Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Pergaulan remaja jaman sekarang memang sudah sangat memprihatinkan , tidak jarang saya
melihat berbagai berita mengenai kenakalan remaja bermunculan . Mulai dari genk motor ,
tawuran , sex bebas , sampai pada penggunaan narkotika NAPZA. Ini menunjukkan bahwa
pergaulan remaja saat ini sudah tidak sehat lagi.
Cara pergaulan remaja yang seperti sekarang ini tentu saja sangat menimbulkan dampak
negatif . Selain memperburuk situasi dan kondisi pergaulan remaja dan mempengaruhi cara
hidup remaja lain , cara pergaulan remaja yang seperti sekarang juga dapat mempengaruhi
kualitas hidup generasi anak cucu kita.
“Apa yang kita tabur itulah yang kita tuai” , masih ingat dengan peribahasa ini ? Peribahasa
ini juga berlaku untuk pergaulan remaja yang sekarang ini. Bila pergaulan remaja pada masa
sekarang saja sudah kacau , bagaimana dengan generasi penerusnya ? Tentu akan kacau juga.
Sudah saatnya kita membenahi diri untuk menyikapi pergaulan remaja sekarang ini. Kalau
anda sebagai remaja yang sedang hidup dalam lingkungan pergaulan ini sendiri , cobalah
berubah dari diri sendiri , mencoba untuk menjadi remaja yang mempunyai prinsip dan
pendirian mengenai apa yang benar dan apa yang salah , kalau sudah berubah dari sendiri ,
baru anda coba mengubah cara pergaulan remaja di sekeliling anda.
Bila anda sebagai orang tua cobalah untuk berkomunikasi dengan efektif terhadap anak ,
karena dari komunikasi efektif lah tercipta suatu keterbukaan dan hubungan yang erat antar
orang tua dengan anak , kalau sudah begini tentu akan mudah mengendalikan pergaulan
remaja tersebut.
Memang pergaulan remaja itu sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Tapi dengan niat
berubah dari remaja itu sendiri serta hubungan erat dengan keluarga bisa membantu mencegah
terjadinya pergaulan remaja yang over controled.
Masa remaja adalah masa yang paling berseri. Di masa remaja itu juga proses pencarian jati
diri. Dan, disanalah para remaja banyak yang terjebak dalam pergaulan bebas.
Menurut Program Manajer Dkap PMI Provinsi Riau Nofdianto seiring Kota Pekanbaru
menuju kota metropolitan, pergaulan bebas di kalangan remaja telah mencapai titik
kekhawatiran yang cukup parah, terutama seks bebas. Mereka begitu mudah memasuki
tempat-tempat khusus orang dewasa, apalagi malam minggu. Pelakunya bukan hanya
kalangan SMA, bahkan sudah merambat di kalangan SMP. ‘’Banyak kasus remaja putri yang
hamil karena kecelakan padahal mereka tidak mengerti dan tidak tahu apa resiko yang akan
dihadapinya,’’ kata cowok yang disapa Mareno ini pada Xpresi, Rabu (20/8) di ruang
kerjanya.
Sejak berdirinya Dkap PMI tiga tahun lalu, kasus HIV dan hamil di luar nikah terus
mengalami peningkatan. Setiap bulan ada 10-20 kasus. Mereka yang sebagian besar kalangan
pelajar dan mahasiswa ini datang untuk melakukan konseling tanpa didampingi orang tua.
‘’Rata-rata mereka berusia 16-23. Bahkan ada yang berusia 14 tahun datang ke Dkap untuk
konsultasi bahwa ia sudah hamil. Mereka yang melakukan konseling, ada datang sendiri, ada
juga dengan pasangannya. Sebagian besar orang tua mereka tidak tahu,’’ ujarnya.
Meskipun begitu, lanjutnya para remaja yang mengalami ‘kecelakaan’ ini tak boleh dijauhi
dan dibenci. ‘’Kita tidak pernah melarang mereka untuk melakukan hubungan seks, karena
ketika dilarang atau kita menghakimi, mereka akan menjauhi kita. Makanya, Dkap disini
merupakan teman curhat mereka dan kita memberikan solusi bersama. Seberat apapun
masalahnya, kalau bersama bisa diatasi,’’ ungkapnya lagi.
Bukan hanya remaja nakal saja yang terjebak, anak baik pun bisa kena. ‘’Anak baik yang
disebut anak rumah pun ada yang mengalami ‘kecelakaan’,’’ ucapnya.
Oleh sebab itu, sangat diperlukan pancegahan dini dengan memberikan pengetahuan seks.
‘’Pendidikan seks itu sangat penting sekali. Tapi, di masyarakat kita pendidikan seks itu
masih dianggap tabu. Berdasarkan pengamatan kami, banyaknya remaja yang terjebak seks
bebas ini dikarenakan mereka belum mengetahui tentang seks. Seks itu bukan hanya
berhungan intim saja. Tapi, banyak sekali, bagaimana merawat organ vital, mencegah HIV
dan lainnya. Pelajari seks itu secara benar supaya kita bisa hidup benar,’’ tuturnya.
Sementara itu, Martha Sari Uli pelajar SMAN 4 Pekanbaru mengaku interaksi bebas di
kalangan remaja dalam pergaulan bebas, identik dengan kegiatan negatif. ‘’Banyak anak-anak
remaja beranggapan bahwa masa remaja adalah masa paling indah dan selalu menjadi alasan
sehingga banyak remaja yang menjadi korban dan menimbulkan sesuatu yang menyimpang,’’
ungkapnya ketika diminta komentarnya mengenai pergaulan bebas di kalangan remaja.
Senada dengan itu, Debora Juliana juga pelajar SMAN 4 Pekanbaru mengatakan pergaulan
bebas itu saat ini sudah tidak tabu lagi, dan banyak remaja yang menjadikannya budaya
modern. ‘’Pergaulan bebas berawal ketika remaja mulai melakukan perbuatan yang keluar
dari jalur norma-norma yang berlaku di sekitar kehidupan kita. Sekarang banyak banget anak-
anak seumuran kita sudah keluar dari jalurnya,’’ ujar cewek kelahiran 18 Juli 1993. ‘’Kalo
aku nggak pernah melakukan hal tersebut dan jangan sampai lah,’’ tambahnya.
Di tempat terpisah, Ketua MUI Provinsi Riau Prof Dr H Mahdini MA mengatakan data yang
ditemukan lebih banyak lagi anak-anak yang melakukan seks bebas. Maka diperlukan
pencegahan. ‘’Saya meminta semua kalangan, baik para pendidik, orang tua, dan tokoh
masyarakat agar memfungsikan tugas-tugas sosialnya,’’ pintanya.
Banyaknya kalangan remaja yang melakukan seks bebas, lanjutnya diindikasikan ada jaringan
tertentu yang menggiring anak-anak ke hal yang negatif. Oleh karena itu, MUI menghimbau
untuk menutup tempat yang berbau maksiat. ‘’Menutup tempat maksiat itu jauh lebih penting
demi generasi muda,’’ sarannya.
Ditingkat pergaulan dalam kondisi hari ini, anak-anak bisa saja berbohong. Oleh sebab itu,
sambungnya pengawasan orang tua harus diperketat. Tentu saja contoh perilaku orang tua
sangat berperan.
Hal yang sama juga diutarakan Drs Ali Anwar, kepala SMA 5 Pekanbaru. Menurutnya, akibat
perkembangan zaman, ketika agama tidak lagi menjadi pokok dalam kehidupan banyak
remaja yang terjebak dalam pergaulan bebas. ‘’Solusinya, kuatkan lagi ajaran agama. Baik di
sekolah maupun di rumah agama merupakan kebutuhan pokok,’’ ucapnya.
Selain itu, orang tua harus lebih memperhatikan anaknya. ‘’Orang tua dan anak harus selalu
berkomunikasi. Sehingga tahu persoalan anak,’’ ungkapnya.
Menyikapi hal ini, kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau, Drs HM Wardan MP mengatakan
akan melakukan komunikasi dengan dinas pendidikan kabupaten/kota untuk membuat surat
edaran ke sekolah-sekolah dalam mengantisipasi hal tersebut. ‘’Kita berharap jangan sampai
terjadi hal tersebut karena akan merusak diri sendiri, sekolah, agama dan daerah,’’ ujarnya
ketika ditemui usai acara pelantikan Persatuan Anak Guru Indonesia (Pagi) Provinsi Riau,
Rabu (20/8) malam di Hotel Sahid Pekanbaru.
Hamil Diluar Nikah
Pada saat mencuat kasus pasangan muda MBA (Married by Accident), yang muncul terlebih
dahulu bisa dipastikan adalah cemoohan, ejekan, mungkin juga makian. Dari sekian banyak
kasus2 hamil sebelum nikah yang pernah saya perhatikan, dari mulai bisikan2, gunjingan
sampai cercaan terbuka terlontar dari masyarakat. Tidaklah mengherankan di mana
masyarakat merasa ada hal yang kurang selaras dengan kepercayaan mereka dan norma2 adat.
Tidak di Indonesia, tidak di US, hal seputar kasus hamil sebelum nikah sebenarnya sama.
Sekitar tahun 50-an, seorang wanita muda lajang yang memiliki anak di luar nikah akan
dijadikan bulan2an oleh masyarakat sekitarnya. Kebanyakan dari mereka akhirnya
memutuskan untuk melarikan diri sampai melahirkan. Atau bagi mereka yang sudah merasa
putus asa, menggugurkan kandungan mereka, selain pilihan memberikan anaknya untuk
diadopsi.
Dari permasalahan hamil sebelum nikah tersebut akhirnya mencetuskan gagasan untuk
membuat tempat perlindungan bagi wanita2 muda ini. Gagasan itu yang memulainya justru
dari pihak gereja. Karena mereka beranggapan jalan terbaik bagi wanita2 muda ini adalah
memaafkan mereka dan berusaha membantu mereka memulai hidup baru. Beberapa gereja
memelihara dan menjaga wanita2 muda tersebut dan menyarankan mereka untuk memberikan
bayi2 mereka guna diadopsi. Hal demikian masih berlangsung sampai sekarang. Peraturan
adopsi pun disesuaikan dengan perkembangan jaman, terutama sekarang dengan adanya
DNA, memungkinkan seorang anak mencari ibu kandungnya. Dan adanya tenggang waktu
bagi si ibu untuk berubah pikiran kalau2 dia ingin anaknya kembali.
Yang saya ingin ketengahkan di sini adalah apakah ada lembaga semacam di atas di Indonesia
yang bisa membantu wanita2 muda ini menjalani hidupnya. Sebagian besar dari wanita2 yang
mengalami MBA adalah kaum remaja yang masih banyak kesempatan yang bisa jalani. Hanya
karena mereka hamil, mereka diharuskan berhenti sekolah. Di samping karena rasa malu, juga
karena peraturan sekolah yang mengharuskan murid2 wanitanya "bebas" dari perkara anak.
Saya ingat dulu ada adik kelas yang diberitakan hamil dan mesti keluar dari sekolah. Saat itu
dia masih kelas 2 SMA dan dengan paksa orang tuanya memindahkan dia ke propinsi lain.
Padahal pacarnya yang juga masih SMA itu ingin menikahinya dan bertangung jawab.
Terjadilah kucing2an antara si pacar dengan orang tuanya si wanita. Hal ini yang suka
membuat saya bingung, kenapa tidak dilegalkan saja hubungan mereka. Toh kasarnya, nasi
sudah jadi bubur, kenapa harus dihalang-halangi?
Memperhatikan beberapa ibu tunggal yang harus menghidupi anaknya yang beberapa dari
mereka adalah ibu kawan anak2 saya di sekolah, membuat saya berpikir dalam. Jenny (nama
samaran) hamil saat dia masih SMA. Dia memutuskan untuk membesarkan anaknya sendiri
sembari menjalani hidupnya yang sempat tertinggal. Sang bapak dari anaknya, meskipun
cukup baik hubungannya dengan anaknya, tapi tidak mau berhubungan dengan si ibu alias
mantan pacarnya lebih dekat. Jenny mengikuti kelas malam untuk mengejar ketingalan
SMAnya dan mendapatkan diploma SMA. Sementara itu dia bekerja sebagai pelayan di
sebuah restoran. Saat dia bekerja dan bersekolah, ibunya yang menjaga putrinya. Enaknya di
US, bagi mereka yang ketinggalan dalam hal sekolahnya ada program di bawah state yang
dapat diikuti supaya mereka bisa menyelesaikan sekolah dan memperoleh diploma. Di
beberapa adult education diadakan program GED atau persamaan sekolah. Di beberapa
perguruan tinggi diadakan sekolah malam (night school disebutnya bukan program extension)
dan banyak dari lulusannya mendapatkan pekerjaan yang baik. Mengenai penitipan anak
terutama bagi wanita2 muda yang berusaha menyelesaikan sekolahnya sambil bekerja juga
dimudahkan oleh pemerintah state. Program seperti Head Start memungkinkan mereka untuk
menitipkan anak-anak mereka tanpa bayar atau bayaran minimum.
Perhatian yang timbul akibat kasus MBA sebetulnya masih salah tempat. Karena gembar-
gembor dosa atau menyalahkan pihak orang tua bukanlah jawaban dari permasalahan yang
timbul. Karena meskipun pasangan muda, terutama si wanitanya, ini bakal memiliki anak,
mereka masih berhak mendapatkan pendidikan lebih lanjut. Demikian juga kesempatan untuk
mendapatkan pelatihan bagaimana caranya merawat bayi dan anak, tentunya sangat berguna
bagi mereka. Segi kesehatan juga harus sangat diperhatikan apalagi jika si wanitanya masih
remaja belia. Kemungkinan besar bayi yang dilahirkan mempunyai penyakit tertentu atau
cacat dapat terjadi, akibat usia ibu yang masih sangat muda. Dalam suatu masyarakat
semestinya ada peran untuk membantu dan mengulurkan tangan bagi pasangan muda tersebut.
Ya, memang mereka berbuat salah, tapi bukan berarti mereka harus disalahkan terus-terusan
tanpa ampun.
Di bawah tekanan yang bertubi2 dari pihak orang tua dan juga masyarakat, seseorang bisa
kalap dan melakukan kejahatan. Dari mulai aborsi baik yang sukarela maupun yang paksa
sampai pembunuhan. Seperti halnya yang terjadi beberapa tahun lalu di kompleks perumahan
orang tua saya. Sewaktu mendengar pacarnya hamil, si A merasa terdesak karena takut akan
orang tuanya dan anggapan masyarakat. Lalu dia membunuh pacarnya dan menyembunyikan
jenazahnya. Dalam kasus aborsi paksa, si wanita muda juga yang akhirnya menjadi korban
yang mengakibatkan kematian atau cacatnya organ reproduksinya. Hal2 berlatar belakang
MBA juga menghasilkan beberapa kasus pembuangan bayi. Kalau saja bayi-bayi itu diberikan
kepada pihak panti asuhan akan lebih baik daripada dibuang semena-mena. Tapi di bawah
pandangan masyarakat, seseorang bisa berpikir egois dan mementingkan perkaranya sendiri.
Kalau sudah begini, bukankah tugas masyarakat sebenarnya untuk mengatasi meningkatnya
kasus MBA dan kalau bisa mencari jalan keluarnya untuk pihak-pihak yang berkaitan. Jangan
cuma bisa menuduh, menuding dan menyalahkan. Kenapa tidak dengan memaafkan terlebih
dahulu, turut membantu dalam hal pendidikan, pengadaan lapangan kerja dan terutama tetap
menjadi kawan, tetangga atau saudara mereka.
Tawuran Remaja
Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan
“hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang
mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di
Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian
pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995
terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun
1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya
korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian
dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga
perkelahian di tiga tempat sekaligus.
Sering dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari
keluarga dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini. Dari 275
sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 di antaranya adalah sekolah menengah umum.
Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering
berkelahi berasal dari keluarga mampu secara ekonomi. Tuduhan lain juga sering dialamatkan
ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu
juga pada keluarga yang dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar,
masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga
kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan publik
lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah
satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal
perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik.
Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan”
mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk
memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang
terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan,
norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai
anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di
dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi
eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4
faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. 1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu
melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti
adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang
dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya
menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian,
mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk
pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari
masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih
menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering
berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi,
memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki
perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
1. 2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau
pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar
bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia
melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya,
ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani
mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya,
ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari
identitas yang dibangunnya.
1. 3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang
harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai
dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang
siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak
relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan
siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru
setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting.
Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta
sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau
dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
1. 4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari
remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya
lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku
buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering
menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh
kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari
lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk
munculnya perilaku berkelahi.