Está en la página 1de 9

Sastra Kontemporer Kelompok 3:

ALH Kya Amannia F. 0806395125


08 April 2011 Pratidina Sekar P. 0806356540
Septyana Luoma T. 0806395346

Fremdworte – Jana Hensel

Fremdworte merupakan sebuah Kurzgeschichte karangan Jana Hensel. Fremdworte


dimuat dalam buku Zonenkinder yang diterbitkan pada tahun 2002. Kurzgeschichte ini
menceritakan tentang pengalaman hidup sang penulis. Ketika remaja ia menetap di Jerman
bagian timur (DDR).1

Dalam Kurzgeschichte ini hanya terdapat satu tokoh, yaitu ich. Pemakaian ich di
dalam cerita ini menunjukkan bahwa apa yang terjadi di dalam cerita bisa dialami oleh semua
orang Jerman timur. Cerita ini menceritakan kejadian di tahun 1990 ketika terjadi penyatuan
Jerman. Pada awal cerita tokoh ich menceritakan perubahan yang terjadi setelah penyatuan
Jerman, seperti perubahan pada pemakaian istilah.

“Die Kaufhalle hieß jetzt Supermarkt, Jugendherbergen wurden zu Schullandheimen,


Nickis zu T-Shirts und Lehrlinge Azubis.“ (Hal. 32, Zeile 17-18)

Perubahan pemakaian istilah ini diulang beberapa kali untuk menegaskan terjadinya
perubahan. Berikut di bawah ini adalah tabel perubahan pemakaian istilah.

Sebelum Penyatuan Sesudah Penyatuan


Jerman Jerman
Kaufhalle Supermarkt
Nickis T-Shirts
Lehrlinge Azubis
Schnipsel Fahrschein
Pop-Gymnastik Aerobic
Poliklinik Ärztehaus
Speckitonne Grünen Punkt
Mondos Kondome
Pionierhaus Freizeitzentrum
Pionierleiter Vertrauenslehrer
Arbeitsgemeinschaften Interessengemeinschaften
1
lihat lampiran 1

1
Schalter Terminal
Verpfelgungsbeutel Lunchpaketen
Zweigstellen Filialen
Polylux Overheadprojektor
Türöffner Fahrgastwunsch

Tokoh ich juga menceritakan tentang perubahan yang terjadi pada teman-temannya.
Teman-temannya yang berbicara dengan nada yang aneh dan mereka terlihat seperti
Medi&Zini. Dalam kalimat di bawah terdapat kata die Wende yang berarti proses peralihan
dari sistem ekonomi sosialis menjadi sistem ekonomi kapitalis di Jerman timur yang terjadi
sekitar tahun 1989 dan 1990.2

„Und Mitschüler, die vor der Wende in den Westen gemacht hatten, wie damals hieß,
tauchten plötzlich auf dem Schulhof auf, als seien sie nie weg gewesen, redeten so komisch betont und
sahen aus wie aus der Medi&Zini“ (Hal. 32, Zeile 29-31)

Perubahan ini juga terjadi pada penyebutan bangsa Fiji menjadi orang asing atau
pencari suaka. Menurut tokoh ich hal ini terdengar sangat aneh karena bangsa Fiji memang
sudah ada di sana dan tidak pernah pergi.

„Zu den Fidschis durfte ich nicht länger Fidschis sagen, sondern musste sie
Ausländer oder Asylbeweber nennen, was irgendwie sonderbar klang, waren sie doch immer
da und zwischendurch nie weg gewesen.“(Hal. 33, Zeile 1-4)

Namun, untuk orang-orang Kuba dan Mozambik mereka tidak diberi julukan orang
asing, karena mereka menganut paham komunis seperti paham yang dianut orang-orang yang
ada di DDR.3

„Für die Kubaner und die Mosambikaner hatte es kein Wort gegeben. Keins vorher
und keins hinterher“( Hal. 33, Zeile 4-5)

Pada bagian selanjutnya diceritakan bahwa tokoh ich bersama teman-temannya


menonton film „Olsenbande“ di hari Minggu pagi dan ia merasa sangat senang dan tertawa
setengah mati. „Olsenbande“ merupakan sebuah film serial komedi kriminal yang bercerita
tentang 3 orang kriminal yang berasal dari Denmark. 4 Di bagian ini ia menceritakan bahwa

2
Lihat lampiran 8
3
Lihat lampiran 7
4
Lihat lampiran 4

2
hanya orang-orang Jerman timur yang mengerti tentang film Olsenbande, sedangkan orang
Jerman barat tidak mengerti. 5 Namun, orang-orang Jerman, baik Jerman barat maupun
Jerman timur mengenal Karel Gott, seorang penyanyi yang berasal dari Praha, yang belajar
bahasa Jerman dan sekarang sudah menjadi warga negara Jerman. 6 Tokoh ich sendiri tidak
mengerti tentang masalah itu.

„Als nach der Wende dann jedoch kein Mensch im Westen je von Egon, Benni, und
Kjeld gehört hatte, dafür aber jeder Karell Gott kannte, den Prager, von dem wir nun
wirklich glaubten, er habe nun für uns Deutsch gelernt und gehöre uns, uns ganz allein, da
verstand ich gar nichts mehr.“ (Hal. 33, Zeile 30-34)

Kemudian penulis juga menceritakan, ketika teman-temannya, yang berasal dari


Heidelberg berbicara kepada tokoh “ich” , teman-temannya membutuhkan waktu untuk
terbiasa dengan istilah itu. Merekapun merasa senang ketika mereka pulang ke rumahnya
berbeda dengan tokoh ‘‘ich“, ia merasa iri dengan hal tersebut karena ia sudah tidak memiki
rumah.

„Wenn mir heute Freunde aus Heidelberg oder Krefeld sagen, sie hätten lange
gebraucht, sich daran zu gewöhnen, dass Raider nicht mehr Raider, sondern irgendwann
Twix hieβ, und wie sehr sie es lieben, in den Ferien für ein paar Tage nach Hause zu Fahren,
weil man es da zwar nicht lange aushalte, aber alles noch so schön wie früher und an seinem
Platz sei, dann beneide ich sie ein bisschen.“ ( Hal. 34, Zeile 1-6)

Tokoh ‘‘ich“ membayangkan dirinya dengan mengingat masa kecilnya, dan


merasakan bahwa kenangan itu sangat membekas di hatinya, hal ini terkait dengan memori
yang ia simpan, sehingga ia rindu dengan masa kecilnya. Hal ini juga merupakan memori
kolektif. Memori kolektif merupakan sesuatu yang ada dalam memori bersama pada suatu
masyarakat.7 Maksudnya hal ini bisa dialami oleh siapapun, dalam konteks cerita ini adalah
orang-orang Jerman timur atau lebih khusus lagi anak-anak yang berasal dari Jerman timur
dan mengalami penyatuan Jerman.

„Ich stelle mir in solchen Momenten heimlich vor, noch einmal durch die
Straβen unserer Kindheit gehen zu können, die alten Schulwege entlangzulaufen,

5
Lihat lampiran 3
6
Lihat lampiran 5
7
Lihat lampiran 9

3
vergangene Bilder, Ladeninschriften und Gerüch wieder zu finden.“(Hal 34. Zeile 7-
10)

Kemudian tokoh “ich“ memaparkan kesedihannya tentang kehilangan masa anak-


anaknya, dan ia tidak memiliki rumah dan tidak tahu harus kemana, sejak itu pula ia tidak
memiliki lagi masa kecilnya. Hal ini menunjukan bahwa kampung halaman adalah tempat
yang selalu dirindukan. Di sana tempat berkumpul keluarga, saudara, dan teman.

„Doch unsere Helden von damals leben schon lange nicht mehr, und weil unsere
Kindheit ein Museum ohne Namen ist , fehlen mir die Worte dafür: weil das Haus keine
Adresse hat, weiss ich nicht, welchen Weg ich einschlagen soll. Und komme in keiner
Kindheit mehr an.“ (Hal.34 Zeile 31-35)

Dalam cerita ini diceritakan pengalaman penulis tentang masa kecilnya. Ketika ia
masih anak-anak, ia mengalami peristiwa penyatuan Jerman, dimana banyak perubahan yang
terjadi di sekelilingnya. Dalam cerita ini beberapa kali ia menyebutkan tentang perubahan-
perubahan yang terjadi terutama pada perubahan pemakaian istilah. Dalam cerita ini juga
diceritakan tentang keadaan sekolah, olahraga di sekolah, film kesukaannya yang sudah tidak
ada lagi ketika proses penyatuan Jerman berlangsung.8

Dalam cerita ini sebenarnya yang dipermasalahkan oleh tokoh ich adalah perubahan
pemakaian istilah bahasa. Bahasa dirinya yaitu bahasa Jerman timur harus menyesuaikan
dengan bahasa Jerman barat dan bahasa Jerman timur merupakan bahasa asing. Di sini ia
mempermasalahkan mengapa bahasa Jerman timur yang merupakan bahasa sehari-harinya
menjadi bahasa asing. Hal ini jelas terlihat dari judul ceritanya, Fremdworte, dan
pengulangan perubahan pemakaian istilah oleh tokoh ich.

Kemudian pada akhir cerita tokoh ich menyatakan bahwa masa kecilnya tidak akan
pernah datang lagi. Ia menyatakan bahwa pahlawan di masa kecilnya tidak hidup lagi, karena
masa kecilnya seperti museum tanpa nama. Kemudian ia menyatakan bahwa ia tidak
menyukai perubahan pemakaian istilah karena baginya itu sama seperti sebuah rumah tanpa
alamat. Ia sendiri tidak bisa kembali ke rumah masa kecilnya mungkin karena keadaan
daerahnya sudah berubah atau rumahnya sudah tidak ada.

8
Lihat lampiran 6

4
Cerita ini menceritakan sebuah krisis identitas yang terjadi pada tokoh ich, yaitu ia
merasa bahwa ia adalah orang Jerman timur, namun setelah terjadi penyatuan Jerman, ia
merasa seperti asing dengan keadaan di sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh adanya
perubahan keadaan dan perubahan pemakaian istilah. Menurut tokoh ich mengapa orang
Jerman timur harus memakai istilah Jerman barat.

Biografi Jana Hensel

Jana Hensel adalah seorang penulis dan wartawan. Ia lahir di Leipzig pada tahun
1976. Ia melanjutkan studinya di Leipzig, Marseille, Berlin, dan Paris. Pada tahun 2002 ia
menerbitkan buku berjudul Zonenkinder. Sekarang ia menetap di Berlin.

Tahun 2005 ia menerjemahkan buku berbahasa Prancis „Goodbye Tristesse:


Bekenntnisse eines unbequemen Zeitgenossen“ karya Camille de Toledo yang diterbitkan di
Tropen Verlag. Tahun 2008 terbit buku „Neue deutsche Mädchen“ yang ia tulis bersama
Elisabeth Raether. Awal Oktober 2009 terbit kumpulan essainya yang berjudul „Achtung
Zone – Warum wir Ost-deutschen anders bleiben sollten“ di Piper Verlag.

Awal September 2010 Jana Hensel mendapatkan penghargaan Theodor-Wolff-Preis


der deutschen Zeitungen untuk artikelnya yang berjudul „Vater Morgana“ yang dimuat di
koran DIE ZEIT.9

Tema-tema karangannya pada umumnya tentang masa kecil anak-anak Jerman timur.
„Zonenkinder“ menurutnya berarti anak-anak yang berada di zona peralihan. Zona peralihan
di sini maksudnya adalah daerah dimana dahulu adalah daerah DDR, namun setelah
penyatuan Jerman daerah tersebut bukan lagi DDR.10

Kesimpulan

Cerita ini merupakan sebuah biographischer Bericht11 dari masa kecil tokoh ich atau
Jana Hensel sendiri. Inti dari cerita ini adalah krisis identitas. Krisis identitas tersebut dialami
oleh tokoh ich karena banyak perubahan yang terjadi di sekelilingnya, seperti perubahan
keadaan dan perubahan pemakaian istilah sehari-hari. Penulis menekankan pada pengalaman
masa kecilnya karena ia merasa masa kecil adalah waktu yang paling berharga dan ia
kehilangan masa kecilnya. Masa kecilnya hilang karena terjadinya perubahan-perubahan itu.
9
Lihat lampiran 2
10
Lihat lampiran 6
11
Lihat lampiran 1

5
LAMPIRAN

1. http://www.buechervielfrass.de/archiv.php4?was=351 diunduh tanggal 06 April


2011 pukul 18:11

Zonenkinder
von Hensel, Jana (Deutschland)

Genre: Biographischer Bericht


Stichwörter: BRD - DDR, Wende, Nachwende
Verlag: Rowohlt Verlag
ISBN: 3-498-02972-X
Format: gebunden, 174 S.
Erscheinungsjahr: 2002
Preis: € (D) 14,90 / sFr 25,80

Buchbesprechung

Inhalt:
Jana Hensel war dreizehn, als die Mauer fiel. Von einem Tag auf den anderen war ihre
Kindheit zu Ende. Timurtrupp, Milchgeldkassierer, Korbine Früchtchen oder die "Trommel":
Die vertrauten Dinge des DDR-Alltags verschwanden gleichsam über Nacht - und ein
Abenteuer begann. Plötzlich war überall Westen, die Grenze offen, die Geschichte auch. Von
der Freiheit erwischt, machte sich eine ganze Generation daran, das veränderte Land neu zu
erkunden, mal mutig und mal zögerlich, mal lustvoll und mal distanziert.

Bemerkungen:
Jana Hensel, 1976 in Leipzig geboren, Studium in Leipzig, Marseille, Berlin und Paris. 1999
Herausgeberin der Leipziger Literaturzeitschrift "Edit", 2000 der Internatanthologie "Null"
(zusammen mit Thomas Hettche). Jana Hensel lebt in Berlin.

2. http://www.janahensel.de/cms/vita/ diunduh tanggal 06 April 2011 pukul 16:03

Jana Hensel wurde 1976 in der Nähe von Leipzig geboren. Sie studierte in Leipzig, Berlin,
Marseille und Paris. 1999 gab sie die Literaturzeitschrift EDIT heraus, 2000 zusammen mit
Thomas Hettche die Internetanthologie NULL.

2002 erschien „Zonenkinder“ im Rowohlt Verlag. Der Essayband wurde in meh-rere


Sprachen übersetzt.

2005 übersetzte Jana Hensel „Goodbye Tristesse: Bekenntnisse eines unbequemen


Zeitgenossen“ von Camille de Toledo, erschienen im Tropen Verlag, aus dem Französischen
ins Deutsche.

2008 erschien „Neue deutsche Mädchen“, gemeinsam mit Elisabeth Raether.

6
Anfang Oktober 2009 erschien der Essayband „Achtung Zone - Warum wir Ost-deutschen
anders bleiben sollten“ im Piper Verlag.
Unter www.achtung-zone.de bloggt die Autorin zum aktuellen Buch.

Anfang September 2010 erhielt Jana Hensel den Theodor-Wolff-Preis der deutschen
Zeitungen für den Artikel “Vater Morgana” (DIE ZEIT). Der Theodor-Wolff-Preis ist die
renommierteste Auszeichnung der deutschen Zeitungsbranche.

Jana Hensel lebt als


freie Journalistin und
Autorin in Berlin.

3. http://en.wik
ipedia.org/wi
ki/Egon_Olsen diunduh tanggal 07 April 2011, pukul 22:18

Reception and influence

The role of Egon Olsen was Ove Sprogøe's most successful and also last film role.[6] Sprogøe
was honoured with a Bodil in 1975 for Olsen-Bandens sidste bedrifter.[7] The role had a
legendary renown in former East Germany,[8] and while many West Germans are unable to
associate the name of the franchise with the Danish films, nearly all Eastern Germans can at
least cite Benny's catchphrase "mächtig gewaltig, Egon" (Danish "Skide godt, Egon!" - in
English literally "shit-good", but "Bloody good, Egon!" will catch the spirit better). Critics
hypothesise that Egon's talent for improvisation impressed East Germans living under a
socialist economy of scarcity, more than James Bond did, fighting his enemies with the
newest technological gimmicks.[9]

4. http://de.wikipedia.org/wiki/Olsenbande diunduh tanggal 07 April, pukul 22:20

Olsenbande
aus Wikipedia, der freien Enzyklopädie
Wechseln zu: Navigation, Suche

Unter dem Titel Olsenbande werden vierzehn dänische Kriminalkomödien


zusammengefasst. Die von 1968 bis 1998 entstandenen Filme erzählen von den immer neuen
Versuchen dreier Krimineller, durch einen „großen Coup“ reich zu werden.

Die Ganoven werden von Ove Sprogøe (Bandenchef Egon Olsen), Poul Bundgaard (Kjeld)
und Morten Grunwald (Benny) dargestellt. Die Autoren der Drehbücher sind Henning Bahs
und Erik Balling. Balling führte, außer beim letzten, bei allen Filmen Regie.

In Dänemark, der DDR und Polen wurde die Reihe ein großer Erfolg. Einige der Filme waren
auch im westdeutschen, Schweizer und österreichischen Fernsehen zu sehen, erreichten dort

7
aber bei weitem nicht den Bekanntheitsgrad wie in der DDR. Das ist wahrscheinlich auch auf
die westdeutsche Synchronisation zurückzuführen, welche niemals die Qualität derjenigen
der DEFA erreichte. Nach der Wende sendeten neben dem Mitteldeutschen Rundfunk (MDR)
fast alle dritten Programme Deutschlands die Filme der Olsenbande und trugen damit zu ihrer
Verbreitung im Westen Deutschlands bei.

5. http://de.wikipedia.org/wiki/Karel_Gott diunduh tanggal 07 April 2011 pukul


22:26

KAREL GOTT

Karel Gott (* 14. Juli 1939 in Pilsen), auch als goldene Stimme aus Prag bezeichnet, ist ein
tschechischer Schlagersänger, der unter anderem auch auf Deutsch singt. Zudem ist er als
bildender Künstler tätig.

6. http://dspace.upce.cz/bitstream/10195/28642/2/ZachovaA_Ostalgie%20in%20der
%20neusten_JC_2008.pdf.txt diunduh tanggal 08 April 2011, pukul 00:37

2.2.2.1 Zonenkinder
Die Handlung
Das erste Kapitel beginnt mit dem Mauerfall. Für Jana Hensel bedeutete die Wende das Ende
ihrer Kindheit. Sie erzählt über die Schule, Schulsport und die beliebten Literatur- und Filmhelden,
die nach der Wende plötzlich verschwunden sind.
Ich habe nach einem Begriff gesucht, der benennt, was mit der
DDR nach 1989 passiert ist. Das ist noch nicht BRD, das ist aber auch nicht mehr DDR, das ist
eine Zwischenform. Und das ist für mich die Zone. Deshalb sind wir Zonenkinder. Wir sind
sozialisiert in der EX-DDR, in Ostdeutschland. Nicht in der DDR, sonst wären wir DDR-Kinder.
Wir sind aufgewachsen in einer Zeit, wie ich das ja auch schreibe, "in der nichts mehr so war, wie es
einmal war, und in der noch nichts so ist, wie es mal sein wird".

7. http://de.wikipedia.org/wiki/DDR diunduh tanggal 08 April 2011, pukul 00:58

Verfassung [Bearbeiten]
→ Hauptartikel: Verfassung der Deutschen Demokratischen Republik

Die DDR verstand sich selbst als sozialistischen Staat. Sowohl der Staatsaufbau als auch die
Organisation von Parteien und Massenorganisationen folgten den Prinzipien des sogenannten
Demokratischen Zentralismus. Die eigentliche Macht ging von der kommunistischen Partei,
der Sozialistischen Einheitspartei Deutschlands, und deren Gremien aus.

Der Führungsanspruch der SED war seit 1968 wie folgt in Artikel 1 der Verfassung der DDR
festgehalten:

(Text 1968): „Die Deutsche Demokratische Republik ist ein sozialistischer Staat
deutscher Nation. Sie ist die politische Organisation der Werktätigen in Stadt und
Land, die gemeinsam unter Führung der Arbeiterklasse und ihrer marxistisch-
leninistischen Partei den Sozialismus verwirklichen.“

8
8. http://de.wikipedia.org/wiki/Die_Wende diunduh tanggal 08 April 2011, pukul
01:03

Die Wende
From Wikipedia, the free encyclopedia

Die Wende (German pronunciation: [diː ˈvɛndə], The Change or The Turn) marks
the complete process of the change from socialism and planned economy to
market economy and capitalism in East Germany around the years 1989 and
1990. It encompasses several processes and events which later have become
synonymous with the overall process.

9. http://www.mail-archive.com/psikologi_net@yahoogroups.com/msg00384.html diunduh
tanggal 08 April 2011 pukul 07:52
Memori mempunyai peran penting dalam perkembangan kognitif manusia,
hampir dalam seluruh kehidupan manusia memori berperan; dalam
penalaran, persepsi, pemecahan masalah, sampai pengambilan keputusan.
Bicara memori biasanya menunjuk pada pemrosesan informasi,
pemeliharaan sepanjang waktu dan pemanfaatannya. Berdasarkan tingkat
pemrosesan informasi dibedakan menjadi episodik dan semantik memori,
pembedaan ini menekankan pada aspek keluwesan atau fleksibilitas
manusia dalam memproses informasi dengan pengelaborasian. Sedangkan
kolektif memori merupakan sesuatu yang ada dalam memori bersama suatu
masyarakat tertentu, ada yang hidup dan ada yang terhambat
(collective occlusion) . Dalam pemrosesan informasi sampai menjadi
memori yang termodifikasi dengan rapi dalam pikiran-faktor individu
dan lingkungan ikut berperan serta, sehingga terdapat memori yang
diajarkan (learned memory) dan memori yang hidup (lived memory).

También podría gustarte