Está en la página 1de 114

Mulai Kisah

Afiq mengayuh sepedanya dengan susah


payah, karena tiga orang teman yang menjadi
bebannya, sedangkan Mujab tak mau kalah, ia
semakin mempercepat mengayuh sepedanya.
Hingga pada akhirnya sepeda yang dikendarai
Afiq, Faiz, Azis kehilangan keseimbangan di tanah
berdebu yang tebal, mereka jatuh bergulingan.
Terdengar tawa diantara mereka, Azis yang
paling kuat tertawanya, Mujab malah sampai
kehabisan suara. Perjalanan yang mengasyikkan.
Mereka sudah sampai di pantai, mata mereka
tertuju pada sang Gelombang. Mereka pun segera
berlarian menyusuri pantai melakukan permainan
yang sejak setahun lalu mereka lakukan.
Permainan mengejar Gelombang, mencari yang
terbesar untuk dilalui dan lalu membenamkan diri
di dalamnya. Hingga mereka menamakan Genk
mereka “Para Pengejar Gelombang”. Itu lah nama
yang mereka gunakan untuk mengikuti Festival
Musik Baladewa beberapa bulan yang lalu.

Ombak menari se-irama nada, laut biru


membentang luas tak bertepi, bukit-bukit
memamerkan elok tubuhnya, gunung–gunung

1
berderet menghiasi mata, angin sepoi menusuk
kalbu, halusnya pasir pantai memanjakan dunia,
pemandangan yang indah menyejukkan mata.
Perahu–perahu kecil nelayan terlihat di mana-
mana, mencari barokah dari Yang Maha kuasa.
Ibu–ibu sibuk mencari ale–ale di tepian pantai.
Burung beterbangan mencari suasana, rumah-
rumah reot berdindingkan bambu beratapkan
daun nipah, berlantaikan tanah yang rata
menghiasi bibir pantai, pohon-pohon rindang
menampakan keindahannya, tujuh sahabat itu
sedang bersukaria bermain sepak bola di bibir
Pantai Tanjung Belandang.
“Nai... kau kejar bolanya!” teriak Albar
“Oke….” Junai mengambil bola dengan berlari
sangat cepat. Ia dengan sekuat tenaga mengejar
dan menendang bola, tak disangka tendangannya
merobek gawang temannya yang di jaga oleh Afiq.
“Goool…!” teriakan tim Albar menggema di tepi
pantai menghilangkan suasana luka, menandakan
bahwa ia telah menyarangkan bola di gawang
temannya”.
“Tumben kamu bisa menendang bola Nai ?
Biasanya setiap kau menendang pasti kau tak
pernah mengenai bola,” ejek Arta sambil
menahan tawa.

2
“Ah kau...biar bagaimanapun aku sudah
berhasil merobek gawangnya Afiq kan? Kau
belum tahu rupanya aku ini masih berkerabat
dengan Cristiano Ronaldo” Junai mencoba
membela diri.
“Apa…! kau masih berkerabat dengan Cristiano
Ronaldo! Hey Bung, ibumu itu orang Jawa,
ayahmu itu orang Kalimantan, sedangkan
Cristiano Ronaldo itu orang Portugal, dari mana
ceritanya sampai–sampai kau berkeluarga
dengannya!haa..ha..” semua menertawakan Junai,
tanpa terkecuali.
“Juna........i, kulitmu itu hitam arang, hidungmu
mancung kedalam, mata mu begitu
menyeramkan, nah…sedangkan Cristiano Ronaldo
orangnya manis semanis gula, hidungnya
mancung, dan ganteng lagi, jadi ndak ada
miripnya sama sekali dengan Cristiano Ronaldo.
Tapi tenang bung, walau kau paling jelek diantara
kita, kau tetaplah sahabat kami... betul teman–
teman?” Afiq ikutan membela Junai.
“Betul…” jawab mereka kompak.
“Nah, sekarang mari kita lanjutkan mainnya,
sebentar lagi matahari terbenam”
“Betul sekali, dari tadi cuma mengejek aku saja,
biar beginipun cewek banyak naksir jika melihat

3
aku!” jawab Junai dengan wajah merah padam, ia
jengkel dengan perilaku teman–temannya.
“Bagaimana tak menggelepar, Kuntilanak saja
takut sama kau, apa lagi cewek Nai!” sambung
Azis enggan tertawa, dan semua ikut tertawa.
“Sudah….sudah…sudah, ayo kita lanjutin
mainnya!” ucap Afiq
“Oke,,,,,,”.
“Sekarang kembali kepada posisi awal.....!”Afiq
sok memerintah
Setuju…..semua serempak menjawab. Bola
mulai bergulir kesana kemari, mengikuti kaki–kaki
yang membawanya. Suasana pantai terlihat ceria,
terdengar sorak sorai dan canda tawa dari tujuh
orang sahabat memecah suasana. Kakek dan
nenek tertawa gembira melihat perilaku mereka,
sehingga ia tak menyadari pada saat ia tertawa,
gigi–giginya tak bertepi ditelan masa,
menandakan semakin hari umurnya bertambah.
“Mujab…kau kejar bolanya” teriak Arta
kencang, isyarat bahwa ia akan mengoper bola
kepada Mujab.
“Oke…Ta! akan kuambil bolanya” Mujab berlari
sangat kencang dengan nafas yang tersengal–
sengal berupaya mengejar bola. Mujab berhasil

4
mendapatkan bola itu, tanpa berfikir panjang
Mujab langsung menendang bola dengan sekuat
tenaganya. Bola itu meluncur tajam, ia akan
menghantam apa saja yang menghalanginya,
ibarat singa sedang mengejar mangsanya, tiba–
tiba terdengar suara jeritan yang begitu keras.
“Aauuu...hidungku!” Afiq menjerit histeris
menahan sakit.
Semua mata tertuju pada Afiq, ternyata bola
yang diluncurkan Mujab mendarat dengan rapi di
wajah Afiq. Semua berlari menghampiri Afiq
dengan tergesa.
“Fiq kau tak apa–apakan?” tanya Faiz dengan
memangku Afiq yang sedang jatuh pingsan, darah
segar mengalir dari hidungnya terus menerus
tanpa henti. Wajahnya yang culun dan cerah kini
mulai memucat dengan sangat cepat. Keringat
dingin bercucuran membasahi tubuhnya, detak
jantungnya dengan perlahan menurun, denyut
nadinya terasa mulai melemah.
Seketika suasana ceria berganti dengan cepat
menjadi mencekam, menegangkan tak hingga. Ya
itu adalah sebuah kejadian yang sangat
menakutkan bagi tujuh sahabat itu. Hembusan
angin sepoi tepi pantai terasa mulai mengganas
hingga membuat sesak di dalam dada,
pemandangan pohon-pohon, bukit–bukit,

5
gunung–gunung, halusnya pasir pantai yang indah
berubah menjadi begitu muram seakan ia begitu
marah dan kehilangan kekuatannya.
“Bagaimana kawan–kawan jalan keluarnya,
darah yang keluar dari hidungnya tak juga
berhenti” ucap Albar
“Betul kata kau Albar. begini saja, kita bawa
saja Afiq ke rumahnya, agar dapat ditindak lanjuti
dengan cepat” Junai mengambil inisiatif.
Mujab wajahnya pucat redam, keringat
dinginnya bagaikan hujan lokal. Ia yang bisaanya
tenang setiap menghadapi masalah apapun, kini
tubuhnya gemetar tak terbendung, seperti orang
sedang dikejar hantu. Ia mejawab dengan suara
lirih “Tidak! jangan! kalau sampai ketahuan orang
tuanya, aku bisa digampar oleh bapaknya bahkan
dicincang hidup–hidup dan kalau sampai ketahuan
orangtuaku, aku bisa dikubur hidup–hidup sama
bapakku Nai!”
“Kau itu bagaimana cara berfikirmu, teman kita
hampir sekarat, kalau tak di tindaklanjuti dengan
cepat, bisa bahaya. Apakah kau mau dihadapkan
orang tuanya dengan polisi, dan masuk jeruji besi
bertembokan dan beratapkan semen–semen
bercampur pasir kasar, dengan tuduhan
menghilangkan nyawa anaknya ha…!” ucap Albar
khawatir.

6
Mujab tertunduk berlinangkan air mata,
tubuhnya semakin gemetar ketakutan. Ia merasa
bersalah dalam kejadian yang tak disangka ini,
yang menimpa tak lain adalah sahabat karibnya
sendiri.
“Tak! aku tak akan pernah mau masuk kedalam
bui, aku tak mau…!” kata Mujab dengan suara
lirih, menahan tangis.
“Sudah…sudah…sudah, ini bukan waktu yang
tepat untuk bertengkar, dan sekarang tak ada
waktu untuk bertengkar, dan kalau masih mau
bertengkar nanti dilanjutin setelah kita mengantar
Afiq pulang kerumahnya. Sekarang kita angkat
Afiq kemudian kita antar kerumahnya, dan cerita
terus terang kepada orang tuanya” ucap Faiz
mencoba menenangkan suasana.
“Tapi Iz…!” ucap Mujab
“Tak ada tapi–tapian, sekarang cepat angkat
Afiq. Cepat…!” potong Faiz dengan penuh rasa
kekesalan terhadap teman–temannya karena tak
mengindahkan ucapannya.
Diperjalanan menuju rumah Afiq, darah segar
masih keluar secara terus menerus tak
terbendung, wajahnya kini semakin pucat lesu,
dan keringat dingin yang membasahi tubuh Afiq,

7
mengisyaratkan betapa tersiksanya ia menahan
sakitnya yang ia rasakan.”
“Tok...tok....tok, Om cepat buka pintu” Azis
berteriak keras dengan suara yang tak menentu.
Om membuka pintu, “kreak…!” matanya tiba–
tiba terkejutkan suatu tragedi, wajahnya terlihat
merah padam, ia begitu tak yakin dengan semua
ini, melihat kondisi anaknya yang begitu
mengenaskan, wajahnya tak memancarkan
cahaya kehidupan, tubuhnya berlumuran darah.
“Hey… apa yang terjadi kepada anakku?” Om
berkata dengan perasaan kaget, tak percaya
bercampur emosi.
“Lebih baik kita bawa Afiq segera ke rumah
sakit, kalau terlambat gawat Om!” jawab Faiz
dengan bibir bergetar.
Om tak berfikir panjang, ia berlari menuju arah
ke belakang menemui istrinya yang ketika itu
sedang mencuci pakaian.
“Ada apa Bapak ni, semacam orang dikejar
anjing saja” tanya istrinya dengan penuh
kebingungan melihat tingkah laku suaminya
“Memang mengapa harus dibawa ke rumah
sakit pula, ku lihat tadi dia baik–baik saja, dan

8
pergi bermain bola bersama teman–temannya”
tanya Tante.
“Sudahlah bu, jangan banyak tanya sekarang
bawa anak kita ke rumah sakit.”
“Iya Pak”.
Om berlari kembali ke garasi mengeluarkan
mobil.
“Cepat Bu” .
“Hei kalian jangan pada bengong cepat naik ke
mobil dan masukan Afiq” ucap Om geram. Faiz,
Albar, Azis, Mujab, Junai, Arta mengangkat Afiq ke
dalam mobil dengan sisa–sisa tenaga yang ada.
Mereka ikut dalam rombongan itu, tak terkecuali
si Mujab yang merasa menjadi penyebab kejadian
itu.
Dalam perjalanan, tak satu patah kata pun
terucap dari rongga–rongga mulut yang menganga
lebar orang di dalam mobil. Darah segar masih
tetap keluar dari hidung Afiq, detak jantungnya
hingga tak terdengar, suasana menjadi hiruk pikuk
menegangkan, mengalahkan ketegangan di-masa
perang tahun ’45-an. Mujab terlihat ketakutan,
wajahnya pucat lesu menahan ketegangan yang
tak tahu kapan akan berakhir, detak jantungnya
berdetak begitu kencang, kegelisahan hati
semakin tak menentu.

9
Tak Cuma Afiq yang mengeluarkan keringat
dingin karena menahan sakit, tetapi Mujab juga
bermandikan keringat dingin, seluruh tubuhnya
basah kuyup dihujani keringat seperti hujan lokal,
ini adalah suatu tregedi yang tak pernah ia
harapkan.
Mobil tersentak berhenti menandakan bahwa
mereka sudah sampai pada tujuan yang mereka
tempuh.
“Sekarang cepat kalian turunkan Afiq” pinta
Om dengan suara yang lirih menahan kesedihan
yang begitu mendalam melihat kondisi anaknya
yang kritis. Dua perawat langsung membawa
tandu ke arah mereka.
Semua bergerak cepat, Faiz dan kawan–kawan
mengangkat Afiq dan menempatkannya di tempat
pembaringan yang telah disiapkan rumah sakit.
“Dokter, suster, tolong selamatkan teman kami
yang ganteng ini dengan baik ya dok?” ucap Azis,
ia tak menyadari kata–kata yang baru saja ia
ucapkan. Kata ”GANTENG” yang dia sebutkan
barusan menimbulkan kegelian pada diri dokter
beserta perawat.
“Anak ini dalam keadaan seperti ini masih saja
tetap ingin bercanda walau ia tahu temannya

10
sangat memerlukan penanganan medis yang
cepat”gumam hati dokter.
“Iya, sebaiknya Bapak, Ibu, dan Adik-adik
tenang saja, biar kami menangani bocah cilik ini.
Suster, cepat bawa anak ini keruangan UGD”
perintah dokter
Semua diam terpaku, suasana sunyi senyap
seperti tak ada tanda kehidupan, menunggu
jawaban dari sang pahlawan berjas putih,
berbekalkan jarum suntik di mana pun ia berada,
ya dia adalah sang”Dokter”. Gundah gulana
menyesakkan kalbu, semua pikiran melayang tak
menentu arahya, menanti sebuah jawaban dari
kejadian di tepi pantai Tanjung Belandang yang
indah dan menawan para penikmat pantai.
“Bagaimana ceritanya sehingga Afiq seperti
ini?” suasana hening itu pecah oleh sebuah
pertanyaan yang terlontar dari bibir Om.
Mereka saling menoleh satu dengan yang lain,
mereka bingung jawaban apa yang akan mereka
berikan. Berfikir adalah salah satu alternatip yang
sangat jitu dalam memecahkan masalah dalam
dunia. Tapi alternatip yang sangat jitu itu kini tak
berfungsi, entah mengapa, apakah mungkin
semua bisu? Tak, itu sangat mustahil, semua
orang di sini tak mengidap penyakit bisu. akhirnya

11
tak ada pilihan yang paling tepat kecuali harus
berterus terang.
“Begini Om, kami semua sedang bermain bola
di tepi pantai dekat rumah Azis. Pada saat Mujab
menendang bola, ternyata bola itu mengenai
hidung Afiq” jawab Faiz berterus terang, padahal
hatinya sedikit tersimpan rasa ketakutan terhadap
Om walau ia tahu bahwa Om adalah figur orang
tua yang bijak dan selalu tepat mencari jalan
keluar dengan cermat dan baik dalam setiap
masalah yang menimpa diri maupun keluarganya.
“Betul Mujab apa yang diucapkan Faiz?” .
Mujab tertunduk, wajahnya yang baru saja
berganti cerah kini mulai memucat kembali,
tubuhnya bergetar kembali tak karuan, mulutnya
terdiam seribu bahasa, di dalam benaknya berkata
“Habislah riwayatku, tapi aku harus berkata yang
sejujurnya”. Dengan anggukkan pelan, Mujab
mengisyaratkan bahwa betul apa yang
disampaikan Faiz.
“Mengapa kau menunduk Mujab? apakah kau
berfikir bahwa Om akan memarahimu? Om lebih
suka orang yang jujur dan berterus terang. Om
juga tak akan berbuat seperi apa yang kau
pikirkan, kau tak sepenuhnya bersalah, dan kau
melakukannya tanpa sedikitpun unsur
kesengajaan bukan? Sekarang hilangkanlah

12
seluruh prasangka burukmu terhadap Om, dan
berdoalah untuk Afiq temanmu agar cepat
sembuh” Om mencoba menenangkan suasana
dan bersikap bijaksana sebagai orang tua.
“Apakah Om tak akan memarahiku” tanya
Mujab dengan senyumnya yang sesaat sempat
telah lama hilang kini hadir kembali dengan mata
yang berkaca-kaca.
“Tak nak, inilah sebuah takdir dari Allah yang
tak bisa kita hindari, walaupun kita berusaha
untuk menghindarinya, dan itu tetap tak bisa di
pungkiri, anggaplah ini sebuah cobaan dan jangan
kau jadikan beban pikiranmu Nak, sambil
memeluk Mujab dengan mata yang berkaca–kaca
pula. Semua ikut merasa terharu dengan semua
ini, isak tangis bahagia menghujani ditempat itu,
kebahagiaan yang paling indah yang pernah
dirasakan Mujab kecuali kata “Maaf” dari Om.
Tak bertepi lagi kebahagiaan pada diri Mujab,
tak pernah ia merasakan kebahagiaan yang begitu
besar dalam hidupnya, wajahnya tampak berseri–
seri bagaikan intan berlian yang indah, tubuhnya
yang semulanya bergetar kini tumbuh segar bagai
daun terkena embun pagi. Detak jantungnya yang
sebelumnya tak menentu telah tertata lagi.
“Terima kasih Om, maafkan saya Om karena
ulah saya si Afiq seperti ini” mata Mujab berkaca–

13
kaca dengan suara yang lirih sambil mencium
tangan Om dan Tante.
“Ya sudah tenangkanlah dirimu, jangan terlalu
banyak pikiran Mujab” ucap Tante menenangkan.
Suasana ruangan menjadi ceria kembali walau
masih terbesit luka di dalam hati, keadaan
semakin membaik, tak ada cucuran air mata dari,
ketenangan jiwa, merasuki tiap–tiap insan di
dalamnya, sabar dan sabar yang dilakukan Om,
Tante, Faiz dan kawan–kawan untuk menunggu
jawaban dari seorang pahlawan berjas putih (sang
dokter).
“Kreak…!” pintu ruangan yang tertutup rapat
yang di dalamnya terdapat pasien.
Tragedi mengenaskan di tepi pantai terbuka,
memecahkan suasana ruangan yang sedang
berisak tangis. Seorang berpakaian putih,
bercelana hitam, berkaca mata putih besar ala
Eropa dan membawa alat pendeteksi penyakit,
keluar dari ruangan Koran tragedy menakutkan.
Semua berdiri tegak, keadaan kembali mencekam,
ya sangat mencekam bagai disaat menghadapi
kematian.
“Bagaimana keadaan anak saya Dok?” tanya
Om khawatir.

14
“Untung segera di tindaklanjuti, kalau
terlambat mungkin nyawa anak anda tak akan bisa
diselamatkan. Sekarang keadaannya sudah
melewati masa kritis dan sudah agak membaik
kondisinya. Dia membutuhkan istirahat yang
cukup, jangan terlalu diberi beban pikiran, dan
untuk sementara waktu, anak Bapak jangan
diganggu terlebih dahulu. Tapi Pak, Bu, ada
sesuatu yang akan saya beritahukan kepada bapak
dan ibu,”Kalimat terakhir dari dokter mengejutkan
keduanya.
“Masalah apa dok?’’tanya Tante dengan penuh
tanda tanya dalam hatinya yang gelisah.
“Kita bicarakan masalah ini di dalam ruangan
saya saja. Mari Pak, Bu!” ucap sang dokter.
“Baiklah Dok!” jawab Om dengan tenang
setenang air sungai yang sedang mengalir”.
Om dan Tante memasuki ruangan sang dokter
dengan penuh tanda tanya dan kegelisahan hati
yang tak menentu, dan penuh teka–teki.
“Silakan duduk Bapak dan Ibu!” pinta sang
dokter menpersilakan Om dan Tante duduk.
“Terima kasih Dok!Memangnya masalah apa
yang akan dokter beritahukan kepada kami?
Tampaknya sangat penting sekali dibicarakan,”
kata Om.

15
“Sebenarnya kata ini sangat sulit untuk saya
ucapkan, tetapi Bapak dan Ibu harus mengetahui
masalah ini. Sebenarnya anak bapak dan ibu
mengidap penyakit yang sangat berbahaya, yaitu
penyakit leukemia, dan hidupnya tak akan
bertahan lama” ucap sang dokter.
“Apa…!yang benar Dok?Anak saya tak pernah
sakit, ia terlihat sehat–sehat saja, tanpa ada
keluhan sedikit apapun, dan apa hubungannya
terkena tendangan bola dengan penyakit
memetikan itu Dok?” tanya Tante dengan nada
seakan akan tak percaya, hatinya remuk redam
tak bersisa, tulang–tulangnya, sendi–sendinya
mulai melemas tak daya.
“Sebenarnya tak ada hubungan sama sekali
dengan tendangan bola yang mengenai wajahnya
tersebut, tetapi sebenarnya anak Bapak dan Ibu
dulunya sudah terkena penyakit ini, memang
penyakit ini tak langsung menyerang
penderitanya, tapi lama kelamaan akan menjadi
sesuatu yang akan menakutkan, makanya pada
saat bola mengenai wajah dan lebih tepat pada
hidungnya, darahnya keluar terus menerus tak
henti, padahal jikalau orang tak mengidap
penyakit itu terkena tendangan bola, tak akan
sedahsyat itu, mungkin hanya sedikt darah yang
keluar.” jawab dokter mencoba menjelaskan
kepada Om dan Tante

16
“Sudahlah Ma, kita terima cobaan ini dengan
ikhlas, karena semuanya ini datangnya dari Allah”
ucap Om mencoba menenangkan hati istrinya
yang dilanda ombak kesedihan begitu besar, ya
sebesar ombak di pantai.
“Tapi Pak…!” mata Tante berkaca–kaca
menandakan ia tak percaya dengan semua ini.
“Sudahlah, sekarang kita berpikir bagaimana
kita membahagiakan Afiq disisa–sisa akhir
hidupnya,” jawab Om dengan penuh ketegaran,
ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi
masalah yang diberikan Tuhan kepadanya.
“Terima kasih Dok!atas impormasinya, tapi
kami mohon tolong bantu kami Dok! ” ucap Tante
dengan penuh kepasrahan menerima keadaan
anaknya.
“Iya Bu, kami akan berjuang sekuat tenaga
untuk membantu Bapak dan Ibu” jawab sang
dokter mencoba menenangkan keadaan.
“Sekali lagi terima kasih Dok?” ucap Om.
“Sama–sama, dan itu sudah menjadi kewajiban
kami sebagai pelayan bagi masyarakat,” jawab
sang dokter.
Semantara di luar Faiz dan teman–temannya
juga sedang membicarakan tentang Afiq.

17
“Untung Jab, kau masih mendapatkan
keringanan dan kata maaf dari keluarganya” ucap
Azis.
“Iya Zis, aku benar–benar tak tahu bagaimana
aku membalas semua budi baik keluarga Afiq”
jawab Mujab membayangkan jika ia tak
mendapatkan kata maaf dari kedua orang tua
atau keluarga si Afiq. Mungkin ia sudah
mendekam dibalik jeruji besi, atau bahkan
dicincang hidup–hidup oleh keluarga Afiq.
“Sudah, sekarang kita semua berdoa supaya
Afiq cepat sembuh dan kita bisa berkumpul
bersama, dan bermain kembali” ucap Albar
mengalihkan pokok pembicaraan yang sedang
berlangsung.
Keadaan sekarang sudah membaik, ya lebih
baik dari keadaan yang mencekam dan
menegangkan, tak ada ketegangn diantara
mereka, senyum berseri terpancar dari wajah–
wajah tak berdosa, Om dan Tante menghampiri
mereka. Faiz dan kawan–kawan berdiri tegak
laksana tentara yang sedang mendengarkan sang
komandan berbicara ketika akan terjun kemedan
perang.
“Bagaimana Om kabar kondisi Afiq?” tanya
Arta.

18
“Tak apa–apa, cuma ada luka di hidungnya,”
jawab Om untuk menenangkan perasaan Faiz dan
kawan–kawan, dan kedua orang tua itu berniat
dan bersepakat tak akan memberitahu keadaan
Afiq yang sebenarnya. Akan menjadi rahasia abadi
yang terburuk.
“Ya sudah, sekarang kalian pulanglah ke rumah
masing–masing, nanti orang tua kalian mencari,
biar Om dan Tante yang menunggu Afiq disini”
pinta Om mengisyaratkan untuk pulang.
“Iya Pak, kami semua izin pulang, jika ada
perubahan kondisi pada Afiq, tolong beritahu
kami ya Om?” pesan Mujab dengan senyumnya
yang manis, tapi tak semanis gula.
“Betul Om,” ucap Faiz dan kawan–kawan
serempak dengan wajah yang berseri–seri.
Mereka begitu bahagia dengan kabar yang di
beritakan Om dan Tante. Walau sebenarnya tak
sebaik yang diberitakan Om dan Tante,
sesungguhnya keadaan Afiq begitu tragis.
“Ya sudah, sekarang kalian pulang,” lanjut Om.
Dalam perjalanan enam orang sahabat bersuka
cita, terlihat dari pancaran wajah mereka yang
berseri, tak ketegangan menyelimuti mereka,
gundah gulana hilang dalam sekejap mata, bagai
ditepas sang badai di padang pasir gurun berbatu,

19
burung bersiul dan bernyanyi begitu syahdu
ditambah pemandangan alam yang begitu indah
menentramkan hati menambah suasana kalbu
semakin terasa indah.
“Eh Mujab, kalau kau sedang ketakutan
wajahmu serabutan bagai akar pohon beringin”
ejek Faiz sambil menahan tawa di dalam
perjalanan pulang.
“Betul Jab, wajahmu merah pekat tanpa ada
setitik senyum, dahimu berkerut tak hingga dan
lebih–lebihnya pada saat kau ketakutan melihat
wajah Om, wajahmu berubah seakan–akan seperti
Cristisno Ronaldo Jab” sambung azis dengan gaya
khasnya berbicara seakaan–akan tak berdosa.
Berderai tawa diantara mereka, hanya saja
Mujab tersipu malu dihadapan temannya.
“Ah kalian, kerjaanya tiada hari tanpa bercanda
dan mengolok–olok, tak memandang itu teman
atau bukan”kata Mujab dengan wajah murung. Ia
begitu jengkel dengan temannya, yang satu hari
ini ia menjadi bulan–bulanan sebagai bahan
ejekan teman–temannya.
“Apakah kau lupa Jab?Kita punya
semboyan”Kalau bercanda yang sedang-sedang
saja, jikalau belum menangis belum berhenti.
Betul kawan-kawanku?” tanya Albar.

20
“Betul…!ha…ha…ha…” berderai kembali tawa
dari goa–goa yang begitu gelap gulita.
“Sudah…aku mau belok kearah rumahku!”
jawab Azis wajahnya yang serba imut dan menjadi
sorotan setiap kaum Hawa.
“Aku juga,” sambung Junai sambil menahan
tawa.
“Ya sudah, sekarang kita harus berpencar disini
dan kembali ke rumah masing–masing” ucap Arta.
“Hey, Bung jangan lupa setelah pulang sekolah,
kita kumpul di tempat biasa, dan membesuk Afiq
di rumah sakit” pesan Faiz.
“Iya…!” jawab mereka kompak.
Malam yang indah menenangkan jiwa,
bertaburan bintang yang bergemerlap pada
malam hari, angin sepoi malam penyejuk hati,
suasana hati yang damai dan tentram terasa
semakin menyelimuti, kado terindah pada hari
yang penuh misteri.
“Tet...tet...tet” tanda waktu belajar mengajar
telah usai Siswa MAN Ketapang berhamburan
keluar untuk menuju rumah masing–masing.
Bunyi bising kendaraan menghiasi waktu pulang
sekolah. Faiz dan kawan–kawan telah berkumpul
di tempat biasa mereka kumpul bareng.

21
“Bagaimana teman–teman, apakah kita
berangkat sekarang?” tanya Faiz.
“Tunggu apalagi Bung, lebih cepat itu lebih baik
dan mari kita lanjutkan” jawab Junai tersenyum
dengan senyumnya yang khas. Ia tak sadar bahwa
ia memiliki dua buah gigi giwang. Aib yang selama
ini ia selalu tutup rapat, kini terbongkar sudah,
berdarai kembali tawa diantara mereka.
“Hey Bung, aku tak menyangka kau memeliki
dua buah gigi giwang, akhirnya ketahuan juga ya,”
ejek Arta.
“Itulah sebenarnya jawaban yang kami tunggu
dari rongga mulutmu yang penuh gewang itu
Junai” timpal Azis.
Keadaan kembali terisi keceriaan, enam orang
sahabat mengendarai motor menuju tempat
pembaringan Afiq, untuk membesuk Afiq yang
terguling lemah di tempat pembaringannya akibat
sebuah tragedi yang sangat tragis dan
mengundang ribuan pertanyaan yang terbesit
dalam hati.
“Nak, bagaimana kondisimu saat ini apakah
sudah mendingan?” tanya Tante .
“Sudah Bu, tapi kepalaku saja yang masih agak
sakit” jawab Afiq dengan memegang kepalanya.

22
“Bu, bagaimana kata dokter tentang
keadaanku? Aku takut dengan darah yang keluar
dari hidungku begitu banyak Bu?” tanya Afiq
dengan penuh ketakutan.
Tante tertunduk, wajahnya tak berseri, air
matanya tak mampu ia bendung, tubuhnya
kembali bergemetar, ya bergetar dengan sangat
kencang dan begitu tak mengenakkan hati.
“Sebenarnya…!kau…!” ucap Tante, dengan
nada kian lemah dan suaranya yang begitu lirih
menahan tangis.
“Sebenarnya apa Bu? Jawab dengan jujur Bu?”
tanya Afiq dengan nada tinggi, beribu pertanyaan
yang ia simpan di dalam hati Ia begitu penasaran
dengan sikap ibunya yang seakan menutupi
keadaan yang sebenarnya.
“Sebenarnya kau terkena penyakit Lheukimia
Nak. Itulah sebabnya darah yang keluar dari
hidungmu begitu banyak. Kata dokter umurmu tak
akan bertaha lama” papar Tante dengan suara
serak, mencoba menjelaskan kepada Afiq anak
tunggalnya.
Sebenarnya Tante tak tega untuk
mengatakannya, tapi tak ada pilihan lain, Air mata
kini tak dapat dibendung lagi, tetes demi tetes ia

23
jatuhkan. Isak tangisnya terdengar begitu
menyedihkan, ya sangat–sangat menyedihkan.
“Apa Bu, aku terkena penyakit leukemia?”
tanya Afiq seolah–olah tak percaya.
Serta merta matanya meneteskan air mata,
semangat hidupnya kini hilang entah kemana dan
begitu cepat bagai tulisan ditepi pantai kemudian
dihempas oleh sang ombak. Afiq menangis
dengan sekuat–kuatnya, ia tak peduli tangisnya
terdengar orang banyak, kesedihannya semakin
dalam ketika sebuah kata yang paling ia takuti
keluar dari ronnga mulut ibunya.
“Sudah jangan menangis Nak, terimalah semua
ini dengan ikhlas, ini sebuah ujian dari Allah untuk
Mu,” jawab Om menenangkan Afiq sambil
memeluknya. Tak terasa air matapun menetes,
pula.
“Tapi aku tak mau mati Pak!” kata Afiq.
“Ingat Nak, semua makhluk itu akan menemui
kematian. Kita tak bisa menghindarinya walau kita
bersembunyi di ruang yang tertutup rapat
sekalipun tetap akan dijemput pula. Kau jangan
takut terhadap kematian Nak, karena itu sudahlah
pasti” ucap Om menenangkan kesedihan anaknya.

24
“Tak, aku tak mau mati…!” teriak Afiq histeris.
Ia tak bisa menerima kaadaanya saat ini. Ia terus
menangis meratapi nasibnya yang begitu malang.
“Sudahlah Nak, janganlah terus menangis, tak
ada gunanya, walau kau menangis sampai bulan
depan tak henti. Tak akan bisa mengubah apa
yang telah ditetapkan Yang Maha Kuasa. Sekarang
berhentilah kau menangis, dan bersiap-siaplah
untuk pulang ke rumah, karena dokter telah
mengizinkan” ucap Om dengan mengusap air
mata Afiq.
Tangis Afiq terhenti mendengarkan ucapan
bapaknya. Ia sadar tak ada gunanya ia menangis
meronta–ronta, dan itu tak akan mengubah
kondisinya. Sekarang ia harus berfikir bagaimana
mengisi hari–hari yang begitu suram disisa-sisa
akhir hayatnya.
“Kreak…!” pintu ruang terbuka, terlihat enam
orang sahabat menghampirinya.
“Hei sobat, bagaimana kabarmu?“ tanya Faiz.
“Aku tak apa –apa, aku baik–baik saja” jawab
Afiq dengan nada yang lemah. “Maafkan aku
sobat, aku tak bisa memberitahukan keadaanku
yang sebenarnya pada kalian, biarlah ini menjadi
rahasia terburuk yang aku simpan, dan menjadi

25
kenangan terburuk dalam hidupku,“ gumam Afiq
didalam lubuk hatinya yang paling dalam.
“Ah, ada Om dan Tante, apa kabar
Om...Tante...?” ucap Mujab dengan
menyalaminya dan diikuti kawan–kawan yang
lain.
“Kabar Om dan Tante baik–baik saja, kalau
kalian bagaimana kabarnya?” Om balik bertanya.
“Alhamdulillah kami pun baik–baik saja” jawab
Arta mewakili kawan–kawannya.
“Om, Tante, mengapa menangis” tanya Azis
penasaran.
“Ah itu hal biasa nak, Om dan Tante hanya
teringat masa lalu kami berdua saja” jawab Tante
sambil mengusap air matanya, Om juga
mengusap air matanya. Mereka tak sadar bahwa
mereka baru saja menangis, lupa membersihkan
sisa–sisa air matanya.
“Betul kan Pak?” tanya Tante kepada Om
sambil mencubit bagian perut Om Aban.
“Eh…iya, betul kata Tantemu” jawab Om
dengan senyumnya yang hambar.
“Eh kalian, sekarang mari kita bersiap–siap
untuk pulang, karena Afiq sudah diizinkan dokter

26
untuk pulang” ucap Om mengalihkan
pembicaraan.
“Bagus itu Om, jadi kami bisa bermain dan
berkumpul bersama kembali, betul sobatku yang
ganteng?” menunjuk ke arah Afiq.
Afiq hanya terdiam, ia mencoba untuk senyum
dihadapan teman–temannya, padahal ia sedang
merasakan kelukaan dan kesedihan yang begitu
mendalam.
“Kawan–kawan! Sekarang cepat bantu Om dan
Tante berkemas, kita pulang…!” teriak Albar
berpura gembira.
Semua telah siap, kini mereka berangkat pulang
mengantarkan Afiq kerumahnya dengan
membawa jutaan kecerian, semua orang
mengekspresikan dengan penuh kebahagiaan
menyambut kedatangan Afiq yang telah dinanti.
Tapi di hati Afiq masih tersimpan ribuan
misteri, hatinya begitu hancur ketika mendengar
penjelasan dari ibunya, wajahnya tak secerah
dulu, keceriaanya kini telah musnah ditelan masa,
dan begitu cepat berganti dengan kesedihan yang
berkelanjutan. Kini ia menjalani sisa–sisa
hidupnya, menunggu ajal menjemput.
***

27
RENCANA YANG MENYAKITKAN

Hari-hari Rafiq lalui dengan sejuta keresahan


dan kegelisahan. Pemandangan yang begitu indah
kini berubah sangat cepat bagai menyimpan
kemarahan yang amat dalam.
Setiap hembusan nafasnya masih tersimpan
misteri. Detak jantung dan denyut nadi seiring
berjalan mengikuti langkah–langkahnya yang tak
diketahui kemana arahnya. Hidupnya bergantung
dan ditentukan oleh waktu yang terus berputar,
kesedihan selalu menyelimuti diri Rafiq di sisa–
sisa akhir hayatnya.
Setiap detik, menit, jam, dan hari berganti,
Rafiq jalani dengan penuh tetesan air mata dan
kelukaan hatinya yang teramat dalam. Semua
yang pernah ia rasakan selama ini hilang begitu
cepat bagai ditelan sang Gelombang, hidupnya
kini terasa tak ada arti bagai sampah yang
terbakar oleh sang jago merah. Lambat laun,
timbul rasa kebencian yang amat besar pada sang
Maha Pencipta pada dirinya.
Di sekolah yang masih serba kekurangan walau
statusnya adalah sekolah negeri, di sanalah ia

28
bersekolah bersama teman–temannya , dan
menimba ilmu seperti anak–anak yang lain.
“Tet…tet…tet…” tiga kali bel berbunyi
menandakan waktu istirahat telah tiba, siswa–
siswi keluar dengan teratur dari kelasnya masing–
masing, tak ketinggalan juga tujuh bersahabat
tetap sehati berkumpul bersama di bawah pohon
rindang.
“Kabar kau bagaimana Fiq? Apakah sudah
betul–betul sehat?”tanya Albar.
“Beginilah keadaanku Bar, ya seperti kau lihat
sekarang ini baik–baik saja” jawab Rafiq
tersenyum walau masih terbesit segores luka di
hatinya.
“Fiq, aku punya sebuah cerita untuk kau” ucap
Azis dengan menahan tawa.
“Cerita apa lagi Zis?” tanya Rafiq dengan
penasaran.
“Kau tahu pada saat kau di rawat dirumah
sakit? Wajah Mujab merah padam dan kursi yang
ia duduki berguncang seperti gempa bumi ketika
melihat bapakmu yang berkumis melintang
seperti Pak Raden. Lebih lucunya saat Mujab
ketakutan,wajahnya seperti Cristiano Ronaldo!”
ucap Faiz sambil tertawa.

29
Berderai tawa diantara mereka, hanya Rafiq
yang tak tertawa, ia meneteskan banyak air mata;
“Fiq, mengapa kau menangis? Semuanya
tertawa mendengarnya, hanya kau yang tak
tertawa, mengapa Fiq?” ucap Junai Penasaran.
Rafiq tak menjawab, ia langsung pergi
meninggalkan teman – temannya ke kelas, tak ada
satu patah katapun yang terucap dari mulutnya.
“Eh Fiq, kau mau kemana?” tanya Mujabi.
“Iz, apakah ceritamu tadi membuatnya
tersinggung, Iz?” tanya Arta.
“Ah, mana mungkin dia tersinggung, kitakan
tahu bahwa Rafiq itu orangnya tak mudah
tersinggung,dan lagi pula, kita tak ada
menceritakan tentang dia, tapi kita menceritakan
tentang Mujab!” jawab Faiz.
“Tapi mengapa ia menangis dan lari
meninggalkan kita Iz? orang menangis itu pasti
ada sebabnya Iz!” sambung Albar.
“Ucapanmu ada benarnya juga Bar, tapi apa
salahku? Apa mungkin pada saat aku mengatakan
bahwa bapaknya seperti Pak Raden, Rafiq
tersinggung ya? Ah, tapi itu sungguh tak mungkin,
ia sudah biasa dengan perkataan–perkataan
seperti itu” ucap Faiz.

30
“Mana Ku tahu Iz, kau salahnya apa?” kata Azis.
“Sudah, tak usah banyak omong, sekarang kita
minta maaf padanya, mungkin ada perkataan yang
menyinggung perasaannya” ucap Mujab.
“Betul kata kau Jab, tumben kau benar ?“ kata
Azis sambil tertawa.
“Eh, kau ini tak ada letih–letihnya mengejekku,
nanti tak sobek mulutmu!”jawab Mujab dan
tampaknya ia memanas.
“Jangan Jab! aku takut disaat kau menyobek
mulutku, giwangku pada copot Li, nanti susah
makan!” ejek Azis kembali tertawa terpingkal–
pingkal.
Wajah Mujab terlihat seram dipandang bagai
singa melihat mangsanya. Ia seakan–akan ingin
sekali mencekik leher Azis.
“Sudah…! yang ingin minta maaf dengan Rafiq,
ikut aku..!” teriak Mujab dengan penuh
kemarahan dalam hatinya.
Semua diam, Azis tak menyangka ulahnya
membuat Mujab begitu marah padanya, semua
mengikuti langkah–langkah Mujab. Semantara
Rafiq di kelas meneteskan ribu-an kilogram air
mata.

31
“Mengapa aku dihidupkan di dunia ini,
mengapa kau tak ambil nyawaku sekarang?
Mengapa…ya Tuhan?. Kau beri aku penyakit
semacam ini, ini membuatku sangat tersiksa dan
menderita dengan semua ini. Teman–temanku
masih bisa tertawa, bermain bersama dan
bercanda ria, sedangkan aku, jangankan bermain,
tertawapun aku tak bisa.
Kau begitu tak adil padaku, Kau sudah tak
sayang padaku, Kau Tuhan yang tak menyayangi
umatnya, Kau begitu kejam padaku, mengapa Kau
berikan semua ini padaku tidak pada orang lain?
Mengapa Kau begitu murka padaku, apakah ini
balasan Mu untukku, ya Tuhan…….?” kata jeritan
hati Rafiq sambil menangis, menahan kedihan
yang teramat dalam, ia merasa tak ada gunanya ia
hidup, gairah hidupnya kini pupus di tengah jalan,
meratapi nasibnya yang teramat malang.
Faiz dan teman–teman yang lain
menghampirinya.
“Mengapa kau menangis Fiq? Apa kata–kataku
tadi, membuat kau tersinggung Fiq?” ucap Faiz.
Rafiq menggelengkan kepalanya
mengisyaratkan kata “Tidak”,
“Tidak, bukan kata–kata kau tadi yang
membuat ku menangis Iz! aku menangis karena

32
kalian masih bisa tetap tertawa, sedangkan aku
tak bisa Iz!” ucap Rafiq sambil menangis.
“Lantas, mengapa kau katakan bahwa kau tak
bisa tertawa Fiq?” tanya Mujabpenasaran.
“Tak penting jawaban itu aku berikan Jab!
Kalian semua akan mengetahui jawabannya
dengan sendirinya, mengapa aku tak bisa” ucap
Rafiq.
Semua terlihat bingung dengan kata–kata yang
baru saja Rafiq ucapkan, mereka tak berani untuk
mempertanyakan kembali tentang kata–kata yang
Rafiq ucapkan, takut ia malah tersinggung dengan
pertanyaan yang mereka ajukan padanya,
maklum, hatinya lagi tak menentu.
“Sudahlah Fiq, berhentilah kau menangis, jika
kau sedih kami semua juga ikut merasakan sedih
Fiq!” ucap Faiz.
“Betul Fiq, jika kau sedih, kamipun juga ikut
sedih Fiq!” sambung Mujab.
Rafiq berhenti menangis, ia baru sadar jika ia
menangis, akan membuat kecurigaan pada diri
teman–temannya.
“Kau lebih ganteng,kalau tersenyum Fiq?” Albar
mencoba menghibur.

33
“Betul Fiq, kau lebih ganteng, manis, imut, jika
kau tersenyum Fiq!” sambung Junai.
“Nah, sekarang bagaimana kita ke koperasi,
kebetulan aku ingin membeli sesuatu” ucap Faiz
mengalihkan pembicaraan.
“Setuju……!” jawab mereka serempak, hanya
Rafiq yang tak menjawab.
“Kau tak ikut bersama kami Fiq?” tanya Azis.
“Tidak.” Jawab Rafiq singkat.
“Ya sudah, tak apa–apa, kalau kau
membutuhkan kami, pergi saja kau ke koperasi”
ucap Arta.
“Baik” jawab Rafiq dan mencoba untuk
tersenyum dihadapan teman-temannya.
Semua pergi ke koperasi, hanya Rafiq sendiri
tinggal di kelas. Ia merenung meratapi nasibnya
yang teramat malang, tak terasa ia kembali
menjatuhkan air mata walau tak sehebat tadi. Ia
begitu terpukul dengan kondisinya saat ini. Ia
merasa dirinya tak ada arti, hidupnya hanya
menghitung hari menanti sang ajal datang
padanya.
“Mengapa diriku teramat malang, apakah
Tuhan benar–benar telah murka padaku? Ku tak
bisa hidup dengan semua ini, ku tak mampu

34
dengan penderitaan kualami saat ini, orang
disekitarku penuh kebahagiaan, sedangkan diriku
terhanyut dalam kesedihan. Mengapa semua ini
menimpaku? Aku ini masih terlalu muda untuk
kau ambil nyawanya, tapi mengapa kau seolah–
olah ingin begitu cepat mengambilku?” ratap
Rafiq pada dirinya sendiri.
Dalam lamunannya ia menggoreskan keluh
kesah dan kesedihan yang ia rasakan diatas
secarik kertas putih.

Hidupku tiada berarti


Kebahagiaan kini menghilang begitu cepat
Bagai tertelan sang gelombang diwaktu pagi
Dirimu begitu tega
Begitu kejam
Disaat kuingin tertawa bahagia
Kau cengkram diriku diwaktu malam
Kepedihan selalu menyelimuti keseharianku
Ku hanya bisa menangis pilu
Meratapi keadaanku
Dibawah sinar rembulan dimalam itu
Hari–hariku begitu begitu mencekam

35
Semua yang terlihat indah, begitu suram
Detik–detik kematian selalu menghampiri
Disaat aku lelap maupun bangun kembali
Ku tak berdaya, dengan semua ini
Diriku terbujur kaku dengan dihadapannya
Tak sepatah katapun mampu ku ucapkan
Ketika ia datang tanpa diketahui

“Tet…tet…tet” bel berbunyi bertanda waktu


istirahat telah usai, semua siswa masuk ke kelas
masing–masing, tak terkecuali 7 orang sahabat;
Para Pengejar Gelombang.
Rafiq terlihat stres menghadapi semua ini, ia
menjadi minder pada teman - temannya, ia tak
mau penyakitnya diketahui siapapun, Rafiq tak
kuat dengan cobaan ini. Tak berhenti ia menangis
ketika mengingat tentangnya, dia berpikir bahwa
Tuhan begitu tak adil dengannya.
Semua belajar dengan penuh semangat dan
keceriaan, sedangkan Rafiq hanya duduk diam
terpaku, wajahnya terlihat menyimpan kesedihan.
Ia tetap mencoba untuk mendengarkan
penjelasan dari guru di depan kelas.

36
Bel berbunyi menandakan waktu pulang telah
tiba, semua murid keluar dengan penuh keceriaan
menuju rumahnya masing–masing. Rafiq berjalan
mengikuti langkah–langkah kakinya, bersama
teman–temannya.
“Eh, kita harus berpisah di persimpangan ini,
karena jalur rumah kita berbeda!” ucap Faiz.
“Oke, sampai ketemu besok coy” jawab mereka
serempak.
Semua mengikuti jalur rumah masing–masing.
Rafiq berjalan menuju arah rumahnya, wajanhya
tampak pucat, ia stres menjalani hidup barunya
ini,.
“Tok…tok…tok…buka pintunya!” teriak Rafiq.
Krek… pintu telah terbuka lebar dihadapannya.
“Eh, anakku, kau sudah pulang Nak?” tanya
ibunya.
Rafiq tak menjawab, ia langsung masuk rumah
hingga sepatunya pun tak ia lepas, dan memasuki
kamarnya kemudian menguncinya.
Ibunya dengan hati–hati mengikutinya dari
belakang, ia mendengar Rafiq sedang menangis.
Tak sengaja ia mendengar kata yang keluar dari
mulut Rafiq.

37
“Mengapa hidupku seperti ini? Mengapa…?
Aku tak mau sekolah lagi, teman–teman masih
bisa tertawa, tapi aku tak bisa…!” teriak Rafiq
histeris.
Tiba–tiba ibu menjatuhkan air mata mendengar
jeritan kesedihan anaknya, ibu lari dari balik pintu
kamar Rafiq, dan bertemu bapak.
“Mengapa ibu menangis?” tanya bapak.
“Aku mendengar Rafiq menangis meratapi
keadaannya Pak, Rafiq berkata bahwa ia tak akan
mau sekolah lagi Pak!” jawab ibu sambil
menangis.
“Bu, Bapak sudah punya rencana mengirim
Rafiq ke kampung untuk menenangkan
pikirannya, di sana Rafiq bisa belajar banyak
tentang kehidupan bersama anak keponakanku.
Saufi Syauqi namanya. Biasa di panggil Saufi, ia
baru saja menyelesaikan sekolahnya di pondok
pesantren Bu!” ucap Bapak.
“Tapi bagaimana dengan masalah sekolahnya
Pak?” tanya Ibu.
“Tak usah kau pikirkan, besok bapak akan
menghadap kepala sekolahnya” jawab bapak.
“Kapan Rafiq akan kita kirim ke kampung Pak?”
tanya ibu kembali sambil mengusap air matanya..

38
“Lusa ia akan berangkat Bu, dan besok kita
bicarakan masalah ini dengannya” jelas Bapak.
Pagi telah tiba, saatnya segala apa yang telah
direncanakan dilaksanakan.
“Kau sudah bangun Nak?” tanya Bapak dan Ibu
kompak.
“Sudah Pak, Bu, dan sekarang aku ingin mandi”
jawab Rafiq.
“Nak, ada yang kami berdua ingin bicarakan
denganmu, penting Nak!” ucap bapak.
“Emangnya, ada masalah apa?” tanya Rafiq
penasaran.
“Kau besok akan dikirim ke kampung halaman
kita Nak. Di sana kau akan ditemani oleh Bang
Saufi mu, ia baru saja menyelesaikan sekolah di
pondok pesantren. Kau tenangkan pikiranmu di
sana Nak, agar segala kegundahan dan kelukaan
hatimu terobati Nak!” ucap bapak.
“Tidak, aku tak mau pergi ke kampung, aku
mau bersama Bapak, Ibu, dan juga teman–
temanku. Aku tak mau…..!” ucap Rafiq.
“Nak, ini hanya untuk kebaikanmu nak, tolong
kau turuti permintaan Bapak dan Ibumu ini Nak,
sekali saja”ucap ibu sambil memegang tangan
Rafiq.

39
Hati Rafiq yang keras akhirnya luluh oleh
ucapan sang ibu tercinta, ia menuruti keinginan
kedua orangtuanya, walau sebenarnya ia paling
tak suka dengan kata” KAMPUNG”.
“Baik, aku turuti keinginan Bapak dan Ibu” ucap
Rafiq singkat.
“Istirahatlah, besok kau akan berangkat Nak,
sekarang Bapak akan pergi kesekolah, untuk
meminta izin dari kepala sekolahmu” ucap bapak.
“Iya, Pak!” jawab Rafiq singkat tapi berisi penuh
makna.
Di sekolah teman–temannya menunggu
kehadiran Rafiq, tapi telah lama mereka menanti
kehadiran sang sahabat yang mereka tunggu tak
kunjung datang. Mereka bertanya–tanya,
mengapa Rafiq tak datang hari ini, padahal ia tak
pernah absent.
Waktu telah menunjukkan pukul 07.00, berarti
waktu proses belajar mengajar telah dimulai.
Rafiq tak kunjung datang, teman–temannya
semakin penasaran apa yang telah terjadi pada
Rafiq.
Sedangkan di rumah, Rafiq hanya melamun
sepi, hatinya bertambah sedih karena harus
meninggalkan keluarga dan teman–temannya,
yang selalu menemaninya diwaktu ia susah

40
maupun senang. Ia tak pernah berfikir untuk diam
di kampung, tapi inilah yang harus ia jalani, mau
tak mau ia harus mau, ia begitu tak berdaya
dengan semua ini.
“Tet…tet…tet…!” Bel pulang berbunyi, semua
murid berhamburan dari kelasnya dan pulang
menuju rumah masing–masing, tidak terkecuali
Faiz dan kawan–kawan. Mereka masih terselimuti
rasa kebingungan terhadap salah satu temannya,
tidak lain adalah Rafiq.
Mereka sepakat untuk pergi kerumah Rafiq,
dan menanyakan ia tak sekolah tadi pagi. Ketika
mereka sudah berada didepan rumah Rafiq,
mereka melihat Rafiq sedang bersantai di teras
depan bersam bapak dan ibunya.
“Selamat siang Om, Tante, Rafiq?” ucap Faiz
dan kawan–kawan serempak.
“Siang….!” jawab Om dan Tante, Rafiq hanya
diam.
“Kabar kau bagaimana Fiq?” tanya Mujab
“Kabarku kurang baik, karena aku harus pergi
meninggalkan semua orang disini termasuk kalian
semua” jawab Rafiq.
“Emangnya kau mau pergi kemana Fiq?” tanya
Faiz penasaran.

41
“Rafiq akan kami kirim ke Kampung untuk
sementara waktu, dan besok Rafiq akan
berangkat.” ucap bapak.
“Apa….!” jawab mereka serempak. Mereka
terkejut dengan ucapan bapak, mereka seolah tak
percaya harus kehilangan seorang sahabat yang
menjadi teman bermainnya sehari–hari.
“Mengapa harus besok Pak?” tanya Albar.
“Harus Nak, karena ini hanya untuk kebaikan
pada diri Rafiq” jawab bapak singkat.
Semua terdiam, mereka saling adu pandang
satu dengan yang lain seolah tak percaya,
pandangan tertuju pada Rafiq. Mereka memeluk
Rafiq seerat–eratnya dengan cucuran air mata
kesedihan, mereka merasa kehilangan atas
kepergian Rafiq walau hanya sementara waktu,
begitu juga Rafiq.
“Kami tetap merindukan kau Fiq” ucap Faiz
dengan tangis.
“Kami tak mau kehilangan mu kawan, kami
membutuhkan mu Fiq” sambung Mujab, tetesan
air matanya mengenai tangan Rafiq.
Suasana sedih menyelimuti orang disekitarnya.
Mereka harus rela kehilangan satu diantara
mereka. Ribuan bahkan jutaan kilogram air mata

42
menghujani detik–detik kepergian seorang
sahabat. Tak ada satupun yang bisa menghalangi
kepergian Rafiq ke kampung,
“Hati–hatilah di sana sobat. Jangan kau lupakan
kami disini. Kami semua tetap merindukanmu
sobat!” ucap Junai tersendu–sendu menahan
tangis.
“Ya sobat, kami membutuhkan mu!” sambung
Azis.
Melihat semua itu, bapak dan ibu tak tahan
menahan tangis, sebenarnya ini adalah keputusan
yang paling terberat yang mereka ambil, tapi
apalah daya, semua sudah tersusun rapi.
Detik berganti menit, menit berganti jam,
waktu terus berputar, Rafiq tak pernah
membayangkan harus jauh dari orang tua, dan
sahabatnya. Keputusan bapak dan ibunya untuk
mengirimnya kekampung telah bulat.
Waktu yang ia tunggu telah di depan mata, isak
tangis mewarnai kepergiannya, lambaian tangan–
tangan mengiringi kepergiannya, ucapan “selamat
jalan sobat, kami semua merindukanmu dan
menunggu kedatanganmu” terlontar dari mulut
sahabat–sahabatnya. Rafiq hanya meneteskan air
mata. Ia tak bisa berbuat apa–apa dengan semua
ini.

43
“Ah, hari–hariku begitu menyedihkan, dan hari
ini adalah hari yang paling buruk yang pernah aku
alami, dan hari yang membosankan” kesal hati
Rafiq.

44
CERCAH HIDAYAH DI DESA

Hutan, sawah, padang ilalang, gubuk–gubuk


padi, udara segar menghiasi suasana kampung.
Jalan berkelok–kelok, Sungai Pawan membentang
luas,lautan biru tampak berserilantunan syair
klampiau (owa) di bukit–bukit diwaktu pagi begitu
merdu
Kehidupan masyaraktnya sangat sederhana,
tapi tak ada terlihat kesedihan diwajahnya.
Bekerja keras tanpa mengenal rasa lelah itulah
kesehariannya, tak seperti orang kota hanya
duduk di kursi santai membaca koran sambil
minum kopi.
Afiq jalani hari–harinya di kampung, resah dan
gelisah terbesit dihatinya, tapi itu tak bertahan
lama, rasa itu hilang ketika sosok yang Afiq kagumi
selalu menemani hari–harinya, ya Bang Saufi
namanya. Ia selalu memberikan semangat dan
nasihat–nasihat kepadaku tanpa mengenal rasa
lelah.
Afiq tak biasa melaksanakan Salat, bahkan tak
pernah dia lakukan semenjak menginjak bangku
SMP sampai sekarang, dan dirumah hanya ayah
dan ibu yang melaksanakannya. Tapi di sini semua
orang melaksanakannya. Afiq bingung, mengapa

45
orang tuanya tak pernah mengajak ia untuk
melaksanakan Salat, sedangkan mereka
melakukannya.
“Fiq, mari kita Salat bersama” ajak Bang Saufi.
Aku terdiam, aku tak banyak kata untuk
menjawabnya, apa yang harusa aku lakukan?
“Mengapa kau diam Fiq” tanya Bang Saufi.
“Tidak Bang, aku belum siap untuk
melaksanakan Salat” ucap Afiq.
Bang Saufi mengerti dengan ucapan Afiq, ia tak
melanjutkan pertanyaannya. Ia langsung pergi ke
masjid untuk melaksanakan Salat, tanpa harus
memaksa.
Dalam perjalanannya ke masjid, Afiq diam–
diam mengikutinya, dan memperhatikan apa–apa
saja yang ia lakukan. Ternyata setelah
melaksanakan Salat, ia mengajar anak anak
masyarakat di kampung ini mengaji, dan
memberikan seperti ceramah. Afiq tak tahu itu
ceramah atau bukan namanya.
Afiq mengumpat di sela pintu masjid, dan
mencoba mencari celah untuk mendengarkannya.
“Tidak melaksanakan Salat, putus asa dan
berprasangka buruk kepada Allah, adalah
perbuatan yang tak baik, Allah tak suka dengan

46
orang yang bersifat seperti itu. Orang yang
mempunyai sifat itu hidupnya tak kan pernah
tenang pikiran, hati, jasmani, dan rohaninya
sampai akhir zaman, dan kelak akan dimasukkan
kedalam api Neraka Jahannam, bayangkan
seberapa panas api neraka?” ucap Bang Saufi.
Afiq gemetaran bukan main ketika
mendengarnya, keringat dingin bercucuran, aku
termenung, aku berjalan pulang tanpa kata, hatiku
bertanya–tanya tanpa henti.
”Apakah aku termasuk golongan itu?” tanya
Afiq dalam hati.
Afiq terus memkikirkan pertanyaannya, hingga
sampai di depan rumah Bang Saufi. Afiq duduk di
kursi, ia merenungkan perkataan Bang Saufi, dan
pertanyaannya sendiri.
“Assalamualaikum…………….?”.
terkoyak oleh ucapan salam, Afiq hanya
terdiam melihat Bang Saufi,
“Waalaikumsalam" jawabnya singkat
“Mengapa kau termenung Fiq?” tanya Bang
Saufi.
Hanya terdiam dan menunduk, Afiq ingin sekali
bertanya, tapi lidahnya tak bisa diajak kompromi.

47
“Aku……….aku tak apa–apa Bang, aku hanya
ingin melamun saja” ucap Afiq
“Kau jangan bersembunyi padaku Fiq, aku ini
abangmu, walau bukan Abang kandungmu, tapi
aku merasakan bahwa kau sedang menghadapi
masalah” ucap Bang Saufi.
“Tapi apakah kau tak marah ketika aku
bertanya” tanya Afiq
Bang Saufi tersenyum, ia merangkul Afiq dan
mengelus kepalanya.
“Aku tak kan marah padamu adikku!” jawab
Bang Saufi.
Tubuh Afiq gemetar, keringat dingin
bercucuran ditubuhnya, ia tak sadar berkata
seperti itu, kini lidahnya mulai dapat dikompromi.
“Mengapa kita harus Salat dan mengaji Bang”
tanya Ku singkat.
“Coba kau lihat tumbuhan ini, ia mempunyai
akar, batang dan daun, tapi kalau tak ada air,
cahaya matahari, dan sari–sari makanan, apakah
tumbuhan ini bias hidup? Begitu juga kita, kalau
kita tak Salat dan tak ngaji, artinya kita sama
dengan tumbuhan yang mati. Pada hari
penghitungan amal, apa yang akan kita
perhitungkan, kita tak pernah Salat, tak pernah

48
mengaji, dan hidup kita hanya berpoya-poya
selama di dunia” ucap Bang Saufi.
Afiq tak bisa berucap, ia sadar bahwa
pekerjaanku selama ini sia–sia, air matanya tak
terasa menetes, hati yang kerasa bagai batu kini
tiba-tiba melembut, selembut kain sutra, oleh
sedikit kata saja. Afiq menyesal telah
menyianyiakan waktunya,
“Aku sudah mengerti Bang, tapi mengapa kita
tak boleh berputus asa Bang?” tanya Afiq.
“Sekarang kau lihat burung yang terbang di
angkasa, ia mempunyai sayap dan kaki, kalau ia
tak punya sayap dan kaki, apa ia bisa terbang dan
berjalan? Tapi kalau ia tak berputus asa dan
berusaha untuk terbang dan berjalan, maka ia
akan bisa terbang dan berjalan walau hanya
mempunyai satu sayap dan satu kaki.” jawab Bang
Saufi.
Kini Afiq semakin tahu tak ada gunanya
berputus asa dengan kondisinya. Hati ini semakin
tenang, Afiq merasa punya banyak hutang budi
dangan Bang Saufi karena ia telah menyadarkan
dan membantunya kembali ke jalan yang baik. Ah,
ia merasa akulah orang yang paling beruntung di
dunia ini.

49
Pukul 04.15 alaram jam berbunyi, semua orang
bangun untuk malaksanakan Salat subuh kecuali
Afiq, aku masih pulas tidur. Tiba–tiba tidurnya
terbangun oleh suara yang tak ia ketahui asalnya.
Itu adalah suara adzan.
Baru kali ini Afiq mendengar adzan semerdu
dan sehikmat ini. Badannya gematar tak ada tara
ketika ia mendengarnya. Bulu kuduknya
merinding ketika mendengar
suara“Allahuakbar……..Allahuakbar”. Terbesit di
hatinya untuk melaksanakan Salat, dan niatnya
berbuah manis. Afiq melaksanakan Salat, ini
adalah yang pertama kali ia melaksanakannya,
karena semenjak menginjak bangku SMP ia tak
pernah melaksanakannya lagi.
Afiq mulai ikut Bang Saufi Salat, mengaji dan
ikut kegiatan keagamaan di kampung. Afiq terbuai
dengan gaya hidup yang serba asing ini, tapi inilah
jalan yang paling enak ia rasakan.
Tak ada sedikit waktu luangpun yang Afiq sia–
siakan, ia mengisi waktuku dengan belajar banyak
ilmu agama Islam bersama Bang Saufi, hingga ia
takut untuk melakukan apa pun. Afiq takut apa
yang ia lakukan itu akan bernilai dosa baginya.
Afiq merasa hidupnya begitu berarti, dari tak
pernah melaksanakan Salat, kini ia sudah
melaksanakannya, dari yang tak tahu mengaji kini

50
ia sudah tahu, dan itulah kado terindah dalam
hidupnya.
Sebuah hidayah dari Allah datang tak disangka
kepada Afiq, hingga ia sadar akan perbuatannya
selama ini, dan memilih jalan hidup yang diridhoi
Nya.
***

PERJALANAN MEMANCING YANG INDAH

51
Tak ada hari terlewati tanpa kehadiran sosok
orang yang Afiq kagumi, senyumnya yang tulus
dan ikhlas membuat hati Afiq luluh lantah bagai
debu, setiap ucapannya menjadi obat penawar
luka dihati Afiq. Kata orang seorang guru
kehidupan akan datang bila sang murid sudah
siap. Dan bagi Afiq, sang Murabbi itu tak lain
adalah Bang Saufi.
Pagi itu hari begitu cerah dan indah, hijau daun
pepohonan melambai-lambai seolah memanggil
diri Afiq dalam lamunan, sang surya
menampakkan sinar terindahnya, kicauan
burung–burung begitu menghibur hati, udara
segar perkampungan begitu syahdu membelai
kalbu. Pukul Empat lebih lima belas menit Afiq
terbangun, untuk mempersiapkan Salat subuh,
tapi Bang Saufi pada Salat subuh ini sangat
berbeda, ia pergi ke Masjid dengan membawa
sebuah Laptop miliknya.
Afiq hanya diam melihatnya, tapi dalam hatinya
bertanya–tanya, ada apa sebenarnya. Dalam diam
dia mencoba mencari tahu jawaban yang
sebenarnya. Salat subuh telah selesai
dilaksanakan, Bang Saufi langsung menghampiri

52
Laptop miliknya yang tersambung dengan sebuah
modem portabel, dan ternyata ia internetan.
Afiq semakin penasaran, dan ia memutuskan
untuk bertanya pada bang Saufi.
“Bang, apa aku boleh bertanya?” tanya Afiq.
“Boleh, kau ingin bertanya apa?” jawab Bang
Saufi.
“Internetan itu kan dilarang Bang?” ucap Afiq.
Bang Saufi tersenyum mendengar pertanyaan,
Afiq semakin bingung dengan sikapnya kali ini.
“Bukan tak boleh Fiq, internetan yang dilarang
itu jika kita menggunakan internetan tersebut
untuk hal yang bernilai negatif, misalnya
membuka situs porno, atau yang lainnya. Itu
memang dilarang Fiq! tapi kalau kita bisa
menggunakan internetan itu ke hal yang positif,
malahan itu akan bermanfaat Fiq. Kau tahu Abang
mendalami dan mengkaji ilmu agama dengan
internetan Fiq!” jawab Bang Saufi.
Afiq mulai mengerti ucapan Bang Saufi.
“Ah…aku memang beruntung mempunyai abang
yang seperti ini, yang bisa membimbingiku” Kata
Afiq di dalam hati.

53
“Terima kasih ya Allah, kau telah memberikan
aku jalan yang baik melewati Bang Saufi” ucap
Afiq dalam hati.
Siang hari itu Afiq diajak Bang Saufi pergi
memancing di tepi jalur Sungai Pawan. Hatinya
begitu riang, kebetulan memancing adalah hobi
Afiq, parit mana yang di Ketapang yang tak pernah
dia sambangi.
“memangnya kita mancing dimana bang?”
tanya Afiq.
“Kita akan mancing di tepi jalur Sungai Pawan
di kampung sebelah” jawab Bang Saufi.
Mereka mempersiapkan peralatan
memancing. Diperjalanan Afiq terpana oleh
suasana, pemandangan yang begitu indah, sawah
tanaman padi hijau membentang luas, Bukit- bukit
tinggi menjulang hijau terpampang, gubuk gubuk
padi berjejeran, 2 orang suami istri sedang
bersenda gurau di dalamnya…..ah begitu romantis
hubungannya, seperti Rama dan Shinta.
Plup ………suasana terkoyak oleh sebuah bunyi.
Kaki Bang Saufi dan kakiku terhenti, Bang Saufi
melihat seekor anak burung jatuh dari sarangnya.
Tanpa berfikir panjang Bang Saufi memungut anak
burung yang belum pandai terbang itu lalu segera
memanjat pohon dimana sarang itu berada.

54
Hingga tangannya luka terkena goresan ranting
kayu.
Afiq bingung , mengapa ia bersusah payah
mengembalikan burung itu ke sarangnya, padahal
itu adalah masalah yang kecil. Bukankah mereka
bisa saja meninggalkan burung itu, toh dia Cuma
seekor burung
“Bang, mengapa kau bersusah payah
melakukan semua ini, padahal itu hanya seekor
burung” tanya Afiq penasaran.
“Kita harus melakukan kebaikan walau sekecil
apapun, jangan menunggu kebaikan yang lebih
besar pahalanya, dan kita memulai sesuatu itu,
mulai dari yang terkecil baru kita siap untuk
melakukan yang besar” jawab Bang Saufi dengan
senyuman, walau keringat membasahi tubuhnya.
Aku tak dapat berkata, aku hanya tertunduk
mendengar ucapan bijak itu, dan aku mulai
memahami sedikit demi sedikit ucapan Bang Saufi.
Perjalan dilanjutkan, tak terasa kami sudah
sampai di tempat tujuan, ya di tepi jalur Sungai
Pawan. Kami mencari tempat yang strategis untuk
memancing.
“Keluarkan semua peralatannya Fiq,” ucap
Bang Saufi sambil tertawa.

55
“Ya Bang!” jawabku singkat.
Sambil menunggu pancingnya dimakan
ikan, aku termenung dan terpana tak terkira
ketika Bang Saufi membacakan kata–kata mutiara,
tapi itu lebih dari kata–kata mutiara. Ah, aku tak
tahu disebut apa perkataan itu.

Shalawat dan salam rasul tercita


Membawa rahmat alam semesta
Tumbuhan dan hewan makhluk melata
Manusia khalifahnya pemegang tahta

Manusia di beri akal dan budi


Menata bumi tempat mengabdi
Akal dan ilmu pedoman abadi
Ibarat kompas dengan kemudi

Kompas kemudi arah haluan


Untuk mencapai tempat tujuan
Jangan arah tidak karuan
Itulah perbedaan manusia dengan hewan

56
Allah bersifat Maha Pengasih
Nurani menjadi cermin yang bersih
Sifat yang buruk wajib disisih
Dari jurang kejahatan diri tersisih

Jangan menghianati diri sendiri


Ngembun dan mabuk dimalam hari
Syaithan mengoda mengajak mencuri
Kedalam penjara terhantar diri

Jenis Narkoba barang yang haram


Bahtera kehidupan menjadi karam
Akibat Narkoba timbangan gram
Wajah yang tampan menjadi suram

Bila akhlak dan budi sudahlah runtuh


Ajaran islam sulit disentuh
Nasihat ibu bapak tidak dipatuh
Hidup seperti pohon di pantuh

57
Jika badan sakit terguling
Lidah kelu kepala menggiling
Kekiri kekanan mata menjerling
Menyesal kemudian tak dapat berpaling

Setiap yang hidup menghadapi mati


Dunia tinggal akhirat menanti
Dialam barzah jasad berhenti
Kehadapan Allah tujuan yang pasti

Perkataan itu menyentuh kalbu, tak pernah di


dengarnya perkataan yang terangkai indah dalam
balutan nada syahdu seperti itu. Dan tiba – tiba
saja air mata merembes di pipi Afiq.
“Apa itu namanya Bang?” tanya Afiq
“Syair namanya Fiq, itu adalah budaya sastra
bangsa Melayu” jawab Bang Saufi.
“Ha…..” Bang Saufi tiba–tiba berteriak, ternyata
ia mendapatkan ikan, tapi Afiq kaget ketika ia
melepaskan ikan itu, padahal sudah berjam–jam ia
menunggu pancingnya dimakan ikan.

58
“Mengapa dilepaskan Bang” tanya Afiq
penasaran.
“Ia masih terlalu kecil, aku tak mau
menyia–nyiakan umurnya yang masih muda. Aku
tak mau menyiksa binatang Fiq, kita tak boleh
menyia–nyiakan dan menyiksa makhluk Nya, Fiq”
jawab Bang Saufi.
Afiq kembali terdiam, ia mencoba
merenungkan ucapan Bang Saufi. Selama berdua
dengan Bang Saufi ia seperti belajar mengeja
kembali tentang buku Kehidupan. Berusaha
mengerti tentang kehidupan yang sesungguhnya.
Tiba–tiba hari mendung dan hujan mulai turun,
halilintar menyambar berkilau bagai pedang.
Mereka mencoba berteduh, kebetulan ada satu
gubuk kecil, dan disanalah Afiq dan Bang Saufi
berteduh dari hujan. Derasnya hujan membuat
Afiq mengantuk, tapi dia tak bisa memejamkan
mata Afiq berfikir inilah waktu yang sangat tepat,
untuk bertanya pada Bang Saufi.
“Bang apa aku boleh bertanya lagi Bang?”
tanya Afiq.
“Boleh adiknda” jawab Bang Saufi, sambil
memandang langit yang sudah mulai berubah
terang.

59
“Mengapa penyakit ini menimpaku, mengapa
tidak pada orang lain saja, jangankan bermain dan
tertawa, senyum pun aku tak mampu, apakah aku
begitu jelek dipandangan Allah, sehingga ia
memberikan semua ini padaku Bang? ”tanya Afiq
menangis.
Bang Saufi hanya tersenyum mendengar
pertanyaan Afiq, kini hujan telah berhenti.
“Coba kau lihat di langit, setiap kali hari
mendung dan hujan, pelangi akan timbul
menghiasinya!” ucap Bang Saufi menunjuk
lengkungan pelangi yang indah.
Afiq baru menyadari arti sebuah kehidupan,
pejalanan kali ini penuh dengan hikmah, disetiap
ada kesusahan, kesenangan pasti menanti, dia
benar–benar paham dengan ucapan Bang Saufi,
dan segala kesedihan, kegundahan, dan ketakutan
pada diri-nya, kini lagsung hilang sirna bagai
ditelan sang gelombang.
Perjalanannya kali ini membuat Afiq banyak
mengerti tentang kehidupan. Hujan telah reda,
dalam perjalanan pulang kerumah, Afiq masih
teringat kejadian disaat pergi memancing. Dia
masih benar–benar bingung dan sedih dengan
semua penderitaan yang dideritanya, tapi
kebingungan itu sudah terbayar lunas dengan
penjelasan dari Bang Saufi.

60
Langkah demi langkah tak terasa kami sudah
sampai di depan rumah. Afiq masuk kedalam dan
kakinya terhenti di depan meja kerja Bang Saufi,
dia melihat buku berjudul “Hidup Sesudah Mati”,
terbesit hatiku untuk membacanya.
“Eh Fiq, kau sedang apa..?” tanya Bang Saufi.
“Aku sedang melihat buku ini, tampaknya
menarik Bang? Bolehkah aku meminjam untuk
membacanya? Tapi buku ini menceritakan tentang
apa Bang?” tanya Afiq.
“Kau baca dan pahamilah isi buku itu, karena
aku yakin kau pasti paham tentang buku itu
setelah kau membacanya” ucap Bang Saufi.
Aku mulai membaca buku dan memahami buku
itu, tiba–tiba bulu kudukku berdiri, air mataku
bercucuran, keringat dinginku mulai membasahi
tubuhku, ketakutan pada diriku yang telah hilang
kini hadir kembali ketika aku membaca dan
memahami isi buku ini, dan kata–kata ini benar–
benar air mataku tak dapat dibendung lagi, dan
tubuhku gemetar bukan mainnya. “sesungguhnya
sakitnya sakratul maut itu, bagai sabitan 300 kali
bilahan pedang”sabda Rasulullah SAW, sedangkan
kata Nabi Ibrahim berkata, “Ketika Allah bertanya
padanya seberapa sakit sakratul maut itu wahai
kekasihku?” Nabi Ibrahim menjawab“Bagai besi
panas yang baru diangkat dari bara api, kemudian

61
dimasukkan kedalam gumpalan kapas basah,
setelah itu ditarik secara paksa”.
Aku tak bisa membayangkan kedahsyatannya,
tapi inilah yang akan ku hadapi, ya hadapi dengan
penuh kesabaran, dan keikhlasan.
Hari demi hari ku jalani, tak terasa sudah satu
bulan aku di kampung. Kini aku harus pulang ke
kota, kembali pada keluargaku. Pemandangan
alam yang masih alami di kampung terngiang di
ingatanku. Ah….begitu tak kuasanya aku
meninggalkan perkampungan yang membuat
orang yang tinggal di dalamnya aman, tentram,
dan sejahtera. Rasanya aku tak mau pulang dari
kampung, tapi inilah yang harus aku jalani, mau
tak mau aku harus mau.
“Selamat tinggal kampungku, sampai waktu ajal
kan menjemputuku, ku tak akan melupakan mu,
kerena jasamu begitu besar padaku, kau telah
mengubah jalan hidupku menjadi lebih baik” ucap
Afiq.
***

62
PULANG KE KOTA

Pagi hari yang sangat indah. Mentari menyinari


permukaan bumi. Kicauan burung menghiasi
suasana pagi itu. Embun di pagi buta
Membekukan tubuh Afiq. Kokokan ayam
menandakan hari sudah pagi.
Suasana kampung masih terngiang di
pikirannya. Afiq seakan tak mau pergi darinya.
Tapi Afiq harus kembali ke kota, kembali pada
orang tua nya. Afiq sangat merindukan mereka.
Rasanya dia ingin memeluk mereka. Bunyi Bus
melaju memecah debu jalanan berbatu.
***
Afiq bahagia karena hari ini ia mulai sekolah
kembali. Betapa rindunya hati dengan sekolah ini,
guru-gurunya yang ramah, walau tak semuanya.
Muridnya yang baik, keadaan lingkungan taman
sekolah yang begitu indah, dan tentu saja Para
Pengejar Gelombang yang mungkin telah lama
menunggu kedatangan nya. Ah….betapa terasa
berartinya hidup ini, tak seperti yang
dipikirkannya dulu, bahwa hidup ini hanya
bagaikan sampah yang tak ada arti dan sekarang
hidup penuh dengan arti.

63
Dalam perjalanan menuju gerbang sekolah
yang telah terbuka lebar. Afiq hanya tersenyum
tersipu melihat sekolah yang telah sekian lama di
tinggalkan. Jalannya mulai dipercepat karena
waktu telah menunjukan pukul 06.30, artinya bel
mesuk sekolah akan berbunyi.
Saat tiba di kelas, ternyata semua telah
menunggu kehadiranku, semua mengucapkan
“Selamat Datang Sahabatku“ pada Afiq dengan
penuh keceriaan, terutama Para Pengejar
Gelombang.
“Hey Fiq, bagaimana kabarmu? Kami telah lama
menunggu kedatangan mu Fiq!” ucap Faiz.
“Kabarku baik–baik saja, begitu ya, kukira
sudah lupa” jawab Afiq tersenyum.
“Setelah pulang dari kampung, senyummu
mulai tampil sobat!” Junai mulai menggoda.
“Disana aku merasakan betapa besarnya
nikmat hidup ini Nai!” ucap Afiq dengan senyum
merekah.
“Sudah….sudah….sudah, Ibu guru sudah
datang, nanti kita di marahinya” ucap Faiz.
“Tak….tak…tak” bunyi sepatu tumit tinggi Bu
Jamilah ketika masuk kelas.
“Assalamualaikum?” ucap Bu Jamilah.

64
“Waalaikumsalam Warahmatullahi
Wabarakaaaaaatuh…..!” tentu saja yang
menjawab salam terpanjang adalah Junai. Yang
lain hanya tersenyum geli, sambil memandang
Junai.
“Eah Afiq, kau sudah masuk sekolah ya?
Bagaimana kabarmu?” tanya Ibu Jamilah.
“Iya Bu, Alhamdulillah saya baik–baik saja bu”
jawab Afiq.
Proses belajarpun dimulai, semua dengan
penuh seksama mendengar penjelasan Bu
Jamilah, pertanyaan demi pertanyaan mereka
lontarkan, Bu Jamilah pun dengan sigap
menjawab pertanyaan muridnya.
“Tet…….tet…..tet” bunyi bel waktu istirahat
telah berbunyi, menandakan waktu istirahat telah
tiba.
“Fiq, kita sama–sama ke Kantin yuk, sudah lama
kita tak ngumpul sama–sama” ucap Azis.
“kalian duluan saja perginya, aku mau ke
Musala, aku mau Salat Dhuha” jawab Afiq.
“Ha…….ke Musala? Kapan kau ingat Salat Fiq?.
Kita ini anak metal, bukan orang yang tiap harinya
hanya Salat di Masjid” ucap Junai.
“Betul” ucap Albar.

65
“Semenjak aku mengenal diriku dan Tuhanku”
jawab Afiq dengan tenang dan tersenyum.
“Hah….jangan berlagak alim kau Fiq, apa Abang
sepupumu di kampung itu telah merubahmu
seperti ini ha……..?” tanya Mujab.
“Justru Abang sepupuku yang
menyelamatkanku dari kegelapan” jawab Afiq lagi.
“Ah……sudah, mengapa harus diributkan, tak
ada gunanya kita seperti ini” ucap Faiz.
“Tapi Iz….?” ucap Arta.
“Tak ada tapi tapian, sekarang yang ingin ke
kantin ikut aku” ucap Faiz.
Semua pergi kekantin, kecuali Afiq. Ia tetap
pergi ke Musala untuk melaksanakan Salat,
sementara teman yang lain berada dikantin
kebingungan melihat perubahan pada dirinya, dari
tak pernah melaksakan Salat, sekarang ia
melaksanakan Salat, shalat Dhuha pula. Padahal
dulu para pengejar gelombang satupun tak ada di
tempat kalau di perintahkan shalat Dzuhur.
***
“Eh, mengapa Afiq jadi seperti ini ya Zis?” tanya
Albar sambil mengambil sebuah bakwan dan
menenteng Es.

66
“Mana aku tahu Bar!” jawab Azis sambil
mengambil Tahu isi dimangkuk Junai. Yang punya
jadi memasang muka masam. Azis seperti tak
punya salah.
“Betul, mengapa ia begitu cepat berubah ya?”
sambung Mujab, ia juga mengambil Bakwan dari
mangkuk Junai. Junai menoleh heran
“Ah…biarkan sajalah, mungkin hanya
sementara saja, biasalah mana ada remaja seperti
kita yang bisa tahan di musala terus” ucap Faiz, ia
juga ikut mengambil bakwan dari mangkuk Junai.
“HEI...ngomong – ngomong juga, kue ku habis
ne...mana masih ngutang lagi ama bu Kantin, Huh”
akhirnya Junai ngomong juga.
***
Sementara itu di Musala Afiq khusuk
menjalankan Salatnya. Ia begitu hikmat
memanjatkan doa kepada Allah. Ia menangis,
kerena ia tahu bahwa tak lama lagi ia akan
meninggalkan orang–orang disekitarnya terutama
keluarga dan sahabat–sahabatnya.
Afiq masih mempunyai beban dalam dirinya, ia
sedih sahabat–sahabatnya masih belum sadar
juga bahwa pekerjaan mereka selama ini itu tak
ada gunanya, mereka telah lupa dengan Alllah,
mereka masih terbuai oleh masa remaja semata.

67
“Mereka sudah terbuai dengan semua ini, tak
sadar bahwa kematian akan datang padanya”
ucap Afiq dalam hati.
Didalam doanya, ia bermohon agar Allah
memberi hidayah pada mereka. Ia ingin
menyadarkan sahabat–sahabatnya di sisa–sisa
waktunya, dan ia memohon jangan cabut
nyawanya sebelum menyadarkan sahabat–
sahabatnya” doa Afiq, matanya meneteskan air
mata kesedihan.
Tangisnya terhenti ketika bel masuk telah
berbunyi, ia bergegas kembali ke kelas. Ia masih
teringat dengan teman–temannya, bagaimana ia
menyadarkannya, sedangkan ia hanya sendiri.
“Ah, Allah pasti akan membantuku” ucap Afiq
dalam hati.
***
“Tet…tet…tet..” bel pulang telah berbunyi,
semua murid keluar dengan tertib. Mereka pulang
bersama, dan di dalam perjalanan pulang.
“Hey Fiq, mengapa kau berubah Fiq?” tanya
Faiz.
“Berubah bagaimana Iz, memangnya aku
Pahlawan Bertopeng” jawab Afiq sambil menahan
tawa.

68
“Ah….kau bercanda terus Fiq, cepat jawab Fiq!”
ucap Faiz serius
“kalian telah lupa pada diri kalian sendiri” ucap
Afiq.
“Lupa bagaimana Fiq?” tanya mereka
serempak.
“Kalian tahu siapa yang paling mengenal diri
kita” tanya Faiz.
“Pertanyaan mu itu begitu konyol Fiq, yang
paling mengenal diri kita adalah kita sendiri” ucap
Arta.
Afiq tersenyum mendengar ucapan itu, tapi
dalam senyumnya tersimpan kesedihan, ya
kesedihan yang tak ada tara melihat perilaku
teman-temannya.
“Mengapa kau tersenyum Fiq?” ucap Azis.
“Kalian benar–benar telah lupa, kita tak bisa
mengenal diri kita sendiri, yang bisa mengenal diri
kita hanya Allah, karena ia yang telah
menciptakan” ucap Afiq tenang.
Mereka tertunduk mendengar ucapan Afiq,
seolah tak ada kata yang bisa menyangkal ucapan
Afiq, mereka memandang satu sama lain–lainnya.
“Ah, kau itu sok tau Fiq, jadi orang jangan
belagu Fiq, kau bukan siapa–siapa dalam

69
kehidupan kami, kau tak berhak menasehati kami,
kami sudah enak dengan gaya hidup kami ini. Satu
hal yang harus kau ingat Fiq, jangan pernah
mengurus diri orang lain, urus saja dirimu
sendiri!“ ucap Faiz memanas.
Suasana menjadi tegang, tapi ketegangan antar
sahabat itu terhenti, setelah Azis angkat bicara.
“Sudah….sudah…sudah, mengapa kalian seperti
ini? Faiz, tadi kau bilang beretengkar itu tak ada
gunanya, tapi mengapa kau melakukannya Mar?”
ucap Azis mencoba menengahi.
Faiz terdiam, ia telah tersadar oleh
perkataannya sendiri
“Sekarang bermaafan lah, kita ini sahabat” Azis
memaksa.
Faiz mengulurkan tangannya, Afiq menjabat
tangan Faiz dengan senyuman.
“Maafkan aku Iz, aku tak bermaksud menyakiti
hatimu” ucap Afiq.
“Aku pun minta maaf Fiq, aku telah berkata
kasar padamu sobat” jawab Faiz.
Setelah bermaafan mereka berpencar di
persimpangn, kebetulan jalur rumah mereka
berbeda–beda.

70
Malam harinya Afiq jalani seperti biasa,
gemerlap bintang menghiasi malam itu, terangnya
sinar rembulan menerangi gelapnya malam dan
udara sejuk berhembus pelan menambah suasana
indah dimalam itu.
Waktu terus berjalan, kokokan ayam, kicauan
burung–burung di Angkasa menyambut
datangnya senja, udara diwaktu senja menyayat
rongga dadaku, sang suraya memancarkan
cahayanya yang begitu indah, itu berarti aku harus
bersiap untuk pergi ke sekolah.
Suasana di sekolah ia jalani dengan keikhlasan
dan penuh keceriaan, walau sahabat–sahabatnya
menentang sikapnya. Bunyi bel pulang telah
berbunyi, itu bertanda waktu pulang telah tiba,
dan semua siswa MAN Ketapang, keluar dari
sekolah menuju rumah masing–masing.
Pada waktu sore yang cerah, mereka mengajak
Faiz bermain bola, tapi sayang beribu sayang afiq
menolak tawaran bermain mereka.
“Hoi Fiq…………..!” teriak Faiz.
“Hoi….. ada apa Iz?” ucap Afiq.
“Fiq, kita main bola yuk? Sudah lama kita tak
bermain bersama lagi Fiq!” ucap Faiz.

71
“Maaf sobat,aku tak bisa, aku harus pergi ke
Masjid, dan belajar mengaji” jawab Afiq.
“Sudah kalau begitu, kau memang tak mau lagi
berteman berrsama kami, kita bisa juga bermain
tanpa kau” ucap Faiz memanas.
“Betul, ia tak seperti dulu” sambung Azis.
Mereka tetap bermain bola, dan disaat sedang
asyik bermain bola, permainan terhenti. Mereka
merasa kehilangan teman bermain, ternyata tak
enak juga tanpa kebersamaan.
‘Eh, tak enak juga bermain tanpa Afiq, tak
seru!” ucap Albar.
“Betul Bar, tak asyik bermain tanpa dia”
sambung Junai.
“Ia benar–benar telah berubah, ia tak
memikirkan kita lagi,ia telah terbuai dengan
kehidupannya saat ini” ucap Faiz..
“Orang berubah itu, pasti ada penyebabnya,
walau kita sudah tahu penyebabnya, tapi tak
mungkin hanya itu penyebabnya. Bagaimana kita
tanya sekali lagi pada Afiq, mengapa ia menjadi
seperti ini” celetuk Junai.
“Tumben otak mu tak eror Nai? Tapi kapan
waktu yang tepat bung?” ucap Faiz.

72
“Besok, waktu istirahat ia pasti pergi ke Musala,
itulah waktu yang paling tepat Mar!” celetuk Junai
sekali lagi.
“Celetukan mu mujarab Nai !” sambung Albar.
“Ah, hari sudah sore, mari kita pulang, dan
besok kita sambung pembicaraan kita” ucap Faiz.
“Oke…sampai ketemu besok” ucap Azis.
Semua telah pulang kerumahnya, rasa
penasaran di hati mereka menggebu–gebu, tak
sabar menunggu hari esok, rasanya ingin
mempercepaat waktu, ah tapi itu tak mungkin
terjadi. Waktu terus berjalan tak terasa saat-saat
yang mereka tunggu–tunggu, hanya menunggu
waktu yang paling tepat.
***

73
INDAHNYA WAKTU DHUHA
DI MUSALA

Cuaca cerah terang berderang hari itu, sang


surya tetap setia memancarakan cahayanya.
Nyanyian burung begitu merdu terdengar,
kokokkan ayam menghiasi pagi itu. Pemandangan
pohon–pohon tak letih-litih memancarkan
keindahannya dan menyejukkan setiap mata yang
memandangnya, udara sejuk pagi itu terasa segar
dirasakan oleh setiap insan,
Waktu yang mereka tunggu sudah di depan
mata, hanya menunggu waktu yang tepat. Pukul
07.00 bel masuk berbunyi menandakan proses
belajar dimulai, semua siswa dituntut untuk
mempelajari dan memahami apa yang telah
disampaikan para guru dan itulah kewajiban
seorang pelajar.
“Tet….tet….tet…” bel istirahat berbunyi keras,
itu berarti waktu istirahat telah tiba, semua siswa-
siswi keluar dengan tertib dari kelasnya tak
terkecuali 7 orang bersahabat.
Afiq tetap melakukan kegiatannya diwaktu
istirahat, ya, pergi ke Musala untuk melaksanakan

74
Salat dan bertafakur didalamnya hingga waktu
istirahat usai. Sedangkan Faiz dan teman yang
lain, sedang mempersiapkan rencana yang telah
mereka sepakati kemarin sore.
Waktu yang mereka tunggu–tunggu
kedatangannya, telah tiba masanya, dan sebelum
pergi mendatangi Afiq di Musala mereka
berkumpul menyusun strategi untuk mencari tahu
tentang perubahan pada diri seorang sahabatnya
yang tak lain adalah Afiq.
“Sekarang sudah waktunya, kita hampiri ia di
Musala, mengapa ia berubah sifatnya, sampai–
sampai tak mau berkumpul bersama lagi dengan
kita” ucap Faiz.
“Betul Iz, aku sudah tak sabar mendegarkan
jawabannya” sambung Mujab.
Mereka semua langsung menghampiri Afiq
yang berada di Musala, dan ternyata ia sedang
sujud. Sujudnya berlangsung lama, membuat
umar dan teman yang lain menjadi lebih bingung
dengan tingkah laku temannya yang satu ini.
Tanpa berfikir panjang mereka langsung
menghampir Afiq, kebetulan Afiq telah selesai
melaksanakan Salat.
“Eh kalian, tumben kesini! Mau Salat Dhuha
ya?” sapa Afiq sambil tersenyum,

75
“Tidak, Kami semua datang kemari hanya ingin
menyelesaikan masalah kami semua dengan kau
Fiq!” jawab Faiz mewakili teman–teman yang lain
dengan nada tinggi, ia seperti orang marah.
“Masalah apa….? Perasaan aku tak mempunyai
masalah dengan kalian” ucap Afiq.
“Ah Fiq, kau jangan berlagak tak tahu ….! Kau
jelaskan mengapa kau berubah setelah kau pulang
dari kampung Fiq? Sifatmu, perkataanmu, dan
tingkah lakumu yang semakin hari membuat kami
berang terhadapmu Fiq. Sampai–sampai kau tak
mau bergabung dengan kami” ucap Azis mulai
memanas.
Afiq tersenyum mendengar ucapan teman–
temannya.
“Karena aku telah mengetahui tentang
kematian, dan kematian itu akan menjemputku
tak lama lagi” ucap Afiq santai.
“Apa…….kematian kau bilang? Apa hanya
masalah ini kau begitu cepat berubah Fiq?” tanya
Mujab memanas.
“Dunia ini hanya tempat tinggal sementara,
kesenangan yang hakiki itu adalah di akhirat
temanku……!” ucap Afiq mencoba menjelaskan.

76
“Ah, itu hanya omong kosong belaka, kau
mencoba mempengaruhi kami?” ucap Arta.
“Kalian tahu apa yang akan kita bawa mati?
Bukan harta dunia yang akan kita bawa, tapi
hanya sehelai kain putih yang akan menutupi
tubuh kita. Apa mungkin dram akan menjadi
kerenda, dan stiknya menjadi tiang kerendanya?
Apa mungkin, gitar–gitar menjadi tiang nisannya,
dan kabel–kabel menjadi taburan bunga di atas
kuburan kita ha……..? Itu semua tak mungkin
Bung, yang akan menjadi kerenda dan tiang nisan
kita hanya sebongkah kayu tanpa ada yang lain
wahai kawanku….!” jawab Afiq, matanya merah
berlinangkan air mata. Ia hanya ingin teman–
temannya sadar.
Mereka semua terdiam, ketakutan pada diri
mereka pada yang Maha Kuasa mulai timbul,
mata–mata mereka memerah seakan ingin
menangis.
“Kalian tahu tidak? Orang yang taat pada
perintah Allah, meninggalnya bagaikan benang
yang ditarik dari Tumpukan gandum, ia tak
meniggalkan bekas sedikitapun, sedangkan orang
yang selalu melanggar perintah Allah
meninggalnya bagai sebatang besi yang dibakar
dalam kobaran api, kemudian dimasukkan
gumpalan kapas basah, kemudian ditarik secara

77
paksa, dan itu akan meninggalkan bekas” ucap
Afiq.
Mereka semakin takut mendengar ucapan itu.
Mereka takut dengan azab Allah, mereka ingin
bertobat tapi mereka tahu bagaimana caranya
sedangkan Salat saja mereka tak tahu semua
bacaannya, karena sudah lama tak
melaksanakannya.
Teringat disaat mereka berkumpul bersama
bukan nama Allah yang mereka sebut, tapi nama
perumpuan–perempuan cantik dan seksi yang
mereka sebut. Bukan melakukan suatu kebaikan
yang mereka kerjakan melainkan suatu
keburukan. Bukan melaksanakan Salat yang
mereka lakukan tapi mereka malah senang bila
dapat lepas dari pengawasan guru pas Dzuhur
tiba.
“Rasulullah pernah bilang kita akan ditanya
tentang masa muda kita? Lah...kita mau jawab
apa kalau nanti ditanya Allah...” ucap Afiq.
“Tapi Fiq apakah Tuhan masih mau
mengampuni dosa–dosa kami Fiq?” tanya Faiz.
“Lho bukannya Allah Maha Pengampun, Allah
malah lebih senang dengan kita yang mau kembali
kepada Nya. Aku saja waktu balik dari kampung di
sambut Ibuku dengan gembira, padahal ibuku

78
tidak menciptakanku. Apalagi Allah yang
menciptakan kita, betul Gak Jun? ” ucap Afiq, yang
ditanya Cuma mengangguk, sok ngerti.
“Sekarang kalian ambil wudhu” ucap Afiq.
Semua bergegas ketempat air wudhu, hari itu
adalah hari yang begitu indah bagi Para Pengejar
Gelombang, kini mereka telah kembali pada jalan
yang Allah senangi. Indah nya Dhuha di Musala.
***
Keinginan Afiq untuk menyadarkan sahabat–
sahabatnya telah terpenuhi tapi tantangan Afiq
belum berakhir, ia bertekad menuntun teman–
teman yang lain untuk menumbuhkan rasa ke-
Islaman dan mengetahui banyak tentang
keagamaan dengan membentuk suatu wadah atau
organisasi yang bernafaskan islam sebuah
kegiatan kerohanian. Untuk niat mulianya itu
tercapai, masih banyak tantangan yang ia harus
lalui untuk keberhasilannya. Ah, itu tak
bermasalah baginya. Ia tetap memegang prisipnya
“Banyak Jalan Menuju Mekah” Roma kan miliknya
orang Katholik ☺.
***

79
PROYEK BESAR

Hari sangat cerah hari itu, langit biru


membentang luas, sang surya memancarkan
cahayanya, burung–burung berterbangan
mengepakkan sayap–sayapnya, Afiq dan kawan–
kawan melakukan aktifitasnya seperti biasa.
Mereka begitu menikmati kehidupan barunya
ini, terbukti tak pernah mereka meninggalkan
Salat Dhuha dan apalagi Salat Zuhur. Hidayah
telah datang pada mereka, dalam waktu yang
teramat singkat, dan mengubah segala yang ada
pada mereka.
Pagi yang cerah, itu adalah keinginan semua
insan, tapi tidak bagi Afiq. Ia berfikir dengan
sangat keras, ia telah lama ingin membuat suatu
wadah atau organisasi yang mengajarkan banyak
tentang ilmu agama , agar generasi muda ini tak
terbuai oleh perkembangan zaman edan sekarang
ini, lebih khususnya ialah teman–teman satu
sekolahnya.
Tapi ia tak mungkin bekerja sendiri, ia perlu
banyak pendukung untuk kelancaran proyek
besarnya ini, tapi siapa? Teman–temannya terlalu
sedikit untuk menjadi pendukungnya. Ah, itu
urusan nanti siapa yang akan mendukungku.

80
Afiq telah memutuskan bahwa ia akan
membicarakan masalah proyeknya ini kepada
teman–temannya, walau ia belum sepenuhnya
yakin proyeknya ini akan berjalan lancar. Ah, aku
teringat kata Bang Saufi, banyak jalan menuju
Mekah, banyak cara untuk menggapai suatu
tujuan, dan dimana ada kemauan disana pasti ada
jalan, kata itu sangat membenam di benakku.
“Tet…tet…tet…!” bunyi bel waktu istirahat
telah berdentang, Para Pengejar Gelombang
keluar dari kelasnya bersamaan.
“Eh kawan–kawan, sekarang kita ngumpul di
bawah pohon kelapa yuk? Ada yang ingin ku
bicarakan dengan kalian, penting” ucap Afiq.
“Memangnya masalah apa Fiq?” tanya Faiz.
“Ah, tak baik ngobrol sambil jalan Iz!” seru Afiq.
Semua telah berkumpul pada tempat yang
dituju, kecuali Junai yang hari ini ada janji bayar
hutang dengan ibu Kantin.
“Kita adalah umat Islam, tapi mengapa perilaku
kita tak mencerminkan nilai Islam” ucap Afiq
membuka pembicaraan.
“Apa maksud mu Fiq? Aku tak mengerti dengan
kata–katamu” ucap Azis.

81
“Coba kita lihat bersama perilaku teman–
teman kita yang lain, Salat harus diperintah,
pulang sekolah kelayaban kemana–mana, tiap
malam ngembun di café–café, apakah itu
dikatakan perilaku umat Islam?” tanya Afiq
Semua terdiam mendengar ucapan Afiq, tak
biasanya ia seperti ini, beribu pertanyaan yang
tersimpan dibenak mereka masing–masing, apa
yang sebenarnya yang terjadi pada Afiq. Junai
datang dengan mulut disumpal bakwan, ia
membawa sekeranjang kue di tangan kanannya
dan tujuh kantong es di kirinya. Suasana jadi cair
dengan kedatangan anak itu.
“Maksudmu kita mau mengubah mereka,
begitu Iz?” tanya Albar sambil mengunyah Gethuk.
Afiq tersenyum, ia tak ikutan makan karena ia
puasa sunnah.
“Aku berniat membentuk suatu wadah bahkan
suatu organisasi yang akan mengajarkan tentang
Islam yang sesungguhnya, aku tak mau teman–
temanku hancur” ucap Afiq.
Semua masih terdiam dalam sepi, mereka telah
mengetahui jalan permasalahan yang diutarakan
Afiq.
“Yang tidak setuju, berarti ia bukan seorang
muslim sejati” sambung Afiq.

82
“Kami setuju, tapi Fiq! Kita harus berhadapan
dengan pihak sekolah, ” ucap Faiz mewakili teman
yang lain.
“Betul Fiq, kau tahu, waktu Bang Heri dulu mau
mulai ROHIS disekolah kita, mereka bilang tak
perlu lagi, kita kan sudah belajar ilmu Islam di
kelas!”sambung Junai, bakwan nya sudah habis
dari tadi.
“jadi Kalian takut dengan semua itu ha…? Mana
Para Pengejar Gelombang yang dulu gak pernah
takut?” ucap Afiq memancing jiwa pemberontak
para Pengejar Gelombang. Ada gunanya juga
mereka dulu sering melakukan kegilaan di
sekolah.
“Kami setuju Fiq” jawab mereka kompak.
“Kami tetap akan mendukungmu, sampai titik
darah penghabisan”ucap Albar, seperti mau
berperang.
“Tapi bagaimana dengan pihak sekolah Fiq?”
tanya Junai, ia mengambil tahu terakhir di
keranjang.
“Ah, jangan kalian pikirkan tentang itu, biar aku
yang atur semuanya, aku hanya membutuhkan
dukungan dari kalian dan besok aku akan
menghadap bapak kepala sekolah” ucap Afiq.

83
Semua bernafas lega, dengan kata–kata Afiq
yang bijak, tapi perasaan gundah masih tersimpan
didalam hati mereka, apakah rencana ini akan
disetujui kepala sekolah? Itu menjadi pertanyaan
yang penuh misteri.
“Oh ya ada satu lagi yang penting...” kali ini
Junai yang berbicara sambil menelan bakwannya,
mereka semua menoleh ke Junai. Apa yang anak
satu ini anggap penting selain makan? Pikir
mereka.
“Umm...harga seluruhnya Dua Puluh Ribu
Rupiah, untuk Es dan Kue nya...” kata Junai santai.
“Huuuuu.......”
***
Bel istirahat telah berbunyi, kini Afiq mulai atur
strategi, cepat dan tepat sekali, ketika bapak
kepala sekolah masuk ruangnya, ia berlari dengan
cepat, dan tiba didepan pintu ruangan kepala
sekolah
“Dugdug…dugdug…dugdug” detak jantungnya
mulai tak beraturan, bukan karena ia selepas
berlari. Tapi karena inilah pertama kalinya ia harus
menghadap bapak kepala sekolah yang terkenal
dengan Galaknya. Ya Tuhan tolong Bantu
hambamu ini, komohon pertolongan mu!.

84
“Tok…tok…tok” Afiq mengetuk pintu,
tangannya terasa dingin ketika mengetuk pintu
ruangan itu.
“Masuk…!” terdengar suara berat dari dalam
ruangan, ya, itu adalah suara bapak kepala
sekolah.
Afiq memasuki ruangan, wajahnya pucat lesu
ketika melihat wajah bapak kepala sekolah, tak
pernah ia setegang ini.
“Amboi….tak pernah aku melihat wajah
seseram ini, ya Tuhan, berikan aku kekuatan
untuk menghadapi sang raja sekolah in” ucap
Afiq dalam hati.
“Ada perlu apa, kau kemari?” tanya kepala
sekolah dangan gayanya yang khas seperti singa
ingin menerkam mangsa.
Ya Tuhan, apa yang akan ku ucapkan kepada
orang tua ini, belum sempat aku mengutarakan
niatku, aku sudah hampir pingsan dibuatnya
“Anu Pak, saya ingin mengajukan sebuah
permintaan dari sebagian siswa Pak!” ucap Afiq.
“Permintaan apa?” tanya kepala sekolah.
“Mereka ingin membentuk suatu wadah atau
organisasi yang mengajarkan tentang Islam Pak.
Siswa–siswi perlu bimbingan tentang agama,

85
mereka sudah berperilaku yang tak sewajarnya
Pak! Jadi dengan wadah inilah kita tanamkan
kembali tentang agama” ucap Afiq.
Kepala sekolah mendengarkan kata–kata yang
keluar dari mulut seorang siswanya, baru kali ini
ada siswa yang berani menghadapnya, dan
mengajukan suatu permintaan pula. Terbesit
dihatinya kata bangga pada Afiq, tapi sayang ia
menolak pendapat Afiq mentah-mentah.
“Begini nak Afiq...kita sudah mempunyai mata
pelajaran tentang agama. Jadi kita tak perlu lah
membuat suatu wadah yang seperti kau ucapkan
tadi” jawab kepala sekolah
“Tapi Pak” ucap Afiq
“Sekarang kau mau tanggung jawab mengenai
operasionalnya?” jawab kepala sekolah.
Hilang semua harapan Afiq, ia tak menyangka
pengajuannya ditolak mentah–mentah, tapi ia
tetap berusaha untuk rencana baiknya itu.
Ya Tuhan, kau pasti memberikan yang terbaik
bagi kami semua
Ia memandang ke arah teman-temannya yang
menunggu di depan Musala.
“Bagaimana Fiq? Berhasil?” tanya Faiz.
“Tidak, ajuan kita di tolak” jawab Afiq singkat.

86
Kini mereka hilang harapannya, putus asa, ya
itulah yang saat ini mereka alami, semua saling
memandang satu sama lain, mereka kini tak
berdaya. Melihat wajah teman–temannya, Afiq
menghela nafas, mengusir rasa putus asa.
“Apa kalian menyerah dengan semua ini?”
tanya Afiq.
Suasana hening, tak ada yang keluar sepatah
katapun dari mulut mereka, mereka hanya
menunduk dan menunduk tanpa arti.
“Tidak, tak ada kata menyerah dalam konsep
kehidupan. Ini semua baru permulaan Coy,
dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan Bung!”
ucap Afiq.
“Kita buktikan pada sekolah ini, bahwa
tindakan kita ini benar. Biar mereka tahu kalau
ROHIS bukan Cuma buat ngajarin ilmu ke Islaman
tapi juga bisa bikin prestasi” ucap Afiq
membangkitkan semangat teman–temannya yang
hampir musnah.
Semangat mereka kembali menggebu–gebu,
ketika mendengar ucapan Afiq, semangat untuk
tetap bertahan pada rencana awal kini perlahan
kembali, dan terbukti mereka tetap sehati
mempertahankan rencana mereka untuk
membentuk suatu wadah yang bertemakan islam.

87
“Kita sudah disatukan Allah dalam Naungan
Cinta Nya, Maka tak mungkin Allah menyiakan
Ikatan kita ini” ucap Faiz yang sekarang sudah
banyak mengenal Nasyid, mulai terbakar
semangatnya.
“Ya Seperti Hasan Al Bana, Seperti Muhammad
Rasulullah, kita akan membuktikan dari yang
sedikit ini akan menghasilkan prestasi yang
maksimal”seru Afiq.
***

88
JALAN YANG TERBENTANG

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tak


membuat mereka putus asa, mereka semakin
bersemangat untuk menggapai tujuannya, walau
sang ombak tetap setia menentang.
Tiba pada suatu hari, terlihat seorang bapak–
bapak sedang mengantarkan surat edaran, entah
edaran apa aku tak tahu, tak berselang lama surat
edaran itu ditempel di Mading. Ternyata itu
adalah pengumuman tentang perlombaan lagu–
lagu Islami tingkat Kabupaten yang di-adakan
Sebuah Sekolah Tinggi Islam.
Terbesit di hati Afiq, inilah suatu jalan ia bisa
mewujudkan keinginan mereka. Ia berlari mencari
teman–temannya, dan ia mendapatkan teman–
temannya sedang berkumpul di bawah pohon
rindang dekat Musala.
“Eh Fiq, kenapa kau berlari seperti dikejar
anjing saja” ucap Faiz.
“Aku punya ide, dan ini adalah jalan untuk
mewujudkan cita–cita kita Coy!” ucap Afiq.
“Memangnya kau punya ide apa Fiq?” tanya
Albar.

89
“Kita ikutan lomba lagu–lagu Islami” jawab
Afiq.
“Ha…….! ada–ada saja kau Fiq, memangnya apa
hubungannya rencana kita dengan ikut lomba itu
Fiq?” ucap Azis.
“Kalau kita bisa memenangkan perlombaan ke
islaman ini, sekolah tambah yakin kepada kita, dan
niat mulia kita bisa diterima pihak sekolah Bung,
apalagi ini Lomba Tingkat Kabupaten. Piala
Bupati...” terang Afiq.
“Betul juga kata kau Fiq, tapi bagaimana
dengan lagu–lagu yang akan kita bawakan nanti
Fiq?” ucap Mujab.
“Bagaimana kita latihannya?” sambung Junai.
“Ah, itu urusan gampang, aku punya Abang di
kampung, Bang Saufi namanya, ia paling jago
tentang masalah ini” ucap Afiq.
“Kebetulan Bang Saufi akan diam di rumahku
untuk beberapa waktu, ia sedang melaksanakan
penelitian di masyarakat kota, untuk melengkapi
syarat untuk mengambil gelar S2 nya. Jadi kita
bisa memanfaatkannya, betul bukan?” ucap Afiq.
“Ah, kau pintar juga Fiq, tak menyesal kami
merelakan kau dikirim kekampung, makin encer
otaknya” gurau Azis.

90
Berderai kembali tawa diantara mereka. Ah,
benar–benar hari yang penuh kenangan. Kini jalan
untuk menggapai yang mereka inginkan telah
terbuka, ya, terbuka dengan sendirinya, hanya
tinggal menunggu waktu.
“Ya Tuhan, inikah jawabanmu atas doaku”
tanya Afiq dalam hati.
***

91
PARA PENGEJAR GELOMBANG

Hari sangat bersahabat hari itu, langit biru


membentang dan awan menghiasi ruang–ruang
kosongnya, semangat Para Pengejar Gelombang
semakin besar untuk menggapai keinginannya, ya,
tujuan yang sangat mulia.
Afiq dan teman–temannya sedang
mempersiapkan untuk mengikuti lomba, dan hari
ini adalah hari yang akan menentukan mereka ikut
perlombaan atau tidak. Ya hari ini mereka harus
berhadapan kembali dengan kepala sekolah. Ah,
hari ini memang penuh tantangan.
“Tok…tok…tok…!” Afiq mengetuk pintu
ruangan bapak kepala sekolah, keringat dingi
mulai bercucuran ditubuh Afiq, wajahnya pucat
pasi.
“Masuk” kata kepala sekolah.
Afiq memasuki ruangan itu, detak jantungnya
kini berdetak tak beraturan, sungguh ia tak pernah
membayangkan bahwa ia akan berhadapan
dengan orang yang paling diseganinya. Tapi, ah,
aku tak boleh menyerah dengan semua ini.
“Ada perlu apa lagi kau datang kemari?” tanya
kepala sekolah dengan gayanya biasa.

92
“Kami ingin ikut lomba lagu Islami Pak!” ucap
Afiq langsung pada pokok pembicaraan. Belum
Sempat kepala Sekolah berbicara, Afiq langsung
menimpali.
“Kami hanya memerlukan persetujuan dari
Bapak, tidak lebih. Masalah dana menjadi
tanggungan kami Pak!”.
Pak kepala sekolah terdiam mendengar ucapan
Afiq. Lalu;
“Terserah kalian sajalah, tapi ingat seluruh
konsekuensi dari keinginan kalian ini menjadi
tanggung jawab kalian” jawab Kepala Sekolah
singkat.
Ah, betapa bahagianya hati Afiq mendengar
ucapan itu, kalau saja ia tak berada di ruangan ini
mungkin ia sudah melompat–lompat
mendengarnya, dan ribuan bahkan jutaan tepuk
tangan telah ia siapkan.
“Terima kasih Pak” ucap Afiq bahagia.
“Sekarang kau persiapkanlah dengan teman–
temanmu” jawab pak kepala sekolah, ia mulai
senang dengan anak ini.
“Tidak apa–apa Pak, persetujuan dari pihak
sekolah itu sudah sangat berharga bagi kami Pak”
ucap Afiq yang lalu menyodorkan Formulir

93
pendaftaran yang membutuhkan tanda tangan
kepala Sekolah.
Afiq keluar dari ruangan itu, ia berjalan dengan
santai, langkah-langkahnya penuh dengan makna,
ya makna kebahagian.
“Bagaimana Fiq, sukses…?” tanya Faiz.
Afiq terdiam, ia pura–pura menunduk, ia ingin
membuat kejutan bagi teman–temannya.
“Fiq, kau jangan buat kami gila, karena
menunggu jawabanmu!” ucap Azis.
“Fiq, cepat Fiq! Apa jawaban Bapak kepala
sekolah?” sambung Junai, hari ini tak ada bakwan
karena Junai juga sedang Puasa sunnah. Yang lain
juga begitu.
“Pengajuan kita…pengajuan kita diterima Coy!”
seru Afiq.
Berhamburan kebahagiaan diantara mereka,
Faiz bersorak sorai gembira, Azis menari gaya
topeng monyet, Ali bertepuk tangan, Albar
tertawa ngakak, Arta menari gaya arab, ia tak mau
kalah dengan Azis, dan lebih–lebih Junai berlari
mengelilingi halaman sekolah dan berteriak
”Sukses…..sukses…sukses”.
Mereka tak peduli dengan ucapan teman–
teman mereka yang lain. Kata “GILA” ah itu kata–

94
kata yang biasa terdengar ditelinga mereka,
mereka tetap larut dalam kebahagiaannya.
“Hey kawan–kawan, bagaimana sore ini pukul
15.00 kita berkumpul di musala untuk
mempersiapkan apa yang perlu kita siapkan” ucap
Afiq.
“Ide bagus Fiq, sekaligus menetapkan lagu apa
yang akan kita persembahkan” jawab Faiz.
“Oke, siapa yang tak datang sore hari ini maka
ia bukan muslim sejati” ucap Afiq.
Ah, kata–kata itu kembali terdengar “Muslim
Sejati”, semua tak berdaya kalau mendengar kata
itu, kata itu menjadi kata keramat dalam Para
Pengajar Gelombang.
***
Waktu terus berjalan seiring bumi berputar,
jam sudah menunjukkan pukul 15,00 WIB, mereka
telah berkumpul tepat waktu. Tak ada satupun
yang tak hadir. Ah, pasti kata–kata itu lagi”
Muslim sejati” membuat mereka tak berani untuk
tak hadir.
“Kita sudah mendapatkan persetujuan dari
pihak sekolah, tapi semua konsekuensi ikut serta
nya urusan kita. Nah, sekarang bagaimana cara

95
mencari dana untuk pendaftaran lomba yang akan
ditutup lusa” ucap Afiq.
“Tenang Fiq, berikan saja masalah ini pada Azis
Fiq!” ucap Junai santai sambil memegang
gendang.
“Apa hubungannya masalah ini denganku”
tanya Azis.
“Kau adalah pujaan kaum hawa disekolah ini
Zis, kau pinta uang sumbangan pada mereka,
bilang saja kita sedang membutuhkan dana untuk
ikut lomba. Bereskan…?” ucap Junai, ia memukul
gendang sekali.
“Gila kau Nai, kau jual aku hanya demi uang
untuk pendaftaran lomba?” ucap Azis kaget.
Suasana hening, semua terdiam bisu, lalu
semua memandang Azis, mereka membetulkan
ucapan Junai
“Okelah, lagipula aku hanya meminta
sumbangan, bukan berarti menjual dirikan?”
gumam Azis.
“Baik, aku akan lakukan itu dengan senang hati
dan ikhlas dunia akhirat” ucap Azis.
“Kau memang teman yang baik Zis, kau pantas
mendapat gelar“Muslim Sejati” kata Albar.

96
Berderai kembali tawa mereka, ah memang
kata–kata itu menjadi kata yang sangat keramat.
“Masalah dana sudah beres, sekarang kita
hanya tinggal menentukan lagu” ucap Afiq.
“Bagaimana kita membawakan lagu “Sebatang
Pohon” kelompok nasyid Izies saja” ucap Arta.
“Ah, itu tak bagus Ta, kita bawakan lagu”Puji–
pujian” saja, kelompok nasyid Raihan” ucap
Mujab.
“Kita bawakan lagu ciptaan sendiri saja” celetuk
Junai.
Semua memandang Junai, dan tetap
memandang Junai tak berkedip, suasana menjadi
hening semantara waktu, sedangkan Albar hanya
enak bermain gitar.
Albar makin nyaring main gitarnya, nada–nada
nya suara yang begitu syahdu dan menyentuh
hati, Afiq lalu mengikuti melantunkan lirik–lirik
lagu mengisi chord yang di cipta Albar. Albar
makin semangat main gitarnya, dan terciptalah
lagu yang sebenarnya di ambil Albar nada nya dari
Film Kartun Jaman Dulu, yang berjudul Remi
dengan perubahan nada di bagian Reffrain nya
oleh Afiq sendiri.

97
Selamat tinggal kawanku
Selamat tinggal temanku
Selamat tinggal sahabatku semua
Aku kan pergi jauh
Mengejar kebaikan
Dari Allah yang kuasa
Jangan menangis, jangan menangis
Tetaplah kau tersenyum
Jangan bersedih, jangan bersedih
Hidup ini hanya sementara

“Itu bagus Fiq! Sebaiknya kita bawakan lagu ini


saja untuk lomba Fiq” ucap Albar
memberhentikan bunyi gitarnya.
“Betul Fiq, ini baru dikatakan kreatif, jadi kita
tak perlu mempersembahkan karya orang lain,
tapi kita persembahkan karya kita Fiq”sambung
Faiz.
Berlatih dan berlatih itulah yang mereka
lakukan, bang agus selalu sabar mengajari mereka
dalam setiap latihan, walau agak susah
mengajarkannya, maklum baru tingkat permulaan,

98
tapi semangt mereka untuk bisa tetap menggebu–
gebu,
Malam harinya Azis memulai aksinya, Ia kirim
pesan singkat lewat hape “KAMI MEMBUTUHKAN
SUMBANGAN SUKA RELA UNTUK PENDAFTARAN
LOMBA, MOHON BANTUANNYA DAN BESOK
SUDAH TERKUMPUL PADAKU DAN SAMPAIKAN
PADA YANG LAIN. DARI : AZIS.” keseluruh hape
teman putri disekolahnya, entah berapa banyak ia
harus menghabiskan uang untuk beli pulsa, tapi,
ah itu belum seberapa dibanding pengorbanan
orang–orang terdahulu.
“Tettet….tettet” hape anak–anak putri yang
bersekolah di MAN, semua berbunyi serempak,
mereka membaca pesan itu, dan tak disangka
esok harinya, Azis diserbu para donator, ya,
pastinya kaum hawa.
Pada sore harinya mereka berkumpul kembali
pada tempat yang sama.
“Bagaimana Zis, apa uangnya sudah terkumpul”
tanya Faiz.
“Bukan main Iz, seandainya saja kita belikan ke
es cendol semua, bisa buat kolam renang es
cendol Iz” ucap Azis.
“Ha…ha….ha….” deraian tawa mereka begitu
indah, kebahagiaan sedang menyelimuti mereka,

99
“Coba kau hitung Zis hasil sumbangannya” ucap
Afiq.
Azis mulai menghitung, lima ribu, dua puluh
lima ribu dan seterusnya.
“Wooooow……Fiq, Rp. 750.000,00 Fiq! Ini lebih
dari cukup Coy” ucap Azis.
“Ah, ini bisa pesta ria Bung, pendaftaran hanya
Rp. 200.000,00 dan sisanya harus kita
kemanakan?” ucap Albar.
Semua pergi ketempat pendaftaran, ya, di De-
Radio milik Sekolah Tinggi Islam. Betapa riangnya
hati mereka karena telah menjadi peserta lomba,
kini jalan menuju keberhasilan telah didepan
mata, ”Ya Tuhan bantulah hambamu ini”.
Setelah pulang dari tempat pendaftaran,
mereka kembali berkumpul ditempat semula. Ya,
di Musala sekolah.
“Eh Coy, bagaimana dengan kostum untuk
lomba? Kita sudah lihat pada saat pendaftaran,
semua menggunakan kostum agamis, hanya kita
yang tak sama” ucap Junai.
Semua termangu mendengar ucapan Junai,
walau ia biasa nyeletuk, tapi celetukannya kali ini
berbeda dengan biasa, ini suatu ide yang baik.

100
Mereka sadar kecuali Afiq, baju mereka hanya
kaos hitam dan celana borju.
“Ah, ada gunanya juga punya teman yang biasa
nyeletuk” kata Afiq sambil mengangguk.
“Betul kata kau Nai, hanya kita yang tak
seragam pakaiannya, Afiq pakai baju warna biru,
kau pakai baju merah, Mujab pakai baju hijau,
Arta pakai baju kuning, Azis pakai baju kecoklatan,
Albar pakai baju blasteran, dan aku? Ah, tak ada
yang seragam” ucap Faiz.
“Ah, tak perlu bingung, uang sumbangan masih
banyak lebihnya, kita belikan saja ke kostum kita,
kan biar kompak” celetuk Junai kembali.
“Benar–benar ide yang bagus Nai, Nai! Tak
menyesal kami punya kawan seperti kau, suka
nyeletuk” ucap Afiq sekali lagi.
Berderai tawa kembali di Musala itu, kini Junai
yang menjadi sasaran yang tepat sebagai
pelampiasan rasa kebahagiaan mereka.
“Tenang Nai, jangan marah. Kini celetukan labih
ampuh dari kata–kata Dukun–dukun di
perkampungan” ucap Azis.
“Ha…ha…ha” kembali terdengar tawa diantara
mereka.

101
Saran Junai diterima oleh teman–
temannya yang lain, dan setelah keluar dari
Musala, mereka pergi bersama ke pasar. Ya
membeli kostum untuk lomba, biar kompak.
Kostum telah dibeli dan itulah yang akan
mereka pakai disaat mereka lomba. Junai
mengajak mereka buka bersama menggunakan
sisa uangnya. Dan mereka semua mengangguk.
***

102
PRESTASI YANG MEMBANGKITKAN

Waktu terus berputar, waktu yang mereka


tunggu sudah didepan mata. Ya, mereka malam
hari ini akan tampil. Menampilkan karya mereka.
Jam sudah menunjukan pukul 19.00 WIB,
itu berarti perlombaan akan segera dimulai.
Mereka pergi bersama tanpa diketahui orang tua
mereka, hanya Bang Saufi yang tahu tentang
perlombaan itu.
Acara telah dimulai, pembawa acara mulai
memanggil peserta satu demi satu, dan mereka
terpana penampilan peserta yang menggunakan
peralatan lengkap. Sedangkan mereka hanya
beralatkan sebuah gitar, itu pun gitar butut
warisan keluarga Albar dari kakeknya.
“Eh, kawan–kawan, mereka menggunakan
peralatan lengkap Coy!” ucap Faiz.
“Betul Iz, mereka menggunakan peralatan yang
lengkap, gitar bagus, gendang bimbo, tamborin,
seruling. Amboi……bagusnya, kita bisa
tersingkirkan oleh mereka” sambung Azis.
“Kalian takut dengan semua yang kalian
pandang, kita belum berperang Bung! Berperang

103
dahulu baru bisa tahu, Allah paling tak suka
dengan orang yang berputus asa.” ucap Afiq.
“Hanya sebuah gitar bukan berarti harus
menyerah, kadang yang kecil dan sedikitlah yang
akan membuat repot” sambung Bang Saufi
menyemangati.
Semua mengangguk, keyakinan kembali ke hati
mereka. Kini saatnya giliran mereka yang tampil.
“Dag…dig….dug” detak jantung mereka semua
kembali berdetak tak sealur nada.
“Inilah para hadirin dan dewan juri, peserta
dengan undian 07 dengan nama kelompok
“Pengejar Gelombang” selamat menyaksikan.
Semua hadirin terdiam melihat kelompok ini,
tak ada yang istimewa di pandangan mereka,
hanya sebuah gitar Accoustik (itupun pinjaman
dari Bang Saufi) yang mereka lihat, tak lebih.
Azis memulai melantunkan lagu ciptaan Afiq
itu, disambung bunyi gitar butut Albar, dan di
sambung lagi dengan musik pengiring yang aneh.
Ya, musik dengan menggunakan mulut atau
Accapella.
Semua terdiam, tepuk tangan di keluarkan para
hadirin ketika mendengar bait–bait lirik lagu mulai
dilantunkan, mereka tak menyangka hanya

104
dengan sebuah gitar dan suara mulut saja bisa
sebagus ini.
Azis dan teman–teman menyanyikan lagu itu
dengan penuh penjiwaan, tak terasa air matanya
menetes membasahi pipinya, yang tak lebih
disangka–sangka para hadirin yang ada di tempat
itu, juga ikut meneteskan airmata. Lebih
mengagetkan para dewan juri tak kuasa menahan
tangisnya, ketika mendengar lagu itu
dikumandangkan.
“Ah bait–bait lagu ini mengingatkanku akan
kematian” kata salah seorang dewan juri.
Azis dan kawan–kawan turun dari panggung,
dan mendapatkan sambutan yang meriah dari
para hadirin. Azis malah sudah di kerumuni gadis–
gadis, Dasar!!!
“Lanjutkan terus kreatifitas kalian “Pengejar
Gelombang” kata salah seorang dari penonton.
Ah, kini mereka telah menyelesaikan tugasnya
dengan baik, hanya menunggu hasil dari kerja
keras mereka yang penuh dengan lika–liku
tantangan.
“Ah, lega rasa hatiku, tugas kita sudah
terlaksana” ucap Afiq

105
“Betul Fiq, tapi disaat kita tampil dipanggung
aku harus terpaksa menahan kandung kemihku
untuk mengeluarkan minyak bensin, tapi usahaku
gagal Fiq, aku tak tahan betapa besar tegangannya
untuk keluar, entah berapa tegangannya, 1000
bahkan 10.000 wat Fiq” ucap Junai.
“Jadi kau ngompol dalam celana Nai,? pantas
disaat kau melantunkan bait–bait lagu itu,
wajahmu merah padam Nai” ucap Afiq
“Tak banyak Fiq, sedikit saja, dan ini pun masih
kutahan” jawab Junai.
“Nai, Nai, pengorbananmu begitu besar, kau
pantas disebut muslim sejati karena telah
menahan kandung kemihmu untuk mengeluarkan
minyak bensin” gurau Faiz,
“Ha…ha…….ha….!” tawa kembali terdengar
diantara mereka.
Ini adalah saat–saat yang mereka tunggu,
suasana tegang menyelimuti pikiran mereka. Ya,
ini adalah pengumuman para pemenang lomba
akbar itu.
Pembawa acara mulai membacakan para
pemenangnya, juara 3 dan juara 2 sudah
dibacakan, hanya juara 1 yang belum dibacakan.
Siapakah mereka pemenangnya?

106
“Juara pertama dengan jumlah nilai 1799,
adalah…….! Kelompok para “Pengejar
Gelombang…….” ucap pembawa acara dengan
semangat.
Bukan main girang hati mereka, Azis, Faiz,
Mujab, Albar, Arta, Junai meompat–lompat dan
berteriak “Kita menang Coy……..!”. Hanya Afiq
yang diam dan tenang, ia hanya tersenyum ketika
kata “para pengejar gelombang”dikumandangkan.
Kini, jalan untuk menggapai keinginannya semakin
terbuka lebar. Semua pulang dengan membawa
kebahagiaan.

107
SENANDUNG PERPISAHAN

Keesokannya harinya, sekolah gempar ketika


berita itu terdengar. Tidak, hanya sedikit siswa–
siswi yang tahu tapi seluruhnya. Bagaimana tidak,
selain karena memang Sekolah ini sedang
Panceklik Prestasi juga karena Piala yang di raih
adalah piala Bupati dengan uang pembinaan Lima
Juta Rupiah. Pihak Sekolah menjadi tak enak hati
dengan Afiq dan kawan–kawannya.
Siswa banyak yang bergerobol dengan anggota
Pengejar Gelombang.
“Eh kawan–kawan, ini semua adalah hasil
perjuangan keras Afiq, dan kita wajib menghargai
perjuangannya dengan cara membantunya” ucap
Faiz.
“Membantu apa Iz?” tanya salah satu
temannya.
“Ia berencana membuat suatu wadah atau
organisasi yang bernafaskan Islam, tapi
rencananya itu gagal” kata Faiz.
“Gagal? Mengapa gagal Iz?” tanya nya lagi.
“Rencananya di tolak mentah–mentah oleh
bapak kepala sekolah” jawab Faiz.

108
“Bagaimana kita mogok belajar saja, dengan
cara ini kita bisa mewujudkan rencana Afiq” kata
Faiz mulai menghasut temen-temannya.
“Setuju…!” jawab mereka serempak.
Rencana baru ini berjalan dengan sangat rapi,
dan ini waktu yang sangat tepat untuk
melancarkan aksinya. Faiz adalah orang yang
paling berperan penting dalam aksi ini, karena
hanya dialah yang bisa mengerahkan masa
sebesar ini.
“Tet…tet…tet…..!” bunyi bel masuk berbunyi,
seharusnya seluruh siswa–siswi masuk kelas, tapi
ini tidak kali ini. Semua siswa–siswi kelua dari
kelas semua, tidak hanya kelas X, tapi semuanya.
Ini adalah salah satu aksi pendukungan terhadap
rencana Afiq.
Seluruh dewan guru tak bisa mengajar saat itu,
segala upaya telah dilakukan pihak sekolah untuk
memujuk muri–muridnya untuk masuk kelas, tapi
itu usaha yang sia–sia, tak ada satupun yang
masuk ke kelas, sekolah hampir putus asa
menertibkan murid–muridnya.
Afiq telah mencium aroma tak sedap
disekolahnya, betul disekolahnya ternyata lagi ada
demonstrasi besar–besaran, Ya para siswa mogok

109
belajar dan tidak akan menghentikan aksinya
sebelum tuntutan mereka dipenuhi.
“Maaf Pak saya terlambat masuk, ada apa ini
Pak? Kok sekolah begitu gaduh?” tanya Afiq pada
salah satu guru, Pak Dirman Namanya.
“Anak–anak pada mogok belajar, mereka
meminta pengajuan kamu diterima Fiq!” jawab
Pak Dirman.
“Pengajuan saya kemarin Pak?” tanya Afiq
kembali.
“Iya, apakah ini kau yang merencanakan Fiq?”
ucap pak Dirman curiga pada Afiq.
“Tidak Pak, saya tak pernah berfikir konyol
seperti ini Pak” jawab Afiq.
“Lantas siapa yang merencanakan semua ini?“
tanya Pak Dirman menyelidiki.
“Biar saya selesaikan masalah ini Pak!” jawab
Afiq.
Bukan main kagetnya Afiq ketika mendengar
ucapan Pak Dirman, ia tahu pasti adalah
kerjaannya Faiz, karena ialah orang yang bisa
menggerakkan masa sebesar ini. Ia langsung pergi
ke kantor dan mengambil megaphone. Semua
guru heran melihat tingkah Afiq yang selonongan
tanpa izin.

110
“Hentikan aksi gila ini”ucap Afiq menggunakan
megaphone.
Semua berdiri mendengar suara itu, mereka
tahu itu adalah suara Afiq.
“Tak ada gunanya kalian berbuat seperti ini, tak
perlu kalian melakukan semua ini hanya untuk
kesuksesan rencanaku. Aku sudah tak berharap
besar rencanaku ini akan dilanjutkan, karena itu
akan membuat semua orang repot” ucap Afiq.
“Faiz……………” teriak Afiq.
Bukan main takutnya Faiz, wajahnya pucat pasi,
ia bersiap lari kalau Afiq mengejarnya.
“Kau minta masuk seluruh teman–teman ke
kelas, kalau tidak…..!” ucap Afiq.
Faiz langsung memerintah teman–temannya
masuk kekelas, ketakutannya pada Afiq bukan
main, hampir–hampir saja copot jantungnya
ketika mendengar kata terputus itu. Karena ia
tahu kelanjutan dari ancaman itu, dan Afiq bukan
orang yang biasa mengingkari kata-katanya.
Dengan kejadian ini, Afiq lah yang paling
berjasa, ia telah menyelesaikan pokok
permasalahannya. rencana awalnya pun langsung
disetujui oleh Kepala Sekolah yang berjanji akan
segera mencarikan Murabbi untuk mereka.

111
Cita–cita Afiq telah tercapai, kini dirinya telah
merasa tenang. Beberapa lama ia membimbing
teman–temannya di organisasi barunya ini,
hasilnya bukan main, tak pernah lagi ada anak
yang tidak Salat di sekolah.
Pada suatu saat, didalam organisasi yang ia
koordinir melaksanakan majelis ta’lim bersama,
tak ada yang tak hadir hari itu. Saat Salat Ashar
mereka melakukan Salat berjamaah dan ia
diminta sebagai imamnya, tapi ia menyuruh ke
temannya Faiz.
“Bukan aku tak mau Fiq, bacaan Al–qur’an
belum lancar” jawab Faiz.
Kemudian ia menyuruh Mujab untuk jadi imam.
“Bukan aku tak mau Fiq, tapi dalam pepatah
orang tua dahulukan orang yang lebih tua bung!”
ucap Mujab.
Kemudain ia menyuruh Albar lagi.
“Bukan aku tak mau Fiq, aku takut bacaan ku
salah Fiq!” jawab Albar.
Afiq kembali menyuruh Junai.
“Bukan aku tak mau Fiq, tapi kata kakekku Fiq,
bahwa orang yang menjadi imam harus sudah
disunat Fiq” jawab Faiz sambil bercanda.

112
Afiq menyuruh teman–temannya tapi tak
satupun yang mau, akhirnya ia yang menjadi
imam, Salat ashar berjalan begitu hikmat. Tak
pernah mereka Salat sehikmat ini, baru kali inilah
mereka berimamkan Afiq, dan baru kali inilah
mereka merasakan indahnya Salat.
Pada rakaat keempat, disaat sedang ruku’,
terdengar seperti orang jatuh dari ketinggian dan
suara itu terdengar keras tepat berada pada
tempat bagian imam.
“KEDEBUUUUUUG………….” bunyi itu terdengar
keras.
Suara seperti orang jatuh itu ternyata Afiq,
Salat-pun terhenti. Semua mengelilingi Afiq yang
terbaring lemah tak berdaya. Ia tak lagi bernafas.
***
Tiba-tiba segala sunyi, yang terdengar cuma
alam dan nyanyian merdu keriang yang menempel
di kulit-kulit pohon tua di belakang sekolah.
Jangkrik yang melengking panjang dan dikejauhan
bisik rerumputan, diselingi suara walet yang
mengambil buih lautan.
Tiba-tiba segala sunyi, lautan tenang,kapal
nelayan mengambang dibibir pantai. Gelombang
sunyi dikejauhan menunggu jejak para pengejar

113
gelombang. Afiq menghembuskan nafasnya yang
terakhir.
***
Jangan menangis, jangan menangis
Tetaplah kau tersenyum
Jangan bersedih, jangan bersedih
Hidup ini hanya sementara

SEKIAN

114

También podría gustarte