Está en la página 1de 5

ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM: Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indon...

Halaman 1

ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM: Makna


dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan
Indonesia
Ditulis oleh Dr. Agus Aris Munandar Senin, 02 November 2009 10:35

ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM:

Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indonesia

Dr. Agus Aris Munandar

I
Artefak dalam arti yang luas adalah benda tinggalan dari masa lalu, walaupun biasanya artefak selalu dihubungkan dengan peninggalan yang
berupa benda bergerak (mudah dipindahkan), namun dalam pengertian umum artefak juga meliputi monumen yang merupakan bangunan dari
masa silam. Artefak Islam adalah tinggalan dari masa silam baik yang berupa benda bergerak atau monumen yang berasal dari masa
perkembangan dan meluasnya agama Islam di Nusantara. Pada banyak artefak Islam Nusantara terdapat ciri-ciri atau atribut yang bentuknya
sama dengan ciri-ciri yang biasa terdapat pada benda-benda dari era Hindu-Buddha Nusantara, ciri atau atribut itulah yang kemudian disebut
dengan anasir kebudayaan Hindu-Buddha yang mengendap pada artefak Islam.

Dalam pembabakan sejarah kebudayaan Indonesia dikenal adanya beberapa periode, yaitu:

1. Periode Prasejarah berlangsung cukup lama, mungkin sekitar 40.000 tahun yang lalu hingga abad ke-4 M ketika tulisan pertama
ditemukan di wilayah Indonesia.
2. Periode Hindu-Buddha atau disebut juga zaman Klasik Indonesia, berkembang antara abad ke-4 – 15 M. Dalam zaman ini tonggak-
tonggak peradaban Indonesia mulai ditancapkan, dan beberapa di antaranya masih bertahan hingga kini.
3. Periode masuk dan berkembangnya agama Islam, masa ini berbeda-beda di berbagai wilayah Indonesia, namun pada umumnya terjadi
antara abad ke-15—17 M
4. Periode penjajahan Belanda atau zaman Kolonial terjadi antara abad ke-17—1945
5. Periode Republik Indonesia

Sebenarnya setiap daerah mempunyai pembabakan yang agak berbeda satu dengan lainnya, akan tetapi umumnya mereka mengalami beberapa
tahapan perkembangan sejarah kebudayaan seperti yang telah disebutkan itu. Akan halnya pengaruh kebudayaan Cina tidak dapat dinyatakan
pernah berkembang antara abad-abad tertentu dalam pembabakan sejarah kebudayaan Indonesia, karena tidak ada bukti nyata bahwa pengaruh
anasir budaya Cina itu diterima secara meluas oleh penduduk Nusantara dalam kurun waktu tertentu. Pengaruh anasir budaya Cina baru
dirasakan oleh masyarakat Nusantara ketika zaman penjajahan Belanda, itu pun terbatas di beberapa kota besar di pulau tertentu saja.
Pemerintah penjajahan Belanda pada masanya memerlukan cukup banyak tenaga kerja murah, maka dari itu didatangkanlah sejumlah buruh
etnik Cina yang bekerja di sector perkebunan dan jasa. Sejak itulah dikenal pengaruh budaya Cina dalam dinamika kebudayaan Indonesia,
walaupun memang hanya sedikit saja.

Demikianlah perkembangan kebudayaan Indonesia dewasa ini sebenarnya merupakan hasil akumulasi perkembangan berbagai kebudayaan
dalam sejarah. Pengaruh mempengaruhi adalah hal yang wajar dalam kebudayaan. Ketika agama Hindu-Buddha dikenal meluas di Pulau
Sumatra dan Jawa, terdapat pula anasir prasejarah di dalamnya. Misalnya sudah dimaklumi oleh para ahli kebudayaan kuno bahwa bentuk
berundak pada Candi Borobudur sebenarnya melanjutkan saja bentuk punden berundak megalitik, hanya saja pada Candi Borobudur dilengkapi
dengan nafas kebuddhaan yang sangat kentara. Maka tidak juga mengherankan ketika dalam masa Islam Indonesia dihasilkan bermacam artefak
sezaman, namun di dalamnya mengendap anasir-anasir Hindu-Buddha yang pernah berkembang dalam zaman sebelumnya.

Pengamatan yang paling mudah dilakukan terhadap adanya anasir Hindu-Buddha dalam artefak Islam adalah terhadap bentuk-bentuk
ornamennya. Ornamen dari masa perkembangan Islam (terutama di Jawa) nyata sekali meneruskan ornament yang dikenal dalam era
sebelumnya. Berbagai bentuk ornamen tersebut dapat dikaji lebih lanjut untuk membahas adanya akulturasi damai yang telah terjadi adalam
masa transisi masuknya agama Islam ke tengah-tengah masyarakat yang saat itu masih memeluk agama Hindu-Buddha.

Tentu saja pengaruh Hindu-Buddha tersebut tidak hanya mengendap pada wujud artefak konkret, terdapat juga dalam bentuk karya lainnya
misalnya dalam susastra, sistem pemerintahan, falsafah kehidupan, seni pertunjukan, dan lain-lain. Mengenai adanya anasir Hindu-Buddha pada
kebudayaan yang tanbenda (bukan tak benda!) itu (intangible culture) sepatutnya diperbincangkan dalam tema yang khusus lagi.

II

http://www.warnaindonesia.com/index.php?view=article&catid=109%3Aarkeologi-islam&id=1170%3Aanasir-hindu-buddha-... 28/01/2011 0:35:27


ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM: Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indon... Halaman 2

Perkembangan kebudayaan Indonesia diawali dan didasari pada kebudayaan prasejarah. Tahapan prasejarah yang paling penting di Indonesia
adalah masa bercocok tanam tingkat lanjut yang bersamaan dengan berkembangnya kepandaian perundaian. Masa tersebut sangat mungkin
dimulai sekitar tahun 500 SM hingga ditemukannya aksara pertama dalam prasasti di wilayah Indonesia (sekitar abad ke-4 atau ke-5 M).

Dalam periode tersebut mulailah terbentuk komunitas-komunitas yang teratur dipimpin oleh ketua kelompok. Sang pemimpin didampingi oleh
seseorang yang dituakan, dianggap mempunyai banyak pengalaman, dan luas wawasannya, kepada tokoh itulah masyarakat bertanya perihal
berbagai hal, fenomena alam, langkah kehidupan dan lain-lain. Kemudian terdapat masyarakat biasa yang menjadi rakyatnya. Penduduk
kepulauan Indonesia masa itu telah menetap dan membentuk perkampungan, rumah-rumah mereka panggung. Kontak-kontak dengan para
musafir dari India dan Cina sangat mungkin mulai terjadi di awal tarikh Masehi. Sudah barangtentu para niagawan dari India atau Cina tersebut
berkunjung ke komunitas-komunitas nenek moyang bangsa Indonesia yang dapat dianggap berinteraksi. Jadi mereka tidak mungkin datang ke
wilayah-wilayah yang sepi penduduknya.

Dalam kondisi peradaban masyarakat yang relatif maju seperti itulah pengaruh kebudayaan luar mulai diperkenalkan oleh para musafir India.
Nenek moyang bangsa Indonesia merasa tertarik dan perlu untuk menerima kebudayaan dari India oleh karena itu mereka menerimanya. Hanya
tiga anasir budaya yang sebenarnya diterima dari kebudayaan India, yaitu (1) agama Hindu-Buddha, (2) aksara Pallava, dan (3) sistem
penghitungan tahun Saka. Ketiganya benar-benar merupakan sesuatu yang baru, artinya tidak pernah dimiliki sebelumnya oleh nenek moyang
kita. Zaman berkembangnya pengaruh India dalam masyarakat Indonesia kuna itu lazim dinamakan dengan zaman Hindu-Buddha atau zaman
Klasik Indonesia.

Berdasar kepada ajaran agama Hindu-Buddha maka berkembanglah sistem pemerintahan kerajaan, dalam hal ini raja dianggap sebagai dewa
yang menjelma ke dunia. Kemajuan arsitektur bangunan suci juga didasarkan pada kaidah keagamaan Hindu atau Buddha, dalam hal ini
bentuk-bentuk arsitektur candi yang tidak pernah sama antara satu bangunan dengan lainnya (unikum), bangunan petirthaan (bangunan air suci),
dan bangunan pahat batu (rock-cut) yang digarap secara baik.

Kemahiran menulis yang dimulai dari aksara Pallava kemudian dikembangkan menjadi huruf lokal turunannya Akibat adanya kemampuan
menulis itu maka keluarlah berbagai prasasti titah raja dan karya sastra. Prasasti umumnya ditulis pada batu, logam perunggu atau emas, bagian-
bagian bangunan suci, atau juga pada benda-benda keperluan upacara. Prasasti batu biasanya ditegakkan di suatu tempat agar mudah untuk
dibaca oleh masyarakat umum, isinya sangat ringkas, dan umumnya berkenaan dengan pembebasan suatu wilayah (desa) dari kewajiban
membayar pajak kepada raja. Sedangkan prasasti logam dibentuk berupa lempeng-lempeng yang ditulisi pada kedua sisinya depan-belakang
(recto-verso). Prasasti logam disimpan oleh seseorang yang kepadanyalah anugerah raja tersebut diberikan.

Uraian karya susastra zaman Hindu-Buddha bermacam-macam, umumnya memerikan perihal kisah-kisah kepahlawanan (epos), ajaran
keagamaan, uraian tentang raja-raja, kisah roman percintaan, kisah-kisah sejarah secara tradisional dan lain-lain. Kisah-kisah dari masa Hindu-
Buddha yang digubah oleh masyarakat Jawa Kuna tersebut dapat bertahan hingga sekarang berkat adanya penyalinan dan apresiasi dari
masyarakat Hindu-Bali. Berkat adanya hal itu maka dapat diketahui bahwa khasanah kesusastraan masa Hindu-Buddha sudah sangat maju.

Sekitar pertengahan abad ke-13 di wilayah Sumatra bagian utara telah berdiri kerajaan Islam pertama di Nusantara, bernama Samudra Pasai.
Seraya itu di Pulau Jawa masih berdiri kerajaan Singhasari yang bercorak Hindu-Buddha, dan di bagian-bagian lain Indonesia mungkin masih
dalam zaman proto-sejarah (beberapa daerah telah dicantumkan dalam kakawin Nagarakrtagama yang selesai digubah oleh Mpu Prapanca tahun
1365 M). Islam tidak berkembang dalam kurun waktu yang bersamaan di Nusantara, namun perkembangannya semakin merata mulai abad ke-15
M. Berdasarkan sumber-sumber tradisi dapat diketahui bahwa wilayah Indonesia Timur (Nusa Tenggara dan Maluku) menerima Islam karena
upaya para mubaligh dari pesantren-pesantren di Jawa Timur. Sumber tradisi juga menyebutkan adanya peranan para ulama dari wilayah
Sumatra Barat yang aktif menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan, dan wilayah Kalimantan Timur. Hubungan niaga yang ramai antara wilayah
Indonesia barat dan timur turut mempercepat proses penyebaran agama Islam.Dalam jalur niaga tersebut turut serta para ulama penyebar Islam,
bahkan niagawan itu sendiri adalah ulama penyebar Islam.

Sebelum kedatangan Islam di wilayah-wilayah tersebut telah ada komunitas-komunitas membentuk sistem pemerintahan tradisional yang masih
bercorak tradisi perundagian. Religi yang berkembang pun secara hipotetis masih merupakan pemuliaan terhadap arwah nenek moyang. Dengan
demikian perkembangan kebudayaannya dapat dinyatakan dari masa prasejarah (protosejarah) sejarah dengan masuknya Islam, tanpa melalui
sistem kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha sebagaimana halnya di Jawa.

Cukup banyak peradaban Nusantara yang mendapat pembaharuan dalam zaman awal perkembangan agama Islam, selain ajaran agama itu
sendiri terdapat beberapa perolehan lainnya, misalnya digunakannya huruf Arab, dikenalnya tahun Hijriah, cara berpakaian yang hampir
menutup seluruh tubuh, diperkenalkannya sistem persenjataan dengan mesiu, dan terbentuknya kota-kota pelabuhan baru tempat bermukimnya
masyarakat yang telah memeluk agama Islam. Di beberapa wilayah Nusantara terdapat masyarakat yang sampai sekarang memeluk agama Islam
secara taat, tanpa adanya bentuk akulturasi dengan kebudayaan yang berkembang sebelumnya.

Lain halnya di Jawa, tempat merebaknya kebudayaan Hindu-Buddha yang relatif lama, maka terdapat fenomena adanya bentuk-bentuk akulturasi
antara Islam dengan tradisi yang telah dikenal dalam agama Hindu-Buddha. Walaupun demikian di Jawa juga terdapat daerah-daerah yang
keislamannya relatif menonjol dengan sedikitnya pengaruh dari tradisi lama. Secara kebudayaan bentuk-bentuk akulturasi tersebut sebenarnya
turut memperkaya khasanah peradaban yang ada.

III
Pada bangunan-bangunan masa awal perkembangan Islam di Indonesia (contoh yang baik terdapat di Jawa) antara abad ke-15—16 terdapat
bentuk-bentuk ragam hias tertentu, walaupun ragam hias itu tidak mengisi bangunan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada bangunan
masa Islam terdapat bentuk ragam hias yang telah dikenal sebelumnya, ketika agama Hindu-Buddha masih dipeluk oleh masyarakat secara
meluas. Bentuk ragam hias itu misalnya motif sulur daun, dapat dijumpai pada nisan kubur Islam, cungkup, pintu gerbang, bingkai mihrab,
mimbar kayu, batu-batu umpak di masjid dan lain sebagainya. Begitupun bentuk lainnya misalnya motif tapak dara (dalam kepustakaan

http://www.warnaindonesia.com/index.php?view=article&catid=109%3Aarkeologi-islam&id=1170%3Aanasir-hindu-buddha-... 28/01/2011 0:35:27


ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM: Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indon... Halaman 3

arkeologi Indonesia dinamakan juga Salib Portugis) dijumpai pada kaki suatu bangunan serta pagar keliling masjid kuna, pagar keliling
kompleks makam serta di tempat lainnya.

Kajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ragam hias sulur daun dengan berbagai variasinya dari era Hindu-Buddha, dalam banguna-
bangunan masa Islam terus digunakan. Hampir seluruh bangunan masa awal Islam di Jawa mempunyai ragam hias sulur-suluran atau ikal mursal
atau juga motif floral dalam wujud yang raya. Sebenarnya penggunaan hiasan yang berlebihan pada bangunan Islam (masjid atau makam) dalam
hokum Islam dianggap makruh, namun kaidah tersebut agaknya tidak mengurangi hasrat seniman masa itu untuk mengekspresikan kerativitas
seninya yang diungkapkan pada berbagai media (Ambary 1983: 130).

Umumnya hiasan sulur atau ikal mursal terdapat dalam berbagai bidang kosong melebar atau sempit yang mungkin untuk diisi dengan jenis
hiasan tersebut. Misalnya bidang nisan di Troloyo (Bernet Kempers 1959: 343), bersama dengan sulur-suluran juga terdapat bentuk meander,
mengisi bidang medallion pada dinding masjid kuno Mantingan (Soekatno, Gambar 139), serta menghias pula gunongan makam Kalajung Laut
di Pamekasan serta kompleks pemakaman keluarga Cakraningrat di Bangkalan, Madura (Bernet Kempers 1959, Plate 352; Soekatno 1980,
Gambar 140). Masih banyak contoh penggunaan ragam hias sulur daun dan berbagai variasinya dalam masa Islam, tetapi karena keterbatasan
tempat tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Selain hiasan sulur daun pada kepurbakalaan Islam juga dikenal bentuk hiasan medallion. Bentuk hiasan medallion yang sangat impresif terdapat
pada dinding masjid kuno Mantingan, Jepara. Bentuknya sangat mirip dengan medallion di Candi Induk Panataran, sedangkan yang
membedakannya adalah pada (1) bahan, (2) bentuk, (3) gaya pemahatan relief. Bahan medallion Candi Panataran adalah batu kali (andesit),
sementara itu medaion-medalion pada masjid Mantingan adalah batu kapur (tufa) yang relative lebih lunak. Bentuk medallion Candi Panataran
semuanya merupakan lingkaran, sedangkan bentuk di Masjid Mantingan ada yang lingkaran, medallion busur (atau panil cermin) yang berupa
panil relief lebar (Bernet kempers 1959, Plate 347—8, Soekatno 1980, Gambar 138). Di Masjid Mantingan terdapat juga bentuk panil-panil kecil
seperti kelelawar terbang, dipasang berderet di dinding candi dari atas ke bawah. Gaya pemahatan medalion juga mempunyai perbedaan antara
di Candi Induk Panataran dengan yang dijumpai di Masjid Kuno Mantingan. Jika pada medalion Candi Panataran yang digambarkan adalah
bentuk-bentuk binatang secara naturalis, medalion Mantingan diisi dengan gambaran binatang yang telah distilasi atau disamarkan (Kusen 1989:
123).

Pada bangunan menara Kudus dan dinding pagar keliling sitinggil Keraton Kasepuhan Cirebon terdapat juga bentuk-bentuk medalion. Hanya
saja pada bangunan-bangunan tersebut bagian tengah medalion ditutup dengan bentuk piring keramik Cina. Bentuk medalion yang “tertutup”
piring keramik tersebut seakan menjadi cirri khas pada kepurbakalaan Islam di Cirebon

Bentuk ragam hias tumpal/simbar yang pada dasarnya merupakan bentuk setiga sama kaki cukup dikenal dalam masa islam, bahkah terus
bertahan hingga kini antara lain dalam motif hias batik. Hal yang menarik adalan bentuk ragam hias tersebut menjadi sangat dikenal dalam
periode Klasik muda, karena hampir semua bangunan candi di Jawa Timur dihias dengan bentuk-bentuk simbar. Kepupoleran tersebut terus
bertahan hingga masa Islam, karena hampir sebagian besar kompleks bangunan dalam masa awal Islam pasti memiliki bentuk ragam hias tumpal/
simbar. Suatu kesatuan antara bentuk dan ragam hias tumpal dengan karya arsitektur terhadap pada bagian pipi tangga yang berujung volut
(ikalan). Pada bagian depan ujung volut pipi tangga candi-candi dan gerbang dari periode Klasik Muda hampir seluruhnya dihias dengan bentuk
tumpal. Keadaan ini terus dipertahankan pada bangunan-bangunan masa awal islam yang dilengkapi dengan pipi tangga berujung volut. Pada
bagian depan bulatan ujung pipi tangga dihias pula dengan bentuk tumpal, seperti pada karya arsitektur yang didirikan dalam masa Hindia-
Buddha. Misalnya di Menara Kudus, Sendang Duwur (Wiryoprawiro 1986; Gambar 222b), makam Sunan Giri, gapura sibak Sunyaragi Cirebon,
dan makam tembayat di Klaten.

Sementara itu dapat dikatakan bahwa ragam hias tapak dara tidak dijumpai pada candi-candi di Jawa Tengah dalam periode Klasik Tua.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan hingga kini dapat disimpulkan bahwa bentuk ragam hias tapak dara baru dikenal pada candi-candi
Klasik Muda, terutama dari era Singasari-Majapahit (abad ke13-15 M). bentuk ragam hias tapak dara ada yang sederhana seperti terlihat pada
dinding batur di atas Gua Selamangleng Tulungagung; bentuknya hanya berupa tapak dara tunggal yang diletakkan berderet. Ada yang juga
bentuk tapak dara yang agak digayakan, dibuat bertumpuk semakin mengecil di bagian tengah, misalnya terdapat pada dinding batur di depan
Candi Bangkal (Soekatno 1980, Gambar 110), juga pada dinding kaki Candi Sawentar (Bernet Kempers 1959, Plate 214; Soekatno 1980,
Gambar 96).

Pada bangunan-bangunan masa awal Islam ragam hias tapak dara sangat umum dijumpai. Bentuk tersebut menghias kaki bangunan, batur
makam, kaki pintu gerbang, pagar keliling, dan lain-lain. Tidak seperti bentuk tapak dara dalam masa Klasik Muda yang terbagi dua, umumnya
ragam hias tapak dara pada bangunan-bangunan masa awal Islam bentuknya digayakan. Misalnya terdapat di komplek makam Ratu Kalinyamat,
Mantingan dan gapura sibak makam Tembayat (Soekatno 1980, Gambar 137, 142). Bahkan pada batur pemakaman Gending Suro, Palembang
(abad ke-15 M) juga dihias dengan bentuk tapak dara (Soekatno 1980, Gambar 145). Pada berbagai kepurbakalan Islam di Cerebon, motif hias
tapak dara sangat umum dijumpai, misalnya terdapat di komplek Sitinggil Kesepuhan, Sitinggil Kanoman, Masjid Agung Ciptarasa, dan makam
Sunan Gunung Jati. Jadi ragam hias tapak dara pun merupakan salah satu ragam hias yang umum terdapat pada bangunan-bangunan awal Islam
di Jawa, walaupun titik pangkal perkembangannya baru dimulai pada candi-candi Klasik Muda di Jawa Timur.

Bentuk ragam hias pra-Islam lainnya yang kadang muncul pada bangunan-bangunan Islam adalah ceplok bunga, sisi awan, batu karang, belah
ketupat, dan beberapa ragam lainnya. Hanya saja jenis-jenis ragam hias tersebut tidak banyak dijumpai pada setiap bangunan awal Islam yang
penting, dan kemunculannya pun mendalam pada kajian ini.

IV
Bentuk-bentuk ragam hias pada bangunan masa awal Islam di Jawa ternyata sebagian besar merupakan kelanjutan saja dari berbagai bentuk
hisan yang telah dikenal sebelumnya pada candi-candi zaman Hindia-Buddha. Menurut R. Soekmono (1986) secara arsitektur candi-candi di
Jawa tidak terlalu rumit, namun kelemahan dalam bidang arsitektur tersebut diimbangi secara baik dengan pemberian hiasan dan ukiran yang
serasi. Hal itu membuktikan diterapkannya tradisi lama dalam bidang seni hias. Kitab Silpasastra yang merupakan pedoman bagi pembangunan

http://www.warnaindonesia.com/index.php?view=article&catid=109%3Aarkeologi-islam&id=1170%3Aanasir-hindu-buddha-... 28/01/2011 0:35:27


ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM: Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indon... Halaman 4

bangunan suci tidak memberikan ketentuan serta peraturan yang ketat dalam penerapan hiasan. Dengan demikian para seniman Jawa Kuna
memanfaatkan kesempatan dalam menerapkan hiasan tersebut tanpa menyimpang dari peraturan umum yang berkenan dengan pembangunan
candi (Soekmono 1986; 239-40).

Ketika Islam mulai berkembang di Jawa, para seniman yang sudah beragama Islam tetap mengekspresikan kreativitas seninya dalam pemberian
pada berbagai bangunan. Tentu saja ragam hias yang diterapkan pada bangunan-bangunan masa awal Islam itu adalah jenis ragam hias yang
telah mereka kenal dalam kurun waktu sebelumnya, yakni ragam hias tradisional Jawa masa Hindu-Buddha. Seniman masa Islam dalam
menghasilkan karya seni berusaha menonjolkan mutu karyanya tanpa melanggar ketentuan keagamaan (Ambary 1983; 135).

Ada pendapat yang menyatakan bahwa pada masa permulaan Islamisasi di Indonesia, khususnya di Jawa, hal yang paling berkembang
sebenarnya bukan bidang arsitektur, melainkan bidang kesenirupaan seperti seni pahat, relief, keris, wayang dan sebagainya (Subarna 1987; 101)
. Pendapat ini mungkin didasarkan pada kenyataan bahwa cukup banyak contoh dalam bidang seni rupa yang turut dikembangkan atau
berkembang bersamaan dengan proses Islamisasi. Sebagian besar bidang seni rupa itu sebenarnya merupakan kelanjutan belaka dari masa pra-
Islam, masa Hindu-Buda.

Dalam bagan diberikan contoh gambaran kesinambungan seni rupa masa Hindu-Buda pada bangunan-bangunan masa awal Islam di Jawa. Bagan
tersebut hanya menyebutkan beberapa jenis ragam hias terkenal yang kerap dijumpai pada berbagai bangunan masa Hindu-Buddha dan masa
Islam . berdasarkan bagan tersebut diketahui ragam hias sulur daun/ikal mursal dengan bermacam variasinya sejak masa Klasik Tua telah dikenal
dan terdapat pada banyak bangunan candi. Ragam hias tersebut terus bertahan bahkan cenderung semakin menjadi raya dalam periode Klasik
Muda dan dalam masa awal Islam.

Bentuk hiasan medalion cenderung semakin muda kronologinya semakin menjadi raya dan rumit. Pada masa Klasik Tua hanya dijumpai hiasan
medalion polos, tetapi pada masa Klasik Muda sudah ada yang berhias. Tiba pada periode awal Islam bentuk medalion makin bervariasi, bahkan
dihias dengan bermacam ukiran atau piring keramik Cina.

Ragam hias tapak dara baru dikenal pada periode Klasik Muda, yang kemudian terus bertahan dalam masa awal Islam. Sementara bentuk tumpal
hampir merata dikenal dalam berbagai bangunan candi dalam masa Klasik Muda, walaupun bentuk tumpal/simbar sebagai jenis ragam hias
ornamental langka didapatkan pada candi-candi Klasik Tua. Pada bangunan masa Islam bentuk tumpal/simbar juga masih tetap dijumpai
menghias berbagai bagian bangunan. Masih ada satu jenis ragam hias lagi yang dalam masa Klasik Tua belum muncul, yaitu bentuk belah
ketupat berderet. Bentuk demikian baru muncul pada periode candi-candi zaman Majapahit, kemudian masih dapat dijumpai misalnya pada
kompleks makam Ratu Kalinyamat, Mantingan.

Dari bagan tersebut terlihat adanya kesinambungan beberapa bentuk ragam hias. Ragam hias tertentu telah dipergunakan untuk memperindah
candi-candi Klasik Tua di Wilayah Jawa Tengah, kemudian pada waktu candi-candi Klasik Muda di Jawa Timur dibangun muncul pula ragam
hias yang sama dan ada juga bentuk-bentuk ragam hias yang baru. Ketika agama Islam mulai dikembangkan di Tanah Jawa, dan para
pemeluknya mendirikan berbagai bangunan, ragam hias yang sama yang telah dikenal dalam masa Hindu-Buddha tetap terus dipergubakan
untuk menghias bangunan-bangunan tersebut.

V
Bentuk-bentuk ragam hias pada bangunan-bangunan Islam awal di Jawa berdasarkan kajian ini dapat diketahui berasal dari zaman Hindu-
Buddha. Ragam hias tersebut semula menghiasi bangunan candi atau bangunan yang bersifat monumental lainnya. Ketika Islam mulai
berkembang, ragam hias yang sama tetap dipakai mengisi berbagai bidang kosong dalam bangunan masa Islam. Kesinambungan tersebut dapat
terjadi karena beberapa faktor, antara lain (1) seniman masa awal Islam masih akrab dengan bentuk-bentuk ragam hias dari masa Hindu-Buddha,
(2) penggunaan ragam hias itu tetap diperbolehkan sejauh tidak bertentangandengan kaidah agama Islam; caranya antara lain dengan teknik
stilasi.

Seniman masa awal Islam di Jawa semula beragama Hindu-Buddha telah akrab dengan bentuk-bentuk karya seni rupa yang tumbuh dan
berkembang dalam religi Hindu-Buddha. Ketika Islam dikembangkan di Jawa terdapat aturan untuk menghindari penggambaran makhluk hidup
secara naturalis. Dengan demikian bentuk-bentuk ragam hias yang berupa sulur daun/ikal mursal dan berbagai motif geometris tetap dapat
dipertahankan, tetapi penggambaran relief cerita dilarang sama sekali. Kebiasaan pemahatan relief cerita yang semula dikenal umum dalam
masa pra-Islam terhenti begitu saja. Bahkan di masjid kuna Mantingan terdapat bukti-bukti penggunaan ulang batu dari panil relief cerita
Ramayana untuk dipahati sisi utuhnya dengan ragam hias yang sesuai denhan agama Islam (Kusen 1986).

Bentuk ragam hias yang benar-benar baru sama sekali, dan mulai dikembangkan seiring dengan meluasnya agama Islam di Nusantara adalah
kaligrafi dengan huruf arab. Semula huruf yang diterakan di nisan-nisan kubur ketika Islam baru saja berkembang adalah huruf dan angka Jawa
Kuna, di samping huruf-huruf arab. Dalam masa yang lebih kemudian di Cirebon, kaligrafi Arab itu dipergunakan untuk stilasi tokoh-tokoh
dewata Hindu dan tokoh-tokoh wayang dari epos Mahabharata yang bernafaskan agama Hindu (Pringgodigdo 1982)

Kembali membuktikan suatu pendapat yang telah umum dikenal bahwa agama Islam berusaha melakukan adaptasi dengan kebudayaan setempat
di mana agama itu datang dan berkembang. Di Jawa adaptasi tersebut tampak berhasil dengan baik.Dengan memperhatikan kesinambungan
bentuk ragam hias yang dikenal dalam masa Hindu-Buddha hingga masa Islam, dapat diketahui bahwa agama Islam tidak menolak bentuk sulur
daun yang umumnya berupa tanaman teratai (padma) untuk menghiasi masjid-masjid. Dalam zaman Hindu-Buddha bunga padma selalu
dikaitkan dengan kehidupan para dewa yang kerap diarcakan dan dipuja oleh umatnya.Dengan mengabaykan simboliknya ragam hias sulur daun
yang bentuk dasarnya dari tanaman teratai tetapi digunakan dalam masa Islam, bahkan untuk membentuk figur mahluk yang disamarkan seperti
yang terdapat pada dinding Masjid Mantingan (Bernet Kempers 1959: plate 347) selain ragam hias sulur daun, ragam hias lainnya pun yang
semula memperindah bangunan candi masih tetap dipertahankan untuk menghias bangunan-bangunan pada masa awal Islam. Hal itu kembali
membuktikan bahwa memang benar ragam hias pra-Islam (Hindu-Buddha) terus dapat digunakan pada bangunan-bangunan Islam pada awal
perkembangannya di Jawa sejauh tidak bertentangan dengan hukum Islam.

http://www.warnaindonesia.com/index.php?view=article&catid=109%3Aarkeologi-islam&id=1170%3Aanasir-hindu-buddha-... 28/01/2011 0:35:27


ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM: Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indon... Halaman 5

DAFTAR ACUAN

Ambary, Hasan Muarif (1983), “Beberapa Ciri Krativitas yang Dimanifestasikan Melalui Seni Hias dan Seni Bangunan Masa Indonesia (abad
ke-14-19 M),”dalam S. Takdir Alisjahbana (penyunting), Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat; h. 127-137

Bernet Kempers, A. J.(1959), Ancient Indonesian Art. Amsterdam; C.P.J. van der Peet.

Holt, Claire (1967), Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca dan London: Cornell University Press.

Kusen (1989), “Relief Dua-Sisi Mantingan Sebagai Data Kesenian Masa Transisi hindu-Islam di Jawa Tengah abad XVI”, dalam Pertemuan
Ilmiah Arkeologi V; buku IIA: Kajian Arkeologi Indonesia. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia; h.116-142.

Soekatno, T. W. (Redaksi) (1986), Album Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Jilid II. Jakarta; Proyek Media Pendidikan, Direktorat jenderal
kebudayaan depdikbud.

Soekmono, R. (1986), “Local Genius dan Perkembangan Bangunan Sakral di Indonesia,” dalam Ayatrohaedi (Penyunting), Kepribadian Budaya
Bangsa Local Genius. Jakarta: Pustaka Jaya; h. 228-246.

Krom, N. J. (1923), Inleiding tot de Hindie-Javaansche kunst (III). ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Pringgodigdo, Suleiman (1982), Hiasan Dinding,” dalam Paramita R. Abdurachman (Penyunting), Cerbon. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan; h.
105-112.

Subarna, Abay D. (1987), “Unsur Estetika dan Simbolik pada Bangunan Islam,” dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi II: Estetika dalam Arkeologi
Indonesia. Jakarta: IAAI; h. 48-116.

Wiryoprawiro, Zein M. (1986), Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya: Bina ilmu.

Artikel ini disampaikan pada :

Seminar dan Diklat Penelitian Arkeologi Keagamaan


DEPARTEMEN AGAMA R.I.
BADAN LITBANG DAN DIKLAT
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA TEKNIS KEAGAMAAN
Tanggal 26 Oktober s.d. 30 November 2009 Kampus Pusdiklat
Departemen Agama, Jl. Ir. H. Juanda No. 37, Ciputat.

Comments (0) Add New Search


Write comment
Your Contact Details:
Name:
Email:

Comment:
Title:
Message:

Security

Please input the anti-spam code that you can read in the image.

Send

Powered by !JoomlaComment 4.0 beta2

http://www.warnaindonesia.com/index.php?view=article&catid=109%3Aarkeologi-islam&id=1170%3Aanasir-hindu-buddha-... 28/01/2011 0:35:27

También podría gustarte