Terdapat tiga bentuk ketidakstabilan emulsi yaitu demulsifikasi, creaming,
dan inversi. Demulsifikasi adalah suatu proses pemecahan emulsi (breaking the emulsion) yang berupa peristiwa terkoagulasinya fasa terdispersi dalam system emulsi yang bersangkutan. Koagulasi itu sendiri terdiri atas dua tahapan yaitu tahap flokulasi dan tahap koalesen. Pada tahap flokulasi, partikel-partikel fasa terdispersi membentuk agregat yang bersifat reversible. Emulsi yang mengalami flokulasi masih dapat dibentuk menjadi system emulsi kmbali, misalnya dengan cara pengadukan. Tahap selanjutnya adalah koalesen. Pada tahap ini masing- masing agregat hasil flokulasi bergabung membentuk partikel tunggal. Sifat dari tahap koalesen adalah irreversible yang berarti emulsi yang telah mengalami koalesen tidak bisa membentuk system emulsi lagi. Demulsifikasi terdiri atas dua reaksi yang berurutan dimana laju reaksi keseluruhan ditentukan oleh reaksi yang mempunyai laju reaksi paling rendah. Dalam emulsi o/w yang sangat cair, laju flokulasi jauh lebih kecil dibandingkan dengan laju koalesen, sehingga laju flokulasi menjadi laju penentu kecepatan reaksi keseluruhan. Sementara itu, dalam emulsi w/o yang terjadi adalah kebalikannya. Faktor –faktor yang mempengaruhi koagulasi dan flokulasi adalah warna, pH, kekeruhan, kadar dan susunan mineral, suhu, kecepatan, lama pengadukan, serta sifat dan jenis koagulan dan flokulan yang digunakan. Bentuk ketidakstabilan berikutnya adalah creaming. Pada proses ini, terjadi pemisahan emulsi menjadi dua bagian yang terpisah. Bagian yang lebih kaya akan fasa terdispersi disebut krim sedangkan bagian yang mengandung lebih sedikit fasa terdispersi disebut skim. Peristiwa naiknya krim ke permukaan amulsi ataubagian skim tenggelam ke dasar emulsi disebut downward creaming. Naik turunnya krim yang terbentuk tergantung pada densitas kedua fasa. Selama proses creaming tidak terjadi pemecahan emulsi, tetapi bila terus berlanjut akan terjadi penggabungan partikel-partikel menjadi lebih besar yang akan mengawali terjadinya demulsifikasi. Hal ini berhubungan dengan hokum Stokes yang menyatakan bahwa laju pemisahan berbanding lurus dengan jari-jari partikel dan perbedaan densitas antara kedua fasa, namun berbanding terbalik dengan viskositas larutan. Proses creaming ini dibutuhkan misalnya pada proses pengolahan getah karet alam. Adapun proses inversi adalah proses perubahan emulsi tipe o/w menjadi tipe w/o atau sebaliknya. Inversi merupakan bagian dari creaming dan mengalami proses yang sama dengan demulsifikasi yaitu flokulasi, koalesen, dan koagulasi. Proses inversi diselesaikan dengan koalesen partikel lemak untuk membentuk fasa kontinyu. Pada sebuah system emulsi, jika lemak ditambahkan maka akan terbentuk emulsi o/w. Namun ketika konsentrasi lemak mencapai kira-kira 90% terjadi inversi menjadi w/o. Kestabilan emulsi ditentukan oleh dua gaya, yaitu: 1. Gaya tarik-menarik yang dikenal dengan gaya London-Van Der Waals. Gaya ini menyebabkan partikel-partikel koloid berkumpul membentuk agregat dan mengendap. 2. Gaya tolak-menolak yang disebabkan oleh pertumpang-tindihan lapisan ganda elektrik yang bermuatan sama. Gaya ini akan menstabilkan dispersi koloid. Proses pemecahan emulsi atau demulsifikasi banyak digunakan pada pengolahan minyak mentah menjadi minyak serta produk-produk turunannya. Pemisahan pada demulsifikasi dapat dilakukan secara mekanis dan kimiawi. Perlakuan secara kimia menggunakan asam sementara secara mekanis menggunakan sentrifugasi, perebusan, dan sebagainya. Perlakuan gabungan antara mekanis dan kimiawi dapat dilakukan untuk meningkatkan kecepatan pemisahan. Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan emulsi. Faktor-faktor yang dimaksud adalah pemanasan, pendinginan, dan penambahan asam sulfat serta hubungan ketiga factor tersebut dengan persentase penambahan air dalam system emulsi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa setelah dilakukan pemanasan, maka akan terjadi kerusakan emulsi yang terlihat dari terbentuknya dua fasa zat dalam produk. Hanya saja waktu yang dibutuhkan masing-masing sampel untuk membentuk dua fasa berbeda-beda. Suatu sistem emulsi apabila terlalu banyak dilakukan penambahan air ke dalamnya, maka akan mempercepat proses kerusakan terhadap sistem emulsi. Jadi semakin banyak konsentrasi air yang ditambahkan, maka semakin cepat terjadinya kerusakan emulsi, hal ini karena terjadi ketidakseimbangan antara fasa terdispersi dan fasa pendispersinya. Begitu pula dengan proses pemanasan. Suatu emulsi apabila dipanaskan maka akan terjadi pemisahan menjadi 2 fasa, yaitu fasa minyak dan fasa air, selain itu proses pemanasan mengakibatkan terjadinya penguapan dan perubahan pada lemak. Hal ini menandakan bahwa emulsi telah mengalami kerusakan (Anonim, 2010). Data hasil pengamatan menunjukkan hasil yang cukup fluktuatif. Pada perbandingan minyak dan air 1:1, kerusakan terjadi setelah menit ke Sembilan. Waktu yang dibutuhkan meningkatan menjadi 23 dan 22 menit untuk perbandingan 1:2 dan 1:3. Namun terjadi penurunan waktu ketika persentase air semakin ditingkatkan yaitu 8 menit 35 detik untuk perbandingan 1:4, 8 menit 31 detik untuk perbandingan 1:5 dan 8 menit untuk perbandingan 1:6. Nilai ini kemudian meningkat menjadi sekitar 18 menit untuk perbandingan 1:7, 12 menit untuk perbandingan 1:8 dan 14 menit 37 detik untuk perbandingan 1:9. Menurut literature yang disebutkan di atas, semakin tinggi persentase penambahan air seharusnya menyebabkan semakin cepat kerusakan emulsi akibat pemanasan karena semakin tidak seimbangnya jumlah fasa terdispersi dan pendispersi. Data yang fluktuatif dapat disebabkan karena kesalahan praktikan misalnya dalam menyepakati kondisi saat emulsi dianggap rusak, apakah saat system dua fasa mulai terlihat atau saat system dua fasa telah terbentuk optimal. Perlakuan kedua yang diberikan pada saat praktikum adalah proses pendinginan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa setelah pendinginan, maka terbentuk system dua fasa pada setiap sampel. Data menunjukkan waktu yang berfluktuasi untuk kadar air rendah hingga tinggi. Namun secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa data yang ada menunjukkan semakin tinggi persentase penambahan air dalam system emulsi, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh system emulsi itu untuk mengalami kerusakan (membentuk dua fasa). Hasil di atas berbeda dengan kondisi yang seharusnya terjadi. Semakin tinggi komposisi air dalam sistem emulsi, maka akan mengakibatkan semakin banyak padatan yang terbentuk dari proses pembekuan. Semakin banyak padatan akibat pembekuan akan meningkatkan gaya gesek dan tumbukan sehingga lapisan interfasial emulsifier rusak dan pecah. Daya tahan lapisan interfasial emulsifier terhadap gesekan atau tumbukan akan semakin menurun seiring dengan konsistensi pembekuan dari emulsi. Sedangkan pada perlakuan ketiga yaitu penambahan asam sulfat, juga mengakibatkan kerusakan emulsi. Data yang dihasilkan masih berfluktuasi. Pada saat perbandingan 1:1 dibutuhkan asam sulfat sebanyak 7 tetes untuk menyebabkan kerusakan emulsi. Sedangkan pada perbandingan dengan kadar air yang lebih tinggi dibutuhkan asam sulfat sebanyak 20-110 tetes. Semakin banyak kandungan air dalam suatu system emulsi akan menyebabkan efek pengrusakan akibat asam sulfat semakin kecil lajunya. Hal ini dikarenakan semakin banyak air akan menyebabkan semakin encer asam sulfat yang ada dalam larutan sehingga efek pengrusakan menjadi lebih kecil. Inilah yang menyebabkan semakin tinggi komposisi air dalam suatu emulsi maka semakin banyak asam sulfat yang dibutuhkan untuk dapat merusak emulsi tersebut. Kerusakan yang disebabkan oleh ketiga perlakuan di atas menghasilkan bentuk yang irreversible. Kerusakan ini diakibatkan pecahnya emulsi karena film yang meliputi partikel rusak dan butir minyak akan kalesen (menyatu).
Anonim. 2010. Larutan.Website. http://www.wikipedia.org [12 Desember 2010]