Está en la página 1de 13

Anselm[1] dalam risalah filsafatnya yang berjudul "Proslogion" mengungkapkan

kalimat yang menarik berbunyi: Saya beriman supaya bisa mengetahui. Apabila
kalimat ini kita balik akan menjadi: jika saya tidak beriman, maka saya tak dapat
mengetahui. Tak dapat disangkal bahwa Anselm meyakini bahwa keimanan
agama adalah sumber motivasi dan pemicu yang kuat untuk mendorong seseorang
melakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam terhadap ajaran-ajaran
doktrinal agama, lebih jauh, keimanan sebagai sumber inspirasi lahirnya berbagai
ilmu dan pengetahuan. Kesempurnaan iman dan kedalaman pengahayatan
keagamaan seseorang adalah berbanding lurus dengan pemahaman rasionalnya
terhadap ajaran-ajaran agama, semakin dalam dan tinggi pemahaman rasional
maka semakin sempurna keimanan dan semakin kuat apresiasi terhadap ajaran-
ajaran agama. Manusia membutuhkan rasionalisasi dalam semua aspek
kehidupannya, termasuk dalam doktrin-doktrin keimanannya, karena akal dan
rasio adalah hakikat dan substansi manusia, keduanya mustahil dapat dipisahkan
dari wujud manusia, bahkan manusia menjadi manusia karena akal dan rasio.
Tolok ukur kesempurnaan manusia adalah akal dan pemahaman rasional. Akal
merupakan hakikat manusia dan karenanya agama diturunkan kepada umat
manusia untuk menyempurnakan hakikatnya. Penerimaan, kepasrahan dan
ketaatan mutlak kepada ajaran suci agama sangat berbanding lurus dengan
rasionalisasi substansi dan esensi ajaran-ajaran agama.

Substansi dari semua ajaran agama adalah keyakinan dan kepercayaan terhadap
eksistensi Tuhan, sementara eksistensi Tuhan hanya dapat dibuktikan secara logis
dengan menggunakan kaidah-kaidah akal-pikiran (baca: kaidah Filsafat) dan
bukan dengan perantaraan ajaran agama itu sendiri. Walaupun akal dan agama
keduanya merupakan ciptaan Tuhan, tapi karena wujud akal secara internal
terdapat pada semua manusia dan tidak seorang pun mengingkarinya, sementara
keberadaan ajaran-ajaran agama yang bersifat eksternal itu tidak diterima oleh
semua manusia.

Dengan demikian, hanya akallah yang dapat kita jadikan argumen dan dalil atas
eksistensi Tuhan dan bukan ajaran agama. Seseorang yang belum meyakini wujud
Tuhan, lantas apa arti agama baginya. Kita mengasumsikan bahwa ajaran agama
yang bersifat doktrinal itu adalah ciptaan Tuhan, sementara belum terbukti
eksistensi Pencipta dan pengenalan sifat-sifat sempurna-Nya, dengan demikian
adalah sangat mungkin yang diasumsikan sebagai "ciptaan Tuhan" sesungguhnya
adalah "ciptaan makhluk lain" dan makhluk ini lebih sempurna dari manusia
(sebagaimana manusia lebih sempurna dari hewan dan makhluk-makhluk alam
lainnya). Lantas bagaimana kita dapat meyakini bahwa seluruh ajaran agama itu
adalah berasal dari Tuhan. Walaupun kita menerima eksistensi Tuhan dengan
keimanan dan membenarkan bahwa semua ajaran agama berasal dari-Nya, tapi
bagaimana kita dapat menjawab soal bahwa apakah Tuhan masih hidup? Kenapa
sekarang ini tidak diutus lagi Nabi dan Rasul yang membawa agama baru? Dan
masih banyak lagi soal-soal seperti itu yang hanya bisa diselesaikan dengan
kaidah akal-pikiran. Berdasarkan perspektif ini, akal merupakan syarat mendasar
dan mutlak atas keberagamaan seseorang, dan inilah rahasia ungkapan yang
berbunyi: Tidak ada agama bagi yang tidak berakal.

Mungkin masih terdapat sebagian penganut agama yang beranggapan bahwa


ajaran-ajaran agama dapat dipahami secara rasional lewat pandangan-pandangan
para filosof yang bukan penganut agama itu sendiri, menurut mereka adalah tidak
urgen mengkaji dan mendalami Filsafat untuk menafsirkan ajaran-ajaran suci
agama. Anggapan ini sangatlah keliru, karena para filosof itu tidak mengetahui
secara universal dan komprehensif ajaran-ajaran agama, jadi tafsiran-tafsirannya
atas ajaran agama sangat besar kemungkinan mengandung kesalahan.

Oleh karena itu, para analisis non-religius seperti Bertrand Russel dan Anthony
Flew yang memandang ajaran agama dari luar tidak mampu menjelaskan dan
menjabarkan substansi dan esensi ajaran agama secara sempurna. Sebagian
pengkritik dan pengkaji ajaran agama dari luar dapat dikatakan bahwa mereka itu
tidak memahami secara jelas dan proporsional tema pembahasan dan
pengkajiannya sendiri. Sangat disayangkan, sebagian penganut agama tanpa sikap
kritis dan selektif menerima apa adanya analisa dan penafsiran mereka.

Harapan umat beragama kepada para filosof non-religius adalah bukan


pembenaran dan apologi terhadap hakikat ajaran agama, tetapi pengetahuan yang
komprehensip dan proporsional terhadap ajaran agama dan keprihatinan yang
cukup sebagaimana yang dimiliki para penganut agama. Di samping itu, yang
paling urgen bagi mereka adalah pemahaman mendalam dan rasional atas ajaran-
ajaran keagamaan dan bukan penerimaan secara awam terhadapnya. Seorang
filosof non-religus yang memandang dan mengkaji ajaran agama dari luar,
sebelumnya tidak mesti beriman kepada agama itu, tapi pengetahuan yang benar
atas inti kajian.

Mengenai dikotomi agama dan Filsafat serta hubungan antara keduanya para
pemikir terpecah dalam tiga kelompok: kelompok pertama, berpandangan bahwa
antara keduanya terdapat hubungan keharmonisan dan tidak ada pertentangan
sama sekali. Kelompok kedua, memandang bahwa Filsafat itu bertolak belakang
dengan agama dan tidak ada kesesuaiannya sama sekali. Kelompok ketiga, yang
cenderung moderat ini, substansi gagasannya adalah bahwa pada sebagian perkara
dan persoalan terdapat keharmonisan antara agama dan Filsafat dimana kaidah-
kaidah Filsafat dapat diaplikasikan untuk memahami, menafsirkan dan
menakwilkan ajaran agama.

Sangat penting untuk digaris bawahi bahwa yang dimaksud Filsafat dalam
makalah ini adalah metafisika (mâ ba'd ath-thabî'ah). Jadi subyek pengkajian kita
adalah hubungan antara agama dan metafisika, namun metafisika menurut
perspektif para filosof Islam.

Sebelumnya telah disinggung bahwa sebagian pemikir Islam memandang bahwa


antara agama dan Filsafat terdapat keharmonisan. Sekitar abad ketiga dan
keempat hijriah, Filsafat di dunia Islam mengalami perkembangan yang cukup
pesat, Abu Yazid Balkhi, salah seorang filosof dan teolog Islam, mengungkapkan
hubungan antara agama dan Filsafat, berkata, "Syariat (baca: agama) adalah
Filsafat mayor dan filosof hakiki adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran
syariat."[2] Ia yakin bahwa Filsafat merupakan ilmu dan obat yang paling ampuh
untuk menyembuhkan segala penyakit kemanusiaan.

Tentang Agama

Segala konsep teoritis, terkhusus yang berhubungan dengan manusia, senantiasa


menjadi tema dan subyek analisa, pengkajian dan perdebatan, tak terkecuali
konsep teoritis tentang agama. Oleh karena itu, tak bisa disangkal hadirnya
berbagai pandangan tentang definisi dan pengertian agama yang hingga sekarang
ini belum juga dihasilkan kesepakatan bersama, tapi kerumitan definisi ini bukan
berarti bahwa manusia tidak dapat memahaminya secara universal. Robert Hume
dalam hal ini berkata, "Agama sedemikian sederhananya bisa diamalkan dan
dihayati oleh seorang anak yang baligh dan manusia dewasa yang berakal, tetapi
akan rumit sekali ketika ingin dikonsepsi secara sempurna dan komprehensip,
yang karenanya ia memerlukan analisa mendalam dan pengalaman keagamaan
yang tinggi."[3] Definisi tentang agama sangat beragam karena berkaitan dengan
seluruh dimensi kehidupan manusia seperti Etika, Sejarah, Psikologi, Sosiologi,
Filsafat dan Estetika.

Problematika Pendefinisian Agama

Definisi tentang agama memiliki kerumitan tersendiri karena beragam faktor,


sebagian faktor tersebut adalah sebagai berikut:

a. Perbedaan dalam metodologi pendefinisian agama. Sebagian mendefinisikan


agama berpijak pada empirisme dan sebagian lain mendefinisikannya lewat
pendekatan rasionalisme, fenomenologi, psikologi, dan sosiologi.

b. Perbedaan dalam penentuan individu-individu agama. Sebagian dari awal


memandang bahwa aliran Filsafat dan sosial dikategorikan kedalam individu-
individu agama dan berdasarkan inilah agama itu didefinisikan secara luas.

c. Menyamakan antara esensi agama dan perilaku penganut agama. Para pengkaji
agama yang mendefinisikan agama melalui pendekatan empirisisme dan
fenomena-fenomena agama terkadang tidak lagi membedakan antara perilaku-
perilaku penganut agama dan hakikat ajaran agama sehingga perbuatan negatif
para penganut agama itu dimasukkan sebagai bagian dari definisi agama.

d. Pengkajian terhadap sisi internal agama atau eksternal agama. Sebagian orang
mengusulkan bahwa untuk memahami hakikat dan esensi agama mesti
merujuk pada wahyu dan teks-teks suci agama sebagai internalitas agama dan
menjauhi segala metode, sumber dan sudut pandang yang merupakan dimensi
eksternalitas agama, tapi sebagian juga menekankan penelitian terhadap
agama mesti berangkat dari sisi eksternalitas agama; di samping terdapat
perbedaan yang mencolok antara teks-teks suci semua agama juga terdapat
keragaman model-model pendekatan rasional dari setiap aliran Filsafat, hal
inilah yang semakin memperuncing hadirnya perbedaan dalam pendefinisian
agama.

e. Menggunakan istilah-istilah yang kabur dan tidak transparan dalam


pendefinisian agama. Sebagian teolog menguraikan agama dalam bentuk yang
rumit dan kompleks, realitas ini tidak dapat menjadikan definisi agama
semakin jelas malah mengaburkannya.

f. Pendefinisian agama hanya secara leksikal dan harfiah. Sebagian teolog dalam
mendefinisikan agama hanya merujuk makna leksikal agama seperti ketaatan,
khusyu', pahala dan kepasrahan. Sementara metode seperti ini tak bisa
mengungkap esensi agama, berlebih lagi kalau kata-kata tersebut dari awal
tidak ditetapkan untuk mewakili makna agama itu sendiri.

g. Pendefinisian agama dipengaruhi oleh istilah-istilah epistemologi, antropologi,


ontologi, pandangan dunia, dan ideologi. Tak satupun teolog dan filosof
agama yang berangkat dari awal dalam pendefinisian agama, hampir semua
memandang agama sesuai dengan latar belakang pemikiran dan disiplin
ilmunya.

h. Agama tidak memiliki individu luar yang dapat terindera secara lahiriah.
Problem lain dalam pendefinisian agama adalah agama tak mempunyai realitas
eksternal yang mudah terindera secara lahiriah, karena suatu konsep yang tidak
memiliki obyek luar di alam materi akan sangat sulit dipahami dan dimengerti
sebagaimana mestinya.

i. Perubahan yang terjadi pada sebagian agama. Begitu banyak agama-agama yang
mengalami perubahan dan penyimpangan disepanjang sejarah kehidupannya
dan karena inilah lahir banyak aliran-aliran dan mazhab-mazhab yang berbeda.
Walaupun hikmah Ilahi mengharuskan minimal satu agama dan mazhab yang
terjaga dari perubahan dan penyimpangan itu agar manusia mendapatkan
petunjuk dan terus mengalami kesempurnaan. Tapi bagaimanapun adanya
perubahan yang terjadi pada teks suci beberapa agama tak bisa disangkal dan
menyebabkan perbedaan pendefinisian agama.

j. Pengetahuan yang tak komprehensif tentang agama. Memahami sebagian agama


dan terfokus pada cabang agama (fiqih agama) akan berefek pada pendefinisian
agama yang beragam.
Definisi Agama

a. Definisi leksikal agama

Kata agama dalam Kitab suci Al-Qur'an dan hadits Nabi mempunyai makna
antara lain: pahala dan balasan, ketaatan dan penghambaan, kekuasaan, syariat
dan hukum, umat, kepasrahan dan penyerahan mutlak, aqidah, cinta, akhlak yang
baik, kemuliaan, cahaya, kehidupan hakiki, amar ma'ruf nahi munkar, amanat dan
menepati janji, menuntut ilmu dan beramal dengannya, dan puncak kesempurnaan
akal.

b. Definisi gramatikal agama

1. Definisi agama menurut para teolog Barat:

- Agama adalah suatu sistem Ilahi yang ditetapkan bagi manusia yang memuat
pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya.[4]

- Agama adalah suatu ketetapan Ilahi untuk umat manusia yang bertujuan
membahagiakan manusia di dunia dan akhirat.[5]

- Agama ialah hukum dan undang-undang Ilahi yang mengajak orang-orang


berakal menerima dan mengikuti seruan Nabi-Nya. [6]

- Agama adalah berikrar dengan lisan, yakin pada pahala dan siksaan di akhirat
dan beramal sesuai hukum dan perintahnya. [7]

- Agama merupakan segala upaya dan usaha untuk menyingkap dan


menyempurnakan hakikat kebaikan di dalam wujud kita.[8]

- Agama adalah keyakinan kepada kehendak Tuhan Yang Kuasa atas semua alam
dan etikanya sesuai dengan watak manusia.[9]

- Agama yakni meraih pengetahuan hubungan antara manusia dan Tuhan dimana
manusia bisa merasakan kekuasaan mutlak-Nya atas dirinya dan terus berharap
akan nikmat-nikmat-Nya.[10]

- Agama yaitu kumpulan kepercayaan, simbol, dan nilai-nilai yang berkaitan


dengan perbedaan antara pengalaman spiritual biasa dan hakikat tertinggi.
Pengalaman ini dari sisi implikasi dan maknanya memiliki keunggulan lebih kecil
dari hakikat tertinggi yang bersumber dari yang non-pengalaman.[11]

- Agama adalah suatu sistem keyakinan dan perbuatan yang berhubungan dengan
suatu hakikat tertinggi yang berada di luar jangkauan pengalaman spiritual dan
menyeru para penganutnya membentuk suatu masyarakat yang beretika dan
bermoral.[12]
- Agama adalah suatu sistem kepercayaan dan prilaku yang memiliki kasih
sayang, kelembutan, dan cinta dimana dengannya masyarakat dapat memikul
beban kehidupan dan mengemban amanat tujuan hidup manusia. Dengan agama
pula manusia bisa memaknai persoalan-persoalan seperti kematian, penderitaan
dan tujuan penciptaan segala eksistensi.[13]

- Agama adalah kumpulan simbol-simbol yang jika diamalkan akan melahirkan


motivasi dan kekuatan hidup manusia; agama sesuai dengan teori-teori universal
tentang eksistensi dan hadir dalam bentuk simbol-simbol untuk merahasiakan
hakikatnya.[14]

Islam

2. Definisi agama menurut para teolog Islam:

- Agama adalah kepasrahan dan ketaatan kepada Tuhan.[15]

- Agama adalah keyakinan kepada Pencipta alam dan manusia serta hukum-
hukum praktis yang sesuai dengan keyakinan ini.[16]

- Agama adalah kumpulan hukum-hukum praktis yang berpijak pada suatu


keyakinan, dan yang dimaksud dengan keyakinan di sini adalah bukan hanya ilmu
teoritis, karena ilmu teoritis terkadang tak mengharuskan suatu amal, tapi sebagai
ilmu yang terpancar dari keyakinan tertinggi yang meniscayakan amal[17]. Dan di
tempat lain, agama didefinisikan sebagai kumpulan suatu keyakinan (kepada
Tuhan dan kehidupan abadi) dan perasaan serta hukum-hukum yang sesuai
dengan keyakinan itu dimana mesti diamalkan di dalam kehidupan manusia.[18]

- Agama adalah ilmu yang diterapkan di semua aspek kehidupan manusia untuk
mengantarkannya pada kesempurnaan. Agama memiliki empat dimensi:
pencerahan pemikiran dan keyakinan, pendidikan akhlak, penciptaan hubungan
harmonis di antara manusia, dan penghapusan perbudakan dan penjajahan.[19]

- Agama adalah kumpulan keyakinan dan kepercayaan, hukum-hukum, dan etika


yang bertujuan untuk menyempurnakan dan mengatur masyarakat manusia.
Terkadang kumpulan keyakinan itu adalah batil, terkadang benar, dan terkadang
gabungan benar dan batil. Jika kumpulan itu adalah benar, maka disebut agama
yang benar dan bila batil disebut pula agama batil. Agama benar adalah
keyakinan, akidah, dan undang-undangnya bersumber dari Tuhan, sementara
agama batil berasal dari selain Tuhan.[20]

Hubungan Agama dan Filsafat Menurut Para Filosof

Abu Hayyan Tauhidi, dalam kitab al-Imtâ' wa al-Muânasah, berkata, " Filsafat
dan syariat senantiasa bersama, sebagaimana syariat dan Filsafat terus sejalan,
sesuai, dan harmonis"[21]. Ahmad bin Sahl Balkhi yang dipanggil Abu Yazid,
dilahirkan pada tahun 236 Hijriah di desa Syamistiyan. Ketika baligh ia berangkat
ke Baghdad dan mendalami Filsafat dan ilmu Kalam (teologi). Di samping ia
berusaha memadukan syariat dan Filsafat, ia juga meneliti agama-agama berbeda
lalu ditulis dalam kitabnya yang dinamai Syarâyi' al-Adyân dan beberapa kitab
lainnya. Abul Hasan 'Amiri, salah seorang murid Abu Yazid Balkhi, adalah
seorang filosof terkenal yang juga berupaya membangun keharmonisan antara
agama dan Filsafat. Ia memandang bahwa Filsafat itu lahir dari argumentasi akal-
pikiran dan dalam hal ini, akal mustahil melanggar perintah-perintah Tuhan. Abul
Hasan 'Amiri, dalam pasal kelima kitab al-Amad 'ala al-Abad, menyatakan, "Akal
mempunyai kapabilitas mengatur segala sesuatu yang berada dalam cakupannya,
tetapi perlu diperhatikan bahwa kemampuan akal ini tidak lain adalah pemberian
dan kodrat Tuhan. Sebagaimana hukum alam meliputi dan mengatur alam ini,
akal juga mencakup alam jiwa dan berwenang mengarahkannya. Tuhan
merupakan sumber kebenaran yang meliputi secara kodrat segala sesuatu.
Cakupan kodrat adalah satu cakupan dimana Tuhan memberikan kepada suatu
makhluk apa-apa yang layak untuknya. Dengan ini, dapat kesimpulan bahwa alam
natural secara esensial berada dalam ruang lingkup hukum materi dan hukum
materi juga secara substansial mengikuti jiwa, dan jiwa berada di bawah urusan
akal yang membawa pesan-pesan Tuhan."[22]

'Amiri memandang bahwa akal secara esensial mengikuti dan taat kepada
perintah-perintah Tuhan. Di bagian lain dari kitab itu, akal dikategorikan sebagai
hujjah dan dalil Tuhan, ia menyatakan bahwa derajat akal apabila dibandingkan
dengan jiwa sama seperti daya penglihatan apabila dihubungkan dengan mata.
'Amiri, dalam kitab as-sa'âdah wa al-isâd, juga menyinggung hubungan akal,
jiwa dan alam materi, ia berkata, "Jiwa mengambil manfaat dari akal dan
menyalurkan manfaat ke alam materi. Akal adalah kemuliaan dan kehormatan
jiwa dan jiwa adalah pelayan akal. Ketika jiwa melayani akal maka pada jiwa
akan nampak kesucian dan cahaya dan ketika ia meninggalkan akal maka akan
nampak kegelapan dan kekotoran. Dengan demikian, kebodohan akan muncul dan
berefek pada kehancuran dan kemaksiatan."[23]

'Amiri beranggapan bahwa jiwa yang berakal mempunyai kelayakan untuk


menjadi khalifah Tuhan. Menurutnya, seseorang yang memiliki jiwa yang
dicahayai oleh akal layak menjadi khalifah Tuhan yang mengatur, mengelolah dan
membangun alam ini, dan di alam non-materi menempati kedudukan yang mulia
dan tinggi. Jiwa ini, dari sisi badan berhubungan dengan alam rendah (materi) dan
dari dimensi akal berkaitan dengan alam tinggi. Dengan ibarat lain, khalifah
Tuhan adalah substansi wujudnya memiliki kedudukan ruhani dan spiritual
tertinggi dan juga berhubungan dengan derajat jasmani terendah, maujud ini tidak
lain merupakan sesuatu yang menghubungkan dan menggabungkan dua alam.

Dari perspektif di atas, 'Amiri menafsirkan makna kenabian dan


menyimbolkannya dengan sebuah garis. Garis ini, pada satu sisi terhubung ke
alam ruhani dan pada sisi lain memanjang ke alam materi. Dengan begitu wahyu
dapat didefinisikan menjadi sebuah realitas makna yang turun dari alam gaib ke
alam materi. Menurut 'Amiri, walaupun jiwa di awal perwujudannya tak lepas dari
pengaruh materi dan indera-indera lahiriah, tapi jiwa tidak pernah terputus dari
cahaya akal, karena akal merupakan esensi jiwa. Perlu diperhatikan bahwa
meskipun jiwa senantiasa mengambil manfaat dari cahayai akal, tapi tanpa cahaya
agama jiwa mustahil mencapai alam spiritual tertinggi. 'Amiri dalam menjelaskan
hal itu mengambil sebuah pemisalan: dalam perkembang-biakan spesis tumbuhan
di alam, semua tingkatan kesempurnaan satu spesis tumbuhan secara potensial
terdapat dalam wujudnya, tapi untuk mewujudkan daun-daunnya, bunga-
bunganya dan buah-buahnya mesti membutuhkan seorang tukang kebun. Jiwa
manusia juga secara potensial memiliki semua derajat kesempurnaan, tetapi untuk
mengaktualkan seluruh potensi yang dimilikinya niscaya memerlukan agama dan
Filsafat.

Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan di atas, bisa dikatakan bahwa
filosof tersebut sepakat dengan gagasan kebaikan dan keburukan akal, dan hal ini
juga diterima oleh aliran Mu'tazilah. Dari pikiran-pikiran Mu'tazilah diketahui
bahwa mereka ini berpijak pada konsep "syariat akal". Mereka mendefinisikan
"syariat akal" sebagai berikut, "Salah satu syariat akal adalah bahwa manusia
tidak menyukai apa yang terjadi pada seseorang sebagaimana dia juga tidak
mencintai hal tersebut terjadi pada dirinya, dan manusia mencintai apa yang
berlaku padanya sebagaimana dia juga menyenangi hal itu berlaku pada orang
lain. Perbuatan yang dia kerjakan secara tersembunyi dengan senang hati juga
dilakukan secara terbuka".[24] Apa-apa yang dipandang akal sebagai keburukan
digolongkan sebagai hal yang wajib dihindari dan tidak dikerjakan.

Mereka yang berpijak pada "syariat akal" memandang bahwa hukum-hukum dan
undang-undang yang diturunkan untuk manusia yang bersumber dari Nabi dan
Rasul mustahil bertentangan dengan "syariat akal". Abul Hasan 'Amiri, dalam
kitab al-Itmâm lifadhâil al-Anâm, membahas hubungan antara teori (ilmu) dan
amal, di situ ia menekankan pentingnya ilmu bagi amal. Di tempat lain ia katakan
bahwa wahyu, ilham, lintasan ide, dan pikiran merupakan bentuk ibadah akal (an-
nusuk al-aql). An-nusuk berarti ibadah, kesucian, dan kedekatan kepada Tuhan,
menurut 'Amiri hukum-hukum Ilahi adalah rasional dan apa yang rasional dapat
menyebabkan kesucian dan kedekatan keda Tuhan. Ibnu Sina, dalam salah satu
karyanya juga mengungkapkan bahwa tafakkur, berpikir, dan kontemplasi juga
merupakan salah satu bentuk ibadah dan doa.

Menurut Ibnu Sina, tafakkur dalam kerangka teoritis dan praktis (terapan) pada
hakikatnya adalah bahwa manusia berakal mengulurkan tangannya kepada realitas
mutlak yang maha sempurna untuk memohon agar hakikat, rahasia, dan ilmu atas
segala sesuatu tersingkap baginya.

Musa bin Maimun, seorang filosof Yahudi, karena terpengaruh Filsafat Islam
beranggapan bahwa tafakkur dan kontemplasi sebagai salah satu bentuk ibadah
yang dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan, karena itu ia berupaya
merujukkan akal dan agama. Ia, dalam kitabnya Dilâlah al-Hairîn, berkata,
"Tafakkur dan berpikir merupakan jalan kesempurnaan manusia. Ilmu dan
makrifat adalah salah satu bentuk ibadah yang sesungguhnya dapat mengantarkan
seorang hamba dekat kepada Tuhan, makrifat dapat menyingkap hakikat dan
rahasia eksistensi. Semakin tinggi dan sempurna pengetahuan manusia maka
semakin ia dekat kepada Tuhan dan semakin dalam kecintaannya kepada-Nya"[25].
Walaupun menurutnya ibadah merupakan hasil dari kecintaan, tetapi kecintaan
seseorang kepada Tuhan berbanding lurus dengan ilmu dan makrifatnya.

Abu Nashir Farabi, pendiri maktab Filsafat Islam, filosof yang juga berupaya
menggabungkan antara agama dan Filsafat. Filosof ini, setelah mengkaji secara
mendalam persoalan kebahagian pada akhirnya berpendapat tentang bentuk
tasawuf (pensucian diri) yang berpijak pada rasionalitas. Tasawuf Farabi
merupakan tasawuf yang tidak hanya menekankan pada niat tulus, disiplin, dan
motivasi yang kuat dalam sair suluk (perjalanan spiritual) serta bersungguh-
sungguh dalam meninggalkan kelezatan-kelezatan jasmani dan dunia, tapi juga
menitikberatkan pada dimensi teoritis yang berpijak pada pemikiran yang
mendalam. Menurut Farabi, kesempurnaan pensucian jiwa bukan hanya
bergantung pada ibadah-ibadah ritual, tetapi juga dipengaruhi oleh tafakkur,
rasionalitas, dan pemikiran. Tak bisa disangkal bahwa ibadah-ibadah jasmani juga
berpengaruh dalam pencapaian kesempurnaan, tetapi kesempurnaan yang diraih
bersama dengan akal-pikiran dan rasionalitas memiliki keunggulan yang lebih.
Semakin sempurna akal-pikiran dan makrifat manusia, maka semakin dekat ia
kepada alam transenden dan alam akal, dan ketika ia sampai pada derajat alam
akal tertinggi, maka selayaknya ia memperoleh cahaya-cahaya Tuhan, puncak
tertinggi kebahagiaan dan kesempurnaan makrifat Ilahi.

Dalam sejarah Filsafat Islam, Syeikh Syihabuddin Suhrawardi adalah termasuk


salah seorang filosof yang menentang pemisahan ajaran suci agama dan pemikiran
Filsafat, ia beranggapan bahwa keduanya terdapat kesatuan hakikat. Ia kemudian
membangun sendiri sistem filsafatnya berpijak pada asumsi adanya kesatuan
tersebut. Menurutnya, perbedaan yang ada di antara agama-agama dan aliran-
aliran pemikiran dipengaruhi oleh banyak faktor dan salah satu faktor utamanya
adalah perbedaan dalam istilah.

Hakikat matahari yang bercahaya itu adalah satu dan ia tidak menjadi banyak
dengan beragamnya manifestasi-manifestasinya. Kota hanyalah satu tapi pintu-
pintunya sangatlah banyak dan jalan-jalan menuju ke kota itu tak berbilang
banyaknya. Dari kumpulan karya-karya Syaikh Isyraq dapat dipahami bahwa
Hikmah Isyraqi dijabarkan dengan bahasa kinâyah (figuratif), dan bahasa kinâyah
tidak dapat diketahui oleh banyak manusia. Bahasa argumentasi dan Filsafat dapat
dipahami oleh sebagian manusia yang memiliki kemampuan dan bakat yang
cukup, tetapi memahami bahasa kinayah tak cukup hanya dengan kemampuan
yang cukup itu. Untuk mengetahui bahasa kinayah diperlukan kemampuan
istimewa yang hanya dapat dicapai dengan riyâdhah (disiplin spiritual),
murâqabah (penjagaan diri dari segala kemaksiatan), tafakkur mengenai hakikat
jiwa dan alam. Syaikh Isyraq menyatakan bahwa sebagaimana penciptaan dan
perwujudan segala sesuatu hanya dilakukan oleh Tuhan, maka Dia pulalah yang
memberikan hidayah kepada semua makhluk-Nya.

Di zaman ketika Syaikh Isyraq meletakkan pondasi Filsafat Isyraqiyah


(Iluminasi)nya di dunia timur Islam dimana menekankan pada kesatuan hakikat,
juga Abul Walid bin Rusyd di dunia barat Islam lantang menyuarakan
keharmonisan hikmah (baca: Filsafat) dan syariat (baca: agama). Ibnu Rusyd,
dalam kitabnya Fashl al-maqâl fi ma baina asy-Syariah wa al-Hikmah,
menjabarkan dan mengkaji aspek-aspek syariat. Ia di awal kitab Manâhij al-
Adillah fi Aqâid al-Millah juga memaparkan masalah tersebut dan berkata,
"Syariat terbagi dalam dua bagian, yakni lahir dan batin, dan batin syariat
dikhususkan untuk para ulama, sementara mayoritas yang awam hanya
diperintahkan untuk mengamalkan lahiriah syariat dan menghindari berbagai
bentuk takwil. Bagi kaum ulama juga tidak dibenarkan mengungkapkan dan
menyampaikan hakikat-hakikat yang diperoleh dari jalur penakwilan kepada
masyarakat awam."[26] Ibnu Rusyd dalam tulisannya berpijak pada perkataan
Imam Ali As yang bersabda, "Berbicaralah kepada masyarakat sehingga mereka
dapat memahami, apabila kandungan pembicaraan lebih tinggi dari pada kadar
pemahaman masyarakat, maka dikhawatirkan mereka akan menolak perkataan
Tuhan dan para Nabi-Nya". Ibnu Rusyd yakin bahwa peran kitab-kitab suci, yang
diturunkan kepada para Nabi dan Rasul Tuhan, meliputi satu makna lahir dan
beberapa makna batin. Tapi ia bukanlah orang pertama yang mengungkapkan hal-
hal tersebut. Ibnu Rusyd dan juga semua orang yang percaya terhadap masalah
itu, berkeyakinan atas keberadaan makna batin dimana apabila makna batin
syariat dan ajaran agama disingkapkan kepada masyarakat awam akan
mengakibatkan munculnya masalah dan persoalan psikologis dan sosiologi yang
terburuk. Ibnu Rusyd berpandangan bahwa senantiasa terdapat kesatuan hakikat
yang memiliki penafsiran-penafsiran yang beragam.

Dengan demikian, penisbahan suatu pandangan mengenai hakikat-hakikat yang


saling bertolak belakang kepada Ibnu Rusyd adalah penisbahan yang tidak
beralasan. Dalam aliran politik Latiny Ibnu Rusyd, penisbahan gagasan itu kepada
Ibnu Rusyd sangat masyhur, tapi apabila diperhatikan bahwa perspektif hakikat
batin syariat dan hakikat lahir syariat - yang juga digagas oleh Ibnu Rusyd -
ditempatkan secara berjenjang dan bergradasi, maka mustahil terdapat dua hakikat
atau beberapa hakikat yang saling bertentangan. Dengan perspektif ini, mustahil
pandangan tentang hakikat-hakikat yang saling berlawanan itu kita nisbahkan
kepada Ibnu Rusyd. Sebagaimana yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa
keharmonisan dan kesesuaian antara agama dan Filsafat senantiasa menjadi titik
tekan para filosof Islam hingga zaman Ibnu Rusyd. Filosof-filosof pasca Ibnu
Rusyd kurang lebih menjabarkan masalah tersebut dan mereka mempunyai
pandangan yang sama mengenai keharmonisan hubungan antara agama dan
Filsafat.

Pada abad kesebelas hijriah, muncul seorang filosof bernama Sadruddin Syirazi
yang secara gemilang mengkaji hakikat eksistensi dan melahirkan gagasan-
gagasan Filsafat yang baru dan cemerlang. Ia meneliti hadits-hadits yang
diriwayatkan dari Ahlulbait Nabi As dan berkesimpulan bahwa agama dan
Filsafat tidak bertentangan, bahkan terdapat keharmonisan di antara keduanya.
Persoalan ini senantiasa ia tekankan di dalam banyak karya-karyanya, dalam
kitabnya bertema Syarh Ushul al-Kâfi ia menafsirkan 34 hadits yang sahih
berkenaan dengan akal dan keunggulan-keunggulannya. Hadits-hadits tentang
akal ini memang paling banyak diriwayatkan dari Imam-Imam Suci Ahlulbait
Nabi As yang disampaikan oleh ulama dan ahli hadis (muhaddits) Syiah.
Sementara hadis-hadis seperti ini sangat jarang diriwayatkan oleh ulama dan ahli
hadis Sunni dan bahkan sebagian dari mereka menganggap bahwa hadis-hadis
yang berhubungan dengan akal adalah palsu.

Muqaddasi, salah seorang ulama besar Sunni, memandang bahwa hadits-hadits


yang berkaitan dengan akal adalah bohong dan palsu. Perlu diperhatikan bahwa
Sadruddin Syirazi di samping ia adalah seorang filosof besar juga merupakan ahli
hadis, maka dari itu, hadis-hadis yang ia anggap sahih juga dipandang sahih oleh
para ahli hadis lainnya.

Allamah Thabathabai, seorang filosof kontemporer, termasuk filosof yang tidak


membenarkan adanya pemisahan antara agama dan Filsafat, ia memandang bahwa
argumentasi rasional-filosofis terhadap masalah-masalah teologi adalah hal yang
bersifat fitrah bagi manusia. Dalam hal ini ia berkata, "Adalah salah satu bentuk
kezaliman dan kesesatan apabila kita memisahkan antara ajaran suci agama-
agama dan Filsafat transenden. Apakah agama bukan kumpulan dari makrifat-
makrifat Ilahi, akhlak, dan hukum-hukum? Apakah para Nabi dan Rasul tidak
diperintahkan oleh Tuhan untuk mengajak, mendidik, dan mengantarkan manusia
kepada hakikat kebahagiaan dan kesempurnaan hakiki? Apakah kebahagiaan dan
kesempurnaan manusia tidak terletak pada pengajaran suci agama dan pemberian
akal kepada manusia oleh Tuhan untuk menyingkap berbagai rahasia-rahasia
alam, mencapai puncak kesempurnaan makrifat atas hakikat-hakikat eksistensi,
dan menjalani kehidupan yang seimbang serta menjauhi segala bentuk penyikapan
yang ekstrim atas dimensi-dimensi kehidupan di dunia? Apakah manusia dapat
menggapai pemahaman makrifat dan ilmu tanpa menggunakan argumentasi
rasional, dalil akal, dan kontemplasi yang mana merupakan substansi dan hakikat
manusia? Bagaimana dapat dikatakan bahwa ajaran agama Ilahi mengajak
manusia menentang fitrah dan hakikat wujudnya sendiri serta menyeru manusia
untuk menerima segala perkara tanpa dalil akal dan argumentasi rasional? Secara
mendasar tidak terdapat perbedaan antara metodologi para Nabi dalam mengajak
manusia kepada kebenaran dan apa-apa yang dicapai dan diraih manusia lewat
argumentasi yang benar dan logis. Perbedaan keduanya hanya terletak bahwa para
Nabi dan Rasul As mendapatkan pertolongan dari Sebab Pertama dan meminum
langsung dari sumber wahyu."[27]

Para Nabi dan Rasul As memiliki kemampuan untuk turun dari derajat tertinggi
dan berbicara dengan manusia sesuai dengan kadar kemampuan akal dans
pemahamannya. Semua Nabi dan Rasul as tidak memaksa manusia untuk
menerima segala hal tanpa dalil akal dan argumentasi rasional, mereka tidak
mengajak manusia dengan taklid buta. Kitab suci al-Qur'an membahas masalah
teologi (mabda), eskatologi (ma'âd), dan persoalan metafisika dengan berbagai
burhan dan argumentasi. Kitab suci ini sangat memuji ilmu, makrifat, akal, dan
kemandirian intelektualitas serta menentang segala bentuk kebodohan dan taklid
buta. Tuhan dalam al-Qur'an berfirman:

Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah dan dalil yang nyata, Maha suci
Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (Qs. Yusuf: 108)

Sebagaimana ayat yang disaksikan di atas, Nabi dan Rasul as mengajak manusia
kepada Tuhan berdasarkan hujjah, bashirah dan dalil yang nyata. Tak diragukan
lagi bahwa ajakan dan dakwah para Nabi berpijak pada bashirah dan bukan taklid
tanpa argumentasi. Dan ketika terdapat burhan dan argumentasi, maka kita tidak
bisa menyatakan bahwa hal tersebut bertolak belakang dengan hikmah dan
Filsafat. Perlu diperhatikan bahwa Filsafat itu jangan dipandang sebagai rangkaian
dan kumpulan dari pemikiran, perspektif, dan gagasan filosof-filosof Yunani yang
di antara mereka terdapat orang mukmin, kafir, yang benar, dan yang salah.[]
[1]
. St. Anselm (1033 - 1109 M) adalah seorang teolog dan filosof abad
pertengahan, ia berkebangsaan Italia dan kemudian tersohor setelah ia
merumuskan argumen Ontologi tentang pembuktian eksistensi Tuhan.
[2]
. Abul Qasim Baihaqi, Durratul Akhbâr wa Lum'atul Anwâr, hal. 28.
[3]
. Robert Hume, Adyân-e Zendeh Jahân, penerjemah: Abdurrahim Gawohy, hal.
18.
[4]
. John Nas, Târikh Jame' Adyân, penerjemah: Ali Ashgar Hikmat, hal. 79 dan
81.
[5]
. Ibid.
[6]
. Ibid.
[7]
. Ibid.
[8]
. Bradly, 'Aql wa 'Itiqâd-e Din, hal 18.
[9]
. Ibid.
[10]
. Ruwil, Mâhiyat wa Mansyâ'-e Din, hal. 112.
[11]
. John Paul William, Jame' Syenâsi Adyân, penerjemah: Abdul Karim Gawahy,
hal 171 dan 172.
[12]
. Ibid.
[13]
. Ibid, hal. 168.
[14]
. Ibid.
[15]
. Yâd Nameh Syahid Murtadha Muthahhari, hal. 117.
[16]
. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Âmuzesy Aqâid, jilid 2, hal. 28.
[17]
. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jilid 15, hal. 8.
[18]
. Muhammad Husain Thabathabai, Syi'ah dar Islâm, hal. 3.
[19]
. Ja'far Subhani, Fashl Nâmeh Naqd wa Nazhar, nomor 3, hal. 19? .
[20]
. Abudullah Jawadi Amuli, Syariat dar Âyine-ye Ma'rifat, hal, 93-95.
[21]
. Abu Hayyan Tauhidi, al-Imta' wa al-Muânasah, jilid pertama, bagian kedua,
hal. 15.
[22]
. Abul Hasan 'Amiri, al-Amad 'ala al-Abad, hal 87.
[23]
. Abul Hasan 'Amiri, as-Sa'adah wa al-Is'ad, hal. 180.
[24]
. Abul Hasan 'Amiri, as-Sa'âdah wa al-Is'âd, hal 180.
[25]
. Ibnu Maimun, Dilâlah al-hairîn, hal 722.
[26]
. Ibnu Rusyd, Manâhij al-Adillah fi Aqâid al-Millah, hal 133.
[27]
. Allamah Muhammad Husein Thabathabai, Ali as wa Falsafe-ye Ilahi,
penerjemah: Sayyid Ibrahim Sayyid Alawi, hal. 11-12.

También podría gustarte