Está en la página 1de 2

PERINGATAN HARI KESEHATAN JIWA SE DUNIA

Tema peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia ini adalah “Kesehatan jiwa dan
penyakit kronis: kebutuhan layanan sinambung dan terintegrasi.” Dengan tujuan untuk
mengurangi gangguan kesehatan jiwa, memperluas pelayanan yang memadai, dan
meningkatkan upaya perbaikan kesehatan jiwa secara optimal bagi penduduk dunia.

Seseorang dengan penyakit fisik terutama kronis seperti hipertensi, diabetes, kanker,
penyakit pada saluran nafas, nyeri kronis, dan epilepsi diduga juga menderita secara kejiwaan. Penyakit ini,
umumnya memerlukan pengobatan dalam jangka waktu panjang, menyebabkan penurunan daya tahan
seseorang dan putus asa karena menghadapi ketidakpastian kesembuhannya. Penderita penyakit ini
seringkali juga mengalami putus obat yang berakibat kekambuhan, perburukan, dan akhirnya menurunkan
kualitas hidup, bahkan mempercepat kematian.
Hal itu disampaikan oleh Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH dalam acara
Jalan Sehat Memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di Lapangan Monas Barat Daya, Minggu 10
Oktober 2010.

Menurut Menkes, masalah kejiwaan yang terkait MDGs adalah masalah kesehatan ibu. Ibu hamil sering
mengalami perubahan emosi yang diikuti pula dengan perubahan tingkah laku. Ciri-ciri yang ditimbulkan
adalah sang ibu menjadi sensitif, kurang memperhatikan keadaan diri sendiri, dan enggan untuk
memeriksakan kesehatan dan kehamilannya. Atau ada keadaan lain sehingga ibu menjadi cemas terhadap
persalinannya kelak yang membuat ibu menjadi sulit tidur, gelisah, dan tidak dapat menjaga kebutuhan
makan. Padahal, keadaan ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak, sehingga
kualitas anak tidak seperti yang diharapkan.

Ditambahkan, penderita penyakit kronis dan lain sebagainya serta ibu hamil, tidak hanya memerlukan obat
untuk pengobatan penyakit yang dideritanya, namun juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang dalam
perawatan serta sangat mungkin juga memerlukan terapi kejiwaan yang lebih spesifik ataupun obat-obat
untuk memperbaiki emosi dan perasaan yang negatif, kata Menkes
Masalah kejiwaan lain yang menjadi perhatian Kementerian Kesehatan adalah peristiwa bunuh diri. WHO
mencatat angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6-1,8 tiap 100.000 penduduk dengan kecenderungan
terjadi pada usia muda. Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian Kesehatan akan mengembangkan
layanan konsultasi melalui telepon (hot-line service) dengan nomor 021-500454 yang sudah bisa
dimanfaatkan sejak peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tanggal 10 Oktober 2010.
Lewat kegiatan peringatan Hari Kesehatan Jiwa se Dunia ini diharapkan dapat menyadarkan masyarakat,
bahwa orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) bila ditangani dengan baik dan diberi kesempatan akan
mampu hidup normal dan produktif di tengah masyarakat.

Menkes berharap peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun ini, dapat digunakan untuk melakukan
introspeksi dan melihat permasalahan kesehatan jiwa mendasar di Indonesia. Diantaranya masih banyaknya
ODMK yang dipasung atau yang terbengkalai serta yang menggelandang di jalan-jalan.
Beberapa waktu terakhir ini sering diberitakan, baik di media cetak maupun elektronik nasional dan asing
tentang orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) dipasung oleh keluarganya.
Meski pemasungan dan pengabaian ODMK adalah melanggar HAM, namun menghilangkan kondisi ini
bukanlah hal yang mudah. “Kita harus mengevaluasi diri untuk memperbaiki keadaan ini. Salah satu hal
penting yang harus dijalankan adalah kerjasama antar lintas sektor. Masalah pasung tidak dapat
diselesaikan oleh Kementerian Kesehatan saja. Untuk masalah ini beberapa waktu yang lalu Kementerian
Kesehatan telah membuat kesepakatan antar kementerian dalam penanganan Pasung di Indonesia”, ujar
Menkes.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa menyatakan bahwa pasien dengan
gangguan jiwa yang terlantar harus mendapatkan perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan.
Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15, tertanggal 11 Nopember 1977 yang ditujukan kepada
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan
pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk
menyerahkan perawatan penderita di Rumah Sakit Jiwa. Surat tersebut juga berisi instruksi untuk para
Camat dan Kepala Desa agar secara aktif mengambil prakarsa dan langkah-langkah dalam penanggulangan
pasien yang ada di daerah mereka.
Menkes menambahkan, untuk memenuhi kebutuhan orang dengan masalah kejiwaan yang di pasung dan
terlantar, diperlukan upaya yang komprehensif dari segala aspek: kesehatan, ekonomi, dan sosial. Upaya
tersebut dikenal dengan program ”Menuju Indonesia Bebas Pasung”. Upaya ini mengatur tentang peran
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.

Lebih lanjut Menkes mengatakan, pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat, termasuk
pembiayaan pengobatan dan perawatan gangguan jiwa untuk masyarakat miskin. Pemerintah dan
pemerintah daerah bukan hanya menemukan kasus-kasus pasung untuk kemudian melepaskannya, tetapi
juga harus memberikan edukasi pada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan.

Puskesmas diberdayakan sehingga mampu menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan jiwa serta juga
harus menyediakan pengobatan yang diperlukan. Rumah Sakit Umum harus menyediakan tempat tidur
sehingga bisa merawat ODMK yang memerlukan perawatan. Rumah Sakit Jiwa selain sebagai pusat rujukan
juga harus mampu menjadi pusat pembinaan kesehatan jiwa bagi layanan kesehatan di wilayahnya, ujar
Menkes.

”Peran serta masyarakat diharapkan mampu mengenali kasus-kasus gangguan jiwa di masyarakat,
menghindari pemasungan dan mendorong anggota masyarakat untuk berobat dan melakukan kontrol”, kata
Menkes.

Menurut Menkes, ODMK terutama yang berat dan kronis seperti skizofrenia dan gangguan bipolar adalah
termasuk kelompok yang rentan mengalami pengabaian hak-haknya.

Menurut WHO, gangguan jiwa mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku, kemampuan untuk melindungi
kepentingan dirinya, kemampuan mengambil keputusan. Seseorang dengan gangguan jiwa berhadapan
dengan stigma, diskriminasi dan marginalisasi. Stigma menyebabkan mereka tidak mencari pengobatan
yang sangat mereka butuhkan, atau mereka akan mendapatkan pelayanan yang bermutu rendah.
Marginalisasi dan diskriminasi juga meningkatkan risiko kekerasan pada hak-hak individu, hak politik,
ekonomi, sosial dan budaya.

También podría gustarte