Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Dari Al-Barra` bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara: Beliau
memerintahkan kami agar mengikuti iringan jenazah, mengunjungi orang sakit, menjawab
undangan, menolong orang yang dizhalimi, berbuat baik bagi orang yang bersumpah, menjawab
salam, menjawab orang yang bersin, dan beliau melarang kami memakai bejana yang terbuat
dari perak, cincin emas, kain sutra, kain yang bercampur dengan sutra, al-qissi dan al-istibraq.”
HR Al-Bukhari. (1239), Muslim (2066) dan Ahmad (18034), At Tirmidzi (2809), An-Nasaa'I (1939),
dan perkara yang ke tujuh yang terlarang adalah : "al-mayaasir (judi)" Al-Bukhari tidak
menyebutkannya di dalam hadits ini namun Muslim yang menyebutkan lafazh tersebut.
9. Bertanya Orang Yang Sakit tentang keadaannya Dan Memberi semangat bagi orang yang
sakit terseut :
Termasuk perkara yang baik dalam menjenguk orang sakit adalah bertanya kepada
orang yang sakit tentang keadaannya dan apa yang menimpanya sebagaimana yang ada di
dalam hadits Aisyah radhiallahu anha, dia berkata : ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam datang ke Al-Madinah, sementara Abu Bakar dan Bilal dalam keadaan sakit demam,
maka Aisyah berkata : “ Maka saya pun masuk untuk melihat keadaan mereka berdua, lalu saya
bertanya : “ Wahai ayahku bagaimana keadaanmu, dan wahai Bilal bagaimana keadaanmu….al-
hadits[26].
Dan juga diantara perkara yang baik ketika menjenguk orang sakit adalah
menghilangkan kesusahan di karenakan sakit seperti mengucapkan kepadanya : Laa ba'sa
alaika satasyfi biidznillah (sakit ini tidaklah mengapa atas mu, kamu akan sembuh dengan izin
Allah), atau sesungguhnya penyakit ini bukan penyakit yang berbahaya niscaya Allah akan
memberikan kesehatan kepadamu –insya Allah- . Ucapan semacam ini, selama tidak nampak
padanya tanda-tanda dekatnya ajal. Dan yang demikian itu karena menganggap jauh dari ajal
orang yang sakit, banyak membantu cepatnya proses kesembuhan dari penyakit, dan
pengobatan ini sangat manjur dan sudah dikenal dikalangan manusia.
Faedah : Keluhan orang yang sakit tidak lepas dari dua keadaan : Pertama : Keluhan tersebut
dengan cara menampakkan kecemasan dan keputus asaan, dan ini tidak diragukan adalah
perkara yang makruh karena menunjukkan akan lemahnya iman dan tidak adanya keridhaan
terhadap ketetapan Allah dan takdirnya.
Kedua : Dengan cara mengabarkan tentang keadaan tanpa adanya niatan untuk memohon
kepada para makhluk atau ketergantungan kepada mereka, dan hal ini tidak diragukan tentang
bolehnya dan dalil menguatkan akan bolehnya hal tersebut.
Dari Al-Qasim bin Muhammad dia berkata : "Aisyah berkata : “ Aduh kepalaku, rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “ Yang demikian itu kalau saja terjadi dan saya masih
hidup niscaya saya akan memohonkan ampunan untukmu dan mendoakan kesembuhan
untukmu. Aisyah berkata : “ Demi Allah sungguh saya menyangka engkau menyukai kematianku,
dan kalaulah hal itu terjadi mungkin engkau akan berada di akhir hari engkau dalam keadaan
menjadi pengantin dengan sebagian istri-istri engkau.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata : “ Bahkan saya yang mengaduhkan sakit kepalaku … al-hadits"[27].
Dari Ibnu Mas'ud radhiallahu ‘anhu dia berkata : "Ssaya pernah masuk kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beliau dalam keadaan sakit demam, saya pun menyentuh beliau dengan
tangan saya dan berkata : “ Sesungguhnya engkau mengalami demam yang sangat, beliau
berkata : “ Benar sebagaimana demamnya dua orang dari kalian”.
Abdullah bin Mas'ud berkata : “Apakah anda akan mendapat dua pahala? “ Beliau berkata : “ Iya,
tidak lah seorang muslim yang tertimpa musibah berupa sakit dan musibah lainnya kecuali Allah
akan menggugurkan dosa-dosa kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan daunnya"[28]
11. Doa Apa Saja Yang Diucapkan Di Sisi Orang Yang Sakit :
Sepatutnya bagi orang yang menjenguk orang sakit agar tidak mengucapkan suatu
ucapan kecuali yang baik, karena malaikat mengaminkan atas ucapannya itu. Hal itu telah
dijelaskan di dalam hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, beliau berkata : Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : " Apabila kalian menghadiri orang yang sakit atau mayyit
maka ucapkanlah ucapan yang baik, karena sesungguhnya malaikat mengaminkan atas apa
yang kalian ucapkan “, Ummu Salamah berkata : “ Ketika Abu Salamah meninggal saya
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya berkata : “ Wahai Rasulullah sesungguhnya
Abu Salamah telah meninggal ”. Nabi bersabda : “ Ucapkanlah : Wahai Allah ampunkanlah
bagiku dan baginya, dan balaslah aku dari musibahku dengan balasan yang baik “, Ummu
Salamah berkata : “ Aku berkata : maka Allah membalasku dengan orang yang lebih baik bagiku
daripada Abu Salamah yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam "[30].
Disunnahkan bagi orang yang menjenguk agar mendoakan orang yang sakit dengan
memohon rahmat dan ampunan, dan agar dibersihkan dari dosa-dosa serta keselamatan dan
kesehatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan beberapa doa, sepatutnya bagi
orang yang menjenguk untuk berdoa dengan doa tersebut, karena doa-doa tersebut bersumber
dari al-ma'shum yang telah diberi jawami al-kalim (kalimat yang ringkas lagi penuh hikmah), yang
tidak berucap dari hawa nafsu hanyalah berupa wahyu yang diwahyukan kepadanya, diantara
doa-doa beliau :
a. "Mudah-mudahan tidak apa-apa, mudah-mudahan dapat mensucikan insya Allah".
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma : "bahwasanya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammasuk ke
rumah salah seorang arab badui dalam rangka menjenguknya. Ibnu Abbas berkata : “ Apabila
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah orang yang sakit untuk menjenguknya
beliau berkata : " Mudah-mudahan tidak apa-apa, mudah-mudahan dapat mensucikan dari dosa
insya Allah".
Maka Nabi berkata kepadanya : “ Mudah-mudah tidak apa-apa, mudah-mudahan dapat
mensucikan dari dosa insya Allah. Arab badui itu berkata : “ Engkau mengatakan dapat
mensucikan? Sekali-kali tidak, bahkan dia adalah demam yang ditakuti – atau yang bergejolak –
atas orang tua renta , dan membuatnya diusung kekubur.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Alangkah baiknya jikalau begitu"[31].
Ucapan beliau : "Mudah-mudahan tidak mengapa " yaitu bahwa sakit itu dapat menggugurkan
dosa kesalahan, maka apabila mendapat kesehatan maka seseorang telah mendapat dua
faedah. Dan kalau saja tidak maka dia mendapat pahala pengguguran dosa.
Dan perkataan beliau : "Mudah-mudahan dapat mensucikan dosa" kedudukannya sebagai
khabar dari mubtada' mahdzuuf. Yaitu sakit yang mensucikan bagimu dari dosa-dosamu yaitu
sebagai pensuci, sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar[32].
Ada beberapa faedah yang terkandung di dalam hadits ini yaitu bahwa seyogyanya bagi orang
yang sakit agar menerima doa kebaikan orang lain untuknya, dan jangan sampai menggerutu
dari doa kebaikan untuk mensucikan dari mereka untuknya dengan doa pensucian dari dosa-
dosanya sebagaimana keadaan Arab badui tadi yang ada di dalam hadits.
b. "Ya Allah Sembuhkanlah ….Fulan" Sekali – Atau Tiga Kali.
Doa ini terdapat di dalam hadits Sa'ad bin Abi Waqqash, ketika Rasulullah menjenguknya ketika
dia dalam keadaan sakit, dan dalam hadits tersebut : " Kemudian Nabi meletakkan tangannya di
atas kening beliau kemudian mengusap tangannya di atas wajah dan perutku kemudian berkata :
“ Ya Allah sembuhkanlah Sa'ad ..." Dan dalam riwayat Muslim : " Ya Allah sembuhkanlah Sa'ad
Ya Allah sembuhkanlah Sa'ad sampai tiga kali"[33].
Ibnul Jauzi berkata : “ Pada sabda beliau : "Ya Allah sembuhkanlah Sa'ad" merupakan dalil atas
disunnahkannya mendoakan kesehatan/kesembuhan untuk orang yang sakit[34].
c. "Saya Memohon Kepada Allah Yang Maha Agung Penguasa Arsy Yang Agung Agar Berkenan
Menyembuhkanmu" Sebanyak Tujuh Kali.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: "
Barang siapa yang menjenguk orang yang sakit yang ajalnya belum hadir dan mengucapkan di
sisinya sebanyak tujuh kali : “ Saya memohon kepada Allah yang maha agung penguasa Arsy
yang agung agar berkenan menyembuhkanmu. Niscaya Allah akan memberinya kesembuhan
dari penyakit tersebut"[35].
d. "Ya Allah Sembuhkanlah Hambamu Yang Membunuh Musuh UntukMu Dan Senantiasa
Berjalan Menuju Shalat [dalam riwayat yang lain : Berjalan Menuju Jenazah Yang Hendak
Dikubur]"
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "
Apabila seseorang datang menjenguk orang yang sakit hendaknya dia mengucapkan : Ya Allah
sembuhkanlah hambamu yang membunuh musuh untukMu dan senantiasa berjalan menuju
shalat " Dalam riwayat Abu Daud : " atau yang berjalan kepadamu menuju jenazah yang akan
dikubur"[36].
14. Mentalqin (menuntun) Orang Yang Sakit Mengucapkan Syahadat Apabila Ajal Menjemputnya
Dan Menutupkan Kedua Matanya Serta Mendoakan Kebaikan baginya Apabila Telah Mati :
Ketika ajal orang yang sakit semakin dekat dan tanda-tanda kematian telah nampak atasnya,
maka disunnahkan bagi orang yang menjenguknya untuk mengingatkan bagi orang yang sakit
akan rahmat Allah luas dan agar jangan dia putus asa dari rahmat tersebut, berdasarkan hadits
Jabir radhiallahu ‘anhu dia berkata : “Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiga
hari sebelum kematiannya beliau berkata : " Janganlah salah seorang dari kalian mati kecuali dia
berbaik sangka kepada Allah Azza wa Jalla"[47].
Para Ulama berpendapat : Makna berbaik sangka kepada Allah -Ta'ala- : Seseorang menyangka
bahwa Allah akan merahmatinya dan memaafkannya, An-Nawawi yang mengucapkanya[48].
Dan juga disunnahkan baginya untuk menalqin (menuntun) untuk mengucapkan syahadat
dengan lemah lembut. Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu dia berkata : Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : " Talqinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan mati
diantara kalian kalimat Laa ilaaha illallaah"[49].
An-Nawawi berkata : “ Perintah mentalqin (menuntun) ini adalah perintah yang bersifat sunnah,
dan para ulama telah sepakat akan disyariatkannya talqin ini dan mereka memakruhkan kalau
terlalu sering dilakukan kepada orang yang sakit dan terus menerus agar jangan sampai berkeluh
kesah dengan keadaannya yang tertekan dan beratnya penderitaannya sehingga dia
membencinya di dalam hati dan mengucapkan ucapan yang tidak layak.
Para ulama berpendapat : “ Apabila orang yang sakit telah mengucapkannya sekali, jangan
dipaksa untuk mengulanginya kecuali kalau dia mengucapkan perkataan yang lain setelahnya
maka dia diminta untuk mengulanginya lagi agar syahadat tersebut menjadi akhir dari
perkataannya[50].
Dan apabila orang yang sakit itu mati maka disunnahkan bagi orang yang menghadiri
kematiannya untuk memejamkan kedua matanya dan mendoakan kebaikan untuknya,
berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha dia berkata : “ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam masuk kepada Abu Salamah dan pandangannya telah menatap keatas, maka beliau
memejamkannya, kemudian bersabda : " Sesungguhnya ruh apabila telah digenggam
pandangan mata akan mengikutinya".
Orang-orang dari keluarganya pun histeris, maka beliau bersabda : " Janganlah kalian
mendoakan kejelekan atas diri-diri kalian kecuali dengan doa yang baik. Sesungguhnya malaikat
mengaminkan atas apa yang kalian katakan" Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : " Ya Allah berilah ampunan kepada Abu Salamah, angkatlah derajatnya bersama
orang-orang yang mendapat hidayah, dan gantikanlah pada anak keturunannya bersama orang-
orang yang masih tersisa, berikanlah ampunan kepada kami dan kepadanya wahai Rabb
semesta alam, lapangkanlah baginya di dalam kuburnya, dan berikanlah baginya cahaya di
dalamnya"[51].
[1] Al-Baghawi berkata tentang penjelasan hadits ini : perkataan Nabi "di dalam khiraaful Jannah
dan didiriwayatkan dalam riwayat lainnya (di dalam makhaariful jannah) dan [khurfatul Jannah),
dan kata ini adalah bentuk jamak dari mikhraf, Al-Asma'iy berkata : dia adalah kebun kurma,
dinamakan demikian dikarenakan yang demikian itu selama terjadi musim rontok, yaitu :
menutupi….Ibnu Al-Anbari berkata : yang dimaksudkan yaitu memetik buah-buahan kebun,
diantara penggunaannya di dalam kalimat yaitu : pohon kurma merontokkan kurma-kurmanya,
maka nabi memisalkan apa yang orang yang mengunjungi orang sakit dapatkan dari pahala
dengan apa yang pohon kurma dapatkan dari hasil buahnya. (Syarhus Sunnah 5/216).
[2] HR. Muslim (2578), Ahmad (21868) dan At-Tirmidzi (967).
[3] HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrod (522), dan hadits ini termasuk diantara
balaqhaatnya Imam Malik (bab mengunjungi orang sakit dan orang yang terkena musibah) Ibnu
Abdil Baar berkata tentang hadits ini : "hadits ini hadits Madani yang shahih". (At-Tamhid 24/273).
Dan hadits ini Al-Albani menshahihkannya di dalam shahih Al-Adab Al-Mufrad.
[4] HR. Ibnu Abdil Baar dengan sanadnya yang sampai kepada Jabir bin Abdullah radhiallahu
anhuma. (At-Tamhid 24/263).
[5] HR. Muslim (2569) dan lafazh hadits ini miliknya, dan Ahmad (8989).
[6]HR. Ahmad (756), Abu Daud (3098), Ibnu Majah (1442) dan hadits ini sesuai lafazh darinya,
dan Al-Albani berkata : "shahih" : (1191).
[7] Kasyful Musykil Min Hadits As-Shahihain. no. (710), (2/236) dengan perubahan seperlunya.
[8] HR. Al-Bukhari (5655), Muslim (923) Ahmad (21269) An-Nasaa'I (1868) dan Abu Daud (3125).
[9] HR. Al-Bukhari (5654) dan beliau memberikannya bab : bab kunjungan wanita kepada laki-laki
yang sakit, dan Ummu Ad-Darda' mengunjungi seorang laki-laki yang sakit dari kalangan sahabat
yang tinggal di masjid dari kalangan Al-Anshar. dan Muslim meriwayatkan hadits ini juga (1376)
tanpa menyebutkan kunjungan Aisyah radhiallahu anha kepada keduanya (Abu Bakar dan Bilal).
Dan Ahmad (23839), dan Malik (1648).
[10] HR. Malik di dalam Al-Muwaththa' (531) dan Ibnu Abdil Bar berkata : tidak ada perselisihan
atas Malik di dalam kitab Al-Muwaththa' tentang dimursalkannya hadits ini………dan hadits ini
adalah hadits yang musnad yang bersambung dan shahih dari selain hadits Malik. (At-Tamhid
6/254).
[11] Di dalam Al-Lisan : ….kata tajaalat yaitu Asnat dan kaburat (telah dewasa), dan di dalam
hadits Ummu Shabiyyah : kami dahulu di dalam masjid adalah wanita-wanita yang tajaalalna
yaitu telah dewasa, dan dikatakan : jallat fa hiya Jalilah (wanita itu besar maka dia adalah jalilah)
dan tajallat fa hiya mutajallah (wanita itu telah dewasa maka dia adalah mutajallah). (11/116) dan
materi kata tersebut : ج ل ل
[12] At-Tamhid (6/255).
[13] HR. Al-Bukhari (5651), Muslim (1616), Ahmad (13886), At-Tirmidzi (2098), An-Nasaa'i (138),
Abu Daud (2886), Ibnu Majah (2728) dan Ad-Darimi (733).
[14] Fathul Baari : (10/119). Dan Ibnul Munir berkata : di dalam hadits jabir tidak ada keterangan
yang sharih (jelas) bahwa keduanya telah mengetahui Jabir pingsan sebelum dijenguk, maka
bisa saja pingsannya Jabir bertepatan dengan kehadiran keduanya. [namun Ibnu Hajar
membantah hal tersebut dan mengatakan : ] saya katakan : bahkan yang zhahir dari konteks
yang ada terjadinya hal tersebut ketika datangnya keduanya dan sebelum masuknya keduanya
kepadanya, dan sekedar mengetahui keadaan orang yang sakit dengan
menjenguknya………..dst. (10/118-119).
[15] Catatan : Di sebagian negeri arab timbul pemikiran untuk mematikan orang yang sakit yang
mati akalnya, yang demikian itu dengan jalan memberikan suntikan yang mematikannya, dan
mereka berhujjah bahwa orang yang sakit ini menurut undang-undang kedokteran adalah mayat
tidak ada kemungkinan untuk hidup, dan hanya masalah waktu saja, dan kami memberikan
suntikan ini untuk menenangkannya dari sakit yang mungkin dia dapatkan ketika hidupnya.
Maka dikatakan kepada mereka : kalian dengan cara seperti ini dan dengan metode seperti ini
tidak meringankannya bahkan kalian menghalanginya dan menghalangi selainnya, karena
tetapnya dia di atas garis kehidupan dan dia dalam keadaan seperti itu, akan menjadikannya
berfikir akan kesalahan-kesalahannya, dan mengangkat derajatnya apabila dia bagian dari ahlu
iman dan ahlu ihsan. Dalam hadits Ibnu Mas'ud radhiallahu ‘anhu dia berkata : Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda : "tidaklah ada dari seorang muslim yang menderita sakit maka
tidaklah ada dari selain sakit itu kecuali Allah akan menggugurkan kesalahan-kesalahannya
sebagaimana pohon menggugurkan daunnya" HR. Al-Bukhari (5667) dan selainnya.
Dan tetapnya dia di atas garis kehidupan memungkinkan dia mendapatkan doa yang baik, dan
Allah Azza wa Jalla mengabulkannya, maka dia pun sembuh dari sakitnya itu –dan Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu - , ataukah dosa-dosanya diampuni berkat doa-doa kaum
muslimin kepadanya, dan tetapnya dia di atas garis kehidupan merupakan renungan akan
kesalahan-kesalahan keluarganya yang menangung kesedihan dan kemalangan. Dari Abu
Hurairah dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambeliau bersabda : "tidaklah seorang muslim yang
tertimpa keletihan, tidak pula penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan tidak pula
kemurungan sekalipun duri yang menusuknya kecuali Allah akan menggugurkan dengannya dari
kesalahan-kesalahannya" HR. Al-Bukhari (5642) dan selainnya.
Dan tetapnya dia di atas garis kehidupan adanya kebaikan yang terus menerus dan tidak akan
terputus lebih khusus lagi apabila yang sakit itu adalah seorang ayah atau seorang ibu. Dan
tetapnya dia di atas garis kehidupan akan memperbanyak pahala dengan menjenguk orang sakit
dan menziarahinya, maka disebabkan adanya makna-makna yang bermanfaat ini yang telah
kami sebutkan dan selain dari makna-makna tersebut maka kita mengetahui akan kekejian
perkataan orang yang mengatakan : tidak ada faedah mengaharap-harap tetapnya orang yang
mati kesadarannya dalam keadaan hidup dan bahwa kematian itu lebih baik untuknya. Wallahu
a'lam.
[16] Lihat At-Tamhid (24/276).
[17] HR. Al-Bukhari (5657), Ahmad (12381) dan Abu Daud (3095).
[18] HR. Al-Bukhari (6681), Muslim (24), Ahmad (23162), dan An-Nasaa'i (2035).
[19] Al-Adab Asy-Syar'iyah (2/190).
[20] Al-Adab Asy-Syar'iyah (2/189). Akan tetapi kalau kebiasaan manusia berziarah di waktu
zhuhur maka hal itu tidaklah makruh.
[21] At-Tamhid karya Ibnu Abdil Bar (24/277) bersamaan dengan mendahulukan dan
mengakhirkan teksnya.
[22] Al-Bukhari (463).
Takhrij haditsnya telah berlalu.
[23] HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adabul Mufrod (536) dan Al-Albani menshahihkannya dengan no.
hadits (416).
[24] HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adabul Mufrod (537) dan Al-Albani berkata : "sanadnya shahih "
(417).
[25]
[26] Takhrij haditsnya telah berlalu.
[27] HR. Al-Bukhari (5666) Ahmad meriwayatkanya dari jalan Abdullah bin Abdullah bin Utbah
(2538) Ibnu Majah (1465) dan Ad-Darimi (80).
[28] HR. Al-Bukhari (5667) Muslim (25 71), Ahmad (3611) dan Ad-Darimi (2771).
[29] HR. Al-Bukhari (1304) dan Muslim (924).
[30] HR. Muslim (919), Muslim (25958), At-Tirmidzi (977) An-Nasaa'I (1825) dan Ibnu Majah
(1447).
[31] HR. Al-Bukhari (3616).
[32] Fathul Baari (10/124).
[33] HR. Al-Bukhari (5659), Muslim (1628) dan Ahmad (1443), dan At-Tirmidzi (2116), An-Nasaa'i
(3616), Malik (1495) Ad-Darimi (3196) tanpa menyebutkan doa.
[34] Kasyful Musykil min hadits As-Shahihain (1/233) nomer (164).
[35] HR. Ahmad (2138), At-Tirmidzi (2083) dan Abu Daud (3106) dan lafazh ini dari beliau, dan
Al-Albani menshahihkannya.
[36] HR. Ahmad (6564) dan lafazh hadits darinya, dan Abu Daud (3107) dan Al-Albani
menshahihkannya.
[37] Fathul Baari (10/126).
[38] Ibnu Hajar berkata di dalam Al-Fath (10/126) : Abu Ya'la mengeluarkannya dengan sanad
yang hasan.
[39] An-Nafats : lebih sedikit daripada At-Tafl, karena At-Tafl terjadi ada kecuali ada bersamanya
sesuatu dari ludah, dan An-Nafats : sesuatu yang menyerupai An-Nafakh. Beliau mengatakannya
di dalam lisanul arab (2/195) Bahasan : ن ف ث
[40] Al-Hafizh berkata : yang dimaksudkan dengan Al-Mu'awwidzat adalah surat qul a'udzu
birabbil falaq, qul a'udzu birabbin naas, dan menggabungkan entah itu dengan tinjauan bahwa
yang paling sedikit dari bentuk jamak adalah dua, ataukah dengan tinjauan bahwa yang
dimaksudkan dengan kalimat-kalimat yang ada dari kedua surat tersebut, dan adanya
kemungkinan bahwa yang dimaksudkan dengan Al-Mu'awwidzat adalah kedua surat ini bersama
dengan surat Al-Ikhlash dan yang demikian itu dimaksudkan secara muthlaq menurut kebiasaan,
dan ini yang dijadikan sandaran. Fathul Bari (7/738).
[41] HR. Al-Bukhari (5748), Muslim (2192) dan lafazh hadits ini ada pada periwayatan beliau,
Ahmad (23207), Abu Daud (3902), Ibnu Majah (3529) dan Malik (1755).
[42] HR. Al-Bukhari (2276), Muslim (2201) dan lafazh ini sesuai lafazh riwayat beliau, Ahmad
(10686), Abu Daud (3418) dan Ibnu Majah (2156).
[43] HR. Al-Bukhari (5675), Muslim (2191), Ahmad (24317) dan Ibnu Majah (3520).
[44] HR. Muslim (2186), Ahmad (11140), At-Tirmidzi (972) dan Ibnu Majah (3523).
[45] HR. Al-Bukhari (5745), Muslim (2194), Ahmad (24096), Abu Daud (3895) dan Ibnu Majah
(3521).
[46] Syarah Shahih Muslim jilid ke tujuh (14/151).
[47] HR. Muslim (2877), Ahmad (13711), Abu Daud (3113) dan Ibnu Majah (4167).
[48] Syarah Muslim karya An-Nawawi jilid ke sembilan (17/176).
[49] HR. Muslim (916), Ahmad (10610) At-Tirmidzi (976), An-Nasaa'i (1826) Abu Daud (3117)
dan Ibnu Majah (1445).
[50] Syarah shahih Muslim jilid ke tiga (6/183).
[51] HR. Muslim (920) dan lafazh hadits ini ada padanya, dan Ahmad (26003), Ibnu Majah (3118)
dan Ibnu Majah (1454).
Adab Berkunjung/Mengunjungi Orang Sakit - Tata Cara yang Baik Menjenguk Orang Sakit di
Rumah, Rumah Sakit, Dsb - Tips Umum
Tue, 15/08/2006 - 1:05pm — godam64
Berikut ini akan dibahas mengenai tata cara dan adab yang baik dalam menjenguk orang yang
sedang sakit baik di rumah maupun di rumah sakit. Pada umumnya orang yang sakit akan
memiliki suatu perubahan sikap dari keadaan normalnya. Sikap yang berubah itu bisa
bermacam-macam, bisa menjadi lebih sensitif, mudah marah, acuh tak acuh, menjadi lebih
sopan, dan lain sebagainya.
Selain itu mungkin di sekitar orang yang sakit terdapat orang lain seperti orang tua, saudara,
teman, kekasih, tetangga, tamu dan lain sebagainya baik yang sudah kita kenal maupun yang
belum dikenal. Oleh sebab itu kita sebaiknya menjaga sikap dan sopan santun selama
berkunjung ke orang yang sedang sakit tersebut agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan.
Apabila orang yang kita kunjungi sedang sekarat dan seorang muslim maka ada baiknya kita
bantu mengingatkan untuk mengucapkan dua kalimah syahadat "laa ilaaha illalaah".