Está en la página 1de 2

Penelitian dramaturgis

Leo Sutrisno

Ada pertanyaan pembaca tentang jenis penelitian yang cocok untuk membuat prediksi tentang seorang
bupati yang baru saja terpilih. Dalam minggu ini, di Provinsi Kalimantan Barat ada enam daerah yang
menyelenggarakan pemilihan bupati. Tentu baik pemilih maupun yang bukan pemilih memiliki rasa ingin
tahu apa yang akan dikerjakan oleh para pubati terpilih itu.

Ada beberapa jenis penelitan yang dapat digunakan. Misalnya penelitian historis dan peneltian longitudinal.
Penelitian historis mendasarkan diri pada data waktu lampau yang digunakan untuk merekonstruksi
keadaan masa itu. Dalam konteks para bupati baru, peneliti historis menggunakan data-data masa lampau si
bupati untuk dipakai membuat rekonstruksi yang yang dilakuannya di masa lalu. Hasil rekonstruksi itu
digunakan sebagai dasar untuk menduga apa yang akan dilakukannya di masa mendatang.

Penelitian longitudinal, tidak hanya menggunakan data masa lalu tetapi juga data saat ini dan kemudian
mengikutinya untuk memperolah data yang akan datang. Dengan demikian, perjalanan si bupati dari waktu
ke waktu terekam. Rekaman jejak ini dapat dipakai juga untuk perkiraan kecenderungan-kecederungan
yang ia pikirkan, rasakan, dan lakukan. Termasuk, apa yang akan terjadi di kemudian hari.

Ada kelemahan dari kedua jenis penlitian ini, yaitu tidak memperhatikan perkembangan sifat dan karakter
tokoh yang dipelajarai dari waktu ku. Dalam era presiden Megawati, seorang insan film yang terkenal,
Garin Nugraha, membuat tiga tulisan yang berkesinambungan tentang presiden Megawati. Ia beri judul,
Megawati: Opera Sabun I, II, dan III.

Pada periode pertama, bangunan drama berada dalam tahap perkenalan tokoh-tokoh. Pembaca dibawa
dalam plot yang membawa rasa ingin tahu dan serba penuh teka-teki, membaca tokoh-tokoh utama, sebagai
pihak lawan, maupun pihak kawan.

Pada artikel Megawati Opera Sabun I, babakan dramanya dipuncaki kekalahan Megawati oleh
Abdurrahman Wahid di Parlemen. Ditunjukkan tentang citra Megawati yang lemah dan tertindas serta yang
mengedepankan tertib hukum. Sikap ini, seperti dalam Opera Sabun, menjadikannya Megawati populer.

Pada bangunan dramaturgi periode kedua, penonton dibawa dalam ketegangan siklus baru konflik-konflik
di sekitarnya. Bangunan dramaturgi akan semakin menarik, tidak membosankan, jika disertai munculnya
tokoh-tokoh utama, sebagai pihak lawan, maupun pihak kawan.

Pada artikel Megawati Opera Sabun II, babakan dramanya dimulai saat Megawati menggantikan Wahid
menjadi Presiden. Pada periode itu ada bias dari gaya politik Megawati, yakni sosok politikus yang tidak
langsung memotong dan membongkar. Ia cenderung hati-hati, dan kompromi terhadap konflik.

Gaya politik seperti ini dan didukung dengan sejarah drama politik yang mengelilinginya sejak kecil, yang
penuh liku dan trauma politik membuat dirinya cenderung penuh misteri, menjaga jarak, keras, tak peduli,
penuh waspada, namun bisa berubah humanis, sering sentimetil yang emosional, mempunyai energi
tersembunyi penuh daya tahan, hingga penuh pemakluman dan pengayoman, namun bisa sangat tegas di
saat kritis. Garin mengatakan (memprediksi), pemerintahan Megawati cenderung penuh kompromi. Pada
sisi lain, kompromi politik memperkokoh kekuasaan, namun menurunkan pencitraan dan idealisme.

Dalam Opera Sabun III, Garin Nugraha menyebutnya sebagai periode perekat yang menentukan wajah
puncak drama. Yakni, periode peralihan yang dipenuhi aneka peristiwa yang harus mampu menarik hati
penonton untuk terikat dan mencoba menerka akhir puncak drama.

Secara keseluruhan, Garin Nugraha berhasil mengembangkan keahlian dramaturginya untuk menelaah
Megawati dalam konteks panggung politik Indonesia. Ia mampu mengangkat dunia Megawati yang paling
dalam, yani dunia traumatik yang juga dialami setiap individu manusia. Dunia ini ternyata mempengaruhi
seluruh cara bertindak, berpikir, dan menanggapi.

Biasanya, dalam formula darmaturgi, tokoh-tokoh yang dipenuhi trauma masa kecil, selalu memiliki dua
kemungkinan besar. Ia dapat menjadi tokoh yang merusak, dendam, dan menyimpang. Atau, justru
terbalik, ia menjadi tokoh yang penuh kemampuan menahan diri, tidak mau melukai, konsisten dalam
mencapai tujuan, dan memiliki daya tahan menghadapi tekanan.

Tokoh-tokoh traumatik semacam ini, bisa sangat manusiawi, mudah terharu oleh hal-hal kecil, sangat
rileks, merakyat, tak perduli upacara-upacara. Di sisi lain, sering sangat kuat menahan diri dalam
mengekspresikan diri, meski menghadapi hal-hal yang besar, meski sesungguhnya dalam dirinya dipenuhi
berbagai gejolak. Hal ini melahirkan kesan dari luar karakter kurang perduli dan terasa bercitra feodal,
meski pada wajah lain, melahirkan perilaku politik yang cukup sulit dipetakan ataupun diraba lawan
politiknya.

Pembaca yang ingin membuat telaah tentang apa yang akan dilakukan oleh para bupati baru, kiranya dapat
mengadopsi jenis penelitian dramarturgi ini dengan tokoh utama salah seorang bupati terpilih.

Selanjutnya, dibuat pentas dalam seting waktu tertentu. Misal, dimulai lima tahun yang lalu dan diakhiri
kelak pada akhir jabatannya sebagai bupati. Peristiwa traumatis apa yang ia alami dalam periode itu. Semua
tokoh yang berhubungan dengan tokoh utama juga dilacaknuntuk dikenali. Tokoh-tokoh ini tentu kemudian
dimasukkan ke dalam panggung politik saat ini.

Mereka akan diposisikan sebagai teman, lawan atau mungkin juga kaum oportunis. Kemudia, analisis juga
dibagi ke dalam tiga babak seperti yang Garin Nugraha lakukan. Periode masa lalu, kini, dan yang akan
datang. Dalam seting seperti inilah apa yang akan dilakukan oleh si tokoh utama secara bertahap dapat
diprediksi. Silahkan mencoba!

También podría gustarte