Está en la página 1de 2

Generasi ‘enter’ buah kemerdekaan kita[?

Leo Sutrisno

Enam puluh lima tahun yang lalu para pendiri bangsa memproklamasikan kemerdekaan
kita. Indonesia menjadi negara yang berdaulat. Dalam cacatan sejarah di waktu itu terjadi
perdebatan antara yang setuju dan yang tidak setuju tentang waktu sudah tepat atau
belum.

Para pendukung kemerdekaan memberikan argument bahwa kemerdekaan itu ibarat


orang mau menikah. Kapn saat yang tepat untuk menikah? Ketika semua sudah siap?
Tidak! Kata mereka. Biar pun hanya mempunyai selembar tikar yang sudah sobek,
menikah harus berjalan.

Demikian juga dengan kemerdekaan. Biarpun orang bilang belum memiliki apa-apa
kemerdekaan harus dinyatakan. Biarlah kelak, sesudahnya kita isi kemerdekaan itu secara
bertahap.

Karena itu, para pendiri bangsa saat itu berjuang denagn sepenuh hati untuk merebut
kemerdekaan. Mereka tidak menunggu budi baik penjajah [Belanda] memberikan
kemerdekaan. Mereka berperang melawan penjajahan untuk mengusir penjajah ke luar
dari bumi Indonesia. Kita secara politik mereka telah ke luar dalam tanah Nusantara ini
maka secara politis kita telah merdeka. Selanjutnya, kita sendirilah yang harus mengisi
kemerdekaan itu di bidang-bidang yang lain.

Kita, kata para pendiri bangsa tersebut, harus mengisi kemerdekaan di bidang
kebudayaan, di bidang ekonomi, di bidang pendidikan, di bidang hokum, serta di bidang-
bidang yang lain. Pendek kata, kita harus merdeka secara pari purna.

Enam puluh tahun kemudian, tahun 2010 ini, ternyata kita belum menyaksikan manusia
Indonesia yang merdeka jiwa raganya. Justru sebaliknya, kita menyaksikan pertumbuhan
yang luar biasa sebuah ‘generasi enter’.

Kata ‘enter’ dapat ditemukan pada ‘key board’ sebuah perangkat computer. Tombol
‘enter’ pada alat itu berfungsi sebagai ‘kata perintah’ untuk menjalankan proses
selanjutnya. Tanpa menekan tombol ‘enter’ apa pun yang telah kita lakukan tidak akan
di-eksekusi.

Sebaliknya, jika tombol ‘enter’ ini ditekan [baca: tertekan karena tidak disengaja] maka
apa pun yang telah kita buat akan langsung dieksekusi. Jika semua yang kita kerjakan
betul maka eksekusinya berhasil. Sebaliknya, jika keliru maka eksekusinya ‘error’.

Tampaknya, dewasa ini keberadaan orang Indonesia yang berperilaku seperti computer
itu semakin banyak dan semakin nyata. Jika tidak ada ‘perintah’ tidak akan ‘jalan’ dan
juga terjadi sekalipun ‘perintah keliru’ tetap saja dieksekusi.
Mari kita lihat sebuah ilustrasi yang dialami seorang ibu yang tinggal di Bumi Sungai
Raya Dalam, Pontianak. Ia dan suaminya sedang bekerja di kantor. Pada suatu hari, hujan
lebat. Ia menelpun anaknya yang di rumah agar mengemasi jemurannya dengan
‘perintah’ : “Dik, handuk-handuk yang di jemuran itu di angkat ya! Hari menjelang
hujan”. Apa yang dilakukan anak itu. Ternyata ia sungguh mengangkat semua handuk
yang ada di jemuran dan meninggalkannya pakaian yang lain basah kuyup di jemuran.

Ilustrasi seperti ini dapat ditemukan di seluruh aktivitas kita, baik di rumah, di jalan, di
tempat kerja, di tempat rekreasi dsb. Generasi enter sudah tumbuh dan berkembang
dimana-mana.

Mengapa dapat terjadi demikian? Karena, pembangunan yang kita rancang tidak
mengunakan strategi kebudayaan. Renstra-renstra yang kita susun tidak menempatkan
manusia sebagai factor sentral. Justru sebaliknya manusia sudah digradasi menjadi SDM-
Sumber Daya Manusia. Sebagai SDM maka posisinya setingkat dengan sumber-sumber
daya yang lain, sumber daya alam, sumber dana.

Implementasi dari penempatan manusia sebagai SDM dapat kita lihat pada berbagai
kebijakan yang tidak memasukkan manusia factor utama. Ambil contoh kebijakan alih
teknologi tidak diiringi dengan lih tata nilai masyarakat penemu teknologi. Akibatnya,
orang berkendaraan mobil cepat tetapi masih saja menempelkan HP di telinganya. Orang
memiliki HP BB digunakan untuk nonton artis telanjang, demikian juga internet.
Akhirnya, Kominfo melakukan blockade pada semua situs porno.

Pembangunan pusat-pusat ekonomi di semua kota dengan mal yang megah tidak diiringi
dengan penyiapan masyarakat dalam memasuki tata ekonomi modern. Akibatnya, kita
saksikan orang masuk ke mal dengan perasaan galau, merasa tidak berdaya. Kita saksikan
jurang orang kaya dan orang miskin menjadi nyata. Mengapa tidak disediakan kios-kios
murah walaupun kualitas juga memenuhi standar. Mestinya, kita belajar dari Negara-
negara maju. Di sana, barang-barang dijual dalam dua versi. Versi murah di ‘basement’
dan versi ‘mahal’ di lantai lain.

Pusat-pusat kebudayaan juga tidak dikembangkan dengan serius. Taman-taman budaya


bagai hidup segan mati tak hendak. Perhatian kita terhadap kebudayaan hamper tidak ada.

Dalam pendidikan sama saja. Pengelolaan pendidikan menggunakan prinsip-prisip


korporasi. Semua distandarkan. Mereka yang tidak standar dipangkas.Guru dan siswa
ditempatkan sebagai SDM sekolah saja. Sekolah tidak lagi bagi semua. Tidak heran Eko
Prasetio membuat buku dengan judul “Orang miskin dilarang sekolah”. Ada degrdasi
manusia dalam pendidikan.

Menjelang satu abad kemerdekaan Indonesia, sebaiknya strategi kebudayaan dalam


pembangunan millennium perlu diterapkan. Manusia harus ditempatkan sebagai factor
sentral. Jika itu dilakukan ada harapan 35 tahun lagi kita menjadi manusia yang merdeka
yang sesungguhnya. Semoga!

También podría gustarte