Está en la página 1de 29

Gagal Ginjal Kronik

Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik Soemyarso

PENDAHULUAN

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah keadaan dimana terjadi penurunan fungsi ginjal secara
progresif, terdiri dari GGK ringan, sedang, berat sampai gagal ginjal terminal atau tahap akhir.
Penurunan fungsi ginjal terjadi sesuai dengan penurunan jumlah dari massa ginjal (tabel 1).
Fungsi ginjal dinyatakan sebagai laju filtrasi glomerulus (LFG) (1)

           

Tabel 1. Pembagian gagal ginjal kronik

  Massa ginjal yang LFG


Gejala-gejala
masih berfungsi(%)
ml/menit/1.73m2
Gagal ginjal ringan 50 – 25 80 – 50 Asimptomatik
Gagal ginjal sedang 25 – 15 50 – 30 Gangguan metabolik dan
pertumbuhan
Gagal ginjal berat 15 – 5 30 – 10
Membutuhkan terapi
Gagal ginjal terminal <5 ≤ 10
pengganti ginjal

Dikutip dari Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children.  In  Webb N,
Postlethwaite Eds. Clinical paediatric nephrology 3rd ed. Oxford University Press New York., 2003 : 428

ANGKA KEJADIAN

Angka kejadian gagal ginjal kronik sulit ditentukan secara pasti. Pada tahun 1999, di United
Kingdom diperoleh data 53,4 per 1 juta anak mengalami terapi pengganti ginjal di mana 2,4%
terjadi pada umur kurang dari 2 tahun, 6,4% pada umur 2-5 tahun, 20,5% pada umur 5-10 tahun,
41,2% pada umur 10-15 tahun dan 29,5% pada umur 15-18 tahun (1). Data GGK di Indonesia
belum diketahui secara pasti. Di RSCM Jakarta dilaporkan 21 dari 252 anak yang menderita
penyakit ginjal kronik (2).

 
PENYEBAB

Penyebab terjadinya GGK bermacam-macam. Namun terdapat tiga penyebab utama GGK pada
anak yaitu kelainan kongenital, kelainan herediter, dan glomerulonefritis. Macam macam
penyebab GGK adalah sebagai berikut : kelainan kongenital, kelainan herediter,
glomerulonefritis, penyakit multisistem (lupus eritematosus, henoch schoenlein, hemolitic urmic
syndrome), misscelaneous (penyakit neuromuskuler, tumor ginjal, syndroma drash). (1)

PATOFISIOLOGI

Ginjal mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu menghasilkan hormon-hormon misalnya
eritropoitin, vitamin D3 aktif, membersihkan toksin hasil metabolisme dalam darah,
mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa, serta memegang peranan untuk
mengontrol tekanan darah(3). Pada gagal ginjal kronik, ginjal tidak mampu menjalankan beberapa
atau semua fungsi tersebut di atas. Penyebab utama gangguan fungsi ginjal tersebut oleh karena
berkurangnya massa ginjal oleh karena kerusakan akibat proses imunologis yang terus
berlangsung, hiperfiltrasi hemodinamik dalam mempertahankan glomerulus, diet protein dan
fosfat, proteinuria persisten serta hipertensi sistemik(3). Berkurangnya massa ginjal akibat
kerusakan tersebut, akan menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperfiltrasi dari massa ginjal
yang tersisa. Akibatnya akan terjadi hipertensi pada massa ginjal tersebut yang dapat
menyebabkan sklerosis glomerulus serta fibrosis dari jaringan interstitial(3,4).

Ginjal mempunyai kemampuan yang besar untuk melakukan kompensasi. Bila massa ginjal
berkurang 50%, maka gejala-gejala pada GGK masih belum terlihat. Gejala-gejala GGK mulai
tampak bila massa ginjal berkurang 50% sampai 80% misalnya uremia(3).

Uremia merupakan kumpulan gejala akibat terganggunya beberapa sistem organ sebagai akibat
penimbunan toksin dari metabolisme protein(3). Tanda-tanda terjadinya gagal ginjal kronik yaitu
adanya ginjal yang mengecil dari foto X-Ray, osteodistrofi ginjal, neuropati perifer serta
terjadinya uremia(3).

Terjadinya osteodistrofi ginjal sebagai akibat terjadinya hiperparatiroid sekunder. Pada GGK
terjadi penurunan LFG, akibatnya terjadi hiperfosfatemia yang akan merangsang kelenjar
paratiroid untuk memproduksi hormon paratiroid. Di samping itu pada GGK terjadi penurunan
aktifitas enzim 1 α-hidroxylase akan menyebabkan terjadinya hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
Keadaan ini juga akan merangsang kelenjar paratiroid untuk memproduksi hormon paratiroid.
Ada dua macam bentuk osteodistrofi ginjal yaitu osteitis fibrosa cystica yang ditandai dengan
peningkatan aktifitas osteoclast atau osteomalacia yang ditandai dengan penurunan aktifitas
mineralisasi tulang (3).  

Neuropati yang terjadi lebih bersifat sensoris dengan gejala timbulnya paraesthesia serta
“sindroma restless leg”. Pada GGK terjadi anemia normokromik normositik, akibat penurunan
produksi eritropoitin yang dalam keadaan normal diproduksi di endotel kapiler peritubular (3).
Pada gagal ginjal terminal merupakan fase akhir progresifitas dari gagal ginjal kronik. Penderita
mengalami kerusakan massa ginjal dalam jumlah sangat besar sehingga untuk mempertahankan
fungsi ginjal memerlukan terapi pengganti ginjal baik dialisis atau transplantasi (3).

MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis pada GGK dapat disebabkan oleh penyakit yang mendasari maupun akibat dari
GGK sendiri yaitu : (1,2,5,6,7,8)

1. Kegagalan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit


2. Penumpukan metabolit toksik atau toksin uremik
3. Kekurangan hormon yang diproduksi di ginjal yaitu eritropoietin dan vit. D3 aktif
4. Respon abnormal dari end organ terhadap hormon pertumbuhan

DIAGNOSIS (1,6)

Untuk menegakkan diagnosa GGK, anamnesis merupakan petunjuk yang sangat penting
untuk mengetahui penyakit yang mendasari. Namun demikian pada beberapa keadaan
memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan khusus. Pemeriksaan yang diperlukan untuk mengetahui
beratnya GGK adalah sebagai berikut :

        Darah lengkap : hemoglobin, leukosit, trombosit, differential count, hapusan darah.

        Kimia darah :

o       Serum elektrolit (K, Na, Ca, P, Cl), ureum, kreatinin, serum albumin, total protein, asam
urat.

o       Analisa gas darah

o       Kadar hormon paratiroid

        Pemeriksaan urin : albumin/protein, sedimen urin.

        Laju Filtrasi Glomerulus, dapat ditentukan dengan menggunakan rumus Haycock-Schwartz

LFG = ( K x h )

                          Pcr

o       LFG : Laju Filtrasi Glomerulus


o       K : konstanta sesuai dengan tinggi badan dan massa otot

o       h : tinggi badan dalam cm

o       Pcr : kadar kreatinin dalam plasma (µmol/L atau mg/dL)

o       Nilai K berbeda menurut umur

Umur Pcr (mg/dL)


Preterm 0,27
Neonatus 0,37
Bayi ( 0-1 th ) 0,45
Anak ( 2-12 th) 0,55
Perempuan ( 13-21 th ) 0,55
Laki-laku ( 13-21 th) 0,70

 Foto tangan kiri dan pelvis untuk mengetahui bone age serta terjadinya osteodistrofi
ginjal.
 Thorax foto, elektrokardiografi (EKG) dan echocardiografi untuk mengetahui terjadinya
hipertrofi ventrikel.
 Pemeriksaan khusus yang diperlukan sesuai dengan penyakit yang mendasari :
o Ultrasonografi ginjal
o Voidingcystourography
o Radioisotop-Scans
o Antegrade pressure flow studies
o Intravenous urogram
o Urinalisis
o Pemeriksaan mikroskop urin, kultur
o Komplemen C3, C4, antinuklear antibodi, anti DNA antibodi, anti GBN
antibodies, ANCA
o Biopsi ginjal

PENGOBATAN (1,2,3,4,6,9)

Penanganan penderita GGK meliputi penanganan :

 Penyakit yang mendasari


 Keadaan sebelum mencapai gagal ginjal terminal
 Gagal ginjal terminal
Penanganan penyakit yang mendasari misalnya pengobatan glomerulonefritis, reflux nefropati,
uropati obstruktif, serta penyakit-penyakit sistemik yang mendasari.

Penanganan sebelum penderita mencapai gagal ginjal terminal meliputi :

A. Pengobatan secara konservatif

a)      Pengobatan secara simptomatis, yaitu mengurangi gejala uremia seperti mual,
muntah

b)      Mengusahakan kehidupan penderita menjadi normal kembali, sehingga dapat


melakukan aktifitas seperti sekolah dan kehidupan sosial

c)      Mempertahankan pertumbuhan yang normal

d)      Menghambat laju progresifitas menjadi gagal ginjal terminal

e)      Mempersiapkan penderita dan keluarga untuk menjalani terapi pengganti ginjal
misalnya dialisis, transplantasi ginjal

B. Pemberian nutrisi

Pemberian nutrisi penting untuk memperbaiki nutrisi dan pertumbuhan penderita.


Pemberian nutrisi pada GGK:

a)      Kalori yang adekuat mengacu pada recommended daily allowance (RDA) Tabel2.

b)      Protein yang diberikan harus cukup untuk pertumbuhan namun tidak memperberat
keadaan uremia. Tabel2.

c)      Pemberian diet yang mengandung fosfat harus dibatasi untuk mencegah terjadinya
hiperparatiroidism sekunder. Dianjurkan mempergunakan kalsium karbonat untuk
mengikat fosfat.

 
Tabel 2.  Kebutuhan kalori dan protein yang direkomendasikan untuk anak
dengan gagal ginjal kronik

Umur                Tinggi                Energi               Minimal Ca        P

                        ( cm)                 (Kkal)                protein(g)           (g)        (g)

0-12 bulan        
55                     120/kg               2,2/kg              0,4        0,2

2-6   bulan         63                     110/kg               2,0/kg              0,5        0,4

6-12 bulan         72                     100/kg               1,8/kg              0,6        0,5

1-2 tahun           81                     1000                 18                     0,7        0,7

2-4 tahun           96                     1300                 22                     0,8        0,8

4-6 tahun           110                   1600                 29                     0,9        0,9

6-8 tahun           121                   2000                 29                     0,9        0,9

8-10 tahun         131                   2200                 31                     1          1

10-12 tahun       141                   2450                 36                     1,2        1,2

12-14tahun L     151                   2700                 40                     1,4        1,4

                   P    154                  2300                 34                     1,3        1,3

14-18tahun L    170                    3000                 45                     1,4        1,4

                   P    159                  2350                 35                     1,3        1,3

18-20tahun L    175                    2800                 4,2                    0,8        0,8

                  P    163                   2300                 33                     0,8        0,8

 
C. Pemberian cairan dan elektrolit

Pengaturan cairan pada penderita GGK harus mengacu pada status hidrasi penderita.
Dilakukan evaluasi turgor kulit, tekanan darah, dan berat badan. Pada penderita GGK
dengan poliuria pemberian cairan harus cukup adekuat untuk menghindari terjadinya
dehidrasi. Harus ada keseimbangan antara jumlah cairan yang dikeluarkan (urin, muntah,
dan lain-lain) dengan cairan yang masuk. Pemberian cairan juga harus memperhitungkan
insensible water loss. Pembatasan cairan biasanya tidak diperlukan, sampai penderita
mencapai gagal ginjal tahap akhir atau terminal.

D. Koreksi asidosis dengan pemberian NaHCO3 1-2 mmol/kg/hari peroral dalam dosis
terbagi. Keadaan asidosis yang berlangsung lama akan mengganggu pertumbuhan.
Pengobatan asidosis harus dimonitor. Dosis harus disesuaikan dengan analisis gas darah.
Pada asidosis berat dilakukan koreksi dengan dosis 0,3 kgBB x (12 - HCO3- serum)
mEq/L iv. Satu tablet NaHCO3 500 mg = 6 Meq HCO3-.
E. Osteodistrofi ginjal

Osteodistrofi ginjal dapat dicegah dengan pemberian kalsium, pengikat fosfat serta
vitamin D. Dosis kalsium yang sering digunakan 100-300 mg/m2/hari. Vitamin D yang
sering digunakan 1,25 OHvitD3 (rocatrol) dengan dosis 0,25 μg/hari (15-40
ng/kgBB/hari).

F. Hipertensi

Hipertensi pada GGK penyebabnya multifaktor. Pengobatan hipertensi meliputi non


farmakologis yaitu diet rendah garam, menurunkan berat badan dan olah raga.
Pengobatan farmakologis, obat yang sering dipergunakan yaitu : diuretik, calcium
channel blocker, angiotensin receptor blocker, ACE (angiotensin converting enzym)
inhibitor, beta blocker,agonis adrenergik alfa,vasodilator perifer.

Pengobatan hipertensi diawali dengan pemberian diuretik golongan furosemid 1-4


mg/kgBB/hari dibagi 1-4 dosis. Bila tidak berhasil dapat diberi antihipertensi calcium
channel blocker ( nifedepin 1-2 mg/kg/hari dibagi 4 dosis ), ACE inhibitor ( kaptopril 0,3
mg/kg/kali diberikan 2-3 kali sehari), beta blocker (propanolol 1-10 mg/kg/hari), dan
lain-lain. Pada hipertensi krisis dapat diberikan nifedipin secara sublingual 0,1mg/kg/kali
maksimum 1 mg/kg/hari.

G. Anemia

Pengobatan anemia pada GGK dengan pemberian recombinant hormon eritropoietin


(EPO), bila Hb ≤ 10 g/dl, Ht ≤ 30% dengan dosis 50 unit/kgBB subkutan dua kali
seminggu, dengan catatan serum feritin > 100 μg/L. Dosis dapat ditingkatkan sampai
target haemoglobin 10-12 mg/dL tercapai. Selain itu pemberian asam folat diberikan pada
penderita dengan defisiensi asam folat, dosis 1-5 mg/hari (selama 3-4 minggu). Penderita
dengan dialisis diberi dosis rumatan 1 mg/hari.

H. Gangguan jantung

Bila terjadi gagal jantung dan hipertensi, maka pengobatan diberikan furosemide secara
oral atau intravena dan pemberian calcium channel blocker. Bila terjadi perikarditis dan
uremia berat adalah indikasi dilakukan dialisis.

I. Gangguan pertumbuhan

Evaluasi pertumbuhan penderita GGK terutama dibawah umur 2 tahun dengan


melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar kepala secara teratur.
Sehingga adanya gangguan pertumbuhan dapat segera diketahui. Pemberian nutrisi yang
adekuat dapat mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan. Terapi dengan recombinant
growth hormon (rhGH) dapat diberikan untuk mempercepat pertumbuhan dengan dosis
0,35 mg/kgBB atau 30 UI/m2 perminggu dibagi 7 dosis. Pemberian rhGH pada anak-anak
masa pubertal menunjukkan hasil yang memuaskan daripada anak-anak usia pubertal.

Penanganan penderita dengan gagal ginjal terminal dengan melakukan terapi pengganti ginjal
meliputi transplantasi ginjal dan dialisis.

a)      Transplantasi ginjal merupakan pilihan utama pada GGT. Namun sebelum dilakukan
transplantasi ginjal sering penderita GGT harus menjalani dialisis terlebih dahulu.
Transplantasi ginjal yang dilakukan tanpa dialisis disebut pre-emptive transplantation (1).

b)      Dialisis dilakukan pada penderita dengan indikasi sebagai berikut :

        Gejala-gejala uremia yaitu letargi, anoreksia, muntah-muntah.

        Hiperkalemia yang tidak respon dengan koreksi

        Overload cairan

Ada 2 macam dialisis yaitu :

        Peritoneal dialisis

        Hemodialisis
Pada anak peritoneal dialisis lebih disukai daripada hemodialisis. Saat ini tindakan
dialisis cenderung dilakukan lebih awal yaitu bila LFG kurang dari 15 mL/menit/1,73 m2
luas permukaan tubuh.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N,
Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003;
427-46.

2.      Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal Kronik. Dalam Alatas H, Tambunan
T, Trihono PP, Pardede SO Eds. Buku Ajar Nefrologi Anak 2nd ed. Bali penerbit FKUI
Jakarta, 2002; 509-30.

3.      Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive renal disease. In Avner ED, Harmon WE,
Niaudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1269-85.

4.      Kei-Chiu TN, Chiu MC. Pre-Renal Replacement Program : Conservative Management of
Chronic Kidney Disease. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology.
Medcom Limited Hongkong, 2005; 247-52.

5.      Yap HK. Anemia, Renal Osteodystrophy, Growth Failure in Chronic Renal Failure. In Chiu
MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005;  
253-61.

6.      Winearls CG. Clinical Evaluation and Manifestation of chronic Renal Failure. In Johnson
RJ, Feecally J Eds. Comprehensive Clinical Nephrology. Harcourt Publishers Limited
London, 2000;  section 14. 68 : 1-14.

7.      Fine RN, Whyte DA, Baydstrun II. Conservative management of chronic renal insufficiency.
In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams &
Wilkins USA, 2004; 1291-305.

8.      Kuizon BD, Sausky IB. Renal Osteodistrophy. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds.
Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1291-305.

9.      Goonasekera CDA, Dillon MJ. Thhe child with hypertension. In Webb N, Postlethwaite Eds.
Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 151-61.

 
 

   gambaran mekanisme koping pada pasien hemodialisis

BAB I
PENDAHULUAN

A. BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia pada dasarnya menginginkan dirinya selalu dalam kondisi yang sehat, baik secara fisik
maupun secara psikis, karena hanya dalam kondisi yang sehatlah manusia akan dapat
melakukan segala sesuatu secara optimal. Tetapi pada kenyataannya selama rentang
kehidupannya, manusia selalu dihadapkan pada permasalahan kesehatan dan salah satunya
berupa penyakit yang diderita (Patricia, 2005).
Syamsuddin (2009) memaparkan bahwa jenis penyakit yang diderita bentuknya beraneka
ragam, ada yang tergolong penyakit ringan dimana dalam proses pengobatannya relatif mudah
dan tidak terlalu menimbulkan tekanan psikologis pada penderita. Tetapi, ada juga penyakit
yang berbahaya dan dapat menganggu kondisi emosional salah satunya yaitu penyakit gagal
ginjal kronik.
Prosedur pengobatan yang digunakan untuk memperbaiki keadaan tersebut adalah melalui
hemodialisis atau transplantasi ginjal, tetapi karena mahalnya biaya operasi transplantasi ginjal
dan susahnya pencarian donor ginjal, maka cara terbanyak yang digunakan yaitu hemodialisis
(Iskandarsyah, 2006).
Sampai saat ini penderita penyakit gagal ginjal tergolong banyak, menurut data dari Yayasan
Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) pada tahun 2001 di seluruh dunia terdapat 1,1 juta orang
menjalani dialisis kronik, serta diproyeksikan pada tahun 2010 menjadi lebih dari 2 juta orang. Di
Indonesia sendiri, angka kejadian gagal ginjal terminal berada pada 100 pasien baru setiap 1 juta
penduduk per tahun.
Di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar, jumlah kunjungan rawat jalan dengan diagnosa gagal
ginjal pada tahun 2006 sebanyak 3413 kunjungan, tahun 2007 sebanyak 3333 kunjungan, tahun
2008 sebanyak 2567 kunjungan, dan pada tahun 2009 (Januari – maret) jumlah kunjungan
sebanyak 1078 kunjungan (Rekam Medik RS. Labuang Baji Makassar, 2009).
Rumah Sakit Labuang Baji Makassar merupakan salah satu dari beberapa Rumah Sakit di Kota
Makassar yang menyediakan pelayanan hemodialisis, dan sampai Juli 2009 jumlah pasien yang
menjalani terapi hemodialisis berjumlah 35 Pasien.
Clinar S, Barlas GU, Alpha SE (2009) melakukan penelitian dengan judul Stressors and coping
strategies in hemodilysis patients, mendapatkan 24 stressor yang dapat muncul pada pasien
hemodilaisis, diantaranya keterbatasan, kelemahan, ketidakpastian masa depan, keterbatasan
aktifitas, dan ketergantungan hidup terhadap mesin hemodialisis.
Penyakit ginjal menyebabkan pasien mengalami permasalahan-permasalahan yang bersifat fisik,
psikologis, dan sosial yang dirasakan sebabagi kondisi yang menekan. Dan permasalahan
psikologis yang dialami pasien gagal ginjal kronik ditunjukkan dari sejak pertama kali pasien
divonis mengalami gagal ginjal kronik (Iskandarsyah, 2006).
Dari observasi awal serta wawancara singkat dengan kepala ruangan hemodialisis di ruang
hemodialisis RS. Labuang Baji Makassar, didapatkan perubahan fisik yang terjadi pada mereka
yang menjalani hemodialisis yaitu pruritus (gatal-gatal pada kulit), kering, dan belang yang
merupakan efek dari proses hemodialisis.
Berdasarkan fenomena-fenomena diatas, maka penulis ingin mengetahui gambaran mekanisme
koping pada pasien yang menjalani hemodialisis di ruang hemodialisis RS. Labuang Baji
Makassar.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut diatas, penulis dapat merumuskan masalah penelitian yaitu “Bagaimanakah
mekanisme koping pada pasien hemodialisis di ruang hemodialisis RS. Labuang Baji Makassar?”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran mekanisme koping pada pasien hemodialisis di ruang
hemodialisis RS. Labuang Baji Makassar.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi jenis mekanisme koping pasien hemodialisis di ruang hemodialisis RS.
Labuang Baji Makassar

D. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan ilmiah bagi peningkatan ilmu
pengetahuan, terutama yang terkait dengan mekanisme koping pasien hemodialisis.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada perawat ruang
hemodialisis tentang mekanisme koping yang digunakan oleh pasein yang menjalani terapi
hemodialisis.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada keluarga yang memiliki
anggota keluarga yang sedang menjalani terapi hemodialisis.
4. Sebagai bahan bacaan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti berikutnya.
5. Sebagai latihan dan pengalaman berharga bagi peneliti untuk mengetahui mekanisme koping
yang digunakan oleh pasien hemodialisis dan dapat menerapkannya dilapangan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Gagal Ginjal Kronik
1. Definisi
Smeltzer (2002) menjelaskan gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan
ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen
lain dalam darah).
Penyakit gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir (end-stage ginjal disease, ERDS)
adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan penurunan fungsi ginjal yang diakibatkan oleh
proses kerusakan ireversibel (Patricia, 2006).
Gagal ginjal kronik menurut Corwin (2006) yaitu destruksi struktur ginjal yang progresif dan
terus menerus.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronik merupakan penurunan fungsi
ginjal perlahan yang mengakibatkan kemampuan ginjal untuk mengeluarkan hasil-hasil
metabolisme tubuh terganggu. Hal ini terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak
nefron ginjal yang lebih lanjut akan dibahas pada etiologi gagal ginjal kronik.

2. Etiologi
Price & Wilson (2006) mengklasifikasikan sebab-sebab gagal ginjal kronik dalam tabel berikut.
Tabel 2.1. Klasifikasi sebab-sebab gagal ginjal kronik
Klasifikasi Penyakit Penyakit
- Infeksi
- Penyakit peradangan
- Penyakit vascular hipersensitif

- Gangguan jaringan penyambung

- Gangguan congenital dan herediter

- Penyakit metabolik

- Nefropati toksik

- Nefropati obstruktif - Pielonefritis kronik


- Glomerulonefritis
- Nefrosklerosis benigna
- Nefrosklerosis maligna
- Lupus eritemotosus sistemik
- Poliarteritis nodosa
- Sklerosis sistemik progresif
- Penyakit ginjal polikiistik
- Asidosis tubulus ginjal
- Diabetes mellitus
- Gout
- Hiperparatiroidisme
- Amiloidosis
- Penyalahgunaan analgesic
- Nefropati timbale
- Saluran kemih bagian atas : kalkuli, neoplasma, fibrosis retinoperitoneal
- Saluran kemih bagian bawah : hipertrofi prostat, striktur uretra, anomaly congenital pada leher
kandung kemih dan uretra

3. Tanda dan gejala


Smeltzer (2002) dalam buku ajar keperawatan medikal bedah menjelaskan tanda dan gejala
gagal ginjal kronis.
Tabel 2.2. Tanda dan gejala gagal ginjal kronik
Kardiovaskuler Hipertensi
Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
Edema periorbital
Friction rub perikardial
Pembesaran vena leher
Integrumen Warna kulit abu-abu mengkilat
Kulit kering, bersisik
Pruritus
Ekimosis
Kuku tipis dan rapuh
Rambut tipis dan kasar
Pulmoner Krekels
Sputum kental dan liat
Nafas dangkal
Pernafasan kussmaul
Gastrointestinal Nafas berbau amonia
Ulserasi dan pendarahan pada mulut
Anoreksia, mual dan muntah
Konstipasi dan diare
Perdarahan dari saluran GI
Neurologi Kelemahan dan keletihan
Konfusi
Disorientasi
Kejang
Kelemahan pada tungkai
Rasa panas pada telapak kaki
Perubahan perilaku
Muskuloskeletal Kram otot
Kekuatan otot hilang
Fraktur tulang
Foot drop
Reproduksi Amenorea
Atrofi testikuler

4. Stadium
Seperti pada pembahasan sebelumnya, penurunan fungsi ginjal tidak berlangsung secara
sekaligus, melainkan berlangsung seiring berjalannya waktu.
Apabila masalah pada ginjal dapat dideteksi sedini mungkin maka terapi untuk memperlambat
penurunan fungsi ginjal dapat dilakukan dengan cepat untuk sebisa mungkin penurunan fungsi
ginjal tersebut tidak mencapai stadium akhir. Untuk itu penting bagi penderita mengetahui pada
stadium berapa penyakit ginjal kronik yang dideritanya agar tim medis dapat memberikan terapi
yang tepat (Hartono, 2008).
Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) (2008) membagi 5 stadium penyakit gagal ginjal kronik
yang ditentukan melalui penghitungan nilai glumelular filtration rate (GFR)
a. Stadium 1, dengan GFR normal (>90 ml/min)
b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah (15 s/d 29 ml/min)
e. Stadium 5, penyakit gagal ginjal stadium akhir / terminal (>15 ml/min)
5. Penatalaksanaan
Smeltzer (2002) memaparkan bahwa tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan
fungsi ginjal dan homeostatis selama mungkin.
Fakultas kedokteran Universitas Indonesia (2006) menjelaskan bahwa penatalaksanaan tahapan
gagal ginjal kronik dapat dibagi menurut beberapa cara, antara lain dengan memperhatikan faal
ginjal yang masih tersisa, bila faal ginjal yang masih tersisa sudah minimal sehingga usaha-usaha
pengobatan konservasif yang berupa diet, pembatasan minum, obat dan lain-lain tidak memberi
pertolongan yang diharapkan lagi, keadaan tersebut diberi nama Gagal Ginjal Terminal (GGT).
Prosedur pengobatan yang digunakan untuk memperbaiki keadaan tersebut adalah melalui
hemodialisis atau transplantasi ginjal, tetapi karena mahalnya biaya operasi transplantasi ginjal
dan susahnya pencarian donor ginjal, maka cara terbanyak yang digunakan yaitu hemodialisis
(Iskandarsyah, 2006).
Secara umum FKUI (2006) dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam membagi jenis terapi pengganti
menjadi :
Tabel 2.3. Berbagai Jenis Terapi Pengganti
I. Dialisis
A. Dialisis
- DP intermiten (DP)
- DP mandiri berkesinambungan (DPMB)
- DP dialirkan berkesinambungan (DPDB)
- DP noktural (DPN)
B. Hemodialisis (HD)
II. Transplantasi ginjal (TG)
TG donor hidup (TGDH)
TG donor jenazah (TGDJ)

FKUI (2006) membahas bahwa terapi hemodialisis dibutuhkan apabila fungsi ginjal seseorang
telah mencapai tingkatan terakhir (stadium 5) atau lebih lazim dengan gagal ginjal terminal dan
pada keadaan ini hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah kedalam suatu tabung ginjal
buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Hemodialisis akan
dipaparkan secara jelas pada pembahasan selanjutnya.

B. Tinjauan Tentang Hemodialisis


1. Definisi
Hemodialisis adalah tindakan mengeluarkan air yang berlebih ; zat sisa nitrogen yang terdiri atas
ureum, kreatinin, serta asam urat ; dan elektrolit seperti kalium, fosfor, dan lain-lain yang
berlebihan pada klien gagal ginjal kronik, khususnya pada GGT (Hartono, 2008).
Corwin (2006) menjelaskan hemodialisis adalah dialisis yang dilakukan diluar tubuh. Pada
prosedur ini darah dikeluarkan dari tubuh, melalui sebuah kateter dan masuk ke dalam sebuah
alat besar (mesin) yamng memiliki membran semipermeabel.
Hemodialisis adalah tindakan untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah
dan mengeluarkan air yang berlebih (Smeltzer, 2002).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hemodialisis merupakan
tindakan mengeluarkan zat sisa metabolisme dan cairan berlebih melalui membran semi
permiabel dengan prinsip dialisis.
2. Indikasi dan Kontra indikasi
Indikasi hemodialisis yaitu gagal ginjal yang tidak lagi dapat dikontrol melalui penatalaksanaan
konservatif, pemburukan sindrom uremia yang berhubungan dengan EDRS (mis, mual, muntah,
perubahan neurologis, kondidi neuropatik, perikarditis), gangguan cairan atau elektrolit berat
yang tidak dapat dikontrol oleh tindakan yang lebih sederhatan (Patricia, 2006).
Sabatine (2004) memaparkan kontra indikasi yaitu ketidakstabilan hermodinamik, aritmia, dan
perdarahan.
3. Prinsip kerja

Gambar 2.1. Gambar skematik sistem hemodialisis

Smeltzer (2002) menjelaskan ada 3 prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu :
a. Difusi, toksik dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah
(konsentrasi tinggi) ke cairan dialisat (konsentrasi rendah).
b. Osmosis, air yang berlebih dikeluarkan melalui proses osmosis, pengeluaran air dikendalikan
dengan menciptakan gradien tekanan ; air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih
tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat).
c. Ultrafiltrasi, gradien dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal
sebagai untrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai
kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air.
Patricia (2006) menjelaskan proses hemodialisis dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin
yang dilengkapi dengan membran penyaring semipermeabel (ginjal buatan) yang memindahkan
produk limbah yang terakumulasi dari darah ke dalam mesin dialisis. Pada mesin tersebut,
cairan dialisat dipompa melalui salah satu sisi membran filter, sementara darah klien keluar dari
sisi yang lain.
4. Komplikasi
Smeltzer (2002) Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada hemodialisis yaitu :
a. Hipotensi, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
b. Emboli udara, merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat terjadi jika udara memasuki
sistem vaskuler pasien.
c. Nyeri dada, dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah
di luar tubuh
d. Pruritus, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan
kulit
e. Gangguan keseimbangan dialisis, terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul
sebagai serangan kejang.
f. Kram otot yang nyeri, terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang
ekstrasel
5. Perubahan yang terjadi pada pasien hemodialisis
Orang dengan penyakit kronis menghadapi perubahan permanen dalam gaya hidupnya,
ancaman, martabat dan harga diri, gangguan transisi hidup normal dan penurunan sumber-
sumber. Hal ini diperkuat dengan hasil survey, pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis lebih dari 4 tahun maka ia telah mulai dapat menyesuaikan diri dengan
penyakitnya (Iskandarsyah, 2006).
YDGI (2008) menjelaskan perubahan yang terjadi pada pasien hemodialisis antara lain :
a. Problem kulit, seperti gatal-gatal (pruritus), kulit kering (xerosis), kulit belang (skin
discoloration).
b. Rasa mual dan lelah.
c. Masalah tidur, gangguan tidur dialami sekitar 50-80% pasien yang menjalani terapi
hemodialisis.
Lubis (2006) terjadinya perubahan dan gangguan pada fungsi tubuh pasien hemodialisis,
menyebabkan pasien harus melakukan penyesuaian diri secara terus menerus selama sisa
hidupnya. Penyesuaian ini mencakup keterbatasan dalam memanfaatkan kemampuan fisik dan
motorik, penyesuaian terhadap perubahaan fisik dan pola hidup, ketergantungan secara fisik
dan ekonomi pada orang lain serta ketergantungan pada mesin dialisa selama sisa hidup. Untuk
lebih jelasnya, pada bagian selanjutnya akan dibahas tentang mekanisme koping.

Gambar 2.2. Mesin Hemodialisis

C. Tinjauan Tentang Mekanisme Koping


1. Definisi
Siswanto (2007) Koping dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai
situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, luka, kehilangan, atau ancaman. Jadi koping lebih
mengarah pada yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan
atau yang membangkitkan emosi.
Penyesuaian diri dalam mengahadapi stres, dalam konsep kesehatan mental dikenal dengan
istilah koping (Lubis, 2006).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa koping merupakan reaksi individu ketika
menghadapi suatu tekanan atau stres.
2. Jenis-jenis koping
Dalam Siswanto (2007) terdapat dua ahli atau pakar besar yaitu lazarus serta Harber & Runyon
membagi jenis-jenis koping secara berbeda. Untuk memudahkan pembagian jenis koping akan
dibagi berdasarkan teori kedua ahli tersebut secara terpisah :
a. Lazarus, 1976, dalam Siswanto (2007) membagi koping menjadi dua jenis yaitu :
1) Tindakan langsung (Direct Action)
Koping jenis ini adalah setiap usaha tingkah laku yang dijalankan individu untuk mengatasi
kesakitan atau luka, ancaman, atau tantangan.

Terdapat 4 macam jenis koping tindakan langsung (Direct Action) yaitu :


a) Mempersiapkan diri untuk menghadapi luka, seperti antisipasi.
b) Agresi, merupakan tindakan individu dengan menyerang agen yang dinilai mengancam atau
akan melukai.
c) Penghindaran (Avoidance)
d) Apati, jenis ini merupakan pola orang yang putus asa. Apati dilakukan dengan menerima
begitu saja.
2) Peredaan atau peringanan (Pallation)
Jenis koping ini mengacu pada mengurangi, menghilangkan, atau mentoleransi tekanan-
tekanan. Ada 2 macam koping dengan jenis ini, yaitu :
a) Diarahkan pada gejala (Symptom direct modes), dengan mengurangi gangguan yang
disebabkan oleh tekanan tersebut.
b) Cara intrapsikis (Intrapsychis modes) atau Mekanisme pertahanan diri (Defense Mechanism),
merupakan koping yang bersifat menyaring realita, terjadi tanpa disadari dan bersifat
membohongi sehingga digolongkan kepada koping yang tidak sehat (destruktif) kecuali
sublimasi.
Macam-macam koping ini terdiri dari ; Identifikasi, Pengalihan (Displacement), Denail, Reaksi
formasi, Dorongan yang mengancam, Proyeksi, Rasionalisasi, dan Sublimasi.
b. Harber & Runyon, 1984, dalam Siswanto (2007) membagi jenis koping konstuktif yang terdiri
dari :
1) Penalaran, mengunakan kemampuan kognitif.
2) Objektifitas, pembedaan anatara emosional dan logis dalam pemikiran serta penalaran.
3) Konsentrasi, kemampuan memusatkan perhatian secara penuh.
4) Humor, melihat segi yang lucu dari persoalan yang sedang dihadapi.
5) Supresi, kemampuan menekan reaksi yang mendadak terhadap situasi yang ada.
6) Toleransi terhadap kekhawatiran atau amibuitas, yaitu kemampuan memahami bahwa
banyak hal dalam kehidupan yang bersifat tidak jelas.
7) Empati, melihat sesuatu dari pandangan orang lain
c. Maramis (2005) menjelaskan cara menghadapi stres, yang lebih lazim dikenal dengan strategi
koping, diantaranya :
1) Cara penyesuaian yang berorientasi pada tugas (task oriented). Cara ini bertujuan
menghadapi tuntutan secara sadar, realistis, obyektif dan rasional. Cara ini mungkin terbuka
ataupun mungkin terselubung dan dapat berupa :
a) serangan atau menghadapi tuntutan secara frontal (terang-terangan) ;
b) penarikan diri atau tidak mau tahu lagi tentang hal itu ;
c) kompromi.
2) Berorientasi pada pembelaan ego (ego defence-oriented), yang bertujuan utama melindungi
diri kita sendiri terhadap rasa devaluasi diri dan meringankan ketenangan serta kecemasan yang
menyakitkan. Diataranya :
a) Fantasi : keinginan yang tak terkabul dipuaskan dalam
imajinasi
b) Penyangkalan : tidak berani melihat & mengakui kenyataan yang
menakutkan.
c) Rasionalisasi : berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatannya
(yang sebenarnya tidak baik) rasional adanya, dapat
dibenarkan dan dapat diterima.
d) Identifikasi : menambah rasa harga-diri dengan menyamakan
dirinya dengan seorang atau suatu hal yang
dikaguminya.
e) Introyeksi : individu menerima dan memasukkan ke dalam
pendirinannya berbagai aspek keadaan yang
mengancamnya.
f) Represi : secara tidak sadar menekan pikiran yang berbahaya
dan yang menyedihkan keluar dari alam sadar
kedalam tak-sadar.
g) Regresi : kembali ke taraf perkembangan yang sudah dilalui.
h) Proyeksi : menyalahkan orang lain mengenai kesulitannya
sendiri atau melemparkan kepada orang lain
keinginanya sendiri yang tidak baik.
i) Penyusunan reaksi : supaya tidak menuruti keinginan yang jelek, maka
sebagai pengalang diambil sikap dan perilaku yang sebaiknya, tetapi secara berlebihan.
j) Sublimasi : nafsu yang tak terpenuhi (terutama seksual) disalurkan
kepada kegiatan lain yang dapat diterima oleh
masyarakat.
k) Kompensasi : menutupi kelemahan dengan menonjolkan sifat yang
baik.
l) Salah-pindah : emosi, dalam arti simbolik atau fantasi terhadap
seseorang atau seuatu beda, dicurakan kepada
seseorang atau suatu benda lain, yang biasanya lebih
kurang berbahaya daripada yang semula.
m) Pelepasan : meniadakan atau membatalkan suatu pikiran,
kecenderungan atau tindakan yang tidak disetujui.
n) Penyekatan emosi : individu mengurangi tingkat keterlibatan
emosionalnya dalam keadaan yang dapat
menimbulkan kekecewaan atau yang menyakitkan.
o) Isolasi : merupakan suatu bentuk penyekatan emosional, beban
emosi dalam suatu keadaan yang menyakitkan,
diputuskan atau diubah (distorsi).
p) Simpatisme : berusaha mendapatkan simpati dengan jalan
menceritakan “berbagai kesukarannya”.
q) Pemeranan : mengurangi kecemasan yang dibangkitkan oleh
berbagai keinginan yang terlarang dengan
membiarkan ekspresinya dan melakukannya.
Ke-17 ego oriented ini dikatakan koping mal adaptif bila digunakan secara terus menerus,
karena sifat dari koping ini tidak realistis, mengandung banyak penipuan pada diri sendiri,
bekerja secara tidak disadari & susah dievaluasi secara sadar (Maramis, 2005).
d. Spirito dan Stark 1993, dalam Sarabia (2007) lebih bervariasi membagi tiga strategi koping,
yaitu :
1) Strategi koping menghindar (avoidant-coping)
Koping menghindar ini dicirikan dengan penggunaan ; pengalihan (distraction), penarikan diri
sosial (social withdrawal), berkhayal (wishful thinking), dan pengunduran diri (resignation).
2) Strategi koping negatif (negative-coping)
Dicirikan dengan adanya penggunaan ; mengkritisi diri (self-criticism), mencari kompensasi
negatif seperti penyalahgunaan narkoba & alkohol (substance abuse), dan menyalahkan orang
lain (blaming others) ketika menghadapi situasi yang menekan atau masalah.
3) Koping aktif (active-coping)
Dicirikan individu menggunakan pemecahan masalah (problem solving), melakukan regulasi
emosi (emotional regulation), melakukan restrukturisasi kognitif (cognitiv restructuring), dan
mencari dukungan sosial (social support seeking).
3. Hubungan antara stres, stressor, dan koping
Yosep (2007) menjelaskan bahwa stres diawali dengan adanya ketidakseimbangan antara
tuntutan dan sumber daya yang dimiliki individu, semakin tinggi kesenjangan terjadi semakin
tinggi pula tingkat stres yang dialami individu, dan akan merasa terancam.
Stressor merupakan sumber stres atau penyebab stres, Yosep (2007) menjelaskan beberapa
penyebab stres diantaranya perkawinan, problem orang tua, pekerjaan, keluarga, dan penyakit
fisik.
Bila individu mampu menggunakan cara-cara penyesuaian diri yang sehat dengan stres yang
dihadapi, meskipun stres atau tekanan tersebut tetap ada, individu yang bersangkutan tetaplah
dapat hidup secara sehat. Bahkan tekanan-tekanan tersebut akhirnya justru akan
memungkinkan individu untuk memunculkan potensi-potensi manusiawinya dengan optimal.
Penyesuaian diri dalam mengahadapi stres, dalam konsep kesehatan mental dikenal dengan
istilah koping (Lubis, 2006).
Siswanto (2007) menjelaskan bahwa koping juga dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh
individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, luka, kehilangan, atau
ancaman.
Stres mungkin terjadi terutama pada bidang badaniah (stres fisik atau somatik), seperti infeksi
dan penyakit lainnya yang menggerakkan mekanisme penyesuaian somatik agar mengembalikan
keseimbangan. Reaksi ini boleh berupa pembentukan zat anti kuman atau zat anti racun : butir-
butir darah putih dimobilisasi dan dikerahkan ke tempat invasi kuman itu, lebih banyak kortison
dan adrenalin dilepaskan, dan sebagainya (Maramis, 2002).
Dari beberapa penjelasan diatas dapat dihubungkan antara stres, stressor, dan koping. Stres
merupakan respon yang muncul karena terjadinya tekanan yang disebut dengan stressor, ketika
seseorang mengalami stres karena stressor yang didapatkan maka diperlukan koping untuk
menghadapi stres tersebut.

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi stres pada pasien hemodialisis


1. Usia
Usia berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap stres dan jenis stresor yang paling
mengganggu. Usia dewasa lebih mampu mengontrol stress dibanding dengan usia anak-anak
dan usia lanjut (Siswanto, 2007).
Patricia (2006) menjelaskan masa dewasa awal adalah periode akhir remaja yaitu >18 tahun,
dimana masa dewasa adalah periode yang penuh tantangan, penghargaan dan krisis.
Indonesiannursing (2008) memaparkan usia berpengaruh terhadap cara pandang seseorang
dalam kehidupan, masa depan dan pengambilan keputusan. Usia juga merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan perawatan hemodialisis.
Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orang
yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan
kematangan jiwanya. Semakin tua umur seseorang akan terjadi proses penurunan kemampuan
fungsi organ tubuh (regeneratif) akan mempengaruhi dalam mengambil keputusan terutama
dalam menangani penyakit gagal ginjal kronis dengan terapi hemodialisis sehingga klien
dihadapkan pada masalah yang sangat kompleks (Toya, 2002).
2. Jenis kelamin
Wanita biasanya mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap stresor dibanding dengan
pria, secara biologis kelenturan tubuh wanita akan mentoleransi terhadap stres menjadi baik
dibanding pria (Siswanto, 2007).
Yeh (2009) mendapatkan dalam penelitian yang dilakukan bahwa, jenis kelamin / jender sangat
mempengaruhi dalam berespon terhadap penyakit, stres, serta penggunaan koping dalam
menghadapi masalah kesehatan khususnya hemodialisis.
3. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang mudah terkena stres atau tidak. Semakin tinggi
tingkat pendidikan maka toleransi dan pengontrolan terhadap stressor lebih baik (Siswanto,
2007).
Notoatmodjo (2003) menjelaskan pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga
perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta
dalam pembangunan kesehatan. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah
menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.
4. Status perkawinan
Yosep (2007) menjelaskan salah satu penyebab stress psikososial yaitu status perkawinan
dimana berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stres yang dialami seseorang,
misalnya pertengkaran, perpisahan, perceraian, kematian pasangan, dan lain sebagainya.
Stressor ini dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan.
5. Status Ekonomi
Notoadmodjo, 1997, dalam indonesianursing (2008) menjelaskan tingkat ekonomi atau
penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan
maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin
karna tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau membayar tranportasi.
Masalah keuangan (kondisi ekonomi) yang tidak sehat akan menyebabkan problem keuangan
yang akhirnya berpengaruh pada kesehatan jiwa seseorang (Yosep, 2007).
Tingkat ekonomi dapat mempengaruhi pemilihan metode terapi yang akan digunakan oleh klien
gagal ginjal kronis. Biaya yang harus dikeluarkan oleh klien cukup besar meliputi obat,
pemeriksaan laborat, transportasi, hemodialisis dan transplantasi. Aspek penting lain dari biaya
adalah adanya komplikasi atau efek samping yang timbul akibat tindakan hemodialisis dan
transplantasi (indonesianursing, 2008).
6. Lama pemberian terapi
Pada penderita gagal ginjal grade 2 dan grade 3 yang tanpa disertai dengan berbagai komplikasi
yang memperburuk fungsi ginjal sehingga jatuh dalam kondisi gagal ginjal terminal tentu saja
memiliki angka keberhasilan atau harapan hidup lebih baik dibandingkan yang sudah gagal ginjal
terminal dengan komplikasi yang berat. Terapi haemodialisis akan sangat dirasakan manfaatnya
bagi mereka yang dari awal sudah diketahui ,ada indikasi dan langsung dirujuk untuk menjalani
terapi haemodialisis (indonesiannursing, 2008).
Menurut iskandarsyah (2006), mereka yang menjalani hemodialisis lebih dari 4 tahun telah
mampu menyesuaikan diri dengan penyakitnya.

7. Frekuensi terapi hemodialisis


Sapri (n,d) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa semakin lama pasien menjalani HD, semakin
patuh dan pasien yang tidak patuh cenderung merupakan pasien yang belum lama menjalani
HD, karena pasien sudah mencapai tahap accepted (menerima).

E. Penelitian Terkait Dengan Strategi Koping Pada Pasien Hemodialisis


Suryadinata & neneng (n.d), dalam tesis yang berjudul stres dan koping pada penderita gagal
ginjal terminal yang menjalani hemodialisis, memaparkan bahwa stressor yang dihadapi pasien
hemodilaisis berasal dari penyakitnya dan upaya koping yang dilakukan adalah gabungan antara
emotion focused coping dan problem focused coping.
Cinar S, Barlas GU, Alpha SE (2009), dengan judul penelitian yang dilakukan di Turki yaitu
Stressors and coping strategies in hemodilysis patients, menjelaskan bahwa terdapat 24 jenis
stressor yang dapat muncul pada pasien hemodialisis dan terbanyak yaitu keterbatasan,
kelemahan, ketidakpastian masa depan, keterbatasan aktifitas, dan ketergantungan hidup
terhadap mesin hemodialisis. Dalam menghadapi stressor yang mereka alami, mereka
menggunakan strategi mekanisme koping dengan 15 cara (multipel regresi) , dan rata-rata
mereka dalam menghadapi stressor dengan menggunakan strategi koping berupa pendalaman
agama , active coping, supresi ke aktifitas, penerimaan, dan perlawanan.
Yeh, S.C.J, et.al (2009) melakukan penelitian di Taiwan dengan judul Gender differences in stress
and coping among elderly patients on hemodialysis, dari alat ukur yang digunakan (hemodialysis
stressor scale) terdapat perbedaan asal stres yang dirasakan oleh masing-masing jender, yaitu
untuk wanita lebih merasakan stressor berasal dari perubahan fisik dan masalah pembuluh
darah, sedangkan pada pria stressor tertinggi yaitu penurunan fungsi reproduksi. Dengan
menggunakan Jaloweic coping scale, dan strategi koping yang terbanyak digunakan oleh kedua
jender tersebut yaitu emotion orientation, support seeking, dan avoidance orentation.

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teoritis yang telah dikemukakan pada tinjauan pustaka, maka kerangka
konsep penelitian ini sebagai berikut :

Gagal ginjal kronik

Hemodialisis
Stres

Keterangan : Variabel yang diteliti

BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitan deskriptif adalah penelitian yang bertujuan melakukan deskripsi mengenai fenomena
yang ditemukan, baik berupa faktor risiko maupun efek atau hasil. Data yang dihasilkan disajikan
apa adanya & tidak dianalisis mengapa fenomena itu terjadi, karena itu penelitian deskriptif
tidak dipelukan hipotesis (Sastroasmoro, 2008).
Rancangan penelitian deskriptif bertujuan untuk menerangkan atau menggambarkan masalah
penelitian yang terjadi berdasarkan karakteristik tempat, waktu, umur, jenis kelamin, sosial,
ekonomi, pekerjaan, status perkawina, cara hidup (pola hidup) dan lain-lain (Hidayat, 2007).
Penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional bersifat deskriptif yang bertujuan
memperoleh gambaran tentang mekanisme koping yang digunakan pasien hemodialisis diruang
hemodialisis Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan pada Minggu ke-3 Bulan November 2009, diruang Hemodialisis
Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai
kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono 2004, dalam
Hidayat 2007).
Pada penelitian ini populasi penelitian adalah seluruh pasien yang menjalani terapi hemodialisis
diruang hemodialisis Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.
2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu
hingga dianggap dapat mewakili populasinya (Sostroasmoro, 2008).
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani terapi hemodialisis diruang
hemodialisis Rumah Sakit labuang Baji Makassar yang dengan menggunakan total sampling yaitu
semua pasien yang menjalani terapi hemodialisis diruang hemodialisis Rumah Sakit labuang Baji
Makassar sebanyak 35 Orang yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi dalam penelitian ini :
1) Pasien gagal ginjal kronik, yang menjalani hemodialisis.
2) Pasien hemodialisis yang menjalani perawatan inap dan rawat jalan, dengan frekuensi
hemodialisis > 1 kali dalam 1 tahun terakhir.
3) Pasien hemodialisis berusia dewasa (19 tahun) sampai dengan lansia (> 65 tahun).
4) Pasien hemodialisis dengan tingkat pendidikan minimal sekolah dasar, hal ini memudahkan
pemahaman individu terhadap alat ukur yang diberikan.
5) Pasien hemodialisis dengan pembiayaan hemodialisis secara mandiri ataupun bantuan pihak
lain.
6) Pasien dengan kesadaran Compusmentis dan komunikasi baik.
7) Pasien yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian.
b. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini :
1) Pasien gagal ginjal kronik, yang tidak menjalani hemodilaisis.
2) Pasien hemodialisis yang hanya melakukan hemodialsis 1 kali dalam 1 tahun terakhir.
3) Pasien hemodialisis anak dan remaja (< 19 tahun).
4) Pasien dengan ketidakmampuan berkomunikasi.
5) Pasien dengan penurunan kesadaran
6) Pasien yang tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian.

D. Alur Penelitian
Dalam penelitian ini proses pengambilan dan pengumpulan data diperoleh setelah sebelumnya
mendapat izin dari pihak terkait dalam hal ini Rumah Sakit Labuang Baji Makassar. Sebagai
langkah awal penelitian, peneliti akan menyeleksi responden dengan berpedoman pada kriteria
inklusi yang telah ditentukan. Setelah mendapatkan responden maka langkah berikutnya
meminta persetujuan dari responden dengan memberikan surat persetujuan menjadi
responden (informed concent).
Setelah mendapatkan persetujuan responden, kuesioner dibagikan kepada responden yang
berkaitan dengan gambaran mekanisme koping dengan terlebih dahulu menjelaskan cara
pengisiannya, kemudian kuesioner dikumpulkan untuk dilakukan pengolahan data sesuai urutan
pengolahan data, setelah dilakukan analisa dan penyajian data hasil penelitian. Penjelasan akan
disederhanakan pada skema berikut.

E. Identifikasi dan Definisi Operasional


1. Identifikasi Variabel
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau
didapatkan oleh suatu penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo,
2005).
Sastroasmoro (2008) mengartikan variabel sebagai karakteristik subjek penelitian.
Variable yang diteliti pada penelitian ini yaitu gambaran mekanisme koping pasien hemodialisis.
2. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional adalah mengidentifikasi variable secara operasional berdasarkan
karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau
pengukuran secaraa cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional
ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian (Hidayat, 2007).
Definisi operasional pada penelitian ini yaitu :
a. Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping adaptif adalah cara-cara konstruktif yang digunakan oleh pasien
hemodialisis, dengan penilaian dari kuesioner penelitian yang terdiri dari 12 item pernyataan
yang berada di nomor genap. Masing-masing diberi penilaian antara 1 - 4 dengan penilaian
sebagai berikut :
Nilai 4 : Selalu (S) Nilai 3 : Sering (SR)
Nilai 2 : Kadang-kadang (KK) Nilai 1: Tidak pernah (TP)
Alat ukur yang diguanakan yaitu skala Likert, dengan kriteria objektif yaitu :
Koping Adaptif bila skor : 25 - 48
Koping Mal adaptif bila skor : 12 – 24
b. Mekanisme koping mal adaptif
Mekanisme koping mal adaptif bila menggunakan cara-cara konstruktif, dengan penilaian
kuesioner penelitian yang terdiri dari 12 item pernyataan yang berada di nomor ganjil.
Masing-masing diberi penilaian antara 1 - 4 dengan penilaian sebagai berikut :
Nilai 4 : Selalu (S) Nilai 3 : Sering (SR)
Nilai 2 : Kadang-kadang (KK) Nilai 1: Tidak pernah (TP)
Alat ukur yang diguanakan yaitu skala Likert, dengan kriteria objektif yaitu :
Koping Adaptif bila skor : 25 - 48
Koping Mal adaptif bila skor : 12 – 24

F. Rencana Pengolahan dan Analisa Data


1. Pengolahan data
a. Editing
Setelah semua data diedit ulang, kemudian dilakukan pemeriksaan kelengkapan data,
kesinambungan data keseragaman data.
b. Koding
Untuk memudahkan pengolahan data, maka semua jawaban diberi simbol-simbol tertentu
untuk setiap jawaban dengan pengkodean.
c. Tabulating
Menyusun data-data kedalam tabel yang sesuai dengan analisis dan selanjutnya data tersebut
dianalisis.
d. Setelah data ditabulasi maka pengolahan dilakukan dengan komputer program SPSS for
windows versi 16 yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
2. Analisa Data
Hidayat (2007) Analisis data yang diguanakan pada penelitian deskriptif yaitu analisis deskriptif
berfungsi untuk meringkas, klasifikasi, dan menyajikan data (mean, median, modus, simpang
baku, dan varians).
Analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu dengan statistik deskriptif yang mengambarkan
cara meringkas, menyajikan, dan mendeskripsikan suatu data untuk mudah dipahami dan
memiliki makna.

G. Instrumen Penelitian
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner adalah self report
informasi form yang disusun untuk mendapatkan informasi yang diharapkan dari responden
sesuai dengan pernyataan (Nursalam & Pariani, 2006).
Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu, untuk pengumpulan data tentang lamanya
pemberian terapi hemodialisis didapatkan dengan observasi, dan untuk pengumpulan data
tentang mekanisme koping yang digunakan pasien hemodialisis menggunakan kuesioner dengan
skala Likert dengan empat tipe pilihan, dimana kuisoner terdiri dari ; Mekanisme koping adaptif
terdiri dari 12 item pernyataan serta mekanisme koping mal adaptif yang terdiri dari 12 item
pernyataan, dengan penilaian :
Selalu (S) : 4
Sering (SR) : 3
Kadang-kadang (KK) : 2
Tidak pernah (TP) : 1
Tipe jawaban seperti ini disebut juga dengan fixed alternative, dimana alternatif jawabannya
telah ditetapkan oleh peneliti, dan responden diharapkan untuk memberikan respon jawaban
dari pilihan yang tersedia (Lubis, 2006).

H. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi dari pihak institusi
atas pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat penelitian dalam
hal ini Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.
Setelah mendapat persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan menekankan masalah etika
penelitian yang meliputi :
1. Informed consent
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria
inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian. Bila subjek menolak maka peneliti
tidak akan memaksakan kehendak dan tetap menghormati hak-hak subjek.
2. Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, tetapi lembar
tersebut diberikan kode.
3. Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu yang
akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

http://perawatberseni.blogspot.com/2009/11/gambaran-mekanisme-koping-pada-pasien.html

También podría gustarte