Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Analisis wacana kritis (sering disingkat AWK) menyediakan teori dan metode yang bisa
Adigunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan
perkembangan sosial dan cultural dalam domain-domain sosial yang berbeda. Yang
membingungkan, label “analisis wacana kritis” digunakan dua cara yang berbeda: Norman
Fairclough (1995a,1995b) menggunakannya untuk menguraikan pendekatan yang telah dia
kembangkan dan sebagai label yang diberikan kepada gerakan lebih luas dalam analisis wacana
yang beberapa pendekatannya, termasuk pendekatan yang dikemukakannya, merupakan bagian
dari gerakan itu (Fairclough dan Wodak 1997). Gerakan yang luas ini merupakan entitas yang
agak longgar dan tidak ada konsensus bersama mengenai milik siapa gerakan tersebut. Kendati
pendekatan Fairclough terdiri atas sederet premis filsafat, metode teoretis, dan teknik-teknik
khusus analisis linguistik, gerakan analisis wacana kritis terdiri atas beberapa pendekatan yang
memiliki kesamaan dan perbedaan. Di bawah ini kami kemukakan secara singkat beberapa unsur
utama yang sama-sama dimiliki semua pendekatan itu. Selanjutnya, kami sajikan pendekatan
Fairclough, karena menurut hemat kami dalam gerakan analisis wacana kritis, pendekatan itu
mewakili metode dan teori yang paling cepat perkembangannya di bidang komunikasi, budaya,
dan masyarakat.
Di antara pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam AWK, bisa diidentifikasi lima ciri umum.
Ciri-ciri umum itulah yang memungkinkan bisa digolongkannya pendekatan-pendekatan tersebut
ke dalam gerakan yang sama. Dalam uraian berikut kami kemukakan tinjauan Fairclough dan
Wodak (1997:271ff).
1. Sifat Struktur dan Proses Cultural dan Sosial Merupakan Sebagian Linguistik-Kewacanaan
Wacana memberikan tuntunan kepada tidak hanya pada bahasa tulis dan bahasa tutur namun
juga pencitraan visual. Para ahli menerima pendapat bahwa analisis teks yang terdiri dari
pencitraan visual harus mempertimbangkan karakteristik khusus semiotik visual dan hubungna
antara bahasa dan pencitraan. Namun, dalam analisis wacana kritis (seperti dalam analisis
wacana secara umum) ada kecenderungan menganalisis gambar seolah merupakan teks
linguistik. Ada perkecualiannya yakni semiotik sosial (mis. Hodge dan Kress 1998; Kress dan
van Leeuwen 1996, 2001) yang merupakan usaha untuk mengembangkan teori dan metode
analisis teks multi modal – yakni teks yang menggunakan sistem-sistem semiotik yang berbeda
seperti bahasa tulis, pencitraan visual dan/atau bunyi.
Bagi analisis wacana kritis, wacana merupakan bentuk praktik sosial yang menyusun dunia
sosial dan disusun oleh praktik-praktik sosial lain. Sebagai praktik sosial, wacana berada dalam
hubungan dialektik dengan dimensi-dimensi sosial yang lain. Wacana tidak hanya memberikan
kontribusi pada pembentukan dan pembentukan kembali struktur sosial namun merefleksikan
pembentukan dan pembentukan kembali struktur sosial tersebut. Ketika Fairclough menganalisis
bagaimana praktik kewacanaan dalam media ambil bagian dalam pembentukan bentuk-bentuk
baru politik, dia juga mempertimbangkan bahwa praktik-praktik kewacanaan dipengaruhi oleh
kekuatan kemasyarakatan yang tidak memiliki sifat kewacanaan tunggal (mis. struktur sistem
politik dan struktur kelembagaan media). Konsepsi “wacana” membedakan pendekatan ini
dengan pendekatan-pendekatan yang lebih bersifat pos-strukturalis, seperti teori wacana Laclau
dan Mouffe, bahasa sebagai wacana merupakan bentuk tindakan (cf. Austin 19620 tempat yang
digunakan orang-orang untuk mengubah dunia dan bentuk tindakan yang didasarkan pada situasi
soaial dan historis dan memiliki hubungan dialektik dengan aspek-aspek lain dimensi sosial.
Susunan kewacanaan masyarakat tidak berasal dari permainan bebas ide-ide yang ada di benak orang-orang,
melainkan berasal dari praktik sosial yang berakar kuat dalam dan berorientasi pada struktur sosial material yang rill
(Fairclough 1992b:66)
Di sini Fairclough menyatakan bahwa jika wacana hanya dipandang bersifat konstitutif,
pernyataan ini selaaras dengan pernyataan bahwa entitas sosial hanya berasal dari dalam benak
orang-orang. Namun sebagaimana yang kita lihat, ada ketidaksepakatan di antara para teoretisi
mengenai apakah pandangan wacana itu sangat penting bagi bentuk idealism ini. Misalnya,
Laclau dan Mouffe menyanggah dengan keras bahwa menyalahkan idealism dengan dalih bahwa
konsepsi wacana sebagai sesuatu yang bersifat kontitutif tidaklah menyiratkan bahwa objek fisik
itu tidak ada, melainkan bahwa objek fisik itu mendapatkan makna hanya melalui wacana.
Analisis Laclau dan Mouffe menggarap analisis tekstual linguistik yang konkret atas penggunaan
bahasa dalam interaksi sosial. Keadaan ini berbeda dengan teori wacana Laclau dan Mouffe yang
tidak melaksanakan kajian empiris dan sistematis penggunaan bahasa dan berbeda dengan
psikologi kewacanaan yang melakukan kajian retoris, namun bukan kajian linguistik penggunaan
bahasa.
Dalam analisis Laclau dan Mouffe, dinyatakan bahwa praktik kewacanaan memberikan
kontribusi bagi penciptaan dan pereproduksian hubungan kekuasaan yang tak setara antara
kelompok-kelompok sosial – misalnya , antara kelas-kelas sosial, perempuan dan laki-laki,
kelompok minoritas dan mayoritas etnis. Efek-efek tersebut dipahami sebagai efek ideologis.
Berlawanan dengan teoretisi wacana, termasuk Laclau dan Mouffe dan Foucault, analisis Laclau
dan Mouffe dalam hal ini tidak sepenuhnya menyimpang dari tradisi Marxist. Sebagian
pendekatan analisis wacana kritis menganggap pandangan kekuasaan Foucauldian sebagai
kekuatan yang mampu menciptakan subjek dengan agen – yakni, sebagai kekuatan produktif –
bukannya sebagai properti yang dimiliki oleh individu yang dipaksakan kepada orang lain. Tapi
sekaligus, pendekatan ini menyimpang dari Foucault karena mencantumkan konsep ideologi
untuk melakukan teotetisasi terhadap penaklukan satu kelompok sosial agar patuh kepada
kelompok-kelompok sosial yang lain. Focus penelitian analisis wacana kritis dengan demikian
merupakan praktik kewacanaan yang mengonstruk representasi dunia, subjek sosial dan
hubungan sosial termasuk hubungan kekuasaan dan peran yang dimainkan praktik-praktik
kewacanaan itu guna melanjutkan kepentingan kelompok-kelompok sosial khusus. Fairclough
mendefinisikan analisis wacana kritis sebagai pendekatan yang berusaha melakukan
penyeledikan secara sistematis terhadap
Hubungan-hubungan kausalitas dan penentuan yang sering samar antara (a) praktik kewacanaan, peristiwa dan teks
dan (b) struktur-struktur cultural dan sosial yang lebih luas, hubungan dan proses (…) bagaimana praktik, peristiwa
dan teks muncul di luar dan secara ideologis dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan perjuangan atas kekuasaan (…)
bagaimana kesamaran hubungan-hubungan antara wacana dan masyarakat itu sendiri merupakan faktor yang
melanggengkan kekuasaan dan hegemoni. (Fairclough 1993:135; dicetak kembali dalam Fairclough 1995a:132f).
Analisis wacana kritis itu bersifat “kritis” maksudnya adalah bahwa analisis ini bertujuan
mengungkap peran praktik kewacanaan dalam upaya melestarikan dunia sosial, termasuk
hubungan-hubungan sosial yang
melibatkan hubungan kekuasaan yang tak sepadan. Oleh sebab itu, tujuannya adalah agar bisa
memberi kontribusi kepada perubahan sosial di sepanjang garis hubungan kekuasaan dalam
proses komunikasi dan masyarakat secara umum.
5. Penelitian Kritis
Oleh sebab itu, analisis wacana kritis tidak bisa dianggap sebagai pendekatan yang secara politik
netral (sebagaimana ilmu sosial objektivis), namun sebagai pendekatan kritis yang secara politik
ditujukan bagi timbulnya perubahan sosial. Atas nama emansipasi, pendekatan analisis wacana
kritis memihak pada kelompok-kelompok sosial yang tertindas. Pengkritik bertujuan menguak
peran praktik kewacanaan dalam melestarikan hubungan kekuasaan yang tak setara dengan
tujuan mempercepat hasil analsis wacana kritis untuk memperjuangkan tercapainya perubahan
sosial yang radikal. Ketertarikan Fairclough terhadap “kritik eksplanatoris” dan “kesadaran
bahasa kritis”, yang akan kita bahas kembali nanti, ditujukan untuk mencapai tujuan ini.
Meski ada lima ciri umum sebagaimana yang dikemukakan di atas, ada perbedaan-perbedaan
mencolok antara pendekatan-pendekatan analisis wacana kritis ditilik dari pemahaman
teoretisnya tentang wacana, ideology dan perspektif historis serta juga metode yang digunakan
untuk kajian empiris penggunaan bahasa dalam interaksi sosial dan efek ideologisnya. Misalnya,
sebagaimana yang telah disebutkan, sebagian pendekatan analisis wacana kritis tidak memiliki
pemahaman yang sama dengan pemahaman Foucault tentang kekuasaan sebagai sesuatu yang
produktif. Di antaranya adalah pendekatan sosiokognitif van Dijk yang juga menyimpang dari
kebanyakan pendekatan lain karena memiliki pandangan yang sama dengan kognitivis.
Fairclough telah mengonstruk kerangka yang penting untuk menganalisis wacana sebagai praktik
sosial yang akan kita uraikan secara terinci. Seperti yang kami lakukan ketika dalam
menguraikan konsep Laclau dan Mouffe, di sini kami dihadapkan pada ledakan konsep, karena
kerangka Fairclough berisi sederet konsep yang berbeda yang saling berkaitan satu sama lain
dalam model tiga dimensi yang kompleks. Selanjutnya, makna konsep-konsep tersebut agak
beragam dalam karya Fairclough yang berbeda, kerangka yang senantiasa mengalami
perkembangan. Pada kasus-kasus dimana perubahan-perubahan konseptual sangat penting bagi
pemahaman kerangka yang dikemukakan Fairclough, kami akan memberikan pemahaman
khusus pada perubahan-perubahan konseptual tersebut. Pada bagian bahasan pertama ini, kami
menyajikan kerangka Fairclough melalui uraian konsep-konsep utama dan kemungkinan
menjelaskan keterkaitannya satu sama lain. Uraian tersebut kemudian diikuti oleh salah satu
contoh empiris Fairclough yang menggambarkan penerapan kerangka tersebut.
Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, perbedaan penting antara Fairclough (dan analisis
wacana kritis secara umum) dan teori wacana postrukturalis adalah bahwa pada analisis wacana
kritis, wacana tidak hanya dipandang bersifat konstitutif, namun juga tersusun. Pendekatan
Fairclough intinya menyatakan bahwa wacana merupakan bentuk penting praktik sosial yang
mereproduksi dan mengubah pengetahuan, identitas dan hubungan sosial yang mencakup
hubungan kekuasaan dan sekaligus dubentuk oleh struktur dan praktik sosial yang lain. Oleh
sebab itu, wacana memiliki hubungan dialektik dengan dimensi-dimensi sosial yang lain.
Fairclough memahami struktur sosial sebagai hubungan sosial di masyarakat secara keseluruhan
dan di lembaga-lembaga khusus dan yang terdiri atas unsur-unsur kewacanaan dan non
kewacanaan (Fairclough 1992b:64). Praktik non kewacanaan primer misalnya adalah praktik
fisik yang terlibat dalam pembangunan jembatan, sebaliknya praktik-praktik seperti jurnalisme
dan hubungan masyarakat terutama bersifat kewacanaan (1992b:66f).
Sekaligus, Fairclough membuat jarak dengan strukturalisme dan lebih condong ke posisi yang
lebih bersifat postrukturalis saat menyatakan bahwa praktik kewacanaan tidak hanya
mereproduksi struktur kewacanaan yang telah ada tapi juga menantang struktur dengan
menggunakan kata-kata untuk menggambarkan apa yang terdapat di luar struktur itu.
Akan tetapi, dia menyimpang cukup besar dari teori wacana postrukturalisn karena memusatkan
perhatiannya pada upaya membangun suatu model teoretis dan piranti metodologis yang
digunakan untuk penelitian empiris dalam interaksi sosial sehari-hari. Berlawanan dengan
kecendurangan postrukturalis, dia menekankan pentingnya melakukan analisis sistematis bahasa
tutur dan tulis misalnya pada media masa dan wawancara penelitian.
Pendekatan Fairclough merupakan bentuk wacana analisis yang berorientasi pada teks dan yang
berusaha menyatukan tiga tradisi (Fairclough 1992b:72) yakni:
Analisis tekstual yang terinci di bidang linguistik (termasuk tata bahasa fungsional
Michael Halliday).
Fairclough menggunakan analasis teks yang terinci untuk memperoleh wawasan tentang
bagaimana proses kewacanaan beroperasi secara linguistik dalam teks-teks khusus. Akan tetapi,
dia mengkritik pendekatan liguistik yang hanya semata-mata memusatkan perhatian pada analisis
tekstual dan menggunakan pemahaman simplisistis dan palsu tentang hubungan antara teks dan
masyarakat. Bagi Fairclough, analisis teks itu sendiri tidaklah memadai bagi analisis wacana, dan
juga tidak bisa menjelaskan hubungan antara struktur dan proses cultural dan kemasyarakatan.
Untuk itu diperlukan perspektif interdisipliner yang menggabungkan analisis tekstual dan sosial.
Keuntungan yang bisa dipetik dari menggantungkan diri pada tradisi makrososiologis adalah
bahwa tradisi ini menganggap praktik sosial itu dibentuk oleh struktur sosial dan hubungan
kekuasaan dan masyarakat tidaklah sadar atas protes tersebut. Kontribusi tradisi interpretative
adalah memberikan pemahaman tentang bagaimana masyarakat secara aktif menciptakan dunia
yang terikat pada kaidah dalam praktik sehari-hari (Fairclough 1992b).
Konsep-konsep utama
Fairclough menerapkan konsep wacana dengan menggunakan tiga hal yang berbeda. Pertama,
dalam pengertian yang paling abstrak, wacana mengacu pada penggunaan bahasa sebagai praktik
sosial. Kedua, wacana dipahami sebagai jenis bahasa yang digunakan dalam suatu bidang
khusus, seperti wacana politik atau ilmiah. Ketiga, dalam penggunaan yang paling konkret,
wacana digunakan sebagai suatu kata benda yang bisa dihitung (suatu wacana, wacana tertentu,
wacana-wacana, wacana-wacana tertentu) yang mengacu pada cara bertutur yang memberikan
makna yang berasal dari pengalaman-pengalaman yang dipetik dari perspektif tertentu. Pada
pengertian terakhir ini, konsep tersebut mengacu pada wacana apapun yang bisa dibedakan dari
wacana-wacana lain, misalnya wacana feminis, wacana neoliberal, wacana Marxist, wacana
konsumen, atau wacana environmentalis. Fairclough membatasi istilah itu yakni wacana, pada
sistem semiotik seperti bahasa dan pecitraan yang berlawanan dengan Laclau dan Mouffe yang
memperlakukan semua praktik sosial sebagai wacana.
identitas sosial;
Oleh karena itu, wacana mempunyai tiga fungsi: fungsi identitas, fungsi “hubungan” atau
relasional dan fungsi “ideasional”. Dalam analisis manapun, ada dua dimensi wacana yang
sangat penting yakni:
peristiwa komunikatif – misalnya penggunaan bahasa seperti artikel surat kabar, film,
video, wawancara atau pidato politik (Fairclough 1995b) dan
tatanan wacana – konfigurasi semua jenis wacana yang digunakan dalam lembaga
atau bidang sosial. Jenis-jenis wacana terdiri atas wacana dan aliran (aliran).
Aliran adalah penggunaan khusus bahasa yang berpartisipasi dalam dan menyusun bagian
praktik sosial tertentu, misalnya aliran wawancara, aliran berita, atau aliran iklan. Contoh tatanan
wacana mencakup tatanan wacana media, pelayanan kesehatan, atau rumah sakit individu.
Dalam tatanan wacana, ada praktik-praktik kewacanaan khusus tempat dihasilkan dan
dikonsumsi atau diinterpretasikannya teks dan pembicaraan (Fairclough, 1998:145).
Setiap peristiwa penggunaan bahasa merupakan peristiwa komunikatif yang terdiri atas tiga
dimensi:
Praktik sosial.
Analisis wacana dan aliran yang diwujudkan dalam pemproduksian dan pengonsumsian
teks (tingkat praktik kewacanaan);
Fairclough memahami hubungan antara peristiwa komunikatif dan tatanan wacana sebagai
hubungan yang bersifat dialektikal. Tatanan wacana merupakan suatu sistem, namun bukan
sistem dalam pengertian strukturalis. Yakni, peristiwa-peristiwa komunikatif tidak hanya
mereproduksi tatanan wacana, tapi juga memperluasnya melalui penggunaan bahasa yang
kreatif. Misalnya, ketika petugas humas di rumah sakit menggunakan wacana konsumen, dia
mengandalkan suatu sistem – tatanan wacana – namun untuk itu dia juga ambil bagian dalam
menyusun sistem tersebut.
Bagaimanakah hubungan antara tatanan wacana dan konteks sosialnya? Dalam karya awalnya,
Fairclough cenderung menghubungkan tatanan wacana dengan lembaga-lembaga khusus,
sekaligus menekankan bahwa wacana dan tatanan wacana bisa bekerja lintas batas kelembagaan.
Dalam bukunya yang ditulis bersama Chouliaraki, konsep “tatanan wacana” dipasangkan dengan
konsep “bidang”nya Pierre Bourdieu. Dengan kata lain, bagi Bourdieu, suatu bidang merupakan
domain sosial yang relative otonom yang mematuhi logika sosial khusus. Para aktor dalam suatu
bidang khusus, seperti bidang olahraga, politik atau media, berjuang mencapai tujuan yang sama,
dan dengan demikian bidang-bidang itu berhubungan satu sama lain dengan cara yang saling
bersaing dimana posisi aktor individu yang berada di bidang itu ditetapkan oleh jarak realtifnya
dari tujuan itu.
Antarkewacanaan terjadi bila aliran dan wacana yang berbeda diartikulasikan bersama-sama
dalam suatu peristiwa komunikatif. Praktik kewacanaan kreatif tempat digabungkannya jenis-
jenis wacana dengan cara yang baru dan kompleks – dalam “campuran antarkewacanaan” baru –
merupakan suatu tanda dan daya dorong ke arah perubahan kewacanaan dan juga perubahan
sosio-kultural. Di sisi-sisi lain, praktik-praktik kewacanaan tempat bercampurnya wacana dengan
cara-cara konvensional merupakan indikasi dan bekerjanya stabilitas tatanan wacana yang
dominan dan dengan demikian juga tatanan social yang dominan.
Suatu teks bisa dipandang sebagai hubungan dalam rantai intertekstual (Fairclough, 1995b:77f).
Serangkaian teks tempat masing-masing teks memasukkan unsure-unsur yang berasal dari teks
atau teks-teks lain.
Aliran kritis mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang memperhatikan proses
produksi dan reproduksi proposisi dari berbagai peristiwa komunikasi baik secara historis
maupun secara institusi. Pandangan konstrutivisme belum menganalisis faktor-faktor hubungan
kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk
jenis-jenis subjek tertentu berikut pelaku-pelakunya. Aliran tersebut lebih mengutamakan pada
konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak
dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa ditafsirkan secara bebas sesuai pikirannya. Hal
tersebut sangat dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa menurut
aliran kritis dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk subjek tertentu, tema
tertentu, dan strateginya. Oleh karena itu, analisis wacana mengungkapkan kekuasaan yang ada
dalam setiap proses bahasa, batasan yang diperkenankan menjadi wacana dan representasi yang
terdapat dalam masyarakat.
Kata wacana atau discourse sendiri berasal dari bahasa latin discursus yang berarti
“dis” dari dalam arah yang berbeda, dan “currere” yang berarti lari. Dalam kamus kita
akan menemukan arti kata dari discourse adalah percakapan. Analisis wacana sendiri
pada mulai digunakan untuk penelitian linguistik, dan sastra yang pada mulanya sangat
membatasi diri pada penganalisaan kalimat, Secara singkat analisis wacana kritis dapat
keterkaitannya dengan banyak hal apakah itu ideologi, kekuasaan, lambang bahasa,
institusi, struktur sosial, dan sebagainya (Fairclough dalam Eriyanto, 2005: 7).
sebuah kalimat bisa terungkap bukan hanya karena ada yang membentuk dengan
motivasi subjektif tertentu, namun tidak berarti dapat dibentuk semaunya karena ia
mengawali dari proses “kenapa meneliti dengan wacana” prinsip-prinsip dasar itu
tertentu.
D. Kendati bahasa, dan sistem simbol lainnya adalah wujud nyata dari aktivitas
menghubungkan masyarakat yang makro dengan teks yang makro, dan menurut dia
titik tolak teks adalah bahasa merupakan praktik kekuasaan, sehingga analisisnya
memokuskan bagaimana bahasa itu dibentuk dan terbentuk oleh konteks sosial tertentu
penting praktik sosial, yang mereproduksi dan mengubah pengetahuan, identitas dan
hubungan sosial yang mencakupi hubungan kekuasaan, sekaligus dibentuk oleh
Pendekatan Fairclough dalam menganalisa teks berusaha menyatukan tiga tradisi yaitu
linguis di mana mereka hanya analisa teks dan berkutat pada teks itu sendiri, tidak
itu sendiri baginya tidaklah memadai untuk suatu analisis wacana, dan tak dapat untuk
Bukankah ketika menganalisis bahasa atau teks hanya sekedar pada ranah lingusis
merupakan proses kreatif manusia yang terlahir dari pikiran sehari hari dan interaksi
contained within culture” (Hudson dalam Aminuddin dkk, 2002: 6), lalu siapakah
pembentuk kebudayaan tersebut?, bukankah semua dikonstruksi oleh lingkungan yang
Atas kritiknya itu Fairclough membangun sebuah model yang disebut sebagai model
tiga dimensi untuk analisis wacana, tiga dimensi itu ialah: teks, discourse practice, dan
banyak konstribusi untuk pengkontruksian: identitas sosial, hubungan sosial, dan sistem
Gambar 1.2 Model tiga dimensi Fairclough (Jorgensen &Phillips, 2007: 288).
Dalam model Fairclough teks dianalisa secara linguis, dengan melihat kosakata,
semantic, dan tata kalimat. Ia juga memasukkan koherensi dan kohesivitas (Eryanto,
2001: 286). Semua elemen yang dianalsis tersebut dipakai untuk melihat tiga masalah
Salah satu ide terpenting Fairclough yang dia ilhami dari Bakhtin dan Kristeva yang
disebut dengan intertekstualitas di mana teks dibentuk oleh teks sebelumnya, saling
menanggapi dan salah satu bagin dari teks tersebut mengantisipasi lainnya, dengan
demikian menurut Bakhtin teks selalu berada dalam praktik sosial meninggalkan jejak
pemaknaan yang telah dibangun oleh pengguna terdahulu maupun yang dibayangkan
akan datang (Faruk HT dalam Aminuddin dkk, 2002: 114). Gagasan Bakhtin lainnya
teks bersifat dialogis sehingga para pencipta teks sesungguhnya tidak berbicara
dengan diri sendiri tapi juga dengan teks lain, karena yang dihadapi bukan objek
melainkan tuturan orang lain (Faruk HT dalam Aminuddin dkk, 2002: 120).
dengan proses produksi dan konsumsi teks karena bagi Fairclough analisis linguistik
teks tak pelak melibatkan analisis praktik kewacanaan dan sebaliknya (Jorgensen &
Phillips, 2007: 128). Analisis ini dipusatkan bagaimana pengarang teks bergantung
pada wacana-wacana yang ada untuk mencipta suatu teks dan bagaimana penerima
teks menerapkan wacana yang ada dalam konsumsi dan interpretasi teks (Jorgensen &
Phillips, 2007: 128), karena melalui discourse practice sebagai tempat menggunakan,
menghasilkan, dan menkonsumsi teks bisa membentuk dan dibentuk oleh praktik sosal.
Dalam Konteks Sosiocultural practice harus dipahai bahwa teks yang muncul sangat
dipengaruhi oleh bagaimana konteks sosial akan sangat mempengaruhi wacana yang
terbentuk, dalam analisis wacana hal ini penting karena tujuan dari analisis wacana
kritis adalah untuk mengeksplorasi antara penggunaan bahasa dan praktek sosial,
fokusnya adalah untuk memperlihatkan peran kewacanaan dalam melestarikan tatanan
sosial dan perubahan sosial. Dalam pandangan Fairclough setiap peristiwa komunikatif
dipandang sebagai praktik sosial yang berfungsi untuk mendukung atau menentang
tatanan wacana (Jorgensen & Phillips, 2007: 130). Sosiocultural Practice bisa
dipandang sebagaipenggambaran bagaimana kekuatan-kekuatan yang ada dalam
masyarakat memaknai dan menyebarkan ideology kepada masyarakat, dan teks
ditentukan oleh Sosiocultural practice bukan melalui hubungan langsung tapi dimediasi
oleh discourse practice (Eryanto,2001: 321). Artinya ketika ada perubahan wacana
maka disitu terjadi perubahan sosiokultural, begitu pula sebaliknya.
Kebudayaan bagaimanapun juga merupakan sebuah rangkaian yang dibentuk oleh formasi-
formasi sosial, dan relasinya dengan keadaan kekuasaan yang ada. Apa yang dikatakan Karl
Marx, bagaimana suatu penguasaan basis, atau penguasaan faktor produksi serta hubungan-
hubungan antar produksi akan mempengaruhi suatu superstruktur, yang tercakup di dalam basis
itu sendiri adalah kekuatan produktif (alat-alat kerja, pekerja, pengalaman atau teknologi) dan
hubungan-hubungan produksi, dan yang termuat dalam superstruktur adalah, pengetahuan seni,
Dalam basis itu sendiri menurut Marx terjadi kontradiksi, di satu pihak bagaimana kekuatan
produktif berkembang, di lain sisi hubungan-hubungan produksi produksi yang tak lain
merupakan hubungan antara hak milik dan kekuasaan cenderung konservatif, kondisi ini semakin
sulit teratasi maka meletus revolusi, dan berubahlah basis dan superstuktur, inilah apa yang
Sastra sendiri merujuk dari itu mempunyai hubungan yang koheren dengan implementasi teori
marxis yang sangat klasik ini, jika kita mengingat bagaimana kemudian pada jaman pujangga
baru, kita mengingat bagaimana penerbit balai pustaka, yang aslinya adalah istal kuda Belanda
yang kemudian hari menjelma sebagai kantor penerbit, urung menerbitkan karya-karya yang
bermuatan politis.
Jika kita mau berkaca dari tulisan Pramoedya bila dibaca dari karyanya tentang Arok-Dedes,
dengan basis kekuasaan. Sebelum kejayaan Erlangga yang boleh menceritakan tentang dunia
para dewa hanya boleh dituturkan dengan tertib dan penuh aturan hanya oleh kaum Brahmana,
dengan bahasa Sansekerta, dan kitabnya tentu berbahasa sansekerta jua yang pada waktu itu
Namun naiknya Erlangga tepat di jaman berkuasanya Raja John dengan mitos pedang
bawahnya (walaupun akhirnya hal ini diruntuh oleh keturunan Erlangga sendiri yaitu Prabu
Kretajaya).
Lantas tentu peristiwa ini menyebabkan keterputusan kaum Brahmana sebagai kitab kanon dan
yang tertinggi. Akhirnya secara tidak langsung hal ini menyebabkan terakomodasinya kaum
Sudra dalam pemerintahan yang lalu melahirkan pemimpin bahkan raja seperti Tunggel
Ametung, dan Ken Arok. Bukti terakomodasinya kaum Sudra adalah dengan adanya gelas Gusti,
gelar Gusti di tanah jawa sebagai simbol kaum sudra yang mempunyai keterampilan tinggi.
Bahkan waktu itulah karya-karya indah tentang panorama situasi kahyangan dewa-dewi mulai
dicetuskan lewat karya pewayangan yang membuat berang kaum Brahmana karena dianggap
melanggar kode etik dan cara mendengarkan, dan mengisahkan tentang dewa yang menjadi tak
sakral lagi.
Dari penggambaran tadi secara jelas tersingkap bagaimana ketika sesuatu tangkup kekuasaan
berganti dan membawa watak-wataknya sendiri, di sini kita memandang bagaimana instrumen-
sebagai bukti dialektika basis dan suprastruktur, dalam konteks ini bagaimana kemudian
institusi-institusi ideologis seperti pengetahuan, seni budaya dan sebagainya sangat ditentukan
oleh prinsip-prinsip dan relasi dari yang berkuasa seperti apa yang telah diungkap Michael
Foucault tentang kuasa dan wacana. Bahkan dalam hal ini Marx memaparkan:
karsa manusia. Apakah itu hukum, seni, budaya dan apa saja yang mengisi ruang suprastruktur
bukanlah hal yang netral dari kuasa sperti anutan kaum positivistik, tentunya hal itu sangat
Gambar 1.1 Basis dan suprastruktur dalam teori marxis (Hardiman, 2004: 240).
Dalam hal ini (dialektika basis-superstruktur), terlihat ada hal yang berbau strukturalis,
bagaimana terjadi pengklasifikasian superstruktur yang ditentukan oleh basis, seakan akan
mengatakan sebuah kehendak ekonomi akan mempengaruhi dari balutan-balutan “kendaraan”
ideologi (kelompoknya yang mewakilkan apa yang menjadi suatu kepentingan dari kelompok
untuk tidak terlalu berlebihan dan membingungkan jika disebut kelas) tersebut, bahkan sastra
sendiri yang terkait andilnya sebagai bagian dari sebuah sistem superstruktur kelas. Pemikiran
Karl Marx tentang basis-superstruktur ini secara tidak langsung membuat sebuah hubungan
ynang bersifat strukturalis, mengenai strukturalisme, bahasa oleh pendiri mazhab strukturalisme-
Menurut pandangan para antropolog, tentang hubungan bahasa dan kebudayaan dapat dibedakan
menjadi tiga macam. Pertama, bahwa bahasa yang digunakan suatu masyarakat tentunya
merupakan suatu refleksi dari seluruh kebudayaan yang bersangkutan, Kedua bahasa adalah
bagian atau unsur dari kebudayaan, Ketiga bahasa adalah kondisi dari kebudayaan (Ahimsa-
Putra, 2006: 24). Karena apa yang membangun bahasa, adalah sama dengan yang membangun
kebudayaan itu sendiri yang tidak lain adalah relasi-relasi logis, oposisi, korelasi, dan lainnya
(Ahimsa-Putra, 2006: 25). Jadi bagaimanapun tentu saja praktik-praktik bahasa sebagai praktik
kebudayaan tentu juga terhubung satu sama lainnya karena itu percakapan, diskusi adalah hasil
dari kebudayaan.
Hal ini kemudian menjadi problema strukturalis, akibat sangkut pautnya dengan apa yang
dikatakan Marx yang dengan lugas memisahkan bangunan atas dan bangunan bawah, bangunan
bawah akan menentukan bangunan atas. Apa yang dia ungkapkan dengan “bukanlah kesadaran
manusia yamg menentukan keadaan, tetap keadaanlah yang akan menentukan kesadaran”
(Abdoelgani, 1965: 193), secara tersirat dapat dilihat bagaimana jika ditilik ke dalam keadaan
kelas-kelas yang berbeda, karena keadaan kelas yang berbeda maka terjadi pula pemahaman
akan kebudayaan, karena struktur ekonomi bagi Marx adalah basisnya loteng superstruktur yang
Oleh Marx waktu itu kelas dipisahkan menjadi kelas Proletar dan kelas Borjuis, baginya tentu
akan terbangun kesadaran yang berbeda pula karena materialisme yang berbeda, jikalau
superstruktur di dalamnya termasuk kebudayaan dan kesenian maka dapat kita lihat bagaimana
mencoloknya pula selera, dan gaya hidup dari kedua kelas tersebut. Kelas Borjuis tentu penyuka
musik klasik, kelas bawah tentu tidak menyukai hal tersebut karena mahal dan sifatnya yang
tertib dan banyak tata-cara beda dengan kesenian kelas bawah yang komunal, riuh, dan spontan
serta apa adanya seperti musik punk sebagai musik kaum buruh di inggris dengan lifestyles
sendiri.
Terinspirasi hal tersebut bahkan Mazhab Frankfurt membagi budaya ke dalam bentuk budaya
rendah dan budaya tinggi untuk menunjukan keterkaitan budaya dengan ekonomi-politik, di
mana budaya rendah adalah budaya massa, budayanya kaum kelas bawah yang rendahan,
bersifat massif dan murah, dan budaya tinggi dianggap sebagai oposisi binernya atau budaya
adiluhung yang bersifat ekslusif dan hanya kaum kelas atas yang mampu menjangkau (Junaedi,
2005: 5-6).
Bahkan ketika terjadi revolusi Bolshevik di Soviet, yang menggulingkan Tsar, seni tari balet
yang biasanya ditonton oleh kaum Bangsawan dan berpunya saat masa feodal di Rusia, tidak ikut
tergusur oleh Revolusi, karena berubah menjadi tontonan para pimpinan Partai Komunis saat itu.
Hal ini tidak mengherankan karena bukankah pimpinan Partai Komunis sendiri sesungguhnya
adalah dari kelas Borjuis sendiri jadi seleranya tentu kelas atas juga.
Tentu hal ini bersifat strukturalis karena sistem bahasa, dan juga sistem tanda beroposisi biner
satu dengan lainnya, kelas atas dengan budaya tingginya seperti kesenian pakaian dan segala
macam, dan kelas bawah dengan budaya orang kebanyakannya (mass culture), di sinilah kita
bisa melihat basis material menemukan basis kuturalnya sendiri. Lalu bagaimanakah dengan
canda yang tentu jika ditilik dari segi diskursus yang penuh intervensi kuasa, dan dialektikanya
dengan kebudayaan menjadi sangat relevan jika jokes menjadi tempat diskursus.
Sebuah contoh adalah tentang politik ingatan yang diamati oleh George Aditjondro terkait
tragedi Poso yang berkepanjangan sejak natal 1998, di mana dia mengamati tentang plesetan
yang timbul seperti: Koramil (korban rayuan militer), Babinsa (babini sana-sini), SSB (sisa-sisa
Brimob), selebrities (selera Brimob dan Perintis), dan efimisme untuk PSK; Tapol (tampa
babolo atau tempat berpeluk). Umumnya plesetan tersebut menertawakan tentara sekaligus
melecehkan perempuan, sebagai korban pasif (Aditjondro Handout no 3,2006: 5) bukan aktor
aktif tentu plesetan tersebut lahir dari budaya kekerasan oleh militer, dan kekerasan terhadap
Bahasa sebagai simbolisme dari pengetahuan tentang alam sekitar termasuk budaya, jika kita
melihat secara strukturalis garis oposisi biner yang ditarik Militer (Negara) Penguasa-X-warga
Poso (khususnya perempuan) budak penguasa, dan yang dipahami dari simbolisme tersebut
adalah wanita sebagai tempat untuk koban penguasa dengan budaya kekerasannya secara
biologis (reduksi Patriarkisme), sebagai cerminan dari praxis dialektika basis dan superstruktur
tentu mencerminkan apa yang terjadi di Poso, dan kita tentu akan melihat siapa korban yang
paling menderita.
Islam dan Budaya Lokal; Menyingkap Tradisi Upacara Tingkepan di Tuban
Jawa Timur
PENDAHULUAN
Istilah tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Ia
menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada
hingga sekarang. Oleh karena itu tradisi tidak menjadikan jenuh untuk dikaji dan diteliti oleh
berbagai pihak. Namun adanya tradisi tentu tidak lepas dari ajaran-ajaran atau faham-faham
kebudayaan dan keagamaan yang berkembang pada waktu itu. Proses dan pergulatan di
dalamnya pastilah ada. Tradisi tidak selamanya stagnan dan flugtuatif. Tradisi bisa saja terus
berkembang dan sangat mungkin mengalami pergeseran makna dan bentuk ritual kebiasaannya,
besar dan kecilnya bentuk pergeseran itu, karena tradisi diwarisi oleh generasi yang terus
berkembang dalam kontek kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain bahwa, tradisi tidak
hanya diwariskan tetapi ia juga dikonstruksi atau invented yang juga ditunjukan untuk
menamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan (repetition), yang secara otomatis
mengacu kepada kesinambungan masa lalu. Dan tentunya tak salah kemudian proses
kesinambungan itu terwujud dalam sebuah Akulturasi, asimilasi bahkan sampai pada Islamisasi
kebudayaan yang ada dalam masyarakat tertentu.
Artinya, munculnya istilah Islamisasi merupakan sebuah bukti adanya pergolakan diranah
interaksi dan proses sosialisasi kebudayaan ataupun penyampaian dalam kontek kepercayaan
serta keyakinan tertentu pada masyarakat itu sendiri. Bagaimana masyarakat berpikir,
bersinggungan langsung dan kemudian menerima kebudayaan serta kepercayaan itu dengan
sadar dan apa adanya. Karna memang Islam hadir merupakan sebuah upaya untuk melakukan
penyebaran diseluruh jagad raya ini. Tak jarang masyarakat menolak dan tidak
menghiraukannnya. Namun karena Islam dengan konteks ajaran keagamaan yang membumi dan
berbaur dengan keadaan kebudayaan sekitar maka ia dengan mudah dapat diterima oleh
masyarakat sekitar. Dan sampai sekarang pun ia senantiasa berbaur, berinteraksi langsung
dengan masyarakat sehingga ia tetap eksis dilingkungan sekitarnya.
Sebagaimana Tuban dan Lamongan sebagai sebuah peradaban pesisir Jawa yang dihinggapi
Islam dalam proses penyebarannya. Tak heran kemudian beberapa kebudayaan yang kemudian
tercampur bahkan bergeser yang semula ke Hindu-Hinduan sekarang bergeser lebih kepada
Islam seagai sebuah ajaran yang membumi dan kontekstual pada kebudayaan sekitar. Seperti
manganan, sesajen, meminang dan ritual-ritual lain seperti sedekah laut dan upacara kehamilan
seperti tingkepan di Tuban dan yang akan kita bahas pada halaman selanjutnya adalah tingkepan
dalam tradisi masyarakat Tuban.
PEMBAHASAN
E. Analisis
Mulai dari pertama, bermacam-macam bahan yang dipersiapkan untuk melakukan ritual upacara
tingkepan ini sangat bermacama-macam jenis. Mulai dari janur, polo pendem, cengkir, kembang
tujuh rupa, dawet dan lain sebagainya, menjadikan penasaran dan alasan untuk mengetahui
secara detail apa sebenarnya yang diinginkan dan diharpkan akan semua itu. Menurut analisis
yang penulis ketahui dan beberapa sumber referensi bahwa;
Pada catatan di atas bahwa tingkepan didominasi oleh jumlah angka dua dan tujuh. Angka dua
melambangkan dua jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan, yang salah satunya akan
dilahirkan. Sedangkan angka tujuh melambangkan usia kandungan si jabang bayi. Tidak hanya
itu punar dan polopendem melambangkan hasil bumi, selain itu bucu melambangkan cita-cita
yang tinggi dan luhur yang digantungkan setinggi langit. Kembang setaman atau kembang tujuh
rupa melambangkan suka cita atau juga masa kehamilan, sedangkan bagi orang kaya seperti
mandi tujuh kali, ganti baju tujuh kali merupakan lambang masa kehamilan yakni ketujuh bulan.
Dawet melambangkan rezeki yang melimpah dan dan uang pecahan genting melambangkan jenis
koin emas yang berwarna menyala. Selanjutnya bubur putih merah melambangkan sperma laki-
laki dan darah perempuan yang telah menyatu. Sedangkan kelapa muda melambangkan CengKir
(kencenge pikir) atau keteguhan cita.
Seluruh rangkaian upacara di atas diharapkan sekaligus terkait dengan masa krusial yang
dihadapi oleh bayi, yaitu saat menerima catatan amal dan garis nasibnya, apakah bahagia atau
sengsara. Jadi melalui upacara tingkepan tersebut diharapkan bahwa bayi yang dilahirkan akan
memperoleh kebahagiaan dunia akhirat bukan kesengsaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Salah satu bentuk jalannya kekuasaan dibentuk dengan apa yang dinamakan oleh seorang Marxis
Italia, Antonio Gramsci dengan praktik Hegemoni. Hegemoni pada awalnya merupakan sebuah
konsep politik, olehnya sendiri (Gramsci) hegemoni diartikan olehnya sebagai praktek di mana,
suatu kondisi kuatnya pengaruh kepemimpinan dalam bentuk moral maupun intelektual yang
disebar melalui perangkat-perangkat kekuasaan (Pramono dalam Santoso dkk, 2006: 90).
Titik awal Gramsci sendiri tentang konsep ini adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya dapat
menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas dibawahnya. Baik dengan kekerasan maupun secara
persuasif di mana suatu kelas berkuasa dapat melaksanakan dan mengamankan fungsi
kekuasaannya, juga untuk mencegah resistensi dari kelas-kelas dibawahnya (non kekuasaan).
Pendek kata hal tersebut berjalan sebagai sebuah resep untuk mempertahankan atau bahkan
merebut kekuasaan.
Konsep ideologi dan hegemoni Gramsci memberi banyak masukan dan perkembangan pada
kajian budaya, bagi Gramsci ideologi sesungguhnya memberi kita aturan prakis dan moral yang
berbentuk represif atau bersifat yuridis yang sangat show of force terhadap kelompok-kelompok
terhisap yang mencoba melawan, konsep ini justru menjalankan fungsinya dengan cara
terciptanya kesadaran kelas dan kesadaran akan perlawanan. Stuart Hall menulis tentang hal ini:
Hegemoni ideologi dipandang sebagai proses pemahaman tentang dunia menjadi semakin
gamblang dan ternaturalisasi sehingga cara pemahaman alternatif dunia di luar mereka menjadi
terasa aneh atau tak terpikirkan (Barker, 2005:468). Hal ini tentu merupakan sebuah upaya
menciptakan panduan akan kepatuhan kekuasaan, hal ini mirip dengan konsep ideologi yang
sudah dikemukakan sebelumnya yaitu cara kekuasaan yang menjaga status-quo dengan jalan
yang lebih mengarah kepada “negoisasi” terhadap nalar, agar takluk dan tunduk terhadap status-
quo dan digunakan dengan mengacu pada sebuah kondisi proses, di mana kelas dominan tidak
hanya mengatur tapi juga mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan kepemimpinan moral
Dalam pemaparan di atas, dapat dilihat bagaimana sebuah pengaturan kekuasaan yang
ditasbihkan oleh kaum-kaum intelektual, dan tentu saja pengaturan moral-moral tersebut
disokong oleh kelas penguasa. Oleh Gramsci sendiri penciptaan ini dibangun oleh apa yang dia
sebut intelektual organik, dan setiap kelas sesungguhnya memiliki kekuatan intelektual
organiknya sendiri. Intelektual organik adalah sebuah pengatur kelas-kelas, yang berfungsi
memberikan kepemimpinan budaya, dan sifat-sifat ideologis secara umum mengatur kehidupan
moral intelektual. Mengenai hal ini si bongkok dari Sardinia itu menulis:
Intelektual organik itu sendiri bagi Gramsci, adalah: ”elit tokoh budaya, yang mempunyai fungsi
memberi kepemimpinan budaya dan sifat-sifat ideologis secara umum” (Storey, 2004:175), tugas
mereka layaknya seorang juru bicara atau humas yang merayu massa agar tetap tunduk pada
kekuasaan, dan mengontrol mereka agar tetap berada dalam kesadaran palsu. Dari tulisan di atas
kebudayaan dan tentu saja budaya popular justru adalah suatu situs krusial dalam perebutan
hegemoni, dan ini menjadikan budaya popular sebagai tempat krusial untuk pergulatan ideologi
(Storey, 2004:469). Bisa dilihat bagaimana dalam budaya popular, gaya atau lifestyles justru
Lihatlah bagaimana pertarungan simbolis kaum Skinhead yang mengangkat gaya hidup kelas
pekerja inggris yang “kasar” untuk melawanan gaya yang mapan pada waktu, itu walaupun
perlawanan simbolis hanya bersifat terbatas karena tidak dapat mengangkat posisi struktural para
kelas pekerja, hal itu hanya dapat dilakukan bila ada politik perlawanan yang terartikulasi secara
penuh dan terorganisir. Karena simbol seperti seperti sebuah bros, dia akan dapat dipakai semua
orang bahkan yang tak mengerti esensinya lihatlah gaya Skinhead yang sekarang menjadi jualan
laku.
Sebagai contoh lagi dapat kita lihat dari agen hegemoni kapitalis yang membuat masyarakat
Indonesia terhegemoni untuk mengkonsumsi mie instan sebagai makanan sehari-hari, bahkan
pengganti nasi (melalui proses marketing sebagai jalur hegemoni), padahal Indonesia tidak
memiliki pertanian gandum yang menjadi bahan bakunya, dan disitu tertulis bermerk Indomie
bahkan dipadu dengan selera nusantara, dan ini tentu membuat Negara-negara penghasil gandum