Republik Indonesia merupakan kementerian yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan urusan di bidang pendidikan dalam pemerintahan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 tahun 2010 Pasal 433. Dalam Peraturan Presiden Nomor 24 tahun 2010 telah dijelaskan tentang tugas, fungsi dan organisasi dari Kementerian Pendidikan Republik Indonesia dalam pasal 433-454.
3

2.a. Tugas Kementerian Pendidikan Nasional mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang pendidikan nasional dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. 2.b. Fungsi Dalam Pasal 434 dijelaskan bahwa Kementerian Pendidikan Nasional menyelenggarakan fungsi: a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pendidikan nasional; b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional; c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional; d. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Pendidikan Nasional di daerah; dan e. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional. 2.c. Susunan organisasi Kementerian Pendidikan Nasional Berdasarkan Perpres Nomor 67 Tahun 2010 Pasal 436 yang mengatur susunan organisasi eselon I Kementerian Pendidikan Nasional terdiri atas: Wakil Menteri Pendidikan Nasional; Sekretariat Jenderal; Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal; Dirjen Pendidikan Dasar; Dirjen Pendidikan Menengah; Dirjen Pendidikan Tinggi; Inspektorat Jendral; Badan Penelitian dan Pengembangan; Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa; Badan Pengembangan Sumber Daya Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan; Staf Ahli Bidang Hukum; Staf Ahli Bidang Sosial dan Ekonomi Pendidikan; Staf Ahli Bidang Kerja Sama Internasional; Staf Ahli Bidang Organisasi dan Manajemen; dan Staf Ahli Bidang Budaya dan Psikologi Pendidikan. Alamat Kantor: Jl. Jend. Sudirman Pintu 1, Senayan Jakarta 10002 Telepon: 021-5731618 Fax: 021-5736870 situs resmi: http://www.kemdiknas.go.id/ B. KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBIK INDONESIA 1. Deskripsi Kementerian Kesehatan adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan kesehatan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007, Pembagian urusan pemenrintahan bidang kesehatan terdiri dari tiga sub bidang kesehatan
4

yaitu upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan. Dari sub bidang tersebut, terdiri pula sebelas sub-sub bidang urusan kesehatan yaitu pencegahan dan pemberantasan penyakit, Lingkungan sehat, perbaikan gizi masyarakat, pelayanan kesehatan perorangan dan masyarakat, pembinaan kesehatan masyarakat, peningkatan jumlah, mutu, dan penyebaran tenaga kesehatan, Ketersediaan, pemerataan, mutu obat, dan keterjangkauan harga obat serta perbekalan kesehatan, Penelitian dan pengembangan kesehatan, Kerjasama luar negeri, Peningkatan pengawasan dan akuntabilitas, dan Pengembangan Sistem Informasi kesehatan. 1.a. Visi Masyarakat Sehat Yang Mandiri dan Berkeadilan . 1.b. Misi a. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; b. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata bermutu dan berkeadilan; c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan; d. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. 1.c. Strategi a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melaluikerja sama nasional dan global; b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan, serta berbasis bukti; dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif; c. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional; d. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu; e. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan; f. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan berdayaguna dan berhasilguna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggungjawab. 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Tugas, fungsi, dan kewenangan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia secara umum diatur dalam Perpres Nomor 24 Tahun 2010. Berikut adalah tugas, fungsi, dan kewenangan Kementerian Kesehatan:

2.a. Tugas dan Fungsi Berdasarkan Perpres Nomor 24 Tahun 2010, Kementerian Kesehatan RI mempunyai tugas membantu Presiden dalam penyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang kesehatan. 2.b. Fungsi Dalam melaksanakan tugas seperti yang tertera dalam Perpres Nomor 24 Tahun 2010, Kementerian Kesehatan RI menyelenggarakan fungsi :
5

a. b. c. d. e.

Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis di bidang kesehatan; Pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya; Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden.

2.c. Kewenangan Dalam menyelenggarakan fungsi seperti yang telah disebutkan di atas, Kementerian Kesehatan RI mempunyai kewenangan: a. Penetapan kebijakan nasional di bidang kesehatan untuk mendukung pembangunan secara makro; b. Penetapan pedoman untuk menetukan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/Kota di bidang Kesehatan; c. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang kesehatan; d. Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidang kesehatan; e. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi di bidang kesehatan; f. Pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama Negara di bidang kesehatan; g. Penetapan standar pemberian izin oleh daerah di bidang kesehatan; h. Penanggulangan wabah dan bencana yang berskala nasional di bidang kesehatan; i. Penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidang kesehatan; j. Penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang kesehatan; k. Penyelesaian perselisihan antar Provinsi di bidang kesehatan; l. Penetapan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu, bayi, dan anak; m. Penetapan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat; n. Penetapan pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan; o. Penetapan pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan; p. Penetapan pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan dan standar etika penelitian kesehatan; q. Penetapan standar nilai gizi dan pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi; r. Penetapan standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan; s. Surveilans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan penenggulangan wabah, penyakit menular dan kejadian luar biasa; t. Penyediaan obat esensial tertentu dan obat untuk pelayanan kesehatan dasar sangat essential (buffer stock nasional); u. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu : penempatan dan pemindahan tenaga kesehatan tertentu; pemberian izin dan pembinaan produksi dan distribusi alat kesehatan.

2.d. Struktur Organisasi

Gambar L.1a Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia


Sumber: Situs Kementerian Kesehatan RI

Alamat Kantor: Jl H.R.Rasuna Said Blok X.5 Kav. 4-9 Jakarta Pusat Situs resmi:http://www.depkes.go.id/

C. KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA 1. Deskripsi Istilah Pekerjaan Umum adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda Openbare Werken yang pada zaman Hindia Belanda disebut Waterstaat swerken. Di lingkungan Pusat Pemerintahan dibina oleh Dep.Van Verkeer & Waterstaat (Dep.V&W), yang sebelumnya terdiri dari 2 Dept.Van Guovernements Bedri jven dan Dept.Van Burgewrlijke Openbare Werken. Dep. V dan W dikepalai oleh seorang Direktur, yang membawahi beberapa Afdelingen dan Diensten sesuai dengan tugas/wewenang kementerian ini. Kementerian Pekerjaan Umum membawahi urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum dan bidang penataan ruang. Meskipin, urusan bidang pemerintahan bidang penataan ruang diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, namun pelaksanaan urusan pemerintahan bidang penataan ruang berada pada direktorat jenderal penataan ruang, yang berada di bawah kementerian Pekerjaan Umum. 1.a. Visi Ketersediaan Pekerjaan Umum dan Pemukiman Prasarana yang Andal untuk Mendukung Bangsa Indonesia Sejahtera 2025.

1.b. Misi a. Menyadari penataan ruang sebagai mitra referensi spasial dari pembangunan nasional dan regional dan integrasi infrastruktur pekerjaan konstruksi umum dan penataan ruang permukiman berbasis dalam rangka pembangunan berkelanjutan; b. Menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air secara efektif dan untuk meningkatkan fungsi keberlanjutan kebelanjutan optiml dan pemanfaatan sumber daya air dan mengurangi resiko rusak air; c. Aksesibilaitas Meningkatkan dan mobilitas di wilayah ini untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan sosial dengan menyediakan jaringan jalan yang handal, terpadu dan berkelanjutan; d. Meningkatkan kualitas lingkungan perumahan layak huni dan produktif melalui pembinan dan memfasilitasi pengembangan infrastruktur UAG permukiman terpadu, dapat diandalkan dan berkelanjutan; e. Melakukan industri konstruksi yang kompetitif dengan memastikan integrasi manajemen sektor konstruksi, proses konstruksi yang baik dan membuat pelaku sektor konstruksi untuk tumbuh dan berkembang; f. Melakukan penelitian dan pengembangan serta penerapn: ilmu pengetahuan dan teknologi, norma, standar, pedoman, manual dan / atau kriteria untuk mendukung infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman; g. Melaksanakan dukungan manajemen fungsional dan sumber daya akuntabel dan kompeten, terintegrasi dan inovatif dengan menerapkan prinsip-prinsip Prinsip-prinsip good governance; h. Minimalkan penipuan dan praktek korupsi di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan dan pengawasan profesional.

2.

Struktur, Organisasai, dan Tata Kerja Kedudukan, tugas dan gungsi Kementerian Pekerjaan Umum disebutkan dalam Peraturan Presiden Nomor 24 tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara. Pada bagian keempatbelas, Pasal 390-392 disebutkan mengenai kedudukan, tugas, dan fungsi Kementerian Pekerjaan Umum. Pasal 391menyebutkan bahwa: a. Kementerian Pekerjaan Umum berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden b. Kementerian Pekerjaan Umum dipimpin oleh Menteri Pekerjaan Umum. 2.a. Tugas Sesuai dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan Peraturan Presiden Nomor 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, Departemen Pekerjaan Umum mempunyai tugas: Menyelenggarakan Urusan Pemerintahan khusus untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

2.b. Fungsi Formulasi, penentuan dan pelaksanaan kebijakan di bidang mereka. Properti manajemen / properti tanggung jawab negara. Pengawasan pelaksanaan tugas di bidang mereka. Pelaksanaan bimbingan teknis dan pengawasan atas pelaksanaan urusan kementerian di daerah tersebut. e. Pelaksanaan kegiatan teknis pada skala nasional.
a. b. c. d.

2.c. Struktur Organisasi

Gambar L.1b Struktur Oganisasi Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia


Sumber: Situs Resmi Kementerian PU RI

Alamat Kantor: Jl. Pattimura No.20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110, Telepon: 021-7392262 Situs resmi http://www.pu.go.id D. KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 1. Deskripsi Sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 dan pasal 28 H Amandemen UUD 1945, bahwa rumah adalah salah satu hak dasar rakyat dan oleh karena itu setiap warga negara berhak untuk bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang
9

baik dan sehat. Selain itu, rumah juga merupakan kebutuhan dasar manusia dalam meningkatkan harkat, martabat, mutu kehidupan dan penghidupan, serta sebagai pencerminan diri pribadi dalam upaya peningkatan tarat hidup, serta pembentukan watak, karakter dan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, pembangunan perumahan dan permukiman harus didukung oleh suatu kebijakan, strategi dan program yang komprehensif dan terpadu sehingga selain mampu memenuhi hak dasar rakyat juga akan menghasilkan suatu lingkungan perumahan dan permukiman yang sehat, serasi, harmonis, aman dan nyaman. Kementerian Perumahan Rakyat membidangi urusan perumahan, sebgaimana dalam Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007. Bidang urusan perumahan, terdiri dari tujuh sub-bidang urusan perumahan, dan setiap sub bidang memiliki sub-sub bidang urusan perumahan. 1.a. Visi Setiap keluarga di Indonesia Live / Hidup dalam Rumah itu dihuni. 1.b. Misi a. Meningkatkan iklim yang kondusif dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan pengembangan perumahan dan permukiman; b. Meningkatkan ketersediaan rumah layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan menyimpan serta didukung oleh infrastruktur yang memadai, fasilitas dan utilitas; c. Mengembangkan sistem perumahan pembayaran dalam jangka panjang yang efisien, akuntabel dan berkelanjutan; d. Meningkatkan pemanfaatan sumber daya perumahan dan permukiman secara optimal; e. Peningkatan peran pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lain yang peduli dalam pembangunan perumahan dan settement. 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Dalam Perpres Nomor 24 Tahun 2010, disebutkan bahwa kedudukan Kementerian Perumahan Rakyat adalah: a. Kementerian Perumahan Rakyat berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden; b. Kementerian Perumahan Rakyat dipimpin oleh Menteri Negara Perumahan Rakyat. 2.a. Tugas Pada pasal 673 Perpres Nomor 24 Tahun 2010, disebutkan bahwa tugas kementerian perumahan rakyat adalah menyelenggarakan urusan di bidang perumahan rakyat dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. 2.b. Fungsi Sementara itu, dalam menjalankan tugasnya, Kementerian Perumahan Rakyat menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: a. Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang perumahan rakyat; b. Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang perumahan rakyat; c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Perumahan Rakyat; d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Perumahan Rakyat; dan e. Penyelenggaraan fungsi operasionalisasi kebijakan penyediaan rumah dan pengembangan lingkungan perumahan sebagai bagian dari permukiman termasuk
10

penyediaan rumah susun dan penyediaan prasarana dan sarana lingkungannya sesuai dengan undang-undang di bidang perumahan dan permukiman, dan rumah susun. 2.c. Struktur Organisasi

Gambar L.1c Struktur Organisasi Kementerian Perumahan Rakyat Republik Indonesia


Sumber: situs resmi Kementerian Perumahan Rakyat RI

Alamat Kantor: Jl. Raden Patah I No 1-Lantai 2, Wing 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan , Phone. / Fax: 021-7397727 / 77 Situs resmi http://www.kemenpera.go.id/ E. BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL 1. Deskripsi Badan ini merupakan badan yang terdiri dari gabungan beberapa lembaga negara kementerian dan lembaga negara non-kementerian yang dipimpin oleh Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia. Namun untuk kelancafran tugas dalam bidang teknis penytelenggarangan penataan ruang, dibentuk tim pelaksana yang diketuai oleh
11

MenteriPekerjaan Umum. Dalam melaksanakan tugasnya, BKPRN dapat melibatkan Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Daerah, Pimpinan Lembaga dan/atau pihak lain terkait yang dipandang perlu. 1.a. Visi Berdasarkan PP Nomor 26 Tahun 2008, visi Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional adalah sebagai berikut: Mewujudkan ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. 1.b. Misi Seperti yang tercantum dalam PP Nomor 26 Tahun 2008, dalam melaksanakan visinya, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional mempunyai tujuan sebagai berikut: a. Ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, da berkelanjutan; b. Keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; c. Keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; d. Keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; e. Keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negative terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang; f. Pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat; g. Keseimbangan dan keserasian perkembangan antar-wilayah; h. Keseimbangan dan keserasian kegiatan antar-sektor; dan i. Pertahanan dan keamanan negara yang dinamis serta integrasi nasional. 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja 2.a. Tugas Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional bertugas sebagai badan yang melaksanakan penataan ruang secara nasional. Tugas-tugas antara lain sebagai berikut : a. Penyiapan kebijakan penataan ruang nasional. b. Pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional secara terpadu sebagai dasar bagi kebijakan pengembangan tata ruang wilayah nasional dan kawasan yang dijabarkan dalam program pembangunan sektor dan program pembangunan di daerah. c. Penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam penyelenggaraan penataan ruang, baik di tingkat nasional maupun daerah, dan memberikan pengarahan serta saran pemecahannya. d. Penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang, termasuk standar, prosedur, dan criteria. e. Pemaduserasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan penataan ruang. f. Pemaduserasian penatagunaan tanah dan penatagunaan sumber daya alam lainnya dengan Rencana Tata Ruang. g. Pemantauan pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan pemanfaatkan hasil pemantauan tersebut untuk penyempurnaan Rencana Tata Ruang. h. Penyelenggaraan, pembinaan, dan penentuan prioritas pelaksanaan penataan ruang kawasan-kawasan strategis nasional dalam rangka pengembangan wilayah. i. Pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional.
12

j. k. l. m.

Pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antarprovinsi. Kerja sama penataan ruang antarnegara. Penyebarluasan informasi bidang penataan ruang dan yang terkait Sinkronisasi Rencana Umum dan Rencana Rinci Tata Ruang Daerah dengan peraturan perundang-undangan, termasuk dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana rincinya, dan n. Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang.

2.b. Struktur Organisasi Tata Kerja Badan Koordiansi Penataan Ruang Nasional dalam bidang teknis penyelenggaraan diketuai oleh Menteri Pekerjaan Umum. Susunan Organisasi Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional adalah : Ketua : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; Wakil Ketua I : Menteri Pekerjaan Umum; Wakil Ketua II : Menteri Dalam Negeri; Sekretaris : Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; Anggota : a. Menteri Pertahanan; b. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; c. Menteri Perindustrian; d. Menteri Pertanian; e. Menteri Kehutanan; f. Menteri Perhubungan; g. Menteri Kelautan dan Perikanan; h. Menteri Negara Lingkungan Hidup; i. Kepala Badan Pertanahan Nasional; j. Wakil Sekretaris Kabinet. Kontak Resmi: Situs resmi http://www.bkprn.org/

F. BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 1. Deskripsi Tugas Pokok dan Fungsi Bappenas diuraikan sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 2002 tentang Organisasi dan tata kerja Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, tugas pokok dan fungsi tersebut tercermin dalam struktur organisasi, proses pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional, serta komposisi sumber daya manusia dan latar belakang pendidikannya. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Bappenas dibantu oleh Sekretariat Utama, Staf Ahli dan Inspektorat Utama, serta 7 deputi yang masing-masing membidangi bidang-bidang tertentu. 2. Struktur Organisasi Tugas Kerja Sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 01 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perncanaan Pembangunan Nasional, bahwa kedudukan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
13

Nasional adalah unsur pelaksana pemerintah yang berada di bawah dan bertanggungjawab pada Presiden, Kementerian Negara Perencanaan Pembanguna Nasional /Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dipimpin oleh seorang Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional yang sekaligus menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2.a. Tugas Dalam Bab I pasal 2 Permen Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 01 Tahun 2005, Kementerian Negara Perenacanaan Pembangunan Nasional bertugas membantu Presiden dalam meremuskan kebijakan dan kooordinasi di bidang perencanaan pembangunan. Sementara secara umum tugas Kemeneterian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional disebutkan dalam Pasal 5, yaitu: a. Memimpin Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku b. Menyiapkan kebijakan nasional dan kebijakan umum sesuai dengan tugas Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang menjadi tanggung jawabnya. c. Menetapkan kebijakan teknis pelaksanaan tugas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang menjadi tanggungjawabnya. d. Membina dan melaksanakan kerja sama dengan instansi dan organisasi lain. 2.b. Fungsi Sebagaimana pada pasal 3 peraturan yang disebutkan sebelumnya, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional menyelenggarakan fungsi: a. Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJP Nasional) b. Penjabaran Visi, Misi, dan Program Kerja Presiden ke dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJM Nasional) c. Penyusunan rencana kerja pemerintah (RKP) d. Pengkoordinasian dan perumusan kebijakan pemerintah di bidang perencanaan pembangunan nasional. e. Pengkajian kebijakan pemerintah di bidang perencenaan pembangunan nasional f. Pemantauan, evaluasi, dan analisis bidang perencanaan pembangunan nasional g. Mendukung penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (RAPBN) h. Koordinasi, fasilitasi, dan pelaksanaan pencarian sumber-sumber pembiayaan dalam dan luar negeri, serta pengalokasian dana untuk pembangunan bersama-sama instansi terkait i. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional j. Fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang perencanaan pembangunan nasional. k. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugasnya dan fungsinya kepada Presiden.

14

2.c. Struktur Organisasi

Gambar L.1d Struktur Organisasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Alamat Kantor Jl.Taman Suropati No.2, Jakarta 10310, Telp.021-3905650 Situs resmi http://www.bappenas.go.id/

G. KEMENTERIAN PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA 1. Deskripsi Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 urusan pemerintahan bidang perhubungan diselenggarakan oleh Kementerian Perhubungan. Urusan pemerintahan bidang perhubungan terdiri dari empat macam sub bidang perhubungan, yaitu, sub bidang perhubungan darat, perkeretaapian, perhubungan laut, dan perhubungan udara. Dari setiap sub bidang itu terdiri dari beberpa sub-sub bidang mengenai urusan bidang perhubungan di setiap bidangnya. 1.a. Visi Terwujudnya penyelenggaraan pelayanan perhubungan yang handal, berdaya saing dan memberikan nilai tambah. 1.b. Misi a. Mempertahankan tingkat jasa pelayanan sarana dan prasarana perhubungan; b. Melaksanakan konsolidasi melalui restrukturisasi dan reformasi di bidang sarana dan prasarana perhubungan;
15

c. Meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan jasa perhubungan; d. Meningkatkan kualitas pelayanan jasa perhubungan yang handal dan memberikan nilai tambah 2. Struktur organisasi Kementrian Perhubungan Sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 60 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan. Dalam Bab I disebutkan mengenai Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Perhubungan. Pada pasal 1 kedudukan Kementerian perhubungan adalah: a. Kementerian Perhubungan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden; b. Kementerian Perhubungan dipimpin oleh Menteri Perhubungan. 2.a. Tugas Sementara tugas Kementerian perhubungan sebagaimana pada Pasal 2 Peraturan Menteri No 60 tahun 2010 Kementerian Perhubungan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang perhubungan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara. 2.b. Fungsi Dalam melaksanakan tugasnya, sebagaimana pada pasal 3, Kementerian Perhubungan menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang perhubungan b. Pengelolaan barang milik / kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Perhubungan c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Perhubungan d. Pelaksanaan bimbingan teknik dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Perhubungan di daerah e. Pelaksanaan kegiatan teknis di bidang perhubungan. 2.c. Struktur Organisasi

Gambar L.1e Struktur Organisasi Kementerian Perhubungan


Sumber: Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 60 tahun 2010

16

Alamat Kantor: Jl. Medan Merdeka Barat No.8, Jakarta Pusat, 10110 Telp. (021) 3811308, 3505006 Situs resmi kementerian perhubungan http://www.dephub.go.id/.

H. KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK DI INDONESIA 1. Deskripsi UU No. 4 Tahun 1982 antara lain menggariskan bahwa manusia dan perilakunya merupakan komponen lingkungan hidup. Karena itu, perlu adanya perpaduan antara aspek kependudukan ke dalam pengelolaan lingkungan hidup. Untuk itu, berdasarkan Keppres No. 25 Tahun 1983 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dibentuklah Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Men-KLH) dengan menterinya adalah Prof. Dr. Emil Salim. Masalah kependudukan dan lingkungan hidup cenderung menjadi makin luas dan kompleks sejalan dengan makin pesatnya laju kegiatan pembangunan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Karena itu dipandang perlu membentuk lembaga kementerian yang khusus bertugas menangani dan mengkoordinir pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. 1.a. Visi "Realisasi Kementerian Lingkungan Hidup yang handal dan proaktif, serta memainkan peran dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, dengan penekanan pada ekonomi hijau." 1.b. Misi a. Menghidupkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan terpadu, untuk mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan, dengan penekanan pada ekonomi hijau; b. Melakukan koordinasi dan kemitraan dalam proses rantai nilai pembangunan untuk mewujudkan integrasi, sinkronisasi antara ekonomi dan ekologi dalam pembangunan berkelanjutan; c. Mewujudkan pencegahan kerusakan dan pengendalian pencemaran sumber daya alam dan lingkungan dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup; d. Melaksanakan pemerintahan yang baik dan untuk mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan secara terpadu.

2. Struktur Organisasi Tata Kerja Organisasi dan tata kerja Kementerian Lingkungan Hidup diatur dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 1 Tahun 2005. Pada Bab I peraturan menteri tersebut menyatakan kedudukan, tugas dan fungsi Kementerian Lingkungan Hidup. Kedudukan Kementerian Negara Lingkungan Hidup pada Pasal 1 Bab I menyatakan bahwa Menteri Negara Lingkukngan Hidup adalah unsur pembantu presiden yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. 2.a. Tugas Dalam Pasal 2 Permen Lingkungan Hidu Nomor 1 Tahun 2005, tugas Menteri Negara Lingkungan Hidup adalah membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.
17

2.b. Fungsi Pasal 3 peraturan yang sama, bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugasnya, Menteri Negara Lingkungan Hidup menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan; b. Pengkoordinasian pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan; c. Pengelolaan barang milik/kekayaan Negara yang menjadi tanggungjawabnya; d. Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya; e. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden. 2.c. Struktur Organisasi

Gambar L.1f Struktur Organisasi Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia


Sumber: Situs Resmi Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia

Alamat Kantor: Jl. DI Panjaitan Kav. 24, Jakarta Timur 13410 Phone : 021-8517184, Fax : 021-8517184. Situs resmi http://www.menlh.go.id/. I. BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 1. Deskripsi Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dipimpin oleh Kepala. (Sesuai dengan Perpres No. 10 Tahun 2006).
18

1.a. Visi Menjadi lembaga yang mampu mewujudkan tanah dan pertanahan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat, serta keadilan dan keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia. 1.b. Misi Mengembangkan dan menyelenggarakan politik dan kebijakan pertanahan untuk: a. Peningkatan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan ketahanan pangan; b. peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T); c. Perwujudan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air dan penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari; d. Keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat; e. Menguatkan lembaga pertanahan sesuai dengan jiwa, semangat, prinsip dan aturan yang tertuang dalam UUPA dan aspirasi rakyat secara luas. 2. Struktur Organisasi Tata Kerja Dalam Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 Pasal 1 Tentang Badan Pertanahan Nasional disebutkan bahwa Badan Pertanahan Nasional adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dipimpin oleh Kepala. 2.a. Tugas Tugas Badan Pertanahan Nasional seperti yang disebutkan pada Pasal 2, disebutkan bahwa melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral. 2.b. Fungsi Pada Pasal 3 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 2, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi: a. perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan; b. perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan; c. koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; d. pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan; e. penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan; f. pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum; g. pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah; g. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus; h. penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerjasama dengan Departemen Keuangan;
19

i. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; j. kerjasama dengan lembaga-lembaga lain; k. penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; l. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan; m. pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan; n. pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan; o. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; p. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan; q. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan; r. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan; s. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; t. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.c. Struktur Organisasi

Gambar L.1g Struktur Organisasi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia


Sumber: Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Alamat Kantor: Jl. Sisingamangaraja No. 2, Keb. Baru, Jakarta Pusat Telepon: 021- 393 939 Situs resmi: http://www.bpn.go.id J. KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA 1. Deskripsi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kementerian ini dipimpin oleh Menteri Negara
20

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sesuai dengan Perpres No. 24 Tahun 2010 pasal 594, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 595, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memiliki fungsi: a. Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; b. Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; dan d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kementerian ini memiliki lima bidang yang menjadi tanggung jawab untuk dijalankan yaitu: Pengarusutamaan Gender (PUG); Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan; Perlindungan Anak; Pemberdayaan Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha; serta Data dan Informasi Gender dan Anak. 1.a. Visi Terwujudnya kesetaraan gender dan perlindungan anak. 1.b. Misi Mendorong terwujudkan kebijakan yang responsif gender dan peduli anak untuk peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan, serta pemenuhan hak tumbuh kembang dan perlindungan anak dari tindak kekerasan. 1.c. Tujuan a. Mendorong dan memfasilitasi perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang responsif gender dan peduli anak di seluruh bidang pembangunan prioritas; b. Mendorong dan memfasilitasi pemenuhan hak-hak perempuan dan anak atas perlindungan dari tindak kekerasan; c. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan jejaring serta peran serta masyarakat dalam mendukung pencapaian kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; dan d. Mewujudkan manajemen yang akuntabel dan terintegrasi. 1.d. Sasaran Strategis Sasaran strategis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak tahun a. Perumusan kebijakan dan pedoman bagi penerapan pengarusutamaan gender dan anak (PUG & A) oleh Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintah Non departemen lainnya (khususnya di bidang sosial, politik, hukum; perekonomian; dan pemenuhan hak anak). b. Perumusan kebijakan dan pedoman bagi penerapan pengarusutamaan gender dan anak (PUG & A) oleh Pemerintah Daerah, khususnya di bidang sosial, politik, hukum; perekonomian; dan pemenuhan hak anak. c. Perumusan kebijakan perlindungan perempuan dan anak. 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Berdasarkan Perpres Nomor 24 Tahun 2010 Pasal 594, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.

21

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dipimpin oleh seorang menteri. 2.a. Tugas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. 2.b. Fungsi Dalam melaksanakan tugas seperti yang telah diatur di atas, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mempunyai fungsi sebagai berikut: a. Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; b. Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yangmenjadi tanggung jawab Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak; d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2.c. Struktur Organisasi

Sumber: Situs Resmi Kementerian PP dan PA Republik Indonesia

Gambar L.1h Struktur Organisasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 3. Alamat Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
22

Jl. Merdeka Barat 15, Jakarta 10110 Telepon: 021-3805563, Fax (021) 3805562, 3805559 http://www.menegpp.go.id K. BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL 1. Deskripsi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ini bergerak dibidang Bidang Koordinasi Kesehatan, Kependudukan, dan Keluarga Berencana mempunyai tugas menyiapkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan, kependudukan, dan keluarga berencana. Badan ini berkoordinasi dengan Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat sesuai dengan Perpres Nomor 24 Tahun 2010 Pasal 52-55. 1.a. Visi Penduduk tumbuh seimbang tahun 2015. 1.b. Misi Dalam menjalankan misi yang dibawanya, BKKBN memiliki misi sebagai berikut: Mewujudkan pembangunan berwawasan kependudukan dan mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera. 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Berdasarkan Perpres Nomor 24 Tahun 2010, BKKBN berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kementerian Kesejahteraan Rakyat. 2.a. Tugas Dalam Pasal 54 Perpres Nomor 24 Tahun 2010 dijabarkan bahwa BKKBN mempunyai tugas menyiapkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan, kependudukan, dan keluarga berencana. 2.b. Fungsi Dalam pasal 56 Perpres Nomor 24 Tahun 2010, BKKBN memiliki fungsi untuk menjalankan tugasnya sebagai berikut : a. Sinkronisasi perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan, kependudukan, dan keluarga berencana; b. Penyiapan koordinasi perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan, kependudukan, dan keluarga berencana; c. Pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan tentang masalah atau kegiatan di bidang kesehatan, kependudukan, dan keluarga berencana; dan d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

23

2.c. Struktur Organisasi

Sumber: Situs resmi Badan Koordinasi Keluarga Berencana

Gambar L.1i Struktur Organisasi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Alamat Kantor: Jalan Permata No.1, Halim Perdanakusuma, Jakarta 13650 Telepon 021-8009021 8009061 Website: www.bkkbn.go.id

L. KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA 1. Deskripsi Kementerian Sosialmerupaka kementerian dalam Pemerintahan Indonesia yangmembidangi masalah sosial. Dahulu, kementerian ini bernama Departemen Sosial, dan sejak tahun 2008 berganti menjadi Kementerian Sosial berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2008 dan diatur lebih lanjut dalam Perpres Nomor 47 Tahun 2009. 1.a. Visi Kesejahteraan Sosial Oleh Dan Untuk Semua. Visi ini mengandung makna bahwa pembangunan kesejahteraan sosial merupakan upaya dan gerakan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan sosial oleh perorangan, keluarga, kelompok masyarakat, organisasi dan dunia usaha bagi seluruh rakyat Indonesia. 1.b. Misi a. Meningkatkan harkat dan martabat serta kualitas hidup manusia. b. Mengembangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial sebagai investasi modal sosial.
24

Mencegah dan mengendalikan serta mengatasi permasalahan sosial, dampak yang tidak diharapkan dari proses industrialisasi, krisis sosial ekonomi, globalisasi dan arus informasi. d. Mengembangkan sistem informasi sosial dan perlindungan sosial. e. Memperkuat ketahanan sosial melalui upaya memperkecil kesenjangan sosial dengan memberikan perhatian kepada warga masyarakat rentan dan tidak beruntung serta pembinaan semangat kesetiakawanan sosial dan kemitraan.
c.

2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Berdasarkan Perpres Nomor 47 Tahun 2009, Kementerian Sosial berkedudukan dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Secara umum, Kementerian Sosial membantu tugas presiden seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. 2.a. Tugas Dalam Perpres Nomor 24 Tahun 2010 pasal 456, dijelaskan bahwa Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang sosial dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. 2.b. Fungsi Dalam melaksanakan tugas sebagaimana yang dijelaskan di atas, Kementerian Sosial menyelenggarakan fungsi: a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang sosial; b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Sosial; c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Sosial; d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Sosial di daerah; dan e. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional. 2.c. Struktur Organisasi

Sumber: Situs Resmi Depsos RI

Gambar L.1j Struktur Organisasi Kementerian Sosial Republik Indonesia


25

Alamat Kantor: Kementrian Sosial Republik Indonesia, Jl. Salemba Raya No. 28, Jakarta 10430 Telepon: 021-3103591, Fax: 021-3103783 www.depsos.go.id/

M. KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 1. Deskripsi Dalam periode Orde Baru (masa transisi 1966-1969), Kementerian Perburuhan berubah nama menjadi Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) berdasarkan Keputusan tersebut jabatan Pembantu Menteri dilingkungan Depnaker dihapuskan dan sebagai penggantinya dibentuk satu jabatan Sekretaris Jenderal. Masa transisi berakhir tahun 1969 yang ditandai dengan dimulainya tahap pembangunan Repelita I, serta merupakan awal pelaksanaan Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I). Pada pembentukan Kabinet Pembangunan II, Depnaker diperluas menjadi Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi, sehingga ruang lingkup tugas dan fungsinya tidak hanya mencakup permasalahan ketenagakerjaan tetapi juga mencakup permasalahan ketransmigrasian dan pengkoperasian. Susunan organisasi dan tata kerja Departemen Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi diatur melalui Kepmen Nakertranskop Nomor KEP. 1000/Men/1975 yang mengacu kepada KEPPRES Nomor 44 Tahun 1974. Pada masa reformasi Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Transmigrasi kemudian bergabung kembali pada tanggal 22 Februari 2001. Usaha penataan organisasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi terus dilakukan dengan mengacu kepada Keputusan Presiden RI Nomor 47 Tahun 2002 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja. 1.a. Visi Terwujudnya Tenaga Kerja dan Masyarakat Transmigrasi yang Produktif, Kompetitif, dan Sejahtera. 1.b. Misi a. Perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pelayanan penempatan tenaga kerja serta penguatan informasi pasar kerja dan bursa kerja; b. Peningkatan kompetensi ketrampilan dan produktivitas tenaga kerja dan masyarakat transmigrasi; c. Peningkatan pembinaan hubungan industrial serta perlindungan sosial tenaga kerja dan masyarakat transmigrasi; d. Peningkatan pengawasan ketenagakerjaan; e. Percepatan dan pemerataan pembangunan wilayah; dan f. Penerapan organisasi yang efisien, tatalaksana yang efektif dan terpadu dengan prinsip kepemerintahan yang baik (good govermance), yang didukung oleh penelitian, pengembangan dan pengelolaan informasi yang efektif. 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Berdasarkan Permen Nakertrans Nomor PER. 12/MEN/VII/2010, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrais dipimpin oleh seorang menteri.

26

2.a. Tugas Dalam Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 dan Permen Nakertrans Nomor PER. 12/MEN/VII/2010, tugas Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah menyelenggarakan urusan di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian dalam pemerintahan untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. 2.b. Fungsi Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana yang disebutkan di atas, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memiliki fungsi sebagai berikut : a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di daerah; dan pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.

27

2.c. Struktur Organisasi


Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Staf Ahli Menteri

Sekretaris Jenderal

Inspektorat Jenderal

Badan Penelitian Pengembangan dan Informasi

Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas

Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja

Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Internasional dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

Direktorat Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi

Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Tenaga Kerja

Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarkat dan Kawasan Transmigrasi

Gambar L.1k Struktur Organisasi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Sumber: Situs resmi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Alamat Kantor: Jl. Jendral Gatot Subroto Kav 51, Jakarta 12950 Telepon 021-5229285, Fax 021-7974488 E-mail redaksi_balitfo@nakertrans.go.id Situs www.depnakertrans.go.id

N. KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH


1.

Deskripsi Ide-ide perkoperasian diperkenalkan pertama kali oleh Patih di Purwokerto, Jawa Tengah, R. Aria Wiraatmadja yang pada tahun 1896 mendirikan sebuah Bank untuk Pegawai Negeri. Cita-cita semangat tersebut selanjutnya diteruskan oleh De Wolffvan Westerrode. Pada tahun 1908, Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Sutomo memberikan peranan bagi gerakan koperasi untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Pada tahun 1915 dibuat peraturan Verordening op de Cooperatieve Vereeniging, dan pada tahun 1927 Regeling Inlandschhe
28

Cooperatieve. Pada tahun 1927 dibentuk Serikat Dagang Islam, yang bertujuan untuk memperjuangkan kedudukan ekonomi pengusah-pengusaha pribumi. Kemudian pada tahun 1929, berdiri Partai Nasional Indonesia yang memperjuangkan penyebarluasan semangat koperasi. Hingga saat ini kepedulian pemerintah terhadap keberadaan koperasi nampak jelas dengan membentuk lembaga yang secara khusus menangani pembinaan dan pengembangan koperasi. 1.a. Wewenang : a. menetapkan kebijakan di bidang KUKM untuk mendukung pembangunan secara makro. b. menetapkan pedoman untuk menentukan standar pelayanan minimum yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota di bidang KUKM. c. menyusun rencana nasional secara makro di bidang KUKM. d. membina dan mengawasi penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, pelatihan, arahan dan supervisi di bidang KUKM. e. mengatur penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama negara di bidang KUKM. f. menerapkan standar pemberian izin oleh daerah di bidang KUKM. g. menerapkan kebijakan sistem informasi nasional di bidang KUKM. h. menerapkan persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang KUKM. i. menerapkan pedoman akuntasi koperasi dan pengusaha kecil menengah. j. menetapkan pedoman tata cara penyertaan modal pada koperasi. k. memberikan dukungan dan kemudahan dalam pengembangan sistem distribusi bagi KUKM. l. memberikan dukungan dan kemudahan dalam kerjasama antar KUKM serta kerjasama dengan badan lainnya.
2.

Struktur Organisasi Mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2005 Pasal 94 bahwa kedudukan Kementerian Koperasi dan UKM adalah unsur pelaksana pemerintah dengan tugas membantu Presiden untuk mengkoordinasikan perumusan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pemberdayaan Koperasi dan UMKM di Indonesia. 2.a. Tugas Tugas Kementerian Koperasi dan UKM seperti yang tertera pada Pasal 95 adalah merumuskan kebijakan dan mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan serta pengendalian pemberdayaan koperasi dan UMKM di Indonesia. 2.b. Fungsi Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94, Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menyelenggarakan fungsi : a. perumusan kebijakan nasional di bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah; b. koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah; c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; d. pengawasan atas pelaksanaan tugasnya; e. penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden.

29

2.c. Struktur Organisasi

Gambar L.1l Struktur Organisasi Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Sumber: Situs Resmi Kementerian Koperasi RI

Alamat Kantor: Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 3-4, Kuningan, Jakarta 12940 Email: sekmen@depkop.go.id Telpon 021-520 4366 72. Alamat situs http://www.depkop.go.id/ O. BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL 1. Deskripsi BKPM adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia yang memberikan pelayanan publik antara lain seperti diatur dalam Keppres Nomor 29 Tahun 2004 adalah melayani permohonan penanaman modal yang didirikan dalam rangka penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA). Sebagai penghubung utama antara dunia usaha dan pemerintah, BKPM diberi mandat untuk mendorong investasi langsung, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif. Landasan hukum BKPM adalah Keppres Nomor 28 Tahun 2004, Keppres Nomor 113 Tahun 1998, Keppres Nomor 120 Tahun 1999, dan Perpres Nomor 90 Tahun 2007.

30

1.a. Arah Strategi

Gambar L.1m Arah Strategi BKPM 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Tugas dan fungsi BKPM diatur dalam Perpres Nomor 90 Tahun 2007 yang bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif perlu dilakukan reorganisasi dan revitalisasi organisasi BKPM. 2.a. Tugas BKPM mempunyai tugas melaksanakan koordinasi kebijakan dan pelayanan di bidang penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2.b. Fungsi a. Pengkajian dan pengusulan perencanaan penanaman modal nasional; b. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional di bidang penanaman modal; c. Pengkajian dan pengusulan kebijakan pelayanan penanaman modal; d. Penetapan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal; e. Pengembangan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha; f. Pembuatan peta penanaman modal di Indonesia; g. Koordinasi pelaksanaan promosi serta kerjasama penanaman modal; h. Pengembangan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan

31

i.

j. k. l. m.

n.

persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal; Pembinaan pelaksanaan penanaman modal, dan pemberian bantuan penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal; Koordinasi dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu; Koordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya di luar wilayah Indonesia; Pemberian pelayanan perizinan dan fasilitas penanaman modal; Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, pendidikan dan pelatihan, keuangan, hukum, kearsipan, pengolahan data dan informasi, perlengkapan dan rumah tangga; dan Pelaksanaan fungsi lain di bidang penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

32

2.c. Struktur Organisasi

Sumber: Situs resmi Badan Koordinasi Pasar Modal

Gambar L.1n Struktur Organisasi BKPM

33

Alamat Kantor: Jl. Gatot Subroto No.44, Jakarta 12190 Telp 021-5252008 -5250023 Web Site: www.bkpm.go.id E-mail: info@bkpm.go.id

P. KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA 1. Deskripsi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) merupakan kementerian dalam pemerintahan yang membidangi urusan kebudayaan dan pariwisata di Indonesia. Sebelumnya Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bernama Departemen Kebudayaan (Depbudpar) yang dirubah berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun dan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM. 17/HK. 001/MKP-2005. 1.a. Visi Visi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata seperti yang tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2010-2014 adalah sebagai berikut: Terwujudnya Bangsa Indonesia yang mampu memperkuat jati diri dan karakter bangsa serta meningkatnya kesejahteraan masyarakat. 1.b. Misi Misi Kementerian Kebuayaan dan Pariwisata untuk mencapai visi yang telah dicanangkan dalam Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata adalah sebagai berikut: a. Melestarikan nilai, keragaman, dan kebudayaan negaradalam rangka memperkuat jati diri bangsa; b. Mengembangkan industri pariwisata berdaya saing, destinasi yang berkelanjutan, dan menerapkan pemasaran yang bertanggung jawab (responsible marketing); c. Mengembangkan sumber daya kebudayaan dan pariwisata; d. Menciptakan tata pemerintahan yang responsif, transparan, dan akuntabel. 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Kedudukan, tugas, fungsi, dan kewenangan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata diatur dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM. 17/HK.001/MKP2005. Dalam kedudukannya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata merupakan unsur pelaksana pemerintah, dipimpin oleh Menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. 2.a. Tugas Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang kebudayaan dan kepariwisataan. 2.b. Fungsi Dalam melaksanakan tugas seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM. 17/HK.001/MKP-2005, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata memiliki fungsi sebagai berikut:

a. Perumusan kebijakan nasional kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis di bidang kebudayaan dan pariwisata; b. Pelaksanaan urusan pemerintah sesuai dengan bidang tugasnya; c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya d. Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya e. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden. 2.c. Struktur Organisasi

Sumber: Situs resmi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata

Gambar L.1o Struktur Organisasi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Alamat Kantor: Jl. Medan Merdeka Barat 17, Jakarta 10110, Phone : (021) 384-9142, 345-6705 Fax : (021) 387-7600, 384-8245 Q. KEMENTERIAN PEMUDA DAN OLAHRAGA REPUBLIK INDONESIA 1. Deskripsi Kementerian Pemuda Dan Olah Raga adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan pemuda dan olahraga. Bidang urusan pemuda dan olahraga, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 terdiri dari dua sub bidang yaitu kepemudaan dan olahraga. Dari sub bidang tersebut, terdiri dari delapan sub-sub bidang urusan pemuda dan olahraga, yaitu Kebijakan di bidang kepemudaan, Pelaksanaan, Koordinasi, Pembinaan dan pengawasan, Kebijakan di bidang kepemudaan, Pelaksanaan, Koordinasi, Pembinaan dan pengawasan. 1.a Visi Terwujudnya kualitas sumber daya pemuda dan olahraga dalam upaya meningkatkan manusia Indonesia yang memiliki wawasan kebangsaan, kepemimpinan yang berakhlak
35

mulia, mandiri, sehat, cerdas, terampil, berprestasi dan berdaya saing yang dilandasi iman dan taqwa. 1.b. Misi a. Meningkatkan kualitas kepemudaan secara sistematik dan menyatu dalam sistem pembangunan nasional dalam rangka menciptakan kader pemimpin bangsa yang beriman dan bertaqwa, mandiri, unggul, peka terhadap aspirasi rakyat, dan berjiwa kewirausahaan; b. Meningkatkan potensi ekonomi pemuda melalui pemanfaatan sumber daya alam dengan sinergitas antar lembaga/departemen; c. Menata sistem pembinaan dan pembangunan olahraga nasional yang menjamin kesinambungan interkoneksitas antar lembaga-lembaga terkait di atas landasan pembinaan yang kuat, sehingga dapat dioptimalkan kemaslahatan bagi individu dan masyarakat, balk mencakup aspek fisik, intelektual, sosial emosional dan moral, disamping pencapaian tujuan yang bersifat ekonomis. 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara bagian kesepuluh Pasal 687, disebutkan mengenai kedudukan, tugas dan fungsi Kementerian Pemuda dan Olahraga. Kedudukan Kementerian Pemuda dan olahraga berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden serta Kementerian Pemuda dan Olahraga dipimpin oleh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga. 2.a. Tugas Pasal 688 peraturan yang sama menyebutkan bahwa Kementerian Pemuda dan Olahraga mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang pemuda dan olahraga dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara. 2.b. Fungsi Sedangkan dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Pemuda dan Olahraga menyelenggarakan fungsi: a. Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pemuda dan olahraga; b. Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang pemuda dan olahraga; c. Pengelolaan barang milik/kekayaan Negara yang menjadi tanggungjawab Kementerian Pemuda dan Olahraga; d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pemuda dan Olahraga; e. Penyelenggaraan fungsi operasionalisasi kebijakan pembinaan dan pengembangan kepemudaan dan keolahragaan sesuai dengan undang-undang di bidang kepemudaan dan keolahragaan. Alamat Kantor: Jalan MI Ridwan Rais No.5, Jakarta Pusat Telp. (021) 3857363, 3841961-2 Alamat situs http://www.kemenpora.go.id/.
36

R. KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DESA TERTINGAL 1. Deskripsi Menurut Perturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007, urusan bidang pemberdayaan masayarakat dan desa diselenggarakan oleh Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal. Urusan bidang pemberdayaan masyarakat dan desa terdir dari lima sub bidang, yaitu, Pemerintah Desa dan Kelurahan, Penguatan Kelembagaan dan Pengembangan Partisipasi Masyarakat, Pemberdayaan Adat dan Pengembangan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat, Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat, dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna. Dan setia sub bidang terdiri dari beberapa sub-sub bidang urusan pemberdayaan masyarakat dan desa. 1.a. Visi Terwujudnya daerah tertinggal sebagai daerah yang maju dan setaraf dengan daerah lain di Indonesia. 1.b. Misi a. Mengembangkan perekonomian local melalui pemanfaatan sumber daya local ( sumber daya manusia, dan kelembagaan) melalui partisipasi semua pemangku kepentingan (stakeholders) yang ada; b. Memberdayakan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan, penciptaan lapangan kerja, peningkatan akses modal usaha, teknologi, pasar, informasi; c. Meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat; d. Memutuska keterisolasian daerah tertinggal melalui peningkatan sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi sehingga memiliki keterkaitan dengan daerah lainnya; e. Mengembangkan daerah perbatasan sebagai beranda Negara kesatuan RI melalui pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi berbasis sumber daya alam dan pengembangan sector-sektor unggulan; f. Mempercepat rehabilitas dan pemulihan daerah-daerah pasca bencana alam adan pasca konflik serta mitigasi bencana. 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja 2.a. Tujuan Pembangunan daerah tertinggal bertujukan untuk memberdayakan masyarakat yang terbelakang agar terpenuhi hak dasarnya sehinga dapat menjalankan aktifitasnya untuk berperan aktif dalam pembangunan yang setara dengan masyarakat Indonesia lainnya. 2.b. Sasaran Berdasarkan tahapan pembangunan, maka sasaran pembangunan daerah tertinggal terbagi dalam sasaran jangka menengah (2009) dan sasaran jangka panjang (2024).

37

2.c. Struktur Organisasi

Gambar L.1p Struktur Organisasi Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal


Sumber: situs resmi Kementerian PDT RI

Alamat Kantor: Jl. Abdul Muiz No.7, Jakarta Pusat Telp.021 3441295 Situs resmi http://www.kemenegpdt.go.id/. S. BADAN PUSAT STATISTIK 1. Deskripsi Sebelumnya, BPS merupakan kepanjangan dari Biro Pusat Statistik yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1960 dan UU Nomor 7 Tahun 1960. Pada tahun 1997, nama Biro Pusat Statistik dirubah menjadi Badan Pusat Statistik berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 1997. Penyelenggaraan statistik berdasarkan undang-undang yang baru tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu 1) Statistik dasar; 2) Statistik Sektoral; dan 3) Statistik Khusus. 1.a. Visi Pelopor data statistik terpercaya untuk semua. 1.b. Misi a. Memperkuat landasan konstitusional dan operasional lembaga statistik untuk penyelenggaraan statistik yang efektif dan efisien.

38

b. Menciptakan insan statistik yang kompeten dan profesional, didukung pemanfaatan teknologi informasi mutakhir untuk kemajuan perstatistikan Indonesia. c. Meningkatkan penerapan standar klasifikasi, konsep dan definisi, pengukuran, dan kode etik statistik yang bersifat universal dalam setiap penyelenggaraan statistik. d. Meningkatkan kualitas pelayanan informasi statistik bagi semua pihak. e. Meningkatkan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi kegiatan statistik yang diselenggarakan pemerintah dan swasta, dalam kerangka Sistem Statistik Nasional (SSN) yang efektif dan efisien. 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Tugas, fungsi dan kewenangan BPS telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden RI (Keppres) Nomor 103 Tahun 2001. Namun berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 1997, peran dari BPS adalah sebagai berikut: a. Menyediakan kebutuhan data bagi pemerintah dan masyarakat. Data ini didapatkan dari sensus atau survey yang dilakukan sendiri dan juga dari departemen atau lembaga pemerintahan lainnya sebagai data sekunder; b. Membantu kegiatan statistik di departemen, lembaga pemerintah atau institusi lainnya, dalam membangun sistem perstatistikan nasional; c. Mengembangkan dan mempromosikan standar teknik dan metodologi statistik, dan menyediakan pelayanan pada bidang pendidikan dan pelatihan statistik; d. Membangun kerjasama dengan institusi internasional dan negara lain untuk kepentingan perkembangan statistik Indonesia. 2.a. Tugas Melaksanakan tugas pemerintahan di bidang kegiatan statistik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.b. Fungsi a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang kegiatan statistik; b. Penyelenggaraan statistik dasar; c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPS; d. Fasilitasi pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang kegiatan statistik; dan e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan rumah tangga. 2.c. Kewenangan a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya; b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro; c. Penetapan sistem informasi di bidangnya; d. Penetapan dan penyelenggaraan statistik nasional; e. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu: perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang kegiatan statistik; penyusun pedoman penyelenggaraan survei statistik sektoral.

39

2.d. Struktur Organisasi

Sumber: Situs resmi Badan Pusat Statistik

Gambar L.1.q Struktur Organisasi Badan Pusat Statistik Alamat Kantor: Jalan Dr. Sutomo No.6-8, Jakarta 10710 Telp 021-3810291-3842508 -3841195 Fax 021-3519744 Web site: www.bps.go.id T. ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA (ANRI) 1. Deskripsi Arsip merupakan memori kolektif bangsa, karena melalui arsip dapat tergambar perjalanan sejarah bangsa dari masa ke masa. Memori kolektif tersebut adalah juga identitas dan harkat sebuah bangsa. Kesadaran akademis yang dilandasi oleh beban moral untuk menyelamatkan arsip sebagai bukti pertanggung-jawaban nasional sekaligus sebagai warisan budaya bangsa, dapat menghindari hilangnya informasi sejarah perjalanan sebuah bangsa serta harkatsebagai bangsa yang berbudaya. Sadar akan hal tersebut, Pemerintah melalui Undang-undang Nomor 7 tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan membentuk Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sebagai inti organisasi Lembaga Kearsipan Nasional yang mempunyai tanggung jawab terwujudnya Tujuan Kearsipan Nasional,yakni menjamin keselamatan bahan pertanggungjawaban nasional tentang perencanaan, pelaksanaan dan penyelenggaraan
40

kehidupan kebangsaan serta untuk menyediakan bahan pertanggungjawaban tersebut bagi kegiatan Pemerintah. 1.a. Visi Arsip sebagai simpul pemersatu bangsa. 1.b. Misi a. Memberdayakan arsip sebagai tulang punggung manajemen pemerintahan dan pembangunan; b. Memberdayakan arsip sebagai bukti akuntabilitas kinerja aparatur; c. Memberdayakan arsip sebagai bukti akuntabilitas kinerja aparatur; d. Memberdayakan arsip sebagai alat bukti sah di pengadilan; e. Melestarikan arsip sebagai memori kolektif dan jati diri bangsa serta bahan bukti pertanggungjawaban nasional; f. Menyediakan arsip dan memberikan akses kepada publik untuk kepentingan pemerintahan dan kemasyarakatan demi kemaslahatan bangsa.

2. Standar, Organisasi, dan Tata Kerja Berdasarkan Perka ANRI Nomor 03 Tahun 2006, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) adalah lembaga non-departemen yang dipimpin seorang kepala dan berkedudukan serta bertangung jawab kepada presiden. 2.a. Tugas Berdasarkan Peraturan Perka ANRI Nomor 03 Tahun 2006 dalam pasal 2 maka tugas dari ANRI adalah melaksanakan tugas pemerintahan di bidang kearsipan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.b. Fungsi Pasal 3 Perka ANRI Nomor 03 Tahun 2006 maka fungsi dari ANRI dalam menjalankan tugasnya adalah sebagai berikut : a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang kearsipan; b. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas lembaga; c. Fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang kearsipan; d. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan, dan rumah tangga. 2.c. Kewenangan Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ANRI mempunyai kewenangan : a. Penyusunan rencana nasional secara makro di kearsipan; b. Penetapan dan penyelenggaraan kearsipan nasional untuk mendukung pembangunan secara makro; c. Penetapan sistem informasi di bidang kearsipan; d. Kewenangan lain yang melekat dan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu: Perumusandan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang kearsipan; Penyelamatan dan pelestarian arsip serta pemanfaatan naskah sumber arsip.

41

2.d. Struktur Organisasi

Sumber: Situs resmi Arsip Nasional Republik Indonesia

Gambar L.1r Struktur Organisasi Arsip Nasional Republik Indonesia Alamat Kantor Jl. Ampera Raya No. 7, Jakarta 12560 Telp. 62 21 7805851 Faks. 62 21 7810280-7805812 E-mail: info@anri.go.id Situs: www.anri.go.id U. PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 1. Deskripsi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) atau Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) adalah Perpustakaan Nasional yang berada di Jakarta, Indonesia. Perpustakaan ini memiliki tugas menyimpan data-data dan informasi negara. Perpusnas juga merupakan salah satu Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sejarah Perpusnas bermula dengan didirikannya Bataviaasch Genootschap pada 24 April 1778. Lembaga ini adalah pelopor Perpusnas dan baru dibubarkan pada tahun 1950. Awalnya, Perpustakaan Nasional RI merupakan salah satu perwujudan dari penerapan dan pengembangan sistem nasional perpustakaan, secara menyeluruh dan terpadu, sejak dicanangkan pendiriannya tanggal 17 Mei 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef. Ketika itu kedudukannya masih berada dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setingkat eselon II di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, dan badan ini merupakan hasil integrasi dari empat perpustakaan besar di Jakarta. 1.a. Visi Terdepan dalam informasi pustaka, menuju Indonesia gemar membaca.
42

1.b. Misi A. Mengembangkan koleksi perpustakaan di seluruh Indonesia; B. Mengembangkan layanan informasi perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK); dan C. Mengembangkan infrastruktur melalui penyediaan sarana dan prasarana serta kompetensi SDM. 1.c. Kedudukan a. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, (yang selanjutnya dalam SK Kaperpusnas No.03/2001 disingkat PERPUSNAS) adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen; b. PERPUSNAS berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden yang dalam pelaksanaan tugas operasionalnya dikoordinasikan oleh Menteri Pendidikan Nasional; c. PERPUSNAS mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan dibidang perpustakaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Struktur, Oganisasi, dan Tata Kerja 2.a. Tugas Sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 pasal 13 PERPUSNAS mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang perpustakaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.b. Fungsi Sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 pasal 14 dalam melaksanakan tugas, PERPUSNAS menyelenggarakan fungsi: a. Mengkaji dan menyusun kebijakan nasional dibidang perpustakaan; b. Mengkoordinasikan kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas PERPUSNAS; c. Melancarkan dan membina terhadap kegiatan instansi Pemerintah dibidang perpustakaan; d. Menyelenggarakan pembinaan dan pelayanan administrasi umum dibidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga. 2.c. Wewenang Dalam pasal 15 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 PERPUSNAS memiliki wewenang sebagai berikut : a. Dalam menyelenggarakan fungsinya PERPUSNAS mempunyai kewenangan : b. menyusun rencana nasional secara makro, dibidang perpustakaan; c. Merumuskan kebijakan dibidang perpustakaan untuk mendukung pembangunan secara makro; d. Menetapkan sistem informasi dibidang perpustakaan; Kewenangan lain yang melekat dan telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu: 1) merumuskan dan pelaksanaan kebijakan tertentu dibidang perpustakaan; 2) merumuskan dan pelaksanaan kebijakan pelestarian pustaka budaya bangsa dalam mewujudkan koleksi deposit nasional dan pemanfaatannya.

43

2.d. Struktur Organisasi

Sumber: Situs resmi Perpustakaan Nasional RI

Gambar L.1s Struktur Organisasi Perpustakaan Nasional RI Alamat Kantor Jl. Salemba Raya 28A Jakarta Pusat Telp. 021-3922669,3922749,3922855,3923116 (operator) Faks. 021-3103554 Web-site: www.pnri.go.id V. KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA 1. Deskripsi Pada masa Orde Baru, Kementerian Komunikasi dan Informatika bernama Departemen Penerangan. Setelah era reformasi berjalan, Departemen Penerangan dihapuskan dan pada tahun 2001 dibentuk kembali dengan nama Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi. Pada tahun 2005, Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi diubah namanya menjadi Departemen Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 berubah nama lagi menjadi Kementerian Komunikasi dan Informatika. 1.a. Visi Terwujudnya masyarakat informasi yang sejahtera melalui penyelenggaraan komunikasi dan informatika yang efektif dan efisien dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 1.b. Misi a. Meningkatkan kapasitas layanan informasi dan potensi pemberdayaan masyarakat dalam rangka mewujudkan informasi masyarakat beradab; b. Meningkatkan jangkauan infrastruktur pos, komunikasi dan informatika untuk
44

c. d. e. f. g. h.
i.

j.

memperluas akses masyarakat terhadap informasi dalam rangka mengurangi kesenjangan informasi; Mendorong peningkatan aplikasi layanan publik dan industri aplikasi telematika dalam rangka meningkatkan nilai tambah layanan dan industri aplikasi; Mengembangkan standardisasi dan sertifikasi dalam rangka menciptakan iklim usaha yang konstruktif dan kondusif di bidang industri komunikasi dan informatika; Meningkatkan kerjasama dan kemitraan serta pemberdayaan lembaga komunikasi dan informatika pemerintah dan masyarakat; Mendorong peranan media massa dalam rangka meningkatkan informasi yang beretika dan bertanggung jawab, dan memberikan nilai tambah bangsa-bangunan; Meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan dalam rangka menciptakan kemandirian dan daya saing bidang komunikasi dan informatika; Meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) bidang komunikasi dan informatika dalam rangka meningkatkan literasi dan profesionalisme; Peningkatan partisipasi aktif Indonesia dalam berbagai fora internasional di bidang komunikasi dan informatika dalam rangka meningkatkan citra positif bangsa dan negara; Meningkatkan kualitas pengawasan terhadap pelaksanaan tata kelola yang baik (good governance).

2.

Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010, Kementerian Komunikasi dan Informatika berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang dipimpin oleh Menteri Komunikasi dan Informatika. 2.a. Tugas Kementerian Komunikasi dan Informatika mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang komunikasi dan informatika dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. 2.b. Fungsi Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Komunikasi dan Informatika Sesuai dengan Perpres No. 24 Tahun 2010 Pasal 517, menyelenggarakan fungsi dibidang Komunikasi dan Informasi: a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang komunikasi dan informatika; b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Komunikasi dan Informatika; c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika; d. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Komunikasi dan Informatika di daerah; dan e. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.

45

2.c. Struktur Organisasi

Sumber: Situs Resmi Menkominfo RI

Gambar L.1t Struktur Organisasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Alamat Kantor: Jl. Medan Merdeka Barat No. 9,Jakarta Pusat 10110,Indonesia Fax.(021) 3865154 Telp.(021) 3841972 Web site: ww.depkominfo.go.id W. KEMENTERIAN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA 1. Deskripsi Pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007, terdapat pembagian urusan bidang pertanian dan ketahanan pangan. Bidang ini terdiri dari lima sub bidang, yaitu, Tanaman pangan dan holtikultura, perkebunan, Peternakan dan Kesehatan hewan, Ketahanan Pangan, dan Penunjang. Dari sub bidang tersebut, masih dibagi lagi sub-sub bidang urusan pertanian dan ketahanan pangan. Sesuai dengan Peraturan Menteri nomor 299 tahun 2005, bahwa tugas Kementerian Pertanian adalah membantu Presiden dalam menyelenggarakan urusan bidang pertanian. Oleh karena itu penyelenggaraan urusan bidang pertanian dan ketahanan pangan menjadi tanggungjawab kementerian pertanian. 1.a. Visi Kuat realisasi sektor pertanian untuk ketahanan pangan yang aman, meningkatkan nilai-tambah, dan daya saing produk pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani. 1.b. Misi a. Mewujudkan birokrasi pertanian yang profesional dengan integritas moral yang tinggi. b. Mendorong pembangunan pertanian menuju pertanian tangguh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan

46

c. Mencapai ketahanan pangan melalui peningkatan produksi komoditas pertanian dan diversifikasi konsumsi pangan d. Mendorong peningkatan kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional, melalui peningkatan ekspor PDB, penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. e. Memfasilitasi bisnis melalui pengembangan teknologi, pembangunan infrastruktur, prasarana, pembiayaan, akses pasar dan kebijakan pendukung f. Memperjuangkan kepentingan dan perlindungan terhadap petani dan pertanian Indonesia dalam sistem perdagangan internasional. 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian. Dalam Bab I pada pasal 1, 2, dan 3 peraturan tersebut dijelaskan mengenai Kedudukan, Tugas dan Fungsi Departemen Pertanian. Kedudukan Departemen Pertanian pada pasal 1 peraturan tersebut menyatakan bahwa Departemen Pertanian merupakan unsur pelaksana Pemerintah, dipimpin oleh Menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. 2.a. Tugas Sementara pada pasal 2 disebutkan bahwa Departemen Pertanian mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan urusan bidang pemerintahan bidang pertanian. Secara umum, tugas Kementerian Pertanian adalah sebagai berikut: a. Untuk mendorong kegiatan pertanian di wilayah desa yang bisa memacu kegiatan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Untuk mendorong industri hulu, industri hilir, dan mendukung industri dalam rangka meningkatkan daya saing dan memberikan nilai tambah pada produk pertanian b. Memanfaatkan sumber daya pertanian melalui teknologi yang tepat, sehingga seluruh sumber daya pertanian bisa dipertahankan dan ditingkatkan. c. Mengembangkan institusi pertanian yang kokoh dan mandiri. d. Meningkatkan kontribusi sektor pertanian dalam bentuk keuntungan dari perdagangan internasional. 2.b. Fungsi Dalam melaksanakan tugasnya, Departemen Pertanian menyelenggarakan fungsi, yaitu: a. Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang pertanian; b. Pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang pertanian; c. Pengelolaan barang milik/kekayaan Negara yang menjadi tanggungjawab Departemen Pertanian; d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas Departemen Pertanian; e. Penyampaian laporan evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsi Departemen Pertanian kepada Presiden.

47

2.c. Struktur Organisasi

Gambar L.1u Struktur Organisasi Kementerian PErtanian Republik Indonesia


Sumber: Situs Resmi Kementerian Pertanian RI

Alamat Kantor: Jl. Harsono RM. No. 3, Ragunan-Jakarta 12550 Telp. 7822803 Situs resmi http://www.deptan.go.id X. KEMENTERIAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA 1. Deskripsi Departemen Kehutanan menyelenggarakan pengurusan hutan untuk memperoleh manfaat optimal dan berkelanjutan untuk manfaat maksimal dan kemakmuran rakyat adalah sama dan berkelanjutan.Prioritas pencapaian target jangka menengah dari visi Departemen Kehutanan (2005-2009) sebagai berikut: a. Pemberantasan perdagangan kayu illegal logging dan ilegal; b. Penerapan prinsip pengelolaan hutan lestari, antara lain, dengan minimal satu Manajemen (1) Unit Hutan di setiap provinsi; c. Pengembangan kawasan hutan perkebunan 5 juta hektar dan rehabilitasi kawasan hutan 5 juta ha; d. Pembentukan 20 unit Taman Nasional mandiri; e. Peningkatan pendapatan masyarakat di dalam dan sekitar hutan sebesar 30%; f. Peresmian kawasan hutan minimal 30% dari luas hutan yang ada. 1.a. Visi
48

Realisasi Pelaksanaan Kehutanan untuk Menjamin Kelestarian Hutan dan Rakyat Meningkatkan Kesejahteraan. 1.b. Misi Berdasarkan UU No. 41, 1999 tentang Kehutanan dan UU. 5 / 1990 tentang Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui periode 2004-2009 1 Desember 2004 misi Departemen Kehutanan dalam pembangunan kehutanan ditetapkan sebagai berikut: a. Memastikan keberadaan kawasan hutan adalah cukup dan proporsional distribusi; b. Mengoptimalkan berbagai fungsi hutan dan ekosistem perairan yang meliputi fungsi konservasi, perlindungan dan produksi kayu, non kayu dan jasa lingkungan untuk mencapai manfaat lingkungan keseimbangan sosial, budaya dan ekonomi dan berkelanjutan; c. Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS); Mendorong partisipasi masyarakat; d. Menjamin distribusi manfaat yang adil dan berkelanjutan; e. Memperkuat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967, mengamanatkan bahwa pengurusan hutan pada dasarnya untuk mendapatkan manfaat dari hutan sebagai besar sebagai serbaguna dan berkelanjutan, baik secara langsung maupun tidak langsung, bagi kemakmuran masyarakat. Hutan administrasi dilakukan melalui berbagai bentuk kegiatan, yang meliputi: a. Pemolaan pengaturan dan penataan kawasan hutan; b. Setting dan organisasi eksploitasi hutan; c. Menyesuaikan untuk perlindungan proses ekologi yang mendukung sistem.kehidupan dukungan dan rehabilitasi hutan, tanah dan air; d. Mengatur bagi upaya pelaksanaan dan pemeliharaan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan; e. Pelaksanaan konseling dan pendidikan di bidang kehutanan. 2.a. Struktur Organisasi
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.

Menteri Kehutanan Staf Ahli Menteri Bidang Revitalisasi Industri Kehutanan Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga Staf Ahli Menteri Bidang Keamanan Hutan Staf Khusus Bidang Sosial Staf Khusus Bidang Pengamanan Staf Khusus Bidang Perencanaan Revitalisasi Kehutanan Inspektorat Jenderal Sekretariat Jenderal Ditjen Planologi Kehutanan Ditjen Bina Usaha Kehutanan Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Direktorat Jenderal PHKA Balitbang Kehutanan

49

Alamat Kantor: Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lt. 3, Jalan Gatot Subroto-Senayan, Jakarta-Indonesia 10270 Phone : +62-21-5704501-04; +62-21-573019 Situs resmi http://www.dephut.go.id/. Y. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 1. Deskripsi Pada awalnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bergabung dalam Kementerian Perindustrian. Pada tahun 1961, pemerintah membentuk Biro Minyak dan Gas Bumi yang berada dibawah Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan. Selama masa pemerintahan orde baru, Biro Minyak dan Gas Bumi beberapa kali berubah nama dan akhirnya pada masa reformasi menjadi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral diubah menjadi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 1.a. Visi Terwujudnya ketahanan dan kemandirian energi serta peningkatan nilai tambah energi dan mineral yang berwawasan lingkungan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. 1.b. Misi a. Meningkatkan keamanan pasokan energi dan mineral dalam negeri; b. Meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap energi, mineral dan informasi geologi. c. Mendorong keekonomian harga energi dan mineral dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat; d. Mendorong peningkatan kemampuan dalam negeri dalam pengelolaan energi, mineral dan kegeologian; e. Meningkatkan nilai tambah energi dan mineral; f. Meningkatkan pembinaan, pengelolaan dan pengendalian kegiatan usaha energi dan mineral secara berdaya guna, berhasil guna, berdaya saing, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; g. Meningkatkan kemampuan kelibangan dan kediklatan ESDM; h. Meningkatkan kualitas SDM dan ESDM; i. Melaksanakan good governance. 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Tugas dan fungsi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara. 2.a. Tugas Tugas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral seperti yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara Pasal 34 adalah menyelenggarakan urusan di bidang energi dan sumber daya mineral
50

dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. 2.b. Fungsi Dalam melaksanakan tugas seperti yang tercantum di atas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mempunyai fungsi sebagai berikut: a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang energi dan sumber daya mineral; b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di daerah; dan e. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional. 2.c. Struktur Organisasi

Sumber: Situs resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Gambar L.1v Struktur Organisasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Alamat Kantor: Jl. Medan Merdeka Selatan No.18, DKI Jakarta, 10110, Indonesia E-Mail: pusdatin@esdm.go.id Telepon: +62 (021) 3519881
51

Fax: +62 (021) 3519881 Website: http://www.esdm.go.id

Z. KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA 1. Deskripsi Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai terbentuk pada tahun 1999 setelah orde baru dengan nama Departemen Eksplorasi Laut (DEL) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 355/M Tahun 1999. Selanjutnya DEL berubah nama menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 147 Tahun 1999. Perkembangan berikutnya nomenkelatur DELP diubah menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sesuai Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000 dan kemudian berubah menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009. 1.a. Visi Indonesia sebagai produsen terbesar produk kelautan dan perikanan pada tahun 2015. 1.b. Misi Meningkatkan kelautan dan perikanan kesejahteraan masyarakat. 1.c. Tujuan a. Memperkuat Kelembagaan dan SDM secara Terintegrasi; b. Mengelola Sumber Daya Kelautan dan Perikanan secara Berkelanjutan; c. Meningkatkan Produktivitas dan Daya Saing Berbasis Pengetahuan; d. Memperluas Akses Pasar Domestik dan Internasional. 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Tugas dan fungsi KKP diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009. KKP secara langsung berada di bawah dan bertanggung jawab terhadap presiden. 2.a. Tugas Menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. 2.b. Fungsi a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kelauan dan perikanan. b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab KKP. c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang kelautan dan perikanan. d. Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai daerah.

52

2.c. Struktur Organisasi

Sumber: Situs resmi Kementerian Kelautan dan Pariwisata

Gambar L.1w Struktur Organisasi Kementerian Kelautan dan Perikanan Alamat Kantor: Jl. Medan Merdeka Timur No. 16, Jakarta Pusat 10110, DKI Jakarta, Indonesia Fax.(021) 3500042 Telp.(021) 3500041, Telp.(021) 3519070 Web site: http://www.dkp.go.id AA. KEMENTERIAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA 1. Deskripsi Pada Perturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007, terdapat pembagian urusan bidang perdagangan. Bidang ini terdiri dari enam sub bidang, yaitu, Perdagangan Dalam Negeri, Metrologi Legal, Perdagangan Luar Negeri, Kerjasama Perdagangan Internasional, Pengembangan Ekspor Nasional, dan Perdagangan Berjangka Komoditi, Alternatif Pembiayaan Sistem Resi Gudang, Pasar Lelang. Dari sub bidang tersebut, masih dibagi lagi sub-sub bidang perdagangan. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 24 tahun 2010, bahwa tugas Kementerian Perdagangan adalah menyelenggarkan urusan di bidang perdagangan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden. Oleh karena itu penyelenggaraan urusan bidang perdagangan menjadi tanggungjawab kementerian perdagangan. 1.a. Visi Perdagangan Sebagai Sektor Penggerak Pertumbuhan dan Daya Saing Ekonomi serta Pencipta Kemakmuran Rakyat Yang Berkeadilan. 1.b. Misi a. Meningkatkan kinerja ekspor nonmigas secara berkualitas; b. Menguatkan pasar dalam negeri;
53

c. Menjaga ketersediaan bahan pokok dan penguatan jaringan distribusi nasional. 1.c. Tujuan a. Peningkatan akses pasar ekspor dan fasilitasi perdagangan luar negeri untuk mengurangi ketergantungan pasar tujuan ekspor ke negara-negara tertentu dan meningkatkan kelancaran arus barang ekspor dan impor; b. Perbaikan iklim usaha perdagangan luar negeri yang berorientasi pada pelayanan publik yang optimal; c. Peningkatan daya saing ekspor melalui peningkatan kualitas produk ekspor dan peningkatan citra produk ekspor Indonesia di pasar global; d. Peningkatan peran dan kemampuan diplomasi perdagangan internasional untuk memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia dalam forum mult ilateral, regional, bilateral yang penuh tantangan dan kompleksitas; e. Perbaikan iklim usaha perdagangan dalam negeri dengan melakukan reformasi birokrasi dan harmonisasi kebij akan perdagangan dalam negeri di pusat dan di daerah; f. Peningkatan kinerja sektor perdagangan dan ekonomi kreatif melalui fasilitasi promosi dan penciptaan kebij akan perdagangan yang sesuai; g. Peningkatan perlindungan konsumen dan pengamanan pasar dalam negeri sehingga masyarakat terhindar dari produk-produk yang menyebabkan kerugian, membahayaka kesehatan, keamanan dan keselamatan konsumen serta produsen dalam negeri terhindar dari praktek perdagangan tidak sehat; h. Stabilisasi dan penurunan disparitas harga bahan pokok di Indonesia, sehingga daya beli masyarakat terhadap bahan pokok dapat terjaga; i. Penciptaan jaringan distribusi yang efisien melalui penciptaan sarana dan kebijakan distribusi serta layanan logistik yang mendukung dan sinergis. 2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Organisasi dan tata kerja Kementerian Perdagangan Republik Indonesia diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 24 tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara pasal 245-247. Dalam pasal 245, disebutkan kedudukan Kementerian Perindustrian bahwa: a. Kementerian Perdagangan berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden; b. Kementerian Perdagangan dipimpin oleh Menteri Perdagangan. 2.a. Tugas Pada pasal 246, Kementerian perdagangan bertugas menyelenggarkan urusan di bidang perdagangan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara. 2.b. Fungsi Sedangakan untuk menjalankan fungsinya, Kementerian perdagangan menyelenggarakan fungsi: a. Perumusan, pentapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang perdagangan; b. Pengelolaan barang milik/kekayaan Negara yang menjadi tanggungjawab Kementerian Perdagangan; c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Perdagangan; d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervise atas pelaksanaan urusan teknis dan supervisi atas urusan Kementerian Perdagangan di daerah;
54

e. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala internasional. 2.c. Struktur Organisasi


Ministry of Trade

Staff Vice Ministry of Trade

Inspectorate

Secretariat

General Direktorat Foreign of Trade

General Direktorat Domestic of Trade

General Direktorat Standardization and consumer pretection

Direktorat International Trade Cooperation

Direktorat Development of National Export

Regulatory Board Futures Trade Commodity

Agency Assesment and Development of Trade Policy

Gambar L.1x Struktur Organisasi Kementerian Perdagangan Republik Indonesia


Sumber: Situs Resmi Kementerian Perdagangan RI

Alamat Kantor: Jl. M. I. Ridwan Rais No. 5, Jakarta Pusat 10110. Situs resmi http://www.depdag.go.id/. AB. KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA 1. Deskripsi Pada Perturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007, terdapat pembagian urusan bidang perindustrian. Bidang ini terdiri dari tujuh belas sub bidang, yaitu, Perizinan, Usaha Industri, Fasilitas Usaha Industri, Perlindungan Usaha Industri, Perencanaan dan Program, Pemasaran, Teknologi, Standardisasi, Sumber Daya Manusia (SDM), Permiodalan, Lingkungan Hidup, Kerjasama Industri, Kelembagaan, Informasi Industri, Pengawasan Industri, Monitoring Evaluasi dan Pelaporan.. Dari sub bidang tersebut, masih dibagi lagi sub-sub bidang urusan pertanian dan ketahanan pangan. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010, bahwa tugas Kementerian Perindustrian adalah menyelenggarakan urusan di bidang perindustrian dalam pemerintahan untuk membantu Presiden. Oleh karena itu penyelenggaraan urusan bidang perindustrian menjadi tanggungjawab kementerian perindustrian. 1.a. Visi dan Misi Kementrian Perindustrian
55

Membawa Indonesia pada Tahun 2025 untuk menjadi negara industri tangguh dunia; Membangun industri manufaktur untuk menjadi tulang punggung perekonomian.

2. Struktur, Organisasi, dan Tata Kerja Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, pada bagian ketujuh Pasal 221-223 disebutkan mengenai Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Perindustrian. Secara khusus, organaisasi dan tata kerja Kementerian Perindustrian diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 1 tahun 2005 tentang organisasi dan tata kerja. Menurut Pepres Nomor 24 tahun 2010 Pasal 221 kedudukan Kementerian Perindustrian adalah: a. Kementerian Perindustrian berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden; b. Kementerian Perindustrian dipimpin oleh Menteri Perindustrian. 2.a. Tugas Pada pasal 222, pertaruran yang sama, disebutkan tugas dari kementerian Perindustrian yaitu menyelenggarakan urusan di bidang perindustrian dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. 2.b. Fungsi Sedangkan untuk melaksanakan tugasnya, Kementerian perindustrian menyelenggarakan fungsi sebgaimana pada pasal 223, yaitu: a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang perindustrian; b. Pengelolaan barang milik/kekayaan Negara yang menjadi tanggungjawab Kementerian Perindustrian; c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Perindustrian; d. Pelaksana bimbingan teknis dan supervise atas pelaksanaan urusan Kementerian Perindustrian di daerah; dan e. Pelaksana kegiatan teknis yang berskala nasional.

56

2.c. Struktur Organisasi

Gambar L.1y Struktur Organisasi Kementerian Perindustrian Republik Indonesia


Sumber: Situs Resmi Kementerian Perindustrian RI

Alamat Kantor: Jalan Gatot Subroto Kav. 52-53, Jakarta 12950 Tel (021)5252194, 5271380, 5271387-88, Fax (021)5261086 Situs resmi http://www.kemenperin.go.id/.

57

LAMPIRAN 2 KEPMEN DAN PERMEN SELURUH BIDANG

58

Tabel 6.2. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan


NO KEPMEN 1 KEPMENDIKNAS RI NO: 057/O/2007 TENTANG PENETAPAN PERGURUAN TINGGIPENYELENGGARA SERTIFIKASI BAGI GURU DALAM JABATAN KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL PERMEN PERMENDIKNAS RI NO: 1 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN PENGGUNAAN NAMA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL MENJADI KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

KEPMENDIKNAS RI NO: 045/U/2002 TENTANG KURIKULUM INTI PENDIDIKAN TINGGI

PERMENDIKNAS RI NO: TAHUN 2010 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL TAHUN 2010-2014

KEPMENDIKNAS RI NO: 004/U/2002 TENTANG AKREDITASI PROGRAM STUDI PADA PERGURUAN TINGGI

PERMENDIKNAS RI NO: 3 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 84 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 75 TAHUN 2009 TENTANG UJIAN NASIONAL SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTS), SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA (SMPLB), SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH (SMA/MA), SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA (SMALB), DAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) TAHUN PELAJARAN 2009/2010

KEPMENDIKNAS RI NO: 184/U/2001 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN-PENGENDALIAN DAN PEMBINAAN PROGRAM DIPLOMA, SARJANA DAN PASCASARJANA DL PERGURUAN TINGGI KEPMENDIKNAS RI NO: 178/U/2001 TENTANG GELAR DAN LULUSAN PERGURUAN TINGGI

PERMENDIKNAS RI NO: 4 TAHUN 2010 TENTANG UJIAN SEKOLAH/MADRASAH TAHUN PELAJARAN 2009/2010

PERMENDIKNAS RI NO: 5 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) BIDANG PENDIDIKAN TAHUN ANGGARAN 2010

59

KEPMENDIKNAS RI NO: 107/U/2001 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN TINGGI JARAK JAUH

PERMENDIKNAS RI NO: 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMENUHAN KEBUTUHAN, PENINGKATAN PROFESIONALISME, DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN GURU, KEPALA SEKOLAH/MADRASAH, DAN PENGAWAS DI KAWASAN PERBATASAN DAN PULAU KECIL TERLUAR

PERMENDIKNAS RI NO: 8 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA DI BIDANG PENDIDIKAN NONFORMAL DAN JASA PENUNJANG PENDIDIKAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DI BIDANG PENANAMAN MODAL

PERMENDIKNAS RI NO: 9 TAHUN 2010 TENTANG PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI GURU BAGI GURU DALAM JABATAN PERMENDIKNAS RI NO: 10 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 276/O/1999 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIVERSITAS NEGERI PADANG

10

PERMENDIKNAS RI NO: 11 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIVERSITAS CENDERAWASIH PERMENDIKNAS RI NO: 16 TAHUN 2010 TENTANG STATUTA UNIVERSITAS TADULAKO PERMENDIKNAS RI NO: 17 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PLAGIAT DI PERGURUAN TINGGI PERMENDIKNAS RI NO: 18 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) BIDANG PENDIDIKAN TAHUN ANGGARAN 2010 UNTUK SD/SDLB

11

12

13

15

PERMENDIKNAS RI NO: 19 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) BIDANG PENDIDIKAN TAHUN ANGGARAN 2010 UNTUK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)

17

PERMENDIKNAS RI NO:0 TAHUN 2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR, DAN KRITERIA DI BIDANG PENDIDIKAN

60

19

PERMENDIKNAS RI NO: 1 TAHUN 2009 TENTANG STAF AHLI MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

20

PERMENDIKNAS RI NO: TAHUN 2009 TENTANG STATUTA UNIVERSITAS NUSA CENDANA

22

PERMENDIKNAS RI NO: 4 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

23

PERMENDIKNAS RI NO: 5 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DI LINGKUNGAN INSPEKTORAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

24

PERMENDIKNAS RI NO: 6 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN KEPALA SEKOLAH PERMENDIKNAS RI NO: 7 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN BANTUAN KEPADA LEMBAGA PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL PERMENDIKNAS RI NO: 8 TAHUN 2009 TENTANG PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI GURU PRA JABATAN

25

26

27

PERMENDIKNAS RI NO: 9 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN BUKU TEKS PELAJARAN YANG MEMENUHI SYARAT KELAYAKAN UNTUK DIGUNAKAN DALAM PROSES PEMBELAJARAN

28

PERMENDIKNAS RI NO: 10 TAHUN 2009 TENTANG SERTIFIKASI BAGI GURU DALAM JABATAN

61

29

PERMENDIKNAS RI NO: 11 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA DAN PERANGKAT AKREDITASI SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH (SD/MI)

30

PERMENDIKNAS RI NO: 12 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA DAN PERANGKAT AKREDITASI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTS)

31

PERMENDIKNAS RI NO: 13 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA DAN PERANGKAT AKREDITASI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN/MADRASAH ALIYAH KEJURUAN (SMK/MAK)

32

PERMENDIKNAS RI NO: 14 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS BENGKULU

33

PERMENDIKNAS RI NO: 15 TAHUN 2009 TENTANG UJIAN SEKOLAH/MADRASAH TAHUN PELAJARAN 2008/2009 PERMENDIKNAS RI NO: 16 TAHUN 2009 TENTANG SATUAN PENGAWASAN INTERN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

34

35

PERMENDIKNAS RI NO: 17 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS SRIWIJAYA PERMENDIKNAS RI NO: 18 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN OLEH LEMBAGA PENDIDIKAN ASING DL INDONESIA

36

37

PERMENDIKNAS RI NO: 19 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN TUNJANGAN KEHORMATAN PROFESOR

62

38

PERMENDIKNAS RI NO:0 TAHUN 2009 TENTANG BEASISWA UNGGULAN PERMENDIKNAS RI NO:1 TAHUN 2009 TENTANG UJIAN NASIONAL UNTUK PROGRAM PAKET A, PROGRAM PAKET B, DAN PROGRAM PAKET C TAHUN 2009

39

40

PERMENDIKNAS RI NO:3 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS ANDALAS

41

PERMENDIKNAS RI NO:4 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

42

PERMENDIKNAS RI NO:5 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PERMENDIKNAS RI NO:6 TAHUN 2009 TENTANG PENILAIAN IJAZAH LULUSAN PERGURUAN TINGGI LUAR NEGERI

43

44

PERMENDIKNAS RI NO:7 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS HALUOLEO PERMENDIKNAS RI NO:8 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK)/MADRASAH ALIYAH KEJURUAN (MAK) PERMENDIKNAS RI NO: 30 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM STUDI DI LUAR DOMISILI PERGURUAN TINGGI

45

46

63

47

PERMENDIKNAS RI NO: 31 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN KUASA KEPADA DIREKTUR JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN UNTUK MENANDATANGANI KEPUTUSAN PEMBERIAN TUNJANGAN PROFESI GURU, TUNJANGAN KHUSUS BAGI GURU YANG BERTUGAS DI DAERAH KHUSUS, BANTUAN KESEJAHTERAAN GURU DI DAERAH TERTINGGAL, DAN SUBSIDI TUNJANGAN FUNGSIONAL BAGI GURU NON PEGAWAI NEGERI SIPIL

48

PERMENDIKNAS RI NO: 32 TAHUN 2009 TENTANGMEKANISME PENDIRIAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN, PERUBAHAN BADAN HUKUM MILIK NEGARA ATAU PERGURUAN TINGGI, DAN PENGAKUAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI BADAN HUKUM PENDIDIKAN

49

PERMENDIKNAS RI NO: 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGANGKATAN DEWAN PENGAWAS PADA PERGURUAN TINGGI NEGERI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL YANG MENERAPKAN PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM

50

PERMENDIKNAS RI NO: 34 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKOLAH TINGGI INTELIJEN NEGARA PERMENDIKNAS RI NO: 35 TAHUN 2009 TENTANG STATUTA INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA

51

52

PERMENDIKNAS RI NO: 36 TAHUN 2009 TENTANG PROGRAM PAKET C KEJURUAN

53

PERMENDIKNAS RI NO: 37 TAHUN 2009 TENTANG TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

64

54

PERMENDIKNAS RI NO: 38 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PERMENDIKNAS RI NO: 39 TAHUN 2009 TENTANG PEMENUHAN BEBAN KERJA GURU DAN PENGAWAS SATUAN PENDIDIKAN

55

56

PERMENDIKNAS RI NO: 40 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PENGUJI PADA KURSUS DAN PELATIHAN

57

PERMENDIKNAS RI NO: 41 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PEMBIMBING PADA KURSUS DAN PELATIHAN

58

PERMENDIKNAS RI NO: 42 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PENGELOLA KURSUS

59

PERMENDIKNAS RI NO: 43 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR TENAGA ADMINISTRASI PENDIDIKAN PADA PROGRAM PAKET A, PAKET B, DAN PAKET C

60

PERMENDIKNAS RI NO: 44 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PENGELOLA PENDIDIKAN PADA PROGRAM PAKET A, PAKET B, DAN PAKET C

61

PERMENDIKNAS RI NO: 45 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR TEKNISI SUMBER BELAJAR PADA KURSUS DAN PELATIHAN

65

62

PERMENDIKNAS RI NO: 46 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN UMUM EJAAN BAHASA INDONESIA YANG DISEMPURNAKAN

63

PERMENDIKNAS RI NO: 47 TAHUN 2009 TENTANG SERTIFIKASI PENDIDIK UNTUK DOSEN

64

PERMENDIKNAS RI NO: 48 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN TUGAS BELAJAR BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

65

PERMENDIKNAS RI NO: 50 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN BUKU TEKS PELAJARAN YANG MEMENUHI SYARAT KELAYAKAN UNTUK DIGUNAKAN DALAM PROSES PEMBELAJARAN

66

PERMENDIKNAS RI NO: 51 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS RIAU PERMENDIKNAS RI NO: 52 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA DAN PERANGKAT AKREDITASI TAMAN KANAK-KANAK/RAUDHATUL ATHFAL (TK/RA)

67

68

PERMENDIKNAS RI NO: 53 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA DAN PERANGKAT AKREDITASI TAMAN KANAK-KANAK LUAR BIASA

69

PERMENDIKNAS RI NO: 54 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA DAN PERANGKAT AKREDITASI SEKOLAH DASAR LUAR BIASA

66

70

PERMENDIKNAS RI NO: 55 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA DAN PERANGKAT AKREDITASI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA

71

PERMENDIKNAS RI NO: 56 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA DAN PERANGKAT AKREDITASI SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA

72

PERMENDIKNAS RI NO: 57 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN BANTUAN PENGEMBANGAN SEKOLAH SEHAT

73

PERMENDIKNAS RI NO: 58 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

74

PERMENDIKNAS RI NO: 59 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

75

PERMENDIKNAS RI NO: 60 TAHUN 2009 TENTANG STATUTA SEKOLAH TINGGI INTELIJEN NEGARA

76

PERMENDIKNAS RI NO: 61 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN KUASA DAN DELEGASI WEWENANG PELAKSANAAN KEGIATAN ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN KEPADA PEJABAT TERTENTU DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

77

PERMENDIKNAS RI NO: 63 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

78

PERMENDIKNAS RI NO: 65 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIVERSITAS DIPONEGORO

67

79

PERMENDIKNAS RI NO: 66 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN IZIN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN ASING PADA SATUAN PENDIDIKAN FORMAL DAN NONFORMAL DI INDONESIA

80

PERMENDIKNAS RI NO: 67 TAHUN 2009 TENTANG AKREDITASI BERKALA ILMIAH

81

PERMENDIKNAS RI NO: 68 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN AKREDITASI BERKALA ILMIAH

82

PERMENDIKNAS RI NO: 69 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR BIAYA OPERASI NONPERSONALIA TAHUN 2009 UNTUK SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH (SD/MI), SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTS), SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH (SMA/MA), SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK), SEKOLAH DASAR LUAR BIASA (SDLB), SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA (SMPLB), DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA (SMALB)

83

PERMENDIKNAS RI NO: 70 TAHUN 2009 TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA

84

PERMENDIKNAS RI NO: 71 TAHUN 2009 TENTANG MEKANISME PENDIRIAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN YANG MENYELENGGARAKAN PENDIDIKAN DASAR DAN/ATAU MENENGAH DAN PENGAKUAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN DASAR DAN/ATAU MENENGAH SEBAGAI BADAN HUKUM PENDIDIKAN

68

85

PERMENDIKNAS RI NO: 72 TAHUN 2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN KEPADA GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI TAHUN ANGGARAN 2010

86

PERMENDIKNAS RI NO: 73 TAHUN 2009 TENTANG PERANGKAT AKREDITASI PROGRAM STUDI SARJANA (S1) PERMENDIKNAS RI NO: 74 TAHUN 2009 TENTANG UJIAN AKHIR SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (UASBN) SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH/ SEKOLAH DASAR LUAR BIASA (SD/MI/SDLB) TAHUN PELAJARAN 2009/2010

87

88

PERMENDIKNAS RI NO: 75 TAHUN 2009 TENTANG UJIAN NASIONAL SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTS), SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA (SMPLB), SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH (SMA/MA), SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA (SMALB), DAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) TAHUN PELAJARAN 2009/2010

89

PERMENDIKNAS RI NO: 76 TAHUN 2009 TENTANG UJIAN NASIONAL PROGRAM PAKET C KEJURUAN TAHUN 2009 PERMENDIKNAS RI NO: 77 TAHUN 2009 TENTANG UJIAN NASIONAL PROGRAM PAKET A, PROGRAM PAKET B, PROGRAM PAKET C, DAN PROGRAM PAKET C KEJURUAN TAHUN 2010

90

91

PERMENDIKNAS RI NO: 78 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL PADA JENJANG PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

69

92

PERMENDIKNAS RI NO: 84 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 75 TAHUN 2009 TENTANG UJIAN NASIONAL SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTS), SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA (SMPLB), SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH (SMA/MA), SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA (SMALB), DAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) TAHUN PELAJARAN 2009/2010

93

PERMENDIKNAS RI NO: 81 TAHUN 2009 TENTANG KOORDINASI DAN PENGENDALIAN PROGRAM DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL TAHUN ANGGARAN 2010

94

PERMENDIKNAS RI NO: 1 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR PROSES PENDIDIKAN KHUSUS TUNANETRA, TUNARUNGU, TUNAGRAHITA, TUNADAKSA, DAN TUNALARAS PERMENDIKNAS RI NO: TAHUN 2008 TENTANGBUKU

95

96

PERMENDIKNAS RI NO: 3 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR PROSES PENDIDIKAN KESETARAAN PROGRAM PAKET A, PROGRAM PAKET B, DAN PROGRAM PAKET C PERMENDIKNAS RI NO: 4 TAHUN 2008 TENTANG KALENDER PERHELATAN PENDIDIKAN NASIONAL TAHUN 2008 PERMENDIKNAS RI NO: 6 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN KUASA KEPADA PEJABAT TERTENTU UNTUK MENANDATANGANI PENETAPAN HASIL SELEKSI CALON PESERTA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEPEMIMPINAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

97

98

99

PERMENDIKNAS RI NO: 7 TAHUN 2008 TENTANG STATUTA POLITEKNIK NEGERI SEMARANG

100

PERMENDIKNAS RI NO: 8 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PUSAT PENGEMBANGAN PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL

70

101

PERMENDIKNAS RI NO: 9 TAHUN 2008 TENTANG PERPANJANGAN BATAS USIA PENSIUN PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG MENDUDUKI JABATAN GURU BESAR/PROFESOR DAN PENGANGKATAN GURU BESAR/PROFESOR EMERITUS

102

PERMENDIKNAS RI NO: 13 TAHUN 2008 TENTANG HARGA ECERAN TERTINGGI BUKU TEKS PELAJARAN YANG HAK CIPTANYA DIBELI OLEH DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

103

PERMENDIKNAS RI NO: 14 TAHUN 2008 TENTANG INDIKATOR KINERJA KUNCI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

104

PERMENDIKNAS RI NO: 15 TAHUN 2008 TENTANG UJIAN NASIONAL PENDIDIKAN KESETARAAN TAHUN 2008

105

PERMENDIKNAS RI NO: 16 TAHUN 2008 TENTANG SISTEM AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

106

PERMENDIKNAS RI NO: 18 TAHUN 2008 TENTANG PENYALURAN TUNJANGAN PROFESI DOSEN

107

PERMENDIKNAS RI NO:20 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN INPASSING PANGKAT DOSEN BUKAN PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG TELAH MENDUDUKI JABATAN AKADEMIK PADA PERGURUAN TINGGI YANG DISELENGGARAKAN OLEH MASYARAKAT DENGAN PANGKAT PEGAWAI NEGERI SIPIL

71

108

PERMENDIKNAS RI NO:1 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

109

PERMENDIKNAS RI NO:2 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DI LINGKUNGAN SEKRETARIAT JENDERAL

110

PERMENDIKNAS RI NO:4 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR TENAGA ADMINISTRASI SEKOLAH/MADRASAH

111

PERMENDIKNAS RI NO:5 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR TENAGA PERPUSTAKAAN SEKOLAH/MADRASAH

112

PERMENDIKNAS RI NO:6 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR TENAGA LABORATORIUM SEKOLAH/MADRASAH PERMENDIKNAS RI NO:7 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI KONSELOR PERMENDIKNAS RI NO: 6 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

113

114

72

115

PERMENDIKNAS RI NO: 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

116

PERMENDIKNAS RI NO: 8 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

117

PERMENDIKNAS RI NO: 9 TAHUN 2007 TENTANG PROSEDUR PENYIAPAN BAHAN RAPAT ATAU LAPORAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL KEPADA PRESIDEN, WAKIL PRESIDEN, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN/ATAU MENTERI KOORDINATOR

118

PERMENDIKNAS RI NO: 10 TAHUN 2007 TENTANG STATUTA UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

119

PERMENDIKNAS RI NO: 11 TAHUN2007 TENTANG PENGGUNAAN DAN PENGELOLAAN GEDUNG DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERLOKASI DI KOMPLEKS JALAN JENDERAL SUDIRMAN SENAYAN JAKARTA, JALAN R.S FATMAWATI CIPETE JAKARTA, JALAN GUNUNG SAHARI JAKARTA, GUDANG CIKETING BEKASI, DAN WISMA ARGA MULYA CISARUA BOGOR

120

PERMENDIKNAS RI NO: 12 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENGAWAS SEKOLAH/MADRASAH

73

121

PERMENDIKNAS RI NO: 13 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR KEPALA SEKOLAH/MADRASAH

122

PERMENDIKNAS RI NO: 14 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR ISI UNTUK PROGRAM PAKET A, PROGRAM PAKET B, DAN PROGRAM PAKET C

123

PERMENDIKNAS RI NO: 15 TAHUN 2007 TENTANG SISTEM PERENCANAAN TAHUNAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

124

PERMENDIKNAS RI NO: 16 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI GURU PERMENDIKNAS RI NO: 19 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN OLEH SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

125

126

PERMENDIKNAS RI NO:0 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN PERMENDIKNAS RI NO:3 TAHUN 2007 TENTANG STATUTA UNIVERSITAS TERBUKA

127

128

PERMENDIKNAS RI NO:4 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR SARANA DAN PRASARANA UNTUK SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH (SD/MI), SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTS), DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH (SMA/MA)

74

129

PERMENDIKNAS RI NO:5 TAHUN 2007 TENTANG PERSYARATAN DAN PROSEDUR BAGI WARGA NEGARA ASING UNTUK MENJADI MAHASISWA PADA PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA

130

PERMENDIKNAS RI NO:6 TAHUN 2007 TENTANG KERJASAMA PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA DENGAN PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN DL LUAR NEGERI

131

PERMENDIKNAS RI NO:8 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL

132

PERMENDIKNAS RI NO:9 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

133

PERMENDIKNAS RI NO: 30 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN REKENING DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

134

PERMENDIKNAS RI NO: 1 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN KEWENANGAN KEPADA EMPAT PERGURUAN TINGGI BADAN HUKUM MILIK NEGARA UNTUK MEMBUKA DAN MENUTUP PROGRAM STUDI PADA PERGURUAN TINGGI YANG BERSANGKUTAN

135

PERMENDIKNAS RI NO:2 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERTIMBANGAN JABATAN DAN KEPANGKATAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 3 TAHUN 2006 TENTANG STATUTA POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

136

137

PERMENDIKNAS RI NO: 4 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN GERAI INFORMASI DAN MEDIA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

75

138

PERMENDIKNAS RI NO: 6 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN KUASA KEPADA PEJABAT TERTENTU UNTUK MENANDATANGANI PENETAPAN HASILSELEKSI CALON PESERTA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEPEMIMPINAN DL LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

139

PERMENDIKNAS RI NO: 7 TAHUN 2006 TENTANG HONORARIUM GURU BANTU PERMENDIKNAS RI NO: 8 TAHUN 2006 TENTANG STATUTA INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

140

141

PERMENDIKNAS RI NO: 9 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENATAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN UNIT UTAMA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 11 TAHUN 2006 TENTANG STATUTA UNIVERSITAS TRUNOJOYO PERMENDIKNAS RI NO: 12 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 274/O/1999 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

142

143

144

PERMENDIKNAS RI NO: 13 TAHUN 2006 TENTANG JADWAL RETENSI ARSIP SUBSTANTIF DAN FASILITATIF DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

145

PERMENDIKNAS RI NO: 14 TAHUN 2006 TENTANG LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA PERMENDIKNAS RI NO: 16 TAHUN 2006 TENTANG PENDIRIAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK PADA UNIVERSITAS NUSA CENDANA PERMENDIKNAS RI NO: 17 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN DELEGASI WEWENANG KEPADA PEJABAT TERTENTU UNTUK MENETAPKAN PENYESUAIAN GAJI POKOK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

146

147

76

148

PERMENDIKNAS RI NO: 19 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN TUNJANGAN DARMASISWA KEPADA MAHASISWA ASING YANG BELAJAR DL INDONESIA

149

PERMENDIKNAS RI NO:20 TAHUN 2006 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DL LINGKUNGAN INSPEKTORAT JENDERAL

150

PERMENDIKNAS RI NO:1 TAHUN 2006 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DL LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI

151

PERMENDIKNAS RI NO:2 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

152

PERMENDIKNAS RI NO:5 TAHUN 2006 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DL LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH PERMENDIKNAS RI NO:6 TAHUN 2006 TENTANG JADWAL RETENSI ARSIP SUBSTANTIF DAN FASILITATIF DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI NEGERI DAN KOORDINASI PERGURUAN TINGGI SWASTA PERMENDIKNAS RI NO:7 TAHUN 2006 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DI LINGKUNGAN PUSAT-PUSAT

153

154

77

155

PERMENDIKNAS RI NO: 30 TAHUN 2006 TENTANG STATUTA POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKAJENE DAN KEPULAUAN

156

PERMENDIKNAS RI NO: 32 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 042/U/2000 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENETAPAN PERGURUAN TINGGI NEGERI SEBAGAI BADAN HUKUM

157

PERMENDIKNAS RI NO: 35 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PENUNTASAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR SEMBILAN TAHUN DAN PEMBERANTASAN BUTA AKSARA

158

PERMENDIKNAS RI NO: 37 TAHUN 2006 TENTANG TATA KEARSIPAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 41 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN KUASA KEPADA PEJABAT TERTENTU DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNTUK MENANDATANGANI SURAT PERINTAH MELAKUKAN PEMERIKSAAN TERHADAP PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG DISANGKA MELAKUKAN PELANGGARAN DISIPLIN

159

160

PERMENDIKNAS RI NO: 42 TAHUN 2006 TENTANG TATA PERSURATAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

161

PERMENDIKNAS RI NO: 44 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN UNTUK LEMBAGA PENDIDIKAN YANG DISELENGGARAKAN OLEH MASYARAKAT DAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN

78

162

PERMENDIKNAS RI NO: 2 TAHUN 2005 SUBSIDI SILANG BIAYA OPERASI PERGURUAN TINGGI

163

PERMENDIKNAS RI NO: 16 TAHUN 2005 TENTANG STATUTA UNIVERSITAS AIRLANGGA

164

PERMENDIKNAS RI NO: 17 TAHUN 2005 TENTANG MARS SEKOLAH MENENGAH PERTAMA TERBUKA

165

PERMENDIKNAS RI NO: 18 TAHUN 2005 TENTANG PENETAPAN ANGKA KREDIT JABATAN FUNGSIONAL GURU

166

PERMENDIKNAS RI NO: 19 TAHUN 2005 TENTANG PENETAPAN ANGKA KREDIT JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS SEKOLAH

167

PERMENDIKNAS RI NO:8 TAHUN 2005 TENTANG BADAN AKREDITASI NASIONAL PERGURUAN TINGGI

168

PERMENDIKNAS RI NO: 31 TAHUN 2005 TENTANG PEMBINAAN UNIT PELAKSANA TEKNIS PUSAT PENATARAN DAN PENGEMBANGAN GURU, LEMBAGA PENJAMIN MUTU PENDIDIKAN, DAN BALAI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH DAN PEMUDA

Tabel 6.3. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kesehatan


79

NO 1.

KEMENTRIAN KESEHATAN KEPMEN HK.03.01/MENKES/146/I/2010 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG HARGA OBAT GENERIK PERMEN PERMENKES NO. 492 IV 2010 PERMENKES NO. 492 IV 2010 TENTANG KUALITAS AIR MINUM

2.

HK.02.02/MENKES/068/I/2010 KEWAJIBAN MENGGUNAKAN OBAT GENERIK DI FASILITAS PELAYANAN PEMERINTAH HK.03.01/MENKES/159/I/2010 PEDOMAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENGGUNAAN OBAT GENERIK DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN PEMERINTAH NO. 494/MENKES/SK/IV/2010 SK MENKES 494 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN 2010

PBM MENTERI DALAM NEGERI DAN MENKES NO. 162 PERATURAN BERSAMA MENTERI MENTERI DALAM NEGERI DAN MENKES NO. 162 TENTANG PELAPORAN KEMATIAN DAN PENYEBAB KEMATIAN PMK NO. 03 TH 2010 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 03 TAHUN 2010 TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS

3.

4.

PMK NO. 317 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 317 TENTANG PENDAYAGUNAAN TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA

5.

551/MENKES/SK/V/2010 PENERIMA DANA BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN (BOK) DI PUSKESMAS DAN JARINGANNYA UNTUK TIAP KABUPATEN/KOTA TAHUN ANGGARAN 2010 LAMPIRAN 551/MENKES/SK/V/2010 LAMPIRAN PENERIMA DANA BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN DI PUSKESMAS DAN JARINGANNYA UNTUK TIAP KABUPATEN/KOTA UJICOBA TAHUN ANGGARAN 2010 SK/MENKES/SK/XI/2009 PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) BIDANG KESEHATAN TAHUN ANGGARAN 2010 1061/MENKES/SK/XI/2008 PENETAPAN RUMAH SAKIT RUJUKAN HAJI

PMK NO. HK.02.02-068 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. HK.02.02-068 TENTANG KEWAJIBAN MENGGUNAKAN OBAT GENERIK DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN PEMERINTAH PMK NO. HK.02.02-148 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. HK.02.02-148 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PERAWAT

6.

7.

PMK NO. HK.02.02-149 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. HK.02.02-149 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN

8.

9.

1022/MENKES/SK/XI/2008 PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

PERMENKES 659 TAHUN 2009 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 659/MENKES/PER/VIII/2009 TENTANG RUMAH SAKIT INDONESIA KELAS DUNIA PMK NO. 1248 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 1248 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN SIKLOTRON DI RUMAH SAKIT

10. 852/MENKES/SK/IX/2008 STRATEGI NASIONAL SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT

PMK NO. 307 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 307 TENTANG PROGRAM BANTUAN SOSIAL DALAM RANGKA PENINGKATAN DERAJAT KESEHATAN MASYARAKAT

80

11. 1014/MENKES/SK/XI/2008 STANDAR PELAYANAN RADIO DIAGNOSTIK DI SARANA PELAYANAN KESEHATAN

PMK NO. 833 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 833 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN SEL PUNCA

12. KBM MENKES DAN KEPALA BATAN NASIONAL NO. 171 KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI, MENKES DAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL NO. 171 TENTANG PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR

PMK NO. 971 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 971 TENTANG STANDAR KOMPETENSI PEJABAT STRUKTURAL KESEHATAN

13. KESEPAKATAN KERJA SAMA ANTARA MENKES RI DENGAN KEPALA STAFF TNI AD NO. 590 KESEPAKATAN KERJA SAMA ANTARA MENKES RI DENGAN KEPALA STAFF TNI AD NO. 590 TENTANG KERJA SAMA BIDANG 14. KMK NO. 1014 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 1014 TENTANG STANDAR PELAYANAN RADIOLOGI DIAGNOSTIK DI SARANA PELAYANAN KESEHATAN

1010/MENKES/PER/XI/2008 REGISTRASI OBAT

780/MENKES/PER/VIII/2008 PENYELENGGARAAN PELAYANAN RADIOLOGI

15. KMK NO. 1022 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 1022 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

PMK NO. 1010 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 1010 TENTANG REGISTRASI OBAT

16. KMK NO. 1023 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 1023 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT ASMA

PMK NO. 1120 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 1120 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 1010-MENKES-PER-XI-2008 TENTANG REGISTRASI OBAT

17. KMK NO. 1061 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 1061 TENTANG PENETAPAN RUMAH SAKIT RUJUKAN HAJI

PMK NO. 290 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 290 TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN

18. KMK NO. 1062 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NO. 1062 TENTANG PENGHARGAAN BAGI KABUPATEN-KOTA DI LUAR PULAU JAWA YANG TELAH MENJADI DESA-KELUR

PMK NO. 496 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 496 TENTANG TATA CARA PENGUSULAN CALON ANGGOTA KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA

19. KMK NO. 1158 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 1158 TENTANG STANDAR PEMERIKSAAN KESEHATAN TKI

PMK NO. 541 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 541 TENTANG PROGRAM TUGAS BELAJAR SDM KESEHATAN DEPKES RI

81

20. KMK NO. 120 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 120 TENTANG STANDAR PELAYANAN MEDIK HIPERBARIK

512/MENKES/PER/IV/2007 LAMPIRAN

21. KMK NO. 121 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 121 TENTANG STANDAR PELAYANAN MEDIK HERBAL

512/MENKES/PER/IV/2007 IZIN PRAKTIK DAN PELAKSANAAN PRAKTIK KEDOKTERAN

22. KMK NO. 129 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NO. 129 STANDAR PELAYANAN MINIMAL RUMAH SAKIT

284/MENKES/PER/III/2007 APOTEK RAKYAT

23. KMK NO. 267 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 267 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGORGANISASIAN DINAS KESEHATAN DAERAH

548/MENKES/PER/V/2007 REGISTRASI DAN IZIN PRAKTIK OKUPASI TERAPIS

24. KMK NO. 274 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 274 TENTANG PEDOMAN REKRUTMEN TENAGA PELAKSANA VERIFIKASI DALAM PELAKSANAAN PROGRAM JAMKESMAS

PMK NO. 1109 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 1109 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGOBATAN KOMPLEMENTER-ALTERNATIF

25. KMK NO. 298 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 298 TENTANG PEDOMAN AKREDITASI LABORATORIUM KESEHATAN

PMK_NO._1295 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 1295 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA ATAS PERMENKES NO. 1575 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPKES

26. KMK NO. 299 KEPUTSAN MENTERI KESEHATAN NO. 299 TENTANG PENUNJUKAN WAKIL INDONESIA UNTUK EXECUTIVE COMMITTEE

PMK NO. 284 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 284 TENTANG APOTEK RAKYAT

27. KMK NO. 302 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 302 TENTANG HARGA OBAT GENERIK

PMK_NO._512 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 512 TENTANG IZIN PRAKTIK DAN PELAKSANAAN PRAKTIK KEDOKTERAN

28. KMK NO. 350 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 350 PENETAPAN RUMAH SAKIT PENGAMPU DAN SATELIT PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON

82

29. KMK NO. 039 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 039 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEDOKTERAN GIGI KELUARGA

30. KMK NO. 042 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 042 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN SISTEM KEWASPADAAN DINI(SKD) DAN PENANGGULANGAN KLB MALARIA

31. KMK NO. 043 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 043 TENTANG PEDOMAN PELATIHAN MALARIA

32. KMK NO. 044 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 044 TENTANG PEDOMAN PENGOBATAN MALARIA

33. KMK NO. 1017 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 1017 TENTANG PENUNJUKAN SARANA PELAYANAN KESEHATAN SEBAGAI TEMPAT PENGUJIAN

34. KMK NO. 1033 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 1033 TENTANG PEDOMAN UMUM PERENCANAAN PINJAMAN DAN ATAU HIBAH LUAR NEGERI BIDANG KESEHATAN

35. KMK NO. 1045 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 1045 TENTANG PENETAPAN WILAYAH PENGESAHAN PEMBERIAN INTERNATIONAL CERTIFICATE OF VACCINATION

36. KMK NO. 1105 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 1105 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN MEDIS KORBAN MASSAL AKIBAT BENCANA KIMIA

37. KMK NO. 1161 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 1161 TENTANG PENETAPAN RUMAH SAKIT BERDASARKAN INDONESIA DIAGNOSTIC RELATED GROUP (INA-DRG)

83

38. KMK NO. 1165 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 1165 TENTANG POLA TARIF RUMAH SAKIT BADAN LAYANAN UMUM

39. KMK NO. 1224 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 1224 TENTANG PEDOMAN KLASIFIKASI DAN KODIFIKASI JENIS PEMERIKSAAN, SPESIMEN, METODE PEMERIKSA

40. KMK NO. 1225 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 1225 TENTANG PEDOMAN SISFO LABORATORIUM KESEHATAN (SILK)

41. KMK NO. 145 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 145 TENTANG PEDOMAN PENANGGULANGAN BENCANA BIDANG KESEHATAN

42. KMK NO. 221 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 221 TENTANG PENYELENGGARA RISET PEMBINAAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI KEDOKTERAN (RISBIN I

43. KMK NO. 275 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 275 TENTANG PEDOMAN SURVEILANS MALARIA

44. KMK NO. 342 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 342 TENTANG PEJABAT YANG BERWENANG MEMBERIKAN INFORMASI KEPADA PERS DAN ATAU MASYARAKAT

45. KMK NO. 369 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 369 TENTANG STANDAR PROFESI BIDAN

46. KMK NO. 370 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 370 TENTANG STANDAR PROFESI AHLI TEKNOLOGI LABORATORIUM KESEHATAN

84

47. KMK NO. 371 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NO. 371 TENTANG STANDAR PROFESI TEKNISI ELEKTROMEDIS

48. KMK NO. 372 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NO. 372 TENTANG STANDAR PROFESI TEKNISI GIGI

49. KMK NO. 373 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NO. 373 TENTANG STANDAR PROFESI SANITARIAN

50. KMK NO. 374 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 374 TENTANG STANDAR PROFESI GIZI

51. KMK NO. 376 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 376 TENTANG STANDAR PROFESI FISIOTERAPI

52. KMK NO. 377 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 377 TENTANG STANDAR PROFESI PEREKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN

53. KMK NO. 378 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 378 TENTANG STANDAR PROFESI PERAWAT GIGI

54. KMK NO. 423 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 423 TENTANG KEBIJAKAN PENINGKATAN KUALITAS DAN AKSES PELAYANAN DARAH

55. KMK NO. 424 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 424 TENTANG PEDOMAN UPAYA KESEHATAN PELABUHAN DALAM RANGKA KARANTINA KESEHATAN

85

56. KMK NO. 425 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 425 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KARANTINA KESEHATAN DI KANTOR KESEHATAN PELABUHAN

57. KMK NO. 431 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 431 TENTANG PENGENDALIAN RESIKO KESEHATAN LINGKUNGAN DI PELABUHAN-BANDARAPOS LINTAS BATAS

58. KMK NO. 432 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 432 TENTANG PEDOMAN MANAJEMEN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) DI RUMAH SAKIT

59. KMK NO. 474 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 474 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENKES NO. 518 TAHUN 2009 TENTANG TARIF PELAYANAN KESEHATAN ASKES DI B

60. KMK NO. 483 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 483 TENTANG PEDOMAN SURVEILANS ACUTE FLACCID PARALYSIS (AFP)

61. KMK NO. 562 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 562 TENTANG KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN

62. KMK NO. 563 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 563 TENTANG KEANGGOTAAN KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN MASA BAKTI 20072011

63. KMK NO. 585 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 585 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROMOSI KESEHATAN DI PUSKESMAS

64. KMK NO. 671 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 671 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN PROGRAM UPAYA KESEHATAN PERORANGAN

86

65. KMK NO. 893 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO. 893 TENTANG PEDOMAN PENANGGULANGAN KEJADIAN IKUTAN PASCA PENGOBATAN FILARIASIS

66. 844/MENKES/SK/X/2006 LAMPIRAN LAMPIRAN KEPMENKES NOMOR 844/2006

67. 844/MENKES/SK/X/2006 PENETAPAN STANDAR KODE DATA BIDANG KESEHATAN

68. 563/MENKES/SK/IV/2003 PELAYANAN TERPADU KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

69. 003A/MENKES/SK/I/2003 UNIT DESENTRALISASI

70. 1098/MENKES/SK/VII/2003 PERSYARATAN HYGIENE SANITASI RUMAH MAKAN DAN RESTORAN

71. 1277/MENKES/SK/VIII/2003 AKUPUNKTUR

TENAGA

72. 1452/MENKES/SK/X/2003 FORTIFIKASI TEPUNG TERIGU

73. 171/MENKES/SK/I/2003 TAHUBJA PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN ANGGARAN

87

74. 194/MENKES/SK/II/2003 RSU DAN RSUD KOTA SEMARANG

75. 195/MENKES/SK/II/2003 RSU BANJAR

76. 560/MENKES/SK/IV/2003 POLA TARIF PERJAN RS

77. 640/MENKES/SK/V/2003 TEKNISI KARDIOVASKULER

78. 715/MENKES/SK/V/2003 PERSYARATAN HYGIENE SANITASI JASABOGA

79. 725/MENKES/SK/V/2003 PEDOMAN PENYELENGGARAAN PELATIHAN DI BIDANG KESEHATAN

80. 962/MENKES/SK/VII/2003 FORTIFIKASI TEPUNG TERIGU

81. 912/MENKES/SK/VI/2003 SEVERE ACUTE RESPIRATORY SYNDROME (SARS)

82. 1457/MENKES/SK/X/2003 SPM BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN/ KOTA

88

83. 999A/MENKES/SKB/VIII/2002 TARIP DAN TATALAKSANA YANKES DI PUSKESMAS DAN RS

84. 1215/MENKES/SK/XI/2001 PEDOMAN KESEHATAN MATRA

85. 1216/MENKES/SK/XI/2001 PEDOMAN PEMBERANTASAN PENYAKIT DIARE

86. 1357/MENKES/SK/XII/2001 STANDAR MINIMAL PENANGGULANGAN MASALAH KESEHATAN AKIBAT BENCANA DAN PENGUNGSI

Tabel 6.4. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pekerjaan Umum


KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM NO 1. KEPMEN KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR :274/KPTS/M/2007 TENT ANG : PENETAPAN PAKET PENGADAAN BARANG/JASA SECARA ELEKTRONIK (E-PROCUREMENT) TAHUN 2007 DI LLNGKUNGAN DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM SELAKU KETUA HARIAN TIM KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR NOMOR : 432 /KPTS/M/2007 PEMBENTUKAN TIM PEMILIHAN CALON ANGGOTA DEWAN SUMBER DAYA AIR NASIONAL DARI UNSUR NON PEMERINTAH KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM SELAKU KETUA HARIAN TIM KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR NOMOR : 432 /KPTS/M/2007 PEMBENTUKAN TIM PEMILIHAN CALON ANGGOTA DEWAN SUMBER DAYA AIR NASIONAL DARI UNSUR NON PEMERINTAH PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 30/PRT/M/2006 TENTANG PEDOMAN TEKNIS FASILITAS DAN AKSESIBILITAS PADA BANGUNAN GEDUNG DAN LINGKUNGAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM PERMEN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 30/PRT/M/2006 TENTANG PEDOMAN TEKNIS FASILITAS DAN AKSESIBILITAS PADA BANGUNAN GEDUNG DAN LINGKUNGAN

2.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 51/PRT/2005 TENTANG RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM TAHUN 2005-2009

3.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 39/PRT/1989 TENTANG PEMBAGIAN WILAYAH SUNGAI

4.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 207/PRT/M/2005 TENTANG PEDOMAN PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PEMERINTAH SECARA ELEKTRONIK MENTERI PEKERJAAN UMUM

5.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NO. 45

89

6.

7.

8.

NOMOR: 18/PRT/M/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NO. 98 TAHUN 1993 TENTANG : ORGANISASI KEAMANAN BENDUNGAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 295/PRT/M/2005 TENTANG BADAN PENGATUR JALAN TOL PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 15/PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI

TAHUN 1990 TENTANG : PENGENDALIAN MUTU AIR PADA SUMBER SUMBER AIR

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 18/PRT/M/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 04/PRT/M/2009 TENTANG SISTEM MANAJEMEN MUTU (SMM) DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NO. 43/PRT/M/2007 TENTANG STANDAR DAN PEDOMAN PENGADAAN JASA KONSTRUKSI MERUPAKAN PERUBAHAN DARI KEPUTUSAN MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH NO. 257/KPTS/M/2004 TENTANG STANDAR DAN PEDOMAN PENGADAAN JASA KONSTRUKSI. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI DAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN/KOTA, BESERTA RENCANA RINCINYA

9.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 32 / PRT / M / 2007 TENTANG PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 441/KPTS/1998 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 369/KPTS/M/2009 TENTANG: PENETAPAN MENTOR PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN PEGAWAI BARU DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 39/PRT/1989 TENTANG PEMBAGIAN WILAYAH SUNGAI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 20/PRT/M/2006 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM (KSNP-SPAM) PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 294/PRT/M/2005 TENTANG BADAN PENDUKUNG PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 02/PRT/M/2007 T E N T A N G PETUNJUK TEKNIS PEMELIHARAAN JALAN TOL DAN JALAN PENGHUBUNG PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NO. 39 TAHUN 1989 TENTANG PEMBAGIAN WILAYAH SUNGAI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NO. 64 TAHUN 1993 TENTANG : REKLAMASI RAWA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 03/PRT/M/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 45/PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA

90

19.

20.

21.

NOMOR : 45/PRT/1990 T E N T A N G PENGENDALIAN MUTU AIR PADA SUMBER-SUMBER AIR PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NO. 63 TAHUN 1993 TENTANG : GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 45/PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 63/PRT/1993 TENTANG GARIS SEMPADAN DAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NO. 45 TAHUN 1990 TENTANG : PENGENDALIAN MUTU AIR PADA SUMBER SUMBER AIR KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM, REPUBLIK INDONESIA NOMOR 468/KPTS/1998 TANGGAL 1 DESEMBER 1998 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS AKSESIBILITAS PADA BANGUNAN UMUM DAN LINGKUNGAN

22.

23.

24.

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 50/PRT/1991 TENTANG PERIZINAN PERWAKILAN PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI ASING KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 184/KPTS/1990 TENTANG PENGESAHAN 18 STANDAR KONSEP SNI BIDANG PEKERJAAN UMUM PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 51/PRT/2005 TENTANG RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM TAHUN 2005-2009

25.

26.

27.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 078/PRT/2005 TENTANG LEGER JALAN

28.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 003/PRT/M/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN DEPARTEMEN PU YANG MERUPAKAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAN DILAKSANAKAN MELALUI DEKOSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN.

91

29.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 002/PRT/M/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN DEPARTEMEN PU YANG MERUPAKAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAN DILAKSANAKAN SENDIRI.

30.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 004/PRT/M/2006 TENTANG KODE ETIK AUDITOR INSPEKTORAT JENDERAL DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

31.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 604/PRT/M/2005 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMERIKSAAN PADA PEMILIHAN PENYEDIA JASA PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

32.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 606/PRT/M/2005 TENTANG PENCABUTAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 183/KPTS/1987 TENTANG JENIS, MATERI MUATAN, DAN WEWENANG PENETAPAN PRODUK HUKUM DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

33.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 603/PRT/M/2005 TENTANG PEDOMAN UMUM SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN PRASARANA DAN SARANA BIDANG PEKERJAAN UMUM

34.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 207/PRT/M/2005 TENTANG PEDOMAN PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PEMERINTAH SECARA ELEKTRONIK.

35.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 600/PRT/M/2005 TENTANG PEDOMAN BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

36.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 323/PRT/M/2005 TENTANG TATA CARA PENANGANAN MASUKAN DARI MASYARAKAT DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM.

37.

PERMEN PU NOMOR 323/PRT/M/2005 PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM TENTANG TATA CARA PENANGANAN MASUKAN DARI MASYARAKAT DI

92

38.

39.

40.

41.

42.

43.

44.

45.

46.

47.

LINGKUNGAN DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM KEPMEN PU NOMOR 518/KPTS/M/2005 KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM TENTANG PENERIMAAN PENGHARGAAN PEKERJAAN UMUM TAHUN 2005 KEPMEN PU NOMOR 607/KPTS/M/2005 KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG INFRASTRUKTUR TAHUN 2006 KEPMEN KIMPRASWIL NOMOR 20/KPTS/M/2004 KEPUTUSAN MENTERI PEMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH NO.: 24/KPTS/M/2003 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN KEPMEN PU NOMOR 21/KPTS/M/2004 KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM TENTANG SATUAN TUGAS PENANGGULANGAN BENCANA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN SUMATERA UTARA BIDANG PEKERJAAN UMUM KEPMEN KIMPRASWIL NOMOR 192/KPTS/M/2004 KEPUTUSAN MENTERI PEMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH TENTANG PENETAPAN PAKET-PAKET PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA SECARA SEMI E-PROCUREMENT DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH KEPMEN KIMPRASWIL NOMOR 225 /KPTS/M/2004 KEPUTUSAN MENTERI PEMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH TENTANG TATA CARA PENANGANAN MASUKAN DARI MASYARAKAT DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH KEPMEN KIMPRASWIL NOMOR 257/KPTS/M/2004 KEPUTUSAN MENTERI PEMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH TENTANG STANDAR DAN PEDOMAN PENGADAAN JASA KONSTRUKSI KEPMEN KIMPRASWIL NOMOR 362/KPTS/M KEPUTUSAN MENTERI PEMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH TENTANG SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH KEPMEN KIMPRASWIL NOMOR 384/KPTS/M/2004 KEPUTUSAN MENTERI PEMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH TENTANG PEDOMAN TEKNIS KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA TEMPAT KEGIATAN KONSTRUKSI BENDUNGAN KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NO.60/KPTS/1982 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM DI PROVINSI KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM

48.

93

NO.17/KPTS/1983 TENTANG HUBUNGAN ANTARA KAKANWIL DENGAN PEMIMPIN PROYEK 49. KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NO.99/KPTS/1984 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PROYEK DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

50.

KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NO. 458 TAHUN 1986 TENTANG : KETENTUAN PENGAMANAN SUNGAI DALAM HUBUNGAN DENGAN PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C

51.

KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NO. 98 TAHUN 1993 TENTANG : ORGANISASI KEAMANAN BENDUNGAN

52.

KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 441/KPTS/1998 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 518/KPTS/M/2005 TENTANG PENERIMAAN PENGHARGAAN PEKERJAAN UMUM TAHUN 2005 KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM SELAKU KETUA HARIAN TIM KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR NOMOR : 432 /KPTS/M/2007

53.

54.

55.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 43/PRT/M/2007 TENTANG STANDAR DAN PEDOMAN PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 09/PRT/M/2008 TENTANG PEDOMAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) KONSTRUKSI BIDANG PEKERJAAN UMUM PERATURAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI PEKERJAAN UMUM, MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

56.

57.

KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 401/KPTS/1996 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN IZIN PENGGUNAAN AIR DAN ATAU SSUMBER AIR UNTUK USAHA PERTAMBANGAN UMUM

Tabel 6.5. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Perumahan


94

KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT NO KEPMEN 1. KEPMEN NO 19 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA PERCEPATAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN DI KAWASAN PERKOTAANLAMPIRAN KEPMEN NO 20 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN SEKRETARIAT TIM KOORDINASI PERCEPATAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN DI KAWASAN PERKOTAAN KEPMEN NO 17 TAHUN 2010 PEMBENTUKAN TIM LPSE KEMENPERA PERMEN PERMENPERA NOMOR: 03/PERMEN/M/2007 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 04/PERMEN/M/2007 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR SYARIAH BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 05/PERMEN/M/2007 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR KPRS MIKRO BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 06/PERMEN/M/2007 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR KPRS MIKRO SYARIAH BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 07/PERMEN/M/2007 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR SARUSUN BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 10/PERMEN/M/2007 TENTANG PEDOMAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM (PSU) PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN PERMENPERA NOMOR: 14/PERMEN/M/2007 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA

2.

3.

4.

KEPMEN NO 6 TAHUN 1994 TENTANG PEDOMAN UMUM PEMBANGUNAN PERUMAHAN BERTUMPU PADA KELOMPOK

5.

KEPMEN NO 9 TAHUN 1995 PEDOMAN PENGIKATAN JUAL BELI RUMAH

6.

KEPMEN PERKIM NO.09/KTPS/M/IX/1999 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RP4D

7.

8.

9.

10.

KEPMEN KIMPRASWIL NO 403 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN RUMAH SEDERHANA SEHAT (RS SEHAT) KEPMEN KIMPRASWIL NO 20 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN KEPMEN KIMPRASWIL NO 24 TAHUN 2003 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN KEPMEN NO 55 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN SUKU BUNGA PINJAMAN LUNAK BENCANA ALAM PEMBANGUNANPERBAIKAN RUMAH BAPERTARUM-PNS KEPMEN NO 67 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPMEN NO 64 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM)/LEMBAGA KEUANGAN NON BANK (LKNB) KABUPATEN/KOTA SEBAGAI PENERIMA DAN PENYALUR PEMBERIAN STIMULAN UNTUK PERUMAHAN SWADAYA BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH (MBR) TAHUN ANGGARAN 2006

PERMENPERA NOMOR: 15/PERMEN/M/2007 TENTANG TATA LAKSANA PEMBENTUKAN PERHIMPUNAN PENGHUNI RUMAH SUSUN SEDERHANA MILIK

PERMENPERA NOMOR: 18/PERMEN/M/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERHITUNGAN TARIF SEWA RUMAH SUSUN SEDERHANA YANG DIBIAYAI APBN DAN APBD PERMENPERA NOMOR: 01/PERMEN/M/2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT

11.

12.

PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/ TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 1PERMENM2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT. PERMENPERA NOMOR: 05/PERMEN/M/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENPERA NOMOR 05PERMENM2007 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN

95

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPRS/KPRS SYARIAH BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 06/PERMEN/M/2008 PERUBAHAN ATAS PERMENPERA NOMOR 06PERMENM2007 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPRS/KPRS MIKRO SYARIAH BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 07/PERMEN/M/2008 PERUBAHAN ATAS PERMENPERA NOMOR 03PERMENM2007 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 08/PERMEN/M/2008 PERUBAHAN ATAS PERMENPERA NOMOR 04PERMENM2008 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR SYARIAH BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 09/PERMEN/M/2008 PEDOMAN BANTUAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA PADA LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN BERASRAMA PERMENPERA NOMOR: 12/PERMEN/M/2008 TENTANG PEDOMAN KESERASIAN KAWASAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN PERMENPERA NOMOR: 12/PERMEN/M/2008 PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR SARUSUNA SYARIAH BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 13/PERMEN/M/2008 PERUBAHAN ATAS PERMENPERA NOMOR 07PERMENM2008 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR SARUSUN BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 15/PERMEN/M/2008 PERUBAHAN KEDUA ATAS PERMENPERA NOMOR 07/PERMEN/M/2008 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR SARUSUN BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 16/PERMEN/M/2008 STANDAR DAN PROSEDUR PELAKSANAAN SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR SARUSUNA BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 17/PERMEN/M/2008 STANDAR DAN PROSEDUR PELAKSANAAN SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR SARUSUNA SYARIAH BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 19/PERMEN/M/2008 TATA CARA PELAKSANAAN SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR SYARIAH BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 20/PERMEN/M/2008 TATA CARA PELAKSANAAN SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPRS/KPRS MIKRO BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 21/PERMEN/M/2008 TATA CARA PELAKSANAAN SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPRS/KPRS MIKRO SYARIAH BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 22/PERMEN/M/2008 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PERUMAHAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DAN DAERAH KABUPATEN/KOTA PERMENPERA NOMOR: 01/PERMEN/M/2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN

96

28.

29.

30.

31. 32.

33.

34.

35.

36.

37.

38. 39. 40. 41.

NEGARA PERUMAHAN RAKYAT PERMENPERA NOMOR: 01/PERMEN/M/2009 TETANG ACUAN PENYELENGGARAAN PENINGKATAN KUALITAS PERUMAHAN PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/2009 TATA CARA PELAKSANAAN BANTUAN STIMULAN PSU UMUM PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN LAMPIRAN PERMENPERA NOMOR: 03/PERMEN/M/2009 TENTANG PEMBERHENTIAN LAYANAN BANTUAN KEPADA GOL IVA DAN IVB SERTA PEMBERHENTIAN PEMBERIAN JASA TABUNGAN PERUMAHAN PNS PERMENPERA NOMOR: 05/PERMEN/M/2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PNPM MANDIRI PERKIM PERMENPERA NOMOR: 06/PERMEN/M/2009 TENTANG TENTANG PENDELEGASIAN WEWENANG PEMBERIAN IZIN USAHA DI BIDANG PERUMAHAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DI BIDANG PENANAMAN MODAL KEPADA KEPALA BKPM PERMENPERA NOMOR: 01/PERMEN/M/2010 TENTANG PENGELOLAAN PENGADUAN MASYARAKAT DI BIDANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/2010 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT TAHUN 2010-2014 -LAMPIRAN PERMENPERA NOMOR: 03/PERMEN/M/2010 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT TAHUN 2010 MELALUI DEKONSENTRASI - LAMPIRAN PERMENPERA NOMOR: 04/PERMEN/M/2010 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DEKONSENTRASI LINGKUP KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT TAHUN 2010 - LAMPIRAN PERMENPERA NOMOR: 05/PERMEN/M/2010 TENTANG PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG-JASA SECARA ELEKTRONIK (E-PROCUREMENT) DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT PERMENPERA NOMOR: 06/PERMEN/M/2010 TENTANG POLA KLASIFIKASI ARSIP KEMENPERA PERMENPERA NOMOR: 07/PERMEN/M/2010 TENTANG TATA NASKAH DINAS KEMENPERA PERMENPERA NOMOR: 08/PERMEN/M/2010 TENTANG TATA KEARSIPAN KEMENPERA PERMENPERA NOMOR: 01/PERMEN/M/2005 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR/KPRS BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 04/PERMEN/M/2005 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR/KPRS SYARIAH BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 05/PERMEN/M/2005 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR/KPRS BERSUBSIDI (PENGGANTI PERMENPERA NOMOR: 01/PERMEN/M/2005) PERMENPERA NOMOR: 01/PERMEN/M/2006 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR/KPRS SYARIAH BERSUBSIDI

42.

43.

44.

97

45.

PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/2006 TENTANG PEMBERIAN PINJAMAN PEMBIAYAAN UANG MUKA KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PERMENPERA NOMOR: 03/PERMEN/M/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 02/PERMEN/M/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENPERA PERMENPERA NOMOR:04/PERMEN/M/2006 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT TAHUN 2005TAHUN 2009 PERMENPERA NOMOR: 05/PERMEN/M/2006 TENTANG DUKUNGAN ASURANSI KPR/KPRS UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH SEDERHANA SEHAT PERMENPERA NOMOR: 06/PERMEN/M/2006 TENTANG PEMBANGUNAN PERBAIKAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT PEMBIAYAAN MIKRO DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN PERMENPERA NOMOR: 07/PERMEN/M/2006 TENTANG DUKUNGAN PENJAMINAN KREDIT PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN PERBAIKAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT PEMBIAYAAN MIKRO PERMENPERA NOMOR: 08/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERIAN STIMULAN UNTUK PERUMAHAN SWADAYA BAGI MASYRAKAT BERPENGHASILAN RENDAH MELALUI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO LEMBAGA KEUANGAN NON BANK PERMENPERA NOMOR: 10/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN VERIFIKASI PERTANGGUNG JAWABAN ANGGARAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT PERMENPERA NOMOR:12/PERMEN/M/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENPERA NOMOR 05PERMENM2005 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR/KPRS BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 13/PERMEN/M/2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT TETAP BADAN PERTIMBANGAN TABUNGAN PERUMAHAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PERMENPERA NOMOR: 14/PERMEN/M/ 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN KAWASAN KHUSUS PERMENPERA NOMOR: 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN KAWASAN NELAYAN PERMENPERA NOMOR: 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI PERMENPERA NOMOR: 17/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN PERBATASAN PERMENPERA NOMOR: 19/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TATACARA PEMUNGUTAN DAN PELAPORAN PAJAK-PAJAK DALAM PELAKSANAAN APBN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT

46.

47.

48.

49.

50.

51.

52.

53.

54.

55.

56.

57.

58.

59.

98

60.

61.

62.

63.

64.

65.

66.

67.

68.

69.

70.

PERMENPERA NOMOR: 20/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT PERMENPERA NOMOR: 21/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMERIKSAAN KAS TERHADAP BENDAHARA PENGELUARAN OLEH KEPALA SATUAN KERJA ATASAN LANGSUNG BENDAHARA PENGELUARAN DI LINGKUNGAN KEMENPERA PERMENPERA NOMOR: 22/PERMEN/M/2006 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERMENPERA NOMOR 05PERMENM 2005 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR/KPRS BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 24/PERMEN/M/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENPERA NOMOR 01PERMENM2006 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR/KPRS SYARIAH BERSUBSIDI PERMENPERA NOMOR: 25/PERMEN/M/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 05PERMENM2006 TENTANG DUKUNGAN ASURANSI KPR/KPRS UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH SEDERHANA SEHAT PERMENPERA NOMOR: 26/PERMEN/M/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENPERA NOMOR 07/PERMEN/M/2006 TENTANG DUKUNGAN PENJAMINAN KREDIT PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN PERBAIKAN PERUMAHAN SWADAYA PERMENPERA NOMOR: 31/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI PERMENPERA NOMOR: 32/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK TEKNIS KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI PERMENPERA NOMOR: 33/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN TATA CARA PENUNJUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN SIAP BANGUN DAN PENYELENGGARA LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI PERMENPERA NOMOR: 34/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN PERMENPERA NOMOR: 05/PERMEN/M/2006 TENTANG DUKUNGAN ASURANSI KPR/KPRS UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH SEDERHANA SEHAT

Tabel 6.6. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Penataan Ruang


BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL NO KEPMEN 1. KEPUTUSAN MENTERI KIMPRASWIL NO. 327/KPTS/M TAHUN 2002 TENTANG PENETAPAN 6 (ENAM) PEDOMAN BIDANG PERMEN

99

PENATAAN RUANG 2. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NO.50 TAHUN 2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NO.28 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KONSULTASI DALAM RANGKA PEMBERIAN PERSETUJUAN SUBSTANSI KEHUTANAN ATAS RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG DAERAH PERATURAN MENTERI PU NO. 05/PRT/M TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN PERKOTAAN PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NO. 28 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA EVALUASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG DAERAH PERATURAN MENTERI PU NO. 21/PRT/M TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI PERATURAN MENTERI PU NO. 22/PRT/M TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR PERATURAN MENTERI PU NO. 40/PRT/M TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN TATA RUANG KAWASAN REKLAMASI PANTAI PERATURAN MENTERI PU NO. 41/PRT/M TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN KRITERIA TEKNIS KAWASAN BUDIDAYA PERATURAN MENTERI PU NO. 49/PRT TAHUN 1990 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN IJIN PENGGUNAAN AIR DAN ATAU SUMBER AIR PERATURAN MENTERI PU NO. 48/PRT TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN ATAS AIR DAN ATAU SUMBER AIR PADA WILAYAH SUNGAI PERATURAN MENTERI PU NO. 45/PRT TAHUN 1990 TENTANG PENGENDALIAN MUTU AIR PADA SUMBER-SUMBER AIR PERATURAN MENTERI PU NO. 39/PRT TAHUN 1989 TENTANG PEMBAGIAN WILAYAH SUNGAI

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

Tabel 6.7. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Perencanaan Pembangunan


NO BAPPENAS KEPMEN PERMEN

100

1.

KEPUTUSAN MEN.PPN/KEPALA BAPPENAS NO. KEP 257/M.PPN/06/2006 TENTANG PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PENILAIAN KEBUTUHAN DAN PENYUSUNAN RENCANA AKSI REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI WILAYAH PASCA BENCANA GEMPA

PERATURAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR 005/M.PPN/10/2007: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

2.

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR:. 009/KA/ 01/2001 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 53/PMK.010/2006 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PINJAMAN DAERAH DARI PEMERINTAH YANG DANANYA BERSUMBER DARI PINJAMAN LUAR NEGERI

3.

4.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PERNCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BADAN PERNCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR: 257/.M.PPN/06/2006: TENTANG PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PENILAIAN KEBUTUHAN PEMULIHAN DAN PENYUSUNAN RENCANA AKSI REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI PASCA BENCANA GEMPA BUMI DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN JAWA TENGAH PERATURAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR PER:01/M.PPN/09/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

PERARTURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 52/PMK.010./2006 TENTANG TATA CARA HIBAH KEPADA DAERAH

PERATURAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAPERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR PER: 01/M.PPN/09/2005: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

5.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA NOMOR : 6/KEP/M.PAN/3/2001 TENTANG JABATAN FUNGSIONAL PERENCANA DAN ANGKA KREDITNYA

PERATURAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR: PER. 005/M.PPN/06/2006: TENTANG TATA CARA PERENCANAAN DAN PENGAJUAN USULAN SERTA PENILAIAN KEGIATAN YANG DIBIAYAI DARI PINJAMAN DAN/ATAU HIBAH LUAR NEGERI

6.

7.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KETUA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN LAMPIRAN 1 (SATU) NASIONAL NOMOR : KEP.122/KET/7/1994: TENTANG PEDOMAN PENILAIAN USULAN TEKNIS DAN USULAN BIAYA KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KETUA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR : KEP.122/KET/7/1994 TENTANG PEDOMAN PEMBOBOTAN USULAN TEKNIS DAN USULAN BIAYA

101

Tabel 4.8. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Perhubungan


NO 1. KEMENTRIAN PERHUBUNGAN KEPMEN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 37 TAHUN 2008: TENTANG PEMBENTUKAN TIM KONSERVASI ENERGI KANTOR PUSAT DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERMEN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 50 TAHUN 2010: TENTANG OPERASI PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LEBARAN TERPADU TAHUN 2010 (1431 H)

2.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 5 TAHUN 2008: TENTANG PEMBANGUNAN BANDAR UDARA BARU MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 1 TAHUN 2000: TENTANG PENETAPAN KELAS JALAN DI PULAU SUMATERA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 64 TAHUN 2007: TENTANG PENETAPAN LOKASI PENYEBERANGAN MARISA DI DESA BUMBULAN, KECAMATAN PAGUAT, KABUPATEN POHUWATO, PROVINSI GORONTALO KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 87 TAHUN 2004: TENTANG PERENCANAAN, PEMBANGUNAN, PENGADAAN, PENGOPERASIAN, PEMELIHARAAN DAN PENGHAPUSAN PERLINTASAN SEBIDANG ANTARA JALUR KERETA API DENGAN JALAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 89 TAHUN 2004: TENTANG PENETAPAN PERUBAHAN NAMA BANDAR UDARA PENGGUNG DI KOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 88 TAHUN 2004: TENTANG PENETAPAN NAMA BANDAR UDARA DI NAGARI KETAPING, KABUPATEN PADANG PARIAMAN, PROVINSI SUMATRA BARAT KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 85 TAHUN 2004: TENTANG TARIF BATAS ATAS DAN BATAS BAWAH ANGKUTAN PENUMPANG ANTAR KOTA ANTAR PROVINSI KELAS EKONOMI DI JALAN DENGAN MOBIL BUS UMUM KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 82 TAHUN 2004: TENTANG PROSEDUR PENGADAAN PESAWAT TERBANG DAN HELIKOPTER KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 74 TAHUN 2004: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN TELUK BAYUR

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 44 TAHUN 2010: TENTANG STANDAR SPESIFIKASI TEKNIS PERALATAN KHUSUS

3.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 43 TAHUN 2010: TENTANG STANDAR SPESIFIKASI TEKNIS GERBONG PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 42 TAHUN 2010: TENTANG STANDAR SPESIFIKASI TEKNIS KERETA DENGAN PENGGERAK SENDIRI

4.

5.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 41 TAHUN 2010: TENTANG STANDAR SPESIFIKASI TEKNIS KERETA YANG DITARIK LOKOMOTIF

6.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 40 TAHUN 2010: TENTANG STANDAR SPESIFIKASI TEKNIS LOKOMOTIF

7.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 38 TAHUN 2010: TENTANG PEDOMAN PENETAPAN TARIF ANGKUTAN ORANG DENGAN KERETA API PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 37 TAHUN 2010: TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL PRANATA KOMPUTER DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

8.

9.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 36 TAHUN 2010: TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL STATISI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 34 TAHUN 2010: TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 18 TAHUN 2007 TENTANG TARIF ANGKUTAN UDARA PERINTIS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM

10.

11.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR

102

KM 73 TAHUN 2004: TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN SUNGAI DAN DANAU

33 TAHUN 2010: TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 2 TAHUN 2009 TENTANG TARIF ANGKUTAN PENYEBERANGAN LINTAS ANTAR PROVINSI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 32 TAHUN 2010: TENTANG PEDOMAN REFORMASI BIROKRASI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

12.

13.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 71 TAHUN 2004: TENTANG PENYEMPURNAAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 64 TAHUN 1989 TENTANG PENETAPAN LINTAS PENYEBERANGAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR KE 14 DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 16 TAHUN 2003 KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 70 TAHUN 2004: TENTANG PEDOMAN PAKAIAN DINAS OPERASIONAL PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA UNIT PELAKSANA TEKNIS DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 31 TAHUN 2010: TENTANG KEPUTUSAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN RI DENGAN PEMERINTAH PROVINSI PAPUA BARAT TENTANG PENGEMBANGAN PENINGKATAN PRASARANA BANDAR UDARA DI WILAYAH PAPUA BARAT PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 30 TAHUN 2010: TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 42 TAHUN 2001 TENTANG SPESIFIKASI PENERBANG DAN INSTRUKTUR PENERBANG PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 29 TAHUN 2010: TENTANG PENYELENGGARAAN KEWAJIBAN PELAYANAN PUBLIK ANGKUTAN ORANG DENGAN KERETA API KELAS EKONOMI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 28 TAHUN 2010: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA POLITEKNIK ILMU PELAYARAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 27 TAHUN 2010: TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL PADA SEKOLAH TINGGI PENERBANGAN INDONESIA CURUG PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 26 TAHUN 2010: TENTANG MEKANISME FORMULASI PERHITUNGAN DAN PENETAPAN TARIF BATAS ATAS PENUMPANG PELAYANAN KELAS EKONOMI ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL DALAM NEGERI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 25 TAHUN 2010: TENTANG KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DENGAN PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI UNIVERSITAS TRISAKTI TENTANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DAN MANAJEMEN DI BIDANG AKUNTANSI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 24 TAHUN 2010: TENTANG KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DENGAN SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN TRANSPORTASI (STMT) TRISAKTI TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM MANAJEMEN TRANSPORTASI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 23 TAHUN 2010: TENTANG PENATAUSAHAAN DAN PENGELOLAAN RUMAH NEGARA DI LINGKUNGAN

14.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 66 TAHUN 2004: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN PENYEBERANGAN BAKAUHENI KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 65 TAHUN 2004: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA NOTOHADI NEGORO DI DESA WIROWONGSO-KABUPATEN JEMBER PROVINSI JAWA TIMUR KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 64 TAHUN 2004: TENTANG PELAYANAN ANGKUTAN UDARA KE / DARI LUAR NEGERI BANDAR UDARA AHMAD YANI SEMARANG KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 62 TAHUN 2004: TENTANG PENETAPAN KOTA BATAM PROVINSI RIAU KEPULAUAN SEBAGAI KOTA PERCONTOHAN DI BIDANG TRANSPORTASI PERKOTAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 61 TAHUN 2004: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI KABUPATEN ACEH SINGKIL PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

15.

16.

17.

18.

19.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 58 TAHUN 2004: TENTANG KAWASAN KESELAMATAN OPERASI PENERBANGAN DI SEKITAR BANDAR UDARA SUPADIO PONTIANAK

20.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 57 TAHUN 2004: TENTANG KAWASAN KESELAMATAN OPERASI PENERBANGAN DI SEKITAR BANDAR UDARA SORONG DARATAN SORONG

21.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 54 TAHUN 2004: TENTANG PROGRAM NASIONAL PENGAMANAN PENERBANGAN

103

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN 22. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2004: TENTANG PENDELEGASIAN WEWENANG PENGANGKATAN, PEMBEBASAN SEMENTARA, PENGANGKATAN KEMBALI, DAN PEMBERHENTIAN DARI DALAM JABATAN FUNGSIONAL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 46 TAHUN 2004: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 45 TAHUN 2004: TENTANG PELAKSANAAN TINDAK LANJUT LAPORAN HASIL PENGAWASAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 43 TAHUN 2004: TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 2 TAHUN 2003 TENTANG PENANGGUHAN BERLAKUNYA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 92 TAHUN 2002 TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMPANG KERETA API KELAS EKONOMI KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 42 TAHUN 2004: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 24 TAHUN 2001 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 22 TAHUN 2010: TENTANG PENGANGKUTAN BARANG/MUATAN ANTAR PELABUHAN LAUT DI DALAM NEGERI

23.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 21 TAHUN 2010: TENTANG STATUTA SEKOLAH TINGGI TRANSPORTASI DARAT PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 20 TAHUN 2010: TENTANG

24.

25.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 19 TAHUN 2010: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 05 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATION PART 05) TENTANG SATUAN PENGUKURAN (UNIT OF MEASUREMENTS)

26.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 18 TAHUN 2010: TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 41 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 91 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART 91) TENTANG PERATURAN UMUM PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA (GENERAL OPERATING AND FLIGHT) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 16 TAHUN 2010: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (PKPS) BAGIAN 63 (CIVIL AVLATION SAFETY REGULATLONS (CASR) PART 63) TENTANG PERSYARATAN PERSONEL PESAWAT UDARA SELAIN PENERBANG DAN PERSONEL PENUNJANG OPERASI PESAWAT UDARA

27.

28.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 41 TAHUN 2004: TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 72 TAHUN 2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA AKADEMI METEOROLOGI DAN GEOFISIKA DAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 80 TAHUN 2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI METEOROLOGI DAN GEOFISIKA, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 40 TAHUN 2004: TENTANG ORGANISASI PERUSAHAAN PERAWATAN PESAWAT UDARA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 39 TAHUN 2004: TENTANG MEKANISME PENETAPAN TARIF DAN FORMULASI PERHITUNGAN TARIF PELAYANAN JASA KEPELABUHAN PADA PELABUHAN YANG DISELENGGARAKAN OLEH BADAN USAHA PELABUHAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 38 TAHUN 2004: TENTANG IDENTIFIKASI DAN TANDA PENDAFTARAN PESAWAT UDARA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 37 TAHUN 2004: TENTANG PENDAFTARAN PESAWAT UDARA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 15 TAHUN 2010: TENTANG CETAK BIRU TRANSPORTASI ANTARMODA / MULTIMODA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 12 TAHUN 2010: TENTANG PENYELENGGARAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM BIDANG ANGKUTAN LAUT UNTUK PENUMPANG KELAS EKONOMI TAHUN ANGGARAN 2010

29.

30.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 11 TAHUN 2010: TENTANG TATANAN KEBANDARUDARAAN NASIONAL PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 10 TAHUN 2010: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II PALEMBANG, PROVINSI SUMATERA SELATAN

31.

104

32.

33.

34.

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DAN UNIVERSITAS SUMATRA UTARA NOMOR KM 36 TAHUN 2004: TENTANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA, TEHNOLOGI DAN MANAJEMEN DI BIDANG TRANSPORTASI, POS DAN TELEKOMUNIKASI KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 20 TAHUN 2004: TENTANG PENETAPAN KELAS JALAN DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR, MALUKU, MALUKU UTARA DAN PAPUA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 19 TAHUN 2004: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI PULAU BAWEANKABUPATEN GRESIK, PROVINSI JAWA TIMUR KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 17 TAHUN 2004: TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 62 TAHUN 2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR ADMINISTRATOR PELABUHAN KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DAN PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, NOMOR KM 14 TAHUN 2004: TENTANG PERENCANAAN, PEMBANGUNAN, PENGEMBANGAN, PENDANAAN DAN PENGOPERASIAN ANGKUTAN UMUM MASSAL/MASS RAPID TRANSIT DI PROVINSI DKI JAKARTA DENGAN PRIORITAS KORIDOR LEBAK BULUSFATMAWATI-BLOK M-MONAS KOTA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 13 TAHUN 2004: TENTANG PELAKSANAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM BIDANG ANGKUTAN PENUMPANG KELAS EKONOMI ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI TAHUN ANGGARAN 2004 KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 11 TAHUN 2004: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMPANG KERETA API KELAS EKONOMI SIDOARJO SURABAYAKOTA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 10 TAHUN 2004: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA SINAK BARU DI KABUPATEN PUNCAK JAYA-PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 8 TAHUN 2004: TENTANG TATA CARA TETAP PELAKSANAAN (TTP) PENYIAPAN BAHAN PIMPINAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DALAM HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA PEMERINTAH DAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 7 TAHUN 2004: TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 57 TAHUN 2002 TENTANG PAKAIAN DINAS HARIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL BIDANG ADMINISTRATIF DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHBUNGAN NOMOR

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 9 TAHUN 2010: TENTANG PROGRAM KEAMANAN PENERBANGAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 8 TAHUN 2010: TENTANG PROGRAM KESELAMATAN PENERBANGAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 6 TAHUN 2010: TENTANG CETAK BIRU PENGEMBANGAN TRANSPORTASI PENYEBERANGAN TAHUN 2010-2030 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 5 TAHUN 2010: TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN PENGHARGAAN WAHANA TATA NUGRAHA

35.

36.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 3 TAHUN 2010: TENTANG PENETAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL PADA BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TRANSPORTASI DARAT TEGAL

37.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 2 TAHUN 2010: TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 17 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN BAHAN/BARANG BERBAHAYA DALAM KEGIATAN PELAYARAN 01 INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 1 TAHUN 2010: TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT PERSETUJUAN BERLAYAR (PORT CLEARANCE) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 84 TAHUN 2009: TENTANG TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN SERTA BEASISWA DI BIDANG TRANSPORTASI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 82 TAHUN 2009: TENTANG PEMBENTUKAN UNIT LAYANAN PENGADAAN (ULP/PROCUREMENT UNIT) DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

38.

39.

40.

41.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 80 TAHUN 2009: TENTANG PROSEDUR PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA YANG SEBAGIAN ATAU SELURUHNYA DIBIAYAI DARI PINJAMAN/HIBAH LUAR NEGERI (PHLN) DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM

42.

105

KM 9 TAHUN 2004: TENTANG PENGUJIAN TIPE KENDARAN BERMOTOR

83 TAHUN 2009: TENTANG PENDELEGASIAN WEWENANG PEMBERIAN IZIN USAHA DI BIDANG TRANSPORTASI DALAM RANGKA PELAKSANAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DI BIDANG PENANAMAN MODAL KEPADA KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 78 TAHUN 2009: TENTANG SISTEM AKUNTANSI SEKOLAH TINGGI ILMU PELAYARAN

43.

44.

45.

46.

47.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 6 TAHUN 2004: TENTANG PEDOMAN PAKAIAN SERAGAM PEGAWAI NEGERI SIPIL UNTUK PETUGAS OPERASIONAL DI BIDANG PERHUBUNGAN DARAT KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 5 TAHUN 2004: TENTANG KAWASAN KESELAMATAN OPERASI PENERBANGAN DI SEKITAR BANDAR UDARA JUANDA SURABAYA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 4 TAHUN 2004: TENTANG BATAS-BATAS KAWASAN KEBISINGAN DI SEKITAR BANDAR UDARA JUANDA SURABAYA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 3 TAHUN 2004: TENTANG PENUNJUKAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT SEBAGAI DESIGNATED AUTHORITY PELAKSANAAN PENGAMANAN KAPAL DAN FASILITAS PELABUHAN (INTERNATIONAL SHIPS AND PORT FACILITY SECURITY / ISPS CODE) KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 2 TAHUN 2004: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN MAKASSAR

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 77 TAHUN 2009: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN BATAM

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 75 TAHUN 2009: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LOK TUAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 74 TAHUN 2009: TENTANG TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 72 TAHUN 2009: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA INTERNASIONAL SULTAN HASANUDDIN MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

48.

49.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 1 TAHUN 2004: TENTANG PEMBERITAHUAN DAN PELAPORAN KECELAKAAN, KEJADIAN ATAU KETERLAMBATAN KEDATANGAN PESAWAT UDARA DAN PROSEDUR PENYELIDIKAN KECELAKAAN / KEJADIAN PADA PESAWAT UDARA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 63 TAHUN 2003: TENTANG PELAYANAN ANGKUTAN UDARA KE/DARI LUAR NEGERI BANDAR UDARA ADI SUCIP TO YOGYAKARTA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 71 TAHUN 2009: TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA TETAP ADMINISTRASI PELAKSANAAN ANGGARAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 73 TAHUN 2009 TENTANG KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DAN UNIVERSITAS DIPONEGORO TENTANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA, TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN DI BIDANG TRANSPORTASI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 69 TAHUN 2009: TENTANG KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA MENTERI PERHUBUNGAN DAN MENTRI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PEMBINAAN PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN PADA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN PELAYARAN DAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN PENERBANGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 68 TAHUN 2009: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKOLAH TINGGI ILMU PELAYARAN

50.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 58 TAHUN 2003: TENTANG MEKANISME PENETAPAN DAN FORMULASI PERHITUNGAN TARIF ANGKUTAN PENYEBERANGAN

51.

52.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2003: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN PENYEBERANGAN KETAPANG KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM

106

53.

54.

KM 52 TAHUN 2003: TENTANG TATA CARA TETAP PELAKSANAAN HUBUNGAN MASYARAKAT DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI LUAR NEGERI, MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA, MENTERI PERHUBUNGAN, MENTERI TENEGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, MENTERI AGAMA DAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN: TENTANG TIM ADVOKASI, PEMBELAAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 50 TAHUN 2003: TENTANG JENIS, STRUKTUR DAN GOLONGAN TARIF PELAYANAN JASA KEPELABUHAN UNTUK PELABUHAN LAUT

65 TAHUN 2009: TENTANG STANDAR KAPAL NON KONVENSI (NON CONVENTION VESSEL STANDARD) BERBENDERA INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 64 TAHUN 2009: TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 52 TAHUN 2007 TENTANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TRANSPORTASI

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 61 TAHUN 2009: TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 60 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 45 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART 45) TENTANG IDENTIFIKASI DAN TANDA PENDAFTARAN PESAWAT UDARA (IDENTIFICATION AND REGISTRA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 58 TAHUN 2009: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI BESAR PENDIDIKAN PENYEGARAN DAN PENINGKATAN ILMU PELAYARAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 59 TAHUN 2009: TENTANG RENCANA OPERASI PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LEBARAN TERPADU TAHUN 2009 (1439 H) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 57 TAHUN 2009: TENTANG RENCANA KERJA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN TAHUN 2010

55.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 49 TAHUN 2003: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI KABUPATEN BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 48 TAHUN 2003: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA SAUMLAKI BARU DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 47 TAHUN 2003: TENTANG PELAKSANAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM BIDANG ANGKUTAN PENUMPANG KELAS EKONOMI ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI TAHUN ANGGARAN 2003 KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 45 TAHUN 2003: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN ILMU PELAYARAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 38 TAHUN 2003: TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 4 TAHUN 2003 TENTANG TATA HUBUNGAN KERJA ANTARA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DENGAN PEMERINTAH PROVINSI CQ. DINAS PERHUBUNGAN PROVINSI KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 37 TAHUN 2003: TENTANG RAPAT KERJA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN TAHUN 2003

56.

57.

58.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 56 TAHUN 2009: TENTANG URAIAN KEGIATAN ORGANISASI DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 55 TAHUN 2009: TENTANG RENCANA INDUK TERMINAL KHUSUS PERTAMBANGAN BATU BARA PT.ARUTMIN INDONESIA DI TANJUNG PEMANCINGAN KABUPATEN KOTA BARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

59.

60.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 54 TAHUN 2009: TENTANG PENYELENGGARAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM BIDANG ANGKUTAN LAUT UNTUK PENUMPANG KELAS EKONOMI TAHUN ANGGARAN 2009 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2009: TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 57 TAHUN 2002 TENTANG PAKAIAN DINAS HARIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL BIDANG ADMINISTRATIF DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 52 TAHUN 2009: TENTANG ORGANISASI DAN TATA

61.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 35 TAHUN 2003: TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM

62.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 34 TAHUN 2003: TENTANG PENETAPAN

107

63.

64.

65.

SEMENTARA BANDAR UDARA KHUSUS SET SELARI PAKNING MILIK PERTAMINA UP-II SET PAKNING SEBAGAI BANDAR UDARA KHUSUS YANG DAPAT MELAYANI PENERBANGAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 33 TAHUN 2003: TENTANG PEMBERLAKUAN AMANDEMEN SOLAS 1974 TENTANG PENGAMANAN KAPAL DAN FASILITAS PELABUHAN (INTERNATIONAL SHIPS AND PORT FACILITY SECURITY / ISPS CODE) DI WILAYAH INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 32 TAHUN 2003: TENTANG PENGOPERASIAN BANDAR UDARA SUKARNO HATTA DARI BANDAR UDARA HALIM PEDANAKUSUMA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 26 TAHUN 2003: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPMENHUB NOMOR KM 38 TAHUN 2001 TENTANG STANDAR KELAIKAN UDARA UNTUK PESAWAT UDARA KATEGORI TRANSPORTASI KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 23 TAHUN 2003: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPMENHUB NOMOR KM 33 TAHUN 2000 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF JASA PELABUHAN PENYEBERANGAN SUNGAI DAN DANAU YANG DISELENGGARAKAN OLEH UNIT PEMERINTAH KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 19 TAHUN 2003: TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 11 TAHUN 2002 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN PEMERINTAHAN DI PELABUHAN PENYEBERANGAN YANG DIUSAHAKAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 17 TAHUN 2003: TENTANG PENYEMPURNAAN LAMPIRAN KEPMENHUB NOMOR KM 18 TAHUN 2002 TENTANG PERSYARATAN-PERSYARATAN SERTIFIKASI DAN OPERASI BAGI PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL DAN ANGKUTAN UDARA NIAGA TIDAK BERJADWAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 16 TAHUN 2003: TENTANG PENYEMPURNAAN LAMPIRAN KEPMENHUB NOMOR KM 64 TAHUN 1989 TENTANG PENETAPAN LINTAS PENYEBERANGAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR KE13 DENGAN KEPMENHUB NOMOR KM 58 TAHUN 2002

KERJA SEKRETARIAT PENGURUS UNIT NASIONAL KORPS PEGAWAI REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 46 TAHUN 2009: TENTANG PENETAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL PADA POLITEKNIK ILMU PELAYARAN MAKASSAR

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 51 TAHUN 2009: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN KUALA ENOK

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 49 TAHUN 2009: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 47 (CIVIL AVIATION SAFETY REGYLATION PART 47) TENTANG PENDAFTARAN PESAWAT UDARA (AIRCRAFT REGISTRATION) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 48 TAHUN 2009: TENTANG UJIAN PENYESUAIAN IJAZAH PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

66.

67.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 47 TAHUN 2009: TENTANG PENETAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL PADA POLITEKNIK ILMU PELAYARAN SEMARANG

68.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 45 TAHUN 2009: TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT

69.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 43 TAHUN 2009: TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 22 TAHUN 2002 TENTANG PERSYARATANPERSYARATAN SERTIFIKASI DAN OPERASI BAGI PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA YANG MELAKUKAN PENERBANGAN DALAM NEGERI, INTERNASIONAL DAN ANGKUTAN UDARA NIAGA TIDAK BERJAD PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 42 TAHUN 2009: TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 18 TAHUN 2002 TENTANG PERSYARATANPERSYARATAN SERTIFIKASI DAN OPERASI BAGI PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA NIAGA UNTUK PENERBANGAN KOMUTER DAN CHARTER PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 41 TAHUN 2009: TENTANG PENYELENGGARAAN KEWAJIBAN PELAYANAN PUBLIK ANGKUTAN

70.

KESEPAKATAN BERSAMA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DAN PEMERINTAH PROVINSI SE-SUMATERA NOMOR KM. 13 TAHUN 2003 DAN NOMOR 188/645/III/BAPPEDA TAHUN 2003: TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN JARINGAN JALAN KERETA API SUMATERA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 4 TAHUN 2003: TENTANG TATA HUBUNGAN KERJA ANTARA DEPARTEMEN

71.

108

PERHUBUNGAN DENGAN PEMERINTAH PROVINSI CQ.DINAS PERHUBUNGAN PROVINSI 72. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 2 TAHUN 2003: TENTANG PENANGGUHAN BERLAKUNYA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 92 TAHUN 2002 TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMPANG KERETA API KELAS EKONOMI KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 68 TAHUN 2002: TENTANG TARIF PENUMPANG DAN UANG TAMBANG BARANG ANGKUTAN LAUT PERINTIS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 57 TAHUN 2002: TENTANG PAKAIAN DINAS HARIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL BIDANG ADMINISTRATIF DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 55 TAHUN 2002: TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS

ORANG DENGAN KERETA API KELAS EKONOMI TAHUN ANGGARAN 2009 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 40 TAHUN 2009: TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF JASA PENGUJIAN TIPE, DAN PENGUJIAN SAMPLING KENDARAAN BERMOTOR

73.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 38 TAHUN 2009: TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF JASA PELABUHAN PADA PELABUHAN PENYEBERANGAN LINTAS DALAM NEGERI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 37 TAHUN 2009: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN ILMU PELAYARAN DI SORONG PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 36 TAHUN 2009: TENTANG URAIAN KEGIATAN ORGANISASI DI LINGKUNGAN SEKRETARIAT JENDERAL PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 33 TAHUN 2009: TENTANG PEMBERIAN TUNJANGAN KEHORMATAN DAN HONORARIUM TERKAIT OUTPUT KEGIATAN KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 32 TAHUN 2009: TENTANG NAMA-NAMA JABATAN UMUM DAN PETA JABATAN DI LINGKUNGAN SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 31 TAHUN 2009: TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) YANG BERLAKU PADA BAGIAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 30 TAHUN 2009: TENTANG HONORARIUM BAGI INSPEKTUR DAN TEKNISI PENERBANGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 29 TAHUN 2009: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 36 AMANDEMEN 1 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART 36 AMANDEMENT 1) TENTANG SERTIFIKASI STANDAR KEBISINGAN JENIS PESAWAT TERBANG DAN KELAIKAN UDARA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 28 TAHUN 2009: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 34 AMANDEMEN 1 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART 34 AMANDEMENT 1) TENTANG PERSYARATAN BAHAN BAKAR TERBUANG DAN EMISI GAS BUANG UNTUK PESAWAT UDARA YANG DIGERAKKAN DENGAN MESIN TURBIN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 27 TAHUN 2009: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 33

74.

75.

76.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 38 TAHUN 2002: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA SUPADIO PONTIANAK

77.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 37 TAHUN 2002: TENTANG PERSYARATAN TEKNIS SABUK KESELAMATAN

78.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 36 TAHUN 2002: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMPANG KELAS EKONOMI ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI

79.

80.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 35 TAHUN 2002: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMPANG KERETA API KELAS EKONOMI KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 34 TAHUN 2002: TENTANG TARIF DASAR ANGKUTAN PENUMPANG ANTAR KOTA KELAS EKONOMI DI JALAN DENGAN MOBIL BUS UMUM

81.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 33 TAHUN 2002: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENYEBERANGAN LINTAS ANTAR PROVINSI UNTUK PENUMPANG KELAS EKONOMI, KENDARAAN, ALAT-ALAT BERAT/BESAR DAN BARANG/HEWAN

82.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 31 TAHUN 2002: TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR

109

KM 84 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM

AMANDEMEN 1 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART 33 AMANDEMENT 1) TENTANG STANDAR KELAIKANUDARAAN UNTUK MESIN PESAWAT TERBANG (AIRWORTHINESS STANDARDS : AIRCRAFT ENGINES) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 26 TAHUN 2009: TENTANG SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP PELANGGARAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG KESELAMATAN PENERBANGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 25 TAHUN 2009: TENTANG PENDELEGASIAN KEWENANGAN MENTERI PERHUBUNGAN KEPADA DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA DI BIDANG PENERBANGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 24 TAHUN 2009: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 139 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART 139) TENTANG BANDAR UDARA (AERODROME) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 23 TAHUN 2009: TENTANG KARTU TANDA PENGENAL PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) PENERBANGAN SIPIL PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 22 TAHUN 2009 TENTANG: PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 175 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART 175) TENTANG PELAYANAN INFORMASI AERONAUTIKA (AERONAUTICAL INFORMATION SERVICE) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 21 TAHUN 2009: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 173 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART 173) TENTANG PERANCANGAN PROSEDUR PENERBANGAN INSTRUMENT (INSTRUMENT FLIGHT PROCEDURE DESIGN) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 20 TAHUN 2009: TENTANG SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN (SAFETY MANAGEMENT SYSTEM)

83.

84.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 30 TAHUN 2002: TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 69 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGARAAN ANGKUTAN BARANG DI JALAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 29 TAHUN 2002 RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN PERHUBUNGAN TAHUN 20002004

85.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 28 TAHUN 2002: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA SAMARINDA BARUSAMARINDA

86.

87.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 27 TAHUN 2002: TENTANG PERUBAHAN NAMA BANDAR UDARA TEMBAGAPURA TIMIKA MENJADI BANDAR UDARA MOSES KILANGAN-TIMIKA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 26 TAHUN 2002: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA SULTAN SYARIF KASIM II PEKANBARU

88.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 24 TAHUN 2002: TENTANG PENYELENGGARAAN PEMANDUAN

89.

90.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 25 TAHUN 2002: TENTANG PEDOMAN DASAR PERHITUNGAN TARIF PELAYANAN JASA BONGKAR MUAT BARANG DARI DAN KE KAPAL DI PELABUHAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 21 TAHUN 2002: TENTANG TARIF ANGKUTAN UDARA PERINTIS

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 19 TAHUN 2009: TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 22 TAHUN 2002 TENTANG PERSYARATANPERSYARATAN SERTIFIKASI BAGI PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA YANG MELAKUKAN PENERBANGAN DALAM NEGERI, INTERNASIONAL DAN ANGKUTAN UDARA NIAGA TIDAK BERJADWAL PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 18 TAHUN 2009: TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 18 TAHUN 2002 TENTANG PERSYARATANPERSYARATAN SERTIFIKASI DAN OPERASI BAGI PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA NIAGA UNTUK PENERBANGAN KOMUTER DAN CHARTER

91.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 20 TAHUN 2002: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA JUANDA SURABAYA

110

92.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 19 TAHUN 2002: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA SORONG DARATAN SORONG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 17 TAHUN 2009: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 145 AMANDEMEN 3 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART 145 AMANDEMENT 3) TENTANG ORGANISASI PERUSAHAAN PERAWATAN PESAWAT UDARA (APPROVED MAINTENANCE ORGANIZATIONS) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 16 TAHUN 2009: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 92 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATION PART 92) TENTANG PENGANGKUTAN BAHAN DAN/ATAU BARANG BERBAHAYA DENGAN PESAWAT UDARA (SAFE TRANSPORT OF DANGEROUS GOODS BY AIR)

93.

94.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 16 TAHUN 2002: TENTANG PERUBAHAN KEDUA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 34 TAHUN 2001 TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 50 TAHUN 1999 TENTANG TATA CARA TETAP PELAKSANAAN KEGIATAN PENGELOLAAN DANA PENGEMBANGAN KEAHLIAN DAN KETERAMPILAN TENAGA KERJA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 15 TAHUN 2002: TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN TALLY DI PELABUHAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 15 TAHUN 2009: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN II (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART II)TENG PERSYARATAN TATA CARA UNTUK MENGAMANDEMEN DAN MEMBATALKAN SERTA MENGABULKAN ATAU MENOLAK PERMOHONAN PENGECUALIAN DAN KONDISI KHUSUS DARI PERATURAN-PERATURAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 14 TAHUN 2009: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 170 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATION PART 170) TENTANG PERATURAN LALU LINTAS UDARA (AIR TRAFFIC RULES) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 13 TAHUN 2009: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 143 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATION PART 143) TENTANG SERTIFIKASI DAN PERSYARATAN PENGOPERASIAN BAGI PENYELENGGARA PELATIHAN PELAYANAN LALU LINTAS PENERBANGAN (CERTIFICATION AND OPERATING REQUIREMENTS FOR A PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 12 TAHUN 2009: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 69 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART 69) TENTANG PERSYARATAN LICENCE, RATING, PELATIHAN DAN KECAKAPAN BAGI PERSONEL PEMANDU LALU LINTAS UDARA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 9 TAHUN 2009: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 101 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART 101)TENTANG BALON UDARA YANG DITAMBATKAN, LAYANG-LAYANG, ROKET TANPA AWAK DAN BALON UDARA BEBAS TANPA AWAK PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 11 TAHUN 2009: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 172 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART

95.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 14 TAHUN 2002: TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN BONGKAR MUAT BARANG DARI DAN KE KAPAL

96.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 13 TAHUN 2002: TENTANG KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DAN KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI DAN BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI TENTANG PENGEMBANGAN KERETA REL LISTRIK INDONESIA

97.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 9 TAHUN 2002: TENTANG TARIF PENUMPANG ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL DALAM NEGERI KELAS EKONOMI

98.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 11 TAHUN 2002: TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN PEMERINTAH DI PELABUHAN PENYEBERANGAN YANG DIUSAHAKAN

99.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 5 TAHUN 2002: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN

111

TENAU KUPANG

172)TENTANG PENYELENGGARA PELAYANAN LALU LINTAS PENERBANGAN (AIR TRAFFIC SERVICE PROVIDERS) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 10 TAHUN 2009: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 171 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART 171) TENTANG PENYELENGGARA PELAYANAN TELEKOMUNIKASI DAN RADIO NAVIGASI PENERBANGAN (AERONAUTICAL TELECOMUNICATION SERVICE AND RADIO NAVIGATION SERVICE PROVIDERS) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 8 TAHUN 2009: TENTANG TARIF BATAS ATAS ANGKUTAN PENUMPANG LAUT DALAM NEGERI KELAS EKONOMI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 7 TAHUN 2009: TENTANG TARIF ANGKUTAN ORANG DENGAN KERETA API KELAS EKONOMI

100. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 7 TAHUN 2002: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN ENDE DAN IPI

101. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 6 TAHUN 2002: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN WAINGAPU 102. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 4 TAHUN 2002: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN MAUMERE 103. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 3 TAHUN 2002: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN KALABAHI 104. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 2 TAHUN 2002: TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 20 TAHUN 1999 TENTANG HARGA SATUAN PEKERJAAN PENGERUKAN ALUR PELAYARAN DAN KOLAM PELABUHAN UNTUK PEKERJAAN PERAWATAN YANG DIBIAYAI DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA 105. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 1 TAHUN 2002: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 14 TAHUN 1996 TENTANG PENYEDERHANAAN TATA CARA PENGADAAN DAN PENDAFTARAN KAPAL 106. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 45 TAHUN 2001: TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 24 TAHUN 2001 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 107. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 43 TAHUN 2001: TENTANG PERSYARATAN SERTIFIKASI DAN OPERASI UNTUK SEKOLAH PENERBANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 6 TAHUN 2009: TENTANG TATA CARA TETAP ADMINISTRASI PELAKSANAAN ANGGARAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 5 TAHUN 2009: TENTANG KEGIATAN AKUNTANSI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 4 TAHUN 2009: TENTANG SISTEM DAN PROSEDUR AKUNTANSI SERTA PELAPORAN KEUANGAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 2 TAHUN 2009: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENYEBERANGAN LINTAS ANTAR PROVINSI

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 1 TAHUN 2009: TENTANG TARIF DASAR BATAS ATAS DAN BATAS BAWAH ANGKUTAN PENUMPANG ANTAR KOTA ANTAR PROVINSI KELAS EKONOMI DI JALAN DENGAN MOBIL BUS UMUM PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 64 TAHUN 2008: TENTANG TARIF DASAR BATAS ATAS DAN BATAS BAWAH ANGKUTAN PENUMPANG ANTAR KOTA ANTAR PROVINSI KELAS EKONOMI DI JALAN DENGAN MOBIL BUS UMUM PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 62 TAHUN 2008: TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN WEWENANG MENTERI PERHUBUNGAN DALAM

108. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 44 TAHUN 2001: TENTANG PERSYARATAN SERTIFIKASI DAN OPERASI UNTUK SEKOLAH PENERBANGAN

109. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 42 TAHUN 2001: TENTANG SERTIFIKASI PENERBANG DAN INSTRUKTUR TERBANG

112

RANGKA PENGGUNAAN BARANG MILIK NEGARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 110. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 41 TAHUN 2001: TENTANG PERATURAN UMUM TENTANG PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA PERPANJANGAN KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DENGAN UNIVERSITAS INDONESIA, NOMOR KM 52 TAHUN 2008: TENTANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA, TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN DI BIDANG TRANSPORTASI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 50 TAHUN 2008: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TRANSPORTASI DARAT

111. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 40 TAHUN 2001: TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYELESAIAN RANCANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN SEBAGAI TINDAK LANJUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHAN DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN 112. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 39 TAHUN 2001: TENTANG PENERIMA PENDELEGASIAN WEWENANG DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 46 TAHUN 2008: TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 22 TAHUN 2002 TENTANG PERSYARATANPERSYARATAN SERTIFIKASI DAN OPERASI BAGI PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA YANG MELAKUKAN PENERBANGAN DALAM NEGERI, INTERNASIONAL DAN ANGKUTAN UDARA NIAGA TIDAK BERJADWA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 45 TAHUN 2008: TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 18 TAHUN 2002 TENTANG PERSYARATANPERSYARATAN SERTIFIKASI DAN OPERASI BAGI PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA NIAGA UNTUK PENERBANGAN KOMUTER DAN CARTER PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 44 TAHUN 2008: TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 5 TAHUN 2006 TENTANG PEREMAJAAN PESAWAT UDARA KATEGORI TRANSPORT UNTUK ANGKUTAN UDARA PENUMPANG PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 35 TAHUN 2008: TENTANG KAWASAN KESELAMATAN OPERASI PENERBANGAN DI SEKITAR BANDAR UDARA AHMAD YANI DI KOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 30 TAHUN 2008: TENTANG DOKUMEN IDENTITAS PELAUT

113. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 38 TAHUN 2001: TENTANG STANDAR KELAIKAN UDARA UNTUK PESAWAT UDARA KATEGORI TRANSPORT

114. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 37 TAHUN 2001: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA SEPINGGANBALIKPAPAN

115. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 36 TAHUN 2001: TENTANG PENDELEGASIAN WEWENANG DAN PEMBERIAN KUASA BIDANG KEPEGAWAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 116. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 35 TAHUN 2001: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 16 TAHUN 2001 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA 117. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 34 TAHUN 2001: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 50 TAHUN 1999 TENTANG TATA CARA TETAP PELAKSANAAN KEGIATAN PENGELOLAAN DANA PENGEMBANGAN KEAHLIAN TENAGA KERJA DI SEKTOR PERHUBUNGAN 118. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 33 TAHUN 2001: TENTANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 29 TAHUN 2008: TENTANG PEMBERIAN HONORARIUM BAGI KETUA DAN WAKIL KETUA KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI, SERTA KETUA SUB DAN KETUA SUB-SUB KOMITE PENELITIAN KECELAKAAN TRANSPORTASI

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 28 TAHUN 2008: TENTANG TARIF ANGKUTAN

113

PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT 119. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 32 TAHUN 2001: TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN 120. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 31 TAHUN 2001: TENTANG TATA CARA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN SEARCH AND RESCUE (SAR) 121. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 30 TAHUN 2001: TENTANG CARA TETAP PELAKSANAAN SIAGA SEARCH AND RESCUE (SAR) DAN PENGGANTIAN BIAYA OPERASI SEARCH AND RESCUE (SAR) 122. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 29 TAHUN 2001: TENTANG PEMBAGIAN WILAYAH TANGGUNG JAWAB KANTOR SEARCH AND RESCUE (SAR) 123. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 27 TAHUN 2001: TENTANG BIAYA PEMBUATAN SURAT IZIN MENGEMUDI INTERNASIONAL 124. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 28 TAHUN 2001: TENTANG PENDELEGASIAN WEWENANG PENETAPAN ANGKA KREDIT, PENGANGKATAN, PEMBEBASAN SEMENTARA, PENGANGKATAN KEMBALI DAN PEMBERHENTIAN DARI DAN DALAM JABATAN FUNGSIONAL WIDYAISWARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 125. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 26 TAHUN 2001: TENTANG PENDELEGASIAN WEWENANG PENYESUAIAN GAJI POKOK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 126. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 25 TAHUN 2001: TENTANG RANCANG BANGUN STANDAR KELAIKAN UDARA UNTUK PESAWAT UDARA KATEGORI NORMAL, UTILITI, AKROBATIK DAN KOMUTER

PENYEBERANGAN LINTAS ANTAR PROVINSI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 25 TAHUN 2008: TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UDARA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 27 TAHUN 2008: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMPANG KERETA API KELAS EKONOMI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 26 TAHUN 2008: TENTANG PENYELENGGARAAN KEWAJIBAN PELAYANAN PUBLIK ANGKUTAN KERETA API PELAYANAN KELAS EKONOMI TAHUN ANGGARAN 2008 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 24 TAHUN 2008: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI KABUPATEN HALMAHERA TENGAH PROVINSI MALUKU UTARA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 23 TAHUN 2008: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA BARU DI MOA LAKOR KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT PROVINSI MALUKU PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 22 TAHUN 2008: TENTANG UNIT KLIRING DATA DAN INFORMASI BIDANG TRANSPORTASI

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 21 TAHUN 2008: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN KHUSUS MINYAK DAN GAS BUMI PT.PERTAMINA (PERSERO) BALONGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 20 TAHUN 2008: TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 43 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.1 TAHUN 2008 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 19 TAHUN 2008: TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 18 TAHUN 2007 TENTANG TARIF ANGKUTAN UDARA PERINTIS KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DENGAN SOLIDARITAS ISTRI KABINET INDONESIA BERSATU NOMOR KM 18 TAHUN 2008, NOMOR 164/05/SIKIB/2008: TENTANG PROGRAM PENINGKATAN KESELAMATAN TRANSPORTASI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 17 TAHUN 2008: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI SUNGAI TEBELIAN KABUPATEN SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT

127. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 24 TAHUN 2001: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

128. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 21 TAHUN 2001: TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI

129. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 20 TAHUN 2001: TENTANG PENYELENGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI

114

130. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 19 TAHUN 2001: TENTANG TARIF JASA TELEPON TETAP DALAM NEGERI DAN BIROFAX DALAM NEGERI 131. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 18 TAHUN 2001: TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 77 TAHUN 2000 TENTANG PERSYARATANPERSYARATAN SERTIFIKASI DAN OPERASI BAGI PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA YANG MELAKUKAN PENERBANGAN DALAM NEGERI, INTERNATIONAL DAN CHARTER ATAU CARGO 132. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 16 TAHUN 2001: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA 133. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 17 TAHUN 2001: TENTANG PEMBENTUKAN KANTOR ADMINISTRATOR PELABUHAN SUNGAI PAKNING, SEI KOLAK KIJANG DAN RENGAT

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 16 TAHUN 2008: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA BUDIARTO CURUG DI KABUPATEN TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 15 TAHUN 2008: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA TANGGETADA DI KABUPATEN KOLAKA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 14 TAHUN 2008: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN BENGKULU

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 13 TAHUN 2008: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATION) PART 21 TENTANG PROSEDUR SERTIFIKASI UNTUK PRODUK DAN BAGIAN-BAGIANNYA (CERTIFICATION PROCEDURES FOR PRODUCT AND PART) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 12 TAHUN 2008: TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 18 TAHUN 2002 TENTANG PERSYARATANPERSYARATAN SERTIFIKASI DAN OPERASI BAGI PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA NIAGA UNTUK PENERBANGAN KOMUTER DAN CHARTER PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 11 TAHUN 2008: TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 22 TAHUN 2002 TENTANG PERSYARATANPERSYARATAN SERTIFIKASI DAN OPERASI BAGI PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA YANG MELAKUKAN PENERBANGAN DALAM NEGERI, INTERNASIONAL DAN ANGKUTAN UDARA NIAGA TIDAK BERJADWAL PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 10 TAHUN 2008: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI KABUPATEN MOROWALI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 9 TAHUN 2008: TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 62 TAHUN 2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA ADMINISTRATOR PELABUHAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 8 TAHUN 2008: TENTANG PELAKSANAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM BIDANG ANGKUTAN LAUT PENUMPANG KELAS EKONOMI TAHUN ANGGARAN 2008 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 7 TAHUN 2008: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS BANDAR UDARA

134. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 15 TAHUN 2001: TENTANG TATA KERJA TIM PENILAI DAN TATA CARA PENILAIAN ANGKA KREDIT BAGI JABATAN STATISTISI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

135. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 14 TAHUN 2001: TENTANG TATA CARA TETAP PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL WIDYAISWARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

136. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 13 TAHUN 2001: TENTANG PENETAPAN KELAS JALAN DI PULAU SULAWESI

137. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 12 TAHUN 2001: TENTANG TATA CARA TETAP PELAKSANAAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 138. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 11 TAHUN 2001: TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UDARA

139. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 10 TAHUN 2001: TENTANG PENGESAHAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA

115

(PPD) TAHUN 2001 140. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 8 TAHUN 2001: TENTANG ANGKUTAN KERETA API

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 6 TAHUN 2008: TENTANG KRITERIA KLASIFIKASI ORGANISASI UNIT PELAKSANA TEKNIS BANDAR UDARA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 4 TAHUN 2008: TENTANG TATA KERJA TIM PENILAI DAN TATA CARA PENILAIAN ANGKA KREDIT BAGI JABATAN FUNGSIONAL PENGUJI KENDARAAN BERMOTOR PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 3 TAHUN 2008: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA SULTAN SYARIF KASIM II PEKANBARU PROVINSI RIAU

141. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 7 TAHUN 2001: TENTANG PENETAPAN KOTA PENERIMA PIALA WAHANA TATA NUGRAHA DAN KOTA PENERIMA PLAKAT TERTIB LALU-LINTAS DAN ANGKUTAN KOTA TAHUN 2000 142. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 6 TAHUN 2001: TENTANG PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA ASING YANG MENGOPERASIKAN PESAWAT UDARA REGISTRASI ASING DARI DAN KE INDONESIA DAN PESAWAT UDARA REGISTRASI INDONESIA DI LUAR NEGERI 143. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 5 TAHUN 2001: TENTANG TABEL ALOKASI SPEKTRUM FREKUENSI RADIO INDUSTRI

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 2 TAHUN 2008: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA H.AS.HANANDJOEDDIN-TANJUNG PANDAN DI KABUPATEN BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 1 TAHUN 2008: TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.43 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 63 TAHUN 2007: TENTANG TATA CARA TETAP PELAKSANAAN KOMUNIKASI PUBLIK (KEHUMASAN) DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 62 TAHUN 2007: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENYEBERANGAN LINTAS ANTAR PROVINSI

144. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 3 TAHUN 2001: TENTANG PERSYARATAN TEKNIS ALAT DAN PERANGKAT TELEKOMUNIKASI

145. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 2 TAHUN 2001: TENTANG TATA CARA PENERBITAN SERTIFIKAT TIPE ALAT DAN PERANGKAT TELEKOMUNIKASI 146. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 1 TAHUN 2001: TENTANG PENYEMPURNAAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 64 TAHUN 1989 TENTANG PENETAPAN LINTAS PENYEBERANGAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR KE XI DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 66 TAHUN 2000 147. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 69 TAHUN 2000: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 77 TAHUN 1993 TENTANG KODE WILAYAH PENDAFTARAN TANDA NOMOR KENDARAAN BERMOTOR 148. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 65 TAHUN 2000: TENTANG PROSEDUR PENGADAAN PESAWAT TERBANG DAN HELIKOPTER

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 61 TAHUN 2007: TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 30 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA MEDAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 58 TAHUN 2007: TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 73 TAHUN 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN SUNGAI DAN DANAU PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 55 TAHUN 2007: TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 55 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 52 TAHUN 2007: TENTANG PENDIDIKAN DAN

149. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2000: TENTANG PERPOTONGAN DAN / ATAU PERSINGGUNGAN ANTARA JALUR KERETA API DENGAN BANGUNAN LAIN

150. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 51 TAHUN 2000: TENTANG PERWAKILAN DAN AGEN PENJUALAN UMUM (GENERAL

116

SALES AGENT / GSA) PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA ASING 151. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 38 TAHUN 2000: TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK JASA KENAVIGASIAN 152. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 17 TAHUN 2000: TENTANG PEDOMAN PENANGANAN BAHAN / BARANG BERBAHAYA DALAM KEGIATAN PELAYARAN DI INDONESIA

PELATIHAN TRANSPORTASI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 51 TAHUN 2007: TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PERCONTOHAN TRANSPORTASI DARAT KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DENGAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG, NOMOR KM:49 TAHUN 2007, NOMOR:041/K01/DN/2007: TENTANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA, TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN DI BIDANG TRANSPORTASI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 48 TAHUN 2007: TENTANG PEDOMAN PAKAIAN SERAGAM PEGAWAI NEGERI SIPIL UNTUK PETUGAS OPERASIONAL DI LINGKUNGAN BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 46 TAHUN 2007: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI PULAU ENGGANO KABUPATEN BENGKULU UTARA, PROVINSI BENGKULU KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN, PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN UNIVERSITAS GAJAH MADA, NOMOR KM 47 TAHUN 2007, NOMOR 16/KES.BER/GUB/2007, NOMOR: 4987/P/SET.R/2007: TENTANG PENGEMBANGAN TRANSPORTASI PERKOTAAN DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 45 TAHUN 2007: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA NABIRE BARU DI KABUPATEN NABIRE PROVINSI PAPUA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 44 TAHUN 2007: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR PROVINSI MALUKU PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 43 TAHUN 2007: TENTANG RENCANA OPERASI PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LEBARAN TERPADU TAHUN 2007 (1428 H) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 41 TAHUN 2007: TENTANG IKATAN DINAS BAGI TARUNA / TARUNI PADA LEMBAGA PENDIDIKAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 40 TAHUN 2007: TENTANG TATA CARA PENETAPAN HASIL PRAKUALIFIKASI, HASIL PEMILIHAN PENYEDIA BARANG/JASA YANG BERNILAI DI ATAS 50 MILYAR RUPIAH TERMASUK PPN 10% DAN SANGGAHAN BANDING HASIL PELELANGAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 38 TAHUN 2007: TENTANG PEMBERIAN HONORARIUM BAGI KETUA DAN WAKIL KETUA KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI SERTA KETUA SUB

153. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 16 TAHUN 2000: TENTANG KARTU TANDA PENGENAL KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI

154. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 15 TAHUN 2000: TENTANG PENGHAPUSAN UNIT-UNIT KERJA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN YANG BERADA DI TIMOR TIMUR 155. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 14 TAHUN 2000: TENTANG KODE KLASIFIKASI ARSIP

156. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 13 TAHUN 2000: TENTANG PROSES SERTIFIKASI DAN PENGOPERASIAN PESAWAT TERBANG KATEGORI KOMUTER DAN OPERATOR PENERBANGAN CHARTER 157. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 9 TAHUN 2000: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN NAMLEA 158. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 8 TAHUN 2000: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN SINGKIL 159. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 7 TAHUN 2000: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN TOBELO 160. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 6 TAHUN 2000: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH KEPENTINGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN SUNGAI GUNTUNG

161. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 12 TAHUN 2000: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN

117

MANADO

DAN KETUA SUB-SUB KOMITE KECELAKAAN TRANSPORTASI

PENELITIAN

162. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 10 TAHUN 2000: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN LABUHA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 37 TAHUN 2007: TENTANG TATA CARA PENUGASAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DEPARTEMEN PERHUBUNGAN SEBAGAI ATASE PERHUBUNGAN, STAF TEKNIS PERHUBUNGAN DAN TENAGA STAF PADA PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 36 TAHUN 2007: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI KECAMATAN BLANG KEJEREN KABUPATEN GAYO LUES PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 34 TAHUN 2007:TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI KAMPUNG ABOYAGA KABUPATEN NABIRE PROVINSI PAPUA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 33 TAHUN 2007: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA LOMBOK BARU DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 32 TAHUN 2007: TENTANG KAWASAN KESELAMATAN OPERASI PENERBANGAN DI SEKITAR BANDAR UDARA PONDOK CABE TANGERANG PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 31 TAHUN 2007: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMPANG KERETA API KELAS EKONOMI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 30 TAHUN 2007: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA BARU MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA

163. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 4 TAHUN 2000: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DIREKTORAT JENDERAL PENYIARAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

164. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 3 TAHUN 2000: TENTANG JARINGAN DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 165. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 2 TAHUN 2000: TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN AKUISISI NASIONAL ARSIP ORDE BARU DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 166. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 71 TAHUN 1999: TENTANG AKSESIBILITAS BAGI PENYANDANG CACAT DAN ORANG SAKIT PADA SARANA DAN PRASARANA PERHUBUNGAN 167. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 32 TAHUN 1999: TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN 168. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 31 TAHUN 1999: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 22 TAHUN 1990 TENTANG PENETAPAN KELAS PERAIRAN WAJIB PANDU SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 3 TAHUN 1999 169. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 30 TAHUN 1999: TENTANG MEKANISME PENETAPAN TARIF DAN FORMULASI PERHITUNGAN TARIF PELAYANAN JASA KEPELABUHAN PADA PELABUHAN YANG DISELENGGARAKAN OLEH BADAN USAHA PELABUHAN 170. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 29 TAHUN 1999: TENTANG KESELAMATAN KAPAL KECEPATAN TINGGI

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 29 TAHUN 2007: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMPANG KERETA API KELAS EKONOMI DENGAN FASILITAS AIR CONDITIONER (AC)

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 27 TAHUN 2007: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI KABUPATEN BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 26 TAHUN 2007: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI KABUPATEN BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

171. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 28 TAHUN 1999: TENTANG MEKANISME PENETAPAN TARIF DAN FORMULASI PERHITUNGAN TARIF PELAYANAN JASA KEBANDARUDARAAN PADA BANDAR UDARA YANG DISELENGGARAKAN OLEH BADAN USAHA KEBANDARUDARAAN 172. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 25 TAHUN 1999: TENTANG PROSES PENETAPAN PEMENANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 25 TAHUN 2007: TENTANG BADGE KOMITE NASIONAL

118

173.

174.

175.

176.

PELELANGAN/PEMILIHAN LANGSUNG PENGADAAN BARANG DAN JASA YANG BERNILAI DIATAS 50 (LIMA PULUH) MILYARD RUPIAH DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 22 TAHUN 1999: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR ADMINISTRATOR TERMINAL PETI KEMAS DI JEBRESSURAKARTA DAN RAMBIPUJI-JEMBER KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 21 TAHUN 1999: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 38 TAHUN 1995 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENETAPAN ANGKA KREDIT BAGI JABATAN PRANATA KOMPUTER DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 20 TAHUN 1999: TENTANG HARGA SATUAN PEKERJAAN PENGERUKAN ALUR PELAYARAN DAN KOLAM PELABUHAN UNTUK PEKERJAAN PERAWATAN YANG DIBIAYAI DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 17 TAHUN 1999: TENTANG PEMBINAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN YANG MENDUDUKI JABATAN PIMPINAN PADA BUMN SEKTOR PERHUBUNGAN

KESELAMATAN TRANSPORTASI

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 24 TAHUN 2007: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN KHUSUS PT. PERTAMINA (PERSERO) UP.III PLAJU PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 23 TAHUN 2007: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN BATULICIN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 22 TAHUN 2007: TENTANG TARIF BATAS ATAS ANGKUTAN PENUMPANG LAUT DALAM NEGERI KELAS EKONOMI

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 21 TAHUN 2007: TENTANG SISTEM DAN PROSEDUR PELAYANAN KAPAL, BARANG DAN PENUMPANG PADA PELABUHAN LAUT YANG DISELENGGARAKAN OLEH UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) KANTOR PELABUHAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 20 TAHUN 2007: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI KABUPATEN NIAS SELATAN PROVINSI SUMATERA UTARA

177. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 16 TAHUN 1999: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 12 TAHUN 1997 TENTANG KENAIKAN PANGKAT SEBAGAI PENYESUAIAN IJAZAH BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 178. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 15 TAHUN 1999: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA MAHKAMAH PELAYARAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 19 TAHUN 2007: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI KOTA PAGAR ALAM PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 18 TAHUN 2007: TENTANG TARIF ANGKUTAN UDARA PERINTIS

179. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 14 TAHUN 1999: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN PARE-PARE 180. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 8 TAHUN 1999: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 34 TAHUN 1996 TENTANG PENETAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAUT 181. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 4 TAHUN 1999: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN TERNATE

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 17 TAHUN 2007: TENTANG PEDOMAN PENGADAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL (CPNS) DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

PERATURAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KM 16 TAHUN 2007, NOMOR : 21/M-DAG/PER/5/2007: TENTANG PEMBENTUKAN FORUM INFORMASI MUATAN DAN RUANG KAPAL PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 15 TAHUN 2007: TENTANG PENYELENGGARAAN DAN

182. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 3 TAHUN 1999: TENTANG PENYEMPURNAAN LAMPIRAN KEPUTUSAN

119

MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 22 TAHUN 1990 TENTANG PENETAPAN KELAS PERAIRAN WAJIB PANDU SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 31 TAHUN 1997 183. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 2 TAHUN 1999: TENTANG KARTU TANDA PENGENAL PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT 184. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 34 TAHUN 1998: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMNPANG KELAS EKONOMI ANGKUTAN LAUT NUSANTARA DENGAN KAPAL PENUMPANG 185. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 33 TAHUN 1998: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMPANG ANTAR KOTA KELAS EKONOMI DI JALAN DENGAN MOBIL BUS UMUM 186. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 32 TAHUN 1998: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMPANG KERETA API KELAS EKONOMI

PENGUSAHAAN TALLY DI PELABUHAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 14 TAHUN 2007: TENTANG KENDARAAN PENGANGKUT PETI KEMAS DI JALAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 13 TAHUN 2007: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI KECAMATAN WANGI-WANGI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 12 TAHUN 2007: TENTANG PENYELENGGARAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM BIDANG ANGKUTAN KERETA API PENUMPANG KELAS EKONOMI TAHUN ANGGARAN 2007 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 11 TAHUN 2007: TENTANG PEDOMAN PENETAPAN TARIF PELAYANAN JASA BONGKAR MUAT PETI KEMAS (CONTAINER)DI DERMAGA KONVENSIONAL DI PELABUHAN YANG DISELENGGARAKAN OLEH BADAN USAHA PELABUHAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 9 TAHUN 2007: TENTANG KAWASAN KESELAMATAN OPERASI PENERBANGAN DI SEKITAR BANDAR UDARA WOLTER MONGONSIDI KENDARI

187. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 31 TAHUN 1998: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENYEBERANGAN UNTUK PENUMPANG KELAS EKONOMI, KENDARAAN, ALAT-ALAT BERAT/BESAR DAN BARANG/HEWAN 188. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 30 TAHUN 1998: TENTANG PENYEMPURNAAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM> 64 TAHUN 1998 TENTANG PENETAPAN LINTAS PENYEBERANGAN, SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERKAHIR KE-VII (TUJUH) DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 13 TAHUN 1997 189. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 29 TAHUN 1998: TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.221/OT.001/PHB-83 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BIRO TATA USAHA BADAN USAHA MILIK NEGARA 190. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 28 TAHUN 1998: TENTANG IKATAN DINAS BAGI 90 (SEMBUILAN PULUH) ORANG MAHASISWA BARU BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA TAHUN ANGGARAN 1997/1998 191. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 27 TAHUN 1998: TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 8 TAHUN 2007: TENTANG KAWASAN KESELAMATAN OPERASI PENERBANGAN DI SEKITAR BANDAR UDARA FATMAWATI SOEKARNO BENGKULU

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 7 TAHUN 2007: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN SEKUPANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 6 TAHUN 2007: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA RENDANI DI KABUPATEN MANOKWARI PROVINSI IRIAN JAYA BARAT

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 5 TAHUN 2007: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA DI KABUPATEN MAJALENGKA PROVINSI JAWA BARAT KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 4 TAHUN 2007: TENTANG PENETAPAN KOORDINATOR PENGELOLA LAPORAN HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA, DAN ADMINISTRATOR APLIKASI LAPORAN HARTA KEKAYAAN

192. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 26 TAHUN 1998: TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT

120

PENYELENGGARA NEGARA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 193. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 25 TAHUN 1998: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN UDARA NOMOR T.11/2/4-U TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATION) SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERKAHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 24 TAHUN 1997 194. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 24 TAHUN 1998: TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENATA USAHAAN BARANG INVENTARIS KEKAYAAN MILIK NEGARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 195. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 23 TAHUN 1998: TENTANG PENETAPAN SEMENTARA BANDAR UDARA KHUSUS MATAK DI TAREMPA-RIAU MILIK PERTAMINA / PT.CONOCO INC, SEBAGAI BANDAR UDARA KHUSUS YANG DAPAT MELAYANI PENERBANGAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM 196. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 22 TAHUN 1998: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN BALIKPAPAN 197. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 21 TAHUN 1998: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN KUALA KAPUAS 198. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 20 TAHUN 1998: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN PANGKALAN BUN 199. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 19 TAHUN 1998: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN KUMAI 200. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 18 TAHUN 1998: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN SUKAMARA 201. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 17 TAHUN 1998: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN KUALA LANGSA

DI

LINGKUNGAN

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DAN OTORITA PENGEMBANGAN DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM, NOMOR KM 3 TAHUN 2007: TENTANG KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DAN OTORITA PENGEMBANGAN DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 2 TAHUN 2007: TENTANG USUNAN KEANGGOTAAN, TATA KERJA TIM PENILAI DAN TATA CARA PENILAIAN ANGKA KREDIT BAGI JABATAN FUNGSIONAL TEKNISI PENERBANGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 1 TAHUN 2007: TENTANG PELAKSANAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM BIDANG ANGKUTAN LAUT PENUMPANG KELAS EKONOMI TAHUN ANGGARAN 2007

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 66 TAHUN 2006: TENTANG JADWAL RETENSI ARSIP DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 65 TAHUN 2006: TENTANG KODE KLASIFIKASI ARSIP DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 64 TAHUN 2006: TENTANG SISTEM ADMINISTRASI PERKANTORAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 67 TAHUN 2006: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI DESA IMBODU KECAMATAN RANDANGAN KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 67 TAHUN 2006: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI DESA IMBODU KECAMATAN RANDANGAN KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 66A TAHUN 2006: TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 24 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM BIDANG ANGKUTAN KERETA API KELAS EKONOMI TAHUN ANGGARAN 2006 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 63 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN KHUSUS PT. PUPUK KALIMANTAN TIMUR, TBK

202. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 16 TAHUN 1998: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN PULANG PISAU DAN PELABUHAN BAHAUR

121

203. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 14 TAHUN 1998: TENTANG PENGGUNAAN SEMENTARA BANDAR UDARA KHUSUS TIMIKA UNTUK PELAYANAN UMUM 204. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 12 TAHUN 1998: TENTANG FEDERASI PILOT INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 62 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN KABIL DI BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 61 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN PT. LAMONGAN INTEGRATED SHOREBASE PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 60 TAHUN 2006: TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 61 TAHUN 1993TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 63 TAHUN 2004 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 59 TAHUN 2006: TENTANG PENETAPA LOKASI BANDAR UDARA KHUSUS KM 56 PT. RIAU ANDALAN PULP AND PAPER DI KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.58 TAHUN 2006: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA KHUSUS KM 81 PT. RIAU ANDALAN PULP AND PAPER DI KABUPATEN SIAK, PROVINSI RIAU

205. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 11 TAHUN 1998: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR SK.2/AU.407/PHB-97 TENTANG PROSES SERTIFIKASI, PENGOPERASIAN DAN PERAWATAN PESAWAT UDARA, SERTA PERINTAH KELAIKAN UDARA 206. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 10 TAHUN 1998: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN FAK-FAK 207. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 9 TAHUN 1998: TENTANG PERSETUJUAN PENGELOLAAN DERMAGA UNTUK KEPENTINGAN SENDIRI DI DAERAH LINGKUNGAN KERJA PELABUHAN TELUK BAYUR, GUNA MENUNJANG INDUSTRI SEMEN PT. SEMEN PADANG (PERSERO). 208. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 8 TAHUN 1998: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN MERAUKE 209. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 7 TAHUN 1998: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN MANOKWARI 210. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 6 TAHUN 1998: TENTANG TARIF ANGKUTAN UDARA PERINTIS

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 55 TAHUN 2006: TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 54 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN TANJUNG PERAK

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2006: TENTANG TARIF DASAR BATAS ATAS BATAS BAWAH ANGKUTAN PENUMPANG ANTAR KOTA ANTAR PROVINSI KELAS EKONOMI DI JALAN DENGAN MOBIL BIS UMUM PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 51 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN PALOPO

211. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.5 TAHUN 1998: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 46 TAHUN 1997 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LEBARAN TERPADU TAHUN 1998 212. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 4 TAHUN 1998: TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERMINTAAN DAN PEMBERIAN DAN PENGHENTIAN TUNJANGAN JABATAN TEKHNISI PENELITIAN DAN PEREKAYASAAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 213. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.3 TAHUN 1998: TENTANG TARIF PELAYANAN JASA PENUMPANG PESAWAT UDARA (PJP2U)UNTUK ANGKUTAN UDARA DALAM NEGERI PADA BANDAR UDARA YANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 50 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN BITUNG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 52 TAHUN 2006: TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 89 TAHUN 2002 TENTANG MEKANISME PENETAPAN TARIF DAN FORMULA PERHITUNGAN BIAYA POKOK

122

DISELENGGARAKAN OLEH PEMERINTAH

ANGKUTAN PENUMPANG DENGAN MOBIL BIS UMUM ANTAR KOTA KELAS EKONOMI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 49 TAHUN 2006: TENTANG PENETAPAN HASIL KEGIATAN PENILAIAN UNIT PELAYANAN PUBLIK DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN TAHUN 2006 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 48 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA OPERASI PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LEBARAN TERPADU TAHUN ANGGARAN 2006 (1427 H)

214. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 2 TAHUN 1998: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN LHOKSEMAWE I DAN PELABUHAN LHOKSEMAWE II 215. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 1 TAHUN 1998: TENTANG PENDELEGASIAN WEWENANG UNTUK MENANDATANGANI KEPUTUSAN PENGANGKATAN, PEMBEBASAN SEMENTARA, PEMBERHENTIAN DARI DAN DALAM JABATAN TEKNIS PENELITIAN DAN PEREKAYASAAN 216. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 30 TAHUN 1997: TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENYULUHAN HUKUM DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 217. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 29 TAHUN 1997: TENTANG STRUKTUR DAN GOLONGAN TARIF PELAYANAN JASA KEBANDARUDARAAN PADA BANDAR UDARA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 46 TAHUN 2006: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENYEBERANGAN LINTAS ANTAR PROVINSI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.58 TAHUN 2006: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA KHUSUS KM 81 PT. RIAU ANDALAN PULP AND PAPER DI KABUPATEN SIAK, PROVINSI RIAU PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 55 TAHUN 2006: TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL

218. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 4 TAHUN 1997: TENTANG PEMBERIAN IZIN KEPADA PT (PERSERO) PELABUHAN INDONESIA III UNTUK PENGURUGAN (REKLAMASI) PERAIRAN PANTAI DI DAERAH LINGKUNGAN KERJA PERAIRAN PELABUHAN TANJUNG PERAK DAN PELABUHAN GRESIK 219. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 3 TAHUN 1997: TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERMINTAAN, PEMBERIAN DAN PENGHENTIAN TUNJANGAN JABATAN ARSIPARIS DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 220. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 2 TAHUN 1997: TENTANG HARGA SATUAN PEKERJAAN PENGERUKAN ALUR PELAYARAN DAN KOLAM PELABUHAN UNTUK PEKERJAAN PERAWATAN YANG DIBIAYAI DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA 221. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 1 TAHUN 1997: TENTANG PENYEMPURNAAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 64 TAHUN 1989 TENTANG PENETAPAN LINTAS PENYEBERANGAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 33 TAHUN 1995 222. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 10 TAHUN 1996: TENTANG PENGAHPUSAN BEBERAPA PUNGUTAN/TARIF DALAM KEGIATAN PENGUJIAN TYPE KENDARAAN BERMOTOR, KEPELABUHANAN, SERTIFIKASI PERSONIL DAN PESAWAT UDARA SERTA PERIZINAN KEGIATAN ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN 223. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 8 TAHUN 1996: TENTANG PELAKSANAAN PELAYANAN PEMANDUAN KAPAL PADA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 54 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN TANJUNG PERAK

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2006: TENTANG TARIF DASAR BATAS ATAS BATAS BAWAH ANGKUTAN PENUMPANG ANTAR KOTA ANTAR PROVINSI KELAS EKONOMI DI JALAN DENGAN MOBIL BIS UMUM

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 51 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN PALOPO

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 50 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN BITUNG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 52 TAHUN 2006: TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 89

123

PERAIRAN WAJIB PANDU DAN PERAIRAN PANDU LUAR BIASA

TAHUN 2002 TENTANG MEKANISME PENETAPAN TARIF DAN FORMULA PERHITUNGAN BIAYA POKOK ANGKUTAN PENUMPANG DENGAN MOBIL BIS UMUM ANTAR KOTA KELAS EKONOMI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 49 TAHUN 2006: TENTANG PENETAPAN HASIL KEGIATAN PENILAIAN UNIT PELAYANAN PUBLIK DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN TAHUN 2006 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 48 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA OPERASI PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LEBARAN TERPADU TAHUN ANGGARAN 2006 (1427 H)

224. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 9 TAHUN 1996: TENTANG PENGALIHAN STATUS PEGAWAI NEGERI SIPIL PANDU MENJADI PEGAWAI PT (PERSERO) PELABUHAN INDONESIA I, II, III, DAN IV 225. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 7 TAHUN 1996: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 90 TAHUN 1993 TENTANG PROSEDUR STANDARD KELAIKAN UDARA, BAHAN BAKAR TERBUANG, GAS BUANG, KEBISINGAN DAN MARKA PESAWAT UDARA 226. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 6 TAHUN 1996: TENTANG KETENTUAN KHUSUS TARIF JASA PENUMPUKAN KOMODITI BAHAN PANGAN IMPORT MILIK BULOK PADA PELABUHAN TANJUNG PRIOK, TANJUNG EMAS DAN TANJUNG PERAK 227. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 5 TAHUN 1996: TENTANG PEDOMAN TEKHNIS PENYUSUNAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN (UKL) DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (UPL) PADA SUB SEKTOR PERHUBUNGAN LAUT 228. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 4 TAHUN 1996: TENTANG RENCANA USAHA ATAU KEGIATAN PADA SUB SEKTOR PERHUBUNGAN LAUT YANG WAJIB DILENGKAPI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (UKL) DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (UPL) 229. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 3 TAHUN 1996: TENTANG PEDOMAN TEKHNIS PENYUSUNAN UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (UKL) DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (UPL) PADA SUB SEKTOR PERHUBUNGAN DARAT 230. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 2 TAHUN 1996: TENTANG RENCANA USAHA DAN KEGIATAN PAD SUB SEKTOR PERHUBUNGAN DARAT YANG YANG WAJIB DILENGKAPI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (UKL) DAN UPAYA PEMNATAUAN LINGKUNGAN (UPL) 231. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 1 TAHUN 1996: TENTANG BATAS-BATAS KESELAMATAN OPERASI PENERBANGAN DI SEKITAR BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOORBANJARMASIN 232. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 7 TAHUN 1995: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN UDARA NO.T.II/2/4-U TENTANG PERATURAN-PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL 233. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 5 TAHUN 1995: TENTANG PENYELENGGARAAN PENIMBANGAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 46 TAHUN 2006: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENYEBERANGAN LINTAS ANTAR PROVINSI

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.45 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA MUTIARA DI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 44 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN ANGGREK

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.43 TAHUN 2006: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI NAMLEA KABUPATEN BURU PROVINSI MALUKU

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 42 TAHUN 2006: TENTANG TATA CARA TETAP PELAKSANAAN KEPROTOKOLAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.40 TAHUN 2006: TENTANG POS SEARCH AND RESCUE (POS SAR)

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 39 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN DUMAI

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA NOMOR KM 56 TAHUN 2006: TENTANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DAN

124

MANAJEMEN DI BIDANG TRANSPORTASI 234. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 4 TAHUN 1995: TENATANG PENYEMPURNAAN DAN PENATAAN KELAS BANDAR UDARA 235. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 3 TAHUN 1995: TENTANG TARIF JASA PENUMPUKAN BARANG DALAM GUDANG LINI I BANDAR UDARA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.38 TAHUN 2006: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI KABUPATEN TEJO UNA-UNA PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 37 TAHUN 2006: TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 43 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.36 TAHUN 2006 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 36 TAHUN 2006: TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.43 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN, SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.62 TAHUN 2005 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 35 TAHUN 2006: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMPANG KERETA API KELAS EKONOMI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 34 TAHUN 2006: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI TEMPULING KABUPATEN INDRAGIRI HILIR PROVINSI RIAU PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 33 TAHUN 2006: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR ADMINISTRATOR TERMINAL PETI KEMAS PADA STASIUN KERETA API GEDEBAGEBANDUNG, PADA STASIUN KERETA API JEBRESSURAKARTA, DAN PADA STASIUN KERETA API RAMBIPUJI-JEMBER PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 32 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN PANJANG PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 31 TAHUN 2006: TENTANG PEDOMAN PROSES PERENCANAAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.30 TAHUN 2006: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DISTRIK NAVIGASI

236. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 4 TAHUN 1994: TENTANG TATA CARA PARKIR KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN

237. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 3 TAHUN 1994: TENTANG ALAT PENGENDALI DAN PENGAMAN PEMAKAI JALAN 238. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 2 TAHUN 1994: TENTANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN MANAJERIAL BADAN USAHA MILIK NEGARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 239. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 1 TAHUN 1994: TENTANG KEBIJAKSANAAN PENGANGKUTAN 9 (SEMBILAN) BAHAN POKOK DAN BARANG STRATEGIS DENGAN MENGGUNAKAN MOBIL BARANG

240. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 5 TAHUN 1993: TENTANG TARIF PENUMPANG ANGKUTAN LAUT NUSANTARA DENGAN MENGGUNAKAN KAPAL BARANG 241. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 4 TAHUN 1993: TENTANG TARIF PENUMPANG KELAS EKONOMI ANGKUTAN LAUT NUSANTARA DENGAN KAPAL KHUSUS PENUMPANG 242. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 2 TAHUN 1993: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMPANG ANTAR KOTA KELAS EKONOMI DI JALAN RAYA DENGAN MOBIL BUS UMUM 243. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 3 TAHUN 1993: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMPANG KERETA API KELAS EKONOMI 244. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 7 TAHUN 1993: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMPANG PENYEBERANGAN KELAS EKONOMI, KENDARAAN DAN BARANG/HEWAN PADA LINTAS PENYEBERANGAN MEULABOH (ACEH BARAT)SINABANG (P. SIMELUE) DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.29 TAHUN 2006: TENTANG KRITERIA KLASIFIKASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DISTRIK NAVIGASI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 28 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN SAMARINDA

125

245. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 6 TAHUN 1993: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENUMPANG UDARA BERJADWAL DALAM NEGERI KELAS EKONOMI

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 27 TAHUN 2006: TENTANG TATA CARA TETAP PENYUSUNAN, PELAKSANAAN DAN PELAPORAN RENCANA AKSI NASIONAL PEMBERANTASAN KORUPSI (RAN-PK) DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.26 TAHUN 2006: TENTANG PENYEDERHANAAN SISTEM DAN PROSEDUR PENGADAAN KAPAL DAN PENGGUNAAN/PENGGANTIAN BENDERA KAPAL PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.24 TAHUN 2006: TENTANG PENYELENGGARAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM BIDANG ANGKUTAN KERETA API KELAS EKONOMI TAHUN ANGGARAN 2006 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.23 TAHUN 2006: TENTANG TATA CARA TETAP PENYAMPAIAN LAPORAN HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.22 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN KHUSUS LIQUID NATURAL GAS (LNG) TANGGUH

246. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 9 TAHUN 1992: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA PELABUHAN TARAKAN 247. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 10 TAHUN 1992: TENTANG BATAS-BATAS DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN SAMARINDA 248. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 8 TAHUN 1992: TENTANG TATA CARA TETAP PELAKSANAAN MUTASI JABATAN DAN WILAYAH KERJA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 249. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 7 TAHUN 1992: TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGALIHAN STATUS KEPEGAWAIAN DARI PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA PERUSAHAAN JAWATAN KERETA API MENJADI PEGAWAI PERUSAHAAN UMUM KERETA API 250. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 6 TAHUN 1992: TENTANG PENYELENGGARAAN RAPAT KERJA STANDARDISASI PERHUBUNGAN 251. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 5 TAHUN 1992: TENTANG PENUNJUKKAN PEJABAT-PEJABAT YANG MENADATANGANI "SURAT PERNYATAAN MENDUDUKI JABATAN" DAN "SURAT PERNYATAAN MENJALANKAN TUGAS JABATAN STRUKTURAL" DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 252. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 4 TAHUN 1992: TENTANG KRITERIA KLASIFIKASI BANDAR UDARA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.20 TAHUN 2006: TENTANG KEWAJIBAN BAGI KAPAL BERBENDERA INDONESIA UNTUK MASUK KLAS PADA BIRO KLASIFIKASI INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 21 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN PALEMBANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.19 TAHUN 2006: TENTANG PENGANGKUTAN BARANG/MUATAN IMPORT MILIK PEMERINTAH OLEH PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT NASIONAL PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.18 TAHUN 2006: TENTANG PELAKSANAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM BIDANG ANGKUTAN PENUMPANG KELAS EKONOMI ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI TAHUN ANGGARAN 2006 KESEPAKATAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.17 TAHUN 2006: TENTANG PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI DI DAERAH TERTINGGAL

253. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 3 TAHUN 1992: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.30 TAHUN 1991 TENTANG TARIF PENUMPANG KELAS EKONOMI ANGKUTAN LAUT NUSANTARA DENGAN KAPAL KHUSUS PENUMPANG 254. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 1 TAHUN 1992: TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN DAN KEGIATAN OPERASIONAL DI BIDANG PERHUBUNGAN YANG WAJIB DI LENGKAPI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN 255. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 10 TAHUN 1991: TENTANG BATAS-BATAS KESELAMATAN OPERASI PENERBANGAN DI SEKITAR BANDAR UDARA SULTAN MACHMUD BADARUDDIN II PALEMBANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.16 TAHUN 2006: TENTANG TARIF ANGKUTAN UDARA PERINTIS

126

256. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 9 TAHUN 1991: TENTANG PEMBERIAN TUNJANGAN PEMANDUAN UNTUK KEGIATAN PEMANDUAN KAPAL

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.15 TAHUN 2006: TENTANG PENGALIHAN TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANG YANG BERKAITAN DENGAN PERKERETAAPIAN DARI DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT KEPADA DIREKTUR JENDERAL PERKERETAAPIAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN, MENTERI KEHUTANAN, MENTERI PERINDUSTRIAN DAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR: KM.12 TAHUN 2006, NOMOR SKB.53/MENHUT-II/2006, NOMOR: 61/M-IND/KEP/3/2006, NOMOR: 02/MDAG/KEP/1/2006: TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN, MENTERI KEHUTANAN DAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR KM.3 TAHUN 2003, NOMOR : 22/KPTS-II/2003, NOMOR : 33/MPP/KEP/1/2003 TENTANG PENGAWASAN PENGANGKUTAN KAYU MELALUI PELABUHAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.14 TAHUN 2006: TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS DI JALAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.13 TAHUN 2006: TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN LOMBA TERTIB LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KOTA

257. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 8 TAHUN 1991: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PERUSAHAAN UMUM (PERUM) KERETA API

258. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 7 TAHUN 1991: TENTANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN, UJIAN NEGARA, DAN PERIJAZAHAN KEPELAUTAN 259. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 6 TAHUN 1991: TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 116 TAHUN 1990 TENTANG PENAMBAHAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 46 TAHUN 1990 TENTANG TARIF PENUMPANG KELAS EKONOMI ANGKUTAN LAUT NUSANTARA DENGAN KAPAL KHUSUS PENUMPANG 260. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 5 TAHUN 1991: TENTANG TARIF JASA PELABUHAN PENYEBERANGAN PADA PELABUHAN PENYEBERANGAN PADANG BAI DAN LEMBAR 261. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 4 TAHUN 1991: TENTANG PENYEMPURNAAN DAN PERPANJANGAN JANGKA WAKTU TUGAS PANITIA YANG DITETAPKAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 41/HK. 601/PHB-89 TANGGAL 6 SEPTEMBER 1989 JO KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KP. 7/HK.601/PHB-90 TANGGAL 2 PEBRUARI 1990 262. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 3 TAHUN 1996: TENTANG PENGHAPUSAN BARANG-BARANG INVENTARIS MILIK PERUSAHAAN JAWATAN KERETA API DI WILAYAH USAHA PERUSAHAAN JAWATAN KERETA API SUMATERA SELATAN 263. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 2 TAHUN 1991: TENTANG PENGESAHAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PELABUHAN INDONESIA I TAHUN 1991 264. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 1 TAHUN 1991: TENTANG PENGESAHAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN PERUSAHAAN UMUM (PERUM) ANGKASA PURA II TAHUN 1991

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.10 TAHUN 2006: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH, PROVINSI NUSA TENGGARA TENGGARA BARAT PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 11 TAHUN 2006: TENTANG TARIF REFERENSI UNTUK PENUMPANG ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL DALAM NEGERI KELAS EKONOMI

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.9 TAHUN 2006: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA WAGHETE DI KABUPATEN PANIAI-PROVINSI PAPUA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.8 TAHUN 2006: TENTANG RENCANA INDUK BANDARA KHUSUS DAN LANDASAN KHUSUS HELIKOPTER DI AREA LNG TANGGUH DI KABUPATEN TELUK BINTUNI, PROVINSI IRIAN JAYA BARAT PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.5 TAHUN 2006: TENTANG PEREMAJAAN ARMADA PESAWAT UDARA KATEGORI TRANSPORT UNTUK ANGKUTAN UDARA PENUMPANG

127

265. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 9 TAHUN 1990: TENTANG PENGESAHAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN PERUSAHAAN UMUM (PERUM) ANGKASA PURA I TAHUN 1990

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 4 TAHUN 2006: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL(CIVIL AVIATION SAFETY REGULATION) PART.31 STANDARD KELAIKAN UDARA UNTUK BALON BERPENUMPANG(AIRWORTHINESS STANDARD:MANNED FREE BALLOONS) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 3 TAHUN 2006: TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGHAPUSAN, PEMANFAATAN, TUKAR MENUKAR BARANG MILIK NEGARA, DAN TATA-CARA PENGALIHAN STATUS RUMAH NEGARA GOLONGAN II MENJADI RUMAH NEGARA GOLONGAN III DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 72 TAHUN 2005: TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.50 TAHUN 2003 TENTANG JENIS, STRUKTUR DAN GOLONGAN TARIF PELAYANAN JASA KEPELABUHAN UNTUK PELABUHAN LAUT PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 71 TAHUN 2005: TENTANG PENGANGKUTAN BARANG/MUATAN ANTAR PELABUHAN LAUT DI DALAM NEGERI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 69 TAHUN 2005: TENTANG PENENTAPAN GARONGKONG DI SULAWESI SELATAN-BATULICIN DI KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI LINTAS PENYEBERANGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 68 TAHUN 2005: TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA YANG SEBAGIAN ATAU SELURUHNYA DIBIAYAI DARI PINJAMAN LUAR NEGERI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 66 TAHUN 2005: TENTANG KETENTUAN PENGOPERASIAN KAPAL TANGKI MINYAK LAMBUNG TUNGGAL (SINGLE HULL)

266. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 8 TAHUN 1990: TENTANG PENGESAHAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PELABUHAN IV TAHUN 1990

267. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 7 TAHUN 1990: TENTANG PENGESAHAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PELABUHAN III TAHUN 1990

268. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 6 TAHUN 1990: TENTANG PENGESAHAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PELABUHAN I TAHUN 1990 269. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 11 TAHUN 1990: TENTANG PENGESAHAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN PERUSAHAAN UMUM ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN (PERUM ASDP) TAHUN 1990 270. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 10 TAHUN 1990: TENTANG PENGESAHAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN PERUSAHAAN UMUM (PERUM) ANGKASA PURA II TAHUN 1990

271. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 5 TAHUN 1990: TENTANG PENGESAHAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN PERUSAHAAN UMUM PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA (PERUM PPD) TAHUN 1990 272. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 3 TAHUN 1990: TENTANG PENETAPAN KELAS ANGKUTAN KERETA API DAN PELIMPAHAN SEBAGIAN WEWENANG PENETAPAN TARIFNYA KEPADA KEPALA PERUSAHAAN JAWATAN KERETA API 273. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 2 TAHUN 1990: TENTANG TAKSI BANDAR UDARA INTERNASIONAL JAKARTA SUKARNOHATTA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 67 TAHUN 2005: TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN BOJONEGORO

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 65 TAHUN 2005: TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENDATAAN, PENYELAMATAN DAN PELESTARIAN DOKUMEN/ARSIP NEGARA PERIODE KABINET GOTONG ROYONG DAN KABINET PERSATUAN NASIONAL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 64 TAHUN 2005: TENTANG PETUNJUK TEKNIS PERLINDUNGAN, PENGAMANAN DAN PENYELAMATAN DOKUMEN/ARSIP VITAL NEGARA TERHADAP MUSIBAH/BENCANA DI LINGKUNGAN

274. KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 1 TAHUN 1990: TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYARAN RAKYAT DALAM BENTUK KOPERASI

128

DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 275. KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA DEPERTEMEN PERHUBUNGAN DAN LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA NOMOR KM. 63 TAHUN 2005: TENTANG PENGEMBANGAN SISTEM ADMINISTRASI, MANAJEMEN DAN SUMBER DAYA MANUSIA DI BIDANG TRANSPORTASI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 62 TAHUN 2005: TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.43 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA NOMOR KM. 61 TAHUN 2005: TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWASAN KESELAMATAN PELAYARAN DAN ANGKA KREDITNYA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 60 TAHUN 2005: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENYEBERANGAN LINTAS ANTAR PROVINSI UNTUK PENUMPANG KELAS EKONOMI, KENDARAAN DAN ALAT-ALAT BERAT/BESAR PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 59 TAHUN 2005: TENTANG TARIF DASAR BATAS ATAS DAN BATAS BAWAH ANGKUTAN PENUMPANG ANTAR KOTA ANTAR PROVINSI KELAS EKONOMI DI JALAN DENGAN MOBIL BUS UMUM PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 58 TAHUN 2005: TENTANG RENCANA OPERASI PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LEBARAN TERPADU TAHUN 2005 (1426) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 56 TAHUN 2005: TENTANG PERUBAHAN NAMA BANDAR UDARA SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II PALEMBANG DI PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 55 TAHUN 2005: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA PENGGANTI BANDAR UDARA DUMATUBUN-LANGGUR DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.54 TAHUN 2005: TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.77 TAHUN 1993 TENTANG KODE WILAYAH PENDAFTARAN TANDA NOMOR KENDARAAN BERMOTOR PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2005: TENTANG PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA DI KABUPATEN BUNGO PROVINSI JAMBI PIAGAM KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN LAUT NOMOR KM. 52 TAHUN 2005:

276.

277.

278.

279.

280.

281.

282.

283.

284.

285.

129

TENTANG PENINGKATAN PENEGAKKAN HUKUM LAUT 286.

PENGAMANAN

DAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 51 TAHUN 2005: TENTANG TARIF BATAS ATAS DAN BAWAH ANGKUTAN PENUMPANG ANTAR KOTA ANTAR PROVINSI KELAS EKONOMI DI JALAN DENGAN MOBIL BUS UMUM PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 48 TAHUN 2005L: TENTANG PERUBAHAN KE-17 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.64 TAHUN 1989 TENTANG PENEMPATAN LINTAS PENYEBERANGAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.38 TAHUN 2005 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 47 TAHUN 2005: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI BESAR PENDIDIKAN PENYEGARAN DAN PENINGKATAN ILMU PELAYARAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 45 TAHUN 2005: TENTANG PERUBAHAN PERTAMA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.1 TAHUN 2005 TENTANG TARIF ANGKUTAN PENYEBERANGAN LINTAS ANTAR PROVINSI UNTUK PENUMPANG KELAS EKONOMI, KENDARAAN DAN ALAT-ALAT BERAT/BESAR PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 43 TAHUN 2005: TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 44 TAHUN 2005: TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-7112-2005 MENGENAI KAWASAN KESELAMATAN OPERASI PENERBANGAN SEBAGAI STANDAR WAJIB PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 42 TAHUN 2005: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA JUWATA-TARAKAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 39 TAHUN 2005: TENTANG RENCANA INDUK BANDAR UDARA BUBUNG-LUWUK KABUPATEN BANGGAI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 40 TAHUN 2005: TENTANG PENGOPERASIAN BANDAR UDARA INTERNASIONAL MINANGKABAU DI PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.38 TAHUN 2005: TENTANG PERUBAHAN KE-16 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.64 TAHUN 1989 TENTANG PENETAPAN LINTAS PENYEBERANGAN SEBAGAIMANA TELAH DIRUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.76 TAHUN 2004 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 37 TAHUN 2005: TENTANG PENUNJUKAN/PENUGASAN KEPADA PEJABAT/PEGAWAI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN UNTUK

287.

288.

289.

290.

291.

292.

293.

294.

295.

296.

130

MELAKSANAKAN PENERBANGAN KALIBRASI PADA BEBERAPA BANDAR UDARA DI WILAYAH REPUBLIK INDONESIA 297. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 36 TAHUN 2005: TENTANG TARIF REFERENSI UNTUK PENUMPANG ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL DALAM NEGERI KELAS EKONOMI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 35 TAHUN 2005: TENTANG PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA KATEGORI TRANSPORT BERMESIN JET UNTUK ANGKUTAN UDARA PENUMPANG PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 34 TAHUN 2005: TENTANG PENEMPATAN LOKASI BANDAR UDARA DI KECAMATAN KERTAJATI KABUPATEN MAJALENGKA, PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 33 TAHUN 2005: TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.21 TAHUN 2002 TENTANG TARIF ANGKUTAN UDARA PERINTIS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 32 TAHUN 2005: TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-7040-2004 MENGENAI KRITERIA PENEMPATAN PEMANCAR SINYAL KESEGALA ARAH BERFREKUENSI AMAT TINGGI (VHF OMNIDIRECTIONAL RANGEOVER) SEBAGAI STANDAR WAJIB PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 31 TAHUN 2005: TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-7049-2004 MENGENAI PERANCANGAN FASILITAS BAGI PENGGUNA KHUSUS DI BANDAR UDARA SEBAGAI STANDAR WAJIB PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 30 TAHUN 2005: TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-7048-2004 MENGENAI KRITERIA PENEMPATAN FASILITAS KOMUNIKASI DARAT-UDARA BERFREKUENSI AMAT TINGGI (VHF AIR GROUND/VHF-A/G) SEBAGAI STANDAR WAJI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 29 TAHUN 2005: TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-7047-2004 MENGENAI TERMINAL KARGO BANDAR UDARA SEBAGAI STANDAR WAJIB PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 28 TAHUN 2005: TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-7041-2004 MENGENAI KRITERIA PENEMPATAN RAMBU UDARA TAK TERARAH (NON DIRECTIONAL BEACON/NDB) SEBAGAI STANDAR WAJIB PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 27 TAHUN 2005: TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-7097-2005 MENGENAI PERALATAN KOMUNIKASI DARAT UDATA BERFREKUENSI AMAT TINGGI (VHF-AIR

298.

299.

300.

301.

302.

303.

304.

305.

306.

131

GROUND) DI BANDAR UDARA SEBAGAI STANDAR WAJIB 307. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 26 TAHUN 2005: TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-7050-2004 MENGENAI KRITERIA PENEMPATAN DISTANCE MEASURING EQUIPMENT (DME)SEBAGAI STANDAR WAJIB PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 25 TAHUN 2005: TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-7066-2005 MENGENAI PEMERIKSAAN PENUMPANG DAN BARANG YANG DIANGKUT PESAWAT UDARA DI BANDAR UDARA SEBAGAI STANDAR WAJIB PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 22 TAHUN 2005: TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-7094-2005 MENGENAI RAMBU-RAMBU DI TERMINAL BANDAR UDARA SEBAGAI STANDAR WAJIB PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 20 TAHUN 2005: TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-7046-2004 MENGENAI TERMINAL PENUMPANG BANDAR UDARA SEBAGAI STANDAR WAJIB PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 24 TAHUN 2005: TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-7067-2005 MENGENAI TEKNIS FASILITAS PERTOLONGAN KECELAKAAN PENERBANGAN DAN PEMADAM KEBAKARAN (PKP-PK) DI BANDAR UDARA SEBAGAI STANDAR WAJIB PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 23 TAHUN 2005: TENTANG PEMBERLAKUKAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-7051-2004 MENGENAI PEMBERIAN TANDA DAN PEMASANGAN LAMPU HALANGAN (OBSTACLE LIGHTS)DI SEKITAR BANDAR UDARA SEBAGAI STANDAR WAJIB PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 21 TAHUN 2005: TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-7095-2005 MENGENAI MARKA DAN RAMBU PADA DAERAH PERGERAKAN PESAWAT UDARA DI BANDAR UDARA SEBAGAI STANDAR WAJIB PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.19 TAHUN 2005: TENTANG MEKANISME PEMBERIAN REKOMENDASI UNTUK MENDAPATKAN FASILITAS PEMBEBASAN DAN/ATAU KERINGANAN BEA MASUK ATAS IMPOR BEBERAPA JENIS SUKU CADANG, CHASSIS ENGINE BUS UNTUK ANGKUTAN UMUM, COMPLETELY KNOCK DOWN (CKD) UNTUK ANGKUTAN KOMERSIAL DAN BUS DALAM BENTUK C PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.16 TAHUN 2005: TENTANG BATAS-BATAS KAWASAN KEBISINGAN DI SEKITAR BANDAR UDARA SUPADIO-PONTIANAK PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR

308.

309.

310.

311.

312.

313.

314.

315.

316.

132

KM.15 TAHUN 2005: TENTANG BATAS-BATAS KAWASAN KEBISINGAN DI SEKITAR BANDAR UDARA SORONG DARATAN SORONG 317. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.14 TAHUN 2005: TENTANG BATAS-BATAS KAWASAN KEBISINGAN DISEKITAR BANDAR UDARA SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II PALEMBANG PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.17 TAHUN 2005: TENTANG BATAS-BATAS KAWASAN KEBISINGAN DI SEKITAR BANDAR UDARA SULTAN SYARIF KASIM II PEKANBARU PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.13 TAHUN 2005: TENTANG BATAS-BATAS KAWASAN KEBISINGAN DI SEKITAR BANDAR UDARA SAMARINDA BARU-SAMARINDA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.11 TAHUN 2005: TENTANG PELAKSANAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM BIDANG ANGKUTAN PENUMPANG KELAS EKONOMI ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI TAHUN ANGGARAN 2005 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.10 TAHUN 2005: TENTANG SERTIFIKASI ALAT DAN PERANGKAT TELEKOMUNIKASI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.9 TAHUN 2005: TENTANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN, UJIAN SERTA SERTIFIKASI PELAUT KAPAL PENANGKAP IKAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.6 TAHUN 2005: TENTANG PENGUKURAN KAPAL PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 5 TAHUN 2005: TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TITIPAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 3 TAHUN 2005: TENTANG LAMBUNG TIMBUL KAPAL PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.7 TAHUN 2005: TENTANG SARANA BANTU NAVIGASI PELAYARAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.8 TAHUN 2005: TENTANG TELEKOMUNIKASI PELAYARAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 4 TAHUN 2005: TENTANG PENCEGAHAN PENCEMARAN DARI KAPAL PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.2 TAHUN 2006: TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS) PART.39 REVISION 1 PERINTAH KELAIKAN UDARA (AIRWORTHINESS DIRECTIVE) PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.1 TAHUN 2005: TENTANG TARIF ANGKUTAN PENYEBERANGAN LINTAS ANTAR PROVINSI UNTUK

318.

319.

320.

321.

322.

323.

324.

325.

326.

327.

328.

329.

330.

133

PENUMPANG KELAS EKONOMI, KENDARAAN DAN ALAT-ALAT BERAT/BESAR

134

Tabel 6.9. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup


NO KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP KEPMEN PERMEN KEPUTUSAN BERSAMA MENLH DENGAN MENDIKNAS NOMOR 04/MENLH/02/2010 DAN NOMOR 01/II/SKB/2010 TENTANG KELOMPOK KERJA PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP DAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NO 04/MENLH/02/2010 NO 01/II/SKB/2010 TENTANG KELOMPOK KERJA PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 295 TAHUN 2007 TENTANG TIM KERJA DAN TIM AHLI PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI DPR KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 294 TAHUN 2007 TENTANG TIM KOORDINASI PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI DPR KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 212 TAHUN 2007 TENTANG PANITIA TEKNIS DAN SUB PANITIA TEKNIS PERUMUSAN STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG KUALITAS DAN MANAJEMEN LINGKUNGAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 600 TAHUN 2006 TENTANG TIM PENGKAJIAN DAN EVALUASI PERAN PEMERINTAH PADA PT. PRASADHA PAMUNAH LIMBAH INDUSTRI (PPLI) KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 408 TAHUN 2006 TENTANG DEWAN PERTIMBANGAN PENILAIAN PROGRAM MENUJU INDONESIA HIJAU KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 407 TAHUN 2006 KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 407 TAHUN 2006 TENTANG TIM PENGARAH PROGRAM MENUJU INDONESIA HIJAU KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 406 TAHUN 2006 KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN NOMOR 406 TAHUN 2006 TENTANG KOMISI PENGARAH MASIONAL DAN TEKNIS PELAKSANAAN KONVENSI WINA TENTANG PERLINDUNGAN LAPISAN OZON 10 KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 283 TAHUN 2006 TENTANG PANITIAN TEKNIS PERUMUSAN STANDAR KOMPETENSI PERSONIL DAN LEMBAGA JASA LINGKUNGAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN NO. 45 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN RENCANA PENGELOLAAN HIDUP (RKL), DAN RENCANA PEMANTAU LINGKUNGAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 254 TAHUN 2004 KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 252 TAHUN 2004 PROGRAM PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 16 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP PERATURAN MENTERL NEGARA. LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP BAGL USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG TELAH MEMILIKI IZIN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA LISENSI KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN SISTEM ELEKTRONIK REGISTRASI BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DALAM KERANGKA INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW DI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 37 TAHUN 2009 PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 37 TAHUN 2009 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG LINGKUNGAN HIDUP TAHUN 2010 PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 05 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DI PELABUHAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, NOMOR 01/A/PL/VI/2007/01 TENTANG CONTOH DOKUMEN LELANG UNTUK JASA KONTRUKSI

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

NOMOR 09/A/KP/XII/2006/01 TENTANG PANDUAN UMUM TATA CARA HUBUNGAN DAN KERJASAMA LUAR NEGERI OLEH PEMERINTAH DAERAH

9.

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 05 TAHUN 2006 TENTANG AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR LAMA KEMENTERIAN

10.

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM ADIPURA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

11.

12. 13.

135

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

PENILAIAN PERINGKAT HASIL UJI TIPE EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 201 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU DAN PEDOMAN PENENTUAN KERUSAKAN MANGROVE KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 202 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 197 TAHUN 2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH KABUPATEN DAN DAERAH KOTA KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 179 TAHUN 2004 TENTANG RALAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 178 TAHUN 2004 TENTANG KURIKULUM PENYUSUNAN, PENILAIAN DAN PEDOMAN SERTA KRITERIA PENYELENGGARAAN PELATIHAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 175 TAHUN 2004 TENTANG KURIKULUM PENYUSUNAN, PENILAIAN DAN PEDOMAN SERTA KRITERIA PENYELENGGARAAN PELATIHAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 133 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU EMISI BAGI KEGIATAN INDUSTRI PUPUK KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 148 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN KELEMBAGAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 122 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: KEP51/MENLH/10/1995 TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 95 TAHUN 2004 TENTANG KLASIFIKASI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 75 TAHUN 2004 TENTANG ORGANISASI DAN TATA LAKSANA PUSAT PRODUKSI BERSIH NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 49 TAHUN 2004 TENTANG PENDELEGASIAN KEWENANGAN UNTUK MENANDATANGANI SURAT KEPUTUSAN KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK

136

28.

29.

30.

31.

32.

33.

34.

35.

36.

37.

38.

39.

40.

41.

LINGKUNGAN HIDUP (KA-ANDAL) KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 19 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PENGADUAN KASUS PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 58 TAHUN 2003 TENTANG PENERIMA PENGHARGAAN KALPATARU TAHUN 2003 KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGKAJIAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH DARI INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNANA KELAPA SAWIT KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 29 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN SYARAT DAN TATA CARA PERIJINAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNANA KELAPA SAWIT KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO. 77 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA PENYEDIA JASA PELAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN (LPJP2SLH) PADA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO. 78 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN PERMOHONAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN PADA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 115 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PENENTUAN STATUS MUTU AIR KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 113 TAHUN 2003 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BATU BARA KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 110 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR PADA SUMBER AIR KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 111 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN MENGENAI SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN SERTA PEDOMAN KAJIAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE AIR ATAU SUMBER AIR KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 112 TAHUN 2003 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH DOMESTIK KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 122 TAHUN 2003 KEPUTUSAN MENLH YANG MENGATUR PENETAPAN STAF KHUSUS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 127 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 137 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN RENCANA PENGELOLAAN

137

42.

43.

44.

45.

46.

47.

48.

49.

50.

51.

52.

53.

LINGKUNGAN HIDUP (RKL) DAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL) ATAS PERUBAHAN KEGIATAN PROYEK KONSERVASI DAN PENGEMBANGAN SEGARA ANAKAN OLEH PROYEK KEPUTUSAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 142 TAHUN 2003 TTG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 111 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN MENGENAI SYARAT & TATA CARA PERIZINAN SERTA PEDOMAN KAJIAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE AIR ATAU SUNGAI KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 141 TAHUN 2003 AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION) KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 61 TAHUN 2003 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PENYESUAIAN (INPASSING)KE DALAM ABATAN DAN ANGKA KREDIT PENGENDALI DAMPAK LINGKUNGAN KEPUTUSAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP NOMOR. 128 TAHUN 2003 TATACARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENGOLAHAN LIMBAH MINYAK BUMI DAN TANAH TERKONTAMINASI OLEH MINYAK BUMISECARA BIOLOGIS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 129 TAHUN 2003 BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 86 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 86 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 86 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2001 TENTANG PEJABAT PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEJABAT PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 30 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN HIDUP YANG DIWAJIBKAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 9 TAHUN 2001 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA STAF MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 17 TAHUN 2001 ATENTANG JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG WAJIB DILENGKAPI DENGAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

138

54.

55.

56.

57.

58.

59.

60.

61.

62.

63.

64.

65.

66.

67.

68.

69.

KEPUTUSAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA STAF MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG JENIS USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG WAJIB DILENGKAPI DENGAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 4 TAHUN 2000 TENTANG PANDUAN PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN PERMUKIMAN TERPADU KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 5 TAHUN 2000 TENTANG PANDUAN PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN DI DAERAH LAHAN BASAH KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 40 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN TATA KERJA KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 41 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN/KOTA KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 42 TAHUN 2000 TENTANG SUSUNAN KEANGGOTAAN KOMISI PENILAI DAN TIM TEKNIS ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PUSAT KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 42 TAHUN 2000 TENTANG SUSUNAN KEANGGOTAAN KOMISI PENILAI DAN TIM TEKNIS ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PUSAT KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG PANDUAN PENYUSUNAN DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 16 TAHUN 1995 TENTANG DEWAN PERTIMBANGAN PEMBERIAN PENGHARGAAN KALPATARU MASA BAKTI 1995-1998 KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 42 TAHUN 1996 TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 45 TAHUN 1997 TENTANG INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO. 49 TAHUN 1996 TENTANG BAKU MUTU TINGKAT GETARAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 15 TAHUN 1996 TENTANG

139

70.

71.

72.

73.

74.

75.

76.

77.

78.

79.

80.

81.

82.

83.

84.

85.

86.

PROGRAM LANGIT BIRU KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 16 TAHUN 1996 TENTANG PENETAPAN PRIORITAS PROVINSI DAERAH TINGKAT I PROGRAM LANGIT BIRU KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 39 TAHUN 1996 TENTANG JENIS USAHA ATAU KEGIATAN YANG WAJIB DILENGKAPI DENGAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 42 TAHUN 1996 TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 43 TAHUN 1996 TENTANG KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENIS LEPAS DI DATARAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 45 TAHUN 1996 TENTANG PROGRAM PANTAI LESTARI KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 46 TAHUN 1996 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENGARAH DAN TIM TEKNIS PROGRAM PANTAI LESTARI KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 47 TAHUN 1996 TENTANG PENETAPAN PRIORITAS PROVINSI DAERAH TINGKAT I PROGRAM PANTAI LESTARI KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 48 TAHUN 1996 TENTANG BAKU TINGKAT KEBISINGAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 50 TAHUN 1996 TENTANG BAKU TINGKAT KEBAUAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 13 TAHUN 1995 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 42 TAHUN 1994 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 15 TAHUN 1994 TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI AMDAL TERPADU KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 14 TAHUN 1994 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYUSUNAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PEDOMAN SUSUNAN KEANGOTAAN DAN TATA KERJA KOMISI AMDAL KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 12 TAHUN 1994 TENTANG PEDOMAN UMUM UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (UKL) DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (UPL) KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 35 TAHUN 1993 TENTANG AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 15 TAHUN 1995 TENTANG PEMBERIAN PENGHARGAAN KALPATARU

140

87.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 24 TAHUN 1995 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO. 16 TAHUN 1995 TENTANG: DEWAN PERTIMBANGAN PEMBERIAN PENGHARGAAN KALPATARU MASA BAKTI 19951998 88. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 35 TAHUN 1995 TENTANG PROGRAM KALI BERSIH 89. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO. 37 TAHUN 1995 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEBERSIHAN KOTA DAN PEMBERIAN PENGHARGAAN ADIPURA 90. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 52 TAHUN 1995 TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL 91. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 54 TAHUN 1995 TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN TERPADU MULTISEKTOR DAN REGIONAL 92. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 55 TAHUN 1995 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN REGIONAL 93. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 57 TAHUN 1995 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN 94. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 58 TAHUN 1995 TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT 95. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 35-A TAHUN 1995 TENTANG PROGRAM PENILAIAN KINERJA PERUSAHAAN / KEGIATAN USAHA DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN DALAM LINGKUP KEGIATAN PROKASIH (PROPER PROKASIH) 96. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR SK. 12/A/OT/IX/2004/01 TENTANG PELEBURAN GOLONGAN PEJABAT ADMINISTRASI KE DALAM GOLONGAN PEJABAT DIPLOMATIK KONSULER 97. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR SK.09/A/OT/VIII/2004/01 PENGISIAN JABATAN DI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA TERTENTU DI LUAR NEGERI MELALUI SELEKSI TERBUKA (OPEN BIDDING) 98. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO. 45 TAHUN 1997 TENTANG : INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA 99. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 112 TAHUN 2003 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH DOMESTIK MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, 100. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 28 TAHUN 2003 TANGGAL : 25 MARET 2003 PEDOMAN TEKNIS PENGKAJIAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT 101. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO. 57 TAHUN 1995 TENTANG : ANALISIS MENGENAI DAMPAK

141

LINGKUNGAN USAHA ATAU KEGIATAN TERPADU/MULTISEKTOR

142

Tabel 6.10.. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pertanahan


BADAN PERTANAHAN NASIONAL NO KEPUTUSAN KEPALA 1. NOMOR 01-VII-2007 TAHUN PEMBENTUKAN KELOMPOK PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL 2007 KERJA PERATURAN KEPALA NOMOR 1 TAHUN 2007 TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA DILINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 PENYELENGGARAAN HUBUNGAN DAN KERJASAMA LUAR NEGERI DI LINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 KETENTUAN PELAKSANAAN PERPRES NO.36/2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERPRES NO.65/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERPRES NO.36/2005 NOMOR 4TAHUN 2007 STRUKTUR ORGANISASI BADAN PENGELOLAAN DAN PEMBIAYAAN REFORMA AGRARIA NASIONAL NOMOR 5 TAHUN 2007 STRUKTUR ORGANISASI BADAN PENGELOLAAN DAN PEMBIAYAAN REFORMA AGRARIA REGIONAL, CABANG DAN RANTING

2.

NOMOR 1 TAHUN 2007 PENUNJUKAN DAN PENGANGKATAN ANGGOTA SENAT SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL

3. NOMOR 1 TAHUN 2007 DEWAN PENYANTUN SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL (STPN)

4.

NOMOR 34TAHUN 2007 PETUNJUK TEKNIS PENANGANAN DAN PENYELESAIAN MASALAH PERTANAHAN NOMOR 158 TAHUN 2008 PENUNJUKAN STAF PELAKSANA KEGIATAN PENGELOLA DOKUMENTASI SJDI HUKUM DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TAHUN ANGGARAN 2008 KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 2 TAHUN 2008 PENGANGKATAN DALAM JABATAN FUNGSIONAL DOSEN SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 59 TAHUN 2008 LAMBANG BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2008 PAKAIAN DINAS PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1992 SUSUNAN DAN TUGAS PANITIA PEMERIKSAAN TANAH

5.

6.

NOMOR 6 TAHUN 2007 STANDAR PELAYANAN MINIMAL BAGI BADAN PENGELOLAAN DAN PEMBIAYAAN REFORMA AGRARIA NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2007 PANITIA PEMERIKSAAN TANAH

7.

8.

NOMOR 70 TAHUN 2007 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN ACEH JAYA DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 78TAHUN 2007 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BANGKA TENGAH DI PROVINSI BANGKA BELITUNG NOMOR 8 TAHUN 2007 ORGANISASI DAN TATA KERJA PUSAT PENGELOLAAN REFORMA AGRARIA NASIONAL NOMOR 1 TAHUN 2008 PEMBENTUKKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2008 PERUBAHAN PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PROGRAM PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN KECIL MELALUI KEGIATAN SERTIPIKASI HAK ATAS TANAH UNTUK PENINGKATAN AKSES PERMODALAN

9.

10. NOMOR 15 TAHUN 1992 LAGU MARS DAN HYMNE BADAN PERTANAHAN NASIONAL 11. NOMOR 4 TAHUN 1992 PENYESUAIAN HARGA GANTI RUGI TANAH KELEBIHAN MAKSIMUM DAN ABSENTEE/GUNTAI 12. NOMOR 8 TAHUN 1992 PENYEDIAAN DAN PEMBERIAN HAK GUNA BANGUNAN INDUK PARSIAL ATAS TANAH UNTUK KEPERLUAN PERUSAHAAN KAWASAN INDUSTRI, DAN PEMECAHANNYA UNTUK PERUSAHAAN INDUSTRI

143

13. NOMOR 10 TAHUN 1993 TATA CARA PENGGANTIAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH

NOMOR 3 TAHUN 2008 PETUNJUK TEKNIS PROGRAM PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN KECIL MELALUI KEGIATAN SERTIPIKASI HAK ATAS TANAH UNTUK PENINGKATAN AKSES PERMODALAN NOMOR 4 TAHUN 2008 URAIAN TUGAS SUBBAGIAN, SEKSI DAN SUBBIDANG DILINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

14. NOMOR 13 TAHUN 2000 PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK PADA DAERAH UJI COBA DI WILAYAH KERJA KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN MALANG DAN KANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA TANGERANG 15. NOMOR 24 TAHUN 2002 KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR 16. NOMOR 25 TAHUN 2002 PEDOMAN PELAKSANAAN PERMOHONAN PENEGASAN TANAH NEGARA MENJADI OBYEK PENGATURAN PENGUASAAN TANAH/LANDREFORM 17. NOMOR 1 TAHUN 2003 TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL 18. NOMOR 2 TAHUN 2003 NORMA DAN STANDAR MEKANISME KETATALAKSANAAN KEWENANGAN PEMERINTAH DI BIDANG PERTANAHAN YANG DILAKSANAKAN OLEH PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA 19. NOMOR 1 TAHUN 2006 PEMBERIAN PENGHARGAAN BERUPA SERTIPIKAT/PIAGAM DAN PLAKAT KEPADA GUBERNUR, BUPATI DAN ATAU WALIKOTA 20. NOMOR 14 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL PROVINSI KEPULAUAN RIAU

NOMOR 5 TAHUN 2008 URAIAN TUGAS SUBBAGIAN DAN SEKSI PADA KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL DAN URAIAN TUGAS URUSAN DAN SUBSEKSI PADA KANTOR PERTANAHAN

NOMOR 6 TAHUN 2008 PENYEDERHANAAN DAN PERCEPATAN STANDAR PROSEDUR OPERASI PENGATURAN DAN PELAYANAN PERTANAHAN UNTUK JENIS PELAYANAN PERTANAHAN TERTENTU

NOMOR 1 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOMOR 18 TAHUN 2009LARASITA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BUTON UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOMOR 23 TAHUN 2009PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH NOMOR 3 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SUMBA TENGAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN NAGEKEO PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BENGKULU TENGAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 7 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN KEPULAUAN

21. NOMOR 15 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN MELAWI DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT 22. NOMOR 16 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SEKADAU DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT 23. NOMOR 17 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN KEPAHIANG DI PROVINSI BENGKULU 24. NOMOR 18 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BOMBANA DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA 25. NOMOR 19 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SAMOSIR

144

DI PROVINSI SUMATERA UTARA 26. NOMOR 2 TAHUN 2006 PENDELEGASIAN WEWENANG PENYESUAIAN GAJI POKOK PEGAWAI NEGERI SIPIL 27. NOMOR 21 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN NAGAN RAYA DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM 28. NOMOR 20 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SELUMA DI PROVINSI BENGKULU 29. NOMOR 3 TAHUN 2006 PEMBERIAN PENGHARGAAN BHUMI BHAKTI ADHIGUNA KEPADA PARA GUBERNUR, BUPATI DAN ATAU WALIKOTA 30. NOMOR 4 TAHUN 2006 PENETAPAN FORMASI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH 31.

ANAMBAS PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 9 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KOTA SURABAYA DI PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2010 STANDAR PELAYANAN DAN PENGATURAN PERTANAHAN

NOMOR 2 TAHUN 2010 PENANGANAN PENGADUAN MASYARAKAT

NOMOR 3 TAHUN 2010 LOKET PELAYANAN PERTANAHAN

NOMOR 4 TAHUN 2010 TATA CARA PENERTIBAN TANAH TERLANTAR NOMOR 6 TAHUN 2010 PENANGANAN BENCANA DAN PENGEMBALIAN HAK-HAK MASYARAKAT ATAS ASET TANAH DI WILAYAH BENCANA NOMOR 1 TAHUN 1992 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN UANG PEMASUKAN TANAH-TANAH OBYEK LANDREFORM NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 2006 NOMOR 2 TAHUN 2006 POLA KARIER PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL DAN KANTOR PERTANAHAN NOMOR 5 TAHUN 2006 STAF KHUSUS MEKANISME DAN TATA KERJA

32.

33.

34.

35.

36.

37.

Tabel 6.11. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
NO KEMENTRIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDINGAN ANAK KEPMEN 1 KEPMANPPPA NO. 03 TAHUN 2001 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA STAF MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PERMEN PERMENPPPA RINOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA MASYARAKAT DI BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

145

2 3

PERMENPPPA RI NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN ANAK PERMENPPPA RI NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN PERMENPPPA RI NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN PERMENPPPA RI NO. 06 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN DATA GENDER DAN ANAK

Tabel 6.12. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Sosial


NO KEPMEN 1 KEPMEN RI NO.56B 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DI 50 KABUPATEN DAERAH TERTINGGAL KEPMEN RI NO.15A 2010 TAHUN 2010 TETANG PANDUAN UMUM PROGRAM KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK KEPMEN RI NO. 30 2010 TENTANG UNIT KERJA PERCEPATAN DAN PENGENDALIAN PROGRAM KEMENTERIAN SOSIAL (UKP3KS) TAHUN 2010 KEPMEN RI NO.10 2005 TENTANG PENETAPAN PANITIA PEMBINA ILMIAH DEPARTEMEN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPMEN RI NO.01 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PANITIA PEMBINA ILMIAH PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL KEPMEN RI NO.01 2004 TENTANG LOGO FORUM KOMUNIKASI TAMAN PENITIPAN ANAK DAN KELOMPOK BERMAIN KEMENTRIAN SOSIAL PERMEN PERMENSOS RI.NO.37 TAHUN 2010 TENTANG TIM PIPA TENTANG TIM PERTIMBANGAN PERIZINAN PENGANGKATAN ANAK PUSAT PERMENSOS NO. 12 2009 TENTANG PETUJUK PENGGUNAAN LAMBANG/LOGO DEPSOS RI

PERMENSOS RI NO. 110 TAHUN 2009 TENTANG PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK

PERMENSOS RI NO. 111 2009 TENTANG INDIKATOR KINERJA PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

PERMENSOS RI NO. 129 2008 TENTANG STANDARD PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG SOSIAL DAERAH PROVINSI DAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

Tabel 6.13. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian


KEMENTRIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NO 1. KEPMEN KEPUTUSAN BERSAMA MENAG, MENAKERTRANS, DAN MENPAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 2009 NOMOR : SKB/13/M.PAN/8/2009 NOMOR : KEP.227/MEN/VIII/2009 TENTANG HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2009 PERMEN PERMENAKERTRANS NOMOR PER.14/MEN/X/2010 TENTANG PELAKSANAAN PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

146

2.

KEPMENAKERTRANS NOMOR KEP.157/MEN/V/2009 TENTANG PENUNJUKAN PEJABAT PENERBIT IZIN PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI UNTUK KEPENTINGAN PERUSAHAAN SENDIRI

PERATURAN BERSAMA MENAKERTRANS NOMOR : PER.13/MEN/IX/2010 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN BERSAMA MENAKERTRANS NOMOR PER.13/MEN/VII/2008 TENTANG PENGOPTIMALAN BEBAN LISTRIK MELALUI PENGALIHAN WAKTU KERJA PADA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA-BALI

3.

KEPMENAKERTRANS NOMOR KEP.156/MEN/V/2009 TENTANG PENUNJUKAN PEJABAT PENERBIT SURAT IZIN PENGERAHAN KEPMENAKERTRANS : KEP.355/MEN/X/2009 : TENTANG TATA KERJA LEMBAGA KERJASAMA (LKS) TRIPARTIT NASIONAL

PERMENAKERTRANS NOMOR PER. 12/MEN/VIII/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

4.

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.11/MEN/VII/2010 TENTANG WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT DI SEKTOR PERIKANAN PADA DAERAH OPERASI TERTENTU

5.

KEPMENAKERTRANS. NO. KEP. 113/MEN/IV/2009 : TENTANG PEMBENTUKAN TIM TEKNIS PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN SISTEM KOMPUTERISASI TENAGA KERJA DI LUAR NEGERI TA. 2009 KEPMENNAKERTRANS NO. KEP.268/MEN/XII/2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN BULAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA NASIONAL TAHUN 2009 KEPMENAKERTRANS NO. KEP.250/MEN/XII/2008 TENTANG KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK DATA DARI JENIS INFORMASI KETENAGAKERJAAN KEPMENAKERTRANS NO. KEP227/MEN/XI/2008. TENTANG PENGANGKATAN DOKTER PENASEHAT.

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.10/MEN/VII/2010 TENTANG E-GOVERNMENT DI KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

6.

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.09/MEN/VII/2010 TENTANG OPERATOR DAN PETUGAS PESAWAT ANGKAT DAN ANGKUT

7.

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.08/MEN/VII/2010 TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI

8.

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.07/MEN/V/2010 TENTANG ASURANSI TENAGA KERJA INDONESIA

9.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP. 201/MEN/IX/2008. TENTANG PENUNJUKAN PEJABAT PENERBITAN PERSETUJUAN PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI UNTUK KEPENTINGAN PERUSAHAAN SENDIRI. KEPMENAKERTRANS NO. KEP.200/MEN/IX/2008 : TENTANG PENUNJUKAN PEJABAT PENERBIT SURAT IZI PENGERAHAN.

PERMENAKERTRANS NOMOR : PER.05/MEN/III/2010 TENTANG BANTUAN KEUANGAN BAGI TENAGA KERJA PESERTA PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

10.

PERMENAKERTRANS : NOMOR PER. 03 /MEN/I/2010 : TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TAHUN 20102014

147

11.

KEPUTUSAN BERSAMA NO : 01 TAHUN 2008 NO: KEP.24/MEN/II/2008. NO : SKB/01/M.PAN/2/2008

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.02/MEN/I/2010 TENTANG TATA CARA PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU KEANGGOTAAN LEMBAGA KERJA SAMA (LKS) TRIPARTIT NASIONAL

12.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.258/MEN/VI/2007 BIAYA PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA NEGARA TUJUAN REPUBLIK KOREA

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.25/MEN/IX/2009 TENTANG TINGKAT PERKEMBANGAN PERMUKIMAN TRANSMIGRASI DAN KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN

13.

KEPBERSAMA. NO.55 TAHUN 2007, KEPMEN. NO.222/MEN/V//2007, SKB. NO.03/M.PAN/5/2007 : TENTANG HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2008

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.23/MEN/IX/2009 TENTANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KERJA BAGI CALON TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

14.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.258/MEN/VI/2007 : TENTANG BIAYA PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN CALON TENAGA KERJA INDONESIA NEGARA TUJUAN REPUBLIK KOREA.

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.22/MEN/IX/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMAGANGAN DI DALAM NEGERI

15.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.110/MEN/II/2007 : TENTANG PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA (POKJA) PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN KOTA TERPADU MANDIRI.

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.21/MEN/IX/2009 TENTANG PEDOMAN PELAYANAN PRODUKTIVITAS

16.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.14/MEN/I/2005. : TENTANG TIM PENCEGAHAN PEMBERANGKATAN TKI NON PROSEDURAL DAN PELAYANAN DAN PELAYANAN PEMULANGAN TKI

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.19/MEN/IX/2009 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI KETENAGAKERJAAN

17.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.11/MEN/I/2005. : TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN LEMBAGA AKREDITAS LEMBAGA PELATIHAN KERJA

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.18/MEN/VIII/2009 TENTANG BENTUK, PERSYARATAN, DAN TATA CARA MEMPEROLEH KARTU TENAGA KERJA LUAR NEGERI

18.

KEPUTUSAN BERSAMA NO : 407 TAHUN 2005, NO: KEP.185/MEN/VII/2005, NO : SKB/02/M.PAN/7/2005. : TENTANG HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2006

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.17/MEN/VIII/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBEKALAN AKHIR PEMBERANGKATAN TENAGA KERJA INDONESIA KE LUAR NEGERI

148

19.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.14/MEN/I/2005. : TENTANG TIM PENCEGAHAN PEMBERANGKATAN TKI NON PROSEDURAL DAN PELAYANAN PEMULANGAN TKI

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.16/MEN/VIII/2009 TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT IZIN PENGERAHAN CALON TENAGA KERJA INDONESIA KE LUAR NEGERI BAGI PELAKSANA PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA SWASTA

20.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.11/MEN/I/2005. : TENTANG PEMBENTUKAN DAN PENETAPAN SUSUNAN KEANGGOTAAN LEMBAGA AKREDITAS LEMBAGA PELATIHAN KERJA

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.15/MEN/VIII/2009 TENTANG PENCABUTAN PERMENAKERTRANS NOMOR PER.22/MEN/XII/2008 TENTANG PELAKSANAAN PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

21.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.102/MEN/VI/2004 : TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR

PEMENAKERTRANS NOMOR PER.12/MEN/VI/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENAKERTRANS NOMOR PER. 03/MEN/III/2008 TENTANG PERAN SERTA BADAN USAHA DALAM PELAKSANAAN TRANSMIGRASI

22.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP. 101/MEN/VI/2004 : TENTANG TATA CARA PERIJINAN PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA / BURUH.

PEMENAKERTRANS NOMOR PER.11/MEN/V/2009 TENTANG TATA CARA PEMANTAUAN DAN EVALUASI PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN

23.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.100/MEN/2004 : TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU.

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.10/MEN/V/2009 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN, PERPANJANGAN DAN PENCABUTAN SURAT IZIN PELAKSANA PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA

24.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP. 51/MEN/2004 : TENTANG ISTIRAHAT PANJANG PADA PERUSAHAAN TERTENTU.

PEMENAKERTRANS NOMOR PER.09/MEN/V/2009 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN KANTOR CABANG PELAKSANA PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA SWASTA

25.

KEPMENAKERTRANS NOMOR : KEP.49/MEN/2004 TENTANG KETENTUAN STRUKTUR DAN SKALA UPAH

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.07/MEN/III/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENAKERTRANS NOMOR PER. 26/MEN/XII/2008 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

26.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.48/MEN/2004 : TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.06/MEN/III/2009 TENTANG PERUBAHAN PERMENAKERTRANS NOMOR 12/MEN/VI/2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENDAFTARAN KEPESERTAAN, PEMBAYARAN IURAN, PEMBAYARAN SANTUNAN, DAN PELAYANAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

149

27.

KEP.KA BSN NO. 28/KEP/BSN/XI/2004 : TENTANG PENETAPAN 10 (SEPULUH) STANDAR NASIONAL INDONESIA.

PERMENAKERTRANS NOMOR PER. 05/MEN/II/2009 TENTANG PELAKSANAAN PENYIAPAN CALON TKI UNTUK BEKERJA DI LUAR NEGERI

28.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.49/MEN/2004 : TENTANG KETENTUAN STRUKTUR DAN SKALA UPAH.

PERMENAKERTRANS NOMOR PER. 04/MEN/II/2009 TENTANG PENCABUTAN KEPMENAKER NOMOR KEP27/MEN/2000 TENTANG PROGRAM SANTUNAN PEKERJA PERUSAHAAN JASA PENUNJANG PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI

29.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.67/MEN/2004 : TENTANG PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA BAGI TENAGA KERA ASING

PERMENAKERTRANS NOMOR PER. 03/MEN/II/2009 TENTANG PEDOMAN PENYAJIAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN

30.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.68/MEN/2004 : TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI TEMPAT KERJA.

PERMENAKERTRANS NOMOR PER. 02/MEN/II/2009 TENTANG PENCABUTAN KEPMENAKER DAN BEBERAPA KEPMENAKERTRANS MENGENAI AKREDITASI, SERTIFIKASI, PEDOMAN KONVENSI, DAN KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA

31.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.69/MEN/2004 : TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENAKERTRANS RI TENTANG TATA CARA PENETAPAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL

PERMENAKERTRANS NOMOR PER. 01/MEN/I/2009 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN METODA STATISTIKA KETENAGAKERJAAN

32.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.80/MEN/V/2004 : TENTANG PENEMPATAN TKI DALAM KENDALI ALOKASI KE SINGAPURA.

PERMENAKERTRANS NO.PER.08/MEN/IV/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI KETRANSMIGRASIAN

33.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.92/MEN/VI/2004 : TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN MEDIATOR SERTA TATA KERJA MEDIASI.

PERMENNAKERTRANS NO. PER.03/MEN/II/2009. : TENTANG PEDOMAN PENYAJIAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN.

34.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.96A/MEN/VI/2004 : TENTANG PEDOMAN PENYIAPAN DAN AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI

PERMENAKERTRANS : N0.PER-28/MEN/XII/2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERMENAKERTRANS NOMOR. PER.05/MEN/IV/2007. TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI.

150

35.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.115/MEN/VII/2004 : TENTANG PERLINDUNGAN BAGI ANAK YANG MELAKUKAN PEKERJAAN UNTUK MENGEMBANGKAN BAKAT DAN MINAT

PERMENAKERTRANS NO.PER-28/MEN/XII/2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERMENAKERTRANS NOMOR. PER-05/MEN/IV/2007. TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPNAKERTRANS.

36.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.135/MEN/VIII/2004 AKREDITASI LEMBAGA PROFESI PARIWISATA

TENTANG SERTIFIKASI

PERMENNAKERTRANS. NO. PER.15/MEN/VIII/2008 : TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA.

37.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.186/MEN/IX/2004 : TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI KETRANSMIGRASIAN

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.24/MEN/XII/2008 TENTANG METODE PERHITUNGAN PERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN TENAGA KERJA

38.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.187/MEN/IX/2004 : TENTANG IURAN ANGGOTA SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.32/MEN/XII/2008 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN LEMBAGA KERJA SAMA BIPARTIT

39.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.220/MEN/X/2004 : TENTANG SYARATSYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN.

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.31/MEN/XII/2008 TENTANG PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT

40.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.261/MEN/XI/2004 : TENTANG PERUSAHAAN YANG WAJIB MELAKSANAKAN PELATIHAN KERJA.

PERMENAKERTRANS NOMOR PER.25/MEN/XII/2008 TENTANG PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENILAIAN CACAT KARENA KECELAKAAN DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA

41.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.282/MEN/XII/2004 : TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI

PERMENAKERTRANS NOMOR. PER.18/MEN/XI/2008. TENTANG PENYELENGGARA AUDIT SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA.

42.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP. 255/MEN/2003 : TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT.

PERMENAKERTRANS NOMOR. PER.17/MEN/XI/2008. TENTANG PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN, DAN TATA CARA KERJA DOKTER PENASEHAT.

151

43.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.235/MEN/2003 : TENTANG JENIS-JENIS PEKERJAAN YANG MEMBAHAYAKAN KESEHATAN, KESELAMATAN ATAU MORAL ANAK.

PERMENAKERTRANS NOMOR : PER. 04/MEN/III/2008 : PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN TRANSMIGRASI.

44.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP. 234/MEN/2003 : TENTANG WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT PADA SEKTOR USAHA ENERGI DAN SUMBER DAYA MENERAL PADA DAERAH TERTENTU.

PERMENAKERTRANS NO. PER.14/MEN/VIII/2008 : TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENAKERTRANS N0. PER.05/MEN/IV/2007. TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPNAKERTRANS.

45.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.233/MEN/2003 : TENTANG JENIS DAN SIFAT PEKERJAAN YANG DIJALANKAN SECARA TERUS MENERUS.

PERMENAKERTRANS NOMOR. PER.09/MEN/V/2008 : TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI SWAKARSA MANDIRI.

46.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.232/MEN/2003 : TENTANG AKIBAT HUKUM MOGOK KERJA YANG TIDAK SAH.

PERATURAN MENTERI NO. PER/03/MEN/III/2008 : TENTANG PERAN SERTA BADAN USAHA DALAM PELAKSANAAN TRANSMIGRASI.

47.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.231/MEN/2003 : TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM.

PERMENAKERTRANS NOMOR.PER.08/MEN/V/2008 TATA CARA PERIZINAN DAN PENYELENGGARAAN PEMAGANGAN DI LUAR NEGERI

48.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.230/MEN/2003 : TENTANG GOLONGAN DAN JABATAN TERTENTU YANG DAPAT DIPUNGUT BIAYA PENEMPATAN TENAGA KERJA.

PERATURAN MENTERI NO.07 TAHUN 2008 TENTANG PENEMPATAN TENAGA KERJA

49.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.227/MEN/2003 : TENTANG TATA CARA PENETAPAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA.

PERATURAN MENTERI NOMOR. PER.02/MEN/III/2008 : TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

50.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.225/MEN/2003 : TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA AKREDITASI LEMBAGA PELATIHAN KERJA

PERMENAKERTRANS NOMOR. TATA CARA PEMBENTUKAN PELAKSANA PENEMPATAN INDONESIA SWASTA

PER.37/MEN/XII/2006 KANTOR CABANG TENAGA KERJA

152

51.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.224/MEN/2003 : TENTANG KEWAJIBAN PENGUSAHA YANG MEMPEKERJAKAN PEKERJA/BURUH PEREMPUAN ANTARA PUKUL 23.00 S/D 07.00

PERATURAN BERSAMA MENTERI NO. PER.23/MEN/XI/2007 : TENTANG PELEPASAN KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN TRANSMIGRASI.

52.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.223/MEN/2003 : TENTANG JABATAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN YANG DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN MEMBAYAR KOMPENSASI.

PERMENAKERTRANS NOMOR. PER.22/MEN/X/2007 : TENTANG PEMBENTUKAN UNIT PERMUKIMAN TRANSMIGRASI.

53.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.182/MEN/2003 : TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PROGRAM DAN ANGGARAN PEMBANGUNAN TAHUNAN BIDANG KETRANSMIGRASIAN.

PERMENAKERTRANS NOMOR. PER. 20/MEN/X/2007. : TENTANG ASURANSI TENAGA KERJA INDONESIA.

54.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.219/MEN/2003 : TENTANG AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI TEKNISI OTOMOTIF INDONESIA.

PERATURAN MENTERI NO. PER.18/MEN/IX/2007. : TENTANG PELAKSANAAN PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI DI LUAR NEGERI.

55.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP.220/MEN/2003 : TENTANG AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI LOGAM DAN MESIN INDONESIA.

PERATURAN MENTERI NO. PER.17/MEN/VI/2007. : TENTANG TATA CARA PERIZINAN DAN PENDAFTARAN LEMBAGA PELATIHAN KERJA.

56.

KEPMENAKERTRANS NO.KEP.221/MEN/2003 : TENTANG AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI PERSEMENAN INDONESIA.

PERATURAN MENTERI NO. PER.15/MEN/VI/2007 : TENTANG PENYIAPAN PERMUKIMAN TRANSMIGRASI

57.

KEPMEN NAKERTRANS NO. KEP. 174/MEN/2002 : TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) NO. SNI-04-0225-2000 MENGENAI PERSYARATAN UMUM INSTALASI LISTRIK 2000 (PUIL 2000) DI TEMPAT KERJA KEPMEN NAKERTRANS NO. 109/MEN/2002 : TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN. KEP. TIM

PERATURAN MENTERI NO. PER.12/MEN/VI/2007 : TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENDAFTARAN KEPESERTAAN PEMBAYARAN IURAN, PEMBAYARAN SANTUNAN DAN PELAYANAN JAMSOSTEK.

58.

PERMENAKERTRANS NOMOR. PER.33A/MEN/XII/2006 TENTANG SISTEM PELAPORAN BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

153

59.

KEPMEN NAKERTRANS NO. KEP. 23/KEP/2002 : TENTANG POKOK-POKOK PENGAWASAN DI BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN.

PERATURAN MENTERI NO. PER. 38/MEN/XII/2006. : TENTANG TATA CARA PEMBERIAN, PERPANJANGAN DAN PENCABUTAN IZIN PELAKSANAAN PENEMPATAN TKI.

60.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP. 17/MEN/2002 : TENTANG PEDOMAN SISTEM PELAPORAN BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN.

PERATURAN MENTERI NO. PER. 37/MEN/XII/2006. : TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN KANTOR CABANG PELAKSANAAN PENEMPATAN TENGA KERJA INDONESIA SWASTA.

61.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP. 201/MEN/2001 : TENTANG KETERWAKILAN DALAM KELEMBAGAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL.

PERATURAN MENTERI NO. PER. 21/MEN/X/2005. : TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM PEMAGANGAN.

62.

KEPMENAKERTRANS NO. KEP. 148/MEN/2001 : TENTANG PENGGUNAAN DAN PENGEMBANGAN KEAHLIAN DAN KETRAMPILAN TKI.

PERATURAN MENTERI NO. PER.17/MEN/VIII/2005. : TENTANG KOMPONEN DAN PELAKSANAAN TAHAPAN PENCAPAIAN KEBUTUHAN HIDUP LAYAK.

63.

KEPMENAKERTRANS NO. 16/MEN/2001 : TENTANG CARA PENCATATAN SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH.

PERATURAN MENTERI NO. PER. 15/MEN/VII/2005. TENTANG WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT PADA SEKTOR USAHA PERTAMBANGAN UMUM PADA DAERAH OPERASI TERTENTU.

64.

KEPMENDAGRI NO. KEP. 05/MENDAGRI/2001 : TENTANG PENANGGULANGAN PEKERJA ANAK.

PERMENNAKER NO.PER.01/MEN/II/1998 : TENTANG PENYELENGGARAAN PEMELIHARAAN KESEHATAN BAGI TENAGA KERJA DENGAN MANFAAT LEBIH BAIK DARI PAKET JAMINAN PEMELIHARAAN DASAR JAMSOSTEK.

65.

KEPMEN TENAGA KERJA NO. KEP. 173/MEN/2000 : TENTANG JANGKA WAKTU IJIN MEMPEKERJAKAN TKW NEGARA ASING PENDATANG.

PERMENAKER NOMOR :PER-04/MEN/1994 TENTANG TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN

66.

KEPMEN TENAGA KERJA NO. KEP. 172/MEN/2000 : TENTANG PENUNJUKAN PEJABAT PEMBERI IJIN MEMPEKERJAKAN TKW NEGARA ASING PENDATANG PEKERJAAN YANG BERSIFAT SEMENTARA ATAU MENDESAK

154

67.

68.

69.

70.

KEPMEN TENAGA KERJA NO. KEP.170/MEN/2000 : TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA NO. KEP.204A/MEN/1991 TENTANG PELIMPAHAN WEWENANG PEMBERIAN IJIN KERJA TENAGA KERJA WARGA NEGARA ASING PENDATANG DAN PENYIMPANGAN WAKTU KERJA BAGI TENAGA KERJA YANG BEKERJA DI KAWASAN BERIKAT YANG DIKELOLA OLEH PT. (PERSERO) KAWASAN BERIKAT NUSANTARA (PT. KBN) DAN PT. (PERSERO) PENGELOLA KAWASAN BERIKAT INDONESIA ( PT. K B I ) KEPMEN TENAGA KERJA NO. KEP. 167/MEN/2000 : TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA NO. KEP. 208/MEN/1992 TENTANG PROSEDUR PEMBERIAN IJIN MEMPEKERJAKAN TKW NEGARA ASING PENDATANG DAN ELIMPAHAN WEWENANG KEPADA KEPALA KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN TENAGA KERJA, KEPALA KANTOR WILAYAH DEPPARPOSTEL, DIREKSI PT. (PERSERO) KAWASAN BERIKAT NUSANTARA, DIREKSI PT. (PERSERO) PENGELOLA KAWASAN BERIKAT INDONESIA DAN KETUA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL DAERAH KEPMEN TENAGA KERJA NO. KEP.168/MEN/2000 : TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA NO. KEP.1897/MEN/1987 TENTANG PELIMPAHAN WEWENANG PEMBERIAN IJIN PENGGUNAAN LIFT, IJIN PENGGUNAAN BOILER, DAN IJIN KERJA MALAM, KELEBIHAN JAM KERJA DAN WAKTU LIBUR SERTA IJIN PENGGUNAAN TENAGA KERJA WARGA NEGARA ASING DALAM BIDANG PARIWISATA KHUSUS UNTUK HOTEL, WISATA BAHARI DAN OBJEK WISATA KEPADA MENTERI PARIWISATA, POS DAN TELEKOMUNIKASI. KEPMEN TRANSMIGRASI DAN PPH NO. KEP. 06/MEN/1999 : TENTANG TINGKAT PERKEMBANGAN PERMUKIMAN TRANSMIGRASI DAN KESEJAHTERAAN.

71.

KEPMEN TENAGA KERJA RI NO. KEP. 205/MEN/1999 : TENTANG PELATIHAN KERJA DAN PENEMPATAN TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT.

72.

KEPMEN TRANSMIGRASI DAN PPH NO. KEP. 96/MEN/1998 : TENTANG PENGEMBANGAN PERMUKIMAN TRANSMIGRASI POLA PERIKANAN.

155

73.

KEPMEN TENAGA KERJA NO. KEP.15A/MEN/1994 : TENTANG PETUNJUK PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL & PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI TINGKAT PERUSAHAAN DAN PEMERANTARAAN KEPMEN TRANSMIGRASI NO. KEP.27/MEN/1987 : TENTANG TATA CARA PENGADAAN PEKERJAAN PENYIAPAN PERMUKIMAN UNTUK PROYEK PIR.

74.

Tabel 6.14. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
NO
1 KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH KEPMEN PERMEN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 29/KEP/M.KUKM/III/2007, TANGGAL 16 MARET 2007, TENTANG PENGANGKATAN KETUA DAN ANGGOTA DEWAN PENGAWAS PADA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 21/KEP/M.KUKM/VII/2008, TENTANG PENDELEGASIAN KEWENANGAN PENGELOLAAN DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 178/KEP/M.KUKM/XII/2006, TANGGAL 29 DESEMBER 2006, TENTANG PENGANGKATAN DIREKSI PADA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH. KEPUTUSAN MENTERI KOPERASI DAN PEMBINAAN PENGUSAHA KECILREPUBLIK INDONESIA NOMOR: 361/KEP/M/II/1998 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGGABUNGAN DAN PELEBURAN KOPERASI PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/PER/M.KUKMI/I/2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PROGRAM PEMBIAYAAN PRODUKTIF KOPERASI DAN USAHA MIKRO (P3KUM) POLA SYARIAH PERATURAN DEPUTI MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH BIDANG PENGEMBANGAN DAN RESTRUKTURISASI USAHA NOMOR: 01/PER/DEP.6/VI/2010 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PROGRAM BANTUAN PENGEMBANGAN KOPERASI DI BIDANG RESTRUKTURISASI USAHA PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 35.3/PER/M.KUKM/X/2007 TENTANG PEDOMAN PENILAIAN KESEHATAN KOPERASI JASA KEUANGAN SYARIAH DAN UNIT JASA KEUANGAN SYARIAH KOPERASI PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI, DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/PER/M.KUKM/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA SIMPAN PINJAM OLEH KOPERASI

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 29/KEP/M.KUKM/III/2007, TANGGAL 16 MARET 2007, TENTANG PENGANGKATAN KETUA DAN ANGGOTA DEWAN PENGAWAS PADA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH.

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 03/PER/M.KUKM/VI/2010 TENTANG PEDOMAN PROGRAM BANTUAN PENGEMBANGAN KOPERASI MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA

156

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 21/KEP/M.KUKM/VII/2008, TENTANG PENDELEGASIAN KEWENANGAN PENGELOLAAN DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH. KEPUTUSAN DEPUTI MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH BIDANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA NOMOR : 04 /KEP/DEP.5/IV/2010 TENTANG KETENTUAN TEKNIS PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN TEMPAT PRAKTEK KETERAMPILAN USAHA PADA LEMBAGA PENDIDIKAN PERDESAAN DEPUTI MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 21/PER/M.KUKM/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN KOPERASI SIMPAN PINJAM DAN UNIT SIMPAN PINJAM KOPERASI MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA Nomor : 19/Per/M.KUKM/III/2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH Nomor : 18/Per/M.KUMK/VII/2006 TENTANG PEDOMAN TEKNIS BANTUAN PERKUATAN DALAM BIDANG PRODUKSI KEPADA KOPERASI

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 34/KEP/M.KUKM/VI/2004, TANGGAL 10 JUNI 2004, TENTANG TIM PENYUSUNAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM TENTANG PENGATURAN PENGELOLAAN DANA BERGULIR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO DAN KECIL. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 119.1/KEP/M.KUKM/X/2004, TANGGAL 1 OKTOBER 2004, TENTANG PEMBENTUKAN LAYANAN DANA BERGULIR.

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 39/PER/M.KUKM/XII/2007 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN KOPERASI JASA KEUANGAN SYARIAH DAN UNIT JASA KEUANGAN SYARIAH KOPERASI

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECILN DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 35.3/PER/M.KUKM/X/2007 TENTANG PEDOMAN PENILAIAN KESEHATAN KOPERASI JASA KEUANGAN SYARIAH DAN UNIT JASA KEUANGAN SYARIAH KOPERASI

10

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 70/KEP/M.KUKM/VIII/2005, TANGGAL 2 AGUSTUS 2005, TENTANG PEMBENTUKAN TIM PERSIAPAN BADAN LAYANAN UMUM (BLU) DANA BERGULIR.

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 14/Per/M.KUKM/XII/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH NOMOR 20/Per/M.KUKM/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENILAIAN KESEHATAN KOPERASI SIMPAN PINJAM DAN UNIT SIMPAN PINJAM KOPERASI PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/per/M.KUKMI/I/2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PROGRAM PEMBIAYAAN PRODUKTIF KOPERASI DAN USAHA MIKRO (P3KUM) POLA SYARIAH

11

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 109.1/KEP/M.KUKM/VIII/2006, TANGGAL 23 AGUSTUS 2006, TENTANG PENGANGKATAN DIREKTUR UTAMA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH.

157

12

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 178/KEP/M.KUKM/XII/2006, TANGGAL 29 DESEMBER 2006, TENTANG PENGANGKATAN DIREKSI PADA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH.

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA Nomor : 25/Per/M.KUKM/V/2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PROGRAM PERKUATAN PERMODALAN BAGI KOPERASI FUNGSIONAL

13

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA URUSAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH NOMOR : 20/KEP/MENEG/XI/2000 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH YANG WAJIB DILAKUKAN KABUPATEN/KOTA

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 08/Per/M.KUKM/II/2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PROGRAM PEMBIAYAAN PRODUKTIF KOPERASI DAN USAHA MIKRO (P3KUM) POLA KONVENSIONAL

14

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 104.1/Kep/M.KUKM/X/2002 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBENTUKAN,PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN DAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR KOPERASI

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 30/Per/M.KUKM/VIII/2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PERKUATAN PERMODALAN KOPERASI, USAHA KECIL DAN MENENGAH, DAN LEMBAGA KEUANGANNYA DENGAN PENYEDIAAN MODAL AWAL DAN PADANAN MELALUI LEMBAGA MODAL VENTURA

15

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA URUSAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH NOMOR : 20/KEP/MENEG/XI/2000 TENTANG

16

PEDOMAN PENETAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH YANG WAJIB DILAKUKAN KABUPATEN/KOTA

17

18

KEPMEN KOPERASI DAN UKM NOMOR 20/KEP/MENEG/XI/2000 KEPUTUSAN MENTERI KOPERASI DAN UKM TENTANG PEDOMAN PENETAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH YANG WAJIB DILAKUKAN KABUPATEN/KOTA KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 34/KEP/M.KUKM/VI/2004, TANGGAL 10 JUNI 2004, TENTANG TIM PENYUSUNAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM TENTANG PENGATURAN PENGELOLAAN DANA BERGULIR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO DAN KECIL.

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 19.2/PER/M.KUKM/VIII/2006, TANGGAL 15 AGUSTUS 2006, TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM NOMOR: 70/KEP/MENEG/XII/2001, TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 19.4/PER/M.KUKM/VIII/2006, TANGGAL 18 AGUSTUS 2006, TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH. PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 21/PER/M.KUKM/IX/2006, TANGGAL 29 SEPTEMBER 2006, TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM BAGI LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH. PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/Per/M.KUKM/VIII/2006 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PERKUATAN PERMODALAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DI KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA

158

19

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 119.1/KEP/M.KUKM/X/2004, TANGGAL 1 OKTOBER 2004, TENTANG PEMBENTUKAN LAYANAN DANA BERGULIR.

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01/Per/M.KUKM/I/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBENTUKAN,PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN DAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR KOPERASI

20

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 70/KEP/M.KUKM/VIII/2005, TANGGAL 2 AGUSTUS 2005, TENTANG PEMBENTUKAN TIM PERSIAPAN BADAN LAYANAN UMUM (BLU) DANA BERGULIR.

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/Per/M.KUKM/VIII/2006 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PERKUATAN PERMODALAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DI KAWASAN INDUSTRI

21

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 109.1/KEP/M.KUKM/VIII/2006, TANGGAL 23 AGUSTUS 2006, TENTANG PENGANGKATAN DIREKTUR UTAMA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH.

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA Nomor : 13 /Per/M.KUKM/VII/2006 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PROGRAM SEKURITISASI ASET KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH (KUKM)

22

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 03/PER/M.KUKM/VI/2010 TENTANG PEDOMAN PROGRAM BANTUAN PENGEMBANGAN KOPERASI MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH

23

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH NOMOR : 22/PER/M.KUKM/IV/2007 TENTANG PEDOMAN PEMERINGKATAN KOPERASI

24

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA Nomor : 03/PER/M.KUKM/VI/2010 TENTANG PEDOMAN PROGRAM BANTUAN PENGEMBANGAN KOPERASI PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR: 07/PMK.02/2006, TANGGAL 16 FEBUARI 2006, TENTANG PERSYARATAN ADMINISTRATIF DALAM RANGKA PENGUSULAN DAN PENETAPAN SATUAN KERJA INSTANSI PEMERINTAH UNTUK MENERAPKAN POLA PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM.

25

159

26

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 19.2/PER/M.KUKM/VIII/2006, TANGGAL 15 AGUSTUS 2006, TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM NOMOR: 70/KEP/MENEG/XII/2001, TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM REPUBLIK INDONESIA.

27

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 19.4/PER/M.KUKM/VIII/2006, TANGGAL 18 AGUSTUS 2006, TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH.

28

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 21/PER/M.KUKM/IX/2006, TANGGAL 29 SEPTEMBER 2006, TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM BAGI LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH.

Tabel 6.15. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Penanaman Modal


BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA No. 1 KEPKA KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 29/KEP/M.KUKM/III/2007, TANGGAL 16 MARET 2007, TENTANG PENGANGKATAN KETUA DAN ANGGOTA DEWAN PENGAWAS PADA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 21/KEP/M.KUKM/VII/2008, TENTANG PENDELEGASIAN KEWENANGAN PENGELOLAAN DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 178/KEP/M.KUKM/XII/2006, TANGGAL 29 DESEMBER 2006, TENTANG PENGANGKATAN DIREKSI PADA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH. KEPUTUSAN MENTERI KOPERASI DAN PEMBINAAN PENGUSAHA KECILREPUBLIK INDONESIA NOMOR: 361/KEP/M/II/1998 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGGABUNGAN DAN PELEBURAN KOPERASI PERKA PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/PER/M.KUKMI/I/2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PROGRAM PEMBIAYAAN PRODUKTIF KOPERASI DAN USAHA MIKRO (P3KUM) POLA SYARIAH PERATURAN DEPUTI MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH BIDANG PENGEMBANGAN DAN RESTRUKTURISASI USAHA NOMOR: 01/PER/DEP.6/VI/2010 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PROGRAM BANTUAN PENGEMBANGAN KOPERASI DI BIDANG RESTRUKTURISASI USAHA PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 35.3/PER/M.KUKM/X/2007 TENTANG PEDOMAN PENILAIAN KESEHATAN KOPERASI JASA KEUANGAN SYARIAH DAN UNIT JASA KEUANGAN SYARIAH KOPERASI PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI, DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/PER/M.KUKM/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA SIMPAN PINJAM OLEH KOPERASI

160

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 29/KEP/M.KUKM/III/2007, TANGGAL 16 MARET 2007, TENTANG PENGANGKATAN KETUA DAN ANGGOTA DEWAN PENGAWAS PADA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 21/KEP/M.KUKM/VII/2008, TENTANG PENDELEGASIAN KEWENANGAN PENGELOLAAN DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH. KEPUTUSAN DEPUTI MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH BIDANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA NOMOR : 04 /KEP/DEP.5/IV/2010 TENTANG KETENTUAN TEKNIS PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN TEMPAT PRAKTEK KETERAMPILAN USAHA PADA LEMBAGA PENDIDIKAN PERDESAAN DEPUTI MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 03/PER/M.KUKM/VI/2010 TENTANG PEDOMAN PROGRAM BANTUAN PENGEMBANGAN KOPERASI MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 21/PER/M.KUKM/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN KOPERASI SIMPAN PINJAM DAN UNIT SIMPAN PINJAM KOPERASI MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA Nomor : 19/Per/M.KUKM/III/2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH Nomor : 18/Per/M.KUMK/VII/2006 TENTANG PEDOMAN TEKNIS BANTUAN PERKUATAN DALAM BIDANG PRODUKSI KEPADA KOPERASI

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 34/KEP/M.KUKM/VI/2004, TANGGAL 10 JUNI 2004, TENTANG TIM PENYUSUNAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM TENTANG PENGATURAN PENGELOLAAN DANA BERGULIR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO DAN KECIL. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 119.1/KEP/M.KUKM/X/2004, TANGGAL 1 OKTOBER 2004, TENTANG PEMBENTUKAN LAYANAN DANA BERGULIR.

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 39/PER/M.KUKM/XII/2007 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN KOPERASI JASA KEUANGAN SYARIAH DAN UNIT JASA KEUANGAN SYARIAH KOPERASI

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECILN DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 35.3/PER/M.KUKM/X/2007 TENTANG PEDOMAN PENILAIAN KESEHATAN KOPERASI JASA KEUANGAN SYARIAH DAN UNIT JASA KEUANGAN SYARIAH KOPERASI

10

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 70/KEP/M.KUKM/VIII/2005, TANGGAL 2 AGUSTUS 2005, TENTANG PEMBENTUKAN TIM PERSIAPAN BADAN LAYANAN UMUM (BLU) DANA BERGULIR.

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 14/Per/M.KUKM/XII/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH NOMOR 20/Per/M.KUKM/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENILAIAN KESEHATAN KOPERASI SIMPAN PINJAM DAN UNIT SIMPAN PINJAM KOPERASI PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/per/M.KUKMI/I/2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PROGRAM PEMBIAYAAN PRODUKTIF KOPERASI DAN USAHA MIKRO (P3KUM) POLA SYARIAH

11

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 109.1/KEP/M.KUKM/VIII/2006, TANGGAL 23 AGUSTUS 2006, TENTANG PENGANGKATAN DIREKTUR UTAMA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH.

161

12

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 178/KEP/M.KUKM/XII/2006, TANGGAL 29 DESEMBER 2006, TENTANG PENGANGKATAN DIREKSI PADA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH.

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA Nomor : 25/Per/M.KUKM/V/2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PROGRAM PERKUATAN PERMODALAN BAGI KOPERASI FUNGSIONAL

13

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA URUSAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH NOMOR : 20/KEP/MENEG/XI/2000 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH YANG WAJIB DILAKUKAN KABUPATEN/KOTA

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 08/Per/M.KUKM/II/2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PROGRAM PEMBIAYAAN PRODUKTIF KOPERASI DAN USAHA MIKRO (P3KUM) POLA KONVENSIONAL

14

15

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 104.1/Kep/M.KUKM/X/2002 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBENTUKAN,PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN DAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR KOPERASI KEPUTUSAN MENTERI NEGARA URUSAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH NOMOR : 20/KEP/MENEG/XI/2000 TENTANG

16

PEDOMAN PENETAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH YANG WAJIB DILAKUKAN KABUPATEN/KOTA

17

18

KEPMEN KOPERASI DAN UKM NOMOR 20/KEP/MENEG/XI/2000 KEPUTUSAN MENTERI KOPERASI DAN UKM TENTANG PEDOMAN PENETAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH YANG WAJIB DILAKUKAN KABUPATEN/KOTA KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 34/KEP/M.KUKM/VI/2004, TANGGAL 10 JUNI 2004, TENTANG TIM PENYUSUNAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM TENTANG PENGATURAN PENGELOLAAN DANA BERGULIR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO DAN KECIL.

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 30/Per/M.KUKM/VIII/2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PERKUATAN PERMODALAN KOPERASI, USAHA KECIL DAN MENENGAH, DAN LEMBAGA KEUANGANNYA DENGAN PENYEDIAAN MODAL AWAL DAN PADANAN MELALUI LEMBAGA MODAL VENTURA PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 19.2/PER/M.KUKM/VIII/2006, TANGGAL 15 AGUSTUS 2006, TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM NOMOR: 70/KEP/MENEG/XII/2001, TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 19.4/PER/M.KUKM/VIII/2006, TANGGAL 18 AGUSTUS 2006, TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH. PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 21/PER/M.KUKM/IX/2006, TANGGAL 29 SEPTEMBER 2006, TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM BAGI LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH. PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/Per/M.KUKM/VIII/2006 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PERKUATAN PERMODALAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DI KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA

162

19

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 119.1/KEP/M.KUKM/X/2004, TANGGAL 1 OKTOBER 2004, TENTANG PEMBENTUKAN LAYANAN DANA BERGULIR.

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01/Per/M.KUKM/I/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBENTUKAN,PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN DAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR KOPERASI

20

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 70/KEP/M.KUKM/VIII/2005, TANGGAL 2 AGUSTUS 2005, TENTANG PEMBENTUKAN TIM PERSIAPAN BADAN LAYANAN UMUM (BLU) DANA BERGULIR.

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/Per/M.KUKM/VIII/2006 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PERKUATAN PERMODALAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DI KAWASAN INDUSTRI

21

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 109.1/KEP/M.KUKM/VIII/2006, TANGGAL 23 AGUSTUS 2006, TENTANG PENGANGKATAN DIREKTUR UTAMA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH.

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA Nomor : 13 /Per/M.KUKM/VII/2006 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PROGRAM SEKURITISASI ASET KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH (KUKM)

22

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 03/PER/M.KUKM/VI/2010 TENTANG PEDOMAN PROGRAM BANTUAN PENGEMBANGAN KOPERASI MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH

23

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH NOMOR : 22/PER/M.KUKM/IV/2007 TENTANG PEDOMAN PEMERINGKATAN KOPERASI

24

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA Nomor : 03/PER/M.KUKM/VI/2010 TENTANG PEDOMAN PROGRAM BANTUAN PENGEMBANGAN KOPERASI PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR: 07/PMK.02/2006, TANGGAL 16 FEBUARI 2006, TENTANG PERSYARATAN ADMINISTRATIF DALAM RANGKA PENGUSULAN DAN PENETAPAN SATUAN KERJA INSTANSI PEMERINTAH UNTUK MENERAPKAN POLA PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM.

25

163

26

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 19.2/PER/M.KUKM/VIII/2006, TANGGAL 15 AGUSTUS 2006, TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM NOMOR: 70/KEP/MENEG/XII/2001, TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM REPUBLIK INDONESIA.

27

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 19.4/PER/M.KUKM/VIII/2006, TANGGAL 18 AGUSTUS 2006, TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH.

28

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM, NOMOR: 21/PER/M.KUKM/IX/2006, TANGGAL 29 SEPTEMBER 2006, TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM BAGI LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH.

Tabel 4.16. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kebudayaan dan Pariwisata


KEMENTERIAN BUDAYA DAN PARIWISATA NO 1. KEPMEN NOMOR KM.62/UM.201/MKP/2009 TENTANG PENETAPAN PERIODESASI WAKTU KUNJUNGAN TAMU PADA HOTEL ENHAII SEKOLAH TINGGI PARIWISATA BANDUNG DAN LANGON RESORT & SPA SEKOLAH TINGGI PARIWISATA BALI PERMEN NOMOR PM.13/PW.007/MKP/2010 TENTANG PENETAPAN RUMAH SAKIT BAKTI TIMAH PANGKAL PINANG, WISMA TIMAH I, MUSEUM TIMAH, RUMAH RESIDEN, MENARA AIR MINUM, TAMAN SARI (WILHELMINA PARK), GEREJA KATHEDRAL SANTO YOSEPH, EKS KANTOR PUSAT PN. TIMAH, WISMA RANGGAM, PESANGGRAHAN MENUMBING, KLENTENG KONG FUK NIO, RUMAH MAYOR CHINA, DAN MASJID JAMI YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS ATAU KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

2.

NOMOR KM.61/DL.208/MKP/2009 TENTANG PENETAPAN KRITERIA PEMBERIAN BEASISWA BAGI MAHASISWA PADA SEKOLAH TINGGI PARIWISATA (STP) BANDUNG

NOMOR PM.12/PW.007/MKP/2010 TENTANG PENETAPAN BENTENG BARNEVELD YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI MALUKU UTARA SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS ATAU KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

164

3.

NOMOR KM.32/OT.001/MKP/2009 TENTANG PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA FESTIVAL FILM INDONESIA

NOMOR PM.11/PW.007/MKP/2010 TENTANG PENETAPAN BENTENG NIEUW ZEELANDIA/BENTENG HARUKU, BENTENG HOORN/PELAUW, BENTENG KAPAHAHA, BENTENG HAARLEM/VAN DER CAPELLEN YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI MALUKU SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS ATAU KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA NOMOR PM.10/PW.007/MKP/2010 TENTANG PENETAPAN MAKAM NANI WARTANOBE, MAKAM RAJA BLONGKOD, KANTOR PT. PELNI, DAN KANTOR POS KOTA GORONTALO YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI GORONTALO SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS ATAU KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG DILINDUNGI UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA. NOMOR PM.09/PW.007/MKP/2010 TENTANG PENETAPAN KOMPLEKS KETE KESSU, LONDA, KUBURAN BATU DAN RUMAH ADAT LEMO, RANTE KARASSIK, TONGKONAN BUNTU PUNE, PEKUBURAN PALATOKKE, RANTE BUNTU MENGKEPE, RANTE ALLA PARINDING, BORI PARINDING, KOMPLEKS PERKAMPUNGAN TUA PALLAWA, RANTE PALLAWA, PEKUBURAN BATU LOKOMATA, PEMAKAMAN RAJA-RAJA SANGGALA, DAN TAMPANG ALLO YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI SULAWESI SELATAN SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS ATAU KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG DILINDUNGI UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

4.

NOMOR KM.33/KP/107/MKP/2008 TENTANG PEMBERIAN PENGHARGAAN KEPADA PELESTARI DAN JURU PELIHARA BENDA CAGAR BUDAYA

5.

NOMOR SK.51/PW.007/MKP/2008 TENTANG PENETAPAN BENDA BERHARGA ASAL MUATAN KAPAL YANG TENGGELAM DI PERAIRAN PULAU BUAYA KEPULAUAN RIAU, KARANG HELUPUTAN KEPULAUAN RIAU, LAUT JAWA UTARA CIREBON DAN TELUK SUMPAT KEPULAUAN RIAU SEBAGAI MILIK NEGARA

6.

NOMOR KM.62/PW.204/MKP/2004 TENTANG PROSEDUR PEMBUATAN OLEH PIHAK ASING DI INDONESIA

FILM

NOMOR PM.08/PW.007/MKP/2010 TENTANG PENETAPAN SITUS DAN BANGUNAN RUMAH/MARKAS GERILYA ANGKATAN PERANG REPUBLIK INDONESIA (APRI) PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN DI KABUPATEN PACITAN, PROVINSI JAWA TIMUR SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS ATAU KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

165

7.

NOMOR KM.51/OT/MKP/2004 TENTANG PEDOMAN MASJID BAITUL ALA LIL MUJAHIDIN YANG BERLOKASI DI WILAYAH PIDIE, PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, OBSERVATORIUM BOSSCHA YANG BERLOKASI DI WILAYAH BANDUNG, PROVINSI JAWA BARAT DAN GEREJA PROTESTAN KOTA KUPANG YANG BERLOKASI DI WILAYAH KUPANG, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS ATAU KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992

NOMOR PM.07/PW.007/MKP/2010 TENTANG PENETAPAN GEDUNG BANK BNI 46, GEDUNG SMP NEGERI 6, GEDUNG KANTOR POS BESAR, KELENTENG PONCOWINATAN (KRANGGAN), GEDUNG BANK INDONESIA, GEREJA SANTO ANTONIUS, GEDUNG SMU NEGERI 3, KOMPLEKS GEDUNG KEPATIHAN, GEDUNG MUSEUM SASMITALOKA, GEDUNG SMP NEGERI I, GEDUNG RUMAH SAKIT PANTI RAPIH, GEDUNG KONI, KRATON YOGYAKARTA, PURO PAKUALAMAN, NDALEM TEJOKUSUMAN, DAN GEDUNG KANTOR DINAS PARIWISATA SENI DAN BUDAYA KOTA YOGYAKARTA YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS ATAU KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA NOMOR PM.06/PW.007/MKP/2010 TENTANG PENETAPAN PURI AGUNG YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI BALI SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS ATAU KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG DILINDUNGI UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

8.

NOMOR KM.27.A/UM.001/MKP/04 TENTANG BADAN PEKERJA KEBUDAYAAN

KONGRES

166

9.

NOMOR KM.14/PW.007/MKP/2004 TENTANG PENETAPAN MAKAM RAJA HAMIDAH ENGKU PUTERI, MAKAM RAJA JAFAR DAN RAJA ALI, GEDUNG/ISTANA ENGKU BILIK, MAKAM RAJA HAJI FISABILILLAH, PERIGI PUTERI, BENTENG BUKIT KURSI, MASJID SULTAN LINGGA, MAKAM SULTAN MAHMUDSYAH III, MAKAM BUKIT CENGKEH, DAN MAKAM MERAH YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI RIAU SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS, ATAU KAWASAN YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992

NOMOR PM.05/PW.007/MKP/2010 TENTANG PENETAPAN GEDUNG SEKOLAH RAJO (SMU2), GEDUNG KANDEPDIKBUD, KOMPLEKS KANTOR POLRES AGAM, KOMPLEKS KANTOR KODIM AGAM, TUGU MANGGOPOH, GEGUNG SMP 1, GEREJA KATHOLIK, RUMAH BEKAS KEPALA STASIUN KERETA API, GEREJA PROTESTAN, VILA OEPANG-OEPANG, HOTEL CENTRUM (POS DAN GIRO), ISTANA BUNG HATTA, JAM GADANG, RUMAH KELAHIRAN BUNG HATTA, WISMA ANGGREK, VILLA MERDEKA, MAKAM TUANKU SYECHK CEROBONG ASAP NO.101 B, RUMAH GADANG ENGKU PALO (SUKU TANJUNG), RUMAH TINGGAL DI JALAN DR. A.RIVAI NO.38, PASAR LORONG SAUDAGAR, LEMBAGA PERMASYARAKATAN BUKIT TINGGI, MESJID RAYA RAO-RAO, MESJID SAADAH, KOMPLEKS MAKAM TUAN TITAH, MEDAN BAPANEH SITANGKAI, KUBUR NINIK JANGGUT HITAM, RUMAH ADAT TIANG PANJANG, MEDAN BAPANEH GUNUNG, KOMPLEK MAKAM MAKHUDUM SUMANIK, BATU BATIKAM, PRASASTI RAMBATAN, MEGALIT SIMAWANG, PRASASTI KUBURAJO, MESJID RAYA LIMA KAUM, MEDAN BAPANEH KOTO BARANJAK, BENTENG VAN DER CAPELLEN, PRASASTI SARUASO II, USTANO RAJO ALAM GUDANG PAGARUYUNG, KOMPLEKS PRASASTI ADITYAWARMAN, PRASASTI PONGGONGAN, MAKAM RAJO IBADAT, MAKAM INDOMO SARUASO, PRASASTI SARUASO I, USTANO SARUASO, MEGALIT TALAGO GUNUNG, USTANO RAJO ADAT BUO, GEDUNG CONTROLLER BUO, BALAIRUNG SARI TABEK, MAKAM PANJANG TANTEJO GARHANO, PRASASTI PRIANGAN, SURAU LUBUK BAUK, KOMPLEK MAKAM TUANKU PAMANSIANGAN, DAN MAKAM HAJI MISKIN YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI SUMATERA BARAT SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS ATAU KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG DILINDUNGI UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA NOMOR PM.03/PW.007/MKP/2010 TENTANG PENETAPAN PASAR JOHAR, KAWASAN LAWEYAN, CANDI ASU, CANDI LUMBUNG, CANDI PENDEM, KERATON KASUNANAN, KOMPLEKS MESJID CIPTOMULYO, UMBUL PAGGING, KOMPLEKS PETIRTAAN CABEAN KUNTI, DAN SITUS MENGGUNG YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI JAWA TENGAH SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS ATAU KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

10.

NOMOR KM.13/PW.007/MKP/2004 TENTANG PENETAPAN ISTANA SIAK, BALAI KERAPATAN TINGGI, MAKAM SULTAN KASIM II, MASJID RAYA SYAHABUDDIN, KOMPLEKS MAKAM KOTO TINGGI, MAKAM SULTAN ABDUL JALIL RAHMADSYAH, TANGSI BELANDA, GEDUNG CONTROLLEUR, BANGUNAN LANDRAAD, MASJID JAMI AIR TIRIS, RUMAH ADAT BENDANG KENAGARIAN 50 KOTO, MASJID RAYA PEKANBARU YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI RIAU SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS, ATAU KAWASAN YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992

167

11.

NOMOR KM.12/PW.007/MKP/2004 TENTANG PENETAPAN SITUS TAMAN PURBAKALA PUGUNGRAHARJO, SITUS MEGALITIK KEBON TEBU/BATU BERAK, SITUS MEGALITIK BATU JAGUR, SITUS MEGALITIK BATU BEDIL, SITUS PRASASTI BATU BEDIL, SITUS MEGALITIK BATU GAJAH, DAN SITUS PRASASTIPALAS PASEMAH YANG BERALOKASI DI WILAYAH PROVINSI LAMPUNG SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS, ATAU KAWASAN YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992

NOMOR PM.02/PW.007/MKP/2010 TENTANG PENETAPAN BATU GOONG CITAMAN, SITUS PATAPAN, GEDUNG BPKD (BADAN PENGELOLA KEUANGAN DAERAH) KAB. SERANG, GEDUNG JUANG 45, PULAU SANGHYANG, STASIUN KERETA API SERANG, PENDOPO KABUPATEN PANDEGLANG, MENARA AIR, MESJID CARINGIN, RUMAH BENJOL, KANTOR YAYASAN MAULANA HASANUDDIN CILEGON, GEDUNG BALAI BUDAYA PANDEGLANG, GEDUNG DPRD KABUPATEN LEBAK, MASJID DAARUL FALAH CIKONENG, BEKAS RUMAH MULTATULI (E.DEUWES DEKKER) YANG BELOKASI DI WILAYAH PROVINSI BANTEN SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS ATAU KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA NOMOR PM.01/PW.007/MKP/2010 TENTANG PENETAPAN ISTANA MAIMUN, MESJID AZIZI, RUMAH DINAS WALIKOTA MEDAN, RUMAH TJONG AFIE, STASIUN KERETA API BINJAI, KOMPLEKS MAKAM KESULTANAN LANGKAT, GEDUNG KERAPATAN SULTAN LANGKAT/MUSEUM DAERAH KABUPATEN LANGKAT, GEDUNG PUSAT AVROS/BKS, DAN MASJID RAYA AL MA'SHUN YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI SUMATERA UTARA SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS ATAU KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

12.

NOMOR KM.11/PW.007/MKP/2004 TENTANG PENETAPAN MASJID AGUNG PONDOK TINGGI, MASJID KUNO TANJUNG PAUH ILIR, MASJID KRAMAT KOTOTUO (PULAU TENGAH), MASJID KUNO LEMPUR MUDIK, MASJID KUNO LEMPUR TENGAH, RUMAH TRADISIONAL RANTAU PANJANG, SITUS BATU PRASASTI KARANGBERAHI, KLENTENG TUO HOK TEK, SITUS CANDI TELUK I DAN CANDI TELUK II YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI JAMBI SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS, ATAU KAWASAN YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992

13.

NOMOR KM.10/PW.007/MKP/2004 TENTANG PENETAPAN BENTENG MARLBOROUGH, BANGUNAN THOMAS PARK, TUGU HELMINGTON, BUNKER JEPANG, RUMAH BEKAS KEDIAMAN BUNG KARNO, MASJID JAMIK BENGKULU, MAKAM SENTOT ALIBASYAH YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI BENGKULU SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS, ATAU KAWASAN YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992

NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA .

14.

NOMOR KM.09/PW.007/MKP/2004 TENTANG PENETAPAN KOMPLEKS MAKAM SABOKINGKING, KOMPLEKS MAKAM KESULTANAN PALEMBANG, KOMPLEKS MAKAM GEDEING SURO, KOMPLEKS PERCANDIAN BUMI AYU, MESJID AGUNG PALEMBANG, SITUS MEGALITIK TINGGIHARI, SITUS BELUMAI, SITUS TEGURWANGI DAN BENTENG KUTA BESAK YANG BELOKASI DI WILAYAH PROVINSI SUMATERA SELATAN SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS, ATAU KAWASAN YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992

NOMOR PM.59/HK.501/MKP/2009
TENTANG PENDELEGASIAN WEWENANG PEMBERIAN IZIN USAHA DI BIDANG KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL KEPADA KEPALA BADAN KOORDINASI MODAL

168

15.

NOMOR KM.08/PW.007/MKP/2004 TENTANG PENETAPAN SITUS PRASASTI BATUTULIS DAN SITUS PURWAKALIH YANG BERLOKASI DI WILAYAH BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS, ATAU KAWASAN YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992

NOMOR PM.49/UM.001/MKP/2009 TENTANG PEDOMAN PELESTARIAN BENDA CAGAR BUDAYA DAN SITUS

16.

NOMOR KM.12/PW007/MKP/03 TENTANG PENETAPAN KERATON BOROKO, ISTANA MANGANITU, BENTENG AMURANG, GEREJA TUA GMIM, DAN MASJID AR-RAHMAN BULILA YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI SULAWESI UTARA SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA DAN/ATAU SITUS YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992

NOMOR PM.48/UM.001/MKP/2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGELOLAAN PENINGGALAN BAWAH AIR

17.

NOMOR KM.13/KP.105/2002 TENTANG PEMBERIAN SENI NOMOR KM.3/HK.001/MKP.02 TENTANG PENGGOLONGAN KELAS HOTEL NOMOR KEP-012/MKP/IV/2001 TENTANG PEDOMAN UMUM USAHA PARIWISATA

NOMOR PM.47/UM.001/MKP/2009 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN SEJARAH NOMOR PM.46/UM.001/MKP/2009 TENTANG PEDOMAN PENULISAN SEJARAH LOKAL NOMOR PM.45/UM.001/MKP/2009 TENTANG PEDOMAN PERMUSEUMAN

18.

19.

PERIZINAN

20.

NOMOR SK.01/HK.501/DPT.IV/KKP/2004 TENTANG PENETAPAN BIRO PERJALANAN WISATA PENYELENGGARAAN KUNJUNGAN WISATAWAN RRC KE INDONESIA NOMOR KM.03/OT.001/MKP/04 TENTANG KELOMPOK KERJA PELAKSANAAN KEGIATAN PENGEMBANGAN PULAU-PULAU KECIL UNTUK PARIWISATA NOMOR KM.19/KP.107/MKP/04 TENTANG PEMBERIAN PENGHARGAAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR 27/PW.202/MK.04 13-4-2004 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PROMOSI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

NOMOR PM.33/UM.001/MKP/2009 TENTANG PENETAPAN DESTINASI PARIWISATA UNGGULAN NOMOR PM.19/UM.101/MKP/2009 TENTANG PENGAMANAN OBJEK VITAL NASIONAL DI BIDANG KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

21
22

NOMOR PM.18/UM.001/MKP/2009 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN JASA DAN PRODUK USAHA MIKRO KECIL MENENGAH DALAM KEGIATAN PERTEMUAN, PERJALANAN INSENTIF, KONFERENSI DAN PAMERAN NOMOR PM.11/PW.204/MKP/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR PM.55/PW.204/MKP/2008 TENTANG PEMANFAATAN JASA TEKNIK FILM DALAM NEGERI DALAM KEGIATAN PEMBUATAN DAN PENGGANDAAN FILM NASIONAL SERTA PENGGANDAAN FILM IMPOR NOMOR PM.34/HM.001/MKP/2008 TENTANG PENGAMANAN OBJEK VITAL NASIONAL DI BIDANG KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

23

24

NOMOR KM.37/OT.001/MKP/04 TENTANG PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA PENYUSUNAN R. PERUBAHAN UU NO. 9 TAHUN 1990 TENTANG KEPARIWISATAAN

169

25

NOMOR KM.58/KP.107/MKP/2004 TENTANG PEMBERIAN PENGHARGAAN INOVASI KEPARIWISATAAN INDONESIA KEPADA INDIVIDU ATAU KELOMPOK, ORGANISASI, MAUPUN BADAN USAHA DI BIDANG PARIWISATA NOMOR KM.609/OT.001/MKP/04 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI PANITIA TETAP "INDONESIAN PERFORMING ARTS MART"

NOMOR PM.04/UM.001/MKP/2008 TENTANG SADAR WISATA

26

NOMOR PM.01/HK.001/MKP/2008 TENTANG PENYESUAIAN NOMENKLATUR KEPUTUSAN MENTERI PENERANGAN NOMOR 217/KEP/MENPEN/1994 TENTANG TATA KERJA BADAN PERTIMBANGAN PERFILMAN NASIONAL NOMOR PM.47/HK.001/MKP/2008 TENTANG INDIKATOR KINERJA UTAMA DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR PM.37/UM.001/MKP/2007 TENTANG KRITERIA DAN PENETAPAN DESTINASI PARIWISATA UNGGULAN NOMOR PM.13/PW.007/MKP/2005 TENTANG PENETAPAN GEDUNG, GEREJA, RUMAH KEDIAMAN, MUSEUM, RUMAH SAKIT, LAPANGAN DAN MONUMEN, MASJID, MAKAM, MENARA SYAHBANDAR, DAN STASIUN KERETA API YANG BERLOKASI DI WILAYAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS STAU KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992 NOMOR PM.12/PW.007/MKP/2005 TENTANG PENETAPAN BANGUNAN GEREJA JEMAAT IMMANUEL KEDIRI YANG BERLOKASI DI WILAYAH KEDIRI, PROVINSI JAWA TIMUR SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA, SITUS ATAU KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG DILINDUNGI UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1992

27

NOMOR KM.62/PW.205/MKP/04 TENTANG PROSEDUR PEMBUATAN OLEH PIHAK ASING DI INDONESIA

FILM

28

NOMOR KM.64/HK.201/MKP/04 20-10-2004 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH NOMOR KM.66/HK.501/MKP/04 TENTANG PEDOMAN UMUM USAHA JASA IMPRESARIAT

29

30

NOMOR SK.265/OT.001/SESMEN/KP/2004 TENTANG PEMBENTUKAN PANITIA FESTIVAL NASIONAL SENI PERTUNJUKAN TAHUN 2004 DI BANDA ACEH

170

Tabel 6.17. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kepemudaan dan Olah raga
KEMENTERIAN PEMUDA DAN OLAHRAGA NO KEPMEN 1 PERMEN NOMOR 0275 TAHUN 2010 TENTANG PERSYARATAN DAN MEKANISME PENGANGKATAN OLAHRAGAWAN DAN PELATIH OLAHRAGA BERPRESTASI MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL NOMOR 0016 TAHUN 2010 TENTANG LOGO KEMENTRIAN PEMUDA DAN OLAHRAGA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER. 0033/MENPORA/II/2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS TATA NASKAH DINAS KEMENTRIAN NEGARA PEMUDA DAN OLAHRAGA

Tabel 6.18. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
KEMENTERIAN PEMBANGUNAN AERAH TERTINGGAL NO KEPMEN 1 NOMOR 001/KEP/M-PDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL PERMEN NOMOR 040/PER/M-PDT/II/2007 TENTANG PEDOMAN UMUM DAN PENETAPAN ALOKASI DANA STIMULAN PENYUSUNAN STRATEGI DAERAH PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN PENYUSUNAN RENCANA AKSI DAERAH PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL PROVINSI DAN KABUPATEN TERTINGGAL NOMOR 004/PER-M/PDT/III/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL 3 NOMOR 09/PER-M/PDT/VII/2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

Tabel 6.19 Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Statistik


NO KEPMEN BADAN PUSAT STATISTIKA PERMEN

171

NOMOR: KEP. 41 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN PULAUPULAU KECIL YANG BERKELANJUTAN DAN BERBASIS MASYARAKAT NOMOR: KEP. 01/MEN/2002 TENTANG SISTEM MANAJEMEN MUTU TERPADU HASIL PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 02/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGAWASAN PENANGKAPAN IKAN NOMOR: KEP. 03/MEN/2002 TENTANG LOG BOOK PENANGKAPAN DAN PENGANGKUTAN IKAN NOMOR: KEP. 04/MEN/2002 TENTANG PAKAIAN SERAGAM KERJA, TANDA PENGENAL, DAN ATRIBUT BAGI PENGAWAS PERIKANAN

NOMOR: PER. 03/MEN/2005 TENTANG TINDAKAN KARANTINA IKAN OLEH PIHAK KETIGA

NOMOR: PER. 07/MEN/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 06/MEN/2005 TENTANG PENGGANTIAN BENTUK DAN FORMAT PERIZINAN USAHA PENANGKAPAN IKAN NOMOR: PER. 13/MEN/2005 TENTANG FORUM KOORDINASI PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN NOMOR: PER. 15/MEN/2005 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PEMBUDIDAYAAN IKAN DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA YANG BUKAN UNTUK TUJUAN KOMERSIAL

NOMOR: KEP. 06/MEN/2002 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN MUTU HASIL PERIKANAN YANG MASUK KE WILAYAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR: KEP. 08/MEN/2002 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 09/MEN/2002 TENTANG INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYA IKAN

NOMOR: PER. 02/MEN/2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PELABUHAN PERIKANAN

NOMOR: PER. 10/MEN/2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI BUDIDAYA LAUT

NOMOR: PER. 13/MEN/2006 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 07/MEN/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 16/MEN/2006 TENTANG PELABUHAN PERIKANAN

NOMOR: KEP. 10/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN UMUM PERENCANAAN PENGELOLAAN PESISIR TERPADU NOMOR: KEP. 12/MEN/2002 TENTANG PENDAFTARAN ULANG PERIZINAN USAHA PENANGKAPAN IKAN TAHAP KEDUA NOMOR: KEP. 13/MEN/2002 TENTANG IZIN BELAJAR ATAS BIAYA SENDIRI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 15/MEN/2002 TENTANG VARIETAS UDANG ROSTRIS SEBAGAI VARIETAS UNGGUL

10

NOMOR: PER. 17/MEN/2006 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

11

NOMOR: PER. 18/MEN/2006 TENTANG SKALA USAHA PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

12

NOMOR: PER. 21/MEN/2006 TENTANG TINDAKAN KARANTINA IKAN DALAM HAL TRANSIT

172

13

NOMOR: KEP. 17/MEN/2002 TENTANG PENYELENGGARAAN RAPAT KOORDINASI NASIONAL DAN RAPAT KERJA TEKNIS DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2002

NOMOR: PER. 01/MEN/2007 TENTANG PENGENDALIAN SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN

14

NOMOR: KEP. 18/MEN/2002 TENTANG RENCANA STRATEGIS PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 20012004 NOMOR: KEP. 21/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAN PENDIDIKAN SEKOLAH USAHA PERIKANAN MENENGAH NOMOR: KEP. 22/MEN/2002 TENTANG PENYUSUNAN RENCANA DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 23/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN MONITORING, EVALUASI, PENGENDALIAN DAN PELAPORAN PROGRAM/PROYEK PEMBANGUNAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

NOMOR: PER. 02/MEN/2007 TENTANG MONITORING RESIDU OBAT, BAHAN KIMIA, BAHAN BIOLOGI, DAN KONTAMINAN PADA PEMBUDIDAYAAN IKAN NOMOR: PER. 03/MEN/2007 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN

15

16

NOMOR: PER. 04/MEN/2007 TENTANG PELAPORAN HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 06/MEN/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PELABUHAN PERIKANAN

17

18

NOMOR: KEP. 24/MEN/2002 TENTANG TATA CARA DAN TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

NOMOR: PER. 07/MEN/2007 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 07/MEN/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

19

NOMOR: KEP. 26/MEN/2002 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, PENGGUNAAN, DAN PENGAWASAN OBAT IKAN

NOMOR: PER. 08/MEN/2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: 07/MEN/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

20

NOMOR: KEP. 27/MEN/2002 TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI OBAT IKAN

NOMOR: PER. 09/MEN/2007 TENTANG KETENTUAN PEMASUKAN MEDIA PEMBAWA BERUPA IKAN HIDUP SEBAGAI BARANG BAWAAN KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

21

NOMOR: KEP. 28/MEN/2002 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN SERTA PENETAPAN PULAU JAWA SEBAGAI DAERAH WABAH HAMA DAN PENYAKIT VIRUS PADA IKAN MAS DAN KOI

NOMOR: PER. 10/MEN/2007 TENTANG PEMBERIAN UANG INSENTIF KEPADA APARAT PENEGAK HUKUM DAN PIHAKPIHAK YANG BERJASA DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PERIKANAN

173

22

NOMOR: KEP. 29/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KARANTINA IKAN NOMOR: KEP. 30/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN UMUM KERJA SAMA LUAR NEGERI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 32/MEN/2002 TENTANG NASKAH DINAS DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT NOMOR: KEP. 34/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN UMUM PENATAAN RUANG PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

NOMOR: PER. 11/MEN/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN BENIH IKAN YANG DIBERIKAN BANTUAN SELISIH HARGA NOMOR: PER. 12/MEN/2007 TENTANG PERIZINAN USAHA PEMBUDIDAYAAN IKAN

23

24

NOMOR: PER. 13/MEN/2007 TENTANG SISTEM PEMANTAUAN HAMA DAN PENYAKIT IKAN KARANTINA NOMOR: PER. 15/MEN/2007 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENERBITAN IZIN USAHA OBAT IKAN NOMOR: PER. 16/MEN/2007 TENTANG PELAKSANAAN PERJALANAN DINAS JABATAN DALAM NEGERI BAGI PEJABAT NEGARA, PEGAWAI NEGERI, DAN PEGAWAI TIDAK TETAP DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

25

26

27

NOMOR: KEP. 36/MEN/2002 TENTANG PERUBAHAN SEBUTAN MENTERI PERTANIAN DAN MENTERI EKSPLORASI LAUT DAN PERIKANAN MENJADI MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN DAN SEBUTAN DEPARTEMEN PERTANIAN DAN DEPARTEMEN EKSPLORASI LAUT DAN PERIKANAN MENJADI DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN PADA PERATURAN PERUNANG-UNDANGAN BIDANG PERIKANAN YANG DITETAPKAN OLEH MENTERI PERTANIAN DAN MENTERI EKSPLORASI LAUT DAN PERIKANAN

NOMOR: PER. 17/MEN/2007 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 11/MEN/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN BENIH IKAN YANG DIBERIKAN BANTUAN SELISIH HARGA

28

NOMOR: KEP. 38/MEN/2002 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENGHIBAHAN KAPAL PERIKANAN KEPADA NELAYAN

NOMOR: PER. 18/MEN/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR DAN LAUT NOMOR: PER. 19/MEN/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL

29

NOMOR: KEP. 40/MEN/2002 TENTANG PENETAPAN PULAU JAWA DAN PULAU BALI SEBAGAI DAERAH TERJANGKIT PENYAKIT KOI DAN HERVES VIRUS PADA IKAN MAS DAN KOI

174

30

NOMOR: KEP. 41/MEN/2002 TENTANG PENYELENGGARAAN LOMBA KELOMPOK PEMBUDIDAYA IKAN DAN NELAYAN, KINERJA PENGKALAN PENDARATAN IKAN/PELABUHAN PERIKANAN, BALAI BENIH IKAN SENTRAL/BALAI BENIH UDANG, DAN PEREKAYASA PADA UPT. LINGKUP DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

NOMOR: PER. 20/MEN/2007 TENTANG TINDAKAN KARANTINA UNTUK PEMASUKAN MEDIA PEMBAWA HAMA DAN PENYAKIT IKAN KARANTINA DARI LUAR NEGERI DAN DARI SUATU AREA KE AREA LAIN DI DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

31

NOMOR: KEP. 43/MEN/2002 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: 06/MEN/2002 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN MUTU HASIL PERIKANAN YANG MASUK KE WILAYAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR: KEP. 44/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN PENYULUHAN PERIKANAN

NOMOR: PER. 02/MEN/2008 PEDOMAN PELAKSANAAN KREDIT KETAHANAN PANGAN DI BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN

32

NOMOR: PER. 03/MEN/2008 TENTANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN, DAN PEMBERHENTIAN PIMPINAN DAN PENDIDIK PADA LEMBAGA PENDIDIKAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

33

NOMOR: KEP. 45/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PELAUHAN PERIKANAN NUSANTARA TUAL NOMOR: KEP. 46/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PELABUHAN PERIKANAN PANTAI

34

NOMOR: PER. 06/MEN/2008 TENTANG PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN PUKAT HELA DI PERAIRAN KALIMANTAN TIMUR BAGIAN UTARA NOMOR: PER. 07/MEN/2008 TENTANG BANTAN SOSIAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR DAN PEMBUDIDAYA IKAN NOMOR: PER. 08/MEN/2008 TENTANG PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN JARING INSANG (GILL NET) DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA NOMOR: PER. 09/MEN/2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 10/MEN/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 04/MEN/2007 TENTANG PELAPORAN HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN PERIKANAN

35

NOMOR: KEP. 47/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LOKA BUDIDAYA LAUT NOMOR: KEP. 48/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LOKA BUDIDAYA AIR TAWAR

36

37

NOMOR: KEP. 49/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LOKA BUDIDAYA AIR PAYAU

38

NOMOR: KEP. 50/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI RISET PERIKANAN LAUT

175

39

NOMOR: KEP. 51/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BUDIDAYA AIR PAYAU NOMOR: KEP. 52/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI RISET PERIKANAN BUDIDAYA AIR TAWAR NOMOR: KEP. 53/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI RISET PERIKANAN PERAIRAN UMUM NOMOR: KEP. 54/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA AKADEMI PERIKANAN BITUNG

NOMOR: PER. 12/MEN/2008 TENTANG BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 16/MEN/2008 TENTANG PERENCAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL NOMOR: PER. 17/MEN/2008 TENTANG KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL NOMOR: PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL NOMOR: PER. 19/MEN/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 06/MEN/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PELABUHAN PERIKANAN

40

41

42

43

NOMOR: KEP. 55/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA AKADEMI PERIKANAN SIDOARJO

44

NOMOR: KEP. 56/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA AKADEMI PERIKANAN SORONG NOMOR: KEP. 57/MEN/2002 TENTANG PENETAPAN PEMENANG LOMBA BIDANG PERIKANAN BUDIDAYA DAN TANGKAP TINGKAT NASIONAL TAHUN 2002 NOMOR: KEP. 69/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN PENILAIAN DAN PEMBERIAN PENGHARGAAN ADI BHAKTI MINA BAHARI BAGI UNIT KERJA PELAYANAN YANG BERPRESTASI DI BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 18/MEN/2003 TENTANG TINDAKAN KARANTINA UNTUK PEMASUKAN MEDIA PEMBAWA HAMA DAN PENYAKIT IKAN KARANTINA DARI LUAR NEGERI DAN DARI SUATU AREA KE AREA LAIN DI DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR: PER. 02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NOMOR: PER. 10/MEN/2009 TENTANG PELAKSANAAN PERJALANAN DINAS KE LUAR NEGERI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI

45

46

47

NOMOR: PER. 18/MEN/2009 TENTANG LARANGAN PENGELUARAN BENIH SIDAT (ANGUILLA SPP) DARI WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA KE LUAR WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

48

NOMOR: KEP. 39/MEN/2003 TENTANG PAKAIAN SERAGAM KERJA PEGAWAI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 42/MEN/2003 TENTANG PERSYARATAN PEMASUKAN MEDIA PEMBAWA BERUPA IKAN HIDUP

NOMOR: PER. 22/MEN/2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LOKA RISET KERENTANAN PESISIR DAN LAUT

49

NOMOR: PER. 27/MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENDANAAN KAPAL PERIKANAN

176

50

NOMOR: KEP. 33/MEN/2004 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI UJI STANDAR KARANTINA IKAN NOMOR: KEP. 10/MEN/2004 TENTANG PELABUHAN PERIKANAN

NOMOR: PER. 28/MEN/2009 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN

51

NOMOR: PER. 29/MEN/2009 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2010 NOMOR: PER. 03/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

52

NOMOR: KEP. 14/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERJANJIAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 18/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR NOMOR: KEP. 25/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN FUNGSIONAL LINGKUP DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 32/MEN/2004 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KARANTINA IKAN NOMOR: KEP. 38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG NOMOR: KEP. 55/MEN/2004 TENTANG PENETAPAN WILAYAH SUMATERA SEBAGAI KAWASAN KARANTINA TERHADAP IKAN MAS DAN KOI NOMOR: KEP. 56/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN STANDAR PENGHITUNGAN BEBAN KERJA UNIT ORGANISASI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 15/MEN/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM IDENTIFIKASI DATA TATA RUANG LAUT, PESISIR, DAN PULAU-PULAU KECIL NOMOR: KEP. 16/MEN/2006 TENTANG PENETAPAN TEMPAT-TEMPAT PEMASUKAN DAN PENGELUARAN MEDIA PEMBAWA HAMA DAN PENYAKIT IKAN KARANTINA NOMOR: KEP. 17/MEN/2006 TENTANG JENISJENIS HAMA DAN PENYAKIT IKAN KARANTINA, GOLONGAN, MEDIA PEMBAWA, DAN SEBARANNYA NOMOR: KEP. 19/MEN/2006 TENTANG PENGANGKATAN SYAHBANDAR DI PELABUHAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 02/MEN/2007 TENTANG CARA BUDIDAYA IKAN YANG BAIK

53

NOMOR: PER. 12/MEN/2010 TENTANG MINAPOLITAN

54

55

56

57

58

59

60

61

62

63

177

64

NOMOR: KEP. 05/MEN/2007 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: KEP. 40/MEN/2002 TENTANG PENETAPAN PULAU JAWA DAN PULAU BALI SEBAGAI DAERAH TERJANGKIT PENYAKIT KOI HERVES VIRUS PADA IKAN MAS DAN KOI NOMOR: KEP. 06/MEN/2007 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR KEP. 55/MEN/2004 TENTANG PENETAPAN WILAYAH SUMATERA SEBAGAI KAWASAN KARANTINA TERHADAP IKAN MAS DAN KOI

65

66

NOMOR: KEP. 11/MEN/2007 TENTANG UNIT AKUNTANSI DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 12/MEN/2007 TENTANG UNIT AKUNTANSI PEMBANTU PENGGUNA TINGKAT ESELON I DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 21/MEN/2007 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 17/MEN/2001 TENTANG PENETAPAN LAMBANG DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 31/MEN/2007 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 39/MEN/2003 TENTANG PAKAIAN SERAGAM KERJA PEGAWAI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 32/MEN/2007 TENTANG PAKAIAN SERAGAM KERJA DAN ATRIBUT BAGI APARATUR DI PELABUHAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 33/MEN/2007 TENTANG PENETAPAN JENIS-JENIS PENYAKIT IKAN YANG BERPOTENSI MENJADI WABAH PENYAKIT IKAN NOMOR: KEP. 03/MEN/2008 TENTANG PENUGASAN PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2008 NOMOR: KEP. 63/MEN/2008 TENTANG KOMISI TUNA INDONESIA NOMOR: KEP. 76/MEN/2008 TENTANG PELAKSANAAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM KERANGKA INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 11/MEN/2009 TENTANG WILAYAH KERJA DAN WILAYAH PENGOPERASIAN PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG

67

68

69

70

71

72

73 74

75

178

76

NOMOR: KEP. 25/MEN/2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYRAKAT MANDIRI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 36/MEN/SJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MANDIRI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 59/MEN/SJ/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR KEP. 36/MEN/SJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MANDIRI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 61/MEN/2009 TENTANG PEMBERLAKUAN WAJIB STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG KELAUAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 63/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN ARU BAGIAN TENGGARA DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI MALUKU NOMOR: KEP. 65/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN WAIGEO SEBELAH BARAT DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR: KEP. 67/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL PULAU GILI AYER, GILI MENO, DAN GILI TRAWANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR: KEP. 69/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL LAUT BANDA DI PROVINSI MALUKU NOMOR: KEP. 70/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL PULAU PIEH DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR: KEP. 71/MEN/2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR KEP. 39/MEN/2003 TENTANG PAKAIAN SERAGAM KERJA PEGAWAI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 77/MEN/2009 TENTANG PELEPASAN VARIETAS IKAN NILA BEST SEBAGAI GALUR UNGGUL INDUK IKAN NILA NOMOR: KEP. 79/MEN/2009 TENTANG PELEPASAN VARIETAS IKAN NILA LARASATI SEBAGAI BENIH BERMUTU

77

78

79

80

81

82

83

84

85

86

87

179

88

NOMOR: KEP. 03/MEN/2010 TENTANG PENETAPAN JENIS-JENIS HAMA DAN PENYAKIT IKAN KARANTINA, GOLONGAN, MEDIA PEMBAWA, DAN SEBARANNYA NOMOR: KEP. 11/MEN/2010 TENTANG SISTEM PEMBERKASAN KEARSIPAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 15/MEN/2010 TENTANG PENGGUNAAN NOMENKLATUR KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 24/MEN/2010 TENTANG PROGRAM LEGISLASI KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2010 NOMOR: KEP. 32/MEN/2010 TENTANG PENETAPAN KAWASAN MINAPOLITAN NOMOR: KEP. 39/MEN/2010 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2010 NOMOR: KEP. 152/MEN/VIII/2010 TENTANG PENETAPAN RANCANGAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN BIDANG PENYULUHAN PERIKANAN MENJADI STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA

89

90

91

92

93

94

Tabel 6.20. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kearsipan


NO ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN KEPALA 1 KEPKA NOMOR 01 TAHUN 2005 TENTANG POKOK-POKOK KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN BIDANG KEARSIPAN KEPKA NOMOR : KEP. 01. B TAHUN 2004 TENTANG PROGRAM LEGISLASI ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPKA NOMOR KEP. 03 TAHUN 2003 TENTANG PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA ANRI KEPKA NOMOR 01.A TAHUN 2003 TENTANG JADWAL RETENSI ARSIP KEUANGAN KEPKA NOMOR : OT.02/71.A/2003 TENTANG PROGRAM KERJA TAHUNAN ANRI TAHUN 2003 KEPKA NOMOR 7 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN LAKIP ANRI PERATURAN KEPALA PERKA NOMOR 01 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELOLAAN ABPN PADA ANRI

PERKA NOMOR PL.06/140D/2008 TENTANG PENETAPAN STATUS RUMAH NEGARA GOLONGAN I DI LINGKUNGAN ANRI PERKA NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG PAKAIAN DINAS HARIAN DI LINGKUNGAN ANRI

PERKA NOMOR 03A TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENILAIAN LOMBA KARYA TULIS KEARSIPAN PERKA NOMOR 03 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR BIAYA KHUSUS KEGIATAN JASA KEARSIPAN

PERKA NOMOR 01 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELOLAAN ABPN PADA ANRI

180

KEPKA NOMOR: 06 TAHUN 2002 TENTANG PETUNJUK PENYESUAIAN JABATAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI PAN KEPKA NOMOR : 07 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENILAIAN ARSIP

PERKA NOMOR 02 TAHUN 2007 TENTANG PENILAIAN LOMBA KARYA TULIS KEARSIPAN

PERKA NOMOR 03 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBUATAN ANALISIS JABATAN DI LINGKUNGAN ANRI PERKA NOMOR : 05 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPKA ANRI NOMOR: KEP. 03 TAHUN 2003 TTG ORGANISASI

KEPKA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN DI LINGKUNGAN ANRI KEPKA NOMOR 03 TAHUN 2001 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, KEWENANGAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA

10

PERKA NOMOR 08 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENDATAAN, PENATAAN & PENYIMPANAN DOKUMEN/ARSIP PEMIL

11

KEPKA NOMOR 12 TAHUN 2000 TENTANG STANDAR PENYIMPANAN FISIK ARSIP

PERKA NOMOR 06 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PERLINDUNGAN,PENGAMANAN & PENYELAMATAN DOKUMEN/ARSIP VITAL PERKA NOMOR : 07 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENDATAAN, PENYELAMATAN DAN PELESTARIAN DOKUMEN/ARSIP PERKA NOMOR 03 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

12

KEPKA NOMOR 09 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN PENYUSUTAN ARSIP

13

KEPKA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG STANDAR FOLDER DAN GUIDE ARSIP

14

KEPKA NOMOR 9 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN PENYUSUTAN ARSIP PADA LEMBAGA NEGARA DAN BADAN PEMERINTAH

15

KEPKA NOMOR 11 TAHUN 2000 TENTANG STANDAR BOKS ARSIP KEPKA NOMOR 4 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN KERTAS UNTUK ARSIP BERNILAIGUNA TINGGI KEPKA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN AKUISISI NASIONAL ARSIP ORDE BARU KEPKA NOMOR : 01/36/1999 TENTANG PEDOMAN TATA NASKAH DINAS ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPKA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG PROSEDUR DAN PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBINAAN BAGI JABATAN ARSIPARIS

16

17

18

19

Tabel 6.21. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Perpustakaan

181

NO KEPUTUSAN KEPALA

PERPUSTAKAAN NASIONAL PERATURAN KEPALA

1.

KEPUTUSAN KEPALA PERPUSTAKAAN NASIONAL RI NOMOR 20 TAHUN 2005: TENTANG KATA UTAMA DAN EJAAN UNTUK TAJUK NAMA PENGARANG INDONESIA KEPUTUSAN KEPALA PERPUSNAS RI NOMOR 04 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN KEPALA PERPUSTAKAAN NASIONAL RI NOMOR 7 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PELESTARIAN KOLEKSI VARIA KEPUTUSAN KEPALA PERPUSTAKAAN NASIONAL RI NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN PEMENANG LOMBA BACA PIDATO BUNG KARNO BAGI SISWA SMA DAN SEDERAJAT TINGKAT NASIONAL TAHUN 2004

2.

3.

4.

Tabel 6.22. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Komunikasi dan Informatika


NO KEMENTRIAN KOMUNIKASI DAN INFORMASI KEPMEN 1 KEPMENINFO NO. 127 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PANITIA PENYELENGGARA PERINGATAN HARI KEBANGKITAN NASIONAL TAHUN 2010 DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KEPMENINFO NO. 117 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KEPMENINFO NO. 437 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPMENINFO NO. : 145/KEP/M.KOMINFO/04/2007 TENTANG PENETAPAN WILAYAH PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI PERMEN PERMENKOMINFO NO: 08 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA KOMUNIKASI SOSIAL

PERMENKOMINFO NO: 07 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KEMITRAAN MEDIA

PERMENKOMINFO NO: 03 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENKOMINFO NO: : 32/PER/M.KOMINFO/10/2008 TENTANG KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI

KEPMENINFO NO. 363 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPMENINFO NO. : 181/KEP/M.KOMINFO/12/2006 TENTANG PENGALOKASIAN KANAL PADA PITA FREKUENSI RADIO 800 MHZ UNTUK PENYELENGGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS DAN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER KEPMENINFO NO. 139 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN PANITIA PENYELENGGARA PERINGATAN HARI KEBANGKITAN NASIONAL TAHUN 2009 DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

PERMENKOMINFO NO: 01 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI

PERMENKOMINFO NO: 51 TAHUN 2009 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS PERANGKAT PENYIARAN

182

KEPMENINFO NO. 114 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPMENINFO NO. 04/KEP/M.KOMINFO/01/2009 TENTANG PELUANG USAHA PENYELENGGARA JARINGAN TETAP LOKAL BERBASIS PACKET SWITCHED YANG MENGGUNAKAN PITA FREKUENSI RADIO 2,3 GHZ UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND).

PERMENKOMINFO NO: 50 TAHUN 2009 TENTANG PENDELEGASIAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA DI BIDANG KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DALAM RANGKA PELAKSANAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) DI BIDANG PENANAMAN MODAL KEPADA KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

KEPMENINFO NO. 106A TAHUN 2009 TENTANG PELUANG USAHA PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL DAN JARINGAN TETAP SAMBUNGAN LANGSUNG JARAK JAUH KEPMENINFO NO. 05 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN BLOK PITA FREKUENSI RADIO DAN ZONA LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND) PADA PITA FREKUENSI RADIO 3.3 GHZ UNTUK PENGGUNA PITA FREKUENSI RADIO EKSISTING UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND) KEPMENINFO NO. 04 TAHUN 2009 TENTANG PELUANG USAHA PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL BERBASIS PACKET SWITCHED YANG MENGGUNAKAN PITA FREKUENSI RADIO 2.3 GHZ UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL(WIRELESS BROADBAND) KEPMENINFO NO. 252A TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS KEPMENINFO NO. : 76/KEP/M. KOMINFO/3/2007 TENTANG PELUANG USAHA PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN LANGSUNG JARAK JAUH, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN INTERNASIONAL DAN JARINGAN TETAP TERTUTUP BERBASIS KABEL

PERMENKOMINFO NO: 49 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA DASAR TEKNIK PENYIARAN

PERMENKOMINFO NO: 48 TAHUN 2009 TENTANG PENYEDIAAN JASA AKSES INTERNET WILAYAH PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI INTERNET KECAMATAN

PERMENKOMINFO NO: 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENKOMINFO NO:: 35/PER/M .KOMINFO/11/2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PERDESAAN

10

PERMENKOMINFO NO: 44 TAHUN 2009 TENTANG PELAKSANAAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM KERANGKA INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

11

KEPMENINFO NO. 169 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPMENINFO NO. : 76/KEP/M. KOMINFO/3/2007 TENTANG PELUANG USAHA PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN LANGSUNG JARAK JAUH, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN INTERNASIONAL DAN JARINGAN TETAP TERTUTUP BERBASIS KABEL

PERMENKOMINFO NO: 43 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN MELALUI SISTEM STASIUN JARINGAN OLEH LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN TELEVISI

12

KEPMENINFO NO. 78 TAHUN 2008 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. SUNVONE COMMUNICATION NETWORK. KEPMENINFO NO. 75 TAHUN 2008 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK TERESTRIAL RADIO TRUNKING PT. CAKRA ULTRA PRATAMA

PERMENKOMINFO NO: 42 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH IZIN BAGI LEMBAGA PENYIARAN ASING YANG MELAKUKAN KEGIATAN PELIPUTAN DI INDONESIA PERMENKOMINFO NO: 41 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENILAIAN PENCAPAIAN TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI PADA PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

13

183

14

KEPMENINFO NO. 68 TAHUN 2008 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. NUSANTARA SARANA TELEKOMUNIKASI KEPMENINFO NO. 65 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN PANITIA PENYELENGGARA PERINGATAN 100 TAHUN HARI KEBANGKITAN NASIONAL TAHUN 2008 DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KEPMENINFO NO. 56 TAHUN 2008 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. GLOBAL TELECOM UTAMA

15

PERMENKOMINFO NO: 40 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENKOMINFO NO: : 29/PER/M. KOMINFO/07/2009 TENTANG TABEL ALOKASI SPEKTRUM FREKUENSI RADIO INDONESIA PERMENKOMINFO NO: 39 TAHUN 2009 TENTANG KERANGKA DASAR PENYELENGGARAAN PENYIARAN TELEVISI DIGITAL TERESTRIAL PENERIMAAN TETAP TIDAK BERBAYAR (FREE TO AIR) PERMENKOMINFO NO: 35 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENKOMINFO NO: : 09/PER/M.KOMINFO/01/2009 TENTANG PENETAPAN PITA FREKUENSI RADIO UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND) PADA PITA FREKUENSI RADIO 3,3 GHZ DAN MIGRASI PENGGUNA RADIO EKSISTING UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL ((WIRELESS BROADBAND) DARI PITA FREKUENSI RADIO 3,4-3,6 GHZ KE PITA FREKUENSI RADIO 3,3 GHZ PERMENKOMINFO NO: 34 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN KOMUNIKASI RADIO ANTAR PENDUDUK

16

17

KEPMENINFO NO. 31 TAHUN 2008 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. BALI INFOCOM

18

KEPMENINFO NO. 10 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN BANK INDONESIA RATE UNTUK PERHITUNGAN BIAYA HAK PENGGUNAAN PITA SPEKTRUM FREKUENSI RADIO 2,1 GHZ UNTUK PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER TAHUN 2008

PERMENKOMINFO NO: 33 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN AMATIR RADIO

19

KEPMENINFO NO. 03 TAHUN 2008 TENTANG PELUANG USAHA PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN LANGSUNG JARAK JAUH, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN INTERNASIONAL DAN JARINGAN TETAP TERTUTUP BERBASIS KABEL KEPMENINFO NO. 418 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPMENINFO NO. 45/KEP/M.KOMINFO/04/2007 TENTANG PENETAPAN WILAYAH PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI

PERMENKOMINFO NO: 31 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENKOMINFO NO: : 36/PER/M. KOMINFO/10/2008 TENTANG PENETAPAN BADAN REGULASI TELEKOMUNIKASI INDONESIA

20

PERMENKOMINFO NO: 30 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN LAYANAN TELEVISI PROTOKOL INTERNET (INTERNET PROTOCOL TELEVISION/IPTV) DI INDONESIA

21

KEPMENINFO NO. 318 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. NAP INFO LINTAS NUSA

PERMENKOMINFO NO: 29 TAHUN 2009 TENTANG TABEL ALOKASI SPEKTRUM FREKUENSI RADIO INDONESIA

184

22

KEPMENINFO NO. 316 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. SUPRA PRIMATAMA NUSANTARA

23

KEPMENINFO NO. 314 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN TASK FORCE PENYEMPURNAAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN E-GOVERNMENT NASIONAL KEPMENINFO NO. 304 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPMENINFO NO. 77/KEP/M.KOMINFO/3/2007 TENTANG TIM SELEKSI DALAM RANGKA SELEKSI PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP SAMBUNGAN INTERNASIONAL KEPMENINFO NO. 298 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS PT. BAKRIE TELECOM TBK KEPMENINFO NO. 293 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. MOBILE-8 TELECOM TBK. KEPMENINFO NO. 292 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS PT. MOBILE-8 TELECOM TBK.

24

25

PERMENKOMINFO NO: 27 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN PITA FREKUENSI RADIO UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND) PADA PITA FREKUENSI RADIO 5,8 GHZ PERMENKOMINFO NO: 26 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN PITA FREKUENSI RADIO UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND) PADA PITA FREKUENSI RADIO 2 GHZ PERMENKOMINFO NO: 25 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERMENKOMINFO NO: : 19/PER/M.KOMINFO/10/2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI BIAYA HAK PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO PERMENKOMINFO NO: 24 TAHUN 2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL DARI PENYELENGGARAAN PENYIARAN PERMENKOMINFO NO: 23 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAH SUB BIDANG POS DAN TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 22 TAHUN 2009 TENTANG DOKUMEN SELEKSI PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL BERBASIS PACKET SWITCHED YANG MENGGUNAKAN PITA FREKUENSI RADIO 2,3 GHZ UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND) PERMENKOMINFO NO: 21 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PENYIARAN DIGITAL UNTUK PENYIARAN RADIO PADA PITA VERY HIGH FREQUENCY (VHF) DI INDONESIA PERMENKOMINFO NO: 20 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN TEKNIS PELAKSANAAN PEMBINAAN JABATAN FUNGSIONAL PRANATA HUMAS

26

27

28

KEPMENINFO NO. 169 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK TERESTRIAL RADIO TRUNKING PT. DAKSINA ARGA PERKASA KEPMENINFO NO. 168 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS PT. KOMUNIKASI SELULAR INDONESIA KEPMENINFO NO. 167 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS PT. METRO SELULAR NUSANTARA KEPMENINFO NO. 166 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS PT. TELEKOMINDO SELULAR RAYA KEPMENINFO NO. 165 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. KOMUNIKASI SELULAR INDONESIA KEPMENINFO NO. 164 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. METRO SELULAR NUSANTARA

29

30

PERMENKOMINFO NO: 19 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN DAN PENGGUNAAN BERSAMA MENARA TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 18 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA DAN PROSES PERIZINAN PENYELENGGARAAN PENYIARAN OLEH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA PERMENKOMINFO NO: 17 TAHUN 2009 TENTANG DISEMINASI INFORMASI NASIONAL OLEH PEMERINTAH, PEMERINTAH DAERAH PROVINSI DAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA PERMENKOMINFO NO: 16 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA KLASIFIKASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DI BIDANG MONITOR SPEKTRUM FREKUENSI RADIO

31

32

33

185

34

KEPMENINFO NO. 163 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. TELEKOMINDO SELULAR RAYA KEPMENINFO NO. 162 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPMENINFO NO. : 181/KEP/M.KOMINFO/12/2006 TENTANG PENGALOKASIAN KANAL PADA PITA FREKUENSI RADIO 800 MHZ UNTUK PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS DAN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER KEPMENINFO NO. 153 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS PT. TELEKOMINDO SELULAR RAYA

PERMENKOMINFO NO: 15 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS MONITOR SPEKTRUM FREKUENSI RADIO

35

PERMENKOMINFO NO: 14 TAHUN 2009 TENTANG KLIRING TRAFIK TELEKOMUNIKASI

36

PERMENKOMINFO NO: 12 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM.76 TAHUN 2003 TENTANG RENCANA INDUK ( MASTER PLAN) FREKUENSI RADIO PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI KHUSUS UNTUK KEPERLUAN TELEVISI SIARAN ANALOG PADA PITA ULTRA HIGH FREQUENCY (UHF)

37

KEPMENINFO NO. 152 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. KOMUNIKASI SELULAR INDONESIA

PERMENKOMINFO NO: 11 TAHUN 2009 TENTANG KAMPANYE PEMILIHAN UMUM MELALUI JASA TELEKOMUNIKASI

38

KEPMENINFO NO. 151 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. METRO SELULAR NUSANTARA

PERMENKOMINFO NO: 09 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN PITA FREKUENSI RADIO UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND) PADA PITA FREKUENSI RADIO 3.3 GHZ DAN MIGRASI PENGGUNA FREKUENSI RADIO EKSISTING UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND) DARI PITA FREKUENSI RADIO 3.4-3.6 GHZ KE PITA FREKUENSI RADIO 3.3 GHZ PERMENKOMINFO NO: 08 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN PITA FREKUENSI RADIO UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND) PADA PITA FREKUENSI RADIO 2.3 GHZ PERMENKOMINFO NO: 07 TAHUN 2009 TENTANG PENATAAN PITA FREKUENSI RADIO UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND) PERMENKOMINFO NO: 03 TAHUN 2009 TENTANG KLASIFIKASI ARSIP DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PERMENKOMINFO NO: 02 TAHUN 2009 TENTANG TATA KEARSIPAN DINAMIS DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

39

KEPMENINFO NO. 150 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. TELEKOMINDO SELULAR RAYA

40

KEPMENINFO NO. 147 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. INDOPRIMA MIKROSELINDO KEPMENINFO NO. 144 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN LOGO DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KEPMENINFO NO. 76 TAHUN 2007 TENTANG PELUANG USAHA PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN LANGSUNG JARAK JAUH, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN INTERNASIONAL DAN JARINGAN TETAP TERTUTUP BERBASIS KABEL KEPMENINFO NO. 62 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPMENINFO NO.: 161/KEP/M.KOMINFO/11/2006 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. NATRINDO TELEPON SELULER

41

42

43

PERMENKOMINFO NO: 01 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA PESAN PREMIUM DAN PENGIRIMAN JASA PESAN SINGKAT (SHORT MESSAGING SERVICE/SMS) KE BANYAK TUJUAN (BROADCAST)

186

44

KEPMENINFO NO. 60 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. INDOINTERNET

PERMENKOMINFO NO: 39 TAHUN 2008 TENTANG DAERAH EKONOMI MAJU DAN DAERAH EKONOMI KURANG MAJU DALAM PENYELENGGARAAN PENYIARAN PERMENKOMINFO NO: 38 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA KEGIATAN STRATEGIS DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TAHUN 2009 SEBAGAI PENYEMPURANAAN RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TAHUN 2004-2009 PERMENKOMINFO NO: 37 TAHUN 2008 TENTANG DOKUMEN SELEKSI PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP SAMBUNGAN JARAK JAUH

45

46

KEPMENINFO NO. 58 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN BANK INDONESIA RATE UNTUK PERHITUNGAN BIAYA HAK PENGGUNAAN PITA SPEKTRUM FREKUENSI RADIO 2,1 GHZ UNTUK PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER TAHUN 2007 KEPMENINFO NO. 51 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. TELEMEDIA NUSANTARA

47

KEPMENINFO NO. 48C TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO BOGOR SWARATAMA KEPMENINFO NO. 48B TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO TIARA RASEPRADANA KEPMENINFO NO. 48 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO QUANTUM GEMA PERSADA KEPMENINFO NO. 47B TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO PUTRANAS MULIA RAHAYU

PERMENKOMINFO NO: 36 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN BADAN REGULASI TELEKOMUNIKASI INDONESIA

48

PERMENKOMINFO NO: 35 TAHUN 2008 TENTANG PERPANJANGAN BATAS USIA PENSIUN PEJABAT STRUKTURAL ESELON II DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PERMENKOMINFO NO: 34 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENILAIAN DALAM EVALUASI PADA SELEKSI DOKUMEN PERMOHONAN UJI COBA LAPANGAN PENYELENGGARAAN SIARAN TELEVISI DIGITAL PERMENKOMINFO NO: 33 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 31 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN BADAN REGULASI TELEKOMUNIKASI INDONESIA

49

50

51

KEPMENINFO NO. 47A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO TRISARA KENCHANA KEPMENINFO NO. 47 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SUARA ADYASAMUDRA KEPMENINFO NO. 46B TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO MEGAJAYA GEMPITA KEPMENINFO NO. 46A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA SUMBING WIJAYA KUSUMA PERMENKOMINFO NO: 31 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI

52

53

PERMENKOMINFO NO: 30 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI

54

PERMENKOMINFO NO: 29 TAHUN 2008 TENTANG SERTIFIKASI ALAT DAN PERANGKAT TELEKOMUNIKASI

187

55

KEPMENINFO NO. 46 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO GENERASI MUDA KEPMENINFO NO. 45A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO MANDALIKA JEPARA

PERMENKOMINFO NO: 28 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PERIZINAN PENYELENGGARAAN PENYIARAN

56

PERMENKOMINFO NO: 27 TAHUN 2008 TENTANG UJI COBA LAPANGAN PENYELENGGARAAN SIARAN TELEVISI DIGITAL

57

KEPMENINFO NO. 45 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO UTAMANDA SUARAKOTA

PERMENKOMINFO NO: 26 TAHUN 2008 TENTANG TATA KERJA DAN TATA CARA PENILAIAN ANGKA KREDIT JABATAN FUNGSIONAL PENGENDALI FREKUENSI RADIO

58

KEPMENINFO NO. 44 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO NADA KENCANA AGUNG

59

KEPMENINFO NO. 43 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO MADINATUSSALAM BANDUNG

PERMENKOMINFO NO: 26B TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGANGKATAN, KENAIKAN JABATAN/PANGKAT, PEMBEBASAN SEMENTARA, PENGANGKATAN KEMBALI DAN PEMBERHENTIAN DALAM DAN DARI JABATAN FUNGSIONAL PENGENDALI FREKUENSI RADIO PERMENKOMINFO NO: 26A TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENGENDALI FREKUENSI RADIO

60

KEPMENINFO NO. 42A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO CAKRAWALA LINTAS ATLAS

PERMENKOMINFO NO: 26 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI KONTRIBUSI KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI/ UNIVERSAL SERVICE OBLIGATION PERMENKOMINFO NO: 25 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

61

KEPMENINFO NO. 42 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO PURNA YUDHA

62

KEPMENINFO NO. 41A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO GEMA MAHASISWA UNSUD PURWOKERTO KEPMENINFO NO. 41 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA RAMA SUTRA

PERMENKOMINFO NO: 23 TAHUN 2008 TENTANG PENGADAAN BARANG / JASA PEMERINTAH SECARA ELEKTRONIK DENGAN SISTEM EPENGADAAN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PERMENKOMINFO NO: 22 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS BIDANG PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

63

188

64

KEPMENINFO NO. 40A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA ALAS ROBAN KEPMENINFO NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO MARTHA DARIA

PERMENKOMINFO NO: 20 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN SUMBER DAYA DALAM NEGERI UNTUK PRODUKSI FILM IKLAN YANG DISIARKAN DAN DIPERTUNJUKAN DI INDONESIA PERMENKOMINFO NO: 18 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DASAR JABATAN FUNGSIONAL PRANATA HUMAS

65

66

KEPMENINFO NO. 39A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SUARA AL-MABRUR BERSINAR KEPMENINFO NO. 39 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO GESWARA PAMANUKAN KEPMENINFO NO. 38A TAHUN 2007 ENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SEMBILAN KALI SEMBILAN KEPMENINFO NO. 38 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO ELMITRA SUKABUMI

PERMENKOMINFO NO: 15 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENETAPAN TARIF JASA TELEPONI DASAR YANG DISALURKAN MELALUI JARINGAN TETAP PERMENKOMINFO NO: 14 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALITAS PELAYANAN JASA TELEPONI DASAR PADA JARINGAN TETAP SAMBUNGAN INTERNASIONAL PERMENKOMINFO NO: 13 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALITAS PELAYANAN JASA TELEPONI DASAR PADA JARINGAN TETAP MOBILITAS TERBATAS PERMENKOMINFO NO: 12 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALITAS PELAYANAN JASA TELEPONI DASAR PADA JARINGAN BERGERAK SELULAR

67

68

69

70

KEPMENINFO NO. 37A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO RORO DJONGGRANG KEPMENINFO NO. 37 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SUARA ELOK LESTARI ABADI KEPMENINFO NO. 36A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SUARA SEMARANG ATLAS ANGKASA JAYA KEPMENINFO NO. 36 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA HISTORI GITA JAYA

PERMENKOMINFO NO: 11 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALITAS PELAYANAN JASA TELEPONI DASAR PADA JARINGAN TETAP LOKAL

71

PERMENKOMINFO NO: 10 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALITAS PELAYANAN JASA TELEFONI DASAR PADA JARINGAN TETAP SAMBUNGAN LANGSUNG JARAK JAUH PERMENKOMINFO NO: 09 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENETAPAN TARIF JASA TELEKOMUNIKASI YANG DISALURKAN MELALUI JARINGAN BERGERAK SELULAR PERMENKOMINFO NO: 07 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 21 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI

72

73

189

74

KEPMENINFO NO. 35A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO BAHUREKSA SUARA PEKALONGAN KEPMENINFO NO. 35 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO GEMA WARGA KARYA SATNAWA KEPMENINFO NO. 34A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO HAR BOS PATI

PERMENKOMINFO NO: 06 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.20 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 05 TAHUN 2008 TENTANG TATA KERJA DAN TATA CARA PENILAIAN ANGKA KREDIT JABATAN FUNGSIONAL PRANATA HUMAS

75

76

77

KEPMENINFO NO. 34 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA PITALOKA

PERMENKOMINFO NO: 04 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGANGKATAN, KENAIKAN JABATAN/PANGKAT, PEMBEBASAN SEMENTARA, PENGANGKATAN KEMBALI DAN PEMBERHENTIAN DALAM DAN DARI JABATAN FUNGSIONAL PRANATA HUMAS PERMENKOMINFO NO: 3A TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM-4 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN RENCANA DASAR TEKNIS NASIONAL 2000 (FUNDAMENTAL TECHNICAL PLAN NATIONAL 2000) PEMBANGUNAN TELEKOMUNIKASI NASIONAL

78

KEPMENINFO NO. 33A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. IKHLASUL AMAL

PERMENKOMINFO NO: 03 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PRANATA HUMAS

79

KEPMENINFO NO. 33 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA CAKRAWALA SANGKURIANG

80

KEPMENINFO NO. 32A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA CITRA SUHADA JAYA KEPMENINFO NO. 32 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO ILNAFIR KARANGLAYUNG CITRA BUDAYA SUARA

PERMENKOMINFO NO: 01 TAHUN 2008 TENTANG PEREKAMAN INFORMASI UNTUK KEPENTINGAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA

81

PERMENKOMINFO NO: 44 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN PERMENKOMINFO NO: : 25/PER/M.KOMINFO/5/2007 TENTANG PENGGUNAAN SUMBER DAYA DALAM NEGERI UNTUK PRODUK IKLAN YANG DISIARKAN MELALUI LEMBAGA PENYIARAN

190

82

KEPMENINFO NO. 30 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO MUTIARA GEGANA

PERMENKOMINFO NO: 43 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM.4 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN RENCANA DASAR TEKNIS NASIONAL 2000 (FUNDAMENTAL TECHNICAL PLAN NATIONAL 2000) PEMBANGUNAN TELEKOMUNIKASI NASIONAL PERMENKOMINFO NO: 41 TAHUN 2007 PANDUAN UMUM TATA KELOLA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI NASIONAL

83

KEPMENINFO NO. 29A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA IRAMA KUSUMA SENA

84

KEPMENINFO NO. 29 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO UTA SARI KEPMENINFO NO. 28A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO CEMPAKA ANGKASA KEPMENINFO NO. 28 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO BIDURI EKA SWARATAMA KEPMENINFO NO. 27 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO MANGGALA GEMINI BANDUNG KEPMENINFO NO. 27A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO PANCABAYU MADUGONDO KEPMENINFO NO. 26A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO CITRA ANGKASA ICHSANIYAH KEPMENINFO NO. 26 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA INDAH SUKABUMI KEPMENINFO NO. 25A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO RONA PUSPITA

PERMENKOMINFO NO: 40 TAHUN 2007 TENTANG KRITERIA KLASIFIKASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DI BIDANG MONITOR SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PERMENKOMINFO NO: 38 TAHUN 2007 PERUBAHAN ATAS PERMENKOMINFO NO: 11/PER/M.KOMLNFO/04/2007 TENTANG PENYEDIAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 32 TAHUN 2007 PENYESUAIAN PENERAPAN SISTEM STASIUN JARINGAN LEMBAGA PENYIARAN JASA PENYIARAN TELEVISI. PERMENKOMINFO NO: 29 TAHUN 2007 PERUBAHAN ATAS PERMENKOMINFO NO: : 27/P/M.KOMINFO/6/2007 TENTANG DOKUMEN SELEKSI PENYELENGGARA JARINGAN TETAP SAMBUNGAN INTERNASIONAL PERMENKOMINFO NO: 27 TAHUN 2007 TENTANG DOKUMEN SELEKSI PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP SAMBUNGAN INTERNASIONAL

85

86

87

88

89

PERMENKOMINFO NO: 26 TAHUN 2007 TENTANG PENGAMANAN PEMANFAATAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI BERBASIS PROTOKOL INTERNET PERMENKOMINFO NO: 25 TAHUN 2007 TENTANG PENGGUNAAN SUMBER DAYA DALAM NEGERI UNTUK PRODUK IKLAN YANG DISIARKAN MELALUI LEMBAGA PENYIARAN PERMENKOMINFO NO: 22 TAHUN 2007 PERUBAHAN KEDUA ATAS PERMENKOMINFO NO: : 08/P/M.KOMINFO/3/2007 TENTANG TATA CARA PERIZINAN DAN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA

90

91

191

92

KEPMENINFO NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO DAHLIA FLORA KEPMENINFO NO. 24A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO DUTASUARA GARUDA SAKTI KEPMENINFO NO. 24 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO ANTARES KEPMENINFO NO. 23 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO GARUDA TUNGGAL ANGKASA

PERMENKOMINFO NO: 21 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA MONUMEN PERS NASIONAL

93

PERMENKOMINFO NO: 20 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI BESAR PENGUJIAN PERANGKAT TELEKOMUNIKASI

94

PERMENKOMINFO NO: 19 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA MUSEUM PENERANGAN

95

PERMENKOMINFO NO: 18 TAHUN 2007 PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR 86/KEP/M.KOMINFO/10/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS MONITOR SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT. PERMENKOMINFO NO: 17 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PENDIDIKAN DAN LATIHAN AHLI MULTI MEDIA DI YOGYAKARTA

96

KEPMENINFO NO. 22A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO REMBANG BANGKIT KEPMENINFO NO. 22 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO ARDAN SWARATAMA KEPMENINFO NO. 21A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA CARAKA RIA KEPMENINFO NO. 20A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA DELANGGU BERSINAR KEPMENINFO NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO GEMA SWARA PAMIJAHAN KEPMENINFO NO. 20 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA PAKUSARAKAN PRATITA

97

PERMENKOMINFO NO: 15 TAHUN 2007 PERUBAHAN ATAS PERMENKOMINFO NO: : 08/P/M.KOMINFO/3/2007 TENTANG TATA CARA PERIZINAN DAN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA PERMENKOMINFO NO: 14 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA DAN KRITERIA SELEKSI PENGGUNA SPEKTRUM FREKUENSI RADIO UNTUK PENYELENGGARAAN PENYIARAN PERMENKOMINFO NO: 11 TAHUN 2007 TENTANG PENYEDIAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI

98

99

100

PERATURAN BERSAMA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR 10 TAHUN 2007 TENTANG PENGGUNAAN FITUR BERBAYAR JASA TELEKOMUNIKASI PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA NOMOR 09 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL PENGENDALI FREKUENSI RADIO DAN ANGKA KREDITNYA PERMENKOMINFO NO: 08 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PERIZINAN DAN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA

101

102

KEPMENINFO NO. 18A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO CIKA MANCA

192

103

KEPMENINFO NO. 18 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWADAYA CEMPAKA 23 KEPMENINFO NO. 17A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SUARA GAJAHMADA PALAPA ANGKASA JAYA KEPMENINFO NO. 16C TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO BUNDER CENTRAL AUDIO KEPMENINFO NO. 16B TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO AGNIA MEGATAMA

PERMENKOMINFO NO: 07 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENYIARAN DIGITAL TERESTRLAL UNTUK TELEVISI TIDAK BERGERAK DL INDONESIA. PERMENKOMINFO NO: 05 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI KONTRIBUSI KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI / UNIVERSAL SERVICE OBLIGATION PERMENKOMINFO NO: 03 TAHUN 2007 TENTANG SEWA JARINGAN

104

105

106

107

108

KEPMENINFO NO. 16A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO KEPADA PT. RADIO SWARA PANDAWA LIMA SHAKTI KEPMENINFO NO. 16 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO KEPADA PT. RADIO REKA KHARISMA SWARA KEPMENINFO NO. 15A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO KEPADA PT. RADIO MENARA BUANA SWARAINDAH KEPMENINFO NO. 15 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO KEPADA PT. RADIO SUARA GALUNGGUNG GIRI SAKTI KEPMENINFO NO. 13A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYAIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO RASIKA DANANDA UTAMA KEPMENINFO NO. 187 TAHUN 2006: TENTANG TIM PENASEHAT DEWAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI NASIONAL KEPMENINFO NO. 186 TAHUN 2006: TENTANG SEKRETARIAT DEWAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI NASIONAL KEPMENINFO NO. 170 TAHUN 2006: TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP PT. TRANSNETWORK COMMUNICATION ASIA KEPMENINFO NO. 169 TAHUN 2006: TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. MORA TELEMATIKA INDONESIA

109

PERMENKOMINFO NO: 42 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENKOMINFO NO: : 01/PER/M.KOMINFO/1/2006 TENTANG PENATAAN PITA FREKUENSI RADIO 2,1 GHZ UNTUK PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER IMT-2000 PERMENKOMINFO NO: 40 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM.20 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 37 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENKOMINFO NO:: 13/P/M.KOMINFO/8/2005 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI MENGGUNAKAN SATELIT PERMENKOMINFO NO: 35 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI TATA KERJA BALAI TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PERDESAAN PERMENKOMINFO NO: 34 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BALAI SATUAN KERJA SEMENTARA TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PEDESAAN PERMENKOMINFO NO: 32 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN KERJA SEMENTARA TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PEDESAAN PERMENKOMINFO NO: 30 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PENGAWAS CERTIFICATION AUTHORITY PERMENKOMINFO NO: 29 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN CERTIFICATION AUTHORITY (CA) DI INDONESIA PERMENKOMINFO NO: 28 TAHUN 2006 TENTANG PENGGUNAAN NAMA DOMAIN GO.ID UNTUK SITUS WEB RESMI PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH PERMENKOMINFO NO: 27 TAHUN 2006 TENTANG PENGAMANAN PEMANFAATAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI BERBASIS PROTOKOL INTERNET

110

111

112

113

114

115

193

116

KEPMENINFO NO. 168 TAHUN 2006: TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN TETAP TERTUTUP PT. ARTHA MAS CIPTA

117

KEPMENINFO NO. 167 TAHUN 2006 TENTANG IZIN PRINSIP MENYELENGGARAKAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. MOBILKOM TELEKOMINDO KEPMENINFO NO. 166 TAHUN 2006 TENTANG TIM AHLI INDONESIA SECURITY INCIDENT RESPONSES TEAM ON INTERNET INFRASTRUCTURE (ID-SIRTII) KEPMENINFO NO. 154 TAHUN 2006 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN TELEVISI PT. CIPTA TPI

PERMENKOMINFO NO: 26 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENKOMINFO NO:: 19/PER.KOMINF0/10/2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI BIAYA HAK BANGUNAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO PERMENKOMINFO NO: 24 TAHUN 2006 TENTANG FORMAT PENYEUAIAN IZIN PENYELENGGARAAN SWASTA DAN LEMBAGA PENYIARAN BERLANGGANAN PERMENKOMINFO NO: 20 TAHUN 2006 TENTANG PERINGATAN DINI TSUNAMI ATAU BENCANA LAINNYA MELALUI LEMBAGA PENYIARAN DI SELURUH INDONESIA PERMENKOMINFO NO: 17 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYESUAIAN IZIN PENYELENGARAN PENYIARAN BAGI LEMBAGA PENYIARAN SWASTA YANG TELAH MEMILIKI IZIN STASIUN RADIO DARI DIREKTORAT JENDERAL POST DAN TELEKOMUNIKASI DAN/ATAU IZIN SIARAN NASIONAL UNTUK TELEVISI DARI DEPARTEMEN PENERANGAN DAN BAGI LEMBAGA PENYIARAN BERLANGGANAN YANG TELAH MEMILIKI IZIN PENYELENGGARAAN JASA TELEVISI BERBAYAR DARI DIREKTORAT JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI DAN/ATAU IZIN PENYELENGARAAN SIARAN TELEVISI BERLANGGANAN DARI DEPARTEMEN PENERANGAN PERMENKOMINFO NO: 12 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENETAPAN TARIF PERUBAHAN JASA TELEPONI DASAR JARINGAN BERGERAK SELULAR

118

119

120

121

122

KEPMENINFO NO. 99 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN PANITIA PERSIAPAN INDONESIA INFRASTRUCTURE CONFERENCE AND EXHIBITION 2006 DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KEPMENINFO NO. 68 TAHUN 2006 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. MULTI TRANS DATA KEPMENINFO NO. 67 TAHUN 2006 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. MULTIMEDIA NUSANTARA KEPMENINFO NO. 63 TAHUN 2006 TENTANG TIM EVALUASI DAN PENYEMPURNAAN PERATURAN PEMERINTAH DI BIDANG PENYIARAN

PERMENKOMINFO NO: 11 TAHUN 2006 TENTANG TEKNIS PENYADAPAN TERHADAP INFORMASI PERMENKOMINFO NO: 09 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENETAPAN TARIF AWAL DAN TARIF PERUBAHAN JASA TELEPONI DASAR MELALUI JARINGAN TETAP PERMENKOMINFO NO: 08 TAHUN 2006 TENTANG INTERKONEKSI

123

124

125

KEPMENINFO NO. 28 TAHUN 2006 TENTANG BESARAN TARIF IZIN PENGGUNAAN PITA SPEKTRUM FREKUENSI RADIO PADA PITA FREKUENSI RADIO 2,1 GHZ UNTUK JARINGAN BERGERAK SELULER KEPMENINFO NO. 23 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN KEDUA TIM PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DI BIDANG PENYIARAN YANG BERLAKU PADA DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

PERMENKOMINFO NO: 07 TAHUN 2006 TENTANG KETENTUAN PENGGUNAAN PITA FREKUENSI RADIO 1,2 GHZ UNTUK PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PERMENKOMINFO NO: 05 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG TELEKOMUNIKASI

194

126

KEPMENINFO NO. 14 TAHUN 2006 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: SK.102/HK.601/PHB-98 TENTANG SUSUNAN KOMINTE KERJA SAMA OPERASI (KSO) SEBAGAIMANA TELAH DI UBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KP.381 TAHUN 2000

PERMENKOMINFO NO: 04 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA LELANG PITA SPEKTRUM FREKUENSI RADIO 2,1 GHZ UNTUK PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER IMT IMT-2000

127

KEPMENINFO NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG HARGA DASAR (RESERVE PRICE) PITA SPEKTRUM FREKUENSI RADIO 2,1 GHZ KEPMENINFO NO. 08 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN KOMITE NASIONAL INDONESIA UNTUK INFORMATION FOR ALL PROGRAMME (IFAP)-UNESCO KEPMENINFO NO. 01 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN ANGGOTA KOMITE REGULASI TELEKOMUNIKASI (KRT) PADA BADAN REGULASI TELEKOMUNIKASI INDONESIA (BRTI)

PERMENKOMINFO NO: 02 TAHUN 2006 TENTANG SELEKSI PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER IMT-2000 PADA PITA FREKUENSI RADIO 2,1 GHZ PERMENKOMINFO NO: 01 TAHUN 2006 TENTANG PENATAAN PITA FREKUENSI RADIO 2,1 GHZ UNTUK PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER IMT-2000 PERMENKOMINFO NO: 27 TAHUN 2005 TENTANG RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TAHUN 2004-2009 PERMENKOMINFO NO: 25 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM.31 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN BADAN REGULASI TELEKOMUNIKASI INDONESIA PERMENKOMINFO NO: 24 TAHUN 2005 TENTANG PENGGUNAAN FITUR BERBAYAR JASA TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 23 TAHUN 2005 TENTANG REGRISTRASI TERHADAP PELANGGAN JASA TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 22 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI PUNGUTAN BIAYA HAK PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 21 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI BIAYA SERTIFIKASI DAN PERMOHONAN PENGUJIAN ALAT/PERANGKAT TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 20 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI BIAYA IZIN PENYELENGGARAAN JASA TITIPAN PERMENKOMINFO NO: 19 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI BIAYA PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO PERMENKOMINFO NO: 18 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI KHUSUS UNTUK KEPERLUAN INSTANSI PEMERINTAH DAN BERBADAN HUKUM PERMENKOMINFO NO: 17 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PERIZINAN DAN KETENTUAN OPERASIONAL PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO

128

129

130

131

132

133

134

135

136

137

138

195

139

PERMENKOMINFO NO: 16 TAHUN 2005 TENTANG PENYEDIAAN SARANA TRANSMISI TELEKOMUNIKASI INTERNASIONAL MELALUI SISTEM KOMUNIKASI KABEL LAUT PERMENKOMINFO NO: 15 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI KONTRIBUSI KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI/UNIVERSAL SERVICE OBLIGATION PERMENKOMINFO NO: 13 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI YANG MENGGUNAKAN SATELIT PERMENKOMINFO NO: 07 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM.23 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA INTERNET TELEPONI UNTUK KEPERLUAN PUBLIK PERMENKOMINFO NO: 04 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT DEWAN PERS

140

141

142

143

196

Tabel 6.23. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pertanian dan Ketahanan Pangan
KEMENTERIAN PERTANIAN KEPMEN PERMEN NOMOR 01-VII-2007 TAHUN 2007 NOMOR 1 TAHUN 2007 TATA CARA PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA PENYAMPAIAN LAPORAN HARTA PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA DILINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2007 PENUNJUKAN DAN NOMOR 2 TAHUN 2007 PENYELENGGARAAN PENGANGKATAN ANGGOTA SENAT HUBUNGAN DAN KERJASAMA LUAR NEGERI SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN DI LINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2007 DEWAN NOMOR 3 TAHUN 2007 KETENTUAN PENYANTUN SEKOLAH TINGGI PELAKSANAAN PERPRES NO.36/2005 PERTANAHAN NASIONAL (STPN) TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERPRES NO.65/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERPRES NO.36/2005 NOMOR 34TAHUN 2007 PETUNJUK TEKNIS NOMOR 4TAHUN 2007 STRUKTUR PENANGANAN DAN PENYELESAIAN ORGANISASI BADAN PENGELOLAAN DAN MASALAH PERTANAHAN PEMBIAYAAN REFORMA AGRARIA NASIONAL NOMOR 158 TAHUN 2008 PENUNJUKAN NOMOR 5 TAHUN 2007 STRUKTUR STAF PELAKSANA KEGIATAN PENGELOLA ORGANISASI BADAN PENGELOLAAN DAN DOKUMENTASI SJDI HUKUM DAFTAR PEMBIAYAAN REFORMA AGRARIA ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN BADAN REGIONAL, CABANG DAN RANTING PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TAHUN ANGGARAN 2008 KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 2 TAHUN 2008 PENGANGKATAN NOMOR 6 TAHUN 2007 STANDAR DALAM JABATAN FUNGSIONAL DOSEN PELAYANAN MINIMAL BAGI BADAN SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN PENGELOLAAN DAN PEMBIAYAAN REFORMA NASIONAL AGRARIA NASIONAL NOMOR 59 TAHUN 2008 LAMBANG BADAN NOMOR 7 TAHUN 2007 PANITIA PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK PEMERIKSAAN TANAH INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2008 PAKAIAN DINAS NOMOR 70 TAHUN 2007 PEMBENTUKAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN ACEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL JAYA DI PROVINSI NANGGROE ACEH REPUBLIK INDONESIA DARUSSALAM NOMOR 78TAHUN 2007 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BANGKA TENGAH DI PROVINSI BANGKA BELITUNG NOMOR 8 TAHUN 2007 ORGANISASI DAN TATA KERJA PUSAT PENGELOLAAN REFORMA AGRARIA NASIONAL NOMOR 1 TAHUN 2008 PEMBENTUKKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2008 PERUBAHAN PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PROGRAM PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN KECIL MELALUI KEGIATAN SERTIPIKASI HAK ATAS TANAH UNTUK PENINGKATAN AKSES PERMODALAN NOMOR 3 TAHUN 2008 PETUNJUK TEKNIS PROGRAM PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO

NO. 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

197

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28. 29.

DAN KECIL MELALUI KEGIATAN SERTIPIKASI HAK ATAS TANAH UNTUK PENINGKATAN AKSES PERMODALAN NOMOR 4 TAHUN 2008 URAIAN TUGAS SUBBAGIAN, SEKSI DAN SUBBIDANG DILINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2008 URAIAN TUGAS SUBBAGIAN DAN SEKSI PADA KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL DAN URAIAN TUGAS URUSAN DAN SUBSEKSI PADA KANTOR PERTANAHAN NOMOR 6 TAHUN 2008 PENYEDERHANAAN DAN PERCEPATAN STANDAR PROSEDUR OPERASI PENGATURAN DAN PELAYANAN PERTANAHAN UNTUK JENIS PELAYANAN PERTANAHAN TERTENTU NOMOR 1 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOMOR 18 TAHUN 2009LARASITA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BUTON UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOMOR 23 TAHUN 2009PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH NOMOR 3 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SUMBA TENGAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN NAGEKEO PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BENGKULU TENGAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 7 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 9 TAHUN 2009 PEMBENTUKAN PERWAKILAN KANTOR PERTANAHAN KOTA SURABAYA DI PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2010 STANDAR PELAYANAN DAN PENGATURAN PERTANAHAN NOMOR 2 TAHUN 2010 PENANGANAN PENGADUAN MASYARAKAT NOMOR 3 TAHUN 2010 LOKET PELAYANAN PERTANAHAN

198

30. 31.

NOMOR 4 TAHUN 2010 TATA PENERTIBAN TANAH TERLANTAR

CARA

32.

NOMOR 12 TAHUN 1992 SUSUNAN DAN TUGAS PANITIA PEMERIKSAAN TANAH NOMOR 15 TAHUN 1992 LAGU MARS DAN HYMNE BADAN PERTANAHAN NASIONAL

33.

34.

NOMOR 4 TAHUN 1992 PENYESUAIAN HARGA GANTI RUGI TANAH KELEBIHAN MAKSIMUM DAN ABSENTEE/GUNTAI NOMOR 8 TAHUN 1992 PENYEDIAAN DAN PEMBERIAN HAK GUNA BANGUNAN INDUK PARSIAL ATAS TANAH UNTUK KEPERLUAN PERUSAHAAN KAWASAN INDUSTRI, DAN PEMECAHANNYA UNTUK PERUSAHAAN INDUSTRI NOMOR 10 TAHUN 1993 TATA CARA PENGGANTIAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH NOMOR 13 TAHUN 2000 PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK PADA DAERAH UJI COBA DI WILAYAH KERJA KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN MALANG DAN KANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA TANGERANG NOMOR 24 TAHUN 2002 KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR NOMOR 25 TAHUN 2002 PEDOMAN PELAKSANAAN PERMOHONAN PENEGASAN TANAH NEGARA MENJADI OBYEK PENGATURAN PENGUASAAN TANAH/LANDREFORM NOMOR 1 TAHUN 2003 TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 2003 NORMA DAN STANDAR MEKANISME KETATALAKSANAAN KEWENANGAN PEMERINTAH DI BIDANG PERTANAHAN YANG DILAKSANAKAN OLEH PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA NOMOR 1 TAHUN 2006 PEMBERIAN PENGHARGAAN BERUPA SERTIPIKAT/PIAGAM DAN PLAKAT KEPADA GUBERNUR, BUPATI DAN ATAU WALIKOTA NOMOR 14 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL PROVINSI KEPULAUAN RIAU

35.

NOMOR 6 TAHUN 2010 PENANGANAN BENCANA DAN PENGEMBALIAN HAK-HAK MASYARAKAT ATAS ASET TANAH DI WILAYAH BENCANA NOMOR 1 TAHUN 1992 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN UANG PEMASUKAN TANAHTANAH OBYEK LANDREFORM NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 2006 NOMOR 2 TAHUN 2006 POLA KARIER PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

36.

37.

NOMOR 4 TAHUN 2006 ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL DAN KANTOR PERTANAHAN NOMOR 5 TAHUN 2006 MEKANISME DAN TATA KERJA STAF KHUSUS

38.

39.

40.

41.

42.

43.

199

44.

45.

46.

NOMOR 15 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN MELAWI DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 16 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SEKADAU DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN KEPAHIANG DI PROVINSI BENGKULU NOMOR 18 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BOMBANA DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOMOR 19 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SAMOSIR DI PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 2 TAHUN 2006 PENDELEGASIAN WEWENANG PENYESUAIAN GAJI POKOK PEGAWAI NEGERI SIPIL NOMOR 21 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN NAGAN RAYA DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 20 TAHUN 2006 PEMBENTUKAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SELUMA DI PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2006 PEMBERIAN PENGHARGAAN BHUMI BHAKTI ADHIGUNA KEPADA PARA GUBERNUR, BUPATI DAN ATAU WALIKOTA NOMOR 4 TAHUN 2006 PENETAPAN FORMASI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

47.

48.

49.

50.

51.

52.

53.

200

Tabel 6.24. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan;


NO. 1. KEMENTERIAN KEHUTANAN KEPMEN PERMEN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN INDONESIA NOMOR: P. 34/MENHUT-II/2010 NOMOR : SK. 48/MENHUT-II/2004TENTANG TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KAWASAN HUTAN KEHUTANAN NOMOR 70/KPTS-II/2001 TENTANG PENETAPAN KAWASAN HUTAN, PERUBAHAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P 36/MENHUT-II/2009 TENTANG TATA CARA PERIJINAN USAHA PEMANFAATAN PENYERAPAN DAN/ATAU PENYIMPANAN KARBON PADA HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR:223/KPTS-IV/1997 TENTANG:PENGESAHAN RENCANA KARYA PENGUSAHAAN HUTAN YANG MELIPUTI SELURUH JANGKA WAKTU PENGUSAHAAN HUTAN (SEMENTARA) ATAS NAMA PT. PANCA USAHA PALOPO PLYWOOD PROVINSI DATI II SULAWESI SELATAN KEPMENHUT NO. 70 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN KAWASAN HUTAN PERUBAHAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN

2.

3.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.11/MENHUT-II/2010 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.49/MENHUT-II/2007 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN KEWENANGAN MENTERI KEHUTANAN SEBAGAI PENGGUNA ANGGARAN/BARANG DI PROVINSI KEPADA KEPALA UNIT PELAKSANA TEKNIS YANG DITUNJUK SELAKU KOORDINATOR PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.5/MENHUT-II/2010 TENTANG STANDAR PERALATAN POLISI KEHUTANAN

4.

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 21/KPTS-II/2001 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 32/KPTS-II/2001 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NO. 146 TAHUN 1999 TENTANG : PEDOMAN REKLAMASI BEKAS TAMBANG DALAM KAWASAN HUTAN

5.

6.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/MENHUT-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN KORIDOR PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 15/MENHUT-II/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.13/MENHUTII/2009 TENTANG HTUAN TANAMAN HASIL REHABILITASI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 50/MENHUT-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

7.

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NO. 479/KPTS-II/1994 TENTANG : LEMBAGA KONSERVASI TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

8.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.4/MENHUT-II/2010 TENTANG PENGURUSAN BARANG BUKTI TINDAK PIDANA KEHUTANAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.474/MENHUT-VII/2004 TENTANG RENCANA KERJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA (RENJA-KL) DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2005

201

9.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 25/MENHUT-II/2009 TENTANG PEDOMAN UMUM PENILAIAN LOMBA PENGHIJAUAN DAN KONSERVASI ALAM (PKA)

KEPMENHUT NOMOR 344/KPTS-II/1995 KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PERPANJANGAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN PT. WIRA LANAO LTD YANG DIBERIKAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR. 428/KPTS/UM/8/1970 TANGGAL 28 AGUSTUS 1970

10.

PERMENHUT NO. TENTANG PEDOMAN NASIONAL

P.56/MENHUT-II/2006 ZONASI TAMAN

11.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. /MENHUT-II/2008 TENTANG PEMBANGUNAN MODEL DESA KONSERVASI (MDK) DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN KONSERVASI P.46/MENHUT-II/2010 TENTANG: PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR: P.24/MENHUT-II/2010 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEBUN BIBIT RAKYAT. PERMENHUT NO. P.55/MENHUT-II/2006 TENTANG PUHH YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 528/KPTS/UM/7/1980 TANGGAL 26 JUNI 1980 TENTANG PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN KEPADA PT. HENRISON IRIAN KEPMENHUT NOMOR 252/KPTS-II/1990 KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN KEPADA PT. WANA RIMBA KENCANA

12.

13.

KEPMENHUT NOMOR 744/KPTS-II/1990 PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN KEPADA PT. WAPOGA MUTIARA TIMBER KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NO. 242/KPTS/UM/4/1979 TENTANG PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN KEPADA PT. SATYA VOLUNTER RAYA SEPANJANG MENYANGKUT PENGGABUNGAN HPH DENGAN PT. ERNA DJULIAWATI DAN SERTA PENYESUAIAN BENTUK BARU SURAT KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN KEPMENHUT NOMOR SK.125 /KPTS-IV/86 KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN KEPADA PT. SARI BUMI KUSUMA

14.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.33/MENHUT-II/2007 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.51/MENHUTII/2006 TENTANG PENGGUNAAN SURAT KETERANGAN ASAL USUL (SKAU) UNTUK PENGANGKUTAN HASIL HUTAN KAYU YANG BERASAL DARI HUTAN HAK PERMENHUT NO.76/2006 KARIER PNS DEPHUT TENTANG POLA

15.

16.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.3/MENHUT-II/2008 TENTANG DELINIASU IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM HUTAN TANAMAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.22/MENHUT-II/2009

17.

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR:733/KPTS-II/1997 TENTANG:PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI ATAS AREAL HUTAN SELUAS 9.300 (SEMBILA RIBU TIGA RATUS) HEKTAR DI PROVINSI DAERAH TINGKAT I RIAU KEPADA PT. EKAWANA LESTARIDHARMA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR:614/KPTS-II/1997 TENTANG:PERUBAHAN PASAL 8 DAN PASAL 18 KEPUTUSAN MENTERI KEHUTAAN NOMOR 55/KPTS-II/1994 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR:542/KPTS-II/1997 TENTANG:PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI POLA TRANSMIGRASI ATAS AREAL HUTAN SELUAS 12.000 (DUA BELAS RIBU) HEKTAR DI

202

PROVINSI DAERAH TINGKAT I RIAU KEPADA PT. RIAU ABADI LESTARI TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P. 31/MENHUT-II/2005 TENTANG PELEPASAN KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA BUDIDAYA PERKEBUNAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.44/MENHUT-II/2010, TENTANG PEDOMAN TATA NASKAH DINAS KEMENTERIAN KEHUTANAN

18.

19.

20.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR: P.05/MENHUT-II/2006 TENTANG PEDOMAN VERIFIKASI IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM (IUPHHK-HA) DAN ATAU PADA HUTAN TANAMAN (IUPHHK-HTI) YANG DITERBITKAN OLEH GUBERNUR ATAU BUPATI/ WALIKOTA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.42/MENHUT-II/2010, TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR:444/KPTS-II/1997 TENTANG:PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI POLA TRANSMIGRASI ATAS AREAL HUTAN SELUAS 21.870 (DUA PULUH SATU RIBU DELAPAN RATUS TUJUH PULUH) HEKTAR DI PROVINSI DAERAH TINGKAT I RIAU KEPADA PT. NUSA WANA RAYA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR:435/KPTS-II/1997 TENTANG:SISTEM SILVIKULTUR DALAM PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

21.

22.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.41/MENHUT-II/2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PROGRAMA PENYULUHAN KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.40/MENHUT-II/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KEHUTANAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR:348/KPTS-II/1997 TENTANG:PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NO. 446/KPTS-II/1996 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN, PEMBERIAN DAN PENCABUTAN IZIN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR:335/KPTS-II/1997 TENTANG: RENCANA KARYA PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (RKPHTI) KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR:326/KPTS-II/1997 TENTANG:KEWAJIBAN PEMEGANG IJIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) MENYEDIAKAN DAN MENJUAL SEBAGIAN HASIL PRODUKSINYA UNTUK KEPERLUAN MASYARAKAT

23.

24.

25.

26.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.39/MENHUT-II/2010 TENTANG POLA UMUM, KRITERIA, DAN STANDAR REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.38/MENHUT-V/2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA TAHUNAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.37/MENHUT-V/2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2010, TENTANG TIM TERPADU DALAM RANGKA PENELITIAN PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

203

27.

28.

29.

30.

31.

32.

33.

34.

35.

36.

37.

38.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.35/MENHUT-II/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.32/MENHUTII/2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (RTKRHLDAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.34/MENHUT-II/2010, TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.33/MENHUT-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.32/MENHUT-II/2010 TENTANG TUKAR MENUKAR KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.31/MENHUT-II/2010 TENTANG STANDAR BIAYA PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU ATAS PEMEGANG IZIN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.30/MENHUT-II/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.9/MENHUTII/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN KORIDOR PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.29/MENHUT-II/2010 TENTANG RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU DALAM HUTAN TANAMAN INDUSTRI SAGU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.28/MENHUT-II/2010 TENTANG PENGAWASAN PEREDARAN BENIH TANAMAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.27/MENHUTII/2010, TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH LINGKUP KEMENTERIAN KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.26/MENHUT-II/2010, TENTANG PERUBAHAN TERHADAP PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.70/MENHUT-II/2008 TENTANG PEDOMAN TEKNIS REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.25/MENHUT-II/2010, 3 JUNI 2010 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN TAHUN 2010 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.24/MENHUT-II/2010, TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEBUN BIBIT RAKYAT

204

39.

40.

41.

42.

43.

44.

45.

46.

47.

48.

49.

50.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.23/MENHUT-II/2010, TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.14/MENHUTV/2008 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PELAKSANAAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM KEHUTANAN DANA REBOISASI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.22/MENHUT-II/2010 TENTANG PEDOMAN AUDIT KINERJA LINGKUP KEMENTERIAN KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.21/MENHUT-II/2010, TENTANG PANDUAN PENANAMAN SATU MILYAR POHON PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.20/MENHUT-II/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.58/MENHUTII/2008 TENTANG KOMPETENSI DAN SERTIFIKASI TENAGA TEKNIS PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.19/MENHUTII/2010,TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.18/MENHUT-II/2010, TENTANG SURAT IZIN BERBURU DAN TATA CARA PERMOHONAN IZIN BERBURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.17/MENHUT-II/2010, TENTANG PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN PENGUSAHAAN TAMAN BURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.16/MENHUT-II/2010, 6 APRIL 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENILAIAN LOMBA PENGHIJAUAN DAN KONSERVASI ALAM WANA LESTARI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.15/MENHUT-II/2010, 1 APRIL 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.13/MENHUT-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.14/MENHUT-II/2010, TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.49/MENHUTII/2008 TENTANG HUTAN DESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.13/MENHUT-II/2010, TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR: P.37/MENHUT-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.12/MENHUTII/2010,TENTANG TATA CARA PENGENAAN, PENAGIHAN, DAN PEMBAYARAN IURAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

205

51.

52.

53.

54.

55.

56.

57.

58.

59.

60.

61.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.11/MENHUT-II/2010 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.49/MENHUT-II/2007 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN KEWENANGAN MENTERI KEHUTANAN SEBAGAI PENGGUNA ANGGARAN/BARANG DI PROVINSI KEPADA KEPALA UNIT PELAKSANA TEKNIS YANG DITUNJUK SELAKU KOORDINATOR PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.10/MENHUT-II/2010, TENTANG MEKANISME DAN TATA CARA AUDIT KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.9/MENHUT-II/2010, TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN KORIDOR PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.8/MENHUTII/2010, TENTANG RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) KEMENTERIAN KEHUTANAN TAHUN 2010-2014 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.7/MENHUT-II/2010, TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2010 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI SELAKU WAKIL PEMERINTAH PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.6/MENHUT-II/2010, TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.5/MENHUTII/2010, TENTANG STANDAR PERALATAN POLISI KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.4/MENHUTII/2010TENTANG PENGURUSAN BARANG BUKTI TINDAK PIDANA KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.03/MENHUTII/2010,TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG KEHUTANAN TAHUN ANGGARAN 2010 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.02/MENHUTII/2010 TENTANG SISTEM INFORMASI KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.01/MENHUTII/2010,TENTANG PENDELEGASIAN WEWENANG PEMBERIAN IZIN USAHA DI BIDANG KEHUTANAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DI BIDANG PENANAMAN MODAL KEPADA KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

206

Tabel 6.25. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral
NO PERMEN 1. PERATURAN MENTERI ESDM NO.15 TAHUN 2010 TENTANG DAFTAR PROYEK-PROYEK PERCEPATAN PEMBANGUNAN PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK YANG MENGGUNAKAN ENERGI BARU TERBARUKKAN, BATUBARA DAN GAS SERTA TRANSMISI TERKAIT KEMENTRIAN ESDM KEPMEN KEP-26 /M.EKON/03/2007 TENTANG TIM EKSTERNAL PEMANTAU PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGEMBANGAN SEKTOR RIIL DAN PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH

2.

PERATURAN TAHUN 2010

MENTERI

ESDM

NO.14

KEP-25 /M.EKON/06/2007

207

TENTANG PENETAPAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI MANAJER BIDANG BANGUNAN GEDUNG SUB BIDANG PENGELOLAAN

TENTANG TIM PEMANTAU KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGEMBANGAN SEKTOR RIIL DAN PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH

3.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.13 TAHUN 2010 TENTANG PENETAPAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI MANAJER ENERGI BIDANG INDUSTRI

KEP-11 /M.EKON/03/2007 TENTANG TIM KOORDINASI PROGRAM AKSI PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN ENERGI ALTERNATIF

4.

PERATURAN TAHUN 2010

MENTERI

ESDM

NO.12

KEP-03 /M.EKON/01/2008

208

TENTANG PENETAPAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI ASESOR KETENAGALISTRIKAN BIDANG PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK SUB BIDANG OPERASI DAN SUB BIDANG PEMELIHARAAN

TENTANG TIM EKSTERNAL PEMANTAU PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGEMBANGAN SEKTOR RIIL DAN PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH

5.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.11 TAHUN 2010 TENTANG PENETAPAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI ASESOR KETENAGALISTRIKAN BIDANG INDUSTRI PERALATAN TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERANCANGAN, SUB BIDANG MANUFAKTUR, SUB BIDANG PERAWATAN DAN PERBAIKAN MESIN PRODUKSI, DAN SUB BIDANG PENGENDALIAN DAN JAMINAN MUTU

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2360 K/30/MEM/2010 PENETAPAN KEBUTUHAN DAN PERSENTASE MINIMAL PENJUALAN BATUBARA UNTUK KEPENTINGAN NASIONAL DALAM NEGERI TAHUN 2011

209

6.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.10 TAHUN 2010 TENTANG PENETAPAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI ASESOR KETENAGALISTRIKAN BIDANG INDUSTRI PEMANFAAT TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERANCANGAN, SUB BIDANG PRODUKSI, SUB BIDANG KEPASTIAN DAN KENDALI MUTU.DAN SUB BIDANG PERAWATAN, PERBAIKAN DAN PEMASANGAN

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2359 K/12/MEM/2010 TENTANG HARGA LIQUEFIED PETROLEUM GAS TABUNG 3 KILOGRAM TAHUN ANGGARAN 2010

7.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.09 TAHUN 2010 TENTANG PENETAPAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG PEMBANGKITAN ENERGI BARU TERBARUKAN SUB BIDANG KONSTRUKSI, SUB BIDAANG OPERASI, SUB BIDANG PEMELIHARAAN DAN SUB BIDANG INSPEKSI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2026 K/20/MEM/2010 TENTANG PENGESAHAN RENCANA USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK PT PLN (PERSERO) TAHUN 2010-2019

8.

PERATURAN TAHUN 2010

MENTERI

ESDM

NO.08

KEPUTUSAN K/30/MEM/2010

MENTERI

ESDM

NO.1604

210

TENTANG PENETAPAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG INSTALASI PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERANCANGAN, SUB BIDANG KONSTRUKSI, SUB BIDAANG OPERASI, SUB BIDANG PEMELIHARAAN DAN SUB BIDANG INSPEKSI

TENTANG PENETAPAN KEBUTUHAN DAN PROSENTASE MINIMAL PENJUALAN BATUBARA UNTUK KEPENTINGAN DALAM NEGERI TAHUN 2010

9.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.07 TAHUN 2010 TENTANG TARIF TENAGA LISTRIK YANG DISDIAKAN OLEH PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PT PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1557 K/30/MEM/2010 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH BATURADEN, KABUPATEN BANYMAS, KABUPATEN TEGAL, KABUPATRN BREBES, KABUPATEN PURBALINGGA DAN KABUPATEN PEMALANG

10.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.06 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1556 K/30/MEM/2010 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH GUCI, KABUPATEN TEGAL, KAABUPATEN BREBED DAN KABUPATEN PEMALANG, PROVINSI JAWA TENGAH

211

11.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.05 TAHUN 2010 TENTANG PENDELEGASIAN WEWENANG PEMBERIAN IZIN USAHA DI BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DALAM RANGKA PELAKSANAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DI BIDANG PENANAMAN MODAL KEPADA KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.0225 K/11/MEM/2010 TENTANG RENCANA INDUK JARINGAN TRANSMISI DAN DISTRIBUSI GAS BUMI NASIONAL TAHUN 2010-2025

12.

PERATURAN TAHUN 2010

MENTERI

ESDM

NO.03

KEPUTUSAN K/12/MEM/2010

MENTERI

ESDM

NO.0219

212

TENTANG ALOKASI PEMANFAATAN GAS BUMI UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN DALAM NEGERI

TENTANG HARGA INDEKS PASAR BAHAN BAKAR MINYAK DAN HARGA INDEKS PASAR BAHAN BAKAR NABATI (BIOFUEL) YANG DICAMPURKAN KEDALAM JENIS BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU

13.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.02 TAHUN 2010 TENTANG DAFTAR PROYEK-PROYEK PERCEPATAN PEMBANGUAN PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK YANG MENGGUNAKAN ENERGI BARU TERBARUKAN, BATUBARA, DAN GAS SERTA TRANSMISI TERKAIT

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.0155 K/30/MEM/2010 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH RANTAU DADAP, KABUPATEN MUARA ENIM, KABUPATEN LAHAT DAN KOTA PAGAR ALAM PROVINSI SUMATERA SELATAN

14.

PERATURAN TAHUN 2010

MENTERI

ESDM

NO.01

EPUTUSAN MENTERI K/30/MEM/2010

ESDM

NO.2360

213

TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN DILINGKUNGAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

TENTANG PENETAPAN KEBUTUHAN DAN PERSENTASE MINIMAL PENJUALAN BATUBARA UNTUK KEPENTINGAN DALAM NEGERI TAHUN 2011

15.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.04 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TAHUN 2010-2014

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.330 K/30/DJB/2009 TENTANG PERPANJANGAN II TAHAP KEGIATAN EKSPLORASI WILAYAH KONTRAK KARYA PT. CITRA PALU MINERALS

16.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.5 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN HARGA PEMBELIAN TENAGA LISTRIK OLEH PT PLN (PERSERO) DARI KOPERASI ATAU BADAN USAHA LAIN

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2768 K/12/MEM/2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 1680 K/MEM/2009 TENTANG HARGA PATOKAN LIQUEFIED PETROLEUM GAS TABUNG 3 KILOGRAM TAHUN ANGGARAN 2009

214

17.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.34 TAHUN 2009 TENTANG PENGUTAMAAN PEMASOK KEBUTUHAN MINERAL DAN BATUBARA UNTUK KEPENTINGAN UMUM

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2712 K/12/MEM/2009 TENTANG HARGA INDEKS PASAR BAHAN BAKAR MINYAK DAN HARGA INDEKS PASAR BAHAN BAKAR NABATI (BIOFUEL) TAHUN 2009

18.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.33 TAHUN 2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DIBIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KEPADA GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI TAHUN ANGGARAN 2010

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2711 K/12/MEM/2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 1246 K/12/MEM/2009 TENTANG HARGA PATOKAN JENIS BAHAN BAKAR TERTENTU TAHUN ANGGARAN 2009

215

19.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.32 TAHUN 2009 TENTANG HARGA PATOKAN PEMBELIAN TENAGA LISTRIK OLEH PT PLN (PERSERO) DARI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA PANAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2471 K/12/MEM/2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 1246 K/12/MEM/2009 TENTANG HARGA PATOKAN JENIS BAHAN BAKAR TERTENTU TAHUN ANGGARAN 2009

20.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.31 TAHUN 2009 TENTANG PEMBELIAN TENAGA LISTRIK OLEH PT PLN (PERSERO) DARI PEMBANGKIT LISTRIK YANG MENGGUNAKAN ENERGI BARU TERBARUKAN SKALA KECIL DAN MENENGAH ATAU KELEBIHAN TENAGA LISTRIK

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.23 K/10/MEM/2009 TENTANG IZIN PENGANGKUTAN GAS BUMI MELALUI PIPA KEPADA PT PERTAMINA GAS (PERTAGAS)

21.

PERATURAN TAHUN 2009

MENTERI

ESDM

NO.30

KEPUTUSAN K/30/MEM/2009

MENTERI

ESDM

NO.211

216

TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KELISTRIKAN BIDANG PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK SUB BAGIAN PERANCANGAN, SUB BAGIAN PERENCANAAN, SUB BAGIAN KONSTRUKSI DAN SUB BAGIAN INSPEKSI. LAMPIRAN PERMEN ESDM NO. 30 TAHUN 2009

TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH GUNUNG RAJABASA, KABUPATEN LAMPUNG SELATAN, PROVINSI LAMPUNG

22.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.29 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENAWARAN PENGOPERASIAN JARINGAN DISTRIBUSI GAS BUMI UNTUK RUMAH TANGGA YANG DIBANGUN OLEH PEMERINTAH

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2010 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN WILAYAH PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUMI

23.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.28 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA JASA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.19 K/10/MEM/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 1565 K/10/MEM/2008 TENTANG IZIN USAHA PENGANGKUTAN MINYAK BUMI DAN GAS BUMI KEPADA PT PERTAMINA (PERSERO

24.

PERATURAN TAHUN 2009

MENTERI

ESDM

NO.27

KEPUTUSAN K/30/MEM/2009

MENTERI

ESDM

NO.1844

217

TENTANG PEDOMAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERSTRUKTUR

TENTANG PENETAPAN DAERAH PENGHASIL DAN DASAR PENGHITUNGAN BAGIAN DAERAH PENGHASIL PERTAMBANGAN PANAS BUMI TAHUN 2006 SAMPAI DENGAN TAHUN 2009

25.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.26 TAHUN 2009 TENTANG PENDISTRIBUSIAN LIQUEFIED PETROLEUM GAS

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1680 K/12/MEM/2009 TENTANG HARGA PATOKAN LIQUEFIED PETROLEUM GAS TABUNG 3 KILOGRAM TAHUN ANGGARAN 2009

26.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.25 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KURIKULUM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TEKNIS BIDANG KETENAGALISTRIKAN DAN ENERGI BARU TERBARUKAN

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1246 K/12/MEM/2009 TENTANG HARGA PATOKAN JENIS BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU TAHUN ANGGARAN 2009

27.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.24 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KURIKULUM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TEKNIS BIDANG GEOLOGI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1203 K/10/MEM/2009 TENTANG PELIMPAHAN WEWENANG MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DI BIDANG MINYAK DAN GAS BUMI KEPADA DIREKTUR JENDERAL MINYAK DAN GAS BUMI

28.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.23 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KURIKULUM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TEKNIS BIDANG MINERAL DAN BATUBARA

KEPUTUSAN K/10/MEM/2009

MENTERI

ESDM

NO.1110

TENTANG IZIN USAHA PENGANGKUTAN GAS BUMI MELALUI PIPA KEPADA PT PERUSAHAAN GAS NEGARA (PERSERO) TBK

218

29.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.22 TAHUN 2009 TENTANG PENNETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KURIKULUM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN INSPEKTUR MINYAK DAN GAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1086 K/30/MEM/2009 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH LIKI PINANGAWAN MUARALABOH, KABUPATEN SOLOK SELATAN, PROVINSI SUMATERA BARAT

30.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.21 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT PENGURUS UNIT NASIONAL DAN SEKRETARIAT SUB UNIT NASIONAL KORPS PEGAWAI REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.0026 K/30/MEM/2009 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH KALDERA DANAU BANTEN, KABUPATEN SERANG DAN KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN

31.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.20 TAHUN 2009 TENTANG SUSUNAN DAN TATA KERJA KELOMPOK KERJA

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.0025 K/30/MEM/2009 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH SUWAWA, KABUPATEN BONE BOLANGO DAN KOTA GORONTALO, PROVINSI GORONTALO

32.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.19 TAHUN 2009 TENTANG KEGIATAN USAHA GAS BUMI MELALUI PIPA

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2478 K/12/MEM/2009 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH SUOH-SEKINCAU, KABUPATEN LAMPUNG BARAT, PROVINSI LAMPUNG

219

33.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.18 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PENANAMAN MODAL DALAM RANGKA PELAKSANAAN KONTRAK KARYA DAN PERJANJIAN KARYA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.0911 K/30/MEM/2009 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 2761 K/13/MEM/2008 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA MINYAK DAN GAS BUMI, BENTUK KONTRAK KERJASAMA DAN KETENTUAN POKOK KONTRAK KERJASAMA (TERM AND CONDITION) SERTA MEKANISME PENAWARAN WILAYAH KERJA DALAM PENAWARAN WILAYAH KERJA MINYAK DAN GAS BUMI PERIODE II TAHUN 2008

34.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.17 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA MENGENAI LUMINER SEBAGAI STANDAR WAJIB

NOMOR-331-12 /20/600.3/2007 TENTANG PERPANJANGAN IUKU SEMENTARA PT GENERAL ENERGY BALI

35.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.16 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA MENGENAI PEMUTUS SIRKIT ARUS SISA TANPA PROTEKSI ARUS LEBIH TERPADU UNTUK PEMAKAIAN RUMAH TANGGA DAN SEJENISNYA (RCCB) SEBAGAI STANDAR WAJIB

NOMOR-311-12 /20/600.3/2007 TENTANG IUKU SEMENTARA ELECTRIC POWER

PT

CIREBON

220

36.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.15 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA MENGENAI PERLENGKAPAN KENDALI LAMPU SEBAGAI STANDAR WAJIB

NOMOR-163-12 /20/600.3/2007 TENTANG IUKU SEMENTARA PT MEGA POWER MANDIRI

37.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.14 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS DAN FUNGSI SEKRETARIAT JENDERAL DEWAN ENERGI NASIONAL

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2966 K/30/MEM/2008 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH ATADEI, KABUPATEN LEMBATA, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

38.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.13 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RANCANGAN PENETAPAN CEKUNGAN AIR TANAH

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2965 K/30/MEM/2008 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH SONGA WAYAU, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, PROVINSI MALUKU UTARA

39.

PERATURAN TAHUN 2009

MENTERI

ESDM

NO.12

KEPUTUSAN K/30/MEM/2008

MENTERI

ESDM

NO.2964

TENTANG PENETAPAN INDIKATOR KINERJA UTAMA DILINGKUNGAN DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH MARANA, KABUPATEN DONGGALA, PROVINSI SULAWESI TENGAH

40.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.11 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PANAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2963 K/30/MEM/2008 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH SORIK MARAPI-ROBURAN-SAMPURAGAKABUPATEN MANDAILING NATAL, PROVINSI SUMATERA UTARA

221

41.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.10 TAHUN 2009 TENTANG JADWAL RETENSI ARSIP SUBSTANTIF PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2962 K/30/MEM/2008 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH BUKIT KILI, KABUPATEN SOLOK DAN KOTA SOLOK, PROVINSI SUMATERA BARAT

42.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.09 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN IZIN BELAJAR, UJIAN KENAIKAN PANGKAT PENYESUAIAN IJAZAH DAN PENCANTUMAN GELAR BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2961 K/30/MEM/2008 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH SIPOHOLON RIA-RIA KABUPATEN TAPANULI UTARA, PROVINSI SUMATERA UTARA

43.

PERATURAN TAHUN 2009

MENTERI

ESDM

NO.08

KEPUTUSAN K/21/MEM/2008

MENTERI

ESDM

NO.2780

TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR LATIH KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG INDUSTRI PERALATAN TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERANCANGAN, SUB BIDANG MANUFAKTUR, DAN SUB BIDANG PENGENDALIAN DAN JAMINAN MUTU

TENTANG PENGESAHAN RENCANA USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK PT PLN (PERSERO) TAHUN 2009 S.D 2018

222

44.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.07 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR LATIH KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG INDUSTRI PEMANFAAT TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERANCANGAN, SUB BIDANG PRODUKSI, SUB BIDANG KEPASTIAN DAN KENDALI MUTU, DAN SUB BIDANG PERAWATAN, PERBAIKAN DAN PEMASANGAN

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2761 K/13/MEM/2008 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA MINYAK DAN GAS BUMI BENTUK KONTRAK KERJASAMA DAN KETENTUAN POKOK KONTRAK KERJASAMA (TERM AND CONDITION) SERTA MEKANISME PENAWARAN WILAYAH KERJA DALAM PENAWARAN WILAYAH KERJA MINYAK DAN GAS BUMI PERIODE II TAHUN 2008

45.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.06 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR LATIH KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG JASA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA LISTRIK

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2682 K/21/MEM/2008 TENTANG RENCANA UMUM KELISTRIKAN NASIONAL

46.

PERATURAN TAHUN 2009

MENTERI

ESDM

NO.04

KEPUTUSAN K/10/MEM/2008

MENTERI

ESDM

NO.2659

TENTANG ATURAN DISTRIBUSI TENAGA LISTRIK

TENTANG PELIMPAHAN WEWENANG MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KEPADA DIREKTUR JENDERAL MINYAK DAN GAS BUMI UNTUK PEMBERIAN IZIN SURVEI UMUM

47.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.03 TAHUN 2009 TENTANG JADWAL RETENSI ARSIP KEPEGAWAIAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2498 K/84/MEM/2008 TENTANG PENETAPAN DAERAH PENGHASIL DAN DASAR PENGHITUNGAN BAGIAN DAERAH PENGHASIL PERTAMBANGAN UMUM, MINYAK BUMI DAN GAS BUMI UNTUK TAHUN 2009

48.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.02 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2473 K/30/MEM/2008 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH HU'U DAHA, KABUPATEN DOMPU, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

223

49.

PERATURAN TAHUN 2009

MENTERI

ESDM

NO.01

KEPUTUSAN K/30/MEM/2008

MENTERI

ESDM

NO.2472

TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK JENIS MINYAK TANAH (KEROSENE), BENSIN PREMIUM DAN MINYAK SOLAR (GAS OIL) UNTUK KEPERLUAN RUMAH TANGGA, USAHA KECIL, USAHA PERIKANAN, TRANSPORTASI, DAN PELAYANAN UMUM

TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI BLAWANIJEN, KABUPATEN BONDOWOSO, KABUPATEN BANYUWANGI DAN KABUPATEN SITUBONDO, PROVINSI JAWA TIMUR

50.

LAMPIRAN PERMEN ESDM NO. 30 TAHUN 2009

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2471 K/30/MEM/2008 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH GUNUNG TALANG, KABUPATEN SOLOK, PROVINSI SUMATERA BARAT

51.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.42 TAHUN 2008 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KEPADA GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI TAHUN ANGGARAN 2009

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2470 K/73/MEM/2008 TENTANG GUGUS TUGAS PENGEHEMATAN ENERGI DAN AIR DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

224

52.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.41 TAHUN 2008 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK JENIS MINYAK TANAH (KEROSENE), BENSIN PREMIUM, DAN MINYAK SOLAR (GAS OIL) UNTUK KEPERLUAN RUMAH TANGGA, USAHA KECIL, USAHA PERIKANAN, TRANSPORTASI DAN PELAYANAN UMUM

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2288 K/07/MEM/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 1762 K/07/MEM/2007 TENTANG PENGAMANAN OBYEK VITAL NASIONAL 01 SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

53.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.39 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA BIDANG PERENCANAAN TAMBANG TERBUKA SUB BIDANG PERENCANAAN TAMBANG TERBUKA JANGKA PANJANG SECARA WAJIB

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1840 K/13/MEM/2008 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA MINYAK DAN GAS BUMI, BENTUK KONTRAK KERJA SAMA DAN KETENTUAN POKOK KERJA SAMA (TERMS AND CONDITIONS) SERTA MEKANISME PENAWARAN WILAYAH KERJA PADA PENAWARAN WILAYAH KERJA MINYAK DAN GAS BUMI PERIODE I TAHUN 2008

54.

PERATURAN TAHUN 2008

MENTERI

ESDM

NO.38

KEPUTUSAN K/13/MEM/2008

MENTERI

ESDM

NO.1834

225

TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK JENIS MINYAK TANAH (KEROSENE), BENSIN PREMIUM, DAN MINYAK SOLAR (GAS OIL) UNTUK KEPERLUAN RUMAH TANGGA, USAHA KECIL, USAHA PERIKANAN, TRANSPORTASI, DAN PELAYANAN UMUM

PENETAPAN WILAYAH KERJA GAS METANA BATUBARA, BENTUK KONTRAK KERJA SAMA DAN KETENTUAN POKOK KERJA SAMA (TERMS AND CONDITIONS) SERTA MEKANISME PENAWARAN WILAYAH KERJA GAS METANA BATUBARA BLOK "GMB INDRAGIRI HULU" DAN BLOK "GMB BENTIAN BESAR"

55.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.37 TAHUN 2008 TENTANG ATURAN JARINGAN SISTEM TENAGA LISTRIK SUMATERA

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1788 K/70/MEM/2008 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN WEWENANG MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KEPADA DIREKTUR JENDERAL MINYAK DAN GAS BUMI PADA PENYEDIAAN DAN PENDISTRIBUSIAN LPG TABUNG 3 KG

56.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.36 TAHUN 2008 TENTANG PENGUSAHAAN GAS METANA BATUBARA

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1764 K/12/MEM/2008 TENTANG HARGA PATOKAN JENIS BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU TAHUN ANGGARAN 2008

57.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.35 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENETAPAN DAN PENAWARAN WILAYAH KERJA MINYAK DAN GAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1737 K/13/MEM/2008 TENTANG PENETAPAN BADAN USAHA ATAU BENTUK USAHA TETAP UNTUK MENGUSAHAKAN GAS METANA BATUBARA DI WILIYAH KERJA GAS METANA BATUBARA BLOK "GMB SEKAYU"

58.

PERATURAN TAHUN 2008

MENTERI

ESDM

NO.33

KEPUTUSAN K/13/MEM/2008

MENTERI

ESDM

NO.1736

TENTANG HARGA JUAL TENAGA LISTRIK YANG DISEDIAKAN OLEH PT PELAYANAN LISTRIK NASIONAL BATAM

TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA GAS METANA BATUBARA, BENTUK KONTRAK KERJASAMA DAN KETENTUAN POKOK KERJASAMA (TERM AND CONDITION) SERTA MEKANISME PENWARAN WILAYAH KERJA GAS METANA BATUBARA DALAM PENAWARAN WILAYAH KERJA BLOK "GMB SEKAYU" TAHUN 2008

226

59.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.32 TAHUN 2008 TENTANG PENYEDIAAN, PEMANFAATAN DAN TATA NIAGA BAHAN BAKAR NABATI (BIOFUEL) SEBAGAI BAHAN BAKAR LAIN

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1661 K/12/MEM/2008 TENTANG HARGA PATOKAN LIQUEFIED PETROLEUM GAS TABUNG 3 KILOGRAM TAHUN ANGARAN 2008

60.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.31 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI ASESOR KETENAGALISTRIKAN BIDANG INSTALASI PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK SUB BIDANG OPERASI, SUB BIDANG PEMELIHARAAN DAN SUB BIDANG INSPEKSI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1568 K/10/MEM/2008 IZIN USAHA NIAGA MINYAK BUMI DAN GAS BUMI KEPADA PT PERTAMINA (PERSERO)

61.

PERATURAN TAHUN 2008

MENTERI

ESDM

NO.30

KEPUTUSAN K/10/MEM/2008

MENTERI

ESDM

NO.1567

TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI ASESOR KETENAGALISTRIKAN BIDANG DISTRIBUSI TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERENCANAAN, SUB BIDANG KONSTRUKSI DAN SUB BIDANG INSPEKSI

IZIN USAHA PENYIMPANAN MINYAK BUMI DAN GAS BUMI KEPADA PT PERTAMINA (PERSERO)

227

62.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.28 TAHUN 2008 TENTANG HARGA JUAL ECERAN LPG TABUNG 3 KILOGRAM UNTUK KEPERLUAN RUMAH TANGGA DAN USAHA MIKRO

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1566 K/10/MEM/2008 TENTANG IZIN USAHA PENGOLAHAN MINYAK BUMI DAN GAS BUMI KEPADA PT PERTAMINA (PERSERO)

63.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.27 TAHUN 2008 TENTANG KEGIATAN USAHA PENUNJANG MINYAK DAN GAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1565 K/10/MEM/2008 TENTANG IZIN USAHA PENGANGKUTAN MINYAK BUMI DAN GAS BUMI KEPADA PT PERTAMINA (PERSERO)

64.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.26 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAERAH USAHA BAGI USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK UNTUK KEPENTINGAN UMUM

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.081 K/73/MEM/2008 PENGANGKATAN PENGELOLA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TAHUN ANGGARAN 2008 DI LINGKUNGAN BADAN PENGATUR HILIR MINYAK DAN GAS BUMI

65.

PERATURAN TAHUN 2008

MENTERI

ESDM

NO.25

KEPUTUSAN K/73/MEM/2008

MENTERI

ESDM

NO.069

TENTANG TATA CARA PENETAPAN KEBIJAKAN PEMBATASAN PRODUKSI PERTAMBANGAN MINERAL NASIONAL

PENGGANTIAN PEJABAT KUASA PENGGUNA ANGGARAN BARANG (KPAKPB) PADA UNIT SATUAN KERJA DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN ANGGARAN 2008

228

66.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.22 TAHUN 2008 TENTANG JENIS-JENIS BIAYA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI YANG TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN KEPADA KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.068 K/73/MEM/2008 PENGANGKATAN PENGELOLA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TAHUN ANGGARAN 2008 DI LINGKUNGAN DINAS YANG MEMBIDANGI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PADA PROVINSI DKI JAKARTA, KALIMANTAN BARAT, DAN PROVINSI PAPUA

67.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.20 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA DI BIDANG KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.067 K/73/MEM/2008 PENGANGKATAN PENGELOLA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TAHUN ANGGARAN 2008 DILINGKUNGAN DINAS YANG MEMBIDANGI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PADA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, PROVINSI KEPULAUAN RIAU, PROVINSI JAMBI, DAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

68.

PERATURAN TAHUN 2008

MENTERI

ESDM

NO.17

KEPUTUSAN K/73/MEM/2008

MENTERI

ESDM

NO.0158

TENTANG PANITIA DAN TATA CARA PENYARINGAN CALON ANGGOTA DEWAN ENERGI NASIONAL DARI PEMANGKU KEPENTINGAN

PENGANGKATAN PENGELOLA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TAHUN ANGGARAN 2008 DI LINGKUNGAN DLNAS YANG MEMBIDANGLI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PADA PROVINSI RIAU

229

69.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.16 TAHUN 2008 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK JENIS MINYAK TANAH (KEROSENEN), BENSIN PREMIUM DAN MINYAK SOLAR (GAS OIL) UNTUK KEPERLUAN RUMAH TANGGA, USAHA KECIL, USAHA PERIKANAN, TRANSPORTASI DAN PELAYANAN UMUM

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.0157 K/73/MEM/2008 TIM KAJIAN PENERAPAN SISTEM "HEDGING" DALAM PENJUALAN MINYAK INDONESIA

70.

PERATURAN TAHUN 2008

MENTERI

ESDM

NO.15

KEPUTUSAN K/30/MEM/2008

MENTERI

ESDM

NO.0131

TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA MENGENAI SISTEM TRANSPORTASI CAIRAN UNTUK HIDROKARBON DAN STANDAR NASIONAL INDONESIA MENGENAI SISTEM PERPIPAAN TRASNMISI DAN DISTRIBUSI GAS SEBAGAI STANDAR WAJIB

PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUMI KEPADA PT SUPREME ENERGY DI DAERAH KALIANDA, KABUPATEN LAMPUNG SELATAN, PROVINSI LAMPUNG

71.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.11 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.0130 K/30/MEM/2008 PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUMI KEPADA PT SUPREME ENERGY DI DAERAH PEMATANG BELIRANG, KABUPATEN LAMPUNG SELATAN, PROVINSI LAMPUNG

72.

PERATURAN TAHUN 2008

MENTERI

ESDM

NO.10

KEPUTUSAN K/30/MEM/2008

MENTERI

ESDM

NO.0129

230

PENYELENGGARAAN SISTEM PENDISTRIBUSIAN TERTUTUP BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU JENIS MINYAK TANAH UNTUK KEPERLUAN RUMAH TANGGA DAN USAHA KECIL

PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUMI KEPADA PT TRINERGY DI DAERAH BATURADEN, KABUPATEN BREBES, PROVINSI JAWA TENGAH

73.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.09 TAHUN 2008 PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI ASESOR BIDANG PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERENCANAAN, SUB BIDANG KONSTRUKSI DAN SUB BIDANG INSPEKSI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.0128 K/30/MEM/2008 PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUMI KEPADA PT SUPREME ENERGY DI DAERAH MUARA LABOH, KABUPATEN SOLOK SELATAN, PROVINSI SUMATERA BARAT

74.

PERATURAN TAHUN 2008

MENTERI

ESDM

NO.08

KEPUTUSAN K/30/MEM/2008

MENTERI

ESDM

NO.0127

PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI ASESOR BIDANG DISTRIBUSI TENAGA LISTRIK SUB BIDANG OPERASI DAN SUB BIDANG PEMELIHARAAN

PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUMI KEPADA PT SPRING ENERGY SENTOSA DI DAERAH GUCI, KABUPATEN TEGAL, PROVINSI JAWA TENGAH

231

75.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.07 TAHUN 2008 PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG TRANSMISI TENAGA LISTRIK SUB BIDANG OPERASI, SUB BIDANG PEMELIHARAAN SUB BIDANG KONSTRUKSI DAN SUB BIDANG INSPEKSI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.3175 K/10/ MEM/2007 TENTANG PENUGASAN PT.PERTAMINA (PERSERO) DAN PENETAPAN DAERAH TERTENTU DALAM PENYEDIAAN DAN PENDISTRIBUSIAN LIQUEFIED PETROLEUM GAS TABUNG 3 KILOGRAM TAHUN 2007

76.

PERATURAN TAHUN 2008

MENTERI

ESDM

NO.06

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 3174 K/12/ MEM/2007 TENTANG HARGA PATOKAN DAN HARGA JUAL ECERAN LIQUEFIED PETROLEUM GAS TABUNG 3 KILOGRAM TAHUN ANGGARAN 2007

TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK SUB BIDANG OPERASI DAN SUB BIDANG PEMELIHARAAN

232

77.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.05 TAHUN 2008 PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR LATIH KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG PEMBANGKITAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKRO HIDRO (PLTMH), PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA BIOMASSA (PLTBM), PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA BAYU (PLTB), DAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SURYA (PLTS)

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 1937 K/30/ MEM/2007 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH CISOLOK CISUKARAME KABUPATEN SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT

78.

PERATURAN TAHUN 2008

MENTERI

ESDM

NO.04

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 1869 K/10/ MEM/2007 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN BISNIS LIQUEFIED NATURAL GAS (LNG) ARUN DAN LIQUIFIED NATURAL GAS (LNG) BADAK

TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR LATIH KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG INSTALASI PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK

233

79.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.03 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PENGEMBALIAN BAGIAN WILAYAH KERJA YANG TIDAK DIMANFAATKAN OLEH KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA DALAM RANGKA PENINGKATAN PRODUKSI MIGAS

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 1790 K/33/ MEM/2007 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH GUNUNG TAMPOMAS, KABUPATEN SUMEDANG DAN KABUPATEN SUBANG, PROVINSI JAWA BARAT

80.

PERATURAN TAHUN 2008

MENTERI

ESDM

NO.02

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 1789 K/33/ MEM/2007 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH GUNUNG UNGARAN, KABUPATEN SEMARANG DAN KABUPATEN KENDAL, PROVINSI JAWA TENGAH

TENTANG PELAKSANAAN KEWAJIBAN PEMENUHAN KEBUTUHAN MINYAK DAN GAS BUMI DALAM NEGERI OLEH KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA

81.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.01 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINYAK DAN BUMI PADA SUMUR TUA

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 1788 K/33/ MEM/2007 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH TELAGA NGEBEL, KABUPATEN PONOROGO DAN KABUPATEN MADIUN, PROVINSI JAWA TIMUR

234

82.

PERATURAN BERSAMA MENPERIN, MENTERI ESDM, MENAKERTRANS, MENDAGRI DAN MENEG BUMN TENTANG PENGOPTIMALAN BEBAN LISTRIK MELALUI PENGALIHAN WAKTU KERJA PADA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA-BALI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 1787 K/33/ MEM/2007 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH JAILOLO, KABUPATEN HALMAHERA BARAT, PROVINSI MALUKU UTARA

83.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2682 K/21/MEM/2008 TENTANG RENCANA UMUM KELISTRIKAN NASIONAL

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 1786 K/33/ MEM/2007 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI DAERAH SEULAWAH AGAM, KABUPATEN ACEH BESAR, PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

84.

PERATURAN TAHUN 2008

MENTERI

ESDM

NO.19

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 1762 K/07/ MEM/2007 TENTANG PENGAMANAN OBYEK VITAL NASIONAL DI SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

TENTANG PEDOMAN TATACARA PERLINDUNGAN KONSUMEN KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI

85.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.18 TAHUN 2008 TENTANG REKLAMASI DAN PENUTUPAN TAMBANG

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 1720 K/12/ MEM/2007 TENTANG HARGA PATOKAN JENIS BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU TAHUN ANGGARAN 2007

235

86.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.13 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 1273 K/30/MEM/2002 TENTANG KOMISI AKREDITASI KOMPETENSI KETENAGALISTRIKAN

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 0740 K/13 MEM/2007 TENTANG PENETAPAN PEMENANG LELANG WILAYAH KERJA MINYAK DAN GAS BUMI TAHUN 2006

87.

PERATURAN TAHUN 2008

MENTERI

ESDM

NO.12

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 2821 K/80/ MEM/2007 TENTANG PENETAPAN DAERAH PENGHASIL DAN DASAR PENGHITUNGAN BAGIAN DAERAH PENGHASIL PERTAMBANGAN UMUM, MINYAK BUMI DAN GAS BUMI. TAHUN 2008

TENTANG PERUBAHAN HARI DAN JAM KERJA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN MINYAK DAN GAS BUMI (PUSDIKLAT MIGAS) DAN PERGURUAN TINGGI KEDINASAN (PTK) AKAMIGAS, BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL (BADIKLAT ESDM), DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

88.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.29 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI ASESOR KETENAGALISTRIKAN BIDANG TRANSMISI TENAGA LISTRIK, SUB BIDANG OPERASI DAN SUB BIDANG PEMELIHARAAN

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2817 K/40/MEM/2006 TENTANG PENETAPAN KAWASAN CAGAR ALAM GEOLOGI KARANGSAMBUNG

236

89.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM K/31/MEM/2006 TENTANG RENCANA KETENAGALISTRIKAN NASIONAL

NO.2270 UMUM

90.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.21 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYEDIAAN DAN PENDISTRIBUSIAN LIQUEFIED PETROLEUM GAS TABUNG 3 KILOGRAM

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 2876 K/23 MEM/2006 TENTANG PENETAPAN PEMENANG PENAWARAN LANGSUNG WILAYAH KERJA MINYAK DAN GAS BUMI TAHUN 2006

91.

PERATURAN TAHUN 2007 PEDOMAN BELAJAR

MENTERI

ESDM

NO.20 TUGAS

KEPUTUSAN MENTERI K/22/MEM/2006 TENTANG BAKAR

ESDM

NO.

2875

PELAKSANAAN

HARGA PATOKAN JENIS BAHAN

92.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.19 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 2808 K/20/MEM/2006 TENTANG STANDAR DAN MUTU (SPESIFIKASI) PELUMAS YANG DIPASARKAN DI DALAM NEGERI

93.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.18 TAHUN 2007 PELAYANAN JASA BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DI LINGKUNGAN BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN ENERGI DAN SUMBER DAYA ALAM

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 2602 K/23/MEM/2006 TENTANG PENETAPAN WILAYAH KERJA MINYAK GAS BUMI, BENTUK KONTRAK KERJA SAMA DAN KETENTUAN POKOK KERJA SAMA (TERM AND CONDITION) SERTA MEKANISME PENAWARAN WILAYAH KERJA MINYAK DAN GAS BUMI PUTARAN I TAHUN 2006

94.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.17 TAHUN 2007 TENTANG PETA JABATAN DAN URAIAN JABATAN FUNGSIONAL UMUM DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 2308 K/22/MEM/2006 TENTANG HARGA PATOKAN JENIS BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU TAHUN ANGGARAN 2006

237

95.

PERATURAN TAHUN 2007

MENTERI

ESDM

NO.15

KEPUTUSAN MENTERI K/73/MEM/2006

ESDM

NO.

0048

TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 2052 K/40/MEM/2001 TENTANG STANDARISASI KOMPENTENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN

TENTANG PENANGGUNG JAWAB PENANGANAN KEGIATAN REHABILITASI PEMBANGUNAN NANGGROE ACEH DARUSALAM (NAD), PENANGANAN SOSIALISASI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) DAN LISTRIK, PENANGANAN PERCEPATAN KEGIATAN ENERGI ALTERNATIF, PENANGANAN MASALAH YANG BERKAITAN DENGAN KEMARITIMAN DAN PENANGGUNG JAWAB PELAKSANAAN PUBLIC RELATION DISEKTOR ESDM

96.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.14 TAHUN 2007 PEDOMAN SISTEM INFORMASI KEPEGAWAIAN DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2094.K/80/MEM/2005 TENTANG PENETAPAN DAERAH PENGHASIL DAN DASAR PERHITUNGAN BAGIAN DAERAH PENGHASIL MINYAK BUMI DAN GAS SERTA PERTAMBANGAN UMUM UNTUK TAHUN 2006

97.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.12 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA 04-3892.1-2006 MENGENAI MENGENAI TUSUK-KONTAK DAN KOTAK-KOTAK UNTUK KEPERLUAN RUMAH TANGGA DAN SEJENISNYA-BAGIAN 1 : PERSYARATAN UMUM, SEBAGAI STANDAR WAJIB

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2059 K/31/MEM/2005 TENTANG PENGESAHAN RENCANA USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK PT PLN (PERSERO) TAHUN 2006-2015

98.

PERATURAN TAHUN 2007

MENTERI

ESDM

NO.11

KEPUTUSAN K/20/MEM/2005

MENTERI

ESDM

NO.2048

238

TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA 04-6292.2-2006 MENGENAI PIRANTI LISTRIK RUMAH TANGGA DAN SEJENISNYAKESELAMATAN-BAGIAN 2-80 : PERSYARATAN KHUSUS KIPAS ANGIN SEBAGAI STANDAR WAJIB

TENTANG WILAYAH USAHA NIAGA BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU

JENIS

99.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.10 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA 04-6203.1-2006 MENGENAI SAKLAR UNTUK INSTALASI LISTRIK TETAP RUMAH TANGGA DAN SEJENISNYA BAGIAN 1 : SEABAGAI STANDAR WAJIB

TENTANG PENUGASAN PT PERTAMINA (PERSERO) DALAM PENYEDIAAN DAN PENDISTRIBUSIAN JENIS BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU DI SELURUH WILAYAH INDONESIA

100.

PERATURAN TAHUN 2007

MENTERI

ESDM

NO.09

KEPUTUSAN K/40/MEM/2005

MENTERI

ESDM

NO.1924

TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA 04-06507-1-2002 DAN STANDAR NASIONAL INDONESIA 04-06507-1-2002/AMD1-2006 MENGENAI MENGENAI PEMUTUS SIRKIT UNTUK PROTEKSI ARUS LEBIH PADA INSTALASI RUMAH TANGGA DAN SEJENISNYABAGIAN-1 : PEMUTUS SIRKIT UNTUK OPERASI ARUS BOLAK-BALIK, SEBAGAI STANDAR WAJIB

TENTANG PENGAKHIRAN PERJANJIAN KERJASAMA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PT NUSAMINERA UTAMA DI DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

239

101.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.07 TAHUN 2007 HARGA JUAL GAS BUMI MELALUI PIPA UNTUK KONSUMEN SELAIN RUMAH TANGGA DAN PELANGGAN KECIL PT PERUSAHAAN GAS NEGARA (PERSERO) TBK

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1397.K/20/MEM/2005 TENTANG PEDOMAN POLA TETAP PENGEMBANGAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS NASIONAL 2005-2020

102.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.06 TAHUN 2007 PEDOMAN TEKNIS PENERAPAN KOMPETENSI PROFESI BIDANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1395 K/30/MEM/2005 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR LATIH KOMPTENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG INSTALASI PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK

103.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.05 TAHUN 2007 PEDOMAN PENUGASAN SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1393K/30/MEM/2005 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR LATIH KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG TRANSMISI TENAGA LISTRIK

104.

PERATURAN TAHUN 2007

MENTERI

ESDM

NO.04

KEPUTUSAN K/81/MEM/2005

MENTERI

ESDM

NO.1352

PERUBAHAAN ATAS PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 01 TAHUN 2006 TENTANG PROSEDUR PEMBELIAN TENAGA LISTRIK DAN ATAU SEWA MENYEWA JARINGAN DALAM USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK UNTUK KEPENTINGAN UMUM

TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 1135 K/81/MEM/2005 TENTANG PENETAPAN DAERAH PENGHASIL DAN DASAR PENGHITUNGAN BAGIAN DAERAH PENGHASIL MINYAK BUMI DAN GAS BUMI SERTA PERTAMBANGAN UMUM UNTUK TAHUN 2005

105.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.03 TAHUN 2007 TENTANG ATURAN JARINGAN SISTEM TENAGA LISTRIK JAWA-MADURA-BALI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1321.K/20/MEM/2005 TENTANG RENCANA INDUK JARINGAN TRANSMISI DAN DISTRIBUSI GAS BUMI NASIONAL

240

106.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.02 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR LATIH KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PEMELIHARAAN DAN SUB BIDANG INSPEKSI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM K/31/MEM/2005 TENTANG RENCANA KETENAGALISTRIKAN NASIONAL

NO.1213 UMUM

107.

PERATURAN TAHUN 2007

MENTERI

ESDM

NO.01

KEPUTUSAN K/20/MEM/2005

MENTERI

ESDM

NO.1208

TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR LATIH KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG TRANSMISI TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERENCANAAN, SUB BIDANG KONSTRUKSI, SUB BIDANG OPERASI, SUB BIDANG PEMELIHARAAN, DAN SUB BIDANG INSPEKSI

TENTANG RENCANA JARINGAN TRANSMISI DAN DISTRIBUSI GAS BUMI NASIONAL

241

108.

PERATURAN MENTERI ESDM NO.08 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA 04-02252000/AMD1-2006 MENGENAI AMANDEMEN 1 PERSYARATAN UMUM INSTALASI LISTRIK 2000 (PUIL 2000, SEBAGAI STANDAR WAJIB

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1135 K/81/MEM/2005 TENTANG PENETAPAN DAERAH PENGHASIL DAN DASAR PENGHITUNGAN BAGIAN DAERAH PENGHASIL MINYAK BUMI DAN GAS BUMI SERTA PERTAMBANGAN UMUM UNTUK TAHUN 200

109.

PERATURAN TAHUN 2006

MENTERI

ESDM

NO.052

KEPUTUSAN K/30/MEM/2005

MENTERI

ESDM

NO.1109

TENTANG TATA PERSURATAN DINAS DAN KEARSIPAN DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

TENTANG PENETAPAN KOMITE NASIONAL KESELAMATAN UNTUK INSTALASI LISTRIK (KONSUIL) SEBAGAI LEMBAGA PEMERIKSA INSTALASI PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK KONSUMEN TEGANGAN RENDAH

110.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 206-12 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN KONDISI KRISIS PENYEDIAAN TENAGA LISTRIKENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1614 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PEMROSESAN PERMOHONAN KONTRAK KARYA DAN PERJANJIAN KARYA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL ASING

242

111.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 053 TAHUN 2006 TENTANG WAJIB DAFTAR PELUMAS YANG DIPASARKAN DI DALAM NEGERI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1610 K/02/MEM/ 2004 TENTANG PENGAMANAN OBYEK VITAL NASIONAL DI SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

112.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 48212/40/600.2/2006 TENTANG PENETAPAN KONDISI KRISIS PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1522 K/80/MEM/ 2004 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 356 K/80/MEM/2004 TENTANG PENETAPAN DAERAH PENGHASIL DAN DASAR PENGHITUNGAN BAGIAN DAERAH PENGHASIL MINYAK BUMI DAN GAS BUMI SERTA PERTAMBANGAN UMUM UNTUK TAHUN 2004

113.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 051 TAHUN 2006 TENTANG PERSYARATAN DAN PEDOMAN IZIN USAHA NIAGA BAHAN BAKAR NABATI (BIOFUEL) SEBAGAI BAHAN BAKAR LAIN

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1480 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENETAPAN DAN PENAWARAN WILAYAH KERJA MINYAK DAB GAS BUMI

114.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 048 TAHUN 2006 TENTANG PEMANFAATAN JARINGAN TENAGA LISTRIK UNTUK KEPENTINGAN TELEKOMUNIKASI MULTIMEDIA DAN INFORMATIKA

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1185 TAHUN 2004 TENTANG PELAYANAN JASA BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

243

115.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 047 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBUATAN DAN PEMANFAATAN BRIKET BATUBARA DAN BAHAN BAKAR PADAT BERBASIS BATUBARA

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1150 K/30/MEM/ 2004 TENTANG ATURAN JARINGAN TENAGA LISTRIK JAWA-MADURA-BALI

116.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 045 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN LUMPUR BOR, LIMBAH LUMPUR DAN SERBUK BOR PADA KEGIATAN PENGEBORAN MINYAK DAN GAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1149 K/34/MEM/ 2004 TENTANG PELAYANAN JASA BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERA

117.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 035 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR LATIH KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERENCANAAN DAN SUB BIDANG KONSTRUKSI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1128 K/40/MEM/ 2004 TENTANG KEBIJAKAN BATUBARA NASIONAL

244

118.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 034 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR LATIH TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG DISTRIBUSI TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERENCANAAN, SUB BIDANG OPERASI, SUB BIDANGPEMELIHARAAN INSPEKSI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1110 K/40/MEM/ 2004 TENTANG KEBIJAKAN BATUBARA NASIONAL

119.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 031 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG JASA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA LISTRIK SUB BIDANG INSTRUKTUR OPERASI PEMBANGKIT DAN SUB BIDANG INSTRUKTUR PEMELIHARAAN PEMBANGKIT

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1059 K/70/MEM/ 2004 TENTANG STANDAR LATIH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENGANGKATAN PERTAMA BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG AKAN MENDUDUKI JABATAN FUNGSIONAL INSPEKTUR KETENAGALISTRIKAN JENJANG PERTAMA

245

120.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 030 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG PEMBANGKITAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN, PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKRO HIDRO (PLTMH), PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA BIOMASSA (PLTBM), PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA BAYU (PLTB) DAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SURYA (PLTS)

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.0980 K/40/MEM/ 2004 TENTANG PELIMPAHAN WEWENANG MENTERI ENERGI KEPADA DIREKTUR JENDERAL GEOLOGI DAN SUMBER DAYA MINERAL UNTUK PEMBINAAN DAN PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI YANG ADA SEBELUM BERLAKUNYA UNDANGUNDANG NOMOR 27 TAHUN 2003

121.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 029 TAHUN 2006 TENTANG PENERAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG INSTALASI PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERANCANGAN, SUB BIDANG KONSTRUKSI, SUB BIDANG OPERASI, SUB BIDANG PEMELIHARAAN, SUB BIDANG INSPEKSI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.0966 K/40/MEM/ 2004 TENTANG PENGAKHIRAN PERJANJIAN KARYA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PT GENERAL SAKTI KREASINDO DI DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN, PROVINSI SUMATERA SELATAN

122.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 028 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN SURVEI UMUM DALAM KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.0954 K/30/MEM/ 2004 TENTANG RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN

123.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 027 TAHUN 2006 ENTANG PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN DATA YANG DIPEROLEH DARI SURVEI UMUM, EKSPLORASI DAN EKSPLOITASI MINYAK DAN GAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.0075 K/30/MEM/ 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR LATIH KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG DISTRIBUSI TENAGA LISTRIK SUB BIDANG OPERASI DAN PEMELIHARAAN, SUB BIDANG PERENCANAAN DAN KONSTRUKSI SERTA SUB BIDANG INSPEKSI

246

124.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 026 TAHUN 2006 TENTANG PENYEDIAAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN INDUSTRI PELAYARAN NASIONAL

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.006 K/40.00/MEM/2004 TENTANG PERMULAAN TAHAP KEGIATAN STUDI KELAYAKAN PADA BLOK SIMPANG PASIR WILAYAH PERJANJIAN KARYA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT INSANI BARAPERKASA

125.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 02 TAHUN 2006 TENTANG PENGUSAHAAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA ENERGI TERBARUKAN SKALA MENENGAH

KEPUTUSAN K/40/MEM/2004

MENTERI

ESDM

NO.0057

TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR 680.K/29/M.PE/1997 TENTANG PELAKSANAAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 75 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN POKOK PERJANJIAN KARYA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA

126.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 01 TAHUN 2006 TENTANG PEMBELIAN TENAGA LISTRIK DAN / ATAU SEWA MENYEWA JARINGAN DALAM USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK UNTUK KEPENTINGAN UMUM

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.005 K/40.00/MEM/2004 TENTANG PERMULAAN TAHAP KEGIATAN PRODUKSI PADA SEBAGIAN WILAYAH PERJANJIAN KERJASAMA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT KARTIKA SELABUMI MINING

247

127.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 046 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NO. 0045 TAHUN 2005 TENTANG INSTALASI KETENAGALISTRIKAN

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.003 K/40.00/MEM/2004 TENTANG PERPANJANGAN II TAHAP KEGIATAN EKSPLORASI PERJANJIAN KARYA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT ASMIN BARA JAAN

128.

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 037 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN RENCANA IMPOR DAN PENYELESAIAN BARANG YANG DIPERGUNAKAN UNTUK OPERASI KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.0002 TAHUN 2004 TENTANG KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ENERGI TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI (PENGEMBANGAN ENERGI HIJAU)

248

129.

PERATURAN MENTAMBEN NO: 06P/0746/MPE/1991 TENTANG PEMERIKSAAN KESELAMATAN KERJA ATAS INSTALASI, PERALATAN DAN TEKNIK YANG DIPERGUNAKAN DALAM PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI DAN PENGUSAHAAN SUMBERDAYA PANASBUMI

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.05 K/30/MEM/2003 TENTANG PEMBERLAKUAN SNI 04-1922-2002 MENGENAI FREKUENSI STANDAR KHUSUS UNTUK FREKUENSI SISTEM ARUS BOLAK-BALIK PHASA TUNGGAL DAN PHASA TIGA 50 HZ SEBAGAI STANDAR WAJIB

130.

PERATURAN MENTAMBEN NO: 02/P/M/PERTAMB/1975 TENTANG KESELAMATAN KERJA PADA PIPA PENYALUR SERTA FASILITASKELENGKAPAN UNTUK PENGANGKUTAN MINYAK DAN GAS BUMI DILUAR WILAYAH KUASA PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI

KEPMEN NO. 901 K/30/MEM/2003 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA 04-6292.2.80-2003 MENGENAI PERANTI LISTRIK UNTUK RUMAH TANGGA DAN SEJENISNYA, KESELAMATAN, BAGIAN 2-80 MENGENAI PERSYARATAN KHUSUS UNTUK KIPAS ANGIN SEBAGAI STANDAR WAJIB

131.

KEPMEN NO. 865 K/30/MEM/2003 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN

249

132.

KEPMEN NO. 815 K/30/MEM/2003 TENTANG PEMANFAATAN JARINGAN TENAGA LISRIK UNTUK KEPENTINGAN TELEKOMUNIKASI, MULTIMEDIA, DAN INFORMATIKA

133.

KEPMEN NO. 813 K/30/MEM/2003 TENTANG PEDOMAN DAN POLA TETAP PENGEMBANGAN INDUSTRI KETENAGALISTRIKAN NASIONAL 2003-2020

134.

KEPMEN NO. 812 K/81/MEM/2003 TENTANG PELIMPAHAN WEWENANG MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KEPADA DIREKTUR JENDERAL GEOLOGI DAN SUMBER DAYA MINERAL UNTUK PEMROSESAN DAN PELAKSANAAN KP, KK DAN PKP2B

135.

KEPMEN NO. 716 K/40/MEM/2003 TENTANG BATAS HORISONTAL CEKUNGAN AIR BAWAH TANAH DI PULAU JAWA DAN PULAU MADURA

136.

KEPMEN NO. 55 K/30/MEM/2003 TENTANG JARINGAN TRANSMISI NASIONAL

137.

KEPMEN NO. 517 K/81/MEM/2003 TENTANG PENETAPAN DAERAH PENGHASIL DAN DASAR PENGHITUNGAN BAGIAN DAERAH PENGHASIL MINYAK BUMI DAN GAS BUMI SERTA PERTAMBANGAN UMUM UNTUK TAHUN 2003

250

138.

KEPMEN NO. 437 K/30/MEM/2003 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR 01.P/40/MPE/1990 TENTANG INSTALASI KETENAGALISTRIKAN

139.

KEPMEN NO. 31 K/20/MEM/2003 SKB ANTARA MESDM DAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN BBM DALAM NEGERI OLEH PERTAMINA

140.

EPMEN NO. 246 K/30/MEM/2003 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA 04-6507.1-2002 MENGENAI PEMUTUSAN SIRKIT UNTUK PROTEKSI ARUS LEBIH PADA INSTALASI RUMAH TANGGA DAN SEJENISNYA, BAGIAN 1 MENGENAI PEMUTUS SIRKIT UNTUK OPERASI ARUS BOLAK-BALIK SEBAGAI STANDAR WAJIB

141.

KEPMEN NO. 207 K/30/MEM/2003 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA 19-6659-2002 MENGENAI TANDA KESELAMATAN PEMANFAATAN LISTRIK SEBAGAI STANDAR WAJIB

142.

KEPMEN NO. 1616 K/36/MEM/2003 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN HARGA JUAL TENAGA LISTRIK TAHUN 2004 YANG DISEDIAKAN OLEH PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PT PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA

143.

KEPMEN NO. 1603 K/40/MEM/2003 TENTANG PEDOMAN PENCADANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN

251

144.

KEPMEN NO. 1601 K/29/MEM/2003 TENTANG PENGELOLAAN GRAHA WIDYA PATRA TAMAN MINI INDONESIA INDAH

145.

KEPMEN NO. 1313 K/30/MEM/2003 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG INSTALASI PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERENCANAAN, SUB BIDANG KONSTRUKSI, SUB BIDANG INSPEKSI, SUB BIDANG OPERASI DAN SUB BIDANG PEMELIHARAAN

146.

KEPMEN NO. 111 K/70/MEM/2003 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA KOMPETISI KERJA TENAGA TEKNIK KHUSUS MINYAK DAN GAS BUMI SEBAGAI STANDAR WAJIB DI BIDANG KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI

147.

KEPMEN NO. 1095 K/30/MEM/2003 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR LATIH KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN

148.

KEPMEN NO. 1094 K/30/MEM/2003 TENTANG STANDAR LATIH KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN

149.

KEPMEN NO. 1088 K/20/MEM/2003 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBINAAN, PENGAWASAN PENGATURAN DAN PENGENDALIAN KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI DAN KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI

252

150.

KEPMEN NO. 1086 K/40/MEM/2003 TENTANG STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KHUSUS BIDANG GEOLOGI DAN PERTAMBANGAN

151.

KEPMEN NO. 1018 K/40/MEM/2003 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG TRANSMISI TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERENCANAAN, SUB BIDANG KONSTRUKSI, SUB BIDANG INSPEKSI, SUB BIDANG OPERASI DAN SUB BIDANG PEMELIHARAAN

152.

KEPMEN NO. 05 K/30/MEM/2003 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA0-4-1922-2002 MENGENAI FREKUENSI STANDAR KHUSUS UNTUK FREKUENSI SISTEM ARUS BOLAK-BALIK FASE TUNGGAL DAN FASE TIGA 50 HERTS SEBAGAI STANDAR WAJIB

153.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.55 K/30/MEM/2003 TENTANG JARINGAN TRANSMISI NASIONAL (JTN) KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1751 K/30/MEM/2002 TENTANG PEMBERLAKUAN SNI 04-6203.1-2001 MENGENAI SAKLAR UNTUK INSTALASI TETAP RUMAH TANGGA DAN SEJENISNYA BAGIAN 1 : MENGENAI PERSYARATAN UMUM SEBAGAI STANDAR WAJIB

154.

253

155.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1750 K/30/MEM/2002 TENTANG PEMBERLAKUAN SNI 04-6292.1-2001 MENGENAI KESELAMATAN PEMANFAAT LISTRIK UNTUK KEPERLUAN RUMAH TANGGA DAN SEJENISNYA BAGIAN 1 : MENGENAI PERSYARATAN UMUM SEBAGAI STANDAR WAJIB

156.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM K/34MEM/2002 TENTANG PELAKSANAAN KETENAGALISTRIKAN

NO.

1752

INSPEKSI

157.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 1741 K/30/MEM/2002 TENTANG PEMBERLAKUAN SNI 04-3892.1-2001 MENGENAI TUSUK KONTAK DAN KOTAK KONTAK UNTUK KEPERLUAN RUMAH TANGGA DAN SEJENISNYA-BAGIAN 1 : MENGENAI PERSYARATAN UMUM SEBAGAI STANDAR WAJIB

158.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 1187 K/30/MEM/2002 TENTANG PENETAPAN DAN PEMBERLAKUAN STANDAR KOMPETENSI TENAGA KETENAGALISTRIKAN BIDANG DISTRIBUSI TENAGA LISTRIK SUB BIDANG OPERASI DAN SUB BIDANG PEMELIHARAAN

159.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 1122 K/30/MEM/2002 TENTANG PEDOMAN PENGUSAHAAN PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK SKALA KECIL TERSEBAR

160.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.2052 TAHUN 2001 TENTANG STANDARISASI KOMPENTENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN

161.

KEPMEN NO. 2052 K/40/MEM/2001 TENTANG STANDARISASI KOMPETENSI TENAGA TEKNIS KETENAGALISTRIKAN

254

162.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 2046 K/30/MEM/2001 TENTANG PEMBERLAKUAN SNI BIDANG REKAYASA ELEKTRONIKA SNI-040225-2000 MENGENAI PERSYARATAN UMUM INSTALASI LISTRIK 2000 (PUIL 2000) SEBAGAI STANDAR WAJIB

163.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO. 027.K/30/M.PE/1998 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAN PENGUSAHAAN KILANG MINYAK DAN GAS BUMI OLEH BADAN USAHA SWASTA

164.

KEPUTUSAN MENTAMBEN NO: 19 K/34/M.PE/1998 TENTANG WAJIB DAFTAR PELUMAS YANG BEREDAR DI DALAM NEGERI

165.

KEPUTUSAN MENTAMBEN NO: 1784 K/34/M.PE/1999 TENTANG WAJIB DAFTAR PELUMAS YANG BEREDAR DI DALAM NEGERI

166.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1455 K/40/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN TUGAS PEMERINTAHAN DI BIDANG USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK UNTUK KEPENTINGAN SENDIRI, USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK UNTUK KEPENTINGAN UMUM DAN USAHA PENUNJANG TENAGA LISTRIK

167.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1454 K/30/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN TUGAS PEMERINTAHAN DI BIDANG MINYAK DAN GAS BUMI

168.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1453 K/29/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN TUGAS PEMERINTAHAN DI BIDANG PERTAMBANGAN UMUM

255

169.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1452 K/10/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN TUGAS PEMERINTAHAN DI BIDANG INVENTARISASI SUMBER DAYA MINERAL DAN ENERGI, PENYUSUNAN PETA GEOLOGI, DAN PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH

170.

KEPUTUSAN MENTERI ESDM NO.1451 K/10/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN TUGAS PEMERINTAHAN DI BIDANG PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH

171.

KEPUTUSAN MENTAMBEN NO: 135.K/201/M.PE/1996 TENTANG PEMBUKTIAN KESANGGUPAN DAN KEMAMPUAN PEMOHON KUASA PERTAMBANGAN, KONTRAK KARYA, DAN KONTRAK KARYA BATUBARA

172.

KEPUTUSAN MENTAMBEN NO: 134.K/201/M/PE/1996 PENGGUNAAN PETA, PENJELASAN BATAS DAN LUAS WILAYAH KUASA PERTAMBANGAN,KONTRAK KARYA, DAN KONTRAK KARYA BATUBARA DI BIDANG PERTAMBANGAN UMUM

173.

KEPUTUSAN MENTAMBEN NO 300K/38/MPE/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI

: PIPA

174.

KEPUTUSAN MENTAMBEN NO : 2599.K/40/M.PE/1997 TENTANG USAHA PENUNJANG TENAGA LISTRIK BIDANG KONSULTASI, BIDANG PEMBANGUNA DAN PEMASANGAN, DAN BIDANG PEMELIHARAAN PERALATAN KETENAGALISTRIKKAN.

256

175.

KEPUTUSAN MENTAMBEN NO: 1211.K/008/M.PE/1995 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENAGGULANGAN PERUSAKAN DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN PADA KEGIATAN PERTAMBANGAN UMUM

176.

KEPUTUSAN MENTAMBEN 2200.K/20/M.PE/1994 TENTANG PENGUSAHAAN PENGEMBANGAN BRIKET BATUBARA

NO: DAN

177.

KEPUTUSAN MENTAMBEN NO: 104.K/844/M.PE/1994 TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN 1 KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR 1166.K/844/M.PE/1992 TENTANG PENETAPAN TARIF IURAN EKSPLORASI ATAU EKSPLOITASI

178.

KEPUTUSAN MENTAMBEN NO: 103. K/008/M.PE/1994 PENGAWASAN ATAS PELAKSANAAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN DALAM BIDANG PERTAMBANGAN DAN ENERGI

179.

KEPUTUSAN MENTAMBEN NO: 1166.K/844/M.PE/1992 PENETAPAN TARIF IURAN EKSPLORASI ATAU IURAN EKSPLOITASI UNTUK USAHA PERTAMBANGAN UMUM

180.

EPUTUSAN MENTAMBEN NO: 1165.K/844/M.PE/1992 PENETAPAN TARIF IURAN TETAP UNTUK USAHA PERTAMBANGAN UMUM DALAM RANGKA KUASA PERTAMBANGAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI

Tabel 6.26. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang kelautan dan Perikanan


NO KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPMEN PERMEN

257

NOMOR: KEP. 41 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN PULAUPULAU KECIL YANG BERKELANJUTAN DAN BERBASIS MASYARAKAT NOMOR: KEP. 01/MEN/2002 TENTANG SISTEM MANAJEMEN MUTU TERPADU HASIL PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 02/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGAWASAN PENANGKAPAN IKAN NOMOR: KEP. 03/MEN/2002 TENTANG LOG BOOK PENANGKAPAN DAN PENGANGKUTAN IKAN NOMOR: KEP. 04/MEN/2002 TENTANG PAKAIAN SERAGAM KERJA, TANDA PENGENAL, DAN ATRIBUT BAGI PENGAWAS PERIKANAN

NOMOR: PER. 03/MEN/2005 TENTANG TINDAKAN KARANTINA IKAN OLEH PIHAK KETIGA NOMOR: PER. 07/MEN/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 06/MEN/2005 TENTANG PENGGANTIAN BENTUK DAN FORMAT PERIZINAN USAHA PENANGKAPAN IKAN NOMOR: PER. 13/MEN/2005 TENTANG FORUM KOORDINASI PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN NOMOR: PER. 15/MEN/2005 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PEMBUDIDAYAAN IKAN DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA YANG BUKAN UNTUK TUJUAN KOMERSIAL NOMOR: PER. 02/MEN/2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PELABUHAN PERIKANAN

NOMOR: KEP. 06/MEN/2002 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN MUTU HASIL PERIKANAN YANG MASUK KE WILAYAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR: KEP. 08/MEN/2002 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 09/MEN/2002 TENTANG INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYA IKAN

NOMOR: PER. 10/MEN/2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI BUDIDAYA LAUT NOMOR: PER. 13/MEN/2006 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 07/MEN/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 16/MEN/2006 TENTANG PELABUHAN PERIKANAN NOMOR: PER. 17/MEN/2006 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP NOMOR: PER. 18/MEN/2006 TENTANG SKALA USAHA PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

10

NOMOR: KEP. 10/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN UMUM PERENCANAAN PENGELOLAAN PESISIR TERPADU NOMOR: KEP. 12/MEN/2002 TENTANG PENDAFTARAN ULANG PERIZINAN USAHA PENANGKAPAN IKAN TAHAP KEDUA NOMOR: KEP. 13/MEN/2002 TENTANG IZIN BELAJAR ATAS BIAYA SENDIRI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 15/MEN/2002 TENTANG VARIETAS UDANG ROSTRIS SEBAGAI VARIETAS UNGGUL NOMOR: KEP. 17/MEN/2002 TENTANG PENYELENGGARAAN RAPAT KOORDINASI NASIONAL DAN RAPAT KERJA TEKNIS DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2002 NOMOR: KEP. 18/MEN/2002 TENTANG RENCANA STRATEGIS PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 20012004 NOMOR: KEP. 21/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAN PENDIDIKAN SEKOLAH USAHA PERIKANAN MENENGAH NOMOR: KEP. 22/MEN/2002 TENTANG PENYUSUNAN RENCANA DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

11

12

13

NOMOR: PER. 21/MEN/2006 TENTANG TINDAKAN KARANTINA IKAN DALAM HAL TRANSIT NOMOR: PER. 01/MEN/2007 TENTANG PENGENDALIAN SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN

14

15

NOMOR: PER. 02/MEN/2007 TENTANG MONITORING RESIDU OBAT, BAHAN KIMIA, BAHAN BIOLOGI, DAN KONTAMINAN PADA PEMBUDIDAYAAN IKAN NOMOR: PER. 03/MEN/2007 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN NOMOR: PER. 04/MEN/2007 TENTANG PELAPORAN HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN

16

258

DAN PERIKANAN

17

18

NOMOR: KEP. 23/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN MONITORING, EVALUASI, PENGENDALIAN DAN PELAPORAN PROGRAM/PROYEK PEMBANGUNAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 24/MEN/2002 TENTANG TATA CARA DAN TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 26/MEN/2002 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, PENGGUNAAN, DAN PENGAWASAN OBAT IKAN

NOMOR: PER. 06/MEN/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PELABUHAN PERIKANAN

19

20

NOMOR: KEP. 27/MEN/2002 TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI OBAT IKAN

21

NOMOR: KEP. 28/MEN/2002 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN SERTA PENETAPAN PULAU JAWA SEBAGAI DAERAH WABAH HAMA DAN PENYAKIT VIRUS PADA IKAN MAS DAN KOI NOMOR: KEP. 29/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KARANTINA IKAN NOMOR: KEP. 30/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN UMUM KERJA SAMA LUAR NEGERI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 32/MEN/2002 TENTANG NASKAH DINAS DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT NOMOR: KEP. 34/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN UMUM PENATAAN RUANG PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

22

23

NOMOR: PER. 07/MEN/2007 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 07/MEN/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 08/MEN/2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: 07/MEN/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 09/MEN/2007 TENTANG KETENTUAN PEMASUKAN MEDIA PEMBAWA BERUPA IKAN HIDUP SEBAGAI BARANG BAWAAN KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PER. 10/MEN/2007 TENTANG PEMBERIAN UANG INSENTIF KEPADA APARAT PENEGAK HUKUM DAN PIHAKPIHAK YANG BERJASA DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PERIKANAN NOMOR: PER. 11/MEN/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN BENIH IKAN YANG DIBERIKAN BANTUAN SELISIH HARGA NOMOR: PER. 12/MEN/2007 TENTANG PERIZINAN USAHA PEMBUDIDAYAAN IKAN

24

25

NOMOR: PER. 13/MEN/2007 TENTANG SISTEM PEMANTAUAN HAMA DAN PENYAKIT IKAN KARANTINA NOMOR: PER. 15/MEN/2007 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENERBITAN IZIN USAHA OBAT IKAN NOMOR: PER. 16/MEN/2007 TENTANG PELAKSANAAN PERJALANAN DINAS JABATAN DALAM NEGERI BAGI PEJABAT NEGARA, PEGAWAI NEGERI, DAN PEGAWAI TIDAK TETAP DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 17/MEN/2007 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 11/MEN/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN BENIH IKAN YANG DIBERIKAN BANTUAN SELISIH HARGA

26

27

NOMOR: KEP. 36/MEN/2002 TENTANG PERUBAHAN SEBUTAN MENTERI PERTANIAN DAN MENTERI EKSPLORASI LAUT DAN PERIKANAN MENJADI MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN DAN SEBUTAN DEPARTEMEN PERTANIAN DAN DEPARTEMEN EKSPLORASI LAUT DAN PERIKANAN MENJADI DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN PADA PERATURAN PERUNANG-UNDANGAN BIDANG PERIKANAN YANG DITETAPKAN OLEH MENTERI PERTANIAN DAN MENTERI EKSPLORASI LAUT DAN PERIKANAN

259

28

NOMOR: KEP. 38/MEN/2002 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENGHIBAHAN KAPAL PERIKANAN KEPADA NELAYAN NOMOR: KEP. 40/MEN/2002 TENTANG PENETAPAN PULAU JAWA DAN PULAU BALI SEBAGAI DAERAH TERJANGKIT PENYAKIT KOI DAN HERVES VIRUS PADA IKAN MAS DAN KOI NOMOR: KEP. 41/MEN/2002 TENTANG PENYELENGGARAAN LOMBA KELOMPOK PEMBUDIDAYA IKAN DAN NELAYAN, KINERJA PENGKALAN PENDARATAN IKAN/PELABUHAN PERIKANAN, BALAI BENIH IKAN SENTRAL/BALAI BENIH UDANG, DAN PEREKAYASA PADA UPT. LINGKUP DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 43/MEN/2002 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: 06/MEN/2002 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN MUTU HASIL PERIKANAN YANG MASUK KE WILAYAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR: KEP. 44/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN PENYULUHAN PERIKANAN

29

NOMOR: PER. 18/MEN/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR DAN LAUT NOMOR: PER. 19/MEN/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL NOMOR: PER. 20/MEN/2007 TENTANG TINDAKAN KARANTINA UNTUK PEMASUKAN MEDIA PEMBAWA HAMA DAN PENYAKIT IKAN KARANTINA DARI LUAR NEGERI DAN DARI SUATU AREA KE AREA LAIN DI DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PER. 02/MEN/2008 PEDOMAN PELAKSANAAN KREDIT KETAHANAN PANGAN DI BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN

30

31

32

33

34

NOMOR: KEP. 45/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PELAUHAN PERIKANAN NUSANTARA TUAL NOMOR: KEP. 46/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PELABUHAN PERIKANAN PANTAI NOMOR: KEP. 47/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LOKA BUDIDAYA LAUT NOMOR: KEP. 48/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LOKA BUDIDAYA AIR TAWAR NOMOR: KEP. 49/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LOKA BUDIDAYA AIR PAYAU NOMOR: KEP. 50/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI RISET PERIKANAN LAUT

NOMOR: PER. 03/MEN/2008 TENTANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN, DAN PEMBERHENTIAN PIMPINAN DAN PENDIDIK PADA LEMBAGA PENDIDIKAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP NOMOR: PER. 06/MEN/2008 TENTANG PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN PUKAT HELA DI PERAIRAN KALIMANTAN TIMUR BAGIAN UTARA NOMOR: PER. 07/MEN/2008 TENTANG BANTAN SOSIAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR DAN PEMBUDIDAYA IKAN NOMOR: PER. 08/MEN/2008 TENTANG PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN JARING INSANG (GILL NET) DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA NOMOR: PER. 09/MEN/2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 10/MEN/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 04/MEN/2007 TENTANG PELAPORAN HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN PERIKANAN NOMOR: PER. 12/MEN/2008 TENTANG BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 16/MEN/2008 TENTANG PERENCAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL NOMOR: PER. 17/MEN/2008 TENTANG KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

35

36

37

38

39

NOMOR: KEP. 51/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BUDIDAYA AIR PAYAU NOMOR: KEP. 52/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI RISET PERIKANAN BUDIDAYA AIR TAWAR NOMOR: KEP. 53/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI RISET PERIKANAN PERAIRAN UMUM

40

41

260

42

NOMOR: KEP. 54/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA AKADEMI PERIKANAN BITUNG NOMOR: KEP. 55/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA AKADEMI PERIKANAN SIDOARJO

43

44

45

46

47

48

49

50

51

NOMOR: KEP. 56/MEN/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA AKADEMI PERIKANAN SORONG NOMOR: KEP. 57/MEN/2002 TENTANG PENETAPAN PEMENANG LOMBA BIDANG PERIKANAN BUDIDAYA DAN TANGKAP TINGKAT NASIONAL TAHUN 2002 NOMOR: KEP. 69/MEN/2002 TENTANG PEDOMAN PENILAIAN DAN PEMBERIAN PENGHARGAAN ADI BHAKTI MINA BAHARI BAGI UNIT KERJA PELAYANAN YANG BERPRESTASI DI BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 18/MEN/2003 TENTANG TINDAKAN KARANTINA UNTUK PEMASUKAN MEDIA PEMBAWA HAMA DAN PENYAKIT IKAN KARANTINA DARI LUAR NEGERI DAN DARI SUATU AREA KE AREA LAIN DI DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: KEP. 39/MEN/2003 TENTANG PAKAIAN SERAGAM KERJA PEGAWAI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 42/MEN/2003 TENTANG PERSYARATAN PEMASUKAN MEDIA PEMBAWA BERUPA IKAN HIDUP NOMOR: KEP. 33/MEN/2004 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI UJI STANDAR KARANTINA IKAN NOMOR: KEP. 10/MEN/2004 TENTANG PELABUHAN PERIKANAN

NOMOR: PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL NOMOR: PER. 19/MEN/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 06/MEN/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PELABUHAN PERIKANAN NOMOR: PER. 02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NOMOR: PER. 10/MEN/2009 TENTANG PELAKSANAAN PERJALANAN DINAS KE LUAR NEGERI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI

NOMOR: PER. 18/MEN/2009 TENTANG LARANGAN PENGELUARAN BENIH SIDAT (ANGUILLA SPP) DARI WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA KE LUAR WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PER. 22/MEN/2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LOKA RISET KERENTANAN PESISIR DAN LAUT NOMOR: PER. 27/MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENDANAAN KAPAL PERIKANAN NOMOR: PER. 28/MEN/2009 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN NOMOR: PER. 29/MEN/2009 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2010 NOMOR: PER. 03/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN NOMOR: PER. MINAPOLITAN 12/MEN/2010 TENTANG

52

53

54

55

56

57

NOMOR: KEP. 14/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERJANJIAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 18/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR NOMOR: KEP. 25/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN FUNGSIONAL LINGKUP DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 32/MEN/2004 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KARANTINA IKAN NOMOR: KEP. 38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG NOMOR: KEP. 55/MEN/2004 TENTANG PENETAPAN WILAYAH SUMATERA SEBAGAI KAWASAN KARANTINA TERHADAP IKAN MAS DAN KOI

261

58

59

60

61

62

63 64

NOMOR: KEP. 56/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN STANDAR PENGHITUNGAN BEBAN KERJA UNIT ORGANISASI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 15/MEN/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM IDENTIFIKASI DATA TATA RUANG LAUT, PESISIR, DAN PULAU-PULAU KECIL NOMOR: KEP. 16/MEN/2006 TENTANG PENETAPAN TEMPAT-TEMPAT PEMASUKAN DAN PENGELUARAN MEDIA PEMBAWA HAMA DAN PENYAKIT IKAN KARANTINA NOMOR: KEP. 17/MEN/2006 TENTANG JENISJENIS HAMA DAN PENYAKIT IKAN KARANTINA, GOLONGAN, MEDIA PEMBAWA, DAN SEBARANNYA NOMOR: KEP. 19/MEN/2006 TENTANG PENGANGKATAN SYAHBANDAR DI PELABUHAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 02/MEN/2007 TENTANG CARA BUDIDAYA IKAN YANG BAIK NOMOR: KEP. 05/MEN/2007 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: KEP. 40/MEN/2002 TENTANG PENETAPAN PULAU JAWA DAN PULAU BALI SEBAGAI DAERAH TERJANGKIT PENYAKIT KOI HERVES VIRUS PADA IKAN MAS DAN KOI NOMOR: KEP. 06/MEN/2007 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR KEP. 55/MEN/2004 TENTANG PENETAPAN WILAYAH SUMATERA SEBAGAI KAWASAN KARANTINA TERHADAP IKAN MAS DAN KOI

65

66

67

68

69

70

NOMOR: KEP. 11/MEN/2007 TENTANG UNIT AKUNTANSI DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 12/MEN/2007 TENTANG UNIT AKUNTANSI PEMBANTU PENGGUNA TINGKAT ESELON I DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 21/MEN/2007 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 17/MEN/2001 TENTANG PENETAPAN LAMBANG DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 31/MEN/2007 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 39/MEN/2003 TENTANG PAKAIAN SERAGAM KERJA PEGAWAI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 32/MEN/2007 TENTANG PAKAIAN SERAGAM KERJA DAN ATRIBUT BAGI APARATUR DI PELABUHAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 33/MEN/2007 TENTANG PENETAPAN JENIS-JENIS PENYAKIT IKAN YANG BERPOTENSI MENJADI WABAH PENYAKIT IKAN

71

262

72

NOMOR: KEP. 03/MEN/2008 TENTANG PENUGASAN PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2008 NOMOR: KEP. 63/MEN/2008 TENTANG KOMISI TUNA INDONESIA NOMOR: KEP. 76/MEN/2008 TENTANG PELAKSANAAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM KERANGKA INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 11/MEN/2009 TENTANG WILAYAH KERJA DAN WILAYAH PENGOPERASIAN PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG NOMOR: KEP. 25/MEN/2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYRAKAT MANDIRI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 36/MEN/SJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MANDIRI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 59/MEN/SJ/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR KEP. 36/MEN/SJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MANDIRI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 61/MEN/2009 TENTANG PEMBERLAKUAN WAJIB STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG KELAUAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 63/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN ARU BAGIAN TENGGARA DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI MALUKU NOMOR: KEP. 65/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN WAIGEO SEBELAH BARAT DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR: KEP. 67/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL PULAU GILI AYER, GILI MENO, DAN GILI TRAWANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR: KEP. 69/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL LAUT BANDA DI PROVINSI MALUKU NOMOR: KEP. 70/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL PULAU PIEH DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR: KEP. 71/MEN/2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR KEP. 39/MEN/2003 TENTANG PAKAIAN SERAGAM KERJA PEGAWAI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

73 74

75

76

77

78

79

80

81

82

83

84

85

263

86

NOMOR: KEP. 77/MEN/2009 TENTANG PELEPASAN VARIETAS IKAN NILA BEST SEBAGAI GALUR UNGGUL INDUK IKAN NILA NOMOR: KEP. 79/MEN/2009 TENTANG PELEPASAN VARIETAS IKAN NILA LARASATI SEBAGAI BENIH BERMUTU NOMOR: KEP. 03/MEN/2010 TENTANG PENETAPAN JENIS-JENIS HAMA DAN PENYAKIT IKAN KARANTINA, GOLONGAN, MEDIA PEMBAWA, DAN SEBARANNYA NOMOR: KEP. 11/MEN/2010 TENTANG SISTEM PEMBERKASAN KEARSIPAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 15/MEN/2010 TENTANG PENGGUNAAN NOMENKLATUR KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 24/MEN/2010 TENTANG PROGRAM LEGISLASI KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2010 NOMOR: KEP. 32/MEN/2010 TENTANG PENETAPAN KAWASAN MINAPOLITAN NOMOR: KEP. 39/MEN/2010 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2010 NOMOR: KEP. 152/MEN/VIII/2010 TENTANG PENETAPAN RANCANGAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN BIDANG PENYULUHAN PERIKANAN MENJADI STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA

87

88

89

90

91

92 93

94

Tabel 6.27. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Perdagangan


NO. 1 KEPMEN & PERMEN KEMENTERIAN PERDAGANGAN KEPMEN KEPUTUSAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN SELAKU KETUA HARIAN TIM NASIONAL PENINGKATAN EKSPOR DAN PENINGKATAN INVESTASI NOMOR : KEP08/M.EKON/03/2009 TENTANG LOGO DAN KOORDINASI PELAKSANAAN KEGIATAN AKU CINTA INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 405/MDAG/KEP/7/2008 TENTANG PENETAPAN BADAN REVITALISASI INDUSTRI KEHUTANAN (BRIK)SEBAGAI PELAKSANA ENDORSEMENT KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 384/MDAG/KEP/6/2008 TENTANG PENETAPAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS TERHADAP EKSPOR PRODUK PERTAMBANGAN TERTENTU PERMEN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 36/MDAG/PER/9/2010 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34/MDAG/PER/8/2010 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 29/MDAG/PER/7/2010 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR

264

KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 336/MDAG/KEP/4/2008 TENTANG PENETAPAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR DAN EKSPOR BERAS.

KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 101.2/MDAG/KEP/4/2007 TENTANG PELIMPAHAN WEWENANG PENETAPAN PRODUK INDUSTRI KEHUTANAN YANG DIKECUALIKAN DARI KETENTUAN KRITERIA TEKNIS

PERATURAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 26/MDAG/PER/6/2010 NOMOR : PB.01/MEN/2010 TENTANG LARANGAN SEMENTARA IMPOR UDANG SPESIES TERTENTU KE WILAYAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 27/MDAG/PER/6/2010 TANGGAL 24 JUNI 2010 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 10/MDAG/PER/3/2009 TENTANG EKSPOR BARANG YANG WAJIB MENGGUNAKAN LETTER OF CREDIT SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 57/M-DAG/PER/10/2009 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 21/MDAG/PER/5/2010 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NOMOR: 608/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 14 OKTOBER 1999 TENTANG PETUNJUK PENGGUNAAN (MANUAL) DAN KARTU JAMINAN/GARANSI DALAM BAHASA INDONESIA BAGI PRODUK ELEKTRONIKA KEPUTUSAN PRESIDEN, NOMOR: 12 TAHUN 1999 TANGGAL 27 JANUARI 1999 TENTANG KOMODITI YANG DAPAT DIJADIKAN SUBYEK KONTRAK BERJANGKA

LAMPIRAN I, KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NOMOR: 29/MPP/KEP/I/1999 TANGGAL 21 JANURI TENTANG KETENTUAN EKSPOR KOPI

LAMPIRAN II, KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NOMOR: 29/MPP/KEP/I/1999 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KOPI LAMPIRAN III, KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NOMOR: 29/MPP/KEP/I/1999 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KOPI KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NOMOR: 230/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 4 JUNI 1999 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 505/MPP/KEP/10/1998 TENTANG PERDAGANGAN DAN DISTRIBUSI MINYAK GORENG DAN GULA PASIR

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 23/MDAG/PER/5/2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 56/M-DAG/PER/12/2008 TENTANG KETENTUAN IMPOR PRODUK TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 22/MDAG/PER/5/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 62/M-DAG/PER/12/2009 TENTANG KEWAJIBAN PENCANTUMAN LABEL PADA BARANG PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 20/MDAG/PER/5/2010 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN PETANI (HPP) GULA KRISTAL PUTIH (PLANTATION WHITE SUGAR) PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/MDAG/PER/4/2010 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 03/MDAG/PER/1/2010 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN PERDAGANGAN TAHUN 2010 2014

10

11

265

12

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NOMOR: 589/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 13 OKTOBER 1999 TENTANG PENETAPAN JENIS-JENIS INDUSTRI DALAM PEMBINAAN MASING-MASING DIREKTORAT JENDERAL DAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN BIDANG INDUSTRI DAN PERDAGANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 274/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 21 JUNI 1999 TENTANG LARANGAN DAN PENGAWASAN IMPOR, DISTRIBUSI DAN PRODUKSI BARANG YANG TERCEMAR DIOXIN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA INVESTASI/KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL/BKPM NOMOR 38/SK/1999 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERMOHONAN PENANAMAN MODAL YANG DIDIRIKAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 726/MPP/KEP/12/1999 TENTANG PENETAPAN BESARNYA HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 717/MPP/KEP/12/1999 TANGGAL 28 DESEMBER 1999 TENTANG PENCABUTAN TATA NIAGA IMPOR GULA DAN BERAS

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 45/M-DAG/PER/9/2009 TENTANG ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API)

13

14

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 11/MDAG/PER/3/2010 TENTANG KETENTUAN IMPOR MESIN, PERALATAN MESIN, BAHAN BAKU, CAKRAM OPTIK KOSONG, DAN CAKRAM OPTIK ISI PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 15/MDAG/PER/3/2010 TANGGAL 25 MARET 2010 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR

15

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 15/MDAG/PER/3/2010 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 13/MDAG/PER/3/2010 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN ANGGOTA BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DAN SEKRETARIAT BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12/MDAG/PER/3/2010 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN UNTUK PERHITUNGAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN

16

17

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 231/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 3 JUNI 1999 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 108/KEP/I/1984 TENTANG PENUNJUKAN PT. BERDIKARI SEBAGAI DISTRIBUTOT TUNGGAL ALUMINIUM INGOT PRODUKSI PT. INALUM KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 327/MPP/KEP/7/1999 TANGGAL 21 JUNI 1999 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 12/MPP/KEP/I/1998 TENTANG PENYELENGGARAAN WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NOMOR 587/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 13 OKTOBER 1999 TENTANG PEMBENTUKAN KANTOR PENDAFTARAN PERUSAHAAN (KPP)

18

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 08/MDAG/PER/3/2010 TENTANG ALAT-ALAT UKUR, TAKAR, TIMBANG, DAN PERLENGKAPANNYA (UTTP) YANG WAJIB DITERA DAN DITERA ULANG

19

PERATURAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, MENTERI PERDAGANGAN, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI DAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL NOMOR: 01 /PDN/SE/01/2010 TENTANG PERCEPATAN PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN (SIUP) DAN TANDA DAFTAR PERUSAHAAN (TDP)

266

20

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NOMOR: 591/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 13 OKTOBER 1999 TENTANG KETENTUAN TATA CARA PEMBERIAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN (SIUP) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 384/MPP/KEP/8/1999 TANGGAL 18 AGUSTUS 1999 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 108/MPP/KEP/1996 TENTANG STANDARDISASI, SERTIFIKASI, AKREDITASI DAN PENGAWASAN MUTU PRODUK DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 288/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 23 JUNI 1999 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENINGKATAN PENGGUNAAN PRODUKSI DALAM NEGERI KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NOMOR 556/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 6 OKTOBER 1999 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BAPPEBTI

21

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/MDAG/PER/2/2010 TANGGAL 22 FEBRUARI 2010 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 05/MDAG/PER/2/2010 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 16/M-DAG/PER/5/2009 TENTANG LARANGAN SEMENTARA IMPOR HEWAN BABI DAN PRODUK TURUNANNYA

22

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 04/MDAG/PER/1/2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) BIDANG PERDAGANGAN TAHUN 2010 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 02/MDAG/PER/1/2010 TANGGAL 26 JANUARI 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 23/MDAG/PER/6/2009 TENTANG KETENTUAN IMPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01/MDAG/PER/1/2010 TANGGAL 21 JANUARI 2010 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR PERATURAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, MENTERI PERDAGANGAN, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI DAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL TENTANG PERCEPATAN PELAYANAN PERIZINAN DAN NON PERIZINAN UNTUK MEMULAI USAHA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 66/MDAG/PER/12/2009 TENTANG PELAKSANAAN SKEMA SUBSIDI RESI GUDANG

23

24

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NOMOR 559/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 6 OKTOBER 1999 TENTANG KRITERIA PENGUSAHA KECIL DAN KOPERASI UNTUK MEMPEROLEH KUOTA PERTUMBUHAN TAHUN 2000 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NOMOR 580/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 13 OKTOBER 1999 TENTANG PENGAWASAN IMPOR BARANG YANG TERCEMAR DIOXIN

25

26

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 321/MPP/KEP/7/1999 TANGGAL 13 JULI 1999 TENTANG PENETAPAN BESARNYA HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 251/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 11 JUNI 1999 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 61/MPP/KEP/2/1998 TENTANG PENYELENGGARAAN KEMETROLOGIAN

27

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 63/MDAG/PER/12/2009 TENTANG KETENTUAN IMPOR BARANG MODAL BUKAN BARU

267

28

29

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 588/MPP//KEP/10/1999 TANGGAL 14 OKTOBER 1999 TENTANG PENETAPAN TATA KERJA TIM NASIONAL DAN PEMBENTUKAN KELOMPOK PERUNDING UNTUK PERUNDINGAN PERDAGANGAN MULTILATERAL DALAM KERANGKA WTO KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 250/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 11 JUNI 1999 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2000

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 62/MDAG/PER/12/2009 TENTANG KEWAJIBAN PENCANTUMAN LABEL PADA BARANG

PERATURAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 64/MDAG/PER/12/2009 DAN NOMOR: PB.03/MEN/2009 TANGGAL 23 DESEMBER 2009 TENTANG LARANGAN SEMENTARA IMPOR UDANG SPESIES TERTENTU KE WILAYAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 61/MDAG/PER/12/2009 TANGGAL 21 DESEMBER 2009 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR

30

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 202/MPP/KEP/5/1999 TANGGAL 26 MEI 1999 TENTANG KETENTUAN DAN TATACARA PERMOHONAN FASILITAS DALAM RANGKA PELAKSANAAN PERJANJIAN "BASIC AGREEMENT ON THE ASEAN INDUSTRIAL COOPERATION" KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 26/MPP/KEP/1/1999 TANGGAL 14 JANUARI 1999 TENTANG PENDISTRIBUSIAN PUPUK UNTUK PETANI TANAMAN PANGAN DI DAERAH YANG SULIT DIJANGKAU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 06/MPP/KEP/1/1999 TANGGAL 6 JANUARI 1999 TENTANG PENETAPAN BESARNYA HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 405/MPP/KEP/9/1999 TANGGAL 2 SEPTEMBER 1999 TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 439/MPP/KEP/9/1998 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NOMOR: 146/MPP/KEP/4/1999 TANGGAL 22 APRIL TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 558/MPP/KEP/12/1998 TENTANG KETENTUAN UMUM DI BIDANG EKSPOR KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NOMOR: 551/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 5 OKTOBER 1999 TENTANG BENGKEL UMUM KENDARAAN BERMOTOR

31

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 58/MDAG/PER/11/2009 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 57/MDAG/PER/10/2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 10/M-DAG/PER/3/2009 TENTANG EKSPOR BARANG YANG WAJIB MENGGUNAKAN LETTER OF CREDIT PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 54/MDAG/PER/10/2009 TENTANG KETENTUAN UMUM DI BIDANG IMPOR

32

33

34

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 56/MDAG/PER/10/2009 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR

35

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 55/MDAG/PER/10/2009 TENTANG PENDELEGASIAN WEWENANG PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PENJUALAN LANGSUNG KEPADA KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL DALAM RANGKA PELAKSANAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DI BIDANG PENANAMAN MODAL

268

36

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 427/MPP/KEP/10/2000 TANGGAL 10 OKTOBER 2000 TENTANG KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 47/MDAG/PER/9/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/MDAG/PER/8/2008 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PERDAGANGAN DENGAN SISTEM PENJUALAN LANGSUNG PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 46/MDAG/PER/9/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/MDAG/PER/9/2007 TENTANG PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 44/MDAG/PER/9/2009 TENTANG PENGADAAN, DISTRIBUSI DAN PENGAWASAN BAHAN BERBAHAYA

37

38

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 428/MPP/KEP/10/2000 TANGGAL 10 OKTOBER 2000 TENTANG PENUNJUKAN DAN PENGANGKATAN ANGGOTA PENUNJUKAN DAN PENGANGKATAN ANGGOTA KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 253/MPP/KEP/7/2000 TANGGAL TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 550/MPP/KEP/10/1999 TENTANG ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 254/MPP/KEP/7/2000 TENTANG TATA NIAGA IMPOR DAN PEREDARAN BAHAN BERBAHAYA TERTENTU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 233/MPP/KEP/6/2000 TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 589/MPP/KEP/10/1999 TENTANG PENETAPAN JENIS-JENIS INDUSTRI DALAM PEMBINAAN MASING-MASING DIREKTORAT JENDERAL DAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN BIDANG INDUSTRI DAN PERDAGANGAN DI LIN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 234/MPP/KEP/6/20 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN LAPORAN KEUANGAN TAHUNAN PERUSAHAAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 268/MPP/KEP/7/2000 TANGGAL 11 JULI 2000 TENTANG PENETAPAN BESARNYA HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH)

39

40

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 43/MDAG/PER/9/2009 TENTANG PENGADAAN, PENGEDARAN, PENJUALAN, PENGAWASAN, DAN PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 52/MDAG/PER/10/2009 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2010

41

42

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 51/MDAG/PER/10/2009 TENTANG PENILAIAN TERHADAP UNIT PELAKSANA TEKNIS DAN UNIT PELAKSANA TEKNIS DAERAH METROLOGI LEGAL PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 50/MDAG/PER/10/2009 TENTANG UNIT KERJA DAN UNIT PELAKSANA TEKNIS METROLOGI LEGAL

269

43

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 50/MPP/KEP/2/2000 TANGGAL 25 FEBRUARI 2000 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR: 290/MPP/KP/6/1999 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NO. 472/MPP/KEP/II/2000 TGL. 16 NOVEMBER 2000 TENTANG KRITERIA PENGUSAHA KECIL DAN KOPERASI UNTUK MEMPEROLEH KUOTA PERTUMBUHAN TAHUN 2001 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 184/MPP/KEP/5/2000 TANGGAL 29 MEI 2000 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 42/MPP/KEP/2/1997 TENTANG KRITERIA DAN PENETAPAN PERUSAHAAN EKSPORTIR TERTENTU (PET) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 180/MPP/KEP/5/2000 TANGGAL 25 MEI 2000 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2001 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 192/MPP/KEP/6/2000 TANGGAL 2 JUNI 2000 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DEGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 50/MPP/KEP/2/2000 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 174/MPP/KEP/5/2000 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 67/MPP/KEP/3/2000 TENTANG KETENTUAN KUOTA EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NO. 100/KMK.05/2000 TANGGAL 31 MARET 2000 TENTANG KERINGANAN BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN UNTUK PEMBUATAN KOMPONEN, PERALATAN DAN KAROSERI KENDARAAN BERMOTOR KHUSUS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 7/MPP/KEP/1/2000 TANGGAL 11 JANUARI 2000 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN PETUNJUK PENGGUNAAN (MANUAL) DAN KARTU JAMINAN/GARANSI DALAM BAHASA INDONESIA BAGI PRODUK ELEKTRONIKA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 45/MDAG/PER/9/2009 TENTANG ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API)

44

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 53/MDAG/PER/10/2009 TENTANG PENGAWASAN MUTU BAHAN OLAH KOMODITI EKSPOR STANDARD INDONESIAN RUBBER YANG DIPERDAGANGKAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 42/MDAG/PER/9/2009 TENTANG KETENTUAN EKSPOR DAN IMPOR MINYAK DAN GAS BUMI

45

46

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 41/MDAG/PER/9/2009 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KOPI PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 40/MDAG/PER/9/2009 TENTANG VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR KACA LEMBARAN

47

48

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 49/MDAG/PER/9/2009 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR

49

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TANGGAL 05 AGUSTUS 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF

50

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 39/MDAG/PER/9/2009 TANGGAL 02 SEPTEMBER 2009 TENTANG KETENTUAN IMPOR LIMBAH NON BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (NON B3)

270

51

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 49/MPP/KEP/2/2000 TANGGAL 25 FEBRUARI 2000 TENTANG PERSYARATAN IMPOR KENDARAAN BERMOTOR DALAM KEADAAN UTUH (CBU) DALAM KEADAAN UTUH (CBU) LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 254/MPP/KEP/7/20 TENTANG TATA NIAGA IMPOR DAN PEREDARAN BAHAN BERBAHAYA TERTENTU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 234/MPP/KEP/6/2000 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN LAPORAN KEUANGAN TAHUNAN PERUSAHAAN

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 10/M-DAG/PER/3/2009 TANGGAL 31 AGUSTUS 2009 TENTANG EKSPOR BARANG YANG WAJIB MENGGUNAKAN LETTER OF CREDIT

52

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 37/MDAG/PER/8/2009 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 28/MDAG/PER/6/2009 TENTANG KETENTUAN PELAYANAN PERIJINAN EKSPOR DAN IMPOR DENGAN SISTEM ELEKTRONIK MELALUI INATRADE DALAM KERANGKA INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 35/MDAG/PER/8/2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 12/M-DAG/PER/4/2008 TENTANG KETENTUAN IMPOR DAN EKSPOR BERAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 36/MDAG/PER/8/2009 TENTANG KETENTUAN EKSPOR ROTAN

53

54

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 158/MPP/KEP/5/2000 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PEMERIKSA PETUNJUK PENGGUNAAN (MANUAL) DAN KARTU JAMINAN/GARANSI DALAM BAHASA INDONESIA BAGI PRODUK ELEKTRONIKA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NO. 26/MPP/KEP/II/2000 TANGGAL 1 FEBRUARI 2000 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR:102/SK/VIII/1967 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN KEBIJAKSANAAN DALAM BIDANG EKSPOR DAN PEMASARAN BARANG-BARANG/HASILHASIL BUMI INDONESIA LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NO. 97/KMK.05/2000 TANGGAL 31 MARET 2000 TENTANG KERINGANAN BEA MASUK ATAS IMPOR BAHAN BAKU UNTUK PEMBUATAN KOMPONEN KENDARAAN BERMOTOR

55

56

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 33/MDAG/PER/7/2009 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 12/M-DAG/PER/6/2005 TENTANG KETENTUAN EKSPOR ROTAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32/MDAG/PER/7/2009 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 31/MDAG/PER/7/2009 TANGGAL 17 JULI 2009 TENTANG TARIF PENERBITAN SURAT KETERANGAN ASAL (CERTIFICATE OF ORIGIN) UNTUK BARANG EKSPOR INDONESIA

57

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NOMOR 129/MPP/KEP/4/2000 TANGGAL 24 APRIL 2000 TENTANG IMPOR MESIN, PERALATAN MESIN DAN BARANG MODAL DALAM KEADAAN BUKAN BARU PENJELASAN KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA INSTANSI PEMERINTAH

58

271

59

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 278/MPP/KEP/7/2000 TANGGAL 17 JULI 2000 TENTANG IMPOR MESIN, PERALATAN MESIN DAN BARANG MODAL BUKAN BARU

60

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 67/MPP/KEP/3/2000 TANGGAL 15 MARET 2000 TENTANG KETENTUAN KUOTA EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL

61

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 73/MPP/KEP/3/2000 TANGGAL 15 MARET 2000 TENTANG KETENTUAN KEGIATAN USAHA PENJUALAN BERJENJANG KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 302/MPP/KEP/10/2001 TENTANG PENDAFTARAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT

62

63

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122 TAHUN 2001 TANGGAL 30 NOPEMBER 2001 TENTANG TIM KEBIJAKAN PRIVATISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 337/MPP/KEP/11/2001 TENTANG PENERAPAN SECARA WAJIB SNI LAMPU SWA BALLAST UNTUK PELAYANAN PENCAHAYAAN UMUMPERSYARATAN KESELAMATAN (SNI 04-65042001 DAN REVISINYA)

64

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 29/MDAG/PER/6/2009 TANGGAL 30 JUNI 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 05/MDAG/PER/4/2005 TENTANG KETENTUAN IMPOR MESIN, PERALATAN MESIN, BAHAN BAKU DAN CAKRAM OPTIK PERATURAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 27/MDAG/PER/6/2009 DAN NOMOR: PB.02/MEN/2009 TANGGAL 24 JUNI 2009 TENTANG LARANGAN SEMENTARA IMPOR UDANG SPESIES TERTENTU KE WILAYAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/MDAG/PER/6/2009 TANGGAL 23 JUNI 2009 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR:26/MDAG/PER/6/2009 TANGGAL 23 JUNI 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 58/MDAG/PER/12/2008 TENTANG KETENTUAN IMPOR LIMBAH NON BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (NON B3) PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 23/MDAG/PER/6/2009 TANGGAL 19 JUNI 2009 TENTANG KETENTUAN IMPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI NOMOR : 04/DAGLU/PER/6/2009 TANGGAL 1 JUNI 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI NOMOR 03/DAGLU/PER/4/2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 13/M-DAG/PER/3/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 12/M-DAG/PER/4/2008 TENTANG KETENTUAN IMPOR DAN EKSPOR BERAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 21/MDAG/PER/6/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 08/M-DAG/PER/2/2009 TENTANG KETENTUAN IMPOR BESI ATAU BAJA

65

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 323/MPP/KEP/11/2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 153/MPP/KEP/5/2001 TENTANG PENERAPAN SECARA WAJIB SNI TEPUNG TERIGU SEBAGAI BAHAN MAKANAN (SNI .01-3751-2000/REV.1995 DAN REVISINYA)

272

66

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I NOMOR 294/MPP/KEP/10/2001 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 146/MPP/KEP/4/1999 DAN PENETAPAN BARANG YANG DIATUR, DIAWASI DAN DILARANG EKSPORNYA KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 150/KMK.01/2001 TANGGAL 29 MARET 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG DALAM RANGKA SKEMA COMMON EFFECTIVE PREFERENTIAL TARIFF (CEPT) UNTUK PERIODE 1 JANUARI 2001 SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 2003 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR : 293/MPP/KEP/2001 TANGGAL 8 OKTOBER 2001 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 463/MPP/KEP/10/1998 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 300/MPP/KEP/10/2001 TANGGAL 24 OKTOBER 2000 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PEMANTAU HARGA DAN ANTISIPASI PENGADAAN DAN PENDISTRIBUSIAN BARANG KEBUTUHAN POKOK MENGHADAPI HARI RAYA KEAGAMAAN NASIONAL TAHUN 2001/2002 KEPUTUSANMENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 310/MPP/KEP/10/2001 TENTANG TIM VERIFIKASI MANAJEMEN KUOTA TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TAHUN KUOTA 2001

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20/MDAG/PER/5/2009 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENGAWASAN BARANG DAN/ATAU JASA

67

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/MDAG/PER/5/2009 TENTANG PENDAFTARAN PETUNJUK PENGGUNAAN (MANUAL) DAN KARTU JAMINAN/GARANSI PURNA JUAL DALAM BAHASA INDONESIA BAGI PRODUK TELEMATIKA DAN ELEKTRONIKA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/MDAG/PER/5/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR

68

69

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 18/MDAG/PER/5/2009 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR

70

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI NOMOR : 03/DAGLU/PER/4/2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 13/M-DAG/PER/3/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 12/MDAG/PER/4/2008 TENTANG KETENTUAN IMPOR DAN EKSPOR BERAS DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI, PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 16/MDAG/PER/5/2009 TENTANG LARANGAN SEMENTARA IMPOR HEWAN BABI DAN PRODUK TURUNANNYA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 15/MDAG/PER/4/2009 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU

71

72

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 311/MPP/KEP/10/2001 TENTANG KETENTUAN KUOTA EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 217.A./MPP/KEP/7/2001 TANGGAL 9 JULI 2001 TENTANG KETENTUAN DAN TATA TARA PEROLEHAN FASILITAS PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN BAGI ANGGOTA MISI DAGANG ATAU PAMERINTAH YANG MEWAKILI PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA KE LUAR NEGERI

273

73

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 289/MPP/KEP/10/2001 TENTANG KETENTUAN STANDAR PEMBERIAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN (SIUP)

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 13/MDAG/PER/3/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 12/M-DAG/PER/4/2008 TENTANG KETENTUAN IMPOR DAN EKSPOR BERAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12/MDAG/PER/3/2009 TANGGAL 27 MARET 2009 TENTANG PELIMPAHAN KEWENANGAN PENERBITAN PERIZINAN DI BIDANG PERDAGANGAN LUAR NEGERI KEPADA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM, BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BINTAN, DAN BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS KARIMUN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 11/MDAG/PER/3/2009 TANGGAL 25 MARET 2009 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 10/MDAG/PER/3/2009 TANGGAL 05 MARET 2009 TENTANG EKSPOR BARANG YANG WAJIB MENGGUNAKAN LETTER OF CREDIT PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 09/MDAG/PER/2/2009 TANGGAL 24 FEBRUARI 2009 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU

74

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA CUKAI NOMOR: KEP-57/BC/2001 TANGGAL 31 AGUSTUS 2001 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PEMBEBASAN CUKAI ETIL ALKOHOL

75

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I. NOMOR PENUNJUKAN LEMBAGA UJI PUBLIK KENDARAAN BERMOTOR RODA EMPAT DAN RODA DUA222A/MPP/KEP/7/2001 TANGGAL 13 JULI 2001 TENTANG SURAT DIRJEN PERDAGANGAN LUAR NEGERI NO. 264/DJPLN/IX/2001 TANGGAL 12 SEPTEMBER 2001 TENTANG HPE KELAPA SAWIT, MINYAK KELAPA SAWIT, DAN PRODUK TURUNANNYA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 263/MPP/KEP/8/2001 TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 78/MPP/KEP/3/2001 TENTANG PEDOMAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (PSPM) BIDANG PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 213/MPP/KEP/7/2001 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN UNTUK PERHITUNGAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 160/DJPLN/VI/2001 TANGGAL 22JUNI 2001 TENTANG PENETAPAN HARGA BARANG-BARANG EKSPOR (HARGA FOB) BERLAKU DARI TANGGAL 1 JULI S/D 30 SEPTEMBER 2001 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I. NOMOR : 216/MPP/KEP/7/2001 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 261/MPP/KEP/9/1996 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PERMOHONAN PENYELIDIKAN ATAS BARANG DUMPING DAN ATAU BARANG MENGANDUNG SUBSIDI

76

77

78

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 08/MDAG/PER/2/2009 TENTANG KETENTUAN IMPOR BESI ATAU BAJA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/MDAG/PER/1/2009 TANGGAL 27 JANUARI 2009 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01/MDAG/PER/1/2009 TANGGAL 5 JANUARI 2009 TENTANG EKSPOR BARANG YANG WAJIB MENGGUNAKAN LETTER OF CREDIT

79

80

274

81

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I. NOMOR : 214/MPP/KEP/7/2001 TENTANG UJI PUBLIK KENDARAAN BERMOTOR RODA EMPAT DAN RODA DUA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 60/MDAG/PER/12/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 56/M-DAG/PER/12/2008 TENTANG KETENTUAN IMPOR PRODUK TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 58/MDAG/PER/12/2008 TANGGAL 24 DESEMBER 208 TENTANG KETENTUAN IMPOR LIMBAH NON BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (NON B3)

82

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 51/MPP/KEP/2/2001 TANGGAL 14 FEBRUARI 2001 TENTANG PENETAPAN EKSPORTIR TERDAFTAR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL PENGUSAHA KECIL DAN KOPERASI (ETTPT-PKK) UNTUK MEMPEROLEH KUOTA PERTUMBUHAN (KPT) TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL TAHUN KUOTA 2001 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 191/MPP/KEP/6/2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 551/MPP/KEP/10/1999 TENTANG BENGKEL UMUM KENDARAAN BERMOTOR KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGANREPUBLIK INDONESIA NOMOR : 199/MPP/KEP/6/2001 TENTANG PERSETUJUAN PENYELENGGARAAN PAMERAN DAGANG, KONVENSI DAN ATAU SEMINAR DAGANG

83

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 57/MDAG/PER/12/2008 TANGGAL 24 DESEMBER 2008 TENTANG KETENTUAN IMPOR BARANG MODAL BUKAN BARU

84

85

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 197/MPP/KEP/6/2001 TENTANG LEMBAGA SURVEYOR BENGKEL UMUM KENDARAAN BERMOTOR KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA 195/MPP/KEP/6/2001 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2002

PERATURAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 54/MDAG/PER/12/2008 NOMOR: PB.02/MEN/2008 TANGGAL 24 DESEMBER 2008 TENTANG LARANGAN SEMENTARA IMPOR UDANG SPESIES TERTENTU KE WILAYAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 56/MDAG/PER/12/2008 TANGGAL 24 DESEMBER 2008 TENTANG KETENTUAN IMPOR PRODUK TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 55/MDAG/PER/12/2008 TANGGAL 24 DESEMBER 2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 53/MDAG/PER/12/2008 TANGGAL 12 DESEMBER 2008 TENTANG PEDOMAN PENATAAN DAN PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL, PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 52/MDAG/PER/12/2008 TANGGAL 12 DESEMBER 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 44/MDAG/PER/10/2008 TENTANG KETENTUAN IMPOR PRODUK TERTENTU

86

87

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 172/MPP/KEP/5/2001 TENTANG IMPOR MESIN DAN PERALATAN MESIN BUKAN BARU

88

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 153/MPP/KEP/5/2001 TENTANG PENERAPAN SECARA WAJIB SNI TEPUNG TERIGU SEBAGAI BAHAN MAKANAN (SNI 01.3751-2000/REV.1995 DAN REVISINYA

275

89

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 80/MPP/KEP/3/2001 TENTANG PENGHAPUSAN BARANG MILIK/KEKAYAAN NEGARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DENGAN TINDAK LANJUT DIALIHKAN KEPADA PEMERINTAH DAERAH LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 78/MPP/KEP/3/2000 TENTANG PEDOMAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (PSPM) BIDANG PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 78/MPP/KEP/3/2001 TENTANG PEDOMAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (PSPM) BIDANG PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 01/MPP/KEP/1/2001 TANGGAL 4 JANUARI 2001 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR580/KEP/10/1999 TENTANG PENGAWASAN IMPOR BARANG YANG TERCEMAR DIOXIN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 02/MPP/KEP/1/2001 TANGGAL 4 JANUARI 2001 TENTANG KETENTUAN KUOTA EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 519 TAHUN 2001 TANGGAL 30 NOPEMBER 2001 TENTANG LEMBAGA PELAKSANA PEMERIKSAAN PANGAN HALAL

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 49/MDAG/PER/11/2008 TANGGAL 28/11/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU

90

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 41/MDAG/PER/10/2008 TENTANG KETENTUAN IMPOR LIMBAH NON BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (NON B3)

91

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 44/MDAG/PER/10/2008 TANGGAL 31 OKTOBER 2008 TENTANG KETENTUAN IMPOR PRODUK TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 40/MDAG/PER/10/2008 TANGGAL 30/10/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU

92

93

94

95

96

MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 204/MPP/KEP/6/2001 TANGGAL 25 JUNI 2001 TENTANG PENETAPAN BESARNYA HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 372/MPP/KEP/12/2001 TENTANG KETENTUAN PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI PABRIKASI PELUMAS DAN PENGOLAHAN PELUMAS BEKAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 365/MPP/KEP/12/2001 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN UNTUK PERHITUNGAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38/MDAG/PER/10/2008 TANGGAL 22/10/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 37/MDAG/PER/9/2008 TENTANG SURAT KETERANGAN ASAL (CERTIFICATE OF ORIGIN) TERHADAP BARANG IMPOR YANG DIKENAKAN TINDAKAN PENGAMANAN (SAFEGUARDS) PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 36/MDAG/PER/9/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 33/MDAG/PER/8/2008 TANGGAL 21 AGUSTUS 2008 TENTANG PERUSAHAAN PERANTARA PERDAGANGAN PROPERTI PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32/MDAG/PER/8/2008 TANGGAL 21 AGUSTUS 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PERDAGANGAN DENGAN SISTEM PENJUALAN LANGSUNG

97

276

98

KEPUTUSAN MENTERI PERINUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 62/DJPL/III/2001 TANGGAL 29 MARET 2001 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN BARANGBARANG EKSPOR (HARGA FOB) BERLAKU DARI TANGGAL 1 APRIL S/D 30 JUNI 2001 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/MPP/KEP/1/2001 TENTANG PEMBENTUKAN KOMITE SUPERVISI/SUPERVISORY COMMITTEE (SC) DAN KOMITE TEKNIS/TECHNICAL COMMITTEE (TC) PROGRAM PELATIHAN DAN BANTUAN TEKNIS UNTUK PEMANFAATAN DANA TEKNOLOGI INFORMASI (TATP) BANTUAN PINJAMAN BANK DUNIA SURAT EDARAN DIRJEN BEA DAN CUKAI NOMOR SE-07/BC/2001 TENTANG PETUNJUK PENGAWASAN IMPORTASI BERAS, GULA, DAN TEPUNG TERIGU

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 31/MDAG/PER/8/2008 TANGGAL 21 AGUSTUS 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA

99

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 34/MDAG/PER/8/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU

100

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 28/MDAG/PER/7/2008 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR : 12/M-DAG/PER/6/2005 TENTANG KETENTUAN EKSPOR ROTAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 26/MDAG/PER/7/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/MDAG/PER/7/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR : 10/M-DAG/PER/6/2005 TENTANG KETENTUAN EKSPOR DAN IMPOR INTAN KASAR PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 24/MDAG/PER/6/2008 TENTANG KETENTUAN EKSPOR PISANG DAN NANAS KE JEPANG DALAM RANGKA IJ-EPA (INDONESIA JAPANECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT) PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI NOMOR : 05/DAGLU/PER/6/2008 TENTANG PENGALOKASIAN KUOTA EKSPOR PISANG DAN NANAS KE JEPANG DALAM RANGKA IJEPA (INDONESIA JAPAN-ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT)

101

102

SURAT EDARAN DIRJEN BEA DAN CUKAI NOMOR SE-06/BC/2001 TENTANG PETUNJUK PENIMBUNAN BERAS, GULA, DAN TEPUNG TERIGU IMPOR DI TEMPAT LAIN SELAIN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA (GUDANG MILIK IMPORTIR) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 93/MPP/KEP/3/2001 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK UREA UNTUK SEKTOR PERTANIAN

103

MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 57/MPP/KEP/2/2001 TENTANG PENETAPAN BESARNYA HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH)

104

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 62/MPP/KEP/02/2001 TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 192/MPP/KEP/6/2000

277

105

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 118/MPP/KEP/2/2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 558/MPP/KEP/12/1998 TENTANG KETENTUAN UMUM DIBIDANG EKSPOR SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 31/MPP/KEP/1/2003 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 829/MPP/KEP/12/2002 TENTANG PEMBERIAN TANDA PENGHARGAAN PRIMANIYARTA KEPADA EKSPORTIR YANG BERPRESTASI SELAMA PERIODE 1997 SAMPAI DENGAN 2001 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 802/MPP/KEP/12/2002 TENTANG PUSAT PENYELESAIAN MASALAH USAHA (BUSINESS SOLUTION CENTER) LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR : 818/MPP/KEP/12/2002 TENTANG LEMBAGA SERTIFIKASI PRODUK YANG DITUNJUK DALAM RANGKA PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN SNI WAJIB KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 818/MPP/KEP/12/2002 TENTANG PENUNJUKAN LEMBAGA SERTIFIKASI PRODUK, LABORATORIUM PENGUJI DAN LEMBAGA INSPEKSI DALAM RANGKA PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN SNI WAJIB KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG TERTIB ADMINISTRASI IMPORTIR KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 807/MPP/KEP/12/2002 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 791/MPP/KEP/11/2002 DAN PEMBENTUKAN TIM PENGKAJIAN KELAYAKAN PENGUSAHA KECIL DAN KOPERASI UNTUK MEMPEROLEH KUOTA PERTUMBUHAN TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL TAHUN KUOTA 2003 KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PEMBENTUKAN BADAN REVITALISASI INDUSTRI KEHUTANAN

PERATURAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 23/MDAG/PER/6/2008 & NOMOR : PB.01/MEN/2008 TENTANG LARANGAN SEMENTARA IMPOR UDANG SPESIES TERTENTU KE WILAYAH REPUBLIK INDONESIA

106

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 22/MDAG/PER/6/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU

107

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 20/MDAG/PER/5/2008 TENTANG KETENTUAN EKSPOR PRODUK INDUSTRI KEHUTANAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/MDAG/PER/5/2008 TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 527/MPP/KEP/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 18/MDAG/PER/5/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU

108

109

110

111

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :15/MDAG/PER/5/2008 TANGGAL 5 MEI 2008 TENTANG KETENTUAN IMPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 14/MDAG/PER/5/2008 TANGGAL 5 MEI 2008 TENTANG VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS TERHADAP EKSPOR PRODUK PERTAMBANGAN TERTENTU

112

278

113

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 789/MPP/KEP/12/2002 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 111/MPP/KEP/1/1998 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 790/MPP/KEP/12/2002 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 110/MPP/KEP/1/1998 TENTANG LARANGAN MEMPRODUKSI DAN MEMPERDAGANGKAN BAHAN PERUSAK LAPISAN OZON SERTA MEMPRODUKSI DAN MEMPERDAGANGKAN BARANG BARU YANG MENGGUNAKAN BAHAN PERUSAK LAPISAN OZON KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 753/MPP/KEP/11/2002 TENTANG STANDARDISASI DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 751/MPP/KEP/11/2002 TENTANG KETENTUAN IMPOR BESI ATAU BAJA CANAI LANTAIAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 432/KMK.01/2002 TANGGAL 21 OKTOBER 2002 TENTANG PENETAPAN TARIP BEA MASUK ATAS IMPOR PRODUK-PRODUK BAJA TERTENTU INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2002 TANGGAL 22 OKTOBER 2002 TENTANG KOORDINASI INTELIJEN OLEH BADAN INTELIJEN NEGARA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 13/MDAG/PER/4/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU

114

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 11/MDAG/PER/4/2008 TENTANG VERIFIKASI PENGANGKUTAN ANTAR PULAU KOMODITAS KELAPA SAWIT DAN PRODUK TURUNANNYA

115

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12/MDAG/PER/4/2008 TENTANG KETENTUAN IMPOR DAN EKSPOR BERAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 10/MDAG/PER/4/2008 TENTANG KETENTUAN KARET ALAM SPESIFIKASI TEKNIS INDONESIA (SIR) YANG DIPERDAGANGKAN KE LUAR NEGERI PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 09/MDAG/PER/3/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 07/MDAG/PER/3/2008 TANGGAL 10 MARET 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 141/MPP/KEP/3/2002 TENTANG NOMOR PENGENAL IMPORTIR KHUSUS (NPIK) PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 05/MDAG/PER/2/2008 TANGGAL 25 PEBRUARI 2008, TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 03/MDAG/PER/2/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 02/M-DAG/PER/1/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU

116

117

118

119

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 732/MPP/KEP/10/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR TEKSTIL

120

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 731/MPP/KEP/10/2002 TENTANG PENGELOLAAN KEMETROLOGIAN DAN PENGELOLAAN LABORATORIUM KEMETROLOGIAN

279

121

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 643/MPP/KEP/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA

122

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 635/MPP/KEP/9/2002 TENTANG PENUNJUKAN BALAI/LEMBAGA UJI SEBAGAI LABORATORIUM PENGUJI PUPUK KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 646/MPP/KEP/9/2002 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PEMANTAUAN HARGA DAN ANTISIPASI PENGADAAN DAN PENDISTRIBUSIAN BARANG KEBUTUHAN POKOK MENGHADAPI HARI RAYA KEAGAMAAN NASIONAL TAHUN 2002/2003

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 02/MDAG/PER/1/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 51/MDAG/PER/12/2007 TENTANG KETENTUAN IMPOR METIL BROMIDA UNTUK KEPERLUAN KARANTINA DAN PRA PENGAPALAN PERATURAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 50/MDAG/PER/12/2007 DAN NOMOR : PB.02/MEN/2007 TENTANG PERPANJANGAN MASA BERLAKU LARANGAN SEMENTARA IMPOR UDANG SPESIES TERTENTU KE WILAYAH REPUBLIK INDONESIA SEBAGAIMANA DITETAPKAN DALAM PERATURAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 27/MDAG/PER/6/2007 DAN NOMOR : PB.01/MEN/2007 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 49/MDAG/PER/12/2007007 TENTANG KETENTUAN IMPOR BARANG MODAL BUKAN BARU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 48/MDAG/PER/12/2007 TANGGAL 19 DESEMBER 2007 TENTANG : PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 46/MDAG/PER/11/2007 TANGGAL 26 NOPEMBER 2007 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR : 20/M-DAG/PER/9/2005 TENTANG KETENTUAN IMPOR GARAM

123

124

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 641/MPP/KEP/9/2002 TENTANG PENETAPAN BESARNYA HARGA PATOKAN ESKPOR (HPE) PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 642/MPP/KEP/9/2002 TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 640/MPP/KEP/9/2002 TENTANG TIM PENGENDALI VOLUME EKSPOR PASIR LAUT

125

126

127

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 605/MPP/KEP/8/2002 TENTANG PENGANGKATAN ANGGOTA BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA PEMERINTAH KOTA MAKASSAR, KOTA PALEMBANG, KOTA SURABAYA KOTA BANDUNG, KOTA SEMARANG, KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA MEDAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 606/MPP/KEP/9/2002 TENTANG PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA (WORKING GROUP) INDONESIA AFRIKA BAGIAN SELATAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 634/MPP/KEP/9/2002 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENGAWASAN BARANG DAN ATAU JASA YANG BEREDAR DI PASAR

128

129

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 45/MDAG/PER/10/2007 TANGGAL 25 OKTOBER 2007 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 43/MDAG/PER/10/2007 TENTANG PENERBITAN SURAT KETERANGAN ASAL (CERTIFICATE OF ORIGIN) UNTUK BARANG EKSPOR INDONESIA

280

130

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 594/MPP/KEP/VIII/2002 TENTANG KETENTUAN PERIZINAN USAHA JASA PENILAIAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 480/MPP/KEP/6/2002 TANGGAL 13 JUNI 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 302/MPP/KEP/10/2001 TENTANG PENDAFTARAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NO. 456/MPP/KEP/6/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA KASAR (RAW SUGAR) KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45/KMK.01/2002 TANGGAL 14 FEBRUARI 2002 TENTANG TATALAKSANA KEPABEANAN TERHADAP BARANG IMPOR DARI NORTHERN TERRITORY AUSTRALIA KE DAERAH PEBEAN INDONESIA SELAIN PULAU JAWA DAN SUMATERA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR : 426/MPP/KEP/5/2002 TGL. 20 MEI 2002 TENTANG PEDOMAN ADMINISTRASI UMUM KEPUTUSAN PRESIDEN EPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TANGGAL 23 MEI 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 443/MPP/KEP/5/2002 TANGGAL 24 MEI 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 558/MPP/KEP/12/1998 TENTANG KETENTUAN UMUM DIBIDANG EKSPOR SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 57/MPP/KEP/1/2002 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 442/MPP/KEP/5/2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 337/MPP/KEP/11/2001 TENTANG PENERAPAN SECARA WAJIB SNI LAMPU SWA BALLAST UNTUK PELAYANAN PENCAHAYAAN UMUMPERSYARATAN KESELAMATAN (SNI 04-65042001 DAN REVISINYA)

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 36/MDAG/PER/9/2007 TENTANG PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 37/MDAG/PER/9/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PERUSAHAAN

131

132

133

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 39/MDAG/PER/9/2007 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE)ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 35/MDAG/PER/8/2007 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU

134

135

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32/MDAG/PER/8/2007 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 31/MDAG/PER/7/2007 TENTANG ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API) PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 28/MDAG/PER/7/2007, TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU

136

137

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 29/MDAG/PER/7/2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 12/M-DAG/PER/6/2005 TENTANG KETENTUAN EKSPOR ROTAN

281

138

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 441/MPP/KEP/5/2002 TANGGAL 23 MEI 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR PASIR LAUT

139

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 304/MPP/KEP/4/2002 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN UNTUK PERHITUNGAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN

140

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 418/MPP/KEP/4/2002 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYELEKSI CALON ANGGOTA BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 419/MPP/KEP/4/2002 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYELEKSI PENETAPAN ANGGOTA BADAN PENYELESAIAN SENGKETA

PERATURAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 27/MDAG/6/2007 DAN NOMOR : PB.01/MEN/2007 TENTANG LARANGAN SEMENTARA IMPOR UDANG SPESIES TERTENTU KE WILAYAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 27/MDAG/PER/6/2007 DAN NOMOR : PB.01/MEN/2007, TANGGAL 29 JUNI 2007 TENTANG LARANGAN SEMENTARA IMPOR UDANG SPESIES TERTENTU KE WILAYAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 04/MDAG/PER/1/2007 TENTANG PENGGUNAAN NAMA DOMAIN GO.ID UNTUK SITUS WEB RESMI PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH "PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 03/MDAG/PER/2/2006, TENTANG "PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDIUNTUK SEKTOR PERTANIAN" PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :10/MDAG/PER/3/2006 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PERWAKILAN PERUSAHAAN PERDAGANGAN ASING PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 09/MDAG/PER/3/2006 TENTANG "KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN" PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 11/MDAG/PER/3/2006 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN SURAT TANDA PENDAFTARAN AGEN ATAU DISTRIBUTOR BARANG DAN/ATAU JASA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12/MDAG/PER/3/2006 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN SURAT TANDA PENDAFTARAN USAHA WARALABA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 13/MDAG/PER/3/2006 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PENJUALAN LANGSUNG

141

142

Error! Hyperlink reference not valid.

143

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 304/MPP/KEP/4/2001 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN UNTUK PERHITUNGAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN SURAT DIRJEND PERDAGANGAN LUAR NEGERI NOMOR 124/DJPLN/IV/2002 TANGGAL 11 APRIL 2002 TENTANG HPE KELAPA SAWIT, MINYAK KELAPA SAWIT, DAN PRODUK TURUNANNYA

144

145

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM.23 TAHUN 2002 TANGGAL 26 MARET 2002 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA INTERNET TELEPONI UNTUK KEPERLUAN PUBLIK KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 145A K/05/MEM/2002 DAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN TENTANG FORUM KOMUNIKASI PENGGUNAAN PRODUK DALAM NEGERI DI SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 141/MPP/KEP/3/2002 TENTANG NOMOR PENGENAL IMPORTIR KHUSUS (NPIK)

146

147

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 14/MDAG/PER/3/2006 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN SURAT IZIN USAHA

282

JASA SURVEY

148

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 121/MPP/KEP/2/2002 TENTANG KETENTUAN PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN TAHUNAN PERUSAHAAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 111/MPP/KEP/2/2002 TENTANG SURAT KETERANGAN ASAL ("CERTIFICATE OF ORIGIN") BARANG EKSPOR INDONESIA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 89/MPP/KEP/2/2002 TENTANG PENGHENTIAN SEMENTARA EKSPOR PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 24/MPP/KEP/1/2002 TANGGAL 15 JANUARI 2002 TENTANG PEMBEBASAN DAN PENGANGKATAN KETUA MERANGKAP ANGGOTA KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA (KADI) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 59/MPP/KEP/I/2002 TENTANG PENUNJUKAN BALAI/LEMBAGA UJI SEBAGAI LABORATORIUM PENGUJI TEPUNG TERIGU KEPUTUSAN MENTERI PERUNDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 546/MPP/KEP/7/2002 TANGGAL 24 JULI 2002 TENTANG PEMBENTUKAN TIM BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR TEPUNG TERIGU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 575/MPP/KEP/VIII/2002 TGL 6 AGUSTUS 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 558/MPP/KEP/12/1998 TENTANG KETENTUAN UMUM DIBIDANG EKSPOR SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 443/MPP/KEP/5/2002 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 560/MPP/KEP/7/2002 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2003 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 564/MPP/KEP/7/2002 TENTANG PENUNJUKAN BALAI/LEMBAGA UJI SEBAGAI LABORATORIUM PENGUJI LAMPU SWA BALLAST UNTUK PELAYANAN PENCAHAYAAN UMUM

149

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 15/MDAG/PER/3/2006 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN IMPOR, PENGEDARAN DAN PENJUALAN, DAN PERIZINAN MINUMAN BERALKOHOL PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 16/MDAG/PER/3/2006 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PERGUDANGAN

150

151

152

153

154

155

156

283

157

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 510/MPP/KEP/6/2002 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 527/MPP/KEP/7/2002 TANGGAL 5 JULI 2002 TENTANG TATA KERJA TIM NASIONAL WTO DAN PEMBENTUKAN KELOMPOK PERUNDING UNTUK PERUNDINGAN PERDAGANGAN MULTILATERAL DALAM KERANGKA WTO KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 547/MPP/KEP/7/2002 TENTANG PEDOMAN PENDAFTARAN PETUNJUK PENGGUNAAN (MANUAL) DAN KARTU JAMINAN/GARANSI DALAM BAHASA INDONESIA BAGI PRODUK TEKNOLOGI INFORMASI DAN ELEKTRONIKA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 547/MPP/KEP/7/2002 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN UNTUK PERHITUNGAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 480/MPP/KEP/7/2003 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR BUS KOTA DAN PERKOTAAN DALAM KEADAAN BUKAN BARU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 418/MPP/KEP/6/2003 TENTANG KETENTUAN IMPOR NITRO CELLULOSE (NC) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 417/MPP/KEP/6/2003 TANGGAL 17 JUNI 2003 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 444/MPP/KEP/6/2003 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 458/MPP/KEP/7/2003 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA IMPOR BUS KOTA DAN PERKOTAAN DALAM KEADAAN BUKAN BARU

158

159

160

161

162

163

164

165

284

166

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 415/MPP/KEP/6/2003, TANGGAL 17 JUNI 2003 TENTANG PEMBERIAN KUASA PERMINTAAN PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 414/MPP/KEP/6/2003, TANGGAL 17 JUNI 2003 TENTANG PEMBERI KUASA UNTUK PENERBITAN PERSETUJUAN IMPOR BARANG TANPA API KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 389/MPP/KEP/5/2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 276/MPP/KEP/4/2003 TENTANG VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 232/KMK.04/2003 TANGGAL 29 MEI 2003 TENTANG PENETAPAN TARIF BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG DALAM RANGKA ASEAN INTEGRATION SYSTEM OF REFERENCES (AISP) UNTUK NEGARA-NEGARA ANGGOTA BARU ASEAN (MYANMAR, VIETNAM, CAMBODIA) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 306/MPP/KEP/4/2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 70/MPP/KEP/2/2003 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 117/MPP/KEP/2/2003 TENTANG PENGHENTIAN SEMENTARA EKSPOR PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 115/MPP/KEP/2/2003 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NO. 52/MPP/KEP/I/2003 TENTANG PANITIA PENYELENGGARA PAMERAN PRODUKSI INDONESIA 2003 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 84/MPP/KEP/2/2003 TENTANG KOMITE PENGAMANAN PERDAGANGAN INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/MPP/KEP/2/2003 TENTANG TATA CARA DAN PERYSARATAN PERMOHONAN PENYELIDIKAN ATAS PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

167

168

169

170

171

172

173

174

285

175

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 68/MPP/KEP/2/2003 TENTANG PERDAGANGAN KAYU ANTAR PULAU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 70/MPP/KEP/2/2003 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 52/MPP/KEP/1/2003 TENTANG PANITIA PENYELENGGARA PAMERAN PRODUKSI INDONESIA 2002 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 40/MPP/ TENTANG ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 40/MPP/KEP/1/2003 TENTANG ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32/MPP/KEP/1/2003 TENTANG KETENTUAN EKSPOR PRODUK INDUSTRI KEHUTANAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 31/MPP/KEP/1/2003 22 JANUARI 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 558/MPP/KEP/12/1998 TENTANG KETENTUAN UMUM DIBIDANG KSPOR SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 575/MPP/KEP/8/2002 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 3/MPP/KEP/1/2003 TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 802/MPP/KEP/12/2002 TENTANG PUSAT PENYELESAIAN MASALAH USAHA (BUSINESS SOLUTION CENTER) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR: 519/MPP/KEP/8/2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 558/MPP/KEP/12/1998 TENT ANG KETENTUAN UMUM DI BIDANG EKSPOR SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 118/MPP/KEP/2/2003

176

177

178

179

180

181

182

183

286

184

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 411MPP/KEP/6/2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 756/MPP/KEP/11/2002 TENTANG IMPOR MESIN DAN PERALATAN MESIN BUKAN BARU KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 381/KMK.01/2003 TANGGAL 3 SEPTEMBER 2003 TENTANG PEMBERIAN PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR BAHAN BAKU/KOMPONEN UNTUK PEMBUATAN PERALATAN DAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI OLEH INDUSTRI MANUFAKTUR TELEKOMUNIKASI KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 529/MPP/KEP/9/2003 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PEMANTAUAN HARGA DAN ANTISIPASI PENGADAAN BARANG DALAM MENGHADAPI HARI RAYA KEAGAMAAN NASIONAL TAHUN 2003/2004 KEPUTUSAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA NOMOR KEP-236/BMU/2003 TANGGAL 17 JUNI 2003 TENTANG PROGRAM KEMITRAAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN USAHA KECIL DAN PROGRAM BINA LINGKUNGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 518/MPP/KEP/8/2003 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI PUSAT PROMOSI PERDAGANGAN INDONESIA DI LUAR NEGERI KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 517/MPP/KEP/8/2003 TENTANG TUGAS DAN FUNGSI ATASE/KEPALA BIDANG PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DI LUAR NEGERI KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 522/MPP/KEP/8/2003 TENTANG T ANDA TERA TAHUN 2004 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 662.1/MPP/KEP/10/2003 TENTANG TIM FREE TRADE ARRANGEMENT (FTA) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK NDONESIA NOMOR : 276/MPP/KEP/4/2003 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK NDONESIA NOMOR : 276/MPP/KEP/4/2003 TGL 9 APRIL 2003 TENTANG VARIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT)

185

186

187

188

189

190

191

192

287

193

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 645.1/MPP/KEP/10/2003 TENTANG TIM INTEGRASI EKONOMI ASEAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 756/MPP/KEP/12/2003 TENTANG IMPOR BARANG MODAL BUKAN BARU KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 584/KMK.04/2003 TENTANG PEMASUKAN BARANG-BARANG DARI LUAR DAERAH PABEAN KE KAWASAN BERIKAT (BONDED ZONE) DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 757/MPP/KEP/12/2003 TENTANG LARANGAN SEMENTARA IMPOR HEWAN RUMINANSIA DAN PRODUK TURUNANNYA YANG BERASAL DARI AMERIKA SERIKAT LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 545/KMK.01/2003 TGL. 18 DESEMBER 2003 TENTANG PENETAPAN SISTEM KLASIFIKASI BARANG IMPOR KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NO. 520/MPP/KEP/8/2003 TENTANG LARANGAN IMPOR LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 479/MPP/KEP/7/2003 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR NITRO CELLULOSE (NC) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIANOMOR : 478/MPP/KEP/7/2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 789/MPP/KEP/12/2002 DAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 254/MPP/KEP/7/2000 TENTANG TATA NIAGA IMPOR DAN PEREDARAN BAHAN BERBAHAYA TERTENTU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 710/MPP/KEP/12/2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 458/MPP/KEP/7/2003 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA IMPOR BUS KOTA DAN PERKOTAAN DALAM KEADAAN BUKAN BARU

194

195

196

197

198

199

200

201

288

202

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 711/MPP/KEP/12/2003 TENTANG KETENTUAN IMPOR BESI ATAU BAJA CANAI LANTAIAN DAN PRODUK BAJA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 705/MPP/KEP/11/2003 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS INDUSTRI AIR MINUM DALAM KEMASAN DAN PERDAGANGANNYA KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI LOGAM MESIN ELEKTRONIKA DAN ANEKA NOMOR : 024/SK/ILMEA/XI/2003 TENTANG KETENTUAN INDUSTRI PERAKITAN DAN TINGKAT KETERURAIAN KENDARAAN BERMOTOR DAN KOMPONEN UNTUK TUJUAN PERAKITAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR KEP-151/BC/2003, TANGGAL 28 JULI 2003 TENTANG PETUNJUK PELAKSANA KEPABEANAN DI BIDANG EKSPOR KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 647/MPP/KEP/10/2003 TENTANG KETENTUAN EKSPOR PRODUK INDUSTRI KEHUTANAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 644/MPP/KEP/10/2003 TANGGAL 10 OKTOBER 2003 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR MESIN DAN PERALATAN MESIN DALAM KEADAAN BUKAN BARU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I. NOMOR 662/MPP/KEP/10/2003, TANGGAL 23 OKTOBER TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 418/MPP/KEP/6/2003 TENTANG KETENTUAN IMPOR NITRO CELLULOSE (NC) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 545/MPP/KEP/9/2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 135/MPP/KEP/3/2003 TENTANG PENETAPAN ALOKASI KUOTA EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) UNTUK DAERAH PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM (NAD) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135/MPP/KEP/3/2003 TENTANG PENETAPAN ALOKASI KUOTA EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) UNTUK DAERAH PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM (NAD)

203

204

205

206

207

208

209

210

289

211

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONSIA NOMOR: 594/MPP/KEP/9/2004 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR GULA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 527/MPP/KEP/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 597/MPP/KEP/9/2004 TENTANG PEDOMAN BIAYA ADMINISTRASI WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DAN INFORMASI TANDA DAFTAR PERUSAHAAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 595/MPP/KEP/9/2004 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA ( S N I ) BAN SECARA WAJIB KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 476/MPP/KEP/8/2004 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN TUMBUHAN ALAM DAN SATWA LIAR YANG TIDAK DILINDUNGI UNDANG-UNDANG KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 492/MPP/KEP/8/2004 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA SURVEY ATAS IMPOR BARANG MODAL BUKAN BARU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 491/MPP/KEP/8/2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 480/MPP/KEP/7 2003 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR BUS KOTA DAN PERKOTAAN DALAM KEADAAN BUKAN BARU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NO : 466/MPP/KEP/8/2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 757/MPP/KEP/12/2003 TENTANG LARANGAN SEMENTARA IMPOR HEWAN RUMINANSIA DAN PRODUK TURUNANNYA YANG BERASAL DARI AMERIKA SERIKAT KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 456/MPP/KEP/7/2004 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR GARAM

212

213

214

215

216

217

218

219

290

220

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 455/MPP/KEP/7/2004 TENTANG PENGECUALIAN ATAS KETENTUAN IMPOR GARAM UNTUK INDUSTRI DAN PEMBERIAN KUASA PENERBITAN PERSETUJUAN IMPOR GARAM KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN FRAMEWORK AGREEMENT ON COMPREHENSIVE ECONOMIC CO-OPERATION BETWEEN THE ASSOCIATION OF SOUTH EAST ASIAN NATIONS AND THE PEOPLE'S REPUBLIC OF CHINA (PERSETUJUAN KERANGKA KERJA MENGENAI KERJASAMA EKONOMI MENYELURUH ANTARA NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASOSIASI BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 376/MPP/KEP/6/2004 TANGGAL 7 JUNI 2004 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 360/MPP/KEP/5/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GARAM KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 372/MPP/KEP/6/2004 TANGGAL 7 JUNI 2004 TENTANG PEMBENTUKAN TIM MONITORING PENGADAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN PERKEMBANGAN HARGA BERAS, GULA PASIR, MINYAK GORENG, MINYAK TANAH DAN PUPUK KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NO TENTANG PELIMPAHAN TUGAS DAN WEWENANG MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN MENGENAI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN USAHA JASA PENILAI KEPADA MENTERI KEUANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 422/MPP/KEP/6/2004 TENTANG MASA PANEN RAYA GARAM RAKYAT TAHUN 2004 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 420/MPP/KEP/6/2004 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 458/MPP/KEP/7/2003 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA IMPOR BUS KOTA DAN PERKOTAAN DALAM KEADAAN BUKAN BARU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 359/MPP/KEP/5/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I. NOMOR : 360/MPP/KEP/5/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GARAM

221

222

223

224

225

226

227

228

291

229

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR:357/MPP/KEP/5/2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 9/MPP/KEP/1/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR BERAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I. NOMOR: 356/MPP/KEP/5/2004 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I NOMOR 70/MPP/KEP/2/2003 TENTANG PENGADAAN DAN PENY ALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I NOMOR 306/MPP/KEP/4/2003 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 355/MPP/KEP/5/2004 TENTANG PENGATURAN EKSPOR ROTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 335/MPP/KEP/752004 TENTANG TENTANG TANDA TERA TAHUN 2005 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 334/MPP/KEP/5/2004 TENTANG TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 61/MPP/KEP/2/2004 TENTANG PERDAGANGAN GULA ANTAR PULAU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 292/MPP/KEP/4/2004 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN UNTUK PERHITUNGAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NO. 37/MPP/KEP/1/2004 TANGGALL 29 JANUARI 2004 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PEMANTAUAN PERSEDIAAN DAN HARGA BERAS DALAM NEGERI KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 62/MPP/KEP/2/2004 TENTANG PEDOMAN CARA UJI KANDUNGAN KADAR NIKOTIN DAN TAR ROKOK KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 67/MPP/KEP/2/2004 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR BERAS, BERAS BERKULIT COCOK UNTUK DISEMAI (BENIH), BERAS KET AN (PULUT), TEPUNG BERAS DAN TEPUNG LAINNYA

230

231

232

233

234

235

236

237

292

238

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 61/MPP/KEP/2/2004 TENTANG PERDAGANGAN GULA ANTAR PULAU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/MPP/KEP/2/2004 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 711/MPP/KEP/12/2003 TENTANG KETENTUAN IMPOR BESI ATAU BAJA CANAI LANTAIAN DAN PRODUK BAJA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 9/MPP/KEP/1/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR BERAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 650/MPP/KEP/10/2004 TENTANG KETENTUAN PENYELENGGARAAN PASAR LELANG DENGAN PENYERAHAN KEMUDIAN (FORWARD) KOMODITI AGRO KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 651/MPP /KEP/L0/2004 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS DEPOT AIR MINUM DAN PERDAGANGANNYA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 648/MPP/KEP/L0/2004 TENTANG PELAPORAN DAN PENGAWASAN PERUSAHAAN INDUSTRI CAKRAM OPTIK (OPTICAL DISC) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 647/MPP/KEP/10/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR PREKURSOR KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 645/MPP/KEP/10/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR MESIN, PERALATAN MESIN, BAHAN BAKU, DAN CAKRAM OPTIK KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR: 385/MPP/KEP/6/2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 558/MPP/KEP/12/1998 TENTANG KETENTUAN UMUM DIBIDANG EKSPOR SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 519/MPP/KEP/8/2003

239

240

241

242

243

244

245

246

293

247

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 610/MPP/KEP/1O/2004. TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 756/MPP/KEP/12/2003 TENTANG IMPOR BARANG MODAL BUKAN BARU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 596/MPP/KEP/9/2004 TENTANG STANDAR PENYELENGGARAAN WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 495.1/MPP/ TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 803/MPP/KEP/12/2002 DAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 10267/KPTS-II/2002 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN REVITALISASI INDUSTRI KEHUTANAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI KEHUTANAN RI. DAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI. TENTANG LARANGAN EKSPOR BANTALAN REL KERETA API DARI KAYU DAN KAYU GERGAJIAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 04/M/KEP/2004 KETENTUAN EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK IDNDONESIA TENTANG LARANGAN IMPOR UDANG KE WILAYAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN RI NOMOR 02/M/KEP/XII/2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 527/MPP/KEP/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA NOTA KESEPAKATAN PERTUKARAN DOKUMEN/DATA SECARA ELEKTRONIK ANTARA DEPARTEMEN PERDAGANGAN, DEPARTEMEN TENTANG NOTA KESEPAKATAN PERTUKARAN DOKUMEN/DATA SECARA ELEKTRONIK ANTARA DEPARTEMEN PERDAGANGAN, DEPARTEMEN KEUANGAN DAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN PERATURAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN DAN MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK NDON TENTANG PEMBENTUKAN TIM PERTUKARAN DOKUMEN/DATA SECARA ELEKTRONIK

248

249

250

251

252

253

254

255

294

256

PERATURAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK NDONESIA NOMOR : 02/M-I TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR: 595/MPP/KEP/9/2004 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BAN SECARA WAJIB PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02/M/KEP/1/2005 TANGGAL 4 JANUARI 2005 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA SURVEY ATAS IMPOR BARANG MODAL BUKAN BARU UNTUK DAERAHDAERAH YANG TERKENA BENCANA ALAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, SUMATERA UTARA, PAPUA DAN NUSA TENGGARA TIMUR KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG IMPOR BARANG MODAL BUKAN BARU UNTUK DAERAH-DAERAH YANG TERKENA BENCANA ALAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, SUMATERA UTARA, PAPUA DAN NUSA TENGGARA TIMUR

257

258

259

295

Tabel 6.28. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Perindustrian


NO 1. KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN KEPMEN PERMEN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI NOMOR 01/M-IND/PER/1/2010 TANGGAL 4 PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR JANUARI 2010 TENTANG PENUNJUKAN 01/M/KEP/1/2005 DAN NOMOR 01/M/KEP/1/2005 LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM TANGGAL 3 JANUARI 2005 TENTANG IMPOR RANGKA PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN BARANG MODAL BUKAN BARU UNTUK DAERAH- STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) AIR DAERAH YANG TERKENA BENCANA ALAM DI MINUM DALAM KEMASAN (AMDK) SECARA PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, WAJIB SUMATERA UTARA, PAPUA DAN NUSA TENGGARA TIMUR KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02/M/KEP/1/2005 TANGGAL 4 JANUARI 2005 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA SURVEY ATAS IMPOR BARANG MODAL BUKAN BARU UNTUK DAERAHDAERAH YANG TERKENA BENCANA ALAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, SUMATERA UTARA, PAPUA DAN NUSA TENGGARA TIMUR KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 406/MPP/KEP/6/2004 TANGGAL 12 JULI 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 478/MPP/KEP KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/MPP/KEP/1/2004 TANGGAL 10 JANUARI 2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR BERAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09/M IND/PER/1/2010 TANGGAL 26 JANUARI 2010 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN PERTIMBANGAN TEKNIS/REKOMENDASI ATAS IMPOR BARANG MODAL BUKAN BARU BAGI PERUSAHAAN REKONDISI DAN PERUSAHAAN RREMANUFAKTURING PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/MIND/PER/1/2009 TANGGAL 29 JANUARI 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 116/MIND/PER/10/2009 TENTANG PETA PADUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI GULA

2.

3.

4.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/MIND/PER/1/2010 TANGGAL 29 JANUARI 2010 TENTANG TIM PELAKSANA RENCANA AKSI REVITALISASI GULA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/M-IND/PER/I/2010 TANGGAL 29 JANUARI 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 111/M-IND/PER/10/2009 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI HILIR KELAPA SAWIT PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14/MIND/PER/I/2010 TANGGAL 29 JANUARI 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 105/MIND/PER/10/2009 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI PETROKIMIA PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/MIND/PER/I/2010 TANGGAL 29 JANUARI 2010 TENTANG TIM PELAKSANA RENCANA AKSI KLASTER INDUSTRI PETROKIMIA DAN TIM

5.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 37/MPP/KEP/1/2004 TANGGAL 29 JANUARI 2004 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PEMANTAUAN PERSEDIAAN DAN HARGA BERAS DALAM NEGERI

6.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/MPP/KEP/2/2004 TANGGAL 17 FEBRUARI 2004 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 711/MPP/KEP/12/2003 TENTANG KETENTUAN IMPOR BESI ATAU BAJA CANAI LANTAIAN DAN PRODUK BAJA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62/MPP/KEP/2/2004 TANGGAL 17 FEBRUARI 2004 TENTANG PEDOMAN CARA UJI KANDUNGAN

7.

296

KADAR NIKOTIN DAN TAR ROKOK

PELAKSANA RENCANA INDUSTRI KELAPA SAWIT

AKSI

KLASTER

8.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 334/MPP/KEP/5/2004 TANGGAL 11 MEI 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 61/MPP/KEP/2/2004 TENTANG PERDAGANGAN GULA ANTAR PULAU

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/MIND/PER/2/2010 TANGGAL 4 FEBRUARI 2010 TENTANG DAFTAR MESIN, BARANG, DAN BAHAN PRODUKSI DALAM NEGERI UNTUK PEMBANGUNAN ATAU PENGEMBANGAN INDUSTRI DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20/MIND/PER/2/2010 TANGGAL 4 FEBRUARI 2010 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NO.90/M-IND/PER/11/2008 TENTANG PROGRAM RESTRUKTURISASI MESIN/PERALATAN INDUSTRI ALAS KAKI PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/MIND/PER/2/2010 TANGGAL 4 FEBRUARI 2010 TENTANG PELIMPAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN PERTIMBANGAN TEKNIS/REKOMENDASI BIDANG PERINDUSTRIAN KEPADA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM, BINTAN DAN KARIMUN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/MIND/PER/2/2010 TANGGAL 4 FEBRUARI 2010 TENTANG TIM TEKNIS PENYIAPAN PERUNDINGAN PENYERAHAN PROYEK SAHAN

9.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 335/MPP/KEP/752004 TANGGAL 11 MEI 2004 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2005

10.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 355/MPP/KEP/5/2004 TANGGAL 27 MEI 2004 TENTANG PENGATURAN EKSPOR ROTAN

11.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 357/MPP/KEP/5/2004 TANGGAL 27 MEI 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 9/MPP/KEP/1/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR BERAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I. NOMOR 356/MPP/KEP/5/2004 TANGGAL 27 MEI 2004 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I NOMOR 70/MPP/KEP/2/2003 TENTANG PENGADAAN DAN PENY ALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I NOMOR 306/MPP/KEP/4/2003

12.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/MIND/PER/2/2010 TANGGAL 1 FEBRUARI 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 147/MIND/PER/10/2009 TENTANG PENDELEGASIAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN, IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI, DAN IZIN PERLUASAN KAWASAN INDUSTRI DALAM RANGKA PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) KEPADA KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODA PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/MIND/PER/2/2010 TANGGAL 12 FEBRUARI 2010 TENTANG PENCANTUMAN LOGO TARA PANGAN DAN KODE DAUR ULANG PADA KEMASAN PANGAN DARI PLASTIK PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/MIND/PER/2/2010 TANGGAL 22 FEBRUARI 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 95/MIND/PER/11/2008 TENTANG PENUNJUKAN

13.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 359/MPP/KEP/5/2004 TANGGAL 28 MEI 2004 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS EKSPOR ROTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I. NOMOR 360/MPP/KEP/5/2004 TANGGAL 31 MEI 2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GARAM

14.

297

LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM RANGKA PENERAPAN/ PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) GULA KRISTAL RAFINASI (SNI 01-3140.2-2006) SECARA WAJIB 15. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 372/MPP/KEP/6/2004 TANGGAL 7 JUNI 2004 TENTANG PEMBENTUKAN TIM MONITORING PENGADAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN PERKEMBANGAN HARGA BERAS, GULA PASIR, MINYAK GORENG, MINYAK TANAH DAN PUPUK PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/MIND/PER/2/2010 TANGGAL 22 FEBRUARI 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 95/MIND/PER/11/2008 TENTANG PENUNJUKAN LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM RANGKA PENERAPAN/ PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) GULA KRISTAL RAFINASI (SNI 01-3140.2-2006) SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/MIND/PER/2/2010 TANGGAL 18 MARET 2010 TENTANG PEMBERIAN BANTUAN PERALATAN MESIN DAN ATAU MESIN

16.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 376/MPP/KEP/6/2004 TANGGAL 7 JUNI 2004 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 360/MPP/KEP/5/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GARAM KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 385/MPP/KEP/6/2004 TANGGAL 11 JUNI 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 558/MPP/KEP/12/1998 TENTANG KETENTUAN UMUM DIBIDANG EKSPOR SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 519/MPP/KEP/8/2003 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 422/MPP/KEP/6/2004 TANGGAL 30 JUNI 2004 TENTANG MASA PANEN RAYA GARAM RAKYAT TAHUN 2004

17.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/MIND/PER/3/2010 TANGGAL 8 MARET 2010 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN PENGAWASAN INTERNAL KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

18.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/MIND/PER/3/2010 TANGGAL 5 MARET 2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 15/M-IND/PER/3/2008 TENTANG PROGRAM RESTRUKTURISASI MESIN/PERALATAN INDUSTREI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/MIND/PER/3/2010 TANGGAL 12 MARET 2010 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KAWASAN INDUSTRI

19.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 420/MPP/KEP/6/2004 TANGGAL 30 JUNI 2004 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 458/MPP/KEP/7/2003 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA IMPOR BUS KOTA DAN PERKOTAAN DALAM KEADAAN BUKAN BARU KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 423/MPP/KEP/7/2004 DAN NOMOR 327/KMK.06/2004 TANGGAL 1 JULI 2004 TENTANG PELIMPAHAN TUGAS DAN WEWENANG MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN MENGENAI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN USAHA JASA PENILAI KEPADA MENTERI KEUANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN

20.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/MIND/PER/3/2010 TANGGAL 6 APRIL 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 19/MIND/PER/2/2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) PUPUK SECARA WAJIB

21.

PERATURAN

MENTERI

PERINDUSTRIAN

298

PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 436/MPP/KEP/7/2004 TANGGAL 9 JULI 2004 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH) KAYU DAN ROTAN

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44/MIND/PER/4/2010 TANGGAL 6 APRIL 2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 91/M-IND/PER/11/2008 TENTANG PROGRAM RESTRUKTURISASI MESIN/PERALATAN PABRIK GULA PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49/MIND/PER/4/2010 NOMOR 49/M-IND/PER/4/2010 TANGGAL 15 APRIL 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 169/M-IND/PER/12/2009 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAUSAHAAN DAN PENYUSUNAN LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 55/M-IND/PER/4/2010 TANGGAL 25 APRIL 2010 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN REKOMENDASI/PERTIMBANGAN TEKNIS ATAS IMPOR BARANG MODAL BUKAN BARU BAGI PERUSAHAAN PEMAKAI LANGSUNG PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/MIND/PER/6/2010 TANGGAL 1 JUNI 2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 45/MIND/PER/5/2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) KAKAO BUBUK SECARA WAJIB

22.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 455/MPP/KEP/7/2004 TANGGAL 26 JULI 2004 TENTANG PENGECUALIAN ATAS KETENTUAN IMPOR GARAM UNTUK INDUSTRI DAN PEMBERIAN KUASA PENERBITAN PERSETUJUAN IMPOR GARAM

23.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 456/MPP/KEP/7/2004 TANGGAL 27 JULI 2004 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR GARAM

24.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 466/MPP/KEP/8/2004 TANGGAL 6 AGUSTUS 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 757/MPP/KEP/12/2003 TENTANG LARANGAN SEMENTARA IMPOR HEWAN RUMINANSIA DAN PRODUK TURUNANNYA YANG BERASAL DARI AMERIKA SERIKAT KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 476/MPP/KEP/8/2004 TANGGAL 18 AGUSTUS 2004 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN TUMBUHAN ALAM DAN SATWA LIAR YANG TIDAK DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

25.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69/MIND/PER/7/2010 TANGGAL 6 JULI 2010 TENTANG HARGA RESMI SELANG KARET DAN REGULATOR TEKANAN RENDAH TABUNG BAJA LIQUIFIED PETROLEUM GAS (LPG) 3 KG UNTUK WILAYAH JAWA DAN BALI PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72/MIND/PER/7/2010 TANGGAL 13 JULI 2010 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA KOREK API GAS SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75/MIND/PER/7/2010 TANGGAL 19 JULI 2010 TENTANG PEDOMAN TATA CARA PRODUKSI PANGAN OLAHAN YANG BAIK (GOOD MANUFACTURING PRATICES)

26.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 492/MPP/KEP/8/2004 TANGGAL 31 AGUSTUS 2004 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA SURVEY ATAS IMPOR BARANG MODAL BUKAN BARU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 491/MPP/KEP/8/2004 TANGGAL 31 AGUSTUS 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 480/MPP/KEP/7 2003 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR BUS KOTA DAN PERKOTAAN DALAM KEADAAN BUKAN BARU KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 495.1/MPP/KEP/9/2004 DAN NOMOR

27.

28.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 81/M-IND/PER/7/2010 TANGGAL 27 JULI 2010 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR

299

SK.335.1/MENHIT-I/2004 TANGGAL 3 SEPTEMBER 2004 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 803/MPP/KEP/12/2002 DAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 10267/KPTS-II/2002 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN REVITALISASI INDUSTRI KEHUTANAN 29. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 527/MPP/KEP/9/2004 TANGGAL 17 SEPTEMBER 2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA

NASIONAL INDONESIA PLASTIK-TANGKI AIR SILINDER VERTIKAL-POLIETILENA (PE) SECARA WAJIB

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 84/M-IND/PER/8/2010 TANGGAL 3 AGUSTUS 2010 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA TERHADAP 3 (TIGA) PRODUK INDUSTRI ELEKTRONIKA SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/MIND/PER/1/2010 TANGGAL 11 JANUARI 2010 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA KACA LEMBARAN SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90/MIND/PER/8/2010 TANGGAL 25 AGUSTUS 2010 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA BAJA LEMBARAN DAN GULUNGAN CANAI DINGIN (B.J.D) SECARA WAJIB PERATURAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA NOMOR 102/M-IND/PER/9/2010, 16 TAHUN 2010, PER.13/MEN/IX/2010,PER04/MBU/2010 TANGGAL 17 SEPTEMBER 2010 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN, MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA, NOMOR 47/M-IND/PER/7/2008, NOMOR 23TAHUN 2008, NOMOR PER.13/MEN/VII/2008, NOMOR 35 TAHUN 2008, NOMOR PER-03?MBU/08 TENTANG PENGOPTIMALAN BEBAN LISTRIK MELALUI PENGALIHAN WAKTU KERJA PADA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA-BALI PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59/MIND/PER/5/2010 TANGGAL 24 MEI 2010 TENTANG INDUSTRI KENDARAAN BERMOTOR

30.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 597/MPP/KEP/9/2004 TANGGAL 23 SEPTEMBER 2004 TENTANG PEDOMAN BIAYA ADMINISTRASI WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DAN INFORMASI TANDA DAFTAR PERUSAHAAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 596/MPP/KEP/9/2004 TANGGAL 23 SEPTEMBER 2004 TENTANG STANDAR PENYELENGGARAAN WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN

31.

32.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONSIA NOMOR 594/MPP/KEP/9/2004 TANGGAL 23 SEPTEMBER 2004 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR GULA

33.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 595/MPP/KEP/9/2004 TANGGAL 23 SEPTEMBER 2004 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA ( S N I ) BAN SECARA WAJIB KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 610/MPP/KEP/1O/2004. TANGGAL 4 OKTOBER 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 756/MPP/KEP/12/2003 TENTANG IMPOR BARANG MODAL BUKAN BARU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

34.

PERATURAN MENTERI NOMOR 18/MIND/PER/2/2009 TANGGAL 16 FEBRUARI 2009 TENTANG KETENTUAN TATA CARA PENERBITAN REKOMENDASI ATAS IMPOR BARANG MODAL BUKAN BARU

35.

PERATURAN MENTERI NOMOR 19/MIND/PER/2/2009 TANGGAL 16 FEBRUARI 2009

300

651/MPP /KEP/L0/2004 TANGGAL 18 OKTOBER 2004 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS DEPOT AIR MINUM DAN PERDAGANGANNYA 36. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 648/MPP/KEP/L0/2004 TANGGAL 18 OKTOBER 2004 TENTANG PELAPORAN DAN PENGAWASAN PERUSAHAAN INDUSTRI CAKRAM OPTIK (OPTICAL DISC)

TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) PUPUK SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 30/M-IND/PER/3/2009 TANGGAL 12 MARET 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 90/M-IND/PER/11/2008 TENTANG PROGRAM RESTRUKTURISASI MESIN/PERALATAN INDUSTRI ALAS KAKI PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/MIND/PER/3/2009 TANGGAL 16 MARET 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 91/MIND/PER/11/2008 TENTANG PROGRAM RESTRUKTURISASI MESIN/PERALATAN PABRIK GULA PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 32/M-IND/PER/3/2008 TANGGAL 16 MARET 2009 TENTANG PENUNJUKKAN LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM RANGKA PENERAPAN/PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BAJA LEMBARAN, PELAT DAN GULUNGAN CANAI PANAS (BJ.P) SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 33/M-IND/PER/3/2008 TANGGAL 16 MARET 2009 TENTANG PENUNJUKAN LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM RANGKA PENERAPAN/PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BAJA LEMBARAN DAN GULUNGAN LAPIS PADUAN ALUMUNIUM-SENG (BJ-LAS) SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 36/M-IND/PER/3/2009 TANGGAL 27 MARET 2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BATERAI PRIMER SECARA WAJIB

37.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 647/MPP/KEP/10/2004 TANGGAL 18 OKTOBER 2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR PREKURSOR

38.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 645/MPP/KEP/10/2004 TANGGAL 18 OKTOBER 2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR MESIN, PERALATAN MESIN, BAHAN BAKU, DAN CAKRAM OPTIK

39.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 650/MPP/KEP/10/2004 TANGGAL 18 OKTOBER 2004 TENTANG KETENTUAN PENYELENGGARAAN PASAR LELANG DENGAN PENYERAHAN KEMUDIAN (FORWARD) KOMODITI AGRO

40.

KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN RI NOMOR 02/M/KEP/XII/2004 TANGGAL 7 DESEMBER 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 527/MPP/KEP/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04/M/KEP/2004 TANGGAL 23 DESEMBER 2004 TENTANG KETENTUAN EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT)

41.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 37/M-IND/PER/3/2009 TANGGAL 27 MARET 2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) SEPATU PENGAMAN SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 38/M-IND/PER/3/2009 TANGGAL 27 MARET 2009 TENTANG PEMBERLAKUAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 01/M-IND/PER/1/2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BAJA LEMBARAN, PELAT DAN GULUNGAN CANAI PANAS (BJ.P) SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 39/M-IND/PER/3/2009 TANGGAL 27 MARET 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS

42.

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05/M/KEP/XII/2004 DAN NOMOR SKB.53/MEN/2004 TANGGAL 28 DESEMBER 2004 TENTANG LARANGAN IMPOR UDANG KE WILAYAH REPUBLIK INDONESIA

43.

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 423/MPP/KEP/7/2004

301

TANGGAL 1 JULI 2004 TENTANG PELIMPAHAN TUGAS DAN WEWENANG MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN MENGENAI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN USAHA JASA PENILAI KEPADA MENTERI KEUANGAN

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NO.02/M-IND/PER/1/2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BAJA LEMBARAN DAN GULUNGAN LAPIS PADUAN ALUMUNIUM-SENG (BJ.L AS) SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 46/M-IND/PER/5/2009 TANGGAL 5 MEI 2009 TENTANG PEMANFAATAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM KERANGKA EGOVERNMENT DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 01/M-IND/PER/1/2009 TANGGAL 7 JANUARI 2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BAJA LEMBARAN, PELAT DAN GULUNGAN CANAI PANAS (BJ.P) SECARA WAJIB

44.

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 03/KPTS/KB.410/1/2003 TANGGAL 5 JANUARI 2003 TENTANG PENERAPAN SECARA WAJIB SNI GULA KRISTAL MENTAH (SNI 01-3140.1-2001)

45.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 3/MPP/KEP/1/2003 TANGGAL 7 JANUARI 2003 TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 802/MPP/KEP/12/2002 TENTANG PUSAT PENYELESAIAN MASALAH USAHA (BUSINESS SOLUTION CENTER) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/MPP/KEP/1/2003 TANGGAL 22 JANUARI 2003 TENTANG KETENTUAN EKSPOR PRODUK INDUSTRI KEHUTANAN

46.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 02/M-IND/PER/1/2009 TANGGAL 6 JANUARI 2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BAJA LEMBARAN DAN GULUNGAN LAPIS PADUAN ALUMUNIUM-SENG (BJ.LAS) SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 45/M-IND/PER/5/2009 TANGGAL 4 MEI 2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) KAKAO BUBUK SECARA WAJIB

47.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 31/MPP/KEP/1/2003 TANGGAL 22 JANUARI 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 558/MPP/KEP/12/1998 TENTANG KETENTUAN UMUM DIBIDANG KSPOR SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 575/MPP/KEP/8/2002 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/MPP/KEP/1/2003 TANGGAL 27 JANUARI 2003 TENTANG ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API)

48.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 50/M-IND/PER/5/2009 TANGGAL 12 MEI 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA DAN SEKRETARIAT PADA TIM NASIONAL PENINGKATAN PENGGUNAAN PRODUK DALAM NEGERI DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 49/M-IND/PER/5/2009 TANGGAL 12 MEI 2009 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN PRODUK DALAM NEGERI DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 238/MIND/KEP/5/2009 TANGGAL 22 MEI 2009 TENTANG TIM PEMBENTUKAN UNIT LAYANAN PENGADAAN (ULP) BARANG DAN JASA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 56/M-IND/PER/5/2009 TANGGAL 28 MEI 2009 TENTANG PEMBERLAKUAN SPESIFIKASI TEKNIS SECARA WAJIB TERHADAP KOMPOR

49.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/MPP/KEP/1/2003 TANGGAL 27 JANUARI 2003 TENTANG ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API)

50.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52/MPP/KEP/1/2003 TANGGAL 29 JANUARI 2003 TENTANG PANITIA PENYELENGGARA PAMERAN PRODUKSI INDONESIA 2003

51.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68/MPP/KEP/2/2003 TANGGAL 11 FEBRUARI 2003

302

TENTANG PERDAGANGAN KAYU ANTAR PULAU 52. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70/MPP/KEP/2/2003 TANGGAL 11 FEBRUARI 2003 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

GAS SATU TUNGKU UNTUK USAHA MIKRO PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 59/M-IND/PER/6/2009 TANGGAL 11 JUNI 2009 TENTANG PENUNJUKAN LEMBAGA KESESUAIAN DALAM RANGKA PENERAPAN/PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) PUPUK SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 60/M-IND/PER/6/2009 TANGGAL 11 JUNI 2009 TENTANG PENUNJUKAN LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM RANGKA PENERAPAN/PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN SPESIFIKASI TEKNIS SECARA WAJIB TERHADAP KOMPOR GAS SATU TUNGKU UNTUK USAHA MIKRO PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 60/M-IND/PER/6/2009 TANGGAL 16 JUNI 2009 TENTANG HARGA RESMI TABUNG BAJA LPG 3 (TIGA) KG BESERTA ASESORISNYA DAN KOMPOR GAS SATU TUNGKU UNTUK USAHA MIKRO DALAM RANGKA PROGRAM KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 55/M-IND/PER/5/2009 TANGGAL 27 MEI 2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA PRODUK MELAMINPERLENGKAPAN MAKAN DAN MINUM SECARA WAJIB

53.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/MPP/KEP/2/2003 TANGGAL 17 FEBRUARI 2003 TENTANG TATA CARA DAN PERYSARATAN PERMOHONAN PENYELIDIKAN ATAS PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

54.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84/MPP/KEP/2/2003 TANGGAL 17 FEBRUARI 2003 TENTANG KOMITE PENGAMANAN PERDAGANGAN INDONESIA

55.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 115/MPP/KEP/2/2003 TANGGAL 27 FEBRUARI 2003 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NO. 52/MPP/KEP/I/2003 TENTANG PANITIA PENYELENGGARA PAMERAN PRODUKSI INDONESIA 2003 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 117/MPP/KEP/2/2003 TANGGAL 28 FEBRUARI 2003 TENTANG PENGHENTIAN SEMENTARA EKSPOR PASIR LAUT

56.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 66/M-IND/PER/6/2009 TANGGAL 29 JUNI 2009 TENTANG PENUNJUKKAN LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM RANGKA PENERAPAN/PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA PRODUK MELAMINPERLENGKAPAN MAKAN DAN MINUM SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 69/M-IND/PER/7/2009 TANGGAL 3 JULI 2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) AIR MINUM DALAM KEMASAN (AMDK) SECARA WAJIB

57.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK NDONESIA NOMOR 276/MPP/KEP/4/2003 TANGGAL 9 APRIL 2003 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK NDONESIA NOMOR : 276/MPP/KEP/4/2003 TGL 9 APRIL 2003 TENTANG VARIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 306/MPP/KEP/4/2003 TANGGAL 17 APRIL 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 70/MPP/KEP/2/2003 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

58.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 71/M-IND/PER/7/2009 TANGGAL 6 JULI 2009 TENTANG JENIS INDUSTRI YANG MENGOLAH DAN MENGHASILKAN BAHAN BERACUN DAN BERBAHAYA (B3) DAN JENIS INDUSTRI TEKNOLOGI TINGGI YANG STRATEGIS

59.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 72/M-IND/PER/7/2009 TANGGAL 6 JULI

303

389/MPP/KEP/5/2003 TANGGAL 29 MEI 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 276/MPP/KEP/4/2003 TENTANG VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) 60. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 418/MPP/KEP/6/2003 TANGGAL 17 JUNI 2003 TENTANG KETENTUAN IMPOR NITRO CELLULOSE (NC) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 414/MPP/KEP/6/2003 TANGGAL 17 JUNI 2003 TENTANG PEMBERI KUASA UNTUK PENERBITAN PERSETUJUAN IMPOR BARANG TANPA API

2009 TENTANG PELIMPAHAN KEWENANGAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERINDUSTRIAN KEPADA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM, BINTAN DAN KARIMUN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39/MDAG/PER/9/2009 TANGGAL 2 SEPTEMBER 2009 TENTANG KETENTUAN IMPOR LIMBAH NON BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONSIA NOMOR 78/M-IND/PER/8/2009 TANGGAL 5 AGUSTUS 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NO 90/MIND/PER/11/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI MESIN/PERALATAN INDUSTRI ALAS KAKI PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86/MIND/PER/9/2009 TANGGAL 24 SEPTEMBER 2009 TENTANG STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG INDUSTRI

61.

62.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 417/MPP/KEP/6/2003 TANGGAL 17 JUNI 2003 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 444/MPP/KEP/6/2003 TANGGAL 30 JUNI 2003 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 458/MPP/KEP/7/2003 TANGGAL 8 JULI 2003 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA IMPOR BUS KOTA DAN PERKOTAAN DALAM KEADAAN BUKAN BARU

63.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87/MIND/PER/9/2009 TANGGAL 24 SEPTEMBER 2009 TENTANG SISTEM HARMONISASI GLOBAL KLASIFIKASI DAN LABEL PADA BAHAN KIMIA PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 95/M-IND/PER/10/2009 TANGGAL 5 OKTOBER 2009 TENTANG PENUNJUKAN LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM RANGKA PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BATERAI SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 100/MIND/PER/10/2009 TANGGAL 8 OKTOBER 2009 TENTANG PENCABUTAN PEMBERLAKUAN STANDAR INDUSTRI INDONESIA (SII) DAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101/MIND/PER/10/2009 TANGGAL 9 OKTOBER 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NO 36/MIND/PER/3/2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BATERAI PRIMER SECARA WAJIB

64.

65.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 479/MPP/KEP/7/2003 TANGGAL 21 JULI 2003 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR NITRO CELLULOSE (NC)

66.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 478/MPP/KEP/7/2003 TANGGAL 21 JULI 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 789/MPP/KEP/12/2002 DAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 254/MPP/KEP/7/2000 TENTANG TATA NIAGA IMPOR DAN PEREDARAN BAHAN BERBAHAYA TERTENTU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN

67.

PERATURAN

MENTERI

PERINDUSTRIAN

304

PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 480/MPP/KEP/7/2003 TANGGAL 23 JULI 2003 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR BUS KOTA DAN PERKOTAAN DALAM KEADAAN BUKAN BARU

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102/MIND/10/2009 TANGGAL 13 OKTOBER 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NO. 49/MIND/PER/5/2009 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN PRODUK DALAM NEGERI DALAM PENNGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141/MIND/PER/10/2009 TANGGAL 19 OKTOBER 2009 TENTANG PROGRAM RESTRUKTURISASI MESIN/PERALATAN IKM TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL SERTA KULIT DAN PRODUK KULIT PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 143/MIND/PER/10/2009 TANGGAL 19 OKTOBER 2009 TENTANG PENUNJUKAN LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM RANGKA PENERAPAN/PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) KAKAO BUBUK SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147/MIND/PER/10/2009 TANGGAL 19 OKTOBER 2009 TENTANG PENDELEGASIAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN, IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI, DAN IZIN PERLUASAN KAWASAN INDUSTRI DALAM RANGKA PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157/MIND/PER/11/2009 TANGGAL 3 NOPEMBER 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NO 45/MIND/PER/5/2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) KAKAO BUBUK SECARA WAJIB

68.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 517/MPP/KEP/8/2003 TANGGAL 28 AGUSTUS 2003 TENTANG TUGAS DAN FUNGSI ATASE/KEPALA BIDANG PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DI LUAR NEGERI KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 518/MPP/KEP/8/2003 TANGGAL 28 AGUSTUS 2003 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI PUSAT PROMOSI PERDAGANGAN INDONESIA DI LUAR NEGERI

69.

70.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 520/MPP/KEP/8/2003 TANGGAL 28 AGUSTUS 2003 TENTANG LARANGAN IMPOR LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)

71.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 519/MPP/KEP/8/2003 TANGGAL 28 AGUSTUS 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 558/MPP/KEP/12/1998 TENT ANG KETENTUAN UMUM DI BIDANG EKSPOR SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 118/MPP/KEP/2/2003 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 522/MPP/KEP/8/2003 TANGGAL 29 AGUSTUS 2003 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2004

72.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 160/MIND/PER/11/2009 TANGGAL 20 NOPEMBER 2009 TENTANG PENUNJUKAN LANGSUNG LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM RANGKA PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) SEPATU PENGAMAN SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 164/MIND/PER/12/2009 TANGGAL 8 DESEMBER 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 37/MIND/PER/3/2009 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA(SNI) SEPATU PENGAMAN SECARA WAJIB

73.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 529/MPP/KEP/9/2003 TANGGAL 8 SEPTEMBER 2003 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PEMANTAUAN HARGA DAN ANTISIPASI PENGADAAN BARANG DALAM MENGHADAPI HARI RAYA KEAGAMAAN NASIONAL TAHUN 2003/2004

305

74.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 545/MPP/KEP/9/2003 TANGGAL 23 SEPTEMBER 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 135/MPP/KEP/3/2003 TENTANG PENETAPAN ALOKASI KUOTA EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) UNTUK DAERAH PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM (NAD) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 644/MPP/KEP/10/2003 TANGGAL 10 OKTOBER 2003 TENTANG PENUNJUKAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR MESIN DAN PERALATAN MESIN DALAM KEADAAN BUKAN BARU KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 645.1/MPP/KEP/10/2003 TANGGAL 13 OKTOBER 2003 TENTANG TIM INTEGRASI EKONOMI ASEAN

MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 875/M-IND/12/2009 TANGGAL 31 DESEMBER 2009 TENTANG RENCANA AKSI PENINGKATAN INTEGRITAS PELAYANAN PUBLIK KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

75.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 127/M-IND/PER/10/2009 TANGGAL 14 OKTOBER 2009 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI ELEKTRONIKA

76.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 128/M-IND/PER/10/2009 TANGGAL 14 OKTOBER 2009 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI TELEKOMUNIKAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 129/M-IND/PER/10/2009 TANGGAL 14 OKTOBER 2009 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI KOMPUTER DAN PERALATANYA

77.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 646/MPP/KEP/10/2003 TANGGAL 15 OKTOBER 2003 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 276/MPP/KEP/4/2003 TENTANG VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 389/MPP/KEP/5/2003 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 647/MPP/KEP/10/2003 TANGGAL 16 OKTOBER 2003 TENTANG KETENTUAN EKSPOR PRODUK INDUSTRI KEHUTANAN

78.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 130/M-IND/PER/10/2009 TANGGAL 14 OKTOBER 2009 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI PERANGKAT LUNAK DAN KONTEN MULTIMEDIA PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 131/M-IND/PER/10/2009 TANGGAL 14 OKTOBER 2009 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI FASHION

79.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I. NOMOR 662/MPP/KEP/10/2003 TANGGAL 23 OKTOBER 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 418/MPP/KEP/6/2003 TENTANG KETENTUAN IMPOR NITRO CELLULOSE (NC) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 662.1/MPP/KEP/10/2003 TANGGAL 23 OKTOBER 2003 TENTANG TIM FREE TRADE ARRANGEMENT (FTA)

80.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 132/M-IND/PER/10/2009 TANGGAL 14 OKTOBER 2009 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI KERAJINAN DAN BARANG SENI PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 133/M-IND/PER/10/2009 TANGGAL 14 OKTOBER 2009 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI BATU MUTIARA DAN PERHIASAN

81.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 705/MPP/KEP/11/2003 TANGGAL 10 NOPEMBER 2003 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS INDUSTRI AIR MINUM DALAM KEMASAN DAN PERDAGANGANNYA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 710/MPP/KEP/12/2003 TANGGAL 5 DESEMBER 2003

82.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 134/M-IND/PER/10/2009 TANGGAL 14 OKTOBER 2009 TENTANG PETA PANDUAN

306

TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 458/MPP/KEP/7/2003 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA IMPOR BUS KOTA DAN PERKOTAAN DALAM KEADAAN BUKAN BARU 83. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 711/MPP/KEP/12/2003 TANGGAL 6 DESEMBER 2003 TENTANG KETENTUAN IMPOR BESI ATAU BAJA CANAI LANTAIAN DAN PRODUK BAJA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 757/MPP/KEP/12/2003 TANGGAL 31 DESEMBER 2003 TENTANG LARANGAN SEMENTARA IMPOR HEWAN RUMINANSIA DAN PRODUK TURUNANNYA YANG BERASAL DARI AMERIKA SERIKAT KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 756/MPP/KEP/12/2003 TANGGAL 31 DESEMBER 2003 TENTANG IMPOR BARANG MODAL BUKAN BARU

(ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI GARAM

KLASTER

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 135/M-IND/PER/10/2009 TANGGAL 14 OKTOBER 2009 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI GERABAH DAN KERAMIK HIAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 136/M-IND/PER/10/2009 TANGGAL 14 OKTOBER 2009 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MINYAK ATSIRI

84.

85.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 137/M-IND/PER/10/2009 TANGGAL 14 OKTOBER 2009 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MAKANAN RINGAN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 2 TAHUN 2008 TANGGAL 24 JANUARI 2008 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR: 153/MPP/KEP/5/2001 TENTANG PENERAPAN SECARA WAJIB SNI TEPUNG TERIGU SEBAGAI BAHAN MAKANAN (SNI 01.3751-2000/REV.1995) DAN REVISINYA SERTA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR: 323/MPP/KEP/11/2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR: 153/MPP/KEP/5/2001 TENTANG PENERAPAN SECARA WAJIB SNI TEPUNG TERIGU SEBAGAI BAHAN MAKANAN (SNI 01.3751-2000/REV.1995) DAN REVISINYA. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TANGGAL 6 FEBRUARI 2008 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR. 28/MIND/PER/3/2007 TENTANG HARGA RESMI TABUNG BAJA GAS LPG 3 (TIGA) KG DAN KOMPOR GAS LPG SATU MATA TUNGKU BESERTA ASESORISNYA DALAM RANGKA PROGRAM PENGALIHAN PENGGUNAAN MINYAK TANAH MENJADI LPG UNTUK KELUARGA MISKIN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06/MIND/PER/2/2008 TANGGAL 13 FEBRUARI 2008 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BAJA TULANGAN BETON SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/MIND/PER/2/2008 TANGGAL 13 FEBRUARI 2008

86.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 24/MPP/KEP/1/2002 TANGGAL 15 JANUARI 2002 TENTANG PEMBEBASAN DAN PENGANGKATAN KETUA MERANGKAP ANGGOTA KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA (KADI)

87.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 59/MPP/KEP/I/2002 TANGGAL 31 JANUARI 2002 TENTANG PENUNJUKAN BALAI/LEMBAGA UJI SEBAGAI LABORATORIUM PENGUJI TEPUNG TERIGU

88.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 58/MPP/KEP/I/2002 TANGGAL 31 JANUARI 2002 TENTANG PENUGASAN GABUNGAN PERUSAHAAN KARET INDONESIA (GAPKINDO) SEBAGAI NATIONAL TRIPARTITE RUBBER CORPORATION (NTRC) KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, DAN MENTERI NEGARA

89.

307

LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 01/MENLH/2/2002 TANGGAL 14 FEBRUARI 2002 TENTANG PENGHENTIAN SEMENTARA EKSPOR PASIR LAUT 90. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111/MPP/KEP/2/2002 TANGGAL 21 FEBRUARI 2002 TENTANG SURAT KETERANGAN ASAL ("CERTIFICATE OF ORIGIN") BARANG EKSPOR INDONESIA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BAJA LEMBARAN LAPIS SENG SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 21/M-IND/PER/4/2008 TANGGAL 17 APRIL 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 92/M-IND/PER/11/2007 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA TERHADAP 5 (LIMA) PRODUK INDUSTRI SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 24/M-IND/PER/4/2008 TANGGAL 28 APRIL 2008 TENTANG KODE ETIK AUDITOR DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN

91.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121/MPP/KEP/2/2002 TANGGAL 25 FEBRUARI 2002 TENTANG KETENTUAN PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN TAHUNAN PERUSAHAAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 118/MPP/KEP/2/2003 TANGGAL 28 FEBRUARI 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 558/MPP/KEP/12/1998 TENTANG KETENTUAN UMUM DIBIDANG EKSPOR SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 31/MPP/KEP/1/2003 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141/MPP/KEP/3/2002 TANGGAL 6 MARET 2002 TENTANG NOMOR PENGENAL IMPORTIR KHUSUS (NPIK)

92.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 27/M-IND/PER/5/2008 TANGGAL 19 MEI 2008 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA VERIFIKASI INDUSTRI BAGI INDUSTRI YANG MEMANFAATKAN FASILITAS KERINGANAN DAN ATAU PEMBEBASAN BEA MASUK

93.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/MIND/PER/6/2008 TANGGAL 9 JUNI 2008 TENTANG PENUNJUKAN LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM RANGKA PENERAPAN/PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA SECARA WAJIB BAJA TULANGAN BETON PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/MIND/PER/6/2008 TANGGAL 9 JUNI 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 28/MIND/PER/3/2007 TENTANG HARGA RESMI TABUNG BAJA GAS LPG 3 (TIGA) KG DAN KOMPOR GAS LPG SATU MATA TUNGKU BESERTA ASESORISNYA DALAM RANGKA PROGRAM PENGALIHAN PENGGUNAAN MINYAK TANAH MENJADI LPG UNTUK KELUARGA MISKIN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 04/M-IND/PER/2/2008 PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/MIND/PER/6/2008 TANGGAL 25 JUNI 2008 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) HELM PENGENDARA KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI REPUBLIK INDONESIA IND/PER/6/2008 TANGGAL PERINDUSTRIAN NOMOR 41/M25 JUNI 2008

94.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 304/MPP/KEP/4/2001 TANGGAL 11 APRIL 2002 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN UNTUK PERHITUNGAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN

95.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 304/MPP/KEP/4/2002 TANGGAL 11 APRIL 2002 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN UNTUK PERHITUNGAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN

96.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 418/MPP/KEP/4/2002 TANGGAL 30 APRIL 2002

308

TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYELEKSI CALON ANGGOTA BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN 97. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 419/MPP/KEP/4/2002 TANGGAL 30 APRIL 2002 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYELEKSI PENETAPAN ANGGOTA BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 442/MPP/KEP/5/2002 TANGGAL 3 MEI 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 337/MPP/KEP/11/2001 TENTANG PENERAPAN SECARA WAJIB SNI LAMPU SWA BALLAST UNTUK PELAYANAN PENCAHAYAAN UMUMPERSYARATAN KESELAMATAN (SNI 04-6504-2001 DAN REVISINYA) KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 426/MPP/KEP/5/2002 TANGGAL 20 MEI 2002 TENTANG PEDOMAN ADMINISTRASI UMUM

TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI PERATURAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 47/M-IND/PER/7/2008 TANGGAL 14 JULI 2008 TENTANG PENGOPTIMALAN BEBAN LISTRIK MELALUI PENGALIHAN WAKTU KERJA PADA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA-BALI PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 44/M-IND/PER/7/2008 TANGGAL 7 JULI 2008 TENTANG PENUNJUKAN/PENETAPAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI INDUSTRI DALAM RANGKA USDFS IJ-EPA

98.

99.

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 48/M-IND/PER/7/2008 TANGGAL 14 JULI 2008 TENTANG SPESIFIKASI TEKNIS PUPUK SUPER FOSPAT TUNGGAL SP-18 PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 43/M-IND/PER/7/2008 TANGGAL 1 JULI 2008 TENTANG PENETAPAN KELOMPOK INDUSTRI YANG DAPAT MEMANFAATKAN TARIF BEA MASUK DENGAN SKEMA USER SPECIFIC DUTY FREE SCHEME (USDFS) DALAM RANGKA PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN JEPANG MENGENAI SUATU KEMITRAAN EKONOMI PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 49/M-IND/PER/7/2008 TANGGAL 14 JULI 2008 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) TEPUNG TERIGU SEBAGAI BAHAN MAKANAN SECARA WAJIB

100. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 441/MPP/KEP/5/2002 TANGGAL 23 MEI 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR PASIR LAUT

101. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 443/MPP/KEP/5/2002 TANGGAL 24 MEI 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 558/MPP/KEP/12/1998 TENTANG KETENTUAN UMUM DIBIDANG EKSPOR SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 57/MPP/KEP/1/2002 102. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 456/MPP/KEP/6/2002 TANGGAL 10 JUNI 2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA KASAR (RAW SUGAR)

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 58/M-IND/PER/8/2008 TANGGAL 12 AGUSTUS 2008 TENTANG PENGGUNAAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM PELAYANAN PERIZINAN, REKOMENDASI DAN SPPT SNI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DALAM KERANGKA INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 61/M-IND/PER/8/2008 TANGGAL 22 AGUSTUS 2008 TENTANG TIM TEKNIS PENYUSUNAN KEBIJAKAN PERCEPATAN DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL

103. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 480/MPP/KEP/6/2002 TANGGAL 13 JUNI 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 302/MPP/KEP/10/2001 TENTANG PENDAFTARAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT 104. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN

PERATURAN

MENTERI

PERINDUSTRIAN

309

PERDAGANGAN NOMOR 510/MPP/KEP/6/2002 TANGGAL 28 JUNI 2002 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH)

NOMOR 52/M- IND/PER/8/2008 TANGGAL 11 AGUSTUS 2008 TENTANG TENTANG PENUNJUKAN LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM RANGKA PENERAPAN/PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) SECARA WAJIB BAJA LEMBARAN LAPIS SENG (SNI 07-2053-2006) PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 62/M-IND/PER/8/2OO8 TANGGAL 25 AGUSTUS 2008 TENTANG TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERII PERINDUSTRIAN NOMOR 43/M-IND/PER/7/2008 TENTANG PENETAPAN KELOMPOK INDUSTRII YANG DAPAT MEMANFAATKAN TARIF BEA MASUK DENGAN SKEMA USER SPECIFIC DUTY FREE SCHEME (USDFS) DALAM RANGKA PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN JEPANG MENGENAI SUATU KEMITRAAN EKONOMI PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 66/M-IND/PER/9/2008 TANGGAL 4 SEPTEMBER 2008 TENTANG PELIMPAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN PERLUASAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL

105. LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 547/MPP/KEP/7/2002 TANGGAL 4 JULI 2002 TENTANG LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR : 547/MPP/KEP/7/2002 TANGGAL 24 JULI 2002

106. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 527/MPP/KEP/7/2002 TANGGAL 5 JULI 2002 TENTANG TATA KERJA TIM NASIONAL WTO DAN PEMBENTUKAN KELOMPOK PERUNDING UNTUK PERUNDINGAN PERDAGANGAN MULTILATERAL DALAM KERANGKA WTO 107. KEPUTUSAN MENTERI PERUNDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 546/MPP/KEP/7/2002 TANGGAL 24 JULI 2002 TENTANG PEMBENTUKAN TIM BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR TEPUNG TERIGU 108. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 547/MPP/KEP/7/2002 TANGGAL 24 JULI 2002 TENTANG PEDOMAN PENDAFTARAN PETUNJUK PENGGUNAAN (MANUAL) DAN KARTU JAMINAN/GARANSI DALAM BAHASA INDONESIA BAGI PRODUK TEKNOLOGI INFORMASI DAN ELEKTRONIKA 109. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 547/MPP/KEP/7/2002 TANGGAL 24 JULI 2002 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN UNTUK PERHITUNGAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN 110. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 560/MPP/KEP/7/2002 TANGGAL 31 JULI 2002 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2003

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 72/M-IND/PER/10/2008 TANGGAL 24 OKTOBER 2008 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENGAWASAN PENGGUNANAN MESIN LINTING SIGARET (ROKOK) PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 75/M-IND/PER/10/2008 TANGGAL 21 OKTOBER 2008 TENTANG PENUNJUKAN/PENETAPAN SURVEYOR SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI INDUSTRI DALAM RANGKA PEMBERIAN BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH (BM-DTP) ATAS IMPOR BARANG UNTUK INDUSTRI PERATURAN BERSAMA NOMOR 922.1/MIND/10/2008 TANGGAL 22 OKTOBER 2008 TENTANG PEMELIHARAAN MOMENTUM PERTUMBUHAN EKONOMI NASIONAL DALAM MENGANTISIPASI PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN GLOBAL PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 78/M-IND/PER/10/2008 TANGGAL 29 OKTOBER 2008 TENTANG PENUNJUKKAN LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM RANGKA PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) HELM PENGENDARA KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 83/M-IND/PER/11/2008 TANGGAL 13 NOPEMBER 2008 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) GULA KRISTAL RAFINASI SECARA WAJIB

111. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 564/MPP/KEP/7/2002 TANGGAL 31 JULI 2002 TENTANG PENUNJUKAN BALAI/LEMBAGA UJI SEBAGAI LABORATORIUM PENGUJI LAMPU SWA BALLAST UNTUK PELAYANAN PENCAHAYAAN

310

UMUM 112. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 575/MPP/KEP/VIII/2002 TANGGAL 6 AGUSTUS 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 558/MPP/KEP/12/1998 TENTANG KETENTUAN UMUM DIBIDANG EKSPOR SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 443/MPP/KEP/5/2002 113. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 594/MPP/KEP/VIII/2002 TANGGAL 16 AGUSTUS 2002 TENTANG KETENTUAN PERIZINAN USAHA JASA PENILAIAN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 85/M-IND/PER/11/2008 TANGGAL 18 NOPEMBER 2008 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) TERHADAP 5 (LIMA) PRODUKINDUSTRI SECARA WAJIB

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 86/M-IND/PER/11/2008 TANGGAL 14 NOPEMBER 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DAN TATA CARA PENGAWASAN PENGGUNAAN LOGO NON CFC DAN NON HALON & NON CFC MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 77/MIND/PER/10/2008 TANGGAL 29 OKTOBER 2008 TENTANG PENUNJUKAN LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM RANGKA PENERAPAN/PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) TEPUNG TERIGU SEBAGAI BAHAN MAKANAN (SNI 01-3751-2006) SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 90/M-IND/PER/11/2008 TANGGAL 21 NOPEMBER 2008 TENTANG PROGRAM RESTRUKTURISASI MESIN/PERALATAN INDUSTRI ALAS KAKI

114. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 605/MPP/KEP/8/2002 TANGGAL 29 AGUSTUS 2002 TENTANG PENGANGKATAN ANGGOTA BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA PEMERINTAH KOTA MAKASSAR, KOTA PALEMBANG, KOTA SURABAYA KOTA BANDUNG, KOTA SEMARANG, KOTA YOGYAKARTA DAN KOTA MEDAN 115. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 606/MPP/KEP/9/2002 TANGGAL 3 SEPTEMBER 2002 TENTANG PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA (WORKING GROUP) INDONESIA AFRIKA BAGIAN SELATAN 116. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 634/MPP/KEP/9/2002 TANGGAL 18 SEPTEMBER 2002 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENGAWASAN BARANG DAN ATAU JASA YANG BEREDAR DI PASAR 117. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 635/MPP/KEP/9/2002 TANGGAL 20 SEPTEMBER 2002 TENTANG PENUNJUKAN BALAI/LEMBAGA UJI SEBAGAI LABORATORIUM PENGUJI PUPUK

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 91/M-IND/PER/11/2008 TANGGAL 21 NOPEMBER 2008 TENTANG PROGRAM RESTRUKTURISASI MESIN/PERALATAN PABRIK GULA

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 94/M-IND/PER/11/2008 TANGGAL 24 NOPEMBER 2008 TENTANG PROGRAM RESTRUKTURISASI MESIN/PERALATAN INDUSTRI KECIL MENENGAH (IKM) TEKSTIL PRODUK TEKSTIL (TPT) DAN INDUSTRI KECIL MENENGAH (IKM) ALAS KAKI PERATURAN BERSAMA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI PERINDUSTRIAN DAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR PER 21/MEN/XI/2008 TANGGAL 27 NOPEMBER 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BERSAMA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI PERINDUSTRIAN, DAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR PER.16/MEN/X/2008, NOMOR 49/2008, NOMOR 922.1/M-IND/10/2008, DAN NOMOR 39/M-DAG/PER/10/2008 TENTANG PEMELIHARAAN MOMENTUM PERTUMBUHAN EKONOMI NASIONAL DALAM MENGANTISIPASI

118. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 643/MPP/KEP/9/2002 TANGGAL 23 SEPTEMBER 2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA

311

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN GLOBAL 119. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 640/MPP/KEP/9/2002 TANGGAL 23 SEPTEMBER 2002 TENTANG TIM PENGENDALI VOLUME EKSPOR PASIR LAUT PERATURAN MENTRI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06/MIND/PER/2/2008 TANGGAL 13 FEBRUARI 2008 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BAJA TULANGAN BETON SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/MIND/PER/2/2008 TANGGAL 13 FEBRUARI 2008 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA BAJA LEMBARAN LAPIS SENG SECARA WAJIB

120. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 646/MPP/KEP/9/2002 TANGGAL 23 SEPTEMBER 2002 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PEMANTAUAN HARGA DAN ANTISIPASI PENGADAAN DAN PENDISTRIBUSIAN BARANG KEBUTUHAN POKOK MENGHADAPI HARI RAYA KEAGAMAAN NASIONAL TAHUN 2002/2003 121. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 642/MPP/KEP/9/2002 TANGGAL 23 SEPTEMBER 2002 TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA 122. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 641/MPP/KEP/9/2002 TANGGAL 23 SEPTEMBER 2002 TENTANG PENETAPAN BESARNYA HARGA PATOKAN ESKPOR (HPE) PASIR LAUT

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04/M-IND/PER/PER/1/2007 TANGGAL 12 JANUARI 2007 TENTANG PENETAPAN 6 (ENAM) SPESIFIKASI TEKNIS PRODUK INDUSTRI

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 12/M-IND/PER/2/2007 TANGGAL 2 FEBRUARI 2007 TENTANG PEDOMAN PENGADAAN BARANG/JASA DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DENGAN SISTEM EPROCUREMENT PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI NOMOR 17/M-IND/PER/2/2007 TANGGAL 19 FEBRUARI 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR: 20/M-IND/PER/5/2006 TENTANG PENUNJUKAN LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM RANGKA PENERAPAN /PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/M-IND/3/2007 TANGGAL 29 MARET 2007 TENTANG PUSAT INFORMASI PRODUK INDUSTRI MAKANAN DAN MINUMAN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/MIND/PER/3/2007 TANGGAL 29 MARET 2007 TENTANG BANTUAN DALAM RANGKA PEMBELIAN MESIN/PERALATAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/MIND/PER/4/2007 TANGGAL 17 APRIL 2007 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) SEMEN SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/MIND/PER/4/2007 TANGGAL 17 APRIL 2007 TENTANG LARANGAN MEMPRODUKSI BAHAN

123. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 731/MPP/KEP/10/2002 TANGGAL 21 OKTOBER 2002 TENTANG PENGELOLAAN KEMETROLOGIAN DAN PENGELOLAAN LABORATORIUM KEMETROLOGIAN

124. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 732/MPP/KEP/10/2002 TANGGAL 22 OKTOBER 2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR TEKSTIL

125. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 751/MPP/KEP/11/2002 TANGGAL 7 NOPEMBER 2002 TENTANG KETENTUAN IMPOR BESI ATAU BAJA CANAI LANTAIAN

126. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 753/MPP/KEP/11/2002 TANGGAL 8 NOPEMBER 2002 TENTANG STANDARDISASI DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA

127. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 756MPP/KEP/11/2002 TANGGAL 12 NOPEMBER 2002 TENTANG IMPOR MESIN DAN PERALATAN MESIN

312

BUKAN BARU

PERUSAK LAPISAN OZON SERTA MEMPRODUKSI BARANG YANG MENGGUNAKAN BAHAN PERUSAK LAPISAN OZON PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/MIND/PER/4/2007 TANGGAL 20 APRIL 2007 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 27/M-IND/PER/3/2007 TENTANG BANTUAN DALAM RANGKA PEMBELIAN MESIN/PERALATAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL

128. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 789/MPP/KEP/12/2002 TANGGAL 2 DESEMBER 2002 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 111/MPP/KEP/1/1998 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 411/MPP/KEP/9/1998 129. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 790/MPP/KEP/12/2002 TANGGAL 2 DESEMBER 2002 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 110/MPP/KEP/1/1998 TENTANG LARANGAN MEMPRODUKSI DAN MEMPERDAGANGKAN BAHAN PERUSAK LAPISAN OZON SERTA MEMPRODUKSI DAN MEMPERDAGANGKAN BARANG BARU YANG MENGGUNAKAN BAHAN PERUSAK LAPISAN OZON (OZONE DEPLETING SUBSTANCES) SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 410/MPP/KEP/9/1998 130. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 802/MPP/KEP/12/2002 TANGGAL 12 DESEMBER 2002 TENTANG PUSAT PENYELESAIAN MASALAH USAHA (BUSINESS SOLUTION CENTER)

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 57 TAHUN 2007 TANGGAL 10 JULI 2007 TENTANG TIM PENINGKATAN PENGGUNAAN PRODUKSI DALAM NEGERI DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 92/MIND/PER/11/07 TANGGAL 30 NOPEMBER 2007 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA TERHADAP 5 (LIMA) PRODUK INDUSTRI SECARA WAJIB PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93/MIND/PER/11/2007 TANGGAL 30 NOPEMBER 2007 TENTANG PENUNJUKAN LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN DALAM RANGKA PENERAPAN/PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA SECARA WAJIB TERHADAP 5 (LIMA) PRODUK INDUSTRI PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34/MIND/PER/4/2007 TANGGAL 17 APRIL 2007 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) KACA PENGAMAN UNTUK KENDARAAN BERMOTOR SECARA WAJIB

131. KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 803/MPP/KEP/12/2002 DAN NOMOR 10267/KPTS-II/2002 TANGGAL 13 DESEMBER 2002 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN REVITALISASI INDUSTRI KEHUTANAN

132. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 807/MPP/KEP/12/2002 TANGGAL 16 DESEMBER 2002 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 791/MPP/KEP/11/2002 DAN PEMBENTUKAN TIM PENGKAJIAN KELAYAKAN PENGUSAHA KECIL DAN KOPERASI UNTUK MEMPEROLEH KUOTA PERTUMBUHAN TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL TAHUN KUOTA 2003 133. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 818/MPP/KEP/12/2002 TANGGAL 27 DESEMBER 2002 TENTANG PENUNJUKAN LEMBAGA SERTIFIKASI PRODUK, LABORATORIUM PENGUJI DAN LEMBAGA INSPEKSI DALAM RANGKA

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/MIND/PER/3/2007 TANGGAL 28 MARET 2007 TENTANG HARGA RESMI TABUNG BAJA GAS LPG 3 (TIGA) KG DAN KOMPOR GAS LPG SATU MATA TUNGKU BESERTA AKSESORISNYA

313

PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN SNI WAJIB

DALAM RANGKA PROGRAM PENGALIHAN PENGGUNAAN MINYAK TANAH MENJADI LPG UNTUK KELUARGA MISKIN

134. LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 818/MPP/KEP/12/2002 TANGGAL 27 DESEMBER 2002 TENTANG LEMBAGA SERTIFIKASI PRODUK YANG DITUNJUK DALAM RANGKA PEMBERLAKUAN DAN PENGAWASAN SNI WAJIB 135. KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR MO-194/MK/2002 DAN NOMOR 712/MPP/XII/2002 TANGGAL 30 DESEMBER 2002 TENTANG KOORDINASI DALAM HAL INVENTARISASI, EVALUASI DAN PENYELESAIAN MASALAH YANG TERKAIT DENGAN PELAKSANAAN TUGAS MASING-MASING 136. KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 527/KMK.04/2002 DAN NOMOR 819/MPP/KEP/12/2002 TANGGAL 30 DESEMBER 2002 TENTANG TERTIB ADMINISTRASI IMPORTIR 137. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 829/MPP/KEP/12/2002 TANGGAL 31 DESEMBER 2002 TENTANG PEMBERIAN TANDA PENGHARGAAN PRIMANIYARTA KEPADA EKSPORTIR YANG BERPRESTASI SELAMA PERIODE 1997 SAMPAI DENGAN 2001 138. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 02/MPP/KEP/1/2001 TANGGAL 4 JANUARI 2001 TENTANG KETENTUAN KUOTA EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL 139. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 01/MPP/KEP/1/2001 TANGGAL 4 JANUARI 2001 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR580/KEP/10/1999 TENTANG PENGAWASAN IMPOR BARANG YANG TERCEMAR DIOXIN 140. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 01/MPP/KEP/1/2001 TANGGAL 4 JANUARI 2001 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR580/KEP/10/1999 TENTANG PENGAWASAN IMPOR BARANG YANG TERCEMAR DIOXIN 141. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/MPP/KEP/1/2001 TANGGAL 17 JANUARI 2001 TENTANG PEMBENTUKAN KOMITE SUPERVISI/SUPERVISORY COMMITTEE (SC) DAN KOMITE TEKNIS/TECHNICAL COMMITTEE (TC) PROGRAM PELATIHAN DAN BANTUAN TEKNIS UNTUK PEMANFAATAN DANA TEKNOLOGI INFORMASI (TATP) BANTUAN PINJAMAN BANK DUNIA

314

142. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 51/MPP/KEP/2/2001 TANGGAL 14 FEBRUARI 2001 TENTANG PENETAPAN EKSPORTIR TERDAFTAR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL PENGUSAHA KECIL DAN KOPERASI (ETTPT-PKK) UNTUK MEMPEROLEH KUOTA PERTUMBUHAN (KPT) TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL TAHUN KUOTA 2001 143. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57/MPP/KEP/2/2001 TANGGAL 19 FEBRUARI 2001 TENTANG PENETAPAN BESARNYA HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH) 144. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62/MPP/KEP/02/2001 TANGGAL 21 FEBRUARI 2001 TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 192/MPP/KEP/6/2000 145. LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78/MPP/KEP/3/2001 TANGGAL 2 MARET 2001 TENTANG PEDOMAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (PSPM) BIDANG PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN 146. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78/MPP/KEP/3/2001 TANGGAL 2 MARET 2001 TENTANG PEDOMAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (PSPM) BIDANG PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN 147. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80/MPP/KEP/3/2001 TANGGAL 7 MARET 2001 TENTANG PENGHAPUSAN BARANG MILIK/KEKAYAAN NEGARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DENGAN TINDAK LANJUT DIALIHKAN KEPADA PEMERINTAH DAERAH 148. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93/MPP/KEP/3/2001 TANGGAL 14 MARET 2001 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK UREA UNTUK SEKTOR PERTANIAN 149. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 62/DJPL/III/2001 TANGGAL 29 MARET 2001 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN BARANG-BARANG EKSPOR (HARGA FOB) BERLAKU DARI TANGGAL 1 APRIL S/D 30 JUNI 2001 150. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 153/MPP/KEP/5/2001 TANGGAL 2 MEI 2001 TENTANG

315

PENERAPAN SECARA WAJIB SNI TEPUNG TERIGU SEBAGAI BAHAN MAKANAN (SNI 01.37512000/REV.1995 DAN REVISINYA 151. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 172/MPP/KEP/5/2001 TANGGAL 17 MEI 2001 TENTANG IMPOR MESIN DAN PERALATAN MESIN BUKAN BARU 152. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 191/MPP/KEP/6/2001 TANGGAL 5 JUNI 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 551/MPP/KEP/10/1999 TENTANG BENGKEL UMUM KENDARAAN BERMOTOR 153. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 195/MPP/KEP/6/2001 TANGGAL 12 JUNI 2001 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2002 154. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 197/MPP/KEP/6/2001 TANGGAL 15 JUNI 2001 TENTANG LEMBAGA SURVEYOR BENGKEL UMUM KENDARAAN BERMOTOR 155. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 199/MPP/KEP/6/2001 TANGGAL 19 JUNI 2001 TENTANG PERSETUJUAN PENYELENGGARAAN PAMERAN DAGANG, KONVENSI DAN ATAU SEMINAR DAGANG 156. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 204/MPP/KEP/6/2001 TANGGAL 25 JUNI 2001 TENTANG PENETAPAN BESARNYA HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH) 157. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I. NOMOR 214/MPP/KEP/7/2001 TANGGAL 6 JULI 2001 TENTANG UJI PUBLIK KENDARAAN BERMOTOR RODA EMPAT DAN RODA DUA 158. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 213/MPP/KEP/7/2001 TANGGAL 6 JULI 2001 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN UNTUK PERHITUNGAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN 159. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I. NOMOR 216/MPP/KEP/7/2001 TANGGAL 9 JULI 2001 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 261/MPP/KEP/9/1996 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PERMOHONAN PENYELIDIKAN ATAS BARANG DUMPING DAN ATAU BARANG MENGANDUNG SUBSIDI 160. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN

316

PERDAGANGAN NOMOR 217.A./MPP/KEP/7/2001 TANGGAL 9 JULI 2001 TENTANG KETENTUAN DAN TATA TARA PEROLEHAN FASILITAS PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN BAGI ANGGOTA MISI DAGANG ATAU PAMERINTAH YANG MEWAKILI PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA KE LUAR NEGERI 161. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I. NOMOR 222A/MPP/KEP/7/2001 TANGGAL 13 JULI 2001 TENTANG PENUNJUKAN LEMBAGA UJI PUBLIK KENDARAAN BERMOTOR RODA EMPAT DAN RODA DUA 162. KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, REPUBLIK INDONESIA NOMOR 426/KMK.01/2001 DAN NOMOR 233/MPP/KEP/7/2001 TANGGAL 20 JULI 2001 TENTANG KETENTUAN IMPOR PELUMAS 163. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 263/MPP/KEP/8/2001 TANGGAL 31 AGUSTUS 2001 TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 78/MPP/KEP/3/2001 TENTANG PEDOMAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (PSPM) BIDANG PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN 164. LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 289/MPP/KEP/10/2001 TANGGAL 5 OKTOBER 2001 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN (SIUP) 165. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 289/MPP/KEP/10/2001 TANGGAL 5 OKTOBER 2001 TENTANG KETENTUAN STANDAR PEMBERIAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN (SIUP) 166. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 293/MPP/KEP/2001 TANGGAL 8 OKTOBER 2001 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 463/MPP/KEP/10/1998 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT 167. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I. NOMOR 294/MPP/KEP/10/2001 TANGGAL 8 OKTOBER 2001 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 146/MPP/KEP/4/1999 DAN PENETAPAN BARANG YANG DIATUR, DIAWASI DAN DILARANG EKSPORNYA 168. KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI KEHUTANAN RI DAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 292/MPP/KEP/10/2001 TANGGAL 8 OKTOBER 2001 TENTANG PENGHENTIAN EKSPOR KAYU BULAT/BAHAN

317

BAKU SERPIH 169. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 300/MPP/KEP/10/2001 TANGGAL 24 OKTOBER 2001 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PEMANTAU HARGA DAN ANTISIPASI PENGADAAN DAN PENDISTRIBUSIAN BARANG KEBUTUHAN POKOK MENGHADAPI HARI RAYA KEAGAMAAN NASIONAL TAHUN 2001/2002 170. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 302/MPP/KEP/10/2001 TANGGAL 24 OKTOBER 2001 TENTANG PENDAFTARAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT 171. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 311/MPP/KEP/10/2001 TANGGAL 30 OKTOBER 2001 TENTANG KETENTUAN KUOTA EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL 172. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 310/MPP/KEP/10/2001 TANGGAL 31 OKTOBER 2001 TENTANG TIM VERIFIKASI MANAJEMEN KUOTA TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TAHUN KUOTA 2001 173. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 337/MPP/KEP/11/2001 TANGGAL 30 NOPEMBER 2001 TENTANG PENERAPAN SECARA WAJIB SNI LAMPU SWA BALLAST UNTUK PELAYANAN PENCAHAYAAN UMUMPERSYARATAN KESELAMATAN (SNI 04-6504-2001 DAN REVISINYA) 174. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 365/MPP/KEP/12/2001 TANGGAL 14 DESEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN IKAN UNTUK PERHITUNGAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN 175. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 372/MPP/KEP/12/2001 TANGGAL 24 DESEMBER 2001 TENTANG KETENTUAN PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI PABRIKASI PELUMAS DAN PENGOLAHAN PELUMAS BEKAS 176. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 7/MPP/KEP/1/2000 TANGGAL 11 JANUARI 2000 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN PETUNJUK PENGGUNAAN (MANUAL) DAN KARTU JAMINAN/GARANSI DALAM BAHASA INDONESIA BAGI PRODUK ELEKTRONIKA 177. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 26/MPP/KEP/II/2000 TANGGAL 1 FEBRUARI 2000 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR:102/SK/VIII/1967 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN KEBIJAKSANAAN

318

DALAM BIDANG EKSPOR DAN PEMASARAN BARANG-BARANG/HASIL-HASIL BUMI INDONESIA 178. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 49/MPP/KEP/2/2000 TANGGAL 25 FEBRUARI 2000 TENTANG PERSYARATAN IMPOR KENDARAAN BERMOTOR DALAM KEADAAN UTUH (CBU) DALAM KEADAAN UTUH (CBU) 179. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 50/MPP/KEP/2/2000 TANGGAL 25 FEBRUARI 2000 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR: 290/MPP/KP/6/1999 180. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 53/MPP/KEP/2/2000 TANGGAL 25 FEBRUARI 2000 TENTANG PENGAMBILALIHAN KUOTA TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL 181. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 67/MPP/KEP/3/2000 TANGGAL 15 MARET 2000 TENTANG KETENTUAN KUOTA EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL 182. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 73/MPP/KEP/3/2000 TANGGAL 15 MARET 2000 TENTANG KETENTUAN KEGIATAN USAHA PENJUALAN BERJENJANG 183. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 129/MPP/KEP/4/2000 TANGGAL 24 APRIL 2000 TENTANG IMPOR MESIN, PERALATAN MESIN DAN BARANG MODAL DALAM KEADAAN BUKAN BARU 184. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 158/MPP/KEP/5/2000 TANGGAL 12 MEI 2000 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PEMERIKSA PETUNJUK PENGGUNAAN (MANUAL) DAN KARTU JAMINAN/GARANSI DALAM BAHASA INDONESIA BAGI PRODUK ELEKTRONIKA 185. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 180/MPP/KEP/5/2000 TANGGAL 25 MEI 2000 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2001 186. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174/MPP/KEP/5/2000 TANGGAL 25 MEI 2000 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 67/MPP/KEP/3/2000 TENTANG KETENTUAN KUOTA EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL 187. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 184/MPP/KEP/5/2000

319

TANGGAL 29 MEI 2000 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 42/MPP/KEP/2/1997 TENTANG KRITERIA DAN PENETAPAN PERUSAHAAN EKSPORTIR TERTENTU (PET) 188. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 192/MPP/KEP/6/2000 TANGGAL 2 JUNI 2000 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DEGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 50/MPP/KEP/2/2000 189. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 233/MPP/KEP/6/2000 TANGGAL 25 JUNI 2000 TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 589/MPP/KEP/10/1999 TENTANG PENETAPAN JENIS-JENIS INDUSTRI DALAM PEMBINAAN MASING-MASING DIREKTORAT JENDERAL DAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN BIDANG INDUSTRI DAN PERDAGANGAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN 190. LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 234/MPP/KEP/6/2000 TANGGAL 26 JUNI 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN LAPORAN KEUANGAN TAHUNAN PERUSAHAAN 191. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 234/MPP/KEP/6/2000 TANGGAL 27 JUNI 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN LAPORAN KEUANGAN TAHUNAN PERUSAHAAN 192. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 253/MPP/KEP/7/2000 TANGGAL 4 JULI 2000 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 550/MPP/KEP/10/1999 TENTANG ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API) 193. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 254/MPP/KEP/7/2000 TANGGAL 5 JULI 2000 TENTANG TATA NIAGA IMPOR DAN PEREDARAN BAHAN BERBAHAYA TERTENTU 194. LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 254/MPP/KEP/7/2000 TANGGAL 5 JULI 2000 TENTANG TATA NIAGA IMPOR DAN PEREDARAN BAHAN BERBAHAYA TERTENTU 195. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 268/MPP/KEP/7/2000 TANGGAL 11 JULI 2000 TENTANG PENETAPAN BESARNYA HARGA PATOKAN UNTUK

320

PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH) 196. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 278/MPP/KEP/7/2000 TANGGAL 17 JULI 2000 TENTANG IMPOR MESIN, PERALATAN MESIN DAN BARANG MODAL BUKAN BARU 197. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 427/MPP/KEP/10/2000 TANGGAL 10 OKTOBER 2000 TENTANG KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA 198. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 428/MPP/KEP/10/2000 TANGGAL 10 OKTOBER 2000 TENTANG PENUNJUKAN DAN PENGANGKATAN ANGGOTA PENUNJUKAN DAN PENGANGKATAN ANGGOTA KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA 199. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 472/MPP/KEP/II/2000 TANGGAL 16 NOPEMBER 2000 TENTANG KRITERIA PENGUSAHA KECIL DAN KOPERASI UNTUK MEMPEROLEH KUOTA PERTUMBUHAN TAHUN 2001 200. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 06/MPP/KEP/1/1999 TANGGAL 6 JANUARI 1999 TENTANG PENETAPAN BESARNYA HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH) 201. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 26/MPP/KEP/1/1999 TANGGAL 14 JANUARI 1999 TENTANG PENDISTRIBUSIAN PUPUK UNTUK PETANI TANAMAN PANGAN DI DAERAH YANG SULIT DIJANGKAU 202. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 29/MPP/KEP/I/1999 TANGGAL 21 JANUARI 1999 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KOPI 203. LAMPIRAN I, KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 29/MPP/KEP/I/1999 TANGGAL 21 JANUARI 1999 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KOPI 204. LAMPIRAN II, KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 29/MPP/KEP/I/1999 TANGGAL 21 JANUARI 1999 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KOPI 205. LAMPIRAN III, KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 29/MPP/KEP/I/1999 TANGGAL 21 JANUARI 1999 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KOPI 206. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 84/MPP/KEP/3/1999 TANGGAL 28 FEBRUARI 1999 TENTANG PENETAPAN KUOTA PERTUMBUHAN TEKSTIL DAN

321

PRODUK TEKSTIL (KPT) TAHUN KUOTA 1999 UNTUK NEGARA TUJUAN AMERIKA SERIKAT, MASYARAKAT EROPA, NORWEGIA, KANADA DAN TURKI 207. PETUNJUK PELAKSANAAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 84/MPP/KEP/3/1999 TANGGAL 28 FEBRUARI 1999 TENTANG PENETAPAN KUOTA PERTUMBUHAN TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (KPT) TAHUN KUOTA 1999 UNTUK NEGARA TUJUAN AMERIKA SERIKAT, MASYARAKAT EROPA, NORWEGIA, KANADA DAN TURKI 208. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 146/MPP/KEP/4/1999 TANGGAL 22 APRIL 1999 TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 558/MPP/KEP/12/1998 TENTANG KETENTUAN UMUM DI BIDANG EKSPOR 209. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 202/MPP/KEP/5/1999 TANGGAL 26 MEI 1999 TENTANG KETENTUAN DAN TATACARA PERMOHONAN FASILITAS DALAM RANGKA PELAKSANAAN PERJANJIAN "BASIC AGREEMENT ON THE ASEAN INDUSTRIAL COOPERATION" 210. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 231/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 3 JUNI 1999 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 108/KEP/I/1984 TENTANG PENUNJUKAN PT. BERDIKARI SEBAGAI DISTRIBUTOT TUNGGAL ALUMINIUM INGOT PRODUKSI PT. INALUM 211. KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 189/KMK.017/1999 TANGGAL 3 JUNI 1999 TENTANG PENETAPAN BESARNYA TARIP PAJAK EKSPOR KELAPA SAWIT, MINYAK KELAPA SAWIT, MINYAK KELAPA DAN PRODUK TURUNANNYA 212. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 4 JUNI 1999 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 505/MPP/KEP/10/1998 TENTANG PERDAGANGAN DAN DISTRIBUSI MINYAK GORENG DAN GULA PASIR 213. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 251/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 11 JUNI 1999 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 61/MPP/KEP/2/1998 TENTANG PENYELENGGARAAN KEMETROLOGIAN 214. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 250/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 11 JUNI 1999 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2000 215. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN

322

PERDAGANGAN NOMOR 327/MPP/KEP/7/1999 TANGGAL 21 JUNI 1999 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 12/MPP/KEP/I/1998 TENTANG PENYELENGGARAAN WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN 216. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 274/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 21 JUNI 1999 TENTANG LARANGAN DAN PENGAWASAN IMPOR, DISTRIBUSI DAN PRODUKSI BARANG YANG TERCEMAR DIOXIN 217. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 288/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 23 JUNI 1999 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENINGKATAN PENGGUNAAN PRODUKSI DALAM NEGERI 218. KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 348/KMK.01/1999 TANGGAL 24 JUNI 1999 TENTANG MACAM DAN JENIS KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH 219. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 291/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 24 JUNI 1999 TENTANG PEMBENTUKAN TIM MONITORING INDUSTRI KENDARAAN BERMOTOR 220. KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 346/KMK.01/1999 TANGGAL 24 JUNI 1999 TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN UNTUK PEMBUATAN KOMPONEN, PERALATAN DAN KAROSERI KENDARAAN BERMOTOR KHUSUS 221. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 290/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 24 JUNI 1999 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 439/MPP/KEP/9/1998 222. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 276/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 24 JUNI 1999 TENTANG PENDAFTARAN TIPE DAN VARIAN KENDARAAN BERMOTOR 223. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 275/MPP/KEP/6/1999 TANGGAL 24 JUNI 1999 TENTANG INDUSTRI KENDARAAN BERMOTOR 224. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 321/MPP/KEP/7/1999 TANGGAL 13 JULI 1999 TENTANG PENETAPAN BESARNYA HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH)

323

225. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 364/MPP/KEP/8/1999 TANGGAL 5 AGUSTUS 1999 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA 226. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 365/MPP/KEP/8/1999 TANGGAL 5 AGUSTUS 1999 TENTANG PENUNJUKAN PELAKSANA PEMANTAUAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI DAN PERKEMBANGAN INDUSTRI 227. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 366/MPP/KEP/8/1999 TANGGAL 5 AGUSTUS 1999 TENTANG PERUBAHAN PASAL 11 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR: 374/MPP/KEP/8/1998 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KUOTA TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL 228. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 384/MPP/KEP/8/1999 TANGGAL 18 AGUSTUS 1999 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 108/MPP/KEP/1996 TENTANG STANDARDISASI, SERTIFIKASI, AKREDITASI DAN PENGAWASAN MUTU PRODUK DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN 229. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 405/MPP/KEP/9/1999 TANGGAL 2 SEPTEMBER 1999 TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO: 439/MPP/KEP/9/1998 230. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 551/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 5 OKTOBER 1999 TENTANG BENGKEL UMUM KENDARAAN BERMOTOR 231. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 550/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 5 OKTOBER 1999 TENTANG ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API) 232. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 556/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 6 OKTOBER 1999 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BAPPEBTI 233. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 559/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 6 OKTOBER 1999 TENTANG KRITERIA PENGUSAHA KECIL DAN KOPERASI UNTUK MEMPEROLEH KUOTA PERTUMBUHAN TAHUN 2000 234. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA INVESTASI/KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL/BKPM NOMOR 38/SK/1999 TANGGAL 6 OKTOBER 1999 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERMOHONAN PENANAMAN MODAL YANG DIDIRIKAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN

324

PENANAMAN MODAL ASING 235. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 590/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 13 OKTOBER 1999 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI 236. KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN R.I. NOMOR 490/KMK.01/1999 TANGGAL 13 OKTOBER 1999 TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR BAHAN BAKU, MESIN-MESIN, ALAT-ALAT PERLENGKAPAN SERTA SUKU CADANG UNTUK PEMBUATAN, PERBAIKAN DAN PEMELIHARAAN KAPAL LAUT DAN ALAT APUNG SELAIN KAPAL PESIAR DAN KAPAL OLAHRAGA 237. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 580/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 13 OKTOBER 1999 TENTANG PENGAWASAN IMPOR BARANG YANG TERCEMAR DIOXIN 238. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 589/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 13 OKTOBER 1999 TENTANG PENETAPAN JENIS-JENIS INDUSTRI DALAM PEMBINAAN MASING-MASING DIREKTORAT JENDERAL DAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN BIDANG INDUSTRI DAN PERDAGANGAN 239. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 587/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 13 OKTOBER 1999 TENTANG PEMBENTUKAN KANTOR PENDAFTARAN PERUSAHAAN (KPP) 240. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 591/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 13 OKTOBER 1999 TENTANG KETENTUAN TATA CARA PEMBERIAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN (SIUP) 241. LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 590/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 13 OKTOBER 1999 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI 242. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 608/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 14 OKTOBER 1999 TENTANG PETUNJUK PENGGUNAAN (MANUAL) DAN KARTU JAMINAN/GARANSI DALAM BAHASA INDONESIA BAGI PRODUK ELEKTRONIKA 243. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 616/MPP/KEP/10/1999 TANGGAL 14 OKTOBER 1999 TENTANG PENGAWASAN MUTU SECARA WAJIB SNI CRUMB RUBBER STANDARD INDONESIA RUBBER 244. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 588/MPP//KEP/10/1999

325

TANGGAL 14 OKTOBER 1999 TENTANG PENETAPAN TATA KERJA TIM NASIONAL DAN PEMBENTUKAN KELOMPOK PERUNDING UNTUK PERUNDINGAN PERDAGANGAN MULTILATERAL DALAM KERANGKA WTO 245. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 717/MPP/KEP/12/1999 TANGGAL 28 DESEMBER 1999 TENTANG PENCABUTAN TATA NIAGA IMPOR GULA DAN BERAS 246. KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 568/KMK.01/1999 TANGGAL 31 DESEMBER 1999 TENTANG PENETAPAN TARIP BEA MASUK ATAS IMPOR BERAS DAN GULA 247. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 726/MPP/KEP/12/1999 TANGGAL 31 DESEMBER 1999 TENTANG PENETAPAN BESARNYA HARGA PATOKAN UNTUK PERHITUNGAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN (PSDH) 248. KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 570/KMK.01/1999 TANGGAL 31 DESEMBER 1999 TENTANG PERUBAHAN TARIF BEA MASUK ATAS IMPOR BEBERAPA PRODUK TERTENTU 249. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 16 JANUARI 1998 TENTANG PENYELENGGARAAN WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN 250. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 20/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 142/MPP/KEP/6/1996 TENTANG PEMBUATAN MOBIL NASIONAL 251. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 23/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG LEMBAGA-LEMBAGA USAHA PERDAGANGAN 252. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 21/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 407/MPP/KEP/11/1997 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN TEPUNG TERIGU DI DALAM NEGERI 253. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 23/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG LEMBAGALEMBAGA USAHA PERDAGANGAN 254. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 22/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAN

326

PERDAGANGAN CENGKEH 255. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 19/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 31/MPP/SK/2/1996 TENTANG KENDARAAN BERMOTOR NASIONAL 256. KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 16/KMK.017/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG PENURUNAN TARIF BEA MASUK BEBERAPA PRODUK PERTANIAN TERTENTU 257. KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 17/KMK.017/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG PENURUNAN TARIF BEA MASUK ATAS IMPOR PRODUK TERTENTU 258. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 31/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN NO. 62/KP/IV/89 TENTANG PENGUKUHAN PEMBENTUKAN KELOMPOK BADAN PEMASARAN BERSAMA (BPB) 259. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 32/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU GERGAJIAN DAN KAYU OLAHAN 260. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 30/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN NO. 119/KP/V/87 TENTANG TATA NIAGA EKSPOR KAYU GERGAJIAN DAN KAYU OLAHAN 261. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 25/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 230/MPP/KEP/7/97 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR: 406/MPP/KEP/11/1997 262. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 26/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN DAN KOPERASI NO. 152/KP/V/82 TENTANG TATA NIAGA EKSPOR KAYU LAPIS 263. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 33/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN NO. 410/KP/XII/88 TENTANG

327

KETENTUAN ROTAN

TATA

NIAGA

EKSPOR

LAMPIT

264. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 28/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU LAPIS 265. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 29/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN NO. 128/KP/IV/86 TENTANG JATAH EKSPOR KAYU LAPIS 266. KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, MENTERI PERTANIAN DAN MENTERI KOPERASI DAN PEMBINAAN PENGUSAHA KECIL (PAKET REFORMASI) NOMOR 24/MPP/KEP/1/1998, NOMOR 30/KPTS/TN.320/1/1998 DAN NOMOR 01/SKB/M/I/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN DAN KOPERASI NOMOR: 236/KPB/VII/1982, NOMOR: 341/M/SK/7/1982 DAN NOMOR: 521/KPTS/UM/7/1982 TENTANG PENGEMBANGAN USAHA PENINGKATAN PRODUKSI, PENGOLAHAN DAN PEMASARAN SUSU DALAM NEGERI 267. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET REFORMASI) NOMOR 27/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 21 JANUARI 1998 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN NO. 1198/KP/X/84 TENTANG PENGUKUHAN PEMBENTUKAN KELOMPOK BADAN PEMASARAN BERSAMA DAN TATA NIAGA EKSPOR KAYU LAPIS 268. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110/MPP/KEP/1/1998 TANGGAL 27 JANUARI 1998 TENTANG LARANGAN MEMPRODUKSI DAN MEMPERDAGANGKAN BAHAN PERUSAK LAPISAN OZON SERTA MEMPRODUKSI DAN MEMPERDAGANGKAN BARANG BARU YANG MENGGUNAKAN BAHAN PERUSAK LAPISAN OZON (OZONE DEPLETING SUBSTANCES) 269. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 97/MPP/KEP/2/1998 TANGGAL 26 FEBRUARI 1998 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, NOMOR: 228/MPP/KEP/7/1997 TENTANG KETENTUAN UMUM DI BIDANG EKSPOR 270. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 105/MPP/KEP/2/1998 TANGGAL 27 FEBRUARI 1998 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PERGUDANGAN 271. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 107/MPP/KEP/2/1998 TANGGAL 27 FEBRUARI 1998 TENTANG KETENTUAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN USAHA PASAR MODERN

328

272. LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 107/MPP/KEP/2/1998 TANGGAL 27 FEBRUARI 1998 TENTANG KETENTUAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN USAHA PASAR MODERN 273. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 159/MPP/KEP/4/1998 TANGGAL 1 APRIL 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NO. 23/MPP/KEP/1/1998 TENTANG LEMBAGA-LEMBAGA USAHA PERDAGANGAN 274. MEMORANDUM TAMBAHAN, MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR TANGGAL 10 APRIL 1998 TENTANG EKONOMI DAN KEUANGAN 275. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 181/MPP/KEP/4/1998 TANGGAL 17 APRIL 1998 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 102/MPP/KEP/2/11990 TENTANG PASOKAN DALAM NEGERI CRUDE PALM OIL (CPO), REFINED BLEACHING DEODORIZED PALM OIL (RBD PO), CRUDE OLEIN (CRD OLEIN) DAN REFINED BLEACHING DEODORIZED OLEIN (RED OLEIN) 276. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 187/MPP/KEP/4/1998 TANGGAL 20 APRIL 1998 TENTANG KETENTUAN EKSPOR ROTAN 277. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 182/MPP/KEP/4/1998 TANGGAL 20 APRIL 1998 TENTANG KETENTUAN UMUM DI BIDANG EKSPOR 278. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 183/MPP/KEP/4/1998 TANGGAL 20 APRIL 1998 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR. 32/MPP/KEP/1/1998 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU GERGAJIAN DAN KAYU OLAHAN 279. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 184/MPP/KEP/4/1998 TANGGAL 20 APRIL 1998 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR. 34/MPP/KEP/4/1998 TENTANG KETENTUAN EKSPOR LAMPIT ROTAN 280. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 182/MPP/KEP/4/1998 TANGGAL 20 APRIL 1998 TENTANG KETENTUAN UMUM DI BIDANG EKSPOR 281. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 185/MPP/KEP/4/1998 TANGGAL 20 APRIL 1998 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT 282. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 186/MPP/KEP/4/1998

329

TANGGAL 20 APRIL 1998 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU GERGAJIAN DAN KAYU OLAHAN 283. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 348/MPP/KEP/7/1998 TANGGAL 22 JULI 1998 TENTANG PERDAGANGAN DAN DISTRIBUSI MINYAK GORENG DAN GULA PASIR 284. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 438/MPP/KEP/9/1998 TANGGAL 24 JULI 1998 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 350/MPP/KEP/7/1998 TENTANG PEMBATASAN EKSPOR BARANGBARANG TERTENTU YANG MENDAPAT SUBSIDI DARI PEMERINTAH 285. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 307/MPP/KEP/6/1998 TANGGAL 24 JULI 1998 TENTANG TANDA TERA TAHUN 1999 286. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 349/MPP/KEP/7/1998 TANGGAL 24 JULI 1998 TENTANG HARGA JUAL BELI PABRIK ATAS GULA PASIR YANG DIBELI BULOG DARI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA/PT. RAJAWALI NUSANTARA INDONESIA DAN PETANI SERTA PRODUSEN LAINNYA 287. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 350/MPP/KEP/7/1998 TANGGAL 27 JULI 1998 TENTANG PEMBATASAN EKSPOR BARANG-BARANG TERTENTU YANG MENDAPATKAN SUBSIDI DARI PEMERINTAH 288. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 410/MPP/KEP/9/1998 TANGGAL 3 SEPTEMBER 1998 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 110/MPP/KEP/1/1998 TENTANG LARANGAN MEMPRODUKSI DAN MEMPERDAGANGKAN BAHAN PERUSAK LAPISAN OZON SERTA MEMPRODUKSI DAN MEMPERDAGANGKAN BARANG BARU YANG MENGGUNAKAN BAHAN PERUSAK LAPISAN OZON (OZONE DEPLETING SUBSTANCES) 289. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 411/MPP/KEP/9/1998 TANGGAL 3 SEPTEMBER 1998 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 111/MPP/KEP/1/1998 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA 290. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 442/MPP/KEP/9/1998 TANGGAL 25 SEPTEMBER 1998 TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 182/MPP/KEP/4/1998 TENTANG KETENTUAN UMUM

330

DI BIDANG EKSPOR 291. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 441/MPP/KEP/9/1998 TANGGAL 25 SEPTEMBER 1998 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU GERGAJIAN 292. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 440/MPP/KEP/9/1998 TANGGAL 25 SEPTEMBER 1998 TENTANG KETENTUAN EKSPOR ROTAN BULAT 293. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 525/MPP/KEP/XI/1998 TANGGAL 13 NOPEMBER 1998 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN LAPORAN KEUANGAN TAHUNAN PERUSAHAAN 294. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 558/MPP/KEP/12/1998 TANGGAL 4 DESEMBER 1998 TENTANG KETENTUAN UMUM DI BIDANG EKSPOR 295. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKJUL '97) NOMOR 229/MPP/KEP/7/1997 TANGGAL 7 JULI 1997 TENTANG KETENTUAN UMUM DI BIDANG IMPOR 296. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKJUL '97) NOMOR 230/MPP/KEP/7/1997 TANGGAL 7 JULI 1997 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA 297. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKJUL '97) NOMOR 228/MPP/KEP/7/1997 TANGGAL 7 JULI 1997 TENTANG KETENTUAN UMUM DI BIDANG EKSPOR 298. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKJUL '97) NOMOR 231/MPP/KEP/7/1997 TANGGAL 7 JULI 1997 TENTANG PROSEDUR IMPOR LIMBAH 299. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKJUL '97) NOMOR 227/MPP/KEP/7/1997 TANGGAL 7 JULI 1997 TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN DAN KOPERASI, NOMOR: 04/KP/I/1980 TENTANG KETENTUAN GOLONGAN USAHA, UANG JAMINAN DAN BIAY 300. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 255/MPP/KEP/7/1997 TANGGAL 28 JULI 1997 TENTANG PELIMPAHAN WEWENANG PERIZINAN DI BIDANG INDUSTRI DAN PERDAGANGAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN 301. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 254/MPP/KEP/7/1997 TANGGAL 28 JULI 1997 TENTANG KRITERIA INDUSTRI KECIL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

331

302. LAMPIRAN 2, KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 255/MPP/KEP/7/1997 TANGGAL 28 JULI 1997 TENTANG PELIMPAHAN WEWENANG PERIZINAN DI BIDANG INDUSTRI DAN PERDAGANGAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN 303. LAMPIRAN 1, KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 255/MPP/KEP/7/1997 TANGGAL 28 JULI 1997 TENTANG PELIMPAHAN WEWENANG PERIZINAN DI BIDANG INDUSTRI DAN PERDAGANGAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN 304. LAMPIRAN 2, KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 256/MPP/KEP/7/1997 TANGGAL 28 JULI 1997 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN USAHA, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI 305. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 317/MPP/KEP/7/1997 TANGGAL 28 JULI 1997 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 225/KP/X/1995 TENTANG PENGELUARAN BARANG-BARANG KE LUAR NEGERI DI LUAR KETENTUAN UMUM DI BIDANG EKSPOR 306. LAMPIRAN 2, KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 259/MPP/KEP/7/1997 TANGGAL 28 JULI 1997 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN PENDAFTARAN USAHA WARALABA 307. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 361/MPP/KEP/10/1997 TANGGAL 1 NOPEMBER 1997 TENTANG PENUNJUKAN DISTRIBUTOR DAN SUB DISTRIBUTOR MINUMAN BERALKOHOL 308. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 359/MPP/KEP/10/1997 TANGGAL 1 NOPEMBER 1997 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PRODUKSI, IMPOR, PENGEDARAN DAN PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL 309. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 360/MPP/KEP/10/1997 TANGGAL 1 NOPEMBER 1997 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN MINUMAN BERALKOHOL 310. KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, MENTERI KEUANGAN DAN GUBERNUR BANK INDONESIA (PAKET 26 JANUARI 1996) NOMOR 09/MPP/SK/I/1996, NOMOR 41/KMK.01/1996 DAN NOMOR 28/11/KEP/GBI TANGGAL 26 JANUARI 1996 TENTANG PENCABUTAN SKB MENPERDA TENTANG PENYEMPURNAAN KETENTUAN UMUM DI BIDANG

332

EKSPOR 311. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET 26 JANUARI 1996) NOMOR 11/MPP/SK/I/1996 TANGGAL 26 JANUARI 1996 TENTANG KEGIATAN PERUSAHAANPENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG EKSPOR. 312. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET 26 JANUARI 1996) NOMOR 10/MPP/SK/I/1996 TANGGAL 26 JANUARI 1996 TENTANG KETENTUAN UMUM DI BIDANG EKSPOR 313. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET 26 JANUARI 1996) NOMOR 12/MPP/SK/I/1996 TANGGAL 26 JANUARI 1996 TENTANG PENUNJUKAN PELAKSANA PEMANTAUAN EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL YANG DIKENAKAN KUOTA. 314. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET 26 JANUARI 1996) NOMOR 18/MPP/SK/I/1996 TANGGAL 26 JANUARI 1996 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI EPTE. 315. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET 26 JANUARI 1996) NOMOR 125/MPP/SK/I/1996 TANGGAL 26 JANUARI 1996 TENTANG PENJELASAN KEPRES NOMOR 31 TAHUN 1995 KEPADA MENTERI NEGARA PENGGERAK DANA INVESTASI/KETUA BKPM. 316. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET 26 JANUARI 1996) NOMOR 14/MPP/SK/I/1996 TANGGAL 26 JANUARI 1996 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA 317. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET 26 JANUARI 1996) NOMOR 17/MPP/SK/I/1996 TANGGAL 26 JANUARI 1996 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI KAWASAN BERIKAT. 318. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET 26 JANUARI 1996) NOMOR 16/MPP/SK/I/1996 TANGGAL 26 JANUARI 1996 TENTANG KEGIATAN IMPOR OLEH PERUSAHAANPENANAMAN MODAL ASING KE KAWASAN BERIKAT (KB) DAN ATAU ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR 319. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET 26 JANUARI 1996) NOMOR 15/MPP/SK/I/1996 TANGGAL 26 JANUARI 1996 TENTANG PROSEDUR IMPOR LIMBAH 320. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET 4 JUNI 1996) NOMOR 137/MPP/KEP/6/1996 TANGGAL 4 JUNI 1996 TENTANG PROSEDUR IMPOR LIMBAH 321. KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, MENTERI KEUANGAN DAN GUBERNUR BANK INDONESIA (PAKET 4 JUNI 1996)

333

NOMOR 129/MPP/KEP/6/1996, NOMOR 376/KMK.01/1996 DAN NOMOR 29/5/KEP/GBI TANGGAL 4 JUNI 1996 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN, MENTERI KEUANGAN DAN GUBERNUR BANK INDONESIA, NOMOR: 656/KPB/IV/85, NOMOR:329/KMK.05/1985 DAN NOMOR: 18/2/KEP/GBI TENTANG PENYEMPURNAAN KETENTUAN-KETENTUAN UMUM DI BIDANG IMPOR, SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DUA KALI TERAKHIR DENGAN SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN, MENTERI KEUANGAN DAN GUBERNUR BANK INDONESIA NOMOR: 247B/KPB/X/1990, NOMOR: 1118A/KMK.00/1990 DAN NOMOR:23/5A/KEP/GBI 322. KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, MENTERI KEUANGAN DAN GUBERNUR BANK INDONESIA (PAKET 4 JUNI 1996) NOMOR 128/MPP/KEP/6/1996, NOMOR 377/KMK.01/1996 DAN NOMOR 29/4/KEP/GBI TANGGAL 4 JUNI 1996 TENTANG PELAYANAN KHUSUS BAGI PERUSAHAAN EKSPORTIR TERTENTU 323. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET 4 JUNI 1996) NOMOR 135/MPP/KEP/6/1996 TANGGAL 4 JUNI 1996 TENTANG PENETAPAN JENIS INDUSTRI YANG DIKLASIFIKASIKAN KE DALAM KELOMPOK INDUSTRI KOMPONEN ELEKTRONIKA 324. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN (PAKET 4 JUNI 1996) NOMOR 134/MPP/KEP/6/1996 TANGGAL 4 JUNI 1996 TENTANG KEGIATAN IMPOR DAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BARANG KOMPLEMENTER OLEH PERUSAHAAN ASING DI BIDANG PRODUKSI 325. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 89/KP/V/95 TANGGAL 23 MEI 1995 TENTANG BARANG-BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA. 326. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 90/KP/V/95 TANGGAL 23 MEI 1995 TENTANG PEMASARAN KE DALAM NEGERI HASIL PENGOLAHAN PERUSAHAAN PENGHASIL BARANG ATAU BAHAN (KOMPONEN) DI DALAM KAWASAN BERIKAT DAN PERUSAHAAN PENGHASIL BARANG ATAU BAHAN (KOMPONEN) YANG BERSTATUS ENTREPORT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR. 327. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 108/M/SK/5/1995 TANGGAL 23 MEI 1995 TENTANG PERUBAHAN PADA LAMPIRAN I SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 114/M/SK/6/1993 TANGGAL 9 JUNI 1993, TENTANG PENETAPAN TINGKAT KANDUNGAN LOKAL KENDARAAN BERMOTOR ATAU KOMPONEN BUATAN DALAM NEGERI. 328. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 27 JUNI 1994) NOMOR 126/KP/VI/94 TANGGAL 27 JUNI 1994 TENTANG RASIO IMPOR BUNGKIL KACANG KEDELAI DENGAN PENYERAPAN BUNGKIL

334

KACANG KEDELAI PRODUKSI DALAM NEGERI. 329. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 27 JUNI 1994) NOMOR 125/KP/VI/94 TANGGAL 27 JUNI 1994 TENTANG BARANG-BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA. 330. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 27 JUNI 1994) NOMOR 127/KP/VI/94 TANGGAL 27 JUNI 1994 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPORT (EPTE). 331. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 27 JUNI 1994) NOMOR 128/KP/VI/94 TANGGAL 27 JUNI 1994 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI KAWASAN BERIKAT. 332. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 10 JUNI 1993) NOMOR 133/KP/VI/1993 TANGGAL 10 JUNI 1993 TENTANG RASIO IMPOR BUNGKIL KACANG KEDELAI DENGAN PENYERAPAN BUNGKIL KACANG KEDELAI PRODUKSI DALAM NEGERI. 333. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 10 JUNI 1993) NOMOR 135/KP/VI/1993 TANGGAL 10 JUNI 1993 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI KAWASAN BERIKAT. 334. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 10 JUNI 1993) NOMOR 134/KP/VI/1993 TANGGAL 10 JUNI 1993 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE). 335. KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN, MENTERI KEUANGAN DAN GUBERNUR BANK INDONESIA (PAKET 10 JUNI 1993) NOMOR 136/KPB/VI/93, NOMOR 648/KMK.01/1993 DAN NOMOR 26/1/KEP/GBI TANGGAL 10 JUNI 1993 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN, MENTERI KEUANGAN DAN GUBERNUR BANK INDONESIA NOMOR 138/KPB/V/86,319/KMK.01/1986, DAN 19/7/KEP/GBI TENTANG TATA CARA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI KAWASAN BONDED. 336. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN (PAKET 10 JUNI 1993) NOMOR 115/M/SK/6/1993 TANGGAL 10 JUNI 1993 TENTANG PENDAFTARAN TIPE KENDARAAN BERMOTOR. 337. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN (PAKET 10 JUNI 1993) NOMOR 114/M/SK/6/1993 TANGGAL 10 JUNI 1993 TENTANG PENETAPAN TINGKAT KANDUNGAN LOKAL KENDARAAN BERMOTOR ATAU KOMPONEN BUATAN DALAM NEGERI. 338. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN (PAKET 23 OKTOBER 1993) NOMOR 313/KP/X/1993 TANGGAL 23 OKTOBER 1993 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI KAWASAN BERIKAT.

335

339. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 23 OKTOBER 1993) NOMOR 231/M/SK/10/1993 TANGGAL 23 OKTOBER 1993 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN NO.30/M/SK/4/1991 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN PENETAPAN KAWASAN INDUSTRI YANG DIBERI STATUS KAWASAN BERIKAT 340. KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN DAN MENTERI PERINDUSTRIAN (PAKET 23 OKTOBER 1993) NOMOR 310/KPB/X/1993 DAN NOMOR 232/M/SK/X/1993 TANGGAL 23 OKTOBER 1993 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN NO.201/KPB/VII/92 DAN NO.107/M/SK/VII/1 341. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 23 OKTOBER 1993) NOMOR 312/KP/X/1993 TANGGAL 23 OKTOBER 1993 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE). 342. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 23 OKTOBER 1993) NOMOR 309/KP/X/1993 TANGGAL 23 OKTOBER 1993 TENTANG BARANG-BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA. 343. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 23 OKTOBER 1993) NOMOR 230/M/SK/10/1993 TANGGAL 23 OKTOBER 1993 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN NO.291/M/SK/10/1989 TENTANG TATA CARA PERIZINAN DAN STANDAR TEKNIS KAWASAN INDUSTRI. 344. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 23 OKTOBER 1993) NOMOR 311/KP/X/1993 TANGGAL 23 OKTOBER 1993 TENTANG PENYEDERHANAAN IMPOR MESIN, PERALATAN MESIN DAN BARANG MODAL LAINNYA DALAM KEADAAN BUKAN BARU. 345. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 6 JULI 1992) NOMOR 200/KP/VII/92 TANGGAL 6 JULI 1992 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN 135/KP/VI/1991 TENTANG BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 197/KP/VIII/91 346. KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN DAN MENTERI PERINDUSTRIAN (PAKET 6 JULI 1992) NOMOR 201/KPB/VII/92 DAN NOMOR 107/M/SK/VII/1992 TANGGAL 6 JULI 1992 TENTANG IMPOR MESIN, PERALATAN MESIN DAN BARANG MODAL LAINNYA DALAM KEADAAN BUKAN BARU 347. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 3 JUNI 1991) NOMOR 135/KP/VI/91 TANGGAL 3 JUNI 1991 TENTANG BARANG-BARANG YANG DIATUR TATA NIAGA IMPORNYA. 348. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 3

336

JUNI 1991) NOMOR 137/KP/VI/91 TANGGAL 3 JUNI 1991 TENTANG PENYEDERHANAAN KETENTUANKETENTUAN DI BIDANG EKSPOR. 349. PENYABUTAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN DAN KOPERASI, MENTERI PERTANIAN DAN MENTERI PERINDUSTRIAN NO.275/KPB/XII/78,NO.764/KPTS/UM/12/1978,DAN NO.252/M/SK/12/1978 TENTANG PENGADAAN MINYAK NABATI KEBUTUHAN DALAM NEGERI. 350. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 28 MEI 1990) NOMOR 145/KP/V/90 TANGGAL 28 MEI 1990 TENTANG PEMBEBASAN SAYUR MAYUR DARI SUMATERA UTARA DARI KETENTUAN TATA NIAGA EKSPOR. 351. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 28 MEI 1990) NOMOR 140/KP/V/90 TANGGAL 28 MEI 1990 TENTANG PENCABUTAN PENGUKUHAN PEMBENTUKAN KELOMPOK EKSPORTIR TERDAFTAR KOPI DAN BADAN PEMASARAN BERSAMA (MARKETING GROUP) EKSPORTIR KOPI INDONESIA. 352. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 28 MEI 1990) NOMOR 147/KP/V/90 TANGGAL 28 MEI 1990 TENTANG PERUBAHAN DAN PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN NO.375/KP/VI/1988 TANGGAL 21 NOPEMBER 1988. 353. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 28 MEI 1990) NOMOR 141/KP/V/90 TANGGAL 28 MEI 1990 TENTANG PEMBEBASAN PALA/BUNGA PALA DARI KETENTUAN TATA NIAGA EKSPOR. 354. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 28 MEI 1990) NOMOR 146/KP/V/90 TANGGAL 28 MEI 1990 TENTANG TATA NIAGA EKSPOR KAYU CENDANA, LAKA DAN GAHARU. 355. KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERTANIAN, MENTERI KESEHATAN DAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 28 MEI 1990) NOMOR 363/KPTS/IK.120/5/1990, NOMOR 248/MENKES/SKB/V/1990 DAN NOMOR 143/KPB/V/90 TANGGAL 28 MEI 1990 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN INSTRUKSI PRESIDEN 2/1990 TENTANG 356. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 28 MEI 1990) NOMOR 142/KP/V/90 TANGGAL 28 MEI 1990 TENTANG PEMBEBASAN EKSPOR TENGKAWANG DARI KETENTUAN TATA NIAGA EKSPOR. 357. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 21 NOVEMBER 1988) NOMOR 378/KP/XI/1988 TANGGAL 21 NOPEMBER 1988 TENTANG PENYEDERHANAAN KETENTUAN MASA BERLAKU ANGKA PENGENAL IMPOR TERBATAS (APIT). 358. KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERDAGANGAN DAN MENTERI PERHUBUNGAN (PAKET 21 NOVEMBER 1988) NOMOR 371/KPB/XI/1988 DAN

337

NOMOR KM 81 TANGGAL 21 NOPEMBER 1988 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN PENYEDIAAN INFORMASI MUATAN DAN RUANG KAPAL 359. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 21 NOVEMBER 1988) NOMOR 372/KP/XI/88 TANGGAL 21 NOPEMBER 1988 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN NO.1458/KP/XII/1984 TENTANG SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN (SIUP). 360. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 21 NOVEMBER 1988) NOMOR 374/KP/XI/1988 TANGGAL 21 NOPEMBER 1988 TENTANG PENDAFTARAN KEMBALI IMPORTIR UMUM (IU). 361. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 21 NOVEMBER 1988) NOMOR 375/KP/XI/1988 TANGGAL 21 NOPEMBER 1988 TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN NO.333/KP/XII/87 TGL.23 DESEMBER 1987 TENTANG PENYEDERHANAAN KETENTUAN TATA NIAGA IMPO 362. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 21 NOVEMBER 1988) NOMOR 377/KP/XI/1988 TANGGAL 21 NOPEMBER 1988 TENTANG GUDANG DAN JASA PERGUDANGAN (VEEM). 363. KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN (PAKET 21 NOVEMBER 1988) NOMOR 376/KP/XI/1988 TANGGAL 21 NOPEMBER 1988 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PERDAGANGAN NO.77/KP/III/78 TENTANG KETENTUAN MENGENAI KEGIATAN PERDAGANGAN TERBATAS BAGI PERUSAHAAN PRODUKSI

338

LAMPIRAN 3 SUPPLY-DEMAND STATUS NSPK KE DALAM KATEGORI S1, S2, DAN S3.
Keterangan:
S1 : belum ada sama sekali S2 : dalam proses atau sudah kuno S3 : sudah ada

339

1. BIDANG PENDIDIKAN
SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1.a. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di provinsi sesuai dengan kebijakan nasional. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1.a. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional dan provinsi. KEBUTUHAN NSPK PERLU TIDAK 1 KETERANGAN STATUS NSPK S1 S2 S3 1 KETERANGAN

1. Kebijakan

1. Kebijakan dan Standar

1.a. Penetapan kebijakan nasional pendidikan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMENDIKNAS RI NO: 1 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN PENGGUNAAN NAMA DEPAR TEMEN PENDIDIKAN NASIONAL MENJADI KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: TAHUN 2010 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL TAHUN 2010-2014 PERMENDIKNAS RI NO:0 TAHUN 2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR, DAN KRITERIA DI BIDANG PENDIDIKAN PERMENDIKNAS RI NO: 46 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN UMUM EJAAN BAHASA INDONESIA YANG DISEMPURNAKAN PERMENDIKNAS RI NO: 71 TAHUN 2009 TENTANG MEKANISME PENDIRIAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN YANG MENYELENGGARAKAN PENDIDIKAN DASAR DAN/ATAU MENENGAH DAN PENGAKUAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN DASAR DAN/ATAU MENENGAH SEBAGAI BADAN HUKUM PENDIDIKAN

PERMENDIKNAS RI NO: 32 TAHUN 2009 TENTANGMEKANISME PENDIRIAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN, PERUBAHAN BADAN HUKUM MILIK NEGARA ATAU PERGURUAN TINGGI, DAN PENGAKUAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI BADAN HUKUM PENDIDIKAN PERMENDIKNAS RI NO: 72 TAHUN 2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN KEPADA GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI TAHUN ANGGARAN 2010 PERMENDIKNAS RI NO: 4 TAHUN 2008 TENTANG KALENDER PERHELATAN PENDIDIKAN NASIONAL TAHUN 2008 PERMENDIKNAS RI NO: 14 TAHUN 2008 TENTANG INDIKATOR KINERJA KUNCI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 9 TAHUN 2007 TENTANG PROSEDUR PENYIAPAN BAHAN RAPAT ATAU LAPORAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL KEPADA PRESIDEN, WAKIL PRESIDEN, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAER AH, DAN/ATAU MENTERI KOORDINATOR

341

PERMENDIKNAS RI NO: 15 TAHUN 2007 TENTANG SISTEM PERENCANAAN TAHUNAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO:6 TAHUN 2007 TENTANG KERJASAMA PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA DENGAN PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN DL LUAR NEGERI PERMENDIKNAS RI NO: 30 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN REKENING DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO:2 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERTIMB ANGAN JABATAN DAN KEPANGKATAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 4 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN GERAI INFORMASI DAN MEDIA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 17 TAHUN 2005 TENTANG MARS SEKOLAH MENENGAH PERTAMA TERBUKA PERMENDIKNAS RI NO:5 TAHUN 2005 TENTANG TATA TERTIB RAPAT PIMPINAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

342

PERMENDIKNAS RI NO: 35 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PENUNTASAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR SEMBILAN TAHUN DAN PEMBERANTASAN BUTA AKSARA b.Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program pendidikan antar provinsi. b. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program pendidikan antar kabupaten/kota. b. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan 1 KEPMENDIKNAS R I NO: 107/U/2001 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN TINGGI JARAK JAUH

PERMENDIKNAS RI NO: 81 TAHUN 2009 TENTANG KOORDINASI DAN PENGENDALIAN PROGRAM DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL TAHUN ANGGARAN 2010 PERMENDIKNAS RI NO:7 TAHUN 2006 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DI LINGKUNGAN PUSAT-PUSAT c. Perencanaan strategis pendidikan nasional. c. Perencanaan strategis pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis pendidikan nasional. c. Perencanaan operasional program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis tingkat provinsi dan nasional. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan 1 PERMENDIKNAS RI NO: 36 TAHUN 2009 TENTANG PROGRAM P AKET C KEJURUAN

PERMENDIKNAS RI NO: 70 TAHUN 2009 TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA

343

2.a. Pengembangan dan penetapan standar nasional pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan).

2.a.

2.a.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

KEPMENDIKNAS R I NO: 178/U/2001 TENTANG GELAR DAN LULUSAN PERGURUAN TINGGI

PERMENDIKNAS RI NO: 6 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH PERMENDIKNAS RI NO:0 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN b. Sosialisasi standar nasional pendidikan dan pelaksanaannya pada jenjang pendidikan tinggi. b. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat provinsi. b. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 PERMENDIKNAS RI NO: 58 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

344

3. Penetapan pedoman pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal.

3. Koordinasi atas pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas kabupaten/kota, untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.

3. Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENDIKNAS RI NO: 14 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR ISI UNTUK PROGRAM PAKET A, PROGRAM PAKET B, DAN PROGRAM PAKET C KEPMENDIKNAS R I NO: 045/U/2002 TENTANG KURIKULUM INTI PENDIDIKAN TINGGI

PERMENDIKNAS RI NO: 40 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PENGUJI PADA KURSUS DAN PELATIHAN PERMENDIKNAS RI NO: 41 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PEMBIMB ING PADA KURSUS DAN PELATIHAN PERMENDIKNAS RI NO: 42 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PENGELOLA KURSUS PERMENDIKNAS RI NO: 44 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PENGELOLA PENDIDIKAN PADA PROGRAM PAKET A, PAKET B , DAN PAKET C PERMENDIKNAS RI NO: 1 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR PROSES PENDIDIKAN KHUSUS TUNANETRA, TUNARUNGU, TUNAGRAHITA, TUNADAKSA, DAN TUNALARAS

345

PERMENDIKNAS RI NO: 3 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR PROSES PENDIDIKAN KESETARAAN PROGRAM PAKET A, PROGRAM PAKET B, DAN PROGRAM P AKET C PERMENDIKNAS RI NO: 19 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN OLEH SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH PERMENDIKNAS RI NO: 1 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN KEWENANGAN KEPADA EMPAT PERGURUAN TINGGI BADAN HUKUM MILIK NEGARA UNTUK MEMBUKA DAN MENUTUP PROGRAM STUDI PADA PERGURUAN TINGGI YANG BERSANGKUTAN 4. Penetapan kebijakan tentang satuan pendidikan bertaraf internasional dan satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal. 5.a. Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin perguruan tinggi. 4. 4. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. 1 1 PERMENDIKNAS RI NO:5 TAHUN 2007 TENTANG PERSYARATAN DAN PROSEDUR BAGI WARGA NEGARA ASING UNTUK MENJADI MAHASISWA PADA PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA NSPK Urusan Izin Pendirian dan Pencabutan Perguruan Tinggi

5.a.

b.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional.

b.

5.a. Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar, satuan pendidikan menengah dan satuan/penyelenggara pendidikan nonformal. b.

346

c. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional d.

c. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. d.

c. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. 1

PERMENDIKNAS RI NO: 78 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL PADA JENJANG PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

d.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar danmenengah berbasis keunggulan lokal.

NSPK pemberian izin dan pencabutan izin satuan pendidikan dasar

e.

e.

e. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan berbasis keunggulan lokal pada pendidikan dasar dan menengah.

6. Pengelolaan dan/atau penyelenggaraan pendidikan tinggi.

6. Pemberian dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi.

6. Pemberian dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi.

PERMENDIKNAS RI NO: 7 TAHUN 2008 TENTANG STATUTA POLITEKNIK NEGERI SEMARANG

PERMENDIKNAS RI NO: 11 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIVERSITAS CENDERAWASIH

347

PERMENDIKNAS RI NO: 16 TAHUN 2010 TENTANG STATUTA UNIVERSITAS TADULAKO PERMENDIKNAS RI NO: TAHUN 2009 TENTANG STATUTA UNIVERSITAS NUSA CENDANA PERMENDIKNAS RI NO: 4 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO PERMENDIKNAS RI NO: 14 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS BENGKULU PERMENDIKNAS RI NO: 17 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS SRIWIJAYA PERMENDIKNAS RI NO:3 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS ANDALAS PERMENDIKNAS RI NO:4 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA PERMENDIKNAS RI NO: 10 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 276/O/1999 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIVERSITAS NEGERI PADANG PERMENDIKNAS RI NO:7 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS HALUOLEO

348

PERMENDIKNAS RI NO:5 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PERMENDIKNAS RI NO: 34 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKOLAH TINGGI INTELIJEN NEGARA PERMENDIKNAS RI NO: 35 TAHUN 2009 TENTANG STATUTA INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA PERMENDIKNAS RI NO: 38 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PERMENDIKNAS RI NO: 59 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG PERMENDIKNAS RI NO: 51 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMUM PADA UNIVERSITAS RIAU PERMENDIKNAS RI NO: 60 TAHUN 2009 TENTANG STATUTA SEKOLAH TINGGI INTELIJEN NEGARA PERMENDIKNAS RI NO: 65 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIVERSITAS DIPONEGORO PERMENDIKNAS RI NO: 10 TAHUN 2007 TENTANG STATUTA UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA PERMENDIKNAS RI NO:3 TAHUN 2007 TENTANG STATUTA UNIVERSITAS TERBUKA

349

PERMENDIKNAS RI NO:9 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA PERMENDIKNAS RI NO: 3 TAHUN 2006 TENTANG STATUTA POLITEKNIK NEGERI BANDUNG PERMENDIKNAS RI NO: 8 TAHUN 2006 TENTANG STATUTA INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR PERMENDIKNAS RI NO: 11 TAHUN 2006 TENTANG STATUTA UNIVERSITAS TRUNOJOYO PERMENDIKNAS RI NO: 12 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 274/O/1999 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA PERMENDIKNAS RI NO: 16 TAHUN 2006 TENTANG PENDIRIAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK PADA UNIVERSITAS NUSA CENDANA PERMENDIKNAS RI NO: 30 TAHUN 2006 TENTANG STATUTA POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKAJENE DAN KEPULAUAN PERMENDIKNAS RI NO: 32 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 042/U/2000 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENETAPAN PERGURUAN TINGGI NEGERI SEBAGAI BADAN HUKUM

350

7. Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan bertaraf internasional.

7. Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan bertaraf internasional.

7. Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

PERMENDIKNAS RI NO: 16 TAHUN 2005 TENTANG STATUTA UNIVERSITAS AIRLANGGA NSPK urusan Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan bertaraf internasional.

8. Penyelenggaraan sekolahIndonesia di luar negeri. 9. Pemberian izin pendirian, pencabutan izin penyelenggaraan, dan pembinaan satuan pendidikan Asing di Indonesia. 10.a. Pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan secara nasional.

8.

8.

9.

9.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

10. a.

10. a.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENDIKNAS RI NO: 13 TAHUN 2006 TENTANG JADWAL RETENSI ARSIP SUBSTANTIF DAN FASILITATIF DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO:6 TAHUN 2006 TENTANG JADWAL RETENSI ARSIP SUBSTANTIF DAN FASILITATIF DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI NEGERI DAN KOORDINASI PERGURUAN TINGGI SWASTA PERMENDIKNAS RI NO: 42 TAHUN 2006 TENTANG TATA PERSURATAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

351

2. Pe mbiayaan

b. Peremajaan data dalam sistem informasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat nasional. 1.a. Penetapan pedoman pembiayaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan nonformal.

b. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat provinsi. 1.a.

b. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat kabupaten/kota.

1.a.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENDIKNAS RI NO: 37 TAHUN 2006 TENTANG TATA KEARSIPAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL NSPK Urusan data dalam sistem informasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat nasional.

PERMENDIKNAS RI NO: 5 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) BIDANG PENDIDIKAN TAHUN ANGGARAN 2010

PERMENDIKNAS RI NO: 18 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) BIDANG PENDIDIKAN TAHUN ANGGARAN 2010 UNTUK SD/SDLB PERMENDIKNAS RI NO: 19 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) BIDANG PENDIDIKAN TAHUN ANGGARAN 2010 UNTUK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)

352

PERMENDIKNAS RI NO: 69 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR BIAYA OPERASI NONPERSONALIA TAHUN 2009 UNTUK SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH (SD/MI), SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTS), SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH (SMA/MA), SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK), SEKOLAH DASAR LUAR BIASA (SDLB), SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA (SMPLB), DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA (SMALB) PERMENDIKNAS RI NO: 16 TAHUN 2008 TENTANG SISTEM AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 44 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN UNTUK LEMBAGA PENDIDIKAN YANG DISELENGGARAKAN OLEH MASYARAKAT DAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN PERMENDIKNAS RI NO: 14 TAHUN 2006 TENTANG LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA PERMENDIKNAS RI NO: 7 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN BANTUAN KEPADA LEMBAGA PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL

b.Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi sesuai kewenangannya.

b.Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya.

b.Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

353

PERMENDIKNAS RI NO:0 TAHUN 2009 TENTANG BEASISWA UNGGULAN PERMENDIKNAS RI NO: 57 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN BANTUAN PENGEMBANGAN SEKOLAH SEHAT PERMENDIKNAS RI NO: 19 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN TUNJANGAN DARMASISWA KEPADA MAHASISWA ASING YANG BELAJAR DL INDONESIA PERMENDIKNAS RI NO: 2 TAHUN 2005 SUBSIDI SILANG BIAYA OPERASI PERGURUAN TINGGI c. Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya. c. Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya. c. Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 PERMENDIKNAS NO 63 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

3. Kurikulum

1.a. Penetapan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. b. Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

1.a. Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.

1.a. Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar.

NSPK Urusan kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

b. Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

b. Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

354

c. Penetapan standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah, dan sosialisasinya. 2.a. Pengembangan model kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan.

c. Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan menengah.

c. Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

PERMENDIKNAS RI NO:8 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK)/MADRASAH ALIYAH KEJURUAN (MAK)

2.a.

2.a.

NSPK Urusan kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

3. Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah. 3. Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.

b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar. 3. Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

355

4. Sarana dan Prasarana

1.a. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan.

1.a. Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan menengah.

1.a. Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENDIKNAS RI NO: 11 TAHUN2007 TENTANG PENGGUNAAN DAN PENGELOLAAN GEDUNG DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERLOKASI DI KOMPLEKS JALAN JENDERAL SUDIRMAN SENAYAN JAKARTA, JALAN R.S FATMAWATI CIPETE JAKARTA, JALAN GUNUNG SAHARI JAKARTA, GUDANG CIKETING BEKASI, DAN WISMA ARGA MULYA CISARUA BOGOR PERMENDIKNAS RI NO:4 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR SARANA DAN PRASARANA UNTUK SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH (SD/MI), SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTS), DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH (SMA/MA) PERMENDIKNAS RI NO: 13 TAHUN 2008 TENTANG HARGA ECERAN TERTINGGI BUKU TEKS PELAJARAN YANG HAK CIPTANYA DIBELI OLEH DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 9 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN BUKU TEKS PELAJARAN YANG MEMENUHI SYARAT KELAYAKAN UNTUK DIGUNAKAN DALAM PROSES PEMBELAJARAN

b.Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.

b.Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.

b. Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

2.a. Penetapan standar dan pengesahan kelayakan buku pelajaran.

2.a.

2.a.

356

PERMENDIKNAS RI NO: TAHUN 2008 TENTANGBUKU b. b. Pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan menengah. b.Pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. 1.a. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya.

5. Pendidik dan Tenaga Kependidika n

1.a. Perencanaan kebutuhan dan pengadaan pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional.

1.a. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan untuk pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENDIKNAS RI NO: 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMENUHAN KEBUTUHAN, PENINGKATAN PROFESIONALISME, DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN GURU, KEPALA SEKOLAH/MADRASAH, DAN PENGAWAS DI KAWASAN PERBATASAN DAN PULAU KECIL TERLUAR PERMENDIKNAS RI NO: 1 TAHUN 2009 TENTANG STAF AHLI MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 5 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DI LINGKUNGAN INSPEKTORAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 43 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR TENAGA ADMINISTRASI PENDIDIKAN PADA PROGRAM P AKET A, PAKET B, DAN PAKET C

357

PERMENDIKNAS RI NO: 6 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN KEPALA SEKOLAH PERMENDIKNAS RI NO: 66 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN IZIN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN ASING PADA SATUAN PENDIDIKAN FORMAL DAN NONFORMAL DI INDONESIA PERMENDIKNAS RI NO: 6 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN KUASA KEPADA PEJABAT TERTENTU UNTUK MENANDATANGANI PENETAPAN HASIL SELEKSI CALON PESERTA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEPEMIMPINAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 8 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PUSAT PENGEMBANGAN PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMA PERMENDIKNAS RI NO:20 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN INPASSING PANGKAT DOSEN BUKAN PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG TELAH MENDUDUKI JABATAN AKADEMIK PADA PERGURUAN TINGGI YANG DISELENGGARAKAN OLEH MASYARAKAT DENGAN PANGKAT PEGAWAI NEGERI SIPIL PERMENDIKNAS RI NO:2 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DI LINGKUNGAN SEKRETARIAT JENDERAL

358

PERMENDIKNAS RI NO:1 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PERMENDIKNAS RI NO: 8 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PERMENDIKNAS RI NO:8 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL PERMENDIKNAS RI NO: 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN PERMENDIKNAS RI NO: 6 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN KUASA KEPADA PEJABAT TERTENTU UNTUK MENANDATANGANI PENETAPAN HASILSELEKSI CALON PESERTA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEPEMIMPINAN DL LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 9 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENATAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN UNIT UTAMA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

359

PERMENDIKNAS RI NO:20 TAHUN 2006 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DL LINGKUNGAN INSPEKTORAT JENDERAL PERMENDIKNAS RI NO:1 TAHUN 2006 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DL LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI PERMENDIKNAS RI NO:5 TAHUN 2006 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DL LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH PERMENDIKNAS RI NO:2 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

b.

b. Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk satuan pendidikan bertaraf internasional.

b. Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya.

2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar provinsi.

2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar kabupaten/kota.

2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS di kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk satuan pendidikan bertaraf internasional.

PERMENDIKNAS RI NO: 19 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN TUNJ ANGAN KEHORMATAN PROFESOR

360

PERMENDIKNAS RI NO: 31 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN KUASA KEPADA DIREKTUR JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN UNTUK MENANDATANGANI KEPUTUSAN PEMBERIAN TUNJANGAN PROFESI GURU, TUNJANGAN KHUSUS BAGI GURU YANG BERTUGAS DI DAERAH KHUSUS, B ANTUAN KESEJAHTERAAN GURU DI DAERAH TERTINGGAL, DAN SUBSIDI TUNJANGAN FUNGSIONAL BAGI GURU NON PEGAWAI NEGERI SIPIL PERMENDIKNAS RI NO: 18 TAHUN 2008 TENTANG PENYALURAN TUNJ ANGAN PROFESI DOSEN PERMENDIKNAS RI NO: 7 TAHUN 2006 TENTANG HONORARIUM GURU BANTU PERMENDIKNAS RI NO: 17 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN DELEGASI WEWENANG KEPADA PEJABAT TERTENTU UNTUK MENETAPKAN PENYESUAIAN GAJI POKOK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL 3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan. 3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional. 3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 PERMENDIKNAS RI NO: 8 TAHUN 2009 TENTANG PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI GURU PRA JABATAN

361

nonformal.

PERMENDIKNAS RI NO: 61 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN KUASA DAN DELEGASI WEWENANG PELAKSANAAN KEGIATAN ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN KEPADA PEJABAT TERTENTU DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 9 TAHUN 2008 TENTANG PERPANJANGAN BATAS USIA PENSIUN PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG MENDUDUKI JABATAN GURU BESAR/PROFESOR DAN PENGANGKATAN GURU BESAR/PROFESOR EMERITUS PERMENDIKNAS RI NO:4 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR TENAGA ADMINISTRASI SEKOLAH/MADRASAH PERMENDIKNAS RI NO:5 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR TENAGA PERPUSTAKAAN SEKOLAH/MADRASAH PERMENDIKNAS RI NO:6 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR TENAGA LABORATORIUM SEKOLAH/MADRASAH PERMENDIKNAS RI NO:7 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI KONSELOR

362

PERMENDIKNAS RI NO:7 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI KONSELOR PERMENDIKNAS RI NO: 13 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR KEPALA SEKOLAH/MADRASAH PERMENDIKNAS RI NO: 18 TAHUN 2005 TENTANG PENETAPAN ANGKA KREDIT JABATAN FUNGSIONAL GURU PERMENDIKNAS RI NO: 31 TAHUN 2005 TENTANG PEMBINAAN UNIT PELAKSANA TEKNIS PUSAT PENATAR AN DAN PENGEMBANGAN GURU, LEMBAGA PENJAMIN MUTU PENDIDIKAN, DAN BALAI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH DAN PEMUDA

4.a. Perencanaan kebutuhan, pengangkatan, dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan bagi unit organisasi di lingkungan departemen yang bertanggungjawab di bidang kependidikan.

4.a. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional.

4.a. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENDIKNAS RI NO: 41 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN KUASA KEPADA PEJABAT TERTENTU DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNTUK MENANDATANGANI SURAT PERINTAH MELAKUKAN PEMERIKSAAN TERHADAP PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG DISANGKA MELAKUKAN PELANGGARAN DISIPLIN

363

b. Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS karena pelanggaran peraturan perundangundangan.

b.Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan bertaraf internasional selain karena alasan pelanggaran peraturan perundangundangan

5.

5. Pengalokasian tenaga potensial pendidik dan tenaga kependidikan di daerah.

b. Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal selain karena alasan pelanggaran peraturan perundangundangan. 5.

6. Sertifikasi pendidik.

6.

6.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK urusan tenaga potensial pendidik dan tenaga kependidikan di daerah.

KEPMENDIKNAS R I NO: 057/O/2007 TENTANG PENETAPAN PERGURUAN TINGGIPENYELENGGARA SERTIFIKASI BAGI GURU DALAM JABATAN

PERMENDIKNAS RI NO: 47 TAHUN 2009 TENTANG SERTIFIKASI PENDIDIK UNTUK DOSEN PERMENDIKNAS RI NO: 10 TAHUN 2009 TENTANG SERTIFIKASI BAGI GURU DALAM JABATAN

364

6. Pe ngendalian Mutu Pe ndidikan

1. Penilaian Hasil Belajar

1. Penetapan pedoman, bahan ujian, pengendalian pemeriksaan, dan penetapan kriteria kelulusan ujian nasional.

1.

1.

2. Pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.

2. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.

2. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENDIKNAS RI NO: 15 TAHUN 2008 TENTANG UJIAN NASIONAL PENDIDIKAN KESETARAAN TAHUN 2008

PERMENDIKNAS RI NO: 3 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 84 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 75 TAHUN 2009 TENTANG UJIAN NASIONAL SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTS), SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA (SMPLB), SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH (SMA/MA), SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA (SMALB), DAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) TAHUN PELAJARAN 2009/2010 PERMENDIKNAS RI NO: 4 TAHUN 2010 TENTANG UJIAN SEKOLAH/MADRASAH TAHUN PELAJARAN 2009/2010 PERMENDIKNAS RI NO: 15 TAHUN 2009 TENTANG UJIAN SEKOLAH/MADRASAH TAHUN PELAJARAN 2008/2009

365

PERMENDIKNAS RI NO: 74 TAHUN 2009 TENTANG UJIAN AKHIR SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (UASBN) SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH/ SEKOLAH DASAR LUAR BIASA (SD/MI/SDLB) TAHUN PELAJARAN 2009/2010 PERMENDIKNAS RI NO: 84 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 75 TAHUN 2009 TENTANG UJIAN NASIONAL SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTS), SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA (SMPLB), SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH (SMA/MA), SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA (SMALB), DAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) TAHUN PELAJARAN 2009/2010 PERMENDIKNAS RI NO: 76 TAHUN 2009 TENTANG UJIAN NASIONAL PROGRAM PAKET C KEJURUAN TAHUN 2009 PERMENDIKNAS RI NO: 77 TAHUN 2009 TENTANG UJIAN NASIONAL PROGRAM PAKET A, PROGRAM P AKET B, PROGRAM PAKET C, DAN PROGRAM PAKET C KEJURUAN TAHUN 2010 PERMENDIKNAS RI NO:1 TAHUN 2009 TENTANG UJIAN NASIONAL UNTUK PROGRAM PAKET A, PROGRAM PAKET B, DAN PROGRAM PAKET C TAHUN 2009

366

3. Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian nasional. 4. Penyediaan blanko ijazah dan/atau sertifikat ujian nasional.

3. Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala provinsi. 4.

3. Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala kabupaten/kota. 4.

5. Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian nasional.

5. Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala provinsi.

5. Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala kabupaten/kota.

2. Evaluasi

1.a. Penetapan pedoman evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan. b.Pelaksanaan evaluasi nasional terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan.

1.a.

1.a.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian nasional.

PERMENDIKNAS RI NO:6 TAHUN 2009 TENTANG PENILAIAN IJAZAH LULUSAN PERGURUAN TINGGI LUAR NEGERI

NSPK Urusan Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian nasional.

NSPK Urusan Penetapan pedoman evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan.

2.a. Penetapan pedoman evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan.

b.Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenispendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi. 2.a.

b.Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota. 2.a. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 NSPK Urusan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan.

367

b. Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan.

3. Akreditasi

1.a. Penetapan pedoman akreditasi pendidikan jalur pendidikan formal dan non formal.

b. Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikanmenengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi. 1.a.

b.Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota.

1.a.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENDIKNAS RI NO: 11 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA DAN PERANGKAT AKREDITASI SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH (SD/MI) PERMENDIKNAS RI NO: 56 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA DAN PERANGKAT AKREDITASI SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA PERMENDIKNAS RI NO: 55 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA DAN PERANGKAT AKREDITASI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA PERMENDIKNAS RI NO: 53 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA DAN PERANGKAT AKREDITASI TAMAN KANAKKANAK LUAR BIASA PERMENDIKNAS RI NO: 68 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN AKREDITASI BERKALA ILMIAH PERMENDIKNAS RI NO: 52 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA DAN PERANGKAT AKREDITASI TAMAN KANAKKANAK/RAUDHATUL ATHFAL (TK/RA)

368

b.Pelaksanaan akreditasi pendidikan jalur pendidikan formal dan nonformal.

b. Membantu pemerintah dalam pelaksanaan akreditasi pendidikan dasar dan menengah.

b. Membantu pemerintah dalam akreditasi pendidikan nonformal.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPMENDIKNAS R I NO: 004/U/2002 TENTANG AKREDITASI PROGRAM STUDI PADA PERGURUAN TINGGI

PERMENDIKNAS RI NO: 67 TAHUN 2009 TENTANG AKREDITASI BERKALA ILMIAH PERMENDIKNAS RI NO: 73 TAHUN 2009 TENTANG PERANGKAT AKREDITASI PROGRAM STUDI SARJANA (S1) PERMENDIKNAS RI NO:8 TAHUN 2005 TENTANG BADAN AKREDITASI NASIONAL PERGURUAN TINGGI 4. Penjaminan Mutu 1. Penetapan pedoman penjaminan mutu satuan pendidikan. 1. 1. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 PERMENDIKNAS RI NO: 48 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN TUGAS BELAJAR BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 63 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN PERMENDIKNAS RI NO: 16 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI GURU 2.a. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan dalam pelaksanaan penjaminan mutu untuk memenuhi standar nasional pendidikan. 2.a. 2.a. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 KEPMENDIKNAS R I NO: 184/U/2001 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN PENGENDALIAN DAN PEMBINAAN PROGRAM DIPLOMA, SARJANA DAN PASCASARJ ANA Dl PERGURUAN TINGGI

369

nasional pendidikan.

PERMENDIKNAS RI NO: 17 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PLAGIAT DI PERGURUAN TINGGI PERMENDIKNAS RI NO: 12 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA DAN PERANGKAT AKREDITASI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTS) PERMENDIKNAS RI NO: 13 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA DAN PERANGKAT AKREDITASI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN/MADRASAH ALIYAH KEJURUAN (SMK/MAK) PERMENDIKNAS RI NO: 16 TAHUN 2009 TENTANG SATUAN PENGAWASAN INTERN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGANGKATAN DEWAN PENGAWAS PADA PERGURUAN TINGGI NEGERI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL YANG MENERAPKAN PENGELOLAAN KEUANGAN B ADAN LAYANAN UMUM

370

PERMENDIKNAS RI NO: 37 TAHUN 2009 TENTANG TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERMENDIKNAS RI NO: 39 TAHUN 2009 TENTANG PEMENUHAN BEBAN KERJA GURU DAN PENGAWAS SATUAN PENDIDIKAN PERMENDIKNAS RI NO: 12 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENGAWAS SEKOLAH/MADRASAH NSPK Urusan Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.

b.Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.

b.Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.

b. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

c. -

c.

c. Supervisi dan Fasilitasi satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam penjaminan mutu.

d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminanmutu satuan pendidikan skala nasional.

d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala provinsi.

d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminanmutu satuan pendidikan skala nasional.

TOTAL DEMAND

44

TOTAL SUPPLY

15

28

44

371

2. BIDANG KESEHATAN
SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA KEBUTUHAN NSPK YA TIDAK STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 949/MENKES/SK/VIII/2004 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN SISTEM KEWASPADAAN DINI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3447) KETERANGAN

SUB BIDANG

PEMERINTAH

1. Upaya Kesehatan

1. Pengelolaan survailans epidemiologi kejadian luar biasa skala nasional.

1. Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala provinsi.

1. Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala kabupaten/kota

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. Pencegahan dan Pemberantasa n Penyakit

2. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular berpotensial wabah, dan yang merupakan komitmen global skala nasional dan internasional. 3. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala nasional.

2. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala provinsi.

2. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala provinsi.

3. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1479/Menkes/SK/X/ 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu

372

4. Penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala nasional.

4. Pengendalian operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala provinsi.

4. Penyelenggaraan operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1357/Menkes/SK/XII/2001 Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat Bencana dan Pengungsi, Keputusan Menteri Kesehatan No 828/MENKES/IX/2008, KEPMENKES NO. 145 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAM PENANGGULANGAN BENCANA BIDANG KESEHATAN

5. Pengelolaan karantina kesehatan skala nasional.

5.

5.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 173/Men. Kes/Per/VIII/77 TENTANG PENCEMARAN AIR DARI BADAN AIR UNTUK BERBAGAI KEGUNAAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KESEHATAN

1. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala nasional. 2. Lingkungan Sehat

1. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala provinsi.

1. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2.

2.

2. Penyehatan lingkungan.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 928/Menkes/Per/IX/1995 TENTANG PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN BIDANG KESEHATAN

373

1. Pengelolaan survailans kewaspadaan pangan dan gizi buruk skala nasional

1. Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala provinsi.

1. Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala kabupaten/kota

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1479/Menkes/SK/X/2004 Tentang Surveilans Gizi Buruk 1

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 1

3. Perbaikan Gizi Masyarakat

2.a. Pengelolaan penanggulangan gizi buruk skala nasional.

2.a. Pemantauan penanggulangan gizi buruk skala provinsi.

2.a. Penyelenggaraan penanggulangan gizi buruk skala kabupaten/kota.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor : 747/MENKES/SK/VI/2007 1

b.

b.

b.Perbaikan gizi keluarga dan masyarakat.

4. Pelayanan Kesehatan Perorangan dan Masyarakat

1. Pengelolaan pelayanan kesehatan haji skala nasional.

1. Bimbingan dan pengendalian pelayanan kesehatan haji skala provinsi.

1061/MENKES/SK/XI/2008 PENETAPAN RUMAH SAKIT RUJUKAN HAJI 1

1. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan haji skala kabupaten/kota.

374

2. Pengelolaan upaya kesehatan dan rujukan nasional.

2. Pengelolaan pelayanan kesehatan rujukan sekunder dan tersier tertentu.

2. Pengelolaan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan sekunder skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 331/MENKES/SK r'/2006. TENTANG. RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN KESEHATAN, 1. PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NO.741/MENKES/PER/VII/2008 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL DI KABUPATEN/KOTA

3. Bimbingan dan pengendalian upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala provinsi

3. Penyelenggaraan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 331 Tahun 2006 tentang Rencana. Strategis Departemen Kesehatan. 1

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundangundangan.

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundangundangan.

NSPK tentang Tata Cara Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan 1

5.a. Pemberian izin sarana kesehatan tertentu.

5.a. Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 81/Menkes/SK/l/ 2004 1

5.a. Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah dan provinsi.

375

b. Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas B non pendidikan, rumah sakit khusus, rumah sakit swasta serta sarana kesehatan penunjang yang setara.

b. Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas C, Kelas D, rumah sakit swasta yang setara, praktik berkelompok, klinik umum/spesialis, rumah bersalin, klinik dokter keluarga/dokter gigi keluarga, kedokteran komplementer, dan pengobatan tradisional, serta sarana penunjang yang setara.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 806b/Menkes/SK/XII/1987 tentang Klasifikasi Rumah Sakit Umum Swasta

1.a. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria bidang jaminan pemeliharaan kesehatan.

1.a. Pengelolaan/penyelen ggaraan, bimbingan, pengendalian jaminan pemeliharaan kesehatan skala provinsi.

1.a. Pengelolaan/penyelengg araan, jaminan pemeliharaan kesehatan sesuai kondisi lokal.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Pembiayaan Kesehatan

1. Pembiayaan Kesehatan Masyarakat

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 274/Menkes/SK/III/2008 TENTANG PEDOMAN REKRUTMEN TENAGA PELAKSANA VERIFIKASI DALAM PELAKSANAAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT (JAMKESMAS) Kep utusan Menteri Kesehatan No 828/MENKES/IX/2008 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 274/Menkes/SK/III/2008 TENTANG PEDOMAN REKRUTMEN TENAGA PELAKSANA VERIFIKASI DALAM PELAKSANAAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT (JAMKESMAS)

b.Pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional.

b.Bimbingan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan).

b.Penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan).

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

376

1. Pengelolaan tenaga kesehatan strategis.

1. Penempatan tenaga kesehatan strategis, pemindahan tenaga tertentu antar kabupaten/kota skala provinsi.

1. Pemanfaatan tenaga kesehatan strategis.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengelolaan tenaga kesehatan strategis. 1

2. Pendayagunaan tenaga kesehatan makro skala nasional.

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATA177/MENKES/PB/X II/2008 Tahun 2008 1

2. Pendayagunaan tenaga kesehatan skala provinsi.

2. Pendayagunaan tenaga kesehatan skala kabupaten/kota.

3. Sumber Daya Manusia Kesehatan

1. Peningkatan Jumlah, Mutu dan Penyebaran Tenaga Kesehatan

3. Pembinaan dan pengawasan pendidikan dan pelatihan (diklat) dan Training Of Trainer (TOT) tenaga kesehatan skala nasional 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan skala nasional sesuai peraturan perundangundangan. 5. Pemberian izin tenaga kesehatan asing sesuai peraturan perundangundangan.

3. Pelatihan diklat fungsional dan teknis skala provinsi.

3. Pelatihan teknis skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 331/Menkes/SK/V/2006 Tahun. 2006 tentang Rencana Strategis Departemen Kesehat 1

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala provinsi sesuai peraturan perundang-undangan.

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala kabupaten/kota sesuai peraturan perundangundangan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 1

5. Pemberian rekomendasi izin tenaga kesehatan asing.

5. Pemberian izin praktik tenaga kesehatan tertentu.

PMK No. 317 Peraturan Menteri Kesehatan No. 317 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Di Indonesia 1

377

1. Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat nasional, alat kesehatan tertentu, reagensia tertentu dan vaksin tertentu skala nasional. 2.a. Registrasi, akreditasi, sertifikasi komoditi kesehatan sesuai peraturan perundangundangan.

1. Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat provinsi, alat kesehatan, reagensia dan vaksin lainnya skala provinsi.

1. Penyediaan dan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat kesehatan, reagensia dan vaksin skala kabupaten/kota

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan MenKes RI No. 1239/Menkes/SK/XI/2001

4. Obat dan Pe rbekalan Kesehatan

1. Ketersediaan, Pemerataan, Mutu Obat dan Keterjangkau an Harga Obat Serta Perbekalan Kesehatan

2.a. Sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) Kelas II.

2.a. Pengambilan sampling/contoh sediaan farmasi di lapangan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 331/Menkes/SK/V/2006 1

b.

b.

b.Pemeriksaan setempat sarana produksi dan distribusi sediaan farmasi.

c.

c.

c. Pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga.

378

d.

d.

d.Sertifikasi alat kesehatan dan PKRT Kelas I.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 374/MENKES/ SK/V/2009 tentang Sistem Kesehatan Nasional 1

3.a. Pemberian izin industri komoditi kesehatan, alat kesehatan dan Pedagang Besar Farmasi (PBF).

3.a. Pemberian rekomendasi izin industri komoditi kesehatan, PBF dan Pedagang Besar Alat Kesehatan (PBAK).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 1

3.a. Pemberian rekomendasi izin PBF Cabang, PBAK dan Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT).

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 1332/Menkes/SK/IX/2002 1

b.

b.Pemberian izin PBF Cabang dan IKOT.

b.Pemberian izin apotik, toko obat.

5. Pe mberdayaan Masyarakat

1. Pemberdayaa n Individu, Keluarga dan Masyarakat Berperilaku Hidup Sehat dan Pengembanga n Upaya Kesehatan Bersumberda ya Masyarakat (UKBM)

Keputusan Menteri Kesehatan nomor 585/Menkes/SK/V/2007

1. Pengelolaan promosi kesehatan skala nasional.

1. Penyelenggaraan promosi kesehatan skala provinsi.

1. Penyelenggaraan promosi kesehatan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

379

6. Manajemen Kesehatan

1. Kebijakan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan.

1. Bimbingan dan pengendalian norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan.

1. Penyelenggaraan, bimbingan dan pengendalian operasionalisasi bidang kesehatan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 331/Menkes/SK/V/2006. Kep utusan Menteri Kesehatan No 828/MENKES/IX/2008 1

1.a. Pengelolaan penelitian dan pengembangan kesehatan strategis dan terapan, serta penapisan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kesehatan skala nasional.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 331 Tahun 2006 1.a. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan provinsi. 1.a. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Penelitian dan Pengembanga n Kesehatan

b.

b.Pengelolaan survei kesehatan daerah (surkesda) skala provinsi.

b.Pengelolaan surkesda skala kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. NSPK tentang iptek kesehatan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

c.

c. Pemantauan pemanfaatan Iptek kesehatan skala provinsi.

c. Implementasi penapisan Iptek di bidang pelayanan kesehatan skala kabupaten/kota.

380

3. Kerjasama Luar Negeri

1. Pengelolaan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan skala nasional.

1. Penyelenggaraan kerjasama luar negeri skala provinsi.

1. Penyelenggaraan kerjasama luar negeri skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI 21/MENKES/SK/VI/2009 1

4. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas

1. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala nasional. 1. Pengelolaan dan pengembangan SIK skala nasional dan fasilitasi pengembangan sistem informasi kesehatan daerah.

1. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala provinsi.

1. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala kabupaten/kota.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1350/Menkes/SK/XII/2001 1

5. Pengembanga n Sistem Informasi Kesehatan (SIK)

1. Pengelolaan SIK skala provinsi

1. Pengelolaan SIK skala kabupaten/kota

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 33 TOTAL SUPPLY 3

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 131/MENKES/SK/11/ 2004 1

TOTAL DEMAND

27

381

3. BIDANG PEKERJAAN UMUM


SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KO TA 1. Penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air kabupaten/kota. KEBUTUHAN NSPK PERLU TIDAK 1 KETERANGAN Status NSPK S1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan S2 1 S3 Draft Permen PU tentang Pedoman Teknis Penggunaan Sumber Daya Air KETERANGAN

1. Sumber Daya Air

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan nasional sumber daya air.

2. Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.

2. Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

2. Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 04/PRT/M/2008 tentang PEDOMAN PEMBENTUKAN WADAH KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

3. Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.

3. Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai kabupaten/kota.

3. Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Pedoman Penyusunan Rancangan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air

382

4. Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.

4. Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

4. Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air.

5. Pembentukan Dewan Sumber Daya Air Nasional, wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi, dan wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai strategis nasional.

5. Pembentukan wadah koordinasi sumber daya air di tingkat provinsi dan/atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

5. Pembentukan wadah koordinasi sumber daya air di tingkat kabupaten/kota dan/atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 04/PRT/M/2008 tentang PEDOMAN PEMBENTUKAN WADAH KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

6. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) pengelolaan sumber daya air.

6.

6.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) pengelolaan sumber daya air.

383

7. Penetapan wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota, wilayah sungai lintas kabupaten/kota, wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.

7.

7.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 11 A/PRT/M/2006 tentang PEDOMAN PEMBENTUKAN WADAH KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

8. Penetapan status daerah irigasi yang sudah dibangun yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

8.

8.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Pedoman Pengaturan Jaringan Irigasi Yang Telah Diserahkan Sementara Aset dan/atau Pengelolaannya Kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air/Gabungan Petani Pemakai Air/Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air

384

9. Pengesahan pembentukan komisi irigasi antar provinsi

9. Pembentukan komisi irigasi provinsi dan pengesahan pembentukan komisi irigasi antar kabupaten/kota.

9. Pembentukan komisi irigasi kabupaten/kota

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 31/PRT/M/2007 tentang PEDOMAN MENGENAI KOMISI IRIGASI

2. Pembinaan

1. Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintasprovinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.

1. Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumberdaya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

1. Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU Pedoman Penentuan Peruntukan Ruang di Wilayah Sungai

385

2. Penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara.

2. Penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.

2. Penetapan dan pemberian izin penyediaan, peruntukan, penggunaan,dan pengusahaan air tanah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penetapan dan pemberian izin penyediaan, peruntukan, penggunaan,dan pengusahaan air tanah.

3. Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air padawilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.

3. Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

3. Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Pedoman Penyusunan Rancangan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air

386

4. Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada provinsi dan kabupaten/kota.

4. Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada kabupaten/kota.

4.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 04/PRT/M/2008 tentang PEDOMAN PEMBENTUKAN WADAH KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

5. Fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam pengelolaan sumber daya air.

5. Fasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya air.

5.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 04/PRT/M/2008 tentang PEDOMAN PEMBENTUKAN WADAH KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

387

6. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional. 7. Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. 8. Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

6. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas kabupaten/kota.

6. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaranbangu nan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi yang berada dalam satu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Pedoman Pengelolaan Aset Irigasi

7. Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

7. Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 04/PRT/M/2008 tentang PEDOMAN PEMBENTUKAN WADAH KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

8. Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.

8. Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 30/PRT/M/2007 tentang PEDOMAN PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF

388

3. Pembangunan/ Pengelolaan

1. Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. 2. Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.

1. Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

1. Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU Pedoman Penentuan Peruntukan Ruang di Wilayah Sungai

2. Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

2. Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 11 A/PRT/M/2006 tentang PEDOMAN PEMBENTUKAN WADAH KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

3. Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala nasional.

3. Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala provinsi.

3. Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Operasi dan Pemeliharaan Sungai

389

4. Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat nasional.

4. Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat provinsi.

4. Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 294/PRT/M/2005 tentang BADAN PENDUKUNG PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM

5. Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional.

5. Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas kabupaten/kota.

5. Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi.

390

6. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya lebih dari 3.000 ha atau pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional.

6. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya1.000 ha sampai dengan3.000 ha atau pada daerah irigasi yang bersifat lintas kabupaten/kota.

6. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota yang luasnya kurang dari 1.000 ha.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 32/PRT/M/2007 tentang PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI.

7. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai strategis nasional.

7. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

7. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Operasi dan Pemeliharaan Sungai,

391

4. Pengawasan dan Pengendalian

1. Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.

1. Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

1. Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas.

2. Bina Marga

1. Pengaturan

1. Pengaturan jalan secara umum: a. Pembentukan peraturan perundangundangan sesuai dengan kewenangannya.

1.

1.

a.

a.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Penyelenggaraan Pengkajian Pemeliharaan dan Pengembangan di Bidang Jalan

b. Perumusan kebijakan perencanaan. c. Pengendalian penyelenggaraan jalan secara makro. d. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengaturan jalan.

b.

b.

c.

c.

d.

d.

392

2. Pengaturan jalan nasional:

2. Pengaturan jalan provinsi:

2. Pengaturan jalan kabupaten/kota:

a.

a. Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan provinsi berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan.

a. Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan dengan memperhatikan keserasian antar daerah dan antar kawasan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Pedoman Rencana Umum Jangka Menengah Jaringan Jalan Nasional,

393

b.

b.Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan provinsi dengan memperhatikan keserasian antar wilayah provinsi.

b.Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.

c. Penetapan fungsi jalan arteri dan jalan kolektor yang menghubungkan antar ibukota provinsi dalam sistem jaringan jalan primer.

c. Penetapan fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder dan jalankolektor yangmenghubungka n ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten, antar ibukota kabupaten, jalan lokal, dan jalan lingkungan dalam sistem jaringan jalan primer.

c.

394

d.Penetapan status jalan nasional.

d.Penetapan status jalan provinsi.

d.Penetapan status jalan kabupaten/desa dan jalan kota.

e. Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan nasional.

e. Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan provinsi.

e. Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.

3. Pengaturan jalan tol: a. Perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, penetapan ruas jalan tol dan pembentukan peraturan perundangundangan.

3.

3.

a.

a.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

KEP. 370/KPTS/M/2007 tentang PENETAPAN GOLONGAN JENIS KENDAR AAN BERMOTOR PADA RUAS JALAN TOL.

395

b.Pemberian rekomendasi tarif awal dan penyesuaiannya, serta pengambilalihan jalan tol pada akhir masa konsesi dan pemberian rekomendasi pengoperasian selanjutnya.

b.

b.

2. Pembinaan

1. Pembinaan jalan secara umum dan jalan nasional:

1. Pembinaan jalan provinsi:

1. Pembinaan jalan kabupaten/kota:

a. Pengembangan sistem bimbingan, penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan di bidang jalan.

a.

a.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Draft Permen PU tentang Tata Cara Pengawasan Jalan secara Umum, Jalan Nasional, Jalan Provinsi , Jalan Kab/Kota dan Jalan Desa.

396

b. Pemberian bimbingan, penyuluhan dan pelatihan para aparatur di bidang jalan.

b. Pemberian bimbingan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan provinsi dan aparatur penyelenggara jalan kabupaten/kota.

b. Pemberian bimbingan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan kabupaten/desa dan jalan kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Tata Cara Pengawasan Jalan secara Umum, Jalan Nasional, Jalan Provinsi , Jalan Kab/Kota dan Jalan Desa.

c. Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan dan yang terkait.

c. Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan untuk jalan provinsi.

c.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Tata Cara Pengawasan Jalan secara Umum, Jalan Nasional, Jalan Provinsi , Jalan Kab/Kota dan Jalan Desa.

397

d. Pemberian fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam penyelenggaraan jalan.

d. Pemberian fasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam penyelenggaraan jalan.

d.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Tata Cara Pengawasan Jalan secara Umum, Jalan Nasional, Jalan Provinsi , Jalan Kab/Kota dan Jalan Desa.

e. Penyusunan danpenetapan norma, standar, kriteria dan pedoman pembinaan jalan.

e.

e.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Tata Cara Pengawasan Jalan secara Umum, Jalan Nasional, Jalan Provinsi , Jalan Kab/Kota dan Jalan Desa.

f.

f.

f. Pemberian izin, rekomendasi, dispensasi dan pertimbangan pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Tata Cara Pengawasan Jalan secara Umum, Jalan Nasional, Jalan Provinsi , Jalan Kab/Kota dan Jalan Desa.

398

2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalanuntuk jalan kabupaten/kota.

2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/desa dan jalan kota.

2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/desa dan jalan kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengembangan teknologi terapan di bidang jalan.

3. Pembinaan jalan tol: Penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan serta penelitian dan pengembangan. 3. Pembangunan dan Pengusahaan 1. Pembangunan jalan nasional:

3.-

3.-

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 392/PRT/M/2005 Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol

1. Pembangunan jalan provinsi:

1. Pembangunan jalan kabupaten/kota:

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Pedoman Rencana Umum Jangka Menengah Jaringan Jalan Nasional; KEP. 369/KPTS/M/2005 Rencana Umum Jaringan Jalan nasional

399

a. Pembiayaan pembangunan jalan nasional.

a. Pembiayaan pembangunan jalan provinsi.

a. Pembiayaan pembangunan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.

b. Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan nasional.

b. Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan provinsi.

b. Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kabupaten/desa dan jalan kota.

c. Pengoperasian dan pemeliharaan jalan nasional.

c. Pengoperasian dan pemeliharaan jalan provinsi.

c. Pengoperasian dan pemeliharaan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.

400

d. Pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan nasional.

d. Pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan provinsi.

d. Pengembangan dan pengelolaan manajemen jalan kabupaten desa dan jalan kota.

2. Pengusahaan jalan tol: a. Pengaturan pengusahaan jalan tol meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan.

2.

2.

a.

a.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

PER. 27/PRT/M/2006 Pedoman Pengadaan Pengusahaan Jalan Tol

b. Persiapan pengusahaan jalan tol, pengadaan investasi dan pemberian fasilitas pembebasan tanah.

b. -

b. -

401

4. Pengawasan

1. Pengawasan jalan secara umum:

1.

1.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Draft Permen PU tentang Tata Cara Pengawasan Jalan secara Umum, Jalan Nasional, Jalan Provinsi , Jalan Kab/Kota dan Jalan Desa

a. Evaluasi dan pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelengaraan jalan. b. Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan. 2. Pengawasan jalan nasional:

a.

a.

b.

b.

2. Pengawasan jalan provinsi:

2. Pengawasan jalan kabupaten/kota:

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Tata Cara Pengawasan Jalan secara Umum, Jalan Nasional, Jalan Provinsi , Jalan Kab/Kota dan Jalan Desa

402

a. Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan nasional.

a. Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan provinsi.

a. Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.

b. Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan nasional.

b. Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan provinsi.

b.Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.

3. Pengawasan jalan tol:

3.

3.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

PER. 295/PRT/M/2005 Badan Pengatur Jalan Tol

403

a. Pemantauan dan evaluasi pengaturan dan pembinaan jalan tol. b. Pemantauan dan evaluasi pengusahaan jalan tol dan terhadap pelayanan jalan tol. 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pembangunan perkotaan dan perdesaan.

a.

a.

b.

b.

3. Perkotaan dan Perdesaan

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan dan strategi wilayah provinsi dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan (mengacu kebijakan nasional).

1. Penetapan kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan dan perdesaan wilayah kabupaten/kota (mengacu kebijakan nasional dan provinsi). 2. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota mengenai pengembangan perkotaan dan perdesaan berdasarkan NSPK.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 494/PRT/M/2005 Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP Kota)

2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan perkotaan dan perdesaan.

2. Penetapan peraturan daerah provinsi mengenai pengembangan perkotaan dan perdesaan mengacu NSPK nasional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 494/PRT/M/2005 Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP Kota)

404

2. Pembinaan

1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan Prasarana dan Sarana (PS) perkotaan dan pedesaan tingkat nasional.

1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan PS perkotaan dan pedesaan tingkat provinsi.

1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan PS perkotaan dan pedesaan tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 22/PRT/M/2008 Pedoman Teknis Pengadaan, Pendaftaran, Penetapan Status, penghunian, Pengalihan Staus, dan Pengalihan Hak Atas

2. Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan secara nasional.

2. Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan di wilayah provinsi.

2. Pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan secara nasional.

405

3. Pembangunan

1. Fasilitasi perencanaan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah.

1. Fasilitasi penyiapan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah kota/kabupaten di wilayah.

1. Penyiapan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah kabupaten/kota dengan mengacu pada RPJP dan RPJM nasional dan provinsi. 2. Penyelenggaraan kerjasama/ kemitraan antara pemerintah daerah/dunia usaha/ masyarakat dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan di lingkungan kabupaten/kota. 3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 494/PRT/M/2005 Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP Kota)

2. Fasilitasi kerjasama/kemitr aan tingkat nasional antara pemerintah/daera h dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan.

2. Fasilitasi kerjasama/ kemitraan antara pemerintah/daerah dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan di lingkungan provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang fasilitasi kerjasama/kemitraan tingkat nasional antara pemerintah/daerah dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan.

3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan di kawasan strategis nasional.

3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan lintas kabupaten/kota di lingkungan wilayah provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan di kawasan strategis nasional.

406

4.

4. Fasilitasi pembentukan lembaga/badan pengelola pembangunan perkotaan dan perdesaan lintas kabupaten/kota.

4. Pembentukan lembaga/badan pengelola pembangunan perkotaan dan perdesaan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang fasilitasi pembentukan lembaga/badan pengelola pembangunan perkotaan dan perdesaan lintas kabupaten/kota.

4. Pengawasan

1. Pengawasan dan pengendalian program pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan secara nasional.

1. Pengawasan dan pengendalian terhadap pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan di provinsi.

1. Pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 20/PRT/M/2006 Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (KSNP-PAM)

2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK

2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 294/PRT/M/2005 Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum

407

4. Air Minum

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan pelayanan air minum.

1. Penetapan peraturan daerah provinsi mengenai kebijakan dan strategi pengembangan air minumlintas kabupaten/kota di wilayahnya.

1. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota mengenai kebijakan dan strategi pengembangan air minum di daerah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan pelayanan air minum.

2. Pembentukan Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM).

2.

2.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pembentukan Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM).

408

3. Penetapan BUMN penyelenggara SPAM lintas provinsi.

3. Penetapan BUMD provinsi sebagai penyelenggara SPAM lintas kabupaten/kota.

3. Penetapan BUMD sebagai penyelenggara SPAM di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penetapan BUMN penyelenggara SPAM.

4. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS air minum secara nasional termasuk penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

4. Penetapan peraturan daerah NSPK pelayanan PS air minum berdasarkan SPM yang disusun pemerintah.

4. Penetapan peraturan daerah NSPK pelayanan PS air minum berdasarkan SPM yang disusun pemerintah dan provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS air minum secara nasional termasuk penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

5. Memberikan izin penyelenggaraan pelayanan PS air minum lintas provinsi.

5. Memberikan izin penyelenggaraan untuk lintas kabupaten/kota.

5. Memberikan izin penyelenggaraan pengembangan SPAM di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pemberikan izin penyelenggaraan pelayanan PS air minum lintas provinsi.

409

6. Penentuan alokasi air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM.

6.

6.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

PER. 18/PRT/M/2007 tentang PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM

2. Pembinaan

1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar provinsi, yang bersifat khusus, strategis, baik yang bersifat nasional maupun internasional.

1. Penyelesaian masalah dan permasalahan yang bersifat lintas kabupaten/kota.

1. Penyelesaian masalah dan permasalahannya di dalam wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penyelesaian masalah dan permasalahan.

2. Fasilitasi peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum secara nasional.

2. Peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum di lingkungan wilayah provinsi.

2. Peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum di wilayah kabupaten/kota termasuk kepada Badan Pengusahaan Pelayanan (operator) BUMD.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang fasilitasi peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum.

410

3. Penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air minum.

3.

3.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air minum.

3. Pembangunan

1. Fasilitasi pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM secara nasional.

1. Penetapan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM di lingkungan wilayah provinsi.

1. Penetapan pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 18/PRT/M/2007 Penyelenggaraan Pengemangan Sistem Penyediaan Air Minum

411

2.

2.

2. Pengembangan SPAM di wilayah kabupaten/kota untuk pemenuhan SPM.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

3. Fasilitasi penyelenggaraan bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.

3. Fasilitasi penyelenggaraan (bantuan teknis) penyelenggaraan pengembangan SPAM di wilayah provinsi.

3. Fasilitasi penyelenggaraan (bantuan teknis) kepada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 18/PRT/M/2007 Penyelenggaraan Pengemangan Sistem Penyediaan Air Minum

412

4. Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah pelayanan lintas provinsi.

4. Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah pelayanan lintas kabupaten/kota setelah berkoordinasi dengan daerah kabupaten/kota.

4. Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah administrasi kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penyusunan rencana induk pengembangan SPAM.

5. Fasilitasi penyediaan prasarana dan sarana air minum dalam rangka kepentingan strategis nasional.

5. Penyediaan PS air minum untuk daerah bencana dan daerah rawan air skala provinsi.

5. Penyediaan PS air minum untuk daerah bencana dan daerah rawan air skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang fasilitasi penyediaan prasarana dan sarana air minum dalam rangka kepentingan.

6. Penanganan bencana alam tingkat nasional.

6. Penanganan bencana alam tingkat provinsi

6. Penanganan bencana alam tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penanganan bencana alam.

413

4. Pengawasan

1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.

1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM yang berada di wilayah provinsi.

1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM yang berada di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM.

2. Evaluasi kinerja pelayanan penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.

2. Evaluasi kinerja pelayanan air minum di lingkungan wilayah provinsi.

2. Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan SPAM yang utuh di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang evaluasi kinerja pelayanan air minum.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

414

5. Air Limbah

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS air limbah.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

;PER. 16/PRT/M/2008 Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman (KSNP-SPALP)

2. Pembentukan lembaga penyelenggara pelayanan PS air limbah lintas provinsi.

2. Pembentukan lembaga tingkat provinsi sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah provinsi.

2. Pembentukan lembaga tingkat kabupaten/kota sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Penyelenggaraan Air Limbah Permukiman Setempat;

415

3. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS air limbah secara nasional termasuk SPM.

3. Penetapan peraturan daerah NSPK berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah.

3. Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Standar Pelayanan Minima

4. Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah yang bersifat lintas provinsi.

4. Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah lintas kabupaten/kota.

4. Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Penyelenggaraan Air Limbah Permukiman Terpusat

5. Penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air limbah.

5.

5.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air limbah.

416

2. Pembinaan

1. Fasilitasi penyelesaian permasalahan antar provinsi yang bersifat khusus, strategis baik yang bersifat nasional maupun internasional. 2. Fasilitasi peran serta dunia usaha tingkat nasional dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah.

1. Fasilitasi penyelesaian masalah yang bersifat lintas kabupaten/kota.

1. Penyelesaian masalah pelayanan di lingkungan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 600/PRT/M/2005 Pedoman Bantuan Hukum di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum;

2. Fasilitasi peran serta dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan kerjasama dengan dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPk tentang fasilitasi peran serta dunia usaha tingkat nasional dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah.

417

3. Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah.

3. Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota.

3. Penyelenggaraan (bantek) pada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan PS air limbah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah.

3. Pembangunan

1. Fasilitasi pengembangan PS air limbah skala kota untuk kota-kota metropolitan dan kota besar dalam rangka kepentingan strategis nasional.

1. Fasilitasi pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi.

1. Penyelenggaraan pembangunan PS air limbah untuk daerah kabupaten/kota dalam rangka memenuhi SPM.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 603/PRT/M/2005 Pedoman Umum Sistem Pengendalian Manajemen Penyelenggaraan Pembangunan Prasarana dan Sarana Bidang Pekerjaan Umum

418

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas provinsi.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah.

3. Penanganan bencana alam tingkat nasional.

3. Penanganan bencana alam tingkat provinsi.

3. Penanganan bencana alam tingkat lokal (kabupaten/kota).

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penanganan bencana alam.

4. Pengawasan

1. Pengendalian dan pengawasan atas penyelenggaraan pengembangan PS air limbah.

1. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan PS air limbah di wilayahnya.

1. Monitoring penyelenggaraan PS air limbah di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPk tentang pengendalian dan pengawasan atas penyelenggaraan pengembangan PS air limbah.

2. Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah secara nasional.

2. Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah di wilayah provinsi lintas kabupaten/kota.

2. Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan air limbah di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah.

419

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan SPM.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

6. Persampahan

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS persampahan.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional. 2. Penetapan lembaga tingkat provinsi penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan di kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi. 2. Penetapan lembaga tingkat kabupaten/kota penyelenggara pengelolaan persampahan di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 21/PRT/M/2006 Kebijakan dan Strategi nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP); Draft Permen PU tentang Pengelolaan Sampah

2. Penetapan lembaga tingkat nasional penyelenggara pengelolaan persampahan (bila diperlukan).

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Pengelolaan Sampah

3. Penetapan NSPK pengelolaan persampahan secara nasional termasuk SPM.

3. Penetapan peraturan daerah NSPK pengelolaan persampahan mengacu kepada SPM yang ditetapkan oleh pemerintah.

3. Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 21/PRT/M/2006 Kebijakan dan Strategi nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP)

420

4. Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas provinsi.

4. Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota.

4. Pelayanan perizinan dan pengelolaan persampahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPk tentang memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan.

2. Pembinaan

1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar provinsi.

1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar kabupaten/kota.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Pengelolaan Sampah

421

2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan.

2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota.

2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPk tentang peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan.

3. Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan PS persampahan.

3. Memberikan bantuan teknis dan pembinaan lintas kabupaten/kota.

3. Memberikan bantuan teknis kepada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan PS persampahan.

422

3. Pembangunan

1. Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan secara nasional (lintas provinsi).

1. Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan secara nasional di wilayah provinsi.

1. Penyelengaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 603/PRT/M/2005 Pedoman Umum Sistem Pengendalian Manajemen Penyelenggaraan Pembangunan Prasarana dan Sarana Bidang Pekerjaan Umum;Konsep Pedoman Pemanfaatan Ruang Kawasan Sekitar TPA Sampah

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan lintas provinsi.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan.

423

4. Pengawasan

1. Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan secara nasional.

1. Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan di wilayah provinsi.

1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan pengembangan persampahan di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPk tentang pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan.

2. Evaluasi kinerja penyelenggaraan PS persampahan secara nasional.

2. Evaluasi kinerja penyelenggaraan yang bersifat lintas kabupaten/kota.

2. Evaluasi kinerja penyelenggaraan di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPk tentang evaluasi kinerja penyelenggaraan PS persampahan.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

424

7. Drainase

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi provinsi berdasarkan kebijakan dan strategi nasional.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPk tentang penetapan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan.

2. Penetapan NSPK penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan.

2. Penetapan peraturan daerah NSPK provinsi berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah di wilayah provinsi.

2. Penetapan peraturan daerah NSPK drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota berdasarkan SPM yang disusun pemerintah pusat dan provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penetapan NSPK penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan.

425

2. Pembinaan

1. Fasilitasi bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan drainase.

1. Bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan).

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSP tentang fasilitasi bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan drainase.

2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan secara nasional.

2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah provinsi.

2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan.

426

3. Pembangunan

1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase danpenanggulang an banjir lintas provinsi.

1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas kabupaten/kota.

1. Penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir di wilayah kabupaten/kota serta koordinasi dengan daerah sekitarnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase danpenanggulangan banjir.

2. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase dan pengendalian banjir di kawasan khusus dan strategis nasional.

2. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di wilayah provinsi.

2. Penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainasedi wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir

427

3. Fasilitasi penyusunan rencana induk penyelenggaraan prasarana sarana drainase dan pengendalian banjir skala nasional.

3. Penyusunan rencana induk PS drainase skala regional/lintas daerah.

3. Penyusunan rencana induk PS drainase skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 05/PRT/M/2009 Pedoman Tata Cara Pembanguan Pos Duga Air Tipe Konsol di Sungai/Saluran Terbuka

4. Pengawasan

1. Evaluasi kinerja penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir secara nasional.

1. Evaluasi di provinsi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah provinsi.

1. Evaluasi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang evaluasi kinerja penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir.

2. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir secara lintas provinsi.

2. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir lintas kabupaten/kota.

2. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir.

428

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

8. Permukiman

1. Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang berdiri sendiri: a. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan teknis Kasiba dan Lisiba nasional.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi Kasiba/Lisiba di wilayah provinsi.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi Kasiba/Lisiba di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penetapan kebijakan teknis Kasiba dan Lisiba nasional.

429

2. Penyusunan NSPK Kasiba dan Lisiba secara nasional.

2. Penetapan Peraturan Daerah NSPK Kasiba dan Lisiba di wilayah provinsi.

2. Penetapan Peraturan Daerah NSPK Kasiba dan Lisiba di wilayah kabupaten/kota.

b.Pembinaan

1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan Kasiba dan Lisiba.

1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dalam pembangunan Kasiba dan Lisiba.

1.

2. Fasilitasi penyelesaian masalah Kasiba/Lisiba yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan nasional.

2. Fasilitasi penyelesaian pembangunan Kasiba/Lisiba antar kabupaten/kota.

2.

430

c. Pembangunan

1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba strategis nasional.

1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota.

1. Penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba di kabupaten/kota.

2. Fasilitasi kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba.

2. Fasilitasi kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba.

3.

3. Penetapan izin lokasi Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota.

3. Penetapan izin lokasi Kasiba/Lisiba di kabupaten/kota.

431

d.Pengawasan

1. Pengawasan dan pengendalian kebijakan nasional penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba.

1. Pengawasan pelaksanaan kelayakan program Kasiba dan Lisiba di provinsi.

1. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba di kabupaten/kota.

2. Evaluasi kebijakan nasional penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba.

2. Evaluasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba di provinsi.

2. Evaluasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba di kabupaten/kota.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.

432

2. Permukiman Kumuh/ Nelayan:

a. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan nasional tentang penanggulangan permukiman kumuh perkotaan dan nelayan.

1.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi penanggulangan permukiman kumuh/nelayan di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Konsep Pedoman Pemanfaatan Ruang Kawasan Sekitar TPA Sampah

2. Penyusunan NSPK kawasan permukiman.

2.

2. Penetapan peraturan daerah tentang pencegahan timbulnya permukiman kumuh di wilayah kabupaten/kota.

433

b. Pembinaan

1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan dalam penanganan permukiman kumuh secara nasional. (bantuan teknis)

1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dalam penanganan permukiman kumuh di wilayah provinsi.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan dalam penanganan permukiman kumuh secara nasional. (bantuan teknis)

c. Pembangunan

1. Fasilitasi program penanganan permukiman kumuh bagi lokasi yang strategis secara nasional.

1. Fasilitasi penyelenggaraan penanganan permukiman kumuh di wilayahnya.

1. Penyelenggaraan penanganan kawasan kumuh perkotaan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang fasilitasi program penanganan permukiman kumuh bagi lokasi yang strategis.

2. Fasilitasi dan bantuan teknis untuk peremajaan/perb aikan permukiman kumuh/nelayan dengan Rumah Susun Sewa (RUSUNAWA).

2. Fasilitasi peremajaan/ perbaikan permukiman kumuh/nelayan.

2. Pengelolaan peremajaan/ perbaikan permukiman kumuh/nelayan dengan rusunawa.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 05/PRT/M/2007 Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi

434

d. Pengawasan

1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian penanganan permukiman kumuh nasional.

1.

1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian permukiman kumuh di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pelaksanakan pengawasan dan pengendalian penanganan permukiman kumuh.

2. Evaluasi kebijakan nasional penanganan permukiman kumuh.

2. Monitoring evaluasi pelaksanaan program penanganan permukiman kumuh di wilayahnya.

2. Evaluasi pelaksanaan program penanganan permukiman kumuh di kabupaten/kota.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK .

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.

435

3. Pembangunan Kawasan statergis nasional

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 18/PRT/M/2010 Pedoman Revitalisasi Kawasan : Modul Terapan Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi; Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor.

a. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan pembangunan kawasan strategis nasional.

1.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota.

436

2. Penyusunan NSPK pembangunan kawasan strategis nasional.

2.

2. Penetapan peraturan daerah NSPK pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota.

b.Pembinaan

1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan kawasan strategis nasional.

1.

1.

2. Fasilitasi penyelesaian masalah pembangunan kawasan yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan nasional.

2. Fasilitasi penyelesaian masalah pembangunan kawasan di wilayah provinsi.

2.

c. Pembangunan

1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan kawasan strategis nasional.

1.

1. Penyelenggaraan pembangunan kawasan strategis nasional.

437

d.Pengawasan

1. Pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan strategis nasional.

1. Pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan di wilayah provinsi.

1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota.

2. Evaluasi kebijakan nasional program pembangunan kawasan nasional.

2. Evaluasi pelaksanaan program pembangunan kawasan di provinsi.

2. Evaluasi pelaksanaan program pembangunan kawasan di kabupaten/kota.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.

3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.

438

9. Bangunan Gedung dan Lingkungan

1. Pengaturan

1. Penetapan peraturan perundangundangan, norma, standar, prosedur dan kriteria/bangunan gedung dan lingkungan

1. Penetapan peraturan daerah Provinsi, mengenai bangunan gedung dan lingkungan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria nasional.

1. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota, mengenai bangunan gedung dan lingkungan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria nasional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 26/PRT/M/2007 Pedoman Tim Ahli Bangunan Gedung;Draft Permen PU tentang Pedoman Teknis Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung;PER. 17/PRT/M/2010 Pedoman Teknis Pendataan Bangunan Gedung;PER. 30/PRT/M/2006 Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan

2. Penetapan kebijakan dan strategi nasional bangunan gedung dan lingkungan.

2. Penetapan kebijakan dan strategi wilayah provinsi mengenai bangunan gedung dan lingkungan.

2. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota mengenai bangunan gedung dan lingkungan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penetapan kebijakan dan strategi nasional bangunan gedung dan lingkungan.

439

3. Penetapan kebijakan pembangunan dan pengelolaan gedung dan rumah negara.

3.

3. Penetapan kelembagaan bangunan gedung di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

4. Penyelenggaraan IMB gedung fungsi khusus.

4.

4. Penyelenggaraan IMB gedung.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Pedoman Penyelenggaraan Bangunan Gedung Fungsi Khusus

5.

5.

5. Pendataan bangunan gedung.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

440

6.

6.

6. Penetapan persyaratan administrasi dan teknis untuk bangunan gedung adat, semi permanen, darurat, dan bangunan gedung yang dibangun di lokasi bencana.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

7.

7.

7. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

441

2. Pembinaan

1. Pemberdayaan kepada pemerintah daerah dan penyelenggara bangunan gedung dan lingkungannya.

1. Pemberdayaan kepada pemerintah daerah dan penyelenggara bangunan gedung dan lingkungannya.

1. Pemberdayaan kepada masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Bangunan Gedung di Atas dan di Bawah Air/Prasarana Lingkungan

2. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dan teknis Pemerintah daerah untuk bangunan gedung dan lingkungan.

2. Fasilitasi penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.

2. Pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Pedoman Teknis Pendataan Bangunan Gedung

3. Pembangunan

1. Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.

1. Penyelenggaraan model bangunan gedung dan lingkungan.

1. Penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan dengan berbasis pemberdayaan masyarakat.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 24/PRT/M/2007 Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung

442

2. Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah.

2. Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah provinsi.

2. Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah.

3. Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala nasional atau internasional.

3. Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota.

3. Penetapan status bangunan gedung dan lingkunganyang dilindungi dan dilestarikan yang berskala lokal.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

Draft Permen PU tentang Pelestarian Bangunan Gedung dari Lingkungan

443

4. Pengawasan

1. Pengawasan secara nasional terhadap pelaksanaan peraturan perundangundangan, pedoman, dan standar teknis bangunan gedung dan lingkungannya, serta gedung dan rumah negara.

1. Pengawasan secara regional terhadap pelaksanaan peraturan perundangundangan, pedoman dan standar teknis bangunan gedung dan lingkungannya gedung dan rumah negara.

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundangundangan, pedoman dan standar teknis dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 16/PRT/M/2010 Pedoman Teknis Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung;PER. 25/PRT/M/2007 Pedoman Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung

2. Pengawasan dan penertiban pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung fungsi khusus.

2.

2. Pengawasan dan penertiban pembangunan, pemanfaatan, dan pembongkaran bangunan gedung.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 29/PRT/M/2006 Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung

444

3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yangdilindungi dan dilestarikan yang berskala nasional atau internasional

3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota.

3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala lokal.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 24/PRT/M/2008 Pedoman Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung

10. Jasa Konstruksi

1. Pengaturan

1. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan usaha, termasuk upaya mendorong kemitraan fungsional sinergis.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan jasa konstruksi yang telah ditetapkan.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan jasa konstruksi yang telah ditetapkan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PER. 43/PRT/M/2007 Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi

445

2. Fasilitasi untuk mendapatkan dukungan lembaga keuangan dalam memberikan prioritas pelayanan, kemudahan dan akses untuk memperoleh pendanaan.

2.

2.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

3. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan penyelenggaraan konstruksi.

3.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan penyelenggaraan konstruksi.

4. Fasilitasi untuk mendapatkan dukungan lembaga pertanggungan dalam memberikan prioritas, pelayanan, kemudahan dan akses untuk memperoleh jaminan pertanggungan resiko.

4.

4.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

446

5. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan keahlian dan teknik konstruksi.

5.

5.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

KEP. 498/KPTS/M/2005 Pengesahan 15 Rancangan SNI dan 44 Pedoman Teknis Bidang Konstruksi dan Bangunan

6. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan SDM bidang konstruksi.

6.

6.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Draft Permen PU tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi

447

2. Pemberdayaan

1. Pemberdayaan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional serta asosiasi badan usaha dan profesi tingkat nasional.

1. Pengembangan sistem informasi jasa konstruksi dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.

1. Pengembangan sistem informasi jasa konstruksi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEP. 45/KPTS/M/2005 Pedoman Pemberdayaan Penanggung Jawab Teknik Badan Usaha Jasa Konstruksi Kualifikasi Kecil

2. Peningkatan kemampuan teknologi, sistem informasi, penelitian dan

2. Penelitian dan pengembangan jasa konstruksi dalam wilayah

2. Penelitian dan pengembangan jasa konstruksi dalam wilayah

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 207/PRT/M/2005 Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Pemerintah Secara Elektronik

pengembangan teknologi bidang konstruksi.

provinsi yang bersangkutan.

kabupaten/kota yang bersangkutan.

3. Pemberdayaan penerapan keahlian dan teknik konstruksi kepada LPJK nasional serta asosiasi profesi tingkat nasional.

3. Pengembangan sumber daya manusia bidang jasa konstruksi di tingkat provinsi.

3. Pengembangan sumber daya manusia bidang jasa konstruksi di tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 23/PRT/M/2009 Pedoman Fasilitasi Penyelenggaraan Forum Jasa Konstruksi

448

4. Perintisan penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi sebagai model.

4. Peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.

4. Peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang perintisan penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi sebagai model.

5. Fasilitasi proses sertifikasi tenaga terampil konstruksi.

5. Pelaksanaan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan dalam wilayah provinsi.

5. Melaksanakan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan dalam wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 10/PRT/M/2010 Tata Cara Pemilihan Pengurus, Masa Bakti, Tugas Pokok dan Fungsi, Serta Mekanisme Kerja Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi

449

6.

6. Pelaksanaan pemberdayaan terhadap LPJK daerah dan asosiasi di provinsi yang bersangkutan.

6. Penerbitan perizinan usaha jasa konstruksi.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

3. Pengawasan

1. Pengawasan guna tertib usaha mengenai persyaratan perizinan dan ketentuan ketenagakerjaan.

1. Pengawasan tata lingkungan yang bersifat lintas kabupaten/kota.

1. Pengawasan tata lingkungan dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 23/PRT/M/2009 Pedoman Fasilitasi Penyelenggaraan Forum Jasa Konstruksi

2. Pengawasan terhadap LPJKNasional serta asosiasi badan usaha dan profesi tingkat nasional.

2. Pengawasan sesuai kewenangannya untuk terpenuhinya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

2. Pengawasan sesuai kewenangannya untuk terpenuhinya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengawasan terhadap LPJK- Nasional serta asosiasi badan usaha dan profesi tingkat nasional.

450

3. Pengawasan guna tertib penyelenggaraan dan tertib pemanfaatan pekerjaan konstruksi (ketentuan keteknikan, K3, keselamatan umum,lingkunga n, tata ruang, tata bangunan dan ketentuan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan konstruksi).

3. Pengawasan terhadap LPJK daerah dan asosiasi di provinsi yang bersangkutan.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 09/PER/M/2008 Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Bidang Pekerjaan umum

Jumlah

134

57

51

26

134

4. BIDANG PERUMAHAN RAKYAT


SUB SUB BIDANG 1. Pembangunan Baru PEMERINTAHAN DAERAH PROVINS I 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program provinsi di bidang pembiayaan perumahan. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program kabupaten/kota di bidang pembiayaan perumahan. KEBUTUHAN NSPK (Y=YA, T=TIDAK) Y 1 T Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3 NSPK tentang penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan KETERANGAN

SUB BIDANG

PEMERINTAH

1. Pembiayaan

1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan.

451

2. Penyusunan norma, standar, pedoman, dan manual (NSPM) nasional bidang pembiayaan perumahan. 3. Pengembangan sistem pembiayaan dan instrumen pembiayaan.

2. Penyusunan NSPM provinsi bidang pembiayaan perumahan.

2. Penyusunan NSPM kabupaten/kota bidang pembiayaan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No 05/Permen/M/2008

3. Koordinasi penyelenggaraan dan mendorong terciptanya pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan perumahan.

3. Pelaksanaan, penerapan dan penyesuaian pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

4. Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat nasional. 5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional. 6. Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.

4. Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat provinsi.

4. Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 02/PERMEN/ M/2008 tentang PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 34 /PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor. 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah

5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat provinsi.

5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NPSK tentang Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional.

6. Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.

6. Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.

Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor. 403/KPTS/M/2002 tentang TENTANG. PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN RUMAH SEDERHANA SEHAT (Rs SEHAT)

452

7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.

7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.

7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.

8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.

8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Perbaikan

1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan. 2. Penyusunan NSPM nasional bidang pembiayaan perumahan. 3. Pengembangan sistem pembiayaan dan instrumen pembiayaan.

1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program provinsi di bidang pembiayaan perumahan 2. Penyusunan NSPM provinsi bidang pembiayaan perumahan.

1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program kabupaten/kota di bidang pembiayaan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 34 /PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 33/M/2008 tentang PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 17/PERMEN/M/2008 TENTANG STANDAR DAN PROSEDUR PELAKSANAAN SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR SARUSUNA SYARIAH BERSUBSIDI NSPK tentang Penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan.

2. Penyusunan NSPM kabupaten/kota bidang pembiayaan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No 05/Permen/M/2008

3. Koordinasi penyelenggaraan dan mendorong terciptanya pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan

3. Pelaksanaan, penerapan dan penyesuaian pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan.

NSPK tentang Pengembangan sistem pembiayaan dan instrumen pembiayaan.

453

sistem pembiayaan perumahan.

4. Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat nasional. 5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional. 6. Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pemban gunan rumah swadaya milik. 7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.

4. Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat provinsi.

4. Fasilitasi bantuan bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor. 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah

5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat provinsi.

5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NPSK tentang Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional.

6. Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangu nan rumah swadaya milik. 7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.

6. Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik.

7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.

8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.

8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiyaan perumahan di tingkat provinsi.

8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor. 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 34 /PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 33/M/2008 tentang PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 17/PERMEN/M/2008 TENTANG STANDAR DAN

454

PROSEDUR PELAKSANAAN SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR SARUSUNA SYARIAH BERSUBSIDI

2. Pembinaan Pe rumahan Formal

1. Pembangunan Baru

1.a. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

b.

2. Perumusan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan perumahan. 3. Penyusunan pedoman efisiensi pasar dan industri perumahan.

1.a. Koordinasi masukan penyusu nan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di kabupaten/kota. b.Koordinasi peninjauan kembali (review) kesesuaian dengan peraturan perundangundangan bidang perumahan di kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan pada skala provinsi. 3. Koordinasi upaya efisensi pasar dan industri perumahan skala provinsi.

1.a. Memberikan masukan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 22/PERMEN/M/2008 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL B IDANG PERUMAHAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

b.Peninjauan kembali kesesuaian peraturan perundang-undangan bidang perumahan di kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan di atasnya.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

2. Pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan pada skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR:04/PERMEN/M/20 06 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT TAHUN 2005-2009. NSPK tentang efisiensi pasar dan industri perumahan

3. Pelaksanaan upaya efisiensi pasar dan industri perumahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

455

4. Sosialisasi peraturan perundangundangan, produk NSPM, serta kebijakan dan Strategi nasional perumahan.

4. Koordinasi pelaksanaan sosialisasi peraturan perundangundangan, produk NSPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan skala provinsi.

4. Pelaksanaan peraturan perundangundangan, produk NSPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

5. Bantuan teknis penyelenggaraan perumahan (basis kawasan, lembaga pendampingan, kelompok masyarakat). 6. Fasilitasi terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan,industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang.

5. Koordinasi pelaksanaan bantuan teknis penyelenggaraan perumahan.

5. Pelaksanaan teknis penyelenggaraan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 22/PERMEN/M/2008 PERMENPERA NOMOR: 22/PERMEN/M/2008 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL B IDANG PERUMAHAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DAN DAERAH KABUPATEN/KOTA, PERMENPERA NOMOR:04/PERMEN/M/20 06 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT TAHUN 2005-2009. PERMENPERA NOMOR: 01/PERMEN/M/2009 TENTANG ACUAN PENYELENGGARAAN PENINGKATAN KUALITAS PERUMAHAN.

6. Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan,baik BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang.

6. Memanfaatkan badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN,BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen banguan, konsultan, kontraktor dan pengembang.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 33/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN TATACARA PENUNJUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN SIAP BANGUN DAN PENYELENGGARA LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI

456

7. Penyusunan standar, pedoman dan manual (SPM) perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan Prasarana, Sarana, Utilitas (PSU).

7. Penyusunan pedoman perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan PSU lintas kabupaten/kota.

7. Penyusunan pedoman dan manual perencanaan, pembangunan dan pengelolaan PSU skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

8. Sosialisasi peraturan perundangundangan, produk SPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan.

8. Koordinasi pelaksanaan sosialisasi peraturan perundangundangan, produk SPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan dan provinsi bersangkutan.

8. Melaksanakan hasil sosialisasi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 34/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN, PERMENPERA NOMOR: 10/PERMEN/M/2007 TENTANG PEDOMAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM (PSU) PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/2009 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN. PERMENPERA NOMOR: 22/PERMEN/M/2008 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PERUMAHAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

457

9. Fasilitasi peningkatan kapasitas penyelenggara dan pelaku pembangunan perumahan (pemerintah, swasta dan masyarakat). 10. Bantuan teknis penyelenggaraan perumahan (basis kawasan, lembaga pendampingan, kelompok masyarakat). 11. Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN, BUMD, Koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang tingkat nasional. 12. Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak regional.

9. Koordinasi pelaksanaan peningkatan kapasitas penyelenggara dan pelaku pembangunan perumahan.

9. Pelaksanaan kegiatan melalui pelaku pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 01/PERMEN/M/2009 TENTANG ACUAN PENYELENGGARAAN PENINGKATAN KUALITAS PERUMAHAN.

10. Koordinasi pelaksanaan bantuan teknis penyelenggaraan perumahan.

10. Penyelenggaraan perumahan sesuai teknik pembangunan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 01/PERMEN/M/2009 TENTANG ACUAN PENYELENGGARAAN PENINGKATAN KUALITAS PERUMAHAN.

11. Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang di provinsi.

11. Pembinaan dan kerjasama dengan badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN,BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 33/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN TATACARA PENUNJUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN SIAP BANGUN DAN PENYELENGGARA LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI

12. Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak lintas kabupaten/kota.

12. Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak lokal.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 01/PERMEN/M/2009 TENTANG ACUAN PENYELENGGARAAN PENINGKATAN KUALITAS PERUMAHAN.

458

13. Perumusan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional.

13. Perumusan RPJP dan RPJM provinsi.

13. Perumusan RPJP dan RPJMkabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

14. Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan secara nasional. 15. Pengalokasian pendanaan pembangunan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) dan Rumah Susun Milik (Rusunami) sebagai stimulan di perkotaan, perbatasan internasional, pusat kegiatan perdagangan/prod uksi.

14. Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan skala provinsi. 15. Pelaksanaan pembangunan Rusunawa dan Rusunami sebagai stimulan di perkotaan, perbatasan internasional, pusat kegiatanperdaganga n/produksi dan fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota.

14. Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/2010 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT TAHUN 2010-2014, PERMENPERA NOMOR:04/PERMEN/M/20 06 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT TAHUN 2005-2009. Nspk tentang fasilitasi percepatan pembangunan perumahan.

15. Pembangunan Rusunawa dan Rusunami lengkap dengan penyediaan tanah, PSU dan melakukan pengelolaan dan pemeliharaan diperkotaan, perbatasan internasional, pusat kegiatan, perdagangan/produksi.

PERMENPERA NOMOR: 14/PERMEN/M/2007 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA, PERMENPERA NOMOR: 18/PERMEN/M/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERHITUNGAN TARIF SEWA RUMAH SUSUN SEDERHANA YANG DIB IAYAI APBN DAN APBD, PERMENPERA NOMOR: 09/PERMEN/M/2008 TENTANG PEDOMAN BANTUAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA PADA LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN

459

BERASRAMA

16. Pengalokasian pendanaan pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, rumah susun (Rusun) dan rumah khusus (Rusus).

16. Pelaksanaan pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, Rusun, Rusus dan fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota.

16. Pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, Rusun dan Rusus dengan melaksanakan pengelolaan dan pemeliharaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 10/PERMEN/M/2007 TENTANG PEDOMAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM (PSU) PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/2009 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 34/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN

460

17. Pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba.

18. Pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta penyiapan depo pada daerah rawan bencana. 2. Perbaikan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan perumahan. 2. Perumusan Standar, Prosedur dan Operasi (SPO) baku penanganan pengungsi akibat bencana nasional (alam maupun konflik sosial). 3. Perumusan kebijakan Public Service Obligation (PSO) perumahan.

17. Pelaksanaan pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba serta fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota. 18. Pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta pengelolaan depo dan pendistribusiannya.

17. Pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba serta fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota, penyediaan tanah, PSU umum. 18. Pelaksanaan pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta pengelolaan depo dan pendistribusian logistik penyediaan lahan, pengaturan, pemanfaatan seluruh bantuan. 1. Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan dan pengembangan perumahan skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan SPO baku penanganan pengungsi akibat bencana skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah untuk korban bencanan dan khsusu lainnya serta penyiapan depao dapa daerah rawan bencana.

1. Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan dan pengembangan perumahan skala provinsi. 2. Perumusan SPO baku penanganan pengungsi akibat bencana skala provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR:04/PERMEN/M/20 06 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT TAHUN 2005-2009 NSPK tentang SPO baku penanganan pengungsi akibat bencanan nasional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3.

3.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

461

4. Penyusunan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, khususnya di perbatasan internasional.

4. Penyusunan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, khususnya di perbatasan antar kabupaten/kota.

4. Pelaksanaan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

5. Penyusunan dan penyelenggaraan skema bantuan perumahan tidak susun, susun, khusus dan PSU.

5. Koordinasi penetapan sasaran penerima bantuan perumahan dan pengawasannya.

5. Pelaksanaan dan atau penerima bantuan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 10/PERMEN/M/2007 TENTANG PEDOMAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM (PSU) PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/2009 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 34/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN PERMENPERA NOMOR: 10/PERMEN/M/2007 TENTANG PEDOMAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM (PSU) PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/2009 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM PERUMAHAN DAN

462

PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 34/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN

6. Penyusunan pedoman pengendalian harga sewa rumah (tidak susun, susun khusus). 7. Fasilitasi pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi.

6. Koordinasi pengendalian penetapan harga sewa rumah.

6. Penetapan harga sewa rumah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSKP tentang pengendalian dan penetapan sewa rumah.

3. Pemanfaatan

1. Penyelenggaraan bantuan pembangunan dan kelembagaan perumahan melalui format anggaran khusus (dana dekonsenterasi, dana tugas pembantuan dan dana alokasi khusus).

7. Koordinasi usulan pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi lintas kabupaten/kota. 1. Koordinasi usulan penerima bantuan pembangunan dan kelembagaan perumahan di provinsi serta penyelenggaraan perumahan dengan dana dekonsentrasi.

7. Pelaksanaan pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi lintas kawasan sekabupaten/kota. 1. Pelaksanaan bantuan pembangunan dan kelembagaan serta penyelenggaraan perumahan dengan dana tugas pembantuan.

NSPK tentang fasilitasi pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 03/PERMEN/M/2010 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT TAHUN 2010 MELALUI DEKONSENTRASI, PERMENPERA NOMOR: 04/PERMEN/M/2010 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DEKONSENTRASI LINGKUP KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT TAHUN 2010,.

463

2. Penyelenggaraan bantuan investasi rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil.

2. Koordinasi penetapan penerima bantuan investasi rumah susun untuk MBR dan rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil.

2. Pelaksanaan pembangunan rumah susun untuk MBR dan rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulaupulau kecil.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Penyelenggaraan bantuan pembangunan PSU. 4. Fasilitasi pembentukan kelembagaan perumahan skala nasional. 5. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan perumahan.

3. Koordinasi penetapan penerima bantuan PSU.

3. Pengelolaan PSU bantuan pusat.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

4. Fasilitasi pembentukan kelembagaan perumahan skala provinsi. 5. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan perumahan di

4. Pembentukan kelembagaan perumahan kabupaten/kota.

PERMENPERA NOMOR: 14/PERMEN/M/2007 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA, PERMENPERA NOMOR: 18/PERMEN/M/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERHITUNGAN TARIF SEWA RUMAH SUSUN SEDERHANA YANG DIB IAYAI APBN DAN APBD, PERMENPERA NOMOR: 09/PERMEN/M/2008 TENTANG PEDOMAN BANTUAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA PADA LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN BERASRAMA PERMENPERA NOMOR: 10/PERMEN/M/2007, PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/2009, PERMENPERA NOMOR: 34/PERMEN/M/2006 NSPK tentang pembentukan kelembagaan perumahan.

5. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan perumahan.

PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/2010 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT TAHUN 2010-2014,

464

provinsi.

PERMENPERA NOMOR:04/PERMEN/M/20 06

3. Pembinaan Pe rumahan Swadaya

1. Pembangunan Baru

6. Penyusunan SPM pembangunan, penghunian dan pengelolaan perumahan nasional (Rumah Tidak Susun, Rusun, dan Rusus). 7. Monitoring dan evaluasi terhadap penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi. 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

6. Koordinasi penyusu nan pedoman pembangunan, penghunian dan pengelolaan perumahan lintas kabupaten/kota.

6. Penyusunan pedoman dan manual penghunian, dan pengelolaan perumahan setempat dengan acuan umum SPM nasional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 22/PERMEN/M/2008, PERMENPERA NOMOR:04/PERMEN/M/20 06 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT TAHUN 2005-2009 NSPK tentang penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi.

7. Pengawasan langsung terhadap penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi ke kabupaten/kota. 1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

7. Pengawasan dan pengendalian pengelolaan rusun dan rusus.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 08/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERIAN STIMULAN UNTUK PERUMAHAN SWADAYA BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH MELALUI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO / LEMBAGA KEUANGAN NON BANK

2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional tentang perumahan swadaya.

2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi tentang perumahan swadaya.

2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota tentang perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15/PRT/M/2009 tentang PEDOMAN PENYUSUNAN. RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI.

465

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No 05/Permen/M/2008 tentang Tentang Perubahan atas Permenpera Nomor 05PERMENM2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPRS/KPRS Syariah Bersubsidi NSPK tentang Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

466

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NPSK tentang Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di pusat.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No 05/Permen/M/2008 tentang Tentang Perubahan atas Permenpera Nomor 05PERMENM2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPRS/KPRS Syariah Bersubsidi PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 02/PERMEN/M/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN

467

2. Pemugaran

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.

2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.

2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 06/PERMEN/M/2006 TENTANG PEMBANGUNAN/PERBAI KAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN, PERMENPERA NOMOR: 07/PERMEN/M/2006 TENTANG DUKUNGAN PENJAMINAN KREDIT/PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN/PERBAI KAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO, PERMENPERA NOMOR: 26/PERMEN/M/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 07/PERMEN/M/2006 TENTANG DUKUNGAN PENJAMINAN KREDIT/PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN/PERBAI KAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.01/2006 TENTANG. RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN

468

KEUANGAN.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No 05/Permen/M/2008 tentang Tentang Perubahan atas Permenpera Nomor 05PERMENM2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPRS/KPRS Syariah Bersubsidi NSPK tentang Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

469

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi Kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembagapendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat provinsi.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 286/PRT/M/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pekerjaan Umum

470

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. 3. Perbaikan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. 1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. 1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

PERMENPERA NOMOR: 06/PERMEN/M/2006 TENTANG PEMBANGUNAN/PERBAI KAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN, PERMENPERA NOMOR: 07/PERMEN/M/2006 TENTANG DUKUNGAN PENJAMINAN KREDIT/PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN/PERBAI KAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO, PERMENPERA NOMOR: 26/PERMEN/M/2006 TENTANG

471

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 07/PERMEN/M/2006 TENTANG DUKUNGAN PENJAMINAN KREDIT/PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN/PERBAI KAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

472

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunanperum ahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

473

4. Perluasan

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.

2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat provinsi. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat kabupaten/kota.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

PERMENPERA NOMOR: 06/PERMEN/M/2006 TENTANG PEMBANGUNAN/PERBAI KAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN, PERMENPERA NOMOR: 07/PERMEN/M/2006 TENTANG DUKUNGAN PENJAMINAN KREDIT/PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN/PERBAI KAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO, PERMENPERA NOMOR: 26/PERMEN/M/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 07/PERMEN/M/2006 TENTANG DUKUNGAN PENJAMINAN KREDIT/PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN/PERBAI KAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO

474

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembagaperumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

475

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. 5. Pemeliharaan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. 1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.

2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.

2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

PERMENPERA NOMOR: 06/PERMEN/M/2006 TENTANG PEMBANGUNAN/PERBAI KAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN, PERMENPERA NOMOR: 07/PERMEN/M/2006 TENTANG DUKUNGAN PENJAMINAN KREDIT/PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN/PERBAI KAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO, PERMENPERA NOMOR: 26/PERMEN/M/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI

476

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 07/PERMEN/M/2006 TENTANG DUKUNGAN PENJAMINAN KREDIT/PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN/PERBAI KAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

477

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

478

6. Pemanfaatan

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.

2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

PERMENPERA NOMOR: 06/PERMEN/M/2006 TENTANG PEMBANGUNAN/PERBAI KAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN, PERMENPERA NOMOR: 07/PERMEN/M/2006 TENTANG DUKUNGAN PENJAMINAN KREDIT/PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN/PERBAI KAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO, PERMENPERA NOMOR: 26/PERMEN/M/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 07/PERMEN/M/2006 TENTANG DUKUNGAN PENJAMINAN KREDIT/PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN/PERBAI KAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KREDIT/PEMBIAYAAN MIKRO

479

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

480

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. 4. Pe ngembangan Kawasan 1. Sistem Pengembangan Kawasan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam pengembangan kawasan. 2. Penyusunan Rencana Nasional dalam Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4- Nasional). 3. Pembinaan teknis penyusunan RP4D.

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. 1. Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam pengembangan kawasan. 2. Penyusunan Rencana Provinsi dalam Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D-Provinsi).

8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. 1. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam pengembangan kawasan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Penyusunan Rencana Kabupaten/Kota dalam Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4DKabupaten/Kota). 3. Pembinaan teknis penyusu nan RP4D di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Pembinaan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

4. Fasilitasi dan bantuan teknis penyusunan RP4D.

4. Fasilitasi dan bantuan teknis penyusu nan RP4D di wilayahnya.

4. Penyusunan RP4D di wilayahnya.

5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan dan RP4D.

5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D skala provinsi.

5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di skala kabupaten/kota.

PERMENPERA NOMOR: 14/PERMEN/M/ 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN KAWASAN KHUSUS, PERMENPERA NOMOR: 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN KAWASAN NELAYAN, PERMENPERA NOMOR: 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI, PERMENPERA NOMOR: 17/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN PERBATASAN, PERMENPERA NOMOR: 32/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK TEKNIS

481

6. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam pengembangan kawasan dan penyusunan RP4D. 2. Kawasan SkalaBesar 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar. 3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.

6. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di wilayahnya.

6. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. 3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.

1. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. 3. Pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI, PERMENPERA NOMOR: 33/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN TATACARA PENUNJUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN SIAP BANGUN DAN PENYELENGGARA LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI, PERMENPERA NOMOR: 34/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

482

5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar. 3. Kawasan Khusus 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus. 3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.

5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.

5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala khusus di wilayahnya. 3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.

1. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. 3. Pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 14/PERMEN/M/ 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN KAWASAN KHUSUS, PERMENPERA NOMOR: 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN KAWASAN NELAYAN, PERMENPERA NOMOR: 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI, PERMENPERA NOMOR: 17/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK

483

4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus. 5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.

4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.

4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.

5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

4. Keterpaduan Prasarana Kawasan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.

1. Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.

1. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN PERBATASAN, PERMENPERA NOMOR: 32/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK TEKNIS KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI, PERMENPERA NOMOR: 33/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN TATACARA PENUNJUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN SIAP BANGUN DAN PENYELENGGARA LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI, PERMENPERA NOMOR: 34/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN. PERMENPERA NOMOR: 14/PERMEN/M/ 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN KAWASAN KHUSUS, PERMENPERA NOMOR: 34/PERMEN/M/2006

484

2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan. 3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan. 5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan. 5. Keserasian Kawasan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan

2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya. 3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya. 5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.

2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN.

3. Pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.

1. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 14/PERMEN/M/ 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN KAWASAN KHUSUS, PERMENPERA NOMOR: 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN KAWASAN NELAYAN, PERMENPERA NOMOR: 16/PERMEN/M/2006 TENTANG

485

hunian berimbang.

3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang. 5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.

3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.

3. Pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.

5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI, PERMENPERA NOMOR: 17/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN PERBATASAN, PERMENPERA NOMOR: 32/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK TEKNIS KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI, PERMENPERA NOMOR: 33/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN TATACARA PENUNJUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN SIAP BANGUN DAN PENYELENGGARA LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI, PERMENPERA NOMOR: 34/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN.

486

5. Pembinaan Hukum, Pe raturan Pe rundangundangan dan Pe rtanahan untuk Pe rumahan

1. Pembangunan Baru

1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

1. Koordinasi penyusu nan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait di bidang perumahan. 3. Sosialisasi peraturan perundangundangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

1. Pelaksanaan penyusu nan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

2. Evaluasi peraturan perundangundangan bidang perumahan.

2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang peraturan perundang-undangan bidang perumahan.

3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundangundangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim. 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi, sosialisasi dan pelaksanaan peraturan perundangundangan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

487

5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 7. Fasilitasi penyusu nan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi. 8. Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.

5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan. 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

7. Fasilitasi penyusu nan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

NSPK tentang penysusunan dan sosialisasi lahan unruk pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang kebijakan pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

488

10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

10. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembangunan perumahaan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanaha.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.

13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan.

489

2. Pemugaran

1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundangundangan bidang perumahan.

3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundangundangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim. 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

1. Koordinasi penyusu nan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait di bidang perumahan. 3. Sosialisasi peraturan perundangundangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

1. Pelaksanaan penyusu nan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang evaluasi, peninjauan dan pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi, sosialisasi dan pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penangangan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

490

6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan. 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 7. Fasilitasi penyusu nan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi. 8. Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

7. Fasilitasi penyusu nan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat Kabupaten/kota. 8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di Kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

NSPK tentang penyusunan, sosialisasi dan pelaksanaan NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

10. Pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

491

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi. 3. Perbaikan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundangundangan bidang perumahan.

13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota. 1. Koordinasi penyusu nan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang-

13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 1. Pelaksanaan penyusu nan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang evaluasi peraturan perundangundangan bidang perumahan.

492

undangan terkait di bidang perumahan.

3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundangundangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim. 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

3. Sosialisasi peraturan perundangundangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentag pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

493

7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan. 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

7. Fasilitasi penyusu nan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi. 8. Koordinasi dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang Pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

7. Fasilitasi penyusu nan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

NSPK tentang penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

10. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

494

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi. 4. Perluasan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundangundangan bidang perumahan.

13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota. 1. Koordinasi penyusu nan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang-

13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 1. Pelaksanaan penyusu nan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang evaluasi peraturan perundangundangan bidang perumahan.

495

undangan terkait di bidang perumahan.

3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundangundangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim. 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

3. Sosialisasi peraturan perundangundangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di Provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

496

7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan. 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

7. Fasilitasi penyusu nan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi. 8. Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

7. Fasilitasi penyusu nan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

NSPK tentang penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

10. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

497

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi. 5. Pemeliharaan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundangundangan bidang perumahan.

13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota. 1. Koordinasi penyusu nan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang-

13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 1. Pelaksanaan penyusu nan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang evaluasi peraturan perundangundangan bidang perumahan.

498

undangan terkait di bidang perumahan.

3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundangundangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim. 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

3. Sosialisasi peraturan perundangundangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penangangan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

499

7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan. 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

7. Fasilitasi penyusu nan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi. 8. Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

7. Fasilitasi penyusu nan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

NSPK tentang penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

10. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

500

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi. 6. Pemanfaatan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundangundangan bidang perumahan.

13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota. 1. Koordinasi penyusu nan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang-

13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 1. Pelaksanaan penyusu nan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang evaluasi peraturan perundangundangan bidang perumahan.

501

undangan terkait di bidang perumahan.

3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundangundangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim. 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

3. Sosialisasi peraturan perundangundangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.

502

7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan. 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

7. Fasilitasi penyusu nan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi. 8. Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan Provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

7. Fasilitasi penyusu nan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan

NSPK tentang penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

10. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

503

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi. 6. Pembinaan Teknologi dan Industri 1. Pembangunan Baru 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota. 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 10/PERMEN/M/2007 TENTANG PEDOMAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM (PSU) PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/2009 TENTANG TATA CAR A PELAKSANAAN

504

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 34/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN

4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

505

2. Pemugaran

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 10/PERMEN/M/2007 TENTANG PEDOMAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM (PSU) PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/2009 TENTANG TATA CAR A PELAKSANAAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 34/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN

506

4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 3. Perbaikan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 10/PERMEN/M/2007 TENTANG PEDOMAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM (PSU) PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/2009 TENTANG TATA CAR A PELAKSANAAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 34/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU)

507

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pemeliharaan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KAWASAN PERUMAHAN

4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 10/PERMEN/M/2007 TENTANG PEDOMAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM (PSU) PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/2009 TENTANG TATA CAR A PELAKSANAAN

508

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 34/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN

4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

509

5. Pemanfaatan

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENPERA NOMOR: 10/PERMEN/M/2007 TENTANG PEDOMAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM (PSU) PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 02/PERMEN/M/2009 TENTANG TATA CAR A PELAKSANAAN BANTUAN STIMULAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN, PERMENPERA NOMOR: 34/PERMEN/M/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) KAWASAN PERUMAHAN

510

4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 7. Pe ngembangan Pe laku Pe mbangunan Pe rumahan, Pe ranserta Masyarakat dan Sosial Budaya 1. Pembangunan Baru 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMEN NOMOR : 15 /PERMEN/M/2007 TENTANG TATA LAKSANA PEMBENTUKAN PERHIMPUNAN PENGHUNI RUMAH SUSUN SEDERHANA MILIK

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

511

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat. 2. Pemugaran 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi. 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

512

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan . 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

513

6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat. 3. Perbaikan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi. 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

514

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat. 4. Perluasan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi. 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

515

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

516

6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat. 5. Pemeliharaan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi. 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

517

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat. 6. Pemanfaatan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi. 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

518

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.

2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

519

6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.

6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.

6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

TOTAL DEMAND

255

TOTAL SUP LAI

97

138

20

255

5. BIDANG PENATAAN RUANG


KEBUTUHAN NSPK (Y=YA, T=Tidak) SUB SUB B IDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINS I 1. Penetapan peraturan daerah bidang penataan ruang tingkat provinsi 2. Penetapan pedoman pelaksanaan NSPK bidang penataan ruang. 3. Penetapan penataan ruang perairan di luar 4 (empat) mil sampai 12 (dua belas) mil dari garis pantai. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan peraturan daerah bidang penataan ruang di tingkat kabupaten/kota

Status NSPK

SUB BIDANG 1. Pengaturan

PEMERINTAH 1. Penetapan peraturan perundangundangan bidang penataan ruang 2. Penetapan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) bidang penataan ruang. 3. Penetapan penataan ruang perairan di luar 12 (dua belas) mil dari garis pantai.

Y 1

2.

3. Penetapan penataan ruang perairan sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai.

KETERANGAN Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

S1

S2

S3 1

KETERANGAN PERATURAN MENTERI PU NO.17/PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN TATA RUANG WILAYAH KOTA NSPK tentang Pedoma Penetapan Pelaksanaan Urusan Pemerintah Bidang Penataan Ruang

NSPK tentang Penetapan penataan ruang perairan di luar 12 (dua belas) mil dari garis pantai.

520

4. Penetapan kriteria penentuan dan kriteria perubahan fungsi ruang suatu kawasan yang berskala besar dan berdampak penting dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang.

4. Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan lintas kabupaten/kota dalam rangka penyusu nan tata ruang khususnya untuk menjaga keseimbangan ekosistem, sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh pemerintah.

4. Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan wilayah dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

5. Penetapan kawasan strategis nasional.

5. Penetapan kawasan strategis provinsi.

5. Penetapan kawasan strategis kabupaten/kota

6. Penetapan kawasan-kawasan andalan.

6. Pemberian arahan pengelolaan kawasan andalan sebagai bagian RTRWP. 7.

6.

7. Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang penataan ruang. 2. Pembinaan 1. Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang pada semua tingkatan wilayah.

7.

1. Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan

1. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NO.50 TAHUN 2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN 2. PERATURAN MENTERI PU NO. 05/PRT/M TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN PERKOTAAN 3. PERATURAN MENTERI PU NO. 21/PRT/M TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI 4. PERATURAN MENTERI PU NO. 40/PRT/M TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN TATA RUANG KAWASAN REKLAMASI PANTAI 5. PERATURAN MENTERI PU NO. 41/PRT/M TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN KRITERIA TEKNIS KAWASAN BUDIDAYA NSPK tentang Pedoman Penetapan kawasan strategis nasional

PERATURAN MENTERI PU NO. 41/PRT/M TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN KRITERIA TEKNIS KAWASAN BUDIDAYA NSPK tentang Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang penataan ruang

NSPK tentang Tata cara penyelenggaraan penataan ruang pada semua tingkatan wilayah

521

pemerintahan.

2. Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang.

2. Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang.

2. Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang.

3. Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.

3. Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.

3. Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.

4. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang terhadap pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

4. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang terhadap kabupaten/kota.

4.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Tata cara penyelenggaraan penataan ruang pada semua tingkatan wilayah

NSPK tentang Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang penataan ruang

5. Pendidikan dan pelatihan.

5. Pendidikan dan pelatihan.

5. Pendidikan dan pelatihan.

6. Penelitian dan pengembangan.

6. Penelitian dan pengembangan.

6. Penelitian dan pengembangan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1.PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NO. 28 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA EVALUASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG DAERAH 2. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NO.28 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KONSULTASI DALAM RANGKA PEMBERIAN PERSETUJUAN SUBSTANSI KEHUTANAN ATAS RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG DAERAH NSPK tentang pedoman pengembangan urusan pemerintah bidang penataan ruang NSPK tentang pengembangan pemerintah bidang ruang pedoman urusan penataan

522

7. Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang nasional. 8. Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat. 9. Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat. 10. Koordinasi dan fasilitasi penataan ruang lintas provinsi.

7. Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang provinsi. 8. Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.

7. Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang kabupaten/kota.

8. Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.

9. Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.

9. Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.

10. Koordinasi dan fasilitasi penataan ruang lintas kabupaten/kota.

10.

11. Pembinaan penataan ruang untuk lintas provinsi.

11. Pembinaan penataan ruang untuk lintas kabupaten/kota.

11.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengadaan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang nasional

NSPK tentang Tata cara penyelenggaraan penataan ruang pada semua tingkatan wilayah

NSPK tentang Tata cara penyelenggaraan penataan ruang pada semua tingkatan wilayah

NSPK tentang pengadaan fasilitas untuk pengembangan urusan pemerintah di bidang penataan ruang NSPK tentang pengembangan pemerintah bidang ruang pedoman urusan penataan

3. Pe mbangunan

a. Perencanaan Tata Ruang 1. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). 1. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). 1. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 1. PERATURAN MENTERI PU NO.16/PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN 2. PERATURAN MENTERI PU NO.15/PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI

523

2. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional. 3. Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWN

2. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi. 3. Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWP.

2. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten/kota. 3. Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWK.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Pedoman Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional 1 1. PERATURAN MENTERI PU NO. 11/PRT/M TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI DAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN/KOTA, BESERTA RENCANA RINCINYA 2. PERATURAN MENTERI PU NO.17/PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN TATA RUANG WILAYAH KOTA 3. PERATURAN MENTERI PU NO.16/PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN 4. PERATURAN MENTERI PU NO.15/PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI

b. Pemanfaatan Ruang 1. Penyusunan program dan anggaran nasional di bidang penataan ruang, serta fasilitasi dan koordinasi antar provinsi. 2. Pemanfaatan kawasan strategis nasional.

1. Penyusunan program dan anggaran provinsi di bidang penataan ruang , serta fasilitasi dan koordinasi antar kabupaten/kota. 2. Pemanfaatan kawasan strategis provinsi.

1. Penyusunan program dan anggaran kabupaten/kota di bidang penataan ruang.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Pedoman Penyusunan program dan anggaran nasional di bidang penataan ruang, serta fasilitasi dan koordinasi antar provinsi

2. Pemanfaatan kawasan strategis kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. PERATURAN MENTERI PU NO. 49/PRT TAHUN 1990 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN IJIN PENGGUNAAN AIR DAN ATAU SUMBER AIR 2. PERATURAN MENTERI PU NO. 48/PRT TAHUN 1990 TENTANG

524

3.

3.

3. Pemanfaatan NSPK bidang penataan ruang.

4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWN

4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWP.

4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWK.

5. Pemanfaatan investasi di kawasan andalan dan kawasan strategis nasional serta kawasan lintas provinsi bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha. 6. Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.

5. Pemanfaatan investasi di kawasan strategis provinsi dan kawasan lintas kabupaten/kota bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.

5. Pemanfaatan investasi di kawasan strategis kabupaten/kota dan kawasan lintas kabupaten/kota bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PENGELOLAAN ATAS AIR DAN ATAU SUMBER AIR PADA WILAYAH SUNGAI 3. PERATURAN MENTERI PU NO. 45/PRT TAHUN 1990 TENTANG PENGENDALIAN MUTU AIR PADA SUMBER-SUMBER AIR 4. PERATURAN MENTERI PU NO. 39/PRT TAHUN 1989 TENTANG PEMBAGIAN WILAYAH SUNGAI NSPK tentang Pedoman Pengembangan Urusan Pemerintah di Bidang Penataan Ruang NSPK tentang Pedoman Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRW

NSPK tentang Pedoman Pemanfaatan investasi dan kerja sama di bidang penataan ruang pada kawasan andalan dan kawasan strategis

6. Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.

6. Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Pemanfaatan dan Pengelolaan Standar Pelayanan Minimum (SPM) di Bidang Penataan Ruang

525

7. Penyusunan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan udara, neraca penatagunaan sumberdaya alam lainnya. 8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWN dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional. 9. Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional. 10. Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional. c. Pengendalian Pemanfaatan Ruang. 1. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional termasuk lintas provinsi.

7.

7.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Pedoman Penyusunan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan udara, neraca penatagunaan sumberdaya alam lainnya

8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWP dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi. 9. Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis provinsi. 10. Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis provinsi.

8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWK dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten/kota. 9. Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Strategi dan Kebijakan operasionalisasi RTRWN dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Pedoman Perumusan program sektoral dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional.

10. Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Pedoman Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional

1. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi termasuk lintas lintas kabupaten/kota.

1. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERATURAN MENTERI PU NO. 48/PRT TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN ATAS AIR DAN ATAU SUMBER AIR PADA WILAYAH SUNGAI

526

2. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.

2. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.

2. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.

3. Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang nasional. 4. Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWN.

3. Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang provinsi. 4. Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWP.

3. Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang kabupaten/kota. 4. Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWK.

5. Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWN. 6. Pengambilalihan kewenangan pemerintah provinsi dalam hal pemerintah provinsi tidak dapat memenuhi SPM di bidang penataan ruang. 7. Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat provinsi.

5. Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWP.

5. Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWK.

6. Pengambilalihan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam hal pemerintah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi SPM di bidang penataan ruang. 7. Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat kabupaten/kota.

6.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Pedoman Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional

NSAPK tentang Pedoman Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang nasional NSPK tentang perizinan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWN

NSPK tentang perizinan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWN

NSPK tentang perizinan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWN

7.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang perizinan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWN

527

8. Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antara provinsi dengan kabupaten/kota. 9.

8. Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antar kabupaten/kota. 9. Pembentukan lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat provinsi.

8.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Strategi dan Kebijakan Pelaksanaan Penataan Ruang Nasional

9. Pembentukan lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat kabupaten/kota.

4. Pengawasan

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah nasional. 2. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi. 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota.

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi. 2. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah . 3.

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota. 2.

NSPK tentang Pedoman pengawasan pada pelaksanaan urusan di bidang penataan ruang nasional 1 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 15/PRT/M/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi 1. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 16/PRT/M/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. 2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 17/PRT/M/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota 42

3.

Jumlah

42

32

528

6. BIDANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN


PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah pada skala kabupaten/kota. KEBUTUHAN NSPK (Y=YA, T=TIDAK) Y 1 T Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3 1 KETERANGAN

SUB SUB BIDANG SUB B IDANG 1. Perencanaan dan Pe ngendalian Pe mbangunan Daerah

PEMERINTAH

1. Perumusan Kebijakan

1.a. Penetapan pedoman dan standar perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah. b.

PEMERINTAHA N DAERAH PROVINSI 1.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah pada skala provinsi.

Permen No 1 th 2005, Permen No 5 th 2007

b.Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah provinsi.

b.Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota.

c.

c.

c. Penetapan pedoman dan standar perencanaan pembangunan daerah kecamatan/desa.

2. Penetapan pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM).

2. Pelaksanaan SPM provinsi.

2. Pelaksanaan SPM kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM).

529

3. Penetapan pedoman dan standar pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri.

3. Pelaksanaan kerjasama antara provinsi dengan swasta mengacu pada pedoman yang ditetapkan Pemerintah.

3. Pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan pedoman dan standar pelaksanaan kerjasama pembangunan.

4. Penetapan pedoman dan standar pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala nasional. 5.a. Penetapan pedoman dan standar pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional. b.

4. Pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala provinsi.

4. Pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah.

5.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi. b.Pelaksanaan/penj abaran petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.

5.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan pedoman dan standar pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan.

b.Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.

530

6.a. Penetapan pedoman dan standar keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala nasional. b.

6.a. Penetapan pedoman dan standar keserasian pengembangan perkotaan dan pedesaan skala provinsi. b.Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala provinsi. 7. Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi. 8.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala provinsi. b.Pelaksan aan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala provinsi. 9.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan skala provinsi.

6.a. Penetapan keserasian pengambangan perkotaan dan perdesaan skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan pedoman dan standar keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan.

b.Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.

7. Penetapan pedoman dan standar manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional. 8.a. Penetapan pedoman dan standar pelayanan perkotaan.

7. Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan pedoman dan standar manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan.

8.a. Pelaksanaan pedoman dan standar pelayanan perkotaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

b.

b.Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala kabupaten/ kota.

9.a. Penetapan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala nasional.

9.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan.

531

b.

b.Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala provinsi. 10. Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala provinsi.

b.Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala kabupaten/kota. 10. Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 NSPK tentang penetapan pedoman dan standar pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil.

10. Penetapan pedoman dan standar pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional. 11. Penetapan pedoman dan

11. Pengembangan kawasan

11. Pengembangan kawasan

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pedoman standar pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan.

standar pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional. 2. Bimbingan, Konsultasi dan Koordinasi 1. Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala nasional.

prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.

prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/ kota.

1. Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala provinsi.

1. Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang bimbingan, konsultasi dan koordinasi.

532

2. Bimbingan, supervisi dan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala nasional. 3.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala nasional.

2. Konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala provinsi.

2. Pelaksanaan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang bimbingan, supervisi dan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah.

3.a. Konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala provinsi.

3.a. Kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri.

b.

b.

b.Bimbingan, supervisi dan konsultasi kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota. 4.a. Konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 NSPK tentang bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan.

4.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional.

4.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.

533

b.

b.

5.a. Bimbingan supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan skala nasional. b.

5.a. Konsultasi pelayanan perkotaan skala provinsi.

b.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan di daerah kecamatan/desa. 5.a. Konsultasi pelayanan perkotaan skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang bimbingan supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan.

b.

b.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan di kecamatan/ desa. 6.a. Konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala kabupaten/ kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 NSPK tentang bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan.

6.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala nasional. b.

6.a. Pelaksanaan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala provinsi.

b.

7. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.

7. Pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulaupulau kecil skala provinsi.

b.Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan di kecamatan/ desa. 7. Pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau- pulau kecil skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulaupulau kecil.

534

8.a. Bimbingan, supervisi dan

8.a. Konsultasi pengembangan

8.a. Konsultasi pengembangan

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan.

konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional. b.

kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.

kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/kota.

b.

b.Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan di kecamatan/desa. 9.a. Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/ kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 NSPk tentang bimbingan, supervisi dan konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan.

9.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional. b.

9.a. Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.

b.

b.Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan di kecamatan/desa. 1.a. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

3. Monitoring dan Evaluasi (Monev)

1.a. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala nasional.

1.a. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala provinsi.

Kepmen No 164 th 2000

535

b.

b.

b.Penetapan petunjuk teknis pembangunan skala kecamatan/desa.

c.

c.

c. Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah kecamatan/desa.

2. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala nasional.

3. Monitoring dan evaluasi

2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri skala provinsi. 3. Monitoring dan evaluasi

2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/ kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Monitoring dan evaluasi

pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional.

pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.

pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan.

536

4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional. 5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional. 6. Monitoring dan evaluasi

4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulaupulau kecil skala provinsi.

4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulaupulau kecil.

5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi. 6. Pelaksanaan monitoring dan

5. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPk tentang monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan.

6. Pelaksanaan monitoring dan

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan.

pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala nasional. 7. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional.

evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala provinsi. 7. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.

evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala kabupaten/ kota. 7. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 NSPK tentang monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan.

Jumlah

28

26

28 537

7. BIDANG PERHUBUNGAN
SUB SUB BIDANG 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOT A 1. KEBUTUHAN NSPK (Y=YA; T=TIDAK Y T 1

SUB BIDANG

PEMERINTAH

KETERANGAN

Status NSPK S1 S2 S3

Keterangan

1. Pe rhubungan Darat

1. Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan. 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan nasional. 3. Pedoman tata cara penyusunan dan penetapan kelas jalan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Permen KM 51 th 2007

2. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan provinsi.

2. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan nasional.

3.

3.

Kepmen No 1 th 2000

4. Pedoman persyaratan penentuan lokasi, rancang bangun, dan penyelenggaraan terminal penumpang.

4.

4.

NSPK tentang pedoman persyaratan penentuan lokasi, rancang bangun, dan penyelenggaraan terminal penumpang.

538

5. Pedoman tata cara penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang.

5.

5.

6. Penetapan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan.

6.

6.

7. Pedoman penetapan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan tidak bermotor.

7.

7.

8. Pedoman tata cara pelaksanaan pengujian tipe kendaraan bermotor.

8.

8.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pedoman penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang.

NSPK tentang penetapan persyaratan teknis laik jalan kendaraan.

NSPK pedoman penetapan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan tidak bermotor.

NSPK tentang pedoman tata cara pelaksanaan pengujian tipe kendaraan bermotor.

539

9. Pedoman tata cara penerbitan dan pencabutan sertifikat kompetensi penguji kendaraan bermotor.

9.

9.

10. Pedoman persyaratan dan kriteria teknis unit pengujian berkala kendaraan bermotor.

10.

10.

11. Pedoman tata cara pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.

11.

11.

12. Pedoman tata cara pelaksanaan kalibrasi peralatan uji kendaraan bermotor.

12.

12.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pedoman tata cara penerbitan dan pencabutan sertifikat kompetensi penguji kendaraan bermotor.

NSPK tentang pedoman persyaratan dan kriteria teknis unit pengujian berkala kendaraan bermotor.

NSPK tentang pedoman tata cara pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.

NSPK tentang pedoman tata cara pelaksanaan kalibrasi peralatan uji kendaraan bermotor.

540

13. Pedoman tata cara pelaksanaan pemeriksaaan kendaraan bermotor di jalan.

13.

13.

14. Pedoman dan tata cara pelaksanaan pemeriksaan kendaraan bermotor (STNK dan BPKB).

14.

14.

15. Pedoman persyaratan teknis dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum kendaraan bermotor.

15.

15.

16. Pedoman penyelenggaraan angkutan penumpang dengan kendaraan umum.

16.

16.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pedoman tata cara pelaksanaan pemeriksaaan kendaraan bermotor di jalan.

Kepmen No 69 th 2000

NSPK tentang pedoman persyaratan teknis dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum kendaraan bermotor.

Kepmen No 31 th 2002, Kepmen No 35 th 2003

541

17. Pedoman penyelenggaraan angkutan barang.

17.

17.

18. Pedoman penyelenggaraan angkutan barang berbahaya, alat berat dan peti kemas serta angkutan barang khusus.

18.

18.

19. Pedoman perhitungan tarif angkutan penumpang.

19.

19.

20. Pedoman persyaratan teknis, rancang bangun, dan tata cara pengoperasian serta kalibrasi alat penimbangan kendaraan bermotor.

20.

20.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Permen KM 14 th 2007, Kepmen No 30 th 2003

NSPK tentang pedoman penyelenggaraan angkutan barang berbahaya, alat berat dan peti kemas serta angkutan barang khusus.

NSPK tentang pedoman perhitungan tarif angkutan penumpang.

Kepmen No 5 th 1995

542

21. Pedoman persyaratan teknis, tata cara, penentuan lokasi, rancang bangun, dan pengoperasian fasilitas parkir untuk umum.

21.

21 Pemberian izin penyelenggaraan dan pembangunan fasilitas parkir untuk umum.

22. Pedoman analisis dampak lalu lintas.

22.

22.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

NSPK tentang pedoman pemberian izin persyaratan teknis, tata cara, penentuan lokasi, rancang bangun, dan pengoperasian fasilitas parkir untuk umum.

23. Pedoman tata cara penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas.

23

23.

24.

24. Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan nasional dan jalan provinsi.

24. Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan kabupaten/kota.

543

25. Pedoman penyidikan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan oleh PPNS.

25.

25.

26. Pedoman penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi.

26

26. Pengawasan penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi.

27. Pedoman penyelenggaraan dan tata cara memperoleh dan pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM).

27.

27.

28. Pedoman tata cara dan persyaratan penerbitan serta pencabutan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.

28.

28.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pedoman penyidikan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan oleh PPNS.

NSPK tentang pedoman pengawasan penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi.

Kepmen No 27 th 2001

NSPK tentang pedoman tata cara dan persyaratan penerbitan serta pencabutan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.

544

29. Pedoman pengumpulan, pengolahan dan analisis kecelakaan lalu lintas.

29.

29.

30. Pedoman penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas.

30.

30.

31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe A.

31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe B.

31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe C.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pedoman pengumpulan, pengolahan dan analisis kecelakaan lalu lintas.

Kepmen No 14 th 2006

NSPK tentang penetapan lokasi terminal penumpang Tipe A, B, dan C.

32. Penetapan norma, standar, kriteria, dan pengesahan rancang bangun terminal penumpang Tipe A. 33.Persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe A.

32. Pengesahaan rancang bangun terminal penumpang Tipe B.

32. Pengesahaan rancang bangun terminal penumpang Tipe C.

NSPK tentang pengesahan rancang bangun terminal penumpang Tipe A, B, dan C.

33. Persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe B.

33. Pembangunan pengoperasian terminal penumpang Tipe A, Tipe B, dan Tipe C.

NSPK tentang persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe A, B, dan C.

545

34.Penetapan norma, standar, kriteria rancang bangun terminal angkutan barang.

34.

34.

35.

35.

35. Pembangunan terminal angkutan barang.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

NSPK tentang penetapan rancang bangun terminal angkutan barang.

36.

36.

36. Pengoperasian terminal angkutan barang.

37.Pelaksanaan uji tipe dan penerbitan sertifikat uji tipe kendaraan bermotor.

37.

37.

546

38.Registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor, serta penerbitan dan pencabutan sertifikat registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor yang tipenya sudah mendapatkan sertifikat uji tipe. 39.Penelitian dan pengesahan rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor untuk karoseri, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan bermotor yang dimodifikasi berupa perubahan sumbu dan jarak sumbu. 40.Meregistrasi kendaraan bermotor dan menerbitkan sertifikat registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor yang dibuat berdasarkan rancang bangun yang sudah disahkan.

38.

38.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

39.

39.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

40.

40.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

547

41.Penerbitan dan pencabutan sertifikat kompetensi penguji dan tanda kualifikasi teknis tenaga penguji. 42.Pembanguna n fasilitas dan peralatan uji tipe.

41.

41.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

42.

42.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembangunan fasilitas dan peralatan uji tipe.

43.Akreditasi unit pengujian berkala kendaraan bermotor. 44.Penerbitan sertifikat tanda lulus uji tipe. 45.Pelaksanaan kalibrasi peralatan uji kendaraan bermotor. 46.Akreditasi unit pelaksana pendaftaran kendaraan bermotor.

43.

43.

44.

44.

45.

45.

46.

46.

NSPK tentang akreditasi unit pelaksana pendaftaran kendaraan bermotor.

47.Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan

47. Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk angkutan yang wilayah pelayanannya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.

47. Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk kebutuhan angkutan yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.

Kepmen KM 44 th 2007

548

kendaraan untuk angkutan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah provinsi atau lintas batas negara. 48.Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan nasional.

48.Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan provinsi.

48. Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan provinsi dan kabupaten/kota.

49. Pemberian izin trayek angkutan antar kota dalam provinsi.

49. Pemberian izin trayek angkutan perdesaan/angkutan kota.

NSPK tentang penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan.

49.Pemberian izin trayek angkutan lintas batas negara dan antar kota antar provinsi. 50.Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan nasional.

50.Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan provinsi.

50. Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan kabupaten/kota.

NSPK tentang pemberian izin trayek angkutan lintas batas negara dan antar kota antar provinsi.

NSPK tentang penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan nasional.

51.Pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah provinsi.

51.Pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.

51.

NSPK tentang pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah provinsi.

549

52.Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang melayani lebih dari satu wilayah provinsi. 53.Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya lebih dari satu provinsi. 54.Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian izin operasi angkutan sewa. 55.Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian izin operasi angkutan pariwisata. 56.Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin usaha angkutan barang.

52.Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang wilayah pelayanannya melebihi kebutuhan kabupaten/kota dalam satu provinsi. 53. Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.

52. Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang melayani lebih dari satu wilayah provinsi.

53. Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya lebih dari satu provinsi.

54. Pemberian izin operasi angkutan sewa.

54. Pemberian rekomendasi operasi angkutan sewa.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian izin operasi angkutan sewa.

55. Pemberian rekomendasi izin operasi angkutan pariwisata.

55. Pemberian izin usaha angkutan pariwisata.

NSPK tentang pemberian izin usaha angkutan pariwisata.

56.

56. Pemberian izin usaha angkutan barang.

NSPK tentang pemberian izin usaha angkutan barang.

550

57.Pemberian persetujuan pengangkutan barang berbahaya, beracun dan alat berat.

57.

57.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

58.Penetapan tarif dasar penumpang kelas ekonomi antar kota antar provinsi.

58. Penetapan tarif penumpang kelas ekonomi antar kota dalam provinsi.

58. Penetapan tarif penumpang kelas ekonomi angkutan dalam kabupaten/kota.

Permen KM 62 th 2007, Permen KM 64 th 2008, Permen KM 28 th 2008, Permen KM 33 th 2010, Permen No 33 th 1998, Permen No 34 th 2002, Permen No 51 th 2005, Permen No 53 th 2006, Permen No 59 th 2005, Kepmen No 85 th 2004, Kepmen No 43 th 2001, Permen KM 1 Tahun 2009

59.Penetapan persyaratan teknis dan tata cara penempatan, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendalian dan pengaman pemakai jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan serta fasilitas

59.

59.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

551

pendukung di jalan.

60.Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan nasional. 61.Penetapan lokasi alat pengawasan dan pengamanan jalan.

60. Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan provinsi.

60. Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan.

61.

61.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

552

62.Akreditasi unit penimbangan kendaraan bermotor.

62.

62.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

63.Sertifikasi petugas unit penimbangan kendaraan bermotor.

63.

63.

64.Kalibrasi alat penimbangan kendaraan bermotor.

64.

64.

65.Pengawasan terhadap pengoperasian unit penimbangan kendaraan bermotor. 66.Penyelenggar aan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan nasional.

65. Pengoperasian dan pemeliharaan unit penimbangan kendaraan bermotor.

65.

NSPK tentang pengawasan terhadap pengoperasian unit penimbangan kendaraan bermotor.

66. Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan provinsi.

66. Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan kabupaten/kota.

NSPK tentang penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan nasional.

553

67.Penyelenggar aan analisis dampak lalu lintas (andalalin) di jalan nasional.

67. Penyelenggaraan andalalin di jalan provinsi.

67. Penyelenggaraan andalalin di jalan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

NSPK tentang penyelenggaraan andalalin di jalan.

68.Sertifikasi kompentensi penilai andalalin.

68.

68.

NSPK tentang sertifikasi kompentensi penilai andalalin.

69.Penetapan persyaratan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang LLAJ. 70.Pengusulan pengangkatan dan pemberhentian PPNS bidang LLAJ. 71.Pengawasan pelaksanaan penyidikan bidang LLAJ. 72.Penetapan kualifikasi tenaga instruktur sekolah mengemudi. 73.Akreditasi pendidikan dan latihan mengemudi. 74.Penetapan kualifikasi pengemudi. 75.Akreditasi unit pelaksana penerbitan Surat Izin Mengemudi

69.

69.

70.

70.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

71.

71.

72.

72.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

73.

73.

74.

74.

75.

75.

554

(SIM).

76.Penyelenggar aan pemberian SIM dan pendaftaran kendaraan bermotor. 77.Penyelenggar aan pemberian SIMinternasiona l. 78.Akreditasi unit pelaksana penerbitan sertifikat kompetensi pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu. 79.Sertifikasi pengemudi angkutan penumpang umum. 80.Sertifikasi pengemudi dan pembantu pengemudi kendaraan pengangkut barang berbahaya dan beracun serta barang khusus. 81.Penyelenggar aan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan nasional dan jalan tol.

76.

76.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

77.

77.

78.

78.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

79.

79.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

80.

80.

81. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan provinsi.

81. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan.

555

82.Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu nasional. 83.Pedoman persyaratan tenaga auditor keselamatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. 84.Pedoman persyaratan tenaga investigator kecelakaan lalu lintas nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. 85.Penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga auditor keselamatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. 86.Penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga investigator kecelakaan lalu lintas jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

82. Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu provinsi.

82. Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu.

83.

83.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pedoman persyaratan tenaga auditor keselamatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

84.

84.

NSPK tentang pedoman persyaratan tenaga investigator kecelakaan lalu lintas nasional.

85.

85.

NSPK tentang penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga auditor keselamatan jalan.

86.

86.

NSPK tentang penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga investigator kecelakaan lalu lintas jalan.

556

87.Penerbitan sertifikat registrasi uji tipe untuk rancang bangun kendaraan bermotor. 88.Pemeriksaan mutu rancang bangun kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan. 89.Pengesahan modifikasi kendaraan bermotor dengan tidak mengubah tipe.

87.

87.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penerbitan sertifikat registrasi uji tipe untuk rancang bangun kendaraan bermotor.

88.

88.

NSPK tentang pemeriksaan mutu rancang bangun kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan.

89.

89.

90.Penelitian dan penilaian kesesuaian fisik kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan dengan Surat Keputusan (SK) rancang bangun kendaraan bermotor yang diterbitkan oleh pemerintah.

90.

90.

NSPK tentang penelitian dan penilaian kesesuaian fisik kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan dengan Surat Keputusan (SK) rancang bangun kendaraan bermotor yang diterbitkan oleh pemerintah.

557

91.Penerbitan surat keterangan bebas uji berkala pertama kali.

91.

91.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

92.Pengawasan pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor. 93.Penilaian kinerja tenaga penguji berkala kendaraan bermotor.

92.

92. Pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.

NSPK tentang pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.

93.

93.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

94.Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya.

94. Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya.

94. Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya.

558

95.

95. Pemberian izin operasi angkutan sewa berdasarkan kuota yang ditetapkan pemerintah.

95.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

96.

96. Pengoperasian alat penimbang kendaraan bermotor di jalan.

96.

97.Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan nasional kecuali jalan tol. 98.Pelaksanaan penyidikan pelanggaran ketentuan pidana Undang-undang tentang LLAJ.

97. Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan provinsi.

97. Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan kabupaten/kota.

NSPk tentang perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan.

98. Pelaksanaan penyidikan pelanggaran:

98. Pelaksanaan penyidikan pelanggaran:

NSPK tentang pelaksanaan penyidikan pelanggaran UU LLAJ.

a. Perda provinsi bidang LLAJ.

a. Perda kabupaten/kota bidang LLAJ.

NSPK tentang perda bidang LLAJ.

559

b. Pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan.

b. Pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan.

c. Pelanggaran ketentuan pengujian berkala.

c. Pelanggaran ketentuan pengujian berkala.

NSPK tentang pelanggaran ketentuan pengujian berkala.

d. Perizinan angkutan umum.

d. Perizinan angkutan umum.

99.Pengawasan pemberian SIM, pendaftaran kendaraan bermotor, dan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu. 100. Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas tingkat nasional.

99.

99.

NSPK tentang pengawasan pemberian SIM, pendaftaran kendaraan bermotor, dan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.

100. Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di wilayah provinsi.

100. Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di wilayah kabupaten/kota.

NSPK tentang pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas.

560

101.

101.

101. Pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

102.

102.

102. Pemberian izin usaha bengkel umum kendaraan bemotor.

103.

103.

103. Pemberian izin trayek angkutan kota yang wilayah pelayanannya dalam satu wilayah kabupaten/kota.

104.

104.

104. Penentuan lokasi fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota.

561

105.

105.

105. Penentuan lokasi fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

106.

106.

106. Pengoperasian fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota.

107.

107.

107. Pemberian izin usaha mendirikan pendidikan dan latihan mengemudi.

2. Lalu Lintas Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (LLASDP)

1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau antar provinsi.

1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau antar kabupaten/kota dalam provinsi.

1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau dalam kabupaten/kota.

NSPK tentang penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau.

562

2. Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional, dan antar negara, serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara. 3. Pedoman penetapan lintas penyeberangan.

2. Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.

2. Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Permen KM 6 th 2010. Kepmen No 32 th 2001, Kepmen No 71 th 2004

3.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Kepmen No 38 th 2005, Kepmen No 48 th 2005

4. Penetapan lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional, dan antar negara dan jaringan jalur kereta api dan antar negara. 5. Pedoman rancang bangun kapal Sungai, Danau, dan Penyeberangan (SDP).

4. Penetapan lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.

4. Penetapan lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.

Kepmen No 30 th 1998

5.

5.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pedoman rancang bangun kapal Sungai, Danau, dan Penyeberangan (SDP).

563

6. Pengadaan kapal SDP.

6. Pengadaan kapal SDP.

6. Pengadaan kapal SDP.

7. Pedoman registrasi kapal sungai dan danau.

7.

7.

8. Pedoman pengoperasian kapal SDP.

8.

8.

9. Pedoman persyaratan pelayanan kapal SDP.

9.

9.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pengadaan kapal SDP.

NSPK tentang pedoman registrasi kapal sungai dan danau.

NSPK tentang pedoman pengoperasian kapal SDP.

NSPK tentang pedoman persyaratan pelayanan kapal SDP.

564

10. Pedoman pemeliharaan/pe rawatan kapal SDP.

10.

10.

11. Pedoman tata cara pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau. 12. Pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau 7 GT.

11.

11.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pedoman pemeliharaan/perawatan kapal SDP.

Permen No 26 th 2006

12. Pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau < 7 GT

12.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan sertifikasi.

565

13. Pedoman penyelenggaraan pelabuhan SDP.

13.

13.

14. Pedoman penetapan lokasi pelabuhan SDP.

14.

14.

15. Penetapan lokasi pelabuhan penyeberangan.

15. Rekomendasi lokasi pelabuhan penyeberangan.

15.Rekomendasi lokasi pelabuhan penyeberangan.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

NSPK tentang pedoman penyelenggaraan pelabuhan SDP.

NSPK tetang pedoman penetapan lokasi pelabuhan SDP.

NSPK tentang rekomendasi lokasi pelabuhan penyeberangan.

16.

16.

16.Penetapan lokasi pelabuhan sungai dan danau.

566

17. Pedoman pembangunan pelabuhan SDP.

17.

17.

18. Pembangunan pelabuhan SDP.

18. Pembangunan pelabuhan SDP.

18.Pembangunan pelabuhan SDP.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pedoman pembangunan pelabuhan SDP.

NSPK tentang pembangunan pelabuhan SDP.

19. Penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan.

19.

19.Penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan.

Kepmen No 11 th 2002, Kepmen No 19 th 2003

20. Pengawasan penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara

20.

20.

NSPK tentang pengawasan penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara

567

21.

21.

21.Penyelenggaraan pelabuhan sungai dan danau.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

22. Pedoman penyusunan rencana induk, Daerah Lingkungan Kerja (DLKr)/Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan SDP. 23.

22.

22.

NSPK tentang pedoman penyusunan rencana induk, Daerah Lingkungan Kerja (DLKr)/Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan SDP.

24. Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan Penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.

23. Pemberian rekomendasi rencana induk pelabuhan penyeberangan, DLKr/DLKp yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api. 24. Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi

23. Pemberian rekomendasi rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi, nasional dan antar negara.

24. Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan SDP yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.

NSPK tentang penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan SDP yang terletak pada jaringan jalan.

568

25. Pedoman sertifikasi pelabuhan sdp 26. Penetapan sertifikasi pelabuhan SDP. 27. Pedoman pemeliharaan/pe rawatan pelabuhan SDP

25.

25.

26.

26.

27.

27.

28. Pedoman penetapan kelas alur pelayaran sungai dan danau.

28.

28.

29.

29. Penetapan kelas alur pelayaran sungai.

29.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

NSPK tentang pedoman pemeliharaan/perawatan pelabuhan SDP

NSPK tentang pedoman penetapan kelas alur pelayaran sungai dan danau.

569

30. Pedoman tata cara berlalu lintas di sungai dan danau.

30.

30.

31. Pedoman perambuan sungai, danau dan penyeberangan.

31.

31.

32. Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan.

32. Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan.

32.Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

NSPK tentang pedoman tata cara berlalu lintas di sungai dan danau.

NSPK tentang pedoman perambuan sungai, danau dan penyeberangan.

NSPK tentang pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan

33.

33.

33. Izin pembuatan tempat penimbunan kayu (logpon), jaring terapung dan kerambah di sungai dan danau.

570

34. Pemetaan alur sungai untuk kebutuhan transportasi.

34. Pemetaan alur sungai lintas kabupaten/kota dalam provinsi untuk kebutuhan transportasi. 35. Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau.

34. Pemetaan alur sungai kabupaten/kota untuk kebutuhan transportasi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pemetaan alur sungai kabupaten/kota untuk kebutuhan transportasi.

35. Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau. 36.

35. Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau kabupaten/kota.

NSPK tentang pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau.

36. Izin pembangunan prasarana yang melintasi alur sungai dan danau.

36.

37. Pedoman penyelenggaraan angkutan SDP.

37.

37.

Kepmen No 73 th 2004

571

38. Pedoman tarif angkutan SDP.

38.

38.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

39. Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara, serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara. 40. Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi pada lintas antar provinsi dan antar negara. 41. Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP pada jaringan jalan nasional dan antar negara.

39. Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi.

39. Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.

Permen No 33 th 2002, Permen No 45 th 2005, Permen No 46 th 2006, Permen No 60 th 2005, Kepmen No 31 th 1998, Permen No 1 th 2005

40. Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi antar kabupaten/kota dalam provinsi.

40. Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi dalam kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi.

41. Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.

41. Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.

NSPK tentang pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan .

572

42. Pedoman tarif jasa kepelabuhanan SDP.

42.

42.

43. Penetapan tarif jasa pelabuhan SDP yang tidak diusahakan yang dikelola pemerintah. 44. Pedoman/persya ratan pelayanan angkutan SDP.

43.

43. Penetapan tarif jasa pelabuhan SDP yang tidak diusahakan yang dikelola kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Kepmen No 39 th 2004, Kepmen No 30 th 1999, Kepmen No 50 th 2003, Permen No 72 th 2005

Kepmen No 23 th 2003

44.

44.

NSPK tentang pedoman/persyaratan pelayanan angkutan SDP.

45. Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan pada jaringan jalan nasional dan antar negara. 46. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau.

45. Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi pada jaringan jalan provinsi. 46. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau.

45. Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota pada jaringan jalan kabupaten/kota 46. Pengawasan pengoperasian penyelenggaran angkutan sungai dan danau.

Permen No 66 th 2005

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau.

573

47. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan pada lintas antar provinsi dan antar negara. 48. Pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui angkutan SDP.

47. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi pada jaringan jalan provinsi. 48. Pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui angkutan SDP.

47. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan dalam kabupaten/kota pada jaringan jalan kabupaten/kota. 48.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Kepmen No 17 th 2000

2. Pe rkeretaapian

1. Penetapan rencana induk perkeretaapian nasional.

1. Penetapan rencana induk perkeretaapian provinsi;

1. Penetapan rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota.

NSPK tentang penetapan rencana induk perkeretaapian.

2. Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi :

2. Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi meliputi:

2. Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota meliputi :

NSPK tentang pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah.

a. Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional dan perkeretaapian lokal yang jaringannya melebihi satu provinsi;

a. Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian provinsi dan perkeretaapian kabupaten /kota yang jaringannya melebihi wilayah kabupaten /kota;

a. Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota;

NSPK tentang penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian.

574

b. Penetapan persyaratan, norma, pedoman, standar, kriteria dan prosedur penyelenggaraan perkeretaapian yang berlaku secara nasional; c. Pelaksanaan perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional; d. Penetapan kompetensi Pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang perkeretaapian, pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada pemerintah daerah dan masyarakat;dan e. Pengawasan terhadap pelaksanaan norma, persyaratan, pedoman, standar, kriteria dan prosedur yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat dan pengawasan terhadap pelaksanaan perwujudan

b. Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada kabupaten/kota, pengguna dan penyedia jasa; dan

b. Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada pengguna dan penyedia jasa; dan

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Permen No 24 th 2006, Permenn No 66A th 2006, Permen No 12 th 2007, Permen No 26 th 2008, Permen No 41 th 2009, Permen No 29 th 2010, Permen no 40-45 th 2010
NSPK tentang pelaksanaan perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian.

c. Pengawasan terhadap pelaksanaan perkeretaapian provinsi.

c. Pengawasan terhadap pelaksanaan perkeretaapian kabupaten /kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

d.

d.

NSPK tentang penetapan kompetensi Pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang perkeretaapian, pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada pemerintah daerah dan masyarakat.

e.

e.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengawasan terhadap pemerintah daerah dan masyarakat dan pengawasan terhadap pelaksanaan perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional.

575

pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional.

3. Penetapan persyaratan kelaikan operasi prasarana kereta api umum.

3.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan persyaratan kelaikan operasi prasarana kereta api umum.

4. Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api. 5. Penetapan persyaratan perawatan prasarana kereta api.

4. Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api.

4. Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api.

NSPK tentang pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api.

5.

5.

NSPK tentang penetapan persyaratan perawatan prasarana kereta api.

6. Penetapan persyaratan kelaikan operasi sarana kereta api.

6.

6.

NSPK tentang penetapan persyaratan kelaikan operasi sarana kereta api.

576

7. Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu provinsi. 8. Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan melebihi satu provinsi. 9. Pengujian prasarana kereta api.

7. Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu kabupaten/ kota dalam satu provinsi. 8. Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan melebihi satu wilayah kabupaten/kota dalam provinsi. 9.

7. Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah.

8. Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan dalam wilayah kabupaten /kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

NSPK tentang penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan.

9.

10. Penetapan akreditasi atau lembaga penguji berkala prasarana kereta api. 11. Pemberian sertifikat prasarana kereta api yang telah dinyatakan lulus uji pertama dan uji berkala.

10.

10.

NSPK tentang penetapan akreditasi atau lembaga penguji berkala prasarana kereta api.

11.

11.

577

12. Pemberian sertifikat tenaga tanda kecakapan pengoperasian prasarana kereta api.

12.

12.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

13. Penetapan penunjukan badan hukum atau lembaga lain yang menyelenggarak an pendidikan dan/atau pelatihan tenaga pengoperasian prasarana kereta api. 14. Penetapan persyaratan dan kualifikasi tenaga perawatan prasarana kereta api. 15.

13.

13.

NSPK tentang penetapan penunjukan badan hukum atau lembaga lain yang menyelenggarakan pendidikan dan/atau pelatihan tenaga pengoperasian prasarana kereta api.

14.

14.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

NSPK tentang penetapan persyaratan dan kualifikasi tenaga perawatan prasarana kereta api.

16.Pelaksanaan uji pertama dan uji berkala sarana kereta api.

15. Penutupan perlintasan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin dan tidak ada penanggungjawabny a, dilakukan oleh pemilik dan/atau Pemerintah Daerah. 16

15. Penutupan perlintasan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin dan tidak ada penanggungjawabnya, dilakukan oleh pemilik dan/atau Pemerintah Daerah. 16

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

578

17. Pemberian sertifikat kelaikan sarana kereta api yang telah dinyatakan lulus uji pertama dan uji berkala. 18. Pelimpahan wewenang kepada badan usaha atau lembaga untuk melaksanakan pengujian berkala sarana kereta api. 19. Penerbitan sertifikat tenaga penguji sarana kereta api yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi tertentu. 19. Penerbitan sertifikat tenaga penguji sarana kereta api yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi tertentu. 20. Penetapan persyaratan perawatan sarana kereta api. 21. Penetapan persyaratan dan kualifikasi tenaga perawatan 22. Pemberian sertifikat tanda kecakapan awak kereta api.

17

17

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

18

18

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

19

19

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

20

20

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

21

21

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

22

22

22.

22.

579

23. Penunjukan untuk melaksanakan pendidikan dan/atau pelatihan awak sarana kereta api kepada badan hukum atau lembaga 24. Penetapan jaringan pelayanan kereta api antar kota lintas batas negara, antar kota melebihi satu provinsi. 25. Penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan melampaui satu provinsi. 26. Penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu.

23.

23.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penunjukan untuk melaksanakan pendidikan dan/atau pelatihan awak sarana kereta api kepada badan hukum atau lembaga

24. Penetapan jaringan pelayanan kereta api antar kota melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.

24. Penetapan jaringan pelayanan kereta api dalam satu kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan jaringan pelayanan kereta api antar kota lintas batas negara, antar kota melebihi satu provinsi.

25. Penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan melampaui satu kabupaten/kota dalam satu provinsi. 26. Penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu yang pengoperasian di dalam wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.

25. Penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan berada dalam kabupaten/kota.

NSPK tentang penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan.

26. Penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu yang pengoperasian di dalam wilayah kabupaten/kota.

NSPK tentang penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu.

27. Pemberian izin usaha kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pemberian izin usaha kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum.

580

28. Izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan lintas batas negara berdasarkan perjanjian antar negara dan untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang melintas layanannya melebihi 29 Penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah, untuk layanan angkutan lintas batas negara berdasarkan perjanjian antar negara dan untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melebihi satu provinsi.

28. Izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.

28. Izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan.

29. Penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah, untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.

29. Penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah, untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Permen KM 38 Tahun 2010

581

30. Pembentukan badan untuk pemeriksaan dan penelitian mengenai penyebab setiap kecelakakaan kereta api. 31. Penetapan persyaratan PPNS bidang perkeretaapian. 32. Pengangkatan dan pemberhentian PPNS bidang perkeretaapian.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

582

3. Pe rhubungan Laut

1. Kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT 7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau): a. Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal. b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal. c. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal di atas GT 300. d. Pengaturan pengukuran kapal. e. Pengaturan pendaftaran kapal. f. Pengaturan pas kapal perairan daratan. g. Menetapkan tanda panggilan(call sign) kapal. h. i.

1. Kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT 7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau): a. b. c. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal sampai dengan GT 300 ditugaspembantuank an d. Pelaksanaan pengukuran kapal sampai dengan GT300ditugaspemba ntuankan kepada provinsi. e. f. g. h. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal. i. Pelaksanaan pemeriksaan radio/elektronika kapal.

1. Kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT 7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau): a. B. C. D. E. F. G. H. i.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang kapal berukuran tonase.

583

j. - K. - L. M.- N.- O.P - Q.- R.-

j. Pelaksanaan pengukuran kapal. k. Penerbitan pas perairan daratan. l. Pencatatan kapal dalam buku register pas perairan daratan. m. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi. n. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal. o. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal. q. Penerbitan dokumen pengawakan kapal. r. p. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal.

j. - K. - L. - M.N.- O.- P - Q.- R.-

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

584

Kapal ,2 berukuran Kapal .2 tonase kotor kurang berukuran yang (7 >GT ) 7 dari tonase kotor kurang berlayar han ya di (7 >GT ) 7 dari perairan daratan yang berlayar :(sungai dan danau ) .a hanya di .b perairan daratan .c sungai dan ) .d :(danau Penetapan .a Pemberian izin .e standar laik air pembangunan dan serta pedoman . pengadaan kapal .i .h .g .f keselamatan .kapal Penetapan .b .j prosedur pengawasan keselamatan .kapal Pengaturan .c pengukuran kapal Pengaturan .d pas kapal .perairan daratan .e .h .g . f .i .j

2. Kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (GT <7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau): a. b. c. d. e. f. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal. g. Pelaksanaan pengukuran kapal. h. Penerbitan pas perairan daratan. i. Pencatatan kapal dalam buku register pas perairan daratan. j. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal. k. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal. l. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal. m. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal. n. Penerbitan dokumen pengawakan kapal. o. Pemberian surat izin berlayar.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang kapal ,2 tonase 2 berukuran (7 >GT ) 7 kotor kurang dari . berlayar hanya di perairan yang daratan sungai dan danau

585

3. Kapal berukuran tonase kotor lebih dari atau sama dengan GT 7 (GT 7) yang berlayar di laut: a. Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal. b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal. c. Pemberian izin pembanguna n dan pengadaan kapal. d. Pengawasan pelaksanaan keselamatan kapal. e. Pelaksanaan pengukuran kapal. f. Pelaksanaan pendaftaran kapal. g. Penetapan tanda panggilan (call sign) kapal. h. Penerbitan surat tanda

3. Kapal berukuran tonase kotor lebih dari atau sama dengan GT 7 (GT 7) yang berlayar di laut: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.

3. Kapal berukuran tonase kotor lebih dari atau sama dengan GT 7 (GT 7) yang berlayar di laut: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Permen No 6 th 2005, Permen KM 1 th 2010

586

kebangsaan kapal. i. Pencatatan kapal dalam buku register surat tanda kebangsaan kapal.j. Penerbitan pas kecil. k. Pencatatan kapal dalam buku register pas kecil. l. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal. m. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal. n. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal. o. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal. p. Pelaksanaan pemeriksaan radio/elektro nika kapal.q. Penerbitan dokumen pengawakan kapal.r. Pemberian surat izin berlayar.

587

4. Kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yang berlayar di laut: a. Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.

4. Kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yang berlayar di laut:

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yang berlayar di laut.

a.

a.

NSPK tentang penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.

b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.

b.

b.

NSPK tentang penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.

c. Pengaturan pengukuran kapal. d. Pengaturan surat tanda kebangsaan kapal (pas kecil). e.

c.

c.

d.

d.

e. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal. f.

e.

f.

f. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal.

NSPK tentang pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal.

588

g.

g.

g. Pelaksanaan pengukuran kapal.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pelaksanaan pengukuran kapal.

h.

h.

h. Penerbitan pas kecil .

NSPK tentang penerbitan pas kecil .

i. j. k.

i. j. k.

i. Pencatatan kapal dalam buku register pas kecil.

NSPK tentang pencatatan kapal dalam buku register pas kecil.

l.

l.

j. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal.

NSPK tentang pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal.

k. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal.

NSPK tentang pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal.

l. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal.

NSPK tentang penerbitan sertifikat keselamatan kapal.

589

m.

m. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal.

n.

n. Penerbitan dokumen pengawakan kapal.

NSPK tentang penerbitan dokumen pengawakan kapal.

o. Pemberian surat izin berlayar. 5. Persetujuan lokasi pelabuhan laut.

o.

5.

5. Penetapan penggunaan tanah lokasi pelabuhan laut.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang persetujuan lokasi pelabuhan laut.

6. Penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.

6.

6.

Permen KM 7 th 2007, Permen KM 23 th 2007, Permen KM 14 th 2008, Permen KM 75 th 2009, Permen KM 21 th 2008, Permen No 44 th 2006, Permen No 50 th 2006, Permen No 51 th 2006, Permen No 54 th 2006, Permen No 62 th 2006, Kepmen No 2 th 2004, Permen No 21 th 2006, Permen No 22 th 2006, Permen No 28 th 2006, Permen No 67 th 2005, Kepmen No 74 th 2004

590

7. Pengelolaan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional lama. 8. Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh pemerintah.

7. Pengelolaan pelabuhan regional lama.

7. Pengelolaan pelabuhan lokal lama.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. 1

Permen KM 21 th 2007, Kepmen No 26 th 1998

8. Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh provinsi.

8. Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh kabupaten/kota.

NSPK tentang pengelolaan pelabuhan baru.

9. Penetapan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional. 10.Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional. 11.Penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.

9.

9.

10.

10.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

11.

11.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

591

12.Pertimbangan teknis penambahan dan atau pengembangan fasilitas pokok pelabuhan laut internasional hub, internasional, dan nasional. 13.Penetapan pengoperasian 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional. 14.Penetapan pelabuhan laut untuk melayani angkutan peti kemas. 15.Pertimbangan teknis penetapan pelabuhan laut untuk melayani curah kering dan curah cair. 16.Persetujuan pengelolaan Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri (DUKS) yang berlokasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.

12.

12.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

13.

13.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

14.

14.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

15.

15.

16.

16.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

592

17.Pemberian izin kegiatan pengerukan dan/atau reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub, 18.Penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. 19.

17.

17.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

18.

18.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. 1 NSPK tentang rekomendasi penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.

19. Rekomendasi penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.

19. Rekomendasi penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.

20.

20. Penetapan rencana induk pelabuhan laut regional.

20.

NSPK tentang penetapan rencana induk pelabuhan laut regional.

593

21.

21.

21. Penetapan rencana induk pelabuhan lokal.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. 1 NSPK tentang rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan umum.

22.

22. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan umum.

22. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan umum.

23.

23. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan khusus.

23. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan khusus.

NSPK tentang rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan khusus.

24.

24. Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan

24. Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan

NSPK tentang penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan

594

25.

25. Penetapan pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus regional.

25. Penetapan pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus lokal.

26.

26. Penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut regional.

26. Penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut lokal.

27.

27. Penetapan izin pengoperasian pelabuhan khusus regional.

27. Penetapan izin pengoperasian pelabuhan khusus lokal.

28.

28. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub.

28. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang penetapan pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus.

NSPK tentang penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut.

NSPK tentang penetapan izin pengoperasian pelabuhan khusus.

NSPK tentang rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional

595

29.

29. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional.

29. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional.

30.

30. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut nasional.

30. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut nasional.

31.

31.

31. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional.

NSPK tentang rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut nasional.

32.

32. Penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.

32. Penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal.

NSPK tentang penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut.

596

33.

33. Izin kegiatan pengerukan di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.

33.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

34.

34. Izin reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.

34.

35.

35. Pertimbangan teknis terhadap penambahan dan/atau pengembangan fasilitas pokok pelabuhan laut regional.

35.

36.

36.

36. Pertimbangan teknis terhadap penambahan dan/atau pengembangan fasilitas pokok

597

37.

37. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut regional.

37.

38.

38. Izin kegiatan pengerukan di wilayah perairan pelabuhan khusus regional.

38. Izin kegiatan pengerukan di wilayah perairan pelabuhan khusus lokal.

39.

39. Izin kegiatan reklamasi di wilayah perairan pelabuhan khusus regional.

39. Izin kegiatan reklamasi di wilayah perairan pelabuhan khusus lokal.

40.

40. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan khusus regional.

40.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

NSPK tentang penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut.

NSPK tentang izin kegiatan pengerukan di wilayah perairan pelabuhan khusus.

NSPK tentang izin kegiatan reklamasi di wilayah perairan pelabuhan khusus.

598

41.

41. Penetapan DUKS di pelabuhan regional.

41. Penetapan DUKS di pelabuhan lokal.

42.

42.

42. Pelaksanaan rancang bangun fasilitas pelabuhan bagi pelabuhan dengan pelayaran lokal (kabupaten/kota).

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

NSPK tentang penetapan DUKS di pelabuhan.

43.

43.

43. Izin kegiatan pengerukan di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal.

44.

44.

44. Izin kegiatan reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal.

599

45.

45.

45. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut lokal.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. 1 NSPK tentang rekomendasi penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.

46.

46.

46. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan khusus lokal.

47.

47. Rekomendasi penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.

47. Rekomendasi penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.

48.

48.

48. Penetapan besaran tarif jasa kepelabuhanan pada pelabuhan lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

NSPK tentang penetapan besaran tarif jasa kepelabuhanan pada pelabuhan lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

600

49. Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar provinsi dan internasional. 50.

49. Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam wilayah provinsi setempat. 50. Izin usaha pelayaran rakyat bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan

49. Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam kabupaten/kota setempat.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Kepmen No 33 th 2001

50. Izin usaha pelayaran rakyat bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam kabupaten/kota.

51.

51. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan angkutan laut nasional yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi.

51. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan angkutan laut nasional yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan dalam satu kabupaten/kota.

52.

52. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan pelayaran rakyat yang lingkup kegiatannyamelayan i lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, lintas pelabuhan antar provinsi serta lintas pelabuhan internasional (lintas

52. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan pelayaran rakyat yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan dalam satu kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang izin usaha pelayaran rakyat bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan.

NSPK tentang pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan angkutan laut nasional yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan.

NSPK tentang pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan pelayaran rakyat yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan.

601

batas).

53.

54.

55. Izin operasi angkutan laut khusus.

53. Pelaporan pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur (tramper) bagi perusahaan angkutan laut yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi. 54. Pelaporan penempatan kapal dalam trayek tetap dan teratur (liner) dan pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur (tramper) bagi perusahaan pelayaran rakyat yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam wilayah provinsi setempat, pelabuhan antar provinsi dan internasional (lintas batas). 55.

53. Pelaporan pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur (tramper) bagi perusahaan angkutan laut yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota setempat. 54. Pelaporan penempatan kapal dalam trayek tetap dan teratur (liner) dan pengoperasian kapal secaratidak tetap dan tidak teratur (tramper) bagi perusahaan pelayaran rakyat yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota setempat.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pelaporan pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur (tramper) bagi perusahaan angkutan laut yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan.

NSPK tentang pelaporan penempatan kapal dalam trayek tetap dan teratur (liner) dan pengoperasian kapal secaratidak tetap dan tidak teratur (tramper) bagi perusahaan pelayaran rakyat yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan.

55.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

602

56.

56. Izin usaha tally di pelabuhan.

56. Izin usaha tally di pelabuhan.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. 1 NSPK tentang izin usaha angkutan perairan pelabuhan.

57.

57. Izin usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal.

57. Izin usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal.

58.

58. Izin usaha ekspedisi/Freight

58. Izin usaha ekspedisi/FreightForw arder.

59.

59. Izin usaha angkutan perairan pelabuhan.

59.

603

60.

60. Izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut/ peralatan penunjang angkutan laut.

60.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. 1

61.

61. Izin usaha depo peti kemas.

61.

62. Penetapan tarif angkutan laut dalam negeri untuk penumpang kelas ekonomi.

62.

62.

Permen KM 45 th 2009, Permen KM 38 th 2009, Kepmen No 34 th 1998

63. Penyusunan jaringan trayek angkutan laut dalam negeri.

63.

63.

NSPK tentang penyusunan jaringan trayek angkutan laut dalam negeri.

604

64. Penetapan trayek angkutan laut perintis dan penempatan kapalnya.

64.

64.

65.

65.

65. Penetapan lokasi pemasangan dan pemeliharaan alat pengawasan dan alat pengamanan (ramburambu), danau dan sungai lintas kabupaten/kota

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

NSPK tentang penetapan trayek angkutan laut perintis dan penempatan kapalnya.

66.

66.

66. Pemberian rekomendasi dalam penerbitan izin usaha dan kegiatan salvage serta persetujuan Pekerjaan Bawah Air (PBA) dan pengawasan kegiatannya dalam kabupaten/kota. 67.

67. Penetapan perairan pandu luar biasa. 68. Penetapan perairan wajib pandu.

67.

68.

68.

605

69. Pelimpahan kewenangan pemanduan.

69.

69.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pelimpahan kewenangan pemanduan.

4. Perhubungan Udara

1. Angkutan Udara

1. Penetapan norma, standar,prosedur, dan kriteria di bidang angkutan udara.

1.

1.

NSPK tentang bidang angkutan udara.

3. Penerbitan izin kegiatan angkutan udara.

4. Penetapan persetujuan rute penerbangan.

5.

2. Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan izin usaha angkutan udara niaga dan melaporkan ke Pemerintah. 3. Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan izin kegiatan angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah. 4. Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan Jaringan dan Rute Penerbangan dan melaporkan ke pemerintah. 5. Mengusulan rute penerbangan baru ke dari daerah yang bersangkutan.

2.

NSPK tentang penerbitan izin usaha angkutan udara niaga.

3.

NSPK tentang penerbitan izin kegiatan angkutan udara.

4.

NSPK tentang penetapan persetujuan rute penerbangan.

5.

NSPK tentang pengusulan rute penerbangan baru ke dari daerah yang bersangkutan.

606

6. Persetujuan penambahan atau pengurangan kapasitas angkutan udara rute penerbangan. 7.

6. Pemantauan pelaksanaan persetujuan rute penerbangan dan melaporkan ke pemerintah.

6.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang persetujuan penambahan atau pengurangan kapasitas angkutan udara rute penerbangan.

8. Persetujuan terbang Flight Approval (FA) untuk:

7. Pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan penambahan atau pengurangan kapasitas angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah. 8. Pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan izin terbang/FA yang dikeluarkan oleh pemerintah dan melaporkan ke pemerintah.

7.

NSPK tentang pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan penambahan atau pengurangan kapasitas angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah.

8.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang persetujuan terbang Flight Approval (FA).

a. Penerbangan ke dan/dari luar negeri. b. Perubahan jadwal penerbangan dalam negeri bagi perusahaan angkutan c. Penerbangan dalam negeri bagi perusahaan angkutan udara tidak berjadwal antar provinsi dengan pesawat udara di atas 30 tempat duduk.

607

9.

10.

11. Penetapan tarif angkutan udara (batas atas) dan tarif referensi angkutan udara.

12. Pemberian Sertifikasi personil petugas pengamanan operator penerbangan.

9. Persetujuan izin terbang/FA perusahaan angkutan udara tidak berjadwal antar kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi dengan pesawat udara di atas 30 tempat duduk dan melaporkan ke Pemerintah. 10. Pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan izin terbang/FA perusahaan angkutan udara non berjadwal antar kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi dengan pesawat udara diatas 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah. 11. Pemantauan terhadap pelaksanaan tarif angkutan udara (batas atas) dan tarif referensi angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah. 12. Pemantauan terhadap personil petugas pengamanan operator penerbangan dan personil petugas pasasi dan melaporkan ke pemerintah.

9.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang persetujuan izin terbang/FA perusahaan angkutan udara tidak berjadwal antar kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi dengan pesawat udara di atas 30 tempat duduk dan melaporkan ke Pemerintah.

10.

NSPK tentang pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan izin terbang/FA perusahaan angkutan udara non berjadwal antar kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi dengan pesawat udara diatas 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah.

11.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Permen KM 19 th 2008, Kepmen No 9 th 2002, Permen No 11 th 2006, Permen No 36 th 2005

12.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pemberian Sertifikasi personil petugas pengamanan operator penerbangan.

608

13. Sertifikasi personil pasasi.

13.

13.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang sertifikasi personil pasasi.

14. Penerbitan izin general sales agent.

14. Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan general sales agent dan melaporkan ke pemerintah. 15. Pemberian izin Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU).

14.

NSPK tentang penerbitan izin general sales agent.

15.

15.

NSPK tentang pemberian izin Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU).

16.

16. Pemberian arahan dan petunjuk terhadap kegiatan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU).

16.

NSPK tentang pemberian arahan dan petunjuk terhadap kegiatan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU).

609

17.

17. Pemantauan, penilaian, dan tindakan korektif terhadap pelaksanaan kegiatan EMPU dan melaporkan kepada pemerintah.

17.

18.

18. Pengawasan dan pengendalian izin EMPU.

18.

19. Penetapan standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara. 20. Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara:

19.

19.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

NSPK tentang pemantauan, penilaian, dan tindakan korektif terhadap pelaksanaan kegiatan EMPU dan melaporkan kepada pemerintah.

NSPK tentang pengawasan dan pengendalian izin EMPU.

20.

20.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

610

a. Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara; b. Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang c. Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara; 21.

21. Pengusulan bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri. Pengusulan bandar udara di wilayah kerjanya yang terbuka untuk angkutan udara ke/dari luar negeri disertai alasan dan data dukung yang memadai. Mengusulkan

21.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pengusulan bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri. Pengusulan bandar udara di wilayah kerjanya yang terbuka untuk angkutan udara ke/dari luar negeri disertai alasan dan data dukung yang memadai. Mengusulkan penetapan tersebut kepada pemerintah.

611

penetapan tersebut kepada pemerintah.

22. Penetapan besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara pusat penyebaran dan bandar udara bukan pusat penyebaran yang ruang udara disekitarnya dikendalikan. 23. Pengawasan tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara pusat penyebaran dan bandar udara bukan pusat penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan. Pemantauan penilaian dan tindakan korektif terhadap pelaksanaan tarif jasa bandar

22.

22.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

23.

23.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

612

2. Pesawat Udara

1. Pemberian tindakan korektif terhadap pelanggaran ketentuanketentuan di bidang angkutan udara. 2. Pemberian tanda kebangsaan dan pendaftaran pesawat udara 3. Sertifikasi kelaikan udara.

1.

1.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

2.

2.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

3.

3.

4. Sertifikasi tipe pesawat udara. 5. Sertifikasi tipe validasi pesawat udara. 6. Sertifikasi tipe tambahan pesawat udara. 7. Sertifikasi produksi.

4.

4.

5.

5.

6.

6.

7.

7.

8. Sertifikasi operator pesawat udara. 9. Sertifikasi pengoperasian pesawat udara. 10. Sertifikasi perekayasaan produk aeronautika.

8.

8.

9.

9.

10.

10.

613

11. Sertifikasi pendaftaran pesawat udara. 12. Dokumen limitasi produksi. 13. Sertifikasi distributor produk aeronautika. 14. Sertifikasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penerbangan (penerbang, teknik, flight engineer, flight operation officer dan awak kabin). 15. Sertifikasi penerbang.

11.

11.

12.

12.

13.

13.

14.

14.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

15.

15.

16. Sertifikasi teknik.

16.

16.

17. Sertifikasi juru mesin pesawat udara. 18. Sertifikasi navigasi pesawat udara. 19. Sertifikasi awak kabin.

17.

17.

18.

18.

19.

19.

20. Sertifikasi personil ahli perawatan pesawat udara.

20.

20.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

614

21. Sertifikasi personil penunjang operasi pesawat udara/Flight Operation Officer (FOO). 22. Sertifikasi Ground Support Equipment (GSE). 23. Penerbitan izin pengadaan pesawat udara. 24. Sertifikasi persetujuan izin organisasi perawatan pesawat udara. 25. Sertifikasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penerbangan (penerbangan, teknik, flight engineer, flight operation officer dan awak 26. Persetujuan rancang bangun komponen pesawat udara. 27. Persetujuan izin persetujuan rancang bangun perubahan pesawat udara.

21.

21.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

22.

22.

23.

23.

24.

24.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

25.

25.

26.

26.

27.

27.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

615

28. Penetapan standar laik udara serta pedoman keselamatan pesawat udara, auditing management keselamatan udara, penyidikan, penanggulangan kecelakaan, bencana pesawat udara. 29. Pemeriksaan dokumen dan persyaratan administrasi pengoperasian pesawat udara sesuai CASR 21 meliputi pemeriksaan FA, C of A,C of R, flight plan, wether forcase, loading cargo, dispach report. 30. Membantu pelaksanaan ramp check dengan persyaratan SDM sebagai berikut: Min. DII penerbang, teknik pesawat udara, S-1 teknik aeronautika, mesin, umum dan telah mengikuti airworthiness course, mengikuti dasar penerbangan bagi S-1 umum.

28.

28.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

29.

29.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

30.

30.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

616

3. Bandar Udara

31. Pemeriksaan dokumen dan persyaratan administrasi awak sesuai CASR 61 & 65 meliputi pemeriksaan:(1) Licensi Captain, Cockpit; (2) Lisensi Pramugari dan pramugara; (3) Manifest;(4) Fuel Quantity pesawat udara. 32. Membantu pelaksanaan ramp check dengan persyaratan SDM sebagai berikut: (1) Min D-II penerbang, D-II teknik pesawat udara, S-1 teknik aeronautika, mesin umum; (2) Telah mengikuti airworthiness course, mengikuti dasardasar penerbangan bagi S-1 umum. 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang bandar udara.

31.

31.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

32.

32.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang bandar udara.

617

2. Penetapan lokasi bandar udara umum.

2. Pemberian rekomendasi penetapan lokasi bandar udara umum.

2. Pemberian rekomendasi penetapan lokasi bandar udara umum.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

1 Permen KM 46 th 2007. Permen KM 44 th 2007

3.

3. Pemantauan terhadap pelaksanaan keputusan penetapan lokasi bandar udara umum dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara. 4. Pemberian rekomendasi penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk. 5. Pemantauan terhadap penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk danmelaporkan ke pemerintah pada bandar udara yang belum terdapat kantor

3. Pemantauan terhadap pelaksanaan keputusan penetapan lokasi bandar udara umum dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.

NSPK tentang pemantauan terhadap pelaksanaan keputusan penetapan lokasi bandar udara umum dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.

4. Penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk. 5.

4. Penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara < 30 tempat duduk.

Kepmen 5 tahun 2008

5.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pemantauan terhadap penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk danmelaporkan ke pemerintah pada bandar udara yang belum terdapat kantor

618

6. Penetapan/izin pembangunan bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.

7. Pemberian sertifikat operasi bandar udara. 8. Sertifikasi pengatur pergerakan pesawat udara di appron.

6. Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan/izin pembangunan bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk danmelaporkan kepada pemerintah. 7.

6.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan/izin pembangunan bandar udara khusus yang melayani pesawat udara.

7.

9. Sertifikasi PKP-PK dan salvage. 10. Sertifikasi petugas pengamanan bandar udara. 11. Pemberian sertifikasi personil teknik bandar udara.

8. Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan pengatur pesawat udara di apron, Pertolongan Kecelakaan PenerbanganPemadam Kebakaran (PKPPK), salvage, engamanan bandar udara dan GSE, pada bandar udara yang 9.

8.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang sertifikasi pengatur pergerakan pesawat udara di appron.

9.

10.

10.

11. Pemantauan terhadap personil teknik bandar udara dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.

11.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pemberian sertifikasi personil teknik bandar udara.

619

12. Penetapan bandar udara internasional.

13. Pengunaan bandar udara

12. Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan bandar udara internasional dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara. 13.

12.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan bandar udara internasional.

13.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

Kepmen No 14 th 1998, Kepmen No 23 th 1998, Kepmen No 23 th 2003

14. Pembentukan Komite Nasional Fasilitasi (KOMNASFAL) Udara. 15. Pembentukan Komite Fasilitasi (KOMF AL) bandar udara.

14.

14.

15. Dapat menjadi anggota KOMFAL apabila bandar udara berdekatan dengan wilayah kerjanya.

15.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembentukan Komite Fasilitasi (KOMFAL) bandar udara.

16. Penetapan batas-batas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.

16. Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan batasbatas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.

16.

NSPK tentang penetapan batasbatas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara.

620

17.

18. Pemberian tindakan korektif terhadap pelanggaran ketentuanketentuan di bidang bandar udara. 19. Penetapan standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara. 20. Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara: a. Pemantauan terhadap kelengkapan sertifikat kelayakan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara.

17. Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan batasbatas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara. 18.

17.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan batas-batas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor bandara.

18.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

19.

19.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

20.

20.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

a.

a.

621

b. Penilaian terhadap kemampuan peralatan penunjang operasi bandar udara. c. Tindakan korektif terhadap peralatan penunjang operasi bandar udara dengan cara memberikan laporan kepada pemerintah. d. Sertifikat kelaikan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara diterbitkan oleh pemerintah. e. Pelaksanaan pemeriksaan terhadap peralatan pelayanan darat pesawat udara dapat dilaksanakan oleh badan hukum yang memenuhi persyaratan. f. Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.

b.

b.

c.

c.

d.

d.

e.

e.

f.

f.

622

21. Penetapan standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara. 22. Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara: a. Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara. b. Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. c. Pemberian arahan dan petunjuk pelaksanaan berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara. d. Pemberian bimbingan dan penyuluhan

21.

21.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

22.

22.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

a.

a.

b.

b.

c.

c.

d.

d.

623

terhadap 23. Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara. a. Pemantauan terhadap kelengkapan sertifikat kelayakan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara. b. Penilaian terhadap kemampuan peralatan penunjang operasi bandar udara. c. Tindakan korektif terhadap peralatan penunjang operasi bandar udara dengan cara memberikan laporan kepada d. Sertifikat kelaikan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara diterbitkan oleh pemerintah. 23. 23. 1 Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

a.

a.

b.

b.

c.

c.

d.

d.

624

e. Pelaksanaan pemeriksaan terhadap peralatan pelayanan darat pesawat udara dapat dilaksanakan oleh badan hukum yang memenuhi persyaratan. f. Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara. 24.

e.

e.

f.

f.

24. Ijin pembangunan bandar udara khusus yang melayani pesawat udara dengan kapasitas < 30 (tiga puluh) tempat duduk dan ruang udara disekitarnya tidak dikendalikan dan terletak dalam 2 (dua) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi, sesuai dengan batas kewenangan wilayahnya.Pemberi tahuan pemberianijin pembangunan bandar udara khusus.

24.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang ijin pembangunan bandar udara khusus yang melayani pesawat udara dengan kapasitas < 30 (tiga puluh) tempat duduk dan ruang udara disekitarnya tidak dikendalikan dan terletak dalam 2 (dua) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi, sesuai dengan batas kewenangan wilayahnya.Pemberitahuan pemberianijin pembangunan bandar udara khusus.

625

25. Penetapan tatanan kebandarudaraan nasional. 26. Pengawasan dan pengendalian pembangunan bandar udara umum. 27. Tindakan korektif terhadap penyimpangan rencana 28.

25.

25.

26.

26.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

27.

27.

29. Pengaturan sistem pendukung penerbangan di bandar udara

28. Pemberian arahan dan petunjuk pelaksanaan kepada penyelenggara bandar udara, serta kantor terkait lainnya tentang tatanan kebandarudaraan dan memberikan perlindungan hukum terhadap lokasi tanah dan/ atau perairan serta ruang udara untuk penyelenggaraan bandar udara umum serta pengoperasian bandar udara dalam bentuk Peraturan Pemerintah Daerah. 29.

28.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pemberian arahan dan petunjuk pelaksanaan kepada penyelenggara bandar udara, serta kantor terkait lainnya tentang tatanan kebandarudaraan dan memberikan perlindungan hukum terhadap lokasi tanah dan/ atau perairan serta ruang udara untuk penyelenggaraan bandar udara umum serta pengoperasian bandar udara.

29.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

626

30. Pengawasan dan pengendalian sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara). 31. Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara). 32. Pemberian rekomendasi/ teguran apabila sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara) tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

30.

30.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

31.

31.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

32.

32.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

627

33. Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara). 34. Penetapan standar rencana induk bandar udara, Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) di sekitar bandar udara, kawasan kebisingan dan daerah lingkungan kerja di sekitar bandar udara. 35. Rekomendasi mendirikan bangunan pada rencana induk bandar udara, KKOP di sekitar bandar udara, kawasan kebisingan di sekitar bandar udara dan DLKr yang telah ditetapkan pada bandar udara pusat penyebaran dan

33.

33.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

34.

34.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

Kepmen No 37 th 2001, Permen No 8 th 2006,

35.

35.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

628

bukan pusat penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan.

4. Keselamatan Penerbangan (Kespen)

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kespen.

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

Permen KM 20 th 2009, Kepmen No 1 th 1996, Kepmen No 7 th 1995, Kepmen No 25 th 1998

2. Audit terkait dengan sertifikasi operasi bandar udara. 3. Sertifikasi personil fasilitas/peralata n elektronika dan listrik penerbangan.

2.

2.

4. Sertifikasi fasilitas/peralata n elektronika dan listrik penerbangan.

3. Pemantauan terhadap personil fasilitas/peralatan elektonika dan listrik penerbangan dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara. 4. Pemantauan terhadap sertifikasi fasilitas/peralatan elektonika dan listrik penerbangan dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.

3.

NSPK tentang sertifikasi personil fasilitas/peralatan elektronika dan listrik penerbangan.

4.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang sertifikasi fasilitas/peralatan elektronika dan listrik penerbangan.

629

5. Sertifikasi fasilitas/peralata n GSE.

6. Sertifikasi personil navigasi penerbangan. 7. Melakukan pemantauan terhadap personil navigasi penerbangan. 8. Sertifikasi personil GSE.

5. Pemantauan terhadap kegiatan GSE dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara. 6.

5.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

NSPK tentang sertifikasi fasilitas/peralatan GSE.

6.

7.

7.

9. Penetapan persetujuan pemberian izin (pengangkutan angkutan bahan dan/atau barang berbahaya). 10. Penetapan standar persyaratan pengangkutan bahan dan/atau barang berbahaya.

8. Pemantauan terhadap personil GSE dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara. 9.

8.

9.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

10.

10.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

630

11. Penetapan/izin operasi bandar

12. Penetapan/izin operasi bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.

13. Penetapan standar operasi prosedur yang terkait dengan pengamanan bandar udara.

14. Penetapan standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan.

11. Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan/izin operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara. 12. Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan/izin operasi bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara. 13. Pemantauan terhadap pelaksanaan standar operasi prosedur yang terkait dengan pengamanan bandar udara dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara. 14.

11.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Kepmen No 23 th 2003, Kepmen No 40 th 2005

12.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan/izin operasi bandar udara khusus yang melayani pesawat udara.

13.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Permen KM 24 th 2009

14.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

631

15. Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan: a. Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan. b. Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. c. Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan. 16. Penetapan pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara.

15.

15.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

a.

a.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Permen KM 44 th 2008

b.

b.

c.

c.

16.

16.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

632

17. Sertifikat personil pengangkutan bahan dan/atau barang berbahaya: a. Pemerintah melakukan supervisi dalam proses b. Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan. c. Dalam melakukan supervisi pemerintah dapat langsung berhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi atau personil yang diberikan otorisasi. 18. Sertifikasi peralatan penunjang operasi pesawat udara. 19. Sertifikasi peralatan pengoperasian bandar udara. 20. Sertifikasi peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan

17.

17.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

a.

a.

b.

b.

c.

c.

18.

18.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

19.

19.

20.

20.

633

angkutan udara.

21. Sertifikasi personil operasi pesawat udara. 22. Sertifikasi personil pelayanan pengoperasian bandar udara. a. Pemerintah melakukan supervisi dalam proses pelaksanaan penerbitan sertifikat. b. Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan. c. Dalam melakukan supervisi pemerintah dapat langsung 23. Sertifikasi personil pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara:

21.

21.

22.

22.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

a.

a.

b.

b.

c.

c.

23.

23.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

634

a. Pemerintah melakukan supervisi dalam proses pelaksanaan penerbitan sertifikat. b. Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan. c. Dalam melakukan supervisi Pemerintah dapat langsung 24. Pengesahan program penanggulangan gawat darurat di bandar udara: a. Dalam melakukan supervisi Pemerintah dapat langsung berhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.

a.

a.

b.

b.

c.

c.

24.

24.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

a.

a.

635

b. Personil yang memiliki kualifikasi yang dibuktikan dengan letter of authorization/ser tifikat otorisasi pemerintah. Masa berlaku otorisasi 1 tahun dan dapat diperpanjang. 25. Pengesahan program pengamanan bandar udara: a. Pemerintah melakukan supervisi dalam proses pelaksanaan pengesahan sertifikat. b. Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan. c. Dalam melakukan supervisi pemerintah dapat langsung berhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.

b.

b.

25.

25.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

a.

a.

b.

b.

c.

c.

636

26. Penelitian awal terhadap insiden di appron berdasarkan

26. Membantu kelancaranpemeriks aan pendahuluan

26.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penelitian awal terhadap insiden di appron berdasarkan

a. Membantu kelancaran Tim investigasi dalam pencapaian lokasi kecelakaan. b. Membantu kelancaran dalam melaksanakan tugas monitor pesawat udara milik pemerintah dan dalam melaksanakan koordinasi dengan unit terkait. c. Membantu kelancaran keimigrasian Tim Investigasi warga asing. 220 TOTAL DEMAND 220 179 TOTAL SUPPLY 183 34 3

637

9. BIDANG PERTANAHAN
SUB SUB B IDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. KEBUTUHAN NSPK (Y=YA, T=TIDAK) Y T 1 STATUS NSPK KETERANGAN S1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. S2 1 S3 PERKA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS SUBBAGIAN, SEKSI DAN SUBBIDANG DILINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, PERKA NOMOR 5 TAHUN 2008TENTANG URAIAN TUGAS SUBBAGIAN DAN SEKSI PADA KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL DAN URAIAN TUGAS URUSAN DAN SUBSEKSI PADA KANTOR PERTANAHAN PERKA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS SUBBAGIAN, SEKSI DAN SUBBIDANG DILINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, PERKA NOMOR 5 TAHUN 2008TENTANG URAIAN TUGAS SUBBAGIAN DAN SEKSI PADA KANTOR WILAYAH KETERANGAN

SUB BIDANG 1. Izin Lokasi

PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria izin lokasi.

2.a. Pemberian izin lokasi lintas provinsi.

2.a. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan. b. Kompilasi bahan koordinasi. c. Pelaksanaan rapat koordinasi. d. Pelaksanaan peninjauan lokasi.

2.a. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan. b. Kompilasi bahan koordinasi. c. Pelaksanaan rapat koordinasi. d. Pelaksanaan peninjauan lokasi.

b c d

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Untuk nomor 2.a sampai dengan nomor 2.h merupakan satu kesatuan urusan secara umum dan hanya membutuhkan 1 NSPK

638

e.

e. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) provinsi dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait. f. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin lokasi yang diterbitkan. g. Penerbitan surat keputusan izin lokasi. h. Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi atas usulan kabupaten/kota dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN provinsi;.

e. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor pertanahan kabupaten/kota dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait.

saja secara umum.

BADAN PERTANAHAN NASIONAL DAN URAIAN TUGAS URUSAN DAN SUBSEKSI PADA KANTOR PERTANAHAN

f.

f. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin lokasi yang diterbitkan.

g.

g. Penerbitan surat keputusan izin lokasi. h. Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi dengan pertimbangan kepala kantorpertanahan kabupaten/kota.

h. Pembatalan ijin lokasi atas usulan pemerintah provinsi dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN provinsi

639

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan izin lokasi.

3. Monitoring dan pembinaan perolehan tanah.

3. Monitoring dan pembinaan perolehan tanah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERKA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS SUBBAGIAN, SEKSI DAN SUBBIDANG DILINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, PERKA NOMOR 5 TAHUN 2008TENTANG URAIAN TUGAS SUBBAGIAN DAN SEKSI PADA KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL DAN URAIAN TUGAS URUSAN DAN SUBSEKSI PADA KANTOR PERTANAHAN

640

2. Pengadaan Tanah Untuk Kepentinga n Umum

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERKA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN T ANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERA TURAN PRESIDEN NOMOR 65 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM, KEPKA NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG NORMA DAN STANDAR MEKANISME KETATALAKSANAAN KEWENANGAN PEMERINTAH DI BIDANG PERTANAHAN YANG DILAKSANAKAN OLEH PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA, PERKA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, PERKA 4 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS

641

SUBBAGIAN, SEKSI DAN SUBBIDANG DILINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA.

2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas provinsi.

2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK

PERKA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN

642

a. b.

a. Penetapan lokasi. b. Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturanperundangundangan. c. Pelaksanaan penyuluhan. d. Pelaksanaan inventarisasi. e. Pembentukan Tim Penilai Tanah (khusus DKI). f. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari Lembaga/Tim Penilai Tanah. g. Pelaksanaan musyawarah. h. Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian. i. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian. j. Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian. k. Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota.

2.a. Penetapan lokasi. b. Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai denganperaturan perundang- undangan. c. Pelaksanaan penyuluhan. d. Pelaksanaan inventarisasi. e. Pembentukan Tim Penilai Tanah f. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari Lembaga/Tim Penilai Tanah. g. Pelaksanaan musyawarah. h. Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian. i. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian. j. Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian. k. Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota.

sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

c d e.

f.

g. h.

PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN T ANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERA TURAN PRESIDEN NOMOR 65 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005+M14 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM, KEPKA NOMOR 2 TAHUN 2003, PERKA NOMOR 3 TAHUN 2006, PERKA 4 TAHUN 2008

i.

j.

k.

643

3. Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelesaian sengketa tanah garapan 2.

3.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERKA NOMOR 3 TAHUN 2007, KEPKA NOMOR 2 TAHUN 2003, PERKA NOMOR 3 TAHUN 2006, PERKA 4 TAHUN 2008

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPKA NOMOR 2 TAHUN 2003, PERKA NOMOR 3 TAHUN 2006, PERKA NOMOR 4 TAHUN 2008

2. Penyelesaian sengketa tanah garapan lintas kabupaten/kota dan untuk Provinsi DKI Jakarta: a. Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan. b. Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa. c. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan. d. Koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkah- langkah penangannya

2.

a. Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan. b. Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa. c. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan. d. Koordinasi dengan kantor pertanahan untuk menetapkan langkah-langkah penangannya

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPKA NOMOR 2 TAHUN 2003, PERKA NOMOR 3 TAHUN 2006, PERKA NOMOR 4 TAHUN 2008

644

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penanganan sengketa tanah garapan. 4. Pe nyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pe mbangunan 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. 2.

e. Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak. 3.

e. Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak. 3. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 KEPKA NOMOR 2 TAHUN 2003, PERKA NOMOR 3 TAHUN 2006, PERKA NOMOR 4 TAHUN 2008

1.

1.

PERKA NOMOR 3 TAHUN 2007

2.

2. Pembentukan tim pengawasan pengendalian.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

645

3.

3. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.

3. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 PERKA NOMOR 3 TAHUN 2007

5. Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee

4. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. 2.a.Pembentukan panitia pertimbangan landreform nasional.

4. Pembinaan dan pengawasan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.

4.

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPKA NOMOR 4 TAHUN 1992, KEPKA NOMOR 2 TAHUN 2003

2.a. Pembentukan panitia pertimbangan landreform provinsi.

2.a. Pembentukan panitia pertimbangan landreform dan sekretariat panitia.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi

KEPKA NOMOR 4 TAHUN 1992, KEPKA NOMOR 2 TAHUN 2003

646

b.

b. Penyelesaian permasalahan penetapan subyek dan obyek tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

b. Pelaksanaan sidang yang membahas hasil inventarisasi untuk penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

semua tingkatan pemerintahan.

c.

c.

c. Pembuatan hasil sidang dalam berita acara. d. Penetapan tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee sebagai obyek landreform berdasarkan hasil sidang panitia. e. Penetapan para penerima redistribusi tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee berdasarkan hasil sidang panitia. f. Penerbitan surat keputusan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian. 3.

d.

d.

e.

e.

f.

f.

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan subyek dan obyek tanah, ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

3. Pembinaan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPKA NOMOR 4 TAHUN 1992, KEPKA NOMOR 2 TAHUN 2003

647

6. Penetapan Tanah Ulayat

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. 2.

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPKA NOMOR 2 TAUN 2003, PERKA NOMOR 3 TAHUN 2006,

2.a. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota. b. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian. c. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat. d. Pengusulan rancangan peraturan daerah provinsi tentang penetapan tanah ulayat. e. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.

2.a. Pembentukan panitia peneliti. b. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian. c. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat. d. Pengusulan rancangan peraturan daerah tentang penetapan tanah ulayat. e. Pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada kantor pertanahan kabupaten/kota. f. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

f.

648

7. Pe manfaatan dan Pe nyelesaian Masalah Tanah Kosong

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. 2.

3.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPKA NOMOR 2 TAHUN 2003, PERKA NOMOR 3 TAHUN 2006,

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPKA NOMOR 2 TAHUN 2003, KEPKA NOMOR 24 TAHUN 2002

2. Penyelesaian masalah tanah kosong.

2.a. Inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim. b. Penetapan bidangbidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk tanaman pangan semusim bersama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian. c. Penetapan pihakpihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan mengutamakan masyarakat setempat.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

649

d. Fasilitasi perjanjian kerjasama antara pemegang hak tanah dengan pihak yang akan memanfaatkan tanah dihadapan/diketahui oleh kepala desa/lurah dan camat setempat dengan perjanjian untuk dua kali musim tanam. e. Penanganan masalah yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian. 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaanpema nfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah. 2. 3. Pembinaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. 3. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 KEPKA NOMOR 2 TAHUN 2003, KEPKA NOMOR 24 TAHUN 2002

8. Izin Membuka Tanah

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPKA NOMOR 2 TAHUN 2003

2. Penyelesaian permasalahan pemberian izin membuka tanah.

2.a. Penerimaan dan pemeriksaan permohonan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK

650

b. Pemeriksaan lapang dengan memperhatikan kemampuan tanah, status tanah dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota. c. Penerbitan izin membuka tanah dengan memperhatikan pertimbangan teknis dari kantor pertanahan kabupaten/kota. d. Pengawasan dan pengendalian penggunaan izin membuka tanah. 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan ijin membuka tanah. 3. Pengawasan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah. 3. 1

sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

KEPKA NOMOR 2 TAHUN 2003

9. Pe rencanaan Pe nggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota. 2.

1. Perencanaan penggunaan tanah lintas kabupaten/kota yang berbatasan.

1.

NSPK tentang penetapan kebijakan perencanaan penggunaan tanah.

2.

2.a. Pembentukan tim koordinasi tingkat kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan

651

b. Kompilasi data dan informasi yang terdiri dari : 1) Peta pola Penatagunaan tanah atau peta wilayah tanah usaha atau peta persediaan tanah dari kantor pertanahan setempat. 2) Rencana Tata R uang Wilayah. 3) Rencana pembangunan yang akan menggunakan tanah baik rencana pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, maupun investasi swasta.

yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

c. Analisis kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan kriteria teknis dari instansi terkait. d. Penyiapan draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah. e. Pelaksanaan rapat koordinasi terhadap draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah dengan instansi terkait. f. Konsultasi publik untuk memperoleh masukan terhadap draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah.

652

g. Penyusunan draft final rencana letak kegiatan penggunaan tanah. h. Penetapan rencana letak kegiatan penggunaan tanah dalam bentuk peta dan penjelasannya dengan keputusan bupati/walikota. i. Sosialisasi tentang rencana letak kegiatan penggunaan tanah kepada instansi terkait. j. Evaluasi dan penyesuaian rencana letak kegiatan penggunaan tanah berdasarkan perubahan RTRW dan perkembangan realisasi pembangunan. 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/ kota. 3. 3. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 NSPK tentang pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan perencanaan penggunaan tanah.

TOTAL DEMAND

23

TOTAL SUPPLY

15

23

653

10. BIDANG KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL


SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota. KEBUTUHA N NSPK Y T Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3 NSPK Urusan Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala nasional. KETERANGAN

SUB BIDANG

PEMERINTAH

1. Pendaftaran Pe nduduk

1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala nasional.

1 2. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional. 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pemutakhiran data penduduk skala nasional. 1. Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional. 2. 2.

1 NSPK Urusan Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.

1 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pemutakhiran data penduduk skala provinsi. 1. Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi. 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.

1 PERATURAN MENTERI NO 19 TAHUN 2010 TENTANG FORMULIR DAN BUKU YANG DIGUNAKAN DALAM PENDAFTARAAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIP IL

2. Sosialisasi

1 1. Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.

3. Penyelenggaraan

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1 NSPK Urusan. Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.

654

2.

2.

4. Pemantauan dan Evaluasi

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional. 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala nasional.

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi. 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala provinsi.

2. Penyelenggaraan pelayanan pendaftaran penduduk dalam sistem administrasi kependudukan skala kabupaten/kota, meliputi:a. Pencatatan dan pemutakhiran biodata penduduk serta penerbitan Nomor Induk Kependudukan (NIK);b. Pendaftaran perubahan alamat;c. Pendaftaran pindah datang penduduk dalam wilayah Republik Indonesia;d. Pendaftaran Warga Negara Indonesia tinggal sementara;e. Pendaftaran pindah datang Antarnegara;f. Pendaftaran penduduk yang tinggal di perbatasan Antarnegara;g. Pendataan penduduk rentan Administrasi Kependudukan;h. Penerbitan dokumen kependudukan hasil pendaftaran penduduk; i. Penatausahaan pendaftaran penduduk. 1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota. 1

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

5. Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Pemantauan dan Evaluasi

1 NSPK Urusan. Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

655

6. Pengawasan

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional. 1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala nasional.

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.

1 2. Pencatatan Sipil 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.

1 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional. 2. 2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK urusan. Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.

1 NSPK urusan Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala nasional.

1 PERATURAN MENTERI NO 38 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR DAN SPESIFIKASI PERANGKAT KERAS, PERANGKAT LUNAK DAN BLANGKO KARTU TANDA PENDUDUK BERBASIS NOMOR INDUK KEPENDUDUKAN SECARA NASIONAL NSPK urusan Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala nasional.

1 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala nasional. 1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional. 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala provinsi. 1. Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi. 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala kabupaten/kota. 1 1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1 KEPUTUSAN MENTERI NO 186 TAHUN 2009 TENTANG PEMBATALAN PASAL 8 AYAT (2) HURUF C ANGKA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT NOMOR 34 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK KARTU TANDA PENDUDUK DAN AKTE CATATAN SIPIL 1

3. Penyelenggaraan

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

656

2.

2.

2. Penyelenggaraan pelayanan pencatatan sipil dalam sistem administrasi kependudukan skala kabupaten/kota meliputi:

1 a. Pencatatan kelahiran; b. Pencatatan lahir mati; c. Pencatatan perkawinan; d. Pencatatan perceraian; e. Pencatatan kematian; f. Pencatatan pengangkatan anak, pengakuan anak dan pengesahan anak; g. Pencatatan perubahan nama; h. Pencatatan perubahan status kewarganegaraan; i. Pencatatan peristiwa penting lainnya; j. Pencatatan perubahan dan pembatalan akta; k. Penerbitan dokumen kependudukan hasil pencatatan sipil; l. Penatausahaan dokumen pencatatan sipil. 1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota. 1

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

4. Pemantauan dan Evaluasi

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan

NSPK urusan Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional. 1

657

pemerintahan.

5. Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala nasional. 1. Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala provinsi. 1. Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi. 2.

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota. 1 1. Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. 1

6. Pengawasan

3. Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan

1. Kebijakan

2. Sosialisasi

1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional. 2. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional. 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pengelolaan informasi administrasi

1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. 1 2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK urusan Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala nasional.

1 NSPK urusan Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.

1 NSPK urusan Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1 PERATURAN MENTERI NO 11 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENDATAAN DAN PENERBITAN DOKUMEN KEPENDUDUKAN BAGI PENDUDUK RENTAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN 1 NSPK urusan Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi. 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

658

kependudukan skala nasional.

3. Penyelenggaraan

1. Koordinasi penyelenggaraan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional. 2. Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data.

1. Koordinasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi. 2. Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data skala provinsi.

1. Koordinasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. 1 2. Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data skala kabupaten/kota. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK urusan Koordinasi penyelenggaraan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1 NSPK urusan Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data.

3.

3. Penyediaan perangkat keras dan perlengkapan lainnya serta sarana jaringan komunikasi data di provinsi.

3. Penyediaan perangkat keras dan perlengkapan lainnya serta jaringan komunikasi data sampai dengan tingkat kecamatan atau kelurahan sebagai tempat pelayanan dokumen penduduk. 1 4. Pelaksanaan sistem informasi administrasi kependudukan.

4. Penyelenggaraan komunikasi data kependudukan skala nasional.

4. Penyelenggaraan komunikasi data kependudukan skala provinsi.

NSPK urusan. Penyelenggaraan komunikasi data kependudukan skala nasional.

659

5. Pembangunan dan pengembangan perangkat lunak.

5. Pembangunan replikasi data kependudukan di provinsi.

5. Pembangunan replikasi data kependudukan di kabupaten/kota.

1 6.a. Pembangunan bank data kependudukan nasional. 6.a. Pembangunan bank data kependudukan provinsi. 6.a. Pembangunan bank data kependudukan kabupaten/kota.

1 b. b. b. Pembangunan tempat perekaman data kependudukan di kecamatan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK urusan Pembangunan dan pengembangan perangkat lunak.

1 NSPK urusan Pembangunan bank data kependudukan nasional.

1 7. 7. 7. Perekaman data hasil pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta pemutakhiran data penduduk menggunakan sistem informasi administrasi kependudukan. 1 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk skala nasional. 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk skala provinsi. 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk.

NSPK urusan Penyajian dan diseminasi informasi penduduk skala nasional.

660

9.a. Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan nasional. b.

9.a. Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan provinsi.

9.a. Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan kabupaten/ kota. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK urusan. Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan nasional.

b.

4. Pemantauan dan Evaluasi

5. Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

6. Pengawasan

1. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional. 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala nasional. 1. Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional. 1. Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala nasional.

1. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi. 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala provinsi. 1. Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala provinsi.

b.Perlindungan data pribadi penduduk dalam proses dan hasil pendaftaran penduduk serta pencatatan sipil. 1. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. 1 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota. 1 1. Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK urusan Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1 NSPK urusanPembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala nasional. 1 NSPK urusan Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1 NSPK urusan Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala nasional.

4. Pe rkembangan Kependudukan

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala kabupaten/kota.

661

2. Sosialisasi

2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala nasional. 1. Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala provinsi. 1. Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala kabupaten/ kota.

NSPK urusan Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala nasional. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1 1.

1 NSPK urusan Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

662

3. Penyelenggaraan

1. Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional. 2.

1. Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.

NSPK urusan Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

1 2. 2. Pembuatan analisis pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan. 3. Koordinasi dan kerjasama antar daerah dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

1 NSPK urusan. Pembuatan analisis pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan.

1 NSPK urusan Koordinasi dan kerjasama antar daerah dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan.

3.

3.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

663

4.

4. Pemantauan dan Evaluasi

1. Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

4. Pelaporan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, dan perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi. 1. Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

4. Pelaporan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk, dan perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.

1 1. Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK urusanPelaporan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, dan perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

1 NSPK urusan Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

664

5. Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

6. Pengawasan

1. Pembinaan dan fasilitasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan dan penyerasian penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional. 1. Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

1. Pembinaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi. 1. Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

1.

NSPK urusan Pembinaan dan fasilitasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan dan penyerasian penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

1 1. Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1 NSPK urusan Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

665

5. Perencanaan Kependudukan

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala nasional.

1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala kabupaten/kota.

1 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan. 1. Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional. 1.a. Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan pada tataran horizontal, vertikal, dan diagonal antar lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah pengelola bidang kependudukan skala nasional. 2. 2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK urusan Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala nasional.

1 NSPK urusan Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan.

1 1. Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi. 1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1 NSPK urusan. Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.

2. Sosialisasi

1 1.a. Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan pada tataran horizontal, vertikal, dan diagonal antar lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah pengelola bidang kependudukan skala provinsi. 1.a. Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan antar dan dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah pada skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1 NSPK urusan Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan pada tataran horizontal, vertikal, dan diagonal antar lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah pengelola bidang kependudukan skala nasional.

3. Penyelenggaraan

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

666

b.

b.

2. Penetapan dan pengembangan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala nasional. 3. Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala nasional. 4. Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.

2. Penetapan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala provinsi.

b.Penyelenggaraan kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan dalam rangka tertib administrasi kependudukan. 2. Penetapan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala kabupaten/kota.

1 3. Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala provinsi. 4. Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik. 3. Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK urusan Penetapan dan pengembangan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala nasional.

1 NSPK urusan Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala nasional.

1 4. Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1 NSPK urusan Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.

1 NSPK urusan Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala nasional.

5. Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala nasional.

5. Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala provinsi.

5. Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala kabupaten/kota. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

667

4. Pemantauan dan Evaluasi

5. Pembinaan

6. Pengawasan

1. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional. 1. Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional. 1. Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.

1. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.

1. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala kabupaten/kota.

1 1. Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi. 1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK urusan. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.

1 NSPK urusan Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.

1 1. Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi. 1. Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala kabupaten/kota. 1 48

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1 NSPK urusan Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. TOTAL SUPPLY

1 44 0 4 48

TOTAL DEMAND

668

11. BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK


KEBUTUHA N NSPK (Y=YA; T=TIDAK Y T

Status NSPK
KETERANGAN

SUB BIDANG 1. Pe ngarusutam aan Gender (PUG)

SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan Pelaksanaan PUG

PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan nasional pelaksanaan PUG.

PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan daerah pelaksanaan PUG di provinsi.

PEMERINTAHAN DAERAH KAB UPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan daerah pelaksanaan PUG di kabupaten/ kota.

S1

S2

2. Koordinasi, fasilitasi, dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala nasional.

2. Koordinasi, fasilitasi dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala provinsi.

2. Koordinasi, fasilitasi dan mediasi pelaksanaan PUG skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

S3 1

Keterangan

PERMENPPPA RI NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN 1
NSPK Tentang Koordinasi, fasilitasi, dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala nasional.

669

2. Kelembagaan PUG

1. Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, Pusat Studi Wanita (PSW), lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala nasional. 2. Pengembangan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala nasional.

1. Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, PSW, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala provinsi.

1. Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, PSW, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala kabupaten/ kota.

2. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala provinsi.

2. Koordinasi dan fasilitasi kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala kabupaten/kota.

3. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG secara nasional dan provinsi.

3. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG skala provinsi.

3. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Tentang Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, Pusat Studi Wanita (PSW), lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala nasional.

NSPK Tentang Pengembangan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala nasional.

NSPK Tentang Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG secara nasional dan provinsi.

670

3. Pelaksanaan PUG

1. Pemberian bantuan teknis dan fasilitasi pelaksanaan PUG (penetapan panduan umum analisis gender, perencanaan anggaran yang responsif gender, materi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) PUG) skala nasional.

1. Pemberian bantuan teknis, fasilitasi pelaksanaan PUG (analisis gender, perencanaan anggaran yang responsif gender, dan pengembangan materi KIE PUG) skala provinsi.

1. Pelaksanaan analisis gender, perencanaan anggaran yang responsif gender, dan pengembangan materi KIE PUG skala kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan politik skala nasional.

2. Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM dan politik skala provinsi.

2. Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM dan politik skala kabupaten/kota.

3. Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala nasional.

3. Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala provinsi.

3. Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Tentang Pemberian bantuan teknis dan fasilitasi pelaksanaan PUG (penetapan panduan umum analisis gender, perencanaan anggaran yang responsif gender, materi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) PUG) skala nasional.

NSPK Tentang Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan politik skala nasional.

NSPK Tentang Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala nasional.

671

2. Kualitas Hidup dan Pe rlindungan Pe rempuan

1. Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan

1.Penetapan kebijakan nasional peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional. 1.Fasilitasi pengintegrasian isu gender dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.

1. Penyelenggaraan kebijakan provinsi peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi. 1. Fasilitasi pengintegrasian upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.

1. Penyelenggaraan kebijakan kabupaten/kota peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama dibidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.
1

PERMENPPPA RI NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN

2. Pengintegrasian Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan

1. Pengintegrasian upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.

NSPK Tentang Pengintegrasian Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan

3. Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota

NSPK Tentang Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan

672

4. Kebijakan Perlindungan Perempuan

1. Penetapan kebijakan nasional perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana. 1. Fasilitasi pengintegrasian kebijakan nasional perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana.

1. Penyelengaraan kebijakan provinsi perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi. 1. Fasilitasi pengintegrasian kebijakan provinsi perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.

1. Penyelenggaraan kebijakan kabupaten/kota perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Tentang Kebijakan Perlindungan Perempuan

5. Pengintegrasian Kebijakan Perlindungan Perempuan

1. Fasilitasi pengintegrasian kebijakan kabupaten/kota perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota.

NSPK Tentang Pengintegrasian Kebijakan Perlindungan Perempuan

673

6. Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Perempuan

1. Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skalaperlindungan anak skala nasional.

3. Pe rlindungan Anak

1. Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

1. Penetapan kebijakan nasional dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi. 1. Pelaksanaan kebijakan dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Tentang Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Perempuan

1. Pelaksanaan kebijakan dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.

PERMENPPPA RI NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN ANAK

2.

2. Pengintegrasian Hak-Hak Anak dalam Kebijakan dan Program Pembangunan

1.Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan nasional.

2. Penetapan kebijakan daerah tentang kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi. 1. Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan skala provinsi.

2. Penetapan kebijakan daerah untuk kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota. 1. Pengintegrasian hakhak anak dalam kebijakan dan program pembangunan skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai

NSPK Tentang Pengintegrasian Hak-Hak Anak dalam Kebijakan dan Program Pembangunan

674

acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.


1

3. Koordinasi Pelaksanaan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

1. Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.

1. Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.

1. Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.

4. Pe mberdayaan Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha

1. Penguatan Lembaga/ Organisasi Masyarakat dan Dunia Usaha untuk Pelaksanaan PUG dan Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

1. Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.

1. Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.

1. Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Koordinasi Pelaksanaan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

PERMENPPPA RINOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA MASYARAKAT DI BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

675

2. Pengembangan dan Penguatan Jaringan Kerja Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha untuk Pelaksanaan PUG, Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

1. Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.

1. Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.

1. Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.

2. Penetapan strategi rekayasa sosial untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan perlindungan anak.

2. Fasilitasi lembaga masyarakat untuk melaksanakan rekayasa sosial untuk mewujudkan KKG dan perlindungan anak skala provinsi.

2. Fasilitasi lembaga masyarakat untuk melaksanakan rekayasa sosial untuk mewujudkan KKG dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.

5. Data dan Informasi Gender dan Anak

1. Data Terpilah menurut Jenis Kelamin dari di Setiap Bidang Terkait

1. Pengembangan dan penetapan kebijakan nasional sistem informasi gender dan anak.

1. Penjabaran dan penetapan kebijakan sistem informasi gender dan anak skala provinsi dengan merujuk pada kebijakan nasional.

1. Penjabaran dan penetapan kebijakan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota dengan merujuk pada kebijakan nasional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Tentang. Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.

NSPK Tentang Penetapan strategi rekayasa sosial untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan perlindungan anak.

PERMENPPPA RI NO. 06 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAA N DATA GENDER DAN ANAK;

676

KEPMANPPPA NO. 03 TAHUN 2001 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA STAF MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
2. Data dan Informasi Gender dan Anak 1. Pengembangan dan penyusunan panduan umum, mekanisme pengumpulan, pengolahan, analisis, diseminasi dan dokumentasi sistem informasi gender dan anak. 1. Koordinasi pelaksanaan sistem informasi gender dan anak skala provinsi. 1. Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota.

2. Advokasi, mediasi dan fasilitasi pelaksanaan sistem infomasi gender dan anak.

2. Fasilitasi pelaksanaan sistem informasi gender dan anak.

2. Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan sistem informasi gender dan anak.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Tentang Pengembangan dan penyusunan panduan umum, mekanisme pengumpulan, pengolahan, analisis, diseminasi dan dokumentasi sistem informasi gender dan anak.

NSPK Tentang Advokasi, mediasi dan fasilitasi pelaksanaan sistem infomasi gender dan anak.

677

3. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

1. Promosi dan advokasi data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional.

1. Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi.

1. Analisis, pemanfaatan, penyebarluasan dan pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala kabupaten/kota.

2. Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan, dan anak skala nasional.

2. Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi.

2. Pemantauan dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota.

3. Pengembangan metode analisis gender dan penyusunan model informasi data skala nasional.

3. Penyusunan model informasi data (mediasi dan advokasi) skala provinsi.

3. Penyusunan model informasi data (mediasi dan advokasi) skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Tentang Promosi dan advokasi data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional.

NSPK Tentang Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan, dan anak skala nasional.

NSPK Tentang Pengembangan metode analisis gender dan penyusunan model informasi data skala nasional.

678

4. Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional.

4. Pemantauan dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender dan anak skala provinsi.

4.

5. Pemantauan dan evaluasi kebijakan dan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender skala nasional.

5.

5.

TOTAL DEMAND

28

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. TOTAL SUPPLY

NSPK Tentang Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional.

NSPK Tentang Pemantauan dan evaluasi kebijakan dan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender skala nasional.

23

28

679

12. BIDANG KELUARGA BERENCANA DAN KELUARGA SEJAHTERA


PEMERINTAH AN DAERAH PROVINSI 1.a. Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1.a. Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala kabupaten/ kota. KEBUTUHA N NSPK Y 1 T Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Status NSPK KETERANGAN S1 S2 1 S3 Peraturan Kepala BKKBN Nomor : 1562/HK-010/B5/2006 tentang Penjabaran program kegiatan Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera dalam pengelolaan keuangan daerah Keterangan

SUB BIDANG 1. Pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi

SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Jaminan dan Pelayanan KB, Peningkatan Partisipasi Pria, Penanggulangan Masalah Kesehatan Reproduksi, serta Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi dan Anak

PEMERINTAH

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, dan kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala nasional. b.

c.

b.Pemberian dukungan operasional jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi. c.

b. Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi, operasionalisasi jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota. c. Penetapan dan pengembangan jaringan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, termasuk pelayanan KB di rumah sakit skala kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

Peraturan Kepala BKKBN Nomor:197/HK-010/B5/2009 Tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan BKKBN

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

680

2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengembangan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala nasional. b.

2.a. Pemberian dukungan pelaksanaan pedoman upaya peningkatan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.

2.a. Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KB, sasaran peningkatan perencanaan kehamilan, sasaran peningkatan partisipasi pria, sasaran Unmet Need, sasaran penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta sasaran kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKKBN Nomor : 590/HK-010/F5/2007 tentang Peningkatan kualitas lingkungan keluarga dalam program KB Nasional

b.

3.a.Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala nasional. b.

3.a.Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi. b.

b. Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota. 3.a. Pelaksanaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota.

Peraturan Kepala BKKBN Nomor:197/HK-010/B5/2009 Tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan BKKBN

b.Pemantauan tingkat drop out peserta KB.

681

c.

c.

d.

d.

e.

e.

f.

f.

g. h.

g. h.

4.a. Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala nasional.

4.a. Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala provinsi.

c. Pengembangan materi penyelenggaraan jaminan dan pelayanan KB dan pembinaan penyuluh KB. d. Perluasan jaringan dan pembinaan pelayanan KB. e. Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi. f. Penyelenggaraan dan fasilitasi upaya peningkatan kesadaran keluarga berkehidupan seksual yang aman dan memuaskan, terbebas dari HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS). g. Pembinaan penyuluh KB. h. Peningkatan kesetaraan dan keadilan gender terutama partisipasi KB pria dalam pelaksanaan program pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. 4.a. Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan kontrasepsi mantap dan kontrasepsi jangka panjang yang lebih terjangkau, aman, berkualitas dan merata skala kabupaten/kota. b.Pelaksanaan distribusi dan pengadaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi, dan pelayanannya dengan prioritas keluarga miskin dan kelompok rentan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala nasional.

b.

b.

682

c.

c.

5.a. Penetapan pedoman dan pengembangan model promosi pemenuhan hakhak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala nasional. b.

5.a. Pemberian dukungan penyelenggaraan promosi pemenuhan hakhak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala provinsi. b.

c.Penjaminan ketersediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi bagi peserta mandiri skala kabupaten/kota. 5.a. Pelaksanaan promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Penetapan pedoman dan pengembangan model promosi pemenuhan hakhak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala nasional.

2. Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)

1. Kebijakan dan Pelaksanaan KRR dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi

1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) skala nasional. b.

1.a.Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.

b. Pelaksanaan informed choice dan informed consent dalam program KB. 1.a. Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKKBN Nomor:197/HK-010/B5/2009 Tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan BKKBN

b. Pemberian dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.

b. Penyelenggaraan dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota.

683

2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengembangan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional. b.

2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.

2.a.Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengembangan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional.

b.

3.a. Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional. b.

3.a. Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi. b.

b.Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota. 3.a. Penyelenggaraan pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota. b. Penyelenggaraan kemitraan pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor Lembaga Swadaya Organisasi Masyarakat (LSOM) skala kabupaten/kota. c. Penetapan fasilitas pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional.

c.

c.

684

d.

d.

e.

e.

f.

f.

d. Pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota. e. Penetapan sasaran KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota. f .Penetapan prioritas kegiatan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota. 4. Pemanfaatan tenaga SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 NSPK Urusan Pengembangan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala nasional.

4. Pengembangan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala nasional. 3. Ketahanan dan Pe mberdayaan Keluarga 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Pengembangan Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga 1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional. b.

4. Pendayagunaan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala provinsi. 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKKBN Nomor:197/HK-010/B5/2009 Tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan BKKBN

b. Penyelenggaraan dukungan pelayanan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.

685

2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional. b.

2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi. b.

2.a. Penyerasian penetapan kriteria pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional.

3.a. Pengelolaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional.

3.a. Pengelolaan operasional ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi. b.

b. Penetapan sasaran Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan Bina Keluarga Lansia (BKL) skala kabupaten/ kota. 3.a. Penyelenggaraan BKB, BKR, dan BKL termasuk pendidikan pra- melahirkan skala kabupaten/ kota.

b.

b.Pelaksanaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.

c.

c.

c. Pelaksanaan modelmodel kegiatan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

NSPK Urusan Pengelolaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional.

686

d.

d.

e.

e.

d. Pembinaan teknis peningkatan pengetahuan, keterampilan, kewirausahaan dan manajemen usaha bagi keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I alasan ekonomi dalam kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) skala kabupaten/kota. e. Pelaksanaan pendampingan/ magang bagi para kader/anggota kelompok UPPKS skala kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

f.

f.

f. Pelaksanaan kemitraan untuk aksesibilitas permodalan, teknologi, dan manajemen serta pemasaran guna peningkatan UPPKS skala kabupaten/kota.

g.

g.

g. Peningkatan kualitas lingkungan keluarga skala kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

687

4. Penguatan Pe lembagaan Keluarga Kecil Berkualitas

1. Kebijakan dan Pelaksanaan Penguatan Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas dan Jejaring Program

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional . b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional

2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional. b.

2.a.Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi. b.

b. Penyelenggaraan dukungan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota. 2.a.Penetapan perkiraan sasaran pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKKBN Nomor : 590/HK-010/F5/2007 tentang Peningkatan kualitas lingkungan keluarga dalam program KB Nasional

b. Pemanfaatan pedoman pelaksanaan penilaian angka kredit jabatan fungsional penyuluh KB.

c.

c.

c. Penetapan petunjuk teknis pengembangan peran Institusi Masyarakat Pedesaan/Perkotaan (IMP) dalam program KB nasional.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

688

d.

d.

d. Penetapan formasi dan sosialisasi jabatan fungsional penyuluh KB.

e.

e.

e. Pendayagunaan pedoman pemberdayaan dan penggerakan institusi masyarakat program KB nasional dalam rangka kemandirian.

f.

f.

f. Penetapan petunjuk teknis peningkatan peran serta mitra program KB nasional.

3. a. Pengelolaan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional. b.

3.a. Pengelolaan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi. b. Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional, serta pemanfaatan hasil kajian dan penelitian.

3.a. Pelaksanaan pengelolaan personil, sarana dan prasarana dalam mendukung program KB nasional, termasuk jajaran medis teknis tokoh masyarakat dan tokoh agama. b. Penyediaan dan pemberdayaan tenaga fungsional penyuluh KB.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

NSPK Urusan Pengelolaan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional.

689

c.

c.

c. Penyediaan dukungan operasional penyuluh KB.

d.

d.

d. Penyediaan dukungan operasional IMP dalam program KB nasional.

e.

e.

e. Pelaksanaan pembinaan teknis IMP dalam program KB nasional.

f.

f.

f. Pelaksanaan peningkatan kerjasama dengan mitra kerja program KB nasional dalam rangka kemandirian.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

690

g.

g.

g. Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional di kabupaten/kota.

h.

h.

h. Pemanfaatan hasil kajian dan penelitian.

i.

i.

i. Pendayagunaan kerjasama jejaring pelatih terutama pelatihan klinis kabupaten/kota.

j.

j.

j. Pendayagunaan SDM program terlatih, serta perencanaan dan penyiapan kompetensi SDM program yang dibutuhkan kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

691

k.

k.

k. Pendayagunaan bahan pelatihan sesuai dengan kebutuhan program peningkatan kinerja SDM.

5. Advokasi dan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)

1. Kebijakan dan Pelaksanaan Advokasi dan KIE

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi, KIE, serta konseling program KB nasional. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKKBN Nomor : 367/HK-010/B5/2008 Tentang : Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Program Keluarga Berencana Nasional

2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria pengembangan advokasi dan KIE skala nasional. b.

b. Fasilitasi operasional advokasi dan KIE skala provinsi. 2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan advokasi dan KIE skala nasional.

b. Penyelenggaraan operasional advokasi KIE skala kabupaten/ kota. 2.a. Penetapan perkiraan sasaran advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

b.

3.a. Pengelolaan advokasi dan KIE skala nasional.

3.a. Pengelolaan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi.

b.Penyerasian dan penetapan kriteria advokasi dan KIE skala kabupaten/kota. 3.a. Pelaksanaan advokasi, KIE, serta konseling program KB dan KRR.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

692

b.

b.

b. Pelaksanaan KIE ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan kelembagaan dan jaringan institusi program KB.

c.

c.

c. Pemanfaatan prototipe program KB/Kesehatan Reproduksi (KR), KRR, ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas.

d.

d.

d. Pelaksanaan promosi KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS, dan bahaya NAPZA dan perlindungan hak-hak reproduksi.

3.a. Pengelolaan advokasi dan KIE skala nasional.

3.a. Pengelolaan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi.

3.a. Pelaksanaan advokasi, KIE, serta konseling program KB dan KRR.

b.

b.

b. Pelaksanaan KIE ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan kelembagaan dan jaringan institusi program KB.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

693

c.

c.

c. Pemanfaatan prototipe program KB/Kesehatan Reproduksi (KR), KRR, ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas.

d.

d.

d. Pelaksanaan promosi KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS, dan bahaya NAPZA dan perlindungan hak-hak reproduksi.

6. Informasi dan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga

1. Kebijakan dan Pelaksanaan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi. b. Fasilitasi operasional pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi. 2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan informasi dan data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional.

b. Penyelenggaraan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.

2.a.Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional.

2.a. Penetapan perkiraan sasaran pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional.

694

b.

b.

3.a. Pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional. b

3.a. Pengelolaan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi. b

b.Informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota. 3.a. Pelaksanaan operasional sistem informasi manajemen program KB nasional.

b. Pemutakhiran, pengolahan, dan penyediaan data mikro kependudukan dan keluarga.

c. Pengelolaan data dan informasi program KB nasional serta penyiapan sarana dan prasarana.

d. Pemanfaaan data dan informasi program KB nasional untuk mendukung pembangunan daerah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

Peraturan Kepala BKKBN Nomor : 367/HK-010/B5/2008 Tentang : Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Program Keluarga Berencana Nasional

695

e. Pemanfaatan operasional jaringan komunikasi data dalam pelaksanaan egovernment dan melakukan diseminasi informasi.

7. Keserasian Kebijakan Kependudukan

1. Penyerasian dan Keterpaduan Kebijakan Kependudukan

1. Penetapan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. 2. Pengkajian dan penyempurnaan peraturan perundangundangan yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan. 3.a. Pengelolaan dan penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan sektoral dan daerah.

1. Pelaksanaan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. 2. Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di provinsi. 3.a. Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di provinsi.

1. Penyelenggaraan kebijakan teknis operasional dan pelaksanaan program kependudukan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan di daerah kabupaten/kota. 2. Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan didaerah kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Penetapan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Pengkajian dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan.

3.a. Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di daerah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Pengelolaan dan penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan sektoral dan daerah.

696

b.

b.

b. Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah kabupaten/kota. 1. Monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional di kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 NSPK Urusan Kebijakan dan Pelaksanaan Pembinaan

8. Pembinaan

1. Kebijakan dan Pelaksanaan Pembinaan

1. Pengembangan dan penetapan kebijakan pembinaan, dan penyelenggaraan monitoring, evaluasi, fasilitasi, asistensi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional.

1. Dukungan pelaksanaan monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional.

25

31

18

25

13. BIDANG SOSIAL


PEMERINTAHAN DAERAH PROVINS I 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala provinsi mengacu pada kebijakan nasional. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala kabupaten/kota mengacu pada kebijakan provinsi dan/atau nasional. KEBUTUHA N NSPK (Y=YA; T=TIDAK) Y 1. Kebijakan Bidang Sosial 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala nasional. 1 T STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3 NSPK Tentang Penetapan kebijakan bidang sosial skala nasional. KETERANGAN

SUB BIDANG

SUB SUB BIDANG

PEMERINTAH

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

697

2. Perencanaan Bidang Sosial

1. Penyusunan perencanaan bidang sosial skala nasional.

1. Penyusunan perencanaan bidang sosial skala provinsi.

1. Penyusunan perencanaan bidang sosial skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERMENSOS RI NO. 111 2009 TENTANG INDIKATOR KINERJA PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL;

3. Kerjasama Bidang Sosial

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria kerjasama bidang sosial.

1. Penyelenggaraan kerjasama bidang sosial skala provinsi.

1. Penyelenggaraan kerjasama bidang sosial skala kabupaten/kota.

4. Pembinaan Bidang Sosial

1. Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala nasional.

1. Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala provinsi.

1. Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPMEN RI NO. 30 2010 TENTANG UNIT KERJA PERCEPATAN DAN PENGENDALIAN PROGRAM KEMENTERIAN SOSIAL ; NSPK Tentang Kerjasama Bidang Sosial

PERMENSOS RI NO. 129 2008 TENTANG STANDARD PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG SOSIAL DAERAH PROVINSI DAN DAERAH KABUPATEN/KOTA;

698

2. Penetapan pedoman dan standarisasi.

2. Sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan pedoman dan standarisasi.

2. Sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan pedoman dan standarisasi.

3. Penetapan akreditasi dan sertifikasi.

3. Pengajuan usulan dan rekomendasi untuk penetapan akreditasi dan sertifikasi.

3. Seleksi dan kelengkapan bahan usulan untuk penetapan akreditasi dan sertifikasi.

4. Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala nasional.

4. Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala provinsi.

4. Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala kabupaten/kota.

5. Identifikasi dan Penanganan Pe nyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

1. Penetapan jenis dan kriteria sasaran penanggulangan masalah sosial skala nasional.

1. Identifikasi sasaran penanggulangan masalah sosial skala provinsi.

1. Identifikasi sasaran penanggulangan masalah sosial skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi

NSPK Tentang Penetapan pedoman dan standarisasi.

NSPK Tentang Penetapan akreditasi dan sertifikasi.

NSPK Tentang Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala nasional.

NSPK Tentang Identifikasi dan Pe nanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

699

semua tingkatan pemerintahan.

6. Pengembangan dan Pe ndayagunaan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)

1. Penetapan pedoman, jenis, standar dan kriteria PSKS skala nasional.

1. Penggalian dan pendayagunaan PSKS skala provinsi.

1. Penggalian dan pendayagunaan PSKS skala kabupaten/kota.

2. Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala nasional.

2. Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala provinsi.

2. Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala kabupaten/kota.

7. Pelaksanaan Program/Kegiatan Bidang sosial

1. Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial meliputi uji coba, percontohan, kerjasama luar negeri, dan penanggulangan masalah sosial skala nasional.

1. Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial skala provinsi dan atau kerjasama antar kabupaten/kota.

1. Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Tentang Penetapan pedoman, jenis, standar dan kriteria PSKS skala nasional.

NSPK Tentang Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala nasional.

NSPK Tentang Pelaksanaan Program/Kegiatan Bidang sosial

700

8. Pengawasan Bidang Sosial

1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan, dan kebijakan bidang sosial.

1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan bidang sosial, dan kebijakan skala provinsi.

1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan bidang sosial skala kabupaten/ kota.

9. Pelaporan Pe laksanaan Program di Bidang Sosial

1. Pelaporan pelaksanaan program di bidang sosial skala nasional kepada Presiden.

1. Pelaporan pelaksanaan program bidang sosial skala provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Menteri Sosial.

1. Pelaporan pelaksanaan program bidang sosial skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Sosial.

10. Sarana dan Prasarana Sosial

1. Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala nasional.

1. Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala provinsi.

1. Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala kabupaten/kota.

11. Pe mbinaan Tenaga Fungsional Pe kerja Sosial

1. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala nasional.

1. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala provinsi.

1. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi

NSPK Tentang Pengawasan Bidang Sosial

NSPK Tentang Pelaporan Pelaksanaan Program di Bidang Sosial

NSPK Tentang Sarana dan Prasarana Sosial

NSPK Tentang Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala nasional.

701

semua tingkatan pemerintahan.

2. Penyelenggaraan pendidikan profesi pekerjaan sosial skala nasional.

2. Pengusulan calon peserta pendidikan profesi pekerjaan sosial skala provinsi.

2. Pengusulan calon peserta pendidikan profesi pekerjaan sosial skala kabupaten/kota.

3. Pendidikan dan pelatihan jabatan fungsional pekerja sosial skala nasional.

3. Pengusulan calon peserta pendidikan dan profesi pekerja sosial skala provinsi.

3. Pengusulan calon peserta pendidikan dan pelatihan pekerja sosial skala kabupaten/kota.

12. Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial

1. Penetapan pedoman sistem informasi kesejahteraan sosial.

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Tentang Penyelenggaraan pendidikan profesi pekerjaan sosial skala nasional.

NSPK Tentang Pendidikan dan pelatihan jabatan fungsional pekerja sosial skala nasional.

PERMENSOS NO. 12 2009 TENTANG PETUJUK PENGGUNAAN LAMBANG/LOGO DEPSOS RI;

702

2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala nasional.

2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala provinsi.

2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota.

13. Pe nganugerahan Tanda Kehormatan

1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk penganugerahan satya lencana kebaktian sosial.

1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi atas usulan penganugerahan satya lencana kebaktian sosial kepada Presiden melalui Menteri Sosial.

1. Penyiapan bahan kelengkapan usulan penganugerahan satya lencana kebaktian sosial kepada Presiden melalui Gubernur dan Menteri Sosial.

2. Penganugerahan penghargaan Menteri Sosial.

2. Pemberian penghargaan di bidang sosial skala provinsi.

2. Pemberian penghargaan di bidang sosial skala kabupaten/kota.

14. Nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan Kejuangan dan Kesetiakawanan Sosial

1. Pelestarian Nilai-Nilai

1. Penetapan pedoman pelestarian nilainilai kepahlawanan, keperintisan kejuangan dan kesetiakawanan sosial.

1. Pelestarian nilainilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan serta nilai- nilai kesetiakawanan sosial sesuai pedoman skala provinsi.

1. Pelestarian nilainilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan serta nilainilai kesetiakawanan sosial sesuai pedoman yang ditetapkan oleh pusat atau provinsi skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi

NSPK Tentang Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala nasional.

NSPK Tentang Pengusulan dan pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk penganugerahan satya lencana kebaktian sosial.

NSPK Tentang Penganugerahan penghargaan Menteri Sosial.

NSPK Tentang Pelestarian Nilai-Nilai

703

semua tingkatan pemerintahan.

2. Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan (TMP)

1. Standarisasi, pemeliharaan, dan perbaikan TMP Nasional.

1. Pembangunan, perbaikan, pemeliharaan, TMP di provinsi.

1. Pembangunan, perbaikan, pemeliharaan, TMP di kabupaten/kota.

3. Pemeliharaan Makam Pahlawan Nasional (MPN)

1. Standarisasi, pemeliharaan dan perbaikan MPN.

1.

1.

4. Penganugerahan Gelar Pahlawan dan Perintis Kemerdekaan

1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk penetapan dan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.

1. Pemberian rekomendasi atas usulan pengangkatan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.

1. Penyiapan bahan kelengkapan usulan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Tentang Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan (TMP)

NSPK Tentang Pemeliharaan Makam Pahlawan Nasional (MPN)

NSPK Tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan dan Perintis Kemerdekaan

704

5. Penyelenggaraan Peringatan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional

1. Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional.

1. Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional tingkat provinsi.

1. Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional tingkat kabupaten/kota.

15. Pe nanggulangan Korban Bencana

1. Penetapan pedoman penanggulangan bencana.

1. Penanggulangan korban bencana skala provinsi.

1. Penanggulangan korban bencana skala kabupaten/kota.

2. Penanggulangan bencana skala dan/atau berdampak nasional.

2.

2.

16. Pe ngumpulan Uang atau Barang (Sumbangan Sosial)

1. Penetapan kebijakan dan pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala nasional.

1. Pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala provinsi.

1. Pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi

NSPK Tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional

NSPK Tentang Penetapan pedoman penanggulangan bencana.

NSPK Tentang Penanggulangan bencana skala dan/atau berdampak nasional.

NSPK Tentang Penetapan kebijakan dan pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala nasional.

705

semua tingkatan pemerintahan.

2. Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala nasional.

2. Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala provinsi.

2. Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala kabupaten/kota.

3. Pengelolaan (penerimaan dan penyaluran) sumbangan sosial masyarakat baik dalam maupun luar negeri.

3.

3.

17. Undian

1. Penetapan kebijakan dan pemberian izin undian skala nasional.

1. Pemberian rekomendasi izin undian skala provinsi.

1. Pemberian rekomendasi izin undian skala kabupaten/kota bila diperlukan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Tentang Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala nasional.

NSPK Tentang Pengelolaan (penerimaan dan penyaluran) sumbangan sosial masyarakat baik dalam maupun luar negeri.

NSPK Tentang Penetapan kebijakan dan pemberian izin undian skala nasional.

706

2. Pengendalian dan pengawasan serta pemantauan pelaksanaan undian di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

2. Pengendalian dan pengawasan pelaksanaan undian di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

2. Pengendalian dan pelaksanaan undian di tingkat kabupaten/kota.

18. Jaminan Sosial bagi Penyandang Cacat Fisik dan Mental, dan Lanjut Usia Tidak Potensial Terlantar, yang berasal dari Masyarakat Rentan dan Tidak Mampu

1. Penetapan pedoman penyelenggaraan jaminan sosial.

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai

NSPK Tentang Pengendalian dan pengawasan serta pemantauan pelaksanaan undian di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

NSPK Tentang Penetapan pedoman penyelenggaraan jaminan sosial.

19. Pe ngasuhan dan Pengangkatan Anak

2. Pelaksanaan pemberian jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar, yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala nasional. 1. Penetapan organisasi sosial/yayasan yang diberi izin untuk pengasuhan anak.

2. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala provinsi.

2. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala kabupaten/kota.

NSPK Tentang. Pelaksanaan pemberian jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar, yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala nasional.

1.

1.

PERMENSOS RI NO. 110 TAHUN 2009 TENTANG PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK;

707

acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Pemberian izin pengangkatan anak bagi anak yang berada dalam asuhan organisasi sosial antar Warga Negara Indonesia (WNI) dan antara WNI dengan Warga Negara Asing (WNA). TOTAL DEMAND

2. Pemberian izin pengangkatan anak antar WNI.

2. Pemberian rekomendasi pengangkatan anak skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.
TOTAL SUPLAI

PERMENSOS RI.NO.37 TAHUN 2010 TENTANG TIM PIPA TENTANG TIM PERTIMBANGAN PERIZINAN PENGANGKATAN ANAK PUSAT; KEPMEN RI NO.01 2004 TENTANG LOGO FORUM KOMUNIKASI TAMAN PENITIPAN ANAK DAN KELOMPOK BERMAIN; KEPMEN RI NO.15A 2010 TAHUN 2010 TETANG PANDUAN UMUM PROGRAM KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK NSPK Tentang Pemberian izin pengangkatan anak bagi anak yang berada dalam asuhan organisasi sosial antar Warga Negara Indonesia (WNI) dan antara WNI dengan Warga Negara Asing (WNA).

37

33

37

708

14. BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN TRANSMIGRASI


PEMERINTAHA N DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOT A KEBUT UHAN NSPK (Y=YA; T=TIDA K) Y 1. Ketenagakerjaan 1. Kebijakan, Perencanaan, Pembinaan, dan Pengawasan 1. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. 2. Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. 3. Koordinasi dan pengintegrasian penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. 1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan penetapan kebijakan daerah serta pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi. 2. Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi. 3. Penanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi. 1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan provinsi, penetapan kebijakan daerah dan pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. T Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

SUB BIDANG

SUB SUB BIDANG

PEMERINTAH

KETERANGAN

STATUS NSPK

KETERANGAN

S1

S2

S3 NSPK tentang penetapan dan pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan.

2. Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 16/MEN/X/2006 Tentang Perubahan Atas Kepmenakertrans No. KEP. 225/MEN/2003 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja

3. Penanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan pengintegrasian penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan.

709

2. Pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur

4. Penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan kelembagaan/Satu an Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bidang ketenagakerjaan skala nasional. 5. Perencanaan tenaga kerja nasional, pembinaan perencanaan tenaga kerja daerah provinsi dan kabupaten/kota, sektoral, dan mikro serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketenagakerjaan nasional. 1. Penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.

4. Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan di provinsi.

4. Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan.

5. Perencanaan tenaga kerja daerah provinsi, pembinaan perencanaan tenaga kerja mikro, pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketenagakerjaan, serta pembinaan perencanaan tenaga kerja dan sistem informasi ketenagakerjaan kabupaten/kota skala provinsi. 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.

5. Perencanaan tenaga kerja daerah kabupaten/kota, pembinaan perencanaan tenaga kerja mikro pada instansi/tingkat perusahaan, pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang perencanaan tenaga kerja nasional, pembinaan perencanaan tenaga kerja daerah dan pembinaan serta pengembangan sistem informasi ketenagakerjaan nasional.

1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan. 1

710

2. Perencanaan formasi, karir, dan pendidikan dan pelatihan (diklat) SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. 4. Penetapan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan. 5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi pusat. 3. Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Tenaga Kerja 1.a. Standarisasi kompetensi dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala nasional.

2. Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan di provinsi.

2. Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang perencanaan formasi, karir, dan pendidikan dan pelatihan (diklat) SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan.

3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi. 4. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketenagakerjaan skala provinsi

3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 4. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketenagakerjaan.

5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi provinsi. 1.a. Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala provinsi.

5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi kabupaten/kota. 1.a. Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP227/MEN/2003

711

b.

b.Pelatihan diseminasi program untuk kabupaten/kota di wilayah provinsi.

b.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

2.a. Standarisasi, pelatihan dan pelaksanaan pengukuran produktivitas skala nasional.

2.a. Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala provinsi

2.a. Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

b.Pembinaan dan penyelenggaraan kerja sama internasional dalam rangka peningkatan produktivitas.

b.Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah provinsi.

b.Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

3. Pengawasan pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan kerja serta penerbitan perizinan magang ke luar negeri.

3. Pengawasan pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan kerja serta penerbitan rekomendasi perizinan magang ke luar negeri.

3. Penyelenggaraan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan serta pengesahan kontrak/perjanjian magang dalam negeri.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP229/MEN/2003

712

4. Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri

4. Pengawasan pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga sertifikasi profesi dan lembaga pelatihan kerja skala nasional. 1.a. Penyusunan sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja secara nasional. b.Pemberian pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala nasional. c. Pembinaan dan penyusunan sistem pemberdayaan pengantar kerja berskala nasional. d.Monitoring, evaluasi, dan sosialisasi jabatan fungsional pengantar kerja.

4. Pengawasan pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga pelatihan kerja skala provinsi.

4. Koordinasi pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga pelatihan kerja skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia KEP219/MEN/2003

1.a. Penyusunan sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja di wilayah provinsi. b.Pemberian pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala provinsi. c. Pembinaan, monitoring, evaluasi, dan pendataan jabatan fungsional pengantar kerja tingkat provinsi. d.

1.a. Penyebarluasan informasi pasar kerja dan pendaftaran pencari kerja (pencaker) dan lowongan kerja. b.Penyusunan, pengolahan dan penganalisisan data pencaker dan data lowongan kerja skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penyusunan sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja. 1

NSPK tentang pemberian pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja.

c. Pemberian pelayanan informasi pasar kerja, bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala kabupaten/kota. d.Pembinaan pejabat fungsional pengantar kerja.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan dan penyusunan sistem pemberdayaan pengantar kerja.

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.06/MEN/III/2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT

713

PELAKSANA TEKNIS DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

e. Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja berskala nasional.

e. Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja tingkat provinsi.

e. Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja di wilayah kerja kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.06/MEN/III/2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NSPK tentang penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan.

2.a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS) dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan lintas provinsi/berskala nasional.

2.a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan skala provinsi.

2.a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

714

b.

b.Penerbitan rekomendasi untuk perizinan pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan yang akan melakukan kegiatan skala provinsi.

b.Penerbitan rekomendasi untuk perizinan pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan yang akan melakukan kegiatan skala kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

3. Pemberian rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/job fair skala nasional

3. Pemberian rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/job fair skala provinsi

3. Pemberikan rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/job fair skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

4. Sosialisasi dan evaluasi penempatan tenaga kerja penyandang cacat, lanjut usia (lansia) dan perempuan skala nasional.

4. Fasilitasi dan pembinaan penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala provinsi.

4. Fasilitasi penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 12/MEN/VIII/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 12/MEN/VIII/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

715

5.a. Penerbitan Surat Persetujuan Penempatan (SPP) Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) skala nasional. b.

5.a. Penerbitan SPP AKAD skala provinsi.

5.a. Penyuluhan, Rekrutmen, seleksi dan pengesahan pengantar kerja, serta penempatan tenaga kerja AKAD/Antar Kerja Lokal (AKL). b.Penerbitan SPP AKL skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

NSPK tentang penerbitan SPP AKAD. 1

b.

6.a. Penerbitan izin operasional Tenaga Kerja Sukarela (TKS) Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela luar negeri dan lembaga sukarela Indonesia. b.Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pendayagunaan TKS, Tenaga Kerja Mandiri (TKM), dan lembaga sukarela skala nasional.

6.a. Penerbitan rekomendasi izin operasional TKS Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan beroperasi lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi. b.Pelaksanaan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan pendayagunaan TKS dan lembaga sukarela skala provinsi.

6.a. Penerbitan rekomendasi izin operasional TKS Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan beroperasi pada 1 (satu) kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menakertrans No.kep 04/MEN/2001


1

b.Pelaksanaan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan pendayagunaan TKS dan lembaga sukarela skala kabupaten/kota

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menakertrans No.kep 04/MEN/2001


1

716

c.

c.Koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program pendayagunaan TKM skala provinsi.

c.Pendaftaran dan fasilitasi pembentukan TKM.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

7.a. Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) baru.

7.a.

7.a.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

b.Pengesahan RPTKA perpanjangan lintas provinsi.

b.Pengesahan RPTKA perpanjangan yang tidak mengandung perubahan jabatan, jumlah orang, dan lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah provinsi.

b.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 12/MEN/VIII/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 12/MEN/VIII/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 12/MEN/VIII/2010 TENTANG ORGANISASI DAN

717

TATA KERJA KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

c. Pengesahan RPTKA perubahan seperti perubahan jabatan, perubahan lokasi, perubahan jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) dan perubahan kewarganegaraan. 8.a. Pemberian rekomendasi visa kerja dan penerbitan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) baru.

c.

c.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

8.a.

8.a.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi.

b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.

b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya. 1

718

c.Penyusunan jabatan terbuka atau tertutup bagi TKA.

c.

c.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

9. Pembinaan dan pengendalian penggunaan TKA skala nasional.

10. Pembinaan penerapan teknologi tepat guna skala nasional.

9. Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam wilayah provinsi. 10. Pembinaan dan penerapan teknologi tepat guna skala provinsi.

9. Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. 10. Pelaksanaan pelatihan/bimbingan teknis, penyebarluasan dan penerapan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.207/MEN/1990


1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.01/MEN/I/2009 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN METODA STATISTIKA KETENAGAKERJAA N

719

5. Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri

11. Pembinaan model-model perluasan dan pengembangan kesempatan secara nasional antara lain melalui usaha mandiri dan sektor informal, serta program padat karya. 1.a. Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan penempatan TKI ke luar negeri.

11. Koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi pelaksanaan program usaha mandiri dan sektor informal serta program padat karya skala provinsi

11. Penyelenggaraan program perluasan kerja melalui bimbingan usaha mandiri dan sektor informal serta program padat karya skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi pelaksanaan program usaha mandiri dan sektor informal serta program padat karya. 1

1.a. Monitoring dan evaluasi penempatan TKI ke luar negeri yang berasal dari wilayah provinsi.

1.a. Pelaksanaan penyuluhan, pendaftaran dan seleksi calon TKI di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri No. PER.18/MEN/IX/200 7. : Tentang Pelaksanaan Penempatan Dan Perlindungan TKI Di Luar Negeri.
Peraturan Menteri No. PER. 38/MEN/XII/2006. : Tentang Tata Cara Pemberian, Perpanjangan dan Pencabutan Izin Pelaksanaan Penempatan TKI. Kepmenakertrans No.KEP.80/MEN/V/200 4 : Tentang Penempatan TKI dalam Kendali Alokasi ke Singapura.

b.Pelaksanaan penempatan TKI oleh pemerintah.

b.

b.Pengawasan pelaksanaan rekrutmen calon TKI di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Pembuatan perjanjian/pelaksa naan kerjasama bilateral dan multilateral dengan negaranegara penempatan TKI.

2. Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah provinsi.

2. Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

720

3. Penerbitan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (SIPPTKIS)/ Surat Izin Usaha Penempatan (SIUP)Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan rekomendasi rekrutmen calon TKI serta Penerbitan Surat Izin Pengerahan (SIP). 4. Verifikasi dokumen TKI, penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), penerbitan rekomendasi paspor TKI yang bersifat khusus dan crash program. 5. Penyelenggaraan Sistem Komputerisasi Terpadu Penempatan TKI di Luar Negeri (SISKO TKLN) dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI.

3. Penerbitan perizinan pendirian kantor cabang di wilayah provinsi dan rekomendasi perpanjangan SIPPTKIS/PPTKIS.

3. Penerbitan rekomendasi izin pendirian kantor cabang PPTKIS di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 07/MEN/IV/2005 Tentang Standar Tempat Penampungan Calon Tenaga Kerja Indonesia

4. Verifikasi dokumen TKI di wilayah provinsi.

4. Penerbitan rekomendasi paspor TKI di wilayah kabupaten/kota berdasarkan asal/alamat calon TKI.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 07/MEN/IV/2008 Tentang Tata Cara Penempatan Tenaga Kerja

1
5. Penyebarluasan sistem informasi penempatan TKI dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah provinsi. 5. Penyebarluasan sistem informasi penempatan TKI dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri No. PER.18/MEN/IX/2007. : Tentang Pelaksanaan Penempatan Dan Perlindungan TKI Di Luar Negeri.

721

6.a. Penentuan standar perjanjian kerja, penelitian terhadap substansi perjanjian kerja serta pengesahan perjanjian kerja.

6.a. Sosialisasi substansi perjanjian kerja penempatan TKI ke luar negeri skala provinsi.

6.a. Sosialisasi terhadap substansi perjanjian kerja penempatan TKI ke luar negeri skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

b.

b.

b.Penelitian dan pengesahan perjanjian penempatan TKI ke luar negeri.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.05/MEN/III/2005 TENTANG KETENTUAN SANKSI ADMINISTRATIF DAN TATA CARA PENJATUHAN SANKSI DALAM PELAKSANAAN PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI Peraturan Menteri No. PER.18/MEN/IX/2007. : Tentang Pelaksanaan Penempatan Dan Perlindungan TKI Di Luar Negeri.
PER. 07/MEN/IV/2008 Tentang Tata Cara Penempatan Tenaga Kerja

7. Penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) (pelaksanaannya dapat didekonsentrasika n kepada Gubernur).

7. Fasilitasi penyelenggaraan PAP.

7.

722

8.a. Penyelenggaraan program perlindungan, pembelaan, dan advokasi TKI. b.Penentuan standar tempat penampungan calon TKI dan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLK-LN). c. Penetapan standar dan penunjukan lembaga- lembaga yang terkait dengan program penempatan TKI (lembaga asuransi, perbankan, dan sarana kesehatan). 9. Fasilitasi kepulangan dan pemulanganTKI secara nasional.

8.a. Pembinaan, pengawasan penempatan dan perlindungan TKI di wilayah provinsi.

8.a. Pembinaan, pengawasan, dan monitoring penempatan maupun perlindungan TKI di kabupaten/kota. b.Penerbitan rekomendasi perizinan tempat penampungan di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

NSPK tentang pembinaan, pengawasan penempatan dan perlindungan TKI. 1

b.Penerbitan perizinan tempat penampungan di wilayah provinsi.

NSPK tentang penerbitan perizinan tempat penampungan. 1

c.

c.

9. Fasilitasi kepulangan TKI di pelabuhan debarkasi di wilayah provinsi.

9. Pelayanan kepulangan TKI yang berasal dari kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER18/MEN/IX/2007. TENTANG PELAKSANAAN PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

723

6. Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

1.a. Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu provinsi. b.Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi.

c. Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada perusaha- an yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi. 2.a.Pendaftaran Perjanjian Pekerjaan antara Perusahaan Pemberi Kerja dengan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi.

1.a. Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi. b.Pendaftaran PKB, perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari satu wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi. c. Pencatatan PKWT pada perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi. 2.a.Pendaftaran Perjanjian Pekerjaan antara Perusahaan Pemberi Kerja dengan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi

1.a. Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya dalam satu wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan. 1

b.Pendaftaran PKB, perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

Kepmenakertrans No. KEP.48/MEN/2004 : Tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
PER. 15?MEN/VII/2005 Tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu

c. Pencatatan PKWT pada perusahaan yang skala berlakunya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2.a. Penerbitan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berdomisili di kabupaten/kota dan pendaftaran perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 08/MEN/III/2006 Tentang Perubahan Kepmenakertrans No. KEP. 48/MEN/IV/2004 Tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama

724

b.Penerbitan rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi. 3. Pencegahan dan penyelesaian perselisih- an hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan skala nasional. 4. Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala nasional. 5. Koordinasi penyusunan formasi, pendaftaran dan seleksi calon arbiter dan konsiliator, pengangkatan dan pemberhentian serta penerbitan legitimasi mediator, konsiliator, dan arbiter.

b. Penerbitan rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi 3. Pencegahan dan penyelesaian perselisih- an hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan skala provinsi. 4. Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala provinsi. 5. Penyusunan formasi, pendaftaran dan seleksi calon mediator, arbiter, dan konsiliator di wilayah provinsi.

b.Pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berdomisili di kabupaten/kota atas rekomendasi pusat dan atau provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penerbitan rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. 1

3. Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Permenakertrans Nomor PER.31/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit
NSPK tentang pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan.

4. Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala kabupaten/kota. 5. Penyusunan dan pengusulan formasi serta melakukan pembinaan mediator, konsiliator, arbiter di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 32/MEN/XII/2008 Tentang Tata Cara Pembentukan Lembaga Kerja Sama Tripartit

725

6. Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung.

6. Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc pengadilan hubungan industrial yang wilayahnya meliputi provinsi.

6. Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc pengadilan hubungan industrial yang wilayahnya meliputi kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

7.a. Bimbingan aplikasi pengupahan skala nasional.

7.a. Bimbingan aplikasi pengupahan lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi.

7.a. Bimbingan aplikasi pengupahan di perusahaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri No. PER. 01/MEN/XII/2004 : Tentang Tata Cara Seleksi Calon Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Calon Hakim Ad- Hoc Pada Mahkamah Agung. Kepmanakertrans Nomor : KEP.49/MEN/2004 Tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah

b.Penetapan kebijakan pengupahan nasional dan penelaahan terhadap upah minimum yang ditetapkan pemerintah provinsi. 8.a. Koordinasi pembinaan penyelenggaraan jaminan sosial, fasilitas, dan kesejahtaraan tenaga kerja/buruh skala nasional.

b.Penyusunan dan penetapan upah minimum provinsi, kabupaten/kota, dan melaporkan kepada menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. 8.a. Koordinasi pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja skala provinsi.

b.Penyusunan dan pengusulan penetapan upah minimum kabupaten/kota kepada gubernur.

8.a. Pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri 01 Tahun 1999 : Tentang Upah Minimum Permenakertrans NOMOR PER.06/MEN/III/200 9 Tentang Perubahan Permenakertrans Nomor 12/Men/Vi/2007 Tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, Dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja 726

b.

b.Koordinasi pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan tenaga kerja skala provinsi.

b.Pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan di perusahaan skala kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala nasional 10. Koordinasi pelaksanaan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) skala nasional.

9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala provinsi 10. Koordinasi pelaksanaan verifikasi keanggotaan SP/SB skala provinsi.

9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala kabupaten/kota. 10. Verifikasi keanggotaan SP/SB skala kabupaten/kota

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial.

1
11. Koordinasi hasil pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh dari provinsi. 11. Koordinasi hasil pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala provinsi dan melaporkannya kepada pemerintah. 12. Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala provinsi untuk duduk dalam lembaga-lembaga ketenagakerjaan provinsi 11. Pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala kabupaten/kota dan melaporkannya kepada provinsi. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri No. PER. 06/MEN/IV/2005. : Tentang Pedoman Verifikasi Keangggotaan Serikat Pekerja / Serikat Buruh. Kepmenakertrans No. 16/MEN/2001 : Tentang Cara Pencatatan Serikat Pekerja / Serikat Buruh.
PER. 06/MEN/IV/2005 Tentang Pedoman Verifikasi Keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh

1
12. Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembagalembaga ketenagakerjaan kabupaten/kota berdasarkan hasil verifikasi. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

12. Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembagalembaga ketenagakerjaan nasional

1 727

berdasarkan hasil verifikasi

berdasarkan hasil verifikasi

7. Pembinaan Ketenagaker- jaan

1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala nasional. 2. Pemeriksaan/peng ujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. 3. Penerbitan/rekom endasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. 4. Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala nasional. 5.a.Penetapan rencana tahunan audit dan sertifikasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).

1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala provinsi.

1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1
2. Pemeriksaan/penguj ian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi. 3. Penerbitan/rekomen dasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi. 4. Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala provinsi. 5.a. Pelaksanaan penerapan SMK3 skala provinsi. 2. Pemeriksaan/pengujia n terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Kepmen Nakertrans No. KEP. 23/KEP/2002 : Tentang Pokok - Pokok Pengawasan di Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian. NSPK tentang pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan.

1
3. Penerbitan/rekomenda si (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan.

1
4. Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap perusahaan dan pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 5.a. Pelaksanaan penerapan SMK3 skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pelaksanaan penerapan SMK3. 1

1 728

b.

b.Pelaksanaan koordinasi dan audit SMK3 skala provinsi.

b.Pelaksanaan koordinasi dan audit SMK3 skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pelaksanaan koordinasi dan audit SMK3. 1

1
6. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis dan berskala nasional. 7. Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis dan berskala nasional. 8. Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. 9. Fasilitasi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. 6. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, kesehatan dan keselamatan kerja yang bersifat strategis skala provinsi 6. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan kerja yang bersifat strategis.

1
7. Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis skala provinsi. 7. Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 NSPK tentang pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis.

1
8. Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi. 9. Fasilitasi penyelenggaraan pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi. 8. Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 9. Fasilitasi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan.

1
Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang fasilitasi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan. 1

1 729

10. Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. 11.a. Penyelenggaraan diklat teknis/fungsional pengawasan ketenagakerjaan. b.

10. Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi. 11. a. Pengusulan calon peserta diklat pengawasan ketenagakerjaan kepada pemerintah.

10. Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan.

1
11.a. Pengusulan calon peserta diklat pengawasan ketenagakerjaan kepada pemerintah dan/atau pemerintah provinsi. b. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang penyelenggaraan diklat teknis/fungsional pengawasan ketenagakerjaan.

1
Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang penyelenggarakan diklat teknis pengawasan ketenagakerjaan. 1

b. Bekerjasama dengan pusat menyelenggarakan diklat teknis pengawasan ketenagakerjaan. 12. Pengusulan calon pegawai pengawas ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah. 13. Pengusulan penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah. 14. Pengusulan kartu PPNS bidang ketenaga- kerjaan skala provinsi kepada pemerintah.

1
12. Penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian pegawai pengawas ketenagakerjaan. 13. Penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan. 12. Pengusulan calon pegawai pengawas ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian pegawai pengawas ketenagakerjaan.

1
13. Pengusulan penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah. 14. Pengusulan kartu PPNS bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan. 1

1
Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pengusulan kartu PPNS bidang ketenagakerjaan. 1

14. Penerbitan kartu Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang ketenagakerjaan.

730

2. Ketransmigrasian

1. Kebijakan, Perencanaan, Pembinaan, dan Pengawasan

15. Penetapan sertifikasi, penunjukan, penerbitan lisensi bagi lembaga personil, dan kader ketenagakerjaan. 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian. 2. Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional. 3. Koordinasi dan integrasi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.

15.

15.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan sertifikasi, penunjukan, penerbitan lisensi bagi lembaga personil, dan kader ketenagakerjaan.

1
1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan perumusan kebijakan daerah serta pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi. 2. Pengendalian, evaluasi, dan pelaporan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang ketransmigrasian skala provinsi. 1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan provinsi, perumusan kebijakan daerah dan pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.

1
2. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1
3. Sinkronisasi dan pengendalian pelaksanaan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi. 3. Integrasi pelaksanaan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Kepmen Nakertrans No. KEP. 23/KEP/2002 : Tentang Pokok Pokok Pengawasan di Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian.
NSPK tentang integrasi pelaksanaan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.

731

4. Perumusan kebijakan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala nasional.

5. Perancangan pembangunan transmigrasi nasional, serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketransmigrasian skala nasional. 6. Pemberdayaan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian. 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.

4. Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala provinsi berdasarkan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah. 5. Perancangan pembangunan transmigrasi daerah provinsi, serta pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketransmigrasian skala provinsi. 6. Pemberdayaan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi. 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintahan daerah provinsi.

4. Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota berdasarkan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang perumusan kebijakan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian.

1
5. Perancangan pembangunan transmigrasi daerah kabupaten/kota, serta pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketransmigrasian skala kabupaten/kota. 6. Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang perancangan pembangunan transmigrasi nasional, serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketransmigrasian.

1
Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pemberdayaan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.

1
1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah kabupaten/kota.

2. Pembinaan SDM Aparatur

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

NSPK tentang pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.

732

2. Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional. 4. Perumusan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian. 5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian di instansi pusat.

2. Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah provinsi. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah provinsi. 4. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketransmigrasian skala pemerintah daerah provinsi.

2. Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah kabupaten/kota. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah kabupaten/kota. 4. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketransmigrasian skala pemerintah daerah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.

1
Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 NSPK tentang pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.

1
Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang perumusan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.

1
5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian instansi provinsi. 5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian instansi kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian.

733

3. Penyiapan Permukiman dan Penempatan

1.a. Perencanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigrasi untuk kepentingan nasional dan daerah.

b.

c.

1.a. Pengusulan rencana lokasi pembangunan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) atau Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) skala provinsi berdasarkan hasil pembahasan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota. b.Pengusulan rencana pengarahan, perpindahan, dan penempatan transmigrasi skala provinsi berdasarkan hasil pembahasan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota. c.

1.a. Pengalokasian tanah untuk pembangunan WPT atau LPT di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 15/MEN/VI/2007 Tentang Penyiapan Pemukiman Transmigrasi

1
b.Pengusulan rencana lokasi pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1
KEP. 231/MEN/2002 Tentang Kriteria Usulan Program Penyiapan Pemukiman, Perpindahan, dan Penempatan Serta Pemberdayaan Masyarakat Binaan Dalam Penyelenggaraan Ketransmigrasian

1
c. Pengusulan rencana kebutuhan SDM untuk mendukung pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pengusulan rencana kebutuhan SDM untuk mendukung pembangunan WPT atau LPT.

1
d. d. d.Pengusulan rencana pengarahan dan perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pengusulan rencana pengarahan dan perpindahan transmigrasi. 1

1
2.a. Penyediaan tanah untuk pembangunan WPT atau LPT untuk kepentingan nasional dan daerah. 2.a. Koordinasi penyediaan tanah untuk pembangunan WPT atau LPT skala provinsi. 2.a. Penyelesaian legalitas tanah untuk rencana pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang penyelesaian legalitas tanah untuk rencana pembangunan WPT atau LPT . 1

734

b.

b.

b.Penetapan alokasi penyediaan tanah untuk rencana pembangunan WPT dan LPT skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan alokasi penyediaan tanah untuk rencana pembangunan WPT dan LPT.

1
3. Penyusunan dan penetapan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT dalam rangka kepentingan nasional dan daerah. 4. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian dalam rangka kepentingan nasional dan daerah. 5.a. Pengembangan dan pelayanan investasi dan kemitraan dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala nasional dan daerah. b. 3. Pengusulan rancangan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT skala provinsi. 3. Penyediaan data untuk penyusunan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang penyusunan dan penetapan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT. 1

1
4. KIE ketransmigrasian skala provinsi. 4. KIE ketransmigrasian skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang KIE ketransmigrasian. 1

1
5.a. Penyediaan informasi pengembangan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala provinsi. 5.a. Penyediaan informasi pengembangan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSK tentang penyediaan informasi pengembangan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT. 1

1
b.Mediasi dan koordinasi pelayanan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala provinsi b.Pelayanan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang mediasi dan koordinasi pelayanan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT .

735

6.a. Pengembangan kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi skala nasional. b.

6.a. Mediasi kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi skala provinsi. b.

6.a. Penjajagan kerjasama dengan daerah kabupaten/kota lain.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pengembangan kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi.

1
b.Pembuatan naskah kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pembuatan naskah kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi.

1
7. Pembangunan WPT atau LPT dalam rangka kepentingan nasional dan daerah. 8.a. Penyiapan calon transmigran skala nasional. 7. Koordinasi pelaksanaan pembangunan WPT atau LPT skala provinsi. 7. Sinkronisasi pembangunan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pembangunan WPT atau LPT dalam rangka kepentingan. 1

1
8.a. Koordinasi pelaksanaan penyiapan calon transmigran skala provinsi. 8.a. Pendaftaran dan seleksi calon transmigran skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang penyiapan calon transmigran. 1

1
b. b. b.Penetapan status calon transmigran skala kabupaten/kota berdasarkan kriteria pemerintah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang penetapan status calon transmigran. 1

1
9. Peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala nasional. 9. Koordinasi pelaksanaan peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala provinsi. 9. Peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran. 1

736

10. Fasilitasi perpindahan dan penempatan transmigran skala nasional.

10. Koordinasi pelaksanaan pelayanan perpindahan dan penempatan transmigran skala provinsi. 11. Pengendalian dan supervisi penyiapan permukiman dan penempatan transmigran skala provinsi 1. Sinkronisasi dan pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi. 2. Koordinasi pelaksanaan peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi. 3. Koordinasi pelaksanaan pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi. 4. Koordinasi pelaksanaan pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT skala provinsi.

10. Pelayanan penampungan calon transmigran skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang fasilitasi perpindahan dan penempatan transmigran. 1

1
11. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigran di wilayah kabupaten/kota 1. Pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pembinaan dan pengawasan pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigran.

4. Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi

11. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigran skala nasional. 1. Perencanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala nasional. 2. Peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT skala nasional.

1
Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang perencanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi. 1

1
2. Sinkronisasi peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota. 3. Sinkronisasi pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT. 1

1
Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT. 1

3. Pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT skala nasional.

1
4. Pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT skala nasional. 4. Sinkronisasi pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT. 1

737

5. Penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar.

6.a. Evaluasi dan pengukuran tingkat keberhasilan pembangunan transmigrasi dan pengalihan tanggungjawab pembinaan khusus WPT atau LPT skala nasional. b.

5. Koordinasi pelaksanaan penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala provinsi. 6.a. Koordinasi dan sinkronisasi penyajian data dan informasi tentang perkembangan WPT atau LPT skala provinsi.

5. Sinkronisasi penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala kabupaten/kota. 6.a. Penyediaan data dan informasi tentang perkembangan WPT dan LPT skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar. 1

1
Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang penyediaan data dan informasi tentang perkembangan WPT dan LPT.

1
b.Pengusulan calon WPT atau LPT yang dapat dialihkan tanggungjawab pembinaan khususnya dalam skala provinsi. 7. Pengendalian dan supervisi pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi. 1.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala provinsi. b.Pengusulan calon WPT atau LPT yang dapat dialihkan tanggungjawab pembinaan khususnya dalam skala kabupaten/kota. 7. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi di wilayah kabupaten/kota. 1.a. Pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pengusulan calon WPT atau LPT yang dapat dialihkan tanggungjawab pembinaan.

1
Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi.

5. Pengarahan Dan Fasilitasi Perpindahan Transmigrasi

7. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala nasional. 1.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala nasional.

1
Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian.

738

b.Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala nasional.

b.Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala provinsi.

b.Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1
c. c. c. Peningkatan motivasi perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 12/MEN/VIII/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

1
d. d. d.Penyamaan persepsi, kesepahaman, kesepakatan mengenai pembangunan ketransmigrasian skala kabupaten/kota. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

1
2.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan penyerasian rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi lintas provinsi. 2.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, penyusunan dan penyerasian rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala provinsi. 2.a. Identifikasi dan analisis keserasian penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang identifikasi dan analisis keserasian penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan. 1

1 739

b.

b.

b.Pemilihan dan penetapan daerah dan kelompok sasaran perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

1
c. c. c. Penyusunan rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

1
3. Fasilitasi kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung skala nasional. 4.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelayanan perpindahan transmigrasi skala nasional. b. 3. Mediasi kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung skala provinsi. 4.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelayanan perpindahan transmigrasi skala provinsi. b. 3. Pelaksanaan kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang skala kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pelaksanaan kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang. 1

1
4.a. Pelayanan pendaftaran dan seleksi perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pelayanan pendaftaran dan seleksi perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi.

1
b.Pelayanan pelatihan dalam rangka penyesuaian kompetensi perpindahan transmigrasi.

740

c.

c.

d.

d.

e.

e.

5. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala nasional.

5. Pengendalian dan supervisi pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala provinsi

c. Pelayanan penampungan, permakanan, kesehatan, perbekalan, dan informasi perpindahan transmigrasi. d.Pelayanan pengangkutan dalam proses perpindahan transmigrasi. e.Pelayanan dan pengaturan penempatan, adaptasi lingkungan dan konsoliasi penempatan transmigrasi. 5. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi di wilayah kabupaten/kota. 11 8 14 76 35 7 118

741

15. BIDANG KOPERASI KECIL DAN USAHA KECIL MENENGAH


PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi. KEBUTUHAN NSPK KETERANGAN YA 1 TIDAK Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan S1 S2 S3 PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 156/PMK.07/2008 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA DEKONSENTRASI DAN DANA TUGAS PEMBANTUAN PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01/Per/M.KUKM/I/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBENTUKAN, PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN DAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR KOPERASI STATUS NSPK KETERANGAN

SUB BIDANG

SUB SUB B IDANG

PEMERINTAH

1. Kelembagaan Koperasi

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi. 2.a. Pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi.

2.a. Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta penetapan pembubaran koperasi lintas kabupaten/kota. (Tugas Pembantuan)

2.a. Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. (Tugas Pembantuan)

1
b. b.Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi lintas kabupaten/kota. 3. Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi lintas kabupaten/kota b.Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. 3. Fasilitasi pelaksanaan pengesahan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. 1 Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang provinsi dan kabupaten/kota Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

3. Pengesahan dan perubahan Anggaran Dasar (AD) yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang koperasi.

Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI Nomor : 59/KEP/M. KUKM/VI/2002, tentang Uraian Tugas Pejabat Struktural di Lingkungan

1 742

4. Penetapan pembubaran koperasi

4. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat provinsi.

4. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan pedoman pemerintah di tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

1
5.a. Pembinaan dan Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi di tingkat nasional. 5.a. Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat provinsi. 5.a.Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat kabupaten/kota. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan b. b.Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat provinsi (Tugas Pembantuan). 1. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi: b.Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat kabupaten/kota (Tugas Pembantuan). 1. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi: 1 Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang provinsi dan kabupaten/kota Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 35.2/PER/M.KUKM/X/2007 TENTANG PEDOMAN STANDAR OPERASIONAL MANAJEMEN KOPERASI JASA KEUANGAN SYARIAH DAN UNIT JASA KEUANGAN SYARIAH KOPERASI PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 08/Per/M.KUKM/II/2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PROGRAM PEMBIAYAAN PRODUKTIF KOPERASI DAN USAHA MIKRO (P3KUM) POLA KONVENSIONAL

2. Pe mberdayaan Koperasi

1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional meliputi:

NSPK tentang Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil

743

a.Prinsip kesehatan dan prinsip kehati-hatian usaha KSP dan USP;

a. Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat provinsi sesuai dengan kebijakan pemerintah; b.Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP lintas kabupaten/kota; c. Pembinaan KSP dan USP lintas kabupaten/kota; d.Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP lintas kabupaten/kota; e. Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP lintas kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya; 2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah provinsi. 3. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi lintas kabupaten/kota.

b.Tata cara penyampaian laporan tahunan bagi KSP dan USP;

c. Tata cara pembinaan KSP dan USP; d.Pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP;

a.Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan pemerintah; b.Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota; c. Pembinaan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota; d.Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota; e. Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya; 2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. 3. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.

e. Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP yang tidak melaksanakan kewajibannya;

2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi 3. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi

1
NSPK tentang pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi.

744

4. Perlindungan kepada koperasi.

4. Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah provinsi.

4. Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

1
3. Pe mberdayaan UMKM 1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional meliputi: a.Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana; b.Persaingan; c. Prasarana; d.Informasi; e. Kemitraan; f. Perijinan; g. Perlindungan. 2. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat nasional meliputi: 1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat provinsi meliputi: a. Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana; b.Persaingan; c. Prasarana; d.Informasi; e. Kemitraan; f. Perijinan; g. Perlindungan. 2. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat provinsi meliputi: 1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat kabupaten/kota meliputi: a.Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana; b.Persaingan; c. Prasarana; d.Informasi; e. Kemitraan; f. Perijinan; g. Perlindungan. 2. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat kabupaten/kota meliputi: Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI, DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/Per/M.KUKM/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA SIMPAN PINJAM OLEH KOPERASI NSPK tentang Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil

Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan. Menengah Republik Indonesia Nomor 59/KEP/M.KUKM/VIIIMeneg/ XII/2001

a.Produksi; b.Pemasaran; c. Sumber daya manusia;

a. Produksi; b.Pemasaran; c. Sumber daya manusia;

a.Produksi; b.Pemasaran; c. Sumber daya manusia;

745

d.Teknologi. 3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat nasional meliputi:

d.Teknologi. 3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat provinsi meliputi: a. Kredit perbankan; b.Penjaminan lembaga bukan bank; c. Modal ventura; d.Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN; e. Hibah; f. Jenis pembiayaan lain. 1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM lintas kabupaten/kota.

d.Teknologi. 3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat kabupaten/kota meliputi: a.Kredit perbankan; b.Penjaminan lembaga bukan bank; c. Modal ventura; d.Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN; e. Hibah; f. Jenis pembiayaan lain. 1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam wilayah kabupaten/kota. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan NSPK tentang Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM

a.Kredit perbankan; b.Penjaminan lembaga bukan bank; c. Modal ventura; d.Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN; e. Hibah; f. Jenis pembiayaan lain. 1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan koperasi dan UKM.

4. Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan koperasi dan UKM.

Total Demand

13

Total Suplai

1 4

13

746

16. BIDANG PENANAMAN MODAL


PEMERINTAHAN DAERAH PROVINS I 1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah provinsi dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah provinsi, berkoordinasi dengan Pemerintah. 2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala provinsi terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoo rdinasi dengan Pemerintah. 3. Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah provinsi di bidang penanaman modal meliputi: PEMERINTAHAN DAERAH KABUP ATEN/KOTA 1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah kabupaten/kota dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah kabupaten/kota, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi. 2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala kabupaten/kota terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi. 3. Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah kabupaten/kota di bidang penanaman modal meliputi: KEBUTUH AN NSPK PE RL U 1 KETERANGAN TID AK Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. S1 S2 S3 1 Peraturan Kepala BKPM No 7 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No 13 tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara pengendalian pelaksanaan penanaman modal STATUS NSPK KETERANGAN

SUB BIDANG

SUB SUB B IDANG

PEMERINTAH

1. Kebijakan Pe nanaman Modal

1. Kebijakan Penanaman Modal

1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal Indonesia dalam bentuk rencana umum penanaman modal nasional dan rencana strategis nasional sesuai dengan program pembangunan nasional.

2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala nasional terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKPM Tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal No. 13 Tahun 2009

3. Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan nasional dibidang penanaman modal meliputi:

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKPM No 7 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No 13 tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara pengendalian pelaksanaan penanaman modal

747

(1) Bidang usaha yang tertutup.

(1) Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.

(1) Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

Peraturan Kepala BKPM No 7 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No 13 tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara pengendalian pelaksanaan penanaman modal Peraturan Kepala BKPM No 7 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No 13 tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara pengendalian pelaksanaan penanaman modal Peraturan Kepala BKPM No 7 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No 13 tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara pengendalian pelaksanaan penanaman modal NSPK tentang Pemetaan Investasi di Indonesia

(2) Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan.

(2) Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan.

(2) Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan.

(3) Bidang usaha yang menjadi prioritas tinggi dalam skala nasional.

(3) Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi dalam skala provinsi. (4) Penyusunan peta investasi daerah provinsi dan potensi sumber daya daerah terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar berdasarkan masukan dari daerah kabupaten/kota. (5) Usulan dan pemberian fasilitas penanaman modal di luar fasilitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi kewenangan provinsi.

(3) Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi di kabupaten/kota. (4) Penyusunan peta investasi daerah kabupaten/kota dan identifikasi potensi sumber daya daerah kabupaten/kota terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar. (5) Usulan dan pemberian insentif penanaman modal di luar faslitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

(4) Penyusunan peta investasi Indonesia, potensi sumber daya nasional termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar.

(5) Usulan pemberian fasilitas fiskal dan non fiskal.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

748

4. Mengkaji, merumuskan dan menyusun, dan menetapkan kebijakan dan ketentuan peraturan perundangundangan dibidang penanaman modal. 2. Pelaksanaan Kebijakan Pe nanaman Modal

4. Menetapkan peraturan daerah provinsi tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 1. Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat provinsi. 2. Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat provinsi. 1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat provinsi. 2. Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal daerah Provinsi baik di dalam negeri maupun ke luar negeri yang melibatkan lebih dari satu kabupaten/kota.

4. Menetapkan peraturan daerah kabupaten/kota tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. 1. Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota. 2. Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota. 1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat kabupaten/kota. 2. Melaksanakan promosi penanaman modal daerah kabupaten/kota baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKPM Tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal No. 13 Tahun 2009

1. Kerjasama Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal. 2. Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama internasional di bidang penanaman modal.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKPM Tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal No. 13 Tahun 2009

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKPM Tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal No. 12 Tahun 2009

2. Promosi Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan dalam promosi penanaman modal. 2. Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKPM Tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal No. 12 Tahun 2009

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKPM Tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal No. 12 Tahun 2009

749

3. Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala nasional.

3. Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala Provinsi.

3. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun materi promosi skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKPM Tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal No. 12 Tahun 2009

3. Pelayanan Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal.

2. Melayani dan memfasilitasi: a. Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi; b.Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pela yananan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang bersifat lintas kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah. 2.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah. 2.

Peraturan Kepala BKPM Tentang Tata Cara Pelaksanaan, Pembinaan, dan Pelaporan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal No. 11 Tahun 2009

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKPM No 7 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No 13 tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara pengendalian pelaksanaan penanaman modal

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKPM No 7 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No 13 tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara pengendalian pelaksanaan penanaman modal

750

c. Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi; d.Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional;

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

Peraturan Kepala BKPM No 7 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No 13 tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara pengendalian pelaksanaan penanaman modal NSPK tentang Penanaman Modal Terkait Urusan Pertahanan dan Keamanan Nasional

e. Penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan f. Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undang-undang. 3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah.

Peraturan Kepala BKPM No 7 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No 13 tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara pengendalian pelaksanaan penanaman modal

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Peraturan Kepala BKPM Tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal No. 12 Tahun 2009

3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.

3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

751

4. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memeiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah. 5. Pemberian persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal.

4. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.

4. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKPM Tentang Tata Cara Pelaksanaan, Pembinaan, dan Pelaporan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal No. 11 Tahun 2009

5. Pemberian usu lan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan provinsi.

5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKPM No 7 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No 13 tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara pengendalian pelaksanaan penanaman modal Peraturan Kepala BKPM No 7 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No 13 tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara pengendalian pelaksanaan penanaman modal Peraturan Kepala BKPM No 7 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No 13 tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara pengendalian pelaksanaan penanaman modal

4. Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal skala nasional. 2. Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di provinsi. 2. Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan berkoo rdinasi dengan Pemerintah atau pemerintah kabupaten/kota.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di kabupaten/kota. 2. Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah dan pemerintah provinsi.

752

5. Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala nasional. 2. Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. 3. Mengoordinasikan pengumpulan dan pengolahan data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala nasional. 4. Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal nasional.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala provinsi. 2. Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah kabupaten/kota. 3. Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala provinsi. 4. Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.

1. Mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/kota. 2. Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKPM Tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik No. 14 Tahun 2009

Peraturan Kepala BKPM Tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik No. 14 Tahun 2009

1 3. Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala kabupaten/kota. 4. Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Peraturan Kepala BKPM Tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik No. 14 Tahun 2009 Peraturan Kepala BKPM Tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik No. 14 Tahun 2009

6. Penyebarluasan, Pendidikan dan Pelatihan Penanaman Modal

1. Membina dan mengawasi pelaksanaan penanaman modal di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.

1. Membina dan mengawasi pelaksanaan instansi penanaman modal kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.

1. Membina dan mengawasi pelaksanaan di bidang sistem informasi penanaman modal.

NSPK tentang Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan Investasi Daerah

753

2. Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, perjanjian kerjasama internasional di bidang penanaman modal baik kerjasama bilateral, sub regional, regional, dan multilateral, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala nasional kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha;

2. Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala provinsi kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha.

2. Melaksanakan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/ kota kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Kepala BKPM No 7 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No 13 tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara pengendalian pelaksanaan penanaman modal

1 3. Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala nasional. 3. Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala provinsi. 3. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala kabupaten/ kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 TOTAL DEMAND 31 TOTAL SUPPLY 4 0 27 31

754

17. BIDANG KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA


SUB SUB BIDANG 1. Kebudayaan PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA KEBUTUHAN NSPK (Y=YA, T=TIDAK) Y 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan skala kabupaten/kota. 1 T Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan KETERANGAN STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 1 S3 PM.47 /HK.001/MKP/2008 tentang PENETAPAN INDIKATOR KINERJA UTAMA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

SUB BIDANG

PEMERINTAH

1. Kebijakan Bidang Kebudayaan

1. Rencana induk pengembangan kebudayaan nasional.

2. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang kebudayaan.

2. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai perlindungan HKI bidang kebudayaan.

2. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai perlindungan HKI bidang kebudayaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERATURAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR : 42 TAHUN 2009/NOMOR : 40TAHUN 2009 tentang PEDOMAN PELESTARIAN KEBUDAYAAN PM.47 /HK.001/MKP/2008 tentang PENETAPAN INDIKATOR KINERJA UTAMA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA, KM.33/KP/107/MKP/2008 tentang Pemberian Penghargaan Kepada Pelestari dan Juru Pelihara Benda Cagar Budaya, KM.58/KP.107/MKP/2004 Pemberian Penghargaan Inovasi Kepariwisataan Indonesia kepada Individu atau Kelompok, Organisasi, maupun Badan Usaha di Bidang Pariwisata

3. Kriteria nasional sistem pemberian penghargaan/anuger ah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan.

3. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kriteria sistem pemberian penghargaan/anuger ah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan.

3. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kriteria sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

755

4. Kerjasama luar negeri bidang kebudayaan.

4. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala provinsi

4. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

KM.62/PW.204/MKP/2004 tentang Prosedur Pembuatan Film oleh Pihak Asing di Indonesia, SK.01/HK.501/DPT.IV/KKP/ 2004 tentang Penetapan Biro Perjalanan Wisata Penyelenggaraan Kunjungan Wisatawan RRC ke Indonesia

2. Tradisi

1. Penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang penanaman nilainilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi serta penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PM.47 /HK.001/MKP/2008 tentang PENETAPAN INDIKATOR KINERJA UTAMA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

2. Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala nasional.

2. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala provinsi.

2. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PM.47 /HK.001/MKP/2008 tentang PENETAPAN INDIKATOR KINERJA UTAMA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

756

3. Perfilman

1. Penetapan kebijakan nasional bidang perfilman.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan operasional perfilman skala provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi serta penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PM.47 /HK.001/MKP/2008 tentang PENETAPAN INDIKATOR KINERJA UTAMA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

2. Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing.

2. Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing skala provinsi.

2. Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

KM.62/PW.204/MKP/2004 tentang Prosedur Pembuatan Film oleh Pihak Asing di Indonesia

3. Usaha perfilman, yang meliputi produksi, pengedaran, dan penayangan film.

3. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang usaha perfilman yang meliputi produksi, pengedaran, penayangan film.

3. Pemberian perizinan usaha perfilman di bidang pembuatan film, pengedaran film, penjualan dan penyewaan film (VCD, DVD), pertunjukan film (bioskop), pertunjukan film keliling, penayangan film melalui media elektronik, dan tempat hiburan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PM.47 /HK.001/MKP/2008 tentang PENETAPAN INDIKATOR KINERJA UTAMA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

757

4. Standarisasi di bidang profesi, dan teknologi perfilman.

4. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang standarisasi profesi dan teknologi perfilman.

4. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kegiatan standarisasi profesi dan teknologi perfilman.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PM.47 /HK.001/MKP/2008 tentang PENETAPAN INDIKATOR KINERJA UTAMA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

5. Kerjasama luar negeri di bidang perfilman.

5. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kerjasama luar negeri di bidang perfilman.

5. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kerjasama luar negeri di bidang perfilman.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

KM.62/PW.204/MKP/2004 tentang Prosedur Pembuatan Film oleh Pihak Asing di Indonesia

6. Kebijakan peredaran, pertunjukan dan penayangan film serta rekaman video.

6. Pengawasan peredaran film dan rekaman video (VCD/DVD) skala provinsi.

6. Pengawasan dan pendataan film dan rekaman video yang beredar, perusahaan persewaan dan penjualan rekaman video serta kegiatan evaluasi dan laporan pelaksanaan kebijakan perfilman skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang peredaran, pertunjukan dan penayangan film serta rekaman video

758

7. Standarisasi nasional di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film.

7. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kegiatan standarisasi di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film skala provinsi.

7. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kegiatan standarisasi di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang standar produksi dan penghargaan terhadap film

8. Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala nasional.

8. Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala provinsi.

8. Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pedoman pengembangan dan pemberdayaan perfilman nasional

4. Kesenian

1. Standarisasi pemberian izin untuk pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai standarisasi pemberian izin pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai standarisasi pemberian izin pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang standar perizinan untuk pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian

759

2. Izin pengiriman/penerim aan misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala nasional.

2. Penerbitan rekomendasi pengiriman misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala provinsi.

2. Penerbitan rekomendasi pengiriman misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengembangan kerja sama luar negeri untuk misi kesenian skala nasional

3. Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat nasional dan internasional.

3. Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat provinsi.

3. Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pedoman penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat nasional dan internasional

4. Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang kesenian.

4. Penerapan dan monitoring implementasi SPM bidang kesenian skala provinsi.

4. Penerapan dan monitoring implementasi SPM bidang kesenian skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang kesenian

5. Penetapan pedoman dan pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara.

5. Pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara skala provinsi.

5. Pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NOMOR KM.13/KP.105/2002 tentang Pemberian Hadiah Seni

760

6. Penetapan pedoman penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan bidang kesenian skala nasional.

6. Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan kesenian skala provinsi.

6. Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan kesenian skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pedoman penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan bidang kesenian skala nasional

7. Penetapan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni).

7. Penerapan dan pelaksanaan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni) skala provinsi.

7. Penerapan dan pelaksanaan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni) skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni)

8. Penetapan pedoman nasional pembentukan dan/atau pengelolaan infrastruktur bidang kesenian (misalnya galeri nasional Indonesia dan pusat kebudayaan Indonesia).

8. Pelaksanaan pembentukan dan/atau pengelolaan pusat kegiatan kesenian skala provinsi (misalnya taman budaya).

8. Pelaksanaan pembentukan dan/atau pengelolaan pusat kegiatan kesenian skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pedoman nasional pembentukan dan/atau pengelolaan infrastruktur bidang kesenian

9. Penetapan kebijakan nasional peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional.

9. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional.

9. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang kebijakan nasional peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional

761

10. Perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala nasional.

10. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam rangka perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala provinsi.

10. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala nasional

5. Sejarah

1. Penetapan pedoman penulisan sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal, dan sejarah kebudayaan.

1. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi, di bidang penulisan sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah skala provinsi.

1. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang penulisan sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NOMOR PM.46 /UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Penulisan Sejarah Lokal

2. Penetapan pedoman pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan.

2. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah.

2. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pedoman pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan

762

3. Penetapan pedoman inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.

3. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi dan di bidang inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.

3. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pedoman inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.

4. Penetapan pedoman pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah tingkat nasional.

4. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah.

4. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pedoman pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah tingkat nasional.

5. Penetapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan.

5. Penerapan pedoman penelitian arkeologi. peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan skala provinsi. 6. Pelaksanaan pedoman penanaman nilainilai sejarah dan kepahlawanan skala provinsi.

5. Penerapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan

6. Penetapan pedoman penanaman nilainilai sejarah dan kepahlawanan nasional.

6. Pelaksanaan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan

763

7. Penetapan pedoman database dan sistem informasi geografi sejarah.

7. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai database dan sistem informasi geografi sejarah.

7. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai database dan sistem informasi geografi sejarah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pendataan dan sistem informasi geografi sejarah

8. Penetapan pedoman koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah.

8. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah skala provinsi.

8. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.47 /UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pemetaan Sejarah

9. Penetapan pedoman penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) bidang sejarah.

9. Pelaksanaan pedoman dan penetapan kebijakan provinsi penyelenggaraan diklat bidang sejarah skala provinsi.

9. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota penyelenggaraan diklat bidang sejarah skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) bidang sejarah

764

6. Purbakala

1. Penetapan pedoman pelaksanaan hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage".

1. Pelaksanaan pedoman mengenai hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage" skala provinsi.

1. Pelaksanaan pedoman mengenai hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage" skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pelaksanaan hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage"

2. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya (BCB)/situs skala nasional.

2. Penerapan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.

2. Penerapan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya (BCB)/situs skala nasional

765

3. Penetapan BCB/situs skala nasional.

3. Penetapan BCB/situs skala provinsi.

3. Penetapan BCB/situs skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.13 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.12 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.11 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.10 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.09 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.08 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.07 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.06 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.05 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.03 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.02 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.01 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.13 /PW.007/MKP/2005, PERMEN NOMOR PM.12 /PW.007/MKP/2005, KEPMEN NOMOR KM.51/OT/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.14/PW.007/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.13/PW.007/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.12/PW.007/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.11/PW.007/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.10/PW.007/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.09/PW.007/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.08/PW.007/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.12/PW007/MKP/03

766

4. Penetapan kebijakan permuseuman.

4. Penerapan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan museum di provinsi.

4. Penerapan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan museum di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.45 /UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Permuseuman

5. Penetapan pedoman penelitian arkeologi.

5. Penerapan pedoman penelitian arkeologi.

5. Penerapan pedoman penelitian arkeologi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pedoman penelitian arkeologi

6. Penetapan pedoman pendirian museum.

6. Penerapan pedoman pendirian museum yang dimiliki provinsi.

6. Penerapan pedoman pendirian museum yang dimiliki kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.45 /UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Permuseuman

7. Penetapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air sesuai peraturan perundangundangan.

7. Penerapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air skala provinsi.

7. Penerapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.48 /UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Peninggalan Bawah Air

767

2. Pelaksanaan Bidang Kebudayaan

1. Penyelenggaraan

1. Penyelenggaraan promosi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala nasional, meliputi:

1. Penyelenggaraan promosi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala provinsi, meliputi:

1. Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala kabupaten/kota, meliputi:

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Penyelenggaraan promosi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala nasional

a. Penanaman nilainilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa.

a. Penanaman nilainilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa.

a. Penanaman nilainilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa

b. Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.

b. Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.

b. Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat

c. Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.

c. Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.

c. Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pengembangan jaringan informasi kebudayaan

768

d. Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga kepercayaan dan lembaga adat.

d. Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga adat dan masyarakat.

d. Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga adat dan masyarakat.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPk tentang pengembangan kemitraan dengan lembaga sosial masyarakat

e. Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.

e. Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.

e. Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPk tentang pengembangan kemitraan dengan lembaga sosial masyarakat

2. Monitoring dan evaluasi kegiatan skala nasional meliputi:

2. Monitoring dan evaluasi kegiatan skala provinsi meliputi:

2. Monitoring dan evaluasi kegiatan skala kabupaten/kota meliputi:

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Monitoring dan evaluasi kegiatan skala nasional

a. Pelaksanaan dan hasil kegiatan.

a. Pelaksanaan dan hasil kegiatan.

a. Pelaksanaan dan hasil kegiatan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Monitoring dan evaluasi kegiatan skala nasional

769

b. Pengendalian dan pengawasan kegiatan.

b. Pengendalian dan pengawasan kegiatan.

b. Pengendalian dan pengawasan kegiatan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Monitoring dan evaluasi kegiatan skala nasional

c. Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilainilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat. d. Peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat nasional.

c. Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilainilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat. d. Pelaksanaan peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat provinsi.

c. Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat. d. Pelaksanaan peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Monitoring dan evaluasi kegiatan skala nasional

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

KEPMEN NOMOR SK.265/OT.001/SESMEN/KP /2004, KEPMEN NOMOR KM.13/KP.105/2002

e. Peningkatan produksi, peredaran, ekspor impor, festival, pekan film dan apresiasi film.

e. Pelaksanaan peningkatan apresiasi film skala provinsi.

e. Pelaksanaan peningkatan apresiasi film skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.55 /PW.204/MKP/2008, PERMEN NOMOR PM.11 /PW.204/MKP/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.55 /PW.204/MKP/2008 tentang Pemanfaatan Jasa Teknik Film Dalam Negeri Dalam Kegiatan Pembuatan dan Penggandaan Film Nasional Serta Pengadaan Film Impor

770

f. Pelaksanaan kebijakan sejarah nasional.

f. Pelaksanaan kebijakan sejarah daerah skala provinsi.

f. Pelaksanaan kebijakan sejarah lokal skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Kebijakan dan Strategi Pelaksanaan Kegiatan Sejarah Nasional

3. Penerbitan rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian ke luar negeri.

3. Pengajuan usul rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian Indonesia ke luar negeri dari provinsi.

3. Pengajuan usul rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian Indonesia ke luar negeri dari kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pedoman Penerbitan rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian ke luar negeri.

4. Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di berbagai daerah untuk kepentingan nasional dan internasional.

4. Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di provinsi.

4. Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di berbagai daerah untuk kepentingan nasional dan internasional

5. Koordinasi kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern secara nasional.

5. Penyelenggaraan koordinasi kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern di provinsi.

5. Penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penyelenggaraan kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern secara nasional

771

6. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program perfilman.

6. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional perfilman skala provinsi.

6. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional perfilman skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program perfilman

7. Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba berskala nasional yang dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan.

7. Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba secara berjenjang dan berkala di tingkat provinsi.

7. Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba secara berjenjang dan berkala di tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba berskala nasional yang dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan

8. Pemberian izin pembuatan film kepada tim produksi asing di Indonesia.

8. Koordinasi dan pengawasan pembuatan film oleh tim asing di provinsi.

8. Pengawasan pembuatan film oleh tim asing di kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

KEPMEN NOMOR KM.62/PW.204/MKP/2004 tentang Prosedur Pembuatan Film Oleh Pihak Asing di Indonesia

9. Pemberian rekomendasi penyelenggaraan festival film internasional dan festival film Indonesia.

9. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan kegiatan- kegiatan festival film dan pekan film daerah di provinsi.

9. Pemberian izin pelaksanaan kegiatankegiatan festival film dan pekan film di kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pemberian rekomendasi penyelenggaraan festival film internasional dan festival film Indonesia

772

10. Koordinasi dan fasilitasi organisasi/lembaga perfilman.

10. Fasilitasi organisasi/lembaga perfilman di provinsi.

10. Fasilitasi organisasi/lembaga perfilman di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Koordinasi dan fasilitasi organisasi/lembaga perfilman

11. Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video.

11. Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video di provinsi.

11. Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video

12. Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman.

12. Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman di tingkat provinsi.

12. Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman di tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman

13. Perizinan membawa BCB keluar wilayah Republik Indonesia.

13. Perizinan membawa BCB ke luar provinsi.

13. Perizinan membawa BCB ke luar kabupaten/kota dalam satu provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Perizinan membawa BCB keluar wilayah Republik Indonesia

773

14. Penyebarluasan informasi sejarah nasional.

14. Penyebarluasan informasi sejarah lokal di provinsi.

14. Penyebarluasan informasi sejarah lokal di kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Penyebarluasan informasi sejarah nasional

15. Pemberian penghargaan bidang sejarah tingkat nasional.

15. Pelaksanaan pemberian penghargaan bidang sejarah lokal di provinsi.

15. Pelaksanaan pemberian penghargaan bidang sejarah lokal di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pemberian penghargaan bidang sejarah tingkat nasional

16. Pelaksanaan kongres sejarah tingkat nasional.

16. Pelaksanaan kongres sejarah tingkat daerah di provinsi.

16. Pelaksanaan kongres sejarah tingkat daerah di kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pedoman Pelaksanaan kongres sejarah tingkat nasional

17. Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat nasional.

17. Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat lokal di provinsi.

17. Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat lokal di kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pedoman Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat nasional

774

18. Pelaksanaan seminar dalam perspektif sejarah nasional.

18. Pelaksanaan seminar/ lokakarya sejarah lokal dalam perspektif nasional di provinsi

18. Pelaksanaan seminar/ lokakarya sejarah lokal dalam perspektif nasional di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pelaksanaan seminar dalam perspektif sejarah nasional

19. Pelaksanaan musyawarah kerja nasional bidang sejarah.

19. Pelaksanaan musyawarah kerja daerah bidang sejarah skala provinsi.

19. Pelaksanaan musyawarah kerja daerah bidang sejarah skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pelaksanaan musyawarah kerja nasional bidang sejarah

20. Pengkajian dan penulisan sejarah nasional, sejarah kebudayaan dan sejarah wilayah.

20. Pengkajian dan penulisan sejarah daerah dan sejarah kebudayaan daerah di provinsi.

20. Pengkajian dan penulisan sejarah daerah dan sejarah kebudayaan daerah di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NOMOR PM.46 /UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Penulisan Sejarah Lokal

21. Pemetaan sejarah nasional.

21. Pemetaan sejarah skala provinsi.

21. Pemetaan sejarah skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.47 /UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pemetaan Sejarah

775

22. Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah antar departemen/kemente rian instansi pusat dan antar daerah.

22. Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah di provinsi.

22. Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah di kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah antar departemen/kementerian instansi pusat dan antar daerah

23. Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia.

23. Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia skala provinsi.

23. Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia

24. Registrasi BCB/situs dan kawasan skala nasional.

24. Registrasi BCB/situs dan kawasan provinsi.

24. Registrasi BCB/situs dan kawasan skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.13 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.12 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.11 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.10 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.09 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.08 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.07 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.06 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.05 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.03 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.02 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.01 /PW.007/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.13 /PW.007/MKP/2005, PERMEN NOMOR PM.12 /PW.007/MKP/2005, KEPMEN NOMOR

776

KM.51/OT/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.14/PW.007/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.13/PW.007/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.12/PW.007/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.11/PW.007/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.10/PW.007/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.09/PW.007/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.08/PW.007/MKP/2004, KEPMEN NOMOR KM.12/PW007/MKP/03

25. Pengusulan penetapan warisan budaya dunia dan penetapan BCB/situs skala nasional.

25. Pengusulan penetapan BCB/situs nasional kepada pusat dan penetapan BCB/situs skala provinsi.

25. Pengusulan penetapan BCB/situs provinsi kepada provinsi dan penetapan BCB/situs skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penetapan warisan budaya dunia dan penetapan BCB/situs skala nasional.

777

26. Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemanfaatan BCB/situs peringkat nasional dan warisan budaya dunia skala internasional.

26. Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.

26. Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemanfaatan BCB/situs peringkat nasional dan warisan budaya dunia skala internasional

27. Koordinasi, dan peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs.

27. Koordinasi, dan fasilitasi peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.

27. Koordinasi, dan fasilitasi, peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Koordinasi, dan peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs

28. Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs bawah air lebih dari 12 (duabelas) mil laut.

28. Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs di atas 4 (empat) sampai dengan 12 (duabelas) mil laut dari garis pantai atas rekomendasi pemerintah.

28. Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs bawah air sampai dengan 4 (empat) mil laut dari garis pantai atas rekomendasi pemerintah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.48 /UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Peninggalan Bawah Air

29. Pengembangan dan pemanfaatan museum nasional.

29. Pengembangan dan pemanfaatan museum provinsi.

29. Pengembangan dan pemanfaatan museum kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.45 /UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Permuseuman

778

30. Registrasi museum dan koleksi.

30. Registrasi museum dan koleksi di provinsi.

30. Registrasi museum dan koleksi di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.45 /UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Permuseuman

31. Penyelenggaraan akreditasi museum.

31. Penyelenggaraan akreditasi museum di provinsi.

31. Penyelenggaraan akreditasi museum di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.45 /UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Permuseuman

32. Penambahan dan penyelamatan koleksi museum nasional.

32. Penambahan dan penyelamatan koleksi museum di provinsi.

32. Penambahan dan penyelamatan koleksi museum di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.45 /UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Permuseuman

3. Kebijakan Bidang Kepariwisataan

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan:

1. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan skala provinsi:

1. Pelaksanaan kebijakan nasional, provinsi dan penetapan kebijakan skala kabupaten/kota:

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Kebijakan dan Strategi Kepariwisataan Nasional

779

a. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) nasional.

a. RIPP provinsi.

a. RIPP kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Kebijakan dan Strategi Kepariwisataan Nasional

b. Pengembangan sistem informasi pariwisata nasional.

b. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pengembangan sistem informasi pariwisata.

b. Pelaksanaan kebijakan nasional, provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan sistem informasi pariwisata.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pengembangan sistem informasi pariwisata nasional

c. Standarisasi bidang pariwisata.

c. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam penerapan standarisasi bidang pariwisata.

c. Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam penerapan standarisasi bidang pariwisata.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Standarisasi bidang pariwisata nasional

d. Pedoman manajemen pengembangan destinasi pariwisata.

d. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan pedoman pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi.

d. Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan pedoman pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.33 /UM.001/MKP/2009 tentang Penetapan Destinasi Penetapan Pariwisata Unggulan Tahun 2009

780

e. Pedoman pembinaan dan penyelenggaraan izin usaha pariwisata.

e. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pembinaan usaha dan penyelenggaraan usaha pariwisata skala provinsi.

e. Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan kebijakan dalam pembinaan usaha dan penyelenggaraan usaha pariwisata skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

f. Pedoman perencanaan pemasaran.

f. Penetapan dan pelaksanaan pedoman perencanaan pemasaran skala provinsi.

f. Penetapan dan pelaksanaan pedoman perencanaan pemasaran skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.59 /HK.501/MKP/2009, PERMEN NOMOR PM.97 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.96 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.95 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.94 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.93 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.92 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.90 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.89 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.88 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.87 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.86 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.85 /HK.501/MKP/2010 NSPK tentang Pedoman Perencanaan Pemasaran Pariwisata

g. Pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/event budaya dan pariwisata.

g. Penetapan dan pelaksanaan pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/event budaya dan pariwisata skala provinsi.

g. Penetapan dan pelaksanaan pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/event budaya dan pariwisata skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/event budaya dan pariwisata

781

h. Pedoman dan penyelenggaraan widya wisata (familiarization trip/tour).

h. Penetapan dan pelaksanaan pedoman dan penyelenggaraan widya wisata skala provinsi.

h. Penetapan dan pelaksanaan pedoman dan penyelenggaraan widya wisata skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pedoman dan penyelenggaraan widya wisata (familiarization trip/tour)

i. Pedoman kerjasama pemasaran nasional dan internasional.

i. Penetapan dan pelaksanaan pedoman kerjasama pemasaran skala provinsi.

i. Penetapan dan pelaksanaan pedoman kerjasama pemasaran skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pedoman kerjasama pemasaran nasional dan internasional

2. Pemberian izin usaha pariwisata skala nasional.

2. Pemberian izin usaha pariwisata skala provinsi.

2. Pemberian izin usaha pariwisata skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMEN NOMOR PM.59 /HK.501/MKP/2009, PERMEN NOMOR PM.97 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.96 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.95 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.94 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.93 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.92 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.90 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.89 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.88 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.87 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.86 /HK.501/MKP/2010, PERMEN NOMOR PM.85 /HK.501/MKP/2010

782

3. Fasilitasi kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata.

3. Pelaksanaan kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi.

3. Pelaksanaan kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengembangan kerja sama internasional pada destinasi pariwisata

4. Fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata skala nasional.

4. Fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi.

4. Pelaksanaan kerjasama pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengembangan kerja sama destinasi pariwisata skala nasional

5. Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala nasional.

5. Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala provinsi.

5. Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang kebijakan dan strategi pengembangan pariwisata skala nasional

4. Pelaksanaan Bidang Kepariwisataan

1. Penyelenggaraan

1. Penyelenggaraan promosi skala nasional dan internasional :

1. Penyelenggaraan promosi skala provinsi :

1. Penyelenggaraan promosi skala kabupaten/kota:

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

KEPMEN NOMOR KM 27/PW.202/MKP-2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Promosi Kebudayaan dan Pariwisata di Lingkungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, PERMENPM.69/HK.001/MK P/2010 tentang Tata Kerja, Persyaratan, Serta Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Unsur Penentu Kebijakan Badan Promosi Pariwisata Indonesia

783

a. Penyelenggaraan widya wisata (familiarization trip/tour) skala nasional dan internasional. b. Penyelenggaraan pameran/event, roadshow skala nasional.

a. Penyelenggaraan widya wisata skala provinsi serta mengirim dan menerima peserta grup widya wisata. b. Peserta/penyelengga ra pameran/ event, roadshow bekerja sama dengan pemerintah.

a. Penyelenggaraan widya wisata skala kabupaten/kota serta mengirim dan menerima peserta grup widya wisata. b. Peserta/penyelenggara pameran/ event, roadshow bekerja sama dengan pemerintah/provinsi.

c. Pengadaan sarana pemasaran skala nasional/kawasan/ internasional.

c. Pengadaan sarana pemasaran skala provinsi.

c. Pengadaan sarana pemasaran skala kabupaten/kota

d. Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di luar negeri.

d. Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di dalam negeri skala provinsi.

d. Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di dalam negeri skala kabupaten/kota.

e. Pembentukan pusat pelayanan informasi pariwisata skala nasional.

e. Penyediaan informasi pariwisata ke pusat pelayanan informasi pariwisata nasional dan pembentukan pusat pelayanan informasi pariwisata skala provinsi.

e. Penyediaan informasi pariwisata ke pusat pelayanan informasi pariwisata provinsi dan pembentukan pusat pelayanan informasi pariwisata skala kabupaten/kota

784

f. Pelaksanaan event promosi di luar negeri.

f. Pelaksanaan event promosi di luar negeri dengan koordinasi pemerintah.

f. Pelaksanaan event promosi di luar negeri dengan koordinasi pemerintah dan provinsi.

2. Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala nasional.

2. Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala provinsi.

2. Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala nasional

3. Penetapan branding pariwisata skala nasional.

3. Penerapan branding pariwisata nasional dan penetapan tagline pariwisata skala provinsi.

3. Penerapan branding pariwisata nasional dan penetapan tagline pariwisata skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pedoman Penetapan branding pariwisata skala nasional

5. Kebijakan Bidang Kebudayaan dan Pariwisata

1. Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional.

1. Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.

1. Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Kebijakan dan Strategi pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional

785

2. Kebijakan pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata nasional.

2. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.

2. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Kebijakan dan Strategi pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional

3. Kebijakan penelitian kebudayaan dan pariwisata nasional.

3. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi penelitian kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.

3. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota penelitian kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Kebijakan dan Strategi penelitian kebudayaan dan pariwisata nasional

4. Rancangan induk penelitian arkeologi nasional.

4. Pelaksanaan rancangan induk penelitian arkeologi nasional oleh provinsi berkoordinasi dengan Balai Arkeologi.

4. Pelaksanaan rancangan induk penelitian arkeologi nasional oleh kabupaten/kota berkoordinasi dengan Balai Arkeologi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pedoman Penelitian Arkeologi Nasional

TOTAL DEMAND

104

TOTAL SUPPLY

73

12 19

786

18. BIDANG KEPEMUDAAN DAN OLAH RAGA


SUB SUB BIDANG SUB BIDANG 1. Kepemudaan PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA KEBUTUH AN NSPK (Y=YA, T=TIDAK) Y T KETERANGAN STATUS NSPK KETERANGAN

S1

S2

S3 NSPK tentang penetapan kebijakan dan strategi di bidang keolahragaan.

1. Kebijakan di Bidang Keolahragaan dan Kepemudaan

1. Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala nasional : a. Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan.

1. Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala provinsi : a. Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan.

1. Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota : a. Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang penetapan kebijakan dan strategi di bidang keolahragaan.

b. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.

b. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.

b. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.

NSPK tentang penetapan kebijakan dan strategi di bidang keolahragaan.

c. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral.

c. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral.

c. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral.

NSPK tentang penetapan kebijakan dan strategi di bidang keolahragaan.

d. Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas.

d. Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas.

d. Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas.

NSPK tentang pengembangan manajemen, kreativitas, dan kreativitas pemuda nasional

787

e. Kemitraan dan kewirausahaan.

e. Kemitraan dan kewirausahaan.

e. Kemitraan dan kewirausahaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengembangan kemitraan dan kewirausahaan nasional

f. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ).

f. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ).

f. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ).

NSPK tentang Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ)

g. Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan.

g. Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan.

g. Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan.

NSPK tentang pengembangan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan

h. Pengaturan sistem penganugerahan prestasi.

h. Pengaturan sistem penganugerahan prestasi.

h. Pengaturan sistem penganugerahan prestasi.

NSPK tentang Pengaturan sistem penganugerahan prestasi

i. Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana.

i. Peningkatan prasarana dan sarana.

i. Peningkatan prasarana dan sarana.

NSPK tentang pengembangan sarana dan prasaran olahraga nasional

j. Pengembangan jaringan dan sistem informasi.

j. Pengembangan jaringan dan sistem informasi.

j. Pengembangan jaringan dan sistem informasi.

NSPK tentang Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan

788

k. Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan.

k. Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan.

k. Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan 1 Tidak memerlukan NSPK karena hanya menajdi wewenang pemerintah pusat

NSPK tentang pedoman pemberian kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan

l. Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan.

l. Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan.

l. Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan.

NSPK tentang Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan

m.Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif.

m.Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif.

m. Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif.

NSPK tentang Pedoman Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif

n. Hubungan internasional.

n.

n.

2. Pelaksanaan

1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala nasional a. Aktivitas kepemudaan yang berskala nasional dan internasional

1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala provinsi : a. Aktivitas kepemudaan yang berskala provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota : a. Aktivitas kepemudaan yang berskala kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional. b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas kecamatan skala kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengelolaan aktivitas kepemudaan yang berskala nasional dan internasional

b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas provinsi.

b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas kabupaten/kota.

NSPK tentang pengelolaan aktivitas kepemudaan yang berskala nasional dan internasional

789

c. Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda berskala nasional.

c. Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda.

c. Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengelolaan aktivitas kepemudaan yang berskala nasional dan internasional

d. Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat nasional.

d. Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat provinsi.

d. Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat kabupaten/kota.

NSPK tentang pengelolaan aktivitas kepemudaan yang berskala nasional dan internasional

e. Kerjasama antar provinsi dan internasional.

e. Kerjasama antar kabupaten/kota skala provinsi, pemerintah dan internasional

e. Kerjasama antar kecamatan skala kabupaten/kota, provinsi, pemerintah dan internasional.

NSPK tentang pengelolaan aktivitas kepemudaan yang berskala nasional dan internasional

3. Koordinasi

1. Koordinasi bidang kepemudaan skala nasional : a. Koordinasi antar Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND).

1. Koordinasi bidang ke- pemudaan skala provinsi : a. Koordinasi antar dinas instansi terkait.

1. Koordinasi bidang kepemudaan skala kabupaten/kota : a. Koordinasi antar dinas instansi terkait. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Koordinasi bidang kepemudaan skala nasional

b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.

b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.

b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.

NSPK tentang Koordinasi bidang kepemudaan skala nasional

c. Koordinasi antar pemerintah dan daerah.

c. Koordinasi antar provinsi dan kabupaten/kota.

c. Koordinasi antar kecamatan skala kabupaten/kota.

NSPK tentang Koordinasi bidang kepemudaan skala nasional

790

d. Koordinasi antar negara.

d.

d.

Tidak memerlukan NSPK karena hanya menajdi wewenang pemerintah pusat

4. Pembinaan dan Pengawasan

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala nasional: a. Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan.

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala provinsi: a. Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan.

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota: a. Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengembangan di bidang kepemudaan skala nasional.

b. Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan.

b. Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan.

b. Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan.

NSPK tentang pengembangan di bidang kepemudaan skala nasional.

c. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan. d. Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

c. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan. d. Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

c. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan.

NSPK tentang pengembangan di bidang kepemudaan skala nasional.

d. Pembinaan, penyusu nan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

NSPK tentang pengembangan di bidang kepemudaan skala nasional.

791

e. Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

e. Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

e. Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengembangan di bidang kepemudaan skala nasional.

f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan.

f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan.

f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan.

NSPK tentang pengembangan di bidang kepemudaan skala nasional.

g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

NSPK tentang pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala nasional.

h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.

h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.

h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pengawasan dan evaluasi kegiatan kepemudaan skala nasional

2. Olahraga

1. Kebijakan di Bidang Keolahragaan

1. Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala nasional : a. Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga.

1. Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala provinsi : a. Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga.

1. Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota : a. Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Kebijakan dan Strategi Keolahragaan Nasional

792

b. Penyelenggaraan keolahragaan.

b. Penyelenggaraan keolahragaan.

b. Penyelenggaraan keolahragaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Kebijakan dan Strategi Keolahragaan Nasional

c. Pembinaan dan pengembangan keolahragaan.

c. Pembinaan dan pengembangan keolahragaan.

c. Pembinaan dan pengembangan keolahragaan.

NSPK tentang Penyelenggaraan Pembinaan dan pengembangan keolahragaan

d. Pengelolaan keolahraagaan.

d. Pengelolaan keolahragaan.

d. Pengelolaan keolahragaan.

NSPK tentang Kebijakan dan Strategi Keolahragaan Nasional

e. Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga.

e. Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga.

e. Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga.

NSPK tentang Pedoman Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga

f. Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga.

f. Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga.

f. Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga.

NSPK tentang pedoman pengembangan sarana dan prasarana olahraga nasional

g. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.

g. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.

g. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.

NSPK tentang tata cara pendidikan dan pelatihan keolahragaan

793

h. Pendanaan keolahragaan.

h. Pendanaan keolahragaan.

h. Pendanaan keolahragaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Kebijakan dan Strategi Keolahragaan Nasional

i. Pengembangan IPTEK keolahragaan.

i. Pengembangan IPTEK keolahragaan.

i. Pengembangan IPTEK keolahragaan.

NSPK tentang Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di Bidang Keolahragaan

j. Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.

j. Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.

j. Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.

NSPK tentang Pedoman Pelaksanaan Kerja Sama dan Informasi Keolahragaan

k. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga.

k. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga.

k. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga.

NSPK tentang Pedoman Pelaksanaan Kerja Sama dan Informasi Keolahragaan

l. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat.

l. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat.

l. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat.

NSPK tentang Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat

m.Pengembangan manajemen olahraga.

m. Pengembangan manajemen olahraga.

m.Pengembangan manajemen olahraga.

NSPK tentang Pengembangan manajemen olahraga

794

n. Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga.

n. Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga.

n. Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang kemitraan dan industri dalam olahraga

o. Pengembangan IPTEK olahraga.

o. Pengembangan IPTEK olahraga.

o. Pengembangan IPTEK olahraga.

NSPK tentang Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di Bidang Keolahragaan

p. Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga.

p. Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga.

p. Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga.

NSPK tentang Pedoman Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih , manager dan pembina olahraga

q. Pembangunan dan pengembangan industri olahraga.

q. Pembangunan dan pengembangan industri olahraga.

q. Pembangunan dan pengembangan industri olahraga.

NSPK tentang Pedoman Pembangunan dan pengembangan industri olahraga

r. Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga.

r. Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga.

r. Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga.

NSPK tentang Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga

s. Pengaturan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan.

s. Pengaturan pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan.

s. Pengaturan pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan.

NSPK tentang Pedoman standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan

795

t. Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.

t. Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.

t. Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan 1 Tidak memerlukan NSPK karena hanya menajdi wewenang pemerintah pusat

NSPK tentang Pengembangan Sarana dan Prasarana Olahraga Nasional

u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan.

u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan.

u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan.

NSPK tentang Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan

v. Kriteria lembaga keolahragaan.

v. Kriteria lembaga keolahragaan.

v. Kriteria lembaga keolahragaan.

NSPK tentang Pedoman Pemberian Kriteria lembaga keolahragaan

w. Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat.

w. Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat.

w. Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat.

NSPK tentang Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat

x. Hubungan internasional di bidang keolahragaan.

x.

x.

2. Pelaksanaan

1. Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala nasional : a. Aktivitas keolahragaan skala nasional dan internasional.

1. Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala provinsi : a. Aktivitas keolahragaan skala provinsi, nasional dan internasional.

2. Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota : a. Aktivitas keolahragaan skala kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Kebijakan dan Strategi di Bidang Keolahragaan Nasional

796

b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas provinsi.

b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas kabupaten/kota.

b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas kecamatan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Kebijakan dan Strategi di Bidang Keolahragaan Nasional

c. Kerjasama antar provinsi dan internasional.

c. Kerjasama antar kabupaten/kota skala provinsi, pemerintah dan internasional.

c. Kerjasama antar kecamatan skala kabupaten/kota, provinsi, pemerintah dan internasional.

NSPK tentang Pedoman Pengembangan Kerjasama antar provinsi dan internasional

d. Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.

d. Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.

d. Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.

NSPK tentang Pengembangan Sarana dan Prasarana Olahraga Nasional

e. Pendanaan keolahragaan.

e. Pendanaan keolahragaan.

e. Pendanaan keolahragaan.

NSPK tentang Kebijakan dan Strategi di Bidang Keolahragaan Nasional

f. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.

f. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.

f. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.

NSPK tentang Tata Cara Pendidikan dan pelatihan keolahragaan

g. Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.

g. Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.

g. Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.

NSPK tentang Pedoman Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga

797

3. Koordinasi

1. Koordinasi bidang keolahragaan skala nasional :

1. Koordinasi bidang keolahragaan skala provinsi:

1. Koordinasi bidang keolahragaan skala kabupaten/kota : NSPK tentang Pelaksanaan Koordinasi Keolahragaan Nasional

a. Koordinasi antar Departemen/LPND.

a. Koordinasi antar dinas/instansi terkait.

a. Koordinasi antar dinas/instansi terkait.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan 1 Tidak memerlukan NSPK karena hanya menajdi wewenang pemerintah pusat Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.

b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah dan masyarakat.

b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah dan masyarakat.

NSPK tentang Pelaksanaan Koordinasi Keolahragaan Nasional

c. Koordinasi antara pemerintah dan daerah serta masyarakat.

c. Koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota.

c. Koordinasi antara kabupaten/kota dan kecamatan.

NSPK tentang Pelaksanaan Koordinasi Keolahragaan Nasional

d. Koordinasi pihak luar negeri/internasional. 4. Pembinaan dan Pengawasan 1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala nasional :

d.

d.

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala provinsi:

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :

NSPK tentang Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala nasional

a. Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan.

a. Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan.

a. Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan.

NSPK tentang Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala nasional

798

b. Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.

b. Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.

b. Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala nasional

c. Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan.

c. Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan.

c. Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan.

NSPK tentang Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala nasional

d. Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan.

d. Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan.

d. Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan.

NSPK tentang Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan

e. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar pemerintah/ departemen, LPND dan daerah. f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.

e. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di provinsi. f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.

e. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di kabupaten/ kota.

NSPK tentang Pembinaan koordinasi pemerintahan antar pemerintah/ departemen, LPND dan daerah

f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.

NSPK tentang Pengembangan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan

799

g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan.

g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan.

g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang pelaksanaan kegiatan keolahragaan yang dilaksanakan oleh pemerintah/lembaga pemerintah

h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan.

h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan.

h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK tentang Pedoman Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan

i. Pembinaan dan pengembangan industri olahraga.

i. Pembinaan dan pengembangan industri olahraga.

i. Pembinaan dan pengembangan industri olahraga.

NSPK tentang Pembinaan dan pengembangan industri olahraga

j. Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga.

j. Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga.

j. Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga.

NSPK tentang Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga

k. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.

k. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.

k. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.

NSPK tentang pelaksanaan kegiatan keolahragaan yang dilaksanakan oleh pemerintah/lembaga pemerintah

TOTAL DEMAND

74

TOTAL SUPPLY

74

800

19. BIDANG KESATUAN BANGSA DAN POLTIK DALAM NEGERI


PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi. 1. Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOT A 1. Penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kot 1. Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota. KEBUTUHAN NSPK (Y=YA; T=TIDAK) YA 1 TIDA K Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan STATUS NSPK KETERANGAN S1 1 S2 S3 NSPK Tentang Penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional. KETERANGAN

SUB BIDANG

SUB SUB BIDANG

PEMERINTAH

1. Bina Ideologi dan Wawasan Kebangsaan

1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraa n Pemerintahan

1. Penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

2. Pelaksanaan Kegiatan

1. Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

801

3. Pembinaan Penyelenggaraa n Pemerintahan

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai s

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai

1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, be

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai s

4. Pengawasan Penyelenggaraa n Pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional. 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesatuan bangsa dan politik (kesbangpol) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi. 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota. 1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

5. Peningkatan Kapasitas Aparatur

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesatuan bangsa dan politik (kesbangpol) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

802

2. Kewaspadaan Nasional

1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraa n Pemerintahan

1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelijen keamanan (intelkam), bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional. 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan ten

1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi. 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan ten

1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelijen keamanan (intelkam), bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing

2. Pelaksanaan Kegiatan

1. Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

3. Pembinaan Penyelenggaraa n Pemerintahan

1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koo rdinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam,

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan ten

803

4. Pengawasan Penyelenggaraa n Pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

3. Ketahanan Seni, Budaya, Agama dan Kemasyarakat an

1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraa n Pemerintahan

1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.

1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provin

1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI LUAR NEGERI, MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA, MENTERI PERHUBUNGAN, MENTERI TENEGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, MENTERI AGAMA DAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN NOMOR KM 51 TAHUN 2003: TENTANG TIM ADVOKASI, PEMBELAAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KE RJ A INDONESIA DI LUAR NEGERI NSPK Tentang Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.

804

2. Pelaksanaan Kegiatan

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional/ internasional. 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturas

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi. 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturas

1. Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional/ internasional.

3. Pembinaan Penyelenggaraa n Pemerintahan

1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koo rdinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturas

805

4. Pengawasan Penyelenggaraa n Pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional. 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi. 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kab 1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.

5. Peningkatan Kapasitas Aparatur

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.

806

4. Politik Dalam Negeri

1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraa n Pemerintahan

1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilihan umum (pemilu), pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan k 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.

1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkad

1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi p

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilihan umum (pemilu), pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan k

2. Pelaksanaan Kegiatan

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

1. Pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERMENKOMINFO NO: 11 TAHUN 2009 TENTANG KAMPANYE PEMILIHAN UMUM MELALUI JASA TELEKOMUNIKASI

807

3. Pembinaan Penyelenggaraa n Pemerintahan

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelemb 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelem 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kesbangpol dan sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koo rdinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelem

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelemb

4. Pengawasan penyelenggaraa n pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pi

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.

808

5. Peningkatan Kapasitas Aparatur

5. Ketahanan Ekonomi

1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraa n Pemerintahan

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional. 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan organisasi kemasyarakatan (orma

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi. 1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan

1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.

1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan organisasi kemasyarakatan (orma

809

2. Pelaksanaan Kegiatan

3. Pembinaan Penyelenggaraa n Pemerintahan

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investas

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investas

1. Pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupat

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian

1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koo rdinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya al

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

PERATURAN MENTERI ESDM NO.18 TAHUN 2007 TENTANG PELAYANAN JASA BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DI LINGKUNGAN BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN ENERGI DAN SUMBER DAYA ALAM

810

4. Pengawasan Penyelenggaraa n Pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian sk 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketaha

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian sk 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi,

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian sk

5. Peningkatan Kapasitas Aparatur

1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas pereko

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan

NSPK Tentang Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketaha

TOTAL DEMAND

24

TOTAL SUPLAI

21

24

811

20. BIDANG OTONOMI DAERAH, PEMERINTAHAN UMUM, ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH, PERANGKAT DAERAH, KEPEGAWAIAN DAN PERSANDIAN
SUB BIDANG 1. Otonomi Daerah SUB SUB BIDANG 1. Urusan Pemerintahan: a. Kebijakan PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan nasional pembagian urusan pemerintahan. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOT A 1. KEBUTUHAN NSPK PERLU TIDAK 1 Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 KETERANGAN STATUS NSPK S1 S2 S3 KETERANGAN

2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan skala nasional.

2. Penetapan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah skala provinsi.

2. Penetapan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah skala kabupaten/kota.

NSPK tentang penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan skala nasional, provinsi, dan kabupaten/kota

812

b. Pembinaan, Sosialisasi Bimbingan, Konsultasi, Supervisi, Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi serta Pengawasan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.

1. Pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.

1. Pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan dan pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.

1 2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan. 2. Penyelenggaraan pembinaan sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan di wilayah provinsi. 2. Penyelenggaraan pembinaan sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan di wilayah kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 2010 Tentang Sistem Informasi Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Secara Nasional

1 c. Harmonisasi 1. 1. Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 1. Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.

813

2. Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan pada masing-masing lintas Departemen/Lemba ga Pemerintah Non Departemen (LPND).

2. Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan daerah provinsi dengan pemerintah.dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

2. Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan dalam wilayah kabupaten/kota dengan pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan pada masingmasing lintas Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). 2. NSPK tentang harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan daerah provinsi dengan pemerintah.dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. 3. NSPK tentang harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan dalam wilayah kabupaten/kota dengan pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi.

1 d. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria LPPD. 1. Penyusunan LPPD provinsi. 1. Penyusunan LPPD kabupaten/kota 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria LPPD. 2. NSPK tentang penyusunan LPPD provinsi. 3. NSPK tentang p enyusunan LPPD kabupaten/kota.

814

2.

2. Penyampaian LPPD provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

2. Penyampaian LPPD kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penyampaian LPPD provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. 2. NSPK tentang penyampaian LPPD kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.

1 3. Evaluasi LPPD skala nasional. 3. Evaluasi LPPD kabupaten/kota. 3. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang evaluasi LPPD skala nasional dan kabupaten/kota

1 NSPK tentang pengolahan database LPPD skala nasional, provinsi, dan kabupaten/kota

e. Database

1. Pengolahan database LPPD skala nasional.

1. Pengolahan database LPPD skala provinsi.

1. Pengolahan database LPPD skala kabupaten/kota.

1 1. NSPK tentang penetapan kebijakan penataan daerah dan otsus. 2. NSPK tentang pengusulan penataan daerah dan otsus skala provinsi dan kabupateen/kota 1

2. Penataan Daerah dan Otonomi Khusus (Otsus): a. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan penataan daerah dan otsus.

1. Pengusulan penataan daerah dan otsus skala provinsi.

1. Pengusulan penataan daerah skala kabupaten/kota.

815

2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten.

2. Pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten.

2. Pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota daerah dalam rangka penataan daerah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten. 2. NSPK tentang pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten. 3. NSPK tentang pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.

1 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 3. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 3. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 43 Tahun 2010 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri Dalam Negeri Nomor 31 Tahun 2005 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tugas Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah

1 b. Pembentukan Daerah 1. Pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 1. Pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 1. Pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 2. NSPK tentang pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 1

816

2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan kecamatan.

2. Evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah tentang pembentukan kecamatan.

2. Pembentukan kecamatan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan kecamatan. 2. NSPK tentang evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah tentang pembentukan kecamatan. 3. NSPK tentang pembentukan kecamatan. 1

3.a. Penetapan perubahan batas, nama, dan pemindahan ibukota daerah.

3.a. Pengusulan perubahan batas provinsi, nama dan pemindahan ibukota daerah.

3.a. Pengusulan perubahan batas kabupaten/kota, nama dan pemindahan ibukota daerah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan perubahan batas, nama, dan pemindahan ibukota daerah. 2. NSPK tentang pengusulan perubahan batas provinsi dan kabupaten/kota, nama dan pemindahan ibukota daerah.

b.

b.Pelaksanaan perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi.

b.Pelaksanaan perubahan batas, nama kabupaten/kota dan pemindahan ibukota kabupaten.

1. NSPK tentang pelaksanaan perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi. 2. NSPK tentang pelaksanaan perubahan batas, nama kabupaten/kota dan pemindahan ibukota kabupaten.

817

c. Pembinaan, Sosialisasi, Observasi dan Pengkajian Penataan Daerah dan Otsus

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus. 2. NSPK tentang pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.

1 2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus. 2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi. 2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 21 Tahun 2010 Tentang Pedoman Evaluasi Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

1 d. Monitoring dan Evaluasi serta Pengawasan dan Pengendalian Penataan Daerah dan Otsus 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria monitoring dan evaluasi serta pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus. 1. 1. 1 Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus.

2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.

2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No 23 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Perkembangan Daerah Otonomi Baru 1

818

3. Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus.

3. Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.

3. Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No 21 Tahun 2010 Tentang Pedoman Evaluasi Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

1 e. Pembangunan Sistem (Database) Penataan Daerah dan Otsus 1. Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala nasional. 1. Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala provinsi. 1. Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

1 NSPK tentang penyampaian data dan informasi penataan daerah skala provinsi dan kabupaten/kota ke pemerintah.

2.

2. Penyampaian data dan informasi penataan daerah skala provinsi ke pemerintah.

2. Penyampaian data dan informasi penataan daerah skala kabupaten/kota ke provinsi dan pemerintah.

1 1. NSPK tentang penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus. 2. NSPK tentang menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus.

f. Pelaporan

1. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus.

1. Menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus.

1. Menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah.

1 2. Pengolahan data penataan daerah dan otsus skala nasional. 2. Pengolahan database laporan penataan daerah dan otsus skala provinsi. 2. Pengolahan database laporan penataan daerah skala kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pengolahan data penataan daerah dan otsus skala nasional, provinsi, dan kabupaten/kota

819

3. Penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala nasional kepada Presiden.

3. Penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

3. Penyampaian laporan penataan daerah skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala nasional kepada Presiden. 2. NSPK tentang penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. 3. NSPK tentang penyampaian laporan penataan daerah skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.

1 3. Fasilitasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dan Hubungan Antar Lembaga (HAL): a. DPOD 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan DPOD. 1. Penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah provinsi untuk sidang DPOD. 1. Penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah kabupaten/kota untuk sidang DPOD. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan DPOD. 2. NSPK tentang penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah provinsi untuk sidang DPOD. 3. NSPK tentang penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah kabupaten/kota untuk sidang DPOD.

820

2. Pertimbangan formulasi perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2. Penyusunan tata tertib bahan masukan penetapan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) provinsi bagi sidang DPOD. 1. Penyusunan Perda provinsi.

2. Penyusunan tata tertib bahan masukan penetapan DAU dan DAK bagi sidang DPOD.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 20 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Dana Alokasi Khusus Di Daerah

1 1. NSPK tentang penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan tata cara penyusu nan Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah (KDH) dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)/Pimpinan DPRD. 2. NSPK tentang penyusungan Perda tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

b. Penyusunan Peraturan Daerah (Perda)

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan tata cara penyusunan Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah (KDH) dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)/Pimpinan DPRD.

1. Penyusunan Perda kabupaten/kota.

1 2. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah. 2. Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada pemerintah. 2. Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada gubernur. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 2007 Tentang TATA CARA EVALUASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DAN RANCANGAN PERATURAN KEPALA DAERAH TENTANG PENJABARAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

821

3. Pengawasan Perda provinsi, kabupaten/kota.

3. Penyampaian Perda kepada pemerintah untuk dievaluasi.

3. Menyampaikan Perda kepada pemerintah untuk dievaluasi.

c. Fasilitasi Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah

1. Penetapan pembentukan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.

1. Membentuk Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.

1. Membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 53 Tahun 2007 Tentang PENGAWASAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH 1 Keputusan Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 2000 Tentang PEDOMAN PEMBENTUKAN ASOSIASI PEMERINTAH DAERAH DAN PENETAPAN WAKIL ASOSIASI PEMERINTAHAN DAERAH SEBAGAI ANGGOTA DEWAN PERTIMBANGAN OTONOMI DAERAH

1 2. Fasilitasi Pemberdayaan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah. 2. Fasilitasi pembentukan Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama kabupaten/kota. 2. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang fasilitasi pemberdayaan asosiasi/badan kerjasama daerah. 2. NSPK tentang fasilitasi pembentukan Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama kabupaten/kota.

822

4. Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah: a. Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) : (1) Kebijakan

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria SPM.

1. Penetapan perencanaan, penganggaran, dan penerapan SPM skala provinsi.

1. Penetapan perencanaan, penganggaran, dan penerapan SPM skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 62 Tahun 2008 Tentang STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI DI KABUPATEN/KOTA

1 (2) Pembinaan 1. Pembinaan penerapan SPM. 1. Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM skala provinsi. 1. Penerapan SPM kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 2. Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM. 2. Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM kabupaten/kota. 2. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 3. Pengembangan kapasitas penerapan dan pencapaian SPM. 3. Fasilitasi dan supervisi penerapan dan pencapaian SPM kabupaten/kota. 3. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 79 Tahun 2007 Tentang PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 62 Tahun 2008 Tentang STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI DI KABUPATEN/KOTA Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 62 Tahun 2008 Tentang STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI DI KABUPATEN/KOTA

823

b. Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah:

1.a. Penetapan kebijakan tentang norma, standar, prosedur dan kriteria evaluasi mengenai: (1) Pengukuran kinerja. (2) Pengembangan sistem informasi evaluasi. (3) Kriteria pembinaan evaluasi daerah.

1.a.

1.a.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. PERATURAN Menteri Dalam Negeri NO 21 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN EVALUASI DAERAH OTONOMI HASIL PEMEKARAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANGUNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

b.Pelaksanaan evaluasi terhadap provinsi.

b. Pelaksanaan evaluasi terhadap kabupaten/kota mengenai: (1) Pengukuran kinerja. (2) Pengembangan sistem informasi evaluasi. (3) Kriteria pembinaan evaluasi daerah.

b.

1 c. Pengembangan Kapasitas Daerah : (1) Kebijakan 1. Penetapan kerangka nasional pengembangan kapasitas daerah. 1. Penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah. 1. Penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang penetapan kerangka nasional pengembangan kapasitas daerah. 2. NSPK tentang penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah.

824

2. Pedoman penyusunan rencana tindak peningkatan kapasitas daerah.

2. Penetapan rencana tindak peningkatan kapasitas provinsi.

2. Penetapan rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No 54 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

1 (2) Pelaksanaan 1. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan pengembangan kapasitas daerah. 1. Implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas provinsi. 1. Implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang fasilitasi pelaksanaan kebijakan pengembangan kapasitas daerah. 2. NSPK tentang implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas provinsi dan kabupaten/kota.

1 2. Fasilitasi pedoman penyusunan rencana tindak peningkatan kapasitas daerah. 2. Fasilitasi implementasi rencana tindak provinsi. 2. Fasilitasi implementasi rencana tindak kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 54 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

1 (3) Pembinaan 1. Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas provinsi. 1. Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas kabupaten/kota. 1. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 54 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

825

2. Koordinasi nasional pengembangan kapasitas daerah.

2. Koordinasi pengembangan kapasitas provinsi.

2. Koordinasi pengembangan kapasitas kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang koordinasi nasional pengembangan kapasitas daerah. 2. NSPK tentang koordinasi pengembangan kapasitas provinsi dan kabupaten/kota. 1 1. NSPK tentang penetapan pedoman tata tertib DPRD. 2. NSPK tentang penetapan pedoman tata tertib DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

5. Pejabat Negara: a. Tata Tertib DPRD: (1) Kebijakan

1. Penetapan pedoman tata tertib DPRD.

1. Penetapan pedoman tata tertib DPRD provinsi.

1. Penetapan pedoman tata tertib DPRD kabupaten/kota.

1 NSPK tentang fasilitasi penyusunan tata tertib DPRD provinsi dan kabupaten kota.

(2) Pembinaan

1. Fasilitasi penyusunan tata tertib DPRD provinsi.

1. Fasilitasi penyusunan tata tertib DPRD kabupaten/kota.

1.

1 NSPK tentang monitoring dan evaluasi tata tertib DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

2. Monitoring dan evaluasi tata tertib DPRD provinsi.

2. Monitoring dan evaluasi tata tertib DPRD kabupaten/kota.

2.

1 NSPK tentang peresmian pengangkatan dan pemberhentian anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

b. Peresmian Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota DPRD Provinsi/Kabupate n/Kota.

1. Peresmian pengangkatan dan pemberhentian anggota DPRD provinsi.

1. Peresmian pengangkatan dan pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota.

1.

826

c. Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah (KDH) dan Wakil KDH: (1) Kebijakan

1. Penetapan Pedoman Tata Cara Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian KDH dan Wakil KDH.

1.

1.

(2) Pelaksanaan

1. Pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian KDH dan Wakil KDH.

1. Fasilitasi pemilihan gubernur dan wakil gubernur.

1. Fasilitasi pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan Pedoman Tata Cara Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian KDH dan Wakil KDH.

1. NSPK tentang pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian KDH dan Wakil KDH. 2. NSPK tentang fasilitasi pemilihan gubernur dan wakil gubernur. 3. NSPK tentang fasilitasi pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota. 1

2. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan KDH dan Wakil KDH.

2. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.

2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan KDH dan Wakil KDH. 2. NSPK tentang pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.

827

d. Kedudukan Protokoler dan Keuangan DPRD: (1) Kebijakan

1. Penetapan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD.

1. Pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.

1. Pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD. 2. NSPk tentang pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi dan kabupaten/kota. 1

(2) Pembinaan

1. Fasilitasi penyusunan kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.

1. Fasilitasi penyusunan kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2007 Tentang PENGELOMPOKAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERA, PENGANGGARAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PENGGUNAAN BELANJA PENUNJANG OPERASIONAL PIMPINAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH SERTA TATA CARA PENGEMBALIAN TUNJANGAN KOMUNIKASI INTENSIF DAN DANA OPERASIONAL

1 2. Monitoring dan evaluasi kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi. 2. Monitoring dan evaluasi kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota. 2. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Tindak Lanjut Hasil Pemerikasaan Badan Pemeriksa Keuangan 1

828

g. Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah : (1) Kebijakan

2. Monitoring dan evaluasi LKPJ gubernur.

2. Monitoring dan evaluasi LKPJ bupati/walikota.

2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi LKPJ gubernur dan bupati/walikota.

1 1. Penetapan pedoman tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang serta kedudukan keuangan gubernur sebagai wakil pemerintah. 1. Pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah. 1. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang penetapan pedoman tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang serta kedudukan keuangan gubernur sebagai wakil pemerintah. 2. NSPK tentang pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah.

1 (2) Pembinaan 1. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah. 1. 1. 1 Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Pemerintahan Umum

1. Fasilitasi Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Kerjasama: a. Fasilitasi Dekonsentrasi

1. Penetapan kebijakan nasional penyelenggaraan dekonsentrasi.

1. Gubernur melaksanakan dan melaporkan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang didekonsentrasikan.

1.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan nasional penyelenggaraan dekonsentrasi. 2. NSPK tentang gubernur melaksanakan dan melaporkan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang didekonsentrasikan.

829

2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi.

2. Gubernur mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah provinsi dan kabupaten/ kota.

2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 65 Tahun 2008 Tentang PEDOMAN PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN PROVINSI DAN PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN KABUPATEN/KOTA

1 3. 3. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan dekonsentrasi di daerah provinsi dan kabupaten/kota. 1. Pelaksanaan dan pelaporan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan oleh pemerintah. 3. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan dekonsentrasi di daerah provinsi dan kabupaten/kota.

1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 65 Tahun 2008 Tentang PEDOMAN PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN PROVINSI DAN PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN KABUPATEN/KOTA

b. Fasilitasi Tugas Pembantuan

1. Penetapan kebijakan nasional penyelenggaraan tugas pembantuan.

1. Pelaksanaan dan pelaporan penyelenggaraan tugas pembantuan oleh pemerintah dan/atau pemerintah provinsi.

830

2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuank an kepada provinsi/kabupaten/ kota/desa.

2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada kabupaten/kota/desa.

2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada desa.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 65 Tahun 2008 Tentang PEDOMAN PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN PROVINSI DAN PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN KABUPATEN/KOTA

1 3. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari provinsi kepada kabupaten/kota/desa . 3. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari kabupaten/kota kepada desa. 3. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Peraturan Mendagri No. 65 Tahun 2008 Tentang PEDOMAN PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN PROVINSI DAN PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN KABUPATEN/KOTA

1 c. Fasilitasi Kerjasama Daerah dengan Pihak Ketiga 1. Penetapan kebijakan nasional di bidang kerjasama dengan pihak ketiga. 1. Penetapan kebijakan provinsi di bidang kerjasama dengan pihak ketiga. 1. Penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kerjasama dengan pihak ketiga. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang penetapan kebijakan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.

831

2. Pelaksanaan kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga.

2. Pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.

2. Pelaksanaan kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 44 Tahun 2009 Tentang PEDOMAN KERJA SAMA DEPARTEMEN DALAM NEGERI DAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DAN LEMBAGA NIRLABA LAINNYA DALAM BIDANG KESATUAN BANGSA DAN POLITIK DALAM NEGERI

1 3. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga. 3. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga. 3. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi kerjasama provinsi dan kabupaten/kota dengan pihak ketiga.

4. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.

4. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.

4.

NSPK tentang pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama provinsi dan kabupaten/kota dengan pihak ketiga.

5.

5. Pelaporan pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga kepada pemerintah.

5. Pelaporan pelaksanaan kerjasama pemerintah kabupaten/kota dengan pihak ketiga kepada provinsi.

1. NSPK tentang pelaporan pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga kepada pemerintah. 2. NSPK tentang pelaporan pelaksanaan kerjasama pemerintah kabupaten/kota dengan pihak ketiga kepada provinsi.

832

d. Kerjasama Antar Daerah

1. Penetapan kebijakan kerjasama antar daerah.

1. Pelaksanaan kerjasama antar provinsi.

1. Pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan kerjasama antar daerah. 2. NSPK tentang pelaksanaan kerjasama antar provinsi dan kabupaten/kota.

2. Fasilitasi kerjasama antar provinsi.

2. Fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota.

2.

NSPK tentang fasilitasi kerjasama antar provinsi dan kabupaten/kota.

3. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan kerjasama antar daerah.

3. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama antar kabupaten/kota.

3.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 2009 Tentang TATA CARA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN KERJA SAMA ANTARDAERAH

4.

4. Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar provinsi kepada pemerintah.

4. Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota kepada provinsi.

1. NSPK tentang pelaporan pelaksanaan kerjasama antar provinsi kepada pemerintah. 2. NSPK tentang pelaporan pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota kepada provinsi.

833

e. Pembinaan Wilayah

1. Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan.

1. Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di provinsi dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah.

1. Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di kabupaten/kota dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah dan provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan. 2. NSPK tentang penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di provinsi dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah. 3. NSPK tentang penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di kabupaten/kota dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah dan provinsi.

2. Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan.

2. Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar kabupaten/kota di wilayahnya.

2. Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar kecamatan/desa/kelura han di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2008 Tentang PEDOMAN HUBUNGAN KERJA ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

834

3. Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar provinsi.

3. Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kabupaten/kota.

3. Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kecamatan/desa/kelura han di wilayahnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar provinsi. 2. NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kabupaten/kota. 3. NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kecamatan/desa/kelurahan di wilayahnya.

4. Koordinasi penetapan kebijakan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala nasional.

4. Pelaksanaan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala provinsi.

4. Pelaksanaan dan fasilitasi kebijakan usaha kecil dan menengah skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang koordinasi penetapan kebijakan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala nasional. 2. NSPK tentang pelaksanaan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala provinsi dan kabupaten/kota.

5. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa.

5. Penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala provinsi.

5. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa. 2. NSPK tentang penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala provinsi. 3. NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala kabupaten/kota.

835

f. Koordinasi Pelayanan Umum

1. Koordinasi dan fasilitasi kebijakan nasional dalam bidang pelayanan umum.

1. Pelaksanaan pelayanan umum skala provinsi.

1. Pelaksanaan pelayanan umum skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi kebijakan nasional dalam bidang pelayanan umum. 2. NSPk tentang pelaksanaan pelayanan umum skala provinsi dan kabupaten/kota.

2. Trantibum dan Linmas a. Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat

1. Penetapan kebijakan nasional dalam bidang: (a)

1. Penetapan kebijakan provinsi dengan merujuk kebijakan nasional dalam bidang: (a) Penegakan Perda/Peraturan Kepala Daerah. (b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

1. Penetapan kebijakan kabupaten/kota dengan merujuk kebijakan nasional dalam bidang: (a) Penegakan Perda/Peraturan Kepala Daerah. (b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2005 Tentang PEDOMAN PROSEDUR TETAP OPERASIONAL SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

(b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2005 Tentang PEDOMAN PROSEDUR TETAP OPERASIONAL SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

(c) Kepolisipamongpraj aan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

(c) Kepolisipamongprajaa n dan PPNS.

(c) Kepolisipamongprajaa n dan PPNS.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2005 Tentang PEDOMAN PROSEDUR TETAP OPERASIONAL SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

(d) Perlindungan masyarakat.

(d) Perlindungan masyarakat.

(d) Perlindungan masyarakat.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2005 Tentang PEDOMAN PROSEDUR TETAP OPERASIONAL SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

836

2. Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala nasional.

2. Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala provinsi.

2. Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala kabupaten/kota.

3. Pembinaan kepolisipamongpraja an dan PPNS.

3. Pelaksanaan kepolisipamongprajaa n dan PPNS skala provinsi.

3. Pelaksanaan kepolisipamongprajaa n dan PPNS skala kabupaten/ kota.

4. Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala nasional.

4. Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala provinsi.

4. Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala kabupaten/kota.

5. Koordinasi antar instansi terkait.

5. Koordinasi dengan instansi terkait skala provinsi.

5. Koordinasi dengan instansi terkait skala kabupaten/ kota.

b. Koordinasi Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM)

1. Koordinasi penegakan HAM skala nasional.

1. Koordinasi penegakan HAM skala provinsi.

1. Koordinasi penegakan HAM skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2005 Tentang PEDOMAN PROSEDUR TETAP OPERASIONAL SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2005 Tentang PEDOMAN PROSEDUR TETAP OPERASIONAL SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2005 Tentang PEDOMAN PROSEDUR TETAP OPERASIONAL SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2005 Tentang PEDOMAN PROSEDUR TETAP OPERASIONAL SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

NSPK tentang koordinasi penegakan HAM skala nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

837

3. Wilayah Perbatasan: a. Pengelolaan Perbatasan Antar Negara

1. Penetapan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.

1.

1.

2. Pelaksanaan pengelolaan perbatasan antar negara.

2. Dukungan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.

2. Dukungan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.

3. Koordinasi pengelolaan perbatasan antar negara.

3. Dukungan koordinasi antar kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara lain.

3. Dukungan koordinasi antar kecamatan/desa/kelura han yang berbatasan dengan negara lain.

4. Pelaksanaan penyelesaian perselisihan perbatasan antar negara.

4.

4.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No 31 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat Tetap Badan Nasional Pengelola Perbatasan

Peraturan Menteri Dalam Negeri No 31 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat Tetap Badan Nasional Pengelola Perbatasan

838

b. Perbatasan Daerah

1. Penetapan kebijakan, pelaksanaan, dan penegasan perbatasan daerah.

1. Dukungan pelaksanaan penegasan perbatasan provinsi dan kabupaten/kota di wilayah provinsi.

1. Penetapan kebijakan dan pelaksanaan perbatasan kecamatan dan desa/kelurahan di kabupaten/kota.

c. Toponimi dan Pemetaan Wilayah

1. Penetapan kebijakan toponimi dan pemetaan wilayah.

1. Penetapan kebijakan provinsi mengacu pada kebijakan nasional mengenai toponimi dan pemetaan wilayah provinsi.

1. Penetapan kebijakan kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional mengenai toponimi dan pemetaan wilayah kabupaten/kota. 2. Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pembentukan Badan Pengelola Perbatasan Daerah

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 130 Tahun 2003 Tentang Organisasi, dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri

2. Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala nasional.

2. Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala provinsi.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 130 Tahun 2003 Tentang Organisasi, dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri

3. Inventarisasi laporan toponimi dan pemetaan.

3. Inventarisasi dan laporan toponimi dan pemetaan skala provinsi.

3. Inventarisasi dan laporan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/ kota.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 130 Tahun 2003 Tentang Organisasi, dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri

d. Pengembangan Wilayah Perbatasan

1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan.

1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan antar kabu- paten/kota skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pembentukan Badan Pengelola Perbatasan Daerah

839

2. Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan antar negara dan antar provinsi.

2. Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan skala provinsi.

2. Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota.

3. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan antar negara dan antar provinsi.

3. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan provinsi.

3. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan kabupaten/kota.

e. Penetapan Luas Wilayah

1. Penetapan kebijakan luas wilayah.

1. Inventarisasi perubahan luas wilayah provinsi yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi.

1. Inventarisasi perubahan luas wilayah kabupaten/kota yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pembentukan Badan Pengelola Perbatasan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pembentukan Badan Pengelola Perbatasan Daerah

1. NSPK tentang penetapan kebijakan luas wilayah. 2. NSPK tentang inventarisasi perubahan luas wilayah provinsi yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi. 3. NSPk tentang inventarisasi perubahan luas wilayah kabupaten/kota yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi.

2. Koordinasi dan fasilitasi penetapan luas wilayah provinsi, kabupaten/kota.

2. Pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya.

2. Pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi penetapan luas wilayah provinsi, kabupaten/kota. 2. NSPK tentang pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya.

840

4. Kawasan Khusus: a. Kawasan Sumber Daya Alam; Kehutanan, Energi dan Sumber Daya Mineral

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 2007 Tentang PROVINSI JAWA TIMUR SEBAGAI DAERAH PENGHASIL SUMBER DAYA ALAM SEKTOR MINYAK BUMI DAN GAS BUMI

b. Kawasan Sumber Daya Buatan; Pelabuhan, Bandar Udara, Perkebunan, Peternakan, Industri, Pariwisata, Otorita, Bendungan dan Sejenisnya

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan. 2. NSPK tentang penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala provinsi dan kabupaten/kota.

c. Kawasan Kepentingan Umum; Kawasan Fasilitas Sosial dan Umum

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum. 2. NSPK tentang penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala provinsi dan kabupaten/kota.

841

d. Kawasan Kelautan dan Kedirgantaraan

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan. 2. NSPK tentang penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala provinsi dan kabupaten/kota.

5. Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Bencana: a. Mitigasi Pencegahan Bencana

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/ pencegahan bencana. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan penanganan bencana. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/pencegahan bencana skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/pencegahan bencana skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2006 Tentang PEDOMAN UMUM MITIGASI BENCANA

b. Penanganan Bencana

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan bencana skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan bencana skala kabupaten/kota.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No 131 Tahun 2003 Tentang PEDOMAN PENANGGULANGAN BENCANA DAN PENANGANAN PENGUNGSI DI DAERAH 1. NSPK tentang penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana. 2. NSPK tentang penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana skala provinsi dan kabupaten/kota.

c. Penanganan Pasca Bencana

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana skala kabupaten/kota.

842

d. Kelembagaan

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 46 Tahun 2008 Tentang PEDOMAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH 1. NSPK tentang penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran. 2. NSPK tentang penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala provinsi dan kabupaten/kota.

e. Penanganan Kebakaran

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala kabupaten/kota.

3. Administrasi Keuangan Daerah

1. Organisasi dan Kelembagaan Pengelolaan Keuangan Daerah

1. Penetapan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan organisasi, kelembagaan dan pembinaan sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah.

1. Pelaksanaan penataan organisasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah provinsi dan kabupaten/ kota.

1. Pelaksanaan penataan organisasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Mendagri No. 59 Tahun 2007 Tentang PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

1 2. Anggaran Daerah 1. Penetapan pedoman rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah. 1. Penetapan peraturan daerah (Perda) tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah. 1. Penetapan Perda tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Peraturan Mendagri No. 59 Tahun 2007 Tentang PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 1

843

2. Penetapan kebijakan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah.

2. Penetapan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah provinsi.

2. Penetapan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri No 29 Tahun 2002 Tentang PEDOMAN PENGURUSAN, PERTANGGUNGJAWABAN DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH SERTA TATA CARA PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH, PELAKSANAAN TATA USAHA KEUANGAN DAERAH DAN PENYUSUNAN PERHITUNGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

1 3. Penetapan pedoman perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi dan kabupaten/ kota. 3. Perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi. 3. Perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan kabupaten/ kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang penetapan pedoman perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi dan kabupaten/ kota. 2. NSPK tentang perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota.

844

4. Penetapan pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan perubahan APBD.

4. Penetapan Perda tentang APBD dan perubahan APBD.

4. Penetapan Perda tentang APBD dan perubahan APBD

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri No 29 Tahun 2002 Tentang PEDOMAN PENGURUSAN, PERTANGGUNGJAWABAN DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH SERTA TATA CARA PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH, PELAKSANAAN TATA USAHA KEUANGAN DAERAH DAN PENYUSUNAN PERHITUNGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

1 5. Penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD provinsi. 5. Penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD kabupaten/kota, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah. 5. Penetapan pedoman evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD provinsi. 2. NSPK tentang penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD kabupaten/kota, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah. 3. NSPK tentang penetapan pedoman evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah.

845

6. Evaluasi Raperda tentang APBD, dan perubahan APBD provinsi.

6. Evaluasi Raperda tentang APBD, dan perubahan APBD kabupaten/ kota.

6. Evaluasi Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) tentang APB Desa.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Mendagri No. 65 Tahun 2007 Tentang PEDOMAN EVALUASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DAN RANCANGAN PERATURAN KEPALA DAERAH TENTANG PENJABARAN PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

1 7. Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar provinsi. 7. Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar kabupaten/kota. 7. Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar desa. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar provinsi, kabupaten/kota, dan desa.

1 NSPK tentang penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent) antara pemerintah dan provinsi, provinsi dan kabupaten/kota, dan kabupaten/kota dan desa.

8. Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent) antara pemerintah dan provinsi.

8. Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent) antara provinsi dan kabupaten/ kota.

8. Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent) antara kabupaten/kota dan desa.

846

9. Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan daerah antar provinsi.

9. Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan daerah antar kabupaten/kota.

9. Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan antar desa.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan daerah antar provinsi, kabupaten/kota, dan desa.

1 1. NSPK tentang fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah. 2. NSPK tentang fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah kabupaten/kota dan desa. 1 1. NSPK tentang penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pajak daerah, retribusi daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) lainnya. 2. NSPK tentang penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi dan kabupaten/kota.

10. Fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah.

10. Fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah kabupaten/kota.

10. Fasilitasi perencanaan dan penganggaran pemerintahan desa.

a. Pajak dan Retribusi Daerah

1.a. Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pajak daerah, retribusi daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) lainnya.

1.a. Penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi.

1.a. Penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota.

1 b. b.Pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi. b.Pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/ kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi dan kabupaten/kota.

847

c. Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pajak dan retribusi daerah, serta PAD lainnya.

c. Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pajak dan retribusi daerah serta PAD lainnya kabupaten/kota.

c. Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan retribusi desa.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pajak dan retribusi daerah, serta PAD lainnya. 2. NSPK tentang fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pajak dan retribusi daerah serta PAD lainnya kabupaten/kota. 3. NSPK tentang fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan retribusi desa.

1 2. Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah. 2. Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala provinsi. 2. Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 3. Evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah provinsi, dan Perda pajak dan retribusi daerah, dan pungutan lainnya provinsi dan kabupaten/kota. 3. Evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah dan pungutan lainnya kabupaten/kota. 3. Evaluasi Raperdes tentang retribusi dan pungutan lainnya. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah provinsi, dan Perda pajak dan retribusi daerah, dan pungutan lainnya provinsi dan kabupaten/kota. 2. NSPK tentang evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah dan pungutan lainnya kabupaten/kota. 3. NSPK tentang evaluasi Raperdes tentang retribusi dan pungutan lainnya. 1. NSPK tentang pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah. 2. NSPK tentang pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala provinsi dan kabupaten/kota.

848

b. Investasi dan Aset Daerah

1. Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan investasi dan aset daerah.

1. Penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi.

1. Penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan investasi dan aset daerah. 2. NSPK tentang penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi dana kabupaten/kota.

1 2. Fasilitasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus tentang pengelolaan investasi dan aset daerah. 2. Pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi. 2. Pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang fasilitasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus tentang pengelolaan investasi dan aset daerah. 2. NSPK tentang pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi dan kabupaten/kota.

1 3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi. 3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/ kota. 3. Pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang pembinaan dan pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi dan kabupaten/kota. 2. NSPK tentang pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota.

1 4. Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala nasional. 4. Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala provinsi. 4. Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

849

c. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Lembaga Keuangan Mikro

1. Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro.

1. Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.

1. Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro. 2. NSPK tentang penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi dan kabupaten/kota.

1 2. Fasilitasi, monitoring dan evaluasi, pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro. 2. Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi. 2. Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/ kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang fasilitasi, monitoring dan evaluasi, pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro. 2. NSPK tentang pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi. 3. NSPK tentang pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/ kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa.

1 d. Pinjaman Daerah 1. Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro. 2. NSPK tentang penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi dan kabupaten/kota.

850

2. Fasilitasi, monitoring dan evaluasi, pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro.

2. Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.

2. Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/ kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang fasilitasi, monitoring dan evaluasi, pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro. 2. NSPK tentang pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi. 3. NSPK tentang pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/ kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa.

1 3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi. 3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota. 3. Pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi dan kabupaten/kota. 2. NSPK tentang pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa.

851

1. Penetapan kebijakan umum tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta Badan Layanan Umum (BLU) daerah.

1. Penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi.

1. Penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan umum tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta Badan Layanan Umum (BLU) daerah. 2. NSPK tentang penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi dan kabupaten/kota.

1 2. Fasilitasi, monitoring, evaluasi dan pelaksanaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU daerah. 2. Pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi. 2. Pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang fasilitasi, monitoring, evaluasi dan pelaksanaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU daerah. 2. NSPK tentang pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi dan kabupaten/kota.

1 3. Pembinaan dan pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi. 3. Pembinaan dan pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota. 3. Pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang pembinaan dan pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi dan kabupaten/kota. 2. NSPK tentang pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.

1 a. Dana Alokasi Umum 1. Penetapan formula penghitungan alokasi DAU provinsi/kabupaten/ kota. 1. Pengelolaan data dasar penghitungan alokasi DAU provinsi dan koordinasi data dasar penghitungan alokasi DAU kabupaten/kota. 1. Pengelolaan data dasar penghitungan alokasi DAU kabupaten/kota. 1 Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

852

2. Penetapan pedoman umum pengelolaan DAU. 3. Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAU.

2. Pengelolaan DAU provinsi.

2. Pengelolaan DAU kabupaten/kota.

3. Pelaporan pengelolaan DAU provinsi, dan monitoring serta evaluasi penggunaan DAU kabupaten/kota. 1. Usulan program dan kegiatan provinsi untuk didanai dari DAK serta koordinasi usulan DAK kabupaten/kota. 2.

3. Pelaporan pengelolaan DAU kabupaten/kota.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

b. Dana Alokasi Khusus (DAK)

1. Penetapan kebijakan DAK dan kriteria penghitungannya.

1. Usulan program dan kegiatan kabupaten/kota untuk didanai dari DAK.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

2. Penghitungan dan penetapan alokasi DAK. 3. Penetapan petunjuk teknis (juknis) pengelolaan DAK. 4. Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAK provinsi dan kabupaten/kota. 5. Pengendalian dan pengkajian pengelolaan DAK provinsi dan kabupaten/kota c. Dana Bagi Hasil (DBH) 1. Penetapan kebijakan DBH.

2.

3. Pengelolaan DAK (bagi provinsi yang menerima DAK).

3. Pengelolaan DAK (bagi kabupaten/kota yang menerima DAK).

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

4. Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAK kabupaten/kota. 5. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DAK.

4.

5. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DAK.

1. Penyiapan data realisasi penerima DBH provinsi.

1. Penyiapan data realisasi penerima DBH kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan DBH. 2. NSPK tentang penyiapan data realisasi penerima DBH provinsi dan kabupaten/kota.

853

2. Penetapan daerah penghasil Sumber Daya Alam (SDA).

2. Fasilitasi kabupaten/kota terhadap konflik penentuan daerah penghasil SDA.

2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan daerah penghasil Sumber Daya Alam (SDA). 2. NSPK tentang fasilitasi kabupaten/kota terhadap konflik penentuan daerah penghasil SDA. 1 1. NSPK tentang penghitungan dan penetapan alokasi DBH bagi provinsi dan kabupaten/kota. 2. NSPK tentang penetapan alokasi DBH di kabupaten/kota. 1

3. Penghitungan dan penetapan alokasi DBH bagi provinsi dan kabupaten/kota.

3. Penetapan alokasi DBH di kabupaten/kota.

3.

4. Evaluasi laporan pengelolaan DBH.

4. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DBH.

4. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DBH.

5. Pelaksanaan, Penatausahaan, Akuntansi dan Pertanggungjawab an Pelaksanaan APBD

1. Penetapan kebijakan norma, standar prosedur dan kriteria pelaksanaan, penatausahaan, akuntansi pengelolaan keuangan daerah dan desa.

1. Penetapan kebijakan tentang sistem dan prosedur akuntansi pengelolaan keuangan daerah provinsi.

1. Penetapan kebijakan tentang sistem dan prosedur akuntansi pengelolaan keuangan daerah kabupaten/kota dan desa.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang evaluasi pengelolaan DBH. 2. NSPK tentang pengendalian dan pelaporan DBH.

1 Peraturan Mendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

854

2. Penetapan pedoman penyusunan laporan keuangan daerah/desa dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi, kabupaten/kota dan APB desa.

2. Penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi.

2. Penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota dan APB desa.

Keputusan Menteri No 29 Tahun 2002 Tentang PEDOMAN PENGURUSAN, PERTANGGUNGJAWABAN DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH SERTA TATA CARA PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH, PELAKSANAAN TATA USAHA KEUANGAN DAERAH DAN PENYUSUNAN PERHITUNGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

1 3. Penetapan pedoman evaluasi laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi, kabupaten/kota dan APB desa. 3. 3. 1 Peraturan Mendagri No. 16 Tahun 2007 Tentang TATA CARA EVALUASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DAN RANCANGAN PERATURAN KEPALA DAERAH TENTANG PENJABARAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

855

4. Evaluasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi.

4. Evaluasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/ kota.

4. Evaluasi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APB desa.

Keputusan Menteri No 29 Tahun 2002 Tentang PEDOMAN PENGURUSAN, PERTANGGUNGJAWABAN DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH SERTA TATA CARA PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH, PELAKSANAAN TATA USAHA KEUANGAN DAERAH DAN PENYUSUNAN PERHITUNGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

1 5. Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent). 5. Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggung-jawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent). 5. Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent). 1 NSPK tentang penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent).

856

6. Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan APB desa.

6. Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota.

6. Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pelaksanaan APB desa.

1. NSPK tentang fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan APB desa. 2. NSPK tentang pasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota. 3. NSPK tentang fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pelaksanaan APB desa

1 4. Perangkat Daerah 1. Kebijakan 1. Penetapan pedoman umum tentang perangkat daerah. 1. Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah provinsi. 1. Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan perangkat daerah. 2. Pelaksanaan kebijakan pembentukan perangkat daerah skala provinsi. 2. Pelaksanaan kebijakan pembentukan perangkat daerah skala kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 PERATURAN MENDAGRI NO. 33 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN HUBUNGAN KERJA ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH 1. NSPK tentang penetapan pedoman umum tentang perangkat daerah. 2. NSPK tentang pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah provinsi dan kabupaten/kota.

857

3. Penetapan pedoman teknis perangkat daerah.

3. Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah provinsi.

3. Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERATURAN MENTERI NO 56 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH, PERATURAN MENDAGRI NO. 57 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH;Keputusan Menteri No 50 Tahun 2000 Tentang PEDOMAN SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH

4. Penetapan pedoman tatalaksana perangkat daerah.

4. Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah provinsi.

4. Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

PERATURAN MENDAGRI NO. 45 TAHUN 2008 TENTANG POLA ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

5. Penetapan pedoman analisis jabatan perangkat daerah.

5. Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah provinsi.

5. Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah kabupaten/kota.

Keputusan Menteri No 2 Tahun 2002 Tentang PEDOMAN PENETAPAN ESELON II KE BAWAH PERANGKAT DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

858

2. Pengembangan Kapasitas

1. Penetapan kebijakan tentang pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah.

1. Pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah provinsi.

1. Pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan tentang pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah. 2. NSPK tentang pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah provinsi dan kabupaten/kota.

1 2. Koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah. 2. Koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah. 2. NSPK tentang koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah kabupaten/kota. 3. NSPK tentang pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah. 1 3. Fasilitasi 1. Penetapan kebijakan fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah, yang meliputi pemberian bimbingan, supervisi, pelatihan, dan kerjasama. 1. Fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota. 1. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang penetapan kebijakan fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah, yang meliputi pemberian bimbingan, supervisi, pelatihan, dan kerjasama. 2. NSPK tentang fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota. 1

859

4. Pembinaan dan Pengendalian

1. Penetapan kebijakan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah.

1. Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah kabupaten/kota.

1. Penerapan dan pengendalian organisasi perangkat daerah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah. 2. NSPK tentang pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah kabupaten/kota. 3. NSPK tentang penerapan dan pengendalian organisasi perangkat daerah.

1 2. Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah provinsi. 2. 2. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah provinsi.

1 NSPK tentang pembatalan peraturan daerah tentang perangkat daerah.

3. Pembatalan peraturan daerah tentang perangkat daerah.

3.

3.

1 NSPK tentang penetapan kebijakan monitoring dan evaluasi perangkat daerah.

5. Monitoring dan Evaluasi

1. Penetapan kebijakan monitoring dan evaluasi perangkat daerah.

1.

1.

860

2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah provinsi.

2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah kabupaten/kota.

2. Penyediaan bahan monitoring dan evaluasi perangkat daerah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang elaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah provinsi dan kabupaten/kota. 2. NSPK tentang penyediaan bahan monitoring dan evaluasi perangkat daerah.

1 3. Penetapan database perangkat daerah skala nasional. 3. Koordinasi penyusunan database perangkat daerah skala provinsi. 3. Penyediaan bahan database perangkat daerah skala kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang penetapan database perangkat daerah skala nasional. 2. NSPK tentang koordinasi penyusunan database perangkat daerah skala provinsi. 3. NSPK tentang penyediaan bahan database perangkat daerah skala kabupaten/kota.

1 5. Kepegawaian 1. Formasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan kebijakan formasi PNS secara nasional setiap tahun anggaran. 1. Penyusunan formasi Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) di provinsi setiap tahun anggaran. 1. Penyusunan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang penetapan kebijakan formasi PNS secara nasional setiap tahun anggaran. 2. NSPK tentang penyusunan formasi Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) di provinsi dan kabupaten/kota setiap tahun anggaran.

861

2. Penetapan persetujuan formasi Pegawai Negeri Sipil Pusat (PNSP) di lingkungan Departemen/LPND setiap tahun anggaran.

2. Penetapan formasi PNSD di provinsi setiap tahun anggaran.

2. Penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan persetujuan formasi Pegawai Negeri Sipil Pusat (PNSP) di lingkungan Departemen/LPND setiap tahun anggaran. 2. NSPK tentang penetapan formasi PNSD di provinsi dan kabupaten/kota setiap tahun anggaran. 1

3. Penetapan formasi PNSP/Departemen/ LPND/ Kesekretaritan lembaga dan Daerah setiap tahun anggaran.

3. Koordinasi usulan penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.

3. Usulan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan formasi PNSP/Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan Daerah setiap tahun anggaran. 2. NSPK tentang koordinasi usulan penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran. 3. NSPK tentang usulan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.

1 2. Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengadaan PNS. 1. Pelaksanaan pengadaan PNSD Provinsi 1. Pelaksanaan pen gadaan PNSD kabupaten/kota 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengadaan PNS. 2. NSPK tentang pelaksanaan pengadaan PNSD Provinsi dan kabupaten/kota. 1 1. NSPK tentang pelaksanaan pengadaan PNSP di lingkungan Departemen/LPND. 2. NSPK tentang usulan penetapan Nomor Induk Pegawai (NIP). 1

2. Pelaksanaan pengadaan PNSP di lingkungan Departemen/LPND.

2. Usulan penetapan Nomor Induk Pegawai (NIP)

2. Usulan penetapan NIP

862

3. Koordinasi pelaksanaan pengadaan PNS secara nasional.

3. Koordinasi pelaksanaan pengadaan PNSD kabupaten/kota.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERKA NOMOR 10 TAHUN 2005 PEGAWAI NEGERI SIP IL YANG MENJADI CALON KEPALA DAERAH WAKIL KEPALA DAERAH

1 1. NSPK tentang penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS. 2. NSPK tentang pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan provinsi dan kabupaten/kota.

3. Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS.

1. Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan provinsi.

1. Penetapan kebijakan pengangkatan CPNSD di lingkungan kabupaten/kota.

1 2. Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga. 2. Penempatan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) provinsi. 2. Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga. 2. NSPK tentang penempatan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) provinsi. 3. NSPK tentang pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan kabupaten/kota.

1 3. 3. Pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi. 3. Pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi.

863

4. Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS menjadi PNS.

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri No 34 Tahun 2010 Tentang Pelimpahan Wewenang, Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri

2. Penetapan CPNSP menjadi PNSP Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga.

2. Penetapan CPNSD menjadi PNSD di lingkungan provinsi.

2. Penetapan CPNSD menjadi PNSD di lingkungan kabupaten/kota.

PERKA NOMOR 19 TAHUN 2008 PNS YANG DITUGASKAN SECARA PENUH

3.

3. Koordinasi pelaksanaan pengangkatan CPNSD menjadi PNSD kabupaten/kota.

3.

NSPK tentang koordinasi pelaksanaan pengangkatan CPNSD menjadi PNSD kabupaten/kota.

1 NSPK tentang penetapan menjadi PNSP dan PNSD bagi CPNSP dan CPNSD yang tewas atau cacat karena dinas

4. Penetapan menjadi PNSP dan PNSD bagi CPNSP dan CPNSD yang tewas atau cacat karena dinas

4.

4.

1 1 Peraturan Mendagri No. 31 Tahun 2009 Tentang PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

5. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat)

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria diklat jabatan PNS.

1. Penetapan kebutuhan diklat PNSD provinsi.

1. Penetapan kebutuhan diklat PNSD kabupaten/kota.

864

2. Penetapan sertifikasi lembaga diklat pemerintah.

2. Usulan penetapan sertifikasi lembaga diklat provinsi.

2. Usulan penetapan sertifikasi lembaga diklat kabupaten/ kota.

3. Koordinasi dan pelaksanaan diklat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah.

3. Koordinasi dan pelaksanaan diklat skala provinsi.

3. Pelaksanaan diklat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan sertifikasi lembaga diklat pemerintah, provinsi, kabupaten/kota.

1 1. NSPK tentang koordinasi dan pelaksanaan diklat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah. 2. NSPK tentang koordinasi dan pelaksanaan diklat skala provinsi. 3. NSPK tentang pelaksanaan diklat skal kabupaten/kota.

1 6. Kenaikan Pangkat 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria kenaikan pangkat. 1. 1. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 2.a. Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b. 2.a. Penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b. 2.a. Penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi golongan ruang I/b s/d III/d. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b. 2. NSPK tentang penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi dan kabupaten/kota menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b. 1 PERKA BKN NOMOR 7 TAHUN 2005 TATA CARA PERMINTAAN, PEMBERIAN, PENGHENTIAN, TUNJANGAN FUNGSIONAL ARSIP STATIS ;

865

b. Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi golongan/ruang IV/c, IV/d, dan IV/e.

b. Penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi gol/ruang IV/a dan IV/b.

b.

1. NSPK tentang penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi golongan/ruang IV/c, IV/d, dan IV/e. 2. NSPK tentang penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi gol/ruang IV/a dan IV/b. 1

3. Koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah.

3. Koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan kabupaten/kota.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah. 2. NSPK tentang koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan kabupaten/kota.

1 4. Penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian. 4. Usulan penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi/kab/kota menjadi golongan ruang IV/c, IV/d, dan IV/e dan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian. 4. Usulan penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian. 2. NSPK tentang usulan penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi/kab/kota menjadi golongan ruang IV/c, IV/d, dan IV/e dan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian. 3. NSPK tentang usulan penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.

866

7. Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian dalam dan dari Jabatan

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan.

1. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS provinsi dalam dan dari jabatan struktural eselon II kebawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat.

1. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS kabupaten/kota dalam dan dari jabatan struktural eselon II atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat, kecuali pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri No 34 Tahun 2010 Tentang Pelimpahan Wewenang, Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri

2. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon I PNSP dan PNSD dan jabatan fungsional jenjang utama.

2.a. Penetapan pengangkatan sekretaris daerah kabupaten/kota. b. Usulan pengangkatan dan pemberhentian sekda provinsi

2. usulan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1 1

Peraturan Mendagri No. 10 Tahun 2006 Tentang PERPINDAHAN MENJADI PEGAWAI NEGERI SIPIL PUSAT DAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

3. Konsultasi/koordina si pengangkatan sekda kabupaten/kota

3. Usulan konsultasi pengangkatan dan pemberhentian sekda Kabupaten/kota

3. Usulan konsultasi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian eselon II PNS kabupaten/kota

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang konsultasi/koordinasi pengangkatan sekda kabupaten/kota. 2. NSPK tentang usulan konsultasi pengangkatan dan pemberhentian sekda Kabupaten/kota. 3. NSPK tentang usulan konsultasi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian eselon II PNS kabupaten/kota. 1

867

4. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional jenjang setingkat, PNSP Departemen/LPND/ Kesekretariatan lembaga.

4. Koordinasi pengangkatan, pemindahan dalam dan dari jabatan struktural eselon II di lingkungan kabupaten/kota.

4.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERKA NOMOR 23 TH 2005 PELAKSANAAN PENGALIHAN PNS PADA DIREKTORAT OLAH RAGA

1 8. Perpindahan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Antar Instansi 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perpindahan PNS antar instansi. 1. Penetapan perpindahan PNSD antar kab/kota dalam satu provinsi. 1. Penetapan perpindahan PNSD kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1 1 PERKA BKN NOMOR 5 TAHUN 2007 PELAKSANAAN PENGALIHAN PNS DIRJEND PEMBINAAN PENEMPATAN TENAGA KERJA LUAR NEGERI Peraturan Menteri No 34 Tahun 2010 Tentang Pelimpahan Wewenang, Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri

2. Penetapan perpindahan PNS antar kabupaten/kota dan antar provinsi.

2. Penetapan perpindahan PNSD dari kabupaten/kota ke provinsi atau sebaliknya dalam satu provinsi.

2.

3. Penetapan perpindahan PNS provinsi/kabupaten/ kota ke Departemen/LPND atau sebaliknya.

3. Penetapan perpindahan PNSD dilingkungan provinsi

3.

1. NSPK tentang penetapan perpindahan PNS provinsi/kabupaten/kota ke Departemen/LPND atau sebaliknya. 2. NSPK tentang penetapan perpindahan PNSD dilingkungan provinsi.

868

4. Penetapan perpindahan PNSP antar Departemen ke LPND/kesekretariat an lembaga atau sebaliknya.

4.

4.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERKA BKN NOMOR 9 TH 2005 PELAKSANAAN PENGALIHAN PNS DARI DEPERINDAG

1 1. NSPK tentang penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian sementara dari jabatan negeri. 2. NSPK tentang penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNSD provinsi yang menduduki jabatan struktural eselon I kebawah dan jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang setingkat. 3. NSPK tentang penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi semua PNSD di kabupaten/kota.

9. Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian sementara dari jabatan negeri.

1. Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNSD provinsi yang menduduki jabatan struktural eselon I kebawah dan jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang setingkat.

1. Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi semua PNSD di kabupaten/kota.

1 2. Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I, jabatan fungsional jenjang utama, kecuali sekda provinsi. 2. 2. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I, jabatan fungsional jenjang utama, kecuali sekda provinsi.

869

3. Penetapan pemberhentian sementara bagi PNSP di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional setingkat.

3.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan pemberhentian sementara bagi PNSP di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional setingkat

1 10. Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil (PNS) Akibat Tindak Pidana 1. Pemberhentian sementara PNS untuk golongan IV/c ke atas. 1. Pemberhentian sementara PNSD untuk golongan IV/c ke bawah. 1. Pemberhentian sementara PNSD untuk golongan III/d ke bawah. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang pemberhentian sementara PNS untuk golongan IV/c ke atas. 2. NSPK tentang pemberhentian sementara PNSD untuk golongan IV/c ke bawah. 3. NSPK tentang pemberhentian sementara PNSD untuk golongan III/d ke bawah.

1 11. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian PNS atau CPNS. 1. Penetapan pemberhentian PNSD provinsi gol/ruang IV/b ke bawah dan pemberhentian sebagai calon PNSD provinsi. 1. Penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota gol/ruang III/d ke bawah dan pemberhentian sebagai CPNSD kabupaten/kota. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1. NSPK tentang penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian PNS atau CPNS. 2. NSPK tentang penetapan pemberhentian PNSD provinsi gol/ruang IV/b ke bawah dan pemberhentian sebagai calon PNSD provinsi. 3. NSPK tentang penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota gol/ruang III/d ke bawah dan pemberhentian sebagai CPNSD kabupaten/kota.

870

2. Penetapan pemberhetian PNS dan PNSD golongan ruang IV/c, IV/d dan IV/e.

2. Penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota Gol/ruang IV/a s/d IV/b dan pemberhentian dengan hormat sebagai calon PNSD provinsi yang tidak memenuhi syarat diangkat menjadi PNS.

2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penetapan pemberhetian PNS dan PNSD golongan ruang IV/c, IV/d dan IV/e. 2. NSPK tentang penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota Gol/ruang IV/a s/d IV/b dan pemberhentian dengan hormat sebagai calon PNSD provinsi yang tidak memenuhi syarat diangkat menjadi PNS.

1 3. Penetapan pemberhentian PNS yang tewas, cacat karena dinas atau mencapai batas usia pensiun gol/ruang IV/c, IV/d dan IV/e. 4. Penetapan pemberhentian PNSP gol/ruang IV/b ke bawah. pensiun. 3. 3. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi NSPK tentang penetapan pemberhentian PNS yang tewas, cacat karena dinas atau mencapai batas usia pensiun gol/ruang IV/c, IV/d dan IV/e.

1 NSPK tentang penetapan pemberhentian PNSP gol/ruang IV/b ke bawah. pensiun.

4.

4.

1 Keputusan Menteri No 17 Tahun 2000 Tentang SISTEM INFORMASI MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DEPARTEMEN DALAM NEGERI DAN PEMERINTAH DAERAH 1

12. Pemutakhiran Data Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemutakhiran data PNS.

1. Pelaksanaan pemutakhiran data PNS di provinsi.

1. Pelaksanaan pemutakhiran data PNSD di kabupaten/ kota.

2. Penyelenggaraan dan pemiliharaan informasi kepegawaian.

2.

2.

PERKA BKN NOMOR 7 TAHUN 2008 KARTU PEGAWAI NEGERI SIPIL ELEKTRONIK

871

semua tingkatan pemerintahan.

3. Koordinasi pelaksanaan pemutakhiran data PNS secara nasional.

3. Koordinasi pelaksanaan pemutakhiran data PNS di kabupaten/kota.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERKA BKN NOMOR 4 TAHUN 2007 PERUBAHAN ATAS PERKA BKN NO 3A TAHUN 2005 TENTANG PENETAPAN ANGKA PENGENAL

13. Pengawasan dan Pengendalian

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengawasan dan pengendalian kepegawaian.

1. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian skala provinsi.

1. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian skala kabupaten/kota.

Peraturan Mendagri No. 11 Tahun 2009 Tentang KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPil DAERAH,

2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang kepegawaian.

2. Koordinasi pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian di lingkungan kabupaten/ kota. 3.

2.

PERKA NOMOR 12 TAHUN 2008 PEDOMAN PENILAIAN ASSESSMEN CENTER PNS

3. Koordinasi pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang kepegawaian.

3.

Peraturan Mendagri No. 5 Tahun 2008 Tentang PENDELEGASIAN WEWENANG PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL Dl LINGKUNGAN DEPARTEMEN DALAM NEGERI

872

4. Melakukan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang kepegawaian.

4.

4.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERKA BKN NOMOR 15 TAHUN 2008 tentang pedoman audit tenaga honorer

5. Koordinasi dalam pelaksanaan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang kepegawaian.

5.

5.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dalam pelaksanaan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

1 6. Penetapan sangsi terhadap pelanggaran administrasi kepegawaian di daerah. 6. 6. 1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. NSPK tentang penetapan sangsi terhadap pelanggaran administrasi kepegawaian di daerah.

1 1 PERKA BKN NOMOR 64 TAHUN 2004 PEDOMAN PEMBINAAN PNS BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA YANG DIPERBANTUKAN PADA PERUSAHAAN UMUM (PERUM) BULOG

14. Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan manajemen PNS.

1. Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dilingkungan provinsi.

1. Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dilingkungan kabupaten/ kota.

873

2. Penyelenggaraan manajemen PNS meliputi perencaan, pengembangan kualitas sumber daya PNS, administrasi kepegawaian, pengawasan dan pengendalian. 3. Melakukan perumusan kesejahteraan PNS.

2. Koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSD skala provinsi.

2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERKA BKN NOMOR 5 TAHUN 2009 ORGANISASI DAN TATA KERJA PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN ILMU KEPEGAWAIAN DI LINGKUNGAN BKN

3.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERKA BKN NOMOR 24 TAHUN 2007 KETENTUAN PELAKSANAAN PERPRES NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PENYESUAIAN GAJI POKOK HAKIM

4. Koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSP dan PNSD skala nasional.

4.

4.

NSPK tentang koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSP dan PNSD skala nasional.

874

6. Pe rsandian

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan dan pembinaan SDM persandian nasional.

1. Penyelenggaraan pembinaan SDM persandian skala provinsi.

1. Penyelenggaraan persandian skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PERKA Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Standar Tempat Kegiatan Sandi;Perka Nomor 1 Tahun 2010 Logo dan Bendera Pataka di Lingkungan Lemsaneg dan Pusdiklat Bumi Sanapati Lemsaneg;PERKA Nomor 10 Tahun 2009 Rencana Strategis Lembaga Sandi Negara Tahun 2010-2014; PERKA Nomor 9 Tahun 2009 Pedoman Penyusunan Standar Operasional Dan Prosedur Di Lembaga Sandi Negara;PERKA Nomor 8 Tahun 2009 Pelayanan Hukum; PERKA Nomor 7 Tahun 2009 Visi Dan Misi Lembaga Sandi Negara;PERKA Nomor 4 Tahun 2009 Peraturan Kepala Lembaga Sandi Negara tentang Pedoman Penyusunan Formasi Jabatan Fungsional Sandiman

875

2. Penetapan kebijakan dan pembinaan peralatan sandi (palsan) nasional.

2. Penyelenggaraan pembinaan palsan skala provinsi.

2. Penyelenggaraan palsan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peka No.13 Tahun 2010 Tentang pedoman Pemanfaatn TI di Lemsaneg; PERKA Nomor 6 Tahun 2009 Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik di Lemsaneg; PERKA Nomor 5 Tahun 2009 Pedoman Teknis Penghapusan dengan Tindak Lanjut Pemusnahan Materiil Sandi;

3. Penetapan kebijakan dan pembinaan sistem sandi (sissan) nasional.

3. Penyelenggaraan pembinaan sissan skala provinsi.

3. Penyelenggaraan sissan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri No 20 Tahun 2000 Tentang PENYELENGGARAAN SANDI DAN TELEKOMUNIKASI DI JAJARAN DEPARTEMEN DALAM NEGERI Keputusan Menteri No 34 Tahun 2001 Tentang PENGAMANAN BERITA RAHASIA MELALUI PROSES PERSANDIAN DAN TELEKOMUNIKASI;Perka No 122 Tahun 2007 Tahun Organisasi dan Tata kerja LSN;PERKA NOMOR 2 Tahun 2009 Tata Cara Pembuatan dan Penilaian Karya Tulis Ilmiah Jabatan Fungsional Sandiman

4. Penetapan kebijakan dan pembinaan kelembagaan persandian nasional.

4. Penyelenggaraan pembinaan kelembagaan persandian skala provinsi.

4. Penyelenggaraan kelembagaan persandian skala kabupaten/kota.

876

2. Pembinaan SDM

1. Perencanaan kebutuhan SDM persandian nasional.

1. Perencanaan kebutuhan SDM persandian skala provinsi.

1. Perencanaan kebutuhan SDM persandian skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Perka Nomor 7 Tahun 2010 Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Sandiman;Perka Nomor 6 Tahun 2010 Standar Kompetensi Sumber Daya Manusia Sandi 1 1 Perka Nomor 2 Tahun 2010 Pedoman Pemakaian Tanda Jabatan di Lingkungan Lemsaneg;

2. Rekrutmen SDM persandian nasional.

2. Rekrutmen calon SDM persandian skala provinsi.

2. Rekrutmen calon SDM persandian skala kabupaten/kota.

3. Penyelenggaraan diklat sandi skala nasional.

3. Penyelenggaraan diklat sandi skala provinsi.

3.

Perka No. 3 Tahun 2010 Pedoman Penyelenggaraan Diklat Sudirman; Perka No. 4 Tahun 2010 Pedoman Penyelenggaraan Diklat Sudirman

4. Pemberian akreditasi lembaga diklat sandi: a. Pemberian izin penyelenggaraan lembaga diklat sandi. b. Persetujuan program diklat sandi. c. Persetujuan SDM lermbaga diklat sandi. d. Fasilitasi/persetujua n tenaga pengajar dan widyaiswara sandi.

4. Usulan akreditasi lembaga diklat sandi: a. Usulan izin penyelenggaraan lembaga diklat sandi. b. Usulan program diklat sandi. c. Usulan SDM lembaga diklat sandi. d. Usulan persetujuan tenaga pengajar dan widyaiswara sandi.

4.

a.

Perka Nomor 8 tahun 2010 Pedoman Penyelenggaraan Akreditasi dan Sertifikasi Diklat Sandi di Lingkungan Instansi Pemerintah

b.

877

5. Pemberian/pencabut an sertifikasi profesi/tenaga ahli: a. Penentuan standar jabatan persandian. b. Penentuan dan penilaian jabatan fungsional (jabfung) sandiman/ Operator Transmisi Sandi (OTS).

5. Usulan sertifikasi profesi/tenaga ahli:

5.

a.

a.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

b. Pembentukan Tim Penilai Instansi untuk melakukan penilaian terhadap pejabat fungsional sandiman/OTS skala provinsi. 6. Usulan pemberian tanda penghargaan bidang persandian.

b.

Perka Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penilaian Pribadi Sandiman di Perwakilan RI di Luar Negeri; Perka Nomor 9 Tahun 2010 Pedoman Sertifikasi Peralatan Sandi;Perka Nomor 8 tahun 2010 Pedoman Penyelenggaraan Akreditasi dan Sertifikasi Diklat Sandi di Lingkungan Instansi Pemerintah

6. Pemberian tanda penghargaan bidang persandian.

6. Usulan pemberian tanda penghargaan bidang persandian.

7. Pembinaan dan pengawasan bagi SDM purna tugas.

7. Pembinaan dan pengawasan bagi SDM purna tugas.

7.

3. Pembinaan Palsan

1. Penentuan standarisasi dan perencanaan kebutuhan palsan skala nasional.

1. Perencanaan kebutuhan palsan skala provinsi.

1. Perencanaan kebutuhan palsan skala kabupaten/kota.

2. Pengkajian dan uji coba laboratorium dan lapangan.

2.

2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan

Perka Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Tanda Penghargaan Dharma Persandian

PERKA Nomor 3 Tahun 2009 Ketentuan Perpanjangan Batas Usia Pensiun Bagi PNS yang Memangku Jabatan Fungsional Sandiman

Perka Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeliharaan Palsan dan APU Persandian

NSPK tentang pengkajian dan uji coba laboratorium dan lapangan.

878

pemerintahan.

3. Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala nasional.

3. Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala provinsi.

3. Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala kabupaten/kota.

4. Pemeliharaan palsan tingkat II s/d tingkat III.

4. Pemeliharaan palsan tingkat I.

4. Pemeliharaan palsan tingkat O.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

1. NSPK tentang pemeliharaan palsan tingkat II s/d tingkat III. 2. NSPK tentang pemeliharaan palsan tingkat I. 3. NSPK tentang pemeliharaan palsan tingkat O.

5. Penentuan penghapusan palsan skala nasional.

5. Penghapusan palsan skala provinsi.

5. Penghapusan palsan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1. NSPK tentang penentuan penghapusan palsan skala nasional. 2. NSPK tentang penghapusan palsan skala provinsi dan kabupaten/kota.

4. Pembinaan Sissan

1. Penentuan standarisasi dan perencanaan kebutuhan sissan skala nasional.

1. Perencanaan kebutuhan sissan skala provinsi.

1. Perencanaan kebutuhan sissan skala kabupaten/kota.

1. NSPK tentang penentuan standarisasi dan perencanaan kebutuhan sissan skala nasional. 2. NSPK tentang perencanaan kebutuhan sissan skala provinsi dan kabupaten/kota.

879

2. Penentuan prototype dan uji coba sissan.

2.

2.

3. Pengadaan sissan untuk jaring persandian nasional.

3. Pengadaan sissan untuk jaring persandian skala provinsi.

3. Pengadaan sissan untuk jaring persandian skala kabupaten/kota.

4. Penentuan prosedur tetap (protap) penyimpanan sissan skala nasional.

4. Penyelenggaraan protap penyimpanan sissan skala provinsi.

4. Penyelenggaraan protap penyimpanan sissan skala kabupaten/kota.

5. Penentuan pemberlakuan/pengg antian Sissan jaring persandian skala nasional.

5. Penentuan pemberlakuan/pengga ntian sissan jaring persandian skala provinsi.

5. Penentuan pemberlakuan/pengga ntian sissan jaring persandian skala kabupaten/kota.

6. Penentuan penghapusan palsan tingkat pusat.

6. Penyiapan palsan tingkat provinsi dan kabupaten/ kota untuk penghapusan.

6.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penentuan prototype dan uji coba sissan.

NSPK tentang pengadaan sissan untuk jaring persandian skala nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

NSPK tentang penentuan prosedur tetap (protap) penyimpanan sissan skala nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

NSPK tentang penentuan pemberlakuan/penggantian Sissan jaring persandian skala nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

1. NSPK tentang penentuan penghapusan palsan tingkat pusat. 2. NSPK tentang penyiapan palsan tingkat provinsi dan kabupaten/ kota untuk penghapusan.

880

5. Pembinaan Kelembagaan

1. Penetapan kebijakan kelembagaan dan pola hubungan komunikasi persandian antara instansi pemerintah. 2. Penetapan kebijakan pola hubungan komunikasi persandian pemerintah dengan daerah.

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

Perka Nomor 2010 Pedoman Penyelenggaraan Fungsional Transmisi Sandi

Tahun Diklat Operator

2. Penyelenggaraan hubungan komunikasi persandian antara pemerintah provinsi dengan pemerintah dan/ atau kabupaten/kota.

2. Penyelenggaraan hubungan komunikasi persandian antara pemerintah provinsi dengan pemerintah dan/atau kabupaten/kota.

1. NSPK tentang penetapan kebijakan pola hubungan komunikasi persandian pemerintah dengan daerah. 2. NSPK tentang penyelenggaraan hubungan komunikasi persandian antara pemerintah provinsi dengan pemerintah dan/ atau kabupaten/kota.

3. Penetapan kebijakan Jaring Komunikasi Sandi (JKS).

3.

3.

6. Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal)

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria wasdal persandian instansi pemerintah dan daerah. 2. Pengawasan dan pengendalian operasional persandian nasional dan provinsi.

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan kebijakan Jaring Komunikasi Sandi (JKS).

PERKA NOMOR 1 TAHUN 2009 Tata Cara Penilaian dan Penetapan Nilai Tingkat Pengamanan Persandian

2. Pengawasan operasional persandian bidang tertentu kabupaten/kota di wilayahnya.

2.

881

7. Pengkajian

1. Pengkajian SDM persandian nasional meliputi palsan, sissan, dan kelembagaan persandian nasional.

1.

1.

TOTAL DEMAND

234

15

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. TOTAL SUPPLY

139

29

66

21. BIDANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA


SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota. KEBUTUHAN NSPK (Y=YA, T=TIDAK) Y T 1 STATUS NSPK KETERANGAN S1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. S2 S3 KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL KETERANGAN

SUB BIDANG

PEMERINTAH

1. Pe merintahan Desa dan Kelurahan

1. Penetapan kebijakan nasional.

882

2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.

2. Penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.

2. Penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

2. Administrasi Pemerintahan Desa dan Kelurahan

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.

2. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan

883

3. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.

3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.

3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan keluraha.

4. Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.

4. Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.

4. Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan

3. Pengembangan Desa dan Kelurahan

1. Penetapan pedoman pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan serta batas desa dan kelurahan skala nasional.

1. Fasilitasi pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan, batas desa dan kelurahan skala provinsi.

1. Penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan, batas desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

884

2. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.

2. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.

2. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

885

4. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.

4. Monitoring dan evaluasi serta penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.

4. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

4. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

1.a. Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

1.a. Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa skala provinsi.

1.a. Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

b.

b.

b.Penyelenggaraan bimbingan, konsultasi, pelatihan dan pendidikan bagi anggota BPD.

886

2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala nasional.

2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala provinsi.

2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD.

3. Monitoring dan evaluasi peran BPD skala nasional.

3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan peran BPD skala provinsi.

3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan peran BPD skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi peran BPD.

5. Keuangan dan Aset Desa

1. Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa.

1. Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.

1. Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa.

2. Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.

2. Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.

2. Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa.

887

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa.

4. Monitoring dan evaluasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.

4. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.

4. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi pengelolaan keuangan dan aset desa.

6. Pengembangan Kapasitas Pemerintah Desa dan Kelurahan

1.a. Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.

1.a. Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi.

1.a. Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

888

b.

b.

b.Penyelenggaraan bimbingan, konsultasi, pelatihan dan pendidikan bagi pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.

2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.

2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

889

3. Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.

3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi.

3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

2. Penguatan Kelembagaan dan Pe ngembangan Partisipasi Masyarakat

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan skala nasional.

1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

890

2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala nasional.

2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala provinsi.

2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

2. Pemantapan Data Profil Desa dan Profil Kelurahan

1. Koordinasi dan fasilitasi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional

1. Koordinasi dan fasilitasi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan.

2. Pembinaan dan supervisi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.

2. Pelaksanaan pegolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan dan supervisi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan.

891

3. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pemantapan data profil desa dan profil kelurahan.

3. Penguatan Kelembagaan Masyarakat

1. Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

892

2. Pembinaan dan supervisi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.

2. Penyelenggaraan penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

3. Monitoring dan evaluasi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelapor n penyelenggaraan penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

893

4. Pelatihan Masyarakat

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat.

2. Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi.

2. Pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat.

3. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat.

5. Pengembangan Manajemen Pembangunan Partisipatif

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat.

894

2. Pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.

2. Pelaksanaan pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat.

3. Monitoring dan evaluasi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat.

895

6. Peningkatan Peran Masyarakat dalam Penataan dan Pendayagunaan Ruang Kawasan Perdesaan

1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

2. Pembinaan dan supervisi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.

2. Pelaksanaan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

896

3. Monitoring dan evaluasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

3. Pe mberdayaan Adat dan Pe ngembangan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan nasional.

1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

897

2. Penetapan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala nasional.

2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala provinsi.

2. Penetapan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

2. Pemberdayaan Adat Istiadat dan Budaya Nusantara

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdaya an adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

898

2. Pembinaan dan supervisi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.

2. Pembinaan dan supervisi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

3. Monitoring dan evaluasi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

899

3. Pemberdayaan Perempuan

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan perempuan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan perempuan.

2. Pembinaan dan supervisi pemberdayaan perempuan skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.

2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemberdayaan perempua.

3. Monitoring dan evaluasi pemberdayaan perempuan skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi pemberdayaan perempuan.

4. Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK)

1. Koordinasi dan fasilitasi PKK skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan PKK skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi PKK.

900

2. Pembinaan dan supervisi PKK skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan PKK skala provinsi.

2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan dan supervisi PKK.

3. Monitoring dan evaluasi PKK skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan PKK skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan gerakan PKK.

5. Peningkatan Kesejahteraan Sosial

1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

901

2. Pembinaan dan supervisi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.

2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

3. Monitoring dan evaluasi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi peningkatan kesejahteraan sosial .

6. Pengembangan dan Perlindungan Tenaga Kerja

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja.

902

2. Pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.

2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja.

3. Monitoring dan evaluasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja.

4. Pe mberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan nasional.

1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

903

2. Penetapan pedoman, norma,stndar, prosedur dan kriteria pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala nasional.

2. Penyelenggaraan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala provinsi.

2. Penyelenggaraan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

2. Pemberdayaan Ekono mi Penduduk Miskin

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

904

2. Pembinaan dan supervisi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.

2. Penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

3. Monitoring dan evaluasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin.

905

3. Pengembangan Usaha Ekonomi Keluarga dan Kelompok Masyarakat

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

2. Pembinaan dan supervisi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.

2. Penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

906

3. Monitoring dan evaluasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.

3. Monitoring evaluasi dan pelaporan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.

3. Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat.

4. Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Perdesaan

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan.

2. Pembinaan dan supervisi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.

2. Penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan dan supervisi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan.

907

3. Monitoring dan evaluasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan.

5. Pengembangan Produksi dan Pemasaran Hasil Usaha Masyarakat

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat.

2. Pembinaan dan supervisi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.

2. Penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentag pembinaan dan supervisi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat.

908

3. Monitoring dan evaluasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.

3. Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.

3. Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat.

6. Pengembangan Pertanian Pangan dan Peningkatan Ketahanan Pangan Masyarakat

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat.

909

2. Pembinaan dan supervisi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.

2. Penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan dan supervisi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat.

3. Monitoring dan evaluasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat.

910

5. Pe mberdayaan Masyarakat dalam Pe ngelolaan Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan nasional.

1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala nasional.

2. Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala provinsi.

2. Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

911

2. Fasilitasi Konservasi dan Rehabilitasi Lingkungan

1. Koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.

2. Pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan.

3. Monitoring dan evaluasi penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan lingkup skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan.

3. Fasilitasi Pemanfataan Lahan dan Pesisir Pedesaan

1. Koordinasi dan fasilitasi terhadap fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentan koordinasi dan fasilitasi terhadap fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan.

912

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi peraturan kebijakan nasional dalam fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi.

2. Pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir perdesaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan, pengawasan dan supervisi peraturan kebijakan nasional dalam fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan.

3. Monitoring dan evaluasi penyelengaraan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemanfaatan lahan dan peisisr di pedesaan skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi penyelengaraan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan.

4. Fasilitasi Prasarana dan Sarana Pedesaan

1. Koordinasi dan fasilitasi prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan.

913

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan, pengawasan dan supervisi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan.

3. Monitoring dan evaluasi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan.

5. Fasilitasi Pemetaan Kebutuhan dan Pengkajian Teknologi Tepat Guna

1. Koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi kebutuhan teknologi teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna.

914

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi kebu tuhan teknologi tepat guna skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi kebutuhan teknologi tepat guna skala provinsi.

2. Pembinaan dan supervisi pemanfaatan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembinaan, pengawasan dan supervisi kebu tuhan teknologi tepat guna.

3. Monitoring dan evaluasi kebutuhan teknologi tepat guna skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan kebutuhan teknologi tepat guna skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemanfaatan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang monitoring dan evaluasi kebutuhan teknologi tepat guna.

6. Pemasyarakatan dan Kerjasama Teknologi Pedesaan

1. Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

915

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.

2. Penyelenggaraan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

3. Monitoring dan evaluasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.

3. Monitoring evaluasi dan pelaporan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.

3. Monitoring evaluasi dan pelaporan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 001/KEP/MPDT/I/2005 TENTANG STRATEGI NASIONAL PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

TOTAL DEMAND

88

TOTAL SUPPLY

53

35

916

22. BIDANG STATISTIK


SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KO TA 1. Penyelenggaraan kerjasama antar lembaga untuk mengembangkan statistik skala kabupaten/kota. 1. KEBUTUHAN NSPK PERLU 1 TIDAK Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. KETERANGAN STATUS NSPK KETERANGAN

S1

S2 1

S3 Kepka Nomor 5 Tahun 2000 tentang Sistem Statistik Nasional

1. Statistik Umum

1. Kebijakan

1. Penetapan pedoman sistem dan prosedur, norma, konsep, definisi, standarisasi, dan ukuran ukuran.

1. Penyelenggaraan kerjasama antar lembaga untuk mengembangkan statistik skala provinsi. 1. Pelaksanaan pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan statistik skala kabupaten/kota.

2. Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi

1. Pelaksanaan pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan statistik daerah.

NSPK Urusan Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi

3. Fasilitasi dan pembinaan

1. Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik daerah.

1. Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik skala kabupaten/kota.

1.

NSPK urusan Fasilitasi dan pembinaan

2. Statistik Dasar

1. Statistik dasar meliputi:

1. Penyelenggaraan statistik dasar meliputi:

1. Pemberian dukunga n penyelenggaraan statistik dasar skala provinsi:

1. Pemberian dukungan penyelenggaraan statistik dasar skala kabupaten/kota:

Kepka Nomor 6 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Statistik Dasar

917

a. Sensus

a. Sensus pen duduk (akhiran angka nol). b. Sensus pertanian (akhiran angka tiga). c. Sensus ekonomi(akhiran angka enam). 1. Penyelenggaraan survei antar sensus:

a. b. c.

a. b.

b. Survei AntarSensus

1. Pemberian dukungan penyelenggaraan survei antar sensus skala provinsi:

1. Pemberian dukungan penyelenggaraan survei antar sensus skala kabupaten/ kota: a. b. c.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Kepka Nomor 6 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Statistik Dasar

a. Survei penduduk antar sensus (akhiran angka lima). b. Survei pertanian antar sensus (akhiran angka delapan). c. Survei ekonomi antar sensus (akhiran angka satu). c. Survei Berskala Nasional 1. Penyelenggaraan survei berskala nasional:

a. b. c.

1. Pemberian dukungan survei berskala nasional di tingkat provinsi di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat: a. b.

a. Survei-survei bidang ekonomi. b. Survei-survei bidang kesejahteraan rakyat.

1. Pemberian dukungan survei berskala nasional di tingkat kabupaten/kota di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat: a. b.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Kepka Nomor 6 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Statistik Dasar

918

d. Survei Sosial danEkonomi

1. Penyelenggaraan survei sosial dan ekonomi:a. Surveisurvei sosial dan ekonomi lain untuk memperoleh indikatorindikator sosial dan ekonomi.

1. Pemberian dukungan survei sosial dan ekonomi:a.

1. Pemberian dukungan survei sosial dan ekonomi:a.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Kepka Nomor 6 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Statistik Dasar

2. Statistik Lintas Sektor Berskala Nasional

1. Penyelenggaraan statistik lintas sektor berskala nasional.

1.

1.

3. StatistikSek toral

1. Koordinasi Statistik Antar Sektoral

1. Koordinasi statistik antar sektoral.

1. Penyelenggaraan statistik sektoral skala provinsi.

1. Penyelenggaraan statistik sektoral skala kabupaten/ kota. 2.

2. Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik sektoral, provinsi dan kabupaten/kota.

2.

4. StatistikKhu sus

1. Pengembang an Jejaring Statistik Khusus

1. Pengembangan jejaring statistik khusus.

1. Pengembangan jejaring statistik khusus skala provinsi.

1. Pengembangan jejaring statistik khusus skala kabupaten/kota.

T OTAL DEMAND

10

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. TOTAL SUPPLY

Kepka Nomor 7 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Survei Statistik Sektoral

Kepka Nomor 7 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Survei Statistik Sektoral

Nomor 147 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Angka Kredit Statistik

919

23. BIDANG KEARSIPAN


SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINS I PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KO TA KEBUTUHA N NSPK (Y=YA; T=TIDAK) PER TID LU AK 1 KETERANGAN STATUS NSPK KETERANGAN

S1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

S2

S3 1 Kepka Nomor 01 Tahun 2005 Tentang Pokok-Pokok Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Bidang Kearsipan; Perka Nomor 03 A Tahun 2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Lomba Karya Tulis Kearsipan;

1. Kearsipan

1. Kebijakan

1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan kearsipan secara nasional, meliputi :

1. Penetapan norma, standar dan pedoman penyelenggaraan kearsipan di lingkungan provinsi berdasarkan kebijakan kearsipan nasional meliputi :

a. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan kearsipan dinamis secara nasional.

a. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan arsip dinamis di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

1. Penetapan norma, standar dan pedoman penyelenggaraan kearsipan di lingkungan kabupaten/kota berdasarkan kebijakan kearsipan nasional, meliputi : a. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan dinamis di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional. b. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan statis di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional. c. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan sistem kearsipan di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional.

b. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan kearsipan secara statis.

b. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan statis di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

Perka Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan ABPN Pada ANRI;Kepka Nomor : OT.02/71.A/2003 Tentang Program Kerja Tahunan ANRI Tahun 2003;Perka Nomor 03 Tahun 2008 Tentang Standar Biaya Khusus Kegiatan Jasa Kearsipan Perka Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan ABPN Pada ANRI;

c. Penetapan kebijakan dan pengembangan sistem kearsipan secara nasional.

c. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan sistem kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

920

d. Penetapan kebijakan dan pengembangan jaringan kearsipan secara nasional.

d. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

e. Penetapan kebijakan dan pengembangan sumber daya manusia kearsipan secara nasional.

e. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

f. Penetapan kebijakan pembentukan dan pengembangan organisasi kearsipan secara nasional.

f. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

d. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan kearsipan di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional. e. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia kearsipan di lingkungankabupate n/ kota sesuai dengan kebijakan nasional. f.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Tentang jaringan kearsipan secara nasional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Kepka Nomor: 06 Tahun 2002 Tentang Petunjuk Penyesuaian Jabatan Berdasarkan Keputusan Menteri PAN; Perka Nomor 03 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembuatan Analisis Jabatan di Lingkungan ANRI

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

g. Penetapan kebijakan di bidang sarana dan prasarana kearsipan secara nasional.

g. Penetapan peraturan dan kebijakan penggunaan sarana dan prasarana kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

2. Pembinaan

1. Pembinaan kearsipan terhadap lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, lembaga vertikal, provinsi dan kabupaten/ kota.

1. Pembinaan kearsipan terhadap perangkat daerah provinsi, badan usaha milik daerah provinsi dan kabupaten/kota.

g. Penetapan peraturan dan kebijakan penggunaan sarana dan prasarana kearsipan di lingkungan kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan nasional. 1. Pembinaan kearsipan terhadap perangkat daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah kabupaten/kota, kecamatan dan

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Perka Nomor 04 Tahun 2008 Tentang Pakaian Dinas Harian di Lingkungan ANRI; Kepka Nomor KEP. 03 Tahun 2003 Tentang Penyempurnaan Organisasi Dan Tata Kerja ANRI;Kepka Nomor 03 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Organisasi Dan Tata Kerja Perka Nomor PL.06/140D/2008 Tentang Penetapan Status Rumah Negara Golongan I di Lingkungan ANRI

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Perka Nomor : 05 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Kepka ANRI Nomor: Kep. 03 Tahun 2003 TTG organisasi

921

desa/kelurahan.

3. Penyelamatan, Pelestarian dan Pengamanan

1. Pemberian persetujuan jadwal retensi arsip.

1. Pemberian persetujuan jadwal retensi arsip kabupaten/kota terhadap arsip yang telah memiliki pedoman retensi.

1.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

2. Pemberian persetujuan pemusnahan arsip.

3. Pengelolaan arsip statis lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, badan usaha milik negara, perusahaan swasta dan perorangan berskala nasional.

2. Pemberian persetujuan pemusnahan arsip kabupaten/kota terhadap arsip yang telah memiliki pedoman retensi. 3. Pengelolaan arsip statis perangkat daerah provinsi, lintas daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah provinsi serta swasta dan perorangan berskala provinsi.

2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Kepka Nomor 01.A Tahun 2003 Tentang Jadwal Retensi Arsip Keuangan; Kepka Nomor 12 Tahun 2000 Tentang Standar Penyimpanan Fisik Arsip ; Perka Nomor 08 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pendataan, Penataan & Penyimpanan Dokumen/Arsip Pemil;Kepka Nomor 10 Tahun 2000 Tentang Standar Folder Dan Guide Arsip Kepka Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pedoman Penyusutan Arsip Pada Lembaga Negara Dan Badan Pemerintah

3. Pengelolaan arsip statis perangkat daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah kabupaten/kota, perusahaan swasta dan perorangan berskala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Kepka Nomor : Kep. 01. B Tahun 2004 Tentang Program Legislasi Arsip Nasional Republik Indonesia; Kepka Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pedoman Penyusunan Dan Penyampaian Laporan Di Lingkungan ANRI;Kepka Nomor 11 Tahun 2000 Tentang Standar Boks Arsip;Kepka Nomor 4 Tahun 2000 Tentang Pedoman Penggunaan Kertas Untuk Arsip Bernilaiguna Tinggi

4. Akreditasi dan Sertifikasi

1. Pemberian akreditasi dan sertifikasi kearsipan.

1.

1.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

922

5. Pengawasan/Super visi

1. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, lembaga vertikal serta provinsi. 2. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan pembinaan kearsipan oleh lembaga kearsipan provinsi.

1. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan perangkat daerah provinsi dan lembaga kearsipan kabupaten/kota. 2. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan pembinaan oleh lembaga kearsipan kabupaten/kota.

1. Pengawasan/supervi si terhadap penyelenggaraan kearsipan perangkat daerah kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan. 2.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

Kepka Nomor 7 Tahun 2002 Tentang Pedoman Penyusunan LAKIP ANRI

NSPK Tentang Pengawasan Penyelenggaraan Pembinaan kearsiapn oleh lembaga kearsipan provinsi

TOTAL DEMAND 24. BIDANG PERPUSTAKAAN


SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan provinsi berpedoman kebijakan nasional, meliputi : PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KO TA 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan kabupaten/kota berpedoman kebijakan provinsi dan nasional, meliputi :

11

TOTAL SUPPLY

11

SUB BIDANG

PEMERINTAH

KEBUTUH AN NSPK PER LU 1 TID AK

Status NSPK
ANALISIS

Keterangan S1 S2 1 S3 Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional RI NOMOR 20 TAHUN 2005: Tentang Kata Utama Dan Ejaan Untuk Tajuk Nama Pengarang Indonesia; Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penetapan Pemenang LOmba Baca Pidato Bung Karno Bagi Siswa SMA dan Sederajat Tingkat Nasional Tahun 2004; Keputusan Kepala Perpustakaan

1. Pe rpustakaan

1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan perpustakaan secara nasional, meliputi :

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

923

Nasional RI Nomor 7 Tahun 2005 tentang PEMBENTUKAN TIM PELESTARIAN KOLEKSI VARIA

a. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan perpustakaan.

a. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan perpustakaan di skala provinsi berdasarkan kebijakan nasional. b.

a. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan perpustakaan di skala kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional. b.

b. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan dan pengembangan sistem perpustakaan secara nasional. c. Penetapan kebijakan dan pengembangan jaringan perpustakaan secara nasional.

c. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.

c. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.

924

d. Penetapan kebijakan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) perpustakaan secara nasional. e. Penetapan kebijakan pembentukan dan pengembangan organisasi perpustakaan secara nasional.

d. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan SDM perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional. e. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.

d. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan SDM perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. e. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. f. Penetapan dan peraturan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. 1. Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan di wilayah kabupaten/kota : a. Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Kepala Perpusnas RI Nomor 04 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

f. Penetapan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan secara nasional.

f. Penetapan paraturan dan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional. 1. Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan di wilayah provinsi : a. Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Penetapan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan secara nasional.

2. Pembinaan Teknis Perpustakaan

1. Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan :

a. Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.

a. Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.

b. Pengembangan SDM.

b. Pengembangan SDM.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.

NSPK Urusan Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.

925

a. Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.

c. Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar.

c. Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar.

d. Kerjasama dan jaringan perpustakaan.

d. Kerjasama dan jaringan perpustakaan.

d. Kerjasama dan jaringan perpustakaan.

e. Pengembangan minat baca.

e. Pengembangan minat baca.

e. Pengembangan minat baca.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.

NSPK Urusan. Kerjasama dan jaringan perpustakaan.

Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penetapan Pemenang LOmba Baca Pidato Bung Karno Bagi Siswa SMA dan Sederajat Tingkat Nasional Tahun 2004
NSPK Urusan Penyelamatan dan Pelestarian Koleksi Nasional

3. Penyelamatan dan Pelestarian Koleksi Nasional

1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi nasional.

1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi daerah provinsi berdasarkan kebijakan nasional.

1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi daerah kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional. 2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Pelestarian Karya Cetak dan Karya Rekam, terkait koleksi nasional.

2. Pelaksanaan Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, terkait koleksi daerah provinsi dan kabupaten/kota. 3. Koordinasi pelestarian tingkat daerah provinsi.

3. Koordinasi pelestarian tingkat nasional, regional, dan internasional.

3. Koordinasi pelestarian tingkat daerah kabupaten/kota.

926

4. Pengembangan Jabatan Fugsional Pustakawan

1. Penetapan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan secara nasional.

1. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan di skala provinsi sesuai kebijakan nasional. 2.

2. Penetapan kebijakan penilaian angka kredit pustakawan. 3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan madya dan pustakawan utama.

1. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan di skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. 2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Pengembangan Jabatan Fugsional Pustakawan

3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan pelaksana sampai dengan pustakawan penyelia dan pustakawan pertama sampai dengan pustakawan muda.

3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan pelaksana sampai dengan pustakawan penyelia dan pustakawan pertama sampai dengan pustakawan muda.

4. Penetapan standar kompetensi jabatan fungsional pustakawan. 5. Akreditasi Perpustakaan dan Sertifikasi Pustakawan 1. Pemberian akreditasi perpustakaan.

4.

4.

1. Pemberian akreditasi perpustakaan di wilayah provinsi.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Akreditasi Perpustakaan dan Sertifikasi Pustakawan

2. Pemberian sertifikasi pustakawan. 6. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Teknis dan Fungsional Perpustakaan 1. Pengembangan dan penetapan kurikulum dan modul diklat teknis dan fungsional perpustakaan.

2. Pemberian sertifikasi pustakawan di wilayah provinsi. 1. Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.

2.

1. Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK Urusan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Teknis dan Fungsional Perpustakaan

927

2. Pemberian akreditasi diklat teknis dan fungsional perpustakaan. 3. Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.

2.

2.

3.

3.

TOTAL DEMAND

12

TOTAL SUPPLY

10

25. BIDANG KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA


SUB SUB BIDANG 1. Pos PEMERINTAHA N DAERAH PROVINSI 1. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOT A 1. KEBUTUHAN NSPK PERL U 1 TIDA K KETERANGA N S1 Status NSPK Keterangan S2 S3 1 PERMENKOMINFO NO: 23 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAH SUB BIDANG POS DAN TELEKOMUNIKASI

SUB BIDANG

PEMERINTAH

1. Pos dan Telekomunikas i

1. Perumusan kebijakan di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 20 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI BIAYA IZIN PENYELENGGARAAN JASA TITIPAN;

928

2. Perumusan pengaturan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli.

2.

2.

3. Pemberian bimbingan teknis bidang produk pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli.

3.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 23 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAH SUB BIDANG POS DAN TELEKOMUNIKASI

4.

4.

4. Penyelenggaraan pelayanan pos di perdesaan.

929

5.

5.

5. Pemberian rekomendasi untuk pendirian kantor pusat jasa titipan.

6. Pemberian perizinan penyelenggaraan jasa titipan.

6. Pemberian izin jasa titipan untuk kantor cabang.

6. Pemberian izin jasa titipan untuk kantor agen.

Tidak membutuhka n NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalaha n yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirka n akan menyebabka n kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pemberian perizinan penyelenggaraan jasa titipan.

930

7.

7. Penertiban jasa titipan untuk kantor cabang.

7. Penertiban jasa titipan untuk kantor agen.

8. Pelaksanaan analisa dan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli serta penertiban penyelenggaraan pos dan jasa titipan.

8.

8.

Tidak membutuhka n NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalaha n yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Harus terkandung dalam tiap NSPK

NSPK tentang pelaksanaan analisa dan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli serta penertiban penyelenggaraan pos dan jasa titipan.

931

2. Telekomunika si

1. Perumusan kebijakan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 08 TAHUN 2006 TENTANG INTERKONEKSI;

PERMENKOMINFO NO: 43 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM.4 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN RENCANA DASAR TEKNIS NASIONAL 2000 (FUNDAMENTAL TECHNICAL PLAN NATIONAL 2000) PEMBANGUNAN TELEKOMUNIKASI NASIONAL; PERMENKOMINFO NO: 03 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENKOMINFO NO: : 32/PER/M.KOMINFO/10/2008 TENTANG KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 34 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BALAI SATUAN KERJA SEMENTARA TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PEDESAAN;

932

PERMENKOMINFO NO: 07 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 21 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 06 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.20 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 10 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALITAS PELAYANAN JASA TELEFONI DASAR PADA JARINGAN TETAP SAMBUNGAN LANGSUNG JARAK JAUH; PERMENKOMINFO NO: 37 TAHUN 2008 TENTANG DOKUMEN SELEKSI PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP SAMBUNGAN JARAK JAUH; KEPMENINFO NO. 169 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPMENINFO NO. : 76/KEP/M. KOMINFO/3/2007 TENTANG PELUANG USAHA PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN LANGSUNG JARAK JAUH, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN INTERNASIONAL DAN JARINGAN TETAP TERTUTUP BERBASIS KABEL

933

KEPMENINFO NO. 03 TAHUN 2008 TENTANG PELUANG USAHA PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN LANGSUNG JARAK JAUH, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN INTERNASIONAL DAN JARINGAN TETAP TERTUTUP BERBASIS KABEL KEPMENINFO NO. 418 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPMENINFO NO. 45/KEP/M.KOMINFO/04/2007 TENTANG PENETAPAN WILAYAH PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI KEPMENINFO NO. 314 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN TASK FORCE PENYEMPURNAAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EGOVERNMENT NASIONAL PERMENKOMINFO NO: 23 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAH SUB BIDANG POS DAN TELEKOMUNIKASI KEPMENINFO NO. 144 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN LOGO DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

934

2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.

2.

2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 3A TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM4 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN RENCANA DASAR TEKNIS NASIONAL 2000 (FUNDAMENTAL TECHNICAL PLAN NATIONAL 2000) PEMBANGUNAN TELEKOMUNIKASI NASIONAL KEPMENINFO NO. 23 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN KEDUA TIM PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DI BIDANG PENYIARAN YANG BERLAKU PADA DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NSPK tentang perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.

935

3. Pemberian bimbingan teknis di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.

3.Pemberian bimbingan teknis di bidang sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, kinerja operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal skala wilayah.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

Permenkominfo No. 24 TAHUN 2010 Tentang Perubahan Ketiga Atas Permenkominfo No. : 19/PER/M. Kominfo/10/2005 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio

PERMENKOMINFO NO: 24 TAHUN 2005 TENTANG PENGGUNAAN FITUR BERBAYAR JASA TELEKOMUNIKASI; PERMENKOMINFO NO: 23 TAHUN 2005 TENTANG REGRISTRASI TERHADAP PELANGGAN JASA TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 21 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI BIAYA SERTIFIKASI DAN PERMOHONAN PENGUJIAN ALAT/PERANGKAT TELEKOMUNIKAS PERMENKOMINFO NO: 15 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI KONTRIBUSI KEWAJIB AN PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI/UNIVERS AL SERVICE OBLIGATION

936

PERMENKOMINFO NO: 12 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENETAP AN TARIF PERUBAHAN JASA TELEPONI DASAR JARINGAN BERGERAK SELULAR PERMENKOMINFO NO: 09 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENETAP AN TARIF AWAL DAN TARIF PERUBAHAN JASA TELEPONI DASAR MELALUI JARINGAN TETAP Permenkominfo No. 16 TAHUN 2010 Tentang Perubahan Atas Permenkominfo No. : 26/Per/M.Kominfo/5/2007 Tentang Pengamanan Pemanfaatan Jaringan Telekomunikasi Berbasis Protokol Internet PERMENKOMINFO NO: 07 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENYIARAN DIGITAL TERESTRLAL UNTUK TELEVISI TIDAK BERGERAK DL INDONESIA PERMENKOMINFO NO: 05 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI KONTRIBUSI KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI / UNIVERSAL SERVICE OBLIGATION PERMENKOMINFO NO: 41 TAHUN 2007 PANDUAN UMUM TATA KELOLA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI NASIONAL

937

PERMENKOMINFO NO: 15 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENETAP AN TARIF JASA TELEPONI DASAR YANG DISALURKAN MELALUI JARINGAN TETAP PERMENKOMINFO NO: 11 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALITAS PELAYANAN JASA TELEPONI DASAR PADA JARINGAN TETAP LOKAL PERMENKOMINFO NO: 23 TAHUN 2008 TENTANG PENGADAAN BARANG / JASA PEMERINTAH SECARA ELEKTRONIK DENGAN SISTEM E-PENGADAAN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PERMENKOMINFO NO: 09 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENETAP AN TARIF JASA TELEKOMUNIKASI YANG DISALURKAN MELALUI JARINGAN BERGERAK SELULAR PERMENKOMINFO NO: 09 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENETAP AN TARIF JASA TELEKOMUNIKASI YANG DISALURKAN MELALUI JARINGAN BERGERAK SELULAR PERMENKOMINFO NO: 12 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALITAS PELAYANAN JASA TELEPONI DASAR PADA JARINGAN BERGERAK SELULAR

938

PERMENKOMINFO NO: 25 TAHUN 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas PERMENKOMINFO NO: : 19/PER/M.KOMINFO/10/2005 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio PERMENKOMINFO NO: 13 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALITAS PELAYANAN JASA TELEPONI DASAR PADA JARINGAN TETAP MOBILITAS TERBATAS KEPMENINFO NO. 117 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PERMENKOMINFO NO: 48 TAHUN 2009 Tentang Penyediaan jasa Akses Internet Wilayah Pelayanan Universal Telekomunikasi Internet Kecamatan Permenkominfo No. 20 TAHUN 2010 Tentang Sistem Informasi Manajemen Dan Monitoring Layanan Internet Kecamatan PERMENKOMINFO NO: 30 TAHUN 2009 Tentang Penyelenggaraan Layanan Televisi Protokol Internet (Internet Protocol Television/IPTV) di Indonesia PERMENKOMINFO NO: 14 TAHUN 2009 TENTANG KLIRING TRAFIK TELEKOMUNIKASI

939

PERMENKOMINFO NO: 01 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA PESAN PREMIUM DAN PENGIRIMAN JASA PESAN SINGKAT (SHORT MESSAGING SERVICE/SMS) KE BANYAK TUJUAN (BROADCAST) PERMENKOMINFO NO: 14 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALITAS PELAYANAN JASA TELEPONI DASAR PADA JARINGAN TETAP SAMBUNGAN INTERNASIONAL PERMENKOMINFO NO: 13 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI YANG MENGGUNAKAN SATELIT; KEPMENINFO NO. 437 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPMENINFO NO. : 145/KEP/M.KOMINFO/04/2007 TENTANG PENETAPAN WILAYAH PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 11 TAHUN 2007 TENTANG PENYEDIAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI;PERATUR AN BERSAMA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR 10 TAHUN 2007 TENTANG PENGGUNAAN FITUR BERBAYAR JASA TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 44 TAHUN 2009 Tentang Pelaksanaan Sistem Elektronik Dalam Kerangka Indonesia National Single Window Di Lingkungan Departemen

940

Komunikasi dan Informatika

4. Pemberian perizinan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan penyelenggaraan kewajiban pelayanan universal.

4.

4.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 40 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM.20 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI;; ; ;

PERMENKOMINFO NO: 31 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 30 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 07 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 21 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 01 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI

941

5.

5. Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya provinsi sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio.

5. Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya kabupaten/kota sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 50 TAHUN 2009 Tentang Pendelegasian Kewenangan Pemberian Izin Usaha Di Bidang Komunikasi dan Informatika Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Di Bidang Penanaman Modal Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal KEPMENINFO NO. 03 TAHUN 2008 TENTANG PELUANG USAHA PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN LANGSUNG JARAK JAUH, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN INTERNASIONAL DAN JARINGAN TETAP TERTUTUP BERBASIS KABEL Permenkominfo No. 24 TAHUN 2010 Tentang Perubahan Ketiga Atas Permenkominfo No. : 19/PER/M. Kominfo/10/2005 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio

942

6.

6. Pengawasan layanan jasa telekomunikasi.

6.

7.

7.Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal wireline (end to end) cakupan provinsi.

7. Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap tertutup lokal wireline (end to end) cakupan kabupaten/kota.

Tidak membutuhka n NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalaha n yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhka n NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalaha n yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

943

8.

8. Koordinasi dalam rangka pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi.

8. Pemberian rekomendasi wilayah prioritas untuk pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi.

9.

9.

9. Pemberian izin terhadap Instalatur Kabel Rumah/Gedung (IKR/G).

Tidak membutuhka n NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalaha n yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhka n NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalaha n yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

944

10. Pelaksanaan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal dan teknologi informasi.

10.Pengawasan/ pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya provinsi.

10. Pengawasan/pengend alian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya kabupaten/kota, pelaksanaan pembangunan telekomunikasi perdesaan, penyelenggaraan warung telekomunikasi, warung seluler atau sejenisnya.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 29 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN CERTIFICATION AUTHORITY (CA) DI INDONESIA; PERMENKOMINFO NO: 30 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PENGAWAS CERTIFICATION AUTHORITY;

PERMENKOMINFO NO: 41 TAHUN 2009 Tentang Tata Cara Penilaian Pencapaian Tingkat Komponen Dalam Negeri Pada Penyelenggaraan Telekomunikasi KEPMENINFO NO. 304 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPMENINFO NO. 77/KEP/M.KOMINFO/3/2007 TENTANG TIM SELEKSI DALAM RANGKA SELEKSI PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP SAMBUNGAN INTERNASIONAL

945

11. Pemberian Izin Amatir Radio (IAR) dan Izin Penguasaan Perangkat Radio Amatir (IPPRA), termasuk untuk warga negara asing, Izin Komunikasi Radio Antar Penduduk (IKRAP) dan Izin Penguasaan Perangkat Komunikasi Radio Antar Penduduk (IPPKRAP). 12. Pelaksanaan penyelenggaraan ujian amatir radio.

11.

11.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 33 TAHUN 2009 Tentang Penyelenggaraan Amatir Radio

12.

12.

Permen no. 23 tahun 2009, Permen no, 33 tahun 2009

946

13.

13. Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.

13.Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.

14. Pedoman penyelenggaraan warung telekomunikasi/ warung internet/ warung seluler atau sejenisnya.

14.

14.

Tidak membutuhka n NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalaha n yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 07 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM.23 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA INTERNET TELEPONI UNTUK KEPERLUAN PUBLIK; PERMENKOMINFO NO: 05 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG TELEKOMUNIKASI;PERMEN KOMINFO NO: 03 TAHUN 2007 TENTANG SEWA JARINGAN;

947

15. Pedoman panggilan darurat telekomunikasi.

15.

15. Penanggung jawab panggilan darurat telekomunikasi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

3. Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (Orsat)

1. Perumusan kebijakan di bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.

1.

1.

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 3A/PER/M.KOMINFO/04/2008 TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM4 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN RENCANA DASAR TEKNIS NASIONAL 2000 (FUNDAMENTAL TECHNICAL PLAN NATIONAL 2000) PEMBANGUNAN TELEKOMUNIKASI NASIONAL Permenkominfo No. 26 TAHUN 2010 Tentang Perencanaan Penggunaan Pita Frekuensi Radio (Band Plan) Pada Pita Frekuensi Radio 300 MHz Untuk Sistem Komunikasi Radio Konvensional dan Studio Transmitter Link

KEPMENINFO NO. 10 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN BANK INDONESIA RATE UNTUK PERHITUNGAN BIAYA HAK PENGGUNAAN PITA SPEKTRUM FREKUENSI RADIO 2,1 GHZ UNTUK PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER TAHUN 2008

948

KEPMENINFO NO. 58 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN BANK INDONESIA RATE UNTUK PERHITUNGAN BIAYA HAK PENGGUNAAN PITA SPEKTRUM FREKUENSI RADIO 2,1 GHZ UNTUK PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER TAHUN 2007 PERMENKOMINFO NO: 12 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM.76 TAHUN 2003 TENTANG RENCANA INDUK ( MASTER PLAN) FREKUENSI RADIO PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI KHUSUS UNTUK KEPERLUAN TELEVISI SIARAN ANALOG PADA PITA ULTRA HIGH FREQUENCY (UHF) KEPMENINFO NO. 114 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPMENINFO NO. 04/KEP/M.KOMINFO/01/2009 TENTANG PELUANG USAHA PENYELENGGARA JARINGAN TETAP LOKAL BERBASIS PACKET SWITCHED YANG MENGGUNAKAN P ITA FREKUENSI RADIO 2,3 GHZ UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND).

949

2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.

2.

2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

KEPMENINFO NO. 04 TAHUN 2009 TENTANG PELUANG USAHA PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL BERBASIS PACKET SWITCHED YANG MENGGUNAKAN P ITA FREKUENSI RADIO 2.3 GHZ UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL(WIRELESS BROADBAND) PERMENKOMINFO NO: 34 TAHUN 2009 Tentang Penyelenggaraan Komunikasi Radio Antar Penduduk KEPMENINFO NO. 28 TAHUN 2006 TENTANG BESARAN TARIF IZIN PENGGUNAAN PITA SPEKTRUM FREKUENSI RADIO PADA PITA FREKUENSI RADIO 2,1 GHZ UNTUK JARINGAN BERGERAK SELULER PERMENKOMINFO NO: 40 TAHUN 2007 TENTANG KRITERIA KLASIFIKASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DI BIDANG MONITOR SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT

PERMENKOMINFO NO: 21 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PENYIARAN DIGITAL UNTUK PENYIARAN RADIO PADA PITA VERY HIGH

950

FREQUENCY (VHF) DI INDONESIA

3. Pelaksanaan penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.

3.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

KEPMENINFO NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG HARGA DASAR (RESERVE PRICE) PITA SPEKTRUM FREKUENSI RADIO 2,1 GHZ PERMENKOMINFO NO: 07 TAHUN 2006 TENTANG KETENTUAN PENGGUNAAN PITA FREKUENSI R ADIO 1,2 GHZ UNTUK PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER ;

PERMENKOMINFO NO: 04 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA LELANG PITA SPEKTRUM FREKUENSI RADIO 2,1 GHZ UNTUK PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER IMT IMT-2000; PERMENKOMINFO NO: 02 TAHUN 2006 TENTANG SELEKSI PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER IMT-2000 PADA PITA FREKUENSI R ADIO 2,1 GHZ ;PERMENKOMINFO NO: 01 TAHUN 2006 TENTANG PENATAAN PITA FREKUENSI RADIO 2,1 GHZ UNTUK PENYELENGGARAAN

951

JARINGAN BERGERAK SELULER IMT - 2000;

PERMENKOMINFO NO: 14 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA DAN KRITERIA SELEKSI PENGGUNA SPEKTRUM FREKUENSI RADIO UNTUK PENYELENGGARAAN PENYIARAN; KEPMENINFO NO. 363 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPMENINFO NO. : 181/KEP/M.KOMINFO/12/2006 TENTANG PENGALOKASIAN KANAL P ADA PITA FREKUENSI RADIO 800 MHZ UNTUK PENYELENGGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS DAN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PERMENKOMINFO NO: 21 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PENYIARAN DIGITAL UNTUK PENYIARAN RADIO PADA PITA VERY HIGH FREQUENCY (VHF) DI

952

INDONESIA

KEPMENINFO NO. 162 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPMENINFO NO. : 181/KEP/M.KOMINFO/12/2006 TENTANG PENGALOKASIAN KANAL P ADA PITA FREKUENSI RADIO 800 MHZ UNTUK PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS DAN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER KEPMENINFO NO. 05 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN BLOK PITA FREKUENSI RADIO DAN ZONA LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND) PADA PITA FREKUENSI RADIO 3.3 GHZ UNTUK PENGGUNA PITA FREKUENSI RADIO EKSISTING UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND) PERMENKOMINFO NO: 27 TAHUN 2009 Tentang Penetapan Pita Frekuensi Radio Untuk Keperluan Layanan Pita Lebar Nirkabel (Wireless Broadband) Pada Pita Frekuensi Radio 5,8 GHz

953

PERMENKOMINFO NO: 09 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN P ITA FREKUENSI RADIO UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND) PADA PITA FREKUENSI RADIO 3.3 GHZ DAN MIGRASI PENGGUNA FREKUENSI RADIO EKSISTING UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND) DARI PITA FREKUENSI RADIO 3.4 - 3.6 GHZ KE PITA FREKUENSI RADIO 3.3 GHZ PERMENKOMINFO NO: 26 TAHUN 2009 Tentang Penetapan Pita Frekuensi Radio Untuk Keperluan Layanan Pita Lebar Nirkabel (Wireless Broadband) Pada Pita Frekuensi Radio 2 GHz PERMENKOMINFO NO: 08 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN P ITA FREKUENSI RADIO UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND) PADA PITA FREKUENSI RADIO 2.3 GHZ PERMENKOMINFO NO: 07 TAHUN 2009 TENTANG PENATAAN PITA FREKUENSI RADIO UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND)

954

4. Pemberian perizinan penggunaan frekuensi radio dan orsat.

4.

4.

5. Pelaksanaan analisa dan evaluasi di bidang operasi frekuensi radio dan orsat.

5.

5.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Tidak membutuhka n NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalaha n yang bersifat

KEPMENINFO NO. 76 TAHUN 2007 TENTANG PELUANG USAHA PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN LANGSUNG JARAK JAUH, JARINGAN TETAP SAMBUNGAN INTERNASIONAL DAN JARINGAN TETAP TERTUTUP BERBASIS KABEL Permenkominfo No. 23 TAHUN 2010 Tentang Perubahan Atas Permenkominfo No. : 17/PER/M. Kominfo/10/2005 Tentang Tata Cara Perizinan dan Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio

955

khusus tidak dapat diselesaikan.

6. Perumusan rencana dan alokasi spektrum frekuensi radio dan orsat.

6.

6.

7. Penetapan tabel alokasi spektrum frekuensi radio Indonesia dan orsat.

7.

7.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha

PERMENKOMINFO NO: 35 TAHUN 2009 Tentang Perubahan Atas PERMENKOMINFO NO: : 09/PER/M.KOMINFO/01/2009 tentang Penetapan Pita Frekuensi Radio Untuk Keperluan Layanan Pita Lebar Nirkabel (Wireless Broadband) Pada Pita Frekuensi Radio 3,3 GHz dan Migrasi Pengguna Radio eksisting Untuk Keperluan Layanan Pita Lebar Nirkabel ((Wireless Broadband) Dari Pita Frekuensi Radio 3,4 3,6 GHz ke Pita Frekuensi Radio 3,3 GHz

Permenkominfo No. 25 TAHUN 2010 Tentang Perubahan Kedua Atas Permenkominfo No.: 29/Per/M.Kominfo/07/2009 Tentang Tabel Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia

956

n.

8. Penyusunan rencana induk frekuensi radio.

8.

8.

9. Penyusunan dan penetapan kajian teknis sistem alat dan atau perangkat yang menggunakan frekuensi radio.

9.

9.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan

PERMENKOMINFO NO: 40 TAHUN 2009 Tentang Perubahan Atas PERMENKOMINFO NO: : 29/PER/M. KOMINFO/07/2009 Tentang Tabel Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia NSPK Urusan Penyusunan rencana induk frekuensi radio.

NSPK Urusan Penyusunan dan penetapan kajian teknis sistem alat dan atau perangkat yang menggunakan frekuensi radio.

957

pemerintaha n.

10.Penetapkan persetujuan alokasi frekuensi radio (allotment).

10.

10.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 27 TAHUN 2009 Tentang Penetapan Pita Frekuensi Radio Untuk Keperluan Layanan Pita Lebar Nirkabel (Wireless Broadband) Pada Pita Frekuensi Radio 5,8 GHz

PERMENKOMINFO NO: 26 TAHUN 2009 Tentang Penetapan Pita Frekuensi Radio Untuk Keperluan Layanan Pita Lebar Nirkabel (Wireless Broadband) Pada Pita Frekuensi Radio 2 GHz 11.Pelaksanaan koordinasi penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat dalam forum skala bilateral, regional dan internasional. 11. 11. 1

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

958

12.Perumusan hasil koordinasi forum tersebut untuk dapat dilaksanakan sesuai ketentuan internasional. 13.Penghimpunan dan tindak lanjut pengaduan negara lain tentang adanya gangguan interferensi frekuensi radio yang bersumber dari Indonesia. 14.Tindak lanjut pengaduan adanya interferensi yang bersumber dari negara lain.

12.

12.

13.

13.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

14.

14.

15.Pelaksanaan penetapan (assignment) penggunaan frekuensi radio sesuai alokasi frekuensi radio.

15.

15.

NSPK urusan Pelaksanaan penetapan (assignment) penggunaan frekuensi radio sesuai alokasi frekuensi radio.

959

16.Pelaksanaan teknikal analisis.

16.

16.

17.Pengelolaan loket penerimaan berkas izin frekuensi radio.

17.

17.

18.Penetapan ketentuan dan persyaratan perizinan frekuensi radio.

18.

18.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua

NSPK urusan Pelaksanaan teknikal analisis.

NSPK urusan Pengelolaan loket penerimaan berkas izin frekuensi radio.

PERMENKOMINFO NO: 17 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PERIZINAN DAN KETENTUAN OPERASIONAL PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO;

960

tingkatan pemerintaha n.

19.Pelaksanaan penetapan biaya hak penggunaan frekuensi radio.

19.

19.

20.Penerbitan izin stasiun radio.

20.

20.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

NSPK Urusan Pelaksanaan penetapan biaya hak penggunaan frekuensi radio.

KEPMENINFO NO. 48C TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO BOGOR SWARATAMA

961

KEPMENINFO NO. 48B TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO TIARA RASEPRADANA KEPMENINFO NO. 48 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO QUANTUM GEMA PERSADA KEPMENINFO NO. 47B TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO PUTRANAS MULIA RAHAYU KEPMENINFO NO. 47A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO TRISARA KENCHANA KEPMENINFO NO. 47 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SUARA ADYASAMUDRA KEPMENINFO NO. 46B TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO MEGAJAYA GEMPITA

962

KEPMENINFO NO. 46A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA SUMBING WIJAYA KUSUMA KEPMENINFO NO. 46 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO GENERASI MUDA KEPMENINFO NO. 45A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO MANDALIKA JEPARA KEPMENINFO NO. 45 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO UTAMANDA SUARAKOTA KEPMENINFO NO. 44 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO NADA KENCANA AGUNG KEPMENINFO NO. 43 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO MADINATUSSALAM BANDUNG

963

KEPMENINFO NO. 42A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO CAKRAWALA LINTAS ATLAS KEPMENINFO NO. 42 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO PURNA YUDHA KEPMENINFO NO. 41A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO GEMA MAHASISWA UNSUD PURWOKERTO KEPMENINFO NO. 41 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA RAMA SUTRA KEPMENINFO NO. 40A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA ALAS ROBAN KEPMENINFO NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO MARTHA DARIA

964

KEPMENINFO NO. 39A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SUARA AL-MABRUR BERSINAR KEPMENINFO NO. 39 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO GESWARA PAMANUKAN KEPMENINFO NO. 38A TAHUN 2007 ENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SEMBILAN KALI SEMBILAN KEPMENINFO NO. 38 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO ELMITRA SUKABUMI KEPMENINFO NO. 37A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO RORO DJONGGRANG KEPMENINFO NO. 37 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SUARA ELOK LESTARI ABADI

965

KEPMENINFO NO. 36A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SUARA SEMARANG ATLAS ANGKASA JAYA KEPMENINFO NO. 36 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA HISTORI GITA JAYA KEPMENINFO NO. 35A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO BAHUREKSA SUARA PEKALONGAN KEPMENINFO NO. 35 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO GEMA WARGA KARYA SATNAWA KEPMENINFO NO. 34A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO HAR BOS PATI KEPMENINFO NO. 34 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA PITALOKA

966

KEPMENINFO NO. 33A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. IKHLASUL AMAL KEPMENINFO NO. 33 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA CAKRAWALA SANGKURIANG KEPMENINFO NO. 32A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA CITRA SUHADA JAYA KEPMENINFO NO. 32 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO ILNAFIR KARANGLAYUNG CITRA BUDAYA SUARA KEPMENINFO NO. 30 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO MUTIARA GEGANA KEPMENINFO NO. 29A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA IRAMA KUSUMA SENA

967

KEPMENINFO NO. 29 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO UTA SARI KEPMENINFO NO. 28A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO CEMPAKA ANGKASA KEPMENINFO NO. 28 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO BIDURI EKA SWARATAMA KEPMENINFO NO. 27 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO MANGGALA GEMINI BANDUNG KEPMENINFO NO. 27A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO PANCABAYU MADUGONDO KEPMENINFO NO. 26A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO CITRA ANGKASA ICHSANIYAH

968

KEPMENINFO NO. 26 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA INDAH SUKABUMI KEPMENINFO NO. 25A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO RONA PUSPITA KEPMENINFO NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO DAHLIA FLORA KEPMENINFO NO. 24A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO DUTASUARA GARUDA SAKTI KEPMENINFO NO. 24 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO ANTARES KEPMENINFO NO. 23 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO GARUDA TUNGGAL ANGKASA

969

KEPMENINFO NO. 22A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO REMBANG BANGKIT KEPMENINFO NO. 22 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO ARDAN SWARATAMA KEPMENINFO NO. 21A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA CARAKA RIA KEPMENINFO NO. 20A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA DELANGGU BERSINAR KEPMENINFO NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO GEMA SWARA PAMIJAHAN KEPMENINFO NO. 20 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWARA PAKUSARAKAN PRATITA

970

KEPMENINFO NO. 18A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO CIKA MANCA KEPMENINFO NO. 18 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SWADAYA CEMPAKA 23 KEPMENINFO NO. 17A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO SUARA GAJAHMADA PALAPA ANGKASA JAYA KEPMENINFO NO. 16C TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO BUNDER CENTRAL AUDIO KEPMENINFO NO. 16B TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO AGNIA MEGATAMA KEPMENINFO NO. 16A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO KEPADA PT. RADIO SWARA PANDAWA LIMA SHAKTI

971

PERMENKOM INFO NO: 16 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA KLASIF IKASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DI BIDANG MONITOR SPEKTRUM FREKUENSI RADIO

KEPMENINFO NO. 16 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO KEPADA PT. RADIO REKA KHARISMA SWARA KEPMENINFO NO. 15A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO KEPADA PT. RADIO MENARA BUANA SWARAINDAH KEPMENINFO NO. 15 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO KEPADA PT. RADIO SUARA GALUNGGUNG GIRI SAKTI KEPMENINFO NO. 13A TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYAIARAN SWASTA JASA PENYIARAN RADIO PT. RADIO RASIKA DANANDA UTAMA

972

21.Pelaksanaan verifikasi izin stasiun radio.

21.

21.

22.Pelaksanaan penugasan kepada unit pelaksana teknis untuk monitoring spektrum frekuensi radio.

22.

22.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

NSPK Urusan Pelaksanaan verifikasi izin stasiun radio.

PERMENKOMINFO NO: 16 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA KLASIFIKASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DI BIDANG MONITOR SPEKTRUM FREKUENSI RADIO

PERMENKOMINFO NO: 15 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS MONITOR SPEKTRUM FREKUENSI RADIO

973

23.Pelaksanaan inspeksi instalasi alat/perangkat yang menggunakan spektrum dan kesesuaian standarnya.

23.

23.

24.Pelaksanaan penegakan hukum.

24.

24.

25.Pelaksanaan rekayasa teknik spektrum.

25.

25.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua

PERMENKOMINFO NO: 29 TAHUN 2008 TENTANG SERTIFIKASI ALAT DAN PERANGKAT TELEKOMUNIKASI;

NSPK urusan.Pelaksanaan penegakan hukum.

NSPK urusan Pelaksanaan rekayasa teknik spektrum.

974

tingkatan pemerintaha n.

26.Pengelolaan sarana dan prasarana monitoring frekuensi radio dan orsat.

26.

26.

27.Pengelolaan database frekuensi radio Indonesia.

27.

27.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

NSPK urusan Pengelolaan sarana dan prasarana monitoring frekuensi radio dan orsat.

PERMENKOMINFO NO: 22 TAHUN 2009 TENTANG DOKUMEN SELEKSI PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL BERBASIS PACKET SWITCHED YANG MENGGUNAKAN P ITA FREKUENSI RADIO 2,3 GHZ UNTUK KEPERLUAN LAYANAN PITA LEBAR NIRKABEL (WIRELESS BROADBAND)

975

28.Penetapan peraturan, standar pedoman penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat.

28.

28.

29.Pedoman pembangunan sarana dan prasarana menara telekomunikasi.

29.

29.

30.Penetapan pedoman kriteria pembuatan tower.

30.

30.Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menara telekomunikasi sebagai sarana dan prasarana telekomunikasi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua

NSPK urusan Penetapan peraturan, standar pedoman penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat.

PERMENKOMINFO NO: 19 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN DAN PENGGUNAAN BERSAMA MENARA TELEKOMUNIKASI

NSPK urusan Penetapan pedoman kriteria pembuatan tower.

976

tingkatan pemerintaha n.

31.

31.Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi lintas kabupaten/kota atau jalan provinsi.

31.Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi dalam satu kabupaten/kota.

32.

32.

32.Pemberian izin Hinder Ordonantie (Ordonansi Gangguan).

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

NSPK urusan Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi lintas kabupaten/kota atau jalan provinsi.

1 NSPK urusan Pemberian izin Hinder Ordonantie (Ordonansi Gangguan).

977

33.

33.

33.Pemberian izin instalansi penangkal petir.

34.

34.

34.Pemberian izin instalansi genset.

Tidak membutuhka n NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalaha n yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak membutuhka n NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalaha n yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

978

4. Bidang Standarisasi Pos dan Telekomunika si

1. Perumusan kebijakan di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.

1.

1.

2. Perumusan standar di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.

2.

2.

3. Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.

3. Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua

PERMENKOMINFO NO: 20 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI BESAR PENGUJIAN PERANGKAT TELEKOMUNIKASI;

NSPK Urusan Perumusan standar di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.

NSPK urusan Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.

979

tingkatan pemerintaha n.

4. Pemantauan dan penertiban standar pos dan telekomunikasi.

4.

4.

5. Perumusan persyaratan teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi.

5.

5.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

NSPK urusan Pemantauan dan penertiban standar pos dan telekomunikasi.

PERMENKOMINFO NO: 51 TAHUN 2009 Tentang Persyaratan Teknis Perangkat Penyiaran

980

6. Pengawasan penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi skala nasional.

6. Pengawasan terhadap penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/ perangkat pos dan telekomunikasi skala provinsi.

6. Pengendalian dan penertiban terhadap pelanggaran standarisasi pos dan telekomunikasi.

7. Kerjasama standar teknik tingkat internasional.

7.

7.

8.

8.

8. Pemberian izin usaha perdagangan alat perangkat telekomunikasi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Tidak membutuhka n NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalaha n yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

NSPK urusan Pengawasan penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi skala nasional.

981

5. Kelembagaan Internasional Pos dan Telekomunika si

1. Perumusan kebijakan di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regiona dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat

1.

1.

2. Perumusan pedoman, norma, kriteria dan prosedur di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat. 3. Pelaksanaan kerjasama kelembagaan multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.

2.

2.

3.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua

NSPK urusan Perumusan kebijakan di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regiona dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat

KEPMENINFO NO. 08 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN KOMITE NASIONAL INDONESIA UNTUK INFORMATION FOR ALL PROGRAMME (IFAP) UNESCO

KEPMENINFO NO. 14 TAHUN 2006 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: SK.102/HK.601/PHB98 TENTANG SUSUNAN KOMINTE KERJA SAMA OPERASI (KSO) SEBAGAIMANA TELAH DI UBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KP.381 TAHUN 2000

982

tingkatan pemerintaha n.

4.

4. Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga.

4. Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga.

5. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan kelembagaan internasional dan kegiatan fora internasional di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.

5.

5.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

NSPK urusan Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga.

NSPK Urusan Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan kelembagaan internasional dan kegiatan fora internasional di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.

983

2. Sarana Komunikasi Dan Diseminasi Informasi

1. Penyiaran

1. Penetapan arah kebijakan penyelenggaraan penyiaran dengan mempertimbangk an perkembangan teknologi penyiaran, kecenderungan permintaan pasar, ekonomi, sosial, budaya dan kondisi lingkungan lainnya.

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 24 TAHUN 2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL DARI PENYELENGGARAAN PENYIARAN

2. Penetapan tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran.

2. Evaluasi persyaratan administrasi dan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan penyiaran.

2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 21 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PENYIARAN DIGITAL UNTUK PENYIARAN RADIO PADA PITA VERY HIGH FREQUENCY (VHF) DI INDONESIA PERMENKOMINFO NO: 22 TAHUN 2007 PERUBAHAN KEDUA ATAS PERMENKOMINFO NO: : 08/P/M.KOMINFO/3/2007 TENTANG TATA CARA PERIZINAN DAN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA;

984

PERMENKOMINFO NO: 15 TAHUN 2007 PERUBAHAN ATAS PERMENKOMINFO NO: : 08/P/M.KOMINFO/3/2007 TENTANG TATA CARA PERIZINAN DAN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA; PERMENKOMINFO NO: 43 TAHUN 2009 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Melalui Sistem Stasiun Jaringan Oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi PERMENKOMINFO NO: 49 TAHUN 2009 Tentang Rencana Dasar Teknik Penyiaran 3. 3. Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan televisi. 3. Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan radio. 1

Tidak membutuhka n NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalaha n yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

985

4. Penerbitan izin penyelenggaraan penyiaran radio dan televisi bagi seluruh lembaga penyiaran.

4.

4. Pemberian izin lokasi pembangunan studio dan stasiun pemancar radio dan/atau televisi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 17 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYESUAIAN IZIN PENYELENGARAN PENYIARAN BAGI LEMBAGA PENYIARAN SWASTA YANG TELAH MEMILIKI IZIN STASIUN RADIO DARI DIREKTORAT JENDERAL POST DAN TELEKOMUNIKASI DAN/ATAU IZIN SIARAN NASIONAL UNTUK TELEVISI DARI DEPARTEMEN PENERANGAN DAN BAGI LEMBAGA PENYIARAN BERLANGGANAN YANG TELAH MEMILIKI IZIN PENYELENGGARAAN JASA TELEVISI BERBAYAR DARI DIREKTORAT JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI DAN/ATAU IZIN PENYELENGARAAN SIARAN TELEVISI BERLANGGANAN DARI DEPARTEMEN PENERANGAN PERMENKOMINFO NO: 42 TAHUN 2009 Tentang Tata Cara Memperoleh Izin Bagi Lembaga Penyiaran Asing Yang Melakukan Kegiatan Peliputan Di Indonesia PERMENKOMINFO NO: 39 TAHUN 2009 Tentang Kerangka Dasar Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free to Air) PERMENKOMINFO NO: 30 TAHUN 2009 Tentang Penyelenggaraan Layanan Televisi Protokol Internet (Internet Protocol Television/IPTV) di Indonesia

986

KEPMENINFO NO. 78 TAHUN 2008 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. SUNVONE COMMUNICATION NETWORK. KEPMENINFO NO. 75 TAHUN 2008 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK TERESTRIAL RADIO TRUNKING PT. CAKRA ULTRA PRATAMA KEPMENINFO NO. 68 TAHUN 2008 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. NUSANTARA SARANA TELEKOMUNIKASI KEPMENINFO NO. 65 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN PANITIA PENYELENGGARA PERINGATAN 100 TAHUN HARI KEBANGKITAN NASIONAL TAHUN 2008 DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KEPMENINFO NO. 56 TAHUN 2008 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. GLOB AL TELECOM UTAMA KEPMENINFO NO. 31 TAHUN 2008 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. BALI INFOCOM KEPMENINFO NO. 318 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. NAP INFO LINTAS NUSA

987

KEPMENINFO NO. 316 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. SUPRA PRIMATAMA NUSANTARA KEPMENINFO NO. 298 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS PT. BAKRIE TELECOM TBK KEPMENINFO NO. 293 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. MOBILE-8 TELECOM TBK. KEPMENINFO NO. 292 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS PT. MOBILE-8 TELECOM TBK. KEPMENINFO NO. 169 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK TERESTRIAL RADIO TRUNKING PT. DAKSINA ARGA PERKASA KEPMENINFO NO. 168 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS PT. KOMUNIKASI SELULAR INDONESIA

988

KEPMENINFO NO. 167 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS PT. METRO SELULAR NUSANTARA KEPMENINFO NO. 166 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS PT. TELEKOMINDO SELULAR RAYA KEPMENINFO NO. 165 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. KOMUNIKASI SELULAR INDONESIA KEPMENINFO NO. 164 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. METRO SELULAR NUSANTARA KEPMENINFO NO. 163 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. TELEKOMINDO SELULAR RAYA

989

Jumlah

KEPMENINFO NO. 153 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP LOKAL TANPA KABEL DENGAN MOBILITAS TERBATAS PT. TELEKOMINDO SELULAR RAYA KEPMENINFO NO. 152 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. KOMUNIKASI SELULAR INDONESIA KEPMENINFO NO. 151 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. METRO SELULAR NUSANTARA KEPMENINFO NO. 150 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. TELEKOMINDO SELULAR RAYA KEPMENINFO NO. 147 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. INDOPRIMA MIKROSELINDO KEPMENINFO NO. 62 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPMENINFO NO.: 161/KEP/M.KOMINFO/11/20 06 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN BERGERAK SELULER PT. NATRINDO TELEPON SELULER KEPMENINFO NO. 60 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. INDOINTERNET

990

KEPMENINFO NO. 51 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. TELEMEDIA NUSANTARA KEPMENINFO NO. 170 TAHUN 2006: TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP PT. TRANSNETWORK COMMUNICATION ASIA KEPMENINFO NO. 169 TAHUN 2006: TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. MORA TELEMATIKA INDONESIA KEPMENINFO NO. 168 TAHUN 2006: TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN TETAP TERTUTUP PT. ARTHA MAS CIPTA KEPMENINFO NO. 167 TAHUN 2006 TENTANG IZIN PRINSIP MENYELENGGARAKAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. MOBILKOM TELEKOMINDO KEPMENINFO NO. 166 TAHUN 2006 TENTANG TIM AHLI INDONESIA SECURITY INCIDENT RESPONSES TEAM ON INTERNET INFRASTRUCTURE (IDSIRTII) KEPMENINFO NO. 154 TAHUN 2006 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA JASA PENYIARAN TELEVISI PT. CIPTA TPI

991

KEPMENINFO NO. 99 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN PANITIA PERSIAPAN INDONESIA INFRASTRUCTURE CONFERENCE AND EXHIBITION 2006 DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KEPMENINFO NO. 68 TAHUN 2006 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. MULTI TRANS DATA KEPMENINFO NO. 67 TAHUN 2006 TENTANG IZIN PRINSIP PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP TERTUTUP PT. MULTIMEDIA NUSANTARA 5. Penetapan pedoman teknis pelaksanaan uji coba siaran radio dan televisi. 5. 5. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 28 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PERIZINAN PENYELENGGARAAN PENYIARAN ;

992

6. Penetapan kebijakan pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan oleh salah satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran. 7. Penetapan kebijakan kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio, lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran televisi, perusahaan media cetak, dan lembaga penyiaran berlangganan baik langsung maupun tidak langsung.

6.

6.

7.

7.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

NSPK urusan Penetapan kebijakan pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan oleh salah satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran.

NSPK urusan Penetapan kebijakan kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio, lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran televisi, perusahaan media cetak, dan lembaga penyiaran berlangganan baik langsung maupun tidak langsung.

993

8. Penetapan kebijakan kepemilikan modal asing pada lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan.

8.

8.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

9. Pemetaan usaha penyiaran radio dan televisi.

9.

9.

PERMENKOMINFO NO: 44 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN PERMENKOMINFO NO: : 25/PER/M.KOMINFO/5/2007 TENTANG PENGGUNAAN SUMBER DAYA DALAM NEGERI UNTUK PRODUK IKLAN YANG DISIARKAN MELALUI LEMBAGA PENYIARAN;PERMENKOMIN FO NO: 20 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN SUMBER DAYA DALAM NEGERI UNTUK PRODUKSI F ILM IKLAN YANG DISIARKAN DAN DIPERTUNJUKAN DI INDONESIA; KEPMENINFO NO. 418 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPMENINFO NO. 45/KEP/M.KOMINFO/04/2007 TENTANG PENETAPAN WILAYAH PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI

994

10. Penetapan wilayah layanan penyiaran radio dan televisi.

10.

10.

11. Pengaturan dan penetapan sistem stasiun jaringan penyiaran radio dan televisi.

11.

11.

12. Penetapan standar teknologi penyiaran radio dan televisi.

12.

12.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 18 /PER/M.KOMINFO/03/2009 TENTANG TATA CARA DAN PROSES PERIZINAN PENYELENGGARAAN PENYIARAN OLEH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

NSPK urusan Pengaturan dan penetapan sistem stasiun jaringan penyiaran radio dan televisi.

PERMENKOMINFO NO: 32 TAHUN 2007 PENYESUAIAN PENERAPAN SISTEM STASIUN JARINGAN LEMBAGA PENYIARAN JASA PENYIARAN TELEVISI ;

995

tingkatan pemerintaha n.

13. Penetapan pedoman teknis sarana dan prasarana penyiaran radio dan televisi.

13.

13.

2. Kelembagaan Komunikasi Sosial

1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga media tradisional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

NSPK urusanPenetapan pedoman teknis sarana dan prasarana penyiaran radio dan televisi.

1 1 PERMENKOMINFO NO: 21 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA MONUMEN PERS NASIONAL;

PERMENKOMINFO NO: 19 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA MUSEUM

996

PENERANGAN

PERMENKOMINFO NO: 08 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA KOMUNIKASI SOSIAL ;PERMENKOMINFO NO: 22 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS BIDANG PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PERMENKOMINFO NO: 03 TAHUN 2009 TENTANG KLASIFIKASI ARSIP DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PERMENKOMINFO NO: 02 TAHUN 2009 TENTANG TATA KEARSIPAN DINAMIS DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KEPMENINFO NO. 187 TAHUN 2006: TENTANG TIM PENASEHAT DE WAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI NASIONAL KEPMENINFO NO. 186 TAHUN 2006: TENTANG SEKRETAR IAT DEWAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI NASIONAL

997

2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga komunikasi perdesaan.

2.

2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 35 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI TATA KERJA BALAI TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PERDESAAN;

3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga profesi.

3.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

Permenkominfo No. 08 TAHUN 2010 Tentang Pedoman Pengembangan Dan Pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial PERMENKOMINFO NO: 45 TAHUN 2009 Tentang Perubahan Atas PERMENKOMINFO NO:: 35/Per/M .Kominfo/11/2006 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Balai Telekomunikasi Dan Informatika Perdesaa PERMENKOMINFO NO: 35 TAHUN 2008 TENTANG PERPANJANGAN BATAS USIA PENSIUN PEJABAT STRUKTURAL ESELON II DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA;

998

4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga pemantau media.

4.

4.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 30 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PENGAWAS CERTIFICATION AUTHORITY;

PERMENKOMINFO NO: 31 TAHUN 2009 Tentang Perubahan Atas PERMENKOMINFO NO: : 36/PER/M. KOMINFO/10/2008 Tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia PERMENKOMINFO NO: 25 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PERMENKOMINFO NO: 26B TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGANGKATAN, KENAIKAN JABATAN/PANGKAT, PEMBEBASAN SE MENTARA, PENGANGKATAN KEMBALI DAN PEMBERHENTIAN DALAM DAN DARI JABATAN FUNGSIONAL PENGENDALI FREKUENSI RADIO

999

PERMENKOMINFO NO: 26B TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGANGKATAN, KENAIKAN JABATAN/PANGKAT, PEMBEBASAN SE MENTARA, PENGANGKATAN KEMBALI DAN PEMBERHENTIAN DALAM DAN DARI JABATAN FUNGSIONAL PENGENDALI FREKUENSI RADIO PERMENKOMINFO NO: 26A TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENGENDALI FREKUENSI RADIO PERMENKOMINFO NO: 05 TAHUN 2008 TENTANG TATA KERJA DAN TATA CARA PENILAIAN ANGKA KREDIT JABATAN FUNGSIONAL PRANATA HUMAS PERMENKOMINFO NO: 03 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PRANATA HUMAS PERMENKOMINFO NO: 04 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGANGKATAN, KENAIKAN JABATAN/PANGKAT, PEMBEBASAN SE MENTARA, PENGANGKATAN KEMBALI DAN PEMBERHENTIAN DALAM DAN DARI JABATAN FUNGSIONAL PRANATA HUMAS PERMENKOMINFO NO: 20 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN TEKNIS PELAKSANAAN PEMBINAAN JABATAN FUNGSIONAL PRANATA HUMAS

1000

3. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah

1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang politik, hukum dan keamanan.

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 31 TAHUN 2009 Tentang Perubahan Atas PERMENKOMINFO NO: : 36/PER/M. KOMINFO/10/2008 Tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia KEPMENINFO NO. 63 TAHUN 2006 TENTANG TIM EVALUASI DAN PENYEMPURNAAN PERATURAN PEMERINTAH DI BIDANG PENYIARAN KEPMENINFO NO. 01 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN ANGGOTA KOMITE REGULASI TELEKOMUNIKASI (KRT) PADA BADAN REGULASI TELEKOMUNIKASI INDONESIA (BRTI) PERMENKOMINFO NO: 18 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI KHUSUS UNTUK KEPERLUAN INSTANSI PEMERINTAH DAN BERBADAN HUKUM

KEPMENINFO NO. 314 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN TASK FORCE PENYEMPURNAAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EGOVERNMENT NASIONAL

1001

PERMENKOMINFO NO: 11 TAHUN 2009 TENTANG KAMPANYE PEMILIHAN UMUM MELALUI JASA TELEKOMUNIKASI PERMENKOMINFO NO: 01 TAHUN 2008 TENTANG PEREKAMAN INFORMASI UNTUK KEPENTINGAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA 2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang perekonomian. 2. 2. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 18 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI KHUSUS UNTUK KEPERLUAN INSTANSI PEMERINTAH DAN BERBADAN HUKUM

3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang kesejahteraan rakyat.

3.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai

KEPMENINFO NO. 314 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN TASK FORCE PENYEMPURNAAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EGOVERNMENT NASIONAL PERMENKOMINFO NO: 18 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI KHUSUS UNTUK KEPERLUAN INSTANSI PEMERINTAH DAN BERBADAN HUKUM

1002

acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang badan usaha milik negara.

4.

4.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

KEPMENINFO NO. 314 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN TASK FORCE PENYEMPURNAAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EGOVERNMENT NASIONAL PERMENKOMINFO NO: 18 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI KHUSUS UNTUK KEPERLUAN INSTANSI PEMERINTAH DAN BERBADAN HUKUM

KEPMENINFO NO. 314 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN TASK FORCE PENYEMPURNAAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EGOVERNMENT NASIONAL

1003

4. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah Daerah

1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah I

1.

1.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

PERMENKOMINFO NO: 17 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PENDIDIKAN DAN LATIHAN AHLI MULTI MEDIA DI YOGYAKARTA;

2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah II.

2.

2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha

PERMENKOMINFO NO: 39 TAHUN 2008 TENTANG DAERAH EKONOMI MAJU DAN DAERAH EKONOMI KURANG MAJU DALAM PENYELENGGARAAN PENYIARAN; PERMENKOMINFO NO: 17 TAHUN 2009 TENTANG DISEMINASI INFORMASI NASIONAL OLEH PEMERINTAH, PEMERINTAH DAERAH PROVINSI DAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA PERMENKOMINFO NO: 18 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA DAN PROSES PERIZINAN PENYELENGGARAAN PENYIARAN OLEH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

1004

n.

3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah III.

3.

3.

4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah IV.

4.

4.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n.

NSPK urusan Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah III.

NSPK urusan Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah IV.

1005

5. Penerbitan panduan paket informasi nasional.

5. Koordinasi dan pelaksanaan diseminasi informasi nasional.

5. Pelaksanaan diseminasi informasi nasional.

5. Kemitraan Media

1. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media radio, media televisi dan media cetak.

1.

1.

2. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media komunitas.

2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala provinsi.

2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintaha n. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua

PERMENKOMINFO NO: 20 TAHUN 2006 TENTANG PERINGATAN DINI TSUNAMI ATAU BENCANA LAINNYA MELALUI LEMBAGA PENYIARAN DI SELURUH INDONESIA; PERMENKOMINFO NO: 11 TAHUN 2006 TENTANG TEKNIS PENYADAPAN TERHADAP INFORMASI;

PERMENKOMINFO NO: 08 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA KOMUNIKASI SOSIAL

NSPK urusan Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media komunitas.

1006

tingkatan pemerintaha n.

80 28. BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL


SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

17

32

44

80

KEBUTUH AN NSPK (Y=YA, T=Tidak) Y T

KETERANGAN

Status NSPK

Keterangan

S1 Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. 1

S2

S3 NSPK Tentang Penetapan Kebijakan Pengelolaan Mineral, Batubara, Panas Bumi, dan Air Tanah Nasional

1. Mineral, Batu Bara, Panas Bumi, dan Air Tanah

1. Penetapan kebijakan pengelolaan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah nasional.

1.

1.

2. Pembuatan peraturan perundangundangan di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah.

2. Pembuatan peraturan perundangundangan daerah provinsi di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah.

2. Pembuatan peraturan perundangundangan daerah kabupaten/kota di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah.

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR: 2 8 T A H U N 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA JASA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

1007

3. Pembuatan dan penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria di bidang pengelolaan pertambangan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta kompetensi kerja pertambangan. 4. Penetapan kriteria kawasan pertambangan dan wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi setelah mendapat pertimbangan dan/atau rekomendasi provinsi dan kabupaten/kota. 5. Penetapan cekungan air tanah setelah mendapat pertimbangan provinsi dan kabupaten/kota.

3.

3.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembuatan dan penetapan standar nasional , pedoman, dan kriteria di bidang pengelolaan pertambangan mineral

4. Penyusunan data dan informasi usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi lintas kabupaten/kota.

4. Penyusunan data dan informasi wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi skala kabupaten/kota.

5. Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.

5. Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah skala kabupaten/kota.

6. Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas provinsi.

6. Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.

6. Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah pada wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Keputusan Menteri ESDM No.1557 K/30/MEM/2010 Tentang Penetapan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi Di Daerah Baturaden, Kabupaten Banymas, Kabupaten Tegal, Kabupatrn Brebes, Kabupaten Purbalingga Dan Kabupaten Pemalang

Peraturan Menteri ESDM No. 13 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyusunan Rancangan Penetapan Cekungan Air Tanah

Peraturan Menteri ESDM No. 017 Tahun 2007 Tentang Peta Jabatan dan Uraian Jabatan Fungsional Umum di Lingkungan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

1008

7. Pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara, panas bumi, pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil.

7. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. 8. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kep 9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan

7. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri ESDM No. 0030 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

8. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil laut.

8. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.

Peraturan Menteri ESDM No. 0030 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil.

9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Peraturan Menteri ESDM No. 0030 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

1009

10. Pembuatan dan penetapan klasifikasi, kualifikasi serta pedoman usaha jasa pertambangan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah.

10.

10.

11. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta yang mempunyai wilayah kerja lintas provinsi. 12. Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal.

11. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN lintas kabupaten/kota.

11. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pembuatan dan penetapan klasifikasi, kualifikasi serta pedoman usaha jasa pertambangan mineralm batubara, panas bumi dan air tanah

Peraturan Menteri ESDM No. 05 Tahun 2010 Tentang Pendelegasian Wewenang pemberian Izin Usaha di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Peraturan Menteri ESDM No. 28 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batu Bara

12. Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal lintas kabupaten/kota.

12. Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

1010

13. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi, pada wilayah lintas pro

13. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah lintas kabu

13. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah kabupaten/k

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Peraturan Menteri ESDM No. 0030 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan Kuasa Pertambangan (KP) lintas provinsi, Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diterbitkan berdasarkan UndangUndang tentang Ketentuan PokokPokok Pertambangan.

14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP lintas kabupaten/kota.

14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP dalam wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 3 4 TAHUN 2009 TENTANG PENGUTAMAAN PEMASOKAN KEBUTUHAN MINERAL DAN BATUBARA UNTUK KEPENTINGAN DALAM NEGERI

1011

15. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KK dan dikeluarkan berdasarkan UndangUndang tentang Ketentuan PokokPokok Pe 16. Penetapan wilayah konservasi dan pencadangan sumber daya mineral, batubara dan panas bumi nasional serta air tanah.

15. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP lintas kabupaten/kota.

15. Pembinaan dan pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP dalam wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Peraturan Menteri ESDM No.06 Tahun 2007 Pedoman Teknis Penerapan Kompetensi Profesi Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara

16. Penetapan wilayah konservasi air tanah lintas kabupaten/kota.

16. Penetapan wilayah konservasi air tanah dalam wilayah kabupaten/kota.

17. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut.

17. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota.

17. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung dalam wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Keputusan Menteri ESDM No.0002 Tahun 2004 Tentang Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan Dan Konservasi Energi (Pengembangan Energi Hijau)

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAY A MINERA.L NOMOR : 0299 K/30/MEM/2011 TENTANG PELIMPAHAN WEWENANG MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KEPADA DIREKTUR JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA UNTUK PEMBERIAN IZIN USAHA JASA PERTAMBANGAN

1012

18. Pengelolaan, pembinaan, dan pengawasan wilayah kerja KP dan kontrak kerja sama pengusahaan pertambangan panas bumi yang dikeluarkan sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi yang berdampak nasional. 19. Penetapan kebijakan batasan produksi mineral, batubara dan panas bumi.

18.

18.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR r 03 3 TAH UN 2 006 T ENT ANG PENGUSAHAAN GAS METANA BATUBARA

19.

19.

20. Penetapan kebijakan batasan pemasaran dan pemanfaatan mineral, batubara dan panas bumi.

20.

20.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Permen ESDM No 25 /2008 TENTANG TATA CAR A PENETAPAN KEBIJAKAN PEMBATASAN PRODUKSI PERTAMBANGAN MINERAL NASIONA

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 047 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBUATAN DAN PEMANFAATAN BRIKET BATUBARA DAN BAHAN BAKAR PADAT BERBASIS BATUBARA

1013

21. Penetapan kebijakan kemitraan dan kerjasama serta pengembangan masyarakat dalam pengelolaan mineral, batubara dan panas bumi.

21.

21.

22. Perumusan dan penetapan tarif iuran tetap dan iuran produksi mineral, batubara dan panas bumi.

22.

22.

23. Penetapan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan dana pengembangan batubara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

23.

23.

24. Penetapan pedoman nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan lintas negara.

24. Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.

24. Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah dalam wilayah kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang penetapan kebijakan kemitraan dan kerjasama serta pengembangan masyarakat dalam pengelolaan mineralm batubara dan panas bumi

Peraturan Menteri ESDM No. 0030 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 047 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBUATAN DAN PEMANFAATAN BRIKET BATUBARA DAN BAHAN BAKAR PADAT BERBASIS BATUB ARA Peraturan Menteri ESDM No. 13 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyusunan Rancangan Penetapan Cekungan Air Tanah

1014

25. Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan Sistem Informasi Geografis (SIG) wilayah kerja pertambangan nasional. 26. Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara nasional.

25. Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah provinsi.

25. Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah kabupaten/kota.

26. Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah provinsi.

26. Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah kabupaten/kota.

27. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional.

27. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.

27. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.

2. Geologi

1. Penetapan kebijakan nasional bidang geologi.

1.

1.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pengelolaan data dan informasi mineral, , batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan Sistem Informasi Geografis (SIG) wilayah kerja pertambangan nasional.

Permen ESDM No. 11 tahun 2008 tentang tata cara penetapan WKP panas bumi

NSPK tentang Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional.

NSPK tentang penetapan kebijakan nasional bidang teknologi

1015

2. Pelaksanaan pemetaan geologi dan peta tematik, inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, panas bumi, migas, air tanah nasional dan kawasan pengembangan yang bersifat strategis serta pelaksanaan eksplorasi panas bumi. 3. Penetapan kawasan karst dan kawasan lindung geologi nasional.

2. Pelaksanaan inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, batubara, panas bumi, migas dan air tanah pada wilayah provinsi.

2. Pelaksanaan inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, batubara, panas bumi, migas dan air tanah pada wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri ESDM No. 0030 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

3. Pelaksanaan inventarisasi kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah provinsi.

3. Pelaksanaan inventarisasi kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah kabupaten/kota. 4. Penetapan zonasi pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang inventarisasi kawasan karst dan kawasan lindung geologi

4. Penetapan kriteria pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi.

4. Penetapan zonasi pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.

NSPK tentang Penetapan kriteria pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi.

5. Penetapan pedoman, kriteria norma, standar, prosedur geologi, lingkungan geologi, geologi teknik, kebencanaan dan kawasan lingkungan geologi.

5. Penetapan pengelolaan lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi di wilayah lintas kabupaten/kota.

5. Penetapan pengelolaan lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi di wilayah kabupaten/kota.

Peraturan Menteri ESDM No. 0030 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

1016

6. Pelaksanaan inventarisasi geologi, lingkungan geologi, geologi teknik, kebencanaan dan kawasan lingkungan geologi secara nasional dan kawasan pengembangan strategis. 7. Penetapan kebijakan dan pengaturan mitigasi bencana geologi serta pedoman pengelolaan kawasan lindung geologi dan kawasan rawan bencana. 8. Inventarisasi, pemetaan, pemeriksaan, pemantauan, penyelidikan dan penelitian, dan kawasan rawan bencana geologi daerah vital serta strategis dan/atau memiliki dampak nasional. 9. Pemberian peringatan dini bencana gunung api dan gempa bumi/tsunami dan penetapan langkahlangkah mitigasi untuk bencana geologi. 10. Pengelolaan data dan informasi bencana geologi.

6. Pelaksanaan inventarisasi lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi pada wilayah provinsi. 7. Pelaksanaan kebijakan mitigasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.

6. Pelaksanaan inventarisasi lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi pada wilayah kabupaten/kota. 7. Pelaksanaan kebijakan mitigasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri ESDM No. 0030 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri ESDM No. 0030 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

8. Inventarisasi dan pengelolaan, kawasan rawan bencana geologi pada wilayah provinsi dan/atau memiliki dampak lintas kabupaten/kota.

8. Inventarisasi dan pengelolaan, kawasan rawan bencana geologi, pada wilayah kabupaten/kota.

Peraturan Menteri ESDM No. 0030 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

9. Pelaksanaan koordinasi mitigasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.

9. Pelaksanaan koordinasi mitigasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri ESDM No. 0030 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

10. Pengelolaan informasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.

10. Pengelolaan informasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri ESDM No. 0030 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

1017

11. Pembinaan tenaga fungsional penyelidik bumi nasional dan pengamat gunung api.

11. Pelaksanaan pembinaan fungsional penyelidik bumi nasional pada wilayah provinsi.

11. Pelaksanaan pembinaan fungsional penyelidik bumi nasional pada wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1 PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 2 7 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENDlDlKAN DAN PELATIHAN TERSTRUKTU Peraturan Menteri ESDM No. 0030 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

12. Pengelolaan data dan informasi geologi nasional.

12. Pengelolaan data dan informasi geologi pada wilayah provinsi.

12. Pengelolaan data dan informasi geologi pada wilayah kabupaten/kota.

3. Ketenagalistrikan

1. Penetapan kebijakan pengelolaan energi dan ketenagalistrikan nasional. 2. Penetapan peraturan perundangundangan di bidang energi dan ketenagalistrikan.

1.

1.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. 1

2. Penetapan peraturan daerah provinsi di bidang energi dan ketenagalistrikan.

2. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota di bidang energi dan ketenagalistrikan.

NSPK tentang penetapan peraturan perundangundangan di bidang energi dan ketenagalistrikan.

1018

3. Penetapan pedoman, standar dan kriteria pengelolaan energi dan ketenagalistrikan.

3.

3.

4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Jaringan Transmisi Nasional (JTN).

4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) regional.

4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) kabupaten/kota.

5. Pemberian izin usaha ketenagalistrikan yang dilakukan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK).

5.

5.

6. Pemberian Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum (IUKU) yang sarana maupun energi listriknya lintas provinsi dan usaha penyediaan tenaga listrik yang terhubung ke dalam JTN.

6. Pemberian IUKU yang sarana maupun energi listriknya lintas kabupaten/kota.

6. Pemberian IUKU yang sarana maupun energi listriknya dalam kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pedoman, standar dan kriteria pengelolaan energi dan ketenagalistrikan

Peraturan Menteri ESDM No. 0030 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

Peraturan Menteri ESDM No.26 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penetapan Daerah Usaha Bagi Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Menteri ESDM No.26 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penetapan Daerah Usaha Bagi Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum

1019

7. Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen PKUK dan pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh pemerintah.

7. Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh provinsi.

7. Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh kabupaten/kota.

8. Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada PKUK dan pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.

8. Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh provinsi.

8. Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh kabupaten/kota.

9. Pemberian Izin Usaha penyediaan tenaga listrik untuk Kepentingan Sendiri (IUKS) yang sarana instalasinya mencakup lintas provinsi.

9. Pemberian IUKS yang sarana instalasinya mencakup lintas kabupaten/kota.

9. Pemberian IUKS yang sarana instalasinya dalam kabupaten/kota.

10. Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada PKUK dan pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.

10. Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh provinsi.

10. Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Peraturan Menteri ESDM No.33 Tahun 2008

Peraturan Menteri ESDM No.33 Tahun 2008

Peraturan Menteri ESDM No. 05 Tahun 2010 Tentang Pendelegasian Wewenang pemberian Izin Usaha di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Peraturan Menteri ESDM No. 004 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 001 Tahun 2006 Tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik dan/atau Sewa Menyewa Jaringan Dalam Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum

1020

11. Pemberian izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha asing/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal asing.

11.

11. Pemberian izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha dalam negeri/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal dalam negeri.

12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan sertifikasi bidang ketenagalistrikan dan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.

12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya diberikan oleh provinsi.

12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya diberikan oleh kabupaten/kota.

13. Penetapan kebijakan dan penyediaan listrik pedesaan secara nasional.

13. Koordinasi dan penyediaan listrik pedesaan pada wilayah regional.

13. Penyediaan listrik pedesaan di wilayah kabupaten/kota.

14. Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional.

14. Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.

14. Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

permen ESDM No.45 tahun 2005

permen ESDM No.45 tahun 2005 tentang instalasi ketenagalistrikan

Peraturan Menteri ESDM No. 04 Tahun 2009 Tentang Aturan Distribusi Tenaga Listrik

Keputusan Menteri ESDM No.0075 K/30/MEM/ 2004.

1021

4. Minyak dan Gas Bumi

1. Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas)

15. Penetapan pedoman, standar dan kriteria penerangan jalan umum. 1. Penetapan mekanisme penyampaian laporan produksi penghitungan (lifting) bagian daerah.

15.

15.

1. Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah.

1. Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah.

2. Penetapan wilayah kerja kontrak kerja sama bidang minyak dan gas bumi.

2. Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan migas pada lintas kabupaten/kota.

2. Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan migas pada wilayah kabupaten/kota.

3. Penetapan standar dan norma untuk izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan.

3.

3. Pemberian izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan di sub sektor migas.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang Penetapan mekanisme penyampaian laporan produksi penghitungan (lifting) bagian daerah

Peraturan menteri ESDM No. 03 Tahun 2008 Tentang Pedoman dan Tata Cara Pengembalian Bagian Wilayah Kerja Yang Tidak Dimanfaatkan Oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Dalam Rangka Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi

NSPK tentang Pemberian izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan di sub sektor migas.

1022

2. Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi

1. Pemberian izin usaha pada kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi, yang terdiri dari kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga.

1. Pengawasan jumlah armada pengangkut Bahan Bakar Minyak (BBM) di daerah provinsi yang meliputi jumlah armada dan kapasitas pengangkutan BBM.

1.

2.

2. Inventarisasi jumlah badan usaha kegiatan hilir yang beroperasi di daerah provinsi. 3. Penetapan harga bahan bakar minyak jenis minyak tanah pada tingkat konsumen rumah tangga dan usaha kecil.

2.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang kabupaten/kota

Peraturan Menteri ESDM No. 0007 Tahun 2005 Tentang Persyaratan dan Pedoman Pelaksanaan Izin Usaha Dalam Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi

3.

3.

4.

4. Pengawasan pencantuman Nomor Pelumas Terdaftar (NPT) pada pelumas yang beredar di pasaran sesuai peraturan perundangundangan.

4.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang kabupaten/kota

NSPK tentang Penetapan harga bahan bakar minyak jenis minyak tanah pada tingkat konsumen rumah tangga dan usaha keci

1023

5.

5. Koordinasi pengawasan pengendalian pendistribusian dan tata niaga bahan bakar minyak dari agen dan pangkalan dan sampai konsumen di wilayah provinsi.

5. Pengawasan pengendalian pendistribusian dan tata niaga bahan bakar minyak dari agen dan pangkalan dan sampai konsumen akhir di wilayah kabupaten/kota.

6.a. Pengaturan dan pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

6.a. Pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM lintas kabupaten/kota. b.

6.a. Pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM di wilayah kabupaten/kota. b.Pemberian rekomendasi lokasi pendirian kilang dan tempat penyimpanan migas.

b.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

1 PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 26 TAW 2009 TENTANG PENYEDIAAN DAN PENDlSTRlBUSlAN LIQUEFIED PETROLEUM GAS

NSPK tentang Pengaturan dan pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

1 KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1454 K/30/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN TUGAS PEMERINTAHAN DI BIDANG MINYAK DAN GAS BUMI MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

1024

c.

c.

c. Pemberian izin lokasi pendirian Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU).

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1 KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1454 K/30/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN TUGAS PEMERINTAHAN DI BIDANG MINYAK DAN GAS BUMI MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NSPK tentang Pemberian rekomendasi Pembelian dan Penggunaan (P2) dan Pemilikan Penguasaan dan Penyimpanan (P3) bahan peledak untuk kegiatan migas

3. Kegiatan Usaha Jasa Penunjang Minyak dan Gas Bumi

1. Pemberian rekomendasi Pembelian dan Penggunaan (P2) dan Pemilikan Penguasaan dan Penyimpanan (P3) bahan peledak untuk kegiatan migas.

1. Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. 2. Pengawasan terhadap kegiatan usaha perusahaan jasa penunjang minyak dan gas bumi untuk bidang usaha jasa penyediaan komoditi dan jasa boga dan bidang usaha jasa penyediaan material dan peralatan termasuk pelayanan purna jual yang berdomisili di prov

1. Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

2. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha penunjang migas.

2.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha penunjang migas.

1025

3. Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional.

3. Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.

3. Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.

5. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat)

1. Penetapan pedoman dan standar penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral. 2. Penetapan pedoman akreditasi bagi lembaga diklat penyelenggara diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.

1.

1.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

NSPK tentang Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional.

2. Pengusulan lembaga diklat provinsi agar terakreditasi sebagai penyelenggara pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.

2.

3. Penetapan standar kurikulum berbasis kompetensi diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.

3.

3.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

NSPK tentang Penetapan pedoman akreditasi bagi lembaga diklat penyelenggara diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.

1026

4. Fasilitasi penyelenggaraan assessment me lalui lembaga assessment Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dinas daerah provinsi/kabupate n/ kota. 5. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis untuk kepala dinas provinsi dan kabupaten/kota yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.

4. Penyertaan dan atau memfasilitasi penyelenggaraan assessment bekerjasama dengan lembaga assessment DESDM.

4. Penyertaan dan atau me mfasilitasi penyelenggaraan assessment bekerjasama dengan lembaga assessment DESDM.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang Fasilitasi penyelenggaraan assessment me lalui lembaga assessment Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dinas daerah provinsi/kabupate n/ kota.

5. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis untuk kepala sub dinas kabupaten/kota dan kepala seksi dinas kabupaten/kota yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral setelah lembaga diklat terakreditasi. 6. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis sektor energi dan sumber daya mineral bagi perangkat daerah yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral berdasarkan pedoman dan standar penyelenggaraan, kurikulum/silabus dan lembaga diklat t

5.

1 PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 2 7 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENDlDlKAN DAN PELATIHAN TERSTRUKTU

6. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis sektor energi dan sumber daya mineral bagi perangkat daerah yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.

6.

1 PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 2 7 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENDlDlKAN DAN PELATIHAN TERSTRUKTU

1027

7. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional tertentu untuk pengangkatan pertama kali dan jenjang madya inspektur tambang/ minyak dan gas bumi/ ketenagalistrikan/ penyelidik bumi.

7. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional tertentu untuk pengangkatan pertama kali dan jenjang muda inspektur tambang/ minyak dan gas bumi/ ketenagalistrikan/ penyelidik bumi berdasarkan pedoman dan standar penyelenggaraan, kurikulum/s

7.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

1 PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 2 7 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENDlDlKAN DAN PELATIHAN TERSTRUKTU

8. Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

8. Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup provinsi dan kabupaten/kota.

8.

9. Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala nasional.

9. Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala provinsi.

9. Penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

NSPK tentang Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala nasional.

1028

10. Pembinaan dan pemantauan dan evaluasi lembaga diklat daerah dalam penyelenggaraan diklat sektor ESDM.

10.

10.

TOTAL DEMAND

71

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. TOTAL SUPPLY

NSPK tentang Pembinaan dan pemantauan dan evaluasi lembaga diklat daerah dalam penyelenggaraan diklat sektor ESDM.

20

50

29. BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN


PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KO TA 1. Pelaksanaan kebijakan KEBUTUH AN NSPK (Y=YA; T=TIDAK Y 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut nasional, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan landas kontinen serta sumberdaya alam yang ada di bawahnya meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, dan pengawasan. 1. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan provinsi. T Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

Keterangan
KETERANGAN

SUB BIDANG

SUB SUB BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI

Status NSPK S1 S2 S3

NSPK tentang kebijakan dan strategi pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah Republik indonesia

1029

2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil termasuk sumberdaya alam yang ada di dalamnya.

2. Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut di wilayah laut kewenangan provinsi. 3. Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil termasuk sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan provinsi.

2. Pelaksanaan penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil termasuk sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEP. 34/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil PER. 16/MEN/2008 tentang Perencaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; PER. 18/MEN/2008 tentang Akreditasi Terhadap Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KEP. 02/MEN/2002 tantang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Penangkapan Ikan

4. Penetapan kebijakan, norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut nasional, ZEEI dan landas kontinen.

4. Pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut kewenangan provinsi dan pemberian informasi apabila terjadi pelanggaran di luar batas kewenangan provinsi.

4. Pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota dan pemberian informasi apabila terjadi pelanggaran di luar batas kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan terpadu sumberdaya laut antar daerah.

5. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi.

5. Koordinasi pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut di wilayah kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

PER.18/MEN/2007 tantang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut

1030

6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan terpadu pengelolaan dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya.dan pemanfaatan wilayah laut

6. Pelaksanaan kebijakan perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut kewenangan provinsi.

6. Pelaksanaan dan koordinasi perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut. 1

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan masyarakat pesisir.

7. Pelaksanaan kebijakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi.

7. Pemberdayaan masyarakat pesisir di wilayah kewenangan kabupaten/kota. 1

KEP. 12/MEN/2002 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Tahap Kedua; PER. 06/MEN/2005 tentang Penggantian Bentuk dan Format Perizinan Usaha Penangkapan Ikan PER. 07/MEN/2008 tentang Bantan Sosial Pemberdayaan masyarakat Pesisir dan Pembudidaya Ikan

8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyerasian riset kelautan meliputi riset, survei dan eksplorasi sumberdaya hayati dan non hayati, teknologi dan pengembangan jasa kelautan.

8. Pelaksanaan dan koordinasi penyerasian riset kelautan di wilayah kewenangan laut provinsi dalam rangka pengembangan jasa kelautan.

8. Pelaksanaan sistem perencanaan dan pemetaan serta riset potensi sumberdaya dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah kewenangan kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan koordinasi pengawasan dan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam berdasarkan wilayah kewenangannya dengan pemerintah dan provinsi.

PER. 22/MEN/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Loka Riset Kerentanan Pesisir dan Laut

9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam kelautan termasuk benda berharga dari kapal tenggelam.

9. Pelaksanaan pengawasan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam berdasarkan wilayah kewenangannya dengan pemerintah dan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam kelautan termasuk

1031

benda berharga dari kapal tenggelam

10.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam hayati dan perairan laut.

10. Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan provinsi.

10. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

11.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kapasitas kelembagaan dan Sumberdaya Manusia (SDM) bidang kelautan dan perikanan.

11. Pelaksanaan kebijakan peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM di bidang kelautan dan perikanan.

11. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM di bidang kelautan dan perikanan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 19/MEN/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional; PER. 17/MEN/2008 Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; PER. 02/MEN/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan PER. 09/MEN/2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan; KEP. 152/MEN/VIII/2010 tentang Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Kelautan dan Perikanan Bidang Penyuluhan Perikanan Menjadi Standar

1032

kompetensi Kerja Nasional Indonesia

12.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut.

12. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut dalam kewenangan provinsi.

12. Pelaksanaan kebijakan reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut dalam kewenangan kabupaten/kota. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

13. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria batas-batas wilayah maritim yang meliputi batas-batas wilayah laut pengelolaan daerah dan batas-batas wilayah laut antar negara.

13. Pelaksanaan koordinasi dalam hal pengaturan batas-batas wilayah maritim yang berbatasan dengan wilayah antar negara di perairan laut dalam kewenangan provinsi.

13. Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama dengan daerah lain terutama dengan wilayah yang berbatasan dalam rangka pengelolaan laut terpadu.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

PER. 16/MEN/2008 tentang Perencaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; PER. 17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; PER. 22/MEN/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Loka Riset Kerentanan Pesisir dan Laut PER. 16/MEN/2008 tentang Perencaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

1033

14. Pengesahan pemberlakuan perjanjian internasional di bidang kelautan. 15. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembudidayaan ikan dan perlindungannya. 16. Pengharmonisasian peraturan pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut.

14.

14. 1

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

15. Pelaksanaan dan koordinasi pemetaan potensi sumberdaya kelautan di wilayah perairan laut kewenangan provinsi. 16. Pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisasian pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut kewenangan provinsi.

15. Pelaksanaan pemetaan potensi sumberdaya kelautan di wilayah perairan laut kewenangan kabupaten/kota. 16. Pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisasian pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut kewenangan kabupaten/kota.

KEP. 02/MEN/2007 tentang Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan Pada Pembudidayaan Ikan PER. 16/MEN/2008 tentang Perencaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

17. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan wilayah laut di luar 12 (dua belas) mil.

17. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut di dalam kewenangan provinsi.

17. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut di dalam kewenangan kabupaten/kota.

PER. 08/MEN/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Jaring Insang (Gill Net) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia PER. 06/MEN/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara

18. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.

18. Pelaksanaan dan koordinasi pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.

18. Pelaksanaan pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.

1034

19. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya.

19. Pelaksanaan kebijakan rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya antar kabupaten/kota di wilayah laut provinsi.

19. Pelaksanaan koordinasi antar kabupaten/kota dalam hal pelaksanaan rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya. 20. Pelaksanaan penetapan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap; PER. 12/MEN/2010 tentang Minapolitan; KEP. 02/MEN/2007 tentang Cara Budidaya Ikan Yang Baik

20. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia. 21. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria jenis ikan yang dilindungi.

20. Pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia. 21. Pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis ikan yang dilindungi.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. 1

21. Pelaksanaan perlindungan jenis ikan yang dilindungi.

22. Pelaksanaan mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut.

22. Pelaksanaan dan koordinasi mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut di wilayah laut kewenangan provinsi

22. Pelaksanaan mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 03/MEN/2010 Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan PER. 17/MEN/2008 Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; PER. 22/MEN/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Loka Riset Kerentanan Pesisir dan Laut PER. 11/MEN/2008 tentang pedoman pelaksanaan barang/jasa pemerintah di lingkungan departemen kelautan dan perikanan

23. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman.

23. Pelaksanaan koordinasi pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman di wilayah laut kewenangan provinsi.

23. Pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1035

24. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi.

24. Pelaksanaan koordinasi pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi di wilayah laut kewenangan provinsi.

24. Pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 19/MEN/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional; KEP. 63/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Aru Bagian Tenggara dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Maluku; KEP. 65/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Waigeo Sebelah Barat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat; KEP. 67/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat; KEP. 69/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Banda di Prvinsi Maluku; KEP 70/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya

1036

di Provinsi Sumatera Barat

25. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya.

25. Pelaksanaan koordinasi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya di wilayah provinsi.

25. Pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya
KEP. 15/MEN/2006 tentang Pedoman Umum Identifikasi Data Tata Ruang Laut, Pesisir, dan PulauPulau Kecil PER. 02/MEN/2009 Tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan

26. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyusunan zonasi dan tata ruang perairan di wilayah laut nasional. 27. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah laut nasional.

26. Pelaksanaan dan koordinasi penyusunan zonasi dan tata ruang perairan dalam wilayah kewenangan provinsi.

27. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah kewenangan provinsi.

26. Pelaksanaan dan koordinasi penyusunan zonasi dan tata ruang perairan dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota. 27. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1037

28. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian tata ruang laut nasional. 29. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan di perairan laut nasional dan ZEEI.

28. Perencanaan, pemanfaatan pengawasan dan pengendalian tata ruang laut wilayah kewenangan provinsi.

28. Perencanaan, pemanfaatan pengawasan dan pengendalian tata ruang laut wilayah kewenangan kabupaten/kota. 29. Pelaksanaan pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

KEP. 15/MEN/2006 Tentang Pedoman Umum Identifikasi Data Tata Ruang Laut, Pesisir, dan PulauPulau Kecil PER. 19/MEN/2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional

29. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan kewenangan provinsi.

30. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi sumberdaya pesisir, pulau-pulau kecil dan laut.

30. Rehabilitasi sumberdaya pesisir, pulau-pulau kecil dan laut di wilayah kewenangan provinsi.

30. Rehabilitasi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengalami kerusakan (kawasan mangrove, lamun dan terumbu karang).

PER. 17/MEN/2008 Tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

2. Umum

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria dan pelaksanaan perkarantinaan ikan domestik dan internasional.

1.

1.

1038

2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan skala nasional.

2. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan provinsi.

2. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEP. 25/MEN/2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyrakat Mandiri Kelautan dan Perikanan; KEP. 36/MEN/SJ/2009 Tentang Pedoman Teknis Program Nasional Pemberdayaan Mandiri Kelautan dan Perikanan; KEP. 39/MEN/2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan Tahun 2010; KEP. 152/MEN/VII/2010 Tentang Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Kelautan dan Perikanan Bidang Penyuluhan Perikanan Menjadi Standar kompetensi Kerja Nasional Indonesia

1039

3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan. 4. Perencanaan pembangunan perikanan skala nasional.

3. Koordinasi penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan skala provinsi.

3. Koordinasi penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan skala kabupaten/kota. 4. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perikanan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEP. 08/MEN/2002 entang Pembangunan dan Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Departemen Kelautan dan Perikanan KEP. 18/MEN/2002 Tentang Pembangunan dan Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Departemen Kelautan dan Perikanan; KEP. 22/MEN/2002 Tentang Penyusunan Rencana dan Program Pembangunan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan PER. 01/MEN/2007 Tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan; KEP 79/MEN/2009 Tentang Pelepasan Varietas Ikan Nila Larasati Sebagai Benih Bermutu PER. 12/MEN/2007 Perizinan Usaha Pembudidayaan Ikan

4. Perencanaan pembangunan perikanan skala provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan dan fasilitasi teknis.

5. Bimbingan teknis pelaksanaan standarisasi, akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan.

5. Pelaksanaan teknis standarisasi, akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

6. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pola kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan.

6. Bimbingan teknis kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan antar kabupaten/kota.

6. Pelaksanaan kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan dalam wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1040

7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan.

7. Penyusunan zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan dalam wilayah provinsi.

7. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan penyusunan zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan dalam wilayah kabupaten/kota. 8. Penyusunan rencana dan pelaksanaan kerjasama internasional bidang perikanan skala kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan sistem informasi perikanan di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 02/MEN/2009 Tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan

8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pelaksanaan kerjasama internasional di bidang perikanan skala nasional. 9. Pengembangan sistem, pengumpulan, analisis, penyajian dan penyebaran data informasi statistik perikanan.

8. Penyusunan rencana dan pelaksanaan kerjasama internasional bidang perikanan skala provinsi.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

10. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan.

9. Bimbingan dan pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data dan informasi bidang perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi. 10. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

10. Pelaksanaan bimbingan teknis dalam peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan di wilayah kewenangan kabupaten/kota. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEP. 08/MEN/2002 Tentang Pembangunan dan Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Departemen Kelautan dan Perikanan PER. 09/MEN/2009 tentang PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR KEP.04/MEN/2003 TENTANG PERSYARATAN PENGELUARAN NENER (BENIH BANDENG) DARI WILAYAH REPUBLIK INDONESIA

1041

11. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

11. Koordinasi pelaksanaan kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil.

11. Pelaksanaan kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

12. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan. 13. Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.

12. Koordinasi pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan kewenangan provinsi. 13. Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.

12. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan kabupaten/kota. 13. Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 16/MEN/2008 tentang Perencaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; PER. 17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil PER. 22/MEN/2009 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Loka Riset Kerentanan Pesisir dan Laut PER. 09/MEN/2008 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan; PER. 22/MEN/2009 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Loka Riset Kerentanan Pesisir dan Laut PER. 16/MEN/ 2008 tentang Perencaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

3. Perikanan Tangkap

1. Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut di luar 12 mil.

1. Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi.

1. Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. 1

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

1042

2. Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB).

2. Koordinasi dan pelaksanaan estimasi stok ikan di wilayah perairan kewenangan provinsi.

2. Koordinasi dan pelaksanaan estimasi stok ikan di wilayah perairan kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar provinsi.

3. Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar kabupaten/kota.

3.

4. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan. 5. Pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan nasional termasuk ZEEI dan landas kontinen.

4. Pelaksanaan dan koordinasi perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan kewenangan provinsi. 5. Dukungan pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan wilayah kewenangan provinsi.

4. Pelaksanaan dan koordinasi perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan kewenangan kabupaten/kota. 5. Dukungan pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan wilayah kewenangan kabupaten/kota. 6. Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan sampai dengan 10 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEP. 03/MEN/2002 Tentang Log Book Penangkapan dan Pengangkutan Ikan; KEP. 12/MEN/2002 Tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Tahap Kedua NSPK tentang pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar provinsi. PER. 03/MEN/2010 Tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan NSPK tentang pemetaan kondisi kelautan dan perikanan di wilayah Republik Indonesia

6. Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 30 GT dan di bawah 30 GT yang menggunakan tenaga kerja asing.

6. Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat

KEP. 12/MEN/2002 Tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Tahap Kedua; PER. 06/MEN/2005 Tentang Penggantian Bentuk dan Format Perizinan Usaha Penangkapan

1043

daerah.

Ikan

7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan pemerintah.

7. Penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan provinsi.

7. Penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan kabupaten/kota.

8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria usaha perikanan tangkap.

8. Pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam wilayah kewenangan provinsi.

8. Pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

PER. 12/MEN/2007 Perizinan Usaha Pembudidayaan Ikan

PER. 05/MEN/2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap; PER. 28/MEN/2009 Tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan

1044

9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan nelayan kecil.

9. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil.

9. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

10. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap.

10. Pelaksanaan kebijakan peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap kewenangan provinsi.

10. Pelaksanaan kebijakan peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

11. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap.

11. Pelaksanaan kebijakan sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap kewenangan provinsi.

11. Pelaksanaan kebijakan sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEP. 38/MEN/2002 Tentang Pembentukan Tim Penghibahan Kapal Perikanan Kepada Nelayan; KEP. 41/MEN/2002 Tentang Penyelenggaraan Lomba Kelompok Pembudidaya Ikan dan Nelayan, Kinerja Pengkalan Pendaratan Ikan/Pelabuhan Perikanan, Balai Benih Ikan Sentral/Balai Benih Udang, dan Perekayasa Pada UPT. Lingkup Departemen Kelautan dan Perikanan PER. 09/MEN/2008 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan PER. 05/MEN/2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap

1045

12.a. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan. b.

12.a. Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan kewenangan provinsi. b.

12.a.Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan kewenangan kabupaten/kota. b. Pengelolaan dan penyelenggaraan pelelangan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI).

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

PER. 16/MEN/2006 Tentang Pelabuhan Perikanan; PER. 06/MEN/2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan

13. Pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain. 14. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria operasional dan penempatan Syahbandar di pelabuhan perikanan.

13. Dukungan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain. 14.

13. Dukungan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain. 14.

15. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan kapal perikanan.

15. Pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan.

15. Pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEP. 19/MEN/2006 Tentang Pengangkatan Syahbandar di Pelabuhan Perikanan

NSPK tentang Pedoman Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan kapal perikanan.

1046

16. Pelaksanaan pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT.

16. Pendaftaran kapal perikanan di atas 10 GT sampai dengan 30 GT.

16. Pendaftaran kapal perikanan sampai dengan 10 GT.

17. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembuatan alat penangkapan ikan.

17. Pelaksanaan kebijakan pembuatan alat penangkap ikan.

17. Pelaksanaan kebijakan pembuatan alat penangkap ikan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Pedoman pendaftaran kapal perikanan

PER. 05/MEN/2007 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: KEP. 40/MEN/2002 Tentang Penetapan Pulau Jawa dan Pulau Bali Sebagai Daerah Terjangkit Penyakit Koi Herves Virus Pada Ikan Mas dan Koi

18. Pemberian persetujuan pengadaan, pembangunan dan pemasukan kapal perikanan dari luar negeri (impor). 19. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria produktivitas kapal penangkap ikan.

18.

18.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

19. Dukungan dalam penetapan kebijakan produktivitas kapal penangkap ikan.

19. Dukungan dalam penetapan kebijakan produktivitas kapal penangkap ikan. 1

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pedomanPenetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria produktivitas kapal penangkap ikan.

1047

20. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.

20. Pelaksanaan kebijakan penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.

20. Pelaksanaan kebijakan penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan. 1

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

21. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemeriksaan fisik kapal perikanan serta pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan berukuran di atas 30 GT. 22. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan.

21. Pelaksanaan kebijakan pemeriksaaan fisik kapal perikanan berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT.

21. Pelaksanaan kebijakan pemeriksaan fisik kapal perikanan berukuran sampai dengan 10 GT.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 05/MEN/2007 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: KEP. 40/MEN/2002 Tentang Penetapan Pulau Jawa dan Pulau Bali Sebagai Daerah Terjangkit Penyakit Koi Herves Virus Pada Ikan Mas dan Koi NSPK tentang Pedoman pendaftaran kapal perikanan

22. Pelaksanaan kebijakan dan standarisasi kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan yang menjadi kewenangan provinsi.

22. Pelaksanaan kebijakan dan standarisasi kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 03/MEN/2007 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan; PER. 06/MEN/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara; PER. 08/MEN/2008 tentang Alat Penangkapan Ikan Jaring Insang (Gill Net) di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia)

1048

23. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut nasional. 24. Rekayasa dan teknologi penangkapan ikan.

23. Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut kewenangan provinsi.

23. Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut kewenangan kabupaten/kota. 24. Dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan ikan. 1. Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang pedoman Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut nasional.

24. Dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan ikan. 1. Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan.

4. Perikanan Budidaya

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria dan pelaksanaan perkarantinaan ikan domestik dan internasional.

2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut. 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria mutu benih/induk ikan.

2. Pelaksanaan kebijakan produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut.

2. Pelaksanaan kebijakan produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut. 3. Pelaksanaan kebijakan mutu benih/induk ikan.

3. Pelaksanaan kebijakan mutu benih/induk ikan.

4. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.

4. Pelaksanaan kebijakan, pembangunan dan pengelolaan balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.

4. Pelaksanaan kebijakan, pembangunan dan pengelolaan balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 02/MEN/2007 Tentang Cara Budidaya Ikan Yang Baik; PER. 12/MEN/2007 Tentang Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Tingkat Eseslon I di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan KEP. 79/MEN/2009 Tentang Pelepasan Varietas Ikan Nila Larasati Sebagai Benih Bermutu
NSPK tentang Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria mutu benih/induk ikan.

NSPK tentang Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria mutu benih/induk ikan.

1049

5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengadaan, penggunaan dan ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan.peredaran serta pengawasan obat

5. Pelaksanaan kebijakan pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan.

5. Pelaksanaan kebijakan pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan.

6. Pelaksanaan kebijakan akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan.

6. Pelaksanaan kebijakan akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan. 8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan. 9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.

7. Pelaksanaan kebijakan pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan.

7. Pelaksanaan kebijakan pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan. 8. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan. 9. Pelaksanaan kebijakan rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.

8. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan.

PER. 2/MEN/2007 Tentang Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan Pada Pembudidayaan Ikan; PER. 15/MEN/2007 Tentang Persyaratan dan tata Cara Penerbitan Izin Usaha Obat Ikan NSPK tentang Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan KEP. 02/MEN/2007 tentang Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan Pada Pembudidayaan Ikan KEP. 09/MEN/2002 Tentang Intensifikasi Pembudidaya Ikan

9. Pelaksanaan kebijakan rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.

NSPK tentang Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.

1050

10. Penetapan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan.

10. Pelaksanaan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan.

10. Pelaksanaan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

11. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan.

11. Pelaksanaan teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan.

11. Pelaksanaan teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan. 1

KEP. 02/MEN/2007 tentang Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan Pada Pembudidayaan Ikan KEP. 77/MEN/2009 Tentang Pelepasan Varietas Ikan Nila Best Sebagai Galur Unggul Induk Ikan Nila; KEP. 79/MEN/2009 Tentang Pelepasan Varietas Ikan Nila Larasati Sebagai Benih Bermutu
NSPK tentang Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam

12. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam. 13. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan usaha perikanan serta penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP) di bidang pembudidayaan ikan menggunakan tenaga kerja asing.

12. Pelaksanaan teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.

12. Pelaksanaan teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

13. Pelaksanaan kebijakan perizinan dan penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di wilayah provinsi.

13. Pelaksanaan kebijakan perizinan dan penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di wilayah kabupaten/kota.

PER. 12/MEN/2007; Tentang Perizinan Usaha Pembudidayaan Ikan

1051

14. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan.

14. Pelaksanaan kebijakan pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan.

14. Pelaksanaan kebijakan pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan.

15. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembudidayaan ikan dan perlindungannya. 16. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.

15. Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan dan perlindungannya.

15. Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan dan perlindungannya

16. Pelaksanaan kebijakan pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.

16. Pelaksanaan kebijakan pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 09/MEN/2007 Tentang Ketentuan Pemasukan Media Pembawa Berupa Ikan Hidup Sebagai Barang Bawaan ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia PER. 03/MEN/2010 Tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan NSPK tentang Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan KEP. 33/MEN/2007 Tentang Penetapan Jenis-Jenis Penyakit Ikan Yang Berpotensi Menjadi Wabah Penyakit Ikan; KEP. 03/MEN/2010

17. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.

17. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.

17. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1052

18. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sistem informasi benih ikan.

18. Koordinasi dan pelaksanaan sistem informasi benih ikan lintas kabupaten/kota.

18. Pelaksanaan sistem informasi benih ikan di wilayah kabupaten/kota.

19. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknologi pembudidayaan ikan.

19. Koordinasi dan pelaksanaan teknologi pembudidayaan ikan.

19. Pelaksanaan teknologi pembudidayaan ikan spesifik lokasi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang pedoman Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sistem informasi benih ikan

20. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan. 21. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan. 22. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria keramba jaring apung.

20. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan.

20. Pemberian bimbingan, pemantauan dan pemeriksaan higienitas dan sanitasi lingkungan pembudidayaan ikan.usaha 21. Pembinaan dan pengembangan kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan. 22. Pelaksanaan kebijakan keramba jaring apung di perairan umum dan wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.

PER. 02/MEN/2007 Tentang Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan Pada Pembudidayaan Ikan PER. 02/MEN/2007 Tentang Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan Pada Pembudidayaan Ikan PER. 12/MEN/2007 Tentang Perizinan Usaha Pembudidayaan Ikan
NSPK tentang Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria keramba jaring apung

21. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan.

22. Pelaksanaan kebijakan keramba jaring apung di perairan umum lintas kabupaten/kota dan wilayah laut kewenangan provinsi.

1053

5. Pengawasan dan Pengadilan

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan dan perlindungan plasma nutfah perikanan.

1. Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan plasma nutfah perikanan.

1Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan plasma nutfah perikanan.

2. Pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan dan sistem pengendalian hama dan penyakit ikan. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan dan sistem pengendalian hama dan penyakit ikan.

2. Pengawasan perbenihan, pembudidayaa n ikan dan sistem pengendalian hama dan penyakit ikan.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

KEP. 02/MEN/2002 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Penangkapan Ikan

KEP. 02/MEN/2007 Tentang Cara Budidaya Ikan Yang Baik; PER. 13/MEN/2007 Tentang Sistem Pemantauan Hama dan Penyakit Ikan Karantina; PER. 20/MEN/2007 Tentang Tindakan Karantina Untuk Pemasukan Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina Dari Luar Negeri dan Dari Suatu Area ke Area Lain di Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia; KEP. 03/MEN/2010 Tentang Penetapan Jenis-Jenis Hama dan Penyakit Ikan Karantina, Golongan, Media Pembawa, dan Sebarannya

1054

3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan. 4. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya.
5. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan Penerapan Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) atau Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) di unit pengolahan hasil perikanan 6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan mutu ekspor hasil perikanan.

3. Pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan.

3. Pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan

4. Pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya.

4. Pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya.

NSPK tentang penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya

5. Pengawasan PMMT atau HACCP di unit pengolahan hasil perikanan.

5. Pengawasan PMMT atau HACCP di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan.

PER. 01/MEN/2007 Tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan

6. Pengawasan mutu ekspor hasil perikanan.

6. Pemantauan mutu ekspor hasil perikanan. 1

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan mutu ekspor hasil perikanan

1055

7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulaupulau kecil.

7. Koordinasi pelaksanaan pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulaupulau kecil di wilayah kewenangan provinsi.

7. Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau- pulau kecil di wilayah kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut

8. Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan provinsi.

8. Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 20/MEN/2008 tentang pemanfaatan pulaupulau kecil dan perairan di 1 sekitarnya; PER. 16/MEN/2008 Tentang Perencaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil PER. 29/MEN/2009 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kelautan dan Perikanan Tahun 2010; PER. 03/MEN/2009 Tentang 1 Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pimpinan dan Pendidik pada Lembaga Pendidikan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan

1056

6. Pengolahan dan Pemasaran

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya.

1. Pelaksanaan kebijakan pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya.

1. Pelaksanaan kebijakan pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya.

2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan dan pengelolaan pusat pemasaran ikan.

2. Pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan pusat pemasaran ikan.

2. Pembangunan, perawatan dan pengelolaan pasar ikan. 1

3.a. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi pengawasan mutu dan pengolahan hasil perikanan.

3.a. Pelaksanaan kebijakan penerbitan sertifikat kesehatan dan/atau sertifikat mutu terhadap produk perikanan dalam rangka jaminan mutu dan jaminan pangan.

3.a.

b.Pembinaan pengujian mutu secara laboratoris terhadap produk hasil perikanan.

b.Pelaksanaan pengujian mutu secara laboratoris terhadap produk hasil perikanan.

b.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

NSPK tentang Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan dan pengelolaan pusat pemasaran ikan.

NSPK tentang Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi pengawasan mutu dan pengolahan hasil perikanan

PER. 01/MEN/2007 Tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan

1057

4. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP. 5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan dan pengelolaan laboratorium pengujian dan pengolahan mutu hasil perikanan.

4. Pelaksanaan kebijakan pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP.

4. Pelaksanaan pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP.

5. Pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan laboratorium pengujian dan pengolahan mutu hasil perikanan.

6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup. 7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan.

6. Bimbingan pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup.

7. Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan.

6. Pelaksanaan kebijakan pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup.bahan berbahaya lainnya 7. Pelaksanaan kebijakan investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 01/MEN/2007 Tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan

PER. 01/MEN/2007 Tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan

PER. 02/MEN/2007 Tentang Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan Pada Pembudidayaan Ikan

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

PER. 05/MEN/2007 tentang penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan

1058

8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.

8. Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di provinsi.

8. Pelaksanaan kebijakan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di kabupaten/kota.

7. Penyuluhan dan Pe ndidikan

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan di bidang kelautan dan perikanan. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyuluhan kelautan dan perikanan.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan serta penyelenggaraan diklat fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan bidang kelautan dan perikanan di provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan serta penyelenggaraan diklat fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan bidang kelautan dan perikanan di kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan penyuluhan kelautan dan perikanan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

PER. 18/MEN/2006 Tentang Skala Usaha Pengolahan Hasil Perikanan

PER. 09/MEN/2008 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan KEP. 152/MEN/VIII/2010 Tentang Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Kelautan dan Perikanan Bidang Penyuluhan Perikanan Menjadi Standar kompetensi Kerja Nasional Indonesia PER. 09/MEN/2008 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan di Lingkungan Departemen Kelautan

2. Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan penyuluhan kelautan dan perikanan di provinsi.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan.

3. Pelaksanaan kebijakan akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan di provinsi.

3. Pelaksanaan kebijakan akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1059

dan Perikanan

TOTAL DE MAND

101

TOTAL SUPPLY

23

52

26

30. BIDANG PERDAGANGAN


PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Pe mbinaan dan pengawasan dalam pelaksanaan pemberian izin usaha perdagangan. PEMERINTAH AN DAERAH KABUPATEN/ KOTA 1. Pemberian izin usaha perdagangan di wilayah kabupaten/kota. KEBUTUHA N NSPK Y T

STATUS NSPK
KETERANGAN Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KETERANGAN

SUB BIDANG 1. Perdagangan Dalam Negeri

SUB SUB BIDANG

PEMERINTAH 1. Penetapan pedoman serta pembinaa n dan pengawasan pemberian izin usaha perdagangan (SIUP).

S1

S2

S3 1 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 01 /PDN/SE/01/2010 tentang percepatan penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP), NSPK ttg SIUP

1060

2. Penetapan pedoman dan fasilitasi serta pemberian izin perdagangan jasa bisnis (survey, broker, properti), jasa distribusi (waralaba, penjua lan langsung, keagenan/distrib utor, perwakilan perusahaan perdagangan asing) dan jasa lainnya di bidang perdagang

2. Pe mbinaan dan pengawasan perdagangan jasa bisnis, jasa distribusi dan jasa lainnya di bidang perdagangan di wilayah provinsi.

2. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin/pendaftaran jasa bisnis dan jasa distribusi di wilayah kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Penetapan pedoman, pembinaa n dan pengawasan, monitoring dan evaluasi, serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala nasional (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Importir, Distributor dan Subdistributor, SIUP Bahan

3. Pe mbinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala provinsi (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Toko Bebas Bea, SIUP Bahan Berbahaya untuk Pengecer dan Rekomendasi SIUP

3. Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala provinsi (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Toko Bebas Bea, SIUP Bahan Berbahaya untuk Pengecer dan Rekomendasi SIUP

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK mengenai Pemberian izin perdagangan. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Tentang Percepatan Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan Untuk Memulai Usaha Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 46/MDAG/PER/9/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 36/MDAG/PER/9/2007 Tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan

1061

4. Penetapan pedoman, pembinaa n Sumber Daya Manusia (SDM), koordinasi, pengendalian, pengawasan penyelenggaraan dan penyajian informasi wajib daftar perusahaan skala nasional.

4. Koordinasi, pengendalian, pengawasan, pelaporan dan penyajian informasi hasil penyelenggaraan wajib daftar perusahaan skala provinsi.

5. Penetapan pedoman, pembinaa n dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta fasilitasi kegiatan perdagangan di wilayah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar.

5. Koordinasi, dukungan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan, fasilitasi, monitoring dan evaluasi kegiatan perdagangan di wilayah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar di provinsi.

4. Pengawasan, pelaporan, pelaksanaan dan penyelenggaraan serta penyajian informasi pelaksanaan wajib daftar perusahaan skala kabupaten/kota. pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala kabupaten 5. Dukungan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan perdagangan di daerah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/MPP/KEP/1/1998 Tentang Penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

1062

6. Penetapan pedoman pembinaa n dan pengawasan, pemberian izin, monitoring, evaluasi; pemberian izin sarana perdagangan (pasar/toko modern) dan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) tertentu skala nasional dan internasio 7. Penetapan pedoman, pembinaa n dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga.

6. Koordinasi, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi sarana perdagangan (pasar/toko modern dan gudang) dan persetujuan penyelenggaraan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) skala nasional.

6. Pembinaan dan pengawasan, pemberian izin dan rekomendasi skala tertentu, monitoring dan evaluasi sarana perdagangan (pasar/toko modern dan gudang) dan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) skala lokal. 7. Penyelenggaraa n, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga di kabupaten/kota. 8. Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 53/MDAG/PER/12/2008 Tanggal 12 Desember 2008 Tentang Pedoman Penataan Dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan Dan Toko Modern , NSPK mengenai pengawasan pasar dan perbelanjaan.

7. Penyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga di provinsi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NA

8. Penetapan pedoman, pembinaa n dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala nasional.

8. Pe mbinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala provinsi.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 43/MDAG/PER/9/2009 Tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, Dan Pengendalian 1063

Minuman Beralkohol, NSPK mengenai komoditas pengawasan barang alkohol

9. Penetapan pedoman dan petunjuk teknis pembinaa n penyelenggaraan perlindungan konsumen.

9. Pe mbinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen di provinsi.

9. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Surat Edaran Keputusan Menteri Perdagangan Nomor : 03/PDN/SE/6/2010 Tentang Publikasi Hasil Pengawasan Oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), NSPK mengenai perlindungan Konsumen. Surat Edaran Keputusan Mennteri Perdagangan Nomor: 40/PDN/SE/02/2010 Tentang Penanganan dan Penyelesaian Sengketa Konsumen, NSPK mengenai perlindungan konsumen.

10.Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen.

10. Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen.

10.Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1064

11.Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala nasional.

11. Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala provinsi.

11.Pe layanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

12.Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen Skala Nasional.

12. Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen skala provinsi.

12.Pe mbinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat , NSPK mengenai perlindungan konsumen.

13.Fasilitasi operasional Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).

13.

13.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

14.Fasilitasi pembentukan Perwakilan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (PBPKN) provinsi.

14. Koordinasi pembentukan dan fasilitasi operasional PBPKN provinsi.

14.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1065

15.Penetapan kebijakan dan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

15. Koordinasi pembentukan BPSK dengan kabupaten/kota di wilayah provinsi.

15.Pe ngusulan pembentukan BPSK di kabupaten/kota kepada pemerintah berkoordinasi dengan provinsi dan fasilitasi operasional BPSK.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, NSPK mengenai perlindungan konsumen.

16.Penetapan kebijakan dan petunjuk teknis pembinaa n Lembaga Pemberdayaan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

16. Koordinasi kegiatan LPKSM dengan kabupaten/kota di wilayah provinsi.

16.Pe ndaftaran dan pengembangan LPKSM.

17.Koordinasi dan kerjasama internasional serta lintas sektoral dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.

17. Koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait skala provinsi dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.

17.Koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait skala kabupaten/kota dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

1066

18.Pengkajian dan evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen.

18. Koordinasi evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen.

18.Evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

19.Penetapan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petu njuk teknis dan atau tatacara pengawasan barang beredar dan jasa.

19. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunj uk teknis pengawasan barang beredar dan jasa.

19.Pe laksanaan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/pet unjuk teknis pengawasan barang beredar dan jasa.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

20.Pembinaan dan pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala nasional

20. Pembinaan dan pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala provinsi.

20.Pe ngawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, NSPK mengenai perlindungan konsumen. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 20/MDAG/PER/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa, NSPK mengenai pengawasan barang beredar. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 20/MDAG/PER/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa, NSPK mengenai pengawasan barang beredar.

1067

21.Koordinasi pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional.

21. Koordinasi pelaksanaan pengawasan barang beredar dan jasa skala provinsi.

21.Koordinasi pelaksanaan pengawasan barang beredar dan jasa skala kabupaten/kota.

22.Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional.

22. Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala provinsi.

22.Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

23.Pembinaan dan pemberdayaan Petugas Pengawas Barang Beredar dan Jasa (PPBJ) skala nasional.

23. Pembinaan dan pemberdayaan PPBJ skala provinsi.

23.Pe mbinaan dan pemberdayaan PPBJ skala kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

24.Pembinaan dan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK) skala nasional.

24. Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-PK skala provinsi.

24.Pe mbinaan dan pemberdayaan PPNS-PK skala kabupaten/kota.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

1068

25.Penetapan dan penyelenggaraan pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala nasional.

25. Koordinasi, penyelenggaraan dan pelaporan pemberian rekomendasi atas pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala provinsi.

26.Pembinaan dan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Wajib Daftar Perusahaan (PPNS- WDP) skala nasional.

26. Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-WDP skala provinsi.

25.Pe nyelenggar aan, pelaporan dan rekomendasi atas pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala kabupaten/kota. 26.Pe mbinaan dan pemberdayaan PPNS- WDP skala kabupaten/ kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

27.Penetapan pedoman dan fasilitasi sistem informasi perdagangan, dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala nasional.

27. Fasilitasi dan pelaporan pelaksanaan sistem informasi perdagangan dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala provinsi.

27.Pe laksanaan dan pelaporan sistem informasi perdagangan dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1069

2. Metrologi Legal

1. Penetapan dan pembinaan sistem metrologi legal.

1. Pembinaan dan pengendalian pembangunan metrologi legal skala provinsi.

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan metrologi legal setelah memperoleh penilaian dari pemerintah yang didasarkan rekomendasi provinsi.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 731/MPP/Kep/10/2002 TENTANG PENGELOLAAN KEMETROLOGIAN DAN PENGELOLAAN LABORATORIUM KEMETROLOGIAN, NSPK mengenai metrologi legal.

2. Pembinaan dan pengembangan SDM metrologi legal.

2. Fasilitasi, koordinasi, penyelenggaraan, pengawasan dan pengendalian SDM metrologi ska la provinsi.

2. Fasilitasi dan pembinaan serta pengendalian SDM metrologi skala kabupaten/kota.

3.a. Pe ngelolaan dan penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal.

3.a. Koordinasi, rekomendasi penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal kabupaten/kota.

3.a. F asilitasi standar ukuran dan laboratorium metrologi legal.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 51/MDAG/PER/10/2009 Tentang Penilaian Terhadap Unit Pelaksana Teknis Dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Metrologi Legal, NSPK mengenai standardisasi metrologi

1070

legal.

b.

c.

b. Pelaksanaan verifikasi standar satuan ukuran milik provinsi dan kabupaten/kota. c. Penyelenggaraan interkomparasi skala provinsi. 4. Koordinasi dan pelaksanaan kegiatan tera dan tera ulang alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP) di wilayah kabupaten/kota. 5. Fasilitasi dan penyelenggaraan kerjasama metrologi legal skala provinsi.

b.

c.

4. Pelaksanaan kegiatan metrologi legal yang memerlukan penanganan khusus.

5. Penyelenggaraan kerjasama internasional metrologi legal.

4. Pelayanan tera dan tera ulang UTTP setelah melalui penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal oleh pemerintah. 5. Fasilitasi penyelenggaraan kerjasama metrologi legal skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

1071

6. Fasilitasi penyuluhan dan pengamatan UTTP, Barang Dalam Kemasan Terbungkus (BDKT) dan Satuan Internasional (SI).

6. Fasilitasi dan penyelenggaraan penyuluhan dan pengamatan UTTP, BDKT dan SI.

6. Pelaksanaan penyuluhan dan pengamatan UTTP, BDKT dan SI.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

7. Pembinaan dan penerbitan izin tipe UTTP, izin tanda pabrik UTTP.

8. Pengawasan dan penyidikan tindak pidana Undang- Undang Metrologi Legal (UUML).

7. Koordinasi dan pembinaan pembuat UTTP, importir UTTP dan merekomendasikan pelaksanaan permohonan izin tipe dan izin tanda pabrik serta menerbitkan perpanjangan izin tanda pabrik dan izin reparatir UTTP. 8. Pengawasan dan penyidikan tindak pidana UUML.

7. Pembinaan operasional reparatir UTTP .

8. Pengawasan dan penyidikan tindak pidana UUML.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 50/MDAG/PER/10/2009 Tentang Unit Kerja Dan Unit Pelaksana Teknis Metrologi Legal, NSPK mengenai pengawasan metrologi legal.

1072

9. Penetapan dan pembinaan sistem metrologi legal untuk pemerintah daerah khusus yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundangundangan.

9. Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang ditunjuk secara khusus o leh undang-undang maka koordinasi, fasilitasi dan penyelenggaraan metrologi legal menjadi urusan provinsi.

9.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

3. Perdagangan Luar Negeri

1. Penetapan kebijakan dan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang ekspor meliputi: a. Barang yang diatur ekspornya; b. Barang yang diawasi ekspornya; c. Barang yang dilarang ekspornya. 2. Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala nasional.

1. Pe nyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang ekspor.

1. Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang ekspor.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 51/MDAG/PER/10/2009 Tentang Penilaian Terhadap Unit Pelaksana Teknis Dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Metrologi Legal, NSPK mengenai sistem metrologi legal. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 17/MDAG/PER/5/2009 Tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Ekspor Atas Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar, NSPK mengenai barang ekspor.

2. Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala provinsi.

2. Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

1073

3. Pelaksanaan kebijakan bidang ekspor meliputi: a. Barang yang diatur ekspornya; b. Barang yang diawasi ekspornya; c. Barang yang dilarang ekspornya.

3. Monitoring dan pelaporan pelaksanaan kebijakan bidang ekspor.

3. Monitoring dan pelaporan pelaksanaan kebijakan bidang ekspor.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

4. Penetapan kebijakan dan pedoman pelaksanaan bidang impor meliputi: a. Barang yang diatur tata niaganya; b. Barang yang dilarang impornya. 5. Pelaksanaan kebijakan bidang impor meliputi: a. Barang yang diatur tata niaganya; b. Barang yang dilarang impornya

4. Pe nyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan bidang impor.

4. Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan bidang impor.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 15/MDAG/PER/4/2009 Tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) Atas Barang Ekspor Tertentu, NSPK mengenai barang dan tarif ekspor yang diatur dan diawasi. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 49/MDAG/PER/12/2007007 Tentang Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru, NSPK mengenai barang impor Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 49/MDAG/PER/12/2007007 Tentang Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru, NSPK mengenai barang impor

5. Pe nyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang impor

5. Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang impor.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1074

6. Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang impor skala nasional.

6. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan bidang impor skala provinsi.

6. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan bidang impor skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

7. Pengawasan dan pengendalian mutu barang meliputi:

7. Pe ngambilan contoh, pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi mutu barang meliputi:

7. Pengambilan contoh, pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi mutu barang meliputi:

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 384/MPP/Kep/8/1999 Tanggal 18 Agustus 1999 Tentang Standardisasi, Sertifikasi, Akreditasi dan Pengawasan Mutu Produk di Lingkungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, NSPK mengenai pengawasan dan pengendalian mutu barang

a. Penetapan kebijakan dan mekanisme pengawasan untuk membuktikan kesesuaian barang terhadap standar;

a. Pengambilan contoh yang dilakukan oleh Petugas Pengambil Contoh (PPC) yang teregistrasi;

a. Pengambilan contoh yang dilakukan oleh PPC yang teregistrasi ;

1075

b. Penelusuran teknis terhadap penilaian kesesuaian yang dilaksanakan oleh lembaga penguji, inspeksi teknis dan sertifikasi;

b. Pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi dilakukan oleh lembaga uji, inspeksi teknis, sertifikasi yang terakreditasi dan teregistrasi.

b. Pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi dilakukan oleh lembaga uji, inspeksi teknis, sertifikasi yang terakreditasi dan teregistrasi.

c. Registrasi terhadap lembaga penilaian kesesuaian.

c.

c.

8. Pembinaan dan pengembangan SDM Pe nguji Mutu Barang (PMB) meliputi pengaturan, penentuan kriteria, uji kompetensi, registrasi, pendidikan dan latihan, penilaian dan penetapan angka kredit, bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi PMB.

8. Pe nilaian dan pelaporan angka kredit PMB tingkat provinsi.

8. Penilaian dan pelaporan angka kredit PMB tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

1076

9. Penetapan kebijakan, petunjuk pelaksanaan penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) barang ekspor, penunjukan instansi penerbitan SKA dan penelusuran asal barang, pelatihan dan sertifikasi petugas penandatangan SKA. 10.Sosialisasi, evaluasi, penerbitan SKA dan penelusuran asal barang oleh daerah.

9. Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan penerbitan SKA dan penelusuran asal barang.

9. Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan penerbitan SKA dan penelusuran asal barang.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 43/MDAG/PER/10/2007 Tentang Penerbitan Surat Keterangan Asal (Certificate Of Origin) Untuk Barang Ekspor Indonesia, NSPK mengenai asal barang ekspor.

10. Sosialisasi, penerbitan dan pelaporan penerbitan SKA penelusuran asal barang di tingkat provinsi yang ditunjuk.

10. Sosialisasi, penerbitan dan pelaporan penerbitan SKA penelusuran asal barang di tingkat kabupaten/kota yang ditunjuk.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

11.Penetapan kebijakan penerbitan Angka Pengenal Importir (API).

11. Penerbitan API.

11. Penyediaan bahan masukan untuk penerbitan AP I.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 43/MDAG/PER/10/2007 Tentang Penerbitan Surat Keterangan Asal (Certificate Of Origin) Untuk Barang Ekspor Indonesia, NSPK mengenai asal barang ekspor. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 45/MDAG/PER/9/2009 Tentang Angka Pengenal Importir (API), NSPK mengenai angka pengenal impor.

1077

12.Sosialisasi kebijakan, monitoring dan evaluasi penerbitan AP I.

12. Sosialisasi kebijakan dan pelaporan penerbitan AP I.

12. Sosialisasi kebijakan dan pelaporan penerbitan AP I.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 45/MDAG/PER/9/2009 Tentang Angka Pengenal Importir (API), NSPK mengenai angka pengenal impor.

13.Penetapan kebijakan dan fasilitasi ekspor dan impor, sosialisasi, koordinasi pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.

13. Penyediaan bahan masukan, sosialisasi, fasilitasi, koordinasi pelaksanaan, monitoring dan pelaporan, penyediaan informasi potensi ekspor daerah sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan. 14. Penyediaan bahan masukan dalam rangka penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional.

14.Partisipasi dan penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional.

13. Penyediaan bahan masukan, sosialisasi, fasilitasi, koordinasi pelaksanaan monitoring dan pelaporan, penyediaan informasi potensi ekspor daerah sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan. 14. Penyediaan bahan masukan dalam rangka penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1078

15.Sosialisasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kesepakatan.

15. Sosialisasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan pelaksanaan kesepakatan skala provinsi.

15. Sosialisasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan pelaksanaan kesepakatan skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

16.Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.

16. Fasilitasi pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.

16. Fasilitasi pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.

4. Kerjasama Pe rdagangan Internasional

1. Penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan multilateral.

1. Monitoring dan sosialisasi hasilhasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional.

1. Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 24/MDAG/PER/6/2008 Tentang Ketentuan Ekspor Pisang Dan Nanas Ke Jepang Dalam Rangka IJ-EPA (Indonesia JapanEconomic Partnership Agreement), NSPK mengenai perdagangan bilateral indonesiajepang

1079

2. Penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan regional seperti: kerjasama Association of South East Asian Nation (ASEAN), Asia Pasific Economic Conference (APEC), Asia Europe Meet 3. Pengaturan, penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan bilateral, seperti: a. Free Trade Agreement(FTA);

2. Monitoring dan sosialisasi hasilhasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional dan koordinasi kerjasama ekonomi sub regional.

2. Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 24/MDAG/PER/6/2008 Tentang Ketentuan Ekspor Pisang Dan Nanas Ke Jepang Dalam Rangka IJ-EPA (Indonesia JapanEconomic Partnership Agreement), NSPK mengenai perdagangan Internasional.

3. Monitoring dan sosialisasi hasilhasil kesepakatan kerjasama perdagangan bilateral dan sosialisasi kerjasama perdagangan lintas batas.

3. Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan bilateral.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

b. Economic PartnershipAgree ment (EPA); c. Comprehensive Trade and Economic Partnership (CTEP);

1080

d. Comprehensive EconomicPartner ship (CEP);

e. Trade and Investment Framework (TIF);

f. Trade and Investment Council (TIC);

g. Trade and Investment Framework Agreement (TIFA);

4. Pengaturan, penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi pengamanan perdagangan meliputi: dumping, subsidi, dan safeguard.

4. Monitoring dan sosialisasi dumping, subsidi, dan safeguard.

4. Monitoring dan sosialisasi dumping, subsidi, dan safeguard.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1081

5. Pengembangan Ekspor Nasional

1. Penetapan kebijakan bidang pengembangan ekspor secara nasional.

1. Pe nyediaan bahan kebijakan pengembangan ekspor skala provinsi.

1. Penyediaan bahan kebijakan pengembangan ekspor skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala nasional maupun internasional.

2. Pe laksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala provinsi.

2. Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Selaku Ketua Harian Tim Nasional Peningkatan Ekspor Dan Peningkatan Investasi Nomor : KEP08/M.EKON/03/2009 Tentang Logo dan Koordinasi Pelaksanaan Kegiatan Aku Cinta Indonesia, NSPK mengenai pengembangan produk indonesia Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Selaku Ketua Harian Tim Nasional Peningkatan Ekspor Dan Peningkatan Investasi Nomor : KEP08/M.EKON/03/2009 Tentang Logo dan Koordinasi Pelaksanaan Kegiatan Aku Cinta Indonesia, NSPK mengenai pengembangan

1082

6. Perdagangan Berjangka Komoditi, Alternatif Pe mbiayaan Sistem Resi Gudang, Pasar Lelang

1. Pembinaan, pengaturan dan pengawasan perdagangan berjangka komoditi.

1. Koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan berjangka komoditi.

1. Koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan berjangka komoditi.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Pembinaan, pengaturan dan pengawasan sistem resi gudang.

2. Pe mbinaan komoditas dalam rangka memperoleh akses pembiayaan resi gudang.

2. Pembinaan komoditas dalam rangka memperoleh akses pembiayaan resi gudang.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 650/MPP/Kep/10/2004 TENTANG PENYELENGGARAA N PASAR LELANG DENGAN PENYERAHAN (FORWARD) KOMODOTI AGRO, NSPK mengenai pembinaan dan pengawasan perdagangan berjangka komoditi. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 66/MDAG/PER/12/2009 Tentang Pelaksanaan Skema Subsidi Resi Gudang, NSPK mengenai resi Gudang.

1083

3. Pembinaan, pengaturan dan pengawasan penyelenggaraan pasar lelang.

3. Pe mbinaan, pengaturan dan pengawasan yang bersifat teknis terhadap penyelenggaraan dan pelaku pasar lelang skala provinsi.

3. Pembinaan, pengaturan dan pengawasan yang bersifat teknis terhadap penyelenggaraan dan pelaku pasar lelang skala kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Luar Negeri No : 84/BAPPEBTI/Per/09/2 010, NSPK mengenai pengawasan pasar lelang dan perdagangan berjangka.

56

31

30

31. BIDANG PERINDUTRIAN


PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KO TA 1. KEBUTUHAN NSPK (Y=Ya, T=Tidak) Y 1. Perizinan 1. Penetapan kebijakan Izin Usaha Industri (IUI) dan kawasan industri. 1 T Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

SUB BIDANG

SUB SUB BIDANG

PEMERINTAH

KETERANGAN S1

Status NSPK
S2 S3 1

KETERANGAN

Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 41/MIND/PER/6/2008 Tanggal 25 Juni 2008 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar IndustriI Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 71/MIND/PER/7/2009 Tanggal 6 Juli 2009 Tentang Jenis Industri Yang Mengolah Dan Menghasilkan Bahan Beracun Dan Berbahaya (B3) Dan Jenis Industri Teknologi Tinggi Yang Strategis

2. Penerbitan IUI bagi industri yang mengolah dan menghasilkan Bahan Beracun Berbahaya (B3), industri minuman beralkohol, industri teknologi tinggi yang strategis, industri kertas berharga, industri senjata dan amunisi.

2. Penerbitan IUI skala investasi di atas Rp 10 milyar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

2. Penerbitan tanda daftar industri dan IUI skala investasi s/d Rp 10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

1084

3. Penerbitan IUI yang lokasinya lintas provinsi.

3. Penerbitan rekomendasi IUI yang diterbitkan oleh pemerintah.

3. Penerbitan berita acara pemeriksaan dalam rangka penerbitan IUI oleh pemerintah dan provinsi.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

4. Penerbitan izin kawasan industri yang lokasinya lintas provinsi.

4. Penerbitan izin kawasan industri yang lokasinya lintas kabupaten/kota.

4. Penerbitan izin usaha kawasan industri yang lokasinya di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

2. Usaha Industri

1. Penetapan bidang usaha industri prioritas nasional, cabang industri yang penting dan strategis bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. 2. Penetapan pengelompokan bidang usaha industri atau skala usaha.

1. Penetapan bidang usaha industri prioritas provinsi.

1. Penetapan bidang usaha industri prioritas kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 147/MIND/PER/10/2009 Tanggal 19 Oktober 2009 Tentang Pendelegasian Kewenangan Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan, Izin Usaha Kawasan Industri, dan Izin Perluasan Kawasan Industri Dalam Rangka Pelayanan Terpadu satu Pintu (PTSP) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 147/MIND/PER/10/2009 Tanggal 19 Oktober 2009 Tentang Pendelegasian Kewenangan Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan, Izin Usaha Kawasan Industri, dan Izin Perluasan Kawasan Industri Dalam Rangka Pelayanan Terpadu satu Pintu (PTSP) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 03/MInd/Per/4/2005 Tanggal 19 April 2005 Tentang Pengamanan Obyek Vital Industri

2.

2.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 129/MIND/PER/10/2009 Tanggal 14 Oktober 2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Komputer dan Peralatanya

1085

3. Penetapan bidang usaha industri yang terbuka dan tertutup untuk penanaman modal dan yang dicadangkan untuk industri kecil.

3.

3.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 55/MIND/PER/4/2010 Tanggal 25 April 2010 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Rekomendasi/Pertimbangan Teknis Atas Impor Barang Modal Bukan Baru Bagi Perusahaan Pemakai Langsung, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 66/MIND/PER/9/2008 Tanggal 4 September 2008 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Izin Usaha Industri Dan Izin Perluasan Dalam Rangka Penanaman Modal

3. Fasilitas Usaha Industri

1. Penetapan kebijakan pemberian fasilitas/insentif fiskal dan moneter dalam rangka pengembangan industri tertentu. 2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan Industri Kecil Menengah (IKM).

1.

1.

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. 1

2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan IKM di provinsi.

2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan IKM di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor : 10/MInd/Per/2/2006 Tentang Penggunaan Mesin Produksi Dalam Negeri Dalam Rangka Pemanfaatan Fasilitas Keringanan Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Produksi

4. Perlindungan Usaha Industri

1. Perumusan kebijakan dan penetapan tarif bea masuk impor.

1.

1. 1

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

1086

2. Perumusan dan penetapan kebijakan perlindungan bagi industri.

2. Pemberian perlindungan kepastian berusaha terhadap usaha industri lintas kabupaten/kota.

2. Pemberian perlindungan kepastian berusaha terhadap usaha industri di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. 1

Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 02/Mpp/Kep/1/2001 Tentang Ketentuan Kuota Ekspor Tekstil Dan Produk Tekstil

5. Perencana- an dan Program

1. Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri nasional.

1. Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri provinsi.

1. Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri kabupaten/kota.

NSPK tentang Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri.

2. Penyusunan Rencana Strategis (Renstra) di bidang industri.

2. Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) provinsi di bidang industri. 3. Penyusunan rencana kerja provinsi di bidang industri.

2. Penyusunan RPJM SKPD kabupaten/kota di bidang industri.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. 1

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 61/MIND/PER/8/2008 Tanggal 22 Agustus 2008 Tentang Tim Teknis Penyusunan Kebijakan Percepatan Diversifikasi Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal

3. Penyusunan rencana pembangunan tahunan industri nasional.

3. Penyusunan rencana kerja kabupaten/kota di bidang industri.

NSPK tentang Penyusunan rencana pembangunan tahunan industri.

6. Pemasaran

1. Penetapan kebijakan peningkatan pemasaran produk industri dalam negeri.

1.

1. 1

Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

1087

2. Promosi produk industri nasional.

2. Promosi produk industri provinsi.

2. Promosi produk industri kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 518/Mpp/Kep/8/2003 Tentang Penjabaran Tugas Dan Fungsi Pusat Promosi Perdagangan Indonesia Di Luar Negeri

7. Teknologi

1. Penetapan kebijakan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri. 2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.

1.

1. 1

2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri di provinsi.

2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

3.

3. Fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri termasuk lintas kabupaten/kota.

3. Fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 58/MIND/PER/8/2008 Tanggal 12 Agustus 2008 Tentang Penggunaan Sistem Elektronik Dalam Pelayanan Perizinan, Rekomendasi Dan SPPT SNI Di Lingkungan Departemen Perindustrian Dalam Kerangka Indonesia National Single Window NSPK tentang Fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri termasuk lintas daerah.

1088

4. Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.

4. Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.

4. Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 12/MIND/PER/2/2007 Tanggal 2 Februari 2007 Tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Departemen Perindustrian Dengan Sistem E-Procurement, Permen No 46 th 2009 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 46/MIND/PER/5/2009 Tanggal 5 Mei 2009 Tentang Pemanfaatan Sistem Elektronik Dalam Kerangka E-Government di Lingkungan Departemen Perindustrian

8. Standarisasi

1. Penetapan kebijakan standarisasi berdasarkan sistem standarisasi nasional. 2. Perumusan, fasilitasi penerapan dan pengawasan standar.

1.

1. 1

Tidak memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat.

2. Fasilitasi dan pengawasan terhadap penerapan standar yang akan dikembangkan di provinsi.

2. Fasilitasi dan pengawasan terhadap penerapan standar yang akan dikembangkan di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Tidak Memerlukan NSPK karena menjadi wewenang pusat. 1 1

Keputusan menteri perindustrian dan perdagangan Republik indonesia nomor : 753/mpp/kep/11/2002 tentang standardisasi dan pengawasan standar nasional indonesia

3. Kerjasama nasional, regional dan internasional bidang standarisasi.

3. Kerjasama bidang standarisasi tingkat provinsi.

3. Kerjasama bidang standarisasi tingkat kabupaten/kota.

NSPK tentang Kerjasama nasional, regional dan internasional bidang standarisasi.

9. Sumber Daya Manusia (SDM)

1. Penetapan kebijakan pembinaan dan pengembangan SDM industri dan aparatur pembina industri.

1.

1.

1089

2. Penetapan standar kompetensi dan kurikulum pendidikan dan pelatihan (diklat) SDM industri dan aparatur pembina industri.

2. Penerapan standar kompetensi SDM industri dan aparatur pembina industri di provinsi.

2. Penerapan standar kompetensi SDM industri dan aparatur pembina industri di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Penetapan standar kompetensi dan kurikulum pendidikan dan pelatihan (diklat) SDM industri dan aparatur pembina industri.

3. Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri lintas provinsi. 10. Pe rmodalan 1. Perumusan kebijakan bantuan pendanaan untuk pemberdayaan industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank. 1. Penetapan kebijakan pembinaan industri yang berwawasan lingkungan dan pengawasan pencemaran yang diakibatkan oleh industri.

3. Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri lintas kabupaten/kota. 1. Fasilitasi akses permodalan bagi industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank di provinsi.

3. Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri di kabupaten/kota. 1. Fasilitasi akses permodalan bagi industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank di kabupaten/kota. 1. Pembinaan industri dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri .

NSPK tentang Perumusan kebijakan bantuan pendanaan untuk pemberdayaan industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank.

11. Lingkungan Hidup

1. Pemberian bantuan teknis kepada kabupaten/kota dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri. 2. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembinaan industri bersih yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

2. Fasilitasi kerjasama internasional di bidang industri yang terkait dengan lingkungan hidup.

2. Pengawasan terhadap pencemaran lingkungan yang diakibatkan kegiatan industri di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Keputusan bersama menteri perindustrian dan perdagangan no. 89/mpp/kep/2/2002, menteri kelautan dan perikanan no. Skb.07/men/2002 an menteri negara lingkungan hidup no. 01/menlh/2/2002 tanggal 15 februari 2002 tentang penghentian sementara ekspor pasir laut NSPK tentang Fasilitasi kerjasama internasional di bidang industri yang terkait dengan lingkungan hidup.

1090

12. Kerjasama Industri

1. Penetapan kebijakan untuk peningkatan kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya. 2. Penetapan pola kemitraan antara industri dengan sektor ekonomi lainnya.

1. Koordinasi dan fasilitasi kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya lintas kabupaten/kota.

1. Fasilitasi kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Penetapan kebijakan untuk peningkatan kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya.

2. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama pengembangan industri melalui pola kemitraan usaha lintas kabupaten/kota.

2. Fasilitasi kerjasama pengembangan industri melalui pola kemitraan usaha di kabupaten/kota.

Peraturan menteri perdagangan republik indonesia nomor : 03 /mdag/per/2/2006 Tentang pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian

3. Penetapan kebijakan kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional bidang industri.

3. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional untuk pemberdayaan industri lintas kabupaten/kota.

3. Pelaksanaan hasil-hasil kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional untuk pemberdayaan industri di kabupaten/kota. 1. Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat kabupaten/kota.

Peraturan Menteri Perindustrian Repubuk Indonesia Nomor:17/Mind/Per/2/2010 Tentang Tim Teknis Penyiapan Perundingan Penyerahan Proyek Asahan

13. Kelembagaan

1. Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat nasional dan internasional.

1. Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat provinsi.

NSPK tentang Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat nasional dan internasional.

1091

2. Penetapan kebijakan pengembangan lembaga pendukung/unit pelaksana teknis penelitian dan pengembangan (litbang), diklat dan pelayanan pada IKM. 3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat nasional dan membantu unit pelaksana teknis tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

2.

2.

Tidak membutuhkan NSPK. Hal ini dikarenakan urusan yang dibahas bersifat kedaerahan sehingga jika ditetapkan secara umum permasalahan yang bersifat khusus tidak dapat diselesaikan.

3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat provinsi dan membantu unit pelaksana teknis tingkat kabupaten/kota.

3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

14. Sarana dan Prasarana

1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah-wilayah pusat pertumbuhan industri dan lokasi pembangunan industri termasuk kawasan industri dan sentra industri kecil.

1. Penyusunan tata ruang provinsi industri dalam rangka pengembangan pusat- pusat industri yang terintegrasi serta koordinasi penyediaan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik, telepon, unit pengolahan limbah IKM) untuk industri yang mengacu pada tata 1.

15. Informasi

1. Penetapan kebijakan informasi industri.

1. Penyusunan tata ruang kabupaten/kota industri dalam rangka pengembangan pusat-pusat industri yang terintegrasi serta koordinasi penyediaan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik, telepon, unit pengolahan limbah IKM) untuk industri yang mengacu pada 1.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 75/MIND/PER/10/2008 Tanggal 21 Oktober 2008 Tentang Penunjukan/Penetapan Surveyor Sebagai Pelaksana Verifikasi Industri Dalam Rangka Pemberian Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BM-DTP) Atas Impor Barang Untuk Industri Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 35 /MInd/Per/3/2010 Tentang Pedoman Teknis Kawasan Industri

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 25 /MInd/3/2007 Tentang Pusat Informasi Produk Industri Makanan Dan Minuman

1092

Industri

2. Penyusunan pedoman dan pengumpulan, analisis dan diseminasi data nasional bidang industri.

2. Pengumpulan, analisis dan diseminasi data bidang industri tingkat provinsi dan pelaporan kepada pemerintah.

2. Pengumpulan, analisis dan diseminasi data bidang industri tingkat kabupaten/kota dan pelaporan kepada provinsi.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah. Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

NSPK tentang Penyusunan pedoman dan pengumpulan, analisis dan diseminasi data bidang industri.

16. Pe ngawasan Industri

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan industri dalam rangka desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah. 2. Perumusan sistem, pembinaan dan pengaturan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang industri.

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas desentralisasi bidang industri tingkat provinsi.

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas desentralisasi bidang industri tingkat kabupaten/kota.

NSPK tentang Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan industri dalam rangka desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah.

2.

2.

Memerlukan NSPK karena bersifat Nasional. Urusan ini memerlukan NSPK sebagai acuan bagi semua tingkatan pemerintahan.

17. Monitoring, Evaluasi, dan Pe laporan

1. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian nasional.

1. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian di provinsi.

1. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian di kabupaten/kota.

Memerlukan NSPK. Jika tidak ditetapkan aturan umum terkait urusan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerancuan, keragaman dan pelanggaran dalam penetapan kebijakan pada tiap tingkat daerah.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 72/MIND/PER/7/2009 Tanggal 6 Juli 2009 Tentang Pelimpahan Kewenangan Urusan Pemerintahan Bidang Perindustrian Kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan Dan Karimun Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24/MInd/Per/4/2008 Tanggal 28 April 2008 Tentang Kode Etik Auditor Departemen Perindustrian

TOTAL DEMAND

34 TOTAL SUPPLY

13

15
34

1093

LAMPIRAN 4 KUESIONER PUSAT

A. Pertanyaan Terbuka Terkait Dengan Konfirmasi dan Penyusunan NSPK

PSEKP UGM, DSF dan Kementrian Dalam Negeri bekerjasama mengadakan studi mengenai Penilaian Status Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pelayanan Pemerintah Daerah sebagai pelaksanaan PP 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten kota. Berkaitan dengan hal tersebut, kami mohon informasi mengenai jumlah, jenis dan proses penyusunan NSPK di kementerian dan lembaga pemerintah non-departemen Saudara. INFORMASI PERSONAL 1. Nama Pengisi 2. Jabatan 3. Nomor Telefon/HP 4. E-mail

:..... :................. :..................................... :.

PERTANYAAN 1. Peraturan/perundangan apa yang terkait dengan kementerian/lembaga pemerintahan non-departemen Saudara? .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... 2. Berapa jumlah NSPK di kementerian/lembaga pemerintahan non-departemen Saudara? (Mohon dilampirkan data jumlah dan nama NSPK yang sudah disyahkan dan yang masih dalam proses draft) .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... ..........................................................................................................................................

1095

.......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... 3. Menurut Saudara, bagaimana tingkat urgensi keberadaan NSPK dalam bidang atau kementerian/lembaga pemerintahan non-departemen Saudara? .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... 4. Jelaskan bagaimana prosedur menyusun peraturan menteri/keputusan menteri/peraturan kepala/keputusan kepala selama ini di kementerian/lembaga pemerintahan non-departemen Saudara? .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... ..........................................................................................................................................

1096

5. Seberapa jauh NSPK di kementerian/lembaga pemerintahan non-departemen Saudara memperhatikan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan Propinsi dan Kabupaten/kota? .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... 6. Dalam penyusunan NSPK di kementerian/lembaga pemerintahan non-departemen Saudara, mekanisme apa yang menjamin aspirasi pemerintahan Propinsi dan Kabupaten/kota dapat terakomodasi? .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... 7. Masalah dan hambatan apa yang dihadapi dalam penyusunan NSPK pada kementerian/lembaga pemerintahan non-departemen Saudara ? Dan, bagaimana cara mengatasi masalah dan hambatan di atas? .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... ..........................................................................................................................................
1097

.......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... 8. Kriteria-kriteria apa saja yang perlu diperhatikan dalam proses penyusunan NSPK di kementerian/lembaga pemerintahan non-departemen Saudara ? .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... ..........................................................................................................................................

1098

B. Pertanyaan Status NSPK

PSEKP UGM, DSF dan Kementerian Dalam Negeri bekerjasama mengadakan studi mengenai Penilaian Status Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pelayanan Pemerintah Daerah sebagai pelaksanaan PP 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten kota. Berkaitan dengan hal tersebut, kami mohon informasi mengenai kebutuhan daerah bapak/ibu/saudara terkait dengan kebutuhan NSPK apa yang semestinya disediakan oleh pemerintah pusat dalam hal ini kementerian dan lembaga pemerintah non-departemen. INFORMASI PERSONAL 5. Nama Pengisi :.. 6. Jabatan :.................... 7. Nomor Telefon/HP :.... 8. E-mail : PETUNJUK PENGISIAN 1. Berikan tanda centang () pada kolom S1, S2, dan S3 untuk: - S1 : belum memiliki NSPK pada sub-bidang. - S2 : baru dalam prosese pembuatan NSPK atau bila peraturan (NSPK) ditetapkan sebelum pembentukan PP Nomor 38 Tahun 2007 (atau dianggap perlu diperbaharui). - S3 : sudah memiliki NSPK. 2. Isilah kolom Keterangan dengan peraturan (NSPK) sesuai dengan pilihan S1, S2, atau S3.

1099

1. Bidang Pendidikan

SUB BIDANG

SUB SUB BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

1. Kebijakan

1. Kebijakan dan Standar

1.a. Penetapan kebijakan nasional pendidikan. b.Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program pendidikan antar provinsi. c. Perencanaan strategis pendidikan nasional.

1.a. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di provinsi sesuai dengan kebijakan nasional. b. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program pendidikan antar kabupaten/kota. c. Perencanaan strategis pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis pendidikan nasional.

1.a. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional dan provinsi. b. c. Perencanaan operasional program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis tingkat provinsi dan nasional.

2.a. Pengembangan dan penetapan standar nasional pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan). b. Sosialisasi standar nasional pendidikan dan pelaksanaannya pada jenjang pendidikan tinggi. 3. Penetapan pedoman pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal.

2.a. b. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat provinsi. 3. Koordinasi atas pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas kabupaten/kota, untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.

2.a. b. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat kabupaten/kota. 3. Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.

4. Penetapan kebijakan tentang satuan pendidikan bertaraf internasional dan satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal. 5.a. Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin perguruan tinggi. b.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional. c. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional

4. 5.a. b. c. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

4. 5.a. Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar, satuan pendidikan menengah dan satuan/penyelenggara pendidikan nonformal. b. c. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional.

1101

9. Pemberian izin pendirian, pencabutan izin penyelenggaraan, dan pembinaan satuan pendidikan Asing di Indonesia. 10.a. Pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan secara nasional. b. Peremajaan data dalam sistem informasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat nasional.

9. 10. a. b. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat provinsi.

9. 10. a. b. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat kabupaten/kota.

2. Pembiayaan

1.a. Penetapan pedoman pembiayaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan nonformal.

1.a.

1.a.

b.Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi sesuai kewenangannya. c. Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.

b.Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya. c. Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.

b.Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya. c. Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.

1102

3. Kurikulum

1.a. Penetapan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. b. Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

1.a. Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah. b. Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

1.a. Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar. b. Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

c. Penetapan standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah, dan sosialisasinya. 2.a. Pengembangan model kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan. 3. Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

c. Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan menengah. 2.a. b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah. 3. Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.

c. Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar. 2.a. b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar. 3. Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar.

1103

4. Sarana dan Prasarana

1.a. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan. b.Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan. 2.a. Penetapan standar dan pengesahan kelayakan buku pelajaran. b.

1.a. Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan menengah. b.Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan. 2.a. b. Pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan menengah.

1.a. Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. b. Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan. 2.a. b.Pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.

5. Pendidik dan Tenaga Kependidikan

1.a. Perencanaan kebutuhan dan pengadaan pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional. b. 2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar provinsi.

1.a. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan untuk pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya. b. Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk satuan pendidikan bertaraf internasional. 2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar kabupaten/kota.

1.a. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya. b. Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya 2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS di kabupaten/ kota.

1104

3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan. 4.a. Perencanaan kebutuhan, pengangkatan, dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan bagi unit organisasi di lingkungan departemen yang bertanggungjawab di bidang kependidikan. b. Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS karena pelanggaran peraturan perundang- undangan.

3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional. 4.a. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional. b.Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan bertaraf internasional selain karena alasan pelanggaran peraturan perundang- undangan

3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal. 4.a. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal. b. Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal selain karena alasan pelanggaran peraturan perundangundangan.

5. 6. Sertifikasi pendidik.

5. Pengalokasian tenaga potensial pendidik dan tenaga kependidikan di daerah. 6.

5. 6.

1105

6. Pengendalian Mutu Pe ndidikan

1. Penilaian Hasil Belajar

1. Penetapan pedoman, bahan ujian, pengendalian pemeriksaan, dan penetapan kriteria kelulusan ujian nasional. 2. Pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. 3. Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian nasional. 4. Penyediaan blanko ijazah dan/atau sertifikat ujian nasional.

1. 2. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. 3. Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala provinsi. 4.

1. 2. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal. 3. Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala kabupaten/kota. 4.

5. Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian nasional.

5. Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala provinsi.

5. Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala kabupaten/kota.

2. Evaluasi

1.a. Penetapan pedoman evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan. b.Pelaksanaan evaluasi nasional terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan. 2.a. Penetapan pedoman evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan.

1.a. b.Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi. 2.a.

1.a. b.Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota. 2.a.

b. Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan.

b. Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi.

b.Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota.

1106

3. Akreditasi

1.a. Penetapan pedoman akreditasi pendidikan jalur pendidikan formal dan non formal. b.Pelaksanaan akreditasi pendidikan jalur pendidikan formal dan nonformal.

1.a. b. Membantu pemerintah dalam pelaksanaan akreditasi pendidikan dasar dan menengah.

1.a. b. Membantu pemerintah dalam akreditasi pendidikan nonformal.

4. Penjaminan Mutu

1. Penetapan pedoman penjaminan mutu satuan pendidikan. 2.a. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan dalam pelaksanaan penjaminan mutu untuk memenuhi

1. 2.a.

1. 2.a. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan

standar nasional pendidikan. b.Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional. c. d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala nasional.

b.Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional. c. d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala provinsi.

nonformal dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar nasional pendidikan. b. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional. c. Supervisi dan Fasilitasi satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam penjaminan mutu. d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala kabupaten/kota.

1107

2. Bidang Kesehatan
SUB BIDANG 1. Upaya Kesehatan SUB SUB BIDANG 1. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit PEMERINTAH 1. Pengelolaan survailans epidemiologi kejadian luar biasa skala nasional. 2. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular berpotensial wabah, dan yang merupakan komitmen global skala nasional dan internasional. 3. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala nasional. 4. Penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala nasional. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala provinsi. 2. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala provinsi. 3. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala provinsi. 4. Pengendalian operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala kabupaten/kota. 3. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala kabupaten/kota. 4. Penyelenggaraan operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala kabupaten/kota. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

5. Pengelolaan karantina kesehatan skala nasional. 2. Lingkungan Sehat 1. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala nasional. 2.

5.

5.

1. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala provinsi. 2.

1. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala kabupaten/kota. 2. Penyehatan lingkungan.

1108

3. Perbaikan Gizi Masyarakat

1. Pengelolaan survailans kewaspadaan pangan dan gizi buruk skala nasional. 2.a. Pengelolaan penanggulangan gizi buruk skala nasional. b.

1. Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala provinsi. 2.a. Pemantauan penanggulangan gizi buruk skala provinsi. b.

1. Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala kabupaten/ kota. 2.a. Penyelenggaraan penanggulangan gizi buruk skala kabupaten/kota. b.Perbaikan gizi keluarga dan masyarakat.

4. Pelayanan Kesehatan Perorangan dan Masyarakat

1. Pengelolaan pelayanan kesehatan haji skala nasional. 2. Pengelolaan upaya kesehatan dan rujukan nasional. 3. Pengelolaan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala nasional.

1. Bimbingan dan pengendalian pelayanan kesehatan haji skala provinsi. 2. Pengelolaan pelayanan kesehatan rujukan sekunder dan tersier tertentu. 3. Bimbingan dan pengendalian upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala provinsi.

1. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan haji skala kabupaten/kota. 2. Pengelolaan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan sekunder skala kabupaten/kota. 3. Penyelenggaraan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala kabupaten/kota.

1109

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundangundangan. 5.a. Pemberian izin sarana kesehatan tertentu. b.

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan. 5.a. Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah. b. Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas B non pendidikan, rumah sakit khusus, rumah sakit swasta serta sarana kesehatan penunjang yang setara.

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan. 5.a. Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah dan provinsi. b. Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas C, Kelas D, rumah sakit swasta yang setara, praktik berkelompok, klinik umum/spesialis, rumah bersalin,

klinik dokter keluarga/dokter gigi keluarga, kedokteran komplementer, dan pengobatan tradisional, serta sarana penunjang yang setara.

1110

2. Pembiayaan Kesehatan

1. Pembiayaan Kesehatan Masyarakat

1.a. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria bidang jaminan pemeliharaan kesehatan. b.Pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional.

1.a. Pengelolaan/penyelenggara an, bimbingan, pengendalian jaminan pemeliharaan kesehatan skala provinsi. b.Bimbingan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan).

1.a. Pengelolaan/penyelenggaraan, jaminan pemeliharaan kesehatan sesuai kondisi lokal. b.Penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan).

3. Sumber Daya Manusia Kesehatan

1. Peningkatan Jumlah, Mutu dan Penyebaran Tenaga Kesehatan

1. Pengelolaan tenaga kesehatan strategis. 2. Pendayagunaan tenaga kesehatan makro skala nasional. 3. Pembinaan dan pengawasan pendidikan dan pelatihan (diklat) dan Training Of Trainer (TOT) tenaga kesehatan skala nasional.

1. Penempatan tenaga kesehatan strategis, pemindahan tenaga tertentu antar kabupaten/kota skala provinsi. 2. Pendayagunaan tenaga kesehatan skala provinsi. 3. Pelatihan diklat fungsional dan teknis skala provinsi.

1. Pemanfaatan tenaga kesehatan strategis. 2. Pendayagunaan tenaga kesehatan skala kabupaten/kota. 3. Pelatihan teknis skala kabupaten/kota.

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan skala nasional sesuai peraturan perundang- undangan. 5. Pemberian izin tenaga kesehatan asing sesuai peraturan perundangundangan.

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala provinsi sesuai peraturan perundang-undangan. 5. Pemberian rekomendasi izin tenaga kesehatan asing.

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala kabupaten/kota sesuai peraturan perundangundangan. 5. Pemberian izin praktik tenaga kesehatan tertentu.

1111

4. Obat dan Pe rbekalan Kesehatan

1. Ketersediaan, Pemerataan, Mutu Obat dan Keterjangkauan Harga Obat Serta Perbekalan Kesehatan

1. Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat nasional, alat kesehatan tertentu, reagensia tertentu dan vaksin tertentu skala nasional.

1. Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat provinsi, alat kesehatan, reagensia dan vaksin lainnya skala provinsi.

1. Penyediaan dan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat kesehatan, reagensia dan vaksin skala kabupaten/kota

2.a. Registrasi, akreditasi, sertifikasi komoditi kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan. b. c. d. 3.a. Pemberian izin industri komoditi kesehatan, alat kesehatan dan Pedagang Besar Farmasi (PBF).

2.a. Sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) Kelas II. b. c. d. 3.a. Pemberian rekomendasi izin industri komoditi kesehatan, PBF dan Pedagang Besar Alat Kesehatan (PBAK).

2.a. Pengambilan sampling/contoh sediaan farmasi di lapangan. b.Pemeriksaan setempat sarana produksi dan distribusi sediaan farmasi. c. Pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga. d.Sertifikasi alat kesehatan dan PKRT Kelas I. 3.a. Pemberian rekomendasi izin PBF Cabang, PBAK dan Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT).

b.

b.Pemberian izin PBF Cabang dan IKOT. 1. Penyelenggaraan promosi kesehatan skala provinsi.

b.Pemberian izin apotik, toko obat. 1. Penyelenggaraan promosi kesehatan skala kabupaten/kota.

5. Pemberdayaan Masyarakat

1. Pemberdayaan Individu, Keluarga dan Masyarakat Berperilaku Hidup Sehat dan Pengembangan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM)

1. Pengelolaan promosi kesehatan skala nasional.

1112

6. Manajemen Kesehatan

1. Kebijakan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan.

1. Bimbingan dan pengendalian norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan.

1. Penyelenggaraan, bimbingan dan pengendalian operasionalisasi bidang kesehatan.

2. Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

1.a. Pengelolaan penelitian dan pengembangan kesehatan strategis dan terapan, serta penapisan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kesehatan skala nasional. b. c.

1.a. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan provinsi. b.Pengelolaan survei kesehatan daerah (surkesda) skala provinsi. c. Pemantauan pemanfaatan Iptek kesehatan skala provinsi.

1.a. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan kabupaten/kota. b.Pengelolaan surkesda skala kabupaten/kota. c. Implementasi penapisan Iptek di bidang pelayanan kesehatan skala kabupaten/kota.

3. Kerjasama Luar Negeri

1. Pengelolaan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan skala nasional.

1. Penyelenggaraan kerjasama luar negeri skala provinsi.

1. Penyelenggaraan kerjasama luar negeri skala kabupaten/kota.

4. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas 5. Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan (SIK)

1. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala nasional. 1. Pengelolaan dan pengembangan SIK skala nasional dan fasilitasi pengembangan sistem informasi kesehatan daerah.

1. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala provinsi. 1. Pengelolaan SIK skala provinsi.

1. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala kabupaten/kota. 1. Pengelolaan SIK skala kabupaten/kota.

1113

3. Bidang Pekerjaan Umum


SUB BIDANG 1. Sumber Daya Air SUB SUB BIDANG 1. Pengaturan PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan nasional sumber daya air. 2. Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. 3. Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. 4. Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi. 2. Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota. 3. Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai kabupaten/kota. 4. Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air kabupaten/kota. 2. Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. 3. Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. 4. Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

STATUS NSPK S1 S2 S3 KETERANGAN

1114

5. Pembentukan Dewan Sumber Daya Air Nasional, wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi, dan wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai strategis nasional. 6. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) pengelolaan sumber daya air. 7. Penetapan wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota, wilayah sungai lintas kabupaten/kota, wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.

5. Pembentukan wadah koordinasi sumber daya air di tingkat provinsi dan/atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota. 6. 7.

5. Pembentukan wadah koordinasi sumber daya air di tingkat kabupaten/kota dan/atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. 6. 7.

8. Penetapan status daerah irigasi yang sudah dibangun yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. 9. Pengesahan pembentukan komisi irigasi antar provinsi

8. 9. Pembentukan komisi irigasi provinsi dan pengesahan pembentukan komisi irigasi antar kabupaten/kota.

8. 9. Pembentukan komisi irigasi kabupaten/kota

1115

2. Pembinaan

1. Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.

1. Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

1. Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

2. Penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara. 3. Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. 4. Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada provinsi dan kabupaten/kota.

2. Penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota. 3. Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota. 4. Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada kabupaten/kota.

2. Penetapan dan pemberian izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah. 3. Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. 4.

1116

5. Fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam pengelolaan sumber daya air. 6. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional. 7. Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

5. Fasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya air. 6. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas kabupaten/kota. 7. Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

5. 6. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi yang berada dalam satu kabupaten/kota. 7. Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat kabupaten/kota.

8. Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

8. Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.

8. Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat kabupaten/kota.

1117

3. Pembangunan/ Pengelolaan

1. Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. 2. Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. 3. Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala nasional. 4. Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat nasional.

1. Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota. 2. Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota. 3. Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala provinsi. 4. Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat provinsi.

1. Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. 2. Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. 3. Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala kabupaten/kota. 4. Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat kabupaten/kota.

1118

5. Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional. 6. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya lebih dari 3.000 ha atau pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional. 7. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai strategis nasional.

5. Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas kabupaten/kota. 6. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya 1.000 ha sampai dengan 3.000 ha atau pada daerah irigasi yang bersifat lintas kabupaten/kota. 7. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

5. Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota. 6. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota yang luasnya kurang dari 1.000 ha. 7. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

4. Pengawasan dan Pengendalian

1. Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.

1. Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

1. Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam kabupaten/kota.

1119

2. Bina Marga

1. Pengaturan

1. Pengaturan jalan secara umum: a. Pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya. b. Perumusan kebijakan perencanaan. c. Pengendalian penyelenggaraan jalan secara makro.

1. a. b. c.

1. a. b. c.

d. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengaturan jalan. 2. Pengaturan jalan nasional: a. b.

d. 2. Pengaturan jalan provinsi: a. Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan provinsi berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan. b.Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan provinsi dengan memperhatikan keserasian antar wilayah provinsi.

d. 2. Pengaturan jalan kabupaten/kota: a. Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan dengan memperhatikan keserasian antar daerah dan antar kawasan. b.Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.

1120

c. Penetapan fungsi jalan arteri dan jalan kolektor yang menghubungkan antar ibukota provinsi dalam sistem jaringan jalan primer. d.Penetapan status jalan nasional. e. Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan nasional.

c. Penetapan fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder dan jalan kolektor yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten, antar ibukota kabupaten, jalan lokal, dan jalan lingkungan dalam sistem jaringan jalan primer. d.Penetapan status jalan provinsi. e. Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan provinsi.

c. d.Penetapan status jalan kabupaten/desa dan jalan kota. e. Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.

3. Pengaturan jalan tol: a. Perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, penetapan ruas jalan tol dan pembentukan peraturan perundang- undangan. b.Pemberian rekomendasi tarif awal dan penyesuaiannya, serta pengambilalihan jalan tol pada akhir masa konsesi dan pemberian rekomendasi pengoperasian selanjutnya.

3. a. b.

3. a. b.

1121

2. Pembinaan

1. Pembinaan jalan secara umum dan jalan nasional: a. Pengembangan sistem bimbingan, penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan di bidang jalan.

1. Pembinaan jalan provinsi: a.

1. Pembinaan jalan kabupaten/kota: a.

b. Pemberian bimbingan, penyuluhan dan pelatihan para aparatur di bidang jalan. c. Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan dan yang terkait. d. Pemberian fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam penyelenggaraan jalan. e. Penyusunan dan penetapan norma, standar, kriteria dan pedoman pembinaan jalan.

b. Pemberian bimbingan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan provinsi dan aparatur penyelenggara jalan kabupaten/kota. c. Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan untuk jalan provinsi. d. Pemberian fasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam penyelenggaraan jalan. e.

b. Pemberian bimbingan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan kabupaten/desa dan jalan kota. c. d. e.

1122

f. 2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/kota. 3. Pembinaan jalan tol: Penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan serta penelitian dan pengembangan.

f. 2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/desa dan jalan kota. 3.

f. Pemberian izin, rekomendasi, dispensasi dan pertimbangan pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan. 2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/desa dan jalan kota. 3.

3. Pembangunan dan Pengusahaan

1. Pembangunan jalan nasional: a. Pembiayaan pembangunan jalan nasional. b. Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan nasional. c. Pengoperasian dan pemeliharaan jalan nasional. d. Pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan nasional.

1. Pembangunan jalan provinsi: a. Pembiayaan pembangunan jalan provinsi. b. Perencanaan teknis , pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan provinsi. c. Pengoperasian dan pemeliharaan jalan provinsi. d. Pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan provinsi.

1. Pembangunan jalan kabupaten/kota: a. Pembiayaan pembangunan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. b. Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kabupaten/desa dan jalan kota. c. Pengoperasian dan pemeliharaan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. d. Pengembangan dan pengelolaan manajemen jalan kabupaten desa dan jalan kota.

1123

2. Pengusahaan jalan tol: a. Pengaturan pengusahaan jalan tol meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan. b. Persiapan pengusahaan jalan tol, pengadaan investasi dan pemberian fasilitas pembebasan tanah.

2. a. b.

2. a. b.

4. Pengawasan

1. Pengawasan jalan secara umum: a. Evaluasi dan pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelengaraan jalan.

1. a.

1. a.

b. Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan. 2. Pengawasan jalan nasional: a. Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan nasional. b. Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan nasional. 3. Pengawasan jalan tol: a. Pemantauan dan evaluasi pengaturan dan pembinaan jalan tol.

b. 2. Pengawasan jalan provinsi: a. Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan provinsi. b. Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan provinsi. 3. a.

b. 2. Pengawasan jalan kabupaten/kota: a. Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. b.Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. 3. a.

b. Pemantauan dan evaluasi pengusahaan jalan tol dan terhadap pelayanan jalan tol.

b.

b.

1124

3. Perkotaan dan Pe rdesaan

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pembangunan perkotaan dan perdesaan. 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan perkotaan dan perdesaan.

1. Penetapan kebijakan dan strategi wilayah provinsi dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan (mengacu kebijakan nasional). 2. Penetapan peraturan daerah provinsi mengenai pengembangan perkotaan dan perdesaan mengacu NSPK nasional.

1. Penetapan kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan dan perdesaan wilayah kabupaten/kota (mengacu kebijakan nasional dan provinsi). 2. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota mengenai pengembangan perkotaan dan perdesaan berdasarkan NSPK.

2. Pembinaan

1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan Prasarana dan Sarana (PS) perkotaan dan pedesaan tingkat nasional.

1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan PS perkotaan dan pedesaan tingkat provinsi.

1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan PS perkotaan dan pedesaan tingkat kabupaten/kota.

2. Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan secara nasional.

2. Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan di wilayah provinsi.

2. Pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan di wilayah kabupaten/kota.

1125

3. Pembangunan

1. Fasilitasi perencanaan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah. 2. Fasilitasi kerjasama/kemitraan tingkat nasional antara pemerintah/daerah dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan.

1. Fasilitasi penyiapan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah kota/kabupaten di wilayah. 2. Fasilitasi kerjasama/ kemitraan antara pemerintah/daerah dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan di lingkungan provinsi.

1. Penyiapan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah kabupaten/kota dengan mengacu pada RPJP dan RPJM nasional dan provinsi. 2. Penyelenggaraan kerjasama/ kemitraan antara pemerintah daerah/dunia usaha/ masyarakat dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan di lingkungan kabupaten/kota.

3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan di kawasan strategis nasional. 4.

3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan lintas kabupaten/kota di lingkungan wilayah provinsi. 4. Fasilitasi pembentukan lembaga/badan pengelola pembangunan perkotaan dan perdesaan lintas kabupaten/kota.

3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan di wilayah kabupaten/kota 4. Pembentukan lembaga/badan pengelola pembangunan perkotaan dan perdesaan di kabupaten/kota.

1126

4. Pengawasan

1. Pengawasan dan pengendalian program pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan secara nasional. 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

1. Pengawasan dan pengendalian terhadap pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan di provinsi. 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK

1. Pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan di kabupaten/kota. 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

4. Air Minum

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan pelayanan air minum. 2. Pembentukan Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPP-SPAM). 3. Penetapan BUMN penyelenggara SPAM lintas provinsi. 4. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS air minum secara nasional termasuk penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

1. Penetapan peraturan daerah provinsi mengenai kebijakan dan strategi pengembangan air minum lintas kabupaten/kota di wilayahnya. 2. 3. Penetapan BUMD provinsi sebagai penyelenggara SPAM lintas kabupaten/kota. 4. Penetapan peraturan daerah NSPK pelayanan PS air minum berdasarkan SPM yang disusun pemerintah.

1. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota mengenai kebijakan dan strategi pengembangan air minum di daerah kabupaten/kota. 2. 3. Penetapan BUMD sebagai penyelenggara SPAM di kabupaten/kota. 4. Penetapan peraturan daerah NSPK pelayanan PS air minum berdasarkan SPM yang disusun pemerintah dan provinsi.

1127

5. Memberikan izin penyelenggaraan pelayanan PS air minum lintas provinsi. 6. Penentuan alokasi air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM.

5. Memberikan izin penyelenggaraan untuk lintas kabupaten/kota. 6.

5. Memberikan izin penyelenggaraan pengembangan SPAM di wilayahnya. 6.

2. Pembinaan

1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar provinsi, yang bersifat khusus, strategis, baik yang bersifat nasional maupun internasional. 2. Fasilitasi peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum secara nasional.

1. Penyelesaian masalah dan permasalahan yang bersifat lintas kabupaten/kota. 2. Peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum di lingkungan wilayah provinsi.

1. Penyelesaian masalah dan permasalahannya di dalam wilayah kabupaten/kota. 2. Peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum di wilayah kabupaten/kota termasuk kepada Badan Pengusahaan Pelayanan (operator) BUMD.

3. Penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air minum.

3.

3.

1128

3. Pembangunan

1. Fasilitasi pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM secara nasional. 2. 3. Fasilitasi penyelenggaraan bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.

1. Penetapan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM di lingkungan wilayah provinsi. 2. 3. Fasilitasi penyelenggaraan (bantuan teknis) penyelenggaraan pengembangan SPAM di wilayah provinsi.

1. Penetapan pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM di wilayah kabupaten/kota. 2. Pengembangan SPAM di wilayah kabupaten/kota untuk pemenuhan SPM. 3. Fasilitasi penyelenggaraan (bantuan teknis) kepada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM.

4. Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah pelayanan lintas provinsi. 5. Fasilitasi penyediaan prasarana dan sarana air minum dalam rangka kepentingan strategis nasional. 6. Penanganan bencana alam tingkat nasional.

4. Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah pelayanan lintas kabupaten/kota setelah berkoordinasi dengan daerah kabupaten/kota. 5. Penyediaan PS air minum untuk daerah bencana dan daerah rawan air skala provinsi. 6. Penanganan bencana alam tingkat provinsi

4. Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah administrasi kabupaten/kota. 5. Penyediaan PS air minum untuk daerah bencana dan daerah rawan air skala kabupaten/kota. 6. Penanganan bencana alam tingkat kabupaten/kota.

1129

4. Pengawasan

1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.

1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM yang berada di wilayah provinsi.

1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM yang berada di wilayah kabupaten/kota.

2. Evaluasi kinerja pelayanan penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

2. Evaluasi kinerja pelayanan air minum di lingkungan wilayah provinsi. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

2. Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan SPAM yang utuh di wilayahnya. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

5. Air Limbah

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS air limbah. 2. Pembentukan lembaga penyelenggara pelayanan PS air limbah lintas provinsi.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional. 2. Pembentukan lembaga tingkat provinsi sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah provinsi.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi. 2. Pembentukan lembaga tingkat kabupaten/kota sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah kabupaten/kota.

1130

3. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS air limbah secara nasional termasuk SPM. 4. Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah yang bersifat lintas provinsi. 5. Penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air limbah.

3. Penetapan peraturan daerah NSPK berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah. 4. Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah lintas kabupaten/kota. 5.

3. Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi. 4. Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota. 5.

2. Pembinaan

1. Fasilitasi penyelesaian permasalahan antar provinsi yang bersifat khusus, strategis baik yang bersifat nasional maupun internasional.

1. Fasilitasi penyelesaian masalah yang bersifat lintas kabupaten/kota.

1. Penyelesaian masalah pelayanan di lingkungan kabupaten/kota.

2. Fasilitasi peran serta dunia usaha tingkat nasional dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah. 3. Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah.

2. Fasilitasi peran serta dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota. 3. Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan kerjasama dengan dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota. 3. Penyelenggaraan (bantek) pada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan PS air limbah.

1131

3. Pembangunan

1. Fasilitasi pengembangan PS air limbah skala kota untuk kota-kota metropolitan dan kota besar dalam rangka kepentingan strategis nasional.

1. Fasilitasi pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi.

1. Penyelenggaraan pembangunan PS air limbah untuk daerah kabupaten/kota dalam rangka memenuhi SPM.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas provinsi. 3. Penanganan bencana alam tingkat nasional.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota. 3. Penanganan bencana alam tingkat provinsi.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah kabupaten/kota. 3. Penanganan bencana alam tingkat lokal (kabupaten/kota).

4. Pengawasan

1. Pengendalian dan pengawasan atas penyelenggaraan pengembangan PS air limbah. 2. Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah secara nasional. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

1. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan PS air limbah di wilayahnya. 2. Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah di wilayah provinsi lintas kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

1. Monitoring penyelenggaraan PS air limbah di kabupaten/kota. 2. Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan air limbah di kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan SPM.

1132

6. Persampahan

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS persampahan. 2. Penetapan lembaga tingkat nasional penyelenggara pengelolaan persampahan (bila diperlukan). 3. Penetapan NSPK pengelolaan persampahan secara nasional termasuk SPM. 4. Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas provinsi.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional. 2. Penetapan lembaga tingkat provinsi penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi. 3. Penetapan peraturan daerah NSPK pengelolaan persampahan mengacu kepada SPM yang ditetapkan oleh pemerintah. 4. Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan di kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi. 2. Penetapan lembaga tingkat kabupaten/kota penyelenggara pengelolaan persampahan di wilayah kabupaten/kota. 3. Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi. 4. Pelayanan perizinan dan pengelolaan persampahan skala kabupaten/kota.

1133

2. Pembinaan

1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar provinsi. 2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan. 3. Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan PS persampahan.

1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar kabupaten/kota. 2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota. 3. Memberikan bantuan teknis dan pembinaan lintas kabupaten/kota.

1. 2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan kabupaten/kota. 3. Memberikan bantuan teknis kepada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di kabupaten/kota.

3. Pembangunan

1. Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan secara nasional (lintas provinsi).

1. Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan secara nasional di wilayah provinsi.

1. Penyelengaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan di kabupaten/kota.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan lintas provinsi.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan kabupaten/kota.

1134

4. Pengawasan

1. Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan secara nasional. 2. Evaluasi kinerja penyelenggaraan PS persampahan secara nasional. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

1. Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan di wilayah provinsi. 2. Evaluasi kinerja penyelenggaraan yang bersifat lintas kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan pengembangan persampahan di wilayah kabupaten/kota. 2. Evaluasi kinerja penyelenggaraan di wilayah kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

7. Drainase

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan. 2. Penetapan NSPK penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi provinsi berdasarkan kebijakan dan strategi nasional. 2. Penetapan peraturan daerah NSPK provinsi berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah di wilayah provinsi.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi. 2. Penetapan peraturan daerah NSPK drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota berdasarkan SPM yang disusun pemerintah pusat dan provinsi.

1135

2. Pembinaan

1. Fasilitasi bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan drainase. 2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan secara nasional.

1. Bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan). 2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah provinsi.

1. 2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota.

3. Pembangunan

1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas provinsi. 2. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase dan pengendalian banjir di kawasan khusus dan strategis nasional. 3. Fasilitasi penyusunan rencana induk penyelenggaraan prasarana sarana drainase dan pengendalian banjir skala nasional.

1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas kabupaten/kota. 2. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di wilayah provinsi. 3. Penyusunan rencana induk PS drainase skala regional/lintas daerah.

1. Penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir di wilayah kabupaten/kota serta koordinasi dengan daerah sekitarnya. 2. Penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di wilayah kabupaten/kota. 3. Penyusunan rencana induk PS drainase skala kabupaten/kota.

1136

4. Pengawasan

1. Evaluasi kinerja penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir secara nasional. 2. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir secara lintas provinsi. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

1. Evaluasi di provinsi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah provinsi. 2. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir lintas kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

1. Evaluasi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah kabupaten/kota. 2. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir di kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

8. Permukiman

1. Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang berdiri sendiri: a. Pengaturan b.Pembinaan

1. Penetapan kebijakan teknis Kasiba dan Lisiba nasional. 2. Penyusunan NSPK Kasiba dan Lisiba secara nasional. 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan Kasiba dan Lisiba.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi Kasiba/Lisiba di wilayah provinsi. 2. Penetapan Peraturan Daerah NSPK Kasiba dan Lisiba di wilayah provinsi. 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dalam pembangunan Kasiba dan Lisiba.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi Kasiba/Lisiba di wilayah kabupaten/kota. 2. Penetapan Peraturan Daerah NSPK Kasiba dan Lisiba di wilayah kabupaten/kota. 1.

1137

c. Pembangunan d.Pengawasan

2. Fasilitasi penyelesaian masalah Kasiba/Lisiba yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan nasional. 1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba strategis nasional. 2. Fasilitasi kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba. 3. 1. Pengawasan dan pengendalian kebijakan nasional penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba.

2. Fasilitasi penyelesaian pembangunan Kasiba/Lisiba antar kabupaten/kota. 1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota. 2. Fasilitasi kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota. 3. Penetapan izin lokasi Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota. 1. Pengawasan pelaksanaan kelayakan program Kasiba dan Lisiba di provinsi.

2. 1. Penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba di kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba. 3. Penetapan izin lokasi Kasiba/Lisiba di kabupaten/kota. 1. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba di kabupaten/kota.

2. Evaluasi kebijakan nasional penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

2. Evaluasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba di provinsi. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.

2. Evaluasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba di kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.

1138

2. Permukiman Kumuh/ Nelayan: a. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan nasional tentang penanggulangan permukiman kumuh perkotaan dan nelayan.

1.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi penanggulangan permukiman kumuh/nelayan di wilayah kabupaten/kota.

b. Pembinaan c. Pembangunan

2. Penyusunan NSPK kawasan permukiman. 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan dalam penanganan permukiman kumuh secara nasional. (bantuan teknis) 1. Fasilitasi program penanganan permukiman kumuh bagi lokasi yang strategis secara nasional. 2. Fasilitasi dan bantuan teknis untuk peremajaan/perbaikan permukiman kumuh/nelayan dengan Rumah Susun Sewa (RUSUNAWA).

2. 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dalam penanganan permukiman kumuh di wilayah provinsi. 1. Fasilitasi penyelenggaraan penanganan permukiman kumuh di wilayahnya. 2. Fasilitasi peremajaan/ perbaikan permukiman kumuh/nelayan.

2. Penetapan peraturan daerah tentang pencegahan timbulnya permukiman kumuh di wilayah kabupaten/kota. 1. 1. Penyelenggaraan penanganan kawasan kumuh perkotaan di kabupaten/kota. 2. Pengelolaan peremajaan/ perbaikan permukiman kumuh/nelayan dengan rusunawa.

1139

d. Pengawasan

1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian penanganan permukiman kumuh nasional. 2. Evaluasi kebijakan nasional penanganan permukiman kumuh. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK .

1. 2. Monitoring evaluasi pelaksanaan program penanganan permukiman kumuh di wilayahnya. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.

1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian permukiman kumuh di wilayah kabupaten/kota. 2. Evaluasi pelaksanaan program penanganan permukiman kumuh di kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.

3. Pembangunan Kawasan a. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan pembangunan kawasan strategis nasional.

1.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota.

1140

b.Pembinaan c. Pembangunan d.Pengawasan

2. Penyusunan NSPK pembangunan kawasan strategis nasional. 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan kawasan strategis nasional. 2. Fasilitasi penyelesaian masalah pembangunan kawasan yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan nasional. 1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan kawasan strategis nasional. 1. Pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan strategis nasional.

2. 1. 2. Fasilitasi penyelesaian masalah pembangunan kawasan di wilayah provinsi. 1. 1. Pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan di wilayah provinsi.

2. Penetapan peraturan daerah NSPK pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota. 1. 2. 1. Penyelenggaraan pembangunan kawasan strategis nasional. 1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota.

2. Evaluasi kebijakan nasional program pembangunan kawasan nasional. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

2. Evaluasi pelaksanaan program pembangunan kawasan di provinsi. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.

2. Evaluasi pelaksanaan program pembangunan kawasan di kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.

1141

9. Bangunan Gedung dan Lingkungan

1. Pengaturan

1. Penetapan peraturan perundang-undangan, norma, standar, prosedur dan kriteria/bangunan gedung dan lingkungan 2. Penetapan kebijakan dan strategi nasional bangunan gedung dan lingkungan.

1. Penetapan peraturan daerah Provinsi, mengenai bangunan gedung dan lingkungan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria nasional. 2. Penetapan kebijakan dan strategi wilayah provinsi mengenai bangunan gedung dan lingkungan.

1. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota, mengenai bangunan gedung dan lingkungan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria nasional. 2. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota mengenai bangunan gedung dan lingkungan.

3. Penetapan kebijakan pembangunan dan pengelolaan gedung dan rumah negara. 4. Penyelenggaraan IMB gedung fungsi khusus. 5. 6. 7.

3. 4. 5. 6. 7.

3. Penetapan kelembagaan bangunan gedung di kabupaten/kota. 4. Penyelenggaraan IMB gedung. 5. Pendataan bangunan gedung. 6. Penetapan persyaratan administrasi dan teknis untuk bangunan gedung adat, semi permanen, darurat, dan bangunan gedung yang dibangun di lokasi bencana. 7. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

1142

2. Pembinaan

1. Pemberdayaan kepada pemerintah daerah dan penyelenggara bangunan gedung dan lingkungannya. 2. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dan teknis Pemerintah daerah untuk bangunan gedung dan lingkungan.

1. Pemberdayaan kepada pemerintah daerah dan penyelenggara bangunan gedung dan lingkungannya. 2. Fasilitasi penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.

1. Pemberdayaan kepada masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya. 2. Pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.

3. Pembangunan

1. Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan. 2. Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah.

1. Penyelenggaraan model bangunan gedung dan lingkungan. 2. Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah provinsi.

1. Penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan dengan berbasis pemberdayaan masyarakat. 2. Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah kabupaten/kota.

3. Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala nasional atau internasional.

3. Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota.

3. Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala lokal.

1143

4. Pengawasan

1. Pengawasan secara nasional terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan, pedoman, dan standar teknis bangunan gedung dan lingkungannya, serta gedung dan rumah negara. 2. Pengawasan dan penertiban pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung fungsi khusus. 3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang

1. Pengawasan secara regional terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan, pedoman dan standar teknis bangunan gedung dan lingkungannya gedung dan rumah negara. 2. 3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundangundangan, pedoman dan standar teknis dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya. 2. Pengawasan dan penertiban pembangunan, pemanfaatan, dan pembongkaran bangunan gedung. 3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang

dilindungi dan dilestarikan yang berskala nasional atau internasional.

dilindungi dan dilestarikan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota.

dilindungi dan dilestarikan yang berskala lokal.

1144

10. Jasa Konstruksi

1. Pengaturan

1. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan usaha, termasuk upaya mendorong kemitraan fungsional sinergis. 2. Fasilitasi untuk mendapatkan dukungan lembaga keuangan dalam memberikan prioritas pelayanan, kemudahan dan akses untuk memperoleh pendanaan. 3. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan penyelenggaraan konstruksi. 4. Fasilitasi untuk mendapatkan dukungan lembaga pertanggungan dalam memberikan prioritas,

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan jasa konstruksi yang telah ditetapkan. 2. 3. 4.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan jasa konstruksi yang telah ditetapkan. 2. 3. 4.

pelayanan, kemudahan dan akses untuk memperoleh jaminan pertanggungan resiko. 5. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan keahlian dan teknik konstruksi. 6. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan SDM bidang konstruksi.

5. 6.

5. 6.

1145

2. Pemberdayaan

1. Pemberdayaan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional serta asosiasi badan usaha dan profesi tingkat nasional. 2. Peningkatan kemampuan teknologi, sistem informasi, penelitian dan

1. Pengembangan sistem informasi jasa konstruksi dalam wilayah provinsi yang bersangkutan. 2. Penelitian dan pengembangan jasa konstruksi dalam wilayah

1. Pengembangan sistem informasi jasa konstruksi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. 2. Penelitian dan pengembangan jasa konstruksi dalam wilayah

pengembangan teknologi bidang konstruksi. 3. Pemberdayaan penerapan keahlian dan teknik konstruksi kepada LPJK nasional serta asosiasi profesi tingkat nasional. 4. Perintisan penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi sebagai model. 5. Fasilitasi proses sertifikasi tenaga terampil konstruksi. 6.

provinsi yang bersangkutan. 3. Pengembangan sumber daya manusia bidang jasa konstruksi di tingkat provinsi. 4. Peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi dalam wilayah provinsi yang bersangkutan. 5. Pelaksanaan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan dalam wilayah provinsi. 6. Pelaksanaan pemberdayaan terhadap LPJK daerah dan asosiasi di provinsi yang bersangkutan.

kabupaten/kota yang bersangkutan. 3. Pengembangan sumber daya manusia bidang jasa konstruksi di tingkat kabupaten/kota. 4. Peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan 5. Melaksanakan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan dalam wilayah kabupaten/kota. 6. Penerbitan perizinan usaha jasa konstruksi.

1146

3. Pengawasan

1. Pengawasan guna tertib usaha mengenai persyaratan perizinan dan ketentuan ketenagakerjaan. 2. Pengawasan terhadap LPJK- Nasional serta asosiasi badan usaha dan profesi tingkat nasional. 3. Pengawasan guna tertib penyelenggaraan dan tertib pemanfaatan pekerjaan konstruksi (ketentuan keteknikan, K3, keselamatan umum,lingkungan, tata ruang, tata bangunan dan ketentuan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan konstruksi).

1. Pengawasan tata lingkungan yang bersifat lintas kabupaten/kota. 2. Pengawasan sesuai kewenangannya untuk terpenuhinya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. 3. Pengawasan terhadap LPJK daerah dan asosiasi di provinsi yang bersangkutan.

1. Pengawasan tata lingkungan dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. 2. Pengawasan sesuai kewenangannya untuk terpenuhinya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. 3.

1147

4. Bidang Perumahan
SUB BIDANG 1. Pembiayaan SUB SUB B IDANG 1. Pembangunan Baru PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan. 2. Penyusunan norma, standar, pedoman, dan manual (NSPM) nasional bidang pembiayaan perumahan. 3. Pengembangan sistem pembiayaan dan instrumen pembiayaan. 4. Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat nasional. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program provinsi di bidang pembiayaan perumahan. 2. Penyusunan NSPM provinsi bidang pembiayaan perumahan. 3. Koordinasi penyelenggaraan dan mendorong terciptanya pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan perumahan. 4. Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program kabupaten/kota di bidang pembiayaan perumahan. 2. Penyusunan NSPM kabupaten/kota bidang pembiayaan perumahan. 3. Pelaksanaan, penerapan dan penyesuaian pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan. 4. Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat kabupaten/kota. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

1148

5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional. 6. Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa. 7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional. 8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.

5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat provinsi. 6. Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa. 7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi. 8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.

5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat kabupaten/kota. 6. Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa. 7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota. 8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.

2. Perbaikan

1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan. 2. Penyusunan NSPM nasional bidang pembiayaan perumahan. 3. Pengembangan sistem pembiayaan dan instrumen pembiayaan. 4. Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat nasional. 5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional.

1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program provinsi di bidang pembiayaan perumahan 2. Penyusunan NSPM provinsi bidang pembiayaan perumahan. 3. Koordinasi penyelenggaraan dan mendorong terciptanya pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan perumahan. 4. Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat provinsi. 5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat provinsi.

1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program kabupaten/kota di bidang pembiayaan perumahan. 2. Penyusunan NSPM kabupaten/kota bidang pembiayaan perumahan. 3. Pelaksanaan, penerapan dan penyesuaian pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan. 4. Fasilitasi bantuan bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat kabupaten/kota. 5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat kabupaten/kota.

1149

6. Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik. 7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional. 8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.

6. Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik. 7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi. 8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiyaan perumahan di tingkat provinsi.

6. Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik. 7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota. 8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.

2. Pembinaan Pe rumahan Formal

1. Pembangunan Baru

1.a. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.

1.a. Koordinasi masukan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.

1.a. Memberikan masukan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan.

b. 2. Perumusan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan perumahan. 3. Penyusunan pedoman efisiensi pasar dan industri perumahan.

b.Koordinasi peninjauan kembali (review) kesesuaian dengan peraturan perundangundangan bidang perumahan di kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan pada skala provinsi. 3. Koordinasi upaya efisensi pasar dan industri perumahan skala provinsi.

b.Peninjauan kembali kesesuaian peraturan perundang-undangan bidang perumahan di kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan di atasnya. 2. Pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan pada skala kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan upaya efisiensi pasar dan industri perumahan skala kabupaten/kota.

1150

4. Sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan Strategi nasional perumahan. 5. Bantuan teknis penyelenggaraan perumahan (basis kawasan, lembaga pendampingan, kelompok masyarakat). 6. Fasilitasi terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan,

4. Koordinasi pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan skala provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan bantuan teknis penyelenggaraan perumahan. 6. Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan

4. Pelaksanaan peraturan perundangundangan, produk NSPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan. 5. Pelaksanaan teknis penyelenggaraan perumahan. 6. Memanfaatkan badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN,BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen banguan, konsultan, kontraktor dan pengembang.

1151

industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang. 7. Penyusunan standar, pedoman dan manual (SPM) perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan Prasarana, Sarana, Utilitas (PSU). 8. Sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk SPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan. 9. Fasilitasi peningkatan kapasitas penyelenggara dan pelaku pembangunan perumahan (pemerintah, swasta dan masyarakat).

pengembang. 7. Penyusunan pedoman perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan PSU lintas kabupaten/kota. 8. Koordinasi pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk SPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan dan provinsi bersangkutan. 9. Koordinasi pelaksanaan peningkatan kapasitas penyelenggara dan pelaku pembangunan perumahan.

7. Penyusunan pedoman dan manual perencanaan, pembangunan dan pengelolaan PSU skala kabupaten/kota. 8. Melaksanakan hasil sosialisasi. 9. Pelaksanaan kegiatan melalui pelaku pembangunan perumahan.

1152

10. Bantuan teknis penyelenggaraan perumahan (basis kawasan, lembaga pendampingan, kelompok masyarakat). 11. Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN, BUMD, Koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang tingkat nasional.

10. Koordinasi pelaksanaan bantuan teknis penyelenggaraan perumahan. 11. Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang di provinsi.

10. Penyelenggaraan perumahan sesuai teknik pembangunan. 11. Pembinaan dan kerjasama dengan badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN,BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang di kabupaten/kota.

1153

12. Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak regional. 13. Perumusan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional. 14. Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan secara nasional. 15. Pengalokasian pendanaan pembangunan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) dan Rumah Susun Milik (Rusunami) sebagai stimulan di perkotaan,

12. Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak lintas kabupaten/kota. 13. Perumusan RPJP dan RPJM provinsi. 14. Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan skala provinsi. 15. Pelaksanaan pembangunan Rusunawa dan Rusunami sebagai stimulan di perkotaan, perbatasan internasional, pusat kegiatan

12. Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak lokal. 13. Perumusan RPJP dan RPJM kabupaten/kota. 14. Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan skala kabupaten/kota. 15. Pembangunan Rusunawa dan Rusunami lengkap dengan penyediaan tanah, PSU dan melakukan pengelolaan dan pemeliharaan diperkotaan, perbatasan internasional,

1154

perbatasan internasional, pusat kegiatan perdagangan/produksi. 16. Pengalokasian pendanaan pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, rumah susun (Rusun) dan rumah khusus (Rusus). 17. Pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba.

perdagangan/produksi dan fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota. 16. Pelaksanaan pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, Rusun, Rusus dan fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota. 17. Pelaksanaan pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba serta fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota.

pusat kegiatan, perdagangan/produksi. 16. Pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, Rusun dan Rusus dengan melaksanakan pengelolaan dan pemeliharaan. 17. Pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba serta fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota, penyediaan tanah, PSU umum.

18. Pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta penyiapan depo pada daerah rawan bencana.

18. Pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta pengelolaan depo dan pendistribusiannya.

18. Pelaksanaan pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta pengelolaan depo dan pendistribusian logistik penyediaan lahan, pengaturan, pemanfaatan seluruh bantuan.

2. Perbaikan

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan perumahan. 2. Perumusan Standar, Prosedur dan Operasi (SPO) baku penanganan pengungsi akibat bencana nasional (alam maupun konflik sosial).

1. Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan dan pengembangan perumahan skala provinsi. 2. Perumusan SPO baku penanganan pengungsi akibat bencana skala provinsi.

1. Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan dan pengembangan perumahan skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan SPO baku penanganan pengungsi akibat bencana skala kabupaten/kota.

1155

3. Perumusan kebijakan Public Service Obligation (PSO) perumahan. 4. Penyusunan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, khususnya di perbatasan internasional. 5. Penyusunan dan penyelenggaraan skema bantuan perumahan tidak susun, susun, khusus dan PSU. 6. Penyusunan pedoman pengendalian harga sewa rumah (tidak susun, susun khusus).

3. 4. Penyusunan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, khususnya di perbatasan antar kabupaten/kota. 5. Koordinasi penetapan sasaran penerima bantuan perumahan dan pengawasannya. 6. Koordinasi pengendalian penetapan harga sewa rumah.

3. 4. Pelaksanaan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, di kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan dan atau penerima bantuan perumahan. 6. Penetapan harga sewa rumah.

7. Fasilitasi pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi.

7. Koordinasi usulan pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi lintas kabupaten/kota.

7. Pelaksanaan pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi lintas kawasan se- kabupaten/kota.

1156

3. Pemanfaatan

1. Penyelenggaraan bantuan pembangunan dan kelembagaan perumahan melalui format anggaran khusus (dana dekonsenterasi, dana tugas pembantuan dan dana alokasi khusus). 2. Penyelenggaraan bantuan investasi rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulaupulau kecil.

1. Koordinasi usulan penerima bantuan pembangunan dan kelembagaan perumahan di provinsi serta penyelenggaraan perumahan dengan dana dekonsentrasi. 2. Koordinasi penetapan penerima bantuan investasi rumah susun untuk MBR dan rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulaupulau kecil.

1. Pelaksanaan bantuan pembangunan dan kelembagaan serta penyelenggaraan perumahan dengan dana tugas pembantuan. 2. Pelaksanaan pembangunan rumah susun untuk MBR dan rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil.

3. Penyelenggaraan bantuan pembangunan PSU. 4. Fasilitasi pembentukan kelembagaan perumahan skala nasional. 5. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan perumahan. 6. Penyusunan SPM pembangunan, penghunian dan pengelolaan perumahan nasional (Rumah Tidak Susun, Rusun, dan Rusus).

3. Koordinasi penetapan penerima bantuan PSU. 4. Fasilitasi pembentukan kelembagaan perumahan skala provinsi. 5. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan perumahan di provinsi. 6. Koordinasi penyusunan pedoman pembangunan, penghunian dan pengelolaan perumahan lintas kabupaten/kota.

3. Pengelolaan PSU bantuan pusat. 4. Pembentukan kelembagaan perumahan kabupaten/kota. 5. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan perumahan. 6. Penyusunan pedoman dan manual penghunian, dan pengelolaan perumahan setempat dengan acuan umum SPM nasional.

1157

7. Monitoring dan evaluasi terhadap penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi.

7. Pengawasan langsung terhadap penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi ke kabupaten/kota.

7. Pengawasan dan pengendalian pengelolaan rusun dan rusus.

3. Pembinaan Pe rumahan Swadaya

1. Pembangunan Baru

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional tentang perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.

1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi tentang perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota tentang perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

1158

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1159

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

1160

2. Pemugaran

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas

1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku

1161

pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi Kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat provinsi. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat kabupaten/kota. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

1162

3. Perbaikan

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.

1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1163

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

4. Perluasan

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.

1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat provinsi.

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat kabupaten/kota.

1164

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1165

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

5. Pemeliharaan

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.

1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

1166

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1167

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pemanfaatan

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.

1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

1168

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1169

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

4. Pengembangan Kawasan

1. Sistem Pengembangan Kawasan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam pengembangan kawasan. 2. Penyusunan Rencana Nasional dalam Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4Nasional). 3. Pembinaan teknis penyusunan RP4D. 4. Fasilitasi dan bantuan teknis penyusunan RP4D.

1. Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam pengembangan kawasan. 2. Penyusunan Rencana Provinsi dalam Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D-Provinsi). 3. Pembinaan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya. 4. Fasilitasi dan bantuan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya.

1. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam pengembangan kawasan. 2. Penyusunan Rencana Kabupaten/Kota dalam Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D-Kabupaten/Kota). 3. Pembinaan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya. 4. Penyusunan RP4D di wilayahnya.

1170

5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan dan RP4D. 6. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam pengembangan kawasan dan penyusunan RP4D.

5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D skala provinsi. 6. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di wilayahnya.

5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di skala kabupaten/kota. 6. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di wilayahnya.

2. Kawasan Skala Besar

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.

1. Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.

1. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.

1171

2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar. 3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.

2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. 3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.

2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. 3. Pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.

5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.

5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.

5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.

1172

3. Kawasan Khusus

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.

1. Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala khusus di wilayahnya.

1. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.

3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus. 5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.

3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. 5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.

3. Pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. 5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.

1173

4. Keterpaduan Prasarana Kawasan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan. 3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.

1. Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya. 3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.

1. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya. 3. Pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.

5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.

5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.

5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.

1174

5. Keserasian Kawasan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.

1. Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.

1. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.

3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang. 5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.

3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. 5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.

3. Pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. 5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.

1175

5. Pembinaan Hukum, Pe raturan Pe rundangundangan dan Pe rtanahan untuk Pe rumahan

1. Pembangunan Baru

1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

1. Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait di bidang perumahan. 3. Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

1. Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan. 3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

1176

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.

1177

8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota. 10. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

1178

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota.

1179

2. Pemugaran

1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

1. Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait di bidang perumahan. 3. Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

1. Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan. 3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

1180

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penangangan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat Kabupaten/kota.

1181

8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di Kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota. 10. Pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

1182

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota.

1183

3. Perbaikan

1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

1. Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait di bidang perumahan. 3. Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

1. Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan. 3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

1184

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.

1185

8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Koordinasi dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang Pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota. 10. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

1186

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota.

1187

4. Perluasan

1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

1. Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait di bidang perumahan. 3. Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

1. Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan. 3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

1188

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di Provinsi. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.

1189

8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota. 10. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

1190

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota.

1191

5. Pemeliharaan

1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

1. Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait di bidang perumahan. 3. Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

1. Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan. 3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

1192

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penangangan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.

1193

8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota. 10. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

1194

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota.

1195

6. Pemanfaatan

1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

1. Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait di bidang perumahan. 3. Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

1. Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan. 3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

1196

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.

1197

8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan Provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota. 10. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

1198

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota.

6. Pembinaan Teknologi dan Industri

1. Pembangunan Baru

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1199

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

2. Pemugaran

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1200

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Perbaikan

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1201

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

4. Pemeliharaan

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1202

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

5. Pemanfaatan

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1203

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

7. Pengembangan Pe laku Pe mbangunan Pe rumahan, Pe ranserta Masyarakat dan Sosial Budaya

1. Pembangunan Baru

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1204

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.

4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

2. Pemugaran

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan . 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1205

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.

4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

3. Perbaikan

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1206

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.

4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

4. Perluasan

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1207

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.

4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

5. Pemeliharaan

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1208

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.

4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

6. Pemanfaatan

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1209

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.

4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

1210

5. Bidang Penataan Ruang


SUB BIDANG 1. Pengaturan SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Penetapan peraturan perundangundangan bidang penataan ruang 2. Penetapan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) bidang penataan ruang. 3. Penetapan penataan ruang perairan di luar 12 (dua belas) mil dari garis pantai. 4. Penetapan kriteria penentuan dan kriteria perubahan fungsi ruang suatu kawasan yang berskala besar dan berdampak penting dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINS I 1. Penetapan peraturan daerah bidang penataan ruang tingkat provinsi 2. Penetapan pedoman pelaksanaan NSPK bidang penataan ruang. 3. Penetapan penataan ruang perairan di luar 4 (empat) mil sampai 12 (dua belas) mil dari garis pantai. 4. Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan lintas kabupaten/kota dalam rangka penyusunan tata ruang khususnya untuk menjaga keseimbangan ekosistem, sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh pemerintah. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan peraturan daerah bidang penataan ruang di tingkat kabupaten/kota 2. 3. Penetapan penataan ruang perairan sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai. 4. Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan wilayah dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

5. Penetapan kawasan strategis nasional. 6. Penetapan kawasan-kawasan andalan. 7. Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang penataan ruang.

5. Penetapan kawasan strategis provinsi. 6. Pemberian arahan pengelolaan kawasan andalan sebagai bagian RTRWP. 7.

5. Penetapan kawasan strategis kabupaten/kota 6. 7.

1211

2. Pembinaan

1. Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang pada semua tingkatan wilayah. 2. Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang. 3. Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.

1. Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang wilayah kabupaten/kota. 2. Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang. 3. Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.

1. 2. Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang. 3. Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.

4. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang terhadap pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. 5. Pendidikan dan pelatihan. 6. Penelitian dan pengembangan. 7. Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang nasional. 8. Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat. 9. Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat. 10. Koordinasi dan fasilitasi penataan ruang lintas provinsi.

4. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang terhadap kabupaten/kota. 5. Pendidikan dan pelatihan. 6. Penelitian dan pengembangan. 7. Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang provinsi. 8. Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat. 9. Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat. 10. Koordinasi dan fasilitasi penataan ruang lintas kabupaten/kota.

4. 5. Pendidikan dan pelatihan. 6. Penelitian dan pengembangan. 7. Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang kabupaten/kota. 8. Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat. 9. Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat. 10.

11. Pembinaan penataan ruang untuk lintas provinsi.

11. Pembinaan penataan ruang untuk lintas kabupaten/kota.

11.

1212

3. Pembangunan

a. Perencanaan Tata Ruang 1. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). 2. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional. 3. Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWN b. Pemanfaatan Ruang 1. Penyusunan program dan anggaran nasional di bidang penataan ruang, serta fasilitasi dan koordinasi antar provinsi.

1. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). 2. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi. 3. Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWP. 1. Penyusunan program dan anggaran provinsi di bidang penataan ruang , serta fasilitasi dan koordinasi antar kabupaten/kota.

1. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). 2. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten/kota. 3. Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWK. 1. Penyusunan program dan anggaran kabupaten/kota di bidang penataan ruang.

2. Pemanfaatan kawasan strategis nasional. 3. 4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWN 5. Pemanfaatan investasi di kawasan andalan dan kawasan strategis nasional serta kawasan lintas provinsi bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha. 6. Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.

2. Pemanfaatan kawasan strategis provinsi. 3. 4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWP. 5. Pemanfaatan investasi di kawasan strategis provinsi dan kawasan lintas kabupaten/kota bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha. 6. Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.

2. Pemanfaatan kawasan strategis kabupaten/kota. 3. Pemanfaatan NSPK bidang penataan ruang. 4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWK. 5. Pemanfaatan investasi di kawasan strategis kabupaten/kota dan kawasan lintas kabupaten/kota bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha. 6. Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.

1213

7. Penyusunan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan udara, neraca penatagunaan sumberdaya alam lainnya. 8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWN dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional. 9. Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional.

7. 8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWP dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi. 9. Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis provinsi.

7. 8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWK dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten/kota. 9. Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota.

10. Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional. c. Pengendalian Pemanfaatan Ruang. 1. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional termasuk lintas provinsi. 2. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional. 3. Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang nasional.

10. Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis provinsi. 1. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi termasuk lintas lintas kabupaten/kota. 2. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi. 3. Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang provinsi.

10. Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota. 1. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota. 2. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota. 3. Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang kabupaten/kota.

1214

4. Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWN. 5. Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWN. 6. Pengambilalihan kewenangan pemerintah provinsi dalam hal pemerintah provinsi tidak dapat memenuhi SPM di bidang penataan ruang. 7. Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat provinsi.

4. Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWP. 5. Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWP. 6. Pengambilalihan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam hal pemerintah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi SPM di bidang penataan ruang. 7. Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat kabupaten/kota.

4. Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWK. 5. Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWK. 6. 7.

8. Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antara provinsi dengan kabupaten/kota. 9.

8. Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antar kabupaten/kota. 9. Pembentukan lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat provinsi.

8. 9. Pembentukan lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat kabupaten/kota.

4. Pengawasan

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah nasional. 2. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi. 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota.

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi. 2. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah . 3.

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota. 2. 3.

1215

6. Bidang Perencanaan Pembangunan


STATUS NSPK SUB BIDANG 1. Perencanaan dan Pengendalian Pe mbangunan Daerah SUB SUB BIDANG 1. Perumusan Kebijakan PEMERINTAH 1.a. Penetapan pedoman dan standar perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah. b. c. 2. Penetapan pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM). PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah pada skala provinsi. b.Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah provinsi. c. 2. Pelaksanaan SPM provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah pada skala kabupaten/kota. b.Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. c. Penetapan pedoman dan standar perencanaan pembangunan daerah kecamatan/desa. 2. Pelaksanaan SPM kabupaten/kota. KETERANGAN S1 S2 S3

1216

3. Penetapan pedoman dan standar pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri. 4. Penetapan pedoman dan standar pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala nasional. 5.a. Penetapan pedoman dan standar pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional. b.

3. Pelaksanaan kerjasama antara provinsi dengan swasta mengacu pada pedoman yang ditetapkan Pemerintah. 4. Pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala provinsi. 5.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi. b.Pelaksanaan/penjabaran petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.

3. Pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri. 4. Pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala kabupaten/kota. 5.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota. b.Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.

1217

6.a. Penetapan pedoman dan standar keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala nasional. b. 7. Penetapan pedoman dan standar manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional. 8.a. Penetapan pedoman dan standar pelayanan perkotaan.

6.a. Penetapan pedoman dan standar keserasian pengembangan perkotaan dan pedesaan skala provinsi. b.Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala provinsi. 7. Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi. 8.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala provinsi.

6.a. Penetapan keserasian pengambangan perkotaan dan perdesaan skala kabupaten/ kota. b.Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala kabupaten/kota. 7. Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota. 8.a. Pelaksanaan pedoman dan standar pelayanan perkotaan skala kabupaten/kota.

1218

b. 9.a. Penetapan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala nasional. b. 10. Penetapan pedoman dan standar pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.

b.Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala provinsi. 9.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan skala provinsi. b.Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala provinsi. 10. Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala provinsi.

b.Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala kabupaten/ kota. 9.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan skala kabupaten/kota. b.Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala kabupaten/kota. 10. Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota.

11. Penetapan pedoman dan standar pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.

11. Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.

11. Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/ kota.

1219

2. Bimbingan, Konsultasi dan Koordinasi

1. Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala nasional. 2. Bimbingan, supervisi dan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala nasional. 3.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala nasional.

1. Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala provinsi. 2. Konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala provinsi. 3.a. Konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala provinsi.

1. Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota. 3.a. Kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota.

1220

b. 4.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional. b. 5.a. Bimbingan supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan skala nasional.

b. 4.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi. b. 5.a. Konsultasi pelayanan perkotaan skala provinsi.

b.Bimbingan, supervisi dan konsultasi kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota. 4.a. Konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota. b.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan di daerah kecamatan/desa. 5.a. Konsultasi pelayanan perkotaan skala kabupaten/ kota.

b. 6.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala nasional. b. 7. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.

b. 6.a. Pelaksanaan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala provinsi. b. 7. Pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau- pulau kecil skala provinsi.

b.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan di kecamatan/ desa. 6.a. Konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala kabupaten/ kota. b.Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan di kecamatan/ desa. 7. Pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau- pulau kecil skala kabupaten/ kota.

1221

8.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional. b. 9.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional. b.

8.a. Konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi. b. 9.a. Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi. b.

8.a. Konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/kota. b.Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan di kecamatan/desa. 9.a. Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/ kota. b.Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan di kecamatan/desa.

3. Monitoring dan Evaluasi (Monev)

1.a. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala nasional. b. c. 2. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala nasional.

1.a. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala provinsi. b. c. 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri skala provinsi.

1.a. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala kabupaten/kota. b.Penetapan petunjuk teknis pembangunan skala kecamatan/desa. c. Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah kecamatan/desa. 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/ kota.

1222

3. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional. 5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.

3. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala provinsi. 5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.

3. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/ kota.

6. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala nasional. 7. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional.

6. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala provinsi. 7. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.

6. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala kabupaten/ kota. 7. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota.

1223

7. Bidang Perhubungan
STATUS NSPK SUB BIDANG 1. Perhubungan Darat SUB SUB BIDANG 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) PEMERINTAH 1. Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan. 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan nasional. 3. Pedoman tata cara penyusunan dan penetapan kelas jalan. 4. Pedoman persyaratan penentuan lokasi, rancang bangun, dan penyelenggaraan terminal penumpang. 5. Pedoman tata cara penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan provinsi. 3. 4. 5. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan kabupaten/kota. 3. 4. 5. KETERANGAN S1 S2 S3

6. Penetapan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan. 7. Pedoman penetapan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan tidak bermotor. 8. Pedoman tata cara pelaksanaan pengujian tipe kendaraan bermotor. 9. Pedoman tata cara penerbitan dan pencabutan sertifikat kompetensi penguji kendaraan bermotor. 10. Pedoman persyaratan dan kriteria teknis unit pengujian berkala kendaraan bermotor.

6. 7. 8. 9. 10.

6. 7. 8. 9. 10.

1224

11. Pedoman tata cara pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor. 12. Pedoman tata cara pelaksanaan kalibrasi peralatan uji kendaraan bermotor. 13. Pedoman tata cara pelaksanaan pemeriksaaan kendaraan bermotor di jalan. 14. Pedoman dan tata cara pelaksanaan pemeriksaan kendaraan bermotor (STNK dan BPKB). 15. Pedoman persyaratan teknis dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum kendaraan bermotor.

11. 12. 13. 14. 15.

11. 12. 13. 14. 15.

16. Pedoman penyelenggaraan angkutan penumpang dengan kendaraan umum. 17. Pedoman penyelenggaraan angkutan barang. 18. Pedoman penyelenggaraan angkutan barang berbahaya, alat berat dan peti kemas serta angkutan barang khusus. 19. Pedoman perhitungan tarif angkutan penumpang. 20. Pedoman persyaratan teknis, rancang bangun, dan tata cara pengoperasian serta kalibrasi alat penimbangan kendaraan bermotor.

16. 17. 18. 19. 20.

16. 17. 18. 19. 20.

1225

21. Pedoman persyaratan teknis, tata cara, penentuan lokasi, rancang bangun, dan pengoperasian fasilitas parkir untuk umum. 22. Pedoman analisis dampak lalu lintas. 23. Pedoman tata cara penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas. 24. 25. Pedoman penyidikan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan oleh PPNS.

21. 22. 23 24. Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan nasional dan jalan provinsi. 25.

21 Pemberian izin penyelenggaraan dan pembangunan fasilitas parkir untuk umum. 22. 23. 24. Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan kabupaten/kota. 25.

26. Pedoman penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi. 27. Pedoman penyelenggaraan dan tata cara memperoleh dan pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM). 28. Pedoman tata cara dan persyaratan penerbitan serta pencabutan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu. 29. Pedoman pengumpulan, pengolahan dan analisis kecelakaan lalu lintas. 30. Pedoman penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas.

26 27. 28. 29. 30.

26. Pengawasan penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi. 27. 28. 29. 30.

1226

31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe A. 32. Penetapan norma, standar, kriteria, dan pengesahan rancang bangun terminal penumpang Tipe A. 33.Persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe A. 34.Penetapan norma, standar, kriteria rancang bangun terminal angkutan barang. 35. 36.

31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe B. 32. Pengesahaan rancang bangun terminal penumpang Tipe B. 33. Persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe B. 34. 35. 36.

31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe C. 32. Pengesahaan rancang bangun terminal penumpang Tipe C. 33. Pembangunan pengoperasian terminal penumpang Tipe A, Tipe B, dan Tipe C. 34. 35. Pembangunan terminal angkutan barang. 36. Pengoperasian terminal angkutan barang.

37.Pelaksanaan uji tipe dan penerbitan sertifikat uji tipe kendaraan bermotor. 38.Registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor, serta penerbitan dan pencabutan sertifikat registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor yang tipenya sudah mendapatkan sertifikat uji tipe. 39.Penelitian dan pengesahan rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor untuk karoseri, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan bermotor yang dimodifikasi berupa perubahan sumbu dan jarak sumbu.

37. 38. 39.

37. 38. 39.

1227

40.Meregistrasi kendaraan bermotor dan menerbitkan sertifikat registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor yang dibuat berdasarkan rancang bangun yang sudah disahkan. 41.Penerbitan dan pencabutan sertifikat kompetensi penguji dan tanda kualifikasi teknis tenaga penguji. 42.Pembangunan fasilitas dan peralatan uji tipe. 43.Akreditasi unit pengujian berkala kendaraan bermotor. 44.Penerbitan sertifikat tanda lulus uji tipe. 45.Pelaksanaan kalibrasi peralatan uji kendaraan bermotor.

40. 41. 42. 43. 44. 45.

40. 41. 42. 43. 44. 45.

46.Akreditasi unit pelaksana pendaftaran kendaraan bermotor. 47.Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk angkutan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah provinsi atau lintas batas negara. 48.Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan nasional. 49.Pemberian izin trayek angkutan lintas batas negara dan antar kota antar provinsi. 50.Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan nasional.

46. 47. Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk angkutan yang wilayah pelayanannya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi. 48.Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan provinsi. 49. Pemberian izin trayek angkutan antar kota dalam provinsi. 50.Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan provinsi.

46. 47. Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk kebutuhan angkutan yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten/kota. 48. Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan kabupaten/kota. 49. Pemberian izin trayek angkutan perdesaan/angkutan kota. 50. Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan kabupaten/kota.

1228

51.Pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah provinsi. 52.Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang melayani lebih dari satu wilayah provinsi. 53.Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya lebih dari satu provinsi.

51.Pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi. 52.Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang wilayah pelayanannya melebihi kebutuhan kabupaten/kota dalam satu provinsi. 53. Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.

51. 52. Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten/kota. 53. Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani wilayah kabupaten/kota.

54.Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian izin operasi angkutan sewa. 55.Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian izin operasi angkutan pariwisata. 56.Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin usaha angkutan barang. 57.Pemberian persetujuan pengangkutan barang berbahaya, beracun dan alat berat. 58.Penetapan tarif dasar penumpang kelas ekonomi antar kota antar provinsi.

54. Pemberian izin operasi angkutan sewa. 55. Pemberian rekomendasi izin operasi angkutan pariwisata. 56. 57. 58. Penetapan tarif penumpang kelas ekonomi antar kota dalam provinsi.

54. Pemberian rekomendasi operasi angkutan sewa. 55. Pemberian izin usaha angkutan pariwisata. 56. Pemberian izin usaha angkutan barang. 57. 58. Penetapan tarif penumpang kelas ekonomi angkutan dalam kabupaten/kota.

1229

59.Penetapan persyaratan teknis dan tata cara penempatan, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendalian dan pengaman pemakai jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan serta fasilitas pendukung di jalan. 60.Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan nasional.

59. 60. Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan provinsi.

59. 60. Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan kabupaten/kota.

61.Penetapan lokasi alat pengawasan dan pengamanan jalan. 62.Akreditasi unit penimbangan kendaraan bermotor. 63.Sertifikasi petugas unit penimbangan kendaraan bermotor. 64.Kalibrasi alat penimbangan kendaraan bermotor. 65.Pengawasan terhadap pengoperasian unit penimbangan kendaraan bermotor. 66.Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan nasional.

61. 62. 63. 64. 65. Pengoperasian dan pemeliharaan unit penimbangan kendaraan bermotor. 66. Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan provinsi.

61. 62. 63. 64. 65. 66. Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan kabupaten/kota.

1230

67.Penyelenggaraan analisis dampak lalu lintas (andalalin) di jalan nasional. 68.Sertifikasi kompentensi penilai andalalin. 69.Penetapan persyaratan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang LLAJ. 70.Pengusulan pengangkatan dan pemberhentian PPNS bidang LLAJ. 71.Pengawasan pelaksanaan penyidikan bidang LLAJ. 72.Penetapan kualifikasi tenaga instruktur sekolah mengemudi. 73.Akreditasi pendidikan dan latihan mengemudi.

67. Penyelenggaraan andalalin di jalan provinsi. 68. 69. 70. 71. 72. 73.

67. Penyelenggaraan andalalin di jalan kabupaten/kota. 68. 69. 70. 71. 72. 73.

74.Penetapan kualifikasi pengemudi. 75.Akreditasi unit pelaksana penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM). 76.Penyelenggaraan pemberian SIM dan pendaftaran kendaraan bermotor. 77.Penyelenggaraan pemberian SIM internasional. 78.Akreditasi unit pelaksana penerbitan sertifikat kompetensi pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu. 79.Sertifikasi pengemudi angkutan penumpang umum.

74. 75. 76. 77. 78. 79.

74. 75. 76. 77. 78. 79.

1231

80.Sertifikasi pengemudi dan pembantu pengemudi kendaraan pengangkut barang berbahaya dan beracun serta barang khusus. 81.Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan nasional dan jalan tol. 82.Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu nasional. 83.Pedoman persyaratan tenaga auditor keselamatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

80. 81. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan provinsi. 82. Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu provinsi. 83.

80. 81. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan kabupaten/kota. 82. Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu kabupaten/kota. 83.

84.Pedoman persyaratan tenaga investigator kecelakaan lalu lintas nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. 85.Penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga auditor keselamatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. 86.Penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga investigator kecelakaan lalu lintas jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. 87.Penerbitan sertifikat registrasi uji tipe untuk rancang bangun kendaraan bermotor. 88.Pemeriksaan mutu rancang bangun kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan.

84. 85. 86. 87. 88.

84. 85. 86. 87. 88.

1232

89.Pengesahan modifikasi kendaraan bermotor dengan tidak mengubah tipe. 90.Penelitian dan penilaian kesesuaian fisik kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan dengan Surat Keputusan (SK) rancang bangun kendaraan bermotor yang diterbitkan oleh pemerintah. 91.Penerbitan surat keterangan bebas uji berkala pertama kali. 92.Pengawasan pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor. 93.Penilaian kinerja tenaga penguji berkala kendaraan bermotor.

89. 90. 91. 92. 93.

89. 90. 91. 92. Pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor. 93.

94.Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya. 95. 96. 97.Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan nasional kecuali jalan tol. 98.Pelaksanaan penyidikan pelanggaran ketentuan pidana Undang-undang tentang LLAJ.

94. Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya. 95. Pemberian izin operasi angkutan sewa berdasarkan kuota yang ditetapkan pemerintah. 96. Pengoperasian alat penimbang kendaraan bermotor di jalan. 97. Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan provinsi. 98. Pelaksanaan penyidikan pelanggaran: a. Perda provinsi bidang LLAJ.

94. Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya. 95. 96. 97. Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan kabupaten/kota. 98. Pelaksanaan penyidikan pelanggaran: a. Perda kabupaten/kota bidang LLAJ.

1233

99.Pengawasan pemberian SIM, pendaftaran kendaraan bermotor, dan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu. 100. Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas tingkat nasional. 101.

b. Pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan. c. Pelanggaran ketentuan pengujian berkala. d. Perizinan angkutan umum. 99. 100. Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di wilayah provinsi. 101.

b. Pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan. c. Pelanggaran ketentuan pengujian berkala. d. Perizinan angkutan umum. 99. 100. Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di wilayah kabupaten/kota. 101. Pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.

102. 103. 104. 105. 106. 107.

102. 103. 104. 105. 106. 107.

102. Pemberian izin usaha bengkel umum kendaraan bemotor. 103. Pemberian izin trayek angkutan kota yang wilayah pelayanannya dalam satu wilayah kabupaten/kota. 104. Penentuan lokasi fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota. 105. Penentuan lokasi fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota. 106. Pengoperasian fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota. 107. Pemberian izin usaha mendirikan pendidikan dan latihan mengemudi.

1234

2. Lalu Lintas Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (LLASDP)

1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau antar provinsi. 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional, dan antar negara, serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara. 3. Pedoman penetapan lintas penyeberangan. 4. Penetapan lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional, dan antar negara dan jaringan jalur kereta api dan antar negara.

1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau antar kabupaten/kota dalam provinsi. 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi. 3. 4. Penetapan lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.

1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau dalam kabupaten/kota. 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota. 3. 4. Penetapan lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.

5. Pedoman rancang bangun kapal Sungai, Danau, dan Penyeberangan (SDP). 6. Pengadaan kapal SDP. 7. Pedoman registrasi kapal sungai dan danau. 8. Pedoman pengoperasian kapal SDP. 9. Pedoman persyaratan pelayanan kapal SDP. 10. Pedoman pemeliharaan/ perawatan kapal SDP.

5. 6. Pengadaan kapal SDP. 7. 8. 9. 10.

5. 6. Pengadaan kapal SDP. 7. 8. 9. 10.

1235

11. Pedoman tata cara pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau. 12. Pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau 7 GT. 13. Pedoman penyelenggaraan pelabuhan SDP. 14. Pedoman penetapan lokasi pelabuhan SDP.

11. 12. Pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau < 7 GT. 13. 14.

11. 12. 13. 14.

15. Penetapan lokasi pelabuhan penyeberangan. 16. 17. Pedoman pembangunan pelabuhan SDP. 18. Pembangunan pelabuhan SDP. 19. Penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan. 20. Pengawasan penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara. 21.

15. Rekomendasi lokasi pelabuhan penyeberangan. 16. 17. 18. Pembangunan pelabuhan SDP. 19. 20. 21.

15.Rekomendasi lokasi pelabuhan penyeberangan. 16.Penetapan lokasi pelabuhan sungai dan danau. 17. 18.Pembangunan pelabuhan SDP. 19.Penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan. 20. 21.Penyelenggaraan pelabuhan sungai dan danau.

1236

22. Pedoman penyusunan rencana induk, Daerah Lingkungan Kerja (DLKr)/Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan SDP. 23. 24. Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan Penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara. 25. Pedoman sertifikasi pelabuhan SDP.

22. 23. Pemberian rekomendasi rencana induk pelabuhan penyeberangan, DLKr/DLKp yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api. 24. Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi 25.

22. 23. Pemberian rekomendasi rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi, nasional dan antar negara. 24. Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan SDP yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota. 25.

26. Penetapan sertifikasi pelabuhan SDP. 27. Pedoman pemeliharaan/ perawatan pelabuhan SDP. 28. Pedoman penetapan kelas alur pelayaran sungai dan danau. 29. 30. Pedoman tata cara berlalu lintas di sungai dan danau. 31. Pedoman perambuan sungai, danau dan penyeberangan. 32. Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan.

26. 27. 28. 29. Penetapan kelas alur pelayaran sungai. 30. 31. 32. Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan.

26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan

1237

33. 34. Pemetaan alur sungai untuk kebutuhan transportasi. 35. Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau. 36. 37. Pedoman penyelenggaraan angkutan SDP. 38. Pedoman tarif angkutan SDP.

33. 34. Pemetaan alur sungai lintas kabupaten/kota dalam provinsi untuk kebutuhan transportasi. 35. Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau. 36. Izin pembangunan prasarana yang melintasi alur sungai dan danau. 37. 38.

33. Izin pembuatan tempat penimbunan kayu (logpon), jaring terapung dan kerambah di sungai dan danau. 34. Pemetaan alur sungai kabupaten/kota untuk kebutuhan transportasi. 35. Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau kabupaten/kota. 36. 37. 38.

39. Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara, serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara. 40. Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi pada lintas antar provinsi dan antar negara. 41. Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP pada jaringan jalan nasional dan antar negara. 42. Pedoman tarif jasa kepelabuhanan SDP.

39. Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi. 40. Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi antar kabupaten/kota dalam provinsi. 41. Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi. 42.

39. Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota. 40. Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi dalam kabupaten/kota. 41. Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota. 42.

1238

43. Penetapan tarif jasa pelabuhan SDP yang tidak diusahakan yang dikelola pemerintah. 44. Pedoman/persyaratan pelayanan angkutan SDP. 45. Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan pada jaringan jalan nasional dan antar negara. 46. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau. 47. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan pada lintas antar provinsi dan antar negara.

43. 44. 45. Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi pada jaringan jalan provinsi. 46. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau. 47. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi pada jaringan jalan provinsi.

43. Penetapan tarif jasa pelabuhan SDP yang tidak diusahakan yang dikelola kabupaten/kota. 44. 45. Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota pada jaringan jalan kabupaten/kota 46. Pengawasan pengoperasian penyelenggaran angkutan sungai dan danau. 47. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan dalam kabupaten/kota pada jaringan jalan kabupaten/kota.

48. Pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui angkutan SDP. 2. Pe rkeretaapian 1. Penetapan rencana induk perkeretaapian nasional. 2. Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi : a. Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional dan perkeretaapian lokal yang jaringannya melebihi satu provinsi;

48. Pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui angkutan SDP. 1. Penetapan rencana induk perkeretaapian provinsi; 2. Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi meliputi: a. Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian provinsi dan perkeretaapian kabupaten /kota yang jaringannya melebihi wilayah kabupaten /kota;

48.

1. Penetapan rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota. 2. Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota meliputi : a. Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota;

1239

b. Penetapan persyaratan, norma, pedoman, standar, kriteria dan prosedur penyelenggaraan perkeretaapian yang berlaku secara nasional; c. Pelaksanaan perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional; d. Penetapan kompetensi Pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang perkeretaapian, pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada pemerintah daerah dan masyarakat;dan e. Pengawasan terhadap

b. Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada kabupaten/kota, pengguna dan penyedia jasa; dan c. Pengawasan terhadap pelaksanaan perkeretaapian provinsi. d. e.

b. Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada pengguna dan penyedia jasa; dan c. Pengawasan terhadap pelaksanaan perkeretaapian kabupaten /kota. d. e.

pelaksanaan norma, persyaratan, pedoman,

standar, kriteria dan prosedur yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat dan pengawasan terhadap pelaksanaan perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional.
3. Penetapan persyaratan kelaikan operasi prasarana kereta api umum. 4. Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api. 5. Penetapan persyaratan perawatan prasarana kereta api. 6. Penetapan persyaratan kelaikan operasi sarana kereta api.

3. 4. Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api. 5. 6.

3. 4. Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api. 5. 6.

1240

7. Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu provinsi. 8. Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan melebihi satu provinsi. 9. Pengujian prasarana kereta api. 10. Penetapan akreditasi atau lembaga penguji berkala prasarana kereta api. 11. Pemberian sertifikat prasarana kereta api yang telah dinyatakan lulus uji pertama dan uji berkala.

7. Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu kabupaten/ kota dalam satu provinsi. 8. Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan melebihi satu wilayah kabupaten/kota dalam provinsi. 9. 10. 11.

7. Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam kabupaten/kota. 8. Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan dalam wilayah kabupaten /kota. 9. 10. 11.

12. Pemberian sertifikat tenaga tanda kecakapan pengoperasian prasarana kereta api. 13. Penetapan penunjukan badan hukum atau lembaga lain yang menyelenggarakan pendidikan dan/atau pelatihan tenaga pengoperasian prasarana kereta api. 14. Penetapan persyaratan dan kualifikasi tenaga perawatan prasarana kereta api. 15.

12. 13. 14. 15. Penutupan perlintasan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin dan tidak ada penanggungjawabnya, dilakukan oleh pemilik dan/atau Pemerintah Daerah.

12. 13. 14. 15. Penutupan perlintasan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin dan tidak ada penanggungjawabnya, dilakukan oleh pemilik dan/atau Pemerintah Daerah.

1241

8. Bidang Lingkungan Hidup


SUB BIDANG 1. Pengendalian Dampak Lingkungan SUB SUB BIDANG 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) PEMERINTAH 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah B3 yang antara lain mencakup: a. Penetapan Limbah B3 berdasarkan sumber spesifik, karakteristik, Lethal Dose Fifty (LD50), Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP), kronis, dan list (daftar). b. Penetapan status B3. c. Tempat penyimpanan sementara, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. a. b. c. PEMERINTAHAN DAERAH KAB UPATEN/KOTA 1. a. b. c. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

d. Notifikasi B3 dan limbah B3. e. Pengawasan pengelolaan limbah B3. f. Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala nasional. g. Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 skala nasional. 2. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3. 3. Menyelenggarakan registrasi B3. 4. Pengawasan pengelolaan (B3).

d. e. f. g. 2. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3 skala provinsi. 3. 4.

d. e. f. g. 2. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota. 3. 4.

1242

5. Memberikan rekomendasi pengangkutan limbah B3. 6. Izin pengumpulan limbah B3 skala nasional. 7. Izin pemanfaatan limbah B3. 8. Izin pengolahan limbah B3. 9. Izin operasi peralatan pengolahan limbah B3. 10.Izin operasi penimbunan limbah B3. 11.Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 skala nasional.

5. 6. Izin pengumpulan limbah B3 skala provinsi ( sumber limbah lintas kabupaten/kota) kecuali minyak pelumas/oli bekas. 7. 8. 9. 10. 11. Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 pada skala provinsi.

5. 6. Izin pengumpulan limbah B3 pada skala kabupaten/kota kecuali minyak pelumas/oli bekas. 7. 8. 9. 10. 11. Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 pada skala kabupaten/kota.

12. 13. 14. 15. 16.

12. Rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional. 13. Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala provinsi. 14. Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 skala provinsi. 15. 16.

12. 13. Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala kabupaten/kota. 14. Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 kabupaten/kota. 15. Izin lokasi pengolahan limbah B3. 16. Izin penyimpanan sementara limbah B3 di industri atau usaha suatu kegiatan.

1243

2. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

1. Pengaturan dan penetapan pedoman penerapan AMDAL dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/ UPL). 2. Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan: a. Strategis dan/atau menyangkut pertahanan keamanan negara. b. Berlokasi lebih dari satu wilayah provinsi. c. Berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain.

1. Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup di provinsi, sesuai dengan standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. 2. Pembinaan dan pengawasan terhadap penilaian AMDAL di kabupaten/kota. a. b. c.

1. Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup di kabupaten/ kota, sesuai dengan standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. 2. Pemberian rekomendasi UKL dan UPL. a. b. c.

1244

d. Berlokasi di wilayah laut di luar kewenangan daerah. e. Berlokasi di lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan penilaian AMDAL oleh provinsi dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam rangka uji petik. 4. Pembinaan terhadap pelaksanaan penilaian AMDAL dan pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh provinsi.

d. e. 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah provinsi dalam rangka uji petik. 4. Pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian rekomendasi UKL/UPL yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam wilayah Provinsi.

d. e. 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah kabupaten/kota. 4. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi seluruh jenis usaha dan/atau kegiatan di luar usaha dan/atau kegiatan

1245

5. Pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kabupaten/kota bagi usaha dan/atau yang wajib dilengkapi AMDAL yang menjadi urusan wajib pemerintah. 6. Pengaturan AMDAL, UKL dan UPL.

5. Pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kabupaten/kota bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dan UKL/UPL dalam wilayah provinsi. 6. Pembinaan terhadap pelaksanaan pemberian rekomendasi UKL/UPL yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam wilayah provinsi.

yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah kabupaten/kota. 5. 6.

3. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air

1. Pengelolaan kualitas air skala nasional dan/atau lintas batas negara. 2. Penetapan kelas air pada sumber air skala nasional dan/atau merupakan lintas batas wilayah negara. 3. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas air pada sumber air skala nasional dan/atau merupakan lintas batas negara. 4. Pengendalian pencemaran air pada sumber air skala nasional dan/atau lintas batas negara.

1. Koordinasi pengelolaan kualitas air skala provinsi. 2. Penetapan kelas air pada sumber air skala provinsi. 3. Koordinasi pemantauan kualitas air pada sumber air skala provinsi. 4. Penetapan pengendalian pencemaran air pada sumber air skala provinsi.

1. Pengelolaan kualitas air skala kabupaten/kota. 2. Penetapan kelas air pada sumber air skala kabupaten/kota. 3. Pemantauan kualitas air pada sumber air skala kabupaten/kota. 4. Pengendalian pencemaran air pada sumber air skala kabupaten/kota.

1246

5. Pengawasan pengendalian pencemaran air skala nasional. 6. Penetapan baku mutu air lebih ketat dan/atau penambahan parameter pada air skala nasional dan/atau lintas batas negara. 7. Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala nasional pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya.

5. Pengawasan pelaksanaan pengendalian pencemaran air skala provinsi. 6. Penetapan baku mutu air lebih ketat dan/atau penambahan parameter dari kriteria mutu air skala provinsi. 7. Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala provinsi pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya skala provinsi.

5. Pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air. 6. Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala kabupaten/kota pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya. 7. Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala kabupaten/kota.

1247

8. Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. 9. Pengaturan baku mutu air limbah untuk berbagai kegiatan. 10.Penetapan baku mutu dan peruntukan sungai lintas provinsi.

8. Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala provinsi. 9. Penetapan baku mutu air limbah untuk berbagai kegiatan sama atau lebih ketat dari pemerintah. 10.Pembinaan, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan pemberian izin pembuangan limbah cair lintas kabupaten/kota.

8. Perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air. 9. Perizinan pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah. 10.

4. Pengelolaan Kualitas Udara dan Pengendalian Pencemaran Udara.

1. Pengelolaan Kualitas Udara skala Nasional dan/atau lintas batas negara. 2. Penetapan baku mutu udara ambien nasional, kebisingan dan getaran lingkungan.

1. 2. Penetapan baku mutu udara ambien daerah lebih ketat atau sama dengan baku mutu udara ambien nasional.

1. 2. Pemantauan kualitas udara ambien, emisi sumber bergerak dan tidak bergerak skala kabupaten/kota.

1248

3. Penetapan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama. 4. Penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama skala nasional. 5. Penetapan Indeks Standar Pencemar Udara.

3. Penetapan status mutu udara ambien daerah. 4. Penetapan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama dan penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor lama skala provinsi. 5. Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara skala provinsi.

3. 4. Pengujian emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor lama secara berkala. 5.

1249

6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara lintas provinsi atau lintas batas negara atau skala global (asap kebakaran hutan, hujan asam dan gas rumah kaca) skala nasional. 7. Pengaturan pengelolaan kualitas udara dan pengendalian pencemaran udara skala nasional. 8. Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran

6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara skala provinsi. 7. Pembinaan dan pengawasan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama dan penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor lama skala provinsi. 8. Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara skala

6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara skala kabupaten/kota 7. 8. Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya

udara. 9. Penetapan standar pengelolaan kualitas udara dalam ruangan.

provinsi. 9. Pemantauan kualitas udara dalam ruangan.

pencemaran udara dari sumber bergerak dan tidak bergerak skala kabupaten/kota. 9. Pemantauan kualitas udara ambien dan dalam ruangan.

1250

5. Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Pesisir dan Laut

1. Penetapan baku mutu air laut skala nasional. 2. Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan pesisir dan laut skala nasional. 3. Pemberian izin dumping ke laut.

1. Penetapan baku mutu air laut skala provinsi. 2. Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan pesisir dan laut skala provinsi. 3. Penetapan lokasi dalam pengelolaan konservasi laut skala provinsi.

1. Pengaturan terhadap pencegahan pencemaran dan perusakan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota. 2. Pengaturan terhadap pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota. 3. Penetapan lokasi untuk pengelolaan konservasi laut.

4. Koordinasi dalam pengelolaan konservasi laut. 5. Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan oleh provinsi dan kabupaten/kota. 6. Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala nasional. 7. Pengaturan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan wilayah pesisir dan laut yang bersifat lintas provinsi atau lintas negara.

4. Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan oleh kabupaten/kota. 5. Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala provinsi. 6. Pengaturan pengendalian pencemaran dan kerusakan wilayah pesisir dan laut skala provinsi. 7. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah provinsi atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.

4. Pengawasan penaatan instrumen pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan skala kabupaten/kota. 5. Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota. 6. Pengaturan pelaksanaan terhadap monitoring kualitas lingkungan pesisir dan laut skala kabupaten/kota. 7. Penegakan hukum terhadap peraturan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan pesisir laut yang dikeluarkan oleh daerah kabupaten/kota atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah

1251

6. Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Tanah Akibat Kebakaran Hutan dan/atau Lahan

1. Penetapan kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan. 2. Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan. 3. Pengkoordinasian penanggulangan dampak dan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan skala nasional dan/atau lintas batas negara.

1. 2. Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup skala provinsi yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan. 3. Pengkoordinasian penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan skala provinsi.

1. 2. Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup skala kabupaten/kota yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan. 3. Penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan skala kabupaten/kota.

4. Pengawasan atas pelaksanaan pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala nasional. 5.

4. Pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala provinsi. 5. Pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang dampaknya skala provinsi.

4. Pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala kabupaten/kota. 5. Pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan skala kabupaten/kota.

1252

7. Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Tanah Untuk Kegiatan

1. Penetapan kriteria nasional baku kerusakan lahan dan/atau tanah nasional untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan

1. Penetapan kriteria provinsi baku kerusakan lahan dan/atau tanah provinsi untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan

1. Penetapan kriteria kabupaten/kota baku kerusakan lahan dan/atau tanah kabupaten/kota untuk

Produksi Biomassa

tanaman. 2. 3. Pengawasan atas pelaksanaan pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala nasional. 4. Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala nasional.

tanaman berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah nasional. 2. 3. Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah akibat kegiatan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak skala provinsi. 4. Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala provinsi.

kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah nasional. 2. Penetapan kondisi lahan dan/atau tanah. 3. Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah akibat kegiatan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak skala kabupaten/kota. 4. Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala kabupaten/kota.

8. Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Bencana

1. Penetapan pedoman mekanisme penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana. 2. 3.

1. Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana skala provinsi. 2. Penetapan kawasan yang beresiko rawan bencana. 3.

1. Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana skala kabupaten/kota. 2. Penetapan kawasan yang beresiko rawan bencana skala kabupaten/kota. 3. Penetapan kawasan yang beresiko menimbulkan bencana lingkungan skala kabupaten/kota.

1253

9. Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Standar Kompetensi Personil Bidang Lingkungan Hidup

1. Penetapan kebijakan, koordinasi penerapan, pembinaan dan pengawasan umum dalam SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup.

1. Pembinaan dan pengawasan penerapan SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup pada skala provinsi.

1. Pembinaan dan pengawasan penerapan SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup pada skala kabupaten/kota.

10. Pengembangan Perangkat

1. Penetapan kebijakan pengembangan instrumen

1. Penetapan peraturan daerah di bidang penerapan

1. Penetapan peraturan daerah di bidang

Ekonomi Lingkungan

ekonomi dan pedoman penerapannya dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. 2. Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. 3.

instrumen ekonomi yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. 2. Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. 3.

penerapan instrumen ekonomi untuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan kabupaten/kota. 2. Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan untuk daerah yang bersangkutan. 3. Penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.

11. Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan, Ekolabel,

1. Penetapan kebijakan, koordinasi penerapan, pembinaan dan pengawasan umum sistem manajemen lingkungan, ekolabel,

1. Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan yang

1. Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan

1254

Produksi Bersih, dan Teknologi Berwawasan Lingkungan

produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan yang mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan.

mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan pada skala provinsi.

teknologi berwawasan lingkungan yang mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan pada skala kabupaten/kota.

12. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat)

1. Penetapan kebijakan diklat di bidang lingkungan hidup. 2. Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup yang bersifat strategis. 3. Penetapan kurikulum/materi ajar di bidang lingkungan hidup yang berlaku secara nasional.

1. Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup sesuai permasalahan lingkungan hidup skala provinsi. 2. Penetapan kurikulum/materi ajar tambahan di bidang lingkungan hidup sesuai dengan karakteristik dan permasalahan provinsi. 3.

1. Evaluasi hasil pelaksanaan diklat di kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup sesuai permasalahan lingkungan hidup skala kabupaten/kota. 3.

4. Penetapan pedoman penyelenggaraan diklat. 13. Pelayanan Bidang Lingkungan Hidup 1. Penetapan standar pelayanan minimal di bidang pengendalian lingkungan hidup.

4.

4.

1. Penyelenggaraan pelayanan di bidang pengendalian lingkungan hidup skala provinsi.

1. Penyelenggaraan pelayanan di bidang pengendalian lingkungan hidup skala kabupaten/kota.

1255

14. Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Otonomi Daerah Bidang Lingkungan

1. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup. 2. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup. 3. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup.

1. 2. 3.

1. 2. 3.

15. Penegakan Hukum Lingkungan 16. Perjanjian Internasional di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan

1. Penegakan hukum lingkungan.

1. Penegakan hukum lingkungan skala provinsi. 1. Pelaksanaan dan pemantauan penaatan atas perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan skala provinsi. 2. Pemantauan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol skala provinsi.

1. Penegakan hukum lingkungan skala kabupaten/kota. 1. Pelaksanaan dan pemantauan penaatan atas perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan skala kabupaten/kota. 2. Pemantauan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol skala kabupaten/kota.

1. Pelaksanaan komitmen perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan yang meliputi pengesahan, pemantauan penaatan, serta dokumentasi dan diseminasi. 2. Pengawasan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol.

17. Perubahan Iklim dan Perlindungan Atmosfir

1. Penetapan kebijakan pengendalian dampak perubahan iklim.

1. Penetapan kebijakan pelaksanaan pengendalian dampak perubahan iklim skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan pelaksanaan pengendalian dampak perubahan iklim skala kabupaten/kota.

1256

2. Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan deposisi asam serta pemantauan. 3.

2. Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan pemantauan skala provinsi. 3. Pemantauan dampak deposisi asam skala provinsi.

2. Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan pemantauan skala kabupaten/kota. 3. Pemantauan dampak deposisi asam skala kabupaten/kota.

18. Laboratorium Lingkungan

1. Penetapan kebijakan di bidang laboratorium lingkungan. 2. Pembinaan dan pengawasan terhadap laboratorium lingkungan.

1. Penunjukan laboratorium lingkungan yang telah diakreditasi/direkomendasi untuk melakukan analisis lingkungan. 2. Pembinaan laboratorium lingkungan.

1. Penyediaan laboratorium lingkungan sesuai dengan kebutuhan daerah. 2.

2. Konservasi Sumber Daya Alam (SDA)

1. Keanekaragaman Hayati

1. Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional.

1. Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala provinsi.

1. Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.

1257

2. Penetapan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala nasional. 3. Penetapan kebijakan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala nasional. 4. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional.

2. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala provinsi. 3. Penetapan dan pelaksanaan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala provinsi. 4. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala provinsi.

2. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. 3. Penetapan dan pelaksanaan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. 4. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.

5. Pengaturan dan penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala nasional. 6. Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala nasional.

5. Penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala provinsi. 6. Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala provinsi.

5. Penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. 6. Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.

1258

9. Bidang Pertanahan
STATUS NSPK SUB BIDANG 1. Izin Lokasi SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria izin lokasi. 2.a. Pemberian izin lokasi lintas provinsi. b. c. d. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. 2.a. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan. b. Kompilasi bahan koordinasi. c. Pelaksanaan rapat koordinasi. d. Pelaksanaan peninjauan lokasi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. 2.a. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan. b. Kompilasi bahan koordinasi. c. Pelaksanaan rapat koordinasi. d. Pelaksanaan peninjauan lokasi. KETERANGAN S1 S2 S3

e. f. g. h. Pembatalan ijin lokasi atas usulan pemerintah provinsi dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN provinsi

e. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) provinsi dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait. f. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin lokasi yang diterbitkan. g. Penerbitan surat keputusan izin lokasi. h. Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi atas usulan kabupaten/kota

e. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor pertanahan kabupaten/kota dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait. f. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin lokasi yang diterbitkan. g. Penerbitan surat keputusan izin lokasi. h. Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi dengan pertimbangan kepala kantor

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan izin lokasi.

dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN provinsi;. 3. Monitoring dan pembinaan perolehan tanah.

pertanahan kabupaten/kota. 3. Monitoring dan pembinaan perolehan tanah.

1259

2. Pengadaan Tanah Untuk Kepentinga n Umum

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum 2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas provinsi. a. b.

1. 2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas kabupaten/kota. a. Penetapan lokasi. b. Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturan

1. 2.a. Penetapan lokasi. b. Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan

c. d. e. f. g. h.

perundang-undangan. c. Pelaksanaan penyuluhan. d. Pelaksanaan inventarisasi. e. Pembentukan Tim Penilai Tanah (khusus DKI). f. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari Lembaga/Tim Penilai Tanah. g. Pelaksanaan musyawarah. h. Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian.

peraturan perundang- undangan. c. Pelaksanaan penyuluhan. d. Pelaksanaan inventarisasi. e. Pembentukan Tim Penilai Tanah f. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari Lembaga/Tim Penilai Tanah. g. Pelaksanaan musyawarah. h. Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian.

i. j. k. 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

i. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian. j. Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian. k. Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota. 3.

i. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian. j. Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian. k. Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota. 3.

3. Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelesaian sengketa tanah garapan

1.

1.

1260

2.

2. Penyelesaian sengketa tanah garapan lintas kabupaten/kota dan untuk Provinsi DKI Jakarta: a. Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan. b. Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa. c. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan. d. Koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkah- langkah penangannya

2.a. Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan. b. Penelitian terhadap ob yek dan subyek sengketa. c. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan. d. Koordinasi dengan kantor pertanahan untuk menetapkan langkah-langkah penangannya

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penanganan sengketa tanah garapan.

e. Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak. 3.

e. Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak. 3.

4. Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pe mbangunan

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.

1.

1.

2. 3. 4. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.

2. 3. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. 4. Pembinaan dan pengawasan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.

2. Pembentukan tim pengawasan pengendalian. 3. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. 4.

1261

5. Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah

1.

1.

kelebihan maksimum dan tanah absentee. 2.a.Pembentukan panitia pertimbangan landreform nasional. b. c. d.

2.a. Pembentukan panitia pertimbangan landreform provinsi. b. Penyelesaian permasalahan penetapan subyek dan obyek tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. c. d.

2.a. Pembentukan panitia pertimbangan landreform dan sekretariat panitia. b. Pelaksanaan sidang yang membahas hasil inventarisasi untuk penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. c. Pembuatan hasil sidang dalam berita acara. d. Penetapan tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee sebagai obyek

e. f. 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan subyek dan obyek tanah, ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

e. f. 3. Pembinaan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

landreform berdasarkan hasil sidang panitia. e. Penetapan para penerima redistribusi tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee berdasarkan hasil sidang panitia. f. Penerbitan surat keputusan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian. 3.

1262

6. Penetapan Tanah Ulayat

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. 2.

1. 2.a. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota. b. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian. c. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat. d. Pengusulan rancangan peraturan daerah provinsi tentang penetapan tanah ulayat.

1. 2.a. Pembentukan panitia peneliti. b. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian. c. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat. d. Pengusulan rancangan peraturan daerah tentang penetapan tanah ulayat.

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.

e. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat. f. 3.

e. Pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada kantor pertanahan kabupaten/kota. f. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat. 3.

7. Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian

1.

1.

1263

pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. 2.

2. Penyelesaian masalah tanah kosong.

2.a. Inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim. b. Penetapan bidang- bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk tanaman pangan semusim bersama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian. c. Penetapan pihak-pihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan mengutamakan masyarakat setempat. d. Fasilitasi perjanjian

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan

3. Pembinaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.

kerjasama antara pemegang hak tanah dengan pihak yang akan memanfaatkan tanah dihadapan/diketahui oleh kepala desa/lurah dan camat setempat dengan perjanjian untuk dua kali musim tanam. e. Penanganan masalah yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian. 3.

pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.

1264

8. Izin Membuka Tanah

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah. 2.

1. 2. Penyelesaian permasalahan pemberian izin membuka tanah.

1. 2.a. Penerimaan dan pemeriksaan permohonan. b. Pemeriksaan lapang dengan memperhatikan kemampuan tanah, status tanah dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota.

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan ijin membuka tanah.

3. Pengawasan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah. (Tugas Pembantuan)

c. Penerbitan izin membuka tanah dengan memperhatikan pertimbangan teknis dari kantor pertanahan kabupaten/kota. d. Pengawasan dan pengendalian penggunaan izin membuka tanah. 3. (Tugas Pembantuan)

9. Perencanaan Pe nggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota. 2.

1. Perencanaan penggunaan tanah lintas kabupaten/kota yang berbatasan. 2.

1. 2.a. Pembentukan tim koordinasi tingkat kabupaten/kota. b. Kompilasi data dan informasi yang terdiri dari : 1) Peta pola Penatagunaan tanah atau peta wilayah tanah usaha atau peta persediaan tanah dari kantor pertanahan setempat.

1265

2) Rencana Tata Ruang Wilayah. 3) Rencana pembangunan yang akan menggunakan tanah baik rencana pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, maupun investasi swasta. c. Analisis kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan kriteria teknis dari instansi terkait. d. Penyiapan draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah. e. Pelaksanaan rapat koordinasi terhadap draft rencana letak

kegiatan penggunaan tanah dengan instansi terkait. f. Konsultasi publik untuk memperoleh masukan terhadap draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah. g. Penyusunan draft final rencana letak kegiatan penggunaan tanah. h. Penetapan rencana letak kegiatan penggunaan tanah dalam bentuk peta dan penjelasannya dengan keputusan bupati/walikota. i. Sosialisasi tentang rencana letak kegiatan penggunaan tanah kepada instansi terkait.

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/ kota.

3.

j. Evaluasi dan penyesuaian rencana letak kegiatan penggunaan tanah berdasarkan perubahan RTRW dan perkembangan realisasi pembangunan. 3.

1266

10. Bidang Kependudukan dan Catatan Sipil


SUB BIDANG 1. Pendaftaran Pe nduduk SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala nasional. 2. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala provinsi. 2. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota. 2. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

2. Sosialisasi

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pemutakhiran data penduduk skala nasional.

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pemutakhiran data penduduk skala provinsi.

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.

3. Penyelenggaraan

1. Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.

1. Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.

1. Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.

1267

2.

2.

2. Penyelenggaraan pelayanan pendaftaran penduduk dalam sistem administrasi kependudukan skala kabupaten/kota, meliputi: a. Pencatatan dan pemutakhiran biodata penduduk serta penerbitan Nomor Induk Kependudukan (NIK); b. Pendaftaran perubahan alamat; c. Pendaftaran pindah datang penduduk dalam wilayah Republik Indonesia; d. Pendaftaran Warga Negara Indonesia tinggal sementara; e. Pendaftaran pindah datang Antarnegara;

f. Pendaftaran penduduk yang tinggal di perbatasan Antarnegara; g. Pendataan penduduk rentan Administrasi Kependudukan; h. Penerbitan dokumen kependudukan hasil pendaftaran penduduk; i. Penatausahaan pendaftaran penduduk.

1268

4. Pemantauan dan Evaluasi

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.

5. Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala nasional.

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala provinsi.

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.

6. Pengawasan

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.

2. Pencatatan Sipil

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala nasional. 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.

1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala provinsi. 2.

1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala kabupaten/kota. 2.

2. Sosialisasi

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala nasional.

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala provinsi.

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.

1269

3. Penyelenggaraan

1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.

1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.

1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.

2.

2.

2. Penyelenggaraan pelayanan pencatatan sipil dalam sistem administrasi kependudukan skala kabupaten/kota meliputi: a. Pencatatan kelahiran; b. Pencatatan lahir mati; c. Pencatatan perkawinan; d. Pencatatan perceraian; e. Pencatatan kematian; f. Pencatatan pengangkatan anak, pengakuan anak dan pengesahan anak; g. Pencatatan perubahan nama; h. Pencatatan perubahan status kewarganegaraan;

i. Pencatatan peristiwa penting lainnya; j. Pencatatan perubahan dan pembatalan akta; k. Penerbitan dokumen kependudukan hasil pencatatan sipil; l. Penatausahaan dokumen pencatatan sipil.

1270

4. Pemantauan dan Evaluasi

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.

5. Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala nasional.

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala provinsi.

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala kabupaten/kota.

6. Pengawasan

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.

3. Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional. 2. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi. 2.

1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. 2.

2. Sosialisasi

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.

1271

3. Penyelenggaraan

1. Koordinasi penyelenggaraan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1. Koordinasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.

1. Koordinasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.

2. Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data. 3. 4. Penyelenggaraan komunikasi data kependudukan skala nasional. 5. Pembangunan dan pengembangan perangkat lunak. 6.a. Pembangunan bank data kependudukan nasional.

2. Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data skala provinsi. 3. Penyediaan perangkat keras dan perlengkapan lainnya serta sarana jaringan komunikasi data di provinsi. 4. Penyelenggaraan komunikasi data kependudukan skala provinsi. 5. Pembangunan replikasi data kependudukan di provinsi. 6.a. Pembangunan bank data kependudukan provinsi.

2. Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data skala kabupaten/kota. 3. Penyediaan perangkat keras dan perlengkapan lainnya serta jaringan komunikasi data sampai dengan tingkat kecamatan atau kelurahan sebagai tempat pelayanan dokumen penduduk. 4. Pelaksanaan sistem informasi administrasi kependudukan. 5. Pembangunan replikasi data kependudukan di kabupaten/kota. 6.a. Pembangunan bank data kependudukan kabupaten/kota.

1272

b. 7. 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk skala nasional. 9.a. Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan nasional. b.

b. 7. 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk skala provinsi. 9.a. Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan provinsi. b.

b. Pembangunan tempat perekaman data kependudukan di kecamatan. 7. Perekaman data hasil pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta pemutakhiran data penduduk menggunakan sistem informasi administrasi kependudukan. 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk. 9.a. Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan kabupaten/ kota. b.Perlindungan data pribadi penduduk dalam proses dan hasil pendaftaran penduduk serta pencatatan sipil.

4. Pemantauan dan Evaluasi

1. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.

1. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.

5. Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala provinsi.

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.

1273

6. Pengawasan

1. Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1. Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.

1. Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.

4. Perkembangan Kependudukan

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala nasional. 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala nasional.

1. Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala provinsi. 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala kabupaten/kota. 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala kabupaten/ kota.

2. Sosialisasi

1. Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

1. Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

1.

1274

3. Penyelenggaraan

1. Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional. 2.

1. Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi. 2.

1. Pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota. 2. Pembuatan analisis pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan.

1275

3. 4.

3. 4. Pelaporan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, dan perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

3. Koordinasi dan kerjasama antar daerah dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan. 4. Pelaporan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk, dan perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.

1276

4. Pemantauan dan Evaluasi

1. Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

1. Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

1. Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.

5. Pembinaan dan Fasilitasi

1. Pembinaan dan fasilitasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan dan penyerasian penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

1. Pembinaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

1.

1277

6. Pengawasan

1. Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

1. Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

1. Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.

5. Perencanaan Kependudukan

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala nasional. 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan.

1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala provinsi. 2.

1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala kabupaten/kota. 2.

2. Sosialisasi

1. Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.

1. Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.

1.

1278

3. Penyelenggaraan

1.a. Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan pada tataran horizontal, vertikal, dan diagonal antar lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah pengelola bidang kependudukan skala nasional. b.

1.a. Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan pada tataran horizontal, vertikal, dan diagonal antar lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah pengelola bidang kependudukan skala provinsi. b.

1.a. Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan antar dan dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah pada skala kabupaten/kota. b.Penyelenggaraan kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan dalam rangka tertib administrasi kependudukan.

2. Penetapan dan pengembangan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala nasional. 3. Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala nasional. 4. Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.

2. Penetapan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala provinsi. 3. Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusu nan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala provinsi. 4. Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.

2. Penetapan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala kabupaten/kota. 3. Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran. 4. Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.

1279

5. Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala nasional.

5. Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala provinsi.

5. Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala kabupaten/kota.

4. Pemantauan dan Evaluasi

1. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.

1. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.

1. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala kabupaten/kota.

5. Pembinaan

1. Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.

1. Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.

1.

1280

6. Pengawasan

1. Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.

1. Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.

1. Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala kabupaten/kota.

1281

11. Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak


PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan daerah pelaksanaan PUG di provinsi. 2. Koordinasi, fasilitasi dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan daerah pelaksanaan PUG di kabupaten/ kota. 2. Koordinasi, fasilitasi dan mediasi pelaksanaan PUG skala kabupaten/kota. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

SUB BIDANG

SUB SUB BIDANG

PEMERINTAH

1. Pengarusutamaan Gender (P UG)

1. Kebijakan Pelaksanaan PUG

1. Penetapan kebijakan nasional pelaksanaan PUG. 2. Koordinasi, fasilitasi, dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala nasional.

2. Kelembagaan PUG

1. Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, Pusat Studi Wanita (PSW), lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala nasional.

1. Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, PSW, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala provinsi.

1. Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, PSW, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala kabupaten/ kota.

2. Pengembangan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala nasional. 3. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG secara nasional dan provinsi.

2. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala provinsi. 3. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG skala provinsi.

2. Koordinasi dan fasilitasi kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala kabupaten/kota. 3. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG skala kabupaten/kota.

1282

3. Pelaksanaan PUG

1. Pemberian bantuan teknis dan fasilitasi pelaksanaan PUG (penetapan panduan umum analisis gender, perencanaan anggaran yang responsif gender, materi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) PUG) skala nasional.

1. Pemberian bantuan teknis, fasilitasi pelaksanaan PUG (analisis gender, perencanaan anggaran yang responsif gender, dan pengembangan materi KIE PUG) skala provinsi.

1. Pelaksanaan analisis gender, perencanaan anggaran yang responsif gender, dan pengembangan materi KIE PUG skala kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan politik skala nasional. 3. Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala nasional.

2. Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM dan politik skala provinsi. 3. Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala provinsi.

2. Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM dan politik skala kabupaten/kota. 3. Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala kabupaten/kota.

2. Kualitas Hidup dan Pe rlindungan Pe rempuan

1. Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan

1.Penetapan kebijakan nasional peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.

1. Penyelenggaraan kebijakan provinsi peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.

1. Penyelenggaraan kebijakan kabupaten/kota peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama dibidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.

1283

2. Pengintegrasian Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan

1.Fasilitasi pengintegrasian isu gender dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.

1. Fasilitasi pengintegrasian upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.

1. Pengintegrasian upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.

3. Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.

4. Kebijakan Perlindungan Perempuan

1. Penetapan kebijakan nasional perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana.

1. Penyelengaraan kebijakan provinsi perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.

1. Penyelenggaraan kebijakan kabupaten/kota perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota.

1284

5. Pengintegrasian Kebijakan Perlindungan Perempuan

1. Fasilitasi pengintegrasian kebijakan nasional perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana.

1. Fasilitasi pengintegrasian kebijakan provinsi perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.

1. Fasilitasi pengintegrasian kebijakan kabupaten/kota perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota.

6. Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Perempuan

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala nasional.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota.

1285

3. Perlindungan Anak

1. Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

1. Penetapan kebijakan nasional dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak. 2.

1. Pelaksanaan kebijakan dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi. 2. Penetapan kebijakan daerah tentang kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota. 2. Penetapan kebijakan daerah untuk kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.

2. Pengintegrasian Hak-Hak Anak dalam Kebijakan dan Program Pembangunan

1.Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan nasional.

1. Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan skala provinsi.

1. Pengintegrasian hakhak anak dalam kebijakan dan program pembangunan skala kabupaten/ kota.

3. Koordinasi Pelaksanaan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

1. Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.

1. Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.

1. Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.

4. Pemberdayaan Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha

1. Penguatan Lembaga/ Organisasi Masyarakat dan Dunia Usaha untuk Pelaksanaan PUG dan Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

1. Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.

1. Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.

1. Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.

1286

2. Pengembangan dan Penguatan Jaringan Kerja Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha untuk Pelaksanaan PUG, Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

1. Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional. 2. Penetapan strategi rekayasa sosial untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan perlindungan anak.

1. Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi. 2. Fasilitasi lembaga masyarakat untuk melaksanakan rekayasa sosial untuk mewujudkan KKG dan perlindungan anak skala provinsi.

1. Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota. 2. Fasilitasi lembaga masyarakat untuk melaksanakan rekayasa sosial untuk mewujudkan KKG dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.

5. Data dan Informasi Gender dan Anak

1. Data Terpilah menurut Jenis Kelamin dari di Setiap Bidang Terkait

1. Pengembangan dan penetapan kebijakan nasional sistem informasi gender dan anak.

1. Penjabaran dan penetapan kebijakan sistem informasi gender dan anak skala provinsi dengan merujuk pada kebijakan nasional.

1. Penjabaran dan penetapan kebijakan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota dengan merujuk pada kebijakan nasional.

1287

2. Data dan Informasi Gender dan Anak

1. Pengembangan dan penyusunan panduan umum, mekanisme pengumpulan, pengolahan, analisis, diseminasi dan dokumentasi sistem informasi gender dan anak. 2. Advokasi, mediasi dan fasilitasi pelaksanaan sistem infomasi gender dan anak.

1. Koordinasi pelaksanaan sistem informasi gender dan anak skala provinsi. 2. Fasilitasi pelaksanaan sistem informasi gender dan anak.

1. Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan sistem informasi gender dan anak.

3. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

1. Promosi dan advokasi data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional.

1. Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi.

1. Analisis, pemanfaatan, penyebarluasan dan pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala kabupaten/kota.

1288

2. Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan, dan anak skala nasional. 3. Pengembangan metode analisis gender dan penyusunan model informasi data skala nasional. 4. Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional. 5. Pemantauan dan evaluasi kebijakan dan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender skala nasional.

2. Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi. 3. Penyusunan model informasi data (mediasi dan advokasi) skala provinsi. 4. Pemantauan dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender dan anak skala provinsi. 5.

2. Pemantauan dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota. 3. Penyusunan model informasi data (mediasi dan advokasi) skala kabupaten/kota. 4. 5.

1289

12. Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera


SUB BIDANG 1. Pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Jaminan dan Pelayanan KB, Peningkatan Partisipasi Pria, Penanggulangan Masalah Kesehatan Reproduksi, serta Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi dan Anak PEMERINTAH 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, dan kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala nasional. b. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1.a. Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala provinsi. b.Pemberian dukungan operasional jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1.a. Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB , peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala kabupaten/ kota. b. Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi, operasionalisasi jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota. STATUS NSPK S1 S2 S3 KETERANGAN

1290

c. 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengembangan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala nasional.

c. 2.a. Pemberian dukungan pelaksanaan pedoman upaya peningkatan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.

c. Penetapan dan pengembangan jaringan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, termasuk pelayanan KB di rumah sakit skala kabupaten/kota. 2.a. Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KB, sasaran peningkatan perencanaan kehamilan, sasaran peningkatan partisipasi pria, sasaran Unmet Need, sasaran penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta sasaran kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/kota.

1291

b. 3.a.Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala nasional. b.

b. 3.a.Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi. b.

b. Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota. 3.a. Pelaksanaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota. b.Pemantauan tingkat drop out peserta KB.

1292

c. d. e. f. g.

c. d. e. f. g.

c. Pengembangan materi penyelenggaraan jaminan dan pelayanan KB dan pembinaan penyuluh KB. d. Perluasan jaringan dan pembinaan pelayanan KB. e. Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi. f. Penyelenggaraan dan fasilitasi upaya peningkatan kesadaran keluarga berkehidupan seksual yang aman dan memuaskan, terbebas dari HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS). g. Pembinaan penyuluh KB.

1293

h. 4.a. Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala nasional. b. c.

h. 4.a. Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala provinsi. b. c.

h. Peningkatan kesetaraan dan keadilan gender terutama partisipasi KB pria dalam pelaksanaan program pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. 4.a. Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan kontrasepsi mantap dan kontrasepsi jangka panjang yang lebih terjangkau, aman, berkualitas dan merata skala kabupaten/kota. b.Pelaksanaan distribusi dan pengadaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi, dan pelayanannya dengan prioritas keluarga miskin dan kelompok rentan skala kabupaten/kota. c.Penjaminan ketersediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi bagi peserta mandiri skala kabupaten/kota.

5.a. Penetapan pedoman dan pengembangan model promosi pemenuhan hakhak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala nasional. b.

5.a. Pemberian dukungan penyelenggaraan promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala provinsi. b.

5.a. Pelaksanaan promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala kabupaten/ kota. b. Pelaksanaan informed choice dan informed consent dalam program KB.

1294

2. Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)

1. Kebijakan dan Pelaksanaan KRR dan Perlindungan HakHak Reproduksi

1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) skala nasional. b.

1.a.Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi. b. Pemberian dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.

1.a. Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota. b. Penyelenggaraan dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota.

2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengembangan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional. b. 3.a. Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional.

2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi. b. 3.a. Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.

2.a.Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota. b.Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota. 3.a. Penyelenggaraan pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.

1295

b. c. d. e.

b. c. d. e.

b. Penyelenggaraan kemitraan pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor Lembaga Swadaya Organisasi Masyarakat (LSOM) skala kabupaten/kota. c. Penetapan fasilitas pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota. d. Pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota. e. Penetapan sasaran KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota.

1296

f. 4. Pengembangan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala nasional.

f. 4. Pendayagunaan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala provinsi.

f .Penetapan prioritas kegiatan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota. 4. Pemanfaatan tenaga SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.

3. Ketahanan dan Pe mberdayaan Keluarga

1. Kebijakan dan Pelaksanaan Pengembangan Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga

1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota. b. Penyelenggaraan dukungan pelayanan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.

1297

2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional. b. 3.a. Pengelolaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional. b.

2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi. b. 3.a. Pengelolaan operasional ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi. b.

2.a. Penyerasian penetapan kriteria pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota. b. Penetapan sasaran Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan Bina Keluarga Lansia (BKL) skala kabupaten/ kota. 3.a. Penyelenggaraan BKB, BKR, dan BKL termasuk pendidikan pra- melahirkan skala kabupaten/ kota. b.Pelaksanaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.

1298

c. d. e. f.

c. d. e. f.

c. Pelaksanaan modelmodel kegiatan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota. d. Pembinaan teknis peningkatan pengetahuan, keterampilan, kewirausahaan dan manajemen usaha bagi keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I alasan ekonomi dalam kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) skala kabupaten/kota. e. Pelaksanaan pendampingan/ magang bagi para kader/anggota kelompok UPPKS skala kabupaten/kota. f. Pelaksanaan kemitraan untuk aksesibilitas permodalan, teknologi, dan manajemen serta pemasaran guna peningkatan UPPKS skala kabupaten/kota.

g.

g.

g. Peningkatan kualitas lingkungan keluarga skala kabupaten/kota.

1299

4. Penguatan Pe lembagaan Keluarga Kecil Berkualitas

1. Kebijakan dan Pelaksanaan Penguatan Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas dan Jejaring Program

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional. b. 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi. b. 2.a.Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota. b. Penyelenggaraan dukungan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota. 2.a.Penetapan perkiraan sasaran pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.

1300

b. c. d. e. f.

b. c. d. e. f.

b. Pemanfaatan pedoman pelaksanaan penilaian angka kredit jabatan fungsional penyuluh KB. c. Penetapan petunjuk teknis pengembangan peran Institusi Masyarakat Pedesaan/Perkotaan (IMP) dalam program KB nasional. d. Penetapan formasi dan sosialisasi jabatan fungsional penyuluh KB. e. Pendayagunaan pedoman pemberdayaan dan penggerakan institusi masyarakat program KB nasional dalam rangka kemandirian. f. Penetapan petunjuk teknis peningkatan peran serta mitra program KB nasional.

1301

3. a. Pengelolaan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional. b. c. d. e.

3.a. Pengelolaan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi. b. Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional, serta pemanfaatan hasil kajian dan penelitian. c. d. e.

3.a. Pelaksanaan pengelolaan personil, sarana dan prasarana dalam mendukung program KB nasional, termasuk jajaran medis teknis tokoh masyarakat dan tokoh agama. b. Penyediaan dan pemberdayaan tenaga fungsional penyuluh KB. c. Penyediaan dukungan operasional penyuluh KB. d. Penyediaan dukungan operasional IMP dalam program KB nasional. e. Pelaksanaan pembinaan teknis IMP dalam program KB nasional.

1302

f. g. h. i. j.

f. g. h. i. j.

f. Pelaksanaan peningkatan kerjasama dengan mitra kerja program KB nasional dalam rangka kemandirian. g. Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional di kabupaten/kota. h. Pemanfaatan hasil kajian dan penelitian. i. Pendayagunaan kerjasama jejaring pelatih terutama pelatihan klinis kabupaten/kota. j. Pendayagunaan SDM program terlatih, serta perencanaan dan penyiapan kompetensi SDM program yang dibutuhkan kabupaten/kota.

k.

k.

k. Pendayagunaan bahan pelatihan sesuai dengan kebutuhan program peningkatan kinerja SDM.

1303

5. Advokasi dan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)

1. Kebijakan dan Pelaksanaan Advokasi dan KIE

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi, KIE, serta konseling program KB nasional. b. 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria pengembangan advokasi dan KIE skala nasional. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi. b. Fasilitasi operasional advokasi dan KIE skala provinsi. 2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan advokasi dan KIE skala nasional. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala kabupaten/kota. b. Penyelenggaraan operasional advokasi KIE skala kabupaten/ kota. 2.a. Penetapan perkiraan sasaran advokasi dan KIE skala kabupaten/kota. b.Penyerasian dan penetapan kriteria advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.

3.a. Pengelolaan advokasi dan KIE skala nasional. b. c. d.

3.a. Pengelolaan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi. b. c. d.

3.a. Pelaksanaan advokasi, KIE, serta konseling program KB dan KRR. b. Pelaksanaan KIE ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan kelembagaan dan jaringan institusi program KB. c. Pemanfaatan prototipe program KB/Kesehatan Reproduksi (KR), KRR, ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas. d. Pelaksanaan promosi KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS, dan bahaya NAPZA dan perlindungan hak-hak reproduksi.

1304

3.a. Pengelolaan advokasi dan KIE skala nasional. b. c. d.

3.a. Pengelolaan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi. b. c. d.

3.a. Pelaksanaan advokasi, KIE, serta konseling program KB dan KRR. b. Pelaksanaan KIE ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan kelembagaan dan jaringan institusi program KB. c. Pemanfaatan prototipe program KB/Kesehatan Reproduksi (KR), KRR, ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas. d. Pelaksanaan promosi KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS, dan bahaya NAPZA dan perlindungan hak-hak reproduksi.

1305

6. Informasi dan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga

1. Kebijakan dan Pelaksanaan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional. b. 2.a.Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi. b. Fasilitasi operasional pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi. 2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan informasi dan data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota. b. Penyelenggaraan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota. 2.a. Penetapan perkiraan sasaran pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota. b.Informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.

1306

3.a. Pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional. b. c. d. e.

3.a. Pengelolaan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi. b. c. d. e.

3.a. Pelaksanaan operasional sistem informasi manajemen program KB nasional. b. Pemutakhiran, pengolahan, dan penyediaan data mikro kependudukan dan keluarga. c. Pengelolaan data dan informasi program KB nasional serta penyiapan sarana dan prasarana. d. Pemanfaaan data dan informasi program KB nasional untuk mendukung pembangunan daerah. e. Pemanfaatan operasional jaringan komunikasi data dalam pelaksanaan egovernment dan melakukan diseminasi informasi.

1307

7. Keserasian Kebijakan Kependudukan

1. Penyerasian dan Keterpaduan Kebijakan Kependudukan

1. Penetapan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. 2. Pengkajian dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan.

1. Pelaksanaan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. 2. Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di provinsi.

1. Penyelenggaraan kebijakan teknis operasional dan pelaksanaan program kependudukan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan di daerah kabupaten/kota. 2. Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah kabupaten/kota.

3.a. Pengelolaan dan penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan sektoral dan daerah. b.

3.a. Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di provinsi. b.

3.a. Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di daerah kabupaten/kota. b. Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah kabupaten/kota.

1308

8. Pembinaan

1. Kebijakan dan Pelaksanaan Pembinaan

1. Pengembangan dan penetapan kebijakan pembinaan, dan penyelenggaraan monitoring, evaluasi, fasilitasi, asistensi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional.

1. Dukungan pelaksanaan monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional.

1. Monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional di kabupaten/kota.

1309

13. Bidang Sosial


SUB BIDANG 1. Kebijakan Bidang Sosial SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala nasional. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala provinsi mengacu pada kebijakan nasional. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala kabupaten/kota mengacu pada kebijakan provinsi dan/atau nasional. 1. Penyusunan perencanaan bidang sosial skala kabupaten/kota. 1. Penyelenggaraan kerjasama bidang sosial skala kabupaten/kota. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

2. Perencanaan Bidang Sosial

1. Penyusunan perencanaan bidang sosial skala nasional.

1. Penyusunan perencanaan bidang sosial skala provinsi.

3. Kerjasama Bidang Sosial

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria kerjasama bidang sosial.

1. Penyelenggaraan kerjasama bidang sosial skala provinsi.

4. Pembinaan Bidang Sosial

1. Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala nasional. 2. Penetapan pedoman dan standarisasi.

1. Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala provinsi. 2. Sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan pedoman dan standarisasi. 3. Pengajuan usulan dan rekomendasi untuk penetapan akreditasi dan sertifikasi. 4. Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala provinsi.

1. Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala kabupaten/kota. 2. Sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan pedoman dan standarisasi. 3. Seleksi dan kelengkapan bahan usulan untuk penetapan akreditasi dan sertifikasi. 4. Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala kabupaten/kota.

3. Penetapan akreditasi dan sertifikasi. 4. Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala nasional.

1310

5. Identifikasi dan Penanganan Pe nyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

1. Penetapan jenis dan kriteria sasaran penanggulangan masalah sosial skala nasional.

1. Identifikasi sasaran penanggulangan masalah sosial skala provinsi.

1. Identifikasi sasaran penanggulangan masalah sosial skala kabupaten/kota.

6. Pengembangan dan Pe ndayagunaan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)

1. Penetapan pedoman, jenis, standar dan kriteria PSKS skala nasional. 2. Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala nasional.

1. Penggalian dan pendayagunaan PSKS skala provinsi. 2. Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala provinsi.

1. Penggalian dan pendayagunaan PSKS skala kabupaten/kota. 2. Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala kabupaten/kota.

7. Pelaksanaan Program/Kegiatan Bidang sosial

1. Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial meliputi uji coba, percontohan, kerjasama luar negeri, dan penanggulangan masalah sosial skala nasional.

1. Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial skala provinsi dan atau kerjasama antar kabupaten/kota.

1. Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial skala kabupaten/kota.

8. Pengawasan Bidang Sosial

1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan, dan kebijakan bidang sosial.

1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan bidang sosial, dan kebijakan skala provinsi. 1. Pelaporan pelaksanaan program bidang sosial skala provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Menteri Sosial.

1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan bidang sosial skala kabupaten/ kota.

9. Pelaporan Pe laksanaan Program di Bidang Sosial

1. Pelaporan pelaksanaan program di bidang sosial skala nasional kepada Presiden.

1. Pelaporan pelaksanaan program bidang sosial skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Sosial.

1311

10. Sarana dan Prasarana Sosial

1. Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala nasional.

1. Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala provinsi.

1. Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala kabupaten/kota.

11. Pe mbinaan Tenaga Fungsional Pe kerja Sosial

1. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala nasional. 2. Penyelenggaraan pendidikan profesi pekerjaan sosial skala nasional. 3. Pendidikan dan pelatihan jabatan fungsional pekerja sosial skala nasional.

1. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala provinsi. 2. Pengusulan calon peserta pendidikan profesi pekerjaan sosial skala provinsi. 3. Pengusulan calon peserta pendidikan dan profesi pekerja sosial skala provinsi.

1. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala kabupaten/kota. 2. Pengusulan calon peserta pendidikan profesi pekerjaan sosial skala kabupaten/kota. 3. Pengusulan calon peserta pendidikan dan pelatihan pekerja sosial skala kabupaten/kota.

12. Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial

1. Penetapan pedoman sistem informasi kesejahteraan sosial. 2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala nasional.

1. 2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala provinsi.

1. 2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota.

13. Pe nganugerahan Tanda Kehormatan

1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk penganugerahan satya lencana kebaktian sosial. 2. Penganugerahan penghargaan Menteri Sosial.

1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi atas usulan penganugerahan satya lencana kebaktian sosial kepada Presiden melalui Menteri Sosial. 2. Pemberian penghargaan di bidang sosial skala provinsi.

1. Penyiapan bahan kelengkapan usulan penganugerahan satya lencana kebaktian sosial kepada Presiden melalui Gubernur dan Menteri Sosial. 2. Pemberian penghargaan di bidang sosial skala kabupaten/kota.

1312

14. Nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan Kejuangan dan Kesetiakawanan Sosial

1. Pelestarian Nilai-Nilai

1. Penetapan pedoman pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan kejuangan dan kesetiakawanan sosial.

1. Pelestarian nilainilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan serta nilainilai kesetiakawanan sosial sesuai pedoman skala provinsi.

1. Pelestarian nilainilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan serta nilainilai kesetiakawanan sosial sesuai pedoman yang ditetapkan oleh pusat atau provinsi skala kabupaten/kota.

2. Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan (TMP)

1. Standarisasi, pemeliharaan, dan perbaikan TMP Nasional.

1. Pembangunan, perbaikan, pemeliharaan, TMP di provinsi.

1. Pembangunan, perbaikan, pemeliharaan, TMP di kabupaten/kota.

3. Pemeliharaan Makam Pahlawan Nasional (MPN)

1. Standarisasi, pemeliharaan dan perbaikan MPN.

1.

1.

4. Penganugerahan Gelar Pahlawan dan Perintis Kemerdekaan

1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk penetapan dan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.

1. Pemberian rekomendasi atas usulan pengangkatan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.

1. Penyiapan bahan kelengkapan usu lan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.

5. Penyelenggaraan Peringatan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional

1. Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional.

1. Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional tingkat provinsi.

1. Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional tingkat kabupaten/kota.

1313

15. Pe nanggulangan Korban Bencana

1. Penetapan pedoman penanggulangan bencana. 2. Penanggulangan bencana skala dan/atau berdampak nasional.

1. Penanggulangan korban bencana skala provinsi. 2.

1. Penanggulangan korban bencana skala kabupaten/kota. 2.

16. Pe ngumpulan Uang atau Barang (Sumbangan Sosial)

1. Penetapan kebijakan dan pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala nasional. 2. Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala nasional.

1. Pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala provinsi. 2. Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala provinsi.

1. Pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala kabupaten/kota. 2. Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala kabupaten/kota.

3. Pengelolaan (penerimaan dan penyaluran) sumbangan sosial masyarakat baik dalam maupun luar negeri.

3.

3.

17. Undian

1. Penetapan kebijakan dan pemberian izin undian skala nasional. 2. Pengendalian dan pengawasan serta pemantauan pelaksanaan undian di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

1. Pemberian rekomendasi izin undian skala provinsi. 2. Pengendalian dan pengawasan pelaksanaan undian di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

1. Pemberian rekomendasi izin undian skala kabupaten/kota bila diperlukan. 2. Pengendalian dan pelaksanaan undian di tingkat kabupaten/kota.

1314

18. Jaminan Sosial bagi Penyandang Cacat Fisik dan Mental, dan Lanjut Usia Tidak Potensial Terlantar, yang berasal dari Masyarakat Rentan dan Tidak Mampu

1. Penetapan pedoman penyelenggaraan jaminan sosial. 2. Pelaksanaan pemberian jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar, yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala nasional.

1. 2. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala provinsi.

1. 2. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala kabupaten/kota.

19. Pe ngasuhan dan Pe ngangkatan Anak

1. Penetapan organisasi sosial/yayasan yang diberi izin untuk pengasuhan anak. 2. Pemberian izin pengangkatan anak bagi anak yang berada dalam asuhan organisasi sosial antar Warga Negara Indonesia (WNI) dan antara WNI dengan Warga Negara Asing (WNA).

1. 2. Pemberian izin pengangkatan anak antar WNI.

1. 2. Pemberian rekomendasi pengangkatan anak skala kabupaten/kota.

1315

14. Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian


SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan, Perencanaan, Pembinaan, dan Pengawasan PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan penetapan kebijakan daerah serta pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi. 2. Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan provinsi, penetapan kebijakan daerah dan pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 2. Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

SUB BIDANG

PEMERINTAH

1. Ketenagakerjaan

1. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. 2. Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.

1316

3. Koordinasi dan pengintegrasian penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. 4. Penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan kelembagaan/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bidang ketenagakerjaan skala nasional. 5. Perencanaan tenaga kerja nasional, pembinaan perencanaan tenaga kerja daerah provinsi dan kabupaten/kota, sektoral, dan mikro serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketenagakerjaan nasional.

3. Penanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi. 4. Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan di provinsi. 5. Perencanaan tenaga kerja daerah provinsi, pembinaan perencanaan tenaga kerja mikro, pembinaan dan penyelenggaraan sistem

3. Penanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 4. Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota. 5. Perencanaan tenaga kerja daerah kabupaten/kota, pembinaan perencanaan tenaga kerja mikro pada instansi/tingkat perusahaan, pembinaan dan penyelenggaraan

informasi ketenagakerjaan, serta pembinaan perencanaan tenaga kerja dan sistem informasi ketenagakerjaan kabupaten/kota skala provinsi.

sistem informasi ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.

1317

2. Pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur

1. Penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. 2. Perencanaan formasi, karir, dan pendidikan dan pelatihan (diklat)

1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi. 2. Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana

1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 2. Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang

SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. 4. Penetapan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan

urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan di provinsi. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi. 4. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketenagakerjaan skala

ketenagakerjaan di kabupaten/kota. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 4. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketenagakerjaan skala

1318

pemerintahan bidang ketenagakerjaan. 5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi pusat.

provinsi. 5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi provinsi.

kabupaten/kota. 5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi kabupaten/kota.

3. Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Tenaga Kerja

1.a. Standarisasi kompetensi dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala nasional. b. 2.a. Standarisasi, pelatihan dan pelaksanaan pengukuran

1.a. Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala provinsi. b.Pelatihan diseminasi program untuk kabupaten/kota di wilayah provinsi. 2.a. Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala

1.a. Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala kabupaten/kota. b. 2.a. Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala kabupaten/kota.

produktivitas skala nasional. b.Pembinaan dan penyelenggaraan kerja sama internasional dalam rangka peningkatan produktivitas. 3. Pengawasan pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan kerja serta penerbitan perizinan magang ke luar negeri. 4. Pengawasan pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga

provinsi. b.Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah provinsi. 3. Pengawasan pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan kerja serta penerbitan rekomendasi perizinan magang ke luar negeri. 4. Pengawasan pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga

b.Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah kabupaten/kota. 3. Penyelenggaraan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan serta pengesahan kontrak/perjanjian magang dalam negeri. 4. Koordinasi pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga pelatihan kerja skala kabupaten/kota.

1319

sertifikasi profesi dan lembaga pelatihan kerja skala nasional.

pelatihan kerja skala provinsi.

4. Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri

1.a. Penyusunan sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja secara nasional. b.Pemberian pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala nasional. c. Pembinaan dan penyusunan sistem pemberdayaan pengantar kerja berskala nasional.

1.a. Penyusunan sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja di wilayah provinsi. b.Pemberian pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala provinsi. c. Pembinaan, monitoring, evaluasi, dan pendataan jabatan fungsional pengantar kerja tingkat provinsi.

1.a. Penyebarluasan informasi pasar kerja dan pendaftaran pencari kerja (pencaker) dan lowongan kerja. b.Penyusunan, pengolahan dan penganalisisan data pencaker dan data lowongan kerja skala kabupaten/kota. c. Pemberian pelayanan informasi pasar kerja, bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala kabupaten/kota.

d.Monitoring, evaluasi, dan sosialisasi jabatan fungsional pengantar kerja. e. Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja berskala nasional. 2.a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS) dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan lintas provinsi/berskala nasional.

d. e. Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja tingkat provinsi. 2.a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan skala provinsi.

d.Pembinaan pejabat fungsional pengantar kerja. e. Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja di wilayah kerja kabupaten/kota. 2.a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan skala kabupaten/kota.

1320

b. 3. Pemberian rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/job fair skala nasional. 4. Sosialisasi dan evaluasi penempatan tenaga kerja penyandang cacat, lanjut usia (lansia) dan perempuan skala nasional.

b.Penerbitan rekomendasi untuk perizinan pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan yang akan melakukan kegiatan skala provinsi. 3. Pemberian rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/job fair skala provinsi. 4. Fasilitasi dan pembinaan penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala provinsi.

b.Penerbitan rekomendasi untuk perizinan pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan yang akan melakukan kegiatan skala kabupaten/kota. 3. Pemberikan rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/job fair skala kabupaten/kota. 4. Fasilitasi penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala kabupaten/kota.

1321

5.a. Penerbitan Surat Persetujuan Penempatan (SPP) Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) skala nasional. b. 6.a. Penerbitan izin operasional Tenaga Kerja Sukarela (TKS) Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela luar negeri dan lembaga sukarela Indonesia. b.Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pendayagunaan TKS,

5.a. Penerbitan SPP AKAD skala provinsi. b. 6.a. Penerbitan rekomendasi izin operasional TKS Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan beroperasi lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi. b.Pelaksanaan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan

5.a. Penyuluhan, Rekrutmen, seleksi dan pengesahan pengantar kerja, serta penempatan tenaga kerja AKAD/Antar Kerja Lokal (AKL). b.Penerbitan SPP AKL skala kabupaten/kota. 6.a. Penerbitan rekomendasi izin operasional TKS Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan beroperasi pada 1 (satu) kabupaten/kota. b.Pelaksanaan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan pendayagunaan TKS dan lembaga sukarela skala

Tenaga Kerja Mandiri (TKM), dan lembaga sukarela skala nasional. c. 7.a. Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) baru. b.Pengesahan RPTKA perpanjangan lintas provinsi.

pendayagunaan TKS dan lembaga sukarela skala provinsi. c.Koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program pendayagunaan TKM skala provinsi. 7.a. b.Pengesahan RPTKA perpanjangan yang tidak mengandung perubahan jabatan, jumlah orang, dan lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah provinsi.

kabupaten/kota. c.Pendaftaran dan fasilitasi pembentukan TKM. 7.a. b.

1322

c. Pengesahan RPTKA perubahan seperti perubahan jabatan, perubahan lokasi, perubahan jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) dan perubahan kewarganegaraan. 8.a. Pemberian rekomendasi visa kerja dan penerbitan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) baru. b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi. c.Penyusunan jabatan terbuka atau tertutup bagi TKA. 9. Pembinaan dan pengendalian penggunaan TKA skala nasional. 10. Pembinaan penerapan teknologi tepat guna skala nasional. 11. Pembinaan modelmodel perluasan dan pengembangan kesempatan secara nasional antara lain melalui usaha mandiri

c. 8.a. b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.

c. 8.a. b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota.

c. 9. Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam wilayah provinsi. 10. Pembinaan dan penerapan teknologi tepat guna skala provinsi. 11. Koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi pelaksanaan program usaha mandiri dan sektor informal serta program padat karya

c. 9. Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. 10. Pelaksanaan pelatihan/bimbingan teknis, penyebarluasan dan penerapan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota. 11. Penyelenggaraan program perluasan kerja melalui bimbingan usaha mandiri dan sektor informal serta program padat karya skala kabupaten/kota.

dan sektor informal, serta program padat karya.

skala provinsi.

1323

5. Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri

1.a. Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan penempatan TKI ke luar negeri. b.Pelaksanaan penempatan TKI oleh pemerintah. 2. Pembuatan perjanjian/pelaksanaan kerjasama bilateral dan multilateral dengan negara-negara penempatan TKI.

1.a. Monitoring dan evaluasi penempatan TKI ke luar negeri yang berasal dari wilayah provinsi. b. 2. Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah provinsi.

1.a. Pelaksanaan penyuluhan, pendaftaran dan seleksi calon TKI di wilayah kabupaten/kota. b.Pengawasan pelaksanaan rekrutmen calon TKI di wilayah kabupaten/kota. 2. Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah kabupaten/kota.

3. Penerbitan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (SIPPTKIS)/ Surat Izin Usaha Penempatan (SIUP)Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan rekomendasi rekrutmen calon TKI serta Penerbitan Surat Izin Pengerahan (SIP). 4. Verifikasi dokumen TKI, penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), penerbitan rekomendasi paspor TKI yang bersifat khusus dan crash program.

3. Penerbitan perizinan pendirian kantor cabang di wilayah provinsi dan rekomendasi perpanjangan SIPPTKIS/PPTKIS. 4. Verifikasi dokumen TKI di wilayah provinsi.

3. Penerbitan rekomendasi izin pendirian kantor cabang PPTKIS di wilayah kabupaten/kota. 4. Penerbitan rekomendasi paspor TKI di wilayah kabupaten/kota berdasarkan asal/alamat calon TKI.

1324

5. Penyelenggaraan Sistem Komputerisasi Terpadu Penempatan TKI di Luar Negeri (SISKO TKLN) dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI. 6.a. Penentuan standar perjanjian kerja, penelitian terhadap substansi perjanjian kerja serta pengesahan perjanjian kerja. b. 7. Penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) (pelaksanaannya dapat didekonsentrasikan kepada Gubernur). 8.a. Penyelenggaraan program perlindungan, pembelaan, dan advokasi TKI. b.Penentuan standar tempat penampungan calon TKI dan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLK-LN). c. Penetapan standar dan penunjukan lembagalembaga yang terkait

5. Penyebarluasan sistem informasi penempatan TKI dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah provinsi. 6.a. Sosialisasi substansi perjanjian kerja penempatan TKI ke luar negeri skala provinsi. b.

5. Penyebarluasan sistem informasi penempatan TKI dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah kabupaten/kota. 6.a. Sosialisasi terhadap substansi perjanjian kerja penempatan TKI ke luar negeri skala kabupaten/kota. b.Penelitian dan pengesahan perjanjian penempatan TKI ke luar negeri.

7. Fasilitasi penyelenggaraan PAP. 8.a. Pembinaan, pengawasan penempatan dan perlindungan TKI di wilayah provinsi. b.Penerbitan perizinan tempat penampungan di wilayah provinsi. c.

7. 8.a. Pembinaan, pengawasan, dan monitoring penempatan maupun perlindungan TKI di kabupaten/kota. b.Penerbitan rekomendasi perizinan tempat penampungan di wilayah kabupaten/kota. c.

1325

dengan program penempatan TKI (lembaga asuransi, perbankan, dan sarana kesehatan). 9. Fasilitasi kepulangan dan pemulanganTKI secara nasional.

9. Fasilitasi kepulangan TKI di pelabuhan debarkasi di wilayah provinsi.

9. Pelayanan kepulangan TKI yang berasal dari kabupaten/kota.

6. Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

1.a. Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu provinsi.

1.a. Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.

1.a. Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya dalam satu wilayah kabupaten/kota.

b.Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi. c. Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada perusahaan yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi. 2.a.Pendaftaran Perjanjian Pekerjaan antara Perusahaan Pemberi Kerja dengan

b.Pendaftaran PKB, perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari satu wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi. c. Pencatatan PKWT pada perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi. 2.a.Pendaftaran Perjanjian Pekerjaan antara Perusahaan Pemberi Kerja dengan

b.Pendaftaran PKB, perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. c. Pencatatan PKWT pada perusahaan yang skala berlakunya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. 2.a. Penerbitan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berdomisili di kabupaten/kota dan

1326

Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi. b.Penerbitan rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi. 3. Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan

Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi. b. Penerbitan rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi. 3. Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan indus- trial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan skala provinsi. 4. Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala provinsi. 5. Penyusunan formasi, pendaftaran dan seleksi calon mediator, arbiter, dan konsiliator di wilayah provinsi.

pendaftaran perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. b.Pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berdomisili di kabupaten/kota atas rekomendasi pusat dan atau provinsi. 3. Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan di

penutupan perusahaan skala nasional. 4. Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala nasional. 5. Koordinasi penyusunan formasi, pendaftaran dan seleksi calon arbiter dan konsiliator, pengangkatan dan pemberhentian serta penerbitan legitimasi mediator, konsiliator, dan arbiter.

wilayah kabupaten/kota. 4. Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala kabupaten/kota. 5. Penyusunan dan pengusulan formasi serta melakukan pembinaan mediator, konsiliator, arbiter di wilayah kabupaten/kota.

1327

6. Pendaftaran dan seleksi calon hakim adhoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung. 7.a. Bimbingan aplikasi pengupahan skala nasional. b.Penetapan kebijakan pengupahan nasional dan penelaahan terhadap upah minimum yang ditetapkan pemerintah provinsi.

6. Pendaftaran dan seleksi calon hakim adhoc pengadilan hubungan industrial yang wilayahnya meliputi provinsi. 7.a. Bimbingan aplikasi pengupahan lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi. b.Penyusunan dan penetapan upah minimum provinsi, kabupaten/kota, dan melaporkan kepada menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

6. Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc pengadilan hubungan industrial yang wilayahnya meliputi kabupaten/ kota. 7.a. Bimbingan aplikasi pengupahan di perusahaan skala kabupaten/kota. b.Penyusunan dan pengusulan penetapan upah minimum kabupaten/kota kepada gubernur.

8.a. Koordinasi pembinaan penyelenggaraan jaminan sosial, fasilitas, dan kesejahtaraan tenaga kerja/buruh skala nasional. b. 9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala nasional.

8.a. Koordinasi pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja skala provinsi. b.Koordinasi pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan tenaga kerja skala provinsi. 9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala provinsi.

8.a. Pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja di wilayah kabupaten/kota. b.Pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan di perusahaan skala kabupaten/kota. 9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala kabupaten/kota.

1328

10. Koordinasi pelaksanaan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) skala nasional. 11. Koordinasi hasil pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh dari provinsi. 12. Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembagalembaga ketenagakerjaan nasional berdasarkan

10. Koordinasi pelaksanaan verifikasi keanggotaan SP/SB skala provinsi. 11. Koordinasi hasil pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala provinsi dan melaporkannya kepada pemerintah. 12. Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala provinsi untuk duduk dalam lembaga-lembaga ketenagakerjaan provinsi berdasarkan

10. Verifikasi keanggotaan SP/SB skala kabupaten/kota. 11. Pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala kabupaten/kota dan melaporkannya kepada provinsi. 12. Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembaga- lembaga ketenagakerjaan kabupaten/kota berdasarkan hasil verifikasi.

hasil verifikasi. 7. Pembinaan Ketenagakerjaan 1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala nasional. 2. Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. 3. Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. 4. Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap

hasil verifikasi. 1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala provinsi. 2. Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi. 3. Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi. 4. Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap 1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 2. Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 3. Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 4. Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap

1329

pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala nasional. 5.a.Penetapan rencana tahunan audit dan sertifikasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). b. 6. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis dan berskala nasional. 7. Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis dan berskala nasional. 8. Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.

pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala provinsi. 5.a. Pelaksanaan penerapan SMK3 skala provinsi. b.Pelaksanaan koordinasi dan audit SMK3 skala provinsi. 6. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, kesehatan dan keselamatan kerja

perusahaan dan pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 5.a. Pelaksanaan penerapan SMK3 skala kabupaten/kota. b.Pelaksanaan koordinasi dan audit SMK3 skala kabupaten/kota. 6. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota.

yang bersifat strategis skala provinsi. 7. Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis skala provinsi. 8. Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.

7. Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota. 8. Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.

1330

9. Fasilitasi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. 10. Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. 11.a. Penyelenggaraan diklat teknis/fungsional pengawasan ketenagakerjaan. b.

12. Penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian pegawai pengawas ketenagakerjaan. 13. Penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan. 14. Penerbitan kartu Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang ketenagakerjaan.

15. Penetapan sertifikasi, penunjukan, penerbitan lisensi bagi lembaga personil, dan kader ketenagakerjaan.

9. Fasilitasi penyelenggaraan pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi. 10. Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi. 11. a. Pengusulan calon peserta diklat pengawasan ketenagakerjaan kepada pemerintah. b. Bekerjasama dengan pusat menyelenggarakan diklat teknis pengawasan ketenagakerjaan. 12. Pengusulan calon pegawai pengawas ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah. 13. Pengusulan penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah. 14. Pengusulan kartu PPNS bidang ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah. 15.

9. Fasilitasi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 10. Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 11.a. Pengusulan calon peserta diklat pengawasan ketenagakerjaan kepada pemerintah dan/atau pemerintah provinsi. b.

12. Pengusulan calon pegawai pengawas ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah. 13. Pengusulan penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah. 14. Pengusulan kartu PPNS bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah.

15.

1331

2. Ketransmigrasian

1. Kebijakan, Perencanaan, Pembinaan, dan Pengawasan

1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian. 2. Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang

1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan perumusan kebijakan daerah serta pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi. 2. Pengendalian, evaluasi, dan pelaporan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang ketransmigrasian skala provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan provinsi, perumusan kebijakan daerah dan pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota. 2. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.

ketransmigrasian skala nasional. 3. Koordinasi dan integrasi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional. 4. Perumusan kebijakan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala nasional. 5. Perancangan pembangunan transmigrasi nasional, serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketransmigrasian skala nasional. 6. Pemberdayaan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.

3. Sinkronisasi dan pengendalian pelaksanaan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi. 4. Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala provinsi berdasarkan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah. 5. Perancangan pembangunan transmigrasi daerah provinsi, serta pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketransmigrasian skala provinsi. 6. Pemberdayaan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi.

3. Integrasi pelaksanaan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota. 4. Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota berdasarkan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah.

5. Perancangan pembangunan transmigrasi daerah kabupaten/kota, serta pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketransmigrasian skala kabupaten/kota. 6. Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.

1332

2. Pembinaan SDM Aparatur

1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur,

1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring,

1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan

kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional. 2. Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur

evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintahan daerah provinsi. 2. Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah provinsi. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur

SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah kabupaten/kota. 2. Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah kabupaten/kota. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah

1333

pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional. 4. Perumusan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian. 5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian di instansi pusat.

pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah provinsi. 4. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketransmigrasian skala pemerintah daerah provinsi. 5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian instansi provinsi.

daerah kabupaten/kota. 4. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketransmigrasian skala pemerintah daerah kabupaten/kota. 5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian instansi kabupaten/kota.

3. Penyiapan Permukiman dan Penempatan

1.a. Perencanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigrasi untuk kepentingan nasional dan daerah. b.

1.a. Pengusulan rencana lokasi pembangunan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) atau Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) skala provinsi berdasarkan hasil pembahasan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota. b.Pengusulan rencana pengarahan, perpindahan, dan penempatan transmigrasi skala provinsi berdasarkan hasil pembahasan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.

1.a. Pengalokasian tanah untuk pembangunan WPT atau LPT di wilayah kabupaten/kota. b.Pengusulan rencana lokasi pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.

1334

c. d. 2.a. Penyediaan tanah untuk pembangunan WPT atau LPT untuk kepentingan nasional dan daerah. b.

c. d. 2.a. Koordinasi penyediaan tanah untuk pembangunan WPT atau LPT skala provinsi. b.

c. Pengusulan rencana kebutuhan SDM untuk mendukung pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. d.Pengusulan rencana pengarahan dan perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota. 2.a. Penyelesaian legalitas tanah untuk rencana pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. b.Penetapan alokasi penyediaan tanah untuk rencana pembangunan WPT dan LPT skala kabupaten/kota.

3. Penyusunan dan penetapan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT dalam rangka kepentingan nasional dan daerah. 4. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian dalam rangka kepentingan nasional dan daerah. 5.a. Pengembangan dan pelayanan investasi dan kemitraan dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala nasional dan daerah. b.

3. Pengusulan rancangan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT skala provinsi. 4. KIE ketransmigrasian skala provinsi. 5.a. Penyediaan informasi pengembangan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala provinsi. b.Mediasi dan koordinasi pelayanan investasi dalam rangka

3. Penyediaan data untuk penyusu nan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. 4. KIE ketransmigrasian skala kabupaten/kota. 5.a. Penyediaan informasi pengembangan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. b.Pelayanan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.

1335

6.a. Pengembangan kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi skala nasional. b. 7. Pembangunan WPT atau LPT dalam rangka kepentingan nasional dan daerah. 8.a. Penyiapan calon transmigran skala nasional.

pembangunan WPT atau LPT skala provinsi. 6.a. Mediasi kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi skala provinsi. b. 7. Koordinasi pelaksanaan pembangunan WPT atau LPT skala provinsi. 8.a. Koordinasi pelaksanaan penyiapan calon transmigran skala provinsi.

6.a. Penjajagan kerjasama dengan daerah kabupaten/kota lain. b.Pembuatan naskah kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi. 7. Sinkronisasi pembangunan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala kabupaten/kota. 8.a. Pendaftaran dan seleksi calon transmigran skala kabupaten/kota.

b. 9. Peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala nasional. 10. Fasilitasi perpindahan dan penempatan transmigran skala nasional. 11. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan

b. 9. Koordinasi pelaksanaan peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala provinsi. 10. Koordinasi pelaksanaan pelayanan perpindahan dan penempatan transmigran skala provinsi. 11. Pengendalian dan supervisi penyiapan permukiman dan penempatan transmigran skala

b.Penetapan status calon transmigran skala kabupaten/kota berdasarkan kriteria pemerintah. 9. Peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala kabupaten/kota. 10. Pelayanan penampungan calon transmigran skala kabupaten/kota. 11. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigran di wilayah

transmigran skala nasional.

provinsi.

kabupaten/kota.

1336

4. Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi

1. Perencanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala nasional. 2. Peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT skala nasional. 3. Pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT skala nasional.

1. Sinkronisasi dan pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi. 2. Koordinasi pelaksanaan peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi. 3. Koordinasi pelaksanaan pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi. 4. Koordinasi pelaksanaan pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT skala provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala provinsi. 6.a. Koordinasi dan sinkronisasi penyajian data dan informasi tentang perkembangan WPT atau LPT skala provinsi. b.Pengusulan calon WPT atau LPT yang dapat dialihkan tanggungjawab pembinaan khususnya dalam skala provinsi. 7. Pengendalian dan supervisi pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi.

1. Pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala kabupaten/kota. 2. Sinkronisasi peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota. 3. Sinkronisasi pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota.

4. Pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT skala nasional. 5. Penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar. 6.a. Evaluasi dan pengukuran tingkat keberhasilan pembangunan transmigrasi dan pengalihan

4. Sinkronisasi pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota. 5. Sinkronisasi penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala kabupaten/kota. 6.a. Penyediaan data dan informasi tentang perkembangan WPT dan LPT skala kabupaten/kota.

tanggungjawab pembinaan khusus WPT atau LPT skala nasional. b. 7. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala nasional.

b.Pengusulan calon WPT atau LPT yang dapat dialihkan tanggungjawab pembinaan khususnya dalam skala kabupaten/kota. 7. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi di wilayah kabupaten/kota.

1337

5. Pengarahan Dan Fasilitasi Perpindahan Transmigrasi

1.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala nasional. b.Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala nasional. c.

1.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala provinsi. b.Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala provinsi. c.

1.a. Pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala kabupaten/kota. b.Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala kabupaten/kota. c. Peningkatan motivasi perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota.

d. 2.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan penyerasian rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi lintas provinsi. b.

d. 2.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, penyusunan dan penyerasian rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala provinsi. b.

d.Penyamaan persepsi, kesepahaman, kesepakatan mengenai pembangunan ketransmigrasian skala kabupaten/kota. 2.a. Identifikasi dan analisis keserasian penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan skala kabupaten/kota. b.Pemilihan dan penetapan daerah dan kelompok sasaran perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota.

1338

c. 3. Fasilitasi kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung skala nasional. 4.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelayanan perpindahan transmigrasi skala nasional.

c. 3. Mediasi kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung skala provinsi. 4.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelayanan perpindahan transmigrasi skala provinsi.

c. Penyusunan rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang skala kabupaten/kota. 4.a. Pelayanan pendaftaran dan seleksi perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi.

b. c. d. e.

b. c. d. e.

b.Pelayanan pelatihan dalam rangka penyesuaian kompetensi perpindahan transmigrasi. c. Pelayanan penampungan, permakanan, kesehatan, perbekalan, dan informasi perpindahan transmigrasi. d.Pelayanan pengangkutan dalam proses perpindahan transmigrasi. e.Pelayanan dan pengaturan penempatan, adaptasi lingkungan dan konsoliasi penempatan transmigrasi.

5. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala nasional.

5. Pengendalian dan supervisi pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala provinsi.

5. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi di wilayah kabupaten/kota.

1339

15. Bidang Koperasi dan UKM


SUB BIDANG 1. Kelembagaan Koperasi SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi. 2.a. Pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi. b. 3. Pengesahan dan perubahan Anggaran Dasar (AD) yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang koperasi. PEMERINTAHAN DAERAH P ROVINSI 1. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi. 2.a. Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta penetapan pembubaran koperasi lintas kabupaten/kota. (Tugas Pembantuan) b.Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi lintas kabupaten/kota. 3. Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi lintas kabupaten/kota. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi. 2.a. Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. (Tugas Pembantuan) b.Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. 3. Fasilitasi pelaksanaan pengesahan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

4. Penetapan pembubaran koperasi. 5.a. Pembinaan dan Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi di tingkat nasional. b.

4. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat provinsi. 5.a. Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat provinsi. b.Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat provinsi (Tugas Pembantuan).

4. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan pedoman pemerintah di tingkat kabupaten/kota. 5.a.Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat kabupaten/kota. b.Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat kabupaten/kota (Tugas Pe mbantuan).

1340

2. Pemberdayaan Koperasi

1. Penetapan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi: a.Prinsip kesehatan dan prinsip kehati-hatian usaha KSP dan USP;

1. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi: a. Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat provinsi sesuai dengan kebijakan pemerintah;

1. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi: a.Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan pemerintah;

b.Tata cara penyampaian laporan tahunan bagi KSP dan USP; c. Tata cara pembinaan KSP dan USP; d.Pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP; e. Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP yang tidak melaksanakan kewajibannya;

b.Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP lintas kabupaten/kota; c. Pembinaan KSP dan USP lintas kabupaten/kota; d.Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP lintas kabupaten/kota; e. Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP lintas kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya;

b.Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota; c. Pembinaan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota; d.Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota; e. Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya;

2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi. 3. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi. 4. Perlindungan kepada koperasi.

2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah provinsi. 3. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi lintas kabupaten/kota. 4. Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah provinsi.

2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. 3. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. 4. Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.

1341

3. Pemberdayaan UKM

1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional meliputi: a.Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;

1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat provinsi meliputi: a. Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;

1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat kabupaten/kota meliputi: a.Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;

b.Persaingan; c. Prasarana; d.Informasi; e. Kemitraan; f. Perijinan; g. Perlindungan. 2. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat nasional meliputi: a.Produksi; b.Pemasaran; c. Sumber daya manusia; d.Teknologi.

b.Persaingan; c. Prasarana; d.Informasi; e. Kemitraan; f. Perijinan; g. Perlindungan. 2. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat provinsi meliputi: a. Produksi; b.Pemasaran; c. Sumber daya manusia; d.Teknologi.

b.Persaingan; c. Prasarana; d.Informasi; e. Kemitraan; f. Perijinan; g. Perlindungan. 2. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat kabupaten/kota meliputi: a.Produksi; b.Pemasaran; c. Sumber daya manusia; d.Teknologi.

3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat nasional meliputi: a.Kredit perbankan; b.Penjaminan lembaga bukan bank; c. Modal ventura; d.Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN; e. Hibah; f. Jenis pembiayaan lain.

3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat provinsi meliputi: a. Kredit perbankan; b.Penjaminan lembaga bukan bank; c. Modal ventura; d.Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN; e. Hibah; f. Jenis pembiayaan lain.

3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat kabupaten/kota meliputi: a.Kredit perbankan; b.Penjaminan lembaga bukan bank; c. Modal ventura; d.Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN; e. Hibah; f. Jenis pembiayaan lain.

1342

4. Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi

1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan koperasi dan UKM.

1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM lintas kabupaten/kota.

1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam wilayah kabupaten/kota.

1343

16. Bidang Penanaman Modal


SUB BIDANG 1. Kebijakan Pe nanaman Modal SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan Penanaman Modal PEMERINTAH 1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal Indonesia dalam bentuk rencana umum penanaman modal nasional dan rencana strategis nasional sesuai dengan program pembangunan nasional. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah provinsi dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah provinsi, berkoordinasi dengan Pemerintah. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah kabupaten/kota dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah kabupaten/kota, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala nasional terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal. 3. Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan nasional dibidang penanaman modal meliputi:

2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala provinsi terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah. 3. Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah provinsi di bidang penanaman modal meliputi:

2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala kabupaten/kota terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi. 3. Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah kabupaten/kota di bidang penanaman modal meliputi:

1344

(1) Bidang usaha yang tertutup. (2) Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. (3) Bidang usaha yang menjadi prioritas tinggi dalam skala nasional.

(1) Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup. (2) Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan. (3) Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi dalam skala provinsi.

(1) Penyiapan usulan bidangbidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup. (2) Penyiapan usulan bidangbidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan. (3) Penyiapan usulan bidangbidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi di kabupaten/kota.

(4) Penyusunan peta investasi Indonesia, potensi sumber daya nasional termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar. (5) Usulan pemberian fasilitas fiskal dan non fiskal.

(4) Penyusunan peta investasi daerah provinsi dan potensi sumber daya daerah terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar berdasarkan masukan dari daerah kabupaten/kota. (5) Usulan dan pemberian fasilitas penanaman modal di luar fasilitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi

(4) Penyusunan peta investasi daerah kabupaten/kota dan identifikasi potensi sumber daya daerah kabupaten/kota terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar. (5) Usulan dan pemberian insentif penanaman modal di luar faslitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi

1345

4. Mengkaji, merumuskan dan menyusun, dan menetapkan kebijakan dan ketentuan peraturan perundang- undangan dibidang penanaman modal.

kewenangan provinsi. 4. Menetapkan peraturan daerah provinsi tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

kewenangan kabupaten/kota. 4. Menetapkan peraturan daerah kabupaten/kota tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.

2. Pelaksanaan Kebijakan Penanaman Modal

1. Kerjasama Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal.

1. Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat provinsi.

1. Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.

2. Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama internasional di bidang penanaman modal.

2. Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat provinsi.

2. Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.

2. Promosi Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan dalam promosi penanaman modal.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat provinsi.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.

1346

2. Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. 3. Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala nasional.

2. Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal daerah Provinsi baik di dalam negeri maupun ke luar negeri yang melibatkan lebih dari satu kabupaten/kota. 3. Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala Provinsi.

2. Melaksanakan promosi penanaman modal daerah kabupaten/kota baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. 3. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun materi promosi skala kabupaten/kota.

3. Pelayanan Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pela yananan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman

2. Melayani dan memfasilitasi: a. Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi;

yang bersifat lintas kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah. 2.

modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah. 2.

1347

b.Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional; c. Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi; d.Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional;

e. Penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan f. Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undangundang.

1348

3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah. 4. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memeiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah.

3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi. 4. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.

3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. 4. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

5. Pemberian persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal.

5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan provinsi.

5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

4. Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal skala nasional. 2. Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi atau

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di provinsi. 2. Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan berkoordinasi dengan Pemerintah atau pemerintah

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di kabupaten/kota. 2. Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah dan

pemerintah kabupaten/kota.

kabupaten/kota.

pemerintah provinsi.

1349

5. Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala nasional. 2. Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala provinsi. 2. Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah kabupaten/kota.

1. Mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/kota. 2. Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah provinsi.

3. Mengoordinasikan pengumpulan dan pengolahan data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala nasional. 4. Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal nasional.

3. Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala provinsi. 4. Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.

3. Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala kabupaten/kota. 4. Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.

6. Penyebar- luasan, Pendidikan dan Pelatihan Penanaman Modal

1. Membina dan mengawasi pelaksanaan penanaman modal di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.

1. Membina dan mengawasi pelaksanaan instansi penanaman modal kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.

1. Membina dan mengawasi pelaksanaan di bidang sistem informasi penanaman modal.

1350

2. Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, perjanjian kerjasama internasional di bidang penanaman modal baik kerjasama bilateral, sub regional, regional, dan multilateral, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala nasional kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha;

2. Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala provinsi kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha.

2. Melaksanakan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/ kota kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha.

3. Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala nasional.

3. Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala provinsi.

3. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala kabupaten/ kota.

1351

17. Bidang Kebudayaan dan Pariwisata


SUB BIDANG 1. Kebijakan Bidang Kebudayaan SUB SUB BIDANG 1. Kebudayaan PEMERINTAH 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan nasional. 2. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang kebudayaan. 3. Kriteria nasional sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai perlindungan HKI bidang kebudayaan. 3. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kriteria sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan. STATUS NSPK S1 S2 S3 KETERANGAN

1. Rencana induk pengembangan kebudayaan skala provinsi. 2. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai perlindungan HKI bidang kebudayaan. 3. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kriteria sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan.

4. Kerjasama luar negeri bidang kebudayaan.

4. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala provinsi.

4. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala kabupaten/ kota.

1352

2. Tradisi

1. Penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa. 2. Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala nasional.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang penanaman nilainilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa. 2. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi serta penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa. 2. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala kabupaten/kota.

1353

3. Perfilman

1. Penetapan kebijakan nasional bidang perfilman. 2. Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing. 3. Usaha perfilman, yang meliputi produksi, pengedaran, dan penayangan film.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan operasional perfilman skala provinsi. 2. Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing skala provinsi. 3. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang usaha perfilman yang meliputi produksi, pengedaran, penayangan film.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan operasional perfilman skala kabupaten/kota. 2. Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing skala kabupaten/kota. 3. Pemberian perizinan usaha perfilman di bidang pembuatan film, pengedaran film, penjualan dan penyewaan film (VCD, DVD), pertunjukan film (bioskop), pertunjukan film keliling, penayangan film melalui media elektronik, dan tempat hiburan.

1354

4. Standarisasi di bidang profesi, dan teknologi perfilman. 5. Kerjasama luar negeri di bidang perfilman. 6. Kebijakan peredaran, pertunjukan dan penayangan film serta rekaman video.

4. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang standarisasi profesi dan teknologi perfilman. 5. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kerjasama luar negeri di bidang perfilman. 6. Pengawasan peredaran film dan rekaman video (VCD/DVD) skala provinsi.

4. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kegiatan standarisasi profesi dan teknologi perfilman. 5. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kerjasama luar negeri di bidang perfilman. 6. Pengawasan dan pendataan film dan rekaman video yang beredar, perusahaan persewaan dan penjualan rekaman video serta kegiatan evaluasi dan laporan pelaksanaan kebijakan perfilman skala kabupaten/ kota.

7. Standarisasi nasional di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film. 8. Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala nasional.

7. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kegiatan standarisasi di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film skala provinsi. 8. Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala provinsi.

7. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kegiatan standarisasi di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film skala kabupaten/ kota. 8. Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala kabupaten/kota.

1355

4. Kesenian

1. Standarisasi pemberian izin untuk pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai standarisasi pemberian izin pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai standarisasi pemberian izin pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.

2. Izin pengiriman/ penerimaan misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala nasional. 3. Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat nasional dan internasional. 4. Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang kesenian. 5. Penetapan pedoman dan pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara.

2. Penerbitan rekomendasi pengiriman misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala provinsi. 3. Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat provinsi. 4. Penerapan dan monitoring implementasi SPM bidang kesenian skala provinsi. 5. Pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara skala provinsi.

2. Penerbitan rekomendasi pengiriman misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala kabupaten/kota. 3. Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat kabupaten/kota. 4. Penerapan dan monitoring implementasi SPM bidang kesenian skala kabupaten/ kota. 5. Pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara skala kabupaten/kota.

1356

6. Penetapan pedoman penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan bidang kesenian skala nasional. 7. Penetapan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni). 8. Penetapan pedoman nasional pembentukan dan/atau pengelolaan infrastruktur bidang kesenian (misalnya galeri nasional Indonesia dan pusat kebudayaan Indonesia).

6. Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan kesenian skala provinsi. 7. Penerapan dan pelaksanaan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni) skala provinsi. 8. Pelaksanaan pembentukan dan/atau pengelolaan pusat kegiatan kesenian skala provinsi (misalnya taman budaya).

6. Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan kesenian skala kabupaten/ kota. 7. Penerapan dan pelaksanaan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni) skala kabupaten/kota. 8. Pelaksanaan pembentukan dan/atau pengelolaan pusat kegiatan kesenian skala kabupaten/kota.

9. Penetapan kebijakan nasional peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional. 10. Perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala nasional.

9. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional. 10. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam rangka perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala provinsi.

9. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional. 10. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala kabupaten/kota.

1357

5. Sejarah

1. Penetapan pedoman penulisan sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal, dan sejarah kebudayaan.

1. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi, di bidang penulisan sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah skala provinsi.

1. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang penulisan sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah skala kabupaten/kota.

2. Penetapan pedoman pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan. 3. Penetapan pedoman inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah. 4. Penetapan pedoman pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah tingkat nasional.

2. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah. 3. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi dan di bidang inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah. 4. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah.

2. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah. 3. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah. 4. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah.

1358

5. Penetapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan. 6. Penetapan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan nasional. 7. Penetapan pedoman database dan sistem informasi geografi sejarah. 8. Penetapan pedoman koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah.

5. Penerapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan skala provinsi. 6. Pelaksanaan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan skala provinsi. 7. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai database dan sistem informasi geografi sejarah. 8. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah skala provinsi.

5. Penerapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan skala kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan skala kabupaten/kota. 7. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai database dan sistem informasi geografi sejarah. 8. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah skala kabupaten/kota.

9. Penetapan pedoman penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) bidang sejarah.

9. Pelaksanaan pedoman dan penetapan kebijakan provinsi penyelenggaraan diklat bidang sejarah skala provinsi.

9. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota penyelenggaraan diklat bidang sejarah skala kabupaten/kota.

1359

6. Purbakala

1. Penetapan pedoman pelaksanaan hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage". 2. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya (BCB)/situs skala nasional.

1. Pelaksanaan pedoman mengenai hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage" skala provinsi. 2. Penerapan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.

1. Pelaksanaan pedoman mengenai hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage" skala kabupaten/kota. 2. Penerapan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/kota.

3. Penetapan BCB/situs skala nasional. 4. Penetapan kebijakan permuseuman. 5. Penetapan pedoman penelitian arkeologi. 6. Penetapan pedoman pendirian museum. 7. Penetapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air sesuai peraturan perundang- undangan.

3. Penetapan BCB/situs skala provinsi. 4. Penerapan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan museum di provinsi. 5. Penerapan pedoman penelitian arkeologi. 6. Penerapan pedoman pendirian museum yang dimiliki provinsi. 7. Penerapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air skala provinsi.

3. Penetapan BCB/situs skala kabupaten/kota. 4. Penerapan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan museum di kabupaten/kota. 5. Penerapan pedoman penelitian arkeologi. 6. Penerapan pedoman pendirian museum yang dimiliki kabupaten/kota. 7. Penerapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air skala kabupaten/ kota.

1360

2. Pelaksanaan Bidang Kebudayaan

1. Penyelenggaraan

1. Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala nasional, meliputi: a. Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa. b. Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat. c. Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.

1. Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala provinsi, meliputi: a. Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa. b. Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat. c. Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.

1. Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala kabupaten/kota, meliputi: a. Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa. b. Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat. c. Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.

d. Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga kepercayaan dan lembaga adat. e. Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat. 2. Monitoring dan evaluasi kegiatan skala nasional meliputi: a. Pelaksanaan dan hasil kegiatan. b. Pengendalian dan pengawasan kegiatan.

d. Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga adat dan masyarakat. e. Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat. 2. Monitoring dan evaluasi kegiatan skala provinsi meliputi: a. Pelaksanaan dan hasil kegiatan. b. Pengendalian dan pengawasan kegiatan.

d. Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga adat dan masyarakat. e. Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat. 2. Monitoring dan evaluasi kegiatan skala kabupaten/kota meliputi: a. Pelaksanaan dan hasil kegiatan. b. Pengendalian dan pengawasan kegiatan.

1361

c. Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilainilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat. d. Peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat nasional. e. Peningkatan produksi, peredaran, ekspor impor, festival, pekan film dan apresiasi film. f. Pelaksanaan kebijakan sejarah nasional.

c. Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat. d. Pelaksanaan peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat provinsi. e. Pelaksanaan peningkatan apresiasi film skala provinsi. f. Pelaksanaan kebijakan sejarah daerah skala provinsi.

c. Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat. d. Pelaksanaan peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat kabupaten/kota. e. Pelaksanaan peningkatan apresiasi film skala kabupaten/kota. f. Pelaksanaan kebijakan sejarah lokal skala kabupaten/kota.

3. Penerbitan rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian ke luar negeri. 4. Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di berbagai daerah untuk kepentingan nasional dan internasional. 5. Koordinasi kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern secara nasional. 6. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program perfilman.

3. Pengajuan usul rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian Indonesia ke luar negeri dari provinsi. 4. Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di provinsi. 5. Penyelenggaraan koordinasi kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern di provinsi. 6. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional perfilman skala provinsi.

3. Pengajuan usul rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian Indonesia ke luar negeri dari kabupaten/kota. 4. Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di kabupaten/kota. 5. Penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern di kabupaten/kota. 6. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional perfilman skala kabupaten/kota.

1362

7. Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba berskala nasional yang dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan. 8. Pemberian izin pembuatan film kepada tim produksi asing di Indonesia. 9. Pemberian rekomendasi penyelenggaraan festival film internasional dan festival film Indonesia. 10. Koordinasi dan fasilitasi organisasi/lembaga perfilman. 11. Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video.

7. Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba secara berjenjang dan berkala di tingkat provinsi. 8. Koordinasi dan pengawasan pembuatan film oleh tim asing di provinsi. 9. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan kegiatan- kegiatan festival film dan pekan film daerah di provinsi. 10. Fasilitasi organisasi/lembaga perfilman di provinsi. 11. Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video di provinsi.

7. Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba secara berjenjang dan berkala di tingkat kabupaten/kota. 8. Pengawasan pembuatan film oleh tim asing di kabupaten/ kota. 9. Pemberian izin pelaksanaan kegiatankegiatan festival film dan pekan film di kabupaten/ kota. 10. Fasilitasi organisasi/lembaga perfilman di kabupaten/kota. 11. Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video di kabupaten/kota.

1363

12. Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman. 13. Perizinan membawa BCB keluar wilayah Republik Indonesia. 14. Penyebarluasan informasi sejarah nasional. 15. Pemberian penghargaan bidang sejarah tingkat nasional. 16. Pelaksanaan kongres sejarah tingkat nasional. 17. Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat nasional.

12. Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman di tingkat provinsi. 13. Perizinan membawa BCB ke luar provinsi. 14. Penyebarluasan informasi sejarah lokal di provinsi. 15. Pelaksanaan pemberian penghargaan bidang sejarah lokal di provinsi. 16. Pelaksanaan kongres sejarah tingkat daerah di provinsi. 17. Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat lokal di provinsi.

12. Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman di tingkat kabupaten/kota. 13. Perizinan membawa BCB ke luar kabupaten/kota dalam satu provinsi. 14. Penyebarluasan informasi sejarah lokal di kabupaten/ kota. 15. Pelaksanaan pemberian penghargaan bidang sejarah lokal di kabupaten/kota. 16. Pelaksanaan kongres sejarah tingkat daerah di kabupaten/ kota. 17. Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat lokal di kabupaten/ kota.

18. Pelaksanaan seminar dalam perspektif sejarah nasional. 19. Pelaksanaan musyawarah kerja nasional bidang sejarah. 20. Pengkajian dan penulisan sejarah nasional, sejarah kebudayaan dan sejarah wilayah. 21. Pemetaan sejarah nasional. 22. Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah antar departemen/kementerian instansi pusat dan antar daerah.

18. Pelaksanaan seminar/ lokakarya sejarah lokal dalam perspektif nasional di provinsi. 19. Pelaksanaan musyawarah kerja daerah bidang sejarah skala provinsi. 20. Pengkajian dan penulisan sejarah daerah dan sejarah kebudayaan daerah di provinsi. 21. Pemetaan sejarah skala provinsi. 22. Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah di provinsi.

18. Pelaksanaan seminar/ lokakarya sejarah lokal dalam perspektif nasional di kabupaten/kota. 19. Pelaksanaan musyawarah kerja daerah bidang sejarah skala kabupaten/kota. 20. Pengkajian dan penulisan sejarah daerah dan sejarah kebudayaan daerah di kabupaten/kota. 21. Pemetaan sejarah skala kabupaten/kota. 22. Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah di kabupaten/ kota.

1364

23. Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia. 24. Registrasi BCB/situs dan kawasan skala nasional. 25. Pengusulan penetapan warisan budaya dunia dan penetapan BCB/situs skala nasional. 26. Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemanfaatan BCB/situs peringkat nasional dan warisan budaya dunia skala internasional.

23. Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia skala provinsi. 24. Registrasi BCB/situs dan kawasan provinsi. 25. Pengusulan penetapan BCB/situs nasional kepada pusat dan penetapan BCB/situs skala provinsi. 26. Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.

23. Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia skala kabupaten/kota. 24. Registrasi BCB/situs dan kawasan skala kabupaten/ kota. 25. Pengusulan penetapan BCB/situs provinsi kepada provinsi dan penetapan BCB/situs skala kabupaten/ kota. 26. Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/ kota.

1365

27. Koordinasi, dan peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs. 28. Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs bawah air lebih dari 12 (duabelas) mil laut. 29. Pengembangan dan pemanfaatan museum nasional. 30. Registrasi museum dan koleksi. 31. Penyelenggaraan akreditasi museum.

27. Koordinasi, dan fasilitasi peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs skala provinsi. 28. Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs di atas 4 (empat) sampai dengan 12 (duabelas) mil laut dari garis pantai atas rekomendasi pemerintah. 29. Pengembangan dan pemanfaatan museum provinsi. 30. Registrasi museum dan koleksi di provinsi. 31. Penyelenggaraan akreditasi museum di provinsi.

27. Koordinasi, dan fasilitasi, peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/kota. 28. Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs bawah air sampai dengan 4 (empat) mil laut dari garis pantai atas rekomendasi pemerintah. 29. Pengembangan dan pemanfaatan museum kabupaten/kota. 30. Registrasi museum dan koleksi di kabupaten/kota. 31. Penyelenggaraan akreditasi museum di kabupaten/kota.

32. Penambahan dan penyelamatan koleksi museum nasional.

32. Penambahan dan penyelamatan koleksi museum di provinsi.

32. Penambahan dan penyelamatan koleksi museum di kabupaten/kota.

1366

3. Kebijakan Bidang Kepariwisataan

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan: a. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) nasional. b. Pengembangan sistem informasi pariwisata nasional.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan skala provinsi: a. RIPP provinsi. b. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pengembangan sistem informasi pariwisata.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional, provinsi dan penetapan kebijakan skala kabupaten/kota: a. RIPP kabupaten/kota. b. Pelaksanaan kebijakan nasional, provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan sistem informasi pariwisata.

c. Standarisasi bidang pariwisata. d. Pedoman manajemen pengembangan destinasi pariwisata. e. Pedoman pembinaan dan penyelenggaraan izin usaha pariwisata.

c. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam penerapan standarisasi bidang pariwisata. d. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan pedoman pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi. e. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pembinaan usaha dan penyelenggaraan usaha pariwisata skala provinsi.

c. Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam penerapan standarisasi bidang pariwisata. d. Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan pedoman pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten/ kota. e. Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan kebijakan dalam pembinaan usaha dan penyelenggaraan usaha pariwisata skala kabupaten/ kota.

1367

f. Pedoman perencanaan pemasaran. g. Pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/event budaya dan pariwisata. h. Pedoman dan penyelenggaraan widya wisata (familiarization trip/tour). i. Pedoman kerjasama pemasaran nasional dan internasional.

f. Penetapan dan pelaksanaan pedoman perencanaan pemasaran skala provinsi. g. Penetapan dan pelaksanaan pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/event budaya dan pariwisata skala provinsi. h. Penetapan dan pelaksanaan pedoman dan penyelenggaraan widya wisata skala provinsi. i. Penetapan dan pelaksanaan pedoman kerjasama pemasaran skala provinsi.

f. Penetapan dan pelaksanaan pedoman perencanaan pemasaran skala kabupaten/kota. g. Penetapan dan pelaksanaan pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/event budaya dan pariwisata skala kabupaten/ kota. h. Penetapan dan pelaksanaan pedoman dan penyelenggaraan widya wisata skala kabupaten/ kota. i. Penetapan dan pelaksanaan pedoman kerjasama pemasaran skala kabupaten/kota.

1368

2. Pemberian izin usaha pariwisata skala nasional. 3. Fasilitasi kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata. 4. Fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata skala nasional. 5. Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala nasional.

2. Pemberian izin usaha pariwisata skala provinsi. 3. Pelaksanaan kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi. 4. Fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi. 5. Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala provinsi.

2. Pemberian izin usaha pariwisata skala kabupaten/ kota. 3. Pelaksanaan kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten/kota. 4. Pelaksanaan kerjasama pengem-bangan destinasi pariwisata skala kabupaten/ kota. 5. Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala kabupaten/kota.

4. Pelaksanaan Bidang Kepariwisataan

1. Penyelenggaraan

1. Penyelenggaraan promosi skala nasional dan internasional : a. Penyelenggaraan widya wisata (familiarization

1. Penyelenggaraan promosi skala provinsi : a. Penyelenggaraan widya wisata skala provinsi serta

1. Penyelenggaraan promosi skala kabupaten/kota: a. Penyelenggaraan widya wisata skala kabupaten/kota

1369

trip/tour) skala nasional dan internasional. b. Penyelenggaraan pameran/event, roadshow skala nasional. c. Pengadaan sarana pemasaran skala nasional/kawasan/ internasional. d. Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di luar negeri. e. Pembentukan pusat pelayanan informasi pariwisata skala nasional.

mengirim dan menerima peserta grup widya wisata. b. Peserta/penyelenggara pameran/ event, roadshow bekerja sama dengan pemerintah. c. Pengadaan sarana pemasaran skala provinsi. d. Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di dalam negeri skala provinsi. e. Penyediaan informasi pariwisata ke pusat pelayanan informasi pariwisata nasional dan pembentukan pusat

serta mengirim dan menerima peserta grup widya wisata. b. Peserta/penyelenggara pameran/ event, roadshow bekerja sama dengan pemerintah/provinsi. c. Pengadaan sarana pemasaran skala kabupaten/ kota. d. Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di dalam negeri skala kabupaten/kota. e. Penyediaan informasi pariwisata ke pusat pelayanan informasi pariwisata provinsi dan pembentukan pusat

1370

f. Pelaksanaan event promosi di luar negeri. 2. Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala nasional. 3. Penetapan branding pariwisata skala nasional.

pelayanan informasi pariwisata skala provinsi. f. Pelaksanaan event promosi di luar negeri dengan koordinasi pemerintah. 2. Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala provinsi. 3. Penerapan branding pariwisata nasional dan penetapan tagline pariwisata skala provinsi.

pelayanan informasi pariwisata skala kabupaten/ kota. f. Pelaksanaan event promosi di luar negeri dengan koordinasi pemerintah dan provinsi. 2. Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala kabupaten/kota. 3. Penerapan branding pariwisata nasional dan penetapan tagline pariwisata skala kabupaten/ kota.

5. Kebijakan Bidang Kebudayaan dan Pariwisata

1. Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional.

1. Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.

1. Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional skala kabupaten/kota.

1371

2. Kebijakan pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata nasional. 3. Kebijakan penelitian kebudayaan dan pariwisata nasional. 4. Rancangan induk penelitian arkeologi nasional.

2. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata skala provinsi. 3. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi penelitian kebudayaan dan pariwisata skala provinsi. 4. Pelaksanaan rancangan induk penelitian arkeologi nasional oleh provinsi berkoordinasi dengan Balai Arkeologi.

2. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota penelitian kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten/kota. 4. Pelaksanaan rancangan induk penelitian arkeologi nasional oleh kabupaten/kota berkoordinasi dengan Balai Arkeologi.

1372

18. Bidang Kepemudaan dan Olahraga


SUB BIDANG 1. Kepemudaan SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan di bidang Kepemudaan PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala nasional : a. Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan. b. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan. c. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral. d. Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala provinsi : a. Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan. b. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan. c. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral. d. Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota : a. Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan. b. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan. c. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral. d. Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas. STATUS NSPK S1 S2 S3 KETERANGAN

1373

e. Kemitraan dan kewirausahaan. f. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ). g. Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan. h. Pengaturan sistem penganugerahan prestasi. i. Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana. j. Pengembangan jaringan dan sistem informasi.

e. Kemitraan dan kewirausahaan. f. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ). g. Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan. h. Pengaturan sistem penganugerahan prestasi. i. Peningkatan prasarana dan sarana. j. Pengembangan jaringan dan sistem informasi.

e. Kemitraan dan kewirausahaan. f. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ). g. Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan. h. Pengaturan sistem penganugerahan prestasi. i. Peningkatan prasarana dan sarana. j. Pengembangan jaringan dan sistem informasi.

k. Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan. l. Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan. m.Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif. n. Hubungan internasional.

k. Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan. l. Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan. m.Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif. n.

k. Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan. l. Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan. m. Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif. n.

2. Pelaksanaan

1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala nasional : a. Aktivitas kepemudaan yang berskala nasional dan internasional.

1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala provinsi : a. Aktivitas kepemudaan yang berskala provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota : a. Aktivitas kepemudaan yang berskala kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional.

1374

b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas provinsi. c. Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda berskala nasional. d. Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat nasional. e. Kerjasama antar provinsi dan internasional.

b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas kabupaten/kota. c. Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda. d. Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat provinsi. e. Kerjasama antar kabupaten/kota skala provinsi, pemerintah dan internasional

b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas kecamatan skala kabupaten/kota. c. Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda. d. Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat kabupaten/kota. e. Kerjasama antar kecamatan skala kabupaten/kota, provinsi, pemerintah dan internasional.

3. Koordinasi

1. Koordinasi bidang kepemudaan skala nasional : a. Koordinasi antar Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah. c. Koordinasi antar pemerintah dan daerah. d. Koordinasi antar negara.

1. Koordinasi bidang kepemudaan skala provinsi : a. Koordinasi antar dinas instansi terkait. b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah. c. Koordinasi antar provinsi dan kabupaten/kota. d.

1. Koordinasi bidang kepemudaan skala kabupaten/kota : a. Koordinasi antar dinas instansi terkait. b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah. c. Koordinasi antar kecamatan skala kabupaten/kota. d.

1375

4. Pembinaan dan Pengawasan

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala nasional: a. Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan. b. Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan. c. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan. d. Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala provinsi: a. Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan. b. Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan. c. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan. d. Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota: a. Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan. b. Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan. c. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan. d. Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

e. Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan. f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan. g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

e. Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan. f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan. g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

e. Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan. f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan. g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.

h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.

h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.

1376

2. Olahraga

1. Kebijakan di Bidang Keolahragaan

1. Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala nasional : a. Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga. b. Penyelenggaraan keolahragaan. c. Pembinaan dan pengembangan keolahragaan. d. Pengelolaan keolahraagaan.

1. Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala provinsi : a. Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga. b. Penyelenggaraan keolahragaan. c. Pembinaan dan pengembangan keolahragaan. d. Pengelolaan keolahragaan.

1. Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota : a. Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga. b. Penyelenggaraan keolahragaan. c. Pembinaan dan pengembangan keolahragaan. d. Pengelolaan keolahragaan.

e. Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga. f. Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga. g. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan. h. Pendanaan keolahragaan. i. Pengembangan IPTEK keolahragaan. j. Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.

e. Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga. f. Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga. g. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan. h. Pendanaan keolahragaan. i. Pengembangan IPTEK keolahragaan. j. Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.

e. Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga. f. Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga. g. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan. h. Pendanaan keolahragaan. i. Pengembangan IPTEK keolahragaan. j. Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.

k. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga. l. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat. m.Pengembangan manajemen olahraga. n. Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga. o. Pengembangan IPTEK olahraga.

k. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga. l. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat. m. Pengembangan manajemen olahraga. n. Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga. o. Pengembangan IPTEK olahraga.

k. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga. l. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat. m.Pengembangan manajemen olahraga. n. Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga. o. Pengembangan IPTEK olahraga.

1377

p. Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga. q. Pembangunan dan pengembangan industri olahraga. r. Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga. s. Pengaturan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan. t. Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.

p. Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga. q. Pembangunan dan pengembangan industri olahraga. r. Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga. s. Pengaturan pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan. t. Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.

p. Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga. q. Pembangunan dan pengembangan industri olahraga. r. Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga. s. Pengaturan pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan. t. Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.

u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan. v. Kriteria lembaga keolahragaan. w. Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat. x. Hubungan internasional di bidang keolahragaan.

u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan. v. Kriteria lembaga keolahragaan. w. Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat. x.

u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan. v. Kriteria lembaga keolahragaan. w. Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat. x.

1378

2. Pelaksanaan

1. Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala nasional : a. Aktivitas keolahragaan skala nasional dan internasional. b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas provinsi. c. Kerjasama antar provinsi dan internasional. d. Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.

1. Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala provinsi : a. Aktivitas keolahragaan skala provinsi, nasional dan internasional. b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas kabupaten/kota. c. Kerjasama antar kabupaten/kota skala provinsi, pemerintah dan internasional. d. Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.

2. Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota : a. Aktivitas keolahragaan skala kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional. b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas kecamatan skala kabupaten/kota. c. Kerjasama antar kecamatan skala kabupaten/kota, provinsi, pemerintah dan internasional. d. Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.

e. Pendanaan keolahragaan. f. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan. g. Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.

e. Pendanaan keolahragaan. f. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan. g. Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.

e. Pendanaan keolahragaan. f. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan. g. Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.

3. Koordinasi

1. Koordinasi bidang keolahragaan skala nasional : a. Koordinasi antar Departemen/LPND. b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.

1. Koordinasi bidang keolahragaan skala provinsi: a. Koordinasi antar dinas/instansi terkait. b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah dan masyarakat.

1. Koordinasi bidang keolahragaan skala kabupaten/kota : a. Koordinasi antar dinas/instansi terkait. b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah dan masyarakat.

c. Koordinasi antara pemerintah dan daerah serta masyarakat. d. Koordinasi pihak luar negeri/internasional.

c. Koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota. d.

c. Koordinasi antara kabupaten/kota dan kecamatan. d.

1379

4. Pembinaan dan Pengawasan

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala nasional : a. Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan. b. Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala provinsi: a. Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan. b. Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota : a. Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan. b. Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.

c. Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan. d. Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan. e. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar pemerintah/ departemen, LPND dan daerah. f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.

c. Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan. d. Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan. e. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di provinsi. f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.

c. Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan. d. Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan. e. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di kabupaten/ kota. f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.

1380

g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan. h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan. i. Pembinaan dan pengembangan industri olahraga. j. Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga.

g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan. h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan. i. Pembinaan dan pengembangan industri olahraga. j. Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga.

g Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan. h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan. i. Pembinaan dan pengembangan industri olahraga. j. Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga.

k. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.

k. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.

k. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.

1381

19. Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri


SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota. STATUS NSPK S1 S2 S3 KETERANGAN

1. Bina Ideologi dan Wawasan Kebangsaan

1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

2. Pelaksanaan Kegiatan

1. Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

1. Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.

1. Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.

1382

3. Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.

1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilainilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.

4. Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara,

skala nasional.

penghargaan kebangsaan skala provinsi.

nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.

1383

5. Peningkatan Kapasitas Aparatur

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesatuan bangsa dan politik (kesbangpol) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.

1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.

2. Kewaspadaan Nasional

1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelijen keamanan (intelkam), bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan,

1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik

1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan

penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional.

pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi.

dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan Kegiatan

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilainilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.

1. Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilainilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.

1384

3. Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan

1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian,

evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional.

evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi.

pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.

4. Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan,

1385

evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional.

evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi.

pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.

4. Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan,

3. Ketahanan Seni, Budaya, Agama dan Kemasyarakatan

1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.

1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.

1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.

1386

2. Pelaksanaan Kegiatan

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah

1. Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.

skala nasional/ internasional. 3. Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.

sosial kemasyarakatan skala provinsi. 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi. 1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.

1387

4. Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.

5. Peningkatan Kapasitas Aparatur

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan

1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.

skala nasional.

skala provinsi.

1388

4. Politik Dalam Negeri

1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilihan umum (pemilu), pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) skala nasional.

1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan Kegiatan

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan

1. Pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik,

pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.

pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.

1389

3. Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.

4. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kesbangpol dan sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.

1390

5. Peningkatan Kapasitas Aparatur

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.

5. Ketahanan Ekonomi

1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan organisasi kemasyarakatan (ormas) perekonomian skala

1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian

1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi,

nasional.

skala provinsi.

kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.

1391

2. Pelaksanaan Kegiatan

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional/ internasional.

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.

1. Pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.

3. Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan,

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan,

1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi,

pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional.

pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.

perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.

1392

4. Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter,

usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional.

usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.

perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.

5. Peningkatan Kapasitas Aparatur

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional.

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.

1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.

1393

20. Bidang Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian, dan Persandian
STATUS NSPK PEMERINTAHAN DAERAH PROVINS I PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA S1 S2 S3

SUB BIDANG

SUB SUB BIDANG

PEMERINTAH

KETERANGAN

1. Otonomi Daerah

1. Urusan Pemerintahan: a. Kebijakan b. Pembinaan, Sosialisasi Bimbingan, Konsultasi, Supervisi, Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi serta Pengawasan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan

1. Penetapan kebijakan nasional pembagian urusan pemerintahan. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan skala nasional. 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.

1. 2. Penetapan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah skala provinsi. 1. Pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.

1. 2. Penetapan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah skala kabupaten/kota. 1. Pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.

1394

c. Harmonisasi d. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD)

2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan. 1. 2. Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan pada masing-masing lintas Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria LPPD.

2. Penyelenggaraan pembinaan sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan di wilayah provinsi. 1. Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 2. Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan daerah provinsi dengan pemerintah.dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. 1. Penyusunan LPPD provinsi.

2. Penyelenggaraan pembinaan sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan di wilayah kabupaten/kota. 1. Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 2. Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan dalam wilayah kabupaten/kota dengan pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi. 1. Penyusunan LPPD kabupaten/kota

e. Database

2. 3. Evaluasi LPPD skala nasional. 1. Pengolahan database LPPD skala nasional.

2. Penyampaian LPPD provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. 3. Evaluasi LPPD kabupaten/kota. 1. Pengolahan database LPPD skala provinsi.

2. Penyampaian LPPD kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur. 3. 1. Pengolahan database LPPD skala kabupaten/kota.

1395

2. Penataan Daerah dan Otonomi Khusus (Otsus): a. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan penataan daerah dan otsus. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten.

1. Pengusulan penataan daerah dan otsus skala provinsi. 2. Pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten.

1. Pengusulan penataan daerah skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota daerah dalam rangka penataan daerah.

b. Pembentukan Daerah

3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 1. Pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan kecamatan. 3.a. Penetapan perubahan batas, nama, dan pemindahan ibukota daerah. b.

3. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 1. Pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 2. Evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah tentang pembentukan kecamatan. 3.a. Pengusulan perubahan batas provinsi, nama dan pemindahan ibukota daerah. b.Pelaksanaan perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi.

3. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 1. Pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 2. Pembentukan kecamatan. 3.a. Pengusulan perubahan batas kabupaten/kota, nama dan pemindahan ibukota daerah. b.Pelaksanaan perubahan batas, nama kabupaten/kota dan pemindahan ibukota kabupaten.

1396

c. Pembinaan, Sosialisasi, Observasi dan Pengkajian Penataan Daerah dan Otsus d. Monitoring dan Evaluasi serta Pengawasan dan Pengendalian Penataan Daerah dan Otsus

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus. 2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus. 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria monitoring dan evaluasi serta pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus. 2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus. 2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi. 1. 2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah. 2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus. 1. 2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota.

1397

e. Pembangunan Sistem (Database) Penataan Daerah dan Otsus f. Pelaporan

3. Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus. 1. Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala nasional. 2. 1. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus. 2. Pengolahan data penataan daerah dan otsus skala nasional.

3. Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi. 1. Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala provinsi. 2. Penyampaian data dan informasi penataan daerah skala provinsi ke pemerintah. 1. Menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus. 2. Pengolahan database laporan penataan daerah dan otsus skala provinsi.

3. Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota. 1. Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala kabupaten/kota. 2. Penyampaian data dan informasi penataan daerah skala kabupaten/kota ke provinsi dan pemerintah. 1. Menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah. 2. Pengolahan database laporan penataan daerah skala kabupaten/kota.

3. Penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala nasional kepada Presiden.

3. Penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

3. Penyampaian laporan penataan daerah skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.

3. Fasilitasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dan Hubungan Antar Lembaga (HAL): a. DPOD

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan DPOD. 2. Pertimbangan formulasi perimbangan keuangan pusat dan daerah.

1. Penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah provinsi untuk sidang DPOD. 2. Penyusunan tata tertib bahan masukan penetapan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) provinsi bagi sidang DPOD.

1. Penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah kabupaten/kota untuk sidang DPOD. 2. Penyusunan tata tertib bahan masukan penetapan DAU dan DAK bagi sidang DPOD.

1398

b. Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) c. Fasilitasi Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan tata cara penyusunan Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah (KDH) dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)/Pimpinan DPRD. 2. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah. 3. Pengawasan Perda provinsi, kabupaten/kota. 1. Penetapan pembentukan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.

1. Penyusunan Perda provinsi. 2. Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada pemerintah. 3. Penyampaian Perda kepada pemerintah untuk dievaluasi. 1. Membentuk Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.

1. Penyusunan Perda kabupaten/kota. 2. Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada gubernur. 3. Menyampaikan Perda kepada pemerintah untuk dievaluasi. 1. Membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah.

2. Fasilitasi Pemberdayaan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.

2. Fasilitasi pembentukan Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama kabupaten/kota.

2.

1399

4. Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah: a. Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) : (1) Kebijakan (2) Pembinaan

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria SPM. 1. Pembinaan penerapan SPM.

1. Penetapan perencanaan, penganggaran, dan penerapan SPM skala provinsi. 1. Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM skala provinsi.

1. Penetapan perencanaan, penganggaran, dan penerapan SPM skala kabupaten/kota. 1. Penerapan SPM kabupaten/ kota.

b. Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah:

2. Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM. 3. Pengembangan kapasitas penerapan dan pencapaian SPM. 1.a. Penetapan kebijakan tentang norma, standar, prosedur dan kriteria evaluasi mengenai: (1) Pengukuran kinerja. (2) Pengembangan sistem informasi evaluasi. (3) Kriteria pembinaan evaluasi daerah. b.Pelaksanaan evaluasi terhadap provinsi.

2. Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM kabupaten/kota. 3. Fasilitasi dan supervisi penerapan dan pencapaian SPM kabupaten/kota. 1.a. b. Pelaksanaan evaluasi terhadap kabupaten/kota mengenai:

2. 3. 1.a. b.

1400

c. Pengembangan Kapasitas Daerah : (1) Kebijakan (2) Pelaksanaan

1. Penetapan kerangka nasional pengembangan kapasitas daerah. 2. Pedoman penyusunan rencana tindak peningkatan kapasitas daerah. 1. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan pengembangan kapasitas daerah.

(1) Pengukuran kinerja. (2) Pengembangan sistem informasi evaluasi. (3) Kriteria pembinaan evaluasi daerah. 1. Penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah. 2. Penetapan rencana tindak peningkatan kapasitas provinsi. 1. Implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas provinsi.

1. Penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah. 2. Penetapan rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota. 1. Implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota.

(3) Pembinaan

2. Fasilitasi pedoman penyusunan rencana tindak peningkatan kapasitas daerah. 1. Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas provinsi. 2. Koordinasi nasional pengembangan kapasitas daerah.

2. Fasilitasi implementasi rencana tindak provinsi. 1. Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas kabupaten/kota. 2. Koordinasi pengembangan kapasitas provinsi.

2. Fasilitasi implementasi rencana tindak kabupaten/kota. 1. 2. Koordinasi pengembangan kapasitas kabupaten/kota.

5. Pejabat Negara: a. Tata Tertib DPRD: (1) Kebijakan (2) Pembinaan

1. Penetapan pedoman tata tertib DPRD. 1. Fasilitasi penyusunan tata tertib DPRD provinsi. 2. Monitoring dan evaluasi tata tertib DPRD provinsi.

1. Penetapan pedoman tata tertib DPRD provinsi. 1. Fasilitasi penyusunan tata tertib DPRD kabupaten/kota. 2. Monitoring dan evaluasi tata tertib DPRD kabupaten/kota.

1. Penetapan pedoman tata tertib DPRD kabupaten/kota. 1. 2.

1401

b. Peresmian Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota DPRD Provinsi/Kabupaten /Kota. c. Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah (KDH) dan Wakil KDH: (1) Kebijakan (2) Pelaksanaan

1. Peresmian pengangkatan dan pemberhentian anggota DPRD provinsi. 1. Penetapan Pedoman Tata Cara Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian KDH dan Wakil KDH. 1. Pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian KDH dan Wakil KDH.

1. Peresmian pengangkatan dan pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota. 1. 1. Fasilitasi pemilihan gubernur dan wakil gubernur.

1. 1. 1. Fasilitasi pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.

d. Kedudukan Protokoler dan Keuangan DPRD: (1) Kebijakan (2) Pembinaan

2. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan KDH dan Wakil KDH. 1. Penetapan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD. 1. Fasilitasi penyusunan kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi. 2. Monitoring dan evaluasi kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.

2. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota. 1. Pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi. 1. Fasilitasi penyusunan kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota. 2. Monitoring dan evaluasi kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.

2. 1. Pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota. 1. 2.

1402

e. Kedudukan Keuangan KDH dan Wakil KDH: (1) Kebijakan (2) Pembinaan f. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) KDH: (1) Kebijakan (2) Pembinaan

1. Penetapan pedoman kedudukan keuangan KDH dan Wakil KDH. 1. Fasilitasi kedudukan keuangan gubernur dan wakil gubernur. 1. Penetapan pedoman LKPJ. 1. Fasilitasi penyusunan LKPJ gubernur.

1. Pelaksanaan pedoman kedudukan keuangan gubernur dan wakil gubernur. 1. Fasilitasi kedudukan keuangan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota. 1. Pelaksanaan pedoman LKPJ gubernur. 1. Fasilitasi penyusunan LKPJ bupati/walikota.

1. Pelaksanaan pedoman kedudukan keuangan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota. 1. 1. Pelaksanaan pedoman LKPJ bupati/walikota. 1.

g. Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah : (1) Kebijakan (2) Pembinaan

2. Monitoring dan evaluasi LKPJ gubernur. 1. Penetapan pedoman tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang serta kedudukan keuangan gubernur sebagai wakil pemerintah. 1. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah.

2. Monitoring dan evaluasi LKPJ bupati/walikota. 1. Pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah. 1.

2. 1. 1.

1403

2. Pemerintahan Umum

1. Fasilitasi Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Kerjasama:

a. Fasilitasi Dekonsentrasi b. Fasilitasi Tugas Pembantuan

1. Penetapan kebijakan nasional penyelenggaraan dekonsentrasi. 2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi. 3. 1. Penetapan kebijakan nasional penyelenggaraan tugas pembantuan.

1. Gubernur melaksanakan dan melaporkan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang didekonsentrasikan. 2. Gubernur mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah provinsi dan kabupaten/ kota. 3. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan dekonsentrasi di daerah provinsi dan kabupaten/kota. 1. Pelaksanaan dan pelaporan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan oleh pemerintah.

1. 2. 3. 1. Pelaksanaan dan pelaporan penyelenggaraan tugas pembantuan oleh pemerintah dan/atau pemerintah provinsi.

1404

c. Fasilitasi Kerjasama Daerah dengan Pihak Ketiga

2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada provinsi/kabupaten/kota/desa. 3. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari provinsi kepada kabupaten/kota/desa. 1. Penetapan kebijakan nasional di bidang kerjasama dengan pihak ketiga. 2. Pelaksanaan kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga.

2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada kabupaten/kota/desa. 3. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari kabupaten/kota kepada desa. 1. Penetapan kebijakan provinsi di bidang kerjasama dengan pihak ketiga. 2. Pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.

2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada desa. 3. 1. Penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kerjasama dengan pihak ketiga. 2. Pelaksanaan kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.

1405

d. Kerjasama Antar Daerah

3. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga. 4. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga. 5. 1. Penetapan kebijakan kerjasama antar daerah. 2. Fasilitasi kerjasama antar provinsi. 3. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan kerjasama antar daerah.

3. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga. 4. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga. 5. Pelaporan pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga kepada pemerintah. 1. Pelaksanaan kerjasama antar provinsi. 2. Fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama antar kabupaten/kota.

3. 4. 5. Pelaporan pelaksanaan kerjasama pemerintah kabupaten/kota dengan pihak ketiga kepada provinsi. 1. Pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota. 2. 3.

1406

e. Pembinaan Wilayah

4. 1. Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan. 2. Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan. 3. Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar provinsi.

4. Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar provinsi kepada pemerintah. 1. Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di provinsi dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah. 2. Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar kabupaten/kota di wilayahnya. 3. Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kabupaten/kota.

4. Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota kepada provinsi. 1. Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di kabupaten/kota dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah dan provinsi. 2. Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar kecamatan/desa/kelurahan di wilayahnya. 3. Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kecamatan/desa/kelurahan di wilayahnya.

f. Koordinasi Pelayanan Umum

4. Koordinasi penetapan kebijakan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala nasional. 5. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa. 1. Koordinasi dan fasilitasi kebijakan nasional dalam bidang pelayanan umum.

4. Pelaksanaan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala provinsi. 5. Penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala provinsi. 1. Pelaksanaan pelayanan umum skala provinsi.

4. Pelaksanaan dan fasilitasi kebijakan usaha kecil dan menengah skala kabupaten/kota. 5. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala kabupaten/kota. 1. Pelaksanaan pelayanan umum skala kabupaten/kota.

2. Trantibum dan Linmas a. Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat

1. Penetapan kebijakan nasional dalam bidang: (a)

1. Penetapan kebijakan provinsi dengan merujuk kebijakan nasional dalam bidang: (a) Penegakan Perda/Peraturan Kepala Daerah.

1. Penetapan kebijakan kabupaten/kota dengan merujuk kebijakan nasional dalam bidang: (a) Penegakan Perda/Peraturan Kepala Daerah.

1407

(b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). (d) Perlindungan masyarakat. 2. Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala nasional. 3. Pembinaan kepolisipamongprajaan dan PPNS. 4. Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala nasional.

(b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan PPNS. (d) Perlindungan masyarakat. 2. Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala provinsi. 3. Pelaksanaan kepolisipamongprajaan dan PPNS skala provinsi. 4. Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala provinsi.

(b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan PPNS. (d) Perlindungan masyarakat. 2. Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan kepolisipamongprajaan dan PPNS skala kabupaten/ kota. 4. Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala kabupaten/kota.

b. Koordinasi Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM)

5. Koordinasi antar instansi terkait. 1. Koordinasi penegakan HAM skala nasional.

5. Koordinasi dengan instansi terkait skala provinsi. 1. Koordinasi penegakan HAM skala provinsi.

5. Koordinasi dengan instansi terkait skala kabupaten/ kota. 1. Koordinasi penegakan HAM skala kabupaten/kota.

3. Wilayah Perbatasan: a. Pengelolaan Perbatasan Antar Negara

1. Penetapan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara. 2. Pelaksanaan pengelolaan perbatasan antar negara. 3. Koordinasi pengelolaan perbatasan antar negara.

1. 2. Dukungan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara. 3. Dukungan koordinasi antar kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara lain.

1. 2. Dukungan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara. 3. Dukungan koordinasi antar kecamatan/desa/kelurahan yang berbatasan dengan negara lain.

1408

b. Perbatasan Daerah c. Toponimi dan Pemetaan Wilayah

4. Pelaksanaan penyelesaian perselisihan perbatasan antar negara. 1. Penetapan kebijakan, pelaksanaan, dan penegasan perbatasan daerah. 1. Penetapan kebijakan toponimi dan pemetaan wilayah. 2. Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala nasional. 3. Inventarisasi laporan toponimi dan pemetaan.

4. 1. Dukungan pelaksanaan penegasan perbatasan provinsi dan kabupaten/kota di wilayah provinsi. 1. Penetapan kebijakan provinsi mengacu pada kebijakan nasional mengenai toponimi dan pemetaan wilayah provinsi. 2. Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala provinsi. 3. Inventarisasi dan laporan toponimi dan pemetaan skala provinsi.

4. 1. Penetapan kebijakan dan pelaksanaan perbatasan kecamatan dan desa/kelurahan di kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional mengenai toponimi dan pemetaan wilayah kabupaten/kota. 2. Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/kota. 3. Inventarisasi dan laporan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/ kota.

1409

d. Pengembangan Wilayah Perbatasan e. Penetapan Luas Wilayah

1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan. 2. Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan antar negara dan antar provinsi. 3. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan antar negara dan antar provinsi. 1. Penetapan kebijakan luas wilayah. 2. Koordinasi dan fasilitasi penetapan luas wilayah provinsi, kabupaten/kota.

1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan antar kabupaten/kota skala provinsi. 2. Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan skala provinsi. 3. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan provinsi. 1. Inventarisasi perubahan luas wilayah provinsi yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi. 2. Pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya.

1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota. 2. Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota. 3. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan kabupaten/kota. 1. Inventarisasi perubahan luas wilayah kabupaten/kota yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi. 2. Pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya.

1410

4. Kawasan Khusus: a. Kawasan Sumber Daya Alam; Kehutanan, Energi dan Sumber Daya Mineral b. Kawasan Sumber Daya Buatan; Pelabuhan, Bandar Udara, Perkebunan, Peternakan, Industri, Pariwisata, Perdagangan, Otorita, Bendungan dan Sejenisnya

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam skala kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala kabupaten/kota.

c. Kawasan Kepentingan Umum; Kawasan Fasilitas Sosial dan Umum d. Kawasan Kelautan dan Kedirgantaraan

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala kabupaten/kota.

5. Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Bencana: a. Mitigasi Pencegahan Bencana

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/ pencegahan bencana.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/pencegahan bencana skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/pencegahan bencana skala kabupaten/kota.

1411

b. Penanganan Bencana c. Penanganan Pasca Bencana d. Kelembagaan e. Penanganan Kebakaran

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan penanganan bencana. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan bencana skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan bencana skala kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana skala kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana skala kabupaten/ kota. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala kabupaten/kota.

3. Administrasi Keuangan Daerah

1. Organisasi dan Kelembagaan Pengelolaan Keuangan Daerah

1. Penetapan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan organisasi, kelembagaan dan pembinaan sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah.

1. Pelaksanaan penataan organisasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah provinsi dan kabupaten/ kota.

1. Pelaksanaan penataan organisasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah kabupaten/kota.

1412

2. Anggaran Daerah

1. Penetapan pedoman rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah. 2. Penetapan kebijakan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah. 3. Penetapan pedoman perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi dan kabupaten/ kota.

1. Penetapan peraturan daerah (Perda) tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah. 2. Penetapan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah provinsi. 3. Perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi.

1. Penetapan Perda tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah. 2. Penetapan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah kabupaten/kota. 3. Perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan kabupaten/ kota.

4. Penetapan pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan perubahan APBD. 5. Penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD provinsi. 6. Evaluasi Raperda tentang APBD, dan perubahan APBD provinsi. 7. Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar provinsi.

4. Penetapan Perda tentang APBD dan perubahan APBD. 5. Penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD kabupaten/kota, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah. 6. Evaluasi Raperda tentang APBD, dan perubahan APBD kabupaten/ kota. 7. Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar kabupaten/kota.

4. Penetapan Perda tentang APBD dan perubahan APBD. 5. Penetapan pedoman evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah. 6. Evaluasi Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) tentang APB Desa. 7. Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar desa.

1413

8. Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent) antara pemerintah dan provinsi. 9. Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan daerah antar provinsi. 0. Fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah.

8. Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent) antara provinsi dan kabupaten/ kota. 9. Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan daerah antar kabupaten/kota. 10. Fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah kabupaten/kota.

8. Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent) antara kabupaten/kota dan desa. 9. Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan antar desa. 10. Fasilitasi perencanaan dan penganggaran pemerintahan desa.

1414

3. Pendapatan dan Investasi Daerah : a. Pajak dan Retribusi Daerah

1.a. Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pajak daerah, retribusi daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) lainnya. b. c. Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pajak dan retribusi daerah, serta PAD lainnya.

1.a. Penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi. b.Pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi. c. Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pajak dan retribusi daerah serta PAD lainnya kabupaten/kota.

1.a. Penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota. b.Pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/ kota. c. Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan retribusi desa.

1415

b. Investasi dan Aset Daerah

2. Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah. 3. Evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah provinsi, dan Perda pajak dan retribusi daerah, dan pungutan lainnya provinsi dan kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan investasi dan aset daerah. 2. Fasilitasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus tentang pengelolaan investasi dan aset daerah.

2. Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala provinsi. 3. Evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah dan pungutan lainnya kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi. 2. Pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi.

2. Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala kabupaten/kota. 3. Evaluasi Raperdes tentang retribusi dan pungutan lainnya. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota.

1416

c. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Lembaga Keuangan Mikro

3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi. 4. Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala nasional. 1. Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro. 2. Fasilitasi, monitoring dan evaluasi, pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro.

3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/ kota. 4. Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi. 2. Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.

3. Pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota. 4. Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/ kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa.

1417

d. Pinjaman Daerah

3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi. 1. Penetapan kebijakan umum tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta Badan Layanan Umum (BLU) daerah. 2. Fasilitasi, monitoring, evaluasi dan pelaksanaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU daerah. 3. Pembinaan dan pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi.

3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi. 2. Pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi. 3. Pembinaan dan pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.

3. Pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota. 3. Pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.

1418

4. Dana Perimbangan : a. Dana Alokasi Umum (DAU) b. Dana Alokasi Khusus (DAK)

1. Penetapan formula penghitungan alokasi DAU provinsi/kabupaten/kota. 2. Penetapan pedoman umum pengelolaan DAU. 3. Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAU. 1. Penetapan kebijakan DAK dan kriteria penghitungannya. 2. Penghitungan dan penetapan alokasi DAK.

1. Pengelolaan data dasar penghitungan alokasi DAU provinsi dan koordinasi data dasar penghitungan alokasi DAU kabupaten/kota. 2. Pengelolaan DAU provinsi. 3. Pelaporan pengelolaan DAU provinsi, dan monitoring serta evaluasi penggunaan DAU kabupaten/kota. 1. Usulan program dan kegiatan provinsi untuk didanai dari DAK serta koordinasi usulan DAK kabupaten/kota. 2.

1. Pengelolaan data dasar penghitungan alokasi DAU kabupaten/kota. 2. Pengelolaan DAU kabupaten/ kota. 3. Pelaporan pengelolaan DAU kabupaten/kota. 1. Usulan program dan kegiatan kabupaten/kota untuk didanai dari DAK. 2.

1419

c. Dana Bagi Hasil (DBH)

3. Penetapan petunjuk teknis (juknis) pengelolaan DAK. 4. Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAK provinsi dan kabupaten/kota. 5. Pengendalian dan pengkajian pengelolaan DAK provinsi dan kabupaten/kota 1. Penetapan kebijakan DBH. 2. Penetapan daerah penghasil Sumber Daya Alam (SDA). 3. Penghitungan dan penetapan alokasi DBH bagi provinsi dan kabupaten/kota.

3. Pengelolaan DAK (bagi provinsi yang menerima DAK). 4. Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAK kabupaten/kota. 5. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DAK. 1. Penyiapan data realisasi penerima DBH provinsi. 2. Fasilitasi kabupaten/kota terhadap konflik penentuan daerah penghasil SDA. 3. Penetapan alokasi DBH di kabupaten/kota.

3. Pengelolaan DAK (bagi kabupaten/kota yang menerima DAK). 4. 5. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DAK. 1. Penyiapan data realisasi penerima DBH kabupaten/kota. 2. 3.

4. Evaluasi laporan pengelolaan DBH.

4. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DBH.

4. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DBH.

1420

5. Pelaksanaan, Penatausahaan, Akuntansi dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD

1. Penetapan kebijakan norma, standar prosedur dan kriteria pelaksanaan, penatausahaan, akuntansi pengelolaan keuangan daerah dan desa. 2. Penetapan pedoman penyusunan laporan keuangan daerah/desa dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi, kabupaten/kota dan APB desa. 3. Penetapan pedoman evaluasi laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi, kabupaten/kota dan APB desa.

1. Penetapan kebijakan tentang sistem dan prosedur akuntansi pengelolaan keuangan daerah provinsi. 2. Penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi. 3.

1. Penetapan kebijakan tentang sistem dan prosedur akuntansi pengelolaan keuangan daerah kabupaten/kota dan desa. 2. Penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota dan APB desa. 3.

4. Evaluasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi. 5. Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent). 6. Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan APB desa.

4. Evaluasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/ kota. 5. Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggung-jawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent). 6. Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota.

4. Evaluasi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APB desa. 5. Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent). 6. Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pelaksanaan APB desa.

1421

4. Perangkat Daerah

1. Kebijakan

1. Penetapan pedoman umum tentang perangkat daerah. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan perangkat daerah. 3. Penetapan pedoman teknis perangkat daerah. 4. Penetapan pedoman tatalaksana perangkat daerah. 5. Penetapan pedoman analisis jabatan perangkat daerah.

1. Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah provinsi. 2. Pelaksanaan kebijakan pembentukan perangkat daerah skala provinsi. 3. Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah provinsi. 4. Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah provinsi. 5. Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah provinsi.

1. Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kebijakan pembentukan perangkat daerah skala kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah kabupaten/kota. 4. Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah kabupaten/kota.

2. Pengembangan Kapasitas

1. Penetapan kebijakan tentang pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah. 2. Koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah.

1. Pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah provinsi. 2. Koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah kabupaten/kota.

1. Pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah.

3. Fasilitasi

1. Penetapan kebijakan fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah, yang meliputi pemberian bimbingan, supervisi, pelatihan, dan kerjasama.

1. Fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota.

1.

1422

4. Pembinaan dan Pengendalian

1. Penetapan kebijakan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah. 2. Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah provinsi.

1. Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah kabupaten/kota. 2.

1. Penerapan dan pengendalian organisasi perangkat daerah. 2.

3. Pembatalan peraturan daerah tentang perangkat daerah.

3.

3.

5. Monitoring dan Evaluasi

1. Penetapan kebijakan monitoring dan evaluasi perangkat daerah. 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah provinsi. 3. Penetapan database perangkat daerah skala nasional.

1. 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah kabupaten/kota. 3. Koordinasi penyusunan database perangkat daerah skala provinsi.

1. 2. Penyediaan bahan monitoring dan evaluasi perangkat daerah. 3. Penyediaan bahan database perangkat daerah skala kabupaten/kota.

5. Kepegawaian

1. Formasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Penetapan kebijakan formasi PNS secara nasional setiap tahun anggaran. 2. Penetapan persetujuan formasi Pegawai Negeri Sipil Pusat (PNSP) di lingkungan Departemen/LPND setiap tahun anggaran.

1. Penyusunan formasi Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) di provinsi setiap tahun anggaran. 2. Penetapan formasi PNSD di provinsi setiap tahun anggaran.

1. Penyusunan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran. 2. Penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.

3. Penetapan formasi PNSP/Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan Daerah setiap tahun anggaran.

3. Koordinasi usulan penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.

3. Usulan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.

1423

2. Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengadaan PNS. 2. Pelaksanaan pengadaan PNSP di lingkungan Departemen/LPND. 3. Koordinasi pelaksanaan pengadaan PNS secara nasional.

1. Pelaksanaan pengadaan PNSD Provinsi 2. Usulan penetapan Nomor Induk Pegawai (NIP) 3. Koordinasi pelaksanaan pengadaan PNSD kabupaten/kota.

1. Pelaksanaan pengadaan PNSD kabupaten/kota 2. Usulan penetapan NIP 3.

3. Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS. 2. Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga.

1. Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan provinsi. 2. Penempatan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) provinsi.

1. Penetapan kebijakan pengangkatan CPNSD di lingkungan kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan kabupaten/kota.

3.

3. Pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi.

3. Pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi.

1424

4. Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS menjadi PNS. 2. Penetapan CPNSP menjadi PNSP Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga. 3. 4. Penetapan menjadi PNSP dan PNSD bagi CPNSP dan CPNSD yang tewas atau cacat karena dinas

1. 2. Penetapan CPNSD menjadi PNSD di lingkungan provinsi. 3. Koordinasi pelaksanaan pengangkatan CPNSD menjadi PNSD kabupaten/kota. 4.

1. 2. Penetapan CPNSD menjadi PNSD di lingkungan kabupaten/kota. 3. 4.

5. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat)

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria diklat jabatan PNS. 2. Penetapan sertifikasi lembaga diklat pemerintah. 3. Koordinasi dan pelaksanaan diklat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah.

1. Penetapan kebutuhan diklat PNSD provinsi. 2. Usulan penetapan sertifikasi lembaga diklat provinsi. 3. Koordinasi dan pelaksanaan diklat skala provinsi.

1. Penetapan kebutuhan diklat PNSD kabupaten/kota. 2. Usulan penetapan sertifikasi lembaga diklat kabupaten/ kota. 3. Pelaksanaan diklat skala kabupaten/kota.

6. Kenaikan Pangkat

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria kenaikan pangkat. 2.a. Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b.

1. 2.a. Penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b.

1. 2.a. Penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi golongan ruang I/b s/d III/d.

1425

b. Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi golongan/ruang IV/c, IV/d, dan IV/e. 3. Koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah. 4. Penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.

b. Penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi gol/ruang IV/a dan IV/b. 3. Koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan kabupaten/kota. 4. Usulan penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi/kab/kota menjadi golongan ruang IV/c, IV/d, dan IV/e dan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.

b. 3. 4. Usulan penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.

7. Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian dalam dan dari Jabatan

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan.

1. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS provinsi dalam dan dari jabatan struktural eselon II kebawah atau jabatan

1. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS kabupaten/kota dalam dan dari jabatan struktural eselon II atau jabatan

2. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon I PNSP dan PNSD dan jabatan fungsional jenjang utama. 3. Konsultasi/koordinasi pengangkatan sekda kabupaten/kota 4. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional jenjang setingkat, PNSP

fungsional yang jenjangnya setingkat. 2.a. Penetapan pengangkatan sekretaris daerah kabupaten/kota. b. Usulan pengangkatan dan pemberhentian sekda provinsi 3. Usulan konsultasi pengangkatan dan pemberhentian sekda Kabupaten/kota 4. Koordinasi pengangkatan, pemindahan dalam dan dari jabatan struktural eselon II di lingkungan kabupaten/kota.

fungsional yang jenjangnya setingkat, kecuali pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota. 2. usulan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota. 3. Usulan konsultasi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian eselon II PNS kabupaten/kota 4.

1426

Departemen/LPND/ Kesekretariatan lembaga. 8. Perpindahan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Antar Instansi 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perpindahan PNS antar instansi. 2. Penetapan perpindahan PNS antar kabupaten/kota dan antar provinsi. 3. Penetapan perpindahan PNS provinsi/kabupaten/kota ke Departemen/LPND atau sebaliknya. 4. Penetapan perpindahan PNSP antar Departemen ke LPND/kesekretariatan lembaga atau sebaliknya. 1. Penetapan perpindahan PNSD antar kab/kota dalam satu provinsi. 2. Penetapan perpindahan PNSD dari kabupaten/kota ke provinsi atau sebaliknya dalam satu provinsi. 3. Penetapan perpindahan PNSD dilingkungan provinsi 4. 1. Penetapan perpindahan PNSD kabupaten/kota. 2. 3. 4.

1427

9. Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian sementara dari jabatan negeri. 2. Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I, jabatan fungsional jenjang utama, kecuali sekda provinsi. 3. Penetapan pemberhentian sementara bagi PNSP di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional setingkat.

1. Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNSD provinsi yang menduduki jabatan struktural eselon I kebawah dan jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang setingkat. 2. 3.

1. Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi semua PNSD di kabupaten/kota. 2. 3.

10. Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil (PNS) Akibat Tindak Pidana

1. Pemberhentian sementara PNS untuk golongan IV/c ke atas.

1. Pemberhentian sementara PNSD untuk golongan IV/c ke bawah.

1. Pemberhentian sementara PNSD untuk golongan III/d ke bawah.

1428

11. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian PNS atau CPNS. 2. Penetapan pemberhetian PNS dan PNSD golongan ruang IV/c, IV/d dan IV/e. 3. Penetapan pemberhentian PNS yang tewas, cacat karena dinas atau mencapai batas usia pensiun gol/ruang IV/c, IV/d dan IV/e.

1. Penetapan pemberhentian PNSD provinsi gol/ruang IV/b ke bawah dan pemberhentian sebagai calon PNSD provinsi. 2. Penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota Gol/ruang IV/a s/d IV/b dan pemberhentian dengan hormat sebagai calon PNSD provinsi yang tidak memenuhi syarat diangkat menjadi PNS. 3.

1. Penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota gol/ruang III/d ke bawah dan pemberhentian sebagai CPNSD kabupaten/kota. 2. 3.

4. Penetapan pemberhentian PNSP gol/ruang IV/b ke bawah. pensiun.

4.

4.

12. Pemutakhiran Data Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemutakhiran data PNS. 2. Penyelenggaraan dan pemiliharaan informasi kepegawaian. 3. Koordinasi pelaksanaan pemutakhiran data PNS secara nasional.

1. Pelaksanaan pemutakhiran data PNS di provinsi. 2. 3. Koordinasi pelaksanaan pemutakhiran data PNS di kabupaten/kota.

1. Pelaksanaan pemutakhiran data PNSD di kabupaten/ kota. 2. 3.

13. Pengawasan dan Pengendalian

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengawasan dan pengendalian kepegawaian.

1. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang kepegawaian skala provinsi.

1. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian skala kabupaten/kota.

1429

2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. 3. Koordinasi pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. 4. Melakukan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang kepegawaian. 5. Koordinasi dalam pelaksanaan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang kepegawaian.

2. Koordinasi pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian di lingkungan kabupaten/ kota. 3. 4. 5.

2. 3. 4. 5.

6. Penetapan sangsi terhadap pelanggaran administrasi kepegawaian di daerah.

6.

6.

1430

14. Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan manajemen PNS. 2. Penyelenggaraan manajemen PNS meliputi perencaan, pengembangan kualitas sumber daya PNS, administrasi kepegawaian, pengawasan dan pengendalian. 3. Melakukan perumusan kesejahteraan PNS. 4. Koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSP dan PNSD skala nasional.

1. Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dilingkungan provinsi. 2. Koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSD skala provinsi. 3. 4.

1. Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dilingkungan kabupaten/ kota. 2. 3. 4.

6. Persandian

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan dan pembinaan SDM persandian nasional. 2. Penetapan kebijakan dan pembinaan peralatan sandi (palsan) nasional. 3. Penetapan kebijakan dan pembinaan sistem sandi (sissan) nasional. 4. Penetapan kebijakan dan pembinaan kelembagaan persandian nasional.

1. Penyelenggaraan pembinaan SDM persandian skala provinsi. 2. Penyelenggaraan pembinaan palsan skala provinsi. 3. Penyelenggaraan pembinaan sissan skala provinsi. 4. Penyelenggaraan pembinaan kelembagaan persandian skala provinsi.

1. Penyelenggaraan persandian skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan palsan skala kabupaten/kota. 3. Penyelenggaraan sissan skala kabupaten/kota. 4. Penyelenggaraan kelembagaan persandian skala kabupaten/kota.

1431

2. Pembinaan SDM

1. Perencanaan kebutuhan SDM persandian nasional. 2. Rekrutmen SDM persandian nasional.

1. Perencanaan kebutuhan SDM persandian skala provinsi. 2. Rekrutmen calon SDM persandian skala provinsi.

1. Perencanaan kebutuhan SDM persandian skala kabupaten/kota. 2. Rekrutmen calon SDM persandian skala kabupaten/kota.

3. Penyelenggaraan diklat sandi skala nasional. 4. Pemberian akreditasi lembaga diklat sandi: a. Pemberian izin penyelenggaraan lembaga diklat sandi. b. Persetujuan program diklat sandi. c. Persetujuan SDM lermbaga diklat sandi. d. Fasilitasi/persetujuan tenaga pengajar dan widyaiswara sandi. 5. Pemberian/pencabutan sertifikasi profesi/tenaga ahli: a. Penentuan standar jabatan persandian.

3. Penyelenggaraan diklat sandi skala provinsi. 4. Usulan akreditasi lembaga diklat sandi: a. Usulan izin penyelenggaraan lembaga diklat sandi. b. Usulan program diklat sandi. c. Usulan SDM lembaga diklat sandi. d. Usulan persetujuan tenaga pengajar dan widyaiswara sandi. 5. Usulan sertifikasi profesi/tenaga ahli: a.

3. 4. a. b. c. d. 5. a.

b. Penentuan dan penilaian jabatan fungsional (jabfung) sandiman/ Operator Transmisi Sandi (OTS). 6. Pemberian tanda penghargaan bidang persandian. 7. Pembinaan dan pengawasan bagi SDM purna tugas.

b. Pembentukan Tim Penilai Instansi untuk melakukan penilaian terhadap pejabat fungsional sandiman/OTS skala provinsi. 6. Usulan pemberian tanda penghargaan bidang persandian. 7. Pembinaan dan pengawasan bagi SDM purna tugas.

b. 6. Usulan pemberian tanda penghargaan bidang persandian. 7.

1432

3. Pembinaan Palsan

1. Penentuan standarisasi dan perencanaan kebutuhan palsan skala nasional. 2. Pengkajian dan uji coba laboratorium dan lapangan.

1. Perencanaan kebutuhan palsan skala provinsi. 2.

1. Perencanaan kebutuhan palsan skala kabupaten/kota. 2.

3. Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala nasional. 4. Pemeliharaan palsan tingkat II s/d tingkat III. 5. Penentuan penghapusan palsan skala nasional.

3. Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala provinsi. 4. Pemeliharaan palsan tingkat I. 5. Penghapusan palsan skala provinsi.

3. Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala kabupaten/kota. 4. Pemeliharaan palsan tingkat O. 5. Penghapusan palsan skala kabupaten/kota.

4. Pembinaan Sissan

1. Penentuan standarisasi dan perencanaan kebutuhan sissan skala nasional. 2. Penentuan prototype dan uji coba sissan. 3. Pengadaan sissan untuk jaring persandian nasional. 4. Penentuan prosedur tetap (protap) penyimpanan sissan skala nasional.

1. Perencanaan kebutuhan sissan skala provinsi. 2. 3. Pengadaan sissan untuk jaring persandian skala provinsi. 4. Penyelenggaraan protap penyimpanan sissan skala provinsi.

1. Perencanaan kebutuhan sissan skala kabupaten/kota. 2. 3. Pengadaan sissan untuk jaring persandian skala kabupaten/kota. 4. Penyelenggaraan protap penyimpanan sissan skala kabupaten/kota.

5. Penentuan pemberlakuan/penggantian Sissan jaring persandian skala nasional. 6. Penentuan penghapusan palsan tingkat pusat.

5. Penentuan pemberlakuan/penggantian sissan jaring persandian skala provinsi. 6. Penyiapan palsan tingkat provinsi dan kabupaten/ kota untuk penghapusan.

5. Penentuan pemberlakuan/penggantian sissan jaring persandian skala kabupaten/kota. 6.

1433

5. Pembinaan Kelembagaan

1. Penetapan kebijakan kelembagaan dan pola hubungan komunikasi persandian antara instansi pemerintah. 2. Penetapan kebijakan pola hubungan komunikasi persandian pemerintah dengan daerah. 3. Penetapan kebijakan Jaring Komunikasi Sandi (JKS).

1. 2. Penyelenggaraan hubungan komunikasi persandian antara pemerintah provinsi dengan pemerintah dan/ atau kabupaten/kota. 3.

1. 2. Penyelenggaraan hubungan komunikasi persandian antara pemerintah provinsi dengan pemerintah dan/atau kabupaten/kota. 3.

6. Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal)

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria wasdal persandian instansi pemerintah dan daerah. 2. Pengawasan dan pengendalian operasional persandian nasional dan provinsi.

1. 2. Pengawasan operasional persandian bidang tertentu kabupaten/kota di wilayahnya.

1. 2.

7. Pengkajian

1. Pengkajian SDM persandian nasional meliputi palsan, sissan, dan kelembagaan persandian nasional.

1.

1.

1434

21. Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa


SUB B IDANG 1. Pemerintahan Desa dan Kelurahan SUB SUB B IDANG 1. Kebijakan PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan nasional. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi. 2. Penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota. 2. Penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

2. Administrasi Pemerintahan Desa dan Kelurahan

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional. 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi. 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. 2. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

1435

3. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional. 4. Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.

3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi. 4. Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.

3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. 4. Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

3. Pengembangan Desa dan Kelurahan

1. Penetapan pedoman pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan serta batas desa dan kelurahan skala nasional. 2. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.

1. Fasilitasi pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan, batas desa dan kelurahan skala provinsi. 2. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.

1. Penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan, batas desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. 2. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

1436

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional. 4. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi. 4. Monitoring dan evaluasi serta penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. 4. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

4. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

1.a. Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

1.a. Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa skala provinsi.

1.a. Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa skala kabupaten/kota.

b. 2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi peran BPD skala nasional.

b. 2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala provinsi. 3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan peran BPD skala provinsi.

b.Penyelenggaraan bimbingan, konsultasi, pelatihan dan pendidikan bagi anggota BPD. 2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala kabupaten/ kota. 3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan peran BPD skala kabupaten/kota.

1437

5. Keuangan dan Aset Desa

1. Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa. 2. Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.

1. Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi. 2. Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.

1. Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota. 2. Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional. 4. Monitoring dan evaluasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi. 4. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota. 4. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.

6. Pengembangan Kapasitas Pemerintah Desa dan Kelurahan

1.a. Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional. b.

1.a. Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi. b.

1.a. Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. b.Penyelenggaraan bimbingan, konsultasi, pelatihan dan pendidikan bagi pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

1438

2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.

2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi. 3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi.

2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. 3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

2. Penguatan Kelembagaan dan Pe ngembangan Partisipasi Masyarakat

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan skala nasional. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala nasional.

1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala kabupaten/kota.

1439

2. Pemantapan Data Profil Desa dan Profil Kelurahan

1. Koordinasi dan fasilitasi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pegolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.

3. Penguatan Kelembagaan Masyarakat

1. Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota.

3. Monitoring dan evaluasi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota.

1440

4. Pelatihan Masyarakat

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.

5. Pengembangan Manajemen Pembangunan Partisipatif

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota.

2. Pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.

2. Pelaksanaan pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota.

1441

6. Peningkatan Peran Masyarakat dalam Penataan dan Pendayagunaan Ruang Kawasan Perdesaan

1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.

3. Monitoring dan evaluasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.

3. Pemberdayaan Adat dan Pe ngembangan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan nasional. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala nasional.

1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala kabupaten/kota.

1442

2. Pemberdayaan Adat Istiadat dan Budaya Nusantara

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota. 2. Pembinaan dan supervisi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.

3. Pemberdayaan Perempuan

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan perempuan skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pemberdayaan perempuan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota. 2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota.

3. Monitoring dan evaluasi pemberdayaan perempuan skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota.

1443

4. Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK)

1. Koordinasi dan fasilitasi PKK skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi PKK skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi PKK skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan PKK skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan PKK skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan PKK skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota. 2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.

5. Peningkatan Kesejahteraan Sosial

1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota. 2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota.

3. Monitoring dan evaluasi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/ kota.

1444

6. Pengembangan dan Perlindungan Tenaga Kerja

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota. 2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.

4. Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan nasional.

1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota. 2. Penyelenggaraan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala kabupaten/kota.

2. Penetapan pedoman, norma, stndar, prosedur dan kriteria pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala nasional.

2. Penyelenggaraan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala provinsi.

1445

2. Pemberdayaan Ekonomi Penduduk Miskin

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota.

3. Pengembangan Usaha Ekonomi Keluarga dan Kelompok Masyarakat

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi. 3. Monitoring evaluasi dan pelaporan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/kota. 3. Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/ kota.

1446

4. Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Perdesaan

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota.

2. Pembinaan dan supervisi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.

2. Penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota.

5. Pengembangan Produksi dan Pemasaran Hasil Usaha Masyarakat

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota.

3. Monitoring dan evaluasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.

3. Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.

3. Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota.

1447

6. Pengembangan Pertanian Pangan dan Peningkatan Ketahanan Pangan Masyarakat

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota.

3. Monitoring dan evaluasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota.

5. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pe ngelolaan Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan nasional. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala nasional.

1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi. 2. Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota. 2. Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.

1448

2. Fasilitasi Konservasi dan Rehabilitasi Lingkungan

1. Koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional. 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi. 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan lingkup skala kabupaten/ kota.

3. Fasilitasi Pemanfataan Lahan dan Pesisir Pedesaan

1. Koordinasi dan fasilitasi terhadap fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala kabupaten/kota.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi peraturan kebijakan nasional dalam fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi penyelengaraan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemanfaatan lahan dan peisisr di pedesaan skala provinsi.

2. Pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir perdesaan skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala kabupaten/kota.

1449

4. Fasilitasi Prasarana dan Sarana Pedesaan

1. Koordinasi dan fasilitasi prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota.

5. Fasilitasi Pemetaan Kebutuhan dan Pengkajian Teknologi Tepat Guna

1. Koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi kebutuhan teknologi teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.

1450

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi kebutuhan teknologi tepat guna skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi kebutuhan teknologi tepat guna skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi kebutuhan teknologi tepat guna skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan kebutuhan teknologi tepat guna skala provinsi.

2. Pembinaan dan supervisi pemanfaatan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemanfaatan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.

6. Pemasyarakatan dan Kerjasama Teknologi Pedesaan

1. Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional. 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi. 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi. 3. Monitoring evaluasi dan pelaporan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota. 3. Monitoring evaluasi dan pelaporan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota.

1451

22. Bidang Statistik


SUB BIDANG 1. Statistik Umum SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan PEMERINTAH 1. Penetapan pedoman sistem dan prosedur, norma, konsep, definisi, standarisasi, dan ukuran ukuran. PEMERINTAHAN DAERAH P ROVINSI 1. Penyelenggaraan kerjasama antar lembaga untuk mengembangkan statistik skala provinsi. 1. Pelaksanaan pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan statistik skala kabupaten/kota. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penyelenggaraan kerjasama antar lembaga untuk mengembangkan statistik skala kabupaten/kota. 1. STATUS NSPK S1 S2 S3 KETERANGAN

2. Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi

1. Pelaksanaan pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan statistik daerah.

3. Fasilitasi dan pembinaan

1. Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik daerah.

1. Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik skala kabupaten/kota.

1.

2. Statistik Dasar

1. Statistik dasar meliputi: a. Sensus

1. Penyelenggaraan statistik dasar meliputi: a. Sensus penduduk (akhiran angka nol). b. Sensus pertanian (akhiran angka tiga). c. Sensus ekonomi (akhiran angka enam).

1. Pemberian dukungan penyelenggaraan statistik dasar skala provinsi: a. b. c.

1. Pemberian dukungan penyelenggaraan statistik dasar skala kabupaten/kota: a. b. c.

1452

b. Survei Antar Sensus

c. Survei Berskala Nasional

1. Penyelenggaraan survei antar sensus: a. Survei penduduk antar sensus (akhiran angka lima). b. Survei pertanian antar sensus (akhiran angka delapan). c. Survei ekonomi antar sensus (akhiran angka satu). 1. Penyelenggaraan survei berskala nasional: a. Survei-survei bidang ekonomi. b. Survei-survei bidang kesejahteraan rakyat.

1. Pemberian dukungan penyelenggaraan survei antar sensus skala provinsi: a. b. c.

1. Pemberian dukungan penyelenggaraan survei antar sensus skala kabupaten/ kota: a. b. c.

1. Pemberian dukungan survei berskala nasional di tingkat provinsi di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat: a. b.

1. Pemberian dukungan survei berskala nasional di tingkat kabupaten/kota di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat: a. b.

d. Survei Sosial dan Ekonomi

1. Penyelenggaraan survei sosial dan ekonomi: a. Survei-survei sosial dan ekonomi lain untuk memperoleh indikatorindikator sosial dan ekonomi.

1. Pemberian dukungan survei sosial dan ekonomi: a.

1. Pemberian dukungan survei sosial dan ekonomi: a.

2. Statistik Lintas Sektor Berskala Nasional

1. Penyelenggaraan statistik lintas sektor berskala nasional.

1.

1.

3. Statistik Sektoral

1. Koordinasi Statistik Antar Sektoral

1. Koordinasi statistik antar sektoral.

1. Penyelenggaraan statistik sektoral skala provinsi.

1. Penyelenggaraan statistik sektoral skala kabupaten/ kota.

1453

2. Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik sektoral, provinsi dan kabupaten/kota.

2.

2.

4. Statistik Khusus

1. Pengembangan Jejaring Statistik Khusus

1. Pengembangan jejaring statistik khusus.

1. Pengembangan jejaring statistik khusus skala provinsi.

1. Pengembangan jejaring statistik khusus skala kabupaten/kota.

1454

23. Bidang Kearsipan


SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA STATUS NSPK S1 S2 S3 KETERANGAN

1455

1. Kearsipan

1. Kebijakan

1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan kearsipan secara nasional, meliputi : a. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan kearsipan dinamis secara nasional.

1. Penetapan norma, standar dan pedoman penyelenggaraan kearsipan di lingkungan provinsi berdasarkan kebijakan kearsipan nasional meliputi : a. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan arsip dinamis di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

1. Penetapan norma, standar dan pedoman penyelenggaraan kearsipan di lingkungan kabupaten/kota berdasarkan kebijakan kearsipan nasional, meliputi : a. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan dinamis di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional. b. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan statis di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional. c. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan sistem kearsipan di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional.

b. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan kearsipan secara statis.

b. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan statis di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional. c. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan sistem kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

c. Penetapan kebijakan dan pengembangan sistem kearsipan secara nasional.

d. Penetapan kebijakan dan pengembangan jaringan kearsipan secara nasional.

d. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

d. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan kearsipan di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional. e. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia kearsipan di lingkungan kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan nasional.

e. Penetapan kebijakan dan pengembangan sumber daya manusia kearsipan secara nasional.

e. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

1456

f. Penetapan kebijakan pembentukan dan pengembangan organisasi kearsipan secara nasional.

f. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional. g. Penetapan peraturan dan kebijakan penggunaan sarana dan prasarana kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

f.

g. Penetapan kebijakan di bidang sarana dan prasarana kearsipan secara nasional.

g. Penetapan peraturan dan kebijakan penggunaan sarana dan prasarana kearsipan di lingkungan kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan nasional.

2. Pembinaan

1. Pembinaan kearsipan terhadap lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, lembaga vertikal, provinsi dan kabupaten/ kota.

1. Pembinaan kearsipan terhadap perangkat daerah provinsi, badan usaha milik daerah provinsi dan kabupaten/kota.

1. Pembinaan kearsipan terhadap perangkat daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan.

3. Penyelamatan, Pelestarian dan Pengamanan

1. Pemberian persetujuan jadwal retensi arsip.

1. Pemberian persetujuan jadwal retensi arsip kabupaten/kota terhadap arsip yang telah memiliki pedoman retensi. 2. Pemberian persetujuan pemusnahan arsip kabupaten/kota terhadap arsip yang telah memiliki pedoman retensi. 3. Pengelolaan arsip statis perangkat daerah provinsi, lintas daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah provinsi serta swasta dan perorangan berskala provinsi.

1.

2. Pemberian persetujuan pemusnahan arsip.

2.

3. Pengelolaan arsip statis lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, badan usaha milik negara, perusahaan swasta dan perorangan berskala nasional.

3. Pengelolaan arsip statis perangkat daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah kabupaten/kota, perusahaan swasta dan perorangan berskala kabupaten/kota.

1457

4. Akreditasi dan Sertifikasi

1. Pemberian akreditasi dan sertifikasi kearsipan.

1.

1.

5. Pengawasan/Supervisi

1. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, lembaga vertikal serta provinsi. 2. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan pembinaan kearsipan oleh lembaga kearsipan provinsi.

1. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan perangkat daerah provinsi dan lembaga kearsipan kabupaten/kota.

1. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan perangkat daerah kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan. 2.

2. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan pembinaan oleh lembaga kearsipan kabupaten/kota.

1458

24. Bidang Perpustakaan


STATUS NSPK SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan kabupaten/kota berpedoman kebijakan provinsi dan nasional, meliputi : a. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan perpustakaan di skala kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional. b. KETERANGAN S1 S2 S3

1. Pe rpustakaan

1. Kebijakan

1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan perpustakaan secara nasional, meliputi : a. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan perpustakaan. b. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan dan pengembangan sistem perpustakaan secara nasional.

1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan provinsi berpedoman kebijakan nasional, meliputi : a. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan perpustakaan di skala provinsi berdasarkan kebijakan nasional. b.

1459

c. Penetapan kebijakan dan pengembangan jaringan perpustakaan secara nasional. d. Penetapan kebijakan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) perpustakaan secara nasional. e. Penetapan kebijakan pembentukan dan pengembangan organisasi perpustakaan secara nasional. f. Penetapan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan secara nasional.

c. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional. d. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan SDM perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional. e. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional. f. Penetapan paraturan dan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.

c. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. d. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan SDM perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. e. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. f. Penetapan dan peraturan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.

1460

2. Pembinaan Teknis Perpustakaan

1. Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan : a. Pengelolaan perpustakaan sesuai standar. b. Pengembangan SDM. c. Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar. d. Kerjasama dan jaringan perpustakaan. e. Pengembangan minat baca.

1. Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan di wilayah provinsi : a. Pengelolaan perpustakaan sesuai standar. b. Pengembangan SDM. c. Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar. d. Kerjasama dan jaringan perpustakaan. e. Pengembangan minat baca.

1. Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan di wilayah kabupaten/kota : a. Pengelolaan perpustakaan sesuai standar. b. Pengembangan SDM. c. Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar. d. Kerjasama dan jaringan perpustakaan. e. Pengembangan minat baca.

3. Penyelamatan dan Pelestarian Koleksi Nasional

1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi nasional.

1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi daerah provinsi berdasarkan kebijakan nasional.

1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi daerah kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional.

2. Pelestarian Karya Cetak dan Karya Rekam, terkait koleksi nasional. 3. Koordinasi pelestarian tingkat nasional, regional, dan internasional.

2. Pelaksanaan SerahSimpan Karya Cetak dan Karya Rekam, terkait koleksi daerah provinsi dan kabupaten/kota. 3. Koordinasi pelestarian tingkat daerah provinsi.

2. 3. Koordinasi pelestarian tingkat daerah kabupaten/kota.

1461

4. Pengembangan Jabatan Fugsional Pustakawan

1. Penetapan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan secara nasional. 2. Penetapan kebijakan penilaian angka kredit pustakawan. 3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan madya dan pustakawan utama.

1. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan di skala provinsi sesuai kebijakan nasional. 2. 3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan pelaksana sampai dengan pustakawan penyelia dan pustakawan pertama sampai dengan pustakawan muda.

1. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan di skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. 2. 3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan pelaksana sampai dengan pustakawan penyelia dan pustakawan pertama sampai dengan pustakawan muda.

4. Penetapan standar kompetensi jabatan fungsional pustakawan.

4.

4.

5. Akreditasi Perpustakaan dan Sertifikasi Pustakawan

1. Pemberian akreditasi perpustakaan. 2. Pemberian sertifikasi pustakawan.

1. Pemberian akreditasi perpustakaan di wilayah provinsi. 2. Pemberian sertifikasi pustakawan di wilayah provinsi.

1. 2.

6. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Teknis dan Fungsional Perpustakaan

1. Pengembangan dan penetapan kurikulum dan modul diklat teknis dan fungsional perpustakaan. 2. Pemberian akreditasi diklat teknis dan fungsional perpustakaan. 3. Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.

1. Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan. 2. 3.

1. Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan. 2. 3.

1462

25. Bidang Komunikasi dan Informatika


SUB BIDANG 1. Pos dan Telekomunikasi SUB SUB BIDANG 1. Pos PEMERINTAH 1. Perumusan kebijakan di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli. 2. Perumusan pengaturan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli. 3. Pemberian bimbingan teknis bidang produk pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli. 4. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. 2. 3. 4. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. 2. 3. 4. Penyelenggaraan pelayanan pos di perdesaan. STATUS NSPK S1 S2 S3

KETERANGAN

1463

5. 6. Pemberian perizinan penyelenggaraan jasa titipan. 7. 8. Pelaksanaan analisa dan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli serta penertiban penyelenggaraan pos dan jasa titipan.

5. 6. Pemberian izin jasa titipan untuk kantor cabang. 7. Penertiban jasa titipan untuk kantor cabang. 8.

5. Pemberian rekomendasi untuk pendirian kantor pusat jasa titipan. 6. Pemberian izin jasa titipan untuk kantor agen. 7. Penertiban jasa titipan untuk kantor agen. 8.

2. Telekomunikasi

1. Perumusan kebijakan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal. 2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.

1. 2.

1. 2.

1464

3. Pemberian bimbingan teknis di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal. 4. Pemberian perizinan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan penyelenggaraan kewajiban pelayanan universal.

3.Pemberian bimbingan teknis di bidang sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, kinerja operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal skala wilayah. 4.

3. 4.

5. 6. 7.

5. Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya provinsi sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio. 6. Pengawasan layanan jasa telekomunikasi. 7.Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal wireline (end to end) cakupan provinsi.

5. Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya kabupaten/kota sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio. 6. 7. Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap tertutup lokal wireline (end to end) cakupan kabupaten/kota.

1465

8. 9. 10. Pelaksanaan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal dan teknologi informasi.

8. Koordinasi dalam rangka pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi. 9. 10.Pengawasan/ pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya provinsi.

8. Pemberian rekomendasi wilayah prioritas untuk pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi. 9. Pemberian izin terhadap Instalatur Kabel Rumah/Gedung (IKR/G). 10. Pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya kabupaten/kota, pelaksanaan pembangunan telekomunikasi perdesaan, penyelenggaraan warung telekomunikasi, warung seluler atau sejenisnya.

11. Pemberian Izin Amatir Radio (IAR) dan Izin Penguasaan Perangkat Radio Amatir (IPPRA), termasuk untuk warga negara asing, Izin Komunikasi Radio Antar Penduduk (IKRAP) dan Izin Penguasaan Perangkat Komunikasi Radio Antar Penduduk (IPPKRAP). 12. Pelaksanaan penyelenggaraan ujian amatir radio. 13.

11. 12. 13. Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.

11. 12. 13.Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.

1466

14. Pedoman penyelenggaraan warung telekomunikasi/ warung internet/ warung seluler atau sejenisnya. 15. Pedoman panggilan darurat telekomunikasi.

14. 15.

14. 15. Penanggung jawab panggilan darurat telekomunikasi.

3. Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (Orsat)

1. Perumusan kebijakan di bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat. 2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.

1. 2.

1. 2.

3. Pelaksanaan penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat. 4. Pemberian perizinan penggunaan frekuensi radio dan orsat. 5. Pelaksanaan analisa dan evaluasi di bidang operasi frekuensi radio dan orsat. 6. Perumusan rencana dan alokasi spektrum frekuensi radio dan orsat. 7. Penetapan tabel alokasi spektrum frekuensi radio Indonesia dan orsat.

3. 4. 5. 6. 7.

3. 4. 5. 6. 7.

1467

8. Penyusunan rencana induk frekuensi radio. 9. Penyusunan dan penetapan kajian teknis sistem alat dan atau perangkat yang menggunakan frekuensi radio. 10.Penetapkan persetujuan alokasi frekuensi radio (allotment). 11.Pelaksanaan koordinasi penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat dalam forum skala bilateral, regional dan internasional.

8. 9. 10. 11.

8. 9. 10. 11.

12.Perumusan hasil koordinasi forum tersebut untuk dapat dilaksanakan sesuai ketentuan internasional. 13.Penghimpunan dan tindak lanjut pengaduan negara lain tentang adanya gangguan interferensi frekuensi radio yang bersumber dari Indonesia. 14.Tindak lanjut pengaduan adanya interferensi yang bersumber dari negara lain.

12. 13. 14.

12. 13. 14.

1468

15.Pelaksanaan penetapan (assignment) penggunaan frekuensi radio sesuai alokasi frekuensi radio. 16.Pelaksanaan teknikal analisis. 17.Pengelolaan loket penerimaan berkas izin frekuensi radio. 18.Penetapan ketentuan dan persyaratan perizinan frekuensi radio. 19.Pelaksanaan penetapan biaya hak penggunaan frekuensi radio. 20.Penerbitan izin stasiun radio.

15. 16. 17. 18. 19. 20.

15. 16. 17. 18. 19. 20.

1469

21.Pelaksanaan verifikasi izin stasiun radio. 22.Pelaksanaan penugasan kepada unit pelaksana teknis untuk monitoring spektrum frekuensi radio. 23.Pelaksanaan inspeksi instalasi alat/perangkat yang menggunakan spektrum dan kesesuaian standarnya. 24.Pelaksanaan penegakan hukum. 25.Pelaksanaan rekayasa teknik spektrum. 26.Pengelolaan sarana dan prasarana monitoring frekuensi radio dan orsat.

21. 22. 23. 24. 25. 26.

21. 22. 23. 24. 25. 26.

27.Pengelolaan database frekuensi radio Indonesia. 28.Penetapan peraturan, standar pedoman penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat. 29.Pedoman pembangunan sarana dan prasarana menara telekomunikasi. 30.Penetapan pedoman kriteria pembuatan tower. 31.

27. 28. 29. 30. 31.Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi lintas kabupaten/kota atau jalan provinsi.

27. 28. 29. 30.Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menara telekomunikasi sebagai sarana dan prasarana telekomunikasi. 31.Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi dalam satu kabupaten/kota.

1470

32. 33. 34.

32. 33. 34.

32.Pemberian izin Hinder Ordonantie (Ordonansi Gangguan). 33.Pemberian izin instalansi penangkal petir. 34.Pemberian izin instalansi genset.

4. Bidang Standarisasi Pos dan Telekomunikasi

1. Perumusan kebijakan di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi. 2. Perumusan standar di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.

1. 2.

1. 2.

1471

3. Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi. 4. Pemantauan dan penertiban standar pos dan telekomunikasi. 5. Perumusan persyaratan teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi.

3. Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi. 4. 5.

3. 4. 5.

6. Pengawasan penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi skala nasional. 7. Kerjasama standar teknik tingkat internasional. 8.

6. Pengawasan terhadap penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/ perangkat pos dan telekomunikasi skala provinsi. 7. 8.

6. Pengendalian dan penertiban terhadap pelanggaran standarisasi pos dan telekomunikasi. 7. 8. Pemberian izin usaha perdagangan alat perangkat telekomunikasi.

1472

5. Kelembagaan Internasional Pos dan Telekomunikasi

1. Perumusan kebijakan di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.

1.

1.

2. Perumusan pedoman, norma, kriteria dan prosedur di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat. 3. Pelaksanaan kerjasama kelembagaan multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.

2. 3.

2. 3.

1473

4. 5. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan kelembagaan internasional dan kegiatan fora internasional di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.

4. Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga. 5.

4. Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga. 5.

2. Sarana Komunikasi Dan Diseminasi Informasi

1. Penyiaran

1. Penetapan arah kebijakan penyelenggaraan penyiaran dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi penyiaran, kecenderungan permintaan pasar, ekonomi, sosial, budaya dan kondisi lingkungan lainnya. 2. Penetapan tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran. 3.

1. 2. Evaluasi persyaratan administrasi dan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan penyiaran. 3. Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan televisi.

1. 2. 3. Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan radio.

1474

4. Penerbitan izin penyelenggaraan penyiaran radio dan televisi bagi seluruh lembaga penyiaran. 5. Penetapan pedoman teknis pelaksanaan uji coba siaran radio dan televisi. 6. Penetapan kebijakan pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan oleh salah satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran. 7. Penetapan kebijakan kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio, lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran televisi, perusahaan media cetak, dan lembaga penyiaran berlangganan baik langsung maupun tidak langsung. 8. Penetapan kebijakan kepemilikan modal asing pada lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan. 9. Pemetaan usaha penyiaran radio dan televisi.

4. 5. 6.

4. Pemberian izin lokasi pembangunan studio dan stasiun pemancar radio dan/atau televisi. 5. 6.

7. 8. 9.

7. 8. 9.

1475

10. Penetapan wilayah layanan penyiaran radio dan televisi. 11. Pengaturan dan penetapan sistem stasiun jaringan penyiaran radio dan televisi. 12. Penetapan standar teknologi penyiaran radio dan televisi. 13. Penetapan pedoman teknis sarana dan prasarana penyiaran radio dan televisi.

10. 11. 12. 13.

10. 11. 12. 13.

2. Kelembagaan Komunikasi Sosial

1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga media tradisional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala kabupaten/kota.

1476

3. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah

2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga komunikasi perdesaan. 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga profesi. 4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga pemantau media. 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang politik, hukum dan keamanan. 2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang perekonomian. 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang kesejahteraan rakyat.

2. 3. 4.

2. 3. 4.

1. 2. 3.

1. 2. 3.

1477

4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang badan usaha milik negara.

4.

4.

4. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah Daerah

1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah I.

1.

1.

2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah II. 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah III.

2. 3.

2. 3.

1478

4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah IV. 5. Penerbitan panduan paket informasi nasional.

4. 5. Koordinasi dan pelaksanaan diseminasi informasi nasional.

4. 5. Pelaksanaan diseminasi informasi nasional.

5. Kemitraan Media

1. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media radio, media televisi dan media cetak.

1.

1.

2. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media komunitas.

2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala provinsi.

2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala kabupaten/kota.

1479

26. Bidang Pertanian dan Ketahanan Pangan


PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat kabupaten/kota. 2. Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah kabupaten/kota. 3. Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah kabupaten/kota. 4. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian wilayah kabupaten/kota. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

SUB BIDANG

SUB SUB BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI

1. Tanaman Pangan dan Hortikultura

1. Lahan Pertanian

1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat nasional. 2. Penetapan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian nasional (lintas provinsi). 3. Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian nasional (lintas provinsi). 4. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian nasional.

1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat provinsi. 2. Penyusunan peta pengembangan, rehabiltasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah provinsi (lintas kabupaten). 3. Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian provinsi (lintas kabupaten). 4. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian wilayah provinsi.

1480

5.a. b. 6. 7. 8. Penetapan sasaran areal tanam nasional. 9. Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala nasional.

5.a. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan pertanian wilayah provinsi. b. 6. Pengaturan dan penerapan kawasan pertanian terpadu wilayah provinsi. 7. Penetapan sentra komoditas pertanian wilayah provinsi. 8. Penetapan sasaran areal tanam wilayah provinsi. 9. Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala provinsi.

2. Air Irigasi

1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pemanfaatan air irigasi. 2.a. b. 3. 4.a. Penetapan kebijakan pengembangan dan pembinaan pemberdayaan kelembagaan petani pemakai air. b.

1. Bimbingan pengembangan jaringan irigasi. 2.a. Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air irigasi. b. 3. Bimbingan teknis pengelolaan sumber-sumber air dan air irigasi. 4.a. Pemantauan dan evaluasi pengembangan dan pembinaan pemberdayaan kelembagaan petani pemakai air. b.

5.a. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan pertanian wilayah kabupaten/ kota. b. Pengembangan lahan pertanian wilayah kabupaten/kota. 6. Pengaturan dan penerapan kawasan pertanian terpadu wilayah kabupaten/kota. 7. Penetapan sentra komoditas pertanian wilayah kabupaten/kota. 8. Penetapan sasaran areal tanam wilayah kabupaten/kota. 9. Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala kabupaten/kota. 1. Pembangunan dan rehabilitasi pemeliharaan jaringan irigasi di tingkat usaha tani dan desa. 2.a. Bimbingan dan pengawasan pemanfaatan dan pemeliharaan jaringan irigasi. b. Bimbingan dan pengawasan pemanfaatan sumber-sumber air dan air irigasi. 3. 4.a. Bimbingan pengembangan dan pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan Perkumpulan Petani Pemakai Air Tanah (P3AT). b. Bimbingan dan pelaksanaan konservasi air irigasi.

1481

5. Penetapan kebijakan dan pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan air untuk usaha tani dan desa.

5. Pemantauan dan evaluasi pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan air untuk usaha tani.

5. Bimbingan penerapan teknologi optimalisasi pengelolaan air untuk usaha tani.

3. Pupuk

1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pupuk. 2. Pendaftaran dan pengawasan formula pupuk. 3.a. Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk. b. c.

1. Pemantauan dan evaluasi penggunaan pupuk. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah provinsi. b. c.

1. Bimbingan penggunaan pupuk. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah kabupaten/kota. b. Pengembangan dan pembinaan unit usaha pelayanan pupuk. c. Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pupuk.

4. 5. Penetapan standar mutu pupuk.

4. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pupuk. 5. Pengawasan standar mutu pupuk.

4. Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pupuk. 5. Bimbingan penerapan standar mutu pupuk.

1482

4. Pestisida

1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pestisida. 2. Pendaftaran dan pengawasan formula pestisida. 3.a. Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida. b. c.

1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah provinsi. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah provinsi. b. c.

1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota. b. Pengembangan dan pembinaan unit pelayanan pestisida. c. Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pestisida.

4. 5. Penetapan standar mutu pestisida.

4. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pestisida. 5. Pengawasan standar mutu pestisida.

4. Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pestisida. 5. Bimbingan penerapan standar mutu pestisida.

5. Alat dan Mesin Pertanian

1. Penetapan kebijakan alat dan mesin pertanian. 2. 3. Pendaftaran prototipe alat dan mesin pertanian. 4. Penetapan standar mutu alat dan mesin pertanian. 5. Pengujian mutu alat dan mesin pertanian dalam rangka standarisasi.

1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin pertanian wilayah provinsi. 2. Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin pertanian wilayah provinsi. 3. Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin pertanian. 4. Penerapan standar mutu alat dan mesin pertanian. 5.

1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin pertanian wilayah kabupaten/kota. 2. Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin pertanian di wilayah kabupaten/kota. 3. Pengembangan alat dan mesin pertanian sesuai standar. 4. Penerapan standar mutu alat dan mesin pertanian. 5.

1483

6.a. Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin pertanian. b. c. d. e. f.

6.a. Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin pertanian wilayah provinsi. b. c. d. e. f.

6.a. Pengawasan standar mutu dan alat mesin pertanian wilayah kabupaten/kota. b. Pembinaan dan pengembangan jasa alat dan mesin pertanian. c. Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin pertanian. d. Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin pertanian sesuai kebutuhan lokalita. e. Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin pertanian. f. Pembinaan dan pengembangan bengkel/pengrajin alat dan mesin pertanian.

1484

6. Benih Tanaman

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman perbenihan tanaman. b. 2. Pelepasan dan penarikan varietas tanaman. 3. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran benih dari dan keluar wilayah negara RI. 4. Penetapan standar mutu dan pedoman pengawasan dan sertifikasi benih. 5.

1.a. Pemantauan dan evaluasi penerapan pedoman perbenihan tanaman. b. Penyusunan kebijakan benih antar lapang. 2. Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal. 3. Pemantauan benih dari luar negeri di wilayah provinsi. 4. Pengawasan penerapan standar mutu benih wilayah provinsi. 5. Pengaturan penggunaan benih wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan penerapan pedoman perbenihan tanaman wilayah kabupaten/kota. b. Penyusunan kebijakan benih antar lapang wilayah kabupaten/kota. 2. 3. Pemantauan benih dari luar negeri di wilayah kabupaten/kota. 4. Bimbingan penerapan standar mutu benih wilayah kabupaten/kota. 5. Pengaturan penggunaan benih wilayah kabupaten/kota.

1485

6.a. b. c. d. e. f. g.

6.a. Pengawasan dan sertifikasi benih. b. c. d. e. f. g.

6.a. Pembinaan dan pengawasan penangkar benih. b. Pembinaan dan pengawasan perbanyakan peredaran dan penggunaan benih. c. Bimbingan dan pemantauan produksi benih. d. Bimbingan penerapan standar teknis perbenihan yang meliputi sarana, tenaga dan metode. e. Pemberian izin produksi benih. f. Pengujian dan penyebarluasan benih varietas unggul spesifik lokasi. g. Perbanyakan dan penyaluran mata tempel dan benih tanaman.

h. i. j. 7.a. b.

h. i. j. 7.a. Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah provinsi. b.

h. Pelaksanaan dan bimbingan dan distribusi pohon induk. i. Penetapan sentra produksi benih tanaman. j. Pengembangan sistem informasi perbenihan. 7.a. Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah kabupaten/kota. b. Pembinaan dan pengawasan balai benih milik swasta.

1486

7. Pembiayaan

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat.

1.a. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumbersumber pembiayaan/kredit agribisnis.

b. c. d.

b. c. d.

b.Bimbingan penyusunan rencana usaha agribisnis. c. Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan. d.Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan pengendalian kredit wilayah kabupaten/kota.

8. Perlindungan Tanaman

1. Penetapan kebijakan perlindungan tanaman. 2. Pengaturan dan penetapan norma dan standar teknis pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan analisis mitigasi dampak fenomena iklim.

1. 2. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.

1. 2. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.

1487

3. 4. 5. 6. 7.

3. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah provinsi. 4. Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah provinsi. 5. Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah provinsi. 6. Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah provinsi. 7. Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah

3. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. 4. Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah kabupaten/kota. 5. Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. 6. Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah kabupaten/kota. 7. Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. 8. Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman wilayah kabupaten/kota.

8. Penetapan dan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman skala nasional.

provinsi. 8. Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman wilayah provinsi.

1488

9. Perizinan Usaha

1. Penetapan pedoman perizinan usaha tanaman pangan dan hortikultura. 2.

1. Pemberian izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. 2. Pemantauan dan pengawasan izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.

1. Pemberian izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. 2. Pemantauan dan pengawasan izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.

11. Pembinaan Usaha

1. Penetapan pedoman pembinaan usaha tanaman pangan dan hortikultura. 2. 3.

1. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi. 2. Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. 3. Pelaksanaan studi analis mengenai dampak lingkungan (amdal)/Upaya Pengelolaan Lingkungan hidup (UKL)Upaya Pemantauan Lingkungan hidup (UPL) di bidang tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.

1. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota. 2. Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.

1489

4. 5. Penetapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah. 6. Penetapan program kerjasama/kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura.

4. Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah provinsi. 5. Bimbingan penerapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah wilayah provinsi. 6. Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.

4. Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota. 5. Bimbingan penerapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah wilayah kabupaten/kota. 6. Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.

12. Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil

1.a. Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura. b.

1.a. Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. b. Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah

1490

2. Penetapan pedoman perkiraan kehilangan tanaman pangan dan hortikultura. 3. Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura. 4.a. Penetapan pedoman teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil. b.

2. Bimbingan penghitungan perkiraan kehilangan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. 3. Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. 4.a. Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah provinsi. b.

kabupaten/kota. 2. Penghitungan perkiraan kehilangan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. 3. Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. 4.a. Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota. 1. Bimbingan pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. 2. Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. 3. Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota. 4. Pengawasan harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.

13. Pemasaran

1. Penetapan pedoman pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura. 2. Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura tingkat nasional dan internasional. 3. Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri. 4. Penetapan kebijakan harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura.

1. Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. 2. Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. 3. Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi. 4. Pemantauan dan evaluasi harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.

1491

14. Sarana Usaha

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan sarana usaha. b.

1.a. Pemantauan dan evaluasi pengembangan sarana usaha wilayah provinsi. b. Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil tanaman pangan wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan pengembangan sarana usaha wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil tanaman pangan wilayah kabupaten/ kota.

15.Pengembangan Statistik dan Sistem Informasi Tanaman Pangan dan Hortikultura

1. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan tanaman pangan dan hortikultura. 2. Pembinaan dan pengelolaan data dan statistik serta sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura. 1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tanaman pangan dan hortikultura.

1. Penyusunan statistik tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. 2. Bimbingan penerapan sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.

1. Penyusunan statistik tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. 2. Bimbingan penerapan sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.

16. Pengawasan dan Evaluasi

1.

1.

1492

2. Perkebunan

1. Lahan Perkebunan

1.a. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan. b. c. 2.a. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan nasional.

1.a. Bimbingan dan pengawasan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian perkebunan. b. Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan. c. Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan. 2.a. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan wilayah provinsi.

1.a. Penetapan kebutuhan dan pengembangan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota. b. Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi, dan pengendalian lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota. c. Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota. 2.a. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.

b. c. d. e. 3. Penetapan sasaran areal tanam nasional.

b. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan perkebunan wilayah provinsi. c. d. Pengaturan dan penerapan kawasan perkebunan terpadu wilayah provinsi. e. 3. Penetapan sasaran areal tanam wilayah provinsi.

b. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota. c. Pengembangan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota. d. Pengaturan dan penerapan kawasan perkebunan terpadu wilayah kabupaten/kota. e. Penetapan sentra komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota. 3. Penetapan sasaran areal tanam wilayah kabupaten/kota.

1493

2. Pemanfaatan Air Untuk Perkebunan

1.a. Penetapan kebijakan, pedoman, bimbingan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan. b. c. 2.a. Penetapan kebijakan pengembangan teknologi dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan. b.

1.a. Bimbingan pemanfaatan sumber-sumber air untuk perkebunan. b. Bimbingan pemanfaatan air permukaan dan air tanah untuk perkebunan. c. Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan. 2.a. Bimbingan pengembangan sumbersumber air untuk perkebunan. b. Bimbingan pengembangan teknologi irigasi air permukaan dan air bertekanan untuk perkebunan.

1.a. Pemanfaatan sumbersumber air untuk perkebunan. b. Pemanfaatan air permukaan dan air tanah untuk perkebunan. c. Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan. 2.a. Pengembangan sumber- sumber air untuk perkebunan. b. Pengembangan teknologi irigasi air permukaan dan irigasi bertekanan untuk perkebunan.

c.

c. Pemantauan dan evaluasi pengembangan air untuk perkebunan.

c. Pemantauan dan evaluasi pengembangan air untuk perkebunan.

3. Pupuk

1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pupuk. 2. Pendaftaran dan pengawasan formula pupuk. 3.a. Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk.

1. Pemantauan dan evaluasi penggunaan pupuk. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah provinsi.

1. Bimbingan penggunaan pupuk. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah kabupaten/kota.

1494

b. c. d. 4. Penetapan standar mutu pupuk.

b. c. d. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pupuk. 4. Pengawasan standar mutu pupuk.

b. Pengembangan dan pembinaan unit usaha pelayanan pupuk. c. Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pupuk. d. Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pupuk. 4. Bimbingan penerapan standar mutu pupuk.

4. Pestisida

1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pestisida. 2. Pendaftaran dan pengawasan formula pestisida. 3.a. Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida. b. c. d. 4. Penetapan standar mutu pestisida.

1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah provinsi. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah provinsi. b. c. d. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pestisida. 4. Pengawasan standar mutu pestisida.

1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota. b. Pengembangan unit usaha pelayanan pestisida. c. Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pestisida. d. Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pestisida. 4. Bimbingan penerapan standar mutu pestisida.

1495

5. Alat dan Mesin Perkebunan

1. Penetapan kebijakan alat dan mesin perkebunan. 2. 3. Pendaftaran prototipe alat dan mesin perkebunan. 4. Penetapan kebijakan standar mutu alat dan mesin perkebunan. 5. Pengujian mutu alat dan mesin perkebunan dalam rangka standarisasi. 6.a. Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin

1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi. 2. Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi. 3. Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin perkebunan. 4. Penerapan standar mutu alat dan mesin perkebunan. 5. 6.a. Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota. 2. Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota. 3. Pengembangan alat dan mesin perkebunan sesuai standar. 4. Penerapan standar mutu alat dan mesin perkebunan. 5. 6.a. Pengawasan standar mutu dan alat mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota.

perkebunan. b. c. d. e. f.

b. c. d. e. f.

b. Pembinaan dan pengembangan jasa alat dan mesin perkebunan. c. Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin perkebunan. d. Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin perkebunan sesuai kebutuhan lokalita. e. Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin perkebunan. f. Pembinaan dan pengembangan bengkel/pengrajin alat dan mesin perkebunan.

1496

6. Benih Perkebunan

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman perbenihan perkebunan. b. 2. Pelepasan dan penarikan varietas perkebunan. 3. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran benih perkebunan dari dan keluar wilayah negara RI. 4.a. Penetapan standar mutu pengawasan dan sertifikasi benih perkebunan.

1.a. Pemantauan dan evaluasi penerapan pedoman perbenihan perkebunan. b. Penyusunan kebijakan benih perkebunan antar lapang (antar kabupaten). 2. Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal. 3. Pemantauan benih impor wilayah provinsi. 4.a. Pengawasan penerapan standar mutu benih perkebunan wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan penerapan pedoman perbenihan perkebunan wilayah kabupaten/kota. b. Penerapan kebijakan dan pedoman perbenihan perkebunan wilayah kabupaten/kota. 2. Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal. 3. Pemantauan benih impor wilayah kabupaten/kota. 4.a. Bimbingan penerapan standar mutu benih perkebunan wilayah kabupaten/kota.

b. c. d. e. f. g. h.

b. Pengaturan penggunaan benih perkebunan wilayah provinsi. c. Pengawasan dan sertifikasi benih perkebunan. d. e. f. g. h.

b. Pengaturan penggunaan benih perkebunan wilayah kabupaten/kota. c. Pembinaan dan pengawasan penangkar benih perkebunan. d. Pembinaan dan pengawasan perbanyakan peredaran dan penggunaan benih perkebunan. e. Bimbingan dan pemantauan produksi benih perkebunan. f. Bimbingan penerapan standar teknis perbenihan perkebunan yang meliputi sarana, tenaga dan metode. g. Pemberian izin produksi benih perkebunan. h. Pengujian dan penyebarluasan benih perkebunan varietas unggul spesifik lokasi.

1497

i. j. k. l. m. n.

i. j. k. l. m.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah provinsi. n.

7. Pembiayaan

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman pembiayaan bidang perkebunan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat. b. c. d.

1.a. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat wilayah provinsi. b. c. d.

i. Perbanyakan dan penyaluran mata tempel dan benih perkebunan tanaman. j. Pelaksanaan dan bimbingan dan distribusi pohon induk. k. Penetapan sentra produksi benih perkebunan. l. Pengembangan sistem informasi perbenihan perkebunan. m.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah kabupaten/kota. n. Pembinaan dan pengawasan balai benih milik swasta. 1.a. Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumbersumber pembiayaan/kredit perkebunan. b.Bimbingan penyusunan rencana usaha perkebunan. c. Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan. d.Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan pengendalian kredit wilayah kabupaten/kota.

1498

8. Perlindungan Perkebunan

1. Penetapan kebijakan perlindungan perkebunan. 2.a. Pengaturan dan penetapan norma dan standar teknis pengendalian OPT dan analisis mitigasi dampak fenomena iklim. b. c. d.

1. 2.a. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah provinsi. b. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah provinsi. c. Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah provinsi. d. Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.

1. 2.a. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. c. Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah kabupaten/kota. d. Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.

e. f. 3. Penetapan dan penanggulangan wabah OPT skala nasional. 4. Penanganan gangguan usaha perkebunan skala nasional.

e. Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah provinsi. f. Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah provinsi. 3. Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular tanaman wilayah provinsi. 4. Penanganan gangguan usaha perkebunan wilayah provinsi.

e. Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah kabupaten/kota. f. Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. 3. Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular tanaman wilayah kabupaten/kota. 4. Penanganan gangguan usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota.

1499

9. Perizinan Usaha

1.a. Penetapan pedoman perizinan usaha perkebunan (budidaya dan industri pengolahan). b.

1.a. Pemberian izin usaha perkebunan lintas kabupaten/kota. b. Pemantauan dan pengawasan izin usaha perkebunan lintas kabupaten/kota.

1.a. Pemberian izin usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota. b. Pemantauan dan pengawasan izin usaha perkebunan di wilayah kabupaten/kota.

10.Teknis Budidaya

1. Penetapan pedoman teknis budidaya perkebunan.

1. Bimbingan penerapan pedoman teknis budidaya perkebunan wilayah provinsi.

1. Bimbingan penerapan pedoman teknis budidaya perkebunan wilayah kabupaten/kota.

11.Pembinaan Usaha

1.a. Penetapan pedoman pembinaan usaha perkebunan. b.

1.a. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi. b. Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha perkebunan wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota.

c. d. 2. Penetapan program kerjasama/kemitraan usaha perkebunan.

c. Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang perkebunan wilayah provinsi. d. Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah provinsi. 2. Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha perkebunan wilayah provinsi.

c. Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang perkebunan wilayah kabupaten/kota. d. Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota. 2. Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha perkebunan.

1500

12.Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil

1.a. Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan. b. 2. Penetapan pedoman perkiraan kehilangan hasil perkebunan.

1.a. Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan wilayah provinsi. b. Bimbingan peningkatan mutu hasil perkebunan wilayah provinsi. 2. Bimbingan penghitungan perkiraan kehilangan hasil perkebunan wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan peningkatan mutu hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota. 2. Penghitungan perkiraan kehilangan hasil perkebunan wilayah kabupaten/ kota.

3. Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan. 4.a. Penetapan pedoman teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil. b.

3. Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan wilayah provinsi. 4.a. Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah provinsi. b.

3. Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota. 4.a. Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota. 1. Bimbingan pemasaran hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota. 2. Promosi komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota.

13. Pemasaran

1. Penetapan pedoman pemasaran hasil perkebunan. 2. Promosi komoditas perkebunan tingkat nasional dan internasional.

1. Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil perkebunan wilayah provinsi. 2. Promosi komoditas perkebunan wilayah provinsi.

1501

3. Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri. 4. Penetapan kebijakan harga komoditas perkebunan.

3. Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi. 4. Pemantauan dan evaluasi harga komoditas perkebunan wilayah provinsi.

3. Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota. 4. Pengawasan harga komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota.

14. Sarana Usaha

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan sarana usaha. b.

1.a. Pemantauan dan evaluasi pengembangan sarana usaha wilayah provinsi. b. Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil perkebunan wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan pengembangan sarana usaha wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota. 1. Penyusunan statistik perkebunan wilayah kabupaten/kota. 2. Bimbingan penerapan sistem

15.Pengembangan Statistik dan Sistem Informasi Perkebunan

1. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan perkebunan. 2. Pembinaan dan pengelolaan data dan statistik serta sistem informasi perkebunan.

1. Penyusunan statistik perkebunan wilayah provinsi. 2. Bimbingan penerapan sistem

informasi perkebunan wilayah provinsi. 16.Pengawasan dan Evaluasi 1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang perkebunan. 1.

informasi perkebunan wilayah kabupaten/kota. 1.

1502

3. Peternakan dan Kesehatan Hewan

1. Kawasan Peternakan

1. Penetapan pedoman tata cara penetapan dan pengawasan kawasan peternakan. 2.a. Penetapan peta potensi peternakan. b. c.

1. Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah provinsi. 2.a. Penetapan peta potensi peternakan wilayah provinsi. b.Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah provinsi. c. Penetapan peta potensi peternakan wilayah provinsi.

1. Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah kabupaten/kota. 2.a. Penetapan peta potensi peternakan wilayah kabupaten/kota. b.Bimbingan penetapan kawasan industri peternakan rakyat. c. Pengembangan lahan hijauan pakan.

3. Penetapan pedoman penetapan padang pengembalaan. 2. Alat dan Mesin Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) 1.a. Penetapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet. b. 2. Penetapan pedoman dan standar mutu kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet. 3.a.Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan

3. Penerapan pedoman penetapan padang pengembalaan. 1.a. Penerapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. b. Pemantauan, identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet. 2. Penerapan standar mutu dan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan Kesmavet wilayah provinsi. 3.a. Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan

3. Penetapan padang pengembalaan.

1.a. Penerapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota. b.Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet. 2. Pengawasan penerapan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet. 3.a. Pengawasan penerapan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan

1503

pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet. b. c. d.

hewan dan kesmavet wilayah provinsi. b. Penerapan pedoman pengawasan produksi, peredaan, penggunaan dan pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. c. Pembinaan dan pengawasan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. d.

e. f. g. h.

e. Penerapan standar dukungan rekayasa teknologi peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. f. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. g. Pembinaan dan pengawasan rekayasa dan pemeliharaan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. h. Pengawasan penerapan teknologi bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.

hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota. b.Pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota. c. Pembinaan dan pengembangan pelayanan jasa alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota. d.Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan sesuai kebutuhan lokalita wilayah kabupaten/kota. e. Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota. f. Pembinaan dan pengembangan bengkel/ pengrajin alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet kabupaten/kota. g. Pelaksanaan temuantemuan teknologi baru di bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota. h.Pelaksanaan kajian, pengenalan dan pengembangan teknologi tepat guna bidang peternakan dan

1504

i.

i. Pembinaan kerjasama teknologi bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.

kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota. i. Pelaksanaan kerjasama dengan lembaga-lembaga teknologi peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet kabupaten/kota.

3. Pemanfaatan Air untuk Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kesmavet

4. Obat hewan, Vaksin, Sera dan Sediaan

1. Penetapan pedoman pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet. 2. Penetapan kebijakan dan pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet. 1. Penetapan kebijakan obat hewan.

1. Bimbingan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. 2. Pemantauan dan evaluasi pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.

1. Bimbingan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota. 2. Bimbingan penerapan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.

1. Penerapan kebijakan obat hewan wilayah provinsi.

1. Penerapan kebijakan obat hewan wilayah kabupaten/kota.

1505

Biologis

2. Penerbitan sertifikat Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB). 3.a. Penetapan standar mutu obat hewan. b. c. 4. Pengawasan produksi dan peredaran obat hewan di tingkat produsen dan importir. 5. Penetapan pedoman produksi, peredaran dan penggunaan obat hewan.

2. Pemetaan identifikasi dan inventarisasi kebutuhan obat hewan wilayah provinsi. 3.a. Penerapan dan pengawasan standar mutu obat hewan wilayah provinsi. b. c. 4. Pembinaan dan pengawasan peredaran obat hewan di tingkat distributor. 5. Pembinaan dan pengawasan peredaran obat hewan di tingkat distributor.

2. Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan obat hewan wilayah kabupaten/kota. 3.a. Penerapan standar mutu obat hewan wilayah kabupaten/kota. b. Pengawasan peredaran dan penggunaan obat hewan tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan wilayah kabupaten/kota. c. Bimbingan pemakaian obat hewan di tingkat peternak. 4. Bimbingan peredaran obat hewan tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan wilayah kabupaten/kota. 5. Pemeriksaan, pengadaan, penyimpanan, pemakaian dan peredaran obat hewan wilayah kabupaten/kota.

1506

6.a.Pengujian mutu dan sertifikasi obat hewan. b. c. d. e. f.

6.a. b. c. d. e. f.

6.a. Pelaksanaan pemeriksaan penanggung jawab wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan penyimpanan dan pemakaian obat hewan. c. Pelaksanaan penerbitan perizinan bidang obat hewan wilayah kabupaten/kota. d. Pelaksanaan penerbitan penyimpanan mutu dan perubahan bentuk obat hewan wilayah kabupaten/kota. e. Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan bahan produk asal hewan dari residu obat hewan (daging, telur dan susu) wilayah kabupaten/kota. f. Bimbingan pemakaian, penyimpanan, penggunaan sediaan vaksin, sera dan

1507

g. h. i.

g. h. i.

bahan diagnostik biologis untuk hewan wilayah kabupaten/kota. g. Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan sediaan premik wilayah kabupaten/kota. h. Bimbingan pelaksanaan pendaftaran obat hewan tradisional/pabrikan wilayah kabupaten/kota. i. Bimbingan kelembagaan/Asosiasi bidang Obat Hewan (ASOHI) wilayah kabupaten/kota.

5. Pakan Ternak

1. Penetapan kebijakan pakan ternak. 2.a. Penetapan pedoman produksi pakan ternak (konsentrat dan

1. Penerapan kebijakan pakan ternak di wilayah provinsi. 2.a. Bimbingan produksi pakan ternak dan bahan baku

1. Penerapan kebijakan pakan ternak wilayah kabupaten/kota. 2.a. Bimbingan produksi pakan dan bahan baku pakan ternak

1508

hijauan pakan) dan bahan baku pakan. b. 3.a.Penetapan standar mutu pakan ternak. b. c. 4.a.Penetapan pedoman pengawasan mutu pakan ternak. b.

pakan ternak wilayah provinsi. b. 3.a. Penerapan standar mutu pakan ternak wilayah provinsi. b. Pembinaan dan pengawasan labelisasi dan sertifikasi pakan ternak wilayah provinsi. c. Labelisasi dan sertifikasi mutu pakan ternak. 4.a. Pengawasan mutu pakan dan bahan baku pakan wilayah provinsi. b. Pengadaan, perbanyakan dan penyaluran benih hijauan

wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan penerapan teknologi pakan ternak wilayah kabupaten/kota. 3.a. Bimbingan standar mutu pakan ternak wilayah kabupaten/kota. b. c. 4.a. Pengawasan mutu pakan ternak wilayah kabupaten/kota. b. Pengadaan, perbanyakan dan penyaluran benih hijauan

1509

c. d. e. f. g.

pakan wilayah provinsi. c. d. Pembinaan dan pengawasan produksi pakan dan bahan baku pakan wilayah provinsi. e. f. g.

pakan wilayah kabupaten/kota. c. Penyelenggaraan kebun benih hijauan pakan. d. Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan jadi wilayah kabupaten/kota. e. Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan konsentrat wilayah kabupaten/kota. f. Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan tambahan dan pelengkap pengganti (additive and supplement) wilayah kabupaten/kota. g. Bimbingan usaha mini feedmil pedesaan (home industry)

1510

h. i. j. k. l.

h. i. j. k. l.

wilayah kabupaten/kota. h. Pelaksanaan pemeriksaan pakan jadi wilayah kabupaten/kota. i. Pelaksanaan pemeriksaan pakan konsentrat wilayah kabupaten/kota. j. Pelaksanaan pemeriksaan pakan tambahan dan pengganti (additive and supplement) wilayah kabupaten/kota. k. Bimbingan produksi benih hijauan pakan ternak wilayah kabupaten/kota. l. Bimbingan kerjasama perluasan produksi hijauan pakan ternak wilayah kabupaten/kota.

6. Bibit Ternak

1.a. Penetapan kebijakan perbibitan ternak. b. 2.a. Penetapan pedoman perbibitan (standar mutu, sertifikasi) dan plasma nutfah. b. c. d.

1.a. Penerapan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan perbibitan ternak wilayah provinsi. b. Penerapan dan pengawasan standar perbibitan ternak wilayah provinsi. 2.a. Pembinaan dan pengawasan produksi ternak bibit wilayah provinsi. b. Penerapan dan pengawasan pedoman perbibitan (standar mutu) wilayah provinsi. c. Penetapan sertifikasi dan penetapan standar mutu genetik bibit ternak wilayah provinsi. d.

1.a. b. 2.a. Bimbingan seleksi ternak bibit wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan penerapan standar perbibitan dan plasma nutfah wilayah kabupaten/kota. c. Bimbingan registrasi/pencatatan ternak bibit wilayah kabupaten/kota. d. Bimbingan pembuatan dan pengesahan silsilah ternak.

1511

3. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran bibit/benih ternak. 4.a. Produksi ternak bibit murni dan unggul. b. 5. Penetapan pedoman dan pengaturan pengelolaan plasma nutfah peternakan. 6.a. Produksi semen beku dan embrio ternak bibit unggul. b.

3. Pengawasan peredaran lalu lintas bibit/benih ternak di wilayah provinsi. 4.a. Penetapan kabupaten/kota sebagai lokasi penyebaran ternak bibit wilayah provinsi. b. Penetapan penggunaan bibit unggul wilayah provinsi. 5. Penerapan kebijakan konservasi (pelestarian) ternak bibit murni dan unggul/plasma nutfah peternakan wilayah provinsi. 6.a. Pembinaan dan pengadaan semen beku wilayah provinsi. b. Pembinaan dan pemantauan pelaksanaan inseminasi buatan, progeny test dan

3. Pengawasan peredaran bibit/benih ternak wilayah kabupaten/kota. 4.a. Penetapan lokasi dan penyebaran bibit ternak wilayah kabupaten/kota. b. Penetapan penggunaan bibit unggul wilayah kabupaten/kota. 5. Bimbingan pelestarian plasma nutfah peternakan wilayah kabupaten/kota. 6.a. Pengadaan/produksi dan pengawasan semen beku wilayah kabupaten/kota. b. Pelaksanaan inseminasi buatan wilayah kabupaten/kota.

1512

c. d. e. 7.a. Penetapan pedoman pengawasan dan produksi bibit ternak. b.

transfer embrio wilayah provinsi. c. d. e. Pembinaan distribusi mani beku (straw) wilayah provinsi. 7.a. Pemantauan dan pengawasan penerapan standar teknis mutu bibit Day Old Chick Final Stock wilayah provinsi. b. Pemantauan dan pengawasan penerapan standar teknis mutu bibit ternak wilayah

c. Bimbingan dan pengawasan pelaksanaan inseminasi buatan oleh masyarakat. d. Produksi mani beku ternak lokal (lokal spesifik) wilayah kabupaten/kota. e. Bimbingan produksi mani beku lokal (lokal spesifik) untuk kabupaten/kota. 7.a. Bimbingan penerapan standar-standar teknis dan sertifikasi perbibitan meliputi sarana, tenaga kerja, mutu dan metode wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan peredaran mutu bibit wilayah kabupaten/kota.

1513

c. d. e. f. g.

provinsi. c. Pengaturan kawasan sumber- sumber bibit dan plasma nutfah wilayah provinsi. d. Pembinaan dan pengawasan sertifikasi produksi bibit ternak wilayah provinsi. e. Penetapan sertifikasi rekayasa teknologi mutu genetik (inseminasi buatan, embrio transfer) wilayah provinsi. f. Penetapan sertifikasi tenaga ahli perbibitan (surat ijin melakukan inseminasi buatan, pemeriksaan kebuntingan, asisten reproduksi) wilayah provinsi. g. Pembinaan pembibitan ternak di unit pelaksana teknis dinas

c. Pelaksanaan penetapan penyaluran ternak bibit yang dilakukan oleh swasta wilayah kabupaten/kota. d. Pelaksanaan registrasi hasil inseminasi buatan wilayah kabupaten/kota. e. Bimbingan kastrasi ternak non bibit wilayah kabupaten/kota. f. Bimbingan perizinan produksi ternak bibit wilayah kabupaten/kota. g. Bimbingan pelaksanaan pengadaan dan/atau produksi

1514

h. i. j. k.

wilayah provinsi. h. Pembinaan dan pengadaan bibit ternak wilayah provinsi. i. Pembinaan mutu genetik ternak dengan rekayasa teknologi tepat guna (inseminasi buatan dan embrio transfer) wilayah provinsi. j. Penetapan sertifikasi embrio ternak wilayah provinsi. k. Penetapan sertifikasi embrio ternak wilayah provinsi.

mudigah, alih mudigah serta pemantauan pelaksanaan dan registrasi hasil mudigah wilayah kabupaten/kota. h. Pengadaan dan pengawasan bibit ternak wilayah kabupaten/kota. i. Bimbingan pelaksanaan inseminasi buatan yang dilakukan oleh swasta wilayah kabupaten/kota. j. Bimbingan sertifikasi pejantan unggul sebagai pemacek wilayah kabupaten/kota. k. Bimbingan pemantauan produksi mani beku ternak lokal (lokal spesifik) wilayah kabupaten/kota.

1515

l. m. n. o. p.

l. Penetapan sertifikasi produksi benih mani beku wilayah provinsi. m.Pembinaan sumber bibit ternak (hasil inseminasi buatan crossing) wilayah provinsi. n. Pembinaan sumber bibit ternak (hasil inseminasi buatan crossing) wilayah provinsi. o. Pembinaan dan pengawasan breeding replacement melalui rearing cool (mempercepat penyediaan bibit) wilayah provinsi. p. Pembinaan dan pengawasan penyaringan bibit di kawasan produksi peternakan wilayah provinsi.

l. Bimbingan pengadaan produksi mani beku ternak produksi dalam negeri wilayah kabupaten/kota. m.Bimbingan pelaksanaan penyebaran bibit unggul wilayah kabupaten/kota. n. Bimbingan pelaksanaan penyebaran bibit unggul wilayah kabupaten/kota. o. Bimbingan pelaksanaan uji reformans recording dan seleksi wilayah kabupaten/kota. p. Bimbingan pelaksanaan identifikasi perbibitan wilayah kabupaten/kota.

1516

7. Pembiayaan

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan investasi dan permodalan melalui lembaga perbankan dan non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat. b. c. d. e.

1.a. Penerapan kebijakan dan pemantauan pengembangan investasi dan kebijakan permodalan melalui lembaga perbankan dan non perbankan wilayah provinsi. b. c. d. e. Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah provinsi.

1.a. Penerapan kebijakan dan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan dan non perbankan wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumbersumber pembiayaan/kredit program wilayah kabupaten/kota. c. Bimbingan penyusunan rencana usaha agribisnis wilayah kabupaten/kota. d. Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan wilayah kabupaten/kota. e. Bimbingan dan pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah

f.

f. Pembinaan dan pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah provinsi.

kabupaten/kota. f.

1517

8. Kesehatan Hewan (Keswan), Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan. b. c. d.

1.a. Penerapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan wilayah provinsi. b. Pembinaan dan pengawasan praktek hygienesanitasi produsen Produk Asal Hewan (PAH). c. Sertifikasi dan surveilans Nomor Kontrol Veteriner (NKV) unit usaha PAH yang memenuhi syarat. d. Pengawasan peredaran lalu lintas produk hewan dari/ke wilayah provinsi dan lintas kabupaten/kota.

1.a. Penerapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota. b. Pembinaan dan pengawasan praktek hygiene-sanitasi pada produsen dan tempat penjajaan PAH. c. Monitoring penerapan persyaratan hygiene-sanitasi pada unit usaha PAH yang mendapat NKV. d. Pengawasan lalu lintas produk ternak dari/ke wilayah kabupaten/kota.

1518

e. f. g. 2.a. Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan nasional. b.

e. Pembinaan penerapan kesejahteraan hewan. f. g. 2.a. Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan wilayah provinsi. b.

e. Bimbingan dan penerapan kesejahteraan hewan. f. Bimbingan pembangunan dan pengelolaan pasar hewan dan unit-unit pelayanan keswan wilayah kabupaten/kota. g. Bimbingan pemantauan dan pengawasan pembangunan dan operasional pasar hewan dan unit-unit pelayanan keswan wilayah kabupaten/kota. 2.a. Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan wilayah kabupaten/kota. b. Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner.

1519

3.a. Pengaturan dan penetapan norma, standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan. b. 4. Pembinaan pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet skala nasional. 5.a. Penetapan dan penanggulangan wabah termasuk zoonosis tertentu berskala nasional. b.

3.a. Penerapan dan pengawasan norma standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah provinsi. b. 4. Pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet wilayah provinsi. 5.a. Penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah provinsi. b. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah provinsi.

3.a. Penerapan dan pengawasan norma, standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota. b. Pengawasan urusan kesejahteraan hewan. 4. Bimbingan pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet wilayah kabupaten/kota. 5.a. Penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota. b. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota.

1520

c. d. e. 6. Penetapan standar teknis minimal Rumah Potong Hewan (RPH) dan Rumah Potong Unggas (RPU) keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan.

c. Pencegahan penyakit hewan menular wilayah provinsi. d. Penutupan dan pembukaan kembali status daerah wabah tingkat provinsi. e. Pengaturan dan pengawasan pelaksanaan pelarangan pemasukan hewan, bahan asal hewan ke/dari wilayah Indonesia antar provinsi di wilayah provinsi. 6. Penetapan dan identifikasi kebutuhan standar teknis minimal RPH/RPU, keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan. 7. Pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan dari/ke wilayah provinsi dan lintas kabupaten/kota. 8.a. Pembinaan dan pengawasan pelayanan keswan. b. c.

7. Penetapan pedoman pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan. 8.a. Penetapan pedoman pelayanan keswan. b. c.

c. Pencegahan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota. d. Penutupan dan pembukaan kembali status daerah wabah kabupaten/kota. e. Pengaturan dan pengawasan pelaksanaan pelarangan pemasukan hewan, bahan asal hewan ke/dari wilayah Indonesia antar provinsi di wilayah kabupaten/kota. 6. Bimbingan penerapan dan standar teknis minimal RPH/RPU, keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan. 7. Pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan dari/ke wilayah kabupaten/kota. 8.a. Bimbingan pelaksanaan unit pelayanan keswan (pos keswan, praktek dokter hewan mandiri, klinik hewan). b. Bimbingan dan pelaksanaan pengamatan, pemetaan, pencatatan kejadian dan penanggulangan penyakit hewan. c. Bimbingan pelaksanaan penyidikan epidemiologi penyakit hewan.

1521

d. e. f. g.

d. e. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis RPH dan RPU, rumah sakit hewan/unit pelayanan keswan terpadu, pet shop, poultry shop dan distributor obat hewan. f. g.

d. Bimbingan pelayanan kesehatan hewan pada lembaga-lembaga maupun perorangan yang mendapat ijin konservasi satwa liar. e. Bimbingan dan pengawasan pelayanan keswan, kesmavet di RPH, tempat pemotongan hewan sementara, tempat pemotongan hewan darurat dan usaha susu. f. Bimbingan pengaturan pelayanan kesehatan hewan pada lalu lintas tata niaga hewan (hewan besar, sedang dan kecil). g. Bimbingan pelaksanaan sosialisasi dan surveilance Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP).

1522

h. i. j. k. l.

h. Pembinaan dan pengawasan RPH dan RPU. i. j. k.Pemeriksaan dan pengawasan residu produk pangan asal hewan. l. Pembinaan dan sertifikasi pelayanan medik veteriner (dokter hewan praktek, klinik hewan dan rumah sakit hewan).

h. Bimbingan pelaksanaan standarisasi jagal hewan. i. Bimbingan pelaksanaan pelaporan dan pendataan penyakit individual/menular yang mewabah. j. Bimbingan pelaksanaan penutupan wilayah pada penyakit hewan yang menular yang mewabah. k. Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan peredaran produk pangan asal hewan dan pengolahan produk pangan asal hewan. l. Bimbingan pelaksanaan dan pengawasan larangan pemotongan ternak betina produktif.

m. n. o. p. q.

m. Pembinaan, pengawasan dan pengujian ternak dan bahan asal hewan untuk tujuan ekspor (ternak, daging, susu, hewan kesayangan, hewan liar, dll). n. o. Pembinaan dan pengawasan penyidikan penyakit hewan. p. Pembinaan penyidikan dan epidemiologi penyakit hewan, parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya. q. Pembinaan pemberantasan dan pencegahan wabah

m.Bimbingan pelaksanaan pemantauan penyakit zoonosis. n. Bimbingan pelaksaaan peredaran produk pangan asal hewan dan produk hewani non pangan. o. Bimbingan pengamatan dan penyidikan epidemiologi penyakit hewan parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya. p. q.

1523

r. s. t. u. v. w.

penyakit hewan menular strategis mewabah. r. Pembinaan peramalan wabah penyakit hewan menular wilayah provinsi. s. Pembinaan penutupan dan pembukaan kembali wilayah penyakit hewan menular lintas kabupaten/kota. t. Pembinaan pembuatan peta situasi penyebaran penyakit hewan di provinsi. u. Pembinaan dan pengawasan dan pemantauan penyakit hewan zoonosis. v. Pembinaan pelayanan dan pengamanan wilayah terpadu pada kejadian wabah/epidemik. w. Pembinaan penerapan

r. s. Penutupan dan pembukaan kembali wilayah penyakit hewan menular skala kabupaten/kota. t. u. v. w. Bimbingan penerapan norma,

x. y. z. 9.a. Penetapan pedoman dan standar dan sertifikasi pelayanan medik/paramedik veteriner. b.

standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah provinsi. x. y. z. 9.a. Pembinaan dan pelaporan pelayanan medik/paramedik veteriner di lembaga-lembaga pemerintahan dan unit-unit pelayanan medik/paramedik veteriner di tingkat provinsi. b.

standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota. x. Bimbingan dan pengawasan urusan kesejahteraan hewan. y. Sertifikasi keswan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota. z. Sertifikasi kesehatan bahan asal hewan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota. 9.a. Pelaksanaan pelayanan medik/paramedik veteriner di kabupaten/kota. b. Pelaporan pelayanan medik/

1524

10.a. Pedoman, standar dan norma penyidikan penyakit hewan. b. c.

10.a.Pembinaan dan pengawasan penyidikan penyakit hewan. b.Pembinaan penyidikan dan epidemiologi penyakit hewan, parasit, bakteri dan penyakit hewan lainnya. c.

paramedik veteriner dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit hewan menular/non menular, penyakit individual, penyakit parasiter, virus, bakteri, penyakit reproduksi dan gangguan reproduksi. 10.a.Bimbingan pengamatan dan penyidikan epidemiologi penyakit hewan parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya. b. Bimbingan penerapan norma, standar teknis pelayanan kesehatan hewan. c. Sertifikasi kesehatan hewan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota.

1525

9. Penyebaran dan Pengembangan Peternakan

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman penyebaran dan pengembangan peternakan. b. 2.a. Penetapan pedoman lalu lintas ternak antar daerah. b. c. 3.a.

1.a. Penerapan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan dan pedoman penyebaran dan pengembangan peternakan wilayah provinsi. b. 2.a. Pemantauan lalu lintas ternak wilayah provinsi. b. c. 3.a. Pembinaan penetapan pedoman lalu lintas ternak bibit wilayah provinsi.

1.a. Pelaksanaan kebijakan penyebaran pengembangan peternakan wilayah kabupaten/kota. b. Pemantauan penyebaran ternak yang dilakukan swasta wilayah kabupaten/kota. 2.a. Pemantauan lalu lintas ternak wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan melaksanakan kebijakan penyebaran dan pengembangan peternakan wilayah kabupaten/kota. c. Bimbingan pemantauan dan penyebaran ternak yang dilakukan swasta. 3.a. Bimbingan pelaksanaan penetapan penyebaran ternak wilayah kabupaten/kota.

1526

b. 4. 5. 6. 7. 8.

b. 4. 5. 6. 7. 8.

b. Bimbingan pelaksanaan penetapan penyebaran, registrasi dan redistribusi ternak wilayah kabupaten/kota. 4. Bimbingan pelaksanaan identifikasi dan seleksi ternak wilayah kabupaten/kota. 5. Bimbingan pelaksanaan identifikasi calon penggaduh wilayah kabupaten/kota. 6. Bimbingan pelaksanaan seleksi lokasi. 7. Bimbingan pelaksanaan seleksi calon penggaduh. 8. Pelaksanaan identifikasi lokasi terhadap penyebaran ternak.

9. 10.

9. 10.

9. Bimbingan pelaksanaan sistem dan pola penyebaran ternak. 10.Bimbingan pelaksanaan evaluasi pelaporan penyebaran dan pengembangan ternak.

10. Perizinan/ Rekomendasi

1.a. Penetapan pedoman pendaftaran perijinan usaha peternakan dan kesehatan hewan. b. c. d. e.

1.a. Pembinaan pemberian perizinan usaha di bidang peternakan dan kesehatan hewan di wilayah provinsi. b. c. d. e.

1.a. Pemberian izin usaha budidaya peternakan wilayah kabupaten/kota. b. Pemberian izin rumah sakit hewan/pasar hewan. c. Pemberian izin praktek dokter hewan. d. Pemberian izin laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet. e. Pendaftaran usaha peternakan.

1527

f. g. 2. Penetapan pedoman, norma dan standar pelayanan medik veteriner. 3. Pendaftaran mutu pakan. 4.a. Pendaftaran prototipe alat dan mesin peternakan dan keswan. b.

f. g. 2. Pembinaan dan sertifikasi pelayanan medik veteriner (dokter hewan praktek, klinik hewan dan rumah sakit hewan). 3. Rekomendasi pendaftaran mutu pakan. 4.a. Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin peternakan dan keswan wilayah provinsi. b.

f. Pemberian izin usaha RPH/RPU. g. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha peternakan. 2. 3. 4.a. Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin peternakan dan keswan wilayah kabupaten/kota. b. Pengembangan alat dan mesin peternakan dan keswan sesuai standar wilayah kabupaten/kota.

5. Pendaftaran obat hewan. 6. Pemberian izin usaha obat hewan sebagai produsen dan importir. 7.a. Pemberian izin pemasukan dan pengeluaran bibit ternak dari dan keluar negeri. b. 8.a. Pemberian persetujuan pemasukan hewan dan produk hewan dari luar negeri serta sertifikat pengeluaran dan produk hewan ke luar negeri. b.

5. 6. Pemberian izin usaha obat hewan sebagai distributor wilayah provinsi. 7.a. Pemberian izin pengeluaran ternak bibit dan potong dari dan ke wilayah provinsi. b.Pemantauan dan rekomendasi pemasukan dan pengeluaran dari dan keluar negeri. 8.a. Pemberian rekomendasi pemasukan/ pengeluaran hewan/ternak dan produk hewan dari dan antar provinsi/pulau. b.

5. 6. Pemberian izin usaha obat hewan di tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan, poultry shop dan pet shop wilayah kabupaten/kota. 7.a. b. Bimbingan dan pemantauan ternak bibit asal impor wilayah kabupaten/ kota. 8.a. Pemberian surat keterangan asal hewan dan produk hewan. b.Pemberian surat keterangan asal/kesehatan bahan asal

1528

9. Penetapan instalasi karantina hewan sementara. 10. Penetapan pedoman usaha budidaya hewan kesayangan. 11. Penetapan pedoman, standar alat angkut/transportasi produk peternakan. 12.a. Penetapan pedoman pemberian NKV. b.

9. Pemberian rekomendasi instalasi karantina hewan di wilayah provinsi. 10. Pembinaan izin usaha budidaya hewan kesayangan wilayah provinsi. 11. Pembinaan usaha alat angkut/transportasi produk peternakan. 12.a. Pembinaan dan pemberian NKV untuk unit usaha produk pangan asal hewan wilayah provinsi. b.

ternak dan hasil bahan asal ternak. 9. Pemberian rekomendasi instalasi karantina hewan di wilayah kabupaten/kota. 10. Pembinaan izin usaha budidaya hewan kesayangan kabupaten/kota. 11. Pemberian izin usaha alat angkut/transportasi produk peternakan. 12.a. Bimbingan standar teknis unit usaha produk pangan asal hewan wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan pelaksanaan penerapan NKV wilayah kabupaten/kota.

1529

11.Pembinaan Usaha

1. Penetapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan. 2.a. Penetapan pedoman pembinaan usaha peternakan yang meliputi budidaya pembinaan mutu, pengolahan hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan, penetapan tarif pemasaran dan kelembagaan usaha. b. c.

1. Penerapan dan pengawasan pelaksanaan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah provinsi. 2.a. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis pembinaan mutu dan pengolahan hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi. b. Pembinaan dan pengawasan lembaga sistem mutu produk peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi. c. Pembinaan dan pengawasan peningkatan mutu hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.

1. Penerapan dan pengawasan pelaksanaan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota. 2.a. Bimbingan penerapan standar-standar teknis, pembinaan mutu dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan pemantauan dan pengawasan lembaga sistem mutu produk peternakan dan hasil bahan asal wilayah kabupaten/kota. c. Bimbingan peningkatan mutu hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah kabupaten/kota.

1530

d. e. f. g. h.

d. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan unit pengolahan alat transportasi, unit penyimpanan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi. e. Promosi komoditas peternakan wilayah provinsi. f. Pembinaan analisis usaha tani dan pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi. g. Pembinaan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi. h. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis peternakan dan kesehatan hewan, pembinaan mutu dan pengelolaan hasil peternakan,

d. Bimbingan pengelolaan unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan hasil bahan asal hewan wilayah kabupaten/kota. e. Promosi komoditas peternakan wilayah kabupaten/kota. f. Bimbingan analisis usaha tani dan pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. g. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota. h. Bimbingan pelaksanaan standardisasi teknis analisa usaha, pembinaan mutu dan pengolahan hasil serta pemasaran.

1531

i. j. k. l.

kelembagaan usaha tani, pelayanan dan izin usaha. i. j. Pembinaan dan pengawasan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi. k. Pembinaan dan pengawasan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha peternakan wilayah provinsi. l. Pembinaan dan pelaksanaan studi amdal/UKL-UPL di bidang peternakan wilayah provinsi.

i. Pembinaan mutu dan pengelolaan hasil produk olahan peternakan dan keswan. j. Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. k. Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota. l. Bimbingan dan pelaksanaan studi amdal/UKL-UPL di bidang peternakan wilayah kabupaten/kota.

m. 3. Penetapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan.

m.Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan amdal wilayah provinsi. 3. Pembinaan dan pengawasan penerapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah provinsi.

m.Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota. 3. Bimbingan penerapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota.

1532

12. Sarana Usaha

1.a. Penetapan kebijakan, pedoman, norma dan standar sarana usaha. b.

1.a. Bimbingan penerapan pedoman, norma, standar sarana usaha wilayah provinsi. b. Bimbingan teknis pembangunan sarana fisik (bangunan), penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan penerapan pedoman, norma, standar sarana usaha wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan teknis pembangunan sarana fisik (bangunan), penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.

1533

13. Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil

1. Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan. 2. Penetapan metode perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan. 3. Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan. 4.a. Penetapan pedoman panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan. b.

1. Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi. 2. Bimbingan perhitungan perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan wilayah provinsi. 3. Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan wilayah provinsi. 4.a. Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi. b.

1. Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. 2. Perhitungan perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan wilayah kabupaten/kota. 3. Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. 4.a. Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.

14. Pemasaran

1. Penetapan pedoman pemasaran hasil peternakan. 2. Promosi komoditas peternakan nasional dan internasional. 3. Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.

1. Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi. 2. Promosi komoditas peternakan wilayah provinsi. 3. Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi.

1. Bimbingan pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. 2. Promosi komoditas peternakan wilayah kabupaten/kota. 3. Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota.

1534

15. Pengembangan sistem statistik dan informasi peternakan dan keswan

1. Penetapan kebijakan pengembangan sistem statistik dan informasi peternakan nasional. 2. Pembinaan dan pengelolaan sistem statistik dan informasi peternakan nasional.

1. Bimbingan penerapan sistem perstatistikan dan informasi peternakan wilayah provinsi. 2. Pengolahan sistem statistik dan informasi peternakan wilayah provinsi.

1. Penerapan sistem perstatistikan dan informasi peternakan wilayah kabupaten/kota. 2. Pengumpulan, pengolahan dan analisis data peternakan wilayah kabupaten/kota.

3. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan peternakan dan keswan nasional. 4.a. Pembinaan dan pengelolaan sistem statistik dan informasi peternakan dan kesehatan hewan nasional. b. c.

3. Pembinaan dan pengawasan penerapan perstatistikan peternakan dan keswan wilayah provinsi. 4.a. Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem informasi wilayah provinsi. b. Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, pengelolaan, analisis, penyajian dan pelayanan data dan statistik peternakan dan kesehatan hewan wilayah provinsi. c. Pembinaan dan pengawasan manajemen pengumpulan, pengolahan data komoditas/produksi peternakan dan sumberdaya strategis lintas kabupaten/kota.

3. Bimbingan penerapan perstatistikan peternakan dan keswan wilayah kabupaten/kota. 4.a. Bimbingan penerapan sistem informasi wilayah kabupaten/kota. b. c.

1535

d. e. f. g.

16. Pengawasan dan Evaluasi

1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang peternakan dan keswan dan kesmavet.

d. Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian dan pelayanan data dan statistik komoditas strategis. e. Pembinaan dan pengawasan pelayanan informasi pembangunan peternakan dan keswan wilayah provinsi. f. Pembinaan dan pengawasan terminal cyber space agribisnis peternakan dan keswan wilayah provinsi. g. Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, analisis dan informasi kebutuhan produk peternakan dan keswan wilayah provinsi. 1.

d. e. f. g.

1.

1536

4. Ketahanan Pangan

1. Ketahanan Pangan

1.a. Pengaturan, pengawasan dan pembinaan peningkatan ketersediaan dan keragaman pangan. b. c. d. 2.a. Pengaturan dan koordinasi cadangan pangan pemerintah

1.a. Identifikasi ketersediaan dan keragaman produk pangan. b. Identifikasi kebutuhan produksi dan konsumsi masyarakat. c. Koordinasi pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat menurunnya ketersediaan pangan karena berbagai sebab. d. 2.a. Pembinaan cadangan pangan masyarakat.

dan pembinaan cadangan pangan masyarakat. b. c. 3.a. Pengaturan dan pengawasan peningkatan akses pangan untuk masyarakat miskin dan rawan pangan. b. c.

b. Pengembangan dan pengaturan cadangan pangan pokok tertentu provinsi. c. Koordinasi dan pengendalian cadangan pangan pemerintah dan masyarakat. 3.a. Koordinasi penanganan kerawanan pangan provinsi. b. Koordinasi pencegahan dan penanggulangan masalah pangan sebagai akibat menurunnya mutu, gizi dan keamanan pangan. c. Pengendalian kerawanan pangan wilayah provinsi.

1.a. Identifikasi potensi sumberdaya dan produksi pangan serta keragaman konsumsi pangan masyarakat. b. Pembinaan peningkatan produksi dan produk pangan berbahan baku lokal. c. Pembinaan pengembangan penganekaragaman produk pangan. d. Pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat menurunnya ketersediaan pangan. 2.a. Identifikasi cadangan pangan masyarakat. b. Pengembangan dan pengaturan cadangan pangan pokok tertentu kabupaten/kota. c. Pembinaan dan monitoring cadangan pangan masyarakat. 3.a. Penanganan dan penyaluran pangan untuk kelompok rawan pangan tingkat kabupaten/kota. b. Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan sebagai akibat menurunnya mutu, gizi dan keamanan pangan. c. Identifikasi kelompok rawan pangan.

1537

4.a. Peningkatan infrastruktur distribusi dan koordinasi pengendalian stabilitas harga pangan strategis. b. c. d. e.

4.a. Identifikasi infrastruktur distribusi pangan. b. Pengembangan infrastruktur distribusi pangan provinsi dan koordinasi pengembangan infrastruktur provinsi. c. Koordinasi pencegahan penurunan akses pangan masyarakat dan peningkatan akses pangan masyarakat. d. Informasi harga di provinsi. e. Pengembangan jaringan pasar di wilayah provinsi.

4.a. Identifikasi infrastruktur distribusi pangan kabupaten/kota. b. Pengembangan infrastruktur distribusi pangan kabupaten/kota. c. Pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat penurunan akses pangan. d. Informasi harga di kabupaten/kota. e. Pembangunan pasar untuk produk pangan yang dihasilkan masyarakat kabupaten/kota.

5.a. Pembinaan peningkatan keragaman konsumsi serta mutu, gizi dan keamanan pangan. b. c. d. e. f.

5.a. Identifikasi pangan pokok masyarakat. b. c. Pembinaan peningkatan mutu konsumsi masyarakat menuju gizi seimbang berbasis bahan baku lokal. d. Pembinaan mutu dan keamanan produk pangan pabrikan di provinsi. e. f.

5.a. Identifikasi pangan pokok masyarakat. b. Peningkatan mutu konsumsi masyarakat. c. d. Pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan produk pangan masyarakat. e. Analisis mutu, gizi dan keamanan produk pangan masyarakat. f. Analisis mutu dan gizi konsumsi masyarakat.

1538

g. 6.a. Fasilitasi peran serta masyarakat dan bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). b. c. d. 7. Pengendalian pemantapan ketahanan pangan nasional.

2. Keamanan Pangan

1. Perumusan standar Batas Minimum Residu (BMR). 2. Penyusunan modul pelatihan inspektur, fasilitator, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) keamanan pangan. 3. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan nasional. 4.a. Monitoring otoritas kompeten provinsi. b.

g. Pengembangan kelembagaan sertifikasi produk pangan segar dan pabrikan skala kecil/rumah tangga. 6.a. Identifikasi LSM dan tokoh masyarakat provinsi. b. Pengembangan dan fasilitasi forum masyarakat provinsi. c. Pengembangan trust fund provinsi. d. Pengalokasian APBD provinsi untuk ketahanan pangan. 7. Pengumpulan dan analisis informasi ketahanan pangan provinsi. 1. Pembinaan penerapan standar BMR wilayah provinsi. 2. Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah provinsi. 3. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan provinsi. 4.a. Monitoring otoritas kompeten kabupaten/kota. b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah provinsi.

g. Pembinaan dan pengawasan produk pangan segar dan pabrikan skala kecil/rumah tangga. 6.a. Identifikasi LSM dan tokoh masyarakat kabupaten/kota. b. Pengembangan dan fasilitasi forum masyarakat kabupaten/kota. c. Pengembangan trust fund di kabupaten/kota. d. Pengalokasian APBD kabupaten/kota untuk ketahanan pangan. 7. Pengumpulan dan analisis informasi ketahanan pangan kabupaten/kota. 1. Penerapan standar BMR wilayah kabupaten/kota. 2. Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah kabupaten/kota. 3. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan kabupaten/kota. 4.a. b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah kabupaten/kota.

1539

5. Penunjang

1. Karantina Pertanian

1. Penetapan kebijakan dan pedoman perkarantinaan pertanian (hewan dan tumbuhan).

1.

1.

2. Pelaksanaan perkarantinaan pertanian (hewan dan tumbuhan).

2.

2.

2. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Pertanian

1. Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat nasional. 2. Penetapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian. 3. Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) nasional. 4. Pengkajian SDM pertanian. 5. Penetapan norma, standarisasi kelembagaan pendidikan keahlian pertanian.

1. Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat provinsi. 2. Penerapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian di wilayah provinsi. 3. Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) wilayah provinsi. 4. 5.

1. Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat kabupaten/kota. 2. Penerapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian di wilayah kabupaten/kota. 3. Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) di wilayah kabupaten/kota. 4. 5.

1540

6. Penyelenggaraan pendidikan keahlian pertanian. 7. Penetapan norma, standar dan akreditasi kelembagaan pendidikan keterampilan pertanian. 8. Penetapan dan pelaksanaan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan tenaga fungsional pendidikan keahlian dan keterampilan pertanian. 9. Penetapan standar dan prosedur sistem dan metode pendidikan dan keahlian dan keterampilan pertanian. 10. Penetapan norma dan standar kelembagaan pelatihan pertanian.

6. Penyelenggaraan pendidikan keterampilan pertanian. 7. Penerapan norma, standar dan akreditasi kelembagaan pendidikan keterampilan pertanian. 8. Penetapan sertifikasi dan akreditasi jabatan fungsional pendidikan keterampilan pertanian. 9. Penerapan standarisasi dan prosedur sistem dan metode pendidikan keterampilan. 10. Penerapan norma dan standar kelembagaan pelatihan pertanian.

6. Penyiapan tenaga didik/peserta pendidikan keahlian dan keterampilan. 7. 8. 9. 10.

11. Penyelenggaraan pelatihan keahlian pertanian. 12. Penetapan dan pelaksanaan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan tenaga fungsional widyaiswara pertanian. 13. Penetapan standar dan prosedur sistem dan metode pelatihan pertanian.

11. Penyelenggaraan pelatihan keterampilan pertanian. 12. Pelaksanaan akreditasi jabatan fungsional widyaiswara. 13. Perencanaan dan standarisasi dan prosedur sistem dan metode pelatihan pertanian.

11. 12. 13.

1541

3. Penyuluhan Pertanian

1. Penetapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian. 2. Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian provinsi. 3. Penetapan, norma dan standar kelembagaan penyuluhan pertanian.

1. Penerapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian. 2. Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian wilayah kabupaten/kota. 3. Penetapan kelembagaan penyuluhan pertanian di provinsi sesuai norma dan standar.

1. Penerapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian. 2. Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian wilayah kecamatan/desa. 3. Penetapan kelembagaan penyuluhan pertanian di kabupaten/kota sesuai norma dan standar.

4. Penetapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian. 5.a Penetapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian. b. 6. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat nasional. 4. Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 1. Penetapan kebijakan arah dan prioritas penelitian dan pengembangan pertanian. 2. Penelitian yang menghasilkan teknologi di bidang pertanian.

4. Penerapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian. 5.a Penerapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian. b. 6. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat provinsi.

1. 2. Pemantauan dan pengawasan penerapan teknologi pertanian spesifik lokasi.

4. Penerapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian. 5.a Penerapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian. b. Perencanaan penyuluhan pertanian di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten/kota. 6. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota. 1. 2. Bimbingan, pendampingan dan pengawasan penerapan teknologi hasil penelitian dan pengkajian.

3. Pembinaan, supervisi dan fasilitasi pengkajian, diseminasi dan penerapan teknologi/hasil pertanian.

3. Pembinaan, supervisi dan fasilitasi pengembangan dan penerapan hasil pengkajian teknologi spesifik lokasi.

3.

1542

5. Perlindungan Varietas

1. Pengawasan penerapan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT). 2. Pengaturan dan pemberian hak PVT kepada penemu varietas baru. 3. Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya meliputi lintas provinsi. 4. Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya meliputi lintas provinsi.

1. 2. 3. Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya meliputi lintas kabupaten/kota. 4. Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya meliputi lintas kabupaten/kota.

1. 2. 3. Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya pada satu kabupaten/kota. 4. Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya pada satu kabupaten/kota.

1543

6. Sumber Daya Genetik (SDG)

1.a. Menetapkan kebijakan pengelolaan (pelestarian dan pemanfaatan) sumber daya genetik yang berkaitan dengan akses dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan SDG secara berkelanjutan. b. 2. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran plasma nutfah Convention on International Trade Endanger Species (CITES).

1.a. Pengaturan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan SDG yang terdapat di beberapa kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut. b. Pengawasan penyusunan perjanjian akses terhadap pembagian keuntungan dari pemanfaatan SDG yang ada di provinsi tersebut (kalau satu jenis SDG terdapat di beberapa kabupaten/kota). 2.

1.a. Pengaturan hasil pembagian keuntungan yang diperoleh untuk konservasi SDG dan kesejahteraan masyarakat. b. Pengawasan penyusunan perjanjian akses terhadap pembagian keuntungan dari pemanfaatan SDG yang ada di wilayahnya. 2.

1544

7. Standarisasi dan Akreditasi

1. Perumusan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi. 2. Penyusunan rencana dan penetapan program standarisasi sektor pertanian. 3. Koordinasi standarisasi nasional sektor pertanian. 4. Perumusan rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) sektor pertanian melalui konsensus untuk ditetapkan sebagai SNI. 5. Penetapan pemberlakuan SNI wajib.

1. Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi sesuai pengalaman di daerah. 2. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program standarisasi sektor pertanian. 3. Koordinasi standarisasi sektor pertanian di provinsi. 4. Koordinasi pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan sesuai kebutuhan daerah. 5. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta memberikan usulan pemberlakuan wajib SNI.

1. Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi sesuai pengalaman di daerah. 2. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program nasional di bidang standarisasi di daerah. 3. Koordinasi standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota. 4. Pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan. 5. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta mengusulkan usulan pemberlakuan wajib SNI.

1545

6. Fasilitasi kelembagaan sektor pertanian yang akan mengajukan akreditasi. 7. Penilaian kesesuaian terhadap pemohon akreditasi di sektor pertanian. 8. Penetapan sistem dan pelaksanaan sertifikasi sektor pertanian. 9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan sistem sertifikasi sektor pertanian. 10.Pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi dalam lingkungan pertanian. 11.Pembinaan dan pengawasan lembaga sertifikasi danlaboratorium penguji dalam mendukung penerapan standarisasi di sektor pertanian. 12.Pengembangan dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian. 13.Menyusun dan melaksanakan program pemasyarakatan standarisasi sektor pertanian. 14.Penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian.

6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di provinsi. 7. 8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standarisasi sektor pertanian di provinsi. 9. 10. Dukungan pengembangan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di provinsi. 11. Kerjasama standarisasi dan penyampaian rekomendasi teknis dalam rangka penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian. 12. Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian di provinsi. 13. Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standarisasi di provinsi. 14. Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di provinsi.

6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di kabupaten/kota. 7. 8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota. 9. 10. Pengembangan pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di kabupaten/kota. 11. Kerjasama standarisasi dalam rangka penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian. 12. Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota. 13. Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standarisasi di kabupaten/kota. 14. Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di kabupaten/kota.

1546

27. Bidang Kehutanan


SUB B IDANG 1. Inventarisasi Hutan SUB SUB B IDANG PEMERINTAH 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan inventarisasi hutan daerah aliran sungai (DAS) skala nasional. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi, hutan lindung dan taman hutan raya dan skala DAS lintas kabupaten/kota. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam wilayah kabupaten/kota. STATUS NSPK S1 S2 S3 KETERANGAN

2. Pengukuhan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.

1.

1.

3. Penunjukan Kawasan Hutan, Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru

1. Pelaksanaan penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.

1. Pemberian pertimbangan teknis penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.

1. Pengusulan penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.

1547

4. Penataan Batas dan Pemetaan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru

1. Penyelenggaraan tata batas, penataan dan pemetaan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.

1.

1.

5. Penetapan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru

1. Pelaksanaan penetapan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.

1.

1.

6. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penetapan pengelola kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan.

1. Pengusulan dan pertimbangan teknis pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala provinsi.

1. Pengusulan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala kabupaten/kota dengan pertimbangan gubernur.

1548

7. Penatagunaan Kawasan Hutan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penatagunaan kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi, perubahan status dan fungsi hutan serta perubahan hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian perizinan penggunaan dan tukar menukar kawasan hutan.

1. Pertimbangan teknis perubahan status dan fungsi hutan, perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan.

1. Pengusulan perubahan status dan fungsi hutan dan perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan.

8. Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan penetapan pembentukan wilayah pengelolaan hutan, penetapan wilayah pengelolaan dan institusi wilayah pengelolaan, serta arahan pencadangan.

1. Pelaksanaan penyusu nan rancang bangun, pembentukan dan pengusulan penetapan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi serta pertimbangan teknis institusi wilayah pengelolaan hutan.

1. Pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi, serta institusi wilayah pengelolaan hutan.

9. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit KPHP.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit kesatuan pengelolaan hutan produksi KPHP.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit KPHP.

1549

10. Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (Lima Tahunan) Unit KPHP

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.

11. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHP

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP.

1. Pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP.

12. Rencana Kerja Usaha Dua Puluh Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

13. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana kerja lima tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja lima tahunan unit pemanfaatan hutan produksi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja lima tahunan unit pemanfaatan hutan produksi.

14. Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

1. Penilaian dan pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

1550

15. Penataan Batas Luar Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi. 2.

1. Pertimbangan teknis untuk pengesahan, koordinasi dan pengawasan pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi lintas kabupaten/kota. 2. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi dalam kabupaten/kota

1. Pertimbangan teknis untuk pengesahan, dan pengawasan pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi dalam kabupaten/kota. 2.

16. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL)

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL.

17. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit KPHL

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.

1551

18. Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit KPHL

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.

1. Pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.

19. Rencana Kerja Usaha (Dua Puluh Tahunan) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

20. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

21. Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

1. Penilaian dan pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

22. Penataan Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

1. Pertimbangan teknis pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung kepada pemerintah

1. Pertimbangan teknis pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung kepada provinsi.

1552

23. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK)

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.

1. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.

1. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.

24. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit KPHK

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.

1. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.

1. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.

25. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHK

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK.

1. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK.

1. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK.

26. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang (dua puluh tahunan) untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala provinsi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang (dua puluh tahunan) untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota.

1553

27. Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala provinsi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota.

28. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan taman buru.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan taman buru skala provinsi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota

29. Penataan Blok (Zonasi) Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan penataan blok (zonasi) cagar alam, suaka marga satwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.

1.

1.

1554

30. Pengelolaan Taman Hutan Raya

1. Pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah (lima tahunan) dan jangka panjang (dua puluh tahunan). 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria: a. Pemanfaatan taman hutan raya b. Penataan blok c. Rehabilitasi

1. Pengelolaan taman hutan raya, penyusu nan rencana pengelolaan (jangka menengah dan jangka panjang) dan pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek serta penataan blok (zonasi) dan pemberian perizinan usaha pemanfaatan serta rehabilitasi di taman hutan raya skala provinsi. 2.

1. Pengelolaan taman hutan raya, penyusunan rencana pengelolaan dan penataan blok (zonasi) serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam dan jasa lingkungan serta rehabilitasi di taman hutan raya skala kabupaten/kota. 2.

31. Rencana Kehutanan

1. Penetapan sistem perencanaan kehutanan dan penyusunan rencana-rencana kehutanan tingkat nasional.

1. Penyusunan rencanarencana kehutanan tingkat provinsi.

1. Penyusunan rencanarencana kehutanan tingkat kabupaten/kota.

32. Sistem Informasi Kehutanan (Numerik dan Spasial)

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat nasional.

1. Penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat provinsi.

1. Penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat kabupaten/kota.

1555

33. Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan pemberian serta perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi.

1. Pertimbangan teknis kepada menteri untuk pemberian dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

1. Pertimbangan teknis kepada gubernur untuk pemberian dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu serta pemberian perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

34. Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu pada hutan produksi.

1. Pemberian perizinan pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

1. Pemberian perizinan pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

35. Pemanfaatan Kawasan Hutan dan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan.

1. Pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

1. Pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

1556

36. Industri Pengolahan Hasil Hutan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria industri primer hasil hutan dan pemberian izin industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi > 6.000 m3.

1. Pemberian izin industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi 6.000 m3 serta pertimbangan teknis izin industri primer dengan kapasitas > 6.000 m3.

1. Pertimbangan teknis pemberian izin industri primer hasil hutan kayu.

37. Penatausahaan Hasil Hutan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan pengaturan penatausahaan hasil hutan.

1. Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala provinsi.

1. Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala kabupaten/kota.

38. Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) Convention on International Trade Endangered Species (CITES) serta pemanfaatan jasa lingkungan skala nasional.

1. Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

1. Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

39. Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Kehutanan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemungutan penerimaan negara bukan pajak.

1.

1. Pelaksanaan pemungutan penerimaan negara bukan pajak skala kabupaten/kota.

1557

40. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove

1. Penetapan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi hutan dan lahan serta lahan kritis. 2. Penetapan lahan kritis skala nasional. 3. Penyusunan dan penetapan rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS. 4. Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.

1. 2. Penetapan lahan kritis skala provinsi. 3. Pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS. 4. Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala provinsi.

1. 2. Penetapan lahan kritis skala kabupaten/kota. 3. Pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS. 4. Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan taman hutan raya skala kabupaten/kota.

42. Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove

1. Pelaksanaan rehabilitasi dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. 2.

1. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala provinsi. 2. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala provinsi.

1. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten/kota.

1558

43. Reklamasi Hutan pada Areal yang Dibebani Izin Penggunaan Kawasan Hutan

1. Penyusunan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi hutan serta penilaian hasil reklamasi hutan.

1. Pengesahan rencana reklamasi hutan.

1. Pertimbangan teknis rencana reklamasi dan pemantauan pelaksanaan reklamasi hutan

44. Reklamasi Hutan Areal Bencana Alam

1. Penyusunan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi hutan serta penyelenggaraan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala nasional.

1. Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala provinsi

1. Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala kabupaten/kota.

45. Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan di Sekitar Hutan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

1. Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

1. Bimbingan masyarakat, pengembangan kelembagaan dan usaha serta kemitraan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

46. Pengembangan Hutan Hak dan Aneka Usaha Kehutanan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan hutan hak dan aneka usaha kehutanan.

1. Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi hutan hak dan aneka usaha kehutanan.

1. Penyusunan rencana, pembinaan pengelolaan hutan hak dan aneka usaha kehutanan.

47. Hutan Kota

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria hutan kota.

1. Pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan hutan kota (khusus DKI), fasilitasi, pemantauan dan evaluasi hutan kota.

1. Pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan hutan kota.

1559

48. Perbenihan Tanaman Hutan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria perbenihan tanaman hutan, penetapan dan pembangunan sumberdaya genetik, pemberian izin ekspor/impor, karantina dan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit serta akreditasi lembaga sertifikasi benih/bibit tanaman hutan.

1. Pertimbangan teknis calon areal sumber daya genetik, pelaksanaan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit tanaman hutan.

1. Inventarisasi dan identifikasi serta pengusulan calon areal sumberdaya genetik, pembinaan penggunaan benih/bibit, pelaksanaan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit tanaman hutan.

49. Pengusahaan Pariwisata Alam pada Kawasan Pelestarian Alam, dan Pengusahaan Taman Buru, Areal Buru dan Kebun Buru

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam pada kawasan pelestarian alam dan pengusahaan taman buru.

1. Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala provinsi.

1. Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala kabupaten/kota.

50. Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam serta taman buru.

1.

1.

51. Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan pengawetan tumbuhan dan satwa liar dilindungi dan tidak dilindungi.

1.

1.

1560

52. Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. 2. Pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi serta pengendalian pemanfaatan tumbuhan satwa liar yang tidak dilindungi skala nasional.

1. Pengawasan pemberian izin pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES. 2.

1. Pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES. 2.

53. Lembaga Konservasi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian perizinan kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari).

1. Pertimbangan teknis izin kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari) skala provinsi.

1. Pertimbangan teknis izin kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari) skala kabupaten/kota.

54. Perlindungan Hutan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan perlindungan hutan pada hutan negara skala nasional. 2. Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala nasional.

1. Pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala provinsi. 2. Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala provinsi.

1. Pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala kabupaten/kota. 2. Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala kabupaten/kota.

1561

55. Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan, pemberian perizinan penelitian oleh lembaga asing, pemberian perizinan penelitian pada kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan dengan tujuan khusus penelitian dan pengembangan, pemantauan dan evaluasi kegiatan penelitian yang dilakukan oleh asing, provinsi dan kabupaten/kota.

1. Koordinasi dan penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan di tingkat provinsi dan/atau yang memiliki dampak antar kabupaten/kota dan pemberian perizinan penelitian pada hutan produksi dan hutan lindung yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus skala provinsi.

1. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan di tingkat kabupaten/kota dan pemberian perizinan penelitian pada hutan produksi serta hutan lindung yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus skala kabupaten/kota.

56. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kehutanan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional kehutanan serta akreditasi lembaga diklat kehutanan.

1. Pelaksanaan diklat teknis dan fungsional kehutanan skala provinsi.

1.

57. Penyuluhan Kehutanan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan penyuluhan kehutanan.

1. Penguatan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan skala provinsi.

1. Penguatan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan skala kabupaten/kota.

58. Pembinaan dan Pengendalian Bidang Kehutanan

1. Koordinasi, bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala nasional.

1. Koordinasi, bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala provinsi.

1. Bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala kabupaten/kota.

1562

59. Pengawasan Bidang Kehutanan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan pengawasan terhadap tugas dekonsentrasi dan pembantuan, pinjaman dan hibah luar negeri serta efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang kehutanan.

1. Pengawasan terhadap efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan oleh kabupaten/kota dan kinerja penyelenggara provinsi serta penyelenggaraan oleh kabupaten/kota di bidang kehutanan.

1. Pengawasan terhadap efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan oleh desa/masyarakat, kinerja penyelenggara kabupaten/kota dan penyelenggaraan oleh desa/masyarakat di bidang kehutanan.

28. Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral


SUB BIDANG 1. Mineral, Batu Bara, Panas Bumi, dan Air Tanah SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan pengelolaan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah nasional. 2. Pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah. 3. Pembuatan dan penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria di bidang pengelolaan pertambangan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta kompetensi kerja pertambangan. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. 2. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah provinsi di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah. 3. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. 2. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah kabupaten/kota di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah. 3. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

1563

4. Penetapan kriteria kawasan pertambangan dan wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi setelah mendapat pertimbangan dan/atau rekomendasi provinsi dan kabupaten/kota. 5. Penetapan cekungan air tanah setelah mendapat pertimbangan provinsi dan kabupaten/kota. 6. Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas provinsi.

4. Penyusunan data dan informasi usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi lintas kabupaten/kota. 5. Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah lintas kabupaten/kota. 6. Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.

4. Penyusunan data dan informasi wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi skala kabupaten/kota. 5. Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah skala kabupaten/kota. 6. Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah pada wilayah kabupaten/kota.

1564

7. Pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara, panas bumi, pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil. 8. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil laut.

7. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. 8. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

7. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. 8. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.

9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil. 10. Pembuatan dan penetapan klasifikasi, kualifikasi serta pedoman usaha jasa pertambangan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah.

9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. 10.

9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. 10.

1565

11. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta yang mempunyai wilayah kerja lintas provinsi. 12. Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal.

11. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN lintas kabupaten/kota. 12. Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal lintas kabupaten/kota.

11. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN di wilayah kabupaten/kota. 12. Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal di wilayah kabupaten/kota.

13. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi, pada wilayah lintas provinsi atau yang berdampak nasional dan di wilayah laut.

13. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah lintas kabupaten/kota atau yang berdampak regional.

13. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah kabupaten/kota.

1566

14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan Kuasa Pertambangan (KP) lintas provinsi, Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diterbitkan berdasarkan Undang- Undang tentang Ketentuan PokokPokok Pertambangan. 15. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KK dan PKP2B yang telah

14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP lintas kabupaten/kota. 15. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP lintas kabupaten/kota.

14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP dalam wilayah kabupaten/kota. 15. Pembinaan dan pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP dalam wilayah

dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan. 16. Penetapan wilayah konservasi dan pencadangan sumber daya mineral, batubara dan panas bumi nasional serta air tanah. 17. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut.

16. Penetapan wilayah konservasi air tanah lintas kabupaten/kota. 17. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota.

kabupaten/kota. 16. Penetapan wilayah konservasi air tanah dalam wilayah kabupaten/kota. 17. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung dalam wilayah kabupaten/kota.

1567

18. Pengelolaan, pembinaan, dan pengawasan wilayah kerja KP dan kontrak kerja sama pengusahaan pertambangan panas bumi yang dikeluarkan sebelum diterbitkannya UndangUndang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi yang berdampak nasional. 19. Penetapan kebijakan batasan produksi mineral, batubara dan panas bumi. 20. Penetapan kebijakan batasan pemasaran dan pemanfaatan mineral, batubara dan panas bumi.

18. 19. 20.

18. 19. 20.

21. Penetapan kebijakan kemitraan dan kerjasama serta pengembangan masyarakat dalam pengelolaan mineral, batubara dan panas bumi. 22. Perumusan dan penetapan tarif iuran tetap dan iuran produksi mineral, batubara dan panas bumi. 23. Penetapan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan dana pengembangan batubara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

21. 22. 23.

21. 22. 23.

1568

24. Penetapan pedoman nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan lintas negara. 25. Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan Sistem Informasi Geografis (SIG) wilayah kerja pertambangan nasional. 26. Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara nasional.

24. Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota. 25. Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah provinsi. 26. Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah provinsi.

24. Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah dalam wilayah kabupaten/ kota. 25. Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah kabupaten/kota. 26. Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah kabupaten/kota.

27. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional.

27. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.

27. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.

2. Geologi

1. Penetapan kebijakan nasional bidang geologi. 2. Pelaksanaan pemetaan geologi dan peta tematik, inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, panas bumi, migas, air tanah nasional dan kawasan pengembangan yang bersifat strategis serta pelaksanaan eksplorasi panas bumi. 3. Penetapan kawasan karst dan kawasan lindung geologi nasional.

1. 2. Pelaksanaan inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, batubara, panas bumi, migas dan air tanah pada wilayah provinsi. 3. Pelaksanaan inventarisasi kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah provinsi.

1. 2. Pelaksanaan inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, batubara, panas bumi, migas dan air tanah pada wilayah kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan inventarisasi kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah kabupaten/kota.

1569

4. Penetapan kriteria pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi. 5. Penetapan pedoman, kriteria norma, standar, prosedur geologi, lingkungan geologi, geologi teknik, kebencanaan dan kawasan lingkungan geologi. 6. Pelaksanaan inventarisasi geologi, lingkungan geologi, geologi teknik, kebencanaan dan kawasan lingkungan geologi secara nasional dan kawasan pengembangan strategis.

4. Penetapan zonasi pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota. 5. Penetapan pengelolaan lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi di wilayah lintas kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan inventarisasi lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi pada wilayah provinsi.

4. Penetapan zonasi pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah kabupaten/kota. 5. Penetapan pengelolaan lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi di wilayah kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan inventarisasi lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi pada wilayah kabupaten/kota.

7. Penetapan kebijakan dan pengaturan mitigasi bencana geologi serta pedoman pengelolaan kawasan lindung geologi dan kawasan rawan bencana. 8. Inventarisasi, pemetaan, pemeriksaan, pemantauan, penyelidikan dan penelitian, dan kawasan rawan bencana geologi daerah vital serta strategis dan/atau memiliki dampak nasional. 9. Pemberian peringatan dini bencana gunung api dan gempa bumi/tsunami dan penetapan langkah- langkah mitigasi untuk bencana geologi.

7. Pelaksanaan kebijakan mitigasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota. 8. Inventarisasi dan pengelolaan, kawasan rawan bencana geologi pada wilayah provinsi dan/atau memiliki dampak lintas kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan koordinasi mitigasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.

7. Pelaksanaan kebijakan mitigasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota. 8. Inventarisasi dan pengelolaan, kawasan rawan bencana geologi, pada wilayah kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan koordinasi mitigasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota.

1570

10. Pengelolaan data dan informasi bencana geologi. 11. Pembinaan tenaga fungsional penyelidik bumi nasional dan pengamat gunung api. 12. Pengelolaan data dan informasi geologi nasional.

10. Pengelolaan informasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota. 11. Pelaksanaan pembinaan fungsional penyelidik bumi nasional pada wilayah provinsi. 12. Pengelolaan data dan informasi geologi pada wilayah provinsi.

10. Pengelolaan informasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota. 11. Pelaksanaan pembinaan fungsional penyelidik bumi nasional pada wilayah kabupaten/kota. 12. Pengelolaan data dan informasi geologi pada wilayah kabupaten/kota.

3. Ketenagalistrikan

1. Penetapan kebijakan pengelolaan energi dan ketenagalistrikan nasional. 2. Penetapan peraturan perundang-undangan di bidang energi dan ketenagalistrikan. 3. Penetapan pedoman, standar dan kriteria pengelolaan energi dan ketenagalistrikan. 4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Jaringan Transmisi Nasional (JTN). 5. Pemberian izin usaha ketenagalistrikan yang dilakukan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK).

1. 2. Penetapan peraturan daerah provinsi di bidang energi dan ketenagalistrikan.

1. 2. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota di bidang energi dan ketenagalistrikan.

3. 4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) regional. 5.

3. 4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) kabupaten/kota. 5.

1571

6. Pemberian Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum (IUKU) yang sarana maupun energi listriknya lintas provinsi dan usaha penyediaan tenaga listrik yang terhubung ke dalam JTN. 7. Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen PKUK dan pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh pemerintah. 8. Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada PKUK dan pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.

6. Pemberian IUKU yang sarana maupun energi listriknya lintas kabupaten/kota. 7. Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh provinsi. 8. Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh provinsi.

6. Pemberian IUKU yang sarana maupun energi listriknya dalam kabupaten/kota. 7. Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh kabupaten/kota. 8. Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh kabupaten/kota.

9. Pemberian Izin Usaha penyediaan tenaga listrik untuk Kepentingan Sendiri (IUKS) yang sarana instalasinya mencakup lintas provinsi. 10. Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada PKUK dan pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah. 11. Pemberian izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha asing/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal asing.

9. Pemberian IUKS yang sarana instalasinya mencakup lintas kabupaten/kota. 10. Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh provinsi. 11.

9. Pemberian IUKS yang sarana instalasinya dalam kabupaten/kota. 10. Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh kabupaten/kota. 11. Pemberian izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha dalam negeri/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal dalam negeri.

1572

12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan sertifikasi bidang ketenagalistrikan dan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah. 13. Penetapan kebijakan dan penyediaan listrik pedesaan secara nasional. 14. Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional. 15. Penetapan pedoman, standar dan kriteria penerangan jalan umum.

12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya diberikan oleh provinsi. 13. Koordinasi dan penyediaan listrik pedesaan pada wilayah regional. 14. Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional provinsi. 15.

12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya diberikan oleh kabupaten/kota. 13. Penyediaan listrik pedesaan di wilayah kabupaten/kota. 14. Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota. 15.

4. Minyak dan Gas Bumi

1. Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas)

1. Penetapan mekanisme penyampaian laporan produksi penghitungan (lifting) bagian daerah. 2. Penetapan wilayah kerja kontrak kerja sama bidang minyak dan gas bumi. 3. Penetapan standar dan norma untuk izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan.

1. Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah. 2. Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan migas pada lintas kabupaten/kota. 3.

1. Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah. 2. Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan migas pada wilayah kabupaten/kota. 3. Pemberian izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan di sub sektor migas.

1573

2. Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi

1. Pemberian izin usaha pada kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi, yang terdiri dari kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga.

1. Pengawasan jumlah armada pengangkut Bahan Bakar Minyak (BBM) di daerah provinsi yang meliputi jumlah armada dan kapasitas pengangkutan BBM.

1.

2. 3. 4.

2. Inventarisasi jumlah badan usaha kegiatan hilir yang beroperasi di daerah provinsi. 3. Penetapan harga bahan bakar minyak jenis minyak tanah pada tingkat konsumen rumah tangga dan usaha kecil. 4. Pengawasan pencantuman Nomor Pelumas Terdaftar (NPT) pada pelumas yang beredar di pasaran sesuai peraturan perundangundangan.

2. 3. 4.

5. 6.a. Pengaturan dan pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). b.

5. Koordinasi pengawasan pengendalian pendistribusian dan tata niaga bahan bakar minyak dari agen dan pangkalan dan sampai konsumen di wilayah provinsi. 6.a. Pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM lintas kabupaten/kota. b.

5. Pengawasan pengendalian pendistribusian dan tata niaga bahan bakar minyak dari agen dan pangkalan dan sampai konsumen akhir di wilayah kabupaten/kota. 6.a. Pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM di wilayah kabupaten/kota. b.Pemberian rekomendasi lokasi pendirian kilang dan tempat penyimpanan migas.

1574

c.

c.

c. Pemberian izin lokasi pendirian Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU).

3. Kegiatan Usaha Jasa Penunjang Minyak dan Gas Bumi

1. Pemberian rekomendasi Pembelian dan Penggunaan (P2) dan Pemilikan Penguasaan dan Penyimpanan (P3) bahan peledak untuk kegiatan migas.

1. Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

1. Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.

2. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha penunjang migas. 3. Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional.

2. Pengawasan terhadap kegiatan usaha perusahaan jasa penunjang minyak dan gas bumi untuk bidang usaha jasa penyediaan komoditi dan jasa boga dan bidang usaha jasa penyediaan material dan peralatan termasuk pelayanan purna jual yang berdomisili di provinsi yang bersangkutan. 3. Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.

2. 3. Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.

1575

5. Pendidikan dan Pe latihan (Diklat)

1. Penetapan pedoman dan standar penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral. 2. Penetapan pedoman akreditasi bagi lembaga diklat penyelenggara diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral. 3. Penetapan standar kurikulum berbasis kompetensi diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.

1. 2. Pengusulan lembaga diklat provinsi agar terakreditasi sebagai penyelenggara pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral. 3.

1. 2. 3.

4. Fasilitasi penyelenggaraan assessment me lalui lembaga assessment Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dinas daerah provinsi/kabupate n/ kota. 5. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis untuk kepala dinas provinsi dan kabupaten/kota yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.

4. Penyertaan dan atau memfasilitasi penyelenggaraan assessment bekerjasama dengan lembaga assessment DESDM. 5. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis untuk kepala sub dinas kabupaten/kota dan kepala seksi dinas kabupaten/kota yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral setelah lembaga diklat terakreditasi.

4. Penyertaan dan atau me mfasilitasi penyelenggaraan assessment bekerjasama dengan lembaga assessment DESDM. 5.

1576

6. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis sektor energi dan sumber daya mineral bagi perangkat daerah yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.

6. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis sektor energi dan sumber daya mineral bagi perangkat daerah yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral berdasarkan pedoman dan standar penyelenggaraan, kurikulum/silabus dan lembaga diklat terakreditasi.

6.

7. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional tertentu untuk pengangkatan pertama kali dan jenjang madya inspektur tambang/ minyak dan gas bumi/ ketenagalistrikan/ penyelidik bumi. 8. Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

7. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional tertentu untuk pengangkatan pertama kali dan jenjang muda inspektur tambang/ minyak dan gas bumi/ ketenagalistrikan/ penyelidik bumi berdasarkan pedoman dan standar penyelenggaraan, kurikulum/silabus dan lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) terakreditasi. 8. Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup provinsi dan kabupaten/kota.

7. 8.

1577

9. Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala nasional. 10. Pembinaan dan pemantauan dan evaluasi lembaga diklat daerah dalam penyelenggaraan diklat sektor ESDM.

9. Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala provinsi. 10.

9. Penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala kabupaten/kota. 10.

1578

29. Bidang Kelautan dan Perikanan


SUB BIDANG 1. Kelautan SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut nasional, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan landas kontinen serta sumberdaya alam yang ada di bawahnya meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINS I 1. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan provinsi. 2. Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut di wilayah laut kewenangan provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

1579

3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam yang ada di dalamnya. 4. Penetapan kebijakan, norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut nasional, ZEEI dan landas kontinen. 5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan terpadu sumberdaya laut antar daerah.

3. Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan provinsi. 4. Pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut kewenangan provinsi dan pemberian informasi apabila terjadi pelanggaran di luar batas kewenangan provinsi. 5. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi.

3. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. 4. Pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota dan pemberian informasi apabila terjadi pelanggaran di luar batas kewenangan kabupaten/kota. 5. Koordinasi pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut di wilayah kewenangan kabupaten/kota.

1580

6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya. 7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan masyarakat pesisir. 8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyerasian riset kelautan meliputi riset, survei dan eksplorasi sumberdaya hayati dan non hayati, teknologi dan pengembangan jasa kelautan.

6. Pelaksanaan kebijakan perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut kewenangan provinsi. 7. Pelaksanaan kebijakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi. 8. Pelaksanaan dan koordinasi penyerasian riset kelautan di wilayah kewenangan laut provinsi dalam rangka pengembangan jasa kelautan.

6. Pelaksanaan dan koordinasi perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut. 7. Pemberdayaan masyarakat pesisir di wilayah kewenangan kabupaten/kota. 8. Pelaksanaan sistem perencanaan dan pemetaan serta riset potensi sumberdaya dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah kewenangan kabupaten/kota.

1581

9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam kelautan termasuk benda berharga dari kapal tenggelam. 10.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam hayati dan perairan laut. 11.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kapasitas kelembagaan dan Sumberdaya Manusia (SDM) bidang kelautan dan perikanan.

9. Pelaksanaan pengawasan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam berdasarkan wilayah kewenangannya dengan pemerintah dan kabupaten/kota. 10. Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan provinsi. 11. Pelaksanaan kebijakan peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM di bidang kelautan dan perikanan.

9. Pelaksanaan koordinasi pengawasan dan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam berdasarkan wilayah kewenangannya dengan pemerintah dan provinsi. 10. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. 11. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM di bidang kelautan dan perikanan.

1582

12.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut. 13. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria batas-batas wilayah maritim yang meliputi batas-batas wilayah laut pengelolaan daerah dan batas-batas wilayah laut antar negara. 14. Pengesahan pemberlakuan perjanjian internasional di bidang kelautan.

12. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut dalam kewenangan provinsi. 13. Pelaksanaan koordinasi dalam hal pengaturan batasbatas wilayah maritim yang berbatasan dengan wilayah antar negara di perairan laut dalam kewenangan provinsi. 14.

12. Pelaksanaan kebijakan reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut dalam kewenangan kabupaten/kota. 13. Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama dengan daerah lain terutama dengan wilayah yang berbatasan dalam rangka pengelolaan laut terpadu. 14.

1583

15. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemetaan potensi wilayah dan sumberdaya kelautan nasional. 16. Pengharmonisasian peraturan pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut. 17. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan wilayah laut di luar 12 (dua belas) mil. 18. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.

15. Pelaksanaan dan koordinasi pemetaan potensi sumberdaya kelautan di wilayah perairan laut kewenangan provinsi. 16. Pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisasian pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut kewenangan provinsi. 17. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut di dalam kewenangan provinsi. 18. Pelaksanaan dan koordinasi pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.

15. Pelaksanaan pemetaan potensi sumberdaya kelautan di wilayah perairan laut kewenangan kabupaten/kota. 16. Pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisasian pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut kewenangan kabupaten/kota. 17. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut di dalam kewenangan kabupaten/kota. 18. Pelaksanaan pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.

1584

19. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya. 20. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia. 21. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria jenis ikan yang dilindungi.

19. Pelaksanaan kebijakan rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya antar kabupaten/kota di wilayah laut provinsi. 20. Pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia. 21. Pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis ikan yang dilindungi.

19. Pelaksanaan koordinasi antar kabupaten/kota dalam hal pelaksanaan rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya. 20. Pelaksanaan penetapan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia. 21. Pelaksanaan perlindungan jenis ikan yang dilindungi.

22. Pelaksanaan mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut. 23. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman. 24. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi.

22. Pelaksanaan dan koordinasi mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut di wilayah laut kewenangan provinsi. 23. Pelaksanaan koordinasi pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman di wilayah laut kewenangan provinsi. 24. Pelaksanaan koordinasi pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi di wilayah laut kewenangan provinsi.

22. Pelaksanaan mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. 23. Pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. 24. Pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.

1585

25. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya. 26. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyusunan zonasi dan tata ruang perairan di wilayah laut nasional. 27. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah laut nasional.

25. Pelaksanaan koordinasi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya di wilayah provinsi. 26. Pelaksanaan dan koordinasi penyusunan zonasi dan tata ruang perairan dalam wilayah kewenangan provinsi. 27. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah kewenangan provinsi.

25. Pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya di wilayah kabupaten/kota. 26. Pelaksanaan dan koordinasi penyusunan zonasi dan tata ruang perairan dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota. 27. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah kewenangan kabupaten/kota.

1586

28. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian tata ruang laut nasional. 29. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan di perairan laut nasional dan ZEEI. 30. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi sumberdaya pesisir, pulaupulau kecil dan laut.

28. Perencanaan, pemanfaatan pengawasan dan pengendalian tata ruang laut wilayah kewenangan provinsi. 29. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan kewenangan provinsi. 30. Rehabilitasi sumberdaya pesisir, pulau-pulau kecil dan laut di wilayah kewenangan provinsi.

28. Perencanaan, pemanfaatan pengawasan dan pengendalian tata ruang laut wilayah kewenangan kabupaten/kota. 29. Pelaksanaan pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan kewenangan kabupaten/kota. 30. Rehabilitasi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengalami kerusakan (kawasan mangrove, lamun dan terumbu karang).

1587

2. Umum

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria dan pelaksanaan perkarantinaan ikan domestik dan internasional. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan skala nasional. 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan. 4. Perencanaan pembangunan perikanan skala nasional.

1. 2. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan provinsi. 3. Koordinasi penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan skala provinsi. 4. Perencanaan pembangunan perikanan skala provinsi.

1. 2. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota. 3. Koordinasi penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan skala kabupaten/kota. 4. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perikanan skala kabupaten/kota.

1588

5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan dan fasilitasi teknis. 6. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pola kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan. 7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan. 8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pelaksanaan kerjasama internasional di bidang perikanan skala nasional.

5. Bimbingan teknis pelaksanaan standarisasi, akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan. 6. Bimbingan teknis kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan antar kabupaten/kota. 7. Penyusunan zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan dalam wilayah provinsi. 8. Penyusunan rencana dan pelaksanaan kerjasama internasional bidang perikanan skala provinsi.

5. Pelaksanaan teknis standarisasi, akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan. 6. Pelaksanaan kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan dalam wilayah kabupaten/kota. 7. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan penyusunan zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan dalam wilayah kabupaten/kota. 8. Penyusunan rencana dan pelaksanaan kerjasama internasional bidang perikanan skala kabupaten/kota.

1589

9. Pengembangan sistem, pengumpulan, analisis, penyajian dan penyebaran data informasi statistik perikanan. 10. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan. 11. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil.

9. Bimbingan dan pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data dan statistik serta informasi bidang perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi. 10. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan. 11. Koordinasi pelaksanaan kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil.

9. Pelaksanaan sistem informasi perikanan di wilayah kabupaten/kota. 10. Pelaksanaan bimbingan teknis dalam peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan di wilayah kewenangan kabupaten/kota. 11. Pelaksanaan kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

12. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan. 13. Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.

12. Koordinasi pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan kewenangan provinsi. 13. Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.

12. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan kabupaten/kota. 13. Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.

3. Perikanan Tangkap

1. Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut di luar 12 mil. 2. Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB).

1. Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi. 2. Koordinasi dan pelaksanaan estimasi stok ikan di wilayah perairan kewenangan provinsi.

1. Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. 2. Koordinasi dan pelaksanaan estimasi stok ikan di wilayah perairan kewenangan kabupaten/kota.

1590

3. Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar provinsi. 4. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan. 5. Pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan nasional termasuk ZEEI dan landas kontinen.

3. Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar kabupaten/kota. 4. Pelaksanaan dan koordinasi perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan kewenangan provinsi. 5. Dukungan pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan wilayah kewenangan provinsi.

3. 4. Pelaksanaan dan koordinasi perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan kewenangan kabupaten/kota. 5. Dukungan pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan wilayah kewenangan kabupaten/kota.

1591

6. Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 30 GT dan di bawah 30 GT yang menggunakan tenaga kerja asing. 7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan pemerintah. 8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria usaha perikanan tangkap. 9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan nelayan kecil.

6. Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing. 7. Penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan provinsi. 8. Pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam wilayah kewenangan provinsi. 9. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil.

6. Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan sampai dengan 10 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing. 7. Penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan kabupaten/kota. 8. Pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil.

1592

10. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap. 11. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap. 12.a. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan.

10. Pelaksanaan kebijakan peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap kewenangan provinsi. 11. Pelaksanaan kebijakan sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap kewenangan provinsi. 12.a. Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan kewenangan provinsi.

10. Pelaksanaan kebijakan peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap kewenangan kabupaten/kota. 11. Pelaksanaan kebijakan sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap kewenangan kabupaten/kota. 12.a.Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan kewenangan kabupaten/kota.

b. 13. Pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain. 14. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria operasional dan penempatan Syahbandar di pelabuhan perikanan. 15. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan kapal perikanan.

b. 13. Dukungan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain. 14. 15. Pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan.

b. Pengelolaan dan penyelenggaraan pelelangan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). 13. Dukungan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain. 14. 15. Pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan.

1593

16. Pelaksanaan pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT. 17. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembuatan alat penangkapan ikan. 18. Pemberian persetujuan pengadaan, pembangunan dan pemasukan kapal perikanan dari luar negeri (impor). 19. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria produktivitas kapal penangkap ikan. 20. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.

16. Pendaftaran kapal perikanan di atas 10 GT sampai dengan 30 GT. 17. Pelaksanaan kebijakan pembuatan alat penangkap ikan. 18. 19. Dukungan dalam penetapan kebijakan produktivitas kapal penangkap ikan. 20. Pelaksanaan kebijakan penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.

16. Pendaftaran kapal perikanan sampai dengan 10 GT. 17. Pelaksanaan kebijakan pembuatan alat penangkap ikan. 18. 19. Dukungan dalam penetapan kebijakan produktivitas kapal penangkap ikan. 20. Pelaksanaan kebijakan penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.

1594

21. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemeriksaan fisik kapal perikanan serta pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan berukuran di atas 30 GT. 22. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan. 23. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut nasional.

21. Pelaksanaan kebijakan pemeriksaaan fisik kapal perikanan berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT. 22. Pelaksanaan kebijakan dan standarisasi kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan yang menjadi kewenangan provinsi. 23. Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut kewenangan provinsi.

21. Pelaksanaan kebijakan pemeriksaan fisik kapal perikanan berukuran sampai dengan 10 GT. 22. Pelaksanaan kebijakan dan standarisasi kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. 23. Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut kewenangan kabupaten/kota.

24. Rekayasa dan teknologi penangkapan ikan.

24. Dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan ikan.

24. Dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan ikan.

1595

4. Perikanan Budidaya

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembudidayaan ikan. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut. 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria mutu benih/induk ikan. 4. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.

1. Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan. 2. Pelaksanaan kebijakan produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut. 3. Pelaksanaan kebijakan mutu benih/induk ikan. 4. Pelaksanaan kebijakan, pembangunan dan pengelolaan balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.

1. Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan. 2. Pelaksanaan kebijakan produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut. 3. Pelaksanaan kebijakan mutu benih/induk ikan. 4. Pelaksanaan kebijakan, pembangunan dan pengelolaan balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.

1596

5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan. 6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan. 7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan. 8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan.

5. Pelaksanaan kebijakan pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan. 6. Pelaksanaan kebijakan akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan. 7. Pelaksanaan kebijakan pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan. 8. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan.

5. Pelaksanaan kebijakan pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan. 6. Pelaksanaan kebijakan akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan. 7. Pelaksanaan kebijakan pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan. 8. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan.

1597

9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan. 10. Penetapan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan. 11. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan. 12. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.

9. Pelaksanaan kebijakan rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan. 10. Pelaksanaan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan. 11. Pelaksanaan teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan. 12. Pelaksanaan teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.

9. Pelaksanaan kebijakan rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan. 10. Pelaksanaan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan. 11. Pelaksanaan teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan. 12. Pelaksanaan teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.

1598

13. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan usaha perikanan serta penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP) di bidang pembudidayaan ikan menggunakan tenaga kerja asing. 14. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan. 15. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembudidayaan ikan dan perlindungannya.

13. Pelaksanaan kebijakan perizinan dan penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di wilayah provinsi. 14. Pelaksanaan kebijakan pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan. 15. Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan dan perlindungannya.

13. Pelaksanaan kebijakan perizinan dan penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di wilayah kabupaten/kota. 14. Pelaksanaan kebijakan pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan. 15. Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan dan perlindungannya

1599

16. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya. 17. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria wabah dan wilayah wabah penyakit ikan. 18. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sistem informasi benih ikan. 19. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknologi pembudidayaan ikan.

16. Pelaksanaan kebijakan pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya. 17. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan. 18. Koordinasi dan pelaksanaan sistem informasi benih ikan lintas kabupaten/kota. 19. Koordinasi dan pelaksanaan teknologi pembudidayaan ikan.

16. Pelaksanaan kebijakan pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya. 17. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan. 18. Pelaksanaan sistem informasi benih ikan di wilayah kabupaten/kota. 19. Pelaksanaan teknologi pembudidayaan ikan spesifik lokasi.

1600

20. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan. 21. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan. 22. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria keramba jaring apung.

20. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan. 21. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan. 22. Pelaksanaan kebijakan keramba jaring apung di perairan umum lintas kabupaten/kota dan wilayah laut kewenangan provinsi.

20. Pemberian bimbingan, pemantauan dan pemeriksaan higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan. 21. Pembinaan dan pengembangan kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan. 22. Pelaksanaan kebijakan keramba jaring apung di perairan umum dan wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.

5. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan Penerapan Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) atau Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) di unit pengolahan hasil perikanan. 6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan mutu ekspor hasil perikanan. 7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau-pulau kecil.

5. Pengawasan PMMT atau HACCP di unit pengolahan hasil perikanan. 6. Pengawasan mutu ekspor hasil perikanan. 7. Koordinasi pelaksanaan pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau- pulau kecil di wilayah kewenangan provinsi.

5. Pengawasan PMMT atau HACCP di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan. 6. Pemantauan mutu ekspor hasil perikanan. 7. Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau- pulau kecil di wilayah kewenangan kabupaten/kota.

1601

8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut

8. Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan provinsi.

8. Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.

6. Pengolahan dan Pe masaran

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan dan pengelolaan pusat pemasaran ikan. 3.a. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi pengawasan mutu dan pengolahan hasil perikanan.

1. Pelaksanaan kebijakan pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya. 2. Pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan pusat pemasaran ikan. 3.a. Pelaksanaan kebijakan penerbitan sertifikat kesehatan dan/atau sertifikat mutu terhadap produk perikanan dalam rangka jaminan mutu dan jaminan pangan.

1. Pelaksanaan kebijakan pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya. 2. Pembangunan, perawatan dan pengelolaan pasar ikan. 3.a.

1602

b.Pembinaan pengujian mutu secara laboratoris terhadap produk hasil perikanan. 4. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP. 5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan dan pengelolaan laboratorium pengujian dan pengolahan mutu hasil perikanan.

b.Pelaksanaan pengujian mutu secara laboratoris terhadap produk hasil perikanan. 4. Pelaksanaan kebijakan pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP. 5. Pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan laboratorium pengujian dan pengolahan mutu hasil perikanan.

b. 4. Pelaksanaan pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP. 5.

1603

6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup. 7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan. 8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.

6. Bimbingan pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup. 7. Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan. 8. Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di provinsi.

6. Pelaksanaan kebijakan pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup. 7. Pelaksanaan kebijakan investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan. 8. Pelaksanaan kebijakan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di kabupaten/kota.

1604

7. Penyuluhan dan Pe ndidikan

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan di bidang kelautan dan perikanan. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyuluhan kelautan dan perikanan. 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan serta penyelenggaraan diklat fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan bidang kelautan dan perikanan di provinsi. 2. Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan penyuluhan kelautan dan perikanan di provinsi. 3. Pelaksanaan kebijakan akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan di provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan serta penyelenggaraan diklat fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan bidang kelautan dan perikanan di kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan penyuluhan kelautan dan perikanan di kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan kebijakan akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan di kabupaten/kota.

1605

30. Bidang Perdagangan


SUB BIDANG 1. Perdagangan Dalam Negeri SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Pe netapan pedoman serta pembinaan dan pengawasan pemberian izin usaha perdagangan (S IUP). 2. Pe netapan pedoman dan fasilitasi serta pemberian izin perdagangan jasa bisnis (survey, broker, properti), jasa distribusi (waralaba, penjua lan langsung, keagenan/distributor, perwakilan perusahaan perdagangan asing) dan jasa lainnya di bidang perdagangan tertentu. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Pembinaan dan pengawasan dalam pelaksanaan pemberian izin usaha perdagangan. 2. Pembinaan dan pengawasan perdagangan jasa bisnis, jasa distribusi dan jasa lainnya di bidang perdagangan di wilayah provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KAB UPATEN/KOTA 1. Pemberian izin usaha perdagangan di wilayah kabupaten/kota. 2. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin/pendaftaran jasa bisnis dan jasa distribusi di wilayah kabupaten/kota. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

1606

3. Pe netapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi, serta pemberian izin perdagangan barang kategori da lam pengawasan skala nasional (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Importir, Distributor dan Subdistributor, SIUP Bahan Berbahaya untuk Distributor, Pengakuan Pedagang Gula dan Kayu antar Pulau, serta komoditi lain yang akan ditetapkan sebagai barang yang perdagangannya diawasi atau diatur tataniaganya).

3. Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala provinsi (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Toko Bebas Bea, SIUP Bahan Berbahaya untuk Pe ngece r dan Rekomendasi SIUP Minuman Beralkohol untuk Distributor dan Subdistributor, Rekomendasi SIUP Bahan Berbahaya untuk Distributor).

3. Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala kabupaten/kota (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk P engecer, Penjua lan Langsung untuk diminum di tempat, Pengecer dan Penjualan Langsung untuk diminum di tempat untuk Minuman Beralkohol mengandung Rempah sampai dengan 15%, Rekomendasi SIUP Bahan Berbahaya, Rekomendasi Pe ngakuan Pedagang Kayu antar Pulau).

4. Pe netapan pedoman, pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM), koo rdinasi, pengendalian, pengawasan penyelenggaraan dan penyajian informasi wajib daftar perusahaan skala nasional. 5. Pe netapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta fasilitasi kegiatan perdagangan di wilayah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar.

4. Koordinasi, pengendalian, pengawasan, pelaporan dan penyajian informasi hasil penyelenggaraan wajib daftar perusahaan skala provinsi. 5. Koordinasi, dukungan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan, fasilitasi, monitoring dan evaluasi kegiatan perdagangan di wilayah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar di provinsi.

4. Pengawasan, pelaporan pelaksanaan dan penyelenggaraan serta penyajian informasi pelaksanaan wajib daftar perusahaan skala kabupaten/kota. 5. Dukungan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan perdagangan di daerah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar di kabupaten/kota.

1607

6. Pe netapan pedoman pembinaan dan pengawasan, pemberian izin, monitoring, evaluasi; pemberian izin sarana perdagangan (pasar/toko modern) dan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) tertentu skala nasional dan internasional. 7. Pe netapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga.

6. Koordinasi, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi sarana perdagangan (pasar/toko modern dan gudang) dan persetujuan penyelenggaraan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) skala nasional. 7. Penyelenggaraan, pembinaa n dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga di provinsi.

6. Pembinaan dan pengawasan, pemberian izin dan rekomendasi skala tertentu, monitoring dan evaluasi sarana perdagangan (pasar/toko modern dan gudang) dan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) skala lokal. 7. Penyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga di kabupaten/kota.

8. Pe netapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala nasional. 9. Pe netapan pedoman dan petunjuk teknis pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen. 10.Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen. 11.Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala nasional.

8. Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala provinsi. 9. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen di provinsi. 10. Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen. 11. Pe layanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala provinsi.

8. Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala kabupaten/kota. 9. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen di kabupaten/kota. 10.Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen. 11.Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala kabupaten/kota.

1608

12.Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen Skala Nasional. 13.Fasilitasi operasional Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). 14.Fasilitasi pembentukan Perwakilan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (PBPKN) provinsi. 15.Penetapan kebijakan dan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

12. Pe mbinaan dan Pe mberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen skala provinsi. 13. 14. Koordinasi pembentukan dan fasilitasi operasional PBPKN provinsi. 15. Koordinasi pembentukan BPSK dengan kabupaten/kota di wilayah provinsi.

12.Pembinaa n dan Pe mberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen skala kabupaten/kota. 13. 14. 15.Pengusulan pembentukan BPSK di kabupaten/kota kepada pemerintah berkoordinasi dengan provinsi dan fasilitasi operasional BPSK.

16.Penetapan kebijakan dan petunjuk teknis pembinaan Lembaga Pemberdayaan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). 17.Koordinasi dan kerjasama internasional serta lintas sektoral dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. 18.Pengkajian dan evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen. 19.Penetapan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis dan atau tatacara pengawasan barang beredar dan jasa.

16. Koordinasi kegiatan LP KSM dengan kabupaten/kota di wilayah provinsi. 17. Koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait skala provinsi dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. 18. Koordinasi evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen. 19. Pe laksanaan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis pengawasan barang beredar dan jasa.

16.Pendaftaran dan pengembangan LPKSM. 17.Koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait skala kabupaten/kota dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. 18.Evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen. 19.Pelaksanaan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis pengawasan barang beredar dan jasa.

1609

20.Pembinaan dan pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala nasional. 21.Koordinasi pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional. 22.Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional. 23.Pembinaan dan pemberdayaan Petugas Pengawas Barang Beredar dan Jasa (PPBJ) skala nasional.

20. Pe mbinaan dan pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala provinsi. 21. Koordinasi pelaksanaan pengawasan barang beredar dan jasa skala provinsi. 22. Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala provinsi. 23. Pe mbinaan dan pemberdayaan PPBJ skala provinsi.

20.Pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala kabupaten/kota. 21.Koordinasi pelaksanaan pengawasan barang beredar dan jasa skala kabupaten/kota. 22.Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala kabupaten/kota. 23.Pembinaa n dan pemberdayaan PPBJ skala kabupaten/kota.

24.Pembinaan dan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri S ipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK) skala nasional. 25.Penetapan dan penyelenggaraan pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala nasional. 26.Pembinaan dan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri S ipil Wajib Daftar Perusahaan (PPNSWDP) skala nasional.

24. Pe mbinaan dan pemberdayaan PPNS-PK skala provinsi. 25. Koordinasi, penyelenggaraan dan pelaporan pemberian rekomendasi atas pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala provinsi. 26. Pe mbinaan dan pemberdayaan PPNS-WDP skala provinsi.

24.Pembinaa n dan pemberdayaan PP NS-PK skala kabupaten/kota. 25.Penyelenggaraan, pelaporan dan rekomendasi atas pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala kabupaten/kota. 26.Pembinaa n dan pemberdayaan PPNS- WDP skala kabupaten/ kota.

1610

27.Penetapan pedoman dan fasilitasi sistem informasi perdagangan, dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala nasional.

27. Fasilitasi dan pelaporan pelaksanaan sistem informasi perdagangan dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala provinsi.

27.Pelaksanaan dan pelaporan sistem informasi perdagangan dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala kabupaten/kota.

2. Metrologi Legal

1. Penetapan dan pembinaan sistem metrologi legal. 2. Pembinaan dan pengembangan SDM metrologi legal.

1. Pembinaan dan pengendalian pembangunan metrologi legal skala provinsi. 2. Fasilitasi, koordinasi, penyelenggaraan, pengawasan dan pengendalian SDM metrologi skala provinsi.

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan metrologi legal setelah memperoleh penilaian dari pemerintah yang didasarkan rekomendasi provinsi. 2. Fasilitasi dan pembinaan serta pengendalian SDM metrologi skala kabupaten/kota.

3.a. Pe ngelolaan dan penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal. b. c. 4. Pelaksanaan kegiatan metrologi legal yang memerlukan penanganan khusus.

3.a. Koordinasi, rekomendasi penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal kabupaten/kota. b. Pelaksanaan verifikasi standar satuan ukuran milik provinsi dan kabupaten/kota. c. Penyelenggaraan interkomparasi skala provinsi. 4. Koordinasi dan pelaksanaan kegiatan tera dan tera ulang alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Pe rlengkapannya (UTTP) di wilayah kabupaten/kota.

3.a. Fasilitasi standar ukuran dan laboratorium metrologi legal. b. c. 4. Pelayanan tera dan tera ulang UTTP setelah melalui penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal oleh pemerintah.

1611

5. Penyelenggaraan kerjasama internasional metrologi legal. 6. Fasilitasi penyuluhan dan pengamatan UTTP, Barang Dalam Kemasan Terbungkus (BDKT) dan Satuan Internasional (SI). 7. Pembinaan dan penerbitan izin tipe UTTP, izin tanda pabrik UTTP.

5. Fasilitasi dan penyelenggaraan kerjasama metrologi legal skala provinsi. 6. Fasilitasi dan penyelenggaraan penyuluhan dan pengamatan UTTP, BDKT dan SI. 7. Koordinasi dan pembinaa n pembuat UTTP, importir UTTP dan merekomendasikan pelaksanaan permohonan izin tipe dan izin tanda pabrik serta menerbitkan perpanjangan izin tanda pabrik dan izin reparatir UTTP.

5. Fasilitasi penyelenggaraan kerjasama metrologi legal skala kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan penyuluhan dan pengamatan UTTP, BDKT dan SI. 7. Pembinaan operasional reparatir UTTP.

8. Pengawasan dan penyidikan tindak pidana Undang- Undang Metrologi Legal (UUML). 9. Penetapan dan pembinaan sistem metrologi legal untuk pemerintah dae rah khusus yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundangundangan.

8. Pengawasan dan penyidikan tindak pidana UUML. 9. Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang ditunjuk secara khusus oleh undang-undang maka koordinasi, fasilitasi dan penyelenggaraan metrologi legal menjadi urusan provinsi.

8. Pengawasan dan penyidikan tindak pidana UUML. 9.

3. Perdagangan Luar Negeri

1. Pe netapan kebijakan dan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang ekspor meliputi: a. Barang yang diatur ekspornya; b. Barang yang diawasi ekspornya;

1. Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang ekspor.

1. Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang ekspor.

1612

c. Barang yang dilarang ekspornya. 2. Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala nasional. 3. Pelaksanaan kebijakan bidang ekspor meliputi: a. Barang yang diatur ekspornya; b. Barang yang diawasi ekspornya; c. Barang yang dilarang ekspornya. 4. Penetapan kebijakan dan pedoman pelaksanaan bidang impor meliputi:

2. Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala provinsi. 3. Monitoring dan pelaporan pelaksanaan kebijakan bidang ekspor. 4. Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan bidang impor.

2. Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala kabupaten/kota. 3. Monitoring dan pelaporan pelaksanaan kebijakan bidang ekspor. 4. Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan bidang impor.

a. Barang yang diatur tata niaganya; b. Barang yang dilarang impornya. 5. Pelaksanaan kebijakan bidang impor meliputi: a. Barang yang diatur tata niaganya; b. Barang yang dilarang impornya. 6. Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang impor ska la nasional. 7. Pengawasan dan pengendalian mutu barang meliputi:

5. Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang impor. 6. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan bidang impor skala provinsi. 7. Pengambilan contoh, pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi mutu barang meliputi:

5. Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang impor. 6. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan bidang impor skala kabupaten/kota. 7. Pengambilan contoh, pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi mutu barang meliputi:

1613

a. Pe netapan kebijakan dan mekanisme pengawasan untuk membuktikan kesesuaian barang terhadap standar; b. Penelusuran teknis terhadap penilaian kesesuaian yang dilaksanakan oleh lembaga penguji, inspeksi teknis dan sertifikasi; c. Registrasi terhadap lembaga penilaian kesesuaian.

a. Pengambilan contoh yang dilakukan oleh P etugas Pe ngambil Contoh (PPC) yang teregistrasi; b. Pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi dilakukan oleh lembaga uji, inspeksi teknis, sertifikasi yang terakreditasi dan teregistrasi. c.

a. Pengambilan contoh yang dilakukan oleh PPC yang teregistrasi; b. Pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi dilakukan oleh lembaga uji, inspeksi teknis, sertifikasi yang terakreditasi dan teregistrasi. c.

8. Pembinaan dan pengembangan SDM Penguji Mutu Barang (PMB) meliputi pengaturan, penentuan kriteria, uji kompetensi, registrasi, pendidikan dan latihan, penilaian dan penetapan angka kredit, bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi PMB. 9. Penetapan kebijakan, petunjuk pelaksanaan penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) barang ekspor, penunjukan instansi penerbitan SKA dan penelusuran asal barang, pelatihan dan sertifikasi petugas penandatangan SKA.

8. Penilaian dan pelaporan angka kredit PMB tingkat provinsi. 9. Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan penerbitan SKA dan penelusuran asal barang.

8. Penilaian dan pelaporan angka kredit PMB tingkat kabupaten/kota. 9. Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan penerbitan SKA dan penelusuran asal barang.

1614

10.Sosialisasi, evaluasi, penerbitan SKA dan penelusuran asal barang oleh daerah. 11.Penetapan kebijakan penerbitan Angka Pengenal Importir (API). 12.Sosialisasi kebijakan, monitoring dan evaluasi penerbitan AP I.

10. Sosialisasi, penerbitan dan pelaporan penerbitan SKA penelusuran asal barang di tingkat provinsi yang ditunjuk. 11. Penerbitan AP I. 12. Sosialisasi kebijakan dan pelaporan penerbitan API.

10. Sosialisasi, penerbitan dan pelaporan penerbitan SKA penelusuran asal barang di tingkat kabupaten/kota yang ditunjuk. 11. Penyediaan bahan masukan untuk penerbitan API. 12. Sosialisasi kebijakan dan pelaporan penerbitan API.

13.Penetapan kebijakan dan fasilitasi ekspor dan impor, sosialisasi, koordinasi pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. 14.Partisipasi dan penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional. 15.Sosialisasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kesepakatan.

13. Penyediaan bahan masukan, sosialisasi, fasilitasi, koordinasi pelaksanaan, monitoring dan pelaporan, penyediaan informasi potensi ekspor daerah sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan. 14. Penyediaan bahan masukan dalam rangka penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional. 15. Sosialisasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan pelaksanaan kesepakatan skala provinsi.

13. Penyediaan bahan masukan, sosialisasi, fasilitasi, koordinasi pelaksanaan monitoring dan pelaporan, penyediaan informasi potensi ekspor daerah sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan. 14. Penyediaan bahan masukan dalam rangka penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional. 15. Sosialisasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan pelaksanaan kesepakatan skala kabupaten/kota.

16.Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.

16. Fasilitasi pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.

16. Fasilitasi pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.

1615

4. Kerjasama Pe rdagangan Internasional

1. Pe netapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan multilateral. 2. Pe netapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan regional seperti: kerjasama Association of South East Asian Nation (ASEAN), Asia Pasific Economic Conference (APEC), Asia Europe Meeting (ASEM), dan kerjasama ekonomi sub regional.

1. Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional. 2. Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional dan koordinasi kerjasama ekonomi sub regional.

1. Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional. 2. Monitoring dan sosialisasi hasilhasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional.

3. Pe ngaturan, penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan bilateral, seperti: a. Free Trade Agreement (FTA); b. Economic Partnership Agreement (EPA); c. Comprehensive Trade and Economic Partnership (CTEP); d. Comprehensive Economic Partnership (CEP ); e. Trade and Investment Framework (TIF); f. Trade and Investment Council (TIC);

3. Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan bilateral dan sosialisasi kerjasama perdagangan lintas batas.

3. Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan bilateral.

1616

g. Trade and Investment Framework Agreement (TIFA); 4. Pe ngaturan, penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi pengamanan perdagangan meliputi: dumping, subsidi, dan safeguard.

4. Monitoring dan sosialisasi dumping, subsidi, dan safeguard.

4. Monitoring dan sosialisasi dumping, subsidi, dan safeguard.

5. Pengembangan Ekspor Nasional

1. Pe netapan kebijakan bidang pengembangan ekspor secara nasional. 2. Pe laksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala nasional maupun internasional.

1. Penyediaan bahan kebijakan pengembangan ekspor skala provinsi. 2. Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala provinsi.

1. Penyediaan bahan kebijakan pengembangan ekspor skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala kabupaten/kota.

6. Perdagangan Berjangka Komoditi, Alternatif Pe mbiayaan Sistem Resi Gudang, Pasar Lelang

1. Pe mbinaan, pengaturan dan pengawasan perdagangan berjangka komoditi. 2. Pe mbinaan, pengaturan dan pengawasan sistem resi gudang. 3. Pe mbinaan, pengaturan dan pengawasan penyelenggaraan pasar lelang.

1. Koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan berjangka komoditi. 2. Pembinaan komoditas dalam rangka memperoleh akses pembiayaan resi gudang. 3. Pembinaan, pengaturan dan pengawasan yang bersifat teknis terhadap penyelenggaraan dan pelaku pasar lelang skala provinsi.

1. Koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan berjangka komoditi. 2. Pembinaan komoditas dalam rangka memperoleh akses pembiayaan resi gudang. 3. Pembinaan, pengaturan dan pengawasan yang bersifat teknis terhadap penyelenggaraan dan pelaku pasar lelang skala kabupaten/kota.

1617

31. Bidang Perindustrian


SUB BIDANG 1. Perizinan SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan Izin Usaha Industri (IUI) dan kawasan industri. 2. Penerbitan IUI bagi industri yang mengolah dan menghasilkan Bahan Beracun Berbahaya (B3), industri minuman beralkohol, industri teknologi tinggi yang strategis, industri kertas berharga, industri senjata dan amunisi. 3. Penerbitan IUI yang lokasinya lintas provinsi. 4. Penerbitan izin kawasan industri yang lokasinya lintas provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. 2. Penerbitan IUI skala investasi di atas Rp 10 milyar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. 3. Penerbitan rekomendasi IUI yang diterbitkan oleh pemerintah. 4. Penerbitan izin kawasan industri yang lokasinya lintas kabupaten/kota. PEMERINTAHAN DAERAH KAB UPATEN/KOTA 1. 2. Penerbitan tanda daftar industri dan IUI skala investasi s/d Rp 10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. 3. Penerbitan berita acara pemeriksaan dalam rangka penerbitan IUI oleh pemerintah dan provinsi. 4. Penerbitan izin usaha kawasan industri yang lokasinya di kabupaten/kota. STATUS NSPK KETERANGAN S1 S2 S3

2. Usaha Industri

1. Penetapan bidang usaha industri prioritas nasional, cabang industri yang penting dan strategis bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. 2. Penetapan pengelompokan bidang usaha industri atau skala usaha. 3. Penetapan bidang usaha industri yang terbuka dan tertutup untuk penanaman modal dan yang dicadangkan untuk industri kecil.

1. Penetapan bidang usaha industri prioritas provinsi. 2. 3.

1. Penetapan bidang usaha industri prioritas kabupaten/kota. 2. 3.

1618

3. Fasilitas Usaha Industri

1. Penetapan kebijakan pemberian fasilitas/insentif fiskal dan moneter dalam rangka pengembangan industri tertentu. 2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan Industri Kecil Menengah (IKM).

1. 2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan IKM di provinsi.

1. 2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan IKM di kabupaten/kota.

4. Perlindungan Usaha Industri

1. Perumusan kebijakan dan penetapan tarif bea masuk impor. 2. Perumusan dan penetapan kebijakan perlindungan bagi industri.

1. 2. Pemberian perlindungan kepastian berusaha terhadap usaha industri lintas kabupaten/kota.

1. 2. Pemberian perlindungan kepastian berusaha terhadap usaha industri di kabupaten/kota.

5. Perencana- an dan Program

1. Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri nasional. 2. Penyusunan Rencana Strategis (Renstra) di bidang industri. 3. Penyusunan rencana pembangunan tahunan industri nasional.

1. Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri provinsi. 2. Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) provinsi di bidang industri. 3. Penyusunan rencana kerja provinsi di bidang industri.

1. Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri kabupaten/kota. 2. Penyusunan RPJM SKPD kabupaten/kota di bidang industri. 3. Penyusunan rencana kerja kabupaten/kota di bidang industri.

6. Pemasaran

1. Penetapan kebijakan peningkatan pemasaran produk industri dalam negeri. 2. Promosi produk industri nasional.

1. 2. Promosi produk industri provinsi.

1. 2. Promosi produk industri kabupaten/kota.

1619

7. Teknologi

1. Penetapan kebijakan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri. 2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri. 3.

1. 2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri di provinsi. 3. Fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri termasuk lintas kabupaten/kota.

1. 2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri di kabupaten/kota. 3. Fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.

4. Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.

4. Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.

4. Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.

8. Standarisasi

1. Penetapan kebijakan standarisasi berdasarkan sistem standarisasi nasional. 2. Perumusan, fasilitasi penerapan dan pengawasan standar. 3. Kerjasama nasional, regional dan internasional bidang standarisasi.

1. 2. Fasilitasi dan pengawasan terhadap penerapan standar yang akan dikembangkan di provinsi. 3. Kerjasama bidang standarisasi tingkat provinsi.

1. 2. Fasilitasi dan pengawasan terhadap penerapan standar yang akan dikembangkan di kabupaten/kota. 3. Kerjasama bidang standarisasi tingkat kabupaten/kota.

9. Sumber Daya Manusia (SDM)

1. Penetapan kebijakan pembinaan dan pengembangan SDM industri dan aparatur pembina industri.

1.

1.

1620

2. Penetapan standar kompetensi dan kurikulum pendidikan dan pelatihan (diklat) SDM industri dan aparatur pembina industri. 3. Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri lintas provinsi.

2. Penerapan standar kompetensi SDM industri dan aparatur pembina industri di provinsi. 3. Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri lintas kabupaten/kota.

2. Penerapan standar kompetensi SDM industri dan aparatur pembina industri di kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri di kabupaten/kota.

10. Pe rmodalan

1. Perumusan kebijakan bantuan pendanaan untuk pemberdayaan industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank.

1. Fasilitasi akses permodalan bagi industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank di provinsi.

1. Fasilitasi akses permodalan bagi industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank di kabupaten/kota.

11. Lingkungan Hidup

1. Penetapan kebijakan pembinaan industri yang berwawasan lingkungan dan pengawasan pencemaran yang diakibatkan oleh industri.

1. Pemberian bantuan teknis kepada kabupaten/kota dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri.

1. Pembinaan industri dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri tingkat kabupaten/kota.

2. Fasilitasi kerjasama internasional di bidang industri yang terkait dengan lingkungan hidup.

2. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembinaan industri bersih yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan.

2. Pengawasan terhadap pencemaran lingkungan yang diakibatkan kegiatan industri di kabupaten/kota.

12. Kerjasama Industri

1. Penetapan kebijakan untuk peningkatan kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya. 2. Penetapan pola kemitraan antara industri dengan sektor ekonomi lainnya.

1. Koordinasi dan fasilitasi kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya lintas kabupaten/kota. 2. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama pengembangan industri melalui pola kemitraan usaha lintas kabupaten/kota.

1. Fasilitasi kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya di kabupaten/kota. 2. Fasilitasi kerjasama pengembangan industri melalui pola kemitraan usaha di kabupaten/kota.

1621

3. Penetapan kebijakan kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional bidang industri.

3. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional untuk pemberdayaan industri lintas kabupaten/kota.

3. Pelaksanaan hasil-hasil kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional untuk pemberdayaan industri di kabupaten/kota.

13. Kelembagaan

1. Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat nasional dan internasional. 2. Penetapan kebijakan pengembangan lembaga pendukung/unit pelaksana teknis penelitian dan pengembangan (litbang), diklat dan pelayanan pada IKM. 3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat nasional dan membantu unit pelaksana teknis tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

1. Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat provinsi. 2. 3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat provinsi dan membantu unit pelaksana teknis tingkat kabupaten/kota.

1. Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat kabupaten/kota. 2. 3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat kabupaten/kota.

14. Sarana dan Prasarana

1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah-wilayah pusat pertumbuhan industri dan lokasi pembangunan industri termasuk kawasan industri dan sentra industri kecil.

1. Penyusunan tata ruang provinsi industri dalam rangka pengembangan pusat- pusat industri yang terintegrasi serta koordinasi penyediaan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik, telepon, unit pengolahan limbah IKM) untuk industri yang mengacu pada tata ruang nasional.

1. Penyusunan tata ruang kabupaten/kota industri dalam rangka pengembangan pusatpusat industri yang terintegrasi serta koordinasi penyediaan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik, telepon, unit pengolahan limbah IKM) untuk industri yang mengacu pada tata ruang regional (provinsi).

1622

15. Informasi Industri

1. Penetapan kebijakan informasi industri. 2. Penyusunan pedoman dan pengumpulan, analisis dan diseminasi data nasional bidang industri.

1. 2. Pengumpulan, analisis dan diseminasi data bidang industri tingkat provinsi dan pelaporan kepada pemerintah.

1. 2. Pengumpulan, analisis dan diseminasi data bidang industri tingkat kabupaten/kota dan pelaporan kepada provinsi.

16. Pe ngawasan Industri

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan industri dalam rangka desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah. 2. Perumusan sistem, pembinaan dan pengaturan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang industri.

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas desentralisasi bidang industri tingkat provinsi. 2.

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas desentralisasi bidang industri tingkat kabupaten/kota. 2.

17. Monitoring, Evaluasi, dan Pe laporan

1. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian nasional.

1. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian di provinsi.

1. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian di kabupaten/kota.

1623

LAMPIRAN 5 KUESIONER DAERAH

A. Pertanyaan Status NSPK

PSEKP UGM, DSF dan Kementrian Dalam Negeri bekerjasama mengadakan studi mengenai Penilaian Status Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pelayanan Pemerintah Daerah sebagai pelaksanaan PP 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten kota. Berkaitan dengan hal tersebut, kami mohon informasi mengenai kebutuhan daerah bapak/ibu/saudara terkait dengan kebutuhan NSPK apa yang semestinya disediakan oleh pemerintah pusat dalam hal ini kementerian dan lembaga pemerintah non-departemen. INFORMASI PERSONAL 9. Nama Pengisi : 10. Jabatan : 11. Nomor Telefon/HP : 12. E-mail : PETUNJUK PENGISIAN 3. Berikan tanda centang () pada kolom Ya atau Tidak jika: - Ya berarti butuh NSPK dalam menjalankan kewenangan daerah - Tidak berarti tidak butuh NSPK dalam menjalankan kewenangan daerah 4. Isikan pada kolom jumlah berapa jumlah NSPK yang dibutuhkan untuk menjalankan kewenangan daerah tersebut

1625

1. Bidang Pendidikan

SUB BIDANG

SUB SUB BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH PROVINS I

PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA YA

NSPK JUMLAH NSPK TIDAK

1. Kebijakan

1. Kebijakan dan Standar

1.a. Penetapan kebijakan nasional pendidikan. b.Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program pendidikan antar provinsi. c. Perencanaan strategis pendidikan nasional.

1.a. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di provinsi sesuai dengan kebijakan nasional. b. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program pendidikan antar kabupaten/kota. c. Perencanaan strategis pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis pendidikan nasional.

1.a. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional dan provinsi. b.

c. Perencanaan operasional program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis tingkat provinsi dan nasional.

1626

2.a. Pengembangan dan penetapan standar nasional pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan). b. Sosialisasi standar nasional pendidikan dan pelaksanaannya pada jenjang pendidikan tinggi. 3. Penetapan pedoman pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal.

2.a.

2.a.

b. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat provinsi. 3. Koordinasi atas pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas kabupaten/kota, untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. 4.

b. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat kabupaten/kota. 3. Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.

4. Penetapan kebijakan tentang satuan pendidikan bertaraf internasional dan satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal. 5.a. Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin perguruan tinggi.

4.

5.a.

b.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional. c. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional

b. c. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

5.a. Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar, satuan pendidikan menengah dan satuan/penyelenggara pendidikan nonformal. b. c. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional.

1627

9. Pemberian izin pendirian, pencabutan izin penyelenggaraan, dan pembinaan satuan pendidikan Asing di Indonesia. 10.a. Pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan secara nasional. b. Peremajaan data dalam sistem informasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat nasional.

9. 10. a. b. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat provinsi.

9. 10. a. b. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat kabupaten/kota.

2. Pembiayaan

1.a. Penetapan pedoman pembiayaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan nonformal.

1.a.

1.a.

b.Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi sesuai kewenangannya. c. Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.

b.Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya. c. Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.

b.Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya. c. Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.

1628

3. Kurikulum

1.a. Penetapan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. b. Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

1.a. Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah. b. Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

1.a. Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar. b. Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

c. Penetapan standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah, dan sosialisasinya. 2.a. Pengembangan model kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan. 3. Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

c. Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan menengah. 2.a. b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah. 3. Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.

c. Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar. 2.a. b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar. 3. Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar.

1629

4. Sarana dan Prasarana

1.a. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan. b.Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan. 2.a. Penetapan standar dan pengesahan kelayakan buku pelajaran. b.

1.a. Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan menengah. b.Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan. 2.a. b. Pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan menengah.

1.a. Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. b. Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan. 2.a. b.Pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.

5. Pendidik dan Tenaga Kependidikan

1.a. Perencanaan kebutuhan dan pengadaan pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional. b. 2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar provinsi.

1.a. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan untuk pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya. b. Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk satuan pendidikan bertaraf internasional. 2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar kabupaten/kota.

1.a. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya. b. Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya 2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS di kabupaten/ kota.

1630

3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan. 4.a. Perencanaan kebutuhan, pengangkatan, dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan bagi unit organisasi di lingkungan departemen yang bertanggungjawab di bidang kependidikan. b. Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS karena pelanggaran peraturan perundang- undangan.

3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional. 4.a. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional. b.Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan bertaraf internasional selain karena alasan pelanggaran peraturan perundang- undangan

3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal. 4.a. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal. b. Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal selain karena alasan pelanggaran peraturan perundangundangan.

5. 6. Sertifikasi pendidik.

5. Pengalokasian tenaga potensial pendidik dan tenaga kependidikan di daerah. 6.

5. 6.

1631

6. Pengendalian Mutu Pe ndidikan

1. Penilaian Hasil Belajar

1. Penetapan pedoman, bahan ujian, pengendalian pemeriksaan, dan penetapan kriteria kelulusan ujian nasional. 2. Pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. 3. Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian nasional. 4. Penyediaan blanko ijazah dan/atau sertifikat ujian nasional.

1. 2. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. 3. Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala provinsi. 4.

1. 2. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal. 3. Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala kabupaten/kota. 4.

5. Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala provinsi. 5. Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala kabupaten/kota.

5. Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian nasional.

2. Evaluasi

1.a. Penetapan pedoman evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan. b.Pelaksanaan evaluasi nasional terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan. 2.a. Penetapan pedoman evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan.

1.a. b.Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi. 2.a.

1.a. b.Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota. 2.a.

b. Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan.

b. Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi.

b.Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota.

1632

3. Akreditasi

1.a. Penetapan pedoman akreditasi pendidikan jalur pendidikan formal dan non formal. b.Pelaksanaan akreditasi pendidikan jalur pendidikan formal dan nonformal.

1.a. b. Membantu pemerintah dalam pelaksanaan akreditasi pendidikan dasar dan menengah.

1.a. b. Membantu pemerintah dalam akreditasi pendidikan nonformal.

4. Penjaminan Mutu

1. Penetapan pedoman penjaminan mutu satuan pendidikan. 2.a. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan dalam pelaksanaan penjaminan mutu untuk memenuhi

1. 2.a.

1. 2.a. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan

standar nasional pendidikan. b.Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional. c. d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala nasional.

b.Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional. c. d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala provinsi.

nonformal dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar nasional pendidikan. b. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional. c. Supervisi dan Fasilitasi satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam penjaminan mutu. d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala kabupaten/kota.

1633

1. Bidang Kesehatan
SUB BIDANG 1. Upaya Kesehatan SUB SUB BIDANG 1. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit PEMERINTAH 1. Pengelolaan survailans epidemiologi kejadian luar biasa skala nasional. 2. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular berpotensial wabah, dan yang merupakan komitmen global skala nasional dan internasional. 3. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala nasional. 4. Penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala nasional. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala provinsi. 2. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala provinsi. 3. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala provinsi. 4. Pengendalian operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala kabupaten/kota. 3. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala kabupaten/kota. 4. Penyelenggaraan operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala kabupaten/kota. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

5. Pengelolaan karantina kesehatan skala nasional. 2. Lingkungan Sehat 1. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala nasional. 2.

5.

5.

1. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala provinsi. 2.

1. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala kabupaten/kota. 2. Penyehatan lingkungan.

1634

3. Perbaikan Gizi Masyarakat

1. Pengelolaan survailans kewaspadaan pangan dan gizi buruk skala nasional. 2.a. Pengelolaan penanggulangan gizi buruk skala nasional. b.

1. Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala provinsi. 2.a. Pemantauan penanggulangan gizi buruk skala provinsi. b.

1. Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala kabupaten/ kota. 2.a. Penyelenggaraan penanggulangan gizi buruk skala kabupaten/kota. b.Perbaikan gizi keluarga dan masyarakat.

4. Pelayanan Kesehatan Perorangan dan Masyarakat

1. Pengelolaan pelayanan kesehatan haji skala nasional. 2. Pengelolaan upaya kesehatan dan rujukan nasional. 3. Pengelolaan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala nasional.

1. Bimbingan dan pengendalian pelayanan kesehatan haji skala provinsi. 2. Pengelolaan pelayanan kesehatan rujukan sekunder dan tersier tertentu. 3. Bimbingan dan pengendalian upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala provinsi.

1. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan haji skala kabupaten/kota. 2. Pengelolaan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan sekunder skala kabupaten/kota. 3. Penyelenggaraan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala kabupaten/kota.

1635

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundangundangan. 5.a. Pemberian izin sarana kesehatan tertentu. b.

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan. 5.a. Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah. b. Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas B non pendidikan, rumah sakit khusus, rumah sakit swasta serta sarana kesehatan penunjang yang setara.

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan. 5.a. Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah dan provinsi. b. Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas C, Kelas D, rumah sakit swasta yang setara, praktik berkelompok, klinik umum/spesialis, rumah bersalin,

klinik dokter keluarga/dokter gigi keluarga, kedokteran komplementer, dan pengobatan tradisional, serta sarana penunjang yang setara.

1636

2. Pembiayaan Kesehatan

1. Pembiayaan Kesehatan Masyarakat

1.a. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria bidang jaminan pemeliharaan kesehatan. b.Pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional.

1.a. Pengelolaan/penyelenggara an, bimbingan, pengendalian jaminan pemeliharaan kesehatan skala provinsi. b.Bimbingan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan).

1.a. Pengelolaan/penyelenggaraan, jaminan pemeliharaan kesehatan sesuai kondisi lokal. b.Penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan).

3. Sumber Daya Manusia Kesehatan

1. Peningkatan Jumlah, Mutu dan Penyebaran Tenaga Kesehatan

1. Pengelolaan tenaga kesehatan strategis. 2. Pendayagunaan tenaga kesehatan makro skala nasional. 3. Pembinaan dan pengawasan pendidikan dan pelatihan (diklat) dan Training Of Trainer (TOT) tenaga kesehatan skala nasional.

1. Penempatan tenaga kesehatan strategis, pemindahan tenaga tertentu antar kabupaten/kota skala provinsi. 2. Pendayagunaan tenaga kesehatan skala provinsi. 3. Pelatihan diklat fungsional dan teknis skala provinsi.

1. Pemanfaatan tenaga kesehatan strategis. 2. Pendayagunaan tenaga kesehatan skala kabupaten/kota. 3. Pelatihan teknis skala kabupaten/kota.

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan skala nasional sesuai peraturan perundang- undangan. 5. Pemberian izin tenaga kesehatan asing sesuai peraturan perundangundangan.

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala provinsi sesuai peraturan perundang-undangan. 5. Pemberian rekomendasi izin tenaga kesehatan asing.

4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala kabupaten/kota sesuai peraturan perundangundangan. 5. Pemberian izin praktik tenaga kesehatan tertentu.

1637

4. Obat dan Pe rbekalan Kesehatan

1. Ketersediaan, Pemerataan, Mutu Obat dan Keterjangkauan Harga Obat Serta Perbekalan Kesehatan

1. Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat nasional, alat kesehatan tertentu, reagensia tertentu dan vaksin tertentu skala nasional.

1. Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat provinsi, alat kesehatan, reagensia dan vaksin lainnya skala provinsi.

1. Penyediaan dan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat kesehatan, reagensia dan vaksin skala kabupaten/kota

2.a. Registrasi, akreditasi, sertifikasi komoditi kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan. b. c. d. 3.a. Pemberian izin industri komoditi kesehatan, alat kesehatan dan Pedagang Besar Farmasi (PBF).

2.a. Sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) Kelas II. b. c. d. 3.a. Pemberian rekomendasi izin industri komoditi kesehatan, PBF dan Pedagang Besar Alat Kesehatan (PBAK).

2.a. Pengambilan sampling/contoh sediaan farmasi di lapangan. b.Pemeriksaan setempat sarana produksi dan distribusi sediaan farmasi. c. Pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga. d.Sertifikasi alat kesehatan dan PKRT Kelas I. 3.a. Pemberian rekomendasi izin PBF Cabang, PBAK dan Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT).

b.

b.Pemberian izin PBF Cabang dan IKOT. 1. Penyelenggaraan promosi kesehatan skala provinsi.

b.Pemberian izin apotik, toko obat. 1. Penyelenggaraan promosi kesehatan skala kabupaten/kota.

5. Pemberdayaan Masyarakat

1. Pemberdayaan Individu, Keluarga dan Masyarakat Berperilaku Hidup Sehat dan Pengembangan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM)

1. Pengelolaan promosi kesehatan skala nasional.

1638

6. Manajemen Kesehatan

1. Kebijakan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan.

1. Bimbingan dan pengendalian norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan.

1. Penyelenggaraan, bimbingan dan pengendalian operasionalisasi bidang kesehatan.

2. Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

1.a. Pengelolaan penelitian dan pengembangan kesehatan strategis dan terapan, serta penapisan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kesehatan skala nasional. b. c.

1.a. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan provinsi. b.Pengelolaan survei kesehatan daerah (surkesda) skala provinsi. c. Pemantauan pemanfaatan Iptek kesehatan skala provinsi.

1.a. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan kabupaten/kota. b.Pengelolaan surkesda skala kabupaten/kota. c. Implementasi penapisan Iptek di bidang pelayanan kesehatan skala kabupaten/kota.

3. Kerjasama Luar Negeri

1. Pengelolaan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan skala nasional.

1. Penyelenggaraan kerjasama luar negeri skala provinsi.

1. Penyelenggaraan kerjasama luar negeri skala kabupaten/kota.

4. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas 5. Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan (SIK)

1. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala nasional. 1. Pengelolaan dan pengembangan SIK skala nasional dan fasilitasi pengembangan sistem informasi kesehatan daerah.

1. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala provinsi. 1. Pengelolaan SIK skala provinsi.

1. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala kabupaten/kota. 1. Pengelolaan SIK skala kabupaten/kota.

1639

2. Bidang Pekerjaan Umum


SUB BIDANG 1. Sumber Daya Air SUB SUB BIDANG 1. Pengaturan PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan nasional sumber daya air. 2. Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. 3. Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. 4. Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi. 2. Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota. 3. Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai kabupaten/kota. 4. Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air kabupaten/kota. 2. Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. 3. Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. 4. Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

1640

5. Pembentukan Dewan Sumber Daya Air Nasional, wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi, dan wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai strategis nasional. 6. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) pengelolaan sumber daya air. 7. Penetapan wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota, wilayah sungai lintas kabupaten/kota, wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.

5. Pembentukan wadah koordinasi sumber daya air di tingkat provinsi dan/atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota. 6. 7.

5. Pembentukan wadah koordinasi sumber daya air di tingkat kabupaten/kota dan/atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. 6. 7.

8. Penetapan status daerah irigasi yang sudah dibangun yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. 9. Pengesahan pembentukan komisi irigasi antar provinsi

8. 9. Pembentukan komisi irigasi provinsi dan pengesahan pembentukan komisi irigasi antar kabupaten/kota.

8. 9. Pembentukan komisi irigasi kabupaten/kota

1641

2. Pembinaan

1. Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.

1. Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

1. Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

2. Penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara. 3. Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. 4. Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada provinsi dan kabupaten/kota.

2. Penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota. 3. Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota. 4. Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada kabupaten/kota.

2. Penetapan dan pemberian izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah. 3. Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. 4.

1642

5. Fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam pengelolaan sumber daya air. 6. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional. 7. Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

5. Fasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya air. 6. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas kabupaten/kota. 7. Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

5. 6. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi yang berada dalam satu kabupaten/kota. 7. Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat kabupaten/kota.

8. Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

8. Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.

8. Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat kabupaten/kota.

1643

3. Pembangunan/ Pengelolaan

1. Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. 2. Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. 3. Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala nasional. 4. Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat nasional.

1. Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota. 2. Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota. 3. Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala provinsi. 4. Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat provinsi.

1. Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. 2. Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. 3. Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala kabupaten/kota. 4. Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat kabupaten/kota.

1644

5. Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional. 6. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya lebih dari 3.000 ha atau pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional. 7. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai strategis nasional.

5. Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas kabupaten/kota. 6. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya 1.000 ha sampai dengan 3.000 ha atau pada daerah irigasi yang bersifat lintas kabupaten/kota. 7. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

5. Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota. 6. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota yang luasnya kurang dari 1.000 ha. 7. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

4. Pengawasan dan Pengendalian

1. Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.

1. Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

1. Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam kabupaten/kota.

1645

2. Bina Marga

1. Pengaturan

1. Pengaturan jalan secara umum: a. Pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya. b. Perumusan kebijakan perencanaan. c. Pengendalian penyelenggaraan jalan secara makro.

1. a. b. c.

1. a. b. c.

d. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengaturan jalan. 2. Pengaturan jalan nasional: a. b.

d. 2. Pengaturan jalan provinsi: a. Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan provinsi berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan. b.Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan provinsi dengan memperhatikan keserasian antar wilayah provinsi.

d. 2. Pengaturan jalan kabupaten/kota: a. Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan dengan memperhatikan keserasian antar daerah dan antar kawasan. b.Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.

1646

c. Penetapan fungsi jalan arteri dan jalan kolektor yang menghubungkan antar ibukota provinsi dalam sistem jaringan jalan primer. d.Penetapan status jalan nasional. e. Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan nasional.

c. Penetapan fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder dan jalan kolektor yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten, antar ibukota kabupaten, jalan lokal, dan jalan lingkungan dalam sistem jaringan jalan primer. d.Penetapan status jalan provinsi. e. Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan provinsi.

c. d.Penetapan status jalan kabupaten/desa dan jalan kota. e. Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.

3. Pengaturan jalan tol: a. Perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, penetapan ruas jalan tol dan pembentukan peraturan perundang- undangan. b.Pemberian rekomendasi tarif awal dan penyesuaiannya, serta pengambilalihan jalan tol pada akhir masa konsesi dan pemberian rekomendasi pengoperasian selanjutnya.

3. a. b.

3. a. b.

1647

2. Pembinaan

1. Pembinaan jalan secara umum dan jalan nasional: a. Pengembangan sistem bimbingan, penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan di bidang jalan.

1. Pembinaan jalan provinsi: a.

1. Pembinaan jalan kabupaten/kota: a.

b. Pemberian bimbingan, penyuluhan dan pelatihan para aparatur di bidang jalan. c. Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan dan yang terkait. d. Pemberian fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam penyelenggaraan jalan. e. Penyusunan dan penetapan norma, standar, kriteria dan pedoman pembinaan jalan.

b. Pemberian bimbingan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan provinsi dan aparatur penyelenggara jalan kabupaten/kota. c. Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan untuk jalan provinsi. d. Pemberian fasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam penyelenggaraan jalan. e.

b. Pemberian bimbingan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan kabupaten/desa dan jalan kota. c. d. e.

1648

f. 2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/kota. 3. Pembinaan jalan tol: Penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan serta penelitian dan pengembangan.

f. 2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/desa dan jalan kota. 3.

f. Pemberian izin, rekomendasi, dispensasi dan pertimbangan pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan. 2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/desa dan jalan kota. 3.

3. Pembangunan dan Pengusahaan

1. Pembangunan jalan nasional: a. Pembiayaan pembangunan jalan nasional. b. Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan nasional. c. Pengoperasian dan pemeliharaan jalan nasional. d. Pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan nasional.

1. Pembangunan jalan provinsi: a. Pembiayaan pembangunan jalan provinsi. b. Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan provinsi. c. Pengoperasian dan pemeliharaan jalan provinsi. d. Pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan provinsi.

1. Pembangunan jalan kabupaten/kota: a. Pembiayaan pembangunan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. b. Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kabupaten/desa dan jalan kota. c. Pengoperasian dan pemeliharaan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. d. Pengembangan dan pengelolaan manajemen jalan kabupaten desa dan jalan kota.

1649

2. Pengusahaan jalan tol: a. Pengaturan pengusahaan jalan tol meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan. b. Persiapan pengusahaan jalan tol, pengadaan investasi dan pemberian fasilitas pembebasan tanah.

2. a. b.

2. a. b.

4. Pengawasan

1. Pengawasan jalan secara umum: a. Evaluasi dan pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelengaraan jalan.

1. a.

1. a.

b. Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan. 2. Pengawasan jalan nasional: a. Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan nasional. b. Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan nasional. 3. Pengawasan jalan tol: a. Pemantauan dan evaluasi pengaturan dan pembinaan jalan tol.

b. 2. Pengawasan jalan provinsi: a. Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan provinsi. b. Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan provinsi. 3. a.

b. 2. Pengawasan jalan kabupaten/kota: a. Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. b.Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. 3. a.

b. Pemantauan dan evaluasi pengusahaan jalan tol dan terhadap pelayanan jalan tol.

b.

b.

1650

3. Perkotaan dan Pe rdesaan

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pembangunan perkotaan dan perdesaan. 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan perkotaan dan perdesaan.

1. Penetapan kebijakan dan strategi wilayah provinsi dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan (mengacu kebijakan nasional). 2. Penetapan peraturan daerah provinsi mengenai pengembangan perkotaan dan perdesaan mengacu NSPK nasional.

1. Penetapan kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan dan perdesaan wilayah kabupaten/kota (mengacu kebijakan nasional dan provinsi). 2. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota mengenai pengembangan perkotaan dan perdesaan berdasarkan NSPK.

2. Pembinaan

1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan Prasarana dan Sarana (PS) perkotaan dan pedesaan tingkat nasional.

1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan PS perkotaan dan pedesaan tingkat provinsi.

1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan PS perkotaan dan pedesaan tingkat kabupaten/kota.

2. Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan secara nasional.

2. Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan di wilayah provinsi.

2. Pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan di wilayah kabupaten/kota.

1651

3. Pembangunan

1. Fasilitasi perencanaan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah. 2. Fasilitasi kerjasama/kemitraan tingkat nasional antara pemerintah/daerah dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan.

1. Fasilitasi penyiapan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah kota/kabupaten di wilayah. 2. Fasilitasi kerjasama/ kemitraan antara pemerintah/daerah dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan di lingkungan provinsi.

1. Penyiapan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah kabupaten/kota dengan mengacu pada RPJP dan RPJM nasional dan provinsi. 2. Penyelenggaraan kerjasama/ kemitraan antara pemerintah daerah/dunia usaha/ masyarakat dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan di lingkungan kabupaten/kota.

3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan di kawasan strategis nasional. 4.

3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan lintas kabupaten/kota di lingkungan wilayah provinsi. 4. Fasilitasi pembentukan lembaga/badan pengelola pembangunan perkotaan dan perdesaan lintas kabupaten/kota.

3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan di wilayah kabupaten/kota 4. Pembentukan lembaga/badan pengelola pembangunan perkotaan dan perdesaan di kabupaten/kota.

1652

4. Pengawasan

1. Pengawasan dan pengendalian program pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan secara nasional. 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

1. Pengawasan dan pengendalian terhadap pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan di provinsi. 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK

1. Pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan di kabupaten/kota. 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

4. Air Minum

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan pelayanan air minum. 2. Pembentukan Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPP-SPAM). 3. Penetapan BUMN penyelenggara SPAM lintas provinsi. 4. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS air minum secara nasional termasuk penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

1. Penetapan peraturan daerah provinsi mengenai kebijakan dan strategi pengembangan air minum lintas kabupaten/kota di wilayahnya. 2. 3. Penetapan BUMD provinsi sebagai penyelenggara SPAM lintas kabupaten/kota. 4. Penetapan peraturan daerah NSPK pelayanan PS air minum berdasarkan SPM yang disusun pemerintah.

1. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota mengenai kebijakan dan strategi pengembangan air minum di daerah kabupaten/kota. 2. 3. Penetapan BUMD sebagai penyelenggara SPAM di kabupaten/kota. 4. Penetapan peraturan daerah NSPK pelayanan PS air minum berdasarkan SPM yang disusun pemerintah dan provinsi.

1653

5. Memberikan izin penyelenggaraan pelayanan PS air minum lintas provinsi. 6. Penentuan alokasi air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM.

5. Memberikan izin penyelenggaraan untuk lintas kabupaten/kota. 6.

5. Memberikan izin penyelenggaraan pengembangan SPAM di wilayahnya. 6.

2. Pembinaan

1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar provinsi, yang bersifat khusus, strategis, baik yang bersifat nasional maupun internasional. 2. Fasilitasi peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum secara nasional.

1. Penyelesaian masalah dan permasalahan yang bersifat lintas kabupaten/kota. 2. Peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum di lingkungan wilayah provinsi.

1. Penyelesaian masalah dan permasalahannya di dalam wilayah kabupaten/kota. 2. Peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum di wilayah kabupaten/kota termasuk kepada Badan Pengusahaan Pelayanan (operator) BUMD.

3. Penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air minum.

3.

3.

1654

3. Pembangunan

1. Fasilitasi pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM secara nasional. 2. 3. Fasilitasi penyelenggaraan bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.

1. Penetapan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM di lingkungan wilayah provinsi. 2. 3. Fasilitasi penyelenggaraan (bantuan teknis) penyelenggaraan pengembangan SPAM di wilayah provinsi.

1. Penetapan pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM di wilayah kabupaten/kota. 2. Pengembangan SPAM di wilayah kabupaten/kota untuk pemenuhan SPM. 3. Fasilitasi penyelenggaraan (bantuan teknis) kepada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM.

4. Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah pelayanan lintas provinsi. 5. Fasilitasi penyediaan prasarana dan sarana air minum dalam rangka kepentingan strategis nasional. 6. Penanganan bencana alam tingkat nasional.

4. Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah pelayanan lintas kabupaten/kota setelah berkoordinasi dengan daerah kabupaten/kota. 5. Penyediaan PS air minum untuk daerah bencana dan daerah rawan air skala provinsi. 6. Penanganan bencana alam tingkat provinsi

4. Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah administrasi kabupaten/kota. 5. Penyediaan PS air minum untuk daerah bencana dan daerah rawan air skala kabupaten/kota. 6. Penanganan bencana alam tingkat kabupaten/kota.

1655

4. Pengawasan

1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.

1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM yang berada di wilayah provinsi.

1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM yang berada di wilayah kabupaten/kota.

2. Evaluasi kinerja pelayanan penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

2. Evaluasi kinerja pelayanan air minum di lingkungan wilayah provinsi. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

2. Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan SPAM yang utuh di wilayahnya. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

5. Air Limbah

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS air limbah. 2. Pembentukan lembaga penyelenggara pelayanan PS air limbah lintas provinsi.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional. 2. Pembentukan lembaga tingkat provinsi sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah provinsi.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi. 2. Pembentukan lembaga tingkat kabupaten/kota sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah kabupaten/kota.

1656

3. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS air limbah secara nasional termasuk SPM. 4. Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah yang bersifat lintas provinsi. 5. Penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air limbah.

3. Penetapan peraturan daerah NSPK berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah. 4. Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah lintas kabupaten/kota. 5.

3. Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi. 4. Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota. 5.

2. Pembinaan

1. Fasilitasi penyelesaian permasalahan antar provinsi yang bersifat khusus, strategis baik yang bersifat nasional maupun internasional.

1. Fasilitasi penyelesaian masalah yang bersifat lintas kabupaten/kota.

1. Penyelesaian masalah pelayanan di lingkungan kabupaten/kota.

2. Fasilitasi peran serta dunia usaha tingkat nasional dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah. 3. Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah.

2. Fasilitasi peran serta dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota. 3. Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan kerjasama dengan dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota. 3. Penyelenggaraan (bantek) pada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan PS air limbah.

1657

3. Pembangunan

1. Fasilitasi pengembangan PS air limbah skala kota untuk kota-kota metropolitan dan kota besar dalam rangka kepentingan strategis nasional.

1. Fasilitasi pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi.

1. Penyelenggaraan pembangunan PS air limbah untuk daerah kabupaten/kota dalam rangka memenuhi SPM.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas provinsi. 3. Penanganan bencana alam tingkat nasional.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota. 3. Penanganan bencana alam tingkat provinsi.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah kabupaten/kota. 3. Penanganan bencana alam tingkat lokal (kabupaten/kota).

4. Pengawasan

1. Pengendalian dan pengawasan atas penyelenggaraan pengembangan PS air limbah. 2. Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah secara nasional. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

1. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan PS air limbah di wilayahnya. 2. Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah di wilayah provinsi lintas kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

1. Monitoring penyelenggaraan PS air limbah di kabupaten/kota. 2. Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan air limbah di kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan SPM.

1658

6. Persampahan

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS persampahan. 2. Penetapan lembaga tingkat nasional penyelenggara pengelolaan persampahan (bila diperlukan). 3. Penetapan NSPK pengelolaan persampahan secara nasional termasuk SPM. 4. Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas provinsi.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional. 2. Penetapan lembaga tingkat provinsi penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi. 3. Penetapan peraturan daerah NSPK pengelolaan persampahan mengacu kepada SPM yang ditetapkan oleh pemerintah. 4. Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan di kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi. 2. Penetapan lembaga tingkat kabupaten/kota penyelenggara pengelolaan persampahan di wilayah kabupaten/kota. 3. Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi. 4. Pelayanan perizinan dan pengelolaan persampahan skala kabupaten/kota.

1659

2. Pembinaan

1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar provinsi. 2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan. 3. Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan PS persampahan.

1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar kabupaten/kota. 2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota. 3. Memberikan bantuan teknis dan pembinaan lintas kabupaten/kota.

1. 2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan kabupaten/kota. 3. Memberikan bantuan teknis kepada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di kabupaten/kota.

3. Pembangunan

1. Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan secara nasional (lintas provinsi).

1. Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan secara nasional di wilayah provinsi.

1. Penyelengaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan di kabupaten/kota.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan lintas provinsi.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota.

2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan kabupaten/kota.

1660

4. Pengawasan

1. Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan secara nasional. 2. Evaluasi kinerja penyelenggaraan PS persampahan secara nasional. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

1. Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan di wilayah provinsi. 2. Evaluasi kinerja penyelenggaraan yang bersifat lintas kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan pengembangan persampahan di wilayah kabupaten/kota. 2. Evaluasi kinerja penyelenggaraan di wilayah kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

7. Drainase

1. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan. 2. Penetapan NSPK penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi provinsi berdasarkan kebijakan dan strategi nasional. 2. Penetapan peraturan daerah NSPK provinsi berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah di wilayah provinsi.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi. 2. Penetapan peraturan daerah NSPK drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota berdasarkan SPM yang disusun pemerintah pusat dan provinsi.

1661

2. Pembinaan

1. Fasilitasi bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan drainase. 2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan secara nasional.

1. Bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan). 2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah provinsi.

1. 2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota.

3. Pembangunan

1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas provinsi. 2. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase dan pengendalian banjir di kawasan khusus dan strategis nasional. 3. Fasilitasi penyusunan rencana induk penyelenggaraan prasarana sarana drainase dan pengendalian banjir skala nasional.

1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas kabupaten/kota. 2. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di wilayah provinsi. 3. Penyusunan rencana induk PS drainase skala regional/lintas daerah.

1. Penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir di wilayah kabupaten/kota serta koordinasi dengan daerah sekitarnya. 2. Penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di wilayah kabupaten/kota. 3. Penyusunan rencana induk PS drainase skala kabupaten/kota.

1662

4. Pengawasan

1. Evaluasi kinerja penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir secara nasional. 2. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir secara lintas provinsi. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

1. Evaluasi di provinsi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah provinsi. 2. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir lintas kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

1. Evaluasi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah kabupaten/kota. 2. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir di kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

8. Permukiman

1. Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang berdiri sendiri: a. Pengaturan b.Pembinaan

1. Penetapan kebijakan teknis Kasiba dan Lisiba nasional. 2. Penyusunan NSPK Kasiba dan Lisiba secara nasional. 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan Kasiba dan Lisiba.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi Kasiba/Lisiba di wilayah provinsi. 2. Penetapan Peraturan Daerah NSPK Kasiba dan Lisiba di wilayah provinsi. 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dalam pembangunan Kasiba dan Lisiba.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi Kasiba/Lisiba di wilayah kabupaten/kota. 2. Penetapan Peraturan Daerah NSPK Kasiba dan Lisiba di wilayah kabupaten/kota. 1.

1663

c. Pembangunan d.Pengawasan

2. Fasilitasi penyelesaian masalah Kasiba/Lisiba yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan nasional. 1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba strategis nasional. 2. Fasilitasi kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba. 3. 1. Pengawasan dan pengendalian kebijakan nasional penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba.

2. Fasilitasi penyelesaian pembangunan Kasiba/Lisiba antar kabupaten/kota. 1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota. 2. Fasilitasi kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota. 3. Penetapan izin lokasi Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota. 1. Pengawasan pelaksanaan kelayakan program Kasiba dan Lisiba di provinsi.

2. 1. Penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba di kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba. 3. Penetapan izin lokasi Kasiba/Lisiba di kabupaten/kota. 1. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba di kabupaten/kota.

2. Evaluasi kebijakan nasional penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

2. Evaluasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba di provinsi. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.

2. Evaluasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba di kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.

1664

2. Permukiman Kumuh/ Nelayan: a. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan nasional tentang penanggulangan permukiman kumuh perkotaan dan nelayan.

1.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi penanggulangan permukiman kumuh/nelayan di wilayah kabupaten/kota.

b. Pembinaan c. Pembangunan

2. Penyusunan NSPK kawasan permukiman. 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan dalam penanganan permukiman kumuh secara nasional. (bantuan teknis) 1. Fasilitasi program penanganan permukiman kumuh bagi lokasi yang strategis secara nasional. 2. Fasilitasi dan bantuan teknis untuk peremajaan/perbaikan permukiman kumuh/nelayan dengan Rumah Susun Sewa (RUSUNAWA).

2. 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dalam penanganan permukiman kumuh di wilayah provinsi. 1. Fasilitasi penyelenggaraan penanganan permukiman kumuh di wilayahnya. 2. Fasilitasi peremajaan/ perbaikan permukiman kumuh/nelayan.

2. Penetapan peraturan daerah tentang pencegahan timbulnya permukiman kumuh di wilayah kabupaten/kota. 1. 1. Penyelenggaraan penanganan kawasan kumuh perkotaan di kabupaten/kota. 2. Pengelolaan peremajaan/ perbaikan permukiman kumuh/nelayan dengan rusunawa.

1665

d. Pengawasan

1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian penanganan permukiman kumuh nasional. 2. Evaluasi kebijakan nasional penanganan permukiman kumuh. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK .

1. 2. Monitoring evaluasi pelaksanaan program penanganan permukiman kumuh di wilayahnya. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.

1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian permukiman kumuh di wilayah kabupaten/kota. 2. Evaluasi pelaksanaan program penanganan permukiman kumuh di kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.

3. Pembangunan Kawasan a. Pengaturan

1. Penetapan kebijakan pembangunan kawasan strategis nasional.

1.

1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota.

1666

b.Pembinaan c. Pembangunan d.Pengawasan

2. Penyusunan NSPK pembangunan kawasan strategis nasional. 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan kawasan strategis nasional. 2. Fasilitasi penyelesaian masalah pembangunan kawasan yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan nasional. 1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan kawasan strategis nasional. 1. Pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan strategis nasional.

2. 1. 2. Fasilitasi penyelesaian masalah pembangunan kawasan di wilayah provinsi. 1. 1. Pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan di wilayah provinsi.

2. Penetapan peraturan daerah NSPK pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota. 1. 2. 1. Penyelenggaraan pembangunan kawasan strategis nasional. 1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota.

2. Evaluasi kebijakan nasional program pembangunan kawasan nasional. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

2. Evaluasi pelaksanaan program pembangunan kawasan di provinsi. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.

2. Evaluasi pelaksanaan program pembangunan kawasan di kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.

1667

9. Bangunan Gedung dan Lingkungan

1. Pengaturan

1. Penetapan peraturan perundang-undangan, norma, standar, prosedur dan kriteria/bangunan gedung dan lingkungan 2. Penetapan kebijakan dan strategi nasional bangunan gedung dan lingkungan.

1. Penetapan peraturan daerah Provinsi, mengenai bangunan gedung dan lingkungan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria nasional. 2. Penetapan kebijakan dan strategi wilayah provinsi mengenai bangunan gedung dan lingkungan.

1. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota, mengenai bangunan gedung dan lingkungan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria nasional. 2. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota mengenai bangunan gedung dan lingkungan.

3. Penetapan kebijakan pembangunan dan pengelolaan gedung dan rumah negara. 4. Penyelenggaraan IMB gedung fungsi khusus. 5. 6. 7.

3. 4. 5. 6. 7.

3. Penetapan kelembagaan bangunan gedung di kabupaten/kota. 4. Penyelenggaraan IMB gedung. 5. Pendataan bangunan gedung. 6. Penetapan persyaratan administrasi dan teknis untuk bangunan gedung adat, semi permanen, darurat, dan bangunan gedung yang dibangun di lokasi bencana. 7. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

1668

2. Pembinaan

1. Pemberdayaan kepada pemerintah daerah dan penyelenggara bangunan gedung dan lingkungannya. 2. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dan teknis Pemerintah daerah untuk bangunan gedung dan lingkungan.

1. Pemberdayaan kepada pemerintah daerah dan penyelenggara bangunan gedung dan lingkungannya. 2. Fasilitasi penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.

1. Pemberdayaan kepada masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya. 2. Pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.

3. Pembangunan

1. Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan. 2. Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah.

1. Penyelenggaraan model bangunan gedung dan lingkungan. 2. Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah provinsi.

1. Penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan dengan berbasis pemberdayaan masyarakat. 2. Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah kabupaten/kota.

3. Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala nasional atau internasional.

3. Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota.

3. Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala lokal.

1669

4. Pengawasan

1. Pengawasan secara nasional terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan, pedoman, dan standar teknis bangunan gedung dan lingkungannya, serta gedung dan rumah negara. 2. Pengawasan dan penertiban pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung fungsi khusus. 3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala nasional atau internasional.

1. Pengawasan secara regional terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan, pedoman dan standar teknis bangunan gedung dan lingkungannya gedung dan rumah negara. 2. 3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota.

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundangundangan, pedoman dan standar teknis dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya. 2. Pengawasan dan penertiban pembangunan, pemanfaatan, dan pembongkaran bangunan gedung. 3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala lokal.

1670

10. Jasa Konstruksi

1. Pengaturan

1. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan usaha, termasuk upaya mendorong kemitraan fungsional sinergis. 2. Fasilitasi untuk mendapatkan dukungan lembaga keuangan dalam memberikan prioritas pelayanan, kemudahan dan akses untuk memperoleh pendanaan. 3. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan penyelenggaraan konstruksi. 4. Fasilitasi untuk mendapatkan dukungan lembaga pertanggungan dalam memberikan prioritas,

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan jasa konstruksi yang telah ditetapkan. 2. 3. 4.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan jasa konstruksi yang telah ditetapkan. 2. 3. 4.

pelayanan, kemudahan dan akses untuk memperoleh jaminan pertanggungan resiko. 5. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan keahlian dan teknik konstruksi. 6. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan SDM bidang konstruksi.

5. 6.

5. 6.

1671

2. Pemberdayaan

1. Pemberdayaan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional serta asosiasi badan usaha dan profesi tingkat nasional. 2. Peningkatan kemampuan teknologi, sistem informasi, penelitian dan

1. Pengembangan sistem informasi jasa konstruksi dalam wilayah provinsi yang bersangkutan. 2. Penelitian dan pengembangan jasa konstruksi dalam wilayah

1. Pengembangan sistem informasi jasa konstruksi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. 2. Penelitian dan pengembangan jasa konstruksi dalam wilayah

pengembangan teknologi bidang konstruksi. 3. Pemberdayaan penerapan keahlian dan teknik konstruksi kepada LPJK nasional serta asosiasi profesi tingkat nasional. 4. Perintisan penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi sebagai model. 5. Fasilitasi proses sertifikasi tenaga terampil konstruksi. 6.

provinsi yang bersangkutan. 3. Pengembangan sumber daya manusia bidang jasa konstruksi di tingkat provinsi. 4. Peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi dalam wilayah provinsi yang bersangkutan. 5. Pelaksanaan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan dalam wilayah provinsi. 6. Pelaksanaan pemberdayaan terhadap LPJK daerah dan asosiasi di provinsi yang bersangkutan.

kabupaten/kota yang bersangkutan. 3. Pengembangan sumber daya manusia bidang jasa konstruksi di tingkat kabupaten/kota. 4. Peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan 5. Melaksanakan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan dalam wilayah kabupaten/kota. 6. Penerbitan perizinan usaha jasa konstruksi.

1672

3. Pengawasan

1. Pengawasan guna tertib usaha mengenai persyaratan perizinan dan ketentuan ketenagakerjaan. 2. Pengawasan terhadap LPJK- Nasional serta asosiasi badan usaha dan profesi tingkat nasional. 3. Pengawasan guna tertib penyelenggaraan dan tertib pemanfaatan pekerjaan konstruksi (ketentuan keteknikan, K3, keselamatan umum,lingkungan, tata ruang, tata bangunan dan ketentuan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan konstruksi).

1. Pengawasan tata lingkungan yang bersifat lintas kabupaten/kota. 2. Pengawasan sesuai kewenangannya untuk terpenuhinya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. 3. Pengawasan terhadap LPJK daerah dan asosiasi di provinsi yang bersangkutan.

1. Pengawasan tata lingkungan dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. 2. Pengawasan sesuai kewenangannya untuk terpenuhinya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. 3.

1673

3. Bidang Perumahan
SUB BIDANG 1. Pembiayaan SUB SUB B IDANG 1. Pembangunan Baru PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan. 2. Penyusunan norma, standar, pedoman, dan manual (NSPM) nasional bidang pembiayaan perumahan. 3. Pengembangan sistem pembiayaan dan instrumen pembiayaan. 4. Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat nasional. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program provinsi di bidang pembiayaan perumahan. 2. Penyusunan NSPM provinsi bidang pembiayaan perumahan. 3. Koordinasi penyelenggaraan dan mendorong terciptanya pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan perumahan. 4. Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program kabupaten/kota di bidang pembiayaan perumahan. 2. Penyusunan NSPM kabupaten/kota bidang pembiayaan perumahan. 3. Pelaksanaan, penerapan dan penyesuaian pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan. 4. Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat kabupaten/kota. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

1674

5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional. 6. Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa. 7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional. 8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.

5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat provinsi. 6. Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa. 7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi. 8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.

5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat kabupaten/kota. 6. Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa. 7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota. 8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.

2. Perbaikan

1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan. 2. Penyusunan NSPM nasional bidang pembiayaan perumahan. 3. Pengembangan sistem pembiayaan dan instrumen pembiayaan. 4. Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat nasional. 5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional.

1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program provinsi di bidang pembiayaan perumahan 2. Penyusunan NSPM provinsi bidang pembiayaan perumahan. 3. Koordinasi penyelenggaraan dan mendorong terciptanya pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan perumahan. 4. Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat provinsi. 5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat provinsi.

1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program kabupaten/kota di bidang pembiayaan perumahan. 2. Penyusunan NSPM kabupaten/kota bidang pembiayaan perumahan. 3. Pelaksanaan, penerapan dan penyesuaian pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan. 4. Fasilitasi bantuan bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat kabupaten/kota. 5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat kabupaten/kota.

1675

6. Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik. 7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional. 8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.

6. Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik. 7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi. 8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiyaan perumahan di tingkat provinsi.

6. Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik. 7. Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota. 8. Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.

2. Pembinaan Pe rumahan Formal

1. Pembangunan Baru

1.a. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.

1.a. Koordinasi masukan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.

1.a. Memberikan masukan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.

b. 2. Perumusan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan perumahan. 3. Penyusunan pedoman efisiensi pasar dan industri perumahan.

b.Koordinasi peninjauan kembali (review) kesesuaian dengan peraturan perundangundangan bidang perumahan di kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan pada skala provinsi. 3. Koordinasi upaya efisensi pasar dan industri perumahan skala provinsi.

b.Peninjauan kembali kesesuaian peraturan perundang-undangan bidang perumahan di kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan di atasnya. 2. Pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan pada skala kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan upaya efisiensi pasar dan industri perumahan skala kabupaten/kota.

1676

4. Sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan Strategi nasional perumahan. 5. Bantuan teknis penyelenggaraan perumahan (basis kawasan, lembaga pendampingan, kelompok masyarakat). 6. Fasilitasi terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan,

4. Koordinasi pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan skala provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan bantuan teknis penyelenggaraan perumahan. 6. Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan

4. Pelaksanaan peraturan perundangundangan, produk NSPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan. 5. Pelaksanaan teknis penyelenggaraan perumahan. 6. Memanfaatkan badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN,BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen banguan, konsultan, kontraktor dan pengembang.

1677

industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang. 7. Penyusunan standar, pedoman dan manual (SPM) perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan Prasarana, Sarana, Utilitas (PSU). 8. Sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk SPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan. 9. Fasilitasi peningkatan kapasitas penyelenggara dan pelaku pembangunan perumahan (pemerintah, swasta dan masyarakat).

pengembang. 7. Penyusunan pedoman perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan PSU lintas kabupaten/kota. 8. Koordinasi pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk SPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan dan provinsi bersangkutan. 9. Koordinasi pelaksanaan peningkatan kapasitas penyelenggara dan pelaku pembangunan perumahan.

7. Penyusunan pedoman dan manual perencanaan, pembangunan dan pengelolaan PSU skala kabupaten/kota. 8. Melaksanakan hasil sosialisasi. 9. Pelaksanaan kegiatan melalui pelaku pembangunan perumahan.

1678

10. Bantuan teknis penyelenggaraan perumahan (basis kawasan, lembaga pendampingan, kelompok masyarakat). 11. Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN, BUMD, Koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang tingkat nasional.

10. Koordinasi pelaksanaan bantuan teknis penyelenggaraan perumahan. 11. Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang di provinsi.

10. Penyelenggaraan perumahan sesuai teknik pembangunan. 11. Pembinaan dan kerjasama dengan badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN,BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang di kabupaten/kota.

1679

12. Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak regional. 13. Perumusan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional. 14. Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan secara nasional. 15. Pengalokasian pendanaan pembangunan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) dan Rumah Susun Milik (Rusunami) sebagai stimulan di perkotaan,

12. Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak lintas kabupaten/kota. 13. Perumusan RPJP dan RPJM provinsi. 14. Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan skala provinsi. 15. Pelaksanaan pembangunan Rusunawa dan Rusunami sebagai stimulan di perkotaan, perbatasan internasional, pusat kegiatan

12. Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak lokal. 13. Perumusan RPJP dan RPJM kabupaten/kota. 14. Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan skala kabupaten/kota. 15. Pembangunan Rusunawa dan Rusunami lengkap dengan penyediaan tanah, PSU dan melakukan pengelolaan dan pemeliharaan diperkotaan, perbatasan internasional,

1680

perbatasan internasional, pusat kegiatan perdagangan/produksi. 16. Pengalokasian pendanaan pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, rumah susun (Rusun) dan rumah khusus (Rusus). 17. Pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba.

perdagangan/produksi dan fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota. 16. Pelaksanaan pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, Rusun, Rusus dan fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota. 17. Pelaksanaan pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba serta fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota.

pusat kegiatan, perdagangan/produksi. 16. Pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, Rusun dan Rusus dengan melaksanakan pengelolaan dan pemeliharaan. 17. Pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba serta fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota, penyediaan tanah, PSU umum.

18. Pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta penyiapan depo pada daerah rawan bencana.

18. Pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta pengelolaan depo dan pendistribusiannya.

18. Pelaksanaan pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta pengelolaan depo dan pendistribusian logistik penyediaan lahan, pengaturan, pemanfaatan seluruh bantuan.

2. Perbaikan

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan perumahan. 2. Perumusan Standar, Prosedur dan Operasi (SPO) baku penanganan pengungsi akibat bencana nasional (alam maupun konflik sosial).

1. Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan dan pengembangan perumahan skala provinsi. 2. Perumusan SPO baku penanganan pengungsi akibat bencana skala provinsi.

1. Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan dan pengembangan perumahan skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan SPO baku penanganan pengungsi akibat bencana skala kabupaten/kota.

1681

3. Perumusan kebijakan Public Service Obligation (PSO) perumahan. 4. Penyusunan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, khususnya di perbatasan internasional. 5. Penyusunan dan penyelenggaraan skema bantuan perumahan tidak susun, susun, khusus dan PSU. 6. Penyusunan pedoman pengendalian harga sewa rumah (tidak susun, susun khusus).

3. 4. Penyusunan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, khususnya di perbatasan antar kabupaten/kota. 5. Koordinasi penetapan sasaran penerima bantuan perumahan dan pengawasannya. 6. Koordinasi pengendalian penetapan harga sewa rumah.

3. 4. Pelaksanaan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, di kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan dan atau penerima bantuan perumahan. 6. Penetapan harga sewa rumah.

7. Fasilitasi pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi.

7. Koordinasi usulan pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi lintas kabupaten/kota.

7. Pelaksanaan pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi lintas kawasan sekabupaten/kota.

1682

3. Pemanfaatan

1. Penyelenggaraan bantuan pembangunan dan kelembagaan perumahan melalui format anggaran khusus (dana dekonsenterasi, dana tugas pembantuan dan dana alokasi khusus). 2. Penyelenggaraan bantuan investasi rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulaupulau kecil.

1. Koordinasi usulan penerima bantuan pembangunan dan kelembagaan perumahan di provinsi serta penyelenggaraan perumahan dengan dana dekonsentrasi. 2. Koordinasi penetapan penerima bantuan investasi rumah susun untuk MBR dan rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulaupulau kecil.

1. Pelaksanaan bantuan pembangunan dan kelembagaan serta penyelenggaraan perumahan dengan dana tugas pembantuan. 2. Pelaksanaan pembangunan rumah susun untuk MBR dan rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil.

3. Penyelenggaraan bantuan pembangunan PSU. 4. Fasilitasi pembentukan kelembagaan perumahan skala nasional. 5. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan perumahan. 6. Penyusunan SPM pembangunan, penghunian dan pengelolaan perumahan nasional (Rumah Tidak Susun, Rusun, dan Rusus).

3. Koordinasi penetapan penerima bantuan PSU. 4. Fasilitasi pembentukan kelembagaan perumahan skala provinsi. 5. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan perumahan di provinsi. 6. Koordinasi penyusunan pedoman pembangunan, penghunian dan pengelolaan perumahan lintas kabupaten/kota.

3. Pengelolaan PSU bantuan pusat. 4. Pembentukan kelembagaan perumahan kabupaten/kota. 5. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan perumahan. 6. Penyusunan pedoman dan manual penghunian, dan pengelolaan perumahan setempat dengan acuan umum SPM nasional.

1683

7. Monitoring dan evaluasi terhadap penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi.

7. Pengawasan langsung terhadap penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi ke kabupaten/kota.

7. Pengawasan dan pengendalian pengelolaan rusun dan rusus.

3. Pembinaan Pe rumahan Swadaya

1. Pembangunan Baru

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional tentang perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.

1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi tentang perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota tentang perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

1684

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1685

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

1686

2. Pemugaran

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas

1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku

1687

pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi Kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat provinsi. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat kabupaten/kota. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

1688

3. Perbaikan

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.

1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1689

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

4. Perluasan

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.

1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat provinsi.

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat kabupaten/kota.

1690

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1691

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

5. Pemeliharaan

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.

1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

1692

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1693

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pemanfaatan

1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.

1. Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.

1. Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 2. Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya. 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.

1694

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 5. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

1695

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. 8. Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.

4. Pengembangan Kawasan

1. Sistem Pengembangan Kawasan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam pengembangan kawasan. 2. Penyusunan Rencana Nasional dalam Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4Nasional). 3. Pembinaan teknis penyusunan RP4D. 4. Fasilitasi dan bantuan teknis penyusunan RP4D.

1. Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam pengembangan kawasan. 2. Penyusunan Rencana Provinsi dalam Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D-Provinsi). 3. Pembinaan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya. 4. Fasilitasi dan bantuan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya.

1. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam pengembangan kawasan. 2. Penyusunan Rencana Kabupaten/Kota dalam Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4DKabupaten/Kota). 3. Pembinaan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya. 4. Penyusunan RP4D di wilayahnya.

1696

5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan dan RP4D. 6. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam pengembangan kawasan dan penyusunan RP4D.

5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D skala provinsi. 6. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di wilayahnya.

5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di skala kabupaten/kota. 6. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di wilayahnya.

2. Kawasan Skala Besar

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.

1. Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.

1. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.

1697

2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar. 3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.

2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. 3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.

2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. 3. Pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.

5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.

5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.

5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.

1698

3. Kawasan Khusus

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.

1. Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala khusus di wilayahnya.

1. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.

3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus. 5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.

3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. 5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.

3. Pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. 5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.

1699

4. Keterpaduan Prasarana Kawasan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan. 3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.

1. Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya. 3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.

1. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya. 3. Pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.

5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.

5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.

5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.

1700

5. Keserasian Kawasan

1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.

1. Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.

1. Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang. 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.

3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang. 5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.

3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. 5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.

3. Pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. 5. Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.

1701

5. Pembinaan Hukum, Pe raturan Pe rundangundangan dan Pe rtanahan untuk Pe rumahan

1. Pembangunan Baru

1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

1. Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait di bidang perumahan. 3. Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

1. Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan. 3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

1702

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.

1703

8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota. 10. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

1704

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota.

1705

2. Pemugaran

1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

1. Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait di bidang perumahan. 3. Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

1. Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan. 3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

1706

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penangangan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat Kabupaten/kota.

1707

8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di Kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota. 10. Pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

1708

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota.

1709

3. Perbaikan

1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

1. Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait di bidang perumahan. 3. Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

1. Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan. 3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

1710

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.

1711

8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Koordinasi dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang Pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota. 10. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

1712

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota.

1713

4. Perluasan

1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

1. Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait di bidang perumahan. 3. Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

1. Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan. 3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

1714

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di Provinsi. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.

1715

8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota. 10. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

1716

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota.

1717

5. Pemeliharaan

1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

1. Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait di bidang perumahan. 3. Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

1. Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan. 3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

1718

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penangangan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.

1719

8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota. 10. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

1720

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota.

1721

6. Pemanfaatan

1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 3. Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.

1. Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat provinsi. 2. Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundangundangan terkait di bidang perumahan. 3. Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.

1. Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan. 3. Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota.

1722

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. 5. Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 6. Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 6. Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota. 7. Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.

1723

8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan. 9. Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota. 9. Koordinasi pelaksanaan kebijakan Provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota. 10. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

8. Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota. 10. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.

1724

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.

11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 12. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. 13. Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota.

6. Pembinaan Teknologi dan Industri

1. Pembangunan Baru

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1725

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

2. Pemugaran

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1726

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Perbaikan

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1727

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

4. Pemeliharaan

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1728

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

5. Pemanfaatan

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

1729

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. 4. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.

7. Pengembangan Pe laku Pe mbangunan Pe rumahan, Pe ranserta Masyarakat dan Sosial Budaya

1. Pembangunan Baru

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1730

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.

4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

2. Pemugaran

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan . 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1731

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.

4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

3. Perbaikan

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1732

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.

4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

4. Perluasan

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1733

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.

4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

5. Pemeliharaan

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1734

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.

4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

6. Pemanfaatan

1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1. Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 3. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.

1735

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.

4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.

4. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. 5. Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan. 6. Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota.

1736

4. Bidang Penataan Ruang


SUB BIDANG 1. Pengaturan SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Penetapan peraturan perundangundangan bidang penataan ruang 2. Penetapan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) bidang penataan ruang. 3. Penetapan penataan ruang perairan di luar 12 (dua belas) mil dari garis pantai. 4. Penetapan kriteria penentuan dan kriteria perubahan fungsi ruang suatu kawasan yang berskala besar dan berdampak penting dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan peraturan daerah bidang penataan ruang tingkat provinsi 2. Penetapan pedoman pelaksanaan NSPK bidang penataan ruang. 3. Penetapan penataan ruang perairan di luar 4 (empat) mil sampai 12 (dua belas) mil dari garis pantai. 4. Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan lintas kabupaten/kota dalam rangka penyusunan tata ruang khususnya untuk menjaga keseimbangan ekosistem, sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh pemerintah. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan peraturan daerah bidang penataan ruang di tingkat kabupaten/kota 2. 3. Penetapan penataan ruang perairan sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai. 4. Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan wilayah dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

5. Penetapan kawasan strategis nasional. 6. Penetapan kawasan-kawasan andalan. 7. Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang penataan ruang.

5. Penetapan kawasan strategis provinsi. 6. Pemberian arahan pengelolaan kawasan andalan sebagai bagian RTRWP. 7.

5. Penetapan kawasan strategis kabupaten/kota 6. 7.

1737

2. Pembinaan

1. Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang pada semua tingkatan wilayah. 2. Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang. 3. Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.

1. Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang wilayah kabupaten/kota. 2. Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang. 3. Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.

1. 2. Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang. 3. Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.

4. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang terhadap pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. 5. Pendidikan dan pelatihan. 6. Penelitian dan pengembangan. 7. Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang nasional. 8. Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat. 9. Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat. 10. Koordinasi dan fasilitasi penataan ruang lintas provinsi.

4. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang terhadap kabupaten/kota. 5. Pendidikan dan pelatihan. 6. Penelitian dan pengembangan. 7. Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang provinsi. 8. Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat. 9. Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat. 10. Koordinasi dan fasilitasi penataan ruang lintas kabupaten/kota.

4. 5. Pendidikan dan pelatihan. 6. Penelitian dan pengembangan. 7. Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang kabupaten/kota. 8. Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat. 9. Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat. 10.

11. Pembinaan penataan ruang untuk lintas provinsi.

11. Pembinaan penataan ruang untuk lintas kabupaten/kota.

11.

1738

3. Pembangunan

a. Perencanaan Tata Ruang 1. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). 2. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional. 3. Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWN b. Pemanfaatan Ruang 1. Penyusunan program dan anggaran nasional di bidang penataan ruang, serta fasilitasi dan koordinasi antar provinsi.

1. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). 2. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi. 3. Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWP. 1. Penyusunan program dan anggaran provinsi di bidang penataan ruang , serta fasilitasi dan koordinasi antar kabupaten/kota.

1. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). 2. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten/kota. 3. Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWK. 1. Penyusunan program dan anggaran kabupaten/kota di bidang penataan ruang.

2. Pemanfaatan kawasan strategis nasional. 3. 4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWN 5. Pemanfaatan investasi di kawasan andalan dan kawasan strategis nasional serta kawasan lintas provinsi bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha. 6. Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.

2. Pemanfaatan kawasan strategis provinsi. 3. 4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWP. 5. Pemanfaatan investasi di kawasan strategis provinsi dan kawasan lintas kabupaten/kota bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha. 6. Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.

2. Pemanfaatan kawasan strategis kabupaten/kota. 3. Pemanfaatan NSPK bidang penataan ruang. 4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWK. 5. Pemanfaatan investasi di kawasan strategis kabupaten/kota dan kawasan lintas kabupaten/kota bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha. 6. Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.

1739

7. Penyusunan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan udara, neraca penatagunaan sumberdaya alam lainnya. 8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWN dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional. 9. Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional.

7. 8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWP dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi. 9. Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis provinsi.

7. 8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWK dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten/kota. 9. Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota.

10. Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional. c. Pengendalian Pemanfaatan Ruang. 1. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional termasuk lintas provinsi. 2. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional. 3. Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang nasional.

10. Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis provinsi. 1. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi termasuk lintas lintas kabupaten/kota. 2. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi. 3. Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang provinsi.

10. Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota. 1. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota. 2. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota. 3. Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang kabupaten/kota.

1740

4. Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWN. 5. Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWN. 6. Pengambilalihan kewenangan pemerintah provinsi dalam hal pemerintah provinsi tidak dapat memenuhi SPM di bidang penataan ruang. 7. Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat provinsi.

4. Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWP. 5. Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWP. 6. Pengambilalihan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam hal pemerintah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi SPM di bidang penataan ruang. 7. Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat kabupaten/kota.

4. Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWK. 5. Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWK. 6. 7.

8. Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antara provinsi dengan kabupaten/kota. 9.

8. Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antar kabupaten/kota. 9. Pembentukan lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat provinsi.

8. 9. Pembentukan lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat kabupaten/kota.

4. Pengawasan

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah nasional. 2. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi. 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota.

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi. 2. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah . 3.

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota. 2. 3.

1741

5. Bidang Perencanaan Pembangunan


NSPK SUB BIDANG 1. Perencanaan dan Pengendalian Pe mbangunan Daerah SUB SUB BIDANG 1. Perumusan Kebijakan PEMERINTAH 1.a. Penetapan pedoman dan standar perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah. b. c. 2. Penetapan pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM). PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah pada skala provinsi. b.Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah provinsi. c. 2. Pelaksanaan SPM provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah pada skala kabupaten/kota. b.Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. c. Penetapan pedoman dan standar perencanaan pembangunan daerah kecamatan/desa. 2. Pelaksanaan SPM kabupaten/kota. JUMLAH NSPK YA TIDAK

1742

3. Penetapan pedoman dan standar pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri. 4. Penetapan pedoman dan standar pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala nasional. 5.a. Penetapan pedoman dan standar pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional. b.

3. Pelaksanaan kerjasama antara provinsi dengan swasta mengacu pada pedoman yang ditetapkan Pemerintah. 4. Pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala provinsi. 5.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi. b.Pelaksanaan/penjabaran petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.

3. Pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri. 4. Pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala kabupaten/kota. 5.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota. b.Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.

1743

6.a. Penetapan pedoman dan standar keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala nasional. b. 7. Penetapan pedoman dan standar manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional. 8.a. Penetapan pedoman dan standar pelayanan perkotaan.

6.a. Penetapan pedoman dan standar keserasian pengembangan perkotaan dan pedesaan skala provinsi. b.Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala provinsi. 7. Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi. 8.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala provinsi.

6.a. Penetapan keserasian pengambangan perkotaan dan perdesaan skala kabupaten/ kota. b.Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala kabupaten/kota. 7. Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota. 8.a. Pelaksanaan pedoman dan standar pelayanan perkotaan skala kabupaten/kota.

1744

b. 9.a. Penetapan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala nasional. b. 10. Penetapan pedoman dan standar pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.

b.Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala provinsi. 9.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan skala provinsi. b.Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala provinsi. 10. Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala provinsi.

b.Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala kabupaten/ kota. 9.a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan skala kabupaten/kota. b.Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala kabupaten/kota. 10. Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota.

11. Penetapan pedoman dan standar pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.

11. Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.

11. Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/ kota.

1745

2. Bimbingan, Konsultasi dan Koordinasi

1. Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala nasional. 2. Bimbingan, supervisi dan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala nasional. 3.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala nasional.

1. Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala provinsi. 2. Konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala provinsi. 3.a. Konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala provinsi.

1. Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota. 3.a. Kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota.

1746

b. 4.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional. b. 5.a. Bimbingan supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan skala nasional.

b. 4.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi. b. 5.a. Konsultasi pelayanan perkotaan skala provinsi.

b.Bimbingan, supervisi dan konsultasi kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota. 4.a. Konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota. b.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan di daerah kecamatan/desa. 5.a. Konsultasi pelayanan perkotaan skala kabupaten/ kota.

b. 6.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala nasional. b. 7. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.

b. 6.a. Pelaksanaan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala provinsi. b. 7. Pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau- pulau kecil skala provinsi.

b.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan di kecamatan/ desa. 6.a. Konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala kabupaten/ kota. b.Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan di kecamatan/ desa. 7. Pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau- pulau kecil skala kabupaten/ kota.

1747

8.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional. b. 9.a. Bimbingan, supervisi dan konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional. b.

8.a. Konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi. b. 9.a. Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi. b.

8.a. Konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/kota. b.Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan di kecamatan/desa. 9.a. Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/ kota. b.Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan di kecamatan/desa.

3. Monitoring dan Evaluasi (Monev)

1.a. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala nasional. b. c. 2. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala nasional.

1.a. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala provinsi. b. c. 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri skala provinsi.

1.a. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala kabupaten/kota. b.Penetapan petunjuk teknis pembangunan skala kecamatan/desa. c. Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah kecamatan/desa. 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/ kota.

1748

3. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional. 5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.

3. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala provinsi. 5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.

3. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota. 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/ kota.

6. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala nasional. 7. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional.

6. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala provinsi. 7. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.

6. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala kabupaten/ kota. 7. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota.

1749

6. Bidang Perhubungan
NSPK SUB B IDANG 1. Perhubungan Darat SUB SUB BIDANG 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) PEMERINTAH 1. Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan. 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan nasional. 3. Pedoman tata cara penyusunan dan penetapan kelas jalan. 4. Pedoman persyaratan penentuan lokasi, rancang bangun, dan penyelenggaraan terminal penumpang. 5. Pedoman tata cara penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan provinsi. 3. 4. 5. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan kabupaten/kota. 3. 4. 5. JUMLAH NSPK YA TIDAK

6. Penetapan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan. 7. Pedoman penetapan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan tidak bermotor. 8. Pedoman tata cara pelaksanaan pengujian tipe kendaraan bermotor. 9. Pedoman tata cara penerbitan dan pencabutan sertifikat kompetensi penguji kendaraan bermotor. 10. Pedoman persyaratan dan kriteria teknis unit pengujian berkala kendaraan bermotor.

6. 7. 8. 9. 10.

6. 7. 8. 9. 10.

1750

11. Pedoman tata cara pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor. 12. Pedoman tata cara pelaksanaan kalibrasi peralatan uji kendaraan bermotor. 13. Pedoman tata cara pelaksanaan pemeriksaaan kendaraan bermotor di jalan. 14. Pedoman dan tata cara pelaksanaan pemeriksaan kendaraan bermotor (STNK dan BPKB). 15. Pedoman persyaratan teknis dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum kendaraan bermotor.

11. 12. 13. 14. 15.

11. 12. 13. 14. 15.

16. Pedoman penyelenggaraan angkutan penumpang dengan kendaraan umum. 17. Pedoman penyelenggaraan angkutan barang. 18. Pedoman penyelenggaraan angkutan barang berbahaya, alat berat dan peti kemas serta angkutan barang khusus. 19. Pedoman perhitungan tarif angkutan penumpang. 20. Pedoman persyaratan teknis, rancang bangun, dan tata cara pengoperasian serta kalibrasi alat penimbangan kendaraan bermotor.

16. 17. 18. 19. 20.

16. 17. 18. 19. 20.

1751

21. Pedoman persyaratan teknis, tata cara, penentuan lokasi, rancang bangun, dan pengoperasian fasilitas parkir untuk umum. 22. Pedoman analisis dampak lalu lintas. 23. Pedoman tata cara penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas. 24. 25. Pedoman penyidikan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan oleh PPNS.

21. 22. 23 24. Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan nasional dan jalan provinsi. 25.

21 Pemberian izin penyelenggaraan dan pembangunan fasilitas parkir untuk umum. 22. 23. 24. Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan kabupaten/kota. 25.

26. Pedoman penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi. 27. Pedoman penyelenggaraan dan tata cara memperoleh dan pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM). 28. Pedoman tata cara dan persyaratan penerbitan serta pencabutan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu. 29. Pedoman pengumpulan, pengolahan dan analisis kecelakaan lalu lintas. 30. Pedoman penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas.

26 27. 28. 29. 30.

26. Pengawasan penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi. 27. 28. 29. 30.

1752

31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe A. 32. Penetapan norma, standar, kriteria, dan pengesahan rancang bangun terminal penumpang Tipe A. 33.Persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe A. 34.Penetapan norma, standar, kriteria rancang bangun terminal angkutan barang. 35. 36.

31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe B. 32. Pengesahaan rancang bangun terminal penumpang Tipe B. 33. Persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe B. 34. 35. 36.

31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe C. 32. Pengesahaan rancang bangun terminal penumpang Tipe C. 33. Pembangunan pengoperasian terminal penumpang Tipe A, Tipe B, dan Tipe C. 34. 35. Pembangunan terminal angkutan barang. 36. Pengoperasian terminal angkutan barang.

37.Pelaksanaan uji tipe dan penerbitan sertifikat uji tipe kendaraan bermotor. 38.Registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor, serta penerbitan dan pencabutan sertifikat registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor yang tipenya sudah mendapatkan sertifikat uji tipe. 39.Penelitian dan pengesahan rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor untuk karoseri, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan bermotor yang dimodifikasi berupa perubahan sumbu dan jarak sumbu.

37. 38. 39.

37. 38. 39.

1753

40.Meregistrasi kendaraan bermotor dan menerbitkan sertifikat registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor yang dibuat berdasarkan rancang bangun yang sudah disahkan. 41.Penerbitan dan pencabutan sertifikat kompetensi penguji dan tanda kualifikasi teknis tenaga penguji. 42.Pembangunan fasilitas dan peralatan uji tipe. 43.Akreditasi unit pengujian berkala kendaraan bermotor. 44.Penerbitan sertifikat tanda lulus uji tipe. 45.Pelaksanaan kalibrasi peralatan uji kendaraan bermotor.

40. 41. 42. 43. 44. 45.

40. 41. 42. 43. 44. 45.

46.Akreditasi unit pelaksana pendaftaran kendaraan bermotor. 47.Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk angkutan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah provinsi atau lintas batas negara. 48.Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan nasional. 49.Pemberian izin trayek angkutan lintas batas negara dan antar kota antar provinsi. 50.Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan nasional.

46. 47. Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk angkutan yang wilayah pelayanannya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi. 48.Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan provinsi. 49. Pemberian izin trayek angkutan antar kota dalam provinsi. 50.Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan provinsi.

46. 47. Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk kebutuhan angkutan yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten/kota. 48. Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan kabupaten/kota. 49. Pemberian izin trayek angkutan perdesaan/angkutan kota. 50. Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan kabupaten/kota.

1754

51.Pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah provinsi. 52.Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang melayani lebih dari satu wilayah provinsi. 53.Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya lebih dari satu provinsi.

51.Pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi. 52.Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang wilayah pelayanannya melebihi kebutuhan kabupaten/kota dalam satu provinsi. 53. Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.

51. 52. Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten/kota. 53. Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani wilayah kabupaten/kota.

54.Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian izin operasi angkutan sewa. 55.Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian izin operasi angkutan pariwisata. 56.Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin usaha angkutan barang. 57.Pemberian persetujuan pengangkutan barang berbahaya, beracun dan alat berat. 58.Penetapan tarif dasar penumpang kelas ekonomi antar kota antar provinsi.

54. Pemberian izin operasi angkutan sewa. 55. Pemberian rekomendasi izin operasi angkutan pariwisata. 56. 57. 58. Penetapan tarif penumpang kelas ekonomi antar kota dalam provinsi.

54. Pemberian rekomendasi operasi angkutan sewa. 55. Pemberian izin usaha angkutan pariwisata. 56. Pemberian izin usaha angkutan barang. 57. 58. Penetapan tarif penumpang kelas ekonomi angkutan dalam kabupaten/kota.

1755

59.Penetapan persyaratan teknis dan tata cara penempatan, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendalian dan pengaman pemakai jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan serta fasilitas pendukung di jalan. 60.Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan nasional.

59. 60. Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan provinsi.

59. 60. Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan kabupaten/kota.

61.Penetapan lokasi alat pengawasan dan pengamanan jalan. 62.Akreditasi unit penimbangan kendaraan bermotor. 63.Sertifikasi petugas unit penimbangan kendaraan bermotor. 64.Kalibrasi alat penimbangan kendaraan bermotor. 65.Pengawasan terhadap pengoperasian unit penimbangan kendaraan bermotor. 66.Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan nasional.

61. 62. 63. 64. 65. Pengoperasian dan pemeliharaan unit penimbangan kendaraan bermotor. 66. Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan provinsi.

61. 62. 63. 64. 65. 66. Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan kabupaten/kota.

1756

67.Penyelenggaraan analisis dampak lalu lintas (andalalin) di jalan nasional. 68.Sertifikasi kompentensi penilai andalalin. 69.Penetapan persyaratan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang LLAJ. 70.Pengusulan pengangkatan dan pemberhentian PPNS bidang LLAJ. 71.Pengawasan pelaksanaan penyidikan bidang LLAJ. 72.Penetapan kualifikasi tenaga instruktur sekolah mengemudi. 73.Akreditasi pendidikan dan latihan mengemudi.

67. Penyelenggaraan andalalin di jalan provinsi. 68. 69. 70. 71. 72. 73.

67. Penyelenggaraan andalalin di jalan kabupaten/kota. 68. 69. 70. 71. 72. 73.

74.Penetapan kualifikasi pengemudi. 75.Akreditasi unit pelaksana penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM). 76.Penyelenggaraan pemberian SIM dan pendaftaran kendaraan bermotor. 77.Penyelenggaraan pemberian SIM internasional. 78.Akreditasi unit pelaksana penerbitan sertifikat kompetensi pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu. 79.Sertifikasi pengemudi angkutan penumpang umum.

74. 75. 76. 77. 78. 79.

74. 75. 76. 77. 78. 79.

1757

80.Sertifikasi pengemudi dan pembantu pengemudi kendaraan pengangkut barang berbahaya dan beracun serta barang khusus. 81.Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan nasional dan jalan tol. 82.Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu nasional. 83.Pedoman persyaratan tenaga auditor keselamatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

80. 81. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan provinsi. 82. Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu provinsi. 83.

80. 81. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan kabupaten/kota. 82. Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu kabupaten/kota. 83.

84.Pedoman persyaratan tenaga investigator kecelakaan lalu lintas nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. 85.Penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga auditor keselamatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. 86.Penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga investigator kecelakaan lalu lintas jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. 87.Penerbitan sertifikat registrasi uji tipe untuk rancang bangun kendaraan bermotor. 88.Pemeriksaan mutu rancang bangun kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan.

84. 85. 86. 87. 88.

84. 85. 86. 87. 88.

1758

89.Pengesahan modifikasi kendaraan bermotor dengan tidak mengubah tipe. 90.Penelitian dan penilaian kesesuaian fisik kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan dengan Surat Keputusan (SK) rancang bangun kendaraan bermotor yang diterbitkan oleh pemerintah. 91.Penerbitan surat keterangan bebas uji berkala pertama kali. 92.Pengawasan pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor. 93.Penilaian kinerja tenaga penguji berkala kendaraan bermotor.

89. 90. 91. 92. 93.

89. 90. 91. 92. Pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor. 93.

94.Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya. 95. 96. 97.Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan nasional kecuali jalan tol. 98.Pelaksanaan penyidikan pelanggaran ketentuan pidana Undang-undang tentang LLAJ.

94. Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya. 95. Pemberian izin operasi angkutan sewa berdasarkan kuota yang ditetapkan pemerintah. 96. Pengoperasian alat penimbang kendaraan bermotor di jalan. 97. Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan provinsi. 98. Pelaksanaan penyidikan pelanggaran: a. Perda provinsi bidang LLAJ.

94. Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya. 95. 96. 97. Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan kabupaten/kota. 98. Pelaksanaan penyidikan pelanggaran: a. Perda kabupaten/kota bidang LLAJ.

1759

99.Pengawasan pemberian SIM, pendaftaran kendaraan bermotor, dan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu. 100. Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas tingkat nasional. 101.

b. Pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan. c. Pelanggaran ketentuan pengujian berkala. d. Perizinan angkutan umum. 99. 100. Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di wilayah provinsi. 101.

b. Pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan. c. Pelanggaran ketentuan pengujian berkala. d. Perizinan angkutan umum. 99. 100. Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di wilayah kabupaten/kota. 101. Pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.

102. 103. 104. 105. 106. 107.

102. 103. 104. 105. 106. 107.

102. Pemberian izin usaha bengkel umum kendaraan bemotor. 103. Pemberian izin trayek angkutan kota yang wilayah pelayanannya dalam satu wilayah kabupaten/kota. 104. Penentuan lokasi fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota. 105. Penentuan lokasi fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota. 106. Pengoperasian fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota. 107. Pemberian izin usaha mendirikan pendidikan dan latihan mengemudi.

1760

2. Lalu Lintas Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (LLASDP)

1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau antar provinsi. 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional, dan antar negara, serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara. 3. Pedoman penetapan lintas penyeberangan. 4. Penetapan lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional, dan antar negara dan jaringan jalur kereta api dan antar negara.

1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau antar kabupaten/kota dalam provinsi. 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi. 3. 4. Penetapan lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.

1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau dalam kabupaten/kota. 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota. 3. 4. Penetapan lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.

5. Pedoman rancang bangun kapal Sungai, Danau, dan Penyeberangan (SDP). 6. Pengadaan kapal SDP. 7. Pedoman registrasi kapal sungai dan danau. 8. Pedoman pengoperasian kapal SDP. 9. Pedoman persyaratan pelayanan kapal SDP. 10. Pedoman pemeliharaan/ perawatan kapal SDP.

5. 6. Pengadaan kapal SDP. 7. 8. 9. 10.

5. 6. Pengadaan kapal SDP. 7. 8. 9. 10.

1761

11. Pedoman tata cara pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau. 12. Pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau 7 GT. 13. Pedoman penyelenggaraan pelabuhan SDP. 14. Pedoman penetapan lokasi pelabuhan SDP.

11. 12. Pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau < 7 GT. 13. 14.

11. 12. 13. 14.

15. Penetapan lokasi pelabuhan penyeberangan. 16. 17. Pedoman pembangunan pelabuhan SDP. 18. Pembangunan pelabuhan SDP. 19. Penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan. 20. Pengawasan penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara. 21.

15. Rekomendasi lokasi pelabuhan penyeberangan. 16. 17. 18. Pembangunan pelabuhan SDP. 19. 20. 21.

15.Rekomendasi lokasi pelabuhan penyeberangan. 16.Penetapan lokasi pelabuhan sungai dan danau. 17. 18.Pembangunan pelabuhan SDP. 19.Penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan. 20. 21.Penyelenggaraan pelabuhan sungai dan danau.

1762

22. Pedoman penyusunan rencana induk, Daerah Lingkungan Kerja (DLKr)/Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan SDP. 23. 24. Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan Penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara. 25. Pedoman sertifikasi pelabuhan SDP.

22. 23. Pemberian rekomendasi rencana induk pelabuhan penyeberangan, DLKr/DLKp yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api. 24. Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi 25.

22. 23. Pemberian rekomendasi rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi, nasional dan antar negara. 24. Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan SDP yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota. 25.

26. Penetapan sertifikasi pelabuhan SDP. 27. Pedoman pemeliharaan/ perawatan pelabuhan SDP. 28. Pedoman penetapan kelas alur pelayaran sungai dan danau. 29. 30. Pedoman tata cara berlalu lintas di sungai dan danau. 31. Pedoman perambuan sungai, danau dan penyeberangan. 32. Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan.

26. 27. 28. 29. Penetapan kelas alur pelayaran sungai. 30. 31. 32. Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan.

26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan

1763

33. 34. Pemetaan alur sungai untuk kebutuhan transportasi. 35. Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau. 36. 37. Pedoman penyelenggaraan angkutan SDP. 38. Pedoman tarif angkutan SDP.

33. 34. Pemetaan alur sungai lintas kabupaten/kota dalam provinsi untuk kebutuhan transportasi. 35. Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau. 36. Izin pembangunan prasarana yang melintasi alur sungai dan danau. 37. 38.

33. Izin pembuatan tempat penimbunan kayu (logpon), jaring terapung dan kerambah di sungai dan danau. 34. Pemetaan alur sungai kabupaten/kota untuk kebutuhan transportasi. 35. Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau kabupaten/kota. 36. 37. 38.

39. Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara, serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara. 40. Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi pada lintas antar provinsi dan antar negara. 41. Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP pada jaringan jalan nasional dan antar negara. 42. Pedoman tarif jasa kepelabuhanan SDP.

39. Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi. 40. Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi antar kabupaten/kota dalam provinsi. 41. Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi. 42.

39. Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota. 40. Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi dalam kabupaten/kota. 41. Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota. 42.

1764

43. Penetapan tarif jasa pelabuhan SDP yang tidak diusahakan yang dikelola pemerintah. 44. Pedoman/persyaratan pelayanan angkutan SDP. 45. Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan pada jaringan jalan nasional dan antar negara. 46. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau. 47. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan pada lintas antar provinsi dan antar negara.

43. 44. 45. Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi pada jaringan jalan provinsi. 46. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau. 47. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi pada jaringan jalan provinsi.

43. Penetapan tarif jasa pelabuhan SDP yang tidak diusahakan yang dikelola kabupaten/kota. 44. 45. Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota pada jaringan jalan kabupaten/kota 46. Pengawasan pengoperasian penyelenggaran angkutan sungai dan danau. 47. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan dalam kabupaten/kota pada jaringan jalan kabupaten/kota.

48. Pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui angkutan SDP. 2. Pe rkeretaapian 1. Penetapan rencana induk perkeretaapian nasional. 2. Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi : a. Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional dan perkeretaapian lokal yang jaringannya melebihi satu provinsi;

48. Pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui angkutan SDP. 1. Penetapan rencana induk perkeretaapian provinsi; 2. Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi meliputi: a. Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian provinsi dan perkeretaapian kabupaten /kota yang jaringannya melebihi wilayah kabupaten /kota;

48.

1. Penetapan rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota. 2. Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota meliputi : a. Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota;

1765

b. Penetapan persyaratan, norma, pedoman, standar, kriteria dan prosedur penyelenggaraan perkeretaapian yang berlaku secara nasional; c. Pelaksanaan perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional; d. Penetapan kompetensi Pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang perkeretaapian, pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada pemerintah daerah dan masyarakat;dan e. Pengawasan terhadap

b. Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada kabupaten/kota, pengguna dan penyedia jasa; dan c. Pengawasan terhadap pelaksanaan perkeretaapian provinsi. d. e.

b. Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada pengguna dan penyedia jasa; dan c. Pengawasan terhadap pelaksanaan perkeretaapian kabupaten /kota. d. e.

pelaksanaan norma, persyaratan, pedoman,

standar, kriteria dan prosedur yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat dan pengawasan terhadap pelaksanaan perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional.
3. Penetapan persyaratan kelaikan operasi prasarana kereta api umum. 4. Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api. 5. Penetapan persyaratan perawatan prasarana kereta api. 6. Penetapan persyaratan kelaikan operasi sarana kereta api.

3. 4. Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api. 5. 6.

3. 4. Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api. 5. 6.

1766

7. Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu provinsi. 8. Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan melebihi satu provinsi. 9. Pengujian prasarana kereta api. 10. Penetapan akreditasi atau lembaga penguji berkala prasarana kereta api. 11. Pemberian sertifikat prasarana kereta api yang telah dinyatakan lulus uji pertama dan uji berkala.

7. Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu kabupaten/ kota dalam satu provinsi. 8. Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan melebihi satu wilayah kabupaten/kota dalam provinsi. 9. 10. 11.

7. Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam kabupaten/kota. 8. Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan dalam wilayah kabupaten /kota. 9. 10. 11.

12. Pemberian sertifikat tenaga tanda kecakapan pengoperasian prasarana kereta api. 13. Penetapan penunjukan badan hukum atau lembaga lain yang menyelenggarakan pendidikan dan/atau pelatihan tenaga pengoperasian prasarana kereta api. 14. Penetapan persyaratan dan kualifikasi tenaga perawatan prasarana kereta api. 15.

12. 13. 14. 15. Penutupan perlintasan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin dan tidak ada penanggungjawabnya, dilakukan oleh pemilik dan/atau Pemerintah Daerah.

12. 13. 14. 15. Penutupan perlintasan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin dan tidak ada penanggungjawabnya, dilakukan oleh pemilik dan/atau Pemerintah Daerah.

1767

7. Bidang Lingkungan Hidup


SUB BIDANG 1. Pengendalian Dampak Lingkungan SUB SUB BIDANG 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) PEMERINTAH 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah B3 yang antara lain mencakup: a. Penetapan Limbah B3 berdasarkan sumber spesifik, karakteristik, Lethal Dose Fifty (LD50), Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP), kronis, dan list (daftar). b. Penetapan status B3. c. Tempat penyimpanan sementara, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. a. b. c. PEMERINTAHAN DAERAH KAB UPATEN/KOTA 1. a. b. c. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

d. Notifikasi B3 dan limbah B3. e. Pengawasan pengelolaan limbah B3. f. Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala nasional. g. Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 skala nasional. 2. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3. 3. Menyelenggarakan registrasi B3. 4. Pengawasan pengelolaan (B3).

d. e. f. g. 2. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3 skala provinsi. 3. 4.

d. e. f. g. 2. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota. 3. 4.

1768

5. Memberikan rekomendasi pengangkutan limbah B3. 6. Izin pengumpulan limbah B3 skala nasional. 7. Izin pemanfaatan limbah B3. 8. Izin pengolahan limbah B3. 9. Izin operasi peralatan pengolahan limbah B3. 10.Izin operasi penimbunan limbah B3. 11.Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 skala nasional.

5. 6. Izin pengumpulan limbah B3 skala provinsi ( sumber limbah lintas kabupaten/kota) kecuali minyak pelumas/oli bekas. 7. 8. 9. 10. 11. Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 pada skala provinsi.

5. 6. Izin pengumpulan limbah B3 pada skala kabupaten/kota kecuali minyak pelumas/oli bekas. 7. 8. 9. 10. 11. Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 pada skala kabupaten/kota.

12. 13. 14. 15. 16.

12. Rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional. 13. Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala provinsi. 14. Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 skala provinsi. 15. 16.

12. 13. Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala kabupaten/kota. 14. Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 kabupaten/kota. 15. Izin lokasi pengolahan limbah B3. 16. Izin penyimpanan sementara limbah B3 di industri atau usaha suatu kegiatan.

1769

2. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

1. Pengaturan dan penetapan pedoman penerapan AMDAL dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/ UPL). 2. Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan: a. Strategis dan/atau menyangkut pertahanan keamanan negara. b. Berlokasi lebih dari satu wilayah provinsi. c. Berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain.

1. Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup di provinsi, sesuai dengan standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. 2. Pembinaan dan pengawasan terhadap penilaian AMDAL di kabupaten/kota. a. b. c.

1. Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup di kabupaten/ kota, sesuai dengan standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. 2. Pemberian rekomendasi UKL dan UPL. a. b. c.

1770

d. Berlokasi di wilayah laut di luar kewenangan daerah. e. Berlokasi di lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan penilaian AMDAL oleh provinsi dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam rangka uji petik. 4. Pembinaan terhadap pelaksanaan penilaian AMDAL dan pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh provinsi.

d. e. 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah provinsi dalam rangka uji petik. 4. Pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian rekomendasi UKL/UPL yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam wilayah Provinsi.

d. e. 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah kabupaten/kota. 4. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi seluruh jenis usaha dan/atau kegiatan di luar usaha dan/atau kegiatan

1771

5. Pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kabupaten/kota bagi usaha dan/atau yang wajib dilengkapi AMDAL yang menjadi urusan wajib pemerintah. 6. Pengaturan AMDAL, UKL dan UPL.

5. Pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kabupaten/kota bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dan UKL/UPL dalam wilayah provinsi. 6. Pembinaan terhadap pelaksanaan pemberian rekomendasi UKL/UPL yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam wilayah provinsi.

yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah kabupaten/kota. 5. 6.

3. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air

1. Pengelolaan kualitas air skala nasional dan/atau lintas batas negara. 2. Penetapan kelas air pada sumber air skala nasional dan/atau merupakan lintas batas wilayah negara. 3. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas air pada sumber air skala nasional dan/atau merupakan lintas batas negara. 4. Pengendalian pencemaran air pada sumber air skala nasional dan/atau lintas batas negara.

1. Koordinasi pengelolaan kualitas air skala provinsi. 2. Penetapan kelas air pada sumber air skala provinsi. 3. Koordinasi pemantauan kualitas air pada sumber air skala provinsi. 4. Penetapan pengendalian pencemaran air pada sumber air skala provinsi.

1. Pengelolaan kualitas air skala kabupaten/kota. 2. Penetapan kelas air pada sumber air skala kabupaten/kota. 3. Pemantauan kualitas air pada sumber air skala kabupaten/kota. 4. Pengendalian pencemaran air pada sumber air skala kabupaten/kota.

1772

5. Pengawasan pengendalian pencemaran air skala nasional. 6. Penetapan baku mutu air lebih ketat dan/atau penambahan parameter pada air skala nasional dan/atau lintas batas negara. 7. Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala nasional pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya.

5. Pengawasan pelaksanaan pengendalian pencemaran air skala provinsi. 6. Penetapan baku mutu air lebih ketat dan/atau penambahan parameter dari kriteria mutu air skala provinsi. 7. Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala provinsi pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya skala provinsi.

5. Pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air. 6. Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala kabupaten/kota pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya. 7. Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala kabupaten/kota.

1773

8. Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. 9. Pengaturan baku mutu air limbah untuk berbagai kegiatan. 10.Penetapan baku mutu dan peruntukan sungai lintas provinsi.

8. Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala provinsi. 9. Penetapan baku mutu air limbah untuk berbagai kegiatan sama atau lebih ketat dari pemerintah. 10.Pembinaan, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan pemberian izin pembuangan limbah cair lintas kabupaten/kota.

8. Perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air. 9. Perizinan pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah. 10.

4. Pengelolaan Kualitas Udara dan Pengendalian Pencemaran Udara.

1. Pengelolaan Kualitas Udara skala Nasional dan/atau lintas batas negara. 2. Penetapan baku mutu udara ambien nasional, kebisingan dan getaran lingkungan.

1. 2. Penetapan baku mutu udara ambien daerah lebih ketat atau sama dengan baku mutu udara ambien nasional.

1. 2. Pemantauan kualitas udara ambien, emisi sumber bergerak dan tidak bergerak skala kabupaten/kota.

1774

3. Penetapan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama. 4. Penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama skala nasional. 5. Penetapan Indeks Standar Pencemar Udara.

3. Penetapan status mutu udara ambien daerah. 4. Penetapan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama dan penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor lama skala provinsi. 5. Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara skala provinsi.

3. 4. Pengujian emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor lama secara berkala. 5.

1775

6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara lintas provinsi atau lintas batas negara atau skala global (asap kebakaran hutan, hujan asam dan gas rumah kaca) skala nasional. 7. Pengaturan pengelolaan kualitas udara dan pengendalian pencemaran udara skala nasional. 8. Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran

6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara skala provinsi. 7. Pembinaan dan pengawasan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama dan penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor lama skala provinsi. 8. Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara skala

6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara skala kabupaten/kota 7. 8. Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya

udara. 9. Penetapan standar pengelolaan kualitas udara dalam ruangan.

provinsi. 9. Pemantauan kualitas udara dalam ruangan.

pencemaran udara dari sumber bergerak dan tidak bergerak skala kabupaten/kota. 9. Pemantauan kualitas udara ambien dan dalam ruangan.

1776

5. Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Pesisir dan Laut

1. Penetapan baku mutu air laut skala nasional. 2. Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan pesisir dan laut skala nasional. 3. Pemberian izin dumping ke laut.

1. Penetapan baku mutu air laut skala provinsi. 2. Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan pesisir dan laut skala provinsi. 3. Penetapan lokasi dalam pengelolaan konservasi laut skala provinsi.

1. Pengaturan terhadap pencegahan pencemaran dan perusakan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota. 2. Pengaturan terhadap pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota. 3. Penetapan lokasi untuk pengelolaan konservasi laut.

4. Koordinasi dalam pengelolaan konservasi laut. 5. Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan oleh provinsi dan kabupaten/kota. 6. Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala nasional. 7. Pengaturan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan wilayah pesisir dan laut yang bersifat lintas provinsi atau lintas negara.

4. Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan oleh kabupaten/kota. 5. Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala provinsi. 6. Pengaturan pengendalian pencemaran dan kerusakan wilayah pesisir dan laut skala provinsi. 7. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah provinsi atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.

4. Pengawasan penaatan instrumen pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan skala kabupaten/kota. 5. Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota. 6. Pengaturan pelaksanaan terhadap monitoring kualitas lingkungan pesisir dan laut skala kabupaten/kota. 7. Penegakan hukum terhadap peraturan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan pesisir laut yang dikeluarkan oleh daerah kabupaten/kota atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah

1777

6. Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Tanah Akibat Kebakaran Hutan dan/atau Lahan

1. Penetapan kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan. 2. Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan. 3. Pengkoordinasian penanggulangan dampak dan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan skala nasional dan/atau lintas batas negara.

1. 2. Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup skala provinsi yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan. 3. Pengkoordinasian penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan skala provinsi.

1. 2. Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup skala kabupaten/kota yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan. 3. Penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan skala kabupaten/kota.

4. Pengawasan atas pelaksanaan pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala nasional. 5.

4. Pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala provinsi. 5. Pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang dampaknya skala provinsi.

4. Pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala kabupaten/kota. 5. Pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan skala kabupaten/kota.

1778

7. Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Tanah Untuk Kegiatan

1. Penetapan kriteria nasional baku kerusakan lahan dan/atau tanah nasional untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan

1. Penetapan kriteria provinsi baku kerusakan lahan dan/atau tanah provinsi untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan

1. Penetapan kriteria kabupaten/kota baku kerusakan lahan dan/atau tanah kabupaten/kota untuk

Produksi Biomassa

tanaman. 2. 3. Pengawasan atas pelaksanaan pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala nasional. 4. Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala nasional.

tanaman berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah nasional. 2. 3. Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah akibat kegiatan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak skala provinsi. 4. Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala provinsi.

kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah nasional. 2. Penetapan kondisi lahan dan/atau tanah. 3. Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah akibat kegiatan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak skala kabupaten/kota. 4. Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala kabupaten/kota.

8. Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Bencana

1. Penetapan pedoman mekanisme penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana. 2. 3.

1. Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana skala provinsi. 2. Penetapan kawasan yang beresiko rawan bencana. 3.

1. Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana skala kabupaten/kota. 2. Penetapan kawasan yang beresiko rawan bencana skala kabupaten/kota. 3. Penetapan kawasan yang beresiko menimbulkan bencana lingkungan skala kabupaten/kota.

1779

9. Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Standar Kompetensi Personil Bidang Lingkungan Hidup

1. Penetapan kebijakan, koordinasi penerapan, pembinaan dan pengawasan umum dalam SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup.

1. Pembinaan dan pengawasan penerapan SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup pada skala provinsi.

1. Pembinaan dan pengawasan penerapan SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup pada skala kabupaten/kota.

10. Pengembangan Perangkat

1. Penetapan kebijakan pengembangan instrumen

1. Penetapan peraturan daerah di bidang penerapan

1. Penetapan peraturan daerah di bidang

Ekonomi Lingkungan

ekonomi dan pedoman penerapannya dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. 2. Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. 3.

instrumen ekonomi yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. 2. Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. 3.

penerapan instrumen ekonomi untuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan kabupaten/kota. 2. Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan untuk daerah yang bersangkutan. 3. Penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.

11. Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan, Ekolabel,

1. Penetapan kebijakan, koordinasi penerapan, pembinaan dan pengawasan umum sistem manajemen lingkungan, ekolabel,

1. Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan yang

1. Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan

1780

Produksi Bersih, dan Teknologi Berwawasan Lingkungan

produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan yang mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan.

mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan pada skala provinsi.

teknologi berwawasan lingkungan yang mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan pada skala kabupaten/kota.

12. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat)

1. Penetapan kebijakan diklat di bidang lingkungan hidup. 2. Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup yang bersifat strategis. 3. Penetapan kurikulum/materi ajar di bidang lingkungan hidup yang berlaku secara nasional.

1. Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup sesuai permasalahan lingkungan hidup skala provinsi. 2. Penetapan kurikulum/materi ajar tambahan di bidang lingkungan hidup sesuai dengan karakteristik dan permasalahan provinsi. 3.

1. Evaluasi hasil pelaksanaan diklat di kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup sesuai permasalahan lingkungan hidup skala kabupaten/kota. 3.

13. Pelayanan Bidang Lingkungan Hidup

4. Penetapan pedoman penyelenggaraan diklat. 1. Penetapan standar pelayanan minimal di bidang pengendalian lingkungan hidup.

4.

4.

1. Penyelenggaraan pelayanan di bidang pengendalian lingkungan hidup skala provinsi. 1. Penyelenggaraan pelayanan di bidang pengendalian lingkungan hidup skala kabupaten/kota.

1781

14. Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Otonomi Daerah Bidang Lingkungan

1. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup. 2. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup. 3. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup.

1. 2. 3.

1. 2. 3.

15. Penegakan Hukum Lingkungan 16. Perjanjian Internasional di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan

1. Penegakan hukum lingkungan.

1. Penegakan hukum lingkungan skala provinsi. 1. Pelaksanaan dan pemantauan penaatan atas perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan skala provinsi. 2. Pemantauan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol skala provinsi.

1. Penegakan hukum lingkungan skala kabupaten/kota. 1. Pelaksanaan dan pemantauan penaatan atas perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan skala kabupaten/kota. 2. Pemantauan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol skala kabupaten/kota.

1. Pelaksanaan komitmen perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan yang meliputi pengesahan, pemantauan penaatan, serta dokumentasi dan diseminasi. 2. Pengawasan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol.

17. Perubahan Iklim dan Perlindungan Atmosfir

1. Penetapan kebijakan pengendalian dampak perubahan iklim.

1. Penetapan kebijakan pelaksanaan pengendalian dampak perubahan iklim skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan pelaksanaan pengendalian dampak perubahan iklim skala kabupaten/kota.

1782

2. Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan deposisi asam serta pemantauan. 3.

2. Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan pemantauan skala provinsi. 3. Pemantauan dampak deposisi asam skala provinsi.

2. Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan pemantauan skala kabupaten/kota. 3. Pemantauan dampak deposisi asam skala kabupaten/kota.

18. Laboratorium Lingkungan

1. Penetapan kebijakan di bidang laboratorium lingkungan. 2. Pembinaan dan pengawasan terhadap laboratorium lingkungan.

1. Penunjukan laboratorium lingkungan yang telah diakreditasi/direkomendasi untuk melakukan analisis lingkungan. 2. Pembinaan laboratorium lingkungan.

1. Penyediaan laboratorium lingkungan sesuai dengan kebutuhan daerah. 2.

2. Konservasi Sumber Daya Alam (SDA)

1. Keanekaragaman Hayati

1. Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional.

1. Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala provinsi.

1. Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.

1783

2. Penetapan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala nasional. 3. Penetapan kebijakan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala nasional. 4. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional.

2. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala provinsi. 3. Penetapan dan pelaksanaan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala provinsi. 4. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala provinsi.

2. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. 3. Penetapan dan pelaksanaan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. 4. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.

5. Pengaturan dan penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala nasional. 6. Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala nasional.

5. Penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala provinsi. 6. Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala provinsi.

5. Penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. 6. Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.

1784

8. Bidang Pertanahan
NSPK SUB BIDANG 1. Izin Lokasi SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria izin lokasi. 2.a. Pemberian izin lokasi lintas provinsi. b. c. d. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. 2.a. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan. b. Kompilasi bahan koordinasi. c. Pelaksanaan rapat koordinasi. d. Pelaksanaan peninjauan lokasi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. 2.a. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan. b. Kompilasi bahan koordinasi. c. Pelaksanaan rapat koordinasi. d. Pelaksanaan peninjauan lokasi. JUMLAH NSPK YA TIDAK

e. f. g. h. Pembatalan ijin lokasi atas usulan pemerintah provinsi dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN provinsi

e. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) provinsi dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait. f. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin lokasi yang diterbitkan. g. Penerbitan surat keputusan izin lokasi. h. Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi atas usulan kabupaten/kota

e. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor pertanahan kabupaten/kota dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait. f. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin lokasi yang diterbitkan. g. Penerbitan surat keputusan izin lokasi. h. Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi dengan pertimbangan kepala kantor

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan izin lokasi.

dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN provinsi;. 3. Monitoring dan pembinaan perolehan tanah.

pertanahan kabupaten/kota. 3. Monitoring dan pembinaan perolehan tanah.

1785

2. Pengadaan Tanah Untuk Kepentinga n Umum

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum 2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas provinsi. a. b.

1. 2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas kabupaten/kota. a. Penetapan lokasi. b. Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturan

1. 2.a. Penetapan lokasi. b. Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan

c. d. e. f. g. h.

perundang-undangan. c. Pelaksanaan penyuluhan. d. Pelaksanaan inventarisasi. e. Pembentukan Tim Penilai Tanah (khusus DKI). f. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari Lembaga/Tim Penilai Tanah. g. Pelaksanaan musyawarah. h. Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian.

peraturan perundang- undangan. c. Pelaksanaan penyuluhan. d. Pelaksanaan inventarisasi. e. Pembentukan Tim Penilai Tanah f. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari Lembaga/Tim Penilai Tanah. g. Pelaksanaan musyawarah. h. Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian.

i. j. k. 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

i. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian. j. Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian. k. Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota. 3.

i. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian. j. Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian. k. Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota. 3.

3. Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelesaian sengketa tanah garapan

1.

1.

1786

2.

2. Penyelesaian sengketa tanah garapan lintas kabupaten/kota dan untuk Provinsi DKI Jakarta: a. Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan. b. Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa. c. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan. d. Koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkahlangkah penangannya

2.a. Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan. b. Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa. c. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan. d. Koordinasi dengan kantor pertanahan untuk menetapkan langkah-langkah penangannya

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penanganan sengketa tanah garapan.

e. Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak. 3.

e. Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak. 3.

4. Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pe mbangunan

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.

1.

1.

2. 3. 4. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.

2. 3. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. 4. Pembinaan dan pengawasan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.

2. Pembentukan tim pengawasan pengendalian. 3. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. 4.

1787

5. Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah

1.

1.

kelebihan maksimum dan tanah absentee. 2.a.Pembentukan panitia pertimbangan landreform nasional. b. c. d.

2.a. Pembentukan panitia pertimbangan landreform provinsi. b. Penyelesaian permasalahan penetapan subyek dan obyek tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. c. d.

2.a. Pembentukan panitia pertimbangan landreform dan sekretariat panitia. b. Pelaksanaan sidang yang membahas hasil inventarisasi untuk penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. c. Pembuatan hasil sidang dalam berita acara. d. Penetapan tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee sebagai obyek

e. f. 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan subyek dan obyek tanah, ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

e. f. 3. Pembinaan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

landreform berdasarkan hasil sidang panitia. e. Penetapan para penerima redistribusi tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee berdasarkan hasil sidang panitia. f. Penerbitan surat keputusan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian. 3.

1788

6. Penetapan Tanah Ulayat

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. 2.

1. 2.a. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota. b. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian. c. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat. d. Pengusulan rancangan peraturan daerah provinsi tentang penetapan tanah ulayat.

1. 2.a. Pembentukan panitia peneliti. b. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian. c. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat. d. Pengusulan rancangan peraturan daerah tentang penetapan tanah ulayat.

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.

e. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat. f. 3.

e. Pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada kantor pertanahan kabupaten/kota. f. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat. 3.

7. Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian

1.

1.

1789

pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. 2.

2. Penyelesaian masalah tanah kosong.

2.a. Inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim. b. Penetapan bidang- bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk tanaman pangan semusim bersama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian. c. Penetapan pihak-pihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan mengutamakan masyarakat setempat. d. Fasilitasi perjanjian

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan

3. Pembinaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.

kerjasama antara pemegang hak tanah dengan pihak yang akan memanfaatkan tanah dihadapan/diketahui oleh kepala desa/lurah dan camat setempat dengan perjanjian untuk dua kali musim tanam. e. Penanganan masalah yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian. 3.

pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.

1790

8. Izin Membuka Tanah

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah. 2.

1. 2. Penyelesaian permasalahan pemberian izin membuka tanah.

1. 2.a. Penerimaan dan pemeriksaan permohonan. b. Pemeriksaan lapang dengan memperhatikan kemampuan tanah, status tanah dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota.

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan ijin membuka tanah.

3. Pengawasan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah. (Tugas Pe mbantuan)

c. Penerbitan izin membuka tanah dengan memperhatikan pertimbangan teknis dari kantor pertanahan kabupaten/kota. d. Pengawasan dan pengendalian penggunaan izin membuka tanah. 3. (Tugas Pembantuan)

9. Perencanaan Pe nggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota. 2.

1. Perencanaan penggunaan tanah lintas kabupaten/kota yang berbatasan. 2.

1. 2.a. Pembentukan tim koordinasi tingkat kabupaten/kota. b. Kompilasi data dan informasi yang terdiri dari : 1) Peta pola Penatagunaan tanah atau peta wilayah tanah usaha atau peta persediaan tanah dari kantor pertanahan setempat.

1791

2) Rencana Tata Ruang Wilayah. 3) Rencana pembangunan yang akan menggunakan tanah baik rencana pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, maupun investasi swasta. c. Analisis kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan kriteria teknis dari instansi terkait. d. Penyiapan draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah. e. Pelaksanaan rapat koordinasi terhadap draft rencana letak

kegiatan penggunaan tanah dengan instansi terkait. f. Konsultasi publik untuk memperoleh masukan terhadap draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah. g. Penyusunan draft final rencana letak kegiatan penggunaan tanah. h. Penetapan rencana letak kegiatan penggunaan tanah dalam bentuk peta dan penjelasannya dengan keputusan bupati/walikota. i. Sosialisasi tentang rencana letak kegiatan penggunaan tanah kepada instansi terkait.

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/ kota.

3.

j. Evaluasi dan penyesuaian rencana letak kegiatan penggunaan tanah berdasarkan perubahan RTRW dan perkembangan realisasi pembangunan. 3.

1792

9. Bidang Kependudukan dan Catatan Sipil


SUB BIDANG 1. Pendaftaran Pe nduduk SUB SUB B IDANG 1. Kebijakan PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala nasional. 2. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional. PEMERINTAHAN DAERAH P ROVINSI 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala provinsi. 2. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota. 2. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

2. Sosialisasi

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pemutakhiran data penduduk skala nasional.

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pemutakhiran data penduduk skala provinsi.

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.

3. Penyelenggaraan

1. Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.

1. Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.

1. Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.

1793

2.

2.

2. Penyelenggaraan pelayanan pendaftaran penduduk dalam sistem administrasi kependudukan skala kabupaten/kota, meliputi: a. Pencatatan dan pemutakhiran biodata penduduk serta penerbitan Nomor Induk Kependudukan (NIK); b. Pendaftaran perubahan alamat; c. Pendaftaran pindah datang penduduk dalam wilayah Republik Indonesia; d. Pendaftaran Warga Negara Indonesia tinggal sementara; e. Pendaftaran pindah datang Antarnegara;

f. Pendaftaran penduduk yang tinggal di perbatasan Antarnegara; g. Pendataan penduduk rentan Administrasi Kependudukan; h. Penerbitan dokumen kependudukan hasil pendaftaran penduduk; i. Penatausahaan pendaftaran penduduk.

1794

4. Pemantauan dan Evaluasi

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.

5. Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala nasional.

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala provinsi.

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.

6. Pengawasan

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.

2. Pencatatan Sipil

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala nasional. 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.

1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala provinsi. 2.

1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala kabupaten/kota. 2.

2. Sosialisasi

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala nasional.

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala provinsi.

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.

1795

3. Penyelenggaraan

1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.

1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.

1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.

2.

2.

2. Penyelenggaraan pelayanan pencatatan sipil dalam sistem administrasi kependudukan skala kabupaten/kota meliputi: a. Pencatatan kelahiran; b. Pencatatan lahir mati; c. Pencatatan perkawinan; d. Pencatatan perceraian; e. Pencatatan kematian; f. Pencatatan pengangkatan anak, pengakuan anak dan pengesahan anak; g. Pencatatan perubahan nama; h. Pencatatan perubahan status kewarganegaraan;

i. Pencatatan peristiwa penting lainnya; j. Pencatatan perubahan dan pembatalan akta; k. Penerbitan dokumen kependudukan hasil pencatatan sipil; l. Penatausahaan dokumen pencatatan sipil.

1796

4. Pemantauan dan Evaluasi

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.

1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.

5. Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala nasional.

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala provinsi.

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala kabupaten/kota.

6. Pengawasan

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.

3. Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional. 2. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi. 2.

1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. 2.

2. Sosialisasi

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.

1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.

1797

3. Penyelenggaraan

1. Koordinasi penyelenggaraan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1. Koordinasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.

1. Koordinasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.

2. Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data. 3. 4. Penyelenggaraan komunikasi data kependudukan skala nasional. 5. Pembangunan dan pengembangan perangkat lunak. 6.a. Pembangunan bank data kependudukan nasional.

2. Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data skala provinsi. 3. Penyediaan perangkat keras dan perlengkapan lainnya serta sarana jaringan komunikasi data di provinsi. 4. Penyelenggaraan komunikasi data kependudukan skala provinsi. 5. Pembangunan replikasi data kependudukan di provinsi. 6.a. Pembangunan bank data kependudukan provinsi.

2. Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data skala kabupaten/kota. 3. Penyediaan perangkat keras dan perlengkapan lainnya serta jaringan komunikasi data sampai dengan tingkat kecamatan atau kelurahan sebagai tempat pelayanan dokumen penduduk. 4. Pelaksanaan sistem informasi administrasi kependudukan. 5. Pembangunan replikasi data kependudukan di kabupaten/kota. 6.a. Pembangunan bank data kependudukan kabupaten/kota.

1798

b. 7. 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk skala nasional. 9.a. Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan nasional. b.

b. 7. 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk skala provinsi. 9.a. Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan provinsi. b.

b. Pembangunan tempat perekaman data kependudukan di kecamatan. 7. Perekaman data hasil pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta pemutakhiran data penduduk menggunakan sistem informasi administrasi kependudukan. 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk. 9.a. Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan kabupaten/ kota. b.Perlindungan data pribadi penduduk dalam proses dan hasil pendaftaran penduduk serta pencatatan sipil.

4. Pemantauan dan Evaluasi

1. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.

1. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.

5. Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala provinsi.

1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.

1799

6. Pengawasan

1. Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.

1. Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.

1. Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.

4. Perkembangan Kependudukan

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala nasional. 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala nasional.

1. Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala provinsi. 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala kabupaten/kota. 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala kabupaten/ kota.

2. Sosialisasi

1. Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

1. Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

1.

1800

3. Penyelenggaraan

1. Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional. 2.

1. Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi. 2.

1. Pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota. 2. Pembuatan analisis pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan.

1801

3. 4.

3. 4. Pelaporan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, dan perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

3. Koordinasi dan kerjasama antar daerah dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan. 4. Pelaporan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk, dan perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.

1802

4. Pemantauan dan Evaluasi

1. Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

1. Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

1. Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.

5. Pembinaan dan Fasilitasi

1. Pembinaan dan fasilitasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan dan penyerasian penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

1. Pembinaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

1.

1803

6. Pengawasan

1. Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.

1. Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

1. Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.

5. Perencanaan Kependudukan

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala nasional. 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan.

1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala provinsi. 2.

1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala kabupaten/kota. 2.

2. Sosialisasi

1. Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.

1. Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.

1.

1804

3. Penyelenggaraan

1.a. Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan pada tataran horizontal, vertikal, dan diagonal antar lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah pengelola bidang kependudukan skala nasional. b.

1.a. Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan pada tataran horizontal, vertikal, dan diagonal antar lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah pengelola bidang kependudukan skala provinsi. b.

1.a. Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan antar dan dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah pada skala kabupaten/kota. b.Penyelenggaraan kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan dalam rangka tertib administrasi kependudukan.

2. Penetapan dan pengembangan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala nasional. 3. Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala nasional. 4. Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.

2. Penetapan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala provinsi. 3. Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala provinsi. 4. Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.

2. Penetapan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala kabupaten/kota. 3. Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran. 4. Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.

1805

5. Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala nasional.

5. Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala provinsi.

5. Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala kabupaten/kota.

4. Pemantauan dan Evaluasi

1. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.

1. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.

1. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala kabupaten/kota.

5. Pembinaan

1. Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.

1. Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.

1.

1806

6. Pengawasan

1. Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.

1. Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.

1. Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala kabupaten/kota.

1807

10. Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak


PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan daerah pelaksanaan PUG di provinsi. 2. Koordinasi, fasilitasi dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan daerah pelaksanaan PUG di kabupaten/ kota. 2. Koordinasi, fasilitasi dan mediasi pelaksanaan PUG skala kabupaten/kota. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

SUB BIDANG

SUB SUB B IDANG

PEMERINTAH

1. Pengarusutamaan Gender (P UG)

1. Kebijakan Pelaksanaan PUG

1. Penetapan kebijakan nasional pelaksanaan PUG. 2. Koordinasi, fasilitasi, dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala nasional.

2. Kelembagaan PUG

1. Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, Pusat Studi Wanita (PSW), lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala nasional.

1. Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, PSW, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala provinsi.

1. Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, PSW, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala kabupaten/ kota.

2. Pengembangan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala nasional. 3. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG secara nasional dan provinsi.

2. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala provinsi. 3. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG skala provinsi.

2. Koordinasi dan fasilitasi kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala kabupaten/kota. 3. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG skala kabupaten/kota.

1808

3. Pelaksanaan PUG

1. Pemberian bantuan teknis dan fasilitasi pelaksanaan PUG (penetapan panduan umum analisis gender, perencanaan anggaran yang responsif gender, materi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) PUG) skala nasional.

1. Pemberian bantuan teknis, fasilitasi pelaksanaan PUG (analisis gender, perencanaan anggaran yang responsif gender, dan pengembangan materi KIE PUG) skala provinsi.

1. Pelaksanaan analisis gender, perencanaan anggaran yang responsif gender, dan pengembangan materi KIE PUG skala kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan politik skala nasional. 3. Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala nasional.

2. Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM dan politik skala provinsi. 3. Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala provinsi.

2. Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM dan politik skala kabupaten/kota. 3. Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala kabupaten/kota.

2. Kualitas Hidup dan Pe rlindungan Pe rempuan

1. Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan

1.Penetapan kebijakan nasional peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.

1. Penyelenggaraan kebijakan provinsi peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.

1. Penyelenggaraan kebijakan kabupaten/kota peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama dibidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.

1809

2. Pengintegrasian Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan

1.Fasilitasi pengintegrasian isu gender dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.

1. Fasilitasi pengintegrasian upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.

1. Pengintegrasian upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.

3. Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.

4. Kebijakan Perlindungan Perempuan

1. Penetapan kebijakan nasional perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana.

1. Penyelengaraan kebijakan provinsi perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.

1. Penyelenggaraan kebijakan kabupaten/kota perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota.

1810

5. Pengintegrasian Kebijakan Perlindungan Perempuan

1. Fasilitasi pengintegrasian kebijakan nasional perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana.

1. Fasilitasi pengintegrasian kebijakan provinsi perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.

1. Fasilitasi pengintegrasian kebijakan kabupaten/kota perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota.

6. Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Perempuan

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala nasional.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.

1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota.

1811

3. Perlindungan Anak

1. Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

1. Penetapan kebijakan nasional dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak. 2.

1. Pelaksanaan kebijakan dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi. 2. Penetapan kebijakan daerah tentang kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota. 2. Penetapan kebijakan daerah untuk kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.

2. Pengintegrasian Hak-Hak Anak dalam Kebijakan dan Program Pembangunan

1.Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan nasional.

1. Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan skala provinsi.

1. Pengintegrasian hakhak anak dalam kebijakan dan program pembangunan skala kabupaten/ kota.

3. Koordinasi Pelaksanaan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

1. Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.

1. Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.

1. Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.

4. Pemberdayaan Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha

1. Penguatan Lembaga/ Organisasi Masyarakat dan Dunia Usaha untuk Pelaksanaan PUG dan Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

1. Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.

1. Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.

1. Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.

1812

2. Pengembangan dan Penguatan Jaringan Kerja Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha untuk Pelaksanaan PUG, Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

1. Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional. 2. Penetapan strategi rekayasa sosial untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan perlindungan anak.

1. Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi. 2. Fasilitasi lembaga masyarakat untuk melaksanakan rekayasa sosial untuk mewujudkan KKG dan perlindungan anak skala provinsi.

1. Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota. 2. Fasilitasi lembaga masyarakat untuk melaksanakan rekayasa sosial untuk mewujudkan KKG dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.

5. Data dan Informasi Gender dan Anak

1. Data Terpilah menurut Jenis Kelamin dari di Setiap Bidang Terkait

1. Pengembangan dan penetapan kebijakan nasional sistem informasi gender dan anak.

1. Penjabaran dan penetapan kebijakan sistem informasi gender dan anak skala provinsi dengan merujuk pada kebijakan nasional.

1. Penjabaran dan penetapan kebijakan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota dengan merujuk pada kebijakan nasional.

1813

2. Data dan Informasi Gender dan Anak

1. Pengembangan dan penyusunan panduan umum, mekanisme pengumpulan, pengolahan, analisis, diseminasi dan dokumentasi sistem informasi gender dan anak. 2. Advokasi, mediasi dan fasilitasi pelaksanaan sistem infomasi gender dan anak.

1. Koordinasi pelaksanaan sistem informasi gender dan anak skala provinsi. 2. Fasilitasi pelaksanaan sistem informasi gender dan anak.

1. Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan sistem informasi gender dan anak.

3. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

1. Promosi dan advokasi data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional.

1. Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi.

1. Analisis, pemanfaatan, penyebarluasan dan pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala kabupaten/kota.

1814

2. Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan, dan anak skala nasional. 3. Pengembangan metode analisis gender dan penyusunan model informasi data skala nasional. 4. Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional. 5. Pemantauan dan evaluasi kebijakan dan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender skala nasional.

2. Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi. 3. Penyusunan model informasi data (mediasi dan advokasi) skala provinsi. 4. Pemantauan dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender dan anak skala provinsi. 5.

2. Pemantauan dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota. 3. Penyusunan model informasi data (mediasi dan advokasi) skala kabupaten/kota. 4. 5.

1815

11. Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera


SUB BIDANG 1. Pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Jaminan dan Pelayanan KB, Peningkatan Partisipasi Pria, Penanggulangan Masalah Kesehatan Reproduksi, serta Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi dan Anak PEMERINTAH 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, dan kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala nasional. b. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1.a. Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB , peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala provinsi. b.Pemberian dukungan operasional jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1.a. Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala kabupaten/ kota. b. Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi, operasionalisasi jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota. NSPK YA TIDAK JUMLAH NSPK

1816

c. 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengembangan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala nasional.

c. 2.a. Pemberian dukungan pelaksanaan pedoman upaya peningkatan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.

c. Penetapan dan pengembangan jaringan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, termasuk pelayanan KB di rumah sakit skala kabupaten/kota. 2.a. Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KB, sasaran peningkatan perencanaan kehamilan, sasaran peningkatan partisipasi pria, sasaran Unmet Need, sasaran penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta sasaran kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/kota.

1817

b. 3.a.Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala nasional. b.

b. 3.a.Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi. b.

b. Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota. 3.a. Pelaksanaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota. b.Pemantauan tingkat drop out peserta KB.

1818

c. d. e. f. g.

c. d. e. f. g.

c. Pengembangan materi penyelenggaraan jaminan dan pelayanan KB dan pembinaan penyuluh KB. d. Perluasan jaringan dan pembinaan pelayanan KB. e. Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi. f. Penyelenggaraan dan fasilitasi upaya peningkatan kesadaran keluarga berkehidupan seksual yang aman dan memuaskan, terbebas dari HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS). g. Pembinaan penyuluh KB.

1819

h. 4.a. Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala nasional. b. c.

h. 4.a. Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala provinsi. b. c.

h. Peningkatan kesetaraan dan keadilan gender terutama partisipasi KB pria dalam pelaksanaan program pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. 4.a. Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan kontrasepsi mantap dan kontrasepsi jangka panjang yang lebih terjangkau, aman, berkualitas dan merata skala kabupaten/kota. b.Pelaksanaan distribusi dan pengadaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi, dan pelayanannya dengan prioritas keluarga miskin dan kelompok rentan skala kabupaten/kota. c.Penjaminan ketersediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi bagi peserta mandiri skala kabupaten/kota.

5.a. Penetapan pedoman dan pengembangan model promosi pemenuhan hakhak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala nasional. b.

5.a. Pemberian dukungan penyelenggaraan promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala provinsi. b.

5.a. Pelaksanaan promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala kabupaten/ kota. b. Pelaksanaan informed choice dan informed consent dalam program KB.

1820

2. Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)

1. Kebijakan dan Pelaksanaan KRR dan Perlindungan HakHak Reproduksi

1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) skala nasional. b.

1.a.Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi. b. Pemberian dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.

1.a. Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota. b. Penyelenggaraan dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota.

2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengembangan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional. b. 3.a. Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional.

2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi. b. 3.a. Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.

2.a.Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota. b.Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota. 3.a. Penyelenggaraan pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.

1821

b. c. d. e.

b. c. d. e.

b. Penyelenggaraan kemitraan pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor Lembaga Swadaya Organisasi Masyarakat (LSOM) skala kabupaten/kota. c. Penetapan fasilitas pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota. d. Pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota. e. Penetapan sasaran KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota.

1822

f. 4. Pengembangan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala nasional.

f. 4. Pendayagunaan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala provinsi.

f .Penetapan prioritas kegiatan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota. 4. Pemanfaatan tenaga SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.

3. Ketahanan dan Pe mberdayaan Keluarga

1. Kebijakan dan Pelaksanaan Pengembangan Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga

1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota. b. Penyelenggaraan dukungan pelayanan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.

1823

2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional. b. 3.a. Pengelolaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional. b.

2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi. b. 3.a. Pengelolaan operasional ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi. b.

2.a. Penyerasian penetapan kriteria pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota. b. Penetapan sasaran Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan Bina Keluarga Lansia (BKL) skala kabupaten/ kota. 3.a. Penyelenggaraan BKB, BKR, dan BKL termasuk pendidikan pra- melahirkan skala kabupaten/ kota. b.Pelaksanaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.

1824

c. d. e. f.

c. d. e. f.

c. Pelaksanaan modelmodel kegiatan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota. d. Pembinaan teknis peningkatan pengetahuan, keterampilan, kewirausahaan dan manajemen usaha bagi keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I alasan ekonomi dalam kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) skala kabupaten/kota. e. Pelaksanaan pendampingan/ magang bagi para kader/anggota kelompok UPPKS skala kabupaten/kota. f. Pelaksanaan kemitraan untuk aksesibilitas permodalan, teknologi, dan manajemen serta pemasaran guna peningkatan UPPKS skala kabupaten/kota.

g.

g.

g. Peningkatan kualitas lingkungan keluarga skala kabupaten/kota.

1825

4. Penguatan Pe lembagaan Keluarga Kecil Berkualitas

1. Kebijakan dan Pelaksanaan Penguatan Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas dan Jejaring Program

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional. b. 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi. b. 2.a.Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota. b. Penyelenggaraan dukungan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota. 2.a.Penetapan perkiraan sasaran pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.

1826

b. c. d. e. f.

b. c. d. e. f.

b. Pemanfaatan pedoman pelaksanaan penilaian angka kredit jabatan fungsional penyuluh KB. c. Penetapan petunjuk teknis pengembangan peran Institusi Masyarakat Pedesaan/Perkotaan (IMP) dalam program KB nasional. d. Penetapan formasi dan sosialisasi jabatan fungsional penyuluh KB. e. Pendayagunaan pedoman pemberdayaan dan penggerakan institusi masyarakat program KB nasional dalam rangka kemandirian. f. Penetapan petunjuk teknis peningkatan peran serta mitra program KB nasional.

1827

3. a. Pengelolaan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional. b. c. d. e.

3.a. Pengelolaan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi. b. Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional, serta pemanfaatan hasil kajian dan penelitian. c. d. e.

3.a. Pelaksanaan pengelolaan personil, sarana dan prasarana dalam mendukung program KB nasional, termasuk jajaran medis teknis tokoh masyarakat dan tokoh agama. b. Penyediaan dan pemberdayaan tenaga fungsional penyuluh KB. c. Penyediaan dukungan operasional penyuluh KB. d. Penyediaan dukungan operasional IMP dalam program KB nasional. e. Pelaksanaan pembinaan teknis IMP dalam program KB nasional.

1828

f. g. h. i. j.

f. g. h. i. j.

f. Pelaksanaan peningkatan kerjasama dengan mitra kerja program KB nasional dalam rangka kemandirian. g. Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional di kabupaten/kota. h. Pemanfaatan hasil kajian dan penelitian. i. Pendayagunaan kerjasama jejaring pelatih terutama pelatihan klinis kabupaten/kota. j. Pendayagunaan SDM program terlatih, serta perencanaan dan penyiapan kompetensi SDM program yang dibutuhkan kabupaten/kota.

k.

k.

k. Pendayagunaan bahan pelatihan sesuai dengan kebutuhan program peningkatan kinerja SDM.

1829

5. Advokasi dan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)

1. Kebijakan dan Pelaksanaan Advokasi dan KIE

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi, KIE, serta konseling program KB nasional. b. 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria pengembangan advokasi dan KIE skala nasional. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi. b. Fasilitasi operasional advokasi dan KIE skala provinsi. 2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan advokasi dan KIE skala nasional. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala kabupaten/kota. b. Penyelenggaraan operasional advokasi KIE skala kabupaten/ kota. 2.a. Penetapan perkiraan sasaran advokasi dan KIE skala kabupaten/kota. b.Penyerasian dan penetapan kriteria advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.

3.a. Pengelolaan advokasi dan KIE skala nasional. b. c. d.

3.a. Pengelolaan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi. b. c. d.

3.a. Pelaksanaan advokasi, KIE, serta konseling program KB dan KRR. b. Pelaksanaan KIE ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan kelembagaan dan jaringan institusi program KB. c. Pemanfaatan prototipe program KB/Kesehatan Reproduksi (KR), KRR, ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas. d. Pelaksanaan promosi KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS, dan bahaya NAPZA dan perlindungan hak-hak reproduksi.

1830

3.a. Pengelolaan advokasi dan KIE skala nasional. b. c. d.

3.a. Pengelolaan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi. b. c. d.

3.a. Pelaksanaan advokasi, KIE, serta konseling program KB dan KRR. b. Pelaksanaan KIE ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan kelembagaan dan jaringan institusi program KB. c. Pemanfaatan prototipe program KB/Kesehatan Reproduksi (KR), KRR, ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas. d. Pelaksanaan promosi KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS, dan bahaya NAPZA dan perlindungan hak-hak reproduksi.

1831

6. Informasi dan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga

1. Kebijakan dan Pelaksanaan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional. b. 2.a.Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi. b. Fasilitasi operasional pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi. 2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan informasi dan data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi. b.

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota. b. Penyelenggaraan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota. 2.a. Penetapan perkiraan sasaran pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota. b.Informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.

1832

3.a. Pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional. b. c. d. e.

3.a. Pengelolaan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi. b. c. d. e.

3.a. Pelaksanaan operasional sistem informasi manajemen program KB nasional. b. Pemutakhiran, pengolahan, dan penyediaan data mikro kependudukan dan keluarga. c. Pengelolaan data dan informasi program KB nasional serta penyiapan sarana dan prasarana. d. Pemanfaaan data dan informasi program KB nasional untuk mendukung pembangunan daerah. e. Pemanfaatan operasional jaringan komunikasi data dalam pelaksanaan egovernment dan melakukan diseminasi informasi.

1833

7. Keserasian Kebijakan Kependudukan

1. Penyerasian dan Keterpaduan Kebijakan Kependudukan

1. Penetapan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. 2. Pengkajian dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan.

1. Pelaksanaan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. 2. Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di provinsi.

1. Penyelenggaraan kebijakan teknis operasional dan pelaksanaan program kependudukan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan di daerah kabupaten/kota. 2. Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah kabupaten/kota.

3.a. Pengelolaan dan penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan sektoral dan daerah. b.

3.a. Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di provinsi. b.

3.a. Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di daerah kabupaten/kota. b. Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah kabupaten/kota.

1834

8. Pembinaan

1. Kebijakan dan Pelaksanaan Pembinaan

1. Pengembangan dan penetapan kebijakan pembinaan, dan penyelenggaraan monitoring, evaluasi, fasilitasi, asistensi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional.

1. Dukungan pelaksanaan monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional.

1. Monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional di kabupaten/kota.

1835

12. Bidang Sosial


SUB BIDANG 1. Kebijakan Bidang Sosial SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala nasional. PEMERINTAHAN DAERAH P ROVINSI 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala provinsi mengacu pada kebijakan nasional. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala kabupaten/kota mengacu pada kebijakan provinsi dan/atau nasional. 1. Penyusunan perencanaan bidang sosial skala kabupaten/kota. 1. Penyelenggaraan kerjasama bidang sosial skala kabupaten/kota. NSPK YA TIDAK JUMLAH NSPK

2. Perencanaan Bidang Sosial

1. Penyusunan perencanaan bidang sosial skala nasional.

1. Penyusunan perencanaan bidang sosial skala provinsi. 1. Penyelenggaraan kerjasama bidang sosial skala provinsi.

3. Kerjasama Bidang Sosial

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria kerjasama bidang sosial.

4. Pembinaan Bidang Sosial

1. Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala nasional. 2. Penetapan pedoman dan standarisasi.

1. Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala provinsi. 2. Sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan pedoman dan standarisasi. 3. Pengajuan usulan dan rekomendasi untuk penetapan akreditasi dan sertifikasi. 4. Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala

1. Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala kabupaten/kota. 2. Sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan pedoman dan standarisasi. 3. Seleksi dan kelengkapan bahan usulan untuk penetapan akreditasi dan sertifikasi. 4. Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala kabupaten/kota.

3. Penetapan akreditasi dan sertifikasi. 4. Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala nasional.

1836

provinsi.

5. Identifikasi dan Penanganan Pe nyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

1. Penetapan jenis dan kriteria sasaran penanggulangan masalah sosial skala nasional.

1. Identifikasi sasaran penanggulangan masalah sosial skala provinsi.

1. Identifikasi sasaran penanggulangan masalah sosial skala kabupaten/kota.

6. Pengembangan dan Pe ndayagunaan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)

1. Penetapan pedoman, jenis, standar dan kriteria PSKS skala nasional. 2. Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala nasional.

1. Penggalian dan pendayagunaan PSKS skala provinsi. 2. Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala provinsi.

1. Penggalian dan pendayagunaan PSKS skala kabupaten/kota. 2. Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala kabupaten/kota.

7. Pelaksanaan Program/Kegiatan Bidang sosial

1. Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial meliputi uji coba, percontohan, kerjasama luar negeri, dan penanggulangan masalah sosial skala nasional.

1. Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial skala provinsi dan atau kerjasama antar kabupaten/kota.

1. Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial skala kabupaten/kota.

1837

8. Pengawasan Bidang Sosial

1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan, dan kebijakan bidang sosial.

1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan bidang sosial, dan kebijakan skala provinsi. 1. Pelaporan pelaksanaan program bidang sosial skala provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Menteri Sosial. 1. Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala provinsi. 1. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala provinsi. 2. Pengusulan calon peserta pendidikan profesi pekerjaan sosial skala provinsi. 3. Pengusulan calon peserta pendidikan dan profesi pekerja sosial skala provinsi. 1. 2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala provinsi.

1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan bidang sosial skala kabupaten/ kota.

9. Pelaporan Pe laksanaan Program di Bidang Sosial

1. Pelaporan pelaksanaan program di bidang sosial skala nasional kepada Presiden.

1. Pelaporan pelaksanaan program bidang sosial skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Sosial.

10. Sarana dan Prasarana Sosial

1. Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala nasional.

1. Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala kabupaten/kota. 1. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala kabupaten/kota. 2. Pengusulan calon peserta pendidikan profesi pekerjaan sosial skala kabupaten/kota. 3. Pengusulan calon peserta pendidikan dan pelatihan pekerja sosial skala kabupaten/kota.

11. Pe mbinaan Tenaga Fungsional Pe kerja Sosial

1. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala nasional. 2. Penyelenggaraan pendidikan profesi pekerjaan sosial skala nasional. 3. Pendidikan dan pelatihan jabatan fungsional pekerja sosial skala nasional.

12. Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial

1. Penetapan pedoman sistem informasi kesejahteraan sosial. 2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala nasional.

1. 2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota.

1838

13. Pe nganugerahan Tanda Kehormatan

1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk penganugerahan satya lencana kebaktian sosial. 2. Penganugerahan penghargaan Menteri Sosial.

14. Nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan Kejuangan dan Kesetiakawanan Sosial

1. Pelestarian Nilai-Nilai

1. Penetapan pedoman pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan kejuangan dan kesetiakawanan sosial.

1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi atas usulan penganugerahan satya lencana kebaktian sosial kepada Presiden melalui Menteri Sosial. 2. Pemberian penghargaan di bidang sosial skala provinsi. 1. Pelestarian nilainilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan serta nilai- nilai kesetiakawanan sosial sesuai pedoman skala provinsi.

1. Penyiapan bahan kelengkapan usu lan penganugerahan satya lencana kebaktian sosial kepada Presiden melalui Gubernur dan Menteri Sosial. 2. Pemberian penghargaan di bidang sosial skala kabupaten/kota.

1. Pelestarian nilainilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan serta nilainilai kesetiakawanan sosial sesuai pedoman yang ditetapkan oleh pusat atau provinsi skala kabupaten/kota.

2. Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan (TMP)

1. Standarisasi, pemeliharaan, dan perbaikan TMP Nasional.

1. Pembangunan, perbaikan, pemeliharaan, TMP di provinsi.

1. Pembangunan, perbaikan, pemeliharaan, TMP di kabupaten/kota.

3. Pemeliharaan Makam Pahlawan Nasional (MPN)

1. Standarisasi, pemeliharaan dan perbaikan MPN.

1.

1.

4. Penganugerahan Gelar Pahlawan dan Perintis Kemerdekaan

1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk penetapan dan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.

1. Pemberian rekomendasi atas usulan pengangkatan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.

1. Penyiapan bahan kelengkapan usulan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.

1839

5. Penyelenggaraan Peringatan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional

1. Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional.

1. Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional tingkat provinsi.

1. Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional tingkat kabupaten/kota.

15. Pe nanggulangan Korban Bencana

1. Penetapan pedoman penanggulangan bencana. 2. Penanggulangan bencana skala dan/atau berdampak nasional.

1. Penanggulangan korban bencana skala provinsi. 2.

1. Penanggulangan korban bencana skala kabupaten/kota. 2.

16. Pe ngumpulan Uang atau Barang (Sumbangan Sosial)

1. Penetapan kebijakan dan pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala nasional. 2. Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala nasional.

1. Pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala provinsi. 2. Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala provinsi.

1. Pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala kabupaten/kota. 2. Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala kabupaten/kota.

3. Pengelolaan (penerimaan dan penyaluran) sumbangan sosial masyarakat baik dalam maupun luar negeri.

3.

3.

1840

17. Undian

1. Penetapan kebijakan dan pemberian izin undian skala nasional. 2. Pengendalian dan pengawasan serta pemantauan pelaksanaan undian di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

1. Pemberian rekomendasi izin undian skala provinsi. 2. Pengendalian dan pengawasan pelaksanaan undian di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

1. Pemberian rekomendasi izin undian skala kabupaten/kota bila diperlukan. 2. Pengendalian dan pelaksanaan undian di tingkat kabupaten/kota.

18. Jaminan Sosial bagi Penyandang Cacat Fisik dan Mental, dan Lanjut Usia Tidak Potensial Terlantar, yang berasal dari Masyarakat Rentan dan Tidak Mampu

1. Penetapan pedoman penyelenggaraan jaminan sosial. 2. Pelaksanaan pemberian jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar, yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala nasional.

1. 2. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala provinsi.

1. 2. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala kabupaten/kota.

19. Pe ngasuhan dan Pe ngangkatan Anak

1. Penetapan organisasi sosial/yayasan yang diberi izin untuk pengasuhan anak. 2. Pemberian izin pengangkatan anak bagi anak yang berada dalam asuhan organisasi sosial antar Warga Negara Indonesia (WNI) dan antara WNI dengan Warga Negara Asing (WNA).

1. 2. Pemberian izin pengangkatan anak antar WNI.

1. 2. Pemberian rekomendasi pengangkatan anak skala kabupaten/kota.

1841

13. Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian


SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan, Perencanaan, Pembinaan, dan Pengawasan PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan penetapan kebijakan daerah serta pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi. 2. Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan provinsi, penetapan kebijakan daerah dan pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 2. Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

SUB BIDANG

PEMERINTAH

1. Ketenagakerjaan

1. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. 2. Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.

1842

3. Koordinasi dan pengintegrasian penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. 4. Penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan kelembagaan/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bidang ketenagakerjaan skala nasional. 5. Perencanaan tenaga kerja nasional, pembinaan perencanaan tenaga kerja daerah provinsi dan kabupaten/kota, sektoral, dan mikro serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketenagakerjaan nasional.

3. Penanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi. 4. Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan di provinsi. 5. Perencanaan tenaga kerja daerah provinsi, pembinaan perencanaan tenaga kerja mikro, pembinaan dan penyelenggaraan sistem

3. Penanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 4. Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota. 5. Perencanaan tenaga kerja daerah kabupaten/kota, pembinaan perencanaan tenaga kerja mikro pada instansi/tingkat perusahaan, pembinaan dan penyelenggaraan

informasi ketenagakerjaan, serta pembinaan perencanaan tenaga kerja dan sistem informasi ketenagakerjaan kabupaten/kota skala provinsi.

sistem informasi ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.

1843

2. Pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur

1. Penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. 2. Perencanaan formasi, karir, dan pendidikan dan pelatihan (diklat)

1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi. 2. Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana

1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 2. Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang

SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. 4. Penetapan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan

urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan di provinsi. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi. 4. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketenagakerjaan skala

ketenagakerjaan di kabupaten/kota. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 4. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketenagakerjaan skala

1844

pemerintahan bidang ketenagakerjaan. 5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi pusat.

provinsi. 5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi provinsi.

kabupaten/kota. 5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi kabupaten/kota.

3. Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Tenaga Kerja

1.a. Standarisasi kompetensi dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala nasional. b. 2.a. Standarisasi, pelatihan dan pelaksanaan pengukuran

1.a. Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala provinsi. b.Pelatihan diseminasi program untuk kabupaten/kota di wilayah provinsi. 2.a. Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala

1.a. Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala kabupaten/kota. b. 2.a. Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala kabupaten/kota.

produktivitas skala nasional. b.Pembinaan dan penyelenggaraan kerja sama internasional dalam rangka peningkatan produktivitas. 3. Pengawasan pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan kerja serta penerbitan perizinan magang ke luar negeri. 4. Pengawasan pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga

provinsi. b.Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah provinsi. 3. Pengawasan pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan kerja serta penerbitan rekomendasi perizinan magang ke luar negeri. 4. Pengawasan pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga

b.Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah kabupaten/kota. 3. Penyelenggaraan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan serta pengesahan kontrak/perjanjian magang dalam negeri. 4. Koordinasi pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga pelatihan kerja skala kabupaten/kota.

1845

sertifikasi profesi dan lembaga pelatihan kerja skala nasional.

pelatihan kerja skala provinsi.

4. Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri

1.a. Penyusunan sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja secara nasional. b.Pemberian pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala nasional. c. Pembinaan dan penyusunan sistem pemberdayaan pengantar kerja berskala nasional.

1.a. Penyusunan sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja di wilayah provinsi. b.Pemberian pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala provinsi. c. Pembinaan, monitoring, evaluasi, dan pendataan jabatan fungsional pengantar kerja tingkat provinsi.

1.a. Penyebarluasan informasi pasar kerja dan pendaftaran pencari kerja (pencaker) dan lowongan kerja. b.Penyusunan, pengolahan dan penganalisisan data pencaker dan data lowongan kerja skala kabupaten/kota. c. Pemberian pelayanan informasi pasar kerja, bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala kabupaten/kota.

d.Monitoring, evaluasi, dan sosialisasi jabatan fungsional pengantar kerja. e. Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja berskala nasional. 2.a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS) dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan lintas provinsi/berskala nasional.

d. e. Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja tingkat provinsi. 2.a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan skala provinsi.

d.Pembinaan pejabat fungsional pengantar kerja. e. Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja di wilayah kerja kabupaten/kota. 2.a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan skala kabupaten/kota.

1846

b. 3. Pemberian rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/job fair skala nasional. 4. Sosialisasi dan evaluasi penempatan tenaga kerja penyandang cacat, lanjut usia (lansia) dan perempuan skala nasional.

b.Penerbitan rekomendasi untuk perizinan pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan yang akan melakukan kegiatan skala provinsi. 3. Pemberian rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/job fair skala provinsi. 4. Fasilitasi dan pembinaan penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala provinsi.

b.Penerbitan rekomendasi untuk perizinan pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan yang akan melakukan kegiatan skala kabupaten/kota. 3. Pemberikan rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/job fair skala kabupaten/kota. 4. Fasilitasi penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala kabupaten/kota.

1847

5.a. Penerbitan Surat Persetujuan Penempatan (SPP) Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) skala nasional. b. 6.a. Penerbitan izin operasional Tenaga Kerja Sukarela (TKS) Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela luar negeri dan lembaga sukarela Indonesia. b.Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pendayagunaan TKS,

5.a. Penerbitan SPP AKAD skala provinsi. b. 6.a. Penerbitan rekomendasi izin operasional TKS Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan beroperasi lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi. b.Pelaksanaan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan

5.a. Penyuluhan, Rekrutmen, seleksi dan pengesahan pengantar kerja, serta penempatan tenaga kerja AKAD/Antar Kerja Lokal (AKL). b.Penerbitan SPP AKL skala kabupaten/kota. 6.a. Penerbitan rekomendasi izin operasional TKS Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan beroperasi pada 1 (satu) kabupaten/kota. b.Pelaksanaan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan pendayagunaan TKS dan lembaga sukarela skala

Tenaga Kerja Mandiri (TKM), dan lembaga sukarela skala nasional. c. 7.a. Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) baru. b.Pengesahan RPTKA perpanjangan lintas provinsi.

pendayagunaan TKS dan lembaga sukarela skala provinsi. c.Koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program pendayagunaan TKM skala provinsi. 7.a. b.Pengesahan RPTKA perpanjangan yang tidak mengandung perubahan jabatan, jumlah orang, dan lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah provinsi.

kabupaten/kota. c.Pendaftaran dan fasilitasi pembentukan TKM. 7.a. b.

1848

c. Pengesahan RPTKA perubahan seperti perubahan jabatan, perubahan lokasi, perubahan jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) dan perubahan kewarganegaraan. 8.a. Pemberian rekomendasi visa kerja dan penerbitan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) baru. b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi. c.Penyusunan jabatan terbuka atau tertutup bagi TKA. 9. Pembinaan dan pengendalian penggunaan TKA skala nasional. 10. Pembinaan penerapan teknologi tepat guna skala nasional. 11. Pembinaan modelmodel perluasan dan pengembangan kesempatan secara nasional antara lain melalui usaha mandiri

c. 8.a. b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.

c. 8.a. b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota.

c. 9. Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam wilayah provinsi. 10. Pembinaan dan penerapan teknologi tepat guna skala provinsi. 11. Koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi pelaksanaan program usaha mandiri dan sektor informal serta program padat karya skala provinsi. c. 9. Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. 10. Pelaksanaan pelatihan/bimbingan teknis, penyebarluasan dan penerapan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota. 11. Penyelenggaraan program perluasan kerja melalui bimbingan usaha mandiri dan sektor informal serta program padat karya skala kabupaten/kota.

dan sektor informal, serta program padat karya.

1849

5. Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri

1.a. Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan penempatan TKI ke luar negeri. b.Pelaksanaan penempatan TKI oleh pemerintah. 2. Pembuatan perjanjian/pelaksanaan kerjasama bilateral dan multilateral dengan negara-negara penempatan TKI.

1.a. Monitoring dan evaluasi penempatan TKI ke luar negeri yang berasal dari wilayah provinsi. b. 2. Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah provinsi.

1.a. Pelaksanaan penyuluhan, pendaftaran dan seleksi calon TKI di wilayah kabupaten/kota. b.Pengawasan pelaksanaan rekrutmen calon TKI di wilayah kabupaten/kota. 2. Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah kabupaten/kota.

3. Penerbitan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (SIPPTKIS)/ Surat Izin Usaha Penempatan (SIUP)Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan rekomendasi rekrutmen calon TKI serta Penerbitan Surat Izin Pengerahan (SIP). 4. Verifikasi dokumen TKI, penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), penerbitan rekomendasi paspor TKI yang bersifat khusus dan crash program.

3. Penerbitan perizinan pendirian kantor cabang di wilayah provinsi dan rekomendasi perpanjangan SIPPTKIS/PPTKIS. 4. Verifikasi dokumen TKI di wilayah provinsi.

3. Penerbitan rekomendasi izin pendirian kantor cabang PPTKIS di wilayah kabupaten/kota. 4. Penerbitan rekomendasi paspor TKI di wilayah kabupaten/kota berdasarkan asal/alamat calon TKI.

1850

5. Penyelenggaraan Sistem Komputerisasi Terpadu Penempatan TKI di Luar Negeri (SISKO TKLN) dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI. 6.a. Penentuan standar perjanjian kerja, penelitian terhadap substansi perjanjian kerja serta pengesahan perjanjian kerja. b. 7. Penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) (pelaksanaannya dapat didekonsentrasikan kepada Gubernur). 8.a. Penyelenggaraan program perlindungan, pembelaan, dan advokasi TKI. b.Penentuan standar tempat penampungan calon TKI dan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLK-LN). c. Penetapan standar dan penunjukan lembagalembaga yang terkait

5. Penyebarluasan sistem informasi penempatan TKI dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah provinsi. 6.a. Sosialisasi substansi perjanjian kerja penempatan TKI ke luar negeri skala provinsi. b.

5. Penyebarluasan sistem informasi penempatan TKI dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah kabupaten/kota. 6.a. Sosialisasi terhadap substansi perjanjian kerja penempatan TKI ke luar negeri skala kabupaten/kota. b.Penelitian dan pengesahan perjanjian penempatan TKI ke luar negeri.

7. Fasilitasi penyelenggaraan PAP. 8.a. Pembinaan, pengawasan penempatan dan perlindungan TKI di wilayah provinsi. b.Penerbitan perizinan tempat penampungan di wilayah provinsi. c.

7. 8.a. Pembinaan, pengawasan, dan monitoring penempatan maupun perlindungan TKI di kabupaten/kota. b.Penerbitan rekomendasi perizinan tempat penampungan di wilayah kabupaten/kota. c.

1851

dengan program penempatan TKI (lembaga asuransi, perbankan, dan sarana kesehatan). 9. Fasilitasi kepulangan dan pemulanganTKI secara nasional.

9. Fasilitasi kepulangan TKI di pelabuhan debarkasi di wilayah provinsi.

9. Pelayanan kepulangan TKI yang berasal dari kabupaten/kota.

6. Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

1.a. Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu provinsi.

1.a. Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.

1.a. Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya dalam satu wilayah kabupaten/kota.

b.Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi. c. Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada perusahaan yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi. 2.a.Pendaftaran Perjanjian Pekerjaan antara Perusahaan Pemberi Kerja dengan

b.Pendaftaran PKB, perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari satu wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi. c. Pencatatan PKWT pada perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi. 2.a.Pendaftaran Perjanjian Pekerjaan antara Perusahaan Pemberi Kerja dengan

b.Pendaftaran PKB, perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. c. Pencatatan PKWT pada perusahaan yang skala berlakunya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. 2.a. Penerbitan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berdomisili di kabupaten/kota dan

1852

Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi. b.Penerbitan rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi. 3. Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan

Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi. b. Penerbitan rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi. 3. Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan indus- trial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan skala provinsi. 4. Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala provinsi. 5. Penyusunan formasi, pendaftaran dan seleksi calon mediator, arbiter, dan konsiliator di wilayah provinsi.

pendaftaran perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. b.Pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berdomisili di kabupaten/kota atas rekomendasi pusat dan atau provinsi. 3. Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan di

penutupan perusahaan skala nasional. 4. Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala nasional. 5. Koordinasi penyusunan formasi, pendaftaran dan seleksi calon arbiter dan konsiliator, pengangkatan dan pemberhentian serta penerbitan legitimasi mediator, konsiliator, dan arbiter.

wilayah kabupaten/kota. 4. Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala kabupaten/kota. 5. Penyusunan dan pengusulan formasi serta melakukan pembinaan mediator, konsiliator, arbiter di wilayah kabupaten/kota.

1853

6. Pendaftaran dan seleksi calon hakim adhoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung. 7.a. Bimbingan aplikasi pengupahan skala nasional. b.Penetapan kebijakan pengupahan nasional dan penelaahan terhadap upah minimum yang ditetapkan pemerintah provinsi.

6. Pendaftaran dan seleksi calon hakim adhoc pengadilan hubungan industrial yang wilayahnya meliputi provinsi. 7.a. Bimbingan aplikasi pengupahan lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi. b.Penyusunan dan penetapan upah minimum provinsi, kabupaten/kota, dan melaporkan kepada menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

6. Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc pengadilan hubungan industrial yang wilayahnya meliputi kabupaten/ kota. 7.a. Bimbingan aplikasi pengupahan di perusahaan skala kabupaten/kota. b.Penyusunan dan pengusulan penetapan upah minimum kabupaten/kota kepada gubernur.

8.a. Koordinasi pembinaan penyelenggaraan jaminan sosial, fasilitas, dan kesejahtaraan tenaga kerja/buruh skala nasional. b. 9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala nasional.

8.a. Koordinasi pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja skala provinsi. b.Koordinasi pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan tenaga kerja skala provinsi. 9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala provinsi.

8.a. Pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja di wilayah kabupaten/kota. b.Pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan di perusahaan skala kabupaten/kota. 9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala kabupaten/kota.

1854

10. Koordinasi pelaksanaan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) skala nasional. 11. Koordinasi hasil pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh dari provinsi. 12. Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembagalembaga ketenagakerjaan nasional berdasarkan hasil verifikasi

10. Koordinasi pelaksanaan verifikasi keanggotaan SP/SB skala provinsi. 11. Koordinasi hasil pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala provinsi dan melaporkannya kepada pemerintah. 12. Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala provinsi untuk duduk dalam lembagalembaga ketenagakerjaan provinsi berdasarkan hasil verifikasi

10. Verifikasi keanggotaan SP/SB skala kabupaten/kota. 11. Pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala kabupaten/kota dan melaporkannya kepada provinsi. 12. Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembaga- lembaga ketenagakerjaan kabupaten/kota berdasarkan hasil verifikasi.

7. Pembinaan Ketenagakerjaan

1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala nasional. 2. Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. 3. Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. 4. Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap

1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala provinsi. 2. Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi. 3. Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi. 4. Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap

1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 2. Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 3. Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 4. Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap

1855

pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala nasional. 5.a.Penetapan rencana tahunan audit dan sertifikasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). b. 6. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis dan berskala nasional. 7. Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis dan berskala nasional. 8. Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.

pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala provinsi. 5.a. Pelaksanaan penerapan SMK3 skala provinsi. b.Pelaksanaan koordinasi dan audit SMK3 skala provinsi. 6. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, kesehatan dan keselamatan kerja

perusahaan dan pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 5.a. Pelaksanaan penerapan SMK3 skala kabupaten/kota. b.Pelaksanaan koordinasi dan audit SMK3 skala kabupaten/kota. 6. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota.

yang bersifat strategis skala provinsi. 7. Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis skala provinsi. 8. Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.

7. Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota. 8. Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.

1856

9. Fasilitasi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. 10. Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. 11.a. Penyelenggaraan diklat teknis/fungsional pengawasan ketenagakerjaan. b.

12. Penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian pegawai pengawas ketenagakerjaan. 13. Penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan. 14. Penerbitan kartu Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang ketenagakerjaan.

15. Penetapan sertifikasi, penunjukan, penerbitan lisensi bagi lembaga personil, dan kader ketenagakerjaan.

9. Fasilitasi penyelenggaraan pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi. 10. Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi. 11. a. Pengusulan calon peserta diklat pengawasan ketenagakerjaan kepada pemerintah. b. Bekerjasama dengan pusat menyelenggarakan diklat teknis pengawasan ketenagakerjaan. 12. Pengusulan calon pegawai pengawas ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah. 13. Pengusulan penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah. 14. Pengusulan kartu PPNS bidang ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah. 15.

9. Fasilitasi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 10. Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 11.a. Pengusulan calon peserta diklat pengawasan ketenagakerjaan kepada pemerintah dan/atau pemerintah provinsi. b.

12. Pengusulan calon pegawai pengawas ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah. 13. Pengusulan penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah. 14. Pengusulan kartu PPNS bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah.

15.

1857

2. Ketransmigrasian

1. Kebijakan, Perencanaan, Pembinaan, dan Pengawasan

1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian. 2. Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang

1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan perumusan kebijakan daerah serta pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi. 2. Pengendalian, evaluasi, dan pelaporan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang ketransmigrasian skala provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan provinsi, perumusan kebijakan daerah dan pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota. 2. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.

ketransmigrasian skala nasional. 3. Koordinasi dan integrasi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional. 4. Perumusan kebijakan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala nasional. 5. Perancangan pembangunan transmigrasi nasional, serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketransmigrasian skala nasional. 6. Pemberdayaan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.

3. Sinkronisasi dan pengendalian pelaksanaan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi. 4. Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala provinsi berdasarkan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah. 5. Perancangan pembangunan transmigrasi daerah provinsi, serta pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketransmigrasian skala provinsi. 6. Pemberdayaan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi.

3. Integrasi pelaksanaan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota. 4. Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota berdasarkan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah.

5. Perancangan pembangunan transmigrasi daerah kabupaten/kota, serta pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketransmigrasian skala kabupaten/kota. 6. Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.

1858

2. Pembinaan SDM Aparatur

1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur,

1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring,

1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan

kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional. 2. Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur

evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintahan daerah provinsi. 2. Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah provinsi. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur

SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah kabupaten/kota. 2. Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah kabupaten/kota. 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah

1859

pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional. 4. Perumusan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian. 5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian di instansi pusat.

pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah provinsi. 4. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketransmigrasian skala pemerintah daerah provinsi. 5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian instansi provinsi.

daerah kabupaten/kota. 4. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketransmigrasian skala pemerintah daerah kabupaten/kota. 5. Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian instansi kabupaten/kota.

3. Penyiapan Permukiman dan Penempatan

1.a. Perencanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigrasi untuk kepentingan nasional dan daerah. b.

1.a. Pengusulan rencana lokasi pembangunan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) atau Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) skala provinsi berdasarkan hasil pembahasan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota. b.Pengusulan rencana pengarahan, perpindahan, dan penempatan transmigrasi skala provinsi berdasarkan hasil pembahasan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.

1.a. Pengalokasian tanah untuk pembangunan WPT atau LPT di wilayah kabupaten/kota. b.Pengusulan rencana lokasi pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.

1860

c. d. 2.a. Penyediaan tanah untuk pembangunan WPT atau LPT untuk kepentingan nasional dan daerah. b.

c. d. 2.a. Koordinasi penyediaan tanah untuk pembangunan WPT atau LPT skala provinsi. b.

c. Pengusulan rencana kebutuhan SDM untuk mendukung pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. d.Pengusulan rencana pengarahan dan perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota. 2.a. Penyelesaian legalitas tanah untuk rencana pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. b.Penetapan alokasi penyediaan tanah untuk rencana pembangunan WPT dan LPT skala kabupaten/kota.

3. Penyusunan dan penetapan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT dalam rangka kepentingan nasional dan daerah. 4. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian dalam rangka kepentingan nasional dan daerah. 5.a. Pengembangan dan pelayanan investasi dan kemitraan dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala nasional dan daerah. b.

3. Pengusulan rancangan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT skala provinsi. 4. KIE ketransmigrasian skala provinsi. 5.a. Penyediaan informasi pengembangan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala provinsi. b.Mediasi dan koordinasi pelayanan investasi dalam rangka

3. Penyediaan data untuk penyusunan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. 4. KIE ketransmigrasian skala kabupaten/kota. 5.a. Penyediaan informasi pengembangan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. b.Pelayanan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.

1861

6.a. Pengembangan kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi skala nasional. b. 7. Pembangunan WPT atau LPT dalam rangka kepentingan nasional dan daerah. 8.a. Penyiapan calon transmigran skala nasional.

pembangunan WPT atau LPT skala provinsi. 6.a. Mediasi kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi skala provinsi. b. 7. Koordinasi pelaksanaan pembangunan WPT atau LPT skala provinsi. 8.a. Koordinasi pelaksanaan penyiapan calon transmigran skala provinsi.

6.a. Penjajagan kerjasama dengan daerah kabupaten/kota lain. b.Pembuatan naskah kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi. 7. Sinkronisasi pembangunan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala kabupaten/kota. 8.a. Pendaftaran dan seleksi calon transmigran skala kabupaten/kota.

b. 9. Peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala nasional. 10. Fasilitasi perpindahan dan penempatan transmigran skala nasional. 11. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan

b. 9. Koordinasi pelaksanaan peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala provinsi. 10. Koordinasi pelaksanaan pelayanan perpindahan dan penempatan transmigran skala provinsi. 11. Pengendalian dan supervisi penyiapan permukiman dan penempatan transmigran skala

b.Penetapan status calon transmigran skala kabupaten/kota berdasarkan kriteria pemerintah. 9. Peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala kabupaten/kota. 10. Pelayanan penampungan calon transmigran skala kabupaten/kota. 11. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigran di wilayah

transmigran skala nasional.

provinsi.

kabupaten/kota.

1862

4. Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi

1. Perencanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala nasional. 2. Peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT skala nasional. 3. Pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT skala nasional.

1. Sinkronisasi dan pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi. 2. Koordinasi pelaksanaan peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi. 3. Koordinasi pelaksanaan pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi. 4. Koordinasi pelaksanaan pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT skala provinsi. 5. Koordinasi pelaksanaan penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala provinsi. 6.a. Koordinasi dan sinkronisasi penyajian data dan informasi tentang perkembangan WPT atau LPT skala provinsi. b.Pengusulan calon WPT atau LPT yang dapat dialihkan tanggungjawab pembinaan khususnya dalam skala provinsi. 7. Pengendalian dan supervisi pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi.

1. Pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala kabupaten/kota. 2. Sinkronisasi peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota. 3. Sinkronisasi pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota.

4. Pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT skala nasional. 5. Penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar. 6.a. Evaluasi dan pengukuran tingkat keberhasilan pembangunan transmigrasi dan pengalihan

4. Sinkronisasi pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota. 5. Sinkronisasi penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala kabupaten/kota. 6.a. Penyediaan data dan informasi tentang perkembangan WPT dan LPT skala kabupaten/kota.

tanggungjawab pembinaan khusus WPT atau LPT skala nasional. b. 7. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala nasional.

b.Pengusulan calon WPT atau LPT yang dapat dialihkan tanggungjawab pembinaan khususnya dalam skala kabupaten/kota. 7. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi di wilayah kabupaten/kota.

1863

5. Pengarahan Dan Fasilitasi Perpindahan Transmigrasi

1.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala nasional. b.Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala nasional. c.

1.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala provinsi. b.Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala provinsi. c.

1.a. Pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala kabupaten/kota. b.Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala kabupaten/kota. c. Peningkatan motivasi perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota.

d. 2.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan penyerasian rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi lintas provinsi. b.

d. 2.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, penyusunan dan penyerasian rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala provinsi. b.

d.Penyamaan persepsi, kesepahaman, kesepakatan mengenai pembangunan ketransmigrasian skala kabupaten/kota. 2.a. Identifikasi dan analisis keserasian penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan skala kabupaten/kota. b.Pemilihan dan penetapan daerah dan kelompok sasaran perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota.

1864

c. 3. Fasilitasi kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung skala nasional. 4.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelayanan perpindahan transmigrasi skala nasional.

c. 3. Mediasi kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung skala provinsi. 4.a. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelayanan perpindahan transmigrasi skala provinsi.

c. Penyusunan rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang skala kabupaten/kota. 4.a. Pelayanan pendaftaran dan seleksi perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi.

b. c. d. e.

b. c. d. e.

b.Pelayanan pelatihan dalam rangka penyesuaian kompetensi perpindahan transmigrasi. c. Pelayanan penampungan, permakanan, kesehatan, perbekalan, dan informasi perpindahan transmigrasi. d.Pelayanan pengangkutan dalam proses perpindahan transmigrasi. e.Pelayanan dan pengaturan penempatan, adaptasi lingkungan dan konsoliasi penempatan transmigrasi. 5. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi di wilayah kabupaten/kota.

5. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala nasional.

5. Pengendalian dan supervisi pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala provinsi.

1865

14. Bidang Koperasi dan UKM


SUB BIDANG 1. Kelembagaan Koperasi SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi. 2.a. Pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi. b. 3. Pengesahan dan perubahan Anggaran Dasar (AD) yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang koperasi. PEMERINTAHAN DAERAH P ROVINSI 1. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi. 2.a. Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta penetapan pembubaran koperasi lintas kabupaten/kota. (Tugas Pembantuan) b.Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi lintas kabupaten/kota. 3. Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi lintas kabupaten/kota. PEMERINTAHAN DAERAH KAB UPATEN/KOTA 1. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi. 2.a. Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. (Tugas Pembantuan) b.Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. 3. Fasilitasi pelaksanaan pengesahan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

4. Penetapan pembubaran koperasi. 5.a. Pembinaan dan Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi di tingkat nasional. b.

4. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat provinsi. 5.a. Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat provinsi. b.Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat provinsi (Tugas Pembantuan).

4. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan pedoman pemerintah di tingkat kabupaten/kota. 5.a.Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat kabupaten/kota. b.Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat kabupaten/kota (Tugas Pe mbantuan).

1866

2. Pemberdayaan Koperasi

1. Penetapan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi: a.Prinsip kesehatan dan prinsip kehati-hatian usaha KSP dan USP;

1. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi: a. Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat provinsi sesuai dengan kebijakan pemerintah;

1. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi: a.Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan pemerintah;

b.Tata cara penyampaian laporan tahunan bagi KSP dan USP; c. Tata cara pembinaan KSP dan USP; d.Pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP; e. Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP yang tidak melaksanakan kewajibannya;

b.Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP lintas kabupaten/kota; c. Pembinaan KSP dan USP lintas kabupaten/kota; d.Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP lintas kabupaten/kota; e. Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP lintas kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya;

b.Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota; c. Pembinaan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota; d.Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota; e. Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya;

2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi. 3. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi. 4. Perlindungan kepada koperasi.

2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah provinsi. 3. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi lintas kabupaten/kota. 4. Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah provinsi.

2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. 3. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. 4. Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.

1867

3. Pemberdayaan UKM

1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional meliputi: a.Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;

1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat provinsi meliputi: a. Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;

1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat kabupaten/kota meliputi: a.Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;

b.Persaingan; c. Prasarana; d.Informasi; e. Kemitraan; f. Perijinan; g. Perlindungan. 2. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat nasional meliputi: a.Produksi; b.Pemasaran; c. Sumber daya manusia; d.Teknologi.

b.Persaingan; c. Prasarana; d.Informasi; e. Kemitraan; f. Perijinan; g. Perlindungan. 2. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat provinsi meliputi: a. Produksi; b.Pemasaran; c. Sumber daya manusia; d.Teknologi.

b.Persaingan; c. Prasarana; d.Informasi; e. Kemitraan; f. Perijinan; g. Perlindungan. 2. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat kabupaten/kota meliputi: a.Produksi; b.Pemasaran; c. Sumber daya manusia; d.Teknologi.

3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat nasional meliputi: a.Kredit perbankan; b.Penjaminan lembaga bukan bank; c. Modal ventura; d.Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN; e. Hibah; f. Jenis pembiayaan lain.

3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat provinsi meliputi: a. Kredit perbankan; b.Penjaminan lembaga bukan bank; c. Modal ventura; d.Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN; e. Hibah; f. Jenis pembiayaan lain.

3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat kabupaten/kota meliputi: a.Kredit perbankan; b.Penjaminan lembaga bukan bank; c. Modal ventura; d.Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN; e. Hibah; f. Jenis pembiayaan lain.

1868

4. Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi

1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan koperasi dan UKM.

1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM lintas kabupaten/kota.

1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam wilayah kabupaten/kota.

1869

15. Bidang Penanaman Modal


SUB BIDANG 1. Kebijakan Pe nanaman Modal SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan Penanaman Modal PEMERINTAH 1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal Indonesia dalam bentuk rencana umum penanaman modal nasional dan rencana strategis nasional sesuai dengan program pembangunan nasional. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah provinsi dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah provinsi, berkoordinasi dengan Pemerintah. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah kabupaten/kota dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah kabupaten/kota, berkoo rdinasi dengan pemerintah provinsi. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala nasional terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal. 3. Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan nasional dibidang penanaman modal meliputi:

2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala provinsi terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah. 3. Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah provinsi di bidang penanaman modal meliputi:

2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala kabupaten/kota terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi. 3. Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah kabupaten/kota di bidang penanaman modal meliputi:

1870

(1) Bidang usaha yang tertutup. (2) Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. (3) Bidang usaha yang menjadi prioritas tinggi dalam skala nasional.

(1) Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup. (2) Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan. (3) Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi dalam skala provinsi.

(1) Penyiapan usulan bidangbidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup. (2) Penyiapan usulan bidangbidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan. (3) Penyiapan usulan bidangbidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi di kabupaten/kota.

(4) Penyusunan peta investasi Indonesia, potensi sumber daya nasional termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar. (5) Usulan pemberian fasilitas fiskal dan non fiskal.

(4) Penyusunan peta investasi daerah provinsi dan potensi sumber daya daerah terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar berdasarkan masukan dari daerah kabupaten/kota. (5) Usulan dan pemberian fasilitas penanaman modal di luar fasilitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi

(4) Penyusunan peta investasi daerah kabupaten/kota dan identifikasi potensi sumber daya daerah kabupaten/kota terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar. (5) Usulan dan pemberian insentif penanaman modal di luar faslitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi

1871

4. Mengkaji, merumuskan dan menyusun, dan menetapkan kebijakan dan ketentuan peraturan perundang- undangan dibidang penanaman modal.

kewenangan provinsi. 4. Menetapkan peraturan daerah provinsi tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

kewenangan kabupaten/kota. 4. Menetapkan peraturan daerah kabupaten/kota tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.

2. Pelaksanaan Kebijakan Pe nanaman Modal

1. Kerjasama Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal.

1. Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat provinsi.

1. Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.

2. Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama internasional di bidang penanaman modal.

2. Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat provinsi.

2. Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.

2. Promosi Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan dalam promosi penanaman modal.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat provinsi.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.

1872

2. Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. 3. Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala nasional.

2. Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal daerah Provinsi baik di dalam negeri maupun ke luar negeri yang melibatkan lebih dari satu kabupaten/kota. 3. Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala Provinsi.

2. Melaksanakan promosi penanaman modal daerah kabupaten/kota baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. 3. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun materi promosi skala kabupaten/kota.

3. Pelayanan Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pela yananan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman

2. Melayani dan memfasilitasi: a. Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi;

yang bersifat lintas kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah. 2.

modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah. 2.

1873

b.Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional; c. Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi; d.Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional;

e. Penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan f. Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undangundang.

1874

3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah. 4. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memeiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah.

3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi. 4. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.

3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. 4. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

5. Pemberian persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal.

5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan provinsi.

5. Pemberian usu lan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

4. Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal skala nasional. 2. Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi atau

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di provinsi. 2. Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan berkoordinasi dengan Pemerintah atau pemerintah

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di kabupaten/kota. 2. Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoo rdinasi dengan Pemerintah dan

1875

5. Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala nasional. 2. Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala provinsi. 2. Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah kabupaten/kota.

1. Mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/kota. 2. Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah provinsi.

3. Mengoordinasikan pengumpulan dan pengolahan data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala nasional. 4. Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal nasional.

3. Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi pro yek penanaman modal skala provinsi. 4. Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.

3. Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala kabupaten/kota. 4. Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.

6. Penyebar- luasan, Pendidikan dan Pelatihan Penanaman Modal

1. Membina dan mengawasi pelaksanaan penanaman modal di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.

1. Membina dan mengawasi pelaksanaan instansi penanaman modal kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.

1. Membina dan mengawasi pelaksanaan di bidang sistem informasi penanaman modal.

1876

2. Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, perjanjian kerjasama internasional di bidang penanaman modal baik kerjasama bilateral, sub regional, regional, dan multilateral, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala nasional kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha;

2. Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala provinsi kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha.

2. Melaksanakan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/ kota kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha.

3. Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala nasional.

3. Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala provinsi.

3. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala kabupaten/ kota.

1877

16. Bidang Kebudayaan dan Pariwisata


SUB BIDANG 1. Kebijakan Bidang Kebudayaan SUB SUB BIDANG 1. Kebudayaan PEMERINTAH 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan nasional. 2. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang kebudayaan. 3. Kriteria nasional sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan skala provinsi. 2. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai perlindungan HKI bidang kebudayaan. 3. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kriteria sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai perlindungan HKI bidang kebudayaan. 3. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kriteria sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan. NSPK YA TIDAK JUMLAH NSPK

4. Kerjasama luar negeri bidang kebudayaan.

4. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala provinsi.

4. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala kabupaten/ kota.

1878

2. Tradisi

1. Penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa. 2. Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala nasional.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang penanaman nilainilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa. 2. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi serta penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa. 2. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala kabupaten/kota.

1879

3. Perfilman

1. Penetapan kebijakan nasional bidang perfilman. 2. Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing. 3. Usaha perfilman, yang meliputi produksi, pengedaran, dan penayangan film.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan operasional perfilman skala provinsi. 2. Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing skala provinsi. 3. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang usaha perfilman yang meliputi produksi, pengedaran, penayangan film.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan operasional perfilman skala kabupaten/kota. 2. Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing skala kabupaten/kota. 3. Pemberian perizinan usaha perfilman di bidang pembuatan film, pengedaran film, penjualan dan penyewaan film (VCD, DVD), pertunjukan film (bioskop), pertunjukan film keliling, penayangan film melalui media elektronik, dan tempat hiburan.

1880

4. Standarisasi di bidang profesi, dan teknologi perfilman. 5. Kerjasama luar negeri di bidang perfilman. 6. Kebijakan peredaran, pertunjukan dan penayangan film serta rekaman video.

4. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang standarisasi profesi dan teknologi perfilman. 5. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kerjasama luar negeri di bidang perfilman. 6. Pengawasan peredaran film dan rekaman video (VCD/DVD) skala provinsi.

4. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kegiatan standarisasi profesi dan teknologi perfilman. 5. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kerjasama luar negeri di bidang perfilman. 6. Pengawasan dan pendataan film dan rekaman video yang beredar, perusahaan persewaan dan penjualan rekaman video serta kegiatan evaluasi dan laporan pelaksanaan kebijakan perfilman skala kabupaten/ kota.

7. Standarisasi nasional di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film. 8. Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala nasional.

7. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kegiatan standarisasi di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film skala provinsi. 8. Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala provinsi.

7. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kegiatan standarisasi di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film skala kabupaten/ kota. 8. Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala kabupaten/kota.

1881

4. Kesenian

1. Standarisasi pemberian izin untuk pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai standarisasi pemberian izin pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai standarisasi pemberian izin pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.

2. Izin pengiriman/ penerimaan misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala nasional. 3. Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat nasional dan internasional. 4. Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang kesenian. 5. Penetapan pedoman dan pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara.

2. Penerbitan rekomendasi pengiriman misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala provinsi. 3. Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat provinsi. 4. Penerapan dan monitoring implementasi SPM bidang kesenian skala provinsi. 5. Pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara skala provinsi.

2. Penerbitan rekomendasi pengiriman misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala kabupaten/kota. 3. Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat kabupaten/kota. 4. Penerapan dan monitoring implementasi SPM bidang kesenian skala kabupaten/ kota. 5. Pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara skala kabupaten/kota.

1882

6. Penetapan pedoman penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan bidang kesenian skala nasional. 7. Penetapan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni). 8. Penetapan pedoman nasional pembentukan dan/atau pengelolaan infrastruktur bidang kesenian (misalnya galeri nasional Indonesia dan pusat kebudayaan Indonesia).

6. Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan kesenian skala provinsi. 7. Penerapan dan pelaksanaan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni) skala provinsi. 8. Pelaksanaan pembentukan dan/atau pengelolaan pusat kegiatan kesenian skala provinsi (misalnya taman budaya).

6. Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan kesenian skala kabupaten/ kota. 7. Penerapan dan pelaksanaan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni) skala kabupaten/kota. 8. Pelaksanaan pembentukan dan/atau pengelolaan pusat kegiatan kesenian skala kabupaten/kota.

9. Penetapan kebijakan nasional peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional. 10. Perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala nasional.

9. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional. 10. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam rangka perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala provinsi.

9. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional. 10. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala kabupaten/kota.

1883

5. Sejarah

1. Penetapan pedoman penulisan sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal, dan sejarah kebudayaan.

1. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi, di bidang penulisan sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah skala provinsi.

1. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang penulisan sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah skala kabupaten/kota.

2. Penetapan pedoman pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan. 3. Penetapan pedoman inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah. 4. Penetapan pedoman pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah tingkat nasional.

2. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah. 3. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi dan di bidang inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah. 4. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah.

2. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah. 3. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah. 4. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah.

1884

5. Penetapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan. 6. Penetapan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan nasional. 7. Penetapan pedoman database dan sistem informasi geografi sejarah. 8. Penetapan pedoman koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah.

5. Penerapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan skala provinsi. 6. Pelaksanaan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan skala provinsi. 7. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai database dan sistem informasi geografi sejarah. 8. Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah skala provinsi.

5. Penerapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan skala kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan skala kabupaten/kota. 7. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai database dan sistem informasi geografi sejarah. 8. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah skala kabupaten/kota.

9. Penetapan pedoman penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) bidang sejarah.

9. Pelaksanaan pedoman dan penetapan kebijakan provinsi penyelenggaraan diklat bidang sejarah skala provinsi.

9. Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota penyelenggaraan diklat bidang sejarah skala kabupaten/kota.

1885

6. Purbakala

1. Penetapan pedoman pelaksanaan hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage". 2. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya (BCB)/situs skala nasional.

1. Pelaksanaan pedoman mengenai hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage" skala provinsi. 2. Penerapan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.

1. Pelaksanaan pedoman mengenai hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage" skala kabupaten/kota. 2. Penerapan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/kota.

3. Penetapan BCB/situs skala nasional. 4. Penetapan kebijakan permuseuman. 5. Penetapan pedoman penelitian arkeologi. 6. Penetapan pedoman pendirian museum. 7. Penetapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air sesuai peraturan perundang- undangan.

3. Penetapan BCB/situs skala provinsi. 4. Penerapan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan museum di provinsi. 5. Penerapan pedoman penelitian arkeologi. 6. Penerapan pedoman pendirian museum yang dimiliki provinsi. 7. Penerapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air skala provinsi.

3. Penetapan BCB/situs skala kabupaten/kota. 4. Penerapan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan museum di kabupaten/kota. 5. Penerapan pedoman penelitian arkeologi. 6. Penerapan pedoman pendirian museum yang dimiliki kabupaten/kota. 7. Penerapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air skala kabupaten/ kota.

1886

2. Pelaksanaan Bidang Kebudayaan

1. Penyelenggaraan

1. Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala nasional, meliputi: a. Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa. b. Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat. c. Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.

1. Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala provinsi, meliputi: a. Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa. b. Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat. c. Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.

1. Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala kabupaten/kota, meliputi: a. Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa. b. Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat. c. Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.

d. Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga kepercayaan dan lembaga adat. e. Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat. 2. Monitoring dan evaluasi kegiatan skala nasional meliputi: a. Pelaksanaan dan hasil kegiatan. b. Pengendalian dan pengawasan kegiatan.

d. Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga adat dan masyarakat. e. Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat. 2. Monitoring dan evaluasi kegiatan skala provinsi meliputi: a. Pelaksanaan dan hasil kegiatan. b. Pengendalian dan pengawasan kegiatan.

d. Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga adat dan masyarakat. e. Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat. 2. Monitoring dan evaluasi kegiatan skala kabupaten/kota meliputi: a. Pelaksanaan dan hasil kegiatan. b. Pengendalian dan pengawasan kegiatan.

1887

c. Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilainilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat. d. Peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat nasional. e. Peningkatan produksi, peredaran, ekspor impor, festival, pekan film dan apresiasi film. f. Pelaksanaan kebijakan sejarah nasional.

c. Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat. d. Pelaksanaan peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat provinsi. e. Pelaksanaan peningkatan apresiasi film skala provinsi. f. Pelaksanaan kebijakan sejarah daerah skala provinsi.

c. Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat. d. Pelaksanaan peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat kabupaten/kota. e. Pelaksanaan peningkatan apresiasi film skala kabupaten/kota. f. Pelaksanaan kebijakan sejarah lokal skala kabupaten/kota.

3. Penerbitan rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian ke luar negeri. 4. Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di berbagai daerah untuk kepentingan nasional dan internasional. 5. Koordinasi kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern secara nasional. 6. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program perfilman.

3. Pengajuan usul rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian Indonesia ke luar negeri dari provinsi. 4. Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di provinsi. 5. Penyelenggaraan koordinasi kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern di provinsi. 6. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional perfilman skala provinsi.

3. Pengajuan usul rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian Indonesia ke luar negeri dari kabupaten/kota. 4. Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di kabupaten/kota. 5. Penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern di kabupaten/kota. 6. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional perfilman skala kabupaten/kota.

1888

7. Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba berskala nasional yang dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan. 8. Pemberian izin pembuatan film kepada tim produksi asing di Indonesia. 9. Pemberian rekomendasi penyelenggaraan festival film internasional dan festival film Indonesia. 10. Koordinasi dan fasilitasi organisasi/lembaga perfilman. 11. Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video.

7. Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba secara berjenjang dan berkala di tingkat provinsi. 8. Koordinasi dan pengawasan pembuatan film oleh tim asing di provinsi. 9. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan kegiatan- kegiatan festival film dan pekan film daerah di provinsi. 10. Fasilitasi organisasi/lembaga perfilman di provinsi. 11. Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video di provinsi.

7. Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba secara berjenjang dan berkala di tingkat kabupaten/kota. 8. Pengawasan pembuatan film oleh tim asing di kabupaten/ kota. 9. Pemberian izin pelaksanaan kegiatankegiatan festival film dan pekan film di kabupaten/ kota. 10. Fasilitasi organisasi/lembaga perfilman di kabupaten/kota. 11. Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video di kabupaten/kota.

1889

12. Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman. 13. Perizinan membawa BCB keluar wilayah Republik Indonesia. 14. Penyebarluasan informasi sejarah nasional. 15. Pemberian penghargaan bidang sejarah tingkat nasional. 16. Pelaksanaan kongres sejarah tingkat nasional. 17. Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat nasional.

12. Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman di tingkat provinsi. 13. Perizinan membawa BCB ke luar provinsi. 14. Penyebarluasan informasi sejarah lokal di provinsi. 15. Pelaksanaan pemberian penghargaan bidang sejarah lokal di provinsi. 16. Pelaksanaan kongres sejarah tingkat daerah di provinsi. 17. Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat lokal di provinsi.

12. Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman di tingkat kabupaten/kota. 13. Perizinan membawa BCB ke luar kabupaten/kota dalam satu provinsi. 14. Penyebarluasan informasi sejarah lokal di kabupaten/ kota. 15. Pelaksanaan pemberian penghargaan bidang sejarah lokal di kabupaten/kota. 16. Pelaksanaan kongres sejarah tingkat daerah di kabupaten/ kota. 17. Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat lokal di kabupaten/ kota.

18. Pelaksanaan seminar dalam perspektif sejarah nasional. 19. Pelaksanaan musyawarah kerja nasional bidang sejarah. 20. Pengkajian dan penulisan sejarah nasional, sejarah kebudayaan dan sejarah wilayah. 21. Pemetaan sejarah nasional. 22. Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah antar departemen/kementerian instansi pusat dan antar daerah.

18. Pelaksanaan seminar/ lokakarya sejarah lokal dalam perspektif nasional di provinsi. 19. Pelaksanaan musyawarah kerja daerah bidang sejarah skala provinsi. 20. Pengkajian dan penulisan sejarah daerah dan sejarah kebudayaan daerah di provinsi. 21. Pemetaan sejarah skala provinsi. 22. Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah di provinsi.

18. Pelaksanaan seminar/ lokakarya sejarah lokal dalam perspektif nasional di kabupaten/kota. 19. Pelaksanaan musyawarah kerja daerah bidang sejarah skala kabupaten/kota. 20. Pengkajian dan penulisan sejarah daerah dan sejarah kebudayaan daerah di kabupaten/kota. 21. Pemetaan sejarah skala kabupaten/kota. 22. Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah di kabupaten/ kota.

1890

23. Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia. 24. Registrasi BCB/situs dan kawasan skala nasional. 25. Pengusulan penetapan warisan budaya dunia dan penetapan BCB/situs skala nasional. 26. Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemanfaatan BCB/situs peringkat nasional dan warisan budaya dunia skala internasional.

23. Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia skala provinsi. 24. Registrasi BCB/situs dan kawasan provinsi. 25. Pengusulan penetapan BCB/situs nasional kepada pusat dan penetapan BCB/situs skala provinsi. 26. Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.

23. Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia skala kabupaten/kota. 24. Registrasi BCB/situs dan kawasan skala kabupaten/ kota. 25. Pengusulan penetapan BCB/situs provinsi kepada provinsi dan penetapan BCB/situs skala kabupaten/ kota. 26. Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/ kota.

1891

27. Koordinasi, dan peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs. 28. Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs bawah air lebih dari 12 (duabelas) mil laut. 29. Pengembangan dan pemanfaatan museum nasional. 30. Registrasi museum dan koleksi. 31. Penyelenggaraan akreditasi museum.

27. Koordinasi, dan fasilitasi peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs skala provinsi. 28. Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs di atas 4 (empat) sampai dengan 12 (duabelas) mil laut dari garis pantai atas rekomendasi pemerintah. 29. Pengembangan dan pemanfaatan museum provinsi. 30. Registrasi museum dan koleksi di provinsi. 31. Penyelenggaraan akreditasi museum di provinsi.

27. Koordinasi, dan fasilitasi, peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/kota. 28. Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs bawah air sampai dengan 4 (empat) mil laut dari garis pantai atas rekomendasi pemerintah. 29. Pengembangan dan pemanfaatan museum kabupaten/kota. 30. Registrasi museum dan koleksi di kabupaten/kota. 31. Penyelenggaraan akreditasi museum di kabupaten/kota.

32. Penambahan dan penyelamatan koleksi museum nasional.

32. Penambahan dan penyelamatan koleksi museum di provinsi.

32. Penambahan dan penyelamatan koleksi museum di kabupaten/kota.

1892

3. Kebijakan Bidang Kepariwisataan

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan: a. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) nasional. b. Pengembangan sistem informasi pariwisata nasional.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan skala provinsi: a. RIPP provinsi. b. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pengembangan sistem informasi pariwisata.

1. Pelaksanaan kebijakan nasional, provinsi dan penetapan kebijakan skala kabupaten/kota: a. RIPP kabupaten/kota. b. Pelaksanaan kebijakan nasional, provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan sistem informasi pariwisata.

c. Standarisasi bidang pariwisata. d. Pedoman manajemen pengembangan destinasi pariwisata. e. Pedoman pembinaan dan penyelenggaraan izin usaha pariwisata.

c. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam penerapan standarisasi bidang pariwisata. d. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan pedoman pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi. e. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pembinaan usaha dan penyelenggaraan usaha pariwisata skala provinsi.

c. Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam penerapan standarisasi bidang pariwisata. d. Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan pedoman pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten/ kota. e. Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan kebijakan dalam pembinaan usaha dan penyelenggaraan usaha pariwisata skala kabupaten/ kota.

1893

f. Pedoman perencanaan pemasaran. g. Pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/event budaya dan pariwisata. h. Pedoman dan penyelenggaraan widya wisata (familiarization trip/tour). i. Pedoman kerjasama pemasaran nasional dan internasional.

f. Penetapan dan pelaksanaan pedoman perencanaan pemasaran skala provinsi. g. Penetapan dan pelaksanaan pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/event budaya dan pariwisata skala provinsi. h. Penetapan dan pelaksanaan pedoman dan penyelenggaraan widya wisata skala provinsi. i. Penetapan dan pelaksanaan pedoman kerjasama pemasaran skala provinsi.

f. Penetapan dan pelaksanaan pedoman perencanaan pemasaran skala kabupaten/kota. g. Penetapan dan pelaksanaan pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/event budaya dan pariwisata skala kabupaten/ kota. h. Penetapan dan pelaksanaan pedoman dan penyelenggaraan widya wisata skala kabupaten/ kota. i. Penetapan dan pelaksanaan pedoman kerjasama pemasaran skala kabupaten/kota.

1894

2. Pemberian izin usaha pariwisata skala nasional. 3. Fasilitasi kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata. 4. Fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata skala nasional. 5. Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala nasional.

2. Pemberian izin usaha pariwisata skala provinsi. 3. Pelaksanaan kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi. 4. Fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi. 5. Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala provinsi.

2. Pemberian izin usaha pariwisata skala kabupaten/ kota. 3. Pelaksanaan kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten/kota. 4. Pelaksanaan kerjasama pengem-bangan destinasi pariwisata skala kabupaten/ kota. 5. Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala kabupaten/kota.

4. Pelaksanaan Bidang Kepariwisataan

1. Penyelenggaraan

1. Penyelenggaraan promosi skala nasional dan internasional : a. Penyelenggaraan widya wisata (familiarization

1. Penyelenggaraan promosi skala provinsi : a. Penyelenggaraan widya wisata skala provinsi serta

1. Penyelenggaraan promosi skala kabupaten/kota: a. Penyelenggaraan widya wisata skala kabupaten/kota

1895

trip/tour) skala nasional dan internasional. b. Penyelenggaraan pameran/event, roadshow skala nasional. c. Pengadaan sarana pemasaran skala nasional/kawasan/ internasional. d. Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di luar negeri. e. Pembentukan pusat pelayanan informasi pariwisata skala nasional.

mengirim dan menerima peserta grup widya wisata. b. Peserta/penyelenggara pameran/ event, roadshow bekerja sama dengan pemerintah. c. Pengadaan sarana pemasaran skala provinsi. d. Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di dalam negeri skala provinsi. e. Penyediaan informasi pariwisata ke pusat pelayanan informasi pariwisata nasional dan pembentukan pusat

serta mengirim dan menerima peserta grup widya wisata. b. Peserta/penyelenggara pameran/ event, roadshow bekerja sama dengan pemerintah/provinsi. c. Pengadaan sarana pemasaran skala kabupaten/ kota. d. Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di dalam negeri skala kabupaten/kota. e. Penyediaan informasi pariwisata ke pusat pelayanan informasi pariwisata provinsi dan pembentukan pusat

1896

f. Pelaksanaan event promosi di luar negeri. 2. Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala nasional. 3. Penetapan branding pariwisata skala nasional.

pelayanan informasi pariwisata skala provinsi. f. Pelaksanaan event promosi di luar negeri dengan koordinasi pemerintah. 2. Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala provinsi. 3. Penerapan branding pariwisata nasional dan penetapan tagline pariwisata skala provinsi.

pelayanan informasi pariwisata skala kabupaten/ kota. f. Pelaksanaan event promosi di luar negeri dengan koordinasi pemerintah dan provinsi. 2. Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala kabupaten/kota. 3. Penerapan branding pariwisata nasional dan penetapan tagline pariwisata skala kabupaten/ kota.

5. Kebijakan Bidang Kebudayaan dan Pariwisata

1. Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional.

1. Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.

1. Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional skala kabupaten/kota.

1897

2. Kebijakan pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata nasional. 3. Kebijakan penelitian kebudayaan dan pariwisata nasional. 4. Rancangan induk penelitian arkeologi nasional.

2. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata skala provinsi. 3. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi penelitian kebudayaan dan pariwisata skala provinsi. 4. Pelaksanaan rancangan induk penelitian arkeologi nasional oleh provinsi berkoordinasi dengan Balai Arkeologi.

2. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota penelitian kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten/kota. 4. Pelaksanaan rancangan induk penelitian arkeologi nasional oleh kabupaten/kota berkoordinasi dengan Balai Arkeologi.

1898

17. Bidang Kepemudaan dan Olahraga


SUB BIDANG 1. Kepemudaan SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan di bidang Kepemudaan PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala nasional : a. Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan. b. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan. c. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral. d. Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala provinsi : a. Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan. b. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan. c. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral. d. Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota : a. Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan. b. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan. c. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral. d. Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

1899

e. Kemitraan dan kewirausahaan. f. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ). g. Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan. h. Pengaturan sistem penganugerahan prestasi. i. Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana. j. Pengembangan jaringan dan sistem informasi.

e. Kemitraan dan kewirausahaan. f. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ). g. Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan. h. Pengaturan sistem penganugerahan prestasi. i. Peningkatan prasarana dan sarana. j. Pengembangan jaringan dan sistem informasi.

e. Kemitraan dan kewirausahaan. f. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ). g. Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan. h. Pengaturan sistem penganugerahan prestasi. i. Peningkatan prasarana dan sarana. j. Pengembangan jaringan dan sistem informasi.

k. Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan. l. Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan. m.Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif. n. Hubungan internasional.

k. Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan. l. Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan. m.Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif. n.

k. Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan. l. Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan. m. Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif. n.

2. Pelaksanaan

1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala nasional : a. Aktivitas kepemudaan yang berskala nasional dan internasional.

1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala provinsi : a. Aktivitas kepemudaan yang berskala provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota : a. Aktivitas kepemudaan yang berskala kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional.

1900

b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas provinsi. c. Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda berskala nasional. d. Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat nasional. e. Kerjasama antar provinsi dan internasional.

b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas kabupaten/kota. c. Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda. d. Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat provinsi. e. Kerjasama antar kabupaten/kota skala provinsi, pemerintah dan internasional

b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas kecamatan skala kabupaten/kota. c. Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda. d. Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat kabupaten/kota. e. Kerjasama antar kecamatan skala kabupaten/kota, provinsi, pemerintah dan internasional.

3. Koordinasi

1. Koordinasi bidang kepemudaan skala nasional : a. Koordinasi antar Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah. c. Koordinasi antar pemerintah dan daerah. d. Koordinasi antar negara.

1. Koordinasi bidang kepemudaan skala provinsi : a. Koordinasi antar dinas instansi terkait. b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah. c. Koordinasi antar provinsi dan kabupaten/kota. d.

1. Koordinasi bidang kepemudaan skala kabupaten/kota : a. Koordinasi antar dinas instansi terkait. b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah. c. Koordinasi antar kecamatan skala kabupaten/kota. d.

1901

4. Pembinaan dan Pengawasan

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala nasional: a. Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan. b. Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan. c. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan. d. Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala provinsi: a. Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan. b. Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan. c. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan. d. Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota: a. Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan. b. Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan. c. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan. d. Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

e. Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan. f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan. g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

e. Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan. f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan. g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

e. Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan. f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan. g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.

h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.

h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.

h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.

1902

2. Olahraga

1. Kebijakan di Bidang Keolahragaan

1. Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala nasional : a. Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga. b. Penyelenggaraan keolahragaan. c. Pembinaan dan pengembangan keolahragaan. d. Pengelolaan keolahraagaan.

1. Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala provinsi : a. Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga. b. Penyelenggaraan keolahragaan. c. Pembinaan dan pengembangan keolahragaan. d. Pengelolaan keolahragaan.

1. Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota : a. Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga. b. Penyelenggaraan keolahragaan. c. Pembinaan dan pengembangan keolahragaan. d. Pengelolaan keolahragaan.

e. Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga. f. Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga. g. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan. h. Pendanaan keolahragaan. i. Pengembangan IPTEK keolahragaan. j. Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.

e. Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga. f. Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga. g. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan. h. Pendanaan keolahragaan. i. Pengembangan IPTEK keolahragaan. j. Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.

e. Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga. f. Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga. g. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan. h. Pendanaan keolahragaan. i. Pengembangan IPTEK keolahragaan. j. Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.

k. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga. l. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat. m.Pengembangan manajemen olahraga. n. Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga. o. Pengembangan IPTEK olahraga.

k. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga. l. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat. m. Pengembangan manajemen olahraga. n. Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga. o. Pengembangan IPTEK olahraga.

k. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga. l. Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat. m.Pengembangan manajemen olahraga. n. Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga. o. Pengembangan IPTEK olahraga.

1903

p. Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga. q. Pembangunan dan pengembangan industri olahraga. r. Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga. s. Pengaturan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan. t. Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.

p. Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga. q. Pembangunan dan pengembangan industri olahraga. r. Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga. s. Pengaturan pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan. t. Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.

p. Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga. q. Pembangunan dan pengembangan industri olahraga. r. Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga. s. Pengaturan pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan. t. Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.

u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan. v. Kriteria lembaga keolahragaan. w. Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat. x. Hubungan internasional di bidang keolahragaan.

u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan. v. Kriteria lembaga keolahragaan. w. Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat. x.

u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan. v. Kriteria lembaga keolahragaan. w. Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat. x.

1904

2. Pelaksanaan

1. Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala nasional : a. Aktivitas keolahragaan skala nasional dan internasional. b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas provinsi. c. Kerjasama antar provinsi dan internasional. d. Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.

1. Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala provinsi : a. Aktivitas keolahragaan skala provinsi, nasional dan internasional. b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas kabupaten/kota. c. Kerjasama antar kabupaten/kota skala provinsi, pemerintah dan internasional. d. Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.

2. Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota : a. Aktivitas keolahragaan skala kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional. b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas kecamatan skala kabupaten/kota. c. Kerjasama antar kecamatan skala kabupaten/kota, provinsi, pemerintah dan internasional. d. Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.

e. Pendanaan keolahragaan. f. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan. g. Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.

e. Pendanaan keolahragaan. f. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan. g. Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.

e. Pendanaan keolahragaan. f. Pendidikan dan pelatihan keolahragaan. g. Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.

3. Koordinasi

1. Koordinasi bidang keolahragaan skala nasional : a. Koordinasi antar Departemen/LPND. b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.

1. Koordinasi bidang keolahragaan skala provinsi: a. Koordinasi antar dinas/instansi terkait. b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah dan masyarakat.

1. Koordinasi bidang keolahragaan skala kabupaten/kota : a. Koordinasi antar dinas/instansi terkait. b. Koordinasi dengan lembaga non pemerintah dan masyarakat.

c. Koordinasi antara pemerintah dan daerah serta masyarakat. d. Koordinasi pihak luar negeri/internasional.

c. Koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota. d.

c. Koordinasi antara kabupaten/kota dan kecamatan. d.

1905

4. Pembinaan dan Pengawasan

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala nasional : a. Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan. b. Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala provinsi: a. Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan. b. Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.

1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota : a. Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan. b. Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.

c. Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan. d. Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan. e. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar pemerintah/ departemen, LPND dan daerah. f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.

c. Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan. d. Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan. e. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di provinsi. f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.

c. Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan. d. Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan. e. Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di kabupaten/ kota. f. Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.

1906

g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan. h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan. i. Pembinaan dan pengembangan industri olahraga. j. Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga.

g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan. h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan. i. Pembinaan dan pengembangan industri olahraga. j. Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga.

g Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan. h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan. i. Pembinaan dan pengembangan industri olahraga. j. Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga.

k. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.

k. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.

k. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.

1907

18. Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri


SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota. NSPK YA TIDAK JUMLAH NSPK

1. Bina Ideologi dan Wawasan Kebangsaan

1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

2. Pelaksanaan Kegiatan

1. Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

1. Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.

1. Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.

1908

3. Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.

1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilainilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.

4. Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara,

skala nasional.

penghargaan kebangsaan skala provinsi.

nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.

1909

5. Peningkatan Kapasitas Aparatur

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesatuan bangsa dan politik (kesbangpol) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.

1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.

2. Kewaspadaan Nasional

1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelijen keamanan (intelkam), bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan,

1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik

1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan

penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional.

pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi.

dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan Kegiatan

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilainilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.

1. Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilainilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.

1910

3. Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan

1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian,

evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional.

evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi.

pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.

4. Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan,

1911

evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional.

evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi.

pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.

4. Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan,

3. Ketahanan Seni, Budaya, Agama dan Kemasyarakatan

1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.

1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.

1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.

1912

2. Pelaksanaan Kegiatan

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah

1. Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.

skala nasional/ internasional. 3. Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.

sosial kemasyarakatan skala provinsi. 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi. 1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.

1913

4. Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.

5. Peningkatan Kapasitas Aparatur

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan

1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.

skala nasional.

skala provinsi.

1914

4. Politik Dalam Negeri

1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilihan umum (pemilu), pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) skala nasional.

1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan Kegiatan

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan

1. Pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik,

pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.

pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.

1915

3. Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.

4. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kesbangpol dan sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.

1916

5. Peningkatan Kapasitas Aparatur

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.

5. Ketahanan Ekonomi

1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan organisasi kemasyarakatan (ormas) perekonomian skala

1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian

1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi,

nasional.

skala provinsi.

kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.

1917

2. Pelaksanaan Kegiatan

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional/ internasional.

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.

1. Pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.

3. Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan,

1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan,

1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi,

pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional.

pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.

perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.

1918

4. Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga

1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter,

usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional.

usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.

perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.

5. Peningkatan Kapasitas Aparatur

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional.

1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.

1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.

1919

19. Bidang Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian, dan Persandian
NSPK PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA YA TIDAK

SUB BIDANG

SUB SUB BIDANG

PEMERINTAH

JUMLAH NSPK

1. Otonomi Daerah

1. Urusan Pemerintahan: a. Kebijakan b. Pembinaan, Sosialisasi Bimbingan, Konsultasi, Supervisi, Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi serta Pengawasan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan

1. Penetapan kebijakan nasional pembagian urusan pemerintahan. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan skala nasional. 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.

1. 2. Penetapan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah skala provinsi. 1. Pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.

1. 2. Penetapan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah skala kabupaten/kota. 1. Pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.

1920

c. Harmonisasi d. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD)

2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan. 1. 2. Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan pada masing-masing lintas Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria LPPD.

2. Penyelenggaraan pembinaan sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan di wilayah provinsi. 1. Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 2. Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan daerah provinsi dengan pemerintah.dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. 1. Penyusunan LPPD provinsi.

2. Penyelenggaraan pembinaan sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan di wilayah kabupaten/kota. 1. Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 2. Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan dalam wilayah kabupaten/kota dengan pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi. 1. Penyusunan LPPD kabupaten/kota

e. Database

2. 3. Evaluasi LPPD skala nasional. 1. Pengolahan database LPPD skala nasional.

2. Penyampaian LPPD provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. 3. Evaluasi LPPD kabupaten/kota. 1. Pengolahan database LPPD skala provinsi.

2. Penyampaian LPPD kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur. 3. 1. Pengolahan database LPPD skala kabupaten/kota.

1921

2. Penataan Daerah dan Otonomi Khusus (Otsus): a. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan penataan daerah dan otsus. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten.

1. Pengusulan penataan daerah dan otsus skala provinsi. 2. Pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten.

1. Pengusulan penataan daerah skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota daerah dalam rangka penataan daerah.

b. Pembentukan Daerah

3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 1. Pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan kecamatan. 3.a. Penetapan perubahan batas, nama, dan pemindahan ibukota daerah. b.

3. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 1. Pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 2. Evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah tentang pembentukan kecamatan. 3.a. Pengusulan perubahan batas provinsi, nama dan pemindahan ibukota daerah. b.Pelaksanaan perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi.

3. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 1. Pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. 2. Pembentukan kecamatan. 3.a. Pengusulan perubahan batas kabupaten/kota, nama dan pemindahan ibukota daerah. b.Pelaksanaan perubahan batas, nama kabupaten/kota dan pemindahan ibukota kabupaten.

1922

c. Pembinaan, Sosialisasi, Observasi dan Pengkajian Penataan Daerah dan Otsus d. Monitoring dan Evaluasi serta Pengawasan dan Pengendalian Penataan Daerah dan Otsus

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus. 2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus. 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria monitoring dan evaluasi serta pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus. 2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus. 2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi. 1. 2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah. 2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus. 1. 2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota.

1923

e. Pembangunan Sistem (Database) Penataan Daerah dan Otsus f. Pelaporan

3. Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus. 1. Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala nasional. 2. 1. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus. 2. Pengolahan data penataan daerah dan otsus skala nasional.

3. Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi. 1. Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala provinsi. 2. Penyampaian data dan informasi penataan daerah skala provinsi ke pemerintah. 1. Menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus. 2. Pengolahan database laporan penataan daerah dan otsus skala provinsi.

3. Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota. 1. Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala kabupaten/kota. 2. Penyampaian data dan informasi penataan daerah skala kabupaten/kota ke provinsi dan pemerintah. 1. Menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah. 2. Pengolahan database laporan penataan daerah skala kabupaten/kota.

3. Penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala nasional kepada Presiden.

3. Penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

3. Penyampaian laporan penataan daerah skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.

3. Fasilitasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dan Hubungan Antar Lembaga (HAL): a. DPOD

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan DPOD. 2. Pertimbangan formulasi perimbangan keuangan pusat dan daerah.

1. Penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah provinsi untuk sidang DPOD. 2. Penyusunan tata tertib bahan masukan penetapan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) provinsi bagi sidang DPOD.

1. Penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah kabupaten/kota untuk sidang DPOD. 2. Penyusunan tata tertib bahan masukan penetapan DAU dan DAK bagi sidang DPOD.

1924

b. Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) c. Fasilitasi Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan tata cara penyusunan Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah (KDH) dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)/Pimpinan DPRD. 2. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah. 3. Pengawasan Perda provinsi, kabupaten/kota. 1. Penetapan pembentukan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.

1. Penyusunan Perda provinsi. 2. Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada pemerintah. 3. Penyampaian Perda kepada pemerintah untuk dievaluasi. 1. Membentuk Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.

1. Penyusunan Perda kabupaten/kota. 2. Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada gubernur. 3. Menyampaikan Perda kepada pemerintah untuk dievaluasi. 1. Membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah.

2. Fasilitasi Pemberdayaan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.

2. Fasilitasi pembentukan Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama kabupaten/kota.

2.

1925

4. Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah: a. Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) : (1) Kebijakan (2) Pembinaan

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria SPM. 1. Pembinaan penerapan SPM.

1. Penetapan perencanaan, penganggaran, dan penerapan SPM skala provinsi. 1. Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM skala provinsi.

1. Penetapan perencanaan, penganggaran, dan penerapan SPM skala kabupaten/kota. 1. Penerapan SPM kabupaten/ kota.

b. Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah:

2. Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM. 3. Pengembangan kapasitas penerapan dan pencapaian SPM. 1.a. Penetapan kebijakan tentang norma, standar, prosedur dan kriteria evaluasi mengenai: (1) Pengukuran kinerja. (2) Pengembangan sistem informasi evaluasi. (3) Kriteria pembinaan evaluasi daerah. b.Pelaksanaan evaluasi terhadap provinsi.

2. Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM kabupaten/kota. 3. Fasilitasi dan supervisi penerapan dan pencapaian SPM kabupaten/kota. 1.a. b. Pelaksanaan evaluasi terhadap kabupaten/kota mengenai:

2. 3. 1.a. b.

1926

c. Pengembangan Kapasitas Daerah : (1) Kebijakan (2) Pelaksanaan

1. Penetapan kerangka nasional pengembangan kapasitas daerah. 2. Pedoman penyusunan rencana tindak peningkatan kapasitas daerah. 1. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan pengembangan kapasitas daerah.

(1) Pengukuran kinerja. (2) Pengembangan sistem informasi evaluasi. (3) Kriteria pembinaan evaluasi daerah. 1. Penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah. 2. Penetapan rencana tindak peningkatan kapasitas provinsi. 1. Implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas provinsi.

1. Penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah. 2. Penetapan rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota. 1. Implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota.

(3) Pembinaan

2. Fasilitasi pedoman penyusunan rencana tindak peningkatan kapasitas daerah. 1. Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas provinsi. 2. Koordinasi nasional pengembangan kapasitas daerah.

2. Fasilitasi implementasi rencana tindak provinsi. 1. Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas kabupaten/kota. 2. Koordinasi pengembangan kapasitas provinsi.

2. Fasilitasi implementasi rencana tindak kabupaten/kota. 1. 2. Koordinasi pengembangan kapasitas kabupaten/kota.

5. Pejabat Negara: a. Tata Tertib DPRD: (1) Kebijakan (2) Pembinaan

1. Penetapan pedoman tata tertib DPRD. 1. Fasilitasi penyusunan tata tertib DPRD provinsi. 2. Monitoring dan evaluasi tata tertib DPRD provinsi.

1. Penetapan pedoman tata tertib DPRD provinsi. 1. Fasilitasi penyusunan tata tertib DPRD kabupaten/kota. 2. Monitoring dan evaluasi tata tertib DPRD kabupaten/kota.

1. Penetapan pedoman tata tertib DPRD kabupaten/kota. 1. 2.

1927

b. Peresmian Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota DPRD Provinsi/Kabupaten /Kota. c. Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah (KDH) dan Wakil KDH: (1) Kebijakan (2) Pelaksanaan

1. Peresmian pengangkatan dan pemberhentian anggota DPRD provinsi. 1. Penetapan Pedoman Tata Cara Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian KDH dan Wakil KDH. 1. Pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian KDH dan Wakil KDH.

1. Peresmian pengangkatan dan pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota. 1. 1. Fasilitasi pemilihan gubernur dan wakil gubernur.

1. 1. 1. Fasilitasi pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.

d. Kedudukan Protokoler dan Keuangan DPRD: (1) Kebijakan (2) Pembinaan

2. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan KDH dan Wakil KDH. 1. Penetapan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD. 1. Fasilitasi penyusunan kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi. 2. Monitoring dan evaluasi kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.

2. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota. 1. Pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi. 1. Fasilitasi penyusunan kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota. 2. Monitoring dan evaluasi kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.

2. 1. Pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota. 1. 2.

1928

e. Kedudukan Keuangan KDH dan Wakil KDH: (1) Kebijakan (2) Pembinaan f. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) KDH: (1) Kebijakan (2) Pembinaan

1. Penetapan pedoman kedudukan keuangan KDH dan Wakil KDH. 1. Fasilitasi kedudukan keuangan gubernur dan wakil gubernur. 1. Penetapan pedoman LKPJ. 1. Fasilitasi penyusunan LKPJ gubernur.

1. Pelaksanaan pedoman kedudukan keuangan gubernur dan wakil gubernur. 1. Fasilitasi kedudukan keuangan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota. 1. Pelaksanaan pedoman LKPJ gubernur. 1. Fasilitasi penyusunan LKPJ bupati/walikota.

1. Pelaksanaan pedoman kedudukan keuangan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota. 1. 1. Pelaksanaan pedoman LKPJ bupati/walikota. 1.

g. Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah : (1) Kebijakan (2) Pembinaan

2. Monitoring dan evaluasi LKPJ gubernur. 1. Penetapan pedoman tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang serta kedudukan keuangan gubernur sebagai wakil pemerintah. 1. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah.

2. Monitoring dan evaluasi LKPJ bupati/walikota. 1. Pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah. 1.

2. 1. 1.

1929

2. Pemerintahan Umum

1. Fasilitasi Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Kerjasama:

a. Fasilitasi Dekonsentrasi b. Fasilitasi Tugas Pembantuan

1. Penetapan kebijakan nasional penyelenggaraan dekonsentrasi. 2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi. 3. 1. Penetapan kebijakan nasional penyelenggaraan tugas pembantuan.

1. Gubernur melaksanakan dan melaporkan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang didekonsentrasikan. 2. Gubernur mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah provinsi dan kabupaten/ kota. 3. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan dekonsentrasi di daerah provinsi dan kabupaten/kota. 1. Pelaksanaan dan pelaporan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan oleh pemerintah.

1. 2. 3. 1. Pelaksanaan dan pelaporan penyelenggaraan tugas pembantuan oleh pemerintah dan/atau pemerintah provinsi.

1930

c. Fasilitasi Kerjasama Daerah dengan Pihak Ketiga

2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada provinsi/kabupaten/kota/desa. 3. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari provinsi kepada kabupaten/kota/desa. 1. Penetapan kebijakan nasional di bidang kerjasama dengan pihak ketiga. 2. Pelaksanaan kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga.

2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada kabupaten/kota/desa. 3. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari kabupaten/kota kepada desa. 1. Penetapan kebijakan provinsi di bidang kerjasama dengan pihak ketiga. 2. Pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.

2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada desa. 3. 1. Penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kerjasama dengan pihak ketiga. 2. Pelaksanaan kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.

1931

d. Kerjasama Antar Daerah

3. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga. 4. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga. 5. 1. Penetapan kebijakan kerjasama antar daerah. 2. Fasilitasi kerjasama antar provinsi. 3. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan kerjasama antar daerah.

3. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga. 4. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga. 5. Pelaporan pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga kepada pemerintah. 1. Pelaksanaan kerjasama antar provinsi. 2. Fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama antar kabupaten/kota.

3. 4. 5. Pelaporan pelaksanaan kerjasama pemerintah kabupaten/kota dengan pihak ketiga kepada provinsi. 1. Pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota. 2. 3.

1932

e. Pembinaan Wilayah

4. 1. Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan. 2. Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan. 3. Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar provinsi.

4. Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar provinsi kepada pemerintah. 1. Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di provinsi dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah. 2. Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar kabupaten/kota di wilayahnya. 3. Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kabupaten/kota.

4. Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota kepada provinsi. 1. Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di kabupaten/kota dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah dan provinsi. 2. Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar kecamatan/desa/kelurahan di wilayahnya. 3. Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kecamatan/desa/kelurahan di wilayahnya.

f. Koordinasi Pelayanan Umum

4. Koordinasi penetapan kebijakan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala nasional. 5. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa. 1. Koordinasi dan fasilitasi kebijakan nasional dalam bidang pelayanan umum.

4. Pelaksanaan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala provinsi. 5. Penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala provinsi. 1. Pelaksanaan pelayanan umum skala provinsi.

4. Pelaksanaan dan fasilitasi kebijakan usaha kecil dan menengah skala kabupaten/kota. 5. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala kabupaten/kota. 1. Pelaksanaan pelayanan umum skala kabupaten/kota.

2. Trantibum dan Linmas a. Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat

1. Penetapan kebijakan nasional dalam bidang: (a)

1. Penetapan kebijakan provinsi dengan merujuk kebijakan nasional dalam bidang: (a) Penegakan Perda/Peraturan Kepala Daerah.

1. Penetapan kebijakan kabupaten/kota dengan merujuk kebijakan nasional dalam bidang: (a) Penegakan Perda/Peraturan Kepala Daerah.

1933

(b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). (d) Perlindungan masyarakat. 2. Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala nasional. 3. Pembinaan kepolisipamongprajaan dan PPNS. 4. Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala nasional.

(b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan PPNS. (d) Perlindungan masyarakat. 2. Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala provinsi. 3. Pelaksanaan kepolisipamongprajaan dan PPNS skala provinsi. 4. Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala provinsi.

(b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan PPNS. (d) Perlindungan masyarakat. 2. Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan kepolisipamongprajaan dan PPNS skala kabupaten/ kota. 4. Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala kabupaten/kota.

b. Koordinasi Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM)

5. Koordinasi antar instansi terkait. 1. Koordinasi penegakan HAM skala nasional.

5. Koordinasi dengan instansi terkait skala provinsi. 1. Koordinasi penegakan HAM skala provinsi.

5. Koordinasi dengan instansi terkait skala kabupaten/ kota. 1. Koordinasi penegakan HAM skala kabupaten/kota.

3. Wilayah Perbatasan: a. Pengelolaan Perbatasan Antar Negara

1. Penetapan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara. 2. Pelaksanaan pengelolaan perbatasan antar negara. 3. Koordinasi pengelolaan perbatasan antar negara.

1. 2. Dukungan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara. 3. Dukungan koordinasi antar kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara lain.

1. 2. Dukungan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara. 3. Dukungan koordinasi antar kecamatan/desa/kelurahan yang berbatasan dengan negara lain.

1934

b. Perbatasan Daerah c. Toponimi dan Pemetaan Wilayah

4. Pelaksanaan penyelesaian perselisihan perbatasan antar negara. 1. Penetapan kebijakan, pelaksanaan, dan penegasan perbatasan daerah. 1. Penetapan kebijakan toponimi dan pemetaan wilayah. 2. Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala nasional. 3. Inventarisasi laporan toponimi dan pemetaan.

4. 1. Dukungan pelaksanaan penegasan perbatasan provinsi dan kabupaten/kota di wilayah provinsi. 1. Penetapan kebijakan provinsi mengacu pada kebijakan nasional mengenai toponimi dan pemetaan wilayah provinsi. 2. Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala provinsi. 3. Inventarisasi dan laporan toponimi dan pemetaan skala provinsi.

4. 1. Penetapan kebijakan dan pelaksanaan perbatasan kecamatan dan desa/kelurahan di kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional mengenai toponimi dan pemetaan wilayah kabupaten/kota. 2. Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/kota. 3. Inventarisasi dan laporan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/ kota.

1935

d. Pengembangan Wilayah Perbatasan e. Penetapan Luas Wilayah

1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan. 2. Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan antar negara dan antar provinsi. 3. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan antar negara dan antar provinsi. 1. Penetapan kebijakan luas wilayah. 2. Koordinasi dan fasilitasi penetapan luas wilayah provinsi, kabupaten/kota.

1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan antar kabupaten/kota skala provinsi. 2. Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan skala provinsi. 3. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan provinsi. 1. Inventarisasi perubahan luas wilayah provinsi yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi. 2. Pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya.

1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota. 2. Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota. 3. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan kabupaten/kota. 1. Inventarisasi perubahan luas wilayah kabupaten/kota yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi. 2. Pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya.

1936

4. Kawasan Khusus: a. Kawasan Sumber Daya Alam; Kehutanan, Energi dan Sumber Daya Mineral b. Kawasan Sumber Daya Buatan; Pelabuhan, Bandar Udara, Perkebunan, Peternakan, Industri, Pariwisata, Perdagangan, Otorita, Bendungan dan Sejenisnya

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam skala kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala kabupaten/kota.

c. Kawasan Kepentingan Umum; Kawasan Fasilitas Sosial dan Umum d. Kawasan Kelautan dan Kedirgantaraan

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala kabupaten/kota.

5. Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Bencana: a. Mitigasi Pencegahan Bencana

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/ pencegahan bencana.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/pencegahan bencana skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/pencegahan bencana skala kabupaten/kota.

1937

b. Penanganan Bencana c. Penanganan Pasca Bencana d. Kelembagaan e. Penanganan Kebakaran

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan penanganan bencana. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan bencana skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan bencana skala kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana skala kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana skala kabupaten/ kota. 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala kabupaten/kota.

3. Administrasi Keuangan Daerah

1. Organisasi dan Kelembagaan Pengelolaan Keuangan Daerah

1. Penetapan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan organisasi, kelembagaan dan pembinaan sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah.

1. Pelaksanaan penataan organisasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah provinsi dan kabupaten/ kota.

1. Pelaksanaan penataan organisasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah kabupaten/kota.

1938

2. Anggaran Daerah

1. Penetapan pedoman rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah. 2. Penetapan kebijakan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah. 3. Penetapan pedoman perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi dan kabupaten/ kota.

1. Penetapan peraturan daerah (Perda) tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah. 2. Penetapan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah provinsi. 3. Perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi.

1. Penetapan Perda tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah. 2. Penetapan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah kabupaten/kota. 3. Perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan kabupaten/ kota.

4. Penetapan pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan perubahan APBD. 5. Penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD provinsi. 6. Evaluasi Raperda tentang APBD, dan perubahan APBD provinsi. 7. Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar provinsi.

4. Penetapan Perda tentang APBD dan perubahan APBD. 5. Penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD kabupaten/kota, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah. 6. Evaluasi Raperda tentang APBD, dan perubahan APBD kabupaten/ kota. 7. Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar kabupaten/kota.

4. Penetapan Perda tentang APBD dan perubahan APBD. 5. Penetapan pedoman evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah. 6. Evaluasi Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) tentang APB Desa. 7. Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar desa.

1939

8. Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent) antara pemerintah dan provinsi. 9. Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan daerah antar provinsi. 0. Fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah.

8. Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent) antara provinsi dan kabupaten/ kota. 9. Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan daerah antar kabupaten/kota. 10. Fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah kabupaten/kota.

8. Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent) antara kabupaten/kota dan desa. 9. Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan antar desa. 10. Fasilitasi perencanaan dan penganggaran pemerintahan desa.

1940

3. Pendapatan dan Investasi Daerah : a. Pajak dan Retribusi Daerah

1.a. Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pajak daerah, retribusi daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) lainnya. b. c. Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pajak dan retribusi daerah, serta PAD lainnya.

1.a. Penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi. b.Pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi. c. Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pajak dan retribusi daerah serta PAD lainnya kabupaten/kota.

1.a. Penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota. b.Pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/ kota. c. Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan retribusi desa.

1941

b. Investasi dan Aset Daerah

2. Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah. 3. Evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah provinsi, dan Perda pajak dan retribusi daerah, dan pungutan lainnya provinsi dan kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan investasi dan aset daerah. 2. Fasilitasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus tentang pengelolaan investasi dan aset daerah.

2. Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala provinsi. 3. Evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah dan pungutan lainnya kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi. 2. Pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi.

2. Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala kabupaten/kota. 3. Evaluasi Raperdes tentang retribusi dan pungutan lainnya. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota.

1942

c. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Lembaga Keuangan Mikro

3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi. 4. Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala nasional. 1. Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro. 2. Fasilitasi, monitoring dan evaluasi, pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro.

3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/ kota. 4. Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi. 2. Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.

3. Pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota. 4. Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/ kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa.

1943

d. Pinjaman Daerah

3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi. 1. Penetapan kebijakan umum tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta Badan Layanan Umum (BLU) daerah. 2. Fasilitasi, monitoring, evaluasi dan pelaksanaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU daerah. 3. Pembinaan dan pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi.

3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi. 2. Pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi. 3. Pembinaan dan pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.

3. Pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota. 3. Pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.

1944

4. Dana Perimbangan : a. Dana Alokasi Umum (DAU) b. Dana Alokasi Khusus (DAK)

1. Penetapan formula penghitungan alokasi DAU provinsi/kabupaten/kota. 2. Penetapan pedoman umum pengelolaan DAU. 3. Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAU. 1. Penetapan kebijakan DAK dan kriteria penghitungannya. 2. Penghitungan dan penetapan alokasi DAK.

1. Pengelolaan data dasar penghitungan alokasi DAU provinsi dan koordinasi data dasar penghitungan alokasi DAU kabupaten/kota. 2. Pengelolaan DAU provinsi. 3. Pelaporan pengelolaan DAU provinsi, dan monitoring serta evaluasi penggunaan DAU kabupaten/kota. 1. Usulan program dan kegiatan provinsi untuk didanai dari DAK serta koordinasi usulan DAK kabupaten/kota. 2.

1. Pengelolaan data dasar penghitungan alokasi DAU kabupaten/kota. 2. Pengelolaan DAU kabupaten/ kota. 3. Pelaporan pengelolaan DAU kabupaten/kota. 1. Usulan program dan kegiatan kabupaten/kota untuk didanai dari DAK. 2.

1945

c. Dana Bagi Hasil (DBH)

3. Penetapan petunjuk teknis (juknis) pengelolaan DAK. 4. Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAK provinsi dan kabupaten/kota. 5. Pengendalian dan pengkajian pengelolaan DAK provinsi dan kabupaten/kota 1. Penetapan kebijakan DBH. 2. Penetapan daerah penghasil Sumber Daya Alam (SDA). 3. Penghitungan dan penetapan alokasi DBH bagi provinsi dan kabupaten/kota.

3. Pengelolaan DAK (bagi provinsi yang menerima DAK). 4. Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAK kabupaten/kota. 5. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DAK. 1. Penyiapan data realisasi penerima DBH provinsi. 2. Fasilitasi kabupaten/kota terhadap konflik penentuan daerah penghasil SDA. 3. Penetapan alokasi DBH di kabupaten/kota.

3. Pengelolaan DAK (bagi kabupaten/kota yang menerima DAK). 4. 5. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DAK. 1. Penyiapan data realisasi penerima DBH kabupaten/kota. 2. 3.

4. Evaluasi laporan pengelolaan DBH.

4. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DBH.

4. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DBH.

1946

5. Pelaksanaan, Penatausahaan, Akuntansi dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD

1. Penetapan kebijakan norma, standar prosedur dan kriteria pelaksanaan, penatausahaan, akuntansi pengelolaan keuangan daerah dan desa. 2. Penetapan pedoman penyusunan laporan keuangan daerah/desa dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi, kabupaten/kota dan APB desa. 3. Penetapan pedoman evaluasi laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi, kabupaten/kota dan APB desa.

1. Penetapan kebijakan tentang sistem dan prosedur akuntansi pengelolaan keuangan daerah provinsi. 2. Penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi. 3.

1. Penetapan kebijakan tentang sistem dan prosedur akuntansi pengelolaan keuangan daerah kabupaten/kota dan desa. 2. Penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota dan APB desa. 3.

4. Evaluasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi. 5. Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent). 6. Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan APB desa.

4. Evaluasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/ kota. 5. Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggung-jawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent). 6. Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota.

4. Evaluasi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APB desa. 5. Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent). 6. Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pelaksanaan APB desa.

1947

4. Perangkat Daerah

1. Kebijakan

1. Penetapan pedoman umum tentang perangkat daerah. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan perangkat daerah. 3. Penetapan pedoman teknis perangkat daerah. 4. Penetapan pedoman tatalaksana perangkat daerah. 5. Penetapan pedoman analisis jabatan perangkat daerah.

1. Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah provinsi. 2. Pelaksanaan kebijakan pembentukan perangkat daerah skala provinsi. 3. Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah provinsi. 4. Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah provinsi. 5. Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah provinsi.

1. Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kebijakan pembentukan perangkat daerah skala kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah kabupaten/kota. 4. Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah kabupaten/kota.

2. Pengembangan Kapasitas

1. Penetapan kebijakan tentang pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah. 2. Koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah.

1. Pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah provinsi. 2. Koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah kabupaten/kota.

1. Pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah.

3. Fasilitasi

1. Penetapan kebijakan fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah, yang meliputi pemberian bimbingan, supervisi, pelatihan, dan kerjasama.

1. Fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota.

1.

1948

4. Pembinaan dan Pengendalian

1. Penetapan kebijakan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah. 2. Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah provinsi.

1. Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah kabupaten/kota. 2.

1. Penerapan dan pengendalian organisasi perangkat daerah. 2.

3. Pembatalan peraturan daerah tentang perangkat daerah.

3.

3.

5. Monitoring dan Evaluasi

1. Penetapan kebijakan monitoring dan evaluasi perangkat daerah. 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah provinsi. 3. Penetapan database perangkat daerah skala nasional.

1. 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah kabupaten/kota. 3. Koordinasi penyusunan database perangkat daerah skala provinsi.

1. 2. Penyediaan bahan monitoring dan evaluasi perangkat daerah. 3. Penyediaan bahan database perangkat daerah skala kabupaten/kota.

5. Kepegawaian

1. Formasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Penetapan kebijakan formasi PNS secara nasional setiap tahun anggaran. 2. Penetapan persetujuan formasi Pegawai Negeri Sipil Pusat (PNSP) di lingkungan Departemen/LPND setiap tahun anggaran.

1. Penyusunan formasi Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) di provinsi setiap tahun anggaran. 2. Penetapan formasi PNSD di provinsi setiap tahun anggaran.

1. Penyusunan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran. 2. Penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.

3. Penetapan formasi PNSP/Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan Daerah setiap tahun anggaran.

3. Koordinasi usulan penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.

3. Usulan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.

1949

2. Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengadaan PNS. 2. Pelaksanaan pengadaan PNSP di lingkungan Departemen/LPND. 3. Koordinasi pelaksanaan pengadaan PNS secara nasional.

1. Pelaksanaan pengadaan PNSD Provinsi 2. Usulan penetapan Nomor Induk Pegawai (NIP) 3. Koordinasi pelaksanaan pengadaan PNSD kabupaten/kota.

1. Pelaksanaan pengadaan PNSD kabupaten/kota 2. Usulan penetapan NIP 3.

3. Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS. 2. Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga.

1. Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan provinsi. 2. Penempatan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) provinsi.

1. Penetapan kebijakan pengangkatan CPNSD di lingkungan kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan kabupaten/kota.

3.

3. Pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi.

3. Pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi.

1950

4. Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS menjadi PNS. 2. Penetapan CPNSP menjadi PNSP Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga. 3. 4. Penetapan menjadi PNSP dan PNSD bagi CPNSP dan CPNSD yang tewas atau cacat karena dinas

1. 2. Penetapan CPNSD menjadi PNSD di lingkungan provinsi. 3. Koordinasi pelaksanaan pengangkatan CPNSD menjadi PNSD kabupaten/kota. 4.

1. 2. Penetapan CPNSD menjadi PNSD di lingkungan kabupaten/kota. 3. 4.

5. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat)

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria diklat jabatan PNS. 2. Penetapan sertifikasi lembaga diklat pemerintah. 3. Koordinasi dan pelaksanaan diklat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah.

1. Penetapan kebutuhan diklat PNSD provinsi. 2. Usulan penetapan sertifikasi lembaga diklat provinsi. 3. Koordinasi dan pelaksanaan diklat skala provinsi.

1. Penetapan kebutuhan diklat PNSD kabupaten/kota. 2. Usulan penetapan sertifikasi lembaga diklat kabupaten/ kota. 3. Pelaksanaan diklat skala kabupaten/kota.

6. Kenaikan Pangkat

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria kenaikan pangkat. 2.a. Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b.

1. 2.a. Penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b.

1. 2.a. Penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi golongan ruang I/b s/d III/d.

1951

b. Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi golongan/ruang IV/c, IV/d, dan IV/e. 3. Koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah. 4. Penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.

b. Penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi gol/ruang IV/a dan IV/b. 3. Koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan kabupaten/kota. 4. Usulan penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi/kab/kota menjadi golongan ruang IV/c, IV/d, dan IV/e dan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.

b. 3. 4. Usulan penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.

7. Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian dalam dan dari Jabatan

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan.

1. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS provinsi dalam dan dari jabatan struktural eselon II kebawah atau jabatan

1. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS kabupaten/kota dalam dan dari jabatan struktural eselon II atau jabatan

2. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon I PNSP dan PNSD dan jabatan fungsional jenjang utama. 3. Konsultasi/koordinasi pengangkatan sekda kabupaten/kota 4. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional jenjang setingkat, PNSP

fungsional yang jenjangnya setingkat. 2.a. Penetapan pengangkatan sekretaris daerah kabupaten/kota. b. Usulan pengangkatan dan pemberhentian sekda provinsi 3. Usulan konsultasi pengangkatan dan pemberhentian sekda Kabupaten/kota 4. Koordinasi pengangkatan, pemindahan dalam dan dari jabatan struktural eselon II di lingkungan kabupaten/kota.

fungsional yang jenjangnya setingkat, kecuali pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota. 2. usulan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota. 3. Usulan konsultasi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian eselon II PNS kabupaten/kota 4.

1952

Departemen/LPND/ Kesekretariatan lembaga. 8. Perpindahan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Antar Instansi 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perpindahan PNS antar instansi. 2. Penetapan perpindahan PNS antar kabupaten/kota dan antar provinsi. 3. Penetapan perpindahan PNS provinsi/kabupaten/kota ke Departemen/LPND atau sebaliknya. 4. Penetapan perpindahan PNSP antar Departemen ke LPND/kesekretariatan lembaga atau sebaliknya. 1. Penetapan perpindahan PNSD antar kab/kota dalam satu provinsi. 2. Penetapan perpindahan PNSD dari kabupaten/kota ke provinsi atau sebaliknya dalam satu provinsi. 3. Penetapan perpindahan PNSD dilingkungan provinsi 4. 1. Penetapan perpindahan PNSD kabupaten/kota. 2. 3. 4.

1953

9. Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian sementara dari jabatan negeri. 2. Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I, jabatan fungsional jenjang utama, kecuali sekda provinsi. 3. Penetapan pemberhentian sementara bagi PNSP di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional setingkat.

1. Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNSD provinsi yang menduduki jabatan struktural eselon I kebawah dan jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang setingkat. 2. 3.

1. Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi semua PNSD di kabupaten/kota. 2. 3.

10. Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil (PNS) Akibat Tindak Pidana

1. Pemberhentian sementara PNS untuk golongan IV/c ke atas.

1. Pemberhentian sementara PNSD untuk golongan IV/c ke bawah.

1. Pemberhentian sementara PNSD untuk golongan III/d ke bawah.

1954

11. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian PNS atau CPNS. 2. Penetapan pemberhetian PNS dan PNSD golongan ruang IV/c, IV/d dan IV/e. 3. Penetapan pemberhentian PNS yang tewas, cacat karena dinas atau mencapai batas usia pensiun gol/ruang IV/c, IV/d dan IV/e.

1. Penetapan pemberhentian PNSD provinsi gol/ruang IV/b ke bawah dan pemberhentian sebagai calon PNSD provinsi. 2. Penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota Gol/ruang IV/a s/d IV/b dan pemberhentian dengan hormat sebagai calon PNSD provinsi yang tidak memenuhi syarat diangkat menjadi PNS. 3.

1. Penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota gol/ruang III/d ke bawah dan pemberhentian sebagai CPNSD kabupaten/kota. 2. 3.

4. Penetapan pemberhentian PNSP gol/ruang IV/b ke bawah. pensiun.

4.

4.

12. Pemutakhiran Data Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemutakhiran data PNS. 2. Penyelenggaraan dan pemiliharaan informasi kepegawaian. 3. Koordinasi pelaksanaan pemutakhiran data PNS secara nasional.

1. Pelaksanaan pemutakhiran data PNS di provinsi. 2. 3. Koordinasi pelaksanaan pemutakhiran data PNS di kabupaten/kota.

1. Pelaksanaan pemutakhiran data PNSD di kabupaten/ kota. 2. 3.

13. Pengawasan dan Pengendalian

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengawasan dan pengendalian kepegawaian.

1. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang kepegawaian skala provinsi.

1. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian skala kabupaten/kota.

1955

2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. 3. Koordinasi pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. 4. Melakukan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang kepegawaian. 5. Koordinasi dalam pelaksanaan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang kepegawaian.

2. Koordinasi pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian di lingkungan kabupaten/ kota. 3. 4. 5.

2. 3. 4. 5.

6. Penetapan sangsi terhadap pelanggaran administrasi kepegawaian di daerah.

6.

6.

1956

14. Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan manajemen PNS. 2. Penyelenggaraan manajemen PNS meliputi perencaan, pengembangan kualitas sumber daya PNS, administrasi kepegawaian, pengawasan dan pengendalian. 3. Melakukan perumusan kesejahteraan PNS. 4. Koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSP dan PNSD skala nasional.

1. Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dilingkungan provinsi. 2. Koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSD skala provinsi. 3. 4.

1. Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dilingkungan kabupaten/ kota. 2. 3. 4.

6. Persandian

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan dan pembinaan SDM persandian nasional. 2. Penetapan kebijakan dan pembinaan peralatan sandi (palsan) nasional. 3. Penetapan kebijakan dan pembinaan sistem sandi (sissan) nasional. 4. Penetapan kebijakan dan pembinaan kelembagaan persandian nasional.

1. Penyelenggaraan pembinaan SDM persandian skala provinsi. 2. Penyelenggaraan pembinaan palsan skala provinsi. 3. Penyelenggaraan pembinaan sissan skala provinsi. 4. Penyelenggaraan pembinaan kelembagaan persandian skala provinsi.

1. Penyelenggaraan persandian skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan palsan skala kabupaten/kota. 3. Penyelenggaraan sissan skala kabupaten/kota. 4. Penyelenggaraan kelembagaan persandian skala kabupaten/kota.

1957

2. Pembinaan SDM

1. Perencanaan kebutuhan SDM persandian nasional. 2. Rekrutmen SDM persandian nasional.

1. Perencanaan kebutuhan SDM persandian skala provinsi. 2. Rekrutmen calon SDM persandian skala provinsi.

1. Perencanaan kebutuhan SDM persandian skala kabupaten/kota. 2. Rekrutmen calon SDM persandian skala kabupaten/kota.

3. Penyelenggaraan diklat sandi skala nasional. 4. Pemberian akreditasi lembaga diklat sandi: a. Pemberian izin penyelenggaraan lembaga diklat sandi. b. Persetujuan program diklat sandi. c. Persetujuan SDM lermbaga diklat sandi. d. Fasilitasi/persetujuan tenaga pengajar dan widyaiswara sandi. 5. Pemberian/pencabutan sertifikasi profesi/tenaga ahli: a. Penentuan standar jabatan persandian.

3. Penyelenggaraan diklat sandi skala provinsi. 4. Usulan akreditasi lembaga diklat sandi: a. Usulan izin penyelenggaraan lembaga diklat sandi. b. Usulan program diklat sandi. c. Usulan SDM lembaga diklat sandi. d. Usulan persetujuan tenaga pengajar dan widyaiswara sandi. 5. Usulan sertifikasi profesi/tenaga ahli: a.

3. 4. a. b. c. d. 5. a.

b. Penentuan dan penilaian jabatan fungsional (jabfung) sandiman/ Operator Transmisi Sandi (OTS). 6. Pemberian tanda penghargaan bidang persandian. 7. Pembinaan dan pengawasan bagi SDM purna tugas.

b. Pembentukan Tim Penilai Instansi untuk melakukan penilaian terhadap pejabat fungsional sandiman/OTS skala provinsi. 6. Usulan pemberian tanda penghargaan bidang persandian. 7. Pembinaan dan pengawasan bagi SDM purna tugas.

b. 6. Usulan pemberian tanda penghargaan bidang persandian. 7.

1958

3. Pembinaan Palsan

1. Penentuan standarisasi dan perencanaan kebutuhan palsan skala nasional. 2. Pengkajian dan uji coba laboratorium dan lapangan.

1. Perencanaan kebutuhan palsan skala provinsi. 2.

1. Perencanaan kebutuhan palsan skala kabupaten/kota. 2.

3. Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala nasional. 4. Pemeliharaan palsan tingkat II s/d tingkat III. 5. Penentuan penghapusan palsan skala nasional.

3. Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala provinsi. 4. Pemeliharaan palsan tingkat I. 5. Penghapusan palsan skala provinsi.

3. Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala kabupaten/kota. 4. Pemeliharaan palsan tingkat O. 5. Penghapusan palsan skala kabupaten/kota.

4. Pembinaan Sissan

1. Penentuan standarisasi dan perencanaan kebutuhan sissan skala nasional. 2. Penentuan prototype dan uji coba sissan. 3. Pengadaan sissan untuk jaring persandian nasional. 4. Penentuan prosedur tetap (protap) penyimpanan sissan skala nasional.

1. Perencanaan kebutuhan sissan skala provinsi. 2. 3. Pengadaan sissan untuk jaring persandian skala provinsi. 4. Penyelenggaraan protap penyimpanan sissan skala provinsi.

1. Perencanaan kebutuhan sissan skala kabupaten/kota. 2. 3. Pengadaan sissan untuk jaring persandian skala kabupaten/kota. 4. Penyelenggaraan protap penyimpanan sissan skala kabupaten/kota.

5. Penentuan pemberlakuan/penggantian Sissan jaring persandian skala nasional. 6. Penentuan penghapusan palsan tingkat pusat.

5. Penentuan pemberlakuan/penggantian sissan jaring persandian skala provinsi. 6. Penyiapan palsan tingkat provinsi dan kabupaten/ kota untuk penghapusan.

5. Penentuan pemberlakuan/penggantian sissan jaring persandian skala kabupaten/kota. 6.

1959

5. Pembinaan Kelembagaan

1. Penetapan kebijakan kelembagaan dan pola hubungan komunikasi persandian antara instansi pemerintah. 2. Penetapan kebijakan pola hubungan komunikasi persandian pemerintah dengan daerah. 3. Penetapan kebijakan Jaring Komunikasi Sandi (JKS).

1. 2. Penyelenggaraan hubungan komunikasi persandian antara pemerintah provinsi dengan pemerintah dan/ atau kabupaten/kota. 3.

1. 2. Penyelenggaraan hubungan komunikasi persandian antara pemerintah provinsi dengan pemerintah dan/atau kabupaten/kota. 3.

6. Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal)

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria wasdal persandian instansi pemerintah dan daerah. 2. Pengawasan dan pengendalian operasional persandian nasional dan provinsi.

1. 2. Pengawasan operasional persandian bidang tertentu kabupaten/kota di wilayahnya.

1. 2.

7. Pengkajian

1. Pengkajian SDM persandian nasional meliputi palsan, sissan, dan kelembagaan persandian nasional.

1.

1.

1960

20. Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa


SUB B IDANG 1. Pemerintahan Desa dan Kelurahan SUB SUB B IDANG 1. Kebijakan PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan nasional. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi. 2. Penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota. 2. Penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. NSPK YA TID AK JUMLAH NSPK

2. Administrasi Pemerintahan Desa dan Kelurahan

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional. 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi. 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. 2. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

1961

3. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional. 4. Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.

3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi. 4. Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.

3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. 4. Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

3. Pengembangan Desa dan Kelurahan

1. Penetapan pedoman pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan serta batas desa dan kelurahan skala nasional. 2. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.

1. Fasilitasi pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan, batas desa dan kelurahan skala provinsi. 2. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.

1. Penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan, batas desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. 2. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

1962

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional. 4. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi. 4. Monitoring dan evaluasi serta penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. 4. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

4. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

1.a. Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

1.a. Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa skala provinsi.

1.a. Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa skala kabupaten/kota.

b. 2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi peran BPD skala nasional.

b. 2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala provinsi. 3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan peran BPD skala provinsi.

b.Penyelenggaraan bimbingan, konsultasi, pelatihan dan pendidikan bagi anggota BPD. 2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala kabupaten/ kota. 3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan peran BPD skala kabupaten/kota.

1963

5. Keuangan dan Aset Desa

1. Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa. 2. Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.

1. Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi. 2. Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.

1. Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota. 2. Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional. 4. Monitoring dan evaluasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi. 4. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.

3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota. 4. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.

6. Pengembangan Kapasitas Pemerintah Desa dan Kelurahan

1.a. Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional. b.

1.a. Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi. b.

1.a. Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. b.Penyelenggaraan bimbingan, konsultasi, pelatihan dan pendidikan bagi pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

1964

2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.

2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi. 3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi.

2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. 3. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.

2. Penguatan Kelembagaan dan Pe ngembangan Partisipasi Masyarakat

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan skala nasional. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala nasional.

1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala kabupaten/kota.

1965

2. Pemantapan Data Profil Desa dan Profil Kelurahan

1. Koordinasi dan fasilitasi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pegolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.

3. Penguatan Kelembagaan Masyarakat

1. Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota.

3. Monitoring dan evaluasi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota.

1966

4. Pelatihan Masyarakat

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.

5. Pengembangan Manajemen Pembangunan Partisipatif

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota.

2. Pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.

2. Pelaksanaan pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota.

1967

6. Peningkatan Peran Masyarakat dalam Penataan dan Pendayagunaan Ruang Kawasan Perdesaan

1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.

3. Monitoring dan evaluasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.

3. Pemberdayaan Adat dan Pe ngembangan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan nasional. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala nasional.

1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala kabupaten/kota.

1968

2. Pemberdayaan Adat Istiadat dan Budaya Nusantara

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota. 2. Pembinaan dan supervisi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.

3. Pemberdayaan Perempuan

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan perempuan skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pemberdayaan perempuan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota. 2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota.

3. Monitoring dan evaluasi pemberdayaan perempuan skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota.

1969

4. Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK)

1. Koordinasi dan fasilitasi PKK skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi PKK skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi PKK skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan PKK skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan PKK skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan PKK skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota. 2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.

5. Peningkatan Kesejahteraan Sosial

1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota. 2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota.

3. Monitoring dan evaluasi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/ kota.

1970

6. Pengembangan dan Perlindungan Tenaga Kerja

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota. 2. Pembinaan dan supervisi pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.

4. Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan nasional.

1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota. 2. Penyelenggaraan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala kabupaten/kota.

2. Penetapan pedoman, norma, stndar, prosedur dan kriteria pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala nasional.

2. Penyelenggaraan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala provinsi.

1971

2. Pemberdayaan Ekonomi Penduduk Miskin

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota.

3. Pengembangan Usaha Ekonomi Keluarga dan Kelompok Masyarakat

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi. 3. Monitoring evaluasi dan pelaporan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/kota. 3. Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/ kota.

1972

4. Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Perdesaan

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota.

2. Pembinaan dan supervisi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.

2. Penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota.

5. Pengembangan Produksi dan Pemasaran Hasil Usaha Masyarakat

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota.

3. Monitoring dan evaluasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.

3. Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.

3. Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota.

1973

6. Pengembangan Pertanian Pangan dan Peningkatan Ketahanan Pangan Masyarakat

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional. 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi. 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota.

3. Monitoring dan evaluasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.

3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota.

5. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pe ngelolaan Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna

1. Kebijakan

1. Penetapan kebijakan nasional. 2. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala nasional.

1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi. 2. Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala provinsi.

1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota. 2. Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.

1974

2. Fasilitasi Konservasi dan Rehabilitasi Lingkungan

1. Koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional. 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi. 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan lingkup skala kabupaten/ kota.

3. Fasilitasi Pemanfataan Lahan dan Pesisir Pedesaan

1. Koordinasi dan fasilitasi terhadap fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala kabupaten/kota.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi peraturan kebijakan nasional dalam fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi penyelengaraan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemanfaatan lahan dan peisisr di pedesaan skala provinsi.

2. Pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir perdesaan skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala kabupaten/kota.

1975

4. Fasilitasi Prasarana dan Sarana Pedesaan

1. Koordinasi dan fasilitasi prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota.

5. Fasilitasi Pemetaan Kebutuhan dan Pengkajian Teknologi Tepat Guna

1. Koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi kebutuhan teknologi teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.

1976

2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi kebutuhan teknologi tepat guna skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi kebutuhan teknologi tepat guna skala nasional.

2. Pembinaan dan supervisi kebutuhan teknologi tepat guna skala provinsi. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan kebutuhan teknologi tepat guna skala provinsi.

2. Pembinaan dan supervisi pemanfaatan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota. 3. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemanfaatan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.

6. Pemasyarakatan dan Kerjasama Teknologi Pedesaan

1. Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional. 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional. 3. Monitoring dan evaluasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi. 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi. 3. Monitoring evaluasi dan pelaporan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota. 3. Monitoring evaluasi dan pelaporan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota.

1977

21. Bidang Statistik


SUB BIDANG 1. Statistik Umum SUB SUB BIDANG 1. Kebijakan PEMERINTAH 1. Penetapan pedoman sistem dan prosedur, norma, konsep, definisi, standarisasi, dan ukuran ukuran. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penyelenggaraan kerjasama antar lembaga untuk mengembangkan statistik skala provinsi. 1. Pelaksanaan pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan statistik skala kabupaten/kota. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penyelenggaraan kerjasama antar lembaga untuk mengembangkan statistik skala kabupaten/kota. 1. NSPK YA TIDAK JUMLAH NSPK

2. Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi

1. Pelaksanaan pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan statistik daerah.

3. Fasilitasi dan pembinaan

1. Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik daerah.

1. Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik skala kabupaten/kota.

1.

2. Statistik Dasar

1. Statistik dasar meliputi: a. Sensus

1. Penyelenggaraan statistik dasar meliputi: a. Sensus penduduk (akhiran angka nol). b. Sensus pertanian (akhiran angka tiga). c. Sensus ekonomi (akhiran angka enam).

1. Pemberian dukungan penyelenggaraan statistik dasar skala provinsi: a. b. c.

1. Pemberian dukungan penyelenggaraan statistik dasar skala kabupaten/kota: a. b. c.

b. Survei Antar Sensus

1. Penyelenggaraan survei antar sensus: a. Survei penduduk antar sensus (akhiran angka lima). b. Survei pertanian antar sensus (akhiran angka delapan). c. Survei ekonomi antar sensus (akhiran angka satu).

1. Pemberian dukungan penyelenggaraan survei antar sensus skala provinsi: a. b. c.

1. Pemberian dukungan penyelenggaraan survei antar sensus skala kabupaten/ kota: a. b. c.

1978

c. Survei Berskala Nasional

1. Penyelenggaraan survei berskala nasional: a. Survei-survei bidang ekonomi. b. Survei-survei bidang kesejahteraan rakyat.

1. Pemberian dukungan survei berskala nasional di tingkat provinsi di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat: a. b.

1. Pemberian dukungan survei berskala nasional di tingkat kabupaten/kota di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat: a. b.

d. Survei Sosial dan Ekonomi

1. Penyelenggaraan survei sosial dan ekonomi: a. Survei-survei sosial dan ekonomi lain untuk memperoleh indikatorindikator sosial dan ekonomi.

1. Pemberian dukungan survei sosial dan ekonomi: a.

1. Pemberian dukungan survei sosial dan ekonomi: a.

2. Statistik Lintas Sektor Berskala Nasional

1. Penyelenggaraan statistik lintas sektor berskala nasional.

1.

1.

3. Statistik Sektoral

1. Koordinasi Statistik Antar Sektoral

1. Koordinasi statistik antar sektoral.

1. Penyelenggaraan statistik sektoral skala provinsi.

1. Penyelenggaraan statistik sektoral skala kabupaten/ kota.

1979

2. Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik sektoral, provinsi dan kabupaten/kota.

2.

2.

4. Statistik Khusus

1. Pengembangan Jejaring Statistik Khusus

1. Pengembangan jejaring statistik khusus.

1. Pengembangan jejaring statistik khusus skala provinsi.

1. Pengembangan jejaring statistik khusus skala kabupaten/kota.

1980

22. Bidang Kearsipan


SUB BIDANG 1. Kearsipan SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH P ROVINSI 1. Penetapan norma, standar dan pedoman penyelenggaraan kearsipan di lingkungan provinsi berdasarkan kebijakan kearsipan nasional meliputi : a. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan arsip dinamis di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan norma, standar dan pedoman penyelenggaraan kearsipan di lingkungan kabupaten/kota berdasarkan kebijakan kearsipan nasional, meliputi : a. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan dinamis di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional. b. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan statis di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional. c. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan sistem kearsipan di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional. NSPK YA TIDAK JUMLAH NSPK

1. Kebijakan

1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan kearsipan secara nasional, meliputi : a. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan kearsipan dinamis secara nasional.

b. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan kearsipan secara statis. c. Penetapan kebijakan dan pengembangan sistem kearsipan secara nasional.

b. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan statis di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional. c. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan sistem kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

d. Penetapan kebijakan dan pengembangan jaringan kearsipan secara nasional.

d. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

d. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan kearsipan di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional.

1981

e. Penetapan kebijakan dan pengembangan sumber daya manusia kearsipan secara nasional.

e. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

e. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia kearsipan di lingkungan kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan nasional.

f. Penetapan kebijakan pembentukan dan pengembangan organisasi kearsipan secara nasional.

f. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional. g. Penetapan peraturan dan kebijakan penggunaan sarana dan prasarana kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.

f.

g. Penetapan kebijakan di bidang sarana dan prasarana kearsipan secara nasional.

g. Penetapan peraturan dan kebijakan penggunaan sarana dan prasarana kearsipan di lingkungan kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan nasional.

2. Pembinaan

1. Pembinaan kearsipan terhadap lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, lembaga vertikal, provinsi dan kabupaten/ kota.

1. Pembinaan kearsipan terhadap perangkat daerah provinsi, badan usaha milik daerah provinsi dan kabupaten/kota.

1. Pembinaan kearsipan terhadap perangkat daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan.

3. Penyelamatan, Pelestarian dan Pengamanan

1. Pemberian persetujuan jadwal retensi arsip.

1. Pemberian persetujuan jadwal retensi arsip kabupaten/kota terhadap arsip yang telah memiliki pedoman retensi. 2. Pemberian persetujuan pemusnahan arsip kabupaten/kota terhadap arsip yang telah memiliki pedoman retensi.

1.

2. Pemberian persetujuan pemusnahan arsip.

2.

1982

3. Pengelolaan arsip statis lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, badan usaha milik negara, perusahaan swasta dan perorangan berskala nasional.

3. Pengelolaan arsip statis perangkat daerah provinsi, lintas daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah provinsi serta swasta dan perorangan berskala provinsi.

3. Pengelolaan arsip statis perangkat daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah kabupaten/kota, perusahaan swasta dan perorangan berskala kabupaten/kota.

4. Akreditasi dan Sertifikasi

1. Pemberian akreditasi dan sertifikasi kearsipan.

1.

1.

5. Pengawasan/Supervisi

1. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, lembaga vertikal serta provinsi. 2. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan pembinaan kearsipan oleh lembaga kearsipan provinsi.

1. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan perangkat daerah provinsi dan lembaga kearsipan kabupaten/kota.

1. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan perangkat daerah kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan. 2.

2. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan pembinaan oleh lembaga kearsipan kabupaten/kota.

1983

23. Bidang Perpustakaan


NSPK SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUP ATEN/KOTA 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan kabupaten/kota berpedoman kebijakan provinsi dan nasional, meliputi : a. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan perpustakaan di skala kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional. b. JUMLAH NSPK YA TIDAK

1. Pe rpustakaan

1. Kebijakan

1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan perpustakaan secara nasional, meliputi : a. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan perpustakaan. b. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan dan pengembangan sistem perpustakaan secara nasional.

1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan provinsi berpedoman kebijakan nasional, meliputi : a. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan perpustakaan di skala provinsi berdasarkan kebijakan nasional. b.

1984

c. Penetapan kebijakan dan pengembangan jaringan perpustakaan secara nasional. d. Penetapan kebijakan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) perpustakaan secara nasional. e. Penetapan kebijakan pembentukan dan pengembangan organisasi perpustakaan secara nasional. f. Penetapan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan secara nasional.

c. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional. d. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan SDM perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional. e. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional. f. Penetapan paraturan dan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.

c. Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. d. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan SDM perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. e. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. f. Penetapan dan peraturan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.

1985

2. Pembinaan Teknis Perpustakaan

1. Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan : a. Pengelolaan perpustakaan sesuai standar. b. Pengembangan SDM. c. Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar. d. Kerjasama dan jaringan perpustakaan. e. Pengembangan minat baca.

1. Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan di wilayah provinsi : a. Pengelolaan perpustakaan sesuai standar. b. Pengembangan SDM. c. Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar. d. Kerjasama dan jaringan perpustakaan. e. Pengembangan minat baca.

1. Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan di wilayah kabupaten/kota : a. Pengelolaan perpustakaan sesuai standar. b. Pengembangan SDM. c. Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar. d. Kerjasama dan jaringan perpustakaan. e. Pengembangan minat baca.

3. Penyelamatan dan Pelestarian Koleksi Nasional

1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi nasional.

1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi daerah provinsi berdasarkan kebijakan nasional.

1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi daerah kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional.

2. Pelestarian Karya Cetak dan Karya Rekam, terkait koleksi nasional. 3. Koordinasi pelestarian tingkat nasional, regional, dan internasional.

2. Pelaksanaan SerahSimpan Karya Cetak dan Karya Rekam, terkait koleksi daerah provinsi dan kabupaten/kota. 3. Koordinasi pelestarian tingkat daerah provinsi.

2. 3. Koordinasi pelestarian tingkat daerah kabupaten/kota.

1986

4. Pengembangan Jabatan Fugsional Pustakawan

1. Penetapan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan secara nasional. 2. Penetapan kebijakan penilaian angka kredit pustakawan. 3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan madya dan pustakawan utama.

1. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan di skala provinsi sesuai kebijakan nasional. 2. 3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan pelaksana sampai dengan pustakawan penyelia dan pustakawan pertama sampai dengan pustakawan muda.

1. Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan di skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. 2. 3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan pelaksana sampai dengan pustakawan penyelia dan pustakawan pertama sampai dengan pustakawan muda.

4. Penetapan standar kompetensi jabatan fungsional pustakawan.

4.

4.

5. Akreditasi Perpustakaan dan Sertifikasi Pustakawan

1. Pemberian akreditasi perpustakaan. 2. Pemberian sertifikasi pustakawan.

1. Pemberian akreditasi perpustakaan di wilayah provinsi. 2. Pemberian sertifikasi pustakawan di wilayah provinsi.

1. 2.

6. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Teknis dan Fungsional Perpustakaan

1. Pengembangan dan penetapan kurikulum dan modul diklat teknis dan fungsional perpustakaan. 2. Pemberian akreditasi diklat teknis dan fungsional perpustakaan. 3. Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.

1. Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan. 2. 3.

1. Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan. 2. 3.

1987

24. Bidang Komunikasi dan Informatika


SUB BIDANG 1. Pos dan Telekomunikasi SUB SUB BIDANG 1. Pos PEMERINTAH 1. Perumusan kebijakan di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli. 2. Perumusan pengaturan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli. 3. Pemberian bimbingan teknis bidang produk pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli. 4. PEMERINTAHAN DAERAH P ROVINSI 1. 2. 3. 4. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. 2. 3. 4. Penyelenggaraan pelayanan pos di perdesaan. NSPK YA TIDAK JUMLAH NSPK

1988

5. 6. Pemberian perizinan penyelenggaraan jasa titipan. 7. 8. Pelaksanaan analisa dan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli serta penertiban penyelenggaraan pos dan jasa titipan.

5. 6. Pemberian izin jasa titipan untuk kantor cabang. 7. Penertiban jasa titipan untuk kantor cabang. 8.

5. Pemberian rekomendasi untuk pendirian kantor pusat jasa titipan. 6. Pemberian izin jasa titipan untuk kantor agen. 7. Penertiban jasa titipan untuk kantor agen. 8.

2. Telekomunikasi

1. Perumusan kebijakan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal. 2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.

1. 2.

1. 2.

1989

3. Pemberian bimbingan teknis di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal. 4. Pemberian perizinan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan penyelenggaraan kewajiban pelayanan universal.

3.Pemberian bimbingan teknis di bidang sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, kinerja operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal skala wilayah. 4.

3. 4.

5. 6. 7.

5. Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya provinsi sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio. 6. Pengawasan layanan jasa telekomunikasi. 7.Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal wireline (end to end) cakupan provinsi.

5. Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya kabupaten/kota sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio. 6. 7. Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap tertutup lokal wireline (end to end) cakupan kabupaten/kota.

1990

8. 9. 10. Pelaksanaan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal dan teknologi informasi.

8. Koordinasi dalam rangka pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi. 9. 10.Pengawasan/ pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya provinsi.

8. Pemberian rekomendasi wilayah prioritas untuk pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi. 9. Pemberian izin terhadap Instalatur Kabel Rumah/Gedung (IKR/G). 10. Pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya kabupaten/kota, pelaksanaan pembangunan telekomunikasi perdesaan, penyelenggaraan warung telekomunikasi, warung seluler atau sejenisnya.

11. Pemberian Izin Amatir Radio (IAR) dan Izin Penguasaan Perangkat Radio Amatir (IPPRA), termasuk untuk warga negara asing, Izin Komunikasi Radio Antar Penduduk (IKR AP) dan Izin Penguasaan Perangkat Komunikasi Radio Antar Penduduk (IPPKRAP). 12. Pelaksanaan penyelenggaraan ujian amatir radio. 13.

11. 12. 13. Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.

11. 12. 13.Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.

1991

14. Pedoman penyelenggaraan warung telekomunikasi/ warung internet/ warung seluler atau sejenisnya. 15. Pedoman panggilan darurat telekomunikasi.

14. 15.

14. 15. Penanggung jawab panggilan darurat telekomunikasi.

3. Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (Orsat)

1. Perumusan kebijakan di bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat. 2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.

1. 2.

1. 2.

3. Pelaksanaan penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat. 4. Pemberian perizinan penggunaan frekuensi radio dan orsat. 5. Pelaksanaan analisa dan evaluasi di bidang operasi frekuensi radio dan orsat. 6. Perumusan rencana dan alokasi spektrum frekuensi radio dan orsat. 7. Penetapan tabel alokasi spektrum frekuensi radio Indonesia dan orsat.

3. 4. 5. 6. 7.

3. 4. 5. 6. 7.

1992

8. Penyusunan rencana induk frekuensi radio. 9. Penyusunan dan penetapan kajian teknis sistem alat dan atau perangkat yang menggunakan frekuensi radio. 10.Penetapkan persetujuan alokasi frekuensi radio (allotment). 11.Pelaksanaan koordinasi penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat dalam forum skala bilateral, regional dan internasional.

8. 9. 10. 11.

8. 9. 10. 11.

12.Perumusan hasil koordinasi forum tersebut untuk dapat dilaksanakan sesuai ketentuan internasional. 13.Penghimpunan dan tindak lanjut pengaduan negara lain tentang adanya gangguan interferensi frekuensi radio yang bersumber dari Indonesia. 14.Tindak lanjut pengaduan adanya interferensi yang bersumber dari negara lain.

12. 13. 14.

12. 13. 14.

1993

15.Pelaksanaan penetapan (assignment) penggunaan frekuensi radio sesuai alokasi frekuensi radio. 16.Pelaksanaan teknikal analisis. 17.Pengelolaan loket penerimaan berkas izin frekuensi radio. 18.Penetapan ketentuan dan persyaratan perizinan frekuensi radio. 19.Pelaksanaan penetapan biaya hak penggunaan frekuensi radio. 20.Penerbitan izin stasiun radio.

15. 16. 17. 18. 19. 20.

15. 16. 17. 18. 19. 20.

1994

21.Pelaksanaan verifikasi izin stasiun radio. 22.Pelaksanaan penugasan kepada unit pelaksana teknis untuk monitoring spektrum frekuensi radio. 23.Pelaksanaan inspeksi instalasi alat/perangkat yang menggunakan spektrum dan kesesuaian standarnya. 24.Pelaksanaan penegakan hukum. 25.Pelaksanaan rekayasa teknik spektrum. 26.Pengelolaan sarana dan prasarana monitoring frekuensi radio dan orsat.

21. 22. 23. 24. 25. 26.

21. 22. 23. 24. 25. 26.

27.Pengelolaan database frekuensi radio Indonesia. 28.Penetapan peraturan, standar pedoman penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat. 29.Pedoman pembangunan sarana dan prasarana menara telekomunikasi. 30.Penetapan pedoman kriteria pembuatan tower. 31.

27. 28. 29. 30. 31.Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi lintas kabupaten/kota atau jalan provinsi.

27. 28. 29. 30.Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menara telekomunikasi sebagai sarana dan prasarana telekomunikasi. 31.Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi dalam satu kabupaten/kota.

1995

32. 33. 34.

32. 33. 34.

32.Pemberian izin Hinder Ordonantie (Ordonansi Gangguan). 33.Pemberian izin instalansi penangkal petir. 34.Pemberian izin instalansi genset.

4. Bidang Standarisasi Pos dan Telekomunikasi

1. Perumusan kebijakan di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi. 2. Perumusan standar di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.

1. 2.

1. 2.

1996

3. Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi. 4. Pemantauan dan penertiban standar pos dan telekomunikasi. 5. Perumusan persyaratan teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi.

3. Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi. 4. 5.

3. 4. 5.

6. Pengawasan penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi skala nasional. 7. Kerjasama standar teknik tingkat internasional. 8.

6. Pengawasan terhadap penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/ perangkat pos dan telekomunikasi skala provinsi. 7. 8.

6. Pengendalian dan penertiban terhadap pelanggaran standarisasi pos dan telekomunikasi. 7. 8. Pemberian izin usaha perdagangan alat perangkat telekomunikasi.

1997

5. Kelembagaan Internasional Pos dan Telekomunikasi

1. Perumusan kebijakan di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.

1.

1.

2. Perumusan pedoman, norma, kriteria dan prosedur di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat. 3. Pelaksanaan kerjasama kelembagaan multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.

2. 3.

2. 3.

1998

4. 5. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan kelembagaan internasional dan kegiatan fora internasional di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.

4. Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga. 5.

4. Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga. 5.

2. Sarana Komunikasi Dan Diseminasi Informasi

1. Penyiaran

1. Penetapan arah kebijakan penyelenggaraan penyiaran dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi penyiaran, kecenderungan permintaan pasar, ekonomi, sosial, budaya dan kondisi lingkungan lainnya. 2. Penetapan tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran. 3.

1. 2. Evaluasi persyaratan administrasi dan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan penyiaran. 3. Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan televisi.

1. 2. 3. Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan radio.

1999

4. Penerbitan izin penyelenggaraan penyiaran radio dan televisi bagi seluruh lembaga penyiaran. 5. Penetapan pedoman teknis pelaksanaan uji coba siaran radio dan televisi. 6. Penetapan kebijakan pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan oleh salah satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran. 7. Penetapan kebijakan kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio, lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran televisi, perusahaan media cetak, dan lembaga penyiaran berlangganan baik langsung maupun tidak langsung. 8. Penetapan kebijakan kepemilikan modal asing pada lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan. 9. Pemetaan usaha penyiaran radio dan televisi.

4. 5. 6.

4. Pemberian izin lokasi pembangunan studio dan stasiun pemancar radio dan/atau televisi. 5. 6.

7. 8. 9.

7. 8. 9.

2000

10. Penetapan wilayah layanan penyiaran radio dan televisi. 11. Pengaturan dan penetapan sistem stasiun jaringan penyiaran radio dan televisi. 12. Penetapan standar teknologi penyiaran radio dan televisi. 13. Penetapan pedoman teknis sarana dan prasarana penyiaran radio dan televisi.

10. 11. 12. 13.

10. 11. 12. 13.

2. Kelembagaan Komunikasi Sosial

1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga media tradisional.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala provinsi.

1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala kabupaten/kota.

2001

3. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah

2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga komunikasi perdesaan. 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga profesi. 4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga pemantau media. 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang politik, hukum dan keamanan. 2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang perekonomian. 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang kesejahteraan rakyat.

2. 3. 4.

2. 3. 4.

1. 2. 3.

1. 2. 3.

2002

4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang badan usaha milik negara.

4.

4.

4. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah Daerah

1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah I.

1.

1.

2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah II. 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah III.

2. 3.

2. 3.

2003

4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah IV. 5. Penerbitan panduan paket informasi nasional.

4. 5. Koordinasi dan pelaksanaan diseminasi informasi nasional.

4. 5. Pelaksanaan diseminasi informasi nasional.

5. Kemitraan Media

1. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media radio, media televisi dan media cetak.

1.

1.

2. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media komunitas.

2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala provinsi.

2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala kabupaten/kota.

2004

25. Bidang Pertanian dan Ketahanan Pangan


PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat kabupaten/kota. 2. Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah kabupaten/kota. 3. Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah kabupaten/kota. 4. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian wilayah kabupaten/kota. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

SUB BIDANG

SUB SUB BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI

1. Tanaman Pangan dan Hortikultura

1. Lahan Pertanian

1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat nasional. 2. Penetapan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian nasional (lintas provinsi). 3. Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian nasional (lintas provinsi). 4. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian nasional.

1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat provinsi. 2. Penyusunan peta pengembangan, rehabiltasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah provinsi (lintas kabupaten). 3. Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian provinsi (lintas kabupaten). 4. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian wilayah provinsi.

2005

5.a. b. 6. 7. 8. Penetapan sasaran areal tanam nasional. 9. Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala nasional.

5.a. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan pertanian wilayah provinsi. b. 6. Pengaturan dan penerapan kawasan pertanian terpadu wilayah provinsi. 7. Penetapan sentra komoditas pertanian wilayah provinsi. 8. Penetapan sasaran areal tanam wilayah provinsi. 9. Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala provinsi.

2. Air Irigasi

1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pemanfaatan air irigasi. 2.a. b. 3. 4.a. Penetapan kebijakan pengembangan dan pembinaan pemberdayaan kelembagaan petani pemakai air. b.

1. Bimbingan pengembangan jaringan irigasi. 2.a. Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air irigasi. b. 3. Bimbingan teknis pengelolaan sumber-sumber air dan air irigasi. 4.a. Pemantauan dan evaluasi pengembangan dan pembinaan pemberdayaan kelembagaan petani pemakai air. b.

5.a. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan pertanian wilayah kabupaten/ kota. b. Pengembangan lahan pertanian wilayah kabupaten/kota. 6. Pengaturan dan penerapan kawasan pertanian terpadu wilayah kabupaten/kota. 7. Penetapan sentra komoditas pertanian wilayah kabupaten/kota. 8. Penetapan sasaran areal tanam wilayah kabupaten/kota. 9. Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala kabupaten/kota. 1. Pembangunan dan rehabilitasi pemeliharaan jaringan irigasi di tingkat usaha tani dan desa. 2.a. Bimbingan dan pengawasan pemanfaatan dan pemeliharaan jaringan irigasi. b. Bimbingan dan pengawasan pemanfaatan sumber-sumber air dan air irigasi. 3. 4.a. Bimbingan pengembangan dan pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan Perkumpulan Petani Pemakai Air Tanah (P3AT). b. Bimbingan dan pelaksanaan konservasi air irigasi.

2006

5. Penetapan kebijakan dan pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan air untuk usaha tani dan desa.

5. Pemantauan dan evaluasi pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan air untuk usaha tani.

5. Bimbingan penerapan teknologi optimalisasi pengelolaan air untuk usaha tani.

3. Pupuk

1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pupuk. 2. Pendaftaran dan pengawasan formula pupuk. 3.a. Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk. b. c.

1. Pemantauan dan evaluasi penggunaan pupuk. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah provinsi. b. c.

1. Bimbingan penggunaan pupuk. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah kabupaten/kota. b. Pengembangan dan pembinaan unit usaha pelayanan pupuk. c. Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pupuk.

4. 5. Penetapan standar mutu pupuk.

4. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pupuk. 5. Pengawasan standar mutu pupuk.

4. Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pupuk. 5. Bimbingan penerapan standar mutu pupuk.

2007

4. Pestisida

1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pestisida. 2. Pendaftaran dan pengawasan formula pestisida. 3.a. Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida. b. c.

1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah provinsi. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah provinsi. b. c.

1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota. b. Pengembangan dan pembinaan unit pelayanan pestisida. c. Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pestisida.

4. 5. Penetapan standar mutu pestisida.

4. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pestisida. 5. Pengawasan standar mutu pestisida.

4. Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pestisida. 5. Bimbingan penerapan standar mutu pestisida.

5. Alat dan Mesin Pertanian

1. Penetapan kebijakan alat dan mesin pertanian. 2. 3. Pendaftaran prototipe alat dan mesin pertanian. 4. Penetapan standar mutu alat dan mesin pertanian. 5. Pengujian mutu alat dan mesin pertanian dalam rangka standarisasi.

1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin pertanian wilayah provinsi. 2. Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin pertanian wilayah provinsi. 3. Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin pertanian. 4. Penerapan standar mutu alat dan mesin pertanian. 5.

1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin pertanian wilayah kabupaten/kota. 2. Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin pertanian di wilayah kabupaten/kota. 3. Pengembangan alat dan mesin pertanian sesuai standar. 4. Penerapan standar mutu alat dan mesin pertanian. 5.

2008

6.a. Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin pertanian. b. c. d. e. f.

6.a. Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin pertanian wilayah provinsi. b. c. d. e. f.

6.a. Pengawasan standar mutu dan alat mesin pertanian wilayah kabupaten/kota. b. Pembinaan dan pengembangan jasa alat dan mesin pertanian. c. Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin pertanian. d. Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin pertanian sesuai kebutuhan lokalita. e. Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin pertanian. f. Pembinaan dan pengembangan bengkel/pengrajin alat dan mesin pertanian.

2009

6. Benih Tanaman

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman perbenihan tanaman. b. 2. Pelepasan dan penarikan varietas tanaman. 3. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran benih dari dan keluar wilayah negara RI. 4. Penetapan standar mutu dan pedoman pengawasan dan sertifikasi benih. 5.

1.a. Pemantauan dan evaluasi penerapan pedoman perbenihan tanaman. b. Penyusunan kebijakan benih antar lapang. 2. Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal. 3. Pemantauan benih dari luar negeri di wilayah provinsi. 4. Pengawasan penerapan standar mutu benih wilayah provinsi. 5. Pengaturan penggunaan benih wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan penerapan pedoman perbenihan tanaman wilayah kabupaten/kota. b. Penyusunan kebijakan benih antar lapang wilayah kabupaten/kota. 2. 3. Pemantauan benih dari luar negeri di wilayah kabupaten/kota. 4. Bimbingan penerapan standar mutu benih wilayah kabupaten/kota. 5. Pengaturan penggunaan benih wilayah kabupaten/kota.

2010

6.a. b. c. d. e. f. g.

6.a. Pengawasan dan sertifikasi benih. b. c. d. e. f. g.

6.a. Pembinaan dan pengawasan penangkar benih. b. Pembinaan dan pengawasan perbanyakan peredaran dan penggunaan benih. c. Bimbingan dan pemantauan produksi benih. d. Bimbingan penerapan standar teknis perbenihan yang meliputi sarana, tenaga dan metode. e. Pemberian izin produksi benih. f. Pengujian dan penyebarluasan benih varietas unggul spesifik lokasi. g. Perbanyakan dan penyaluran mata tempel dan benih tanaman.

h. i. j. 7.a. b.

h. i. j. 7.a. Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah provinsi. b.

h. Pelaksanaan dan bimbingan dan distribusi pohon induk. i. Penetapan sentra produksi benih tanaman. j. Pengembangan sistem informasi perbenihan. 7.a. Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah kabupaten/kota. b. Pembinaan dan pengawasan balai benih milik swasta.

2011

7. Pembiayaan

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat.

1.a. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumbersumber pembiayaan/kredit agribisnis.

b. c. d.

b. c. d.

b.Bimbingan penyusunan rencana usaha agribisnis. c. Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan. d.Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan pengendalian kredit wilayah kabupaten/kota.

8. Perlindungan Tanaman

1. Penetapan kebijakan perlindungan tanaman. 2. Pengaturan dan penetapan norma dan standar teknis pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan analisis mitigasi dampak fenomena iklim.

1. 2. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.

1. 2. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.

2012

3. 4. 5. 6. 7.

3. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah provinsi. 4. Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah provinsi. 5. Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah provinsi. 6. Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah provinsi. 7. Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah

3. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. 4. Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah kabupaten/kota. 5. Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. 6. Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah kabupaten/kota. 7. Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. 8. Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman wilayah kabupaten/kota.

8. Penetapan dan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman skala nasional.

provinsi. 8. Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman wilayah provinsi.

2013

9. Perizinan Usaha

1. Penetapan pedoman perizinan usaha tanaman pangan dan hortikultura. 2.

1. Pemberian izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. 2. Pemantauan dan pengawasan izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.

1. Pemberian izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. 2. Pemantauan dan pengawasan izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.

11. Pembinaan Usaha

1. Penetapan pedoman pembinaan usaha tanaman pangan dan hortikultura. 2. 3.

1. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi. 2. Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. 3. Pelaksanaan studi analis mengenai dampak lingkungan (amdal)/Upaya Pengelolaan Lingkungan hidup (UKL)Upaya Pemantauan Lingkungan hidup (UPL) di bidang tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.

1. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota. 2. Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.

2014

4. 5. Penetapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah. 6. Penetapan program kerjasama/kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura.

4. Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah provinsi. 5. Bimbingan penerapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah wilayah provinsi. 6. Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.

4. Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota. 5. Bimbingan penerapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah wilayah kabupaten/kota. 6. Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.

12. Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil

1.a. Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura. b.

1.a. Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. b. Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah

2015

2. Penetapan pedoman perkiraan kehilangan tanaman pangan dan hortikultura. 3. Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura. 4.a. Penetapan pedoman teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil. b.

2. Bimbingan penghitungan perkiraan kehilangan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. 3. Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. 4.a. Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah provinsi. b.

kabupaten/kota. 2. Penghitungan perkiraan kehilangan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. 3. Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. 4.a. Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota. 1. Bimbingan pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. 2. Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. 3. Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota. 4. Pengawasan harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.

13. Pemasaran

1. Penetapan pedoman pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura. 2. Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura tingkat nasional dan internasional. 3. Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri. 4. Penetapan kebijakan harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura.

1. Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. 2. Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. 3. Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi. 4. Pemantauan dan evaluasi harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.

2016

14. Sarana Usaha

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan sarana usaha. b.

1.a. Pemantauan dan evaluasi pengembangan sarana usaha wilayah provinsi. b. Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil tanaman pangan wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan pengembangan sarana usaha wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil tanaman pangan wilayah kabupaten/ kota.

15.Pengembangan Statistik dan Sistem Informasi Tanaman Pangan dan Hortikultura

1. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan tanaman pangan dan hortikultura. 2. Pembinaan dan pengelolaan data dan statistik serta sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura.

1. Penyusunan statistik tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi. 2. Bimbingan penerapan sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.

1. Penyusunan statistik tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. 2. Bimbingan penerapan sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.

16. Pengawasan dan Evaluasi

1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tanaman pangan dan hortikultura.

1.

1.

2017

2. Perkebunan

1. Lahan Perkebunan

1.a. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan. b. c. 2.a. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan nasional.

1.a. Bimbingan dan pengawasan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian perkebunan. b. Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan. c. Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan. 2.a. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan wilayah provinsi.

1.a. Penetapan kebutuhan dan pengembangan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota. b. Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi, dan pengendalian lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota. c. Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota. 2.a. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.

b. c. d. e. 3. Penetapan sasaran areal tanam nasional.

b. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan perkebunan wilayah provinsi. c. d. Pengaturan dan penerapan kawasan perkebunan terpadu wilayah provinsi. e. 3. Penetapan sasaran areal tanam wilayah provinsi.

b. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota. c. Pengembangan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota. d. Pengaturan dan penerapan kawasan perkebunan terpadu wilayah kabupaten/kota. e. Penetapan sentra komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota. 3. Penetapan sasaran areal tanam wilayah kabupaten/kota.

2018

2. Pemanfaatan Air Untuk Perkebunan

1.a. Penetapan kebijakan, pedoman, bimbingan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan. b. c. 2.a. Penetapan kebijakan pengembangan teknologi dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan. b.

1.a. Bimbingan pemanfaatan sumber-sumber air untuk perkebunan. b. Bimbingan pemanfaatan air permukaan dan air tanah untuk perkebunan. c. Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan. 2.a. Bimbingan pengembangan sumbersumber air untuk perkebunan. b. Bimbingan pengembangan teknologi irigasi air permukaan dan air bertekanan untuk perkebunan.

1.a. Pemanfaatan sumbersumber air untuk perkebunan. b. Pemanfaatan air permukaan dan air tanah untuk perkebunan. c. Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan. 2.a. Pengembangan sumber- sumber air untuk perkebunan. b. Pengembangan teknologi irigasi air permukaan dan irigasi bertekanan untuk perkebunan.

c.

c. Pemantauan dan evaluasi pengembangan air untuk perkebunan.

c. Pemantauan dan evaluasi pengembangan air untuk perkebunan.

3. Pupuk

1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pupuk. 2. Pendaftaran dan pengawasan formula pupuk. 3.a. Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk.

1. Pemantauan dan evaluasi penggunaan pupuk. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah provinsi.

1. Bimbingan penggunaan pupuk. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah kabupaten/kota.

2019

b. c. d. 4. Penetapan standar mutu pupuk.

b. c. d. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pupuk. 4. Pengawasan standar mutu pupuk.

b. Pengembangan dan pembinaan unit usaha pelayanan pupuk. c. Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pupuk. d. Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pupuk. 4. Bimbingan penerapan standar mutu pupuk.

4. Pestisida

1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pestisida. 2. Pendaftaran dan pengawasan formula pestisida. 3.a. Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida. b. c. d. 4. Penetapan standar mutu pestisida.

1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah provinsi. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah provinsi. b. c. d. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pestisida. 4. Pengawasan standar mutu pestisida.

1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota. 2. 3.a. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota. b. Pengembangan unit usaha pelayanan pestisida. c. Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pestisida. d. Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pestisida. 4. Bimbingan penerapan standar mutu pestisida.

2020

5. Alat dan Mesin Perkebunan

1. Penetapan kebijakan alat dan mesin perkebunan. 2. 3. Pendaftaran prototipe alat dan mesin perkebunan. 4. Penetapan kebijakan standar mutu alat dan mesin perkebunan. 5. Pengujian mutu alat dan mesin perkebunan dalam rangka standarisasi. 6.a. Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin

1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi. 2. Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi. 3. Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin perkebunan. 4. Penerapan standar mutu alat dan mesin perkebunan. 5. 6.a. Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota. 2. Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota. 3. Pengembangan alat dan mesin perkebunan sesuai standar. 4. Penerapan standar mutu alat dan mesin perkebunan. 5. 6.a. Pengawasan standar mutu dan alat mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota.

perkebunan. b. c. d. e. f.

b. c. d. e. f.

b. Pembinaan dan pengembangan jasa alat dan mesin perkebunan. c. Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin perkebunan. d. Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin perkebunan sesuai kebutuhan lokalita. e. Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin perkebunan. f. Pembinaan dan pengembangan bengkel/pengrajin alat dan mesin perkebunan.

2021

6. Benih Perkebunan

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman perbenihan perkebunan. b. 2. Pelepasan dan penarikan varietas perkebunan. 3. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran benih perkebunan dari dan keluar wilayah negara RI. 4.a. Penetapan standar mutu pengawasan dan sertifikasi benih perkebunan.

1.a. Pemantauan dan evaluasi penerapan pedoman perbenihan perkebunan. b. Penyusunan kebijakan benih perkebunan antar lapang (antar kabupaten). 2. Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal. 3. Pemantauan benih impor wilayah provinsi. 4.a. Pengawasan penerapan standar mutu benih perkebunan wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan penerapan pedoman perbenihan perkebunan wilayah kabupaten/kota. b. Penerapan kebijakan dan pedoman perbenihan perkebunan wilayah kabupaten/kota. 2. Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal. 3. Pemantauan benih impor wilayah kabupaten/kota. 4.a. Bimbingan penerapan standar mutu benih perkebunan wilayah kabupaten/kota.

b. c. d. e. f. g. h.

b. Pengaturan penggunaan benih perkebunan wilayah provinsi. c. Pengawasan dan sertifikasi benih perkebunan. d. e. f. g. h.

b. Pengaturan penggunaan benih perkebunan wilayah kabupaten/kota. c. Pembinaan dan pengawasan penangkar benih perkebunan. d. Pembinaan dan pengawasan perbanyakan peredaran dan penggunaan benih perkebunan. e. Bimbingan dan pemantauan produksi benih perkebunan. f. Bimbingan penerapan standar teknis perbenihan perkebunan yang meliputi sarana, tenaga dan metode. g. Pemberian izin produksi benih perkebunan. h. Pengujian dan penyebarluasan benih perkebunan varietas unggul spesifik lokasi.

2022

i. j. k. l. m. n.

i. j. k. l. m.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah provinsi. n.

7. Pembiayaan

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman pembiayaan bidang perkebunan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat. b. c. d.

1.a. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat wilayah provinsi. b. c. d.

i. Perbanyakan dan penyaluran mata tempel dan benih perkebunan tanaman. j. Pelaksanaan dan bimbingan dan distribusi pohon induk. k. Penetapan sentra produksi benih perkebunan. l. Pengembangan sistem informasi perbenihan perkebunan. m.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah kabupaten/kota. n. Pembinaan dan pengawasan balai benih milik swasta. 1.a. Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumbersumber pembiayaan/kredit perkebunan. b.Bimbingan penyusunan rencana usaha perkebunan. c. Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan. d.Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan pengendalian kredit wilayah kabupaten/kota.

2023

8. Perlindungan Perkebunan

1. Penetapan kebijakan perlindungan perkebunan. 2.a. Pengaturan dan penetapan norma dan standar teknis pengendalian OPT dan analisis mitigasi dampak fenomena iklim. b. c. d.

1. 2.a. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah provinsi. b. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah provinsi. c. Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah provinsi. d. Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.

1. 2.a. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. c. Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah kabupaten/kota. d. Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.

e. f. 3. Penetapan dan penanggulangan wabah OPT skala nasional. 4. Penanganan gangguan usaha perkebunan skala nasional.

e. Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah provinsi. f. Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah provinsi. 3. Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular tanaman wilayah provinsi. 4. Penanganan gangguan usaha perkebunan wilayah provinsi.

e. Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah kabupaten/kota. f. Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. 3. Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular tanaman wilayah kabupaten/kota. 4. Penanganan gangguan usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota.

2024

9. Perizinan Usaha

1.a. Penetapan pedoman perizinan usaha perkebunan (budidaya dan industri pengolahan). b.

1.a. Pemberian izin usaha perkebunan lintas kabupaten/kota. b. Pemantauan dan pengawasan izin usaha perkebunan lintas kabupaten/kota.

1.a. Pemberian izin usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota. b. Pemantauan dan pengawasan izin usaha perkebunan di wilayah kabupaten/kota.

10.Teknis Budidaya

1. Penetapan pedoman teknis budidaya perkebunan.

1. Bimbingan penerapan pedoman teknis budidaya perkebunan wilayah provinsi.

1. Bimbingan penerapan pedoman teknis budidaya perkebunan wilayah kabupaten/kota.

2025

11.Pembinaan Usaha

1.a. Penetapan pedoman pembinaan usaha perkebunan. b.

1.a. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi. b. Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha perkebunan wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota.

c. d. 2. Penetapan program kerjasama/kemitraan usaha perkebunan.

c. Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang perkebunan wilayah provinsi. d. Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah provinsi. 2. Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha perkebunan wilayah provinsi.

c. Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang perkebunan wilayah kabupaten/kota. d. Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota. 2. Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha perkebunan.

12.Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil

1.a. Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan. b. 2. Penetapan pedoman perkiraan kehilangan hasil perkebunan.

1.a. Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan wilayah provinsi. b. Bimbingan peningkatan mutu hasil perkebunan wilayah provinsi. 2. Bimbingan penghitungan perkiraan kehilangan hasil perkebunan wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan peningkatan mutu hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota. 2. Penghitungan perkiraan kehilangan hasil perkebunan wilayah kabupaten/ kota.

2026

3. Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan. 4.a. Penetapan pedoman teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil. b.

3. Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan wilayah provinsi. 4.a. Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah provinsi. b.

3. Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota. 4.a. Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota. 1. Bimbingan pemasaran hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota. 2. Promosi komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota.

13. Pemasaran

1. Penetapan pedoman pemasaran hasil perkebunan. 2. Promosi komoditas perkebunan tingkat nasional dan internasional.

1. Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil perkebunan wilayah provinsi. 2. Promosi komoditas perkebunan wilayah provinsi.

3. Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri. 4. Penetapan kebijakan harga komoditas perkebunan.

3. Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi. 4. Pemantauan dan evaluasi harga komoditas perkebunan wilayah provinsi.

3. Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota. 4. Pengawasan harga komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota.

14. Sarana Usaha

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan sarana usaha. b.

1.a. Pemantauan dan evaluasi pengembangan sarana usaha wilayah provinsi. b. Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil perkebunan wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan pengembangan sarana usaha wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.

2027

15.Pengembangan Statistik dan Sistem Informasi Perkebunan

1. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan perkebunan. 2. Pembinaan dan pengelolaan data dan statistik serta sistem informasi perkebunan.

1. Penyusunan statistik perkebunan wilayah provinsi. 2. Bimbingan penerapan sistem

1. Penyusunan statistik perkebunan wilayah kabupaten/kota. 2. Bimbingan penerapan sistem

16.Pengawasan dan Evaluasi

1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang perkebunan.

1.

1.

3. Peternakan dan Kesehatan Hewan

1. Kawasan Peternakan

1. Penetapan pedoman tata cara penetapan dan pengawasan kawasan peternakan. 2.a. Penetapan peta potensi peternakan. b. c.

1. Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah provinsi. 2.a. Penetapan peta potensi peternakan wilayah provinsi. b.Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah provinsi. c. Penetapan peta potensi peternakan wilayah provinsi.

1. Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah kabupaten/kota. 2.a. Penetapan peta potensi peternakan wilayah kabupaten/kota. b.Bimbingan penetapan kawasan industri peternakan rakyat. c. Pengembangan lahan hijauan pakan.

3. Penetapan pedoman penetapan padang pengembalaan.

3. Penerapan pedoman penetapan padang pengembalaan.

3. Penetapan padang pengembalaan.

2028

2. Alat dan Mesin Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet)

1.a. Penetapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet. b. 2. Penetapan pedoman dan standar mutu kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet. 3.a.Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan

1.a. Penerapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. b. Pemantauan, identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet. 2. Penerapan standar mutu dan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan Kesmavet wilayah provinsi. 3.a. Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan

1.a. Penerapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota. b.Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet. 2. Pengawasan penerapan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet. 3.a. Pengawasan penerapan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan

pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet. b. c. d.

hewan dan kesmavet wilayah provinsi. b. Penerapan pedoman pengawasan produksi, peredaan, penggunaan dan pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. c. Pembinaan dan pengawasan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. d.

hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota. b.Pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota. c. Pembinaan dan pengembangan pelayanan jasa alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota. d.Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan sesuai kebutuhan lokalita wilayah kabupaten/kota.

2029

e. f. g. h.

e. Penerapan standar dukungan rekayasa teknologi peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. f. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. g. Pembinaan dan pengawasan rekayasa dan pemeliharaan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. h. Pengawasan penerapan teknologi bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.

i.

i. Pembinaan kerjasama teknologi bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.

e. Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota. f. Pembinaan dan pengembangan bengkel/ pengrajin alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet kabupaten/kota. g. Pelaksanaan temuantemuan teknologi baru di bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota. h.Pelaksanaan kajian, pengenalan dan pengembangan teknologi tepat guna bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota. i. Pelaksanaan kerjasama dengan lembaga-lembaga teknologi peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet kabupaten/kota.

3. Pemanfaatan Air untuk Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kesmavet

1. Penetapan pedoman pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet. 2. Penetapan kebijakan dan pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.

1. Bimbingan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. 2. Pemantauan dan evaluasi pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.

1. Bimbingan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota. 2. Bimbingan penerapan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.

2030

4. Obat hewan, Vaksin, Sera dan Sediaan

1. Penetapan kebijakan obat hewan.

1. Penerapan kebijakan obat hewan wilayah provinsi.

1. Penerapan kebijakan obat hewan wilayah kabupaten/kota.

Biologis

2. Penerbitan sertifikat Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB). 3.a. Penetapan standar mutu obat hewan. b. c. 4. Pengawasan produksi dan peredaran obat hewan di tingkat produsen dan importir. 5. Penetapan pedoman produksi, peredaran dan penggunaan obat hewan.

2. Pemetaan identifikasi dan inventarisasi kebutuhan obat hewan wilayah provinsi. 3.a. Penerapan dan pengawasan standar mutu obat hewan wilayah provinsi. b. c. 4. Pembinaan dan pengawasan peredaran obat hewan di tingkat distributor. 5. Pembinaan dan pengawasan peredaran obat hewan di tingkat distributor.

2. Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan obat hewan wilayah kabupaten/kota. 3.a. Penerapan standar mutu obat hewan wilayah kabupaten/kota. b. Pengawasan peredaran dan penggunaan obat hewan tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan wilayah kabupaten/kota. c. Bimbingan pemakaian obat hewan di tingkat peternak. 4. Bimbingan peredaran obat hewan tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan wilayah kabupaten/kota. 5. Pemeriksaan, pengadaan, penyimpanan, pemakaian dan peredaran obat hewan wilayah kabupaten/kota.

2031

6.a.Pengujian mutu dan sertifikasi obat hewan. b. c. d. e. f.

6.a. b. c. d. e. f.

6.a. Pelaksanaan pemeriksaan penanggung jawab wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan penyimpanan dan pemakaian obat hewan. c. Pelaksanaan penerbitan perizinan bidang obat hewan wilayah kabupaten/kota. d. Pelaksanaan penerbitan penyimpanan mutu dan perubahan bentuk obat hewan wilayah kabupaten/kota. e. Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan bahan produk asal hewan dari residu obat hewan (daging, telur dan susu) wilayah kabupaten/kota. f. Bimbingan pemakaian, penyimpanan, penggunaan sediaan vaksin, sera dan

2032

g. h. i.

g. h. i.

bahan diagnostik biologis untuk hewan wilayah kabupaten/kota. g. Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan sediaan premik wilayah kabupaten/kota. h. Bimbingan pelaksanaan pendaftaran obat hewan tradisional/pabrikan wilayah kabupaten/kota. i. Bimbingan kelembagaan/Asosiasi bidang Obat Hewan (ASOHI) wilayah kabupaten/kota.

5. Pakan Ternak

1. Penetapan kebijakan pakan ternak. 2.a. Penetapan pedoman produksi pakan ternak (konsentrat dan

1. Penerapan kebijakan pakan ternak di wilayah provinsi. 2.a. Bimbingan produksi pakan ternak dan bahan baku

1. Penerapan kebijakan pakan ternak wilayah kabupaten/kota. 2.a. Bimbingan produksi pakan dan bahan baku pakan ternak

2033

hijauan pakan) dan bahan baku pakan. b. 3.a.Penetapan standar mutu pakan ternak. b. c. 4.a.Penetapan pedoman pengawasan mutu pakan ternak. b.

pakan ternak wilayah provinsi. b. 3.a. Penerapan standar mutu pakan ternak wilayah provinsi. b. Pembinaan dan pengawasan labelisasi dan sertifikasi pakan ternak wilayah provinsi. c. Labelisasi dan sertifikasi mutu pakan ternak. 4.a. Pengawasan mutu pakan dan bahan baku pakan wilayah provinsi. b. Pengadaan, perbanyakan dan penyaluran benih hijauan

wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan penerapan teknologi pakan ternak wilayah kabupaten/kota. 3.a. Bimbingan standar mutu pakan ternak wilayah kabupaten/kota. b. c. 4.a. Pengawasan mutu pakan ternak wilayah kabupaten/kota. b. Pengadaan, perbanyakan dan penyaluran benih hijauan

2034

c. d. e. f. g.

pakan wilayah provinsi. c. d. Pembinaan dan pengawasan produksi pakan dan bahan baku pakan wilayah provinsi. e. f. g.

pakan wilayah kabupaten/kota. c. Penyelenggaraan kebun benih hijauan pakan. d. Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan jadi wilayah kabupaten/kota. e. Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan konsentrat wilayah kabupaten/kota. f. Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan tambahan dan pelengkap pengganti (additive and supplement) wilayah kabupaten/kota. g. Bimbingan usaha mini feedmil pedesaan (home industry)

2035

h. i. j. k. l.

h. i. j. k. l.

wilayah kabupaten/kota. h. Pelaksanaan pemeriksaan pakan jadi wilayah kabupaten/kota. i. Pelaksanaan pemeriksaan pakan konsentrat wilayah kabupaten/kota. j. Pelaksanaan pemeriksaan pakan tambahan dan pengganti (additive and supplement) wilayah kabupaten/kota. k. Bimbingan produksi benih hijauan pakan ternak wilayah kabupaten/kota. l. Bimbingan kerjasama perluasan produksi hijauan pakan ternak wilayah kabupaten/kota.

6. Bibit Ternak

1.a. Penetapan kebijakan perbibitan ternak. b. 2.a. Penetapan pedoman perbibitan (standar mutu, sertifikasi) dan plasma nutfah. b. c. d.

1.a. Penerapan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan perbibitan ternak wilayah provinsi. b. Penerapan dan pengawasan standar perbibitan ternak wilayah provinsi. 2.a. Pembinaan dan pengawasan produksi ternak bibit wilayah provinsi. b. Penerapan dan pengawasan pedoman perbibitan (standar mutu) wilayah provinsi. c. Penetapan sertifikasi dan penetapan standar mutu genetik bibit ternak wilayah provinsi. d.

1.a. b. 2.a. Bimbingan seleksi ternak bibit wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan penerapan standar perbibitan dan plasma nutfah wilayah kabupaten/kota. c. Bimbingan registrasi/pencatatan ternak bibit wilayah kabupaten/kota. d. Bimbingan pembuatan dan pengesahan silsilah ternak.

2036

3. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran bibit/benih ternak. 4.a. Produksi ternak bibit murni dan unggul. b. 5. Penetapan pedoman dan pengaturan pengelolaan plasma nutfah peternakan. 6.a. Produksi semen beku dan embrio ternak bibit unggul. b.

3. Pengawasan peredaran lalu lintas bibit/benih ternak di wilayah provinsi. 4.a. Penetapan kabupaten/kota sebagai lokasi penyebaran ternak bibit wilayah provinsi. b. Penetapan penggunaan bibit unggul wilayah provinsi. 5. Penerapan kebijakan konservasi (pelestarian) ternak bibit murni dan unggul/plasma nutfah peternakan wilayah provinsi. 6.a. Pembinaan dan pengadaan semen beku wilayah provinsi. b. Pembinaan dan pemantauan pelaksanaan inseminasi buatan, progeny test dan

3. Pengawasan peredaran bibit/benih ternak wilayah kabupaten/kota. 4.a. Penetapan lokasi dan penyebaran bibit ternak wilayah kabupaten/kota. b. Penetapan penggunaan bibit unggul wilayah kabupaten/kota. 5. Bimbingan pelestarian plasma nutfah peternakan wilayah kabupaten/kota. 6.a. Pengadaan/produksi dan pengawasan semen beku wilayah kabupaten/kota. b. Pelaksanaan inseminasi buatan wilayah kabupaten/kota.

2037

c. d. e. 7.a. Penetapan pedoman pengawasan dan produksi bibit ternak. b.

transfer embrio wilayah provinsi. c. d. e. Pembinaan distribusi mani beku (straw) wilayah provinsi. 7.a. Pemantauan dan pengawasan penerapan standar teknis mutu bibit Day Old Chick Final Stock wilayah provinsi. b. Pemantauan dan pengawasan penerapan standar teknis mutu bibit ternak wilayah

c. Bimbingan dan pengawasan pelaksanaan inseminasi buatan oleh masyarakat. d. Produksi mani beku ternak lokal (lokal spesifik) wilayah kabupaten/kota. e. Bimbingan produksi mani beku lokal (lokal spesifik) untuk kabupaten/kota. 7.a. Bimbingan penerapan standar-standar teknis dan sertifikasi perbibitan meliputi sarana, tenaga kerja, mutu dan metode wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan peredaran mutu bibit wilayah kabupaten/kota.

2038

c. d. e. f. g.

provinsi. c. Pengaturan kawasan sumber- sumber bibit dan plasma nutfah wilayah provinsi. d. Pembinaan dan pengawasan sertifikasi produksi bibit ternak wilayah provinsi. e. Penetapan sertifikasi rekayasa teknologi mutu genetik (inseminasi buatan, embrio transfer) wilayah provinsi. f. Penetapan sertifikasi tenaga ahli perbibitan (surat ijin melakukan inseminasi buatan, pemeriksaan kebuntingan, asisten reproduksi) wilayah provinsi. g. Pembinaan pembibitan ternak di unit pelaksana teknis dinas

c. Pelaksanaan penetapan penyaluran ternak bibit yang dilakukan oleh swasta wilayah kabupaten/kota. d. Pelaksanaan registrasi hasil inseminasi buatan wilayah kabupaten/kota. e. Bimbingan kastrasi ternak non bibit wilayah kabupaten/kota. f. Bimbingan perizinan produksi ternak bibit wilayah kabupaten/kota. g. Bimbingan pelaksanaan pengadaan dan/atau produksi

2039

h. i. j. k.

wilayah provinsi. h. Pembinaan dan pengadaan bibit ternak wilayah provinsi. i. Pembinaan mutu genetik ternak dengan rekayasa teknologi tepat guna (inseminasi buatan dan embrio transfer) wilayah provinsi. j. Penetapan sertifikasi embrio ternak wilayah provinsi. k. Penetapan sertifikasi embrio ternak wilayah provinsi.

mudigah, alih mudigah serta pemantauan pelaksanaan dan registrasi hasil mudigah wilayah kabupaten/kota. h. Pengadaan dan pengawasan bibit ternak wilayah kabupaten/kota. i. Bimbingan pelaksanaan inseminasi buatan yang dilakukan oleh swasta wilayah kabupaten/kota. j. Bimbingan sertifikasi pejantan unggul sebagai pemacek wilayah kabupaten/kota. k. Bimbingan pemantauan produksi mani beku ternak lokal (lokal spesifik) wilayah kabupaten/kota.

2040

l. m. n. o. p.

l. Penetapan sertifikasi produksi benih mani beku wilayah provinsi. m.Pembinaan sumber bibit ternak (hasil inseminasi buatan crossing) wilayah provinsi. n. Pembinaan sumber bibit ternak (hasil inseminasi buatan crossing) wilayah provinsi. o. Pembinaan dan pengawasan breeding replacement melalui rearing cool (mempercepat penyediaan bibit) wilayah provinsi. p. Pembinaan dan pengawasan penyaringan bibit di kawasan produksi peternakan wilayah provinsi.

l. Bimbingan pengadaan produksi mani beku ternak produksi dalam negeri wilayah kabupaten/kota. m.Bimbingan pelaksanaan penyebaran bibit unggul wilayah kabupaten/kota. n. Bimbingan pelaksanaan penyebaran bibit unggul wilayah kabupaten/kota. o. Bimbingan pelaksanaan uji reformans recording dan seleksi wilayah kabupaten/kota. p. Bimbingan pelaksanaan identifikasi perbibitan wilayah kabupaten/kota.

2041

7. Pembiayaan

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan investasi dan permodalan melalui lembaga perbankan dan non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat. b. c. d. e.

1.a. Penerapan kebijakan dan pemantauan pengembangan investasi dan kebijakan permodalan melalui lembaga perbankan dan non perbankan wilayah provinsi. b. c. d. e. Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah provinsi.

1.a. Penerapan kebijakan dan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan dan non perbankan wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumbersumber pembiayaan/kredit program wilayah kabupaten/kota. c. Bimbingan penyusunan rencana usaha agribisnis wilayah kabupaten/kota. d. Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan wilayah kabupaten/kota. e. Bimbingan dan pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah

f.

f. Pembinaan dan pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah provinsi.

kabupaten/kota. f.

2042

8. Kesehatan Hewan (Keswan), Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan. b. c. d.

1.a. Penerapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan wilayah provinsi. b. Pembinaan dan pengawasan praktek hygienesanitasi produsen Produk Asal Hewan (PAH). c. Sertifikasi dan surveilans Nomor Kontrol Veteriner (NKV) unit usaha PAH yang memenuhi syarat. d. Pengawasan peredaran lalu lintas produk hewan dari/ke wilayah provinsi dan lintas kabupaten/kota.

1.a. Penerapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota. b. Pembinaan dan pengawasan praktek hygiene-sanitasi pada produsen dan tempat penjajaan PAH. c. Monitoring penerapan persyaratan hygienesanitasi pada unit usaha PAH yang mendapat NKV. d. Pengawasan lalu lintas produk ternak dari/ke wilayah kabupaten/kota.

2043

e. f. g. 2.a. Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan nasional. b.

e. Pembinaan penerapan kesejahteraan hewan. f. g. 2.a. Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan wilayah provinsi. b.

e. Bimbingan dan penerapan kesejahteraan hewan. f. Bimbingan pembangunan dan pengelolaan pasar hewan dan unit-unit pelayanan keswan wilayah kabupaten/kota. g. Bimbingan pemantauan dan pengawasan pembangunan dan operasional pasar hewan dan unit-unit pelayanan keswan wilayah kabupaten/kota. 2.a. Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan wilayah kabupaten/kota. b. Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner.

2044

3.a. Pengaturan dan penetapan norma, standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan. b. 4. Pembinaan pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet skala nasional. 5.a. Penetapan dan penanggulangan wabah termasuk zoonosis tertentu berskala nasional. b.

3.a. Penerapan dan pengawasan norma standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah provinsi. b. 4. Pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet wilayah provinsi. 5.a. Penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah provinsi. b. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah provinsi.

3.a. Penerapan dan pengawasan norma, standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota. b. Pengawasan urusan kesejahteraan hewan. 4. Bimbingan pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet wilayah kabupaten/kota. 5.a. Penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota. b. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota.

2045

c. d. e. 6. Penetapan standar teknis minimal Rumah Potong Hewan (RPH) dan Rumah Potong Unggas (RPU) keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan.

c. Pencegahan penyakit hewan menular wilayah provinsi. d. Penutupan dan pembukaan kembali status daerah wabah tingkat provinsi. e. Pengaturan dan pengawasan pelaksanaan pelarangan pemasukan hewan, bahan asal hewan ke/dari wilayah Indonesia antar provinsi di wilayah provinsi. 6. Penetapan dan identifikasi kebutuhan standar teknis minimal RPH/RPU, keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan. 7. Pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan dari/ke wilayah provinsi dan lintas kabupaten/kota. 8.a. Pembinaan dan pengawasan pelayanan keswan. b. c.

7. Penetapan pedoman pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan. 8.a. Penetapan pedoman pelayanan keswan. b. c.

c. Pencegahan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota. d. Penutupan dan pembukaan kembali status daerah wabah kabupaten/kota. e. Pengaturan dan pengawasan pelaksanaan pelarangan pemasukan hewan, bahan asal hewan ke/dari wilayah Indonesia antar provinsi di wilayah kabupaten/kota. 6. Bimbingan penerapan dan standar teknis minimal RPH/RPU, keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan. 7. Pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan dari/ke wilayah kabupaten/kota. 8.a. Bimbingan pelaksanaan unit pelayanan keswan (pos keswan, praktek dokter hewan mandiri, klinik hewan). b. Bimbingan dan pelaksanaan pengamatan, pemetaan, pencatatan kejadian dan penanggulangan penyakit hewan. c. Bimbingan pelaksanaan penyidikan epidemiologi penyakit hewan.

2046

d. e. f. g.

d. e. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis RPH dan RPU, rumah sakit hewan/unit pelayanan keswan terpadu, pet shop, poultry shop dan distributor obat hewan. f. g.

d. Bimbingan pelayanan kesehatan hewan pada lembaga-lembaga maupun perorangan yang mendapat ijin konservasi satwa liar. e. Bimbingan dan pengawasan pelayanan keswan, kesmavet di RPH, tempat pemotongan hewan sementara, tempat pemotongan hewan darurat dan usaha susu. f. Bimbingan pengaturan pelayanan kesehatan hewan pada lalu lintas tata niaga hewan (hewan besar, sedang dan kecil). g. Bimbingan pelaksanaan sosialisasi dan surveilance Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP).

2047

h. i. j. k. l.

h. Pembinaan dan pengawasan RPH dan RPU. i. j. k.Pemeriksaan dan pengawasan residu produk pangan asal hewan. l. Pembinaan dan sertifikasi pelayanan medik veteriner (dokter hewan praktek, klinik hewan dan rumah sakit hewan).

h. Bimbingan pelaksanaan standarisasi jagal hewan. i. Bimbingan pelaksanaan pelaporan dan pendataan penyakit individual/menular yang mewabah. j. Bimbingan pelaksanaan penutupan wilayah pada penyakit hewan yang menular yang mewabah. k. Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan peredaran produk pangan asal hewan dan pengolahan produk pangan asal hewan. l. Bimbingan pelaksanaan dan pengawasan larangan pemotongan ternak betina produktif.

m. n. o. p. q.

m. Pembinaan, pengawasan dan pengujian ternak dan bahan asal hewan untuk tujuan ekspor (ternak, daging, susu, hewan kesayangan, hewan liar, dll). n. o. Pembinaan dan pengawasan penyidikan penyakit hewan. p. Pembinaan penyidikan dan epidemiologi penyakit hewan, parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya. q. Pembinaan pemberantasan dan pencegahan wabah

m.Bimbingan pelaksanaan pemantauan penyakit zoonosis. n. Bimbingan pelaksaaan peredaran produk pangan asal hewan dan produk hewani non pangan. o. Bimbingan pengamatan dan penyidikan epidemiologi penyakit hewan parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya. p. q.

2048

r. s. t. u. v. w.

penyakit hewan menular strategis mewabah. r. Pembinaan peramalan wabah penyakit hewan menular wilayah provinsi. s. Pembinaan penutupan dan pembukaan kembali wilayah penyakit hewan menular lintas kabupaten/kota. t. Pembinaan pembuatan peta situasi penyebaran penyakit hewan di provinsi. u. Pembinaan dan pengawasan dan pemantauan penyakit hewan zoonosis. v. Pembinaan pelayanan dan pengamanan wilayah terpadu pada kejadian wabah/epidemik. w. Pembinaan penerapan

r. s. Penutupan dan pembukaan kembali wilayah penyakit hewan menular skala kabupaten/kota. t. u. v. w. Bimbingan penerapan norma,

x. y. z. 9.a. Penetapan pedoman dan standar dan sertifikasi pelayanan medik/paramedik veteriner. b.

standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah provinsi. x. y. z. 9.a. Pembinaan dan pelaporan pelayanan medik/paramedik veteriner di lembaga-lembaga pemerintahan dan unit-unit pelayanan medik/paramedik veteriner di tingkat provinsi. b.

standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota. x. Bimbingan dan pengawasan urusan kesejahteraan hewan. y. Sertifikasi keswan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota. z. Sertifikasi kesehatan bahan asal hewan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota. 9.a. Pelaksanaan pelayanan medik/paramedik veteriner di kabupaten/kota. b. Pelaporan pelayanan medik/

2049

10.a. Pedoman, standar dan norma penyidikan penyakit hewan. b. c.

10.a.Pembinaan dan pengawasan penyidikan penyakit hewan. b.Pembinaan penyidikan dan epidemiologi penyakit hewan, parasit, bakteri dan penyakit hewan lainnya. c.

paramedik veteriner dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit hewan menular/non menular, penyakit individual, penyakit parasiter, virus, bakteri, penyakit reproduksi dan gangguan reproduksi. 10.a.Bimbingan pengamatan dan penyidikan epidemiologi penyakit hewan parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya. b. Bimbingan penerapan norma, standar teknis pelayanan kesehatan hewan. c. Sertifikasi kesehatan hewan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota.

2050

9. Penyebaran dan Pengembangan Peternakan

1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman penyebaran dan pengembangan peternakan. b. 2.a. Penetapan pedoman lalu lintas ternak antar daerah. b. c. 3.a.

1.a. Penerapan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan dan pedoman penyebaran dan pengembangan peternakan wilayah provinsi. b. 2.a. Pemantauan lalu lintas ternak wilayah provinsi. b. c. 3.a. Pembinaan penetapan pedoman lalu lintas ternak bibit wilayah provinsi.

1.a. Pelaksanaan kebijakan penyebaran pengembangan peternakan wilayah kabupaten/kota. b. Pemantauan penyebaran ternak yang dilakukan swasta wilayah kabupaten/kota. 2.a. Pemantauan lalu lintas ternak wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan melaksanakan kebijakan penyebaran dan pengembangan peternakan wilayah kabupaten/kota. c. Bimbingan pemantauan dan penyebaran ternak yang dilakukan swasta. 3.a. Bimbingan pelaksanaan penetapan penyebaran ternak wilayah kabupaten/kota.

2051

b. 4. 5. 6. 7. 8.

b. 4. 5. 6. 7. 8.

b. Bimbingan pelaksanaan penetapan penyebaran, registrasi dan redistribusi ternak wilayah kabupaten/kota. 4. Bimbingan pelaksanaan identifikasi dan seleksi ternak wilayah kabupaten/kota. 5. Bimbingan pelaksanaan identifikasi calon penggaduh wilayah kabupaten/kota. 6. Bimbingan pelaksanaan seleksi lokasi. 7. Bimbingan pelaksanaan seleksi calon penggaduh. 8. Pelaksanaan identifikasi lokasi terhadap penyebaran ternak.

9. 10.

9. 10.

9. Bimbingan pelaksanaan sistem dan pola penyebaran ternak. 10.Bimbingan pelaksanaan evaluasi pelaporan penyebaran dan pengembangan ternak.

10. Perizinan/ Rekomendasi

1.a. Penetapan pedoman pendaftaran perijinan usaha peternakan dan kesehatan hewan. b. c. d. e.

1.a. Pembinaan pemberian perizinan usaha di bidang peternakan dan kesehatan hewan di wilayah provinsi. b. c. d. e.

1.a. Pemberian izin usaha budidaya peternakan wilayah kabupaten/kota. b. Pemberian izin rumah sakit hewan/pasar hewan. c. Pemberian izin praktek dokter hewan. d. Pemberian izin laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet. e. Pendaftaran usaha peternakan.

2052

f. g. 2. Penetapan pedoman, norma dan standar pelayanan medik veteriner. 3. Pendaftaran mutu pakan. 4.a. Pendaftaran prototipe alat dan mesin peternakan dan keswan. b.

f. g. 2. Pembinaan dan sertifikasi pelayanan medik veteriner (dokter hewan praktek, klinik hewan dan rumah sakit hewan). 3. Rekomendasi pendaftaran mutu pakan. 4.a. Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin peternakan dan keswan wilayah provinsi. b.

f. Pemberian izin usaha RPH/RPU. g. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha peternakan. 2. 3. 4.a. Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin peternakan dan keswan wilayah kabupaten/kota. b. Pengembangan alat dan mesin peternakan dan keswan sesuai standar wilayah kabupaten/kota.

5. Pendaftaran obat hewan. 6. Pemberian izin usaha obat hewan sebagai produsen dan importir. 7.a. Pemberian izin pemasukan dan pengeluaran bibit ternak dari dan keluar negeri. b. 8.a. Pemberian persetujuan pemasukan hewan dan produk hewan dari luar negeri serta sertifikat pengeluaran dan produk hewan ke luar negeri. b.

5. 6. Pemberian izin usaha obat hewan sebagai distributor wilayah provinsi. 7.a. Pemberian izin pengeluaran ternak bibit dan potong dari dan ke wilayah provinsi. b.Pemantauan dan rekomendasi pemasukan dan pengeluaran dari dan keluar negeri. 8.a. Pemberian rekomendasi pemasukan/ pengeluaran hewan/ternak dan produk hewan dari dan antar provinsi/pulau. b.

5. 6. Pemberian izin usaha obat hewan di tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan, poultry shop dan pet shop wilayah kabupaten/kota. 7.a. b. Bimbingan dan pemantauan ternak bibit asal impor wilayah kabupaten/ kota. 8.a. Pemberian surat keterangan asal hewan dan produk hewan. b.Pemberian surat keterangan asal/kesehatan bahan asal

2053

9. Penetapan instalasi karantina hewan sementara. 10. Penetapan pedoman usaha budidaya hewan kesayangan. 11. Penetapan pedoman, standar alat angkut/transportasi produk peternakan. 12.a. Penetapan pedoman pemberian NKV. b.

9. Pemberian rekomendasi instalasi karantina hewan di wilayah provinsi. 10. Pembinaan izin usaha budidaya hewan kesayangan wilayah provinsi. 11. Pembinaan usaha alat angkut/transportasi produk peternakan. 12.a. Pembinaan dan pemberian NKV untuk unit usaha produk pangan asal hewan wilayah provinsi. b.

ternak dan hasil bahan asal ternak. 9. Pemberian rekomendasi instalasi karantina hewan di wilayah kabupaten/kota. 10. Pembinaan izin usaha budidaya hewan kesayangan kabupaten/kota. 11. Pemberian izin usaha alat angkut/transportasi produk peternakan. 12.a. Bimbingan standar teknis unit usaha produk pangan asal hewan wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan pelaksanaan penerapan NKV wilayah kabupaten/kota.

2054

11.Pembinaan Usaha

1. Penetapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan. 2.a. Penetapan pedoman pembinaan usaha peternakan yang meliputi budidaya pembinaan mutu, pengolahan hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan, penetapan tarif pemasaran dan kelembagaan usaha. b. c.

1. Penerapan dan pengawasan pelaksanaan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah provinsi. 2.a. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis pembinaan mutu dan pengolahan hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi. b. Pembinaan dan pengawasan lembaga sistem mutu produk peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi. c. Pembinaan dan pengawasan peningkatan mutu hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.

1. Penerapan dan pengawasan pelaksanaan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota. 2.a. Bimbingan penerapan standar-standar teknis, pembinaan mutu dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan pemantauan dan pengawasan lembaga sistem mutu produk peternakan dan hasil bahan asal wilayah kabupaten/kota. c. Bimbingan peningkatan mutu hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah kabupaten/kota.

2055

d. e. f. g. h.

d. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan unit pengolahan alat transportasi, unit penyimpanan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi. e. Promosi komoditas peternakan wilayah provinsi. f. Pembinaan analisis usaha tani dan pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi. g. Pembinaan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi. h. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis peternakan dan kesehatan hewan, pembinaan mutu dan pengelolaan hasil peternakan,

d. Bimbingan pengelolaan unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan hasil bahan asal hewan wilayah kabupaten/kota. e. Promosi komoditas peternakan wilayah kabupaten/kota. f. Bimbingan analisis usaha tani dan pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. g. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota. h. Bimbingan pelaksanaan standardisasi teknis analisa usaha, pembinaan mutu dan pengolahan hasil serta pemasaran.

2056

i. j. k. l.

kelembagaan usaha tani, pelayanan dan izin usaha. i. j. Pembinaan dan pengawasan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi. k. Pembinaan dan pengawasan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha peternakan wilayah provinsi. l. Pembinaan dan pelaksanaan studi amdal/UKL-UPL di bidang peternakan wilayah provinsi.

i. Pembinaan mutu dan pengelolaan hasil produk olahan peternakan dan keswan. j. Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. k. Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota. l. Bimbingan dan pelaksanaan studi amdal/UKL-UPL di bidang peternakan wilayah kabupaten/kota.

m. 3. Penetapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan.

m.Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan amdal wilayah provinsi. 3. Pembinaan dan pengawasan penerapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah provinsi.

m.Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota. 3. Bimbingan penerapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota.

2057

12. Sarana Usaha

1.a. Penetapan kebijakan, pedoman, norma dan standar sarana usaha. b.

1.a. Bimbingan penerapan pedoman, norma, standar sarana usaha wilayah provinsi. b. Bimbingan teknis pembangunan sarana fisik (bangunan), penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi.

1.a. Bimbingan penerapan pedoman, norma, standar sarana usaha wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan teknis pembangunan sarana fisik (bangunan), penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.

2058

13. Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil

1. Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan. 2. Penetapan metode perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan. 3. Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan. 4.a. Penetapan pedoman panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan. b.

1. Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi. 2. Bimbingan perhitungan perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan wilayah provinsi. 3. Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan wilayah provinsi. 4.a. Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi. b.

1. Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. 2. Perhitungan perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan wilayah kabupaten/kota. 3. Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. 4.a. Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. b. Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.

14. Pemasaran

1. Penetapan pedoman pemasaran hasil peternakan. 2. Promosi komoditas peternakan nasional dan internasional. 3. Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.

1. Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi. 2. Promosi komoditas peternakan wilayah provinsi. 3. Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi.

1. Bimbingan pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. 2. Promosi komoditas peternakan wilayah kabupaten/kota. 3. Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota.

2059

15. Pengembangan sistem statistik dan informasi peternakan dan keswan

1. Penetapan kebijakan pengembangan sistem statistik dan informasi peternakan nasional. 2. Pembinaan dan pengelolaan sistem statistik dan informasi peternakan nasional.

1. Bimbingan penerapan sistem perstatistikan dan informasi peternakan wilayah provinsi. 2. Pengolahan sistem statistik dan informasi peternakan wilayah provinsi.

1. Penerapan sistem perstatistikan dan informasi peternakan wilayah kabupaten/kota. 2. Pengumpulan, pengolahan dan analisis data peternakan wilayah kabupaten/kota.

3. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan peternakan dan keswan nasional. 4.a. Pembinaan dan pengelolaan sistem statistik dan informasi peternakan dan kesehatan hewan nasional. b. c.

3. Pembinaan dan pengawasan penerapan perstatistikan peternakan dan keswan wilayah provinsi. 4.a. Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem informasi wilayah provinsi. b. Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, pengelolaan, analisis, penyajian dan pelayanan data dan statistik peternakan dan kesehatan hewan wilayah provinsi. c. Pembinaan dan pengawasan manajemen pengumpulan, pengolahan data komoditas/produksi peternakan dan sumberdaya strategis lintas kabupaten/kota.

3. Bimbingan penerapan perstatistikan peternakan dan keswan wilayah kabupaten/kota. 4.a. Bimbingan penerapan sistem informasi wilayah kabupaten/kota. b. c.

2060

d. e. f. g.

16. Pengawasan dan Evaluasi

1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang peternakan dan keswan dan kesmavet.

d. Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian dan pelayanan data dan statistik komoditas strategis. e. Pembinaan dan pengawasan pelayanan informasi pembangunan peternakan dan keswan wilayah provinsi. f. Pembinaan dan pengawasan terminal cyber space agribisnis peternakan dan keswan wilayah provinsi. g. Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, analisis dan informasi kebutuhan produk peternakan dan keswan wilayah provinsi. 1.

d. e. f. g.

1.

2061

4. Ketahanan Pangan

1. Ketahanan Pangan

1.a. Pengaturan, pengawasan dan pembinaan peningkatan ketersediaan dan keragaman pangan. b. c. d. 2.a. Pengaturan dan koordinasi cadangan pangan pemerintah

1.a. Identifikasi ketersediaan dan keragaman produk pangan. b. Identifikasi kebutuhan produksi dan konsumsi masyarakat. c. Koordinasi pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat menurunnya ketersediaan pangan karena berbagai sebab. d. 2.a. Pembinaan cadangan pangan masyarakat.

1.a. Identifikasi potensi sumberdaya dan produksi pangan serta keragaman konsumsi pangan masyarakat. b. Pembinaan peningkatan produksi dan produk pangan berbahan baku lokal. c. Pembinaan pengembangan penganekaragaman produk pangan. d. Pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat menurunnya ketersediaan pangan. 2.a. Identifikasi cadangan pangan masyarakat. b. Pengembangan dan pengaturan cadangan pangan pokok tertentu kabupaten/kota. c. Pembinaan dan monitoring cadangan pangan masyarakat. 3.a. Penanganan dan penyaluran pangan untuk kelompok rawan pangan tingkat kabupaten/kota. b. Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan sebagai akibat menurunnya mutu, gizi dan keamanan pangan. c. Identifikasi kelompok rawan pangan.

dan pembinaan cadangan pangan masyarakat. b. c. 3.a. Pengaturan dan pengawasan peningkatan akses pangan untuk masyarakat miskin dan rawan pangan. b. c.

b. Pengembangan dan pengaturan cadangan pangan pokok tertentu provinsi. c. Koordinasi dan pengendalian cadangan pangan pemerintah dan masyarakat. 3.a. Koordinasi penanganan kerawanan pangan provinsi. b. Koordinasi pencegahan dan penanggulangan masalah pangan sebagai akibat menurunnya mutu, gizi dan keamanan pangan. c. Pengendalian kerawanan pangan wilayah provinsi.

2062

4.a. Peningkatan infrastruktur distribusi dan koordinasi pengendalian stabilitas harga pangan strategis. b. c. d. e.

4.a. Identifikasi infrastruktur distribusi pangan. b. Pengembangan infrastruktur distribusi pangan provinsi dan koordinasi pengembangan infrastruktur provinsi. c. Koordinasi pencegahan penurunan akses pangan masyarakat dan peningkatan akses pangan masyarakat. d. Informasi harga di provinsi. e. Pengembangan jaringan pasar di wilayah provinsi.

4.a. Identifikasi infrastruktur distribusi pangan kabupaten/kota. b. Pengembangan infrastruktur distribusi pangan kabupaten/kota. c. Pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat penurunan akses pangan. d. Informasi harga di kabupaten/kota. e. Pembangunan pasar untuk produk pangan yang dihasilkan masyarakat kabupaten/kota.

5.a. Pembinaan peningkatan keragaman konsumsi serta mutu, gizi dan keamanan pangan. b. c. d. e. f.

5.a. Identifikasi pangan pokok masyarakat. b. c. Pembinaan peningkatan mutu konsumsi masyarakat menuju gizi seimbang berbasis bahan baku lokal. d. Pembinaan mutu dan keamanan produk pangan pabrikan di provinsi. e. f.

5.a. Identifikasi pangan pokok masyarakat. b. Peningkatan mutu konsumsi masyarakat. c. d. Pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan produk pangan masyarakat. e. Analisis mutu, gizi dan keamanan produk pangan masyarakat. f. Analisis mutu dan gizi konsumsi masyarakat.

2063

g. 6.a. Fasilitasi peran serta masyarakat dan bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). b. c. d. 7. Pengendalian pemantapan ketahanan pangan nasional.

2. Keamanan Pangan

1. Perumusan standar Batas Minimum Residu (BMR). 2. Penyusunan modul pelatihan inspektur, fasilitator, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) keamanan pangan. 3. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan nasional. 4.a. Monitoring otoritas kompeten provinsi. b.

g. Pengembangan kelembagaan sertifikasi produk pangan segar dan pabrikan skala kecil/rumah tangga. 6.a. Identifikasi LSM dan tokoh masyarakat provinsi. b. Pengembangan dan fasilitasi forum masyarakat provinsi. c. Pengembangan trust fund provinsi. d. Pengalokasian APBD provinsi untuk ketahanan pangan. 7. Pengumpulan dan analisis informasi ketahanan pangan provinsi. 1. Pembinaan penerapan standar BMR wilayah provinsi. 2. Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah provinsi. 3. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan provinsi. 4.a. Monitoring otoritas kompeten kabupaten/kota. b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah provinsi.

g. Pembinaan dan pengawasan produk pangan segar dan pabrikan skala kecil/rumah tangga. 6.a. Identifikasi LSM dan tokoh masyarakat kabupaten/kota. b. Pengembangan dan fasilitasi forum masyarakat kabupaten/kota. c. Pengembangan trust fund di kabupaten/kota. d. Pengalokasian APBD kabupaten/kota untuk ketahanan pangan. 7. Pengumpulan dan analisis informasi ketahanan pangan kabupaten/kota. 1. Penerapan standar BMR wilayah kabupaten/kota. 2. Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah kabupaten/kota. 3. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan kabupaten/kota. 4.a. b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah kabupaten/kota.

2064

5. Penunjang

1. Karantina Pertanian

1. Penetapan kebijakan dan pedoman perkarantinaan pertanian (hewan dan tumbuhan).

1.

1.

2. Pelaksanaan perkarantinaan pertanian (hewan dan tumbuhan).

2.

2.

2. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Pertanian

1. Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat nasional. 2. Penetapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian. 3. Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) nasional. 4. Pengkajian SDM pertanian. 5. Penetapan norma, standarisasi kelembagaan pendidikan keahlian pertanian.

1. Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat provinsi. 2. Penerapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian di wilayah provinsi. 3. Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) wilayah provinsi. 4. 5.

1. Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat kabupaten/kota. 2. Penerapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian di wilayah kabupaten/kota. 3. Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) di wilayah kabupaten/kota. 4. 5.

2065

6. Penyelenggaraan pendidikan keahlian pertanian. 7. Penetapan norma, standar dan akreditasi kelembagaan pendidikan keterampilan pertanian. 8. Penetapan dan pelaksanaan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan tenaga fungsional pendidikan keahlian dan keterampilan pertanian. 9. Penetapan standar dan prosedur sistem dan metode pendidikan dan keahlian dan keterampilan pertanian. 10. Penetapan norma dan standar kelembagaan pelatihan pertanian.

6. Penyelenggaraan pendidikan keterampilan pertanian. 7. Penerapan norma, standar dan akreditasi kelembagaan pendidikan keterampilan pertanian. 8. Penetapan sertifikasi dan akreditasi jabatan fungsional pendidikan keterampilan pertanian. 9. Penerapan standarisasi dan prosedur sistem dan metode pendidikan keterampilan. 10. Penerapan norma dan standar kelembagaan pelatihan pertanian.

6. Penyiapan tenaga didik/peserta pendidikan keahlian dan keterampilan. 7. 8. 9. 10.

11. Penyelenggaraan pelatihan keahlian pertanian. 12. Penetapan dan pelaksanaan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan tenaga fungsional widyaiswara pertanian. 13. Penetapan standar dan prosedur sistem dan metode pelatihan pertanian.

11. Penyelenggaraan pelatihan keterampilan pertanian. 12. Pelaksanaan akreditasi jabatan fungsional widyaiswara. 13. Perencanaan dan standarisasi dan prosedur sistem dan metode pelatihan pertanian.

11. 12. 13.

2066

3. Penyuluhan Pertanian

1. Penetapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian. 2. Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian provinsi. 3. Penetapan, norma dan standar kelembagaan penyuluhan pertanian.

1. Penerapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian. 2. Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian wilayah kabupaten/kota. 3. Penetapan kelembagaan penyuluhan pertanian di provinsi sesuai norma dan standar.

1. Penerapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian. 2. Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian wilayah kecamatan/desa. 3. Penetapan kelembagaan penyuluhan pertanian di kabupaten/kota sesuai norma dan standar.

4. Penetapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian. 5.a Penetapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian. b. 6. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat nasional. 4. Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 1. Penetapan kebijakan arah dan prioritas penelitian dan pengembangan pertanian. 2. Penelitian yang menghasilkan teknologi di bidang pertanian.

4. Penerapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian. 5.a Penerapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian. b. 6. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat provinsi.

4. Penerapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian. 5.a Penerapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian. b. Perencanaan penyuluhan pertanian di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten/kota. 6. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota. 1. 2. Bimbingan, pendampingan dan pengawasan penerapan teknologi hasil penelitian dan pengkajian.

1. 2. Pemantauan dan pengawasan penerapan teknologi pertanian spesifik lokasi.

2067

3. Pembinaan, supervisi dan fasilitasi pengkajian, diseminasi dan penerapan teknologi/hasil pertanian.

3. Pembinaan, supervisi dan fasilitasi pengembangan dan penerapan hasil pengkajian teknologi spesifik lokasi.

3.

5. Perlindungan Varietas

1. Pengawasan penerapan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT). 2. Pengaturan dan pemberian hak PVT kepada penemu varietas baru. 3. Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya meliputi lintas provinsi. 4. Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya meliputi lintas provinsi.

1. 2. 3. Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya meliputi lintas kabupaten/kota. 4. Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya meliputi lintas kabupaten/kota.

1. 2. 3. Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya pada satu kabupaten/kota. 4. Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya pada satu kabupaten/kota.

2068

6. Sumber Daya Genetik (SDG)

1.a. Menetapkan kebijakan pengelolaan (pelestarian dan pemanfaatan) sumber daya genetik yang berkaitan dengan akses dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan SDG secara berkelanjutan. b. 2. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran plasma nutfah Convention on International Trade Endanger Species (CITES).

1.a. Pengaturan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan SDG yang terdapat di beberapa kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut. b. Pengawasan penyusunan perjanjian akses terhadap pembagian keuntungan dari pemanfaatan SDG yang ada di provinsi tersebut (kalau satu jenis SDG terdapat di beberapa kabupaten/kota). 2.

1.a. Pengaturan hasil pembagian keuntungan yang diperoleh untuk konservasi SDG dan kesejahteraan masyarakat. b. Pengawasan penyusunan perjanjian akses terhadap pembagian keuntungan dari pemanfaatan SDG yang ada di wilayahnya. 2.

2069

7. Standarisasi dan Akreditasi

1. Perumusan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi. 2. Penyusunan rencana dan penetapan program standarisasi sektor pertanian. 3. Koordinasi standarisasi nasional sektor pertanian. 4. Perumusan rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) sektor pertanian melalui konsensus untuk ditetapkan sebagai SNI. 5. Penetapan pemberlakuan SNI wajib.

1. Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi sesuai pengalaman di daerah. 2. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program standarisasi sektor pertanian. 3. Koordinasi standarisasi sektor pertanian di provinsi. 4. Koordinasi pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan sesuai kebutuhan daerah. 5. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta memberikan usulan pemberlakuan wajib SNI.

1. Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi sesuai pengalaman di daerah. 2. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program nasional di bidang standarisasi di daerah. 3. Koordinasi standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota. 4. Pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan. 5. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta mengusulkan usulan pemberlakuan wajib SNI.

2070

6. Fasilitasi kelembagaan sektor pertanian yang akan mengajukan akreditasi. 7. Penilaian kesesuaian terhadap pemohon akreditasi di sektor pertanian. 8. Penetapan sistem dan pelaksanaan sertifikasi sektor pertanian. 9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan sistem sertifikasi sektor pertanian. 10.Pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi dalam lingkungan pertanian. 11.Pembinaan dan pengawasan lembaga sertifikasi danlaboratorium penguji dalam mendukung penerapan standarisasi di sektor pertanian. 12.Pengembangan dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian. 13.Menyusun dan melaksanakan program pemasyarakatan standarisasi sektor pertanian. 14.Penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian.

6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di provinsi. 7. 8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standarisasi sektor pertanian di provinsi. 9. 10. Dukungan pengembangan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di provinsi. 11. Kerjasama standarisasi dan penyampaian rekomendasi teknis dalam rangka penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian. 12. Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian di provinsi. 13. Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standarisasi di provinsi. 14. Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di provinsi.

6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di kabupaten/kota. 7. 8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota. 9. 10. Pengembangan pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di kabupaten/kota. 11. Kerjasama standarisasi dalam rangka penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian. 12. Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota. 13. Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standarisasi di kabupaten/kota. 14. Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di kabupaten/kota.

2071

26. Bidang Kehutanan


k 1. Inventarisasi Hutan SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan inventarisasi hutan daerah aliran sungai (DAS) skala nasional. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi, hutan lindung dan taman hutan raya dan skala DAS lintas kabupaten/kota. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam wilayah kabupaten/kota. NSPK YA TIDAK JUMLAH NSPK

2. Pengukuhan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.

1.

1.

3. Penunjukan Kawasan Hutan, Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru

1. Pelaksanaan penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.

1. Pemberian pertimbangan teknis penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.

1. Pengusulan penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.

2072

4. Penataan Batas dan Pemetaan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru

1. Penyelenggaraan tata batas, penataan dan pemetaan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.

1.

1.

5. Penetapan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru

1. Pelaksanaan penetapan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.

1.

1.

6. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penetapan pengelola kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan.

1. Pengusulan dan pertimbangan teknis pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala provinsi.

1. Pengusulan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala kabupaten/kota dengan pertimbangan gubernur.

2073

7. Penatagunaan Kawasan Hutan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penatagunaan kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi, perubahan status dan fungsi hutan serta perubahan hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian perizinan penggunaan dan tukar menukar kawasan hutan.

1. Pertimbangan teknis perubahan status dan fungsi hutan, perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan.

1. Pengusulan perubahan status dan fungsi hutan dan perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan.

8. Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan penetapan pembentukan wilayah pengelolaan hutan, penetapan wilayah pengelolaan dan institusi wilayah pengelolaan, serta arahan pencadangan.

1. Pelaksanaan penyusu nan rancang bangun, pembentukan dan pengusulan penetapan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi serta pertimbangan teknis institusi wilayah pengelolaan hutan.

1. Pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi, serta institusi wilayah pengelolaan hutan.

9. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit KPHP.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit kesatuan pengelolaan hutan produksi KPHP.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit KPHP.

2074

10. Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (Lima Tahunan) Unit KPHP

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.

11. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHP

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP.

1. Pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP.

12. Rencana Kerja Usaha Dua Puluh Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

13. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana kerja lima tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja lima tahunan unit pemanfaatan hutan produksi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja lima tahunan unit pemanfaatan hutan produksi.

14. Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

1. Penilaian dan pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi.

2075

15. Penataan Batas Luar Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi. 2.

1. Pertimbangan teknis untuk pengesahan, koordinasi dan pengawasan pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi lintas kabupaten/kota. 2. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi dalam kabupaten/kota

1. Pertimbangan teknis untuk pengesahan, dan pengawasan pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi dalam kabupaten/kota. 2.

16. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL)

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL.

17. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit KPHL

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.

2076

18. Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit KPHL

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.

1. Pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.

19. Rencana Kerja Usaha (Dua Puluh Tahunan) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

20. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

21. Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

1. Penilaian dan pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

22. Penataan Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung.

1. Pertimbangan teknis pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung kepada pemerintah

1. Pertimbangan teknis pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung kepada provinsi.

2077

23. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK)

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.

1. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.

1. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.

24. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit KPHK

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.

1. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.

1. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.

25. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHK

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK.

1. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK.

1. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK.

26. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang (dua puluh tahunan) untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala provinsi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang (dua puluh tahunan) untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota.

2078

27. Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala provinsi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota.

28. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan taman buru.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan taman buru skala provinsi.

1. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota

29. Penataan Blok (Zonasi) Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan penataan blok (zonasi) cagar alam, suaka marga satwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.

1.

1.

2079

30. Pengelolaan Taman Hutan Raya

1. Pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah (lima tahunan) dan jangka panjang (dua puluh tahunan). 2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria: a. Pemanfaatan taman hutan raya b. Penataan blok c. Rehabilitasi

1. Pengelolaan taman hutan raya, penyusu nan rencana pengelolaan (jangka menengah dan jangka panjang) dan pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek serta penataan blok (zonasi) dan pemberian perizinan usaha pemanfaatan serta rehabilitasi di taman hutan raya skala provinsi. 2.

1. Pengelolaan taman hutan raya, penyusunan rencana pengelolaan dan penataan blok (zonasi) serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam dan jasa lingkungan serta rehabilitasi di taman hutan raya skala kabupaten/kota. 2.

31. Rencana Kehutanan

1. Penetapan sistem perencanaan kehutanan dan penyusunan rencana-rencana kehutanan tingkat nasional.

1. Penyusunan rencanarencana kehutanan tingkat provinsi.

1. Penyusunan rencanarencana kehutanan tingkat kabupaten/kota.

32. Sistem Informasi Kehutanan (Numerik dan Spasial)

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat nasional.

1. Penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat provinsi.

1. Penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat kabupaten/kota.

2080

33. Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan pemberian serta perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi.

1. Pertimbangan teknis kepada menteri untuk pemberian dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

1. Pertimbangan teknis kepada gubernur untuk pemberian dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu serta pemberian perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

34. Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu pada hutan produksi.

1. Pemberian perizinan pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

1. Pemberian perizinan pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

35. Pemanfaatan Kawasan Hutan dan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan.

1. Pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

1. Pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

2081

36. Industri Pengolahan Hasil Hutan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria industri primer hasil hutan dan pemberian izin industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi > 6.000 m3.

1. Pemberian izin industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi 6.000 m3 serta pertimbangan teknis izin industri primer dengan kapasitas > 6.000 m3.

1. Pertimbangan teknis pemberian izin industri primer hasil hutan kayu.

37. Penatausahaan Hasil Hutan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan pengaturan penatausahaan hasil hutan.

1. Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala provinsi.

1. Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala kabupaten/kota.

38. Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) Convention on International Trade Endangered Species (CITES) serta pemanfaatan jasa lingkungan skala nasional.

1. Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

1. Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

39. Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Kehutanan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemungutan penerimaan negara bukan pajak.

1.

1. Pelaksanaan pemungutan penerimaan negara bukan pajak skala kabupaten/kota.

2082

40. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove

1. Penetapan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi hutan dan lahan serta lahan kritis. 2. Penetapan lahan kritis skala nasional. 3. Penyusunan dan penetapan rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS. 4. Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.

1. 2. Penetapan lahan kritis skala provinsi. 3. Pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS. 4. Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala provinsi.

1. 2. Penetapan lahan kritis skala kabupaten/kota. 3. Pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS. 4. Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan taman hutan raya skala kabupaten/kota.

42. Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove

1. Pelaksanaan rehabilitasi dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. 2.

1. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala provinsi. 2. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala provinsi.

1. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten/kota.

2083

43. Reklamasi Hutan pada Areal yang Dibebani Izin Penggunaan Kawasan Hutan

1. Penyusunan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi hutan serta penilaian hasil reklamasi hutan.

1. Pengesahan rencana reklamasi hutan.

1. Pertimbangan teknis rencana reklamasi dan pemantauan pelaksanaan reklamasi hutan

44. Reklamasi Hutan Areal Bencana Alam

1. Penyusunan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi hutan serta penyelenggaraan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala nasional.

1. Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala provinsi

1. Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala kabupaten/kota.

45. Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan di Sekitar Hutan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

1. Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

1. Bimbingan masyarakat, pengembangan kelembagaan dan usaha serta kemitraan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

46. Pengembangan Hutan Hak dan Aneka Usaha Kehutanan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan hutan hak dan aneka usaha kehutanan.

1. Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi hutan hak dan aneka usaha kehutanan.

1. Penyusunan rencana, pembinaan pengelolaan hutan hak dan aneka usaha kehutanan.

47. Hutan Kota

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria hutan kota.

1. Pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan hutan kota (khusus DKI), fasilitasi, pemantauan dan evaluasi hutan kota.

1. Pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan hutan kota.

2084

48. Perbenihan Tanaman Hutan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria perbenihan tanaman hutan, penetapan dan pembangunan sumberdaya genetik, pemberian izin ekspor/impor, karantina dan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit serta akreditasi lembaga sertifikasi benih/bibit tanaman hutan.

1. Pertimbangan teknis calon areal sumber daya genetik, pelaksanaan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit tanaman hutan.

1. Inventarisasi dan identifikasi serta pengusulan calon areal sumberdaya genetik, pembinaan penggunaan benih/bibit, pelaksanaan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit tanaman hutan.

49. Pengusahaan Pariwisata Alam pada Kawasan Pelestarian Alam, dan Pengusahaan Taman Buru, Areal Buru dan Kebun Buru

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam pada kawasan pelestarian alam dan pengusahaan taman buru.

1. Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala provinsi.

1. Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala kabupaten/kota.

50. Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam serta taman buru.

1.

1.

51. Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan pengawetan tumbuhan dan satwa liar dilindungi dan tidak dilindungi.

1.

1.

2085

52. Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. 2. Pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi serta pengendalian pemanfaatan tumbuhan satwa liar yang tidak dilindungi skala nasional.

1. Pengawasan pemberian izin pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES. 2.

1. Pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES. 2.

53. Lembaga Konservasi

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian perizinan kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari).

1. Pertimbangan teknis izin kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari) skala provinsi.

1. Pertimbangan teknis izin kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari) skala kabupaten/kota.

54. Perlindungan Hutan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan perlindungan hutan pada hutan negara skala nasional. 2. Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala nasional.

1. Pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala provinsi. 2. Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala provinsi.

1. Pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala kabupaten/kota. 2. Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala kabupaten/kota.

2086

55. Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan, pemberian perizinan penelitian oleh lembaga asing, pemberian perizinan penelitian pada kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan dengan tujuan khusus penelitian dan pengembangan, pemantauan dan evaluasi kegiatan penelitian yang dilakukan oleh asing, provinsi dan kabupaten/kota.

1. Koordinasi dan penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan di tingkat provinsi dan/atau yang memiliki dampak antar kabupaten/kota dan pemberian perizinan penelitian pada hutan produksi dan hutan lindung yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus skala provinsi.

1. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan di tingkat kabupaten/kota dan pemberian perizinan penelitian pada hutan produksi serta hutan lindung yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus skala kabupaten/kota.

56. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kehutanan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional kehutanan serta akreditasi lembaga diklat kehutanan.

1. Pelaksanaan diklat teknis dan fungsional kehutanan skala provinsi.

1.

57. Penyuluhan Kehutanan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan penyuluhan kehutanan.

1. Penguatan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan skala provinsi.

1. Penguatan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan skala kabupaten/kota.

58. Pembinaan dan Pengendalian Bidang Kehutanan

1. Koordinasi, bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala nasional.

1. Koordinasi, bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala provinsi.

1. Bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala kabupaten/kota.

2087

59. Pengawasan Bidang Kehutanan

1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan pengawasan terhadap tugas dekonsentrasi dan pembantuan, pinjaman dan hibah luar negeri serta efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang kehutanan.

1. Pengawasan terhadap efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan oleh kabupaten/kota dan kinerja penyelenggara provinsi serta penyelenggaraan oleh kabupaten/kota di bidang kehutanan.

1. Pengawasan terhadap efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan oleh desa/masyarakat, kinerja penyelenggara kabupaten/kota dan penyelenggaraan oleh desa/masyarakat di bidang kehutanan.

2088

27. Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral


SUB BIDANG 1. Mineral, Batu Bara, Panas Bumi, dan Air Tanah SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan pengelolaan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah nasional. 2. Pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah. 3. Pembuatan dan penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria di bidang pengelolaan pertambangan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta kompetensi kerja pertambangan. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. 2. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah provinsi di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah. 3. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. 2. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah kabupaten/kota di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah. 3. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

2089

4. Penetapan kriteria kawasan pertambangan dan wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi setelah mendapat pertimbangan dan/atau rekomendasi provinsi dan kabupaten/kota. 5. Penetapan cekungan air tanah setelah mendapat pertimbangan provinsi dan kabupaten/kota. 6. Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas provinsi.

4. Penyusunan data dan informasi usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi lintas kabupaten/kota. 5. Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah lintas kabupaten/kota. 6. Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.

4. Penyusunan data dan informasi wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi skala kabupaten/kota. 5. Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah skala kabupaten/kota. 6. Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah pada wilayah kabupaten/kota.

7. Pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara, panas bumi, pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil. 8. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil laut.

7. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. 8. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

7. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. 8. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.

2090

9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil. 10. Pembuatan dan penetapan klasifikasi, kualifikasi serta pedoman usaha jasa pertambangan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah.

9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. 10.

9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. 10.

11. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta yang mempunyai wilayah kerja lintas provinsi. 12. Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal.

11. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN lintas kabupaten/kota. 12. Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal lintas kabupaten/kota.

11. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN di wilayah kabupaten/kota. 12. Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal di wilayah kabupaten/kota.

2091

13. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi, pada wilayah lintas provinsi atau yang berdampak nasional dan di wilayah laut.

13. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah lintas kabupaten/kota atau yang berdampak regional.

13. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah kabupaten/kota.

14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan Kuasa Pertambangan (KP) lintas provinsi, Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diterbitkan berdasarkan Undang- Undang tentang Ketentuan PokokPokok Pertambangan. 15. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KK dan PKP2B yang telah

14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP lintas kabupaten/kota. 15. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP lintas kabupaten/kota.

14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP dalam wilayah kabupaten/kota. 15. Pembinaan dan pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP dalam wilayah

2092

dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan. 16. Penetapan wilayah konservasi dan pencadangan sumber daya mineral, batubara dan panas bumi nasional serta air tanah. 17. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut.

16. Penetapan wilayah konservasi air tanah lintas kabupaten/kota. 17. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota.

kabupaten/kota. 16. Penetapan wilayah konservasi air tanah dalam wilayah kabupaten/kota. 17. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung dalam wilayah kabupaten/kota.

18. Pengelolaan, pembinaan, dan pengawasan wilayah kerja KP dan kontrak kerja sama pengusahaan pertambangan panas bumi yang dikeluarkan sebelum diterbitkannya UndangUndang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi yang berdampak nasional. 19. Penetapan kebijakan batasan produksi mineral, batubara dan panas bumi. 20. Penetapan kebijakan batasan pemasaran dan pemanfaatan mineral, batubara dan panas bumi.

18. 19. 20.

18. 19. 20.

2093

21. Penetapan kebijakan kemitraan dan kerjasama serta pengembangan masyarakat dalam pengelolaan mineral, batubara dan panas bumi. 22. Perumusan dan penetapan tarif iuran tetap dan iuran produksi mineral, batubara dan panas bumi. 23. Penetapan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan dana pengembangan batubara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

21. 22. 23.

21. 22. 23.

24. Penetapan pedoman nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan lintas negara. 25. Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan Sistem Informasi Geografis (SIG) wilayah kerja pertambangan nasional. 26. Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara nasional.

24. Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota. 25. Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah provinsi. 26. Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah provinsi.

24. Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah dalam wilayah kabupaten/ kota. 25. Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah kabupaten/kota. 26. Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah kabupaten/kota.

27. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional.

27. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.

27. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.

2094

2. Geologi

1. Penetapan kebijakan nasional bidang geologi. 2. Pelaksanaan pemetaan geologi dan peta tematik, inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, panas bumi, migas, air tanah nasional dan kawasan pengembangan yang bersifat strategis serta pelaksanaan eksplorasi panas bumi. 3. Penetapan kawasan karst dan kawasan lindung geologi nasional.

1. 2. Pelaksanaan inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, batubara, panas bumi, migas dan air tanah pada wilayah provinsi. 3. Pelaksanaan inventarisasi kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah provinsi.

1. 2. Pelaksanaan inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, batubara, panas bumi, migas dan air tanah pada wilayah kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan inventarisasi kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah kabupaten/kota.

4. Penetapan kriteria pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi. 5. Penetapan pedoman, kriteria norma, standar, prosedur geologi, lingkungan geologi, geologi teknik, kebencanaan dan kawasan lingkungan geologi. 6. Pelaksanaan inventarisasi geologi, lingkungan geologi, geologi teknik, kebencanaan dan kawasan lingkungan geologi secara nasional dan kawasan pengembangan strategis.

4. Penetapan zonasi pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota. 5. Penetapan pengelolaan lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi di wilayah lintas kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan inventarisasi lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi pada wilayah provinsi.

4. Penetapan zonasi pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah kabupaten/kota. 5. Penetapan pengelolaan lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi di wilayah kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan inventarisasi lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi pada wilayah kabupaten/kota.

2095

7. Penetapan kebijakan dan pengaturan mitigasi bencana geologi serta pedoman pengelolaan kawasan lindung geologi dan kawasan rawan bencana. 8. Inventarisasi, pemetaan, pemeriksaan, pemantauan, penyelidikan dan penelitian, dan kawasan rawan bencana geologi daerah vital serta strategis dan/atau memiliki dampak nasional. 9. Pemberian peringatan dini bencana gunung api dan gempa bumi/tsunami dan penetapan langkah- langkah mitigasi untuk bencana geologi.

7. Pelaksanaan kebijakan mitigasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota. 8. Inventarisasi dan pengelolaan, kawasan rawan bencana geologi pada wilayah provinsi dan/atau memiliki dampak lintas kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan koordinasi mitigasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.

7. Pelaksanaan kebijakan mitigasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota. 8. Inventarisasi dan pengelolaan, kawasan rawan bencana geologi, pada wilayah kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan koordinasi mitigasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota.

10. Pengelolaan data dan informasi bencana geologi. 11. Pembinaan tenaga fungsional penyelidik bumi nasional dan pengamat gunung api. 12. Pengelolaan data dan informasi geologi nasional.

10. Pengelolaan informasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota. 11. Pelaksanaan pembinaan fungsional penyelidik bumi nasional pada wilayah provinsi. 12. Pengelolaan data dan informasi geologi pada wilayah provinsi.

10. Pengelolaan informasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota. 11. Pelaksanaan pembinaan fungsional penyelidik bumi nasional pada wilayah kabupaten/kota. 12. Pengelolaan data dan informasi geologi pada wilayah kabupaten/kota.

3. Ketenagalistrikan

1. Penetapan kebijakan pengelolaan energi dan ketenagalistrikan nasional. 2. Penetapan peraturan perundang-undangan di bidang energi dan ketenagalistrikan.

1. 2. Penetapan peraturan daerah provinsi di bidang energi dan ketenagalistrikan.

1. 2. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota di bidang energi dan ketenagalistrikan.

2096

3. Penetapan pedoman, standar dan kriteria pengelolaan energi dan ketenagalistrikan. 4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Jaringan Transmisi Nasional (JTN). 5. Pemberian izin usaha ketenagalistrikan yang dilakukan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK).

3. 4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) regional. 5.

3. 4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) kabupaten/kota. 5.

6. Pemberian Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum (IUKU) yang sarana maupun energi listriknya lintas provinsi dan usaha penyediaan tenaga listrik yang terhubung ke dalam JTN. 7. Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen PKUK dan pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh pemerintah. 8. Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada PKUK dan pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.

6. Pemberian IUKU yang sarana maupun energi listriknya lintas kabupaten/kota. 7. Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh provinsi. 8. Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh provinsi.

6. Pemberian IUKU yang sarana maupun energi listriknya dalam kabupaten/kota. 7. Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh kabupaten/kota. 8. Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh kabupaten/kota.

2097

9. Pemberian Izin Usaha penyediaan tenaga listrik untuk Kepentingan Sendiri (IUKS) yang sarana instalasinya mencakup lintas provinsi. 10. Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada PKUK dan pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah. 11. Pemberian izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha asing/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal asing.

9. Pemberian IUKS yang sarana instalasinya mencakup lintas kabupaten/kota. 10. Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh provinsi. 11.

9. Pemberian IUKS yang sarana instalasinya dalam kabupaten/kota. 10. Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh kabupaten/kota. 11. Pemberian izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha dalam negeri/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal dalam negeri.

12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan sertifikasi bidang ketenagalistrikan dan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah. 13. Penetapan kebijakan dan penyediaan listrik pedesaan secara nasional. 14. Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional. 15. Penetapan pedoman, standar dan kriteria penerangan jalan umum.

12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya diberikan oleh provinsi. 13. Koordinasi dan penyediaan listrik pedesaan pada wilayah regional. 14. Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional provinsi. 15.

12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya diberikan oleh kabupaten/kota. 13. Penyediaan listrik pedesaan di wilayah kabupaten/kota. 14. Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota. 15.

2098

4. Minyak dan Gas Bumi

1. Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas)

1. Penetapan mekanisme penyampaian laporan produksi penghitungan (lifting) bagian daerah. 2. Penetapan wilayah kerja kontrak kerja sama bidang minyak dan gas bumi. 3. Penetapan standar dan norma untuk izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan.

1. Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah. 2. Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan migas pada lintas kabupaten/kota. 3.

1. Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah. 2. Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan migas pada wilayah kabupaten/kota. 3. Pemberian izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan di sub sektor migas.

2. Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi

1. Pemberian izin usaha pada kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi, yang terdiri dari kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga.

1. Pengawasan jumlah armada pengangkut Bahan Bakar Minyak (BBM) di daerah provinsi yang meliputi jumlah armada dan kapasitas pengangkutan BBM.

1.

2. 3. 4.

2. Inventarisasi jumlah badan usaha kegiatan hilir yang beroperasi di daerah provinsi. 3. Penetapan harga bahan bakar minyak jenis minyak tanah pada tingkat konsumen rumah tangga dan usaha kecil. 4. Pengawasan pencantuman Nomor Pelumas Terdaftar (NPT) pada pelumas yang beredar di pasaran sesuai peraturan perundangundangan.

2. 3. 4.

2099

5. 6.a. Pengaturan dan pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). b.

5. Koordinasi pengawasan pengendalian pendistribusian dan tata niaga bahan bakar minyak dari agen dan pangkalan dan sampai konsumen di wilayah provinsi. 6.a. Pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM lintas kabupaten/kota. b.

5. Pengawasan pengendalian pendistribusian dan tata niaga bahan bakar minyak dari agen dan pangkalan dan sampai konsumen akhir di wilayah kabupaten/kota. 6.a. Pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM di wilayah kabupaten/kota. b.Pemberian rekomendasi lokasi pendirian kilang dan tempat penyimpanan migas.

c.

c.

c. Pemberian izin lokasi pendirian Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU).

3. Kegiatan Usaha Jasa Penunjang Minyak dan Gas Bumi

1. Pemberian rekomendasi Pembelian dan Penggunaan (P2) dan Pemilikan Penguasaan dan Penyimpanan (P3) bahan peledak untuk kegiatan migas.

1. Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

1. Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.

2100

2. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha penunjang migas. 3. Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional.

2. Pengawasan terhadap kegiatan usaha perusahaan jasa penunjang minyak dan gas bumi untuk bidang usaha jasa penyediaan komoditi dan jasa boga dan bidang usaha jasa penyediaan material dan peralatan termasuk pelayanan purna jual yang berdomisili di provinsi yang bersangkutan. 3. Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.

2. 3. Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.

5. Pendidikan dan Pe latihan (Diklat)

1. Penetapan pedoman dan standar penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral. 2. Penetapan pedoman akreditasi bagi lembaga diklat penyelenggara diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral. 3. Penetapan standar kurikulum berbasis kompetensi diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.

1. 2. Pengusulan lembaga diklat provinsi agar terakreditasi sebagai penyelenggara pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral. 3.

1. 2. 3.

2101

4. Fasilitasi penyelenggaraan assessment me lalui lembaga assessment Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dinas daerah provinsi/kabupate n/ kota. 5. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis untuk kepala dinas provinsi dan kabupaten/kota yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.

4. Penyertaan dan atau memfasilitasi penyelenggaraan assessment bekerjasama dengan lembaga assessment DESDM. 5. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis untuk kepala sub dinas kabupaten/kota dan kepala seksi dinas kabupaten/kota yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral setelah lembaga diklat terakreditasi.

4. Penyertaan dan atau me mfasilitasi penyelenggaraan assessment bekerjasama dengan lembaga assessment DESDM. 5.

6. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis sektor energi dan sumber daya mineral bagi perangkat daerah yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.

6. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis sektor energi dan sumber daya mineral bagi perangkat daerah yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral berdasarkan pedoman dan standar penyelenggaraan, kurikulum/silabus dan lembaga diklat terakreditasi.

6.

2102

7. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional tertentu untuk pengangkatan pertama kali dan jenjang madya inspektur tambang/ minyak dan gas bumi/ ketenagalistrikan/ penyelidik bumi. 8. Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

7. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional tertentu untuk pengangkatan pertama kali dan jenjang muda inspektur tambang/ minyak dan gas bumi/ ketenagalistrikan/ penyelidik bumi berdasarkan pedoman dan standar penyelenggaraan, kurikulum/silabus dan lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) terakreditasi. 8. Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup provinsi dan kabupaten/kota.

7. 8.

9. Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala nasional. 10. Pembinaan dan pemantauan dan evaluasi lembaga diklat daerah dalam penyelenggaraan diklat sektor ESDM.

9. Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala provinsi. 10.

9. Penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala kabupaten/kota. 10.

2103

28. Bidang Kelautan dan Perikanan


SUB BIDANG 1. Kelautan SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut nasional, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan landas kontinen serta sumberdaya alam yang ada di bawahnya meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINS I 1. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan provinsi. 2. Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut di wilayah laut kewenangan provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

2104

3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam yang ada di dalamnya. 4. Penetapan kebijakan, norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut nasional, ZEEI dan landas kontinen. 5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan terpadu sumberdaya laut antar daerah.

3. Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan provinsi. 4. Pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut kewenangan provinsi dan pemberian informasi apabila terjadi pelanggaran di luar batas kewenangan provinsi. 5. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi.

3. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. 4. Pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota dan pemberian informasi apabila terjadi pelanggaran di luar batas kewenangan kabupaten/kota. 5. Koordinasi pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut di wilayah kewenangan kabupaten/kota.

2105

6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya. 7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan masyarakat pesisir. 8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyerasian riset kelautan meliputi riset, survei dan eksplorasi sumberdaya hayati dan non hayati, teknologi dan pengembangan jasa kelautan.

6. Pelaksanaan kebijakan perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut kewenangan provinsi. 7. Pelaksanaan kebijakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi. 8. Pelaksanaan dan koordinasi penyerasian riset kelautan di wilayah kewenangan laut provinsi dalam rangka pengembangan jasa kelautan.

6. Pelaksanaan dan koordinasi perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut. 7. Pemberdayaan masyarakat pesisir di wilayah kewenangan kabupaten/kota. 8. Pelaksanaan sistem perencanaan dan pemetaan serta riset potensi sumberdaya dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah kewenangan kabupaten/kota.

2106

9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam kelautan termasuk benda berharga dari kapal tenggelam. 10.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam hayati dan perairan laut. 11.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kapasitas kelembagaan dan Sumberdaya Manusia (SDM) bidang kelautan dan perikanan.

9. Pelaksanaan pengawasan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam berdasarkan wilayah kewenangannya dengan pemerintah dan kabupaten/kota. 10. Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan provinsi. 11. Pelaksanaan kebijakan peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM di bidang kelautan dan perikanan.

9. Pelaksanaan koordinasi pengawasan dan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam berdasarkan wilayah kewenangannya dengan pemerintah dan provinsi. 10. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. 11. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM di bidang kelautan dan perikanan.

2107

12.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut. 13. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria batas-batas wilayah maritim yang meliputi batas-batas wilayah laut pengelolaan daerah dan batas-batas wilayah laut antar negara. 14. Pengesahan pemberlakuan perjanjian internasional di bidang kelautan.

12. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut dalam kewenangan provinsi. 13. Pelaksanaan koordinasi dalam hal pengaturan batasbatas wilayah maritim yang berbatasan dengan wilayah antar negara di perairan laut dalam kewenangan provinsi. 14.

12. Pelaksanaan kebijakan reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut dalam kewenangan kabupaten/kota. 13. Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama dengan daerah lain terutama dengan wilayah yang berbatasan dalam rangka pengelolaan laut terpadu. 14.

2108

15. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemetaan potensi wilayah dan sumberdaya kelautan nasional. 16. Pengharmonisasian peraturan pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut. 17. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan wilayah laut di luar 12 (dua belas) mil. 18. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.

15. Pelaksanaan dan koordinasi pemetaan potensi sumberdaya kelautan di wilayah perairan laut kewenangan provinsi. 16. Pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisasian pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut kewenangan provinsi. 17. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut di dalam kewenangan provinsi. 18. Pelaksanaan dan koordinasi pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.

15. Pelaksanaan pemetaan potensi sumberdaya kelautan di wilayah perairan laut kewenangan kabupaten/kota. 16. Pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisasian pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut kewenangan kabupaten/kota. 17. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut di dalam kewenangan kabupaten/kota. 18. Pelaksanaan pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.

2109

19. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya. 20. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia. 21. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria jenis ikan yang dilindungi.

19. Pelaksanaan kebijakan rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya antar kabupaten/kota di wilayah laut provinsi. 20. Pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia. 21. Pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis ikan yang dilindungi.

19. Pelaksanaan koordinasi antar kabupaten/kota dalam hal pelaksanaan rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya. 20. Pelaksanaan penetapan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia. 21. Pelaksanaan perlindungan jenis ikan yang dilindungi.

22. Pelaksanaan mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut. 23. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman. 24. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi.

22. Pelaksanaan dan koordinasi mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut di wilayah laut kewenangan provinsi. 23. Pelaksanaan koordinasi pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman di wilayah laut kewenangan provinsi. 24. Pelaksanaan koordinasi pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi di wilayah laut kewenangan provinsi.

22. Pelaksanaan mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. 23. Pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. 24. Pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.

2110

25. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya. 26. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyusunan zonasi dan tata ruang perairan di wilayah laut nasional. 27. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah laut nasional.

25. Pelaksanaan koordinasi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya di wilayah provinsi. 26. Pelaksanaan dan koordinasi penyusunan zonasi dan tata ruang perairan dalam wilayah kewenangan provinsi. 27. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah kewenangan provinsi.

25. Pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya di wilayah kabupaten/kota. 26. Pelaksanaan dan koordinasi penyusunan zonasi dan tata ruang perairan dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota. 27. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah kewenangan kabupaten/kota.

2111

28. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian tata ruang laut nasional. 29. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan di perairan laut nasional dan ZEEI. 30. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi sumberdaya pesisir, pulaupulau kecil dan laut.

28. Perencanaan, pemanfaatan pengawasan dan pengendalian tata ruang laut wilayah kewenangan provinsi. 29. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan kewenangan provinsi. 30. Rehabilitasi sumberdaya pesisir, pulau-pulau kecil dan laut di wilayah kewenangan provinsi.

28. Perencanaan, pemanfaatan pengawasan dan pengendalian tata ruang laut wilayah kewenangan kabupaten/kota. 29. Pelaksanaan pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan kewenangan kabupaten/kota. 30. Rehabilitasi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengalami kerusakan (kawasan mangrove, lamun dan terumbu karang).

2112

2. Umum

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria dan pelaksanaan perkarantinaan ikan domestik dan internasional. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan skala nasional. 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan. 4. Perencanaan pembangunan perikanan skala nasional.

1. 2. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan provinsi. 3. Koordinasi penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan skala provinsi. 4. Perencanaan pembangunan perikanan skala provinsi.

1. 2. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota. 3. Koordinasi penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan skala kabupaten/kota. 4. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perikanan skala kabupaten/kota.

2113

5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan dan fasilitasi teknis. 6. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pola kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan. 7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan. 8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pelaksanaan kerjasama internasional di bidang perikanan skala nasional.

5. Bimbingan teknis pelaksanaan standarisasi, akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan. 6. Bimbingan teknis kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan antar kabupaten/kota. 7. Penyusunan zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan dalam wilayah provinsi. 8. Penyusunan rencana dan pelaksanaan kerjasama internasional bidang perikanan skala provinsi.

5. Pelaksanaan teknis standarisasi, akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan. 6. Pelaksanaan kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan dalam wilayah kabupaten/kota. 7. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan penyusunan zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan dalam wilayah kabupaten/kota. 8. Penyusunan rencana dan pelaksanaan kerjasama internasional bidang perikanan skala kabupaten/kota.

2114

9. Pengembangan sistem, pengumpulan, analisis, penyajian dan penyebaran data informasi statistik perikanan. 10. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan. 11. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil.

9. Bimbingan dan pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data dan statistik serta informasi bidang perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi. 10. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan. 11. Koordinasi pelaksanaan kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil.

9. Pelaksanaan sistem informasi perikanan di wilayah kabupaten/kota. 10. Pelaksanaan bimbingan teknis dalam peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan di wilayah kewenangan kabupaten/kota. 11. Pelaksanaan kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

12. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan. 13. Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.

12. Koordinasi pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan kewenangan provinsi. 13. Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.

12. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan kabupaten/kota. 13. Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.

3. Perikanan Tangkap

1. Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut di luar 12 mil. 2. Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB).

1. Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi. 2. Koordinasi dan pelaksanaan estimasi stok ikan di wilayah perairan kewenangan provinsi.

1. Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. 2. Koordinasi dan pelaksanaan estimasi stok ikan di wilayah perairan kewenangan kabupaten/kota.

2115

3. Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar provinsi. 4. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan. 5. Pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan nasional termasuk ZEEI dan landas kontinen.

3. Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar kabupaten/kota. 4. Pelaksanaan dan koordinasi perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan kewenangan provinsi. 5. Dukungan pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan wilayah kewenangan provinsi.

3. 4. Pelaksanaan dan koordinasi perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan kewenangan kabupaten/kota. 5. Dukungan pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan wilayah kewenangan kabupaten/kota.

2116

6. Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 30 GT dan di bawah 30 GT yang menggunakan tenaga kerja asing. 7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan pemerintah. 8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria usaha perikanan tangkap. 9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan nelayan kecil.

6. Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing. 7. Penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan provinsi. 8. Pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam wilayah kewenangan provinsi. 9. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil.

6. Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan sampai dengan 10 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing. 7. Penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan kabupaten/kota. 8. Pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota. 9. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil.

2117

10. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap. 11. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap. 12.a. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan.

10. Pelaksanaan kebijakan peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap kewenangan provinsi. 11. Pelaksanaan kebijakan sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap kewenangan provinsi. 12.a. Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan kewenangan provinsi.

10. Pelaksanaan kebijakan peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap kewenangan kabupaten/kota. 11. Pelaksanaan kebijakan sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap kewenangan kabupaten/kota. 12.a.Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan kewenangan kabupaten/kota.

b. 13. Pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain. 14. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria operasional dan penempatan Syahbandar di pelabuhan perikanan. 15. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan kapal perikanan.

b. 13. Dukungan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain. 14. 15. Pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan.

b. Pengelolaan dan penyelenggaraan pelelangan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). 13. Dukungan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain. 14. 15. Pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan.

2118

16. Pelaksanaan pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT. 17. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembuatan alat penangkapan ikan. 18. Pemberian persetujuan pengadaan, pembangunan dan pemasukan kapal perikanan dari luar negeri (impor). 19. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria produktivitas kapal penangkap ikan. 20. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.

16. Pendaftaran kapal perikanan di atas 10 GT sampai dengan 30 GT. 17. Pelaksanaan kebijakan pembuatan alat penangkap ikan. 18. 19. Dukungan dalam penetapan kebijakan produktivitas kapal penangkap ikan. 20. Pelaksanaan kebijakan penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.

16. Pendaftaran kapal perikanan sampai dengan 10 GT. 17. Pelaksanaan kebijakan pembuatan alat penangkap ikan. 18. 19. Dukungan dalam penetapan kebijakan produktivitas kapal penangkap ikan. 20. Pelaksanaan kebijakan penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.

2119

21. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemeriksaan fisik kapal perikanan serta pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan berukuran di atas 30 GT. 22. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan. 23. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut nasional.

21. Pelaksanaan kebijakan pemeriksaaan fisik kapal perikanan berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT. 22. Pelaksanaan kebijakan dan standarisasi kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan yang menjadi kewenangan provinsi. 23. Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut kewenangan provinsi.

21. Pelaksanaan kebijakan pemeriksaan fisik kapal perikanan berukuran sampai dengan 10 GT. 22. Pelaksanaan kebijakan dan standarisasi kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. 23. Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut kewenangan kabupaten/kota.

24. Rekayasa dan teknologi penangkapan ikan.

24. Dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan ikan.

24. Dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan ikan.

2120

4. Perikanan Budidaya

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembudidayaan ikan. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut. 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria mutu benih/induk ikan. 4. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.

1. Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan. 2. Pelaksanaan kebijakan produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut. 3. Pelaksanaan kebijakan mutu benih/induk ikan. 4. Pelaksanaan kebijakan, pembangunan dan pengelolaan balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.

1. Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan. 2. Pelaksanaan kebijakan produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut. 3. Pelaksanaan kebijakan mutu benih/induk ikan. 4. Pelaksanaan kebijakan, pembangunan dan pengelolaan balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.

2121

5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan. 6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan. 7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan. 8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan.

5. Pelaksanaan kebijakan pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan. 6. Pelaksanaan kebijakan akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan. 7. Pelaksanaan kebijakan pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan. 8. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan.

5. Pelaksanaan kebijakan pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan. 6. Pelaksanaan kebijakan akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan. 7. Pelaksanaan kebijakan pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan. 8. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan.

2122

9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan. 10. Penetapan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan. 11. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan. 12. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.

9. Pelaksanaan kebijakan rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan. 10. Pelaksanaan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan. 11. Pelaksanaan teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan. 12. Pelaksanaan teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.

9. Pelaksanaan kebijakan rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan. 10. Pelaksanaan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan. 11. Pelaksanaan teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan. 12. Pelaksanaan teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.

2123

13. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan usaha perikanan serta penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP) di bidang pembudidayaan ikan menggunakan tenaga kerja asing. 14. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan. 15. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembudidayaan ikan dan perlindungannya.

13. Pelaksanaan kebijakan perizinan dan penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di wilayah provinsi. 14. Pelaksanaan kebijakan pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan. 15. Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan dan perlindungannya.

13. Pelaksanaan kebijakan perizinan dan penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di wilayah kabupaten/kota. 14. Pelaksanaan kebijakan pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan. 15. Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan dan perlindungannya

2124

16. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya. 17. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria wabah dan wilayah wabah penyakit ikan. 18. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sistem informasi benih ikan. 19. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknologi pembudidayaan ikan.

16. Pelaksanaan kebijakan pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya. 17. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan. 18. Koordinasi dan pelaksanaan sistem informasi benih ikan lintas kabupaten/kota. 19. Koordinasi dan pelaksanaan teknologi pembudidayaan ikan.

16. Pelaksanaan kebijakan pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya. 17. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan. 18. Pelaksanaan sistem informasi benih ikan di wilayah kabupaten/kota. 19. Pelaksanaan teknologi pembudidayaan ikan spesifik lokasi.

2125

20. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan. 21. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan. 22. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria keramba jaring apung.

20. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan. 21. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan. 22. Pelaksanaan kebijakan keramba jaring apung di perairan umum lintas kabupaten/kota dan wilayah laut kewenangan provinsi.

20. Pemberian bimbingan, pemantauan dan pemeriksaan higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan. 21. Pembinaan dan pengembangan kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan. 22. Pelaksanaan kebijakan keramba jaring apung di perairan umum dan wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.

5. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan Penerapan Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) atau Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) di unit pengolahan hasil perikanan. 6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan mutu ekspor hasil perikanan. 7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau-pulau kecil.

5. Pengawasan PMMT atau HACCP di unit pengolahan hasil perikanan. 6. Pengawasan mutu ekspor hasil perikanan. 7. Koordinasi pelaksanaan pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau- pulau kecil di wilayah kewenangan provinsi.

5. Pengawasan PMMT atau HACCP di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan. 6. Pemantauan mutu ekspor hasil perikanan. 7. Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau- pulau kecil di wilayah kewenangan kabupaten/kota.

2126

8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut

8. Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan provinsi.

8. Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.

6. Pengolahan dan Pe masaran

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan dan pengelolaan pusat pemasaran ikan. 3.a. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi pengawasan mutu dan pengolahan hasil perikanan.

1. Pelaksanaan kebijakan pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya. 2. Pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan pusat pemasaran ikan. 3.a. Pelaksanaan kebijakan penerbitan sertifikat kesehatan dan/atau sertifikat mutu terhadap produk perikanan dalam rangka jaminan mutu dan jaminan pangan.

1. Pelaksanaan kebijakan pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya. 2. Pembangunan, perawatan dan pengelolaan pasar ikan. 3.a.

2127

b.Pembinaan pengujian mutu secara laboratoris terhadap produk hasil perikanan. 4. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP. 5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan dan pengelolaan laboratorium pengujian dan pengolahan mutu hasil perikanan.

b.Pelaksanaan pengujian mutu secara laboratoris terhadap produk hasil perikanan. 4. Pelaksanaan kebijakan pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP. 5. Pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan laboratorium pengujian dan pengolahan mutu hasil perikanan.

b. 4. Pelaksanaan pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP. 5.

2128

6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup. 7. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan. 8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.

6. Bimbingan pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup. 7. Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan. 8. Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di provinsi.

6. Pelaksanaan kebijakan pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup. 7. Pelaksanaan kebijakan investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan. 8. Pelaksanaan kebijakan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di kabupaten/kota.

2129

7. Penyuluhan dan Pe ndidikan

1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan di bidang kelautan dan perikanan. 2. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyuluhan kelautan dan perikanan. 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan serta penyelenggaraan diklat fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan bidang kelautan dan perikanan di provinsi. 2. Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan penyuluhan kelautan dan perikanan di provinsi. 3. Pelaksanaan kebijakan akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan di provinsi.

1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan serta penyelenggaraan diklat fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan bidang kelautan dan perikanan di kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan penyuluhan kelautan dan perikanan di kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan kebijakan akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan di kabupaten/kota.

2130

29. Bidang Perdagangan


SUB BIDANG 1. Perdagangan Dalam Negeri SUB SUB B IDANG PEMERINTAH 1. Penetapan pedoman serta pembinaan dan pengawasan pemberian izin usaha perdagangan (S IUP). 2. Penetapan pedoman dan fasilitasi serta pemberian izin perdagangan jasa bisnis (survey, broker, properti), jasa distribusi (waralaba, penjualan langsung, keagenan/distributor, perwakilan perusahaan perdagangan asing) dan jasa lainnya di bidang perdagangan tertentu. PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. Pe mbinaan dan pengawasan dalam pelaksanaan pemberian izin usaha perdagangan. 2. Pe mbinaan dan pengawasan perdagangan jasa bisnis, jasa distribusi dan jasa lainnya di bidang perdagangan di wilayah provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pe mberian izin usaha perdagangan di wilayah kabupaten/kota. 2. Pe mbinaan dan pengawasan pelaksanaan izin/pendaftaran jasa bisnis dan jasa distribusi di wilayah kabupaten/kota. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

3. Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi, serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala nasional (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Importir, Distributor dan Subdistributor, SIUP Bahan Berbahaya untuk Distributor, Pengakuan Pe dagang Gula dan Kayu antar Pulau, serta komoditi lain yang akan ditetapkan sebagai barang yang perdagangannya diawasi atau diatur tataniaganya).

3. Pe mbinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala provinsi (SIUP Minuman Beralkohol go longan B dan C untuk Toko Bebas Bea, SIUP Bahan Berbahaya untuk Pengecer dan Rekomendasi SIUP Minuman Beralkohol untuk Distributor dan Subdistributor, Rekomendasi SIUP Bahan Berbahaya untuk Distributor).

3. Pe mbinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala kabupaten/kota (SIUP Minuman Beralkohol go longan B dan C untuk Pengecer, Penjualan Langsung untuk diminum di tempat, Pengecer dan Penjualan Langsung untuk diminum di tempat untuk Minuman Beralkohol mengandung Rempah sampai dengan 15%, Rekomendasi SIUP Bahan Berbahaya, Rekomendasi Pengakuan Pedagang Kayu antar Pulau).

2131

4. Penetapan pedoman, pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM), koordinasi, pengendalian, pengawasan penyelenggaraan dan penyajian informasi wajib daftar perusahaan skala nasional. 5. Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta fasilitasi kegiatan perdagangan di wilayah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar.

4. Koordinasi, pengendalian, pengawasan, pelaporan dan penyajian informasi hasil penyelenggaraan wajib daftar perusahaan skala provinsi. 5. Koordinasi, dukungan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan, fasilitasi, monitoring dan evaluasi kegiatan perdagangan di wilayah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar di provinsi.

4. Pe ngawasan, pelaporan pelaksanaan dan penyelenggaraan serta penyajian informasi pelaksanaan wajib daftar perusahaan skala kabupaten/kota. 5. Dukungan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan perdagangan di daerah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar di kabupaten/kota.

6. Penetapan pedoman pembinaan dan pengawasan, pemberian izin, monitoring, evaluasi; pemberian izin sarana perdagangan (pasar/toko modern) dan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) tertentu skala nasional dan internasional. 7. Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga.

6. Koordinasi, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi sarana perdagangan (pasar/toko modern dan gudang) dan persetujuan penyelenggaraan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) skala nasional. 7. Pe nyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga di provinsi.

6. Pe mbinaan dan pengawasan, pemberian izin dan rekomendasi skala tertentu, monitoring dan evaluasi sarana perdagangan (pasar/toko modern dan gudang) dan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) skala lokal. 7. Pe nyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga di kabupaten/kota.

2132

8. Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala nasional. 9. Penetapan pedoman dan petunjuk teknis pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen. 10.Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen. 11.Pe layanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala nasional.

8. Pe mbinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala provinsi. 9. Pe mbinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen di provinsi. 10. Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen. 11. Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala provinsi.

8. Pe mbinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala kabupaten/kota. 9. Pe mbinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen di kabupaten/kota. 10.Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen. 11.Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala kabupaten/kota.

12.Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen skala kabupaten/kota. 13. 14. 15.Pengusulan pembentukan BPSK di kabupaten/kota kepada pemerintah berkoordinasi dengan provinsi dan fasilitasi operasional BPSK.

12.Pe mbinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen Skala Nasional. 13.Fasilitasi operasional Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). 14.Fasilitasi pembentukan Perwakilan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (PBPKN) provinsi. 15.Pe netapan kebijakan dan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

12. Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen skala provinsi. 13. 14. Koordinasi pembentukan dan fasilitasi operasional PBPKN provinsi. 15. Koordinasi pembentukan BPSK dengan kabupaten/kota di wilayah provinsi.

2133

16.Pe netapan kebijakan dan petunjuk teknis pembinaan Lembaga Pe mberdayaan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). 17.Koordinasi dan kerjasama internasional serta lintas sektoral dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. 18.Pe ngkajian dan evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen. 19.Pe netapan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis dan atau tatacara pengawasan barang beredar dan jasa.

16. Koordinasi kegiatan LPKSM dengan kabupaten/kota di wilayah provinsi. 17. Koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait skala provinsi dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. 18. Koordinasi evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen. 19. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis pengawasan barang beredar dan jasa.

16.Pendaftaran dan pengembangan LPKSM. 17.Koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait skala kabupaten/kota dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. 18.Evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen. 19.Pelaksanaan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis pengawasan barang beredar dan jasa.

20.Pe mbinaan dan pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala nasional. 21.Koordinasi pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional. 22.Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional. 23.Pe mbinaan dan pemberdayaan Petugas Pengawas Barang Beredar dan Jasa (PPBJ) skala nasional.

20. Pembinaan dan pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala provinsi. 21. Koordinasi pelaksanaan pengawasan barang beredar dan jasa skala provinsi. 22. Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala provinsi. 23. Pembinaan dan pemberdayaan PPBJ skala provinsi.

20.Pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala kabupaten/kota. 21.Koordinasi pelaksanaan pengawasan barang beredar dan jasa skala kabupaten/kota. 22.Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala kabupaten/kota. 23.Pembinaan dan pemberdayaan PPBJ skala kabupaten/kota.

2134

24.Pe mbinaan dan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PP NS-PK) skala nasional. 25.Pe netapan dan penyelenggaraan pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala nasional. 26.Pe mbinaan dan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Wa jib Daftar Perusahaan (PPNSWDP ) skala nasional.

24. Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-PK skala provinsi. 25. Koordinasi, penyelenggaraan dan pelaporan pemberian rekomendasi atas pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala provinsi. 26. Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-WDP skala provinsi.

24.Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-PK skala kabupaten/kota. 25.Penyelenggaraan, pelaporan dan rekomendasi atas pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala kabupaten/kota. 26.Pembinaan dan pemberdayaan PPNS- WDP skala kabupaten/ kota.

27.Pe netapan pedoman dan fasilitasi sistem informasi perdagangan, dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala nasional.

27. Fasilitasi dan pelaporan pelaksanaan sistem informasi perdagangan dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala provinsi.

27.Pelaksanaan dan pelaporan sistem informasi perdagangan dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala kabupaten/kota.

2. Metrologi Legal

1. Penetapan dan pembinaan sistem metrologi legal. 2. Pembinaan dan pengembangan SDM metrologi legal.

1. Pembinaan dan pengendalian pembangunan metrologi legal skala provinsi. 2. Fasilitasi, koordinasi, penyelenggaraan, pengawasan dan pengendalian SDM metrologi skala provinsi.

1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan metrologi legal setelah memperoleh penilaian dari pemerintah yang didasarkan rekomendasi provinsi. 2. Fasilitasi dan pembinaan serta pengendalian SDM metrologi skala kabupaten/kota.

2135

3.a. Pengelolaan dan penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal. b. c. 4. Pelaksanaan kegiatan metrologi legal yang memerlukan penanganan khusus.

3.a. Koordinasi, rekomendasi penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal kabupaten/kota. b. Pelaksanaan verifikasi standar satuan ukuran milik provinsi dan kabupaten/kota. c. Penyelenggaraan interkomparasi ska la provinsi. 4. Koordinasi dan pelaksanaan kegiatan tera dan tera ulang alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP) di wilayah kabupaten/kota.

3.a. Fasilitasi standar ukuran dan laboratorium metrologi legal. b. c. 4. Pelayanan tera dan tera ulang UTTP setelah melalui penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal oleh pemerintah.

5. Penyelenggaraan kerjasama internasional metrologi legal. 6. Fasilitasi penyuluhan dan pengamatan UTTP, Barang Dalam Kemasan Terbungkus (BDKT) dan Satuan Internasional (S I). 7. Pembinaan dan penerbitan izin tipe UTTP, izin tanda pabrik UTTP.

5. Fasilitasi dan penyelenggaraan kerjasama metrologi legal skala provinsi. 6. Fasilitasi dan penyelenggaraan penyuluhan dan pengamatan UTTP, BDKT dan SI. 7. Koordinasi dan pembinaan pembuat UTTP, importir UTTP dan merekomendasikan pelaksanaan permohonan izin tipe dan izin tanda pabrik serta menerbitkan perpanjangan izin tanda pabrik dan izin reparatir UTTP.

5. Fasilitasi penyelenggaraan kerjasama metrologi legal skala kabupaten/kota. 6. Pelaksanaan penyuluhan dan pengamatan UTTP, BDKT dan SI. 7. Pembinaan operasional reparatir UTTP.

2136

8. Pengawasan dan penyidikan tindak pidana Undang- Undang Metrologi Legal (UUML). 9. Penetapan dan pembinaan sistem metrologi legal untuk pemerintah daerah khusus yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundangundangan.

8. Pengawasan dan penyidikan tindak pidana UUML. 9. Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang ditunjuk secara khusus o leh undang-undang maka koordinasi, fasilitasi dan penyelenggaraan metrologi legal menjadi urusan provinsi.

8. Pengawasan dan penyidikan tindak pidana UUML . 9.

3. Perdagangan Luar Negeri

1. Penetapan kebijakan dan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang ekspor meliputi: a. Barang yang diatur ekspornya; b. Barang yang diawasi ekspornya;

1. Pe nyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang ekspor.

1. Pe nyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang ekspor.

c. Barang yang dilarang ekspornya. 2. Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala nasional. 3. Pelaksanaan kebijakan bidang ekspor meliputi: a. Barang yang diatur ekspornya; b. Barang yang diawasi ekspornya; c. Barang yang dilarang ekspornya. 4. Penetapan kebijakan dan pedoman pelaksanaan bidang impor meliputi:

2. Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala provinsi. 3. Monitoring dan pelaporan pelaksanaan kebijakan bidang ekspor. 4. Pe nyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan bidang impor.

2. Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala kabupaten/kota. 3. Monitoring dan pelaporan pelaksanaan kebijakan bidang ekspor. 4. Pe nyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan bidang impor.

2137

a. Barang yang diatur tata niaganya; b. Barang yang dilarang impornya. 5. Pelaksanaan kebijakan bidang impor meliputi: a. Barang yang diatur tata niaganya; b. Barang yang dilarang impornya. 6. Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang impor ska la nasional. 7. Pengawasan dan pengendalian mutu barang meliputi:

5. Pe nyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang impor. 6. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan bidang impor skala provinsi. 7. Pe ngambilan contoh, pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi mutu barang meliputi:

5. Pe nyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang impor. 6. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan bidang impor ska la kabupaten/kota. 7. Pe ngambilan contoh, pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi mutu barang meliputi:

a. Penetapan kebijakan dan mekanisme pengawasan untuk membuktikan kesesuaian barang terhadap standar; b. Penelusuran teknis terhadap penilaian kesesuaian yang dilaksanakan oleh lembaga penguji, inspeksi teknis dan sertifikasi; c. Registrasi terhadap lembaga penilaian kesesuaian.

a. Pengambilan contoh yang dilakukan oleh Petugas Pengambil Contoh (PP C) yang teregistrasi; b. Pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi dilakukan oleh lembaga uji, inspeksi teknis, sertifikasi yang terakreditasi dan teregistrasi. c.

a. Pengambilan contoh yang dilakukan oleh PPC yang teregistrasi; b. Pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi dilakukan oleh lembaga uji, inspeksi teknis, sertifikasi yang terakreditasi dan teregistrasi. c.

2138

8. Pembinaan dan pengembangan SDM Penguji Mutu Barang (PMB) meliputi pengaturan, penentuan kriteria, uji kompetensi, registrasi, pendidikan dan latihan, penilaian dan penetapan angka kredit, bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi PMB. 9. Penetapan kebijakan, petunjuk pelaksanaan penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) barang ekspor, penunjukan instansi penerbitan SKA dan penelusuran asal barang, pelatihan dan sertifikasi petugas penandatangan SKA.

8. Pe nilaian dan pelaporan angka kredit PMB tingkat provinsi. 9. Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan penerbitan SKA dan penelusuran asal barang.

8. Pe nila ian dan pelaporan angka kredit PMB tingkat kabupaten/kota. 9. Pe nyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan penerbitan SKA dan penelusuran asal barang.

10.Sosialisasi, evaluasi, penerbitan SKA dan penelusuran asal barang oleh daerah. 11.Pe netapan kebijakan penerbitan Angka Pe ngenal Importir (API). 12.Sosialisasi kebijakan, monitoring dan evaluasi penerbitan AP I.

10. Sosialisasi, penerbitan dan pelaporan penerbitan SKA penelusuran asal barang di tingkat prov insi yang ditunjuk. 11. Penerbitan AP I. 12. Sosialisasi kebijakan dan pelaporan penerbitan API.

10. Sosialisasi, penerbitan dan pelaporan penerbitan SKA penelusuran asal barang di tingkat kabupaten/kota yang ditunjuk. 11. Penyediaan bahan masukan untuk penerbitan API. 12. Sosialisasi kebijakan dan pelaporan penerbitan API.

2139

13.Pe netapan kebijakan dan fasilitasi ekspor dan impor, sosialisasi, koordinasi pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. 14.Partisipasi dan penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional. 15.Sosialisasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kesepakatan.

13. Penyediaan bahan masukan, sosialisasi, fasilitasi, koordinasi pelaksanaan, monitoring dan pelaporan, penyediaan informasi potensi ekspor daerah sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan. 14. Penyediaan bahan masukan dalam rangka penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional. 15. Sosialisasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan pelaksanaan kesepakatan skala provinsi.

13. Penyediaan bahan masukan, sosialisasi, fasilitasi, koordinasi pelaksanaan monitoring dan pelaporan, penyediaan informasi potensi ekspor daerah sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan. 14. Penyediaan bahan masukan dalam rangka penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional. 15. Sosialisasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan pelaksanaan kesepakatan skala kabupaten/kota.

16.Pe mberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.

16. Fasilitasi pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.

16. Fasilitasi pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.

2140

4. Kerjasama Pe rdagangan Internasional

1. Penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan multilateral. 2. Penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan regional seperti: kerjasama Association of South East Asian Nation (ASEAN), Asia Pasific Economic Conference (AP EC), Asia Europe Meeting (ASEM), dan kerjasama ekonomi sub regional.

1. Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional. 2. Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional dan koordinasi kerjasama ekonomi sub regional.

1. Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional. 2. Monitoring dan sosialisasi hasilhasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional.

3. Pengaturan, penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan bilateral, seperti: a. Free Trade Agreement (FTA); b. Economic Partnership Agreement (EPA); c. Comprehensive Trade and Economic Partnership (CTEP); d. Comprehensive Economic Partnership (CEP); e. Trade and Investment Framework (TIF); f. Trade and Investment Council (TIC);

3. Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan bilateral dan sosialisasi kerjasama perdagangan lintas batas.

3. Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan bilateral.

2141

g. Trade and Investment Framework Agreement (TIFA); 4. Pengaturan, penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi pengamanan perdagangan meliputi: dumping, subsidi, dan safeguard.

4. Monitoring dan sosialisasi dumping, subsidi, dan safeguard.

4. Monitoring dan sosialisasi dumping, subsidi, dan safeguard.

5. Pengembangan Ekspor Nasional

1. Penetapan kebijakan bidang pengembangan ekspor secara nasional. 2. Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala nasional maupun internasional.

1. Pe nyediaan bahan kebijakan pengembangan ekspor skala provinsi. 2. Pe laksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala provinsi.

1. Pe nyediaan bahan kebijakan pengembangan ekspor skala kabupaten/kota. 2. Pe laksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala kabupaten/kota.

6. Perdagangan Berjangka Komoditi, Alternatif Pe mbiayaan Sistem Resi Gudang, Pasar Lelang

1. Pembinaan, pengaturan dan pengawasan perdagangan berjangka komoditi. 2. Pembinaan, pengaturan dan pengawasan sistem resi gudang. 3. Pembinaan, pengaturan dan pengawasan penyelenggaraan pasar lelang.

1. Koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan berjangka komoditi. 2. Pe mbinaan komoditas dalam rangka memperoleh akses pembiayaan resi gudang. 3. Pe mbinaan, pengaturan dan pengawasan yang bersifat teknis terhadap penyelenggaraan dan pelaku pasar lelang skala provinsi.

1. Koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan berjangka komoditi. 2. Pe mbinaan komoditas dalam rangka memperoleh akses pembiayaan resi gudang. 3. Pe mbinaan, pengaturan dan pengawasan yang bersifat teknis terhadap penyelenggaraan dan pelaku pasar lelang skala kabupaten/kota.

2142

30. Bidang Perindustrian


SUB BIDANG 1. Perizinan SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Penetapan kebijakan Izin Usaha Industri (IUI) dan kawasan industri. 2. Penerbitan IUI bagi industri yang mengolah dan menghasilkan Bahan Beracun Berbahaya (B3), industri minuman beralkohol, industri teknologi tinggi yang strategis, industri kertas berharga, industri senjata dan amunisi. 3. Penerbitan IUI yang lokasinya lintas provinsi. 4. Penerbitan izin kawasan industri yang lokasinya lintas provinsi. PEMERINTAHAN DAERAH P ROVINSI 1. 2. Penerbitan IUI skala investasi di atas Rp 10 milyar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. 3. Penerbitan rekomendasi IUI yang diterbitkan oleh pemerintah. 4. Penerbitan izin kawasan industri yang lokasinya lintas kabupaten/kota. PEMERINTAHAN DAERAH KABUP ATEN/KOTA 1. 2. Penerbitan tanda daftar industri dan IUI skala investasi s/d Rp 10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. 3. Penerbitan berita acara pemeriksaan dalam rangka penerbitan IUI oleh pemerintah dan provinsi. 4. Penerbitan izin usaha kawasan industri yang lokasinya di kabupaten/kota. NSPK JUMLAH NSPK YA TIDAK

2. Usaha Industri

1. Penetapan bidang usaha industri prioritas nasional, cabang industri yang penting dan strategis bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. 2. Penetapan pengelompokan bidang usaha industri atau skala usaha. 3. Penetapan bidang usaha industri yang terbuka dan tertutup untuk penanaman modal dan yang dicadangkan untuk industri kecil.

1. Penetapan bidang usaha industri prioritas provinsi. 2. 3.

1. Penetapan bidang usaha industri prioritas kabupaten/kota. 2. 3.

2143

3. Fasilitas Usaha Industri

1. Penetapan kebijakan pemberian fasilitas/insentif fiskal dan moneter dalam rangka pengembangan industri tertentu. 2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan Industri Kecil Menengah (IKM).

1. 2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan IKM di provinsi.

1. 2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan IKM di kabupaten/kota.

4. Perlindungan Usaha Industri

1. Perumusan kebijakan dan penetapan tarif bea masuk impor. 2. Perumusan dan penetapan kebijakan perlindungan bagi industri.

1. 2. Pemberian perlindungan kepastian berusaha terhadap usaha industri lintas kabupaten/kota.

1. 2. Pemberian perlindungan kepastian berusaha terhadap usaha industri di kabupaten/kota.

5. Perencana- an dan Program

1. Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri nasional. 2. Penyusunan Rencana Strategis (Renstra) di bidang industri. 3. Penyusunan rencana pembangunan tahunan industri nasional.

1. Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri provinsi. 2. Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) provinsi di bidang industri. 3. Penyusunan rencana kerja provinsi di bidang industri.

1. Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri kabupaten/kota. 2. Penyusunan RPJM SKPD kabupaten/kota di bidang industri. 3. Penyusunan rencana kerja kabupaten/kota di bidang industri.

6. Pemasaran

1. Penetapan kebijakan peningkatan pemasaran produk industri dalam negeri. 2. Promosi produk industri nasional.

1. 2. Promosi produk industri provinsi.

1. 2. Promosi produk industri kabupaten/kota.

2144

7. Teknologi

1. Penetapan kebijakan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri. 2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri. 3.

1. 2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri di provinsi. 3. Fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri termasuk lintas kabupaten/kota.

1. 2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri di kabupaten/kota. 3. Fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.

4. Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.

4. Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.

4. Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.

8. Standarisasi

1. Penetapan kebijakan standarisasi berdasarkan sistem standarisasi nasional. 2. Perumusan, fasilitasi penerapan dan pengawasan standar. 3. Kerjasama nasional, regional dan internasional bidang standarisasi.

1. 2. Fasilitasi dan pengawasan terhadap penerapan standar yang akan dikembangkan di provinsi. 3. Kerjasama bidang standarisasi tingkat provinsi.

1. 2. Fasilitasi dan pengawasan terhadap penerapan standar yang akan dikembangkan di kabupaten/kota. 3. Kerjasama bidang standarisasi tingkat kabupaten/kota.

9. Sumber Daya Manusia (SDM)

1. Penetapan kebijakan pembinaan dan pengembangan SDM industri dan aparatur pembina industri.

1.

1.

2145

2. Penetapan standar kompetensi dan kurikulum pendidikan dan pelatihan (diklat) SDM industri dan aparatur pembina industri. 3. Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri lintas provinsi.

2. Penerapan standar kompetensi SDM industri dan aparatur pembina industri di provinsi. 3. Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri lintas kabupaten/kota.

2. Penerapan standar kompetensi SDM industri dan aparatur pembina industri di kabupaten/kota. 3. Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri di kabupaten/kota.

10. Pe rmodalan

1. Perumusan kebijakan bantuan pendanaan untuk pemberdayaan industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank.

1. Fasilitasi akses permodalan bagi industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank di provinsi.

1. Fasilitasi akses permodalan bagi industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank di kabupaten/kota.

11. Lingkungan Hidup

1. Penetapan kebijakan pembinaan industri yang berwawasan lingkungan dan pengawasan pencemaran yang diakibatkan oleh industri.

1. Pemberian bantuan teknis kepada kabupaten/kota dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri.

1. Pembinaan industri dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri tingkat kabupaten/kota.

2. Fasilitasi kerjasama internasional di bidang industri yang terkait dengan lingkungan hidup.

2. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembinaan industri bersih yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan.

2. Pengawasan terhadap pencemaran lingkungan yang diakibatkan kegiatan industri di kabupaten/kota.

12. Kerjasama Industri

1. Penetapan kebijakan untuk peningkatan kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya. 2. Penetapan pola kemitraan antara industri dengan sektor ekonomi lainnya.

1. Koordinasi dan fasilitasi kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya lintas kabupaten/kota. 2. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama pengembangan industri melalui pola kemitraan usaha lintas kabupaten/kota.

1. Fasilitasi kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya di kabupaten/kota. 2. Fasilitasi kerjasama pengembangan industri melalui pola kemitraan usaha di kabupaten/kota.

2146

3. Penetapan kebijakan kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional bidang industri.

3. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional untuk pemberdayaan industri lintas kabupaten/kota.

3. Pelaksanaan hasil-hasil kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional untuk pemberdayaan industri di kabupaten/kota.

13. Kelembagaan

1. Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat nasional dan internasional. 2. Penetapan kebijakan pengembangan lembaga pendukung/unit pelaksana teknis penelitian dan pengembangan (litbang), diklat dan pelayanan pada IKM. 3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat nasional dan membantu unit pelaksana teknis tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

1. Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat provinsi. 2. 3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat provinsi dan membantu unit pelaksana teknis tingkat kabupaten/kota.

1. Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat kabupaten/kota. 2. 3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat kabupaten/kota.

14. Sarana dan Prasarana

1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayahwilayah pusat pertumbuhan industri dan lokasi pembangunan industri termasuk kawasan industri dan sentra industri kecil.

1. Penyusunan tata ruang provinsi industri dalam rangka pengembangan pusat- pusat industri yang terintegrasi serta koordinasi penyediaan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik, telepon, unit pengolahan limbah IKM) untuk industri yang mengacu pada tata ruang nasional.

1. Penyusunan tata ruang kabupaten/kota industri dalam rangka pengembangan pusatpusat industri yang terintegrasi serta koordinasi penyediaan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik, telepon, unit pengolahan limbah IKM) untuk industri yang mengacu pada tata ruang regional (provinsi).

2147

15. Informasi Industri

1. Penetapan kebijakan informasi industri. 2. Penyusunan pedoman dan pengumpulan, analisis dan diseminasi data nasional bidang industri.

1. 2. Pengumpulan, analisis dan diseminasi data bidang industri tingkat provinsi dan pelaporan kepada pemerintah.

1. 2. Pengumpulan, analisis dan diseminasi data bidang industri tingkat kabupaten/kota dan pelaporan kepada provinsi.

16. Pe ngawasan Industri

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan industri dalam rangka desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah. 2. Perumusan sistem, pembinaan dan pengaturan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang industri.

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas desentralisasi bidang industri tingkat provinsi. 2.

1. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas desentralisasi bidang industri tingkat kabupaten/kota. 2.

17. Monitoring, Evaluasi, dan Pe laporan

1. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian nasional.

1. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian di provinsi.

1. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian di kabupaten/kota.

2148

2149

También podría gustarte