Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
1. Mengetahui Evidence Based Nursing pada penyakit stroke khususnya dalam
manajemen BAK sehingga dapat diterapkan dalam menerapkan asuhan
keperawatan serta meningkatkan kualitas hidup pasien.
2. Mengetahui penyebab terjadinya penyakit stroke serta cara penanganannya.
C. Manfaat
1. Bagi Perawat
a. Menambah pengetahuan tentang stroke khususnya penanganan BAK pasien
stroke yang juga terdapat inkontinensia urin berdasarkan Evidence Based
Nursing.
1
b. Dapat memberikan intervensi pada klien dengan penyakit stroke pada lansia.
c. Dapat mengetahui prosedur dalam melakukan intervensi pada klien dengan
stroke.
2. Bagi Masyarakat
Dapat menambah pengetahuan tentang stroke pada lansia.
3. Bagi Klien dan Keluarga
Dapat tanggap terhadap gejala-gejala atau faktor resiko dari penyakit stroke.
2
BAB II
LITERATUR REVIEW
A. Lansia
a. Definisi
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Secara biologis
penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus
menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya
terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan
terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.
Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada
sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak
lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa
kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga
dan masyarakat.
Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah
suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : usia
pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia
tua (old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
4
Wanita : penurunan estrogen, penurunan ukuran uterus, penurunan sekresi, atrofi linea,
epitel vagina
Pria : penurunan kadar testosteron, penurunan jumlah sperma, penurunan ukuran testis
5
B. Bladder Training
Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih
yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik (UMN
atau LMN), dapat dilakukan dengan pemeriksaan refleks-refleks:
1. Refleks otomatik
Refleks melalui saraf parasimpatis S2-3 dan simpatis T12-L1,2, yang bergabung
menjadi n.pelvikus. Tes untuk mengetahui refleks ini adalah tes air es (ice water test).
Test positif menunjukkan tipe UMN sedangkan bila negatif (arefleksia) berarti tipe
LMN.
2. Refleks somatic
Refleks melalui n.pudendalis S2-4. Tesnya berupa tes sfingter ani eksternus dan
tes refleks bulbokarvernosus. Jika tes-tes tersebut positif berarti tipe UMN, sedangkan
bila negatif berarti LMN atau tipe UMN fase syok spinal.
1. Tentukan dahulu tipe kandung kemih neurogeniknya apakah UMN atau LMN
2. Rangsangan setiap waktu miksi
3. Kateterisasi:
a. Pemasangan indwelling cathether (IDC)=dauer cathether
6
fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan
potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot.
b. Kateterisasi berkala
7
C. Stroke
a. Definisi
Stroke didefinisikan sebagai suatu manifestasi klinik gangguan peredaran darah
otak yang menyebabkan defisit neurologik (WHO, 1971). Stroke atau juga dikenal
dengan cedera serebrovaskular (CVS) merupakan kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak. Individu yang terutama
beresiko mengalami CVS adalah lansia dengan hipertensi, diabetes,
hiperkolesterolemia, atau penyakit jantung. Pada CVS, hipoksia serebral yang
menyebabkan cedera dan kematian sel neuron.
b. Epidemiologi
Di seluruh bagian dunia, stroke merupakan penyakit yang terutama mengenai
populasi usia lanjut. Insidensi pada usia 75-84 tahun sekitar 10 kali dari populasi 55-
64 tahun. Di Inggris stroke merupakan penyakit kedua setelah infark miokard akut
(AMI) sebagai penyebab kematian utama usia lanjut, sedangkat di Amerika stroke
masih merupakan penyebab kematian usia lanjut ketiga. Dengan makin
meningkatnya upaya pencegahan terhadap penyakit hipertensi, diabetes mellitus, dan
gangguan lemak, insiden stroke di Negara-negara maju makin menurun. Di Perancis
stroke disebut sebagai serangan otak yang menunjukkan analogi kedekatan stroke
dengan serangan jantung.
c. Penyebab
Stroke biasanya disebabkan karena salah satu dari 4 kejadian berikut :
1. Thrombosis.
Aterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyeban
utama thrombosis serebral dan merupakan penyebab yang paling umum terjadi.
Tanda-tanda thrombosis serebral ini bervariasi. Sakit kepala merupakan awitan
yang tidak umum terjadi. Beberapa pasien mengalami pusing, perubahan kognitif,
atau kejang, dan beberapa mengalami awitan yang tidak dapat dibedakan dari
hemoragi intraserebral atai embolisme serebral. Secara umum thrombosis serebral
tidak terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau
parastesia pada setengah tubuh dapat menjadi awitan paralisis berat pada
beberapa jam atau hari.
8
Thrombosis ini tidak hanya terjadi pada pembuluh darah otak tetapi dapat juga
terjadi di pembuluh darah leher.
2. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain). Abnormalitas patologik pada jantung kiri, seperti
endocarditis infektif, penyakit jantung reumatik, dan infark miokard, serta infeksi
pulmonal, adalah tempat-tempat asal emboli. Embolus biasanya menyumbat arteri
serebral tengah, atau cabang-cabangnya yang merusak sirkulasi serebral.
3. Iskemia serebral
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena konstriksi
atheroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
4. Hemoragi serebral
Hemoragi dapat terjadi diluar durameter (ekstradural atau epidural), dibawah
durameter (subdural), diruang subarachnoid (hemoragi subarakhnoid), atau dalam
substansia otak (hemoragi intraserebral). Hemoragi intraserebral merupakan yang
paling umu terjadi pada pasien dengan hioertensi dan aterosklerosis serebral,
karena perubahan degenerative menyebabkan terjadinya rupture pembuluh darah.
Stroke sering terjasi pada kelompok usia 40-70 tahun.
d. Jenis Stroke
Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat diklasifikasikan
menjadi :
1. Stroke hemoragik
Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid yeng
disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada saat
melakukan aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran
umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi
yang tidak terkontrol.
9
Stroke non hemoragik dapat juga diklasifikasikan berdasarkan perjalanan
penyakitnya, yaitu :
e. Faktor Resiko
10
l. Penyalahgunaan obat
m. Konsumsi alcohol
a. Pertambahan usia
b. Keturunan
f. Manifestasi Klinis
11
- Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi
- Perubahan penilaian
6. Deficit - Kehilangan kontrol diri
emosional - Labilitas emosional
- Penurunan toleransi pada situasi yang
menimbulkan stress
- Depresi
- Menarik diri
- Rasa takut, bermusuhan dan marah
Perasaan isolasi
-
Selain defisit neurologis yang sudah dijelaskan diatas, pasien stroke juga
mengalami disfungsi kandung kemih. Setelah stroke pasien mungkin mengalami
inkontinensia urinarius sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal/bedpan, karena kerusakan
control motoric dan postural.
Tiba-tiba mati rasa atau kelemahan pada wajah, lengan, atau kaki, terutama pada
satu sisi tubuh
Kebingungan tiba-tiba, kesulitan berbicara atau pemahaman
Mendadak kesulitan untuk melihat pada satu atau kedua mata
12
Tiba-tiba kesulitan berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan atau koordinasi
Mendadak sakit kepala parah dan tidak diketahui penyebabnya
g. Patofisiologi
Cedera vascular serebral (CVS), yang sering disebut dengan stroke, adalah
cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak.
1. Stroke Hemoragik
Stroke Hemoragik terjadi apabila pembuluh darah di otak pecah sehingga
menyebabkan iskemia dan hipoksia si sebelah hilir. Penyebab stroke hemoragi
antara lain: hipertensi, pecahnya aneurisma, malformasi arteri venosa. Pembuluh
darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan
subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang
seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat
dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan
menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang
mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema,
spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan
aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.
2. Stroke Iskemik
Penyumbatan arteri yang menyebabkan stroke iskemik dapat terjadi akibat
thrombus (bekuan darah di arteri serebri) atau embolus (bekuan darah yang
berjalan ke otak dari tempat lain di tubuh).
a. Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi akibat onklusi aliran darah, biasanya karena
aterosklerosis berat. Sering kali individu mengalami satu atau lebih serangan
iskemik sementara (transient ischemic attack, TIA) sebelum stroke
trombotik yang sebenarnya terjadi. TIA adalah gangguan fungsi otak singkat
yang reversible akibat hipoksia serebral. TIA mungkin terjadi ketika
pembuluh darah aterosklerosis mengalami spasme, atau saat kebutuhan
oksigen otak meningkat dan kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena
aterosklerosis yang berat. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya
aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi
tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi berkurang, menyebabkan
13
iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada
jaringan otak.
Berdasarkan definisi TIA berlangsung kurang dari 24 jam. TIA yang
sering terjadi menunjukkan kemungkinan terjadinya stroke trombotik yang
sebenarnya. Stroke trombotik biasanya berkembang dalam periode 24 jam.
Selama periode perkambangan stroke, individu dikatakan mengalami stroke
in evolution. Pada akhir periode tersebut, individu dikatakan mengalami
stroke lengkap (completed stroke).
b. Stroke Embolik
Stroke Embolik berkembang setelah oklusi arteri oleh embolus yang
terbentuk di luar otak. Sumber umum embolus yang menyebabkan stroke
adalah jantung setelah infark miokardium atau fibrilasi atrium, dan embolus
yang merusak arteri karotis komunis atau aorta. Emboli disebabkan oleh
embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis.
Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba
berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak
dapat disebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.
h. Penatalaksanaan
1. Pada pasien yang CVSnya dapat diidentifikasi bersifak iskemik, agen trombolitik,
seperti aktivatorplasminogen jaringan (tissueplasminogen activator, TPA) dapat
diberikan. TPA harus diberikan sedini mungkin (minimal 3 jam pertama serangan)
agar lebih efektif dalam mencegah kerusakan jangka panjang. Akantetapi
berbahayajika mengatasi stroke hemoragik dengan trombolitik karena agen ini
dapat meningkatkan perdarahan dan memperburuk hasil
2. Stroke hemoragik dapat diatasi dengan penekanan pada perhentian perdarahan dan
pencegahan kekambuhan. Mungkin diperlukan pembedahan
3. Terapi obat yang menghambat saluran ion yang mendeteksi asam dikembangkan
untuk membatasi kerusakan akibat stroke
4. Semua pasien stroke diterap dengan tirah baring dan penurnan stimulus eksernal
untuk mengurangi kebutuhan oksigen serebral. Tindakan untuk menurunkan
tekanan dan edema intracranial dapat dilakukan
14
5. Terapi fisik, bicara, dan okupasional sering perlu dilakukan.
i. Pemeriksaan Diagnosis
Diagnosis CVS yang cepat sangat penting untuk meminimalkan kerusakan. CT
scan adalah metode pilihan untuk penkajian tanda akut CVS. CT sangat sensitive
terhadap hemoragik, suatu pertimbangan penting karena ada perbedaan vital pada
terapi stroke iskemik versus stroke hemoragik. CT scan berfungsi untuk melihat
jenis patologi, lokasi lesi, ukuran lesi, menyingkirkan lesi non vaskuler.
MRI lebih sensitif dalam mengidentifikasi kerusakan otak dari pada CT scan,
tetapi MRI lebih lambat dari pada CT scan. Jadi dalam keadaan darurat lebih di
pilih memakai CT scan. Akan tetapi, setelah penggunaan awal memakai CT scan,
MRI direkomendasikan untuk menentukan lokasi kerusakaan yang tepat dan
memantau lesi.
Hitung darah tepi lengkap: diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau
trombositosis atau infeksi sebagai faktor risiko stroke.
Waktu protrombin, waktu protrombin parsial: ditujukan kepada penderita dengan
antibodi antifosfolipid (waktu protrombin parsial memanjang).
Analisa urin: hematuria terjadi pada endokarditis bakterialis subakut (SBE)
dengan stroke iskemik oleh karena emboli.
Kecepatan sedimentasi (LED): peningkatan LED menunjukkan kemungkinan
adanya vaskulitis, hiperviskositas atau (SBE) sebagai penyebab stroke.
Kimia darah: peningkatan kadar glukosa, kolesterol atau trigliserida dalam darah.
Foto rontgen dada: pelebaran ukuran jantung sebagai suatu sumber emboli pada
suatu stroke atau akibat hipertensi lama; dapat menemukan suatu keganasan yang
tidak diduga sebelumnya.
Elektrokardiogram: dapat menunjukkan adanya aritmia jantung, infark miokard
baru, atau pelebaran atrium kiri.
j. Komplikasi
1. Individu yang mengalami CVS mayor pada bagian yang mengontrol respon
pernapasan atau kardiovaskuler dapat menyebabkan kematian. Destruksi area
ekspresif atau represif pada otak akibat hipoksia dapat menyebabkan kesulitan
komunikasi. Hipoksia pada area motoric otak dapat paresis. Perubahan emosional
dapat terjadi pada kerusakan korteks yang mencakup system limbic.
15
2. Hematoma intraserebral dapat disebabkan oleh pecahnya aneurisma atau strok
hemoragik yang menyebabkan cedera otak sekunder ketika tekanan intracranial
meningkat.
BAB III
ISI JURNAL
A. Jurnal
Judul : Bladder management and the functional outcome of elderly ischemic
stroke patients
Pengarang : E.H. Mizrahi , A.Waitzman , M.Arad , T.Blumstein , A.Adunksy
Tahun terbit : 2010
B. Kasus
Tn. M (62 tahun) didiagnosis stroke non hemoragik sejak 3 bulan yang lalu. Tn.
M mengalami hemiparese dextra, sehingga harus bedrest di rumah, dan juga afasia.
Sepuluh hari yang lalu Tn. M mengalami serangan stroke kembali dan dibawa ke rumah
sakit, namun saat ini Tn. M sudah kembali ke rumahnya. Tn. M hanya tinggal berdua
dengan istrinya Ny. P (58 th), anaknya hanya sesekali datang menengoknya. Sudah 3
hari terakhir ini Tn. M sering ngompol, sehingga Ny. P kelelahan untuk membersihkan
dan mengganti sprei. Ny. P bingung harus bagaimana lagi dan menanyakan masalah ini
ke Ns. A yang bekerja sebagai perawat home care yang bertugas di rumah Tn. M,
kemudian Ns. A mencari solusi yang tepat untuk masalah Tn. M.
PICO :
P : Pasien lansia stroke dengan inkontinensia urin
16
I : Bladder Manajemen
C:-
O : Peningkatan pasien dalam menahan BAK
Pertanyaan klinis :
Adakah terapi untuk mengatasi masalah inkontinensia urin pada pasien stroke ?
C. Isi Jurnal
Latar Belakang Jurnal
Dahulu para ilmuan telah membuat teori tentang penuaan seperti Aristoteles dan
Hipocrates yang berisi tentang suatu penurunan suhu tubuh dan cairan secara umum.
Sekarang dengan seiring jaman banyak orang yang melakukan penelitian dan penemuan
dengan tujuan supaya ilmu itu dapat semakin jelas, komplek dan variatif. Ahli teori
telah mendeskripsikan proses biopsikososial penuaan yang kompleks. Tidak ada teori
yang menjelaskan teori penuaan secara utuh. Semua teori masih dalam berbagai tahap
perkembangan dan mepunyai keterbatasan. Namum perawat dapat menggunakannnya
untuk memahami fenomena yang mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan klien
lansia. Proses menjadi tua itu pasti akan dialami oleh setiap orang dan menjadi dewasa
itu pilihan.penuaan bukan progresi yang sederhana, jadi tidak ada teori universal yang
diterima yang dapat memprediksi dan menjelaskan kompleksitas lansia.
Stroke merupakan penyebab utama ketidakmampuan secara meyeluruh pada
tubuh seseorang (Murray dan Lopez, 1997) dan penyebab kedua pemicu kematian.
Masalah inkontinensia urin dan bladder management merupakan masalah yang terjadi
setelah stoke dan 60 % dari pasien membutuhkan rehabilitasi lingkungan. (Borrie et al).
Secara umum, prediksi pada pasien yang mengalami pemburukan fungsi tubuh setelah
terjadinya stroke akut antara lain dapat diidentifikasi pada usianya, inkontinensia urin,
kelemahan kognitif, delirium dan tingkat dukungan sosial (Wilkinson et al 1997).
Contoh pada komunitas pasien lansia yang terkena stroke dan dengan kondisi
kelemahan kognitif dan inkontinensia urin mereka lebih menderita kemunduran fungsi
tubuh.
17
Pasca-Stroke yang mengalami masalah pada kandung kemih merupakan resiko
tinggi ketidakmampuan, kematian, dan memerlukan perawatan institusional secara
menyeluruh. Dalam studi pencarian sumber dengan menggunakan kriteria kolaborasi
Cohrane, manajemen masalah kandung kemih hasil dari inkontinensia urin yang terjadi
selama kurun waktu 6-12 bulan setelah onset stroke. Beberapa penyebab dari
kelemahan kandung kemih tidak hanya terjadi setelah stroke, pada otot dekstruktor
yang bergerak hiperaktif, namun kondisi tersebut mengalami kesalahan sehingga
menyebabkan ketidakmampuan neuron motorik atas, tetapi juga gabungan dari kondisi
hypoactive detrusor atau kondisi ketidaknormalan urodinamik. Dalam kondisi ini, otot
yang lain seperti kemampuan bahasa dan beberapa dampak dari stroke secara spesifik
seperti kelemahan kognitif memyebabkan kemampuan pemenuhan basal melemah,
hasil berbeda pada tingkatan kelemahan bladder. Dari sini kondisi klinis inkontinensia
urin dapat teridentifikasi, hal kecil yang dapat kita tahu tentang hubungan yang
mungkin terjadi antara level bladder manajement dan hasil dari fungsi tubuh dalam
FIM score. Inkontinensia urin mungkin tidak relevan terhadap ketidakmampuan pasien
mengatur kondisi tersebut. Tujuan dari penelitian dalam jurnal ini adalah mengevaluasi
kondisi, dan mengetahui apakah tingkatan perawatan manajemen kandung kemih
berhubungan terhadap fungsi tubuh secara umum pada pasien lansia yang terkena
stroke. Pada penelitian ini juga mengkaji pada evaluasi rehabilitasi yang potensial dan
mungkin dilakukan secara tidak realistik oleh staf medik dan caregiver.
Setting
Pusat rehabilitasi geriatri terdiri dari 36 unit tempat tidur. Departemen ini terdiri
dari berbagai macam tim interdisiplin yaitu ahli geriatri, fisioterapi, perawat, terapis
rehabilitasi (fisik, okupasi dan bicara), pelayanan sosial, dan psikolog yang bertemu 2
kali seminggu untuk megevaluasi status masing-masing pasien. Selama pertemuan ini
ditetapkan rencana pengobatan dan integrasi staf serta promosi rehabilitasi yang
efektif. Tipe pasien yaitu yang menjalani terapi fisik dan okupasi lebih dari 6 jam per
minggu.
Management Bladder
18
FIM bladder score terdiri dari 5 point atau kurang mengidentifikasi management
level bladder yang tergantung (butuh bantuan : 1- bantuan total, 2- bantuan maksimal,
3- bantuan moderate, 4- kontak minimal, 5- perlu pengawasan) sedangkan score yang
lebih tinggi (6- modified independence, 7- complete independence) yang
mengindikasikan level manajemen bladder pasien secara mandiri/tidak memerlukan
bantuan.
Analisis Data
Hasil
Total pasien sejumlah 1187 dengan stroke akut. 268 pasien masuk dalam criteria
eksklusi karena usia <60 tahun, stroke jenis hemorhagic, data yang hilang, rehabilitasi
yang lebih pendek dari 7 hari dan meniggal di RS. Jumlah total pasien untuk analisis
data sebanyak 919 orang dengan stroke iskemik selama 7 tahun. Tingkat manajemen
kandung kemih ditentukan oleh Fungtional Independent Measurement (FIM) sub-skala
core relevan dengan control kandung kemih. Skor (FIM) kurang dari 5 poin ditentukan
sebagai rendahnya manajemen kandung kemih (Low-BMS) sementara skor FIM lebih
besar dari 5 ditentukan sebagai nilai manajemen kandung kemih tinggi (High-BMS).
Terdapat 594 pasien kandung kemih dengan skor manajemen bladder rendah
(Low-BMS) dan 325 pasien dengan skor manajemen bladder tinggi (High-BMS), saat
masuk. Dibandingkan dengan High-BMS, pasien Low-BMS sedikit lebih tua (p =
0,002), rata-rata usia pasien dengan Low BMS adalah 76,32 tahun sedangkan pada
pasien dengan High BMS adalah 74,59 tahun. Selain itu pasien dengan Low BMS
menunjukkan rehabilitasi yang lebih lama (p <0,001) dan skor Mini Mental State
Examination (MMSE) yang rendah (p <0,001). Total skor FIM saat masuk dan keluar
19
pada Low-BMS lebih rendah, namun jumlah total skor FIM pada saat keluar lebih
tinggi, dibandingkan dengan High-BMS (19,5 ±16,46 vs 12,55 ±17.59, p= 0,07).
Analisis regresi multiple linear menunjukkan bahwa total FIM pada saat keluar
berbanding terbalik dikaitkan dengan Low-BMS saat masuk (beta =- 0,407; p <0,001)
dan umur (beta = -0,127; p <0,001). Skor tinggi MMSE (beta = 0,334; p <0,001)
muncul sebagai prediksi total skor FIM yang lebih tinggi pada saat keluar. Low BMS
secarain dependen prediktif untuk total skor FIM pada saat keluar (beta = 0,166; p
<0,001). Temuan menunjukkan bahwa pasien dengan Low-BMS dapat mempengaruhi
hasil rehabilitasi pada pasien stroke usia tua. Namun, pasien Low-BMS memperoleh
keuntungan yang signifikan yaitu peningkatan skor FIM.
Pembahasan
20
penggunaan penelitian outcome FIM untuk memonitor perubahan selama rehabilitasi
pasien, mudahnya karena kebanyakan data FIM terlihat tertutup pada model
konvensional. Disamping keterbatasan ini, penelitian selanjutnya akan lebih
menguntungkan jika menggunakan sampel pasien lebih banyak. Program rehabilitasi
semacam ini dirancang untuk menangani pasien lansia yang mengalami strok, hal
tersebut dapat menurunkan derajat seleksi bias serta meningkatkan validitas dari
penelitian.
Kesimpulan dari outcome fungsional pada pasien lansia yang mengalami stroke
iskemi lebih menguntungkan dibandingkan dengan scoring tinggi manajemen bladder.
Namun demikian, skor bladder yang rendah tidak seharusnya memegang efek samping
dari kurangnya keberhasilan peningkatan fungsional selama rehabilitasi. Percobaan
klinis dibutuhkan untuk menilai kemungkinan efek dari perbedaan intervensi dari
manajemen bladder atau outcome fungsional.
Penerapan di Indonesia
Intervensi Bladder Management untuk pasien pasca stroke dapat diterapkan di
Indonesia.
21
BAB IV
IMPLIKASI KEPERAWATAN
22
Perawat mampu mengembangkan penelitian terkait masalah stroke maupun
gejala sisa pasca stroke
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam jurnal manajemen bladder diatas terdapat 594 pasien dengan Low-BMS
dan 325 pasien dengan High-BMS. Rata-rata usia pasien Low-BMS sedikit lebih tua
dibandingkan dengan pasien High-BMS, serta pasien dengan Low BMS menunjukkan
rehabilitasi yang lebih lama dibandingkan dengan pasien High-BMS. Namun, jumlah
total skor FIM pada pasien Low BMS saat keluar lebih tinggi, dibandingkan dengan
pasien High-BMS. Pasien dengan Low-BMS dapat mempengaruhi hasil rehabilitasi
pada pasien stroke usia tua yang mempunyai score MMSE rendah. Namun, pasien Low-
BMS memperoleh keuntungan yang signifikan yaitu peningkatan skor FIM.
B. Saran
1. Bagi mahasiswa
Meningkatkan pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan stroke
khususnya penanganan BAK pasien stroke yang juga terdapat inkontinensia urin.
2. Bagi perawat
23
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan asuhan
keperawatan bagi pasien stroke khususnya penanganan BAK pasien stroke yang
juga terdapat inkontinensia urin.
3. Bagi masyarakat
- Ikut serta dalam upaya pencegahan stroke.
- Mendukung keluarga yang menderita stroke dengan tanggap terhadap gejala dan
faktor resikonya.
DAFTAR PUSTAKA
Mauk, Kristen L. 2006. Gerontological Nursing: Competencies For Care. USA: Jones and
Bartlett Publishers, Inc.
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume 1. Jakarta : EGC
24