Está en la página 1de 19

APLIKASI TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM

PEMERATAAN PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Sejak dasawarsa 1970-an, masalah pemberian kesempatan pendidikan mulai dari Sekolah Dasar
sampai Perguruan Tinggi telah mendapat perhatian yang sangat intens dari pemerintah melalui
upaya-upaya perluasan kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan (Perspektif
kelembagaan formal). Hal ini seiring dengan makin berkembangnya pemikiran bahwa
pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan bangsa.

Dalam pemahaman teori Human Capital yang dipelopori oleh Theodore W. Schultz (dalam
Suharsaputra, 2007), manusia merupakan suatu bentuk kapital sebagaimana bentuk kapital-
kapital lainnya yang sangat menentukan bagi pertumbuhan produktivitas suatu bangsa.
Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi Sumber Daya Manusia, dengan pendidikan
seseorang dapat memperluas pilihan-pilihan bagi kehidupannya baik dalam profesi, pekerjaan,
maupun dalam kegiatan-kegiatan lainnya guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Selain pendekatan teori human capital ada dua pendekatan lain yaitu teori fungsionalisme dan
teori empirisme. Teori fungsionalisme yang dipelopori oleh Burton Clark (dalam Suharsaputra,
2007), menekankan pada preservation of human resources atau pemeliharaan sumber daya
manusia, dimana dalam upaya tersebut perhatian pada perubahan teknologi sangat menonjol
sehingga diperlukan pengembangan sistem pendidikan dan pemilihan program-program
pendidikan disamping perlunya upaya perluasan pendidikan yang lebih merata dalam konteks
interaksi antara lembaga pendidikan dengan lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat
termasuk perkembangan teknologi yang terjadi dengan cepat.
Sementara itu pendekatan teori empirisme (Suharsaputra, 2007) menekankan pada perlunya
diagnosis terhadap masalah pemerataan pendidikan dengan mengkombinasikan antara
metodologi dan substansi (Methodological empiricism). Menurut pemahaman teori ini terjadinya
ketidakmerataan kesempatan pendidikan merupakan hasil dari perselisihan antara kelas-kelas
sosial yang berbeda kepentingan, kelas-kelas sosial yang dianggap elit lebih suka
mempertahankan status quo, sementara kelas-kelas populis terus berjuang guna mendapatkan
kesempatan memperoleh pendidikan.
Dari ketiga pendekatan tersebut, terlihat adanya perbedaan orientasi dalam melihat masalah
pendidikan, namun satu hal yang cukup menonjol adalah berkaitan dengan pentingnya
pendidikan bagi kehidupan manusia yang berimplikasi pada perlunya upaya pemerataan
pendidikan baik itu sebagai modal/investasi manusia, sebagai pemeliharaan terhadap sumber
daya manusia, maupun sebagai aktivitas yang dialami sehari-hari yang terus menerus
beninteraksi dengan lingkungan baik sosiologis, ekonomis, maupun lingkungan teknologis.
Semua implikasi ini memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari pembuat kebijakan guna
menciptakan situasi yang kondusif bagi warga masyarakat berpartisipasi lebih aktif dan
bertanggungjawab dalam dimensi pendidikan yang lebih luas.
Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah
lama menjadi masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang.
Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran
penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi
pendidikan dengan semboyan education for all.
Sejak tahun 1984, pemerintah Indonesia secara formal telah mengupayakan pemerataan
pendidikan Sekolah Dasar, dilanjutkan dengan wajib belajar pendidikan sembilan tahun mulai
tahun 1994. Upaya-upaya ini nampaknya lebih mengacu pada perluasan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan. Di samping itu pada tahapan selanjutnya pemberian program beasiswa
menjadi upaya yang cukup mendapat perhatian dengan mendorong keterlibatan masyarakat
melalui Gerakan Nasional Orang Tua Asuh. Program beasiswa ini semakin intensif ketika terjadi
krisis ekonomi, dan dewasa ini dengan Program (Bantuan Operasional Sekolah) BOS untuk
Pendidikan dasar, hal ini menunjukan bahwa pemerataan pendidikan menuntut pendanaan yang
cukup besar tidak hanya berkaitan dengan penyediaan fasilitas tapi juga pemeliharaan siswa agar
tetap bertahan mengikuti pendidikan di sekolah.
Program BOS yang selenggarakan oleh pemerintah, merupakan bentuk perhatian pemerintah
akan pentingnya pemerataan pendidikan bagi setiap orang. Hal itu dapat dilihat dengan bebasnya
biaya sekolah untuk jenjang SD,SMP dan SMU, Meskipun belum dapat terealisasikan
sepenuhnya, akan tetapi hal itu sudah memperlihatkan kemajuan yang signifikan.
B. Pemerataan Kesempatan Belajar
Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama dengan
kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan. Bahkan, ada bangsa atau yang terkecil adalah
keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama. Artinya, mereka mau mengurangi kualitas
perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan anak-anaknya.
Seharusnya negara juga demikian. Apabila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam
pembangunan, prioritas pembangunan negara itu adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor
yang tidak penting ditunda dulu dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan.
Negara kita telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dan
telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Maksud dan tujuan
pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan
kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh
kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun seharusnya dapat
diberikan pelayanan secara gratis karena dalam pendidikan dasar enam tahun atau sekolah dasar
kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai diberikan. Di sekolah dasar inilah anak bangsa
diberikan tiga kemampuan dasar, yaitu baca, tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan
lain. Setiap wajib belajar pasti akan dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah dasar.
Seperti diketahui, sebagian besar keadaan sosial ekonomi masyarakat kita tergolong tidak
mampu. Dengan kata lain, mereka masih dililit predikat miskin. Mulai Inpres Nomor 10 Tahun
1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar dan inpres- inpres selanjutnya, negeri ini telah
berusaha memberikan pendidikan murah untuk anak bangsanya. Puluhan ribu gedung sekolah
dasar telah dibangun dan puluhan ribu guru sekolah dasar diangkat agar pemerataan kesempatan
belajar untuk jenjang sekolah dasar dapat dilaksanakan dengan murah, dari kota sampai ke desa-
desa. Semua warga negara, kaya atau miskin, diberi kesempatan yang sama untuk menikmati
pendidikan dasar enam tahun yang biayanya dapat dijangkau golongan miskin. Kejadian itu
dapat dinikmati dalam jangka waktu cukup lama, yaitu sejak dicetuskannya Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 6 Tahun tahun 1984. Sayang, gema wajib belajar itu makin hari makin
melemah karena komitmen bangsa ini pada wajib belajar tidak seperti saat dicanangkan. Jika
selama ini kita melihat pendidikan tinggi itu mahal, sekolah menengah juga mahal, SMP juga
mahal, sekarang kita saksikan memasuki sekolah dasar pun sudah mahal.
Kini kita melihat, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersialisasi
karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh kurikuler, tetapi
justru besarnya biaya masuk untuk sekolah dasar. Jika untuk masuk sekolah dasar ditentukan
oleh umur, maka seorang anak yang sudah berumur tujuh tahun atau lebih wajib diterima sebagai
murid sekolah dasar. Ini adalah ketentuan yang tidak boleh ditawar karena ketentuan untuk
masuk sekolah dasar adalah berdasarkan umur.
Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini adalah slogan yang selalu didengung-dengungkan.
Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan wajib belajar dihalang-halangi, karena untuk masuk
sekolah dasar pun kini harus membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat
membayarnya. Maka terjadilah hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak,
terutama guru dan kepala-kepala sekolah, menghayati tujuan wajib belajar itu. Bagi masyarakat
dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang
miskin akan gagal dan tidak bersekolah.
Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu membayarnya.
Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh kesempatan memperoleh
pendidikan. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab, pada negara yang lebih 60 tahun usianya ini,
banyak anak bangsanya akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini akan
terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan Negara–negara
yang lain.
C. Pendidikan Luar Sekolah
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 13, menyebutkan
bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, informal dan nonformal. Namun demikian
secara konseptual jalur informal sesungguhnya bagian dari pendidikan nonformal, akan tetapi
bisa saja terjadi dijalur pendidikan formal.
Di Indonesia Pendidikan Luar Sekolah (PLS) memiliki sejarah yang panjang dan sejalan dengan
sejarah tersebut nama PLS berubah-ubah terus. Sejak PLS dinamai Pendidikan masyarakat,
kemudian berubah menjadi PLS dan sekarang sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20
Tahun 2003, pasal 13 dinamai Pendidikan Nonformal. Sesuai dengan fungsi PLS yaitu sebagai
substitusi, suplemen dan komplemen pendidikan sekolah, PLS mempunyai cakupan garapan
yang sangat luas. Di negara maju yang kualitas jalur sekolahnya sudah baguspun peranan PLS
masih tetap besar, apalagi di Indonesia dimana sistem pendidikan sekolahnya masih carut marut
seperti saat ini. Namun dalam kenyataannya PLS belum dimanfaatkan sesuai dengan potensi dan
kemampuannya yang cukup besar sehingga kontribusinya juga belum optimal.
Jalur PLS merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar
mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan. Satuan PLS meliputi kursus/lembaga
pendidikan keterampilan dan satuan pendidikan yang sejenis. Secara umum, manfaat PLS
(Prawiradilaga, 2007:225) antara lain :
• Mempercapat program wajib belajar pendidikan dasar
• Memperluas dan menciptakan lapangan kerja
• Terhadap jalur sekolah dapat menjadi suplemen, komplemen dan substitusi (memberikan
pendidikan yang tidak dapat dilakukan jalur sekolah)
• Menyiapkan tenaga kerja yang terampil dan siap kerja
• Membentuk manusia yang mandiri dan percaya diri
• Mencegah urbanisasi
• Memberantas buta huruf
Dari beberapa manfaat PLS tersebut dapat dikatakan tujuan dari PLS adalah sebagai berikut :
• Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang
hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya.
• Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan ketrampilan dan sikap mental yang
diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ke tingkat dan
atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
• Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan
sekolah.
Jenis PLS terdiri atas: 1) pendidikan umum; 2) pendidikan keagamaan; 3) pendidikan jabatan
kerja; 4) pendidikan kedinasan; dan 5) pendidikan kejuruan. PLS dapat diselenggarakan oleh
Pemerintah, perorangan atau sekelompok Warga Negara Indonesia atau badan hukum swasta
yang berkedudukan di Indonesia dan tunduk kepada hukum Indonesia. Lembaga internasional
atau badan/lembaga swasta asing di wilayah Republik Indonesia dapat menyelenggarakan PLS
dengan ketentuan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan wajib mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kursus PLS yang diselenggarakan masyarakat (Diklusemas) didaftarkan pada Dinas Pendidikan
Kecamatan dan mendapat izin penyelenggaraan dari Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Kursus PLS yang diselenggarakan masyarakat adalah satuan PLS yang menyediakan berbagai
jenis pengetahuan, keterampilan dan sikap mental bagi warga belajar yang memerlukan bekal
dalam pengembangan diri, bekerja mencari nafkah dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang
yang lebih tinggi. Kursus dilaksanakan oleh dan untuk masyarakat dengan swadaya dan swadana
masyarakat. Seluruh program kursus Diklusemas dikelompokkan ke dalam sepuluh rumpun
pendidikan yaitu: kerumahtanggaan, kesehatan, keolahragaan, pertanian, kesenian, kerajinan dan
industri, teknik dan perambahan, jasa, bahasa dan khusus.
Di tengah krisis ekonomi seperti sekarang, kursus/lembaga pendidikan keterampilan ini
barangkali harus lebih dikedepankan. Kegiatan kursus bukan hanya memberi harapan pada anak
putus sekolah yang sulit mencari kerja tetapi juga memberikan jalan bagi banyaknya jumlah
lulusan SLTA yang tak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi sehingga lembaga kursus
selalu mendapat tempat. Di tangan para pengelolanya, lembaga pendidikan ini bisa bergerak
cepat mengikuti irama perkembangan dan tuntutan yang terjadi di masyarakat.
Begitu cepatnya antisipasi yang dilakukan para penyelenggara kursus atas tuntutan masyarakat,
sangat boleh jadi, lembaga pendidikan nonformal ini tidak begitu berat terkena pukulan akibat
krisis ekonomi. Menurut mereka, lulusan SMTA yang akan memasuki perguruan tinggi perlu
berpikir ulang, baik mengenai biaya maupun lama waktu belajar yang harus ditempuh. Apalagi,
setelah selesai kuliah, para lulusan perguruan tinggi pun belum tentu mudah mendapatkan
pekerjaan.
Meski kursus masih dipandang sebelah mata, anak tiri dalam sistem pendidikan di Indonesia itu
kini telah tumbuh menjadi sebuah bidang usaha yang nyaris tanpa batas. Tidak sedikit perguruan
tinggi swasta bercikal bakal dari kursus. Lembaga-lembaga kursus di Indonesia dalam sepuluh
tahun terakhir tumbuh sangat pesat dan berkembang menjadi industri mimpi yang menggiurkan.
Banyak warga masyarakat yang rela membayarkan uangnya beratus ribu atau jutaan rupiah
sekadar untuk mewujudkan impian. Bahwa kemudian mimpi indah itu tidak terwujud, adalah
kenyataan lain yang tidak pernah disesali.
Terlepas dari keberhasilan sejumlah lembaga kursus berkembang menjadi industri jasa yang
cukup menjanjikan, masih lebih banyak lembaga kursus yang berjalan terseok-seok. Begitu
banyak kursus yang hidupnya hanya seumur jagung. Menurut pengurus Himpunan
Penyelenggara Kursus Indonesia (PTS Online, 2007) anggota mereka mencapai 25.000 lembaga
kursus yang terbagi dalam 10 rumpun dengan 160 jenis keterampilan. Berapa jumlah sebenarnya
kursus yang ada di Indonesia mungkin tidak akan pernah terjawab karena demikian banyak
kursus yang berdiri dan ditutup dalam waktu relatif singkat.
Berdasarkan fungsinya, jenis-jenis lembaga kursus itu dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu:
1. Sejenis Bimbingan Tes/Belajar yang bertujuan meningkatkan kemampuan belajar melalui
pelajaran tambahan untuk bidang-bidang tertentu seperti IPA, matematika, bahasa Inggris, dan
lain-lain dengan sasaran untuk semua pelajar SD-SMTA. Tapi ada yang khusus untuk pelajar
pada tingkat tertentu saja, misalnya kelas III SMTA yang akan mengikuti tes UMPTN.
2. Kursus-kursus Keterampilan yang bertujuan memberikan atau meningkatkan keterampilan
mengetik, kecantikan, bahasa asing, akuntansi, montir, menjahit, sablon, babysitter, dan lain-lain.
Sasaran lembaga ini mayoritas adalah para lulusan SMP dan SMTA yang memerlukan sertifikat
keterampilan untuk mencari kerja.
3. Pengembangan Profesi, seperti kursus sekretaris atau humas perusahaan, akuntan publik,
kepribadian, dan lain-lainnya. Sasarannya tamatan SMTA sampai perguruan tinggi, dari yang
belum bekerja sampai yang sudah bekerja, namun ingin meningkatkan profesionalismenya. Jenis
ketiga ini lebih ke arah pembentukan image dalam masyarakat, bukan hanya sekadar
memberikan keterampilan teknis saja. Karena itu dari segi waktu pelaksanaan kursus lebih
panjang (antara enam bulan sampai dua tahun).
Selain banyak dan beragamnya jenis lembaga kursus, pembinaan terhadap lembaga ini sering
menjadi masalah. Dukungan pemerintah terhadap penyelenggaraan PLS selama ini sangat
minim. Padahal lembaga kursus membutuhkan dukungan yang lebih besar agar bisa
berkembang, terutama menghadapi era global di mana akan terbuka peluang bagi lembaga-
lembaga kursus asing masuk ke Indonesia. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa selama ini
ada kesan lembaga kursus diperebutkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan
Departemen Tenaga Kerja. Akibatnya, dalam pembinaan maupun perizinan terjadi tumpang-
tindih antara keduanya.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah kemudian mengeluarkan ketentuan baru. Kebijakan baru di
bidang pendidikan dan pelatihan ini memberikan penegasan tentang perbedaan antara kursus
yang berada di bawah wewenang Departemen Pendidikan Nasional dan latihan kerja yang berada
di bawah Departemen Tenaga Kerja. Kursus adalah PLS yang program-programnya diadakan
untuk mereka yang belum ada kejelasan tempat kerja yang akan menampung. Sedangkan
pelatihan kerja adalah pendidikan pelatihan untuk mengisi lowongan kerja tertentu.
Menyusul dikeluarkannya ketentuan baru dalam pendidikan dan pelatihan ini, akan segera
dilakukan standardisasi dan akreditasi untuk jenis-jenis kursus tertentu. Badan akreditasi kursus
ini akan terdiri dari unsur-unsur Departemen Pendidikan Nasional, asosiasi profesi, dan industri.
Namun demikian, sulit diharapkan akreditasi dapat menjangkau seluruh lembaga kursus yang
jenisnya berbagai macam, mulai dari kursus sekretaris hingga kursus membuat kue. Dari sekitar
25.000 lembaga kursus, lebih separuhnya masih tergolong lembaga kursus kecil.
Sudah sepantasnya kursus tidak dianaktirikan lagi dalam sistem pendidikan nasional. Dengan
keanekaragamannya, lembaga ini mempunyai sifat dan tujuan yang sama, yakni sebagai
penunjang atau pelengkap dari sistem persekolahan yang ada. Sebagai pemacu karier bagi yang
sudah bekerja, dan sebagai bekal keterampilan bagi yang belum bekerja. Intervensi pemerintah
dalam batas-batas tertentu memang diperlukan, khususnya untuk memacu mutu tenaga pengajar
di lembaga-lembaga tersebut.
D. Kontribusi Pendidikan Luar Sekolah dalam Pembangunan Pendidikan Nasional/SDM
Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni
optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan
adalah melalui pendidikan nonformal atau lebih dikenal dengan PLS.
Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat
pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut
disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan
keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan
oleh factor ekonomi
Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah
mengerakan program PLS tersebut, karena UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa PLS akan terus ditumbuhkembangkan
dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut
bertanggungjawab kelangsungan PLS sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.
Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergulir akan terus
ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk
menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan
PLS. Rencana Strategis untuk mendukung penyelenggaraan PLS menurut Isjoni (2004) baik
untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota adalah :
1. Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
2. Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B
setara SLTP;
3. Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;
4. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program
Pendidikan Orang tua (Parenting);
5. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program
pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan
6. Memperkuat dan memandirikan Pendidikan Keterampilan Berbasis Masyarakat (PKBM) yang
telah melembaga saat ini di berbagai daerah.
Selain itu menurut Isjoni (2004), dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi
pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa
mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut
peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :
1. Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;
2. Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat
meningkatkan kualitas proses dan hasil;
3. Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi,
standard kurikulum untuk kursus;
4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi
profesi, lembaga diklat; serta
5. Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar.
Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.
Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :
1. Meningkatkan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah;
2. Pembinaan kelembagaan PLS;
3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
5. Meningkatkan fasilitas di bidang PLS
PLS menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil
pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik
itu sendiri. Di dalam pengembangan PLS, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha
memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah,
PLS pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil
peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi
pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. .
Oleh sebab itu sasaran PLS lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan berkelanjutan, dan perempuan. Selanjutnya PLS harus mampu membentuk SDM
berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah PLS sebagai
alternative di dalam peningkatan SDM ke depan. PLS menjadi tanggung jawab masyarakat dan
pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih
memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu
mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi,
kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya
peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat,
terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus
sekolah..
E. Model Pendidikan Luar Sekolah Hasil Pemikiran Asah Pena
Dalam beberapa tahun terakhir, homeschooling (HS) merebak di beberapa kota di Indonesia. Tak
hanya untuk kalangan berada, sekolah rumah itu juga bakal bisa diterapkan terhadap keluarga tak
mampu. Belum ada data pasti berapa jumlah anak yang belajar atau bersekolah di rumah alias
ber-homeschooling di Indonesia. Namun, saat ini kian banyak orang tua yang berminat
memberikan pembelajaran di rumah. Apalagi HS sebagai salah satu pendidikan alternative sudah
terakomodasi dalam Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Sisdiknas pasal 27 ayat 1 Di sana disebutkan, “Kegiatan pendidikan informal
yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”. Ayat 2
menyebutkan, “Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud ayat 1 diakui sama dengan pendidikan
formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional
pendidikan”. Melalui payung hukum itu, mereka yang belajar di rumah sudah tak perlu was-was
tentang legalitas sistem pembelajaran mereka.
Namun demikian, citra homeschooling di masyarakat masih beragam. Sebagian menganggap
homeschooling mahal. Pasalnya, berbagai macam fasilitas harus dipenuhi sendiri. Misalnya alat-
alat laboratorium yang jamaknya disediakan sekolah. Menanggapi hal itu, Daniel M. Rosyid,
ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur dalam artikel Pontianak Post Online (Andriayani, 2007),
menegaskan bahwa siapa pun dapat ber-homeschooling. Menurutnya, model pendidikan rumah
itu justru hadir bagi mereka yang tak mampu dalam hal finansial. Misalnya, keluarga miskin
(gakin). Sebab, anak-anak miskin tidak perlu mengeluarkan ongkos seragam sekolah, SPP,
maupun uang gedung. Dengan demikian, jatuhnya biaya lebih murah dibandingkan pendidikan
formal.
Persoalannya, tidak semua keluarga dari kalangan kurang mampu mengetahui cara untuk
mendidikan anaknya dengan model homeschooling. Padahal, saat ini sudah ada lembaga yang
menfasilitasi hal tersebut. Di Jawa Timur, salah satu lembaga itu bernama Asosiasi Sekolah
Rumah Pendidikan Alternatif (Asah Pena). Beberapa waktu lalu, lembaga yang diketuai Daniel
itu telah meneken MoU (memorandum of understanding) dengan Dirjen Pendidikan Luar
Sekolah-Depdiknas.
Dirjen PLS menyisihkan 10 persen anggaran mereka untuk digunakan membantu program Asah
Pena. Sasarannya adalah program yang membidik pendidikan anak, terutama mereka yang
datang dari ekonomi lemah. Misalnya, anak-anak yang mengalami drop out (DO) di suatu daerah
akan diberikan bantuan lewat model pembelajaran sekolah rumah. Kegiatan belajar itu bisa
dilaksanakan dengan secara berkelompok
Homescooling tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga berduit. Justru prioritas
nantinya HS membantu untuk menuntaskan program wajib belajar pendidikan dasar. Asah Pena
juga akan membantu memfasilitasi mereka yang memilih HS untuk didaftarkan sebagai
komunitas belajar pendidikan non formal. Dengan demikian, pesertanya bisa mengikuti ujian
nasional kesetaraan paket A (setara SD), paket B (setara SMP), dan paket C (setara SMA).
Dalam Asah Pena juga berkumpul para guru dan mahasiswa yang siap membantu. Pasalnya, saat
ini banyak yang masih salah menafsirkan homeschooling. Meskipun belajar di rumah, namun
esensi pendidikan tetap sama. Mereka harus mengacu pada kurikulum standar nasional. Ini
mungkin yang masih harus ditekankan pada masyarakat. Asah Pena sendiri telah berdiri sejak 4
Mei 2006 di kantor Depdiknas Jakarta. Asosiasi ini membidani dan mengakomodasikan berbagai
kegiatan pendidikan di tanah air oleh beberapa tokoh dan praktisi pendidikan.
F. Peranan Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Luar Sekolah
1. Perlunya Perubahan Paradigma Pendidikan Luar Sekolah
Bagi negara maju dan negara berkembang, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
sistem informasi yang begitu cepat mendorong berbagai aspek, khususnya sistem pendidikan
untuk mengubah visi, misi dan strateginya secara revolusioner. Revolusi pendidikan berarti
secara totalitas menjabarkan konsep Teknologi Pendidikan (TP) dalam berbagai bentuk dan
tingkatan implementasinya, sehingga efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya yang
ketersediannya sangat terbatas dapat tercapai, dan pendidikan yang sesuai dengan kebituhan
masyarakat dapat disediakan.
Dilihat dari karakteristik TP dan PLS (yang didasari oleh andragogi), ternyata cukup banyak
persamaan antar keduanya dan terbukti secara empirik bahwa PLS merupakan salah satu bentuk
implementasi dari konsep TP. Adapun keterkaitan TP dan PLS menurut Sujarwo (dalam
Prawiradilaga, 2007:219) adalah sebagai berikut :
Komponen Pendidikan Teknologi Pendidikan Pendidkan Luar Sekolah
1. Persepsi terhadap sasaran didik
1. Ada dua kelompok :
a. Individu yang memiliki waktu penuh untuk belajar
b. Individu yang memiliki waktu belajar terbatas
2. Individu yang :
a. Mandiri dan potensial
b. Mampu dan efektif dalam belajar mandiri
c. Unik yang berbeda antara satu dengan yang lain
Individu yang :
a. Sebagian besar waktunya untuk bekerja
b. Mampu mengatur diri
c. Mampu dan lebih senang belajar mandiri
d. Tidak suka diintervensi dalam menentukan waktu belajarnya
2. Metode pembelajaran yang tepat Mengutamakan metode pembelajaran non konvensional,
antara lain: belajar mandiri, belajar kelompok/diskusi, belajar jarak jauh, studi kasus
Karena kesibukannya, belajar mandiri, kelompok diskusi, jarak jauh dan studi kasus lebih tepat
digunakan
3. Sumber belajar 1. Bepbentuk media pendidikan seperti: e-learning, media AV, modul, TV,
radio dan komputer interaktif
2. Disusun berdasarkan karakteristik peserta didik Mengutamakan media pendidikan seperti: e-
learning, media AV, modul, TV, radio dan komputer interaktif
Komponen Pendidikan Teknologi Pendidikan Pendidkan Luar Sekolah
4. Tenaga pendidik Guru atau tutor yang berperan/berfungsi sebagai: pembimbing, pembina,
motivator dan fasilisator
Tutor atau instruktur yang berperan/berfungsi sebagai: pembimbing, pembina, motivator dan
fasilisator
5. Tempat belajar Sangat fleksibel: bisa di sekolah dan di luar sekolah
Sangat fleksibel: bisa dalam setting sekolah bisa dimana saja
6. Waktu belajar Sangat fleksibel: karena menekankan pada belajar mandiri dangan media
pendidikan
Sanagt fleksibel: sesuai dengan kesepakatan dan kesiapan peserta didik
7. Lama belajar Menganut toeri mastery learning (belajar tuntas): tidak terpaku dengan waktu
yang kaku
Menganut toeri mastery learning: tidak terpaku dengan waktu yang kaku
8. Penilaian dalam belajar 1. Keterlibatran peserta dalam penilaian sangat besar
2. Menekankan pada penilaian oleh peserta belajar sendiri (self assesment) 1. Keterlibatran
peserta dalam penilaian sangat besar
2. Menekankan pada penilaian oleh peserta belajar sendiri (self assesment)
Paradigma yang mengatakan bahwa adaptasi dan adopsi TP dalam PLS merupakan usaha yang
sangat mahal dan kurang cocok dilihat dari sasaran peserta didiknya, merupakan paradigma lama
yang tidak secara jujur dan mendalam menganalisnya. Karena perkembangan teknologi yang
begitu pesat, yang berinkarnasi menjadi globalisasi informasi (bukan globalisasi informasi
menumbuhkan TP), mengakibatkan batas-batas negara, kekangan politik dan batasan wilayah
atau pemerintahan dalam penyelenggaraan sistem pendidikannya menjadi tidak berlaku lagi.
Dalam situasi seperti ini, sebetulnya jalur PLS dapat dapat menggunakan peluang emas tersebut
dan mengambil manfaat yang sebesar-besarnya untuk mengatasi pengangguran, DO dari jalur
sekolah, anak yang tidak sekolah dan pendidikan tinggi, serta warga masyarakat yang ingin
meningkatkan keterampilan dan keahliannya, sehingga kehadiran PLS menjadi sangat diperlukan
oleh sararan didik (siswa, mhasiswa, pekerja, pegawai, buruh, masyakarat awan, ibu rumah
tangga dan lain sebagainya). Hal ini sangat memungkinkan karena konsep TP dalam PLS sangat
memungkinkan untuk memberikan pelayanan pendidikan secara serempak dalam cakupan
nasional melalui pendidikan jarak jauh yang didukung oleh metode belajar kelompok dan
mandiri.
Selain itu, kesesuain sifat TP dan PLS ialah dalam hal manajemen atau sistem pengelolaan
kegiatan/kelompok belajar dan pembelajaran yang menekankan pada belajar mandiri. Dengan
sistem pembelajaran jarak jauh peserta belajar yang menghadapi berbagai hambatan masih dapat
memperolah layanan pendidikan. Melalui belajar jarak jauh, peserta belajar sangat
memungkinkan melakukan akses sumber belajar dari segala penjuru dunia dengan cepat dan
tepat tanpa hambatan yang berarti.
Oleh sebab itu, perlu diyakini bahwa makin lengkap dan konsisten implementa dan penjabaran
konsep TP dalam PLS akan makin kuat peran ekonomi pendidikan yang ditunjukan oleh PLS.
Indikator yang menunjukan bahwa PLS merupakan sumber ekonomi pendidikan, diantaranya :
1. Tingkat efisiensi dan efektifitas PLS sangat tinggi, karena hampir semua PLS dirancang dan
dilakukan berdasarkan kebutuhan masyarakat
2. Secara fungsional, kaitan PLS dengan pendidikan jalur sekolah adalah sebagai substitusi,
suplemen dan komplemen pendidikan sekolah.
3. Lulusan PLS baik yang berasal dari pengangguran, pegawai yang ingin meningkatkan profesi
dan keterampilannya menjadikan mereka dapat bekerja di dalam negeri dan luar negeri
4. Siswa dari jalur sekolah yang kemampuan akademik dan keterampilan kejuruannya belum
memadai, setelah mengikuti kursus teretntu menjadi siswa yang berprestasi
5. Para penyelenggara PLS dapat memperoleh keuntungan dan dapat memperkerjakan cukup
banyak pegawai untuk mengelola lembaga PLS , dan mereka merupakan swadaya murni
masyarakat tanpa bantuan pemerintah.
Dengan demikian setipa program PLS dapat dikelola dengan pendekatan bisnis yang cukup
menguntungkan semua pihak. Selanjutnya, secara makro PLS dapat diukur dari sejauh mana
pendidikan sepanjang hayat sudah merupakan bagian dari budaya masyarakat luas.
2. Masalah Penerapan Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Luar Sekolah
Media massa khususnya TV dan media cetak mestinya lebih banyak atau dapat dimanfaatkan
untuk program-program pendidikan, yang secara tidak langsung merupakan penerapan TP dalam
PLS. Namun dalam kenyataannya, media massa tersebut lebih banyak didominasi oleh tayangan
dan gambar mengenai kekerasan, mudahnya memperoleh narkoba, pornografi, simbol-simbol
pelanggaran HAM dan ketidakadilan gender. Gencarnya gambar dan tayangan serta berita seperti
itu akan mempengaruhi dan membentuk opini dan sikap masyarakat, khususnya anak-anak dan
generasi muda kearah sikap dan prilaku yang kontraproduktif.
Oleh karena itu, perlunya peran serta pemerintah dan masyarakat untuk dapat turun serta dalam
hal ini, dengan memberikan batasan-batasan kepada media massa, untuk memberikan program-
program yang mendidik bukan membodohi masysrakat. Diharapkan dengan peran serta tersebut,
kita dapat menikmati media massa yang berisikan pesan-pesan moral yang mendidik baik itu
secara langsung maupun tidak langsung.
Selain media massa, tutorial merupakan salah satu metode pembelajaran yang sudah dilakukan
sejak zaman dulu kala. Belajar pada jalur PLS lebih menekankan pada peran belajar tutorial,
kelompok dan mandiri sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan secara konseptual
sangat positif. Namun karena tutor bukan seseorang yang secara khusus dididik sebagai tutor,
tetapi guru yang merangkap tutor, sehingga meraka memiliki keterbatasan dalam pemahaman
dirinya sebagai tutor. Dengan demikian dalam PLS sebagian tutor belum memenuhi kualifikasi
teknis (metodologis dan akademis) sebagai tutor.
Dampaknya ialah proses pembelajaran di PLS dilakukan seperti proses pendidikan di sekolah
yang lebih menekankan pada metode ceramah dan tatap mujka yang diperankan oleh guru
sebagai tutor. Sedangkan metode belajar kelompok dan mandiri dilakukan dengan seadanya.
Dengan demikian tutor pada umumnya belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya
sebagai tutor yang secara ideal mestinya mampu mengembangkan dalam mencari dan
mengembangkan pengetahuan, keterampilan sosial dan komunikasi, dan meningkatkan harga diri
peserta didik.
Tutor harusnya mampu melakukan lebih banyak kerja pratik, membantu peserta didik, banyak
bertanya bukan menjawab, mendemontrasikan cara menguasai materi pembelajaran melalui
proses pembelajaran partisipatif, memberikan cukup contoh-contoh, mengolah dan merespon
jawaban-jawaban yang salah, serta mampu menghidupkan dan meluasakan gagawan warga
belajar yang sudah berkarat. Secara konseptual, tutoril mestinya dapat dilakukan secara efektif
dan efisien termasuk efisien dalam pembiayaan dan dapat meningkatkan prestasi belajar.
Pengembangan kualitas dan kuantitas program PLS sampai saat ini masih sangat terbatas.
Misalnya, program Kelompok Belajar Usaha (KBU) dan Magang yang sampai saat ini tidak ada
peningkatan kualitasnya. Hal ini terjadi karena desain program dan ketentuan lainnya masih tetap
sama sejak dulu, sehingga semakin tidak menarik minat masyarakat karena tidak sesuai dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat dan perkembangan berbagai faktor yang terkait dengan
kedua program tersebut.
Program Paket A setara SD dan Paket B setara SLTP juga semakin kehilangan pamornya, karena
semakin sedikit warga masyarakat yang tidak bersekolah di SD dan SLTP yang tertarik menjadi
peserta belajar di kedua program tersebut. Satu-satunya program PLS yang sangat dinamis dalam
perkembangan kebutuhan masyarakat, ilmu pengetahuan den teknologi ialah kursus-kursus yang
diselenggarakan masyarakat. Bahkan sekarang banyak lembaga kursus yang berkerjasama
dengan negara lain dan telah menyusun standar kompetansi internasional, sehingga tamatannya
diakui oleh negara tersebut dan dapat bekerja di negara asing lainya.
G. Penutup
Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah
lama menjadi masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang.
Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran
penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi
pendidikan dengan semboyan education for all.
Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama dengan
kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan. Bahkan, ada bangsa atau yang terkecil adalah
keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama. Artinya, mereka mau mengurangi kualitas
perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan anak-anaknya.
Seharusnya negara juga demikian. Apabila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam
pembangunan, prioritas pembangunan negara itu adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor
yang tidak penting ditunda dulu dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan.
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yaitu sebagai substitusi, suplemen dan komplemen pendidikan
sekolah, PLS mempunyai cakupan garapan yang sangat luas. Di negara maju yang kualitas jalur
sekolahnya sudah baguspun peranan PLS masih tetap besar, apalagi di Indonesia dimana sistem
pendidikan sekolahnya masih carut marut seperti saat ini. Namun dalam kenyataannya PLS
belum dimanfaatkan sesuai dengan potensi dan kemampuannya yang cukup besar sehingga
kontribusinya juga belum optimal. Jalur PLS merupakan pendidikan yang diselenggarakan di
luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan.
Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah
mengerakan program PLS tersebut, karena UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa PLS akan terus ditumbuhkembangkan
dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut
bertanggungjawab kelangsungan PLS sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.
Bagi negara maju dan negara berkembang, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
sistem informasi yang begitu cepat mendorong berbagai aspek, khususnya sistem pendidikan
untuk mengubah visi, misi dan strateginya secara revolusioner. Revolusi pendidikan bearti secara
totalitas menjabarkan konsep Teknologi Pendidikan (TP) dalam berbagai bentuk dan tingkatan
implementasinya, sehingga efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya yang
ketersediannya sangat terbatas dapat tercapai, dan pendidikan yang sesuai dengan kebituhan
masyarakat dapat disediakan.
Referensi
Andriyani, Titik dan Anita Rachman. 2007. Model Pendidikan Luar Sekolah hasil Pemikiran
Asah Pena. Pontianak Post Online. (http://www.pontianakpost.com/ berita/index.asp?
Berita=Edukasi&id=137047, diakses tanggal 1 Desember 2007).
Isjoni. 2004. Pendidikan Luar Sekolah. www.pendidikan.net. (http://re-searchengines.
com/isjoni13.html, diakses tanggal 1 Desember 2007).
Miarso, Yusufhadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Yakarta : Rineka Cipta.
Prawiradilaga, Dewi Salma dan Eveline Siregar. 2007. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta :
Universitas Negeri Jakarta.
PTS Online. 2007. Kursus: Pendidikan Luar Sekolah. (http://www.pts.co.id/ kursus.asp, diakses
tanggal 1 Desember 2007).
Seels, Barbara B dan Richey, Rita C. 1994. Teknologi

Kepentingan Aksiologi dalam Pengembangan Ilmu

Pamor Aksiologi sebagai salah satu bidang kajian filsafat ternyata belum mendapat tempat yang
layak bagi para ilmuan dan filsuf ilmu, khususnya dalam kajian filsafat Ilmu. Selama ini, yang
sering mendapat perhatian adalah aspek Ontologis dan Epistemologis ilmu. Tulisan ini hendak
mereview tulisan Archie J. Bahm dengan judul What Is “Science”
Yang menjadi latar belakang penulisan risalah dengan judul What Is ”Science” ini adalah
keinginan penulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang masalah yang ilmiah. Bahm
menuliskan
What makes a problem ”scientific”? Are all problems scientific? No. If not, what then
characterizes a problem as scientific? Differing answers to this question by scientists and
philosophers of science are so various that general agreement seems impossible soon.
Jawaban-jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan-pertanyaan itu berbeda-beda baik oleh
para ilmuan maupun para filsuf ilmu yang berujung pada semacam ketidakmungkinan
persetujuan umum. Penulis hendak menawarkan kemungkinan jawaban yang dapat menjadi
persetujuan umum tentang masalah di atas. Ia memunculkan hipotesis bahwa suatu masalah
dapat diterima sebagai masalah yang ilmiah jika memiliki paling kurang tiga ciri khas, yaitu: (a)
dapat dikomunikasikan; (b) dapat dipecahkan dengan sikap ilmiah; dan (c) dapat dipecahkan
dengan metode ilmiah.
Risalah Bahm diawali dengan menunjukan bahwa ada masalah yang perlu mendapat perhatian
yaitu tentang “masalah ilmiah”. Tidak ada masalah, tidak ada ilmu. Pengetahuan ilmiah
bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah ilmiah.
Pertanyaan tentang masalah ilmiah dan ciri khas masalah ilmiah mendapatkan jawaban yang
bermacam-macam sehingga tidak ada persetujuan umum atas masalah itu. Bahm menawarkan
hipotesis yang akan dijelaskannya terkait dengan masalah ilmiah. Ia menyatakan bahwa suatu
masalah dapat dikatakan sebagai masalah ilmiah bila dapat dikomunikasikan, dapat dipecahkan
dengan sikap dan metode ilmiah.
Ada tiga hipotesis yang coba dibangun oleh Bahm, yaitu:
Hipotesis #1.
Suatu masalah tidak dapat dikatakan sebagai masalah ilmiah bila tidak bisa
dikomunikasikan.
Untuk menjadi ilmiah, suatu masalah harus dapat dikomunikasikan. Namun demikian, ada kasus
di mana suatu masalah diteliti secara privat oleh ilmuwan yang berkompeten di bidangnya dalam
waktu yang lama tanpa mengkomunikasikan masalah penelitiannya kepada orang lain, maka
tidaklah rasional bila mengatakan bahwa masalah yang ditelitinya itu tidak ilmiah. Untuk
mendapatkan keilmiahannya, maka hasil penelitian itu mesti dikomunikasikan.
Hipotesis #2
Suatu masalah tidak dapat dikatakan sebagai masalah ilmiah jika tidak dapat dipahami
dengan sikap ilmiah.
Menurut Bahm, sikap ilmiah paling kurang memiliki enam karakteristik utama, yaitu:
1. Rasa ingin tahu (curiosity)
Rasa ingin tahu ilmiah berupaya mempertanyakan bagaimana sesuatu itu eksis, apa hakekatnya,
bagaimana sesuatu itu berfungsi, dan bagaimana hubungannya dengan hal-hal lain. Rasa ingin
tahu ilmiah berujung pada pengertian. Rasa ingin tahu ilmiah dikembangkan terus menerus
dalam bidang-bidang penelitian, investigasi, pengujian, eksplorasi, penjelajahan dan percobaan.
2. Spekulatif
yang dimaksudkan dengan spekulatif oleh Bahms adalah keinginan untuk mencoba
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Dia harus membuat beberapa upaya. Ketika
solusi terhadap suatu masalah ilmiah tidak muncul dengan segera, upaya harus dilakukan untuk
menemukan solusi. Seseorang harus mencoba untuk mengemukakan hipotesis-hipotesis yang
dapat dimanfaatkan sebagai solusi-solusi. Seseorang dapat saja mengeksplorasi beberapa
hipotesis alternatif. Spekulasi adalah keinginan untuk terus mencoba dan mencoba, sehingga
dapat dikatakan bahwa ciri khas dari sikap ilmiah adalah keinginan untuk berspekulasi.
3. Kesediaan untuk menjadi objektif
Objektifitas adalah salah satu hal dari sikap subjektifitas. Objek selalu merupakan objek dari
subjek. Objektifitas bukan saja berhubungan erat dengan eksistensi subjek tetapi juga
berhubungan dengan kesediaan subjek untuk memperoleh dan memegang suatu sikap objektif.
Bahm menyatakan bahwa kesediaan untuk menjadi objektif meliputi beberapa hal yaitu:
a). Kesediaan untuk mengikuti rasa ingin tahu ilmiah kemana saja rasa itu membimbing:
Kesediaan ini mengisyaratkan keingintahuan dan kepedulian tentang penyelidikan lebih lanjut
yang dibutuhkan demi pengertian sampai tahap kebijaksanaan yang dimungkinkan.
b). Kesediaan untuk dituntun oleh pengalaman dan rasio: Bahms menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang besar antara kaum empirisis yang ekstrim dan rasionalis yang ekstrim.
Empirisis ekstrim memandang bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan hanya berdasarkan
hal yang partikular yaitu pengalaman partikular yang dapat ditangkap indera di mana data
diintuisi. Rasionalis ekstrim memandang bahwa kita hanya dapat memperoleh pengetahuan
karena hal yang universal dan deduksi yang valid untuk itu. Tetapi sesungguhnya, yang
partikular dan universal dalam hal ini baik empirisis maupun rasionalis saling berinteraksi dan
saling bergantung dalam pengalaman dan proses-proses dari investigasi ilmiah tergantung
pada hubungan yang terbangun antara keduanya. Khusus tentang rasio, ditunjukkan oleh
Bahms dua pengertiannya yang seringkali berbeda dan dipisahkan. Di satu sisi, rasio diartikan
sebagai persesuaian pada hukum rasional. Di sisi lain, rasio diartikan sebagai kemampuan
untuk memilih apa yang terbaik di antara dua atau lebih kemungkinan. Sesungguhnya, kedua
pengertian itu saling berhubungan, bagi mereka yang meyakini bahwa menjadi rasional sebagai
penyesuaian dengan hukum rasional melakukan itu karena mereka percaya bahwa penyesuaian
itu merupakan pilihan yang terbaik. Artinya, untuk memilih yang terbaik di antara dua atau
lebih alternatif, pilihan terbaik itu adalah persesuaian dengan hukum rasional.
Kesediaan untuk dibimbing baik oleh akal maupun pengalaman termasuk di dalamnya
kesediaan untuk menjadi rasional dalam kedua cara itu, rasio dan pengalaman.
c). Kesediaan untuk mau menerima: Yang dimaksudkan Bahms di sini adalah penerimaan
terhadap data. Data adalah sesuatu yang sebagaimana adanya (given) dalam pengalaman
ketika objek-objek diamati, diterima sebagai evidensi yang relevan bagi suatu masalah untuk
dipecahkan. Sikap ilmiah menurutnya termasuk kesediaan untuk menerima data sebagaimana
adanya, tidak sebelum diinterpretasikan dengan penilaian-penilaian bias dari pengamat.
Data yang ditampilkan sebagaimana adanya baru dapat diinterpretasikan secara ilmiah ketika
diperhadapkan dengan hipotesis yang dibangun. Jika interpretasi-interpretasi itu berhasil
memecahkan masalah, maka akan merefleksikan struktur yang nyata dari masalah itu. Dengan
demikian, data dan hipotesis dilihat sebagai instrumen untuk menerima kebenaran tentang objek
itu sendiri, dapat mewujudkan kesediaan menjadi objektif.
Walaupun demikian, tiap formulasi dari suatu hipotesis yang eksplanatory terkandung di
dalamnya dua hal yaitu penemuan (pengamatan fakta-fakta tentang objek atau masalah) dan
hasil dari penemuan (ide-ide yang bertujuan untuk membangun konsep tentang objek atau
masalah). Objektifitas berarti objek, bukan subjek, yang menjadi otoritas, sumber pengetahuan
yang dicari oleh para ilmuan.
d). Kesediaan untuk diubah oleh objek: Ketika seorang ilmuan menemukan sesuatu yang tidak
diketahui sebelumnya, dia menjadi dirubah oleh tambahan pengetahuan barunya itu.
Penemuan-penemuan baru menjadikan konsep-konsep lama tentang dirinya sebagaimana hal-
hal lain direvisi dan direkonstruksi. Ketika seseorang tidak bersedia untuk diubah dalam hal-hal
yang dibutuhkan oleh hasil-hasil dari investigasi ilmiah yang berhasil, maka dia tidak memiliki
kesediaan untuk menjadi objektif.
e). Kesediaan untuk melakukan kesalahan: Kesediaan untuk melakukan kesalahan ada dalam
pengertian baik untuk menerima kebenaran maupun untuk menyatakan kebenaran. Kesediaan
itu ada dalam kajian terus menerus dan ketika suatu kajian tidak menunjukkan hasil
memuaskan, kajian lain dapat dilakukan. Dalam hal ini, frustasi ilmiah sangatlah membantu
untuk menemukan jalan-jalan kebenaran.
f). Kesediaan untuk bertahan: Tidak ada aturan yang menyatakan berapa lama seorang ilmuan
harus bertahan dalam pergulatan dengan masalah yang alot. Kesediaan untuk tetap objektif
mensyaratkan kesediaan untuk terus melanjutkan dan bertahan selama mungkin dan mencoba
mengerti objek atau masalah sampai pengertian diperoleh.
4). Pikiran yang terbuka
Sikap ilmiah mengisyaratkan kesediaan untuk berpikiran terbuka. Hal itu termasuk kesediaan
untuk mempertimbangkan segala hal yang relevan seperti hipotesis, metodologi, dan evidensi
yang berhubungan dengan masalah. Hal itu termasuk kesediaan untuk menerima, bahkan
mengundang, ide-ide baru, yang berbeda dan kontradiktif sekalipun dengan kesimpulan-
kesimpulan yang telah dibangun. Kesediaan untuk mendengarkan dan menguji pandangan-
pandangan yang lain.
5). Kesediaan untuk menangguhkan keputusan
ketika suatu masalah kelihatannya tidak terselesaikan atau terpecahkan dengan jawaban-jawaban
penelitian yang dilakukan, maka kesediaan untuk menangguhkan keputusan adalah hal yang
tepat sampai semua evidensi yang diperlukan diperoleh atau tersedia. Dalam bagian ini, yang
dibutuhkan adalah sikap kesabaran ilmiah.
6). Tentativitas
Sikap ilmiah membutuhkan kesediaan untuk tetap bersifat sementara dalam menerima seluruh
kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang dibangun. Hal ini mengisyaratkan suatu sikap yang tidak
dogmatik dalam hal metode-metode. Walaupun suatu hasil dalam kajian ilmiah itu bersifat
sementara, tetapi kesediaan untuk tetap mempertahankan kesimpulan yang telah diperoleh dan
dibuat juga perlu.
Hipotesis #3
Suatu masalah tidak dapat dikatakan sebagai masalah ilmiah jika tidak dapat dipahami
dengan menggunakan metode ilmiah.
Hal mendasar dari ilmu adalah metodenya. Ilmu dalam pengertian teori dapat saja berubah-ubah,
tetapi ada yang tidak berubah dari ilmu dan Bahm mengatakan bahwa hal itu adalah metode.
Yang menjadi pembahasan utama adalah apakah metode ilmiah itu satu atau banyak. Menurut
Bahm, metode ilmiah itu satu sekaligus banyak. Alasannya mengatakan metode ilmiah itu satu
karena metode ilmiah dapat diterapkan pada semua objek material. Metode ilmiah itu banyak
dapat dipahami dalam banyak jalan. (1) tiap ilmu memiliki metode terbaiknya yang cocok untuk
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi; (2) setiap masalah yang berbeda membutuhkan
metode yang khas untuk memecahkannya; (3) para ilmuan dalam bidang yang sama tetapi di era
yang berbeda menggunakan metode yang berbeda karena perbedaan bangunan teoretik dan hasil
penemuan teknologi; (4) dengan kenyataan pembangunan saat ini, secara metodologis muncul
pendekatan-pendekatan multidisipliner untuk mengkaji masalah-masalah yang kompleks dan
dibutuhkan metode yang interdisipliner; (5) metode sendiri memiliki tingkatan-tingkatan yang
berbeda dengan metode yang lain dalam tiap tingkatannya.
Dalam bahasan Bahm tentang metode ilmiah, ia menyatakan bahwa ada lima langkah atau
tingkatan dalam metode ilmiah: (1) Kesadaran akan masalah, (2) Pengujian masalah, (3)
Menawarkan solusi-solusi, (4) Menguji tawaran-tawaran itu, (5) Memecahkan masalah.
Dalam metode ilmiah, presuposisi atau praanggapan cukup penting. Kepentingan presuposisi
adalah dapat membuat pembedaan bagaimana masalah-masalah dapat dimengerti, bagaimana
hipotesis yang relevan dibangun, bagaimana pengujian-pengujian dilakukan guna verifikasi dan
bagaimana kesimpulan-kesimpulan yang dapat dipercaya diperoleh.
Presuposisi-presuposisi minimal termasuk di dalamnya asumsi-asumsi tentang hakekat
keberadaan dan kemungkinannya untuk diketahui (metafisik), hakekat pikiran dan kapasitasnya
untuk mengetahui (dalam pengertian psikologi), tentang hakekat pengetahuan dan bagaimana hal
itu diperoleh, dipertahankan, dimodifikasi dan dilupakan (aspek-aspek epistemologis), tentang
hakekat bahasa dan komunikasi (aspek-aspek linguistik), tentang struktur pemikiran dan
kesimpulan dan hubungan-hubungannya dengan hal yang dipikirkan (aspek-aspek logika),
tentang angka, perhitungan-perhitungan dan kesimpulan-kesimpulan matematis (aspek-aspek
matematis), dan tentang hakekat nilai, keindahan, kewajiban, dan nilai utama dalam kehidupan
(aspek-aspek aksiologi, estetik, etika dan agama).
Aktifitas Ilmiah
Menurut Bahms, untuk melakukan semua hal di atas, yang dibutuhkan adalah aktifitas ilmiah.
Aktifitas ilmiah itulah yang disebut dengan penelitian (research). Penelitian ilmiah memiliki dua
aspek, individual dan sosial.
1. Aspek Individual Aktifitas Ilmiah.
Ilmu adalah aktifitas yang berbeda dari orang yang berbeda. Dalam pandangan ini, ilmuan adalah
orang-orang yang berbeda. Hanya ketika kita memahami ilmuan dalam dirinya sendiri, menguji
pengamatan-pengamatannya dan melihat bagaimana dia mengamati, membentuk hipotesis,
menguji hipotesis-hipotesis itu dengan eksperimen-eksperimen yang terkontrol dan mendapatkan
kilasan-kilasan yang genius, maka kita dapat mengerti ilmu.
Setiap ilmuan adalah hasil dari latihannya, kesempatannya untuk mengembangkan kepentingan-
kepentingan ilmiahnya, ketrampilan dan kemampuannya, dan selalu saja kesempatan untuk
bekerja.
2. Aspek Sosial Aktifitas Ilmiah
Aktifitas ilmiah lebih dari sekedar aktifitas perorangan. Aktifitas ilmiah adalah kegiatan
institusional. Artinya, ilmuan adalah kelompok pekerja yang paling penting saat ini. Institusi-
institusi ilmiah termasuk universitas-universitas, institut-institut penelitian, biro-biro pemerintah
dan divisi-divisi perusahaan adalah tempat di mana penelitian ilmiah dibiayai.
Dampak
Ilmu adalah ilmu yang dikerjakan. Bagian dari pengerjaan ilmu adalah menghasilkan dampak-
dampak. Menurut Bahm, dampak dari ilmu bermacam-macam tetapi dapat digolongkan
berdasarkan dua hal: (1) Dampak ilmu atas teknologi dan industri yang disebutnya dengan Ilmu
Terapan; (2) Dampak ilmu atas atau dalam masyarakat dan peradaban.
Tujuan dari risalah Archie J. Bahm ini adalah untuk menunjukkan bahwa pengakuan atas
aksiologi sebagai ilmu merupakan hal yang penting. Pengakuan itu hanya dapat diperoleh ketika
masalah-masalah utama tentang ilmu itu sendiri telah dapat dijelaskan, hipotesis yang esensial
sifatnya dapat dikemukakan, evidensi-evidensi yang tersedia dapat diuji.
Seperti dinyatakan oleh Bahm,
The interpretation of the nature of science is very brief. But it should be sufficient to set the stage
for any debates about the nature of science with those who would define science in such a way to
exclude axiology and other value sciences. There is nothing in the nature of science that
prevents it from including values among the problems investigatable by means of the scientific
attitude and method. So I have no hesitancy in requesting members of the scientific community to
recognize the existence of axiology as a sciense.
I am aware that habits of neglect, distrust of waht is unfamiliar, and discomfort with challenges
so settled convictions, and other obstacles, are all parts of current science that do inhibit
recognition. But I bilieve that when initial problems are clarified, esential hypotheses
formulated, and easily available evidence examined, minds embodying the scientific attitude will
be willing to listen, study, and approve recognition of axiology as a science needing urgent
attention, support, development and use.
Kesimpulan
Setelah membaca risalah dari Archie J. Bahm dengan judul What Is ”Science”, saya
berkesimpulan bahwa tujuan dari Bahm adalah untuk memberikan jalan bagi penerimaan
terhadap aksiologi sebagai ilmu. Saya mendukung pendapat Bahm bahwa selama ini pendekatan
terhadap ilmu selalu ontologis dan epistemologis. Aksiologis tidak mendapat perhatian serius.
Kenyataan itu menurut saya datang dari para ilmuan sendiri yang cenderung memusatkan
perhatian pada suatu masalah dan bagaimana memecahkan masalah itu tanpa memperhatikan
bahwa pemecahan terhadap suatu masalah juga membawa masalah baru. Itu yang oleh Bahm
disebut dampak-dampak ilmu, baik dampak ilmu terapan maupun dampak sosial ilmu. Dalam
bahasan itu, saya memahami aksiologi sebagai ilmu yang menjadikan dampak ilmu sebagai
objek materialnya. Masalahnya adalah istilah ilmu atau science sendiri sangat positivistik yang
mengisyaratkan ada verifikasi-verifikasi terhadap kesimpulan-kesimpulan yang ditarik.
Salah satu aspek dari ilmu yang diperlihatkan oleh Bahm adalah aspek matematikanya ketika
suatu ilmu berhubungan dengan angka dan statistik. Menurut saya, dalam pengertian itu
aksiologi tidak akan dapat disebut sebagai ilmu (science). Aksiologi sangatlah kualitatif dan
membutuhkan lebih dari sekedar perhitungan-perhitungan matematis. Hal itu disebabkan karena
dampak ilmu baik terapan maupun secara sosial sangat berbeda terhadap masing-masing orang,
kelompok orang, bangsa dan negara.
Walaupun demikian, patut diakui bahwa aksiologi termasuk hal yang penting. Aksiologi
menawarkan penyeimbangan-penyeimbangan. Di Indonesia, aksiologi belum mendapatkan
tempat yang sejajar dengan bidang lainnya. Kadangkala masalah nilai itu dianggap urusan agama
sehingga cukup dibicarakan oleh agama. Dalam kenyataannya, agama pun belum mampu
menjadi penyeimbang terhadap dampak ilmu terapan bagi masyarakat dan peradaban. Agama
belum mampu mencegah perusakan lingkungan, agama belum mampu mencegah penciptaan
senjata-senjata pembunuh masal, malah sebaliknya agama digunakan untuk melegitimasi nilai-
nilai yang tidak sejalan dengan kemanusiaan. Pada level dunia, agama sudah teruji dan belum
dapat menjadi penyeimbang.
Bagaimana dengan Indonesia yang masyarakatnya juga mengalami dampak ilmu terapan itu?
Ada nilai-nilai luhur yang dianggap sebagai falsafah negara yaitu Pancasila. Tetapi menurut
saya, Pancasila hanya dapat menjadi penyeimbang ketika sudah teruji. Dalam kenyataannya,
penguji Pancasila yaitu ilmu dan teknologi belum sepenuhnya dikerjakan di Indonesia.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Bahm, aktifitas ilmiah bukan saja aktifitas individu tetapi
juga institusi. Dapat kita lihat belakangan ini berapa banyak ilmuan Indonesia yang bekerja bagi
institusi penelitian di negara lain. Hal itu disebabkan karena negara belum merancang institusi
yang benar-benar mendukung penelitian ilmiah. Pembiayaan terhadap penelitian-penelitian
ilmiah guna memecahkan masalah-masalah ilmiah belum mendapat perhatian utama. Bila
pengujinya saja belum mendapat tempat yang layak di negara ini, bagaimana Pancasila dapat
dikatakan tahan uji kalau belum begitu teruji?
Sekalipun demikian, Pancasila tetaplah Pancasila yang nilai-nilainya perlu digali secara terus
menerus dari waktu ke waktu. Penggalian terhadap nilai-nilai itu pun ada dalam kapasitas
aksiologi sebagai ilmu tentang nilai, tinggal siapa yang harus mengerjakannya, apakah para
ilmuan atau hanya agamawan, atau semua orang yang merasa bertanggungjawab sikap bangsa ini
terhadap dampak ilmu terapan bagi masyarakat dan peradaban sebagaimana disampaikan oleh
Bahm.
Oktober 25th, 2009 in ETIKA |
ShareThisCreate a free edublog to get your own comment avatar (and more!)

Trackback URI | Comments RSS


Leave a Reply
Click here to cancel reply.
Top of Form

Name __('(required)')

Mail (will not be published) __('(required)')

Website
Anti-spam word: (Required)*
To prove you're a person (not a spam script), type the security word shown in the picture.

4
Submit Comment 8

8 0

Bottom of Form

• Halaman
○ About

• Archives
○ Oktober 2009

• Categories
○ EPISTEMOLOGI (1)
○ ETIKA (1)
○ Uncategorized (1)

• Search on This Blog


Top of Form

GO

Bottom of Form

• Meta
○ Daftar
○ Log in
○ Valid XHTML
○ XFN
2.1. Metode Penelitian
2.1.1. Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus tahun 2009 pada UD. Merpati Permai
Kendari yang beralamat Jl. Bay Pass No.105 Wua-Wua Kendari.
2.1.2. Jenis dan Sumber data
1. Jenis data
Dalam penelitian ini ada 2 (dua) jenis data yang diperoleh :
a. Data kuantitatif adalah jenis data yang berbentuk angka-angka, yaitu data mengenai : data
stock mobil dan laporan penjualan.
b. Data kualitatif adalah data yang berbentuk informasi dan penjelasan dari pimpinan, serta
karyawan mengenai : sejarah singkat Perusahaan, Struktur organisasi, sistem informasi yang
sedang berjalan.

2. Sumber data
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian, pengamatan dan wawancara
langsung penulis terhadap pimpinan dan karyawan.
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari perusahaan lain yang dapat menunjang
penulisan ini.

Diterbitkan di: September 02, 2010 Diperbarui: Oktober 05, 2010

Lebih lanjut tentang: Metode Penelitian

También podría gustarte