Está en la página 1de 17

PARIWISATA SEKS ANAK

Sebuah Fenomena Negara Berkembang dan Negara Maju di Dunia Internasional

Makalah ini disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester (UTS)


Teknik Penulisan Ilmiah
Dosen: Siti Zuraida

Oleh:
Siti Octrina Malikah
209000061

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN
UNIVERSITAS PARAMADINA
2009

1
BAB I
PENDAHULUAN

Anak-anak adalah masa depan bangsa. Bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga
untuk komunitas, bangsa, dan negaranya. Mereka adalah masa depan kemanusiaan; tanpa anak maka
tidak ada masa depan. Tidak memperhatikan kualitas hidup anak sama saja dengan tidak
memperhatikan kelangsungan hidup di masa depan. Anak-anak adalah cerminan masa depan bangsa
Indonesia 20 tahun mendatang dapat disimpulkan dari anak-anaknya pada masa ini.

Pada dasarnya, kita semua berkeyakinan bahwa semua anak kelahirannya diinginkan, direncanakan, dan
oleh karena itu, masa depannya akan sangat dipedulikan. Sayang sekali hampir seluruh kajian mengenai
kehidupan anak-anak di berbagai negara terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia,
menunjukkan kenyataan yang pahit. Sebagian anak-anak tersebut mengalami berbagai bentuk
kekerasan, diskriminasi, penelantaran dan eksploitasi.

Siapakah yang dimaksud dengan anak ?


Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang nasional
yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal 1 (maka usia dewasa anak di
negara tertentu bisa berbeda). Walaupun usia 18 tahun telah digunakan berbagai komunitas Lembaga
Sosial Masyarakat (LSM) yang berkonsentrasi di bidang perlindungan hak-hak anak internasional, tetapi
masih banyak negara yang menganggap bahwa anak-anak sudah dianggap dewasa sebelum mereka
mencapai usia 18 tahun atau ketika upaya perlindungan tidak berlaku sampai 18 tahun. Misalnya Inggris
yang menganggap anak-anak telah dewasa pada usia 16 tahun ataupun seperti Indonesia yang
memperbolehkan anak-anak usia 16 tahun untuk menikah (dengan izin orang tua) maka setelah menikah
mereka dianggap dewasa, hal-hal seperti ini terjadi di berbagai negara lainnya.

Apakah status quo pendorong penulisan makalah ini ?


Laporan dari berbagai penelitian cepat yang telah dilakukan menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia
telah menjadi korban-korban perdagangan, sebagian besar di antaranya untuk tujuan seks komersial dan
lainnya dijadikan buruh anak.2 Laporan Menko Kesra (2005)3 menunjukkan berbagai perkara yang
ditangani oleh kepolisian RI selama periode 2004-2005 di mana 23 kasus dari 43 kasus perdagangan
anak untuk tujuan seksual telah terungkap dan 53 tersangka berhasil dijerat hukum. Kajian cepat di

1
Pasal 1 Konvensi PBB tentang Hak-Hak anak (KHA)
2
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Seksual terhadap Anak, Koalisi Nasional
penghapusan eksploitasi seksual komersial anak (ECPAT Affiliate group in Indonesia)
3
Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking in Person) di Indonesia, (2005)
2
Medan dan Solo4 juga menunjukkan bahwa anak-anak banyak yang dipaksa masuk ke dalam industri
seks komersial, yaitu menurut Laporan KKSP tahun 2007 di Medan lebih dari 1.500 anak dilacurkan dan
menurut Pusat Penelitian Kependudukan Universitas 11 Maret Solo pada tahun 2004 menemukan 117
anak yang dilacurkan. Laporan sebelunya juga menunjukkan bahwa anak-anak kita menjadi korban
pedofil5 manca negara yang terutama berasal dari negara-negara maju di Eropa dan Amerika yang di
antaranya mengambil gambar-gambar anak untuk diperdagangkan sebagai pornografi anak6.

Dalam kajian mengenai wisata seks di ASEAN yang dilaporkan child wise tourism, Australia, pada tahun
2007, Indonesia dianggap negara ketiga setelah Vietnam dan Kamboja sebagai negara tujuan wisata
seks yang melibatkan anak-anak.7 Dari hal ini kita dapat menyimpulkan bahwa baik secara terang-
terangan ataupun terselubung, Indonesia telah menjadi negara yang mengabaikan hak anak-anak,
mengeksploitasi mereka, dan secara tidak langsung merusak masa depan bangsa.

Apa tujuan pengangkatan topik Pariwisata Seks Anak (PSA) ini ?


Pariwisata seks anak untuk tujuan komersial bukanlah lagi sebuah atau dua buah kasus, tapi telah
menjadi suatu fenomena yang layak untuk diperbincangkan dan diperkenalkan lebih luas lagi ke publik.
Hal ini dilakukan agar dapat dilakukan pengentasan dan pengorganisasian terhadap anak-anak korban
pariwisata seks komersial ini dan juga terhadap oknum-oknum lain seperti orang-orang dewasa yang
terlibat seperti pelaku kejahatan pariwisata, birokrasi yang lemah, dan juga wisatawan asing yang
melakukan perjalanan wisata hanya untuk seks.

Pariwisata seks komersial anak adalah sub bagian dari dunia pelacuran, dan dunia pelacuran ini berada
di peringkat ketiga8 setelah senjata dan obat-obatan terlarang dalam hal banyaknya orang yang terlibat
baik sebagai korban ataupun pelaku kejahatan. Hal ini disebabkan karena pelacuran dapat memberikan
keuntungan materi yang sangat besar kepada orang-orang yang melakukan eksploitasi.

Banyak hal-hal yang menjadikan pariwisata seks komersial ini semakin lama semakin marak, misalnya
fenomena seks yang disamakan dengan makanan cepat saji (fast food). Di mana proses jual beli dapat

4
Laporan Rumah Kiri, 8 Februari 2007). Pusat penelitian kependudukan Universitas 11
Maret Solo (Tempo Interaktif, 14 April 2005)
5
Orang-orang dengan kelainan seksual, yaitu suka (secara seksual) dengan anak-anak
belum dewasa (di bawah 10 tahun) dan biasanya pedofilia ini suka dengan sejenis.
Kebanyakan orang dengan penyimpangan seksual ini adalah laki-laki
6
Rohman & Satrinne (2000). Laporan Investigasi Pedofil di Bali. Denpasar : Yayasan Anak
Kita.
7
2007 ASEAN Child-Sex Tourism Rewiew (Child wise Tourism Report, August, 2007)
8
Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Sofian. Beliau saat ini menjabat sebagai direktur
eksekutif dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) sekaligus staf ahli Deputi
Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, sampai dengan
penulisan karya ilmiah ini beliau juga menjadi trainer nasional untuk ESKA, sering menulis
artikel, buku dan jurnal mengenai ESKA dan buruh anak.
3
terlaksana dengan mudah. Permintaan dan penawaran (demand and supply) yang memberikan
keuntungan sangat besar, telah membuat adanya variasi-variasi yang ditawarkan para prostitution
supplier kepada wisatawan. Salah satu variasi yang dibuat adalah dengan disediakannya anak-anak di
dunia prostitusi untuk memenuhi hasrat seksual, yang mana hal ini telah menyebabkan banyaknya anak-
anak yang terjerumus ke dalam dunia prostitusi. Hasil akhir dari variasi ini adalah adanya perubahan
selera wisatawan domestik dan internasional dari adult prostitution menuju child prostitution.

Untuk menjelaskan bahaya-bahaya yang tercantum di atas inilah yang melatarbelakangi penulisan karya
ilmiah saya ini, agar bahaya-bahaya tersebut dapat dikuakkan ke hadapan struktur masyarakat yang
lebih luas karena dengan membeberkan permasalahan ini ke publik seluas-luasnya adalah cara yang
paling signifikan untuk membuat pandangan masyarakat terbuka dan akan mulai untuk peduli. Dengan
kepedulian sekelompok besar masyarakat akan lebih mudah untuk menghapus segala bentuk eksploitasi
terhadap anak termasuk pariwisata seks anak.

Apakah kaitan topik ini dengan bidang studi Hubungan Internasional ?


Makalah ini ditulis untuk suatu tujuan yang lebih khusus, yaitu berkeinginan menguak realita yang ada
tentang eksploitasi seksual komersial anak terutama pariwisata seks anak kepada kalangan mahasiswa
Hubungan Internasional. Agar dalam perjalanan setiap individu ke depannya paling tidak mahasiswa
Hubungan Internasional yang membaca makalah ini akan berperan aktif menanggapi dan mendukung
penghapusan pariwisata seks anak kelak karena lingkup studi HI sangat memungkinkan untuk dapat
berkontribusi di dalam permasalahan anak ini. Lingkup studi HI yang membahas sosiokultural di suatu
negara dan juga negara lain di dunia dapat membuka gerbang menuju penghapusan segala bentuk
eksploitasi terhadap anak. Andaikan semua mahasiswa HI berperan aktif mensosialisasikan hal ini ke
mata dunia dengan kapasitas yang kelak akan dimiliki para lulusan program studi HI, bukanlah tidak
mungkin akan menstimulasi penghapusan ini dengan lebih maksimal.

BAB II
PARIWISATA SEKS ANAK
4
Eksploitasi seksual komersial anak mencakup praktek-praktek kriminal yang merendahkan dan
mengancam integritas fisik dan psikososial anak. Deklarasi dan Agenda Aksi9 untuk Menentang
Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan instrumen yang pertama-tama mendefinisikan
eksploitasi seksual komersial anak sebagai :
“Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari
kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau
barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan
sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak
merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak, dan mengarah pada
bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern.”

ESKA merupakan istilah payung yang mencakup berbagai tingkah laku yang berbahaya dan salah secara
seksual. Yang masuk ke dalam lingkup eksploitasi seksual dan kekerasan seksual adalah porografi,
pelacuran, human trafficking10 untuk tujuan seksual, kawin paksa atau pernikahan dini, dan tentu saja
pariwisata seks anak. Perlu diketahui bahwa perwujudan kekerasan seksual dan eksploitasi seksual yang
berbeda-beda di atas saling berkaitan satu sama lain. Pariwisata seks anak (PSA) adalah eksploitasi
seksual komersial anak yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan yang melakukan perjalanan dari
satu tempat ke tempat lain, baik ke negara lain ataupun ke wilayah yang berbeda di dalam negaranya
sendiri, dan di tempat tersebut mereka melakukan hubungan seks dengan anak-anak

Para wisatawan seks anak bisa berasal dari wisatawan asing, namun bisa juga berasal dari wisatawan
lokal yang sengaja melakukan perjalanan wisata di dalam negaranya sendiri. Para wisatawan tersebut
bisa berasal dari berbagai jenis latar belakang, mereka bisa saja bujangan atau sudah menikah, laki-laki
atau perempuan, wisatawan kaya atau wisatawan pas-pasan. Ada dua jenis wisatawan yang melakukan
hubungan seks dengan anak-anak di daerah wisata, yaitu :
1. Situasional: awalnya hanya bertujuan untuk wisata, namun dikarenakan kekuatan hukum yang
lemah, didukung oleh banyaknya hotel-hotel yang hanya ingin mencari keuntungan sehingga
lebih sering tutup mata, dan terutama karena adanya prostitution supplier menawarkan anak-
anak, pada akhirnya memberikan kesempatan pada wisatawan seks itu untuk melakukan seks
dengan anak-anak.

9
Deklarasi dan Agenda Aksi telah di adopsi oleh 122 pemerintah pada pelaksanaan
Kongres Dunia Pertama untuk menentang eksploitasi seksual komersial anak di
Stockholm, Swedia, pada tahun 1996. Sampai dengan tahun 2006, sudah ada 161 negara
yang mengadopsi Deklarasi dan Agenda Aksi tersebut.
10
Human trafficking adalah perdagangan yang dilakukan terhadap manusia terutama anak-
anak dan perempuan, tapi tidak menutup kemungkinan juga terhadap laki-laki. Hal-hal ini
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan secara illegal dengan cara mengeksploitasi
korban perdagangan tersebut.
5
2. Preferensional: sejak awal perjalanan wisata memang ditujukan untuk melakukan hubungan
seks dengan anak-anak. Biasanya karena adanya promosi tentang keberadaan anak-anak ini di
daerah wisata, sehingga wisatawan seks itu pada akhirnya mengunjungi suatu daerah wisata.
Sebagian besar dari wisatawan seks anak ini adalah para pelaku situasional yang biasanya tidak memiliki
keinginan khusus untuk berhubungan seks dengan anak-anak tetapi hanya sekedar memanfaatkan
sebuah situasi di mana ada anak-anak yang tersedia untuk mereka saat mereka melakukan perjalanan
wisata.

Daerah tujuan wisata seks anak-anak dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan di negara tujuan
tersebut. Ada daerah yang dulunya menjadi top list daerah tujuan wisata seks anak-anak namun saat ini
tidak lagi karena adanya peningkatan pencegahan dan perlindungan yang dilakukan di suatu negara
sehingga memperkecil kemungkinan wisatawan seks untuk memperoleh akses pariwisata seks anak di
negara tersebut, contohnya Brazil dan Thailand yang saat ini sedang meningkatkan kewaspadaan dan
perhatian mereka terhadap masalah ini serta mereka juga merevisi berbagai undang-undang demi
mendukung pengentasan pariwisata seks anak-anak. Ada pula daerah yang wisata seks anak-anaknya
justru semakin meningkatkan seperti di Ekuador, Vietnam, Kamboja dan Indonesia. Hal ini disebabkan
masih sangat terbukanya jalur-jalur transportasi dan pasar namun kurang kekuatan hukum,
perkembangan pariwisata secara masal yang tidak teratur dan diatur, dan perbedaan-perbedaan
kekayaan warga negara yang satu dengan lainnya yang cenderung sangat mencolok sehingga dapat
menyebabkan perjalanan wisata seks anak berlangsung dari suatu negara ke negara lain. Misalnya
negara-negara di Eropa dan Amerikat bagian Utara yang cenderung lebih maju dan kaya akan
melakukan perjalanan wisata seksual ke daerah negara-negara berkembang seperti Amerika Latin dan
Asia Tenggara.

Para wisatawan seks anak ini kebanyakan berasal dari negara-negara maju di mana kekuatan hukum di
negara mereka sudah sangat kuat dan kepatuhan negara mereka terhadap berbagai perjanjian tingkat
internasional yang cenderung fanatik karena tidak mau citra negara maju mereka rusak karena
pelanggaran berat atupun ringan terhadap berbagai perjanjian internasional tersebut. Hal inilah yang
menyebabkan para wisatawan tersebut kesulitan menemukan bentuk pariwisata seks anak di negara
mereka yang sudah maju. Oleh karena itu mereka kerap melakukan perjalanan-perjalanan wisata ke
negara-negara berkembang di mana kekuatan hukum masih lemah dan kemungkinan untuk menemukan
pariwisata seks anak di daerah negara berkembang cukup besar.

Untuk di Indonesia sendiri terdapat beberapa daerah yang disinyalir adalah tempat pariwisata seks yang
menyediakan anak-anak, dan wisatawan seks anak yang berkunjung ke daerah-daerah ini berasal dari
negara-negara yang berbeda. Daerah Bali dan Lombok biasanya dikunjungi wisatawan dari Eropa, Korea
Selatan, Australia, dan Jepang. Daerah kota-kota besar di Pulau Jawa seperti Jakarta, Bandung,

6
Surabaya, dan lain-lain biasanya dikunjungi oleh wisatawan dari Amerika dan Timur Tengah. Daerah
kota-kota besar di Sumatera seperti Medan, Batam dan Lampung biasanya dikunjungi wisatawan dari
daerah Singapura, Malaysia dan Thailand.

Berdasarkan laporan UNICEF pada tahun 1998, di Indonesia ada sekitar 40.000-150.000 anak atau
orang di bawah umur 18 tahun yang melakukan aktifitas seksual komersil baik prostitusi maupun
pornografi yang tersebar di seluruh kawasan seperti pulau Jawa, Sumatera, Batam, Riau, Kalimantan,
Sulawesi, Lombok, Maluku dan Papua. Laporan ini kembali diperkuat oleh ILO pada tahun 2004 di mana
ada sekitar 7452 anak-anak di kawasan Pulau Jawa seperti Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur
dan sekitar 14.000 anak-anak di sekitar kawasan Jakarta dan Jawa Barat, yang melakukan aktifitas
seksual komersil. Banyak di antara mereka yang menjadi korban pornografi.11

Anak tidak pernah memberi izin terhadap semua bentuk kekerasan seksual dan eksploitasi seksual
terhadap mereka. Tidak peduli apakah seorang anak sepertinya “menerima” atau “secara suka rela” turut
serta dalam aktifitas-aktifitas seksual tersebut, tidak pernah ada seorang anak pun yang mengizinkan
dirinya untuk menjadi korban kekerasan apalagi korban eksploitasi seksual. Mereka mungkin dibohongi,
ditipu atau dipaksa oleh situasi-situasi yang berada di luar kendali mereka seperti kemiskinan atau akibat-
akibat dari kondisi masyarakat (termasuk tekanan teman sebaya) yang dapat memaksa anak secara
tidak terlihat. Tetapi bagaimana pun anak-anak tersebut tetap merupakan korban penderaan. Anak-anak
berhak atas perlindungan dan membutuhkan perlindungan, hal-hal ini adalah tanggung jawab orang
dewasa untuk menjamin agar anak-anak tidak menjadi korban eksploitasi.

Pariwisata bukan merupakan penyebab eksploitasi seksual anak, tetapi para pelaku eksploitasi anak
yang memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan perjalanan, hotel,
penginapan, restoran, penerbangan dan perusahaan-perusahaan transportasi dan akomodasi lainnya12.
Beberapa bisnis mungkin terlibat, misalnya, hotel yang menutup mata terhadap eksploitasi di dalam
fasilitasnya atau para agen perjalanan yang dengan sengaja mengatur perjalanan seks ke luar negeri.
Industri pariwisata memainkan peran penting dan berharga, jika organisasi-organisasi pariwisata
berkomitmen untuk melakukan tindak pencegahan aktif terhadap wisata seks anak-anak maka akan
mempermudah pencegahan terhadap orang-orang yang ingin memanfaatkan tempat wisata sebagai
ruang eksploitasi terhadap anak-anak.

11
Menentang pornografi dan eksploitasi seksual terhadap anak – Koalisi Nasional
Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ECPAT affiliate group in Indonesia),
2008.
12
Q&A about the Sexual Commercial Exploitation of Children (ECPAT Internasional, 2006),
telah terbit versi Indonesianya “Tanya-Jawab tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak”
(2007)
7
Ada banyak faktor yang mempengaruhi mengapa pariwisata seks anak lahir dan terus meningkat
jumlahnya. Berikut ini ada beberapa faktor yang menjadi faktor penarik dan faktor pendorong utama yang
mendukung terjadinya pariwisata sek anak ini13.

A. FAKTOR PENARIK

Faktor penarik (pull factor) merupakan faktor utama penyebab maraknya pariwisata seks anak. Berawal
dari adanya permintaan dari wisatawan-wisatawan asing yang diakibatkan banyaknya promosi yang
dilakukan para prostitution supplier. Beberapa promosi yang dilakukan oleh prostitution supplier tersebut
antara lain:
- Dengan mengatakan bahwa anak-anak lebih aman dari segala penyakit menular seksual
dikarenakan jam terbang ataupun pengalaman anak-anak tersebut di dunia prostitusi masih
minim. Sehingga kemungkinan anak-anak tersebut terjangkit penyakit menular seksual masih
kecil. Hal ini akan lebih menarik keinginan wisatawan tersebut untuk memillih anak-anak daripada
orang-orang dewasa dengan alasan keamanan terhadap kesehatan.
- Menjadikan child prostitution sebagai sebuah trend baru di dunia prostitusi. Seperti yang kita tahu
apabila sesuatu hal telah menjadi trend maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi suatu
lifestyle yang dianut banyak wisatawan seks tersebut.

Selain daripada promosi yang diberikan prostitution supplier kepada para wisatawan seks tersebut, ada
faktor penarik lain yang menyebabkan wisatawan memilih anak-anak dibandingkan orang dewasa, yaitu
adanya kepercayaan terhadap mitos bahwa berhubungan seksual dengan perawan akan memperlancar
bisnis dan menjadi obat awet muda untuk mereka. Dan perawan-perawan ini lebih identik dengan anak-
anak dibandingkan orang dewasa.

Di samping dari dua alasan di atas, yaitu promosi dan mitos, ada satu faktor yang menarik wisatawan
tersebut, yaitu sekedar menginginkan sesuatu yang berbeda dari yang biasa. Lebih mudah menemukan
prostitusi dewasa dibandingkan prostitusi anak-anak, maka di saat mereka memiliki kesempatan untuk
melakukan hubungan seksual dengan anak-anak yang mungkin mereka belum pernah hal ini seolah-olah
menjadi suatu tantangan tersendiri untuk mereka. Pengalaman baru dan berbeda ini yang mengubah
selera mereka dari adult prostitution menjadi child prostitution dan menimbulkan permintaan terhadap
prostitusi anak-anak menjadi tinggi.

13
Hasil wawancara dengan Bpk Ahmad Sofian. Beliau saat ini menjabat sebagai direktur
eksekutif dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) sekaligus staf ahli Deputi
Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, sampai dengan
penulisan karya ilmiah ini beliau juga menjadi trainer nasional untuk ESKA, sering menulis
artikel, buku dan jurnal mengenai ESKA dan buruh anak.
8
Untuk mengatasi faktor penarik di atas hanya dapat dilakukan secara mikro artinya faktor ini cenderung
ditangani secara individu per individu, tidak bisa secara menyeluruh atau sekaligus karena keinginan
seksual wisatawan tersebut berbeda-beda dan terselubung. Tidak mungkin ada orang-orang yang mau
mengakui dirinya adalah pengguna jasa seks anak-anak dan sekaligus memberi alasannya. Keinginan
para wisatawan tersebut untuk berhubungan seks khusus dengan anak-anak ini hanya merupakan
transaksi antara si wisatawan dengan prostitution supplier yang pada akhirnya menimbulkan
ketidakjelasan alasan dan latar belakang mengapa wisatawan seks tersebut memilih anak-anak, dan
ketidakjelasan inilah yang sangat menyulitkan berbagai pihak untuk mengatasinya.

B. FAKTOR PENDORONG

Faktor penarik (push factor) merupakan faktor sekunder penyebab terjadinya pariwisata seks anak
karena faktor ini lahir setelah adanya faktor primer berupa permintaan dari para wisatawan. Faktor ini
berdasarkan sudut pandang melalui sisi anak-anak yang menjadi korban pariwisata seks komersial.
Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor internal dan faktor eksternal :

1. Faktor Internal
- Permasalahan ekonomi yang mengakibatkan anak-anak tersebut tidak terpenuhi kebutuhannya
secara finansial. Kebutuhan yang tidak terpenuhi ini dapat berupa hal-hal dasar seperti
kurangnya pendidikan yang pada akhirnya mengakibatkan anak-anak tersebut memiliki
kemampuan intelektual yang rendah sehingga mereka dapat dengan mudah terjerumus ke dunia
prostitusi yang cenderung mengiming-imingi terpenuhinya kebutuhan materi anak-anak tersebut.
Yang tidak terpenuhi dapat juga berupa hal-hal tersier, seperti keinginan untuk mempunyai suatu
benda namun tidak mempunyai uang untuk membeli benda tersebut. Sehingga mereka berpikir
untuk mencari uang dengan cara yang singkat dan mudah yaitu dengan terjun ke dunia prostitusi.
- Permasalahan keluarga (family problem) yang mengakibatkan anak tersebut kekurangan kasih
sayang dari orangtuanya. Anak-anak dengan latar belakang seperti ini biasanya akan mengalami
pertumbuhan sosial yang kurang baik, yang menjadikan mereka bisa saja terikut ke dalam
pergaulan bebas. Anak-anak yang sudah terikut pergaulan bebas akan sangat mudah untuk
terjerumus ke dalam dunia prostitusi termasuk pariwisata seks anak di mana wisatawan asing
biasanya memberikan tips lebih kepada mereka. Ataupun anak-anak ini menjadikan dunia
prostitusi ini sebagai suatu pelampiasan kekesalan mereka kepada orang tua.

2. Faktor eksternal
- Prostitution supplier biasanya memberikan bujukan-bujukan atau “iming-iming” kepada anak-
anak agar anak-anak itu mau terjun ke dunia prostitusi ini. Bujukan-bujukan itu dapat berupa
uang kepada anak-anak yang terbentur masalah ekonomi, dengan mengatakan pekerjaan ini

9
akan memberikan mereka uang dalam waktu singkat dan kerjaannya juga tidak sulit. Atau bisa
juga dengan modus penipuan, yaitu dengan berkedok penyalur tenaga kerja yang menjanjikan
pekerjaan yang lebih baik apakah pembantu rumah tangga atau pekerjaan lainnya. Anak-anak
yang terlibat penipuan ini besar kemungkinan kelak mendapatkan ekspoitasi dari prostitution
supplier ataupun wisatawan seks pemakai jasa mereka. Eksploitasi yang anak-anak ini alami
dapat dalam bentuk kekerasan fisik ataupun dengan tidak memberikan bayaraan setelah
pemakaian jasa mereka.
- Dikarenakan prostitusi ini adalah sebuah jaringan (network), maka biasanya anak-anak yang
sudah lebih dahulu terjerumus ke dunia gelap pariwisata seks ini akan mempengaruhi teman-
teman di sekitarnya untuk terjun ke dunia yang sama dengan mereka. Modusnya bisa berupa
bujukan-bujukan ataupun dengan memamerkan keuntungan-keuntungan dan kesenangan-
kesenangan yang telah ia terima, sehingga membuat temannya juga tertarik terjun ke dunia yang
sama dengan dirinya.

Cara pengentasan faktor pendorong ini lebih mudah daripada faktor penarik, tapi bukan berarti tidak sulit.
Hanya saja dikatakan lebih mudah karena dapat diatasi secara makro yaitu dapat dilakukan kepada
sebuah masyarakat yang luas. Contohnya dengan melakukan seminar-seminar dan sosialisasi yang
terkait dengan pariwisata seks anak. Bisa juga dengan memperbaiki sarana pendidikan yang dapat
membuat anak-anak ini berpikir dengan lebih intelektual sehingga dapat memperkecil kemungkinan
terjerumus dalam praktek penipuan para prostitution supplier. Dengan mempublikasikan masalah ini ke
masyarakat luas, masyarakat tersebut akan lebih berhati-hati dan lebih menjaga dirinya dan keluarganya.

BAB III
PENGATURAN HUKUM
10
Permasalahan penegakan hukum terhadap segala bentuk eksploitasi seksual komerial anak (ESKA)
merupakan permasalahan yang sudah tidak tabu lagi untuk sekelas negara berkembang, untuk itu
negara-negara berkembang harus sudah memulai penguatan hukum sesegera mungkin. Jika hukum
tidak ditegakkan secara serius maka meungkinkan terjadinya eksploitasi yang lebih besar lagi. Dalam hal
ESKA di mana pariwisata seks anak merupakan salah satu sub bagiannya, telah banyak dasar-dasar
hukum dan kongres-kongres disepakati ratusan negara di dunia sebagai bentuk komitmen mereka.
Namun ternyata permasalahan ini masih tidak dapat diselesaikan dengan baik.

Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak (KHA) yang berlaku sejak 2 September 1990 telah diratifikasi
oleh Indonesia melalui keputusan Presiden No. 36/1990 yang menjadi momentum penting upaya-upaya
pemerintah dan masyarakat madani dalam melindungi hak-hak anak. Konvensi ini merupakan sebuat
traktat atau perjanjian internasional yang mengatur pengakuan, penghormatan dan perlindungan
terhadap hak-hak fundamental dari anak. Dalam Pasal 32 semua negara harus melindungi anak dari
semua bentuk eksploitasi yang membahayakan fisik dan moral anak. Pasal 34 secara spesifik
mewajibkan semua negara untuk mengambil tindakan di tingkat nasional, bilateral atau multilateral untuk
mencegah eksploitasi anak untuk tujuan seksual, termasuk pariwisata anak dengan melakukan berbagai
investigasi.

Pada tahun 1998 telah lahir sebuah Kode Etik Perlindungan Anak-Anak dari Eksploitasi Seksual dalam
Perjalanan dan Pariwisata. Diprakarsai oleh End Chid Prostitution, Child Pornography and Trafficking of
Children for Sexual Purpose (ECPAT) Swedia atas kerjasama dengan operator perjalanan Skandinavia
dan Organisasi Pariwisata Dunia (WTO)14. Kode etik tersebut menyarankan perusahaan-perusahaan
tersebut untuk mengadopsi Kode Etik ini dan berkomitmen untuk:
1. Membuat sebuah kebijakan korporasi yang etis untuk menentang eksploitasi seksual terhadap
anak,
2. Mendidik dan melatih pegawai baik yang berada di negeri asal ataupun yang berada di tujuan-
tujuan perjalanan,
3. Memperkenalkan sebuah ketentuan di dalam perjanjian dengan para penyalur sebagai dasar
penolakan pada eksploitasi seksual terhadap anak,
4. Mengembangkan informasi dan bahan-bahan peningkatan kesadaran seperti katalog, brosur,
poster, film in-flight, slip tiket dan home page,
5. Memberikan informasi kepada “orang-orang kunci” lokal di tempat-tempat tujuan,
6. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksaan kriteria-kriteria di atas.

14
Q&A about the Sexual Commercial Exploitation of Children (ECPAT Internasional, 2006),
telah terbit versi Indonesianya “Tanya-Jawab tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak”
(2007)
11
Pada tahun 2002, sebuah Optional Protocol tentang prostitusi dibuat dengan tujuan melengkapi beberapa
bab Konvensi PBB mengenai Hak Anak terkait eksploitasi seksual komersial. Indonesia telah
menandatangani protokol opsional ini dan menurut Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM 2004-2009
seharusnya telah diratifikasi pada tahun 2005 tetapi belum terlaksana hingga kini. Namun demikian,
komitmen Indonesia telah diwujudkan dengan membangun koalisi nasional dan membuat RAN yang
disahkan melalui Keputusan Presiden No. 87/2002 yang diikuti oleh dirumuskannya RAN Perdagangan
Anak dan Perempuan melalui Keputusan Presiden No. 88/2002.

Persoalan eksploitasi seksual terhadap anak memperoleh tanggapan global yang diwujudkan dalam
Kongres Dunia untuk menghapus eksploitasi seks komersial terhadap anak yang diprakarsai oleh The
United Nations Children’s Fund (UNICEF) dan ECPAT International. Hal ini bertujuan memperjelas
betapa menyedihkannya nasib dunia jika anak-anak tidak mendapatkan perlindungan dengan baik. Pada
tahun 1996, diadakan kongres dunia pertama (1st world congress) di Stockholm, Swedia, yang
menentang segala bentuk eksploitasi seksual komersial anak. Ada lebih kurang 96 negara yang
berkomitmen untuk melindungi anak-anak di negaranya masing-masing15. Lahirnya kongres ini
dilatarbelakangi oleh banyaknya anak-anak di daerah Britania Raya yang menjadi bintang berbagai film
porno karena pada saat itu belum ditetapkan batas umur seorang anak hingga dia layak disebut dewasa.
Maka setelah kongres pertama ini, mulai ditetapkan bahwa seseorang dikatakan dewasa jika sudah
berusia 18 tahun16.

Untuk mempertegas kongres pertama, pada tahun 2001 diadakan kongres dunia kedua (2nd world
congress) di Yokohama, Jepang, membahas hal yang sama yaitu eksploitasi seksual komersial anak.
Ada sekitar 122 negara yang berkomitmen dalam hal ini. Kongres dunia ke dua ini dilatarbelakangi oleh
maraknya pariwisata seks anak (child-sex tourism), terutama di Brazil, Costarika dan Thailand. Ketiga
negara ini tercatat sebagai negara yang pertumbuhan pariwisata seks anaknya cukup tinggi karena
kurang mampu mengolah sumber daya alam dan tingkat pendidikan rendah namun memiliki daerah-
daerah wisata yang cukup baik, sehingga cenderung mempunyai kesempatan besar untuk terjadinya
pariwisata seks anak. Namun sekarang Thailand telah mampu menekan angka pariwisata seks anak di
negaranya dengan menaikkan usia penyedia seks di sana. Maka walaupun di Thailand tingkat prostitusi
masih sangat tinggi dan banyak wisatawan ke sana untuk berhubungan seks tapi Thailand tidak lagi
melakukan eksploitasi seksual terhadap anak-anak, dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Thailand
menggunakan cara pendewasaan usia demi menunjukkan komitmennya.

15
Kongres ini dibuka langsung oleh Ratu Swedia dan pertemuan ini menghasilkan Agenda
Stockholm yang berisi berbagai tindakan yang perlu dilakukan oleh negara-negara
peserta, termasuk Indonesia.
16
hal ini juga mempengaruhi batas usia pendaftaran Miss Universe menjadi 18 tahun.
12
Pada tahun 2008, diadakan kongres dunia ketiga (3rd world congress) di Rio de Janiero, Brazil,
membahas eksploitasi seksual komersial anak ini juga. Ada 159 negara yang berkomitmen dengan
menghadiri kongres dunia ketiga tersebut. Jika kita menarik kesimpulan dari ketiga kongres ini, maka
jumlah negara yang ikut berkomitmen dengan menghadiri ketiga kongres itu terus bertambah. Semoga ke
depannya negara yang berkomitmen dengan sungguh-sungguh meliputi seluruh negara di dunia.

Lahirnya peraturan-peraturan ataupun dasar-dasar yang mengatur permasalahan anak tentang


eksploitasi seksual komersial di tingkat internasional pada akhirnya mampu mendorong Indonesia
sebagai salah satu negara berkembang untuk membuat sebuah undang-undang internal yang bertujuan
melindungi anak-anak. Sehingga pada tahun 2007, Indonesia membuat UU tentang prostitusi yang di
dalamnya juga tercantum tentang anak-anak yang tereksploitasi secara seksual. Ada hal menarik terkait
UU tentang prostitusi tahun 2007 ini, yaitu sebelum Indonesia membuat undang-undang tersebut Komite
Hak Anak PBB dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara yang tidak punya komitmen untuk melindungi anak-anak. Dan setelah Indonesia membuat
undang-undang ini, mereka menyatakan Indonesia adalah negara yang telah berkomitmen dalam
melindungi anak-anak tapi tidak pernah bersungguh-sungguh. Artinya memang Indonesia cenderung ikut-
ikutan atau mungkin juga sekedar melindungi pandangan dunia terhadap Indonesia.

Sejauh ini pemerintah Indonesia telah membentuk pusat-pusat pengaduan dan membuat website di
mana masyarakat umum dan anak-anak dapat melaporkan kasus-kasus eksploitasi seksual anak. Tapi
tidak dapat diketahui dengan pasti apakah program-program ini telah teraplikasikan dengan baik karena
pemerintah Indonesia lebih sering mendirikan suatu badan dan membuat undang-undang dibandingkan
usaha untuk mewujudkan kesuksesan dan menjaga kestabilan program-program tersebut.

Pengalaman Indonesia dalam menangani berbagai kasus eksploitasi seksual memang masih terbatas.
Walaupun sudah cukup banyak penelitian yang dilakukan tentang masalah ini, tapi tidak banyak tindakan
kasus yang dilakukan pada tingkat masyarakat. Pemetaan yang dilakukan oleh Koalisi Nasional
Penghapusan ESKA (2008)17 ini menunjukkan hanya sedikit sekali LSM yang mempunyai penanganan
ESKA. Dari 10 LSM yang disurvei, hanya 4 LSM yang mengaku mempunyai program tentang anak yang
dilacurkan. Jumlah kasus yang ditangani sebanyak 269 kasus di Jakarta pernah dilaporkan ke polisi
namun tidak ada satupun kasus yang masuk ke pengadilan. Koalisi juga telah mencatat Peraturan
Daerah yang mempunyai implikasi dan keselamatan anak. Berikut ini beberapa PERDA yang berhasil
dicatat :

DAERAH PERDA TENTANG KETERANGAN


DKI Jakarta No. 11/1988 Ketertiban Dalam implementasinya justru merugikan anak, terutama
Umum anak-anak yang hidup dan bekerja di jalanan. Anak

17
Dalam rangka untuk membuat makalah Call for Action, jumlah kasus yang dicatat adalah
berdasar kasus-kasus yang ditangai LSM sekitar 5-10 tahun yang lalu.
13
diperlakukan sebagai pelanggar hukum.
Sumatera Utara No. 6/2004 Perdagangan Mengkriminalisasi pihak-pihak yang melakukan dan
Anak dan membantu trafficking anak.
Perempuan
Catatan yang diberikan bahwa selama ini sosialisasi
Surakarta No. 3/2006 Penghapusan
untuk kebijakan daerah masih sangat kurang dan
Eksploitasi
walaupun awalnya perda dibuat untuk penghapusan ESK
Seksual tetapi pada perjalanannya hanya seperti menggantikan
Komersialperda-perda ‘perbuatan mengganggu ketertiban umum’
dan semacamnya sehingga disamakan dengan yang
biasa diterapkan untuk pengemis, gelandangan, tuna
wisma, dll. Anak diperlakukan sebagai pelaku pelanggar
hukum.
Perda tersebut isinya tentang :
1. Larangan untuk mendirikan, mengusahakan, dan
menyediakan tempat untuk melakukan prostitusi,
larangan untuk melakukan, menghubungkan,
Indramayu No. 11/1988 Prostitusi mengusahakan, dan menyediakan orang untuk
melakukan perbuatan prostitusi bagi siapapun
yang karena tingkah lakunya patut diduga dapat
menimbulkan perbuatan prostitusi, termasuk pula
siapapun di jalan umum atau tempat umum di
mana dilarang berkata, berisyarat, memberi
tanda, atau cara lain untuk melakukan perbuatan
prostitusi, termasuk siapapun yang berlaku
sehingga dianggap ia adalah pelacur.
2. Sangsi kurungan baik bagi laki-laki maupun
perempuan yang melakukan prostitusi selama-
lamanya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp 5.000.000,- (Perubahan perda
berikutnya mengurangi hukuman menjadi 3 (tiga)
bulan sedangkan denda tetap)
3. Pemberian kewenangan kepada pihak Penyidik
Umum atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS)
di lingkungan pemerintah daerah
Dalam implementasinya, perda ini masih
mengkriminalisasi korban, yaitu individu yang
dieksploitasi menjadi pelacur, baik dewasa maupun anak-
anak.
Dari uraian di atas memang dapat dikatakan bahwa anak-anak Indonesia memang hampir tidak
terlindungi dari eksploitasi seksual dan pornografi anak. Upaya-upaya mengatasi eksploitasi seksual
komersial anak (ESKA) ini masih harus terus dirancang dan harus ada penguatan hukum di Indonesia
sehingga nasib anak-anak bisa lebih terlindungi.

BAB IV
PENUTUP

14
A. KESIMPULAN
Anak-anak adalah masa depan bangsa karena anak-anak adalah cerminan masa depan, bangsa
Indonesia 20 tahun mendatang dapat disimpulkan dari anak-anaknya pada masa ini. Anak adalah setiap
orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang nasional yang berlaku bagi
anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal

Dalam kajian mengenai wisata seks di ASEAN yang dilaporkan child wise tourism, Australia, pada tahun
2007, Indonesia dianggap negara ketiga setelah Vietnam dan Kamboja sebagai negara tujuan wisata
seks yang melibatkan anak-anak. Dari hal ini kita dapat menyimpulkan bahwa baik secara terang-
terangan ataupun terselubung, Indonesia telah menjadi negara yang mengabaikan hak anak-anak,
mengeksploitasi mereka, dan secara tidak langsung merusak masa depan bangsa.

Pariwisata seks anak (PSA) adalah eksploitasi seksual komersial anak yang dilakukan oleh laki-laki
maupun perempuan yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, baik ke negara lain
ataupun ke wilayah yang berbeda di dalam negaranya sendiri, dan di tempat tersebut mereka melakukan
hubungan seks dengan anak-anak Para wisatawan seks anak bisa berasal dari wisatawan asing, namun
bisa juga berasal dari wisatawan lokal yang sengaja melakukan perjalanan wisata di dalam negaranya
sendiri. Para wisatawan tersebut bisa berasal dari berbagai jenis latar belakang,

Para wisatawan kebanyakan berasal dari negara-negara maju di mana kekuatan hukum di negara
mereka sudah sangat kuat dan kepatuhan negara mereka terhadap berbagai perjanjian tingkat
internasional yang cenderung fanatik karena tidak mau citra negara maju mereka rusak karena
pelanggaran berat atupun ringan terhadap berbagai perjanjian internasional tersebut. Hal inilah yang
menyebabkan para wisatawan tersebut kesulitan menemukan bentuk pariwisata seks anak di negara
mereka yang sudah maju. Oleh karena itu mereka kerap melakukan perjalanan-perjalanan wisata ke
negara-negara berkembang di mana kekuatan hukum masih lemah dan kemungkinan untuk menemukan
pariwisata seks anak di daereah negara berkembang cukup besar.

Dari uraian di atas memang dapat dikatakan bahwa anak-anak Indonesia memang hampir tidak
terlindungi dari eksploitasi seksual dan pornografi anak. Upaya-upaya masih harus terus dirancang dan
harus ada penguatan birokrasi di Indonesia sehingga nasib anak-anak bisa lebih terlindungi.

B. SARAN PENANGANAN
Pariwisata seks anak merupakan sebuah subbagian dari dunia prostitusi, di mana dalam penanganannya
tidak bisa hanya melibatkan sebagian kecil masyarakat atau masyarakat dari suatu level tertentu saja,
tapi penanganannya memerlukan partisipasi masyarakat luas yang berasal dari berbagai level dan latar
belakang karena pariwisata seks anak ini bersifat sangat rahasia, terselubung, dan sulit untuk di deteksi.

15
Namun, ada beberapa usaha penanganan yang dapat ditempuh unutk mengatasi permasalahan
pariwisata seks anak ini, antara lain :
1. Penegakan hukum oleh pemerintah, tidak hanya sekedar berkomitmen melalui berbagai
pejanjian internasional ataupun membuat undang-undang yang terkait dengan masalah ini, tapi
pemerintah juga harus melakukan realisasi secara bersungguh-sungguh dan melakukan
penegakan birokrasi atas peraturan-peraturan yang telah ada serta membuat undang-undang
dan perjanjian baru jika perlu.
2. Pengawasan terhadap tempat yang beresiko tinggi sebagai tempat wisata seks anak, terutama di
daerah yang masih kurang perhatian pemerintah. Memperketat penegakan hukum di daerah
yang wisatanya sedang berkembang. Daerah wisata yang sedang berkembang secara signifikan
bisa menimbulkan pariwisata seks anak dengan besar juga.
3. Penyidikan dan proses pengadilan terhadap para pelaku seks anak yang dilakukan oleh
pemerintah melalui pihak berwajib. Bagaimanapun juga, harus ada hukuman nyata bagi para
wisatawan seks ataupun prostitution supplier.
4. Edukasi kepada remaja tentang trafficking dan eksploitasi seks komersial agar tidak terjerumus.
Semakin banyak remaja yang tahu maka akan lebih mencegah terjadinya tindak pariwisata seks
anak.
5. Pemerintah sudah harus mulai memikirkan dan membuat konsep pariwisata ramah anak.
6. Sebagai remaja sekaligus mahasiswa harus bisa memberikan sosialisasi kepada masyarakat
tentang eksploitasi seksual komersial anak serta akibat-akibat yang ditimbulkan. Karena yang
paling mengerti remaja adalah remaja itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Pasal 1 Konvensi PBB tentang Hak-Hak anak (KHA)

150.000 Anak Indonesia dieskploitasi. Kompas, 6 Juli 2008

16
Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking in Person) di Indonesia, (2005)

Laporan Rumah Kiri. 8 Februari 2007. Pusat penelitian kependudukan Universitas 11 Maret Solo (Tempo
Interaktif, 14 April 2005)

Child Wise Tourism. August 2007. ASEAN Child-Sex Tourism Rewiew

Rohman & Satrinne. 2000. Laporan investigasi pedofil di Bali. Denpasar : Yayasan Anak Kita.

ECPAT International. 2001. Tanya & Jawab tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Diterjemahkan
oleh kelompok ECPAT Indonesia dari teks aslinya yang diterbitkan oleh ECPAT International

ECPAT. 2008. Combating Child Sex Tourism: Question & Answer. Bangkok: ECPAT International

Koalisi Nasional Penghapusan ESKA (ECPAT affiliate group in Indonesia. 2008. Menentang pornografi
dan eksploitasi seksual terhadap anak.

17

También podría gustarte