Está en la página 1de 12

PERBANDINGAN SPESIFIKASI ASPAL KERAS

ANTARA KELAS PENETRASI DENGAN KELAS


KINERJA

Madi Hermadi

Ringkasan

Terdapat tiga jenis spesifikasi aspal keras yang dapat digunakan sebagai pedoman
dalam menentukan baik-tidaknya mutu aspal yang akan digunakan pada beton aspal
perkerasan jalan. Ketiga spesifikasi tersebut yaitu spesifikasi kelas penetrasi
(Penetration Graded), spesifikasi kelas kekentalan (Viscosity Graded), dan spesifikasi
kelas kinerja (Performance Graded). Di Indonesia digunakan spesifikasi aspal keras
kelas penetrasi. Padahal, sesuai dengan perkembangan teknologi di bidang
perkerasan jalan, spesifikasi terkini adalah spesifikasi aspal keras kelas kinerja. Namun
karena berbagai kendala, termasuk kendala keterbatasan peralatan yang memadai
dari segi kualitas maupun kuantitas untuk melayani pengujian di seluruh wilayah
Indonesia, maka tampaknya belum saatnya bagi negara Indonesia untuk menerapkan
spesifikasi aspal keras kelas kinerja. Untuk mengetahui sampai sejauhmana
pentingnya penggunaan spesifikasi aspal keras kelas kinerja serta sekaligus agar
spesifikasi aspal keras kelas penetrasi dan spesifikasi aspal keras kelas kinerja dapat
lebih dipahami, maka pada tulisan ini akan disajikan hasil kajian perbandingan kedua
spesifikasi tersebut. Ternyata baik spesifikasi aspal keras kelas penetrasi maupun
spesifikasi aspal keras kelas kinerja, kedua-duanya memiliki keunggulan dan
kekurangannya masing-masing.

Summary

There are three kinds of bitumen specification that can be used in determining the
quality of bitumen for road pavement. I.e. Penetration Graded, Viscosity Graded and
Performance Graded specifications. Indonesia uses penetration graded specification.
Whereas, based on development of technology of road pavement, the newest finding
is performance graded specification. In Indonesia it hasn't been used performance
graded specification because there are many problems, consisting of limited equipment
in quantity and quality to overcome bitumen testing in all Indonesia area. To know the
importance using performance graded specification and to understand penetration
graded specification and performance specification, this paper explains the results of
investigation of comparing both of them. In fact, they have advantages and
disadvantages.

I. Pendahuluan

Pada perkerasan jalan beton aspal, baik-tidaknya kualitas aspal yang digunakan dapat
mempengaruhi baik-tidaknya kualitas perkerasan tersebut. Untuk mengetahui baik-
tidaknya kualitas aspal, biasanya aspal harus memiliki sifat-sifat yang memenuhi
spesifikasi tertentu. Pada beton aspal campuran panas, aspal yang digunakan adalah
aspal keras yang, untuk menjamin kesesuaian kualitasnya dengan yang diharapkan,
harus memenuhi spesifikasi aspal keras untuk perkerasan jalan yang berlaku.

Selama ini ada tiga jenis spesifikasi aspal keras yang dapat digunakan sebagai acuan

1
dalam mengontrol baik-tidaknya kualitas aspal keras yang akan digunakan. Ketiga
spesifikasi aspal keras tersebut yaitu 1) spesifikasi aspal keras berdasarkan kelas
penetrasi (Penetration Graded), 2) spesifikasi aspal keras berdasarkan kelas
kekentalan (Viscosity Graded) dan 3) spesifikasi aspal keras berdasarkan kelas kinerja
(Performance Graded). Perbedaan mendasar dari ketiga spesifikasi tersebut yaitu
spesifikasi aspal keras kelas penetrasi dan kelas kekentalan menggunakan
pendekatan empiris, sedangkan spesifikasi aspal keras kelas kinerja menggunakan
pendekatan mekanis.

Saat ini, spesifikasi aspal keras kelas kinerja dianggap sebagai spesifikasi yang lebih
memadai dibanding spesifikasi aspal keras kelas penetrasi dan kelas kekentalan.
Sebagai contoh, pada spesifikasi kelas penetrasi dan kelas kekentalan tidak terdapat
batasan yang mengakomodir karakteristik iklim di lapangan tempat aspal digunakan.
Sehingga seolah-olah tidak ada perbedaan antara aspal yang digunakan di daerah
yang beriklim tropis dengan aspal yang digunakan di daerah yang beriklim bukan
tropis. Padahal pengaruh iklim terhadap aspal, khususnya temperatur udara, sangat
besar. Hal ini berbeda dengan spesifikasi berdasarkan kelas kinerja. Pada spesifikasi
kelas kinerja, aspal dibedakan justru berdasarkan temperatur maksimum rata-rata dan
temperatur minimum rata-rata perkerasan di lapangan tempat aspal akan digunakan.
Temperatur minimum dan maksimum perkerasan di lapangan ini dapat dihitung juga
berdasarkan temperatur minimum dan maksimum udara setempat. Dengan demikian
maka akan berbeda antara aspal yang akan digunakan di daerah yang beriklim tropis
dengan aspal yang akan digunakan di daerah yang beriklim bukan tropis.

Di Indonesia, sampai saat ini masih digunakan spesifikasi aspal keras kelas penetrasi.
Padahal, sesuai dengan perkembangan teknologi terkakhir di bidang perkerasan jalan,
sebaiknya sudah dimulai mengaplikasikan spesifikasi aspal kelas kinerja. Namun
karena berbagai kendala, di antaranya kendala keterbatasan peralatan yang memadai
dari segi kualitas maupun kuantitas untuk melayani seluruh wilayah Indonesia, maka
tampaknya belum saatnya bagi negara Indonesia untuk menerapkan spesifikasi aspal
keras kelas kinerja tersebut.

Pada tulisan ini, akan disampaikan hasil kajian mengenai spesifikasi aspal keras kelas
penetrasi dan spesifikasi aspal keras kelas kinerja serta perbandingan kedua
spesifikasi tersebut. Maksud dari kajian ini adalah agar dapat lebih dipahami
keunggulan dan kekurangan masing-masing spesifikasi tersebut, khususnya dalam
menjawab tantangan permasalahan perkerasan jalan saat ini. Selain itu diharapkan
akan diperoleh pula masukan apa yang dapat diambil dari spesifikasi aspal keras kelas
kinerja untuk merevisi spesifikasi aspal keras kelas penetrasi atau sebaliknya, masukan
apa dari spesifikasi aspal keras kelas penetrasi jika akan diterapkan spesifikasi aspal
keras kelas kinerja.

II. Karakteristik Aspal yang Diinginkan

Fungsi aspal dalam perkerasan beraspal adalah sebagai bahan pengikat (binder) agar
agregat dalam campuran tidak lepas akibat lalulintas. Selain itu aspal juga berfungsi
sebagai lapis kedap yang melindungi agregat dan material lain dalam campuran atau
bagian yang berada di bawah lapisan campuran beraspal tersebut dari pengaruh air.
Hal lainnya yang juga penting adalah aspal harus aman saat pelaksanaan dan mudah
untuk dikerjakan (workability). Agar aspal dapat berfungsi seperti yang diharapkan
maka aspal pada prinsipnya harus memiliki sifat sebagai berikut:
 Aspal memiliki daya lekat yang cukup kuat sehingga dapat melapisi agregat
dengan baik.

2
 Aspal harus elastis sehingga perkerasan tidak mudah retak.
 Aspal harus tahan atau tidak mudah berubah bentuk pada suhu panas di lapangan
sehingga perkerasan tidak mudah mengalami deformasi plastis/alur.
 Aspal tidak rapuh atau lapuk sampai akhir masa pelayanan di lapangan.
 Aspal mudah dikerjakan,
 Aspal aman saat pengerjaan,

Berdasarkan karakteristik aspal yang diinginkan tersebut, maka muncul jenis-jenis


pengujian aspal beserta kriteria-kriterianya yang tertuang dalam spesifikasi aspal
keras.

III. Spesifikasi Aspal Keras Kelas Penetrasi

Spesifikasi aspal keras kelas penetrasi disusun berdasarkan pendekatan empiris. Pada
spesifikasi ini, jenis aspal dibagi-bagi berdasarkan nilai penetrasinya seperti misalnya
pada AASHTO M 20 terdapat Aspal pen 40-50, Aspal pen 60-70, Aspal pen 85-100,
Aspal pen 120-150 dan Aspal pen 200-300. Makin tinggi nilai penetrasi maka makin
lunak aspal tersebut. Adanya beberapa jenis aspal kelas penetrasi untuk perkerasan
jalan ini pada prinsipnya adalah sebagai alternatif pilihan agar jenis aspal kelas
penetrasi dapat diambil yang sesuai dengan kondisi dilapangan. Namun sampai sejauh
ini tidak ada petunjuk atau kriteria mengenai pemilihan jenis aspal kelas penetrasi ini,
khususnya yang mengakomodir kondisi iklim di lapangan. Akibatnya dapat terjadi dua
derah dengan kondisi iklim yang relatif sama tetapi ternyata menggunakan aspal keras
dengan kelas penetrasi yang berbeda. Sebagai contoh, Indonesia dan Malaysia sama-
sama termasuk ke dalam daerah tropis, tetapi untuk perkerasan jalan Indonesia
umumnya menggunakan aspal pen 60 sedangkan Malaysia umumnya menggunakan
aspal pen 80.

Penetrasi adalah suatu besaran yang menggambarkan konsistensi aspal. Penentuan


nilai penetrasi pada prinsipnya dilakukan dengan cara melepas jarum penetrasi yang
tegak lurus dan berada tepat di permukaan aspal selama lima detik sehingga jarum
masuk ke dalam aspal. Jarum penetrasi yang digunakan harus memiliki ketajaman
tertentu dan memiliki berat tertentu (100 gram). Sedangkan aspal yang diuji harus
dikondisikan sedemikian rupa sehingga memiliki temperatur 25 oC. Kedalaman
masuknya jarum ke dalam aspal dalam satuan dmm (0,1 mm) inilah yang disebut nilai
penetrasi aspal. Dengan demikian, makin tinggi nilai penetrasi maka makin dalam
masuknnya jarum penetrasi ke dalam aspal dan berarti aspal makin lunak.

Selain nilai penetrasi, jenis-jenis pengujian lainnya yang terdapat pada spesifikasi
aspal keras kelas penetrasi beserta persyaratannya yang berlaku di Indonesia
tercantum pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Spesifikasi Aspal Keras Kelas Penetrasi ( SNI-1737-1989-F)


Aspal Pen 40 Aspal pen 60 Aspal pen 80
No. Jenis Pengujian Satuan
Min. Mak. Min. Mak. Min. Mak.
1. Penetrasi pada 25 oC, 100 g, 5 det. 40 59 60 79 80 99 0,1 mm
2. Titik lembek 51 63 48 58 46 54 o
C
3. Titik nyala (COC) 200 - 200 - 225 - o
C
4. Daktilitas pada 25 oC, 5cm/menit 75 - 100 - 100 - cm
5. Berat Jenis 1,0 - 1,0 - 1,0 - -
6. Kelarutan dalam C2HCl3 99 - 99 - 99 - %
7. Kehilangan berat (TFOT) - 0,8 - 0,8 - 1,0 %
8. Penetrasi setelah TFOT 58 - 54 - 50 - % asli
9. Daktilitas setelah TFOT - - 50 75
10. Temperatur pencampuran perkiraan - - - - - - o
C
11. Temperatur pemadatan perkiraan - - - - - - o
C

3
12. Kadar parafin - 2 - 2 - 2 %

IV. Spesifikasi Aspal Keras Kelas Kinerja

Berdasarkan spesifikasi aspal keras kelas kinerja, aspal keras diklasifikasikan


berdasarkan temperatur maksimum rata-rata dan temperatur minimum rata-rata
perkerasan jalan di lapangan tempat aspal keras tersebut akan diaplikasikan. Sebagai
contoh, pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja terdapat kelas “PG 64-10”. Ini berarti
aspal keras yang memenuhi persyaratan spesifikasi kelas “PG 64-10” dapat
diaplikasikan pada lokasi perkerasan yang memiliki temperatur maksimum rata-rata
perkerasan 64 oC dan temperatur minimum rata-rata perkerasan -10 oC.

Temperatur maksimum rata-rata dan temperatur minimum rata-rata perkerasan dapat


diketahui berdasarkan pengukuran di lapangan atau dihitung berdasarkan temperatur
maksimum rata-rata dan temperatur minimum rata-rata udara di lokasi perkerasan
tersebut. Perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan yang
diberikan “Asphalt Institute SP-1 Performance Graded Asphalt Binder Specification and
Testing” yaitu masing-masing persamaan sebagai berikut:

T20mm = (Tair – 0.00618 Lat 2 + 0.2289 Lat + 42.2) (0.9545) – 17.78

Where :
T20mm = high pavement design temperature at a depth of 20 mm
Tair = seven-day average high air temperature, oC
Lat = the geographical latitude of the project in degrees.

Tsurf = 0.859 Tair + 1.7

Where :
Tsurf = minimum pavement design temperature in oC,
Tair = minimum air temperature in average year in oC.

Pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja terdapat beberapa persyaratan yaitu
kekentalan untuk kemudahan pengerjaan, DSR (Dynamic Shear Rheometer terhadap
aspal original, aspal setelah TFOT dan aspal setelah PAV) untuk mencegah terjadinya
deformasi permanen dan retak struktur, BBR (Bending Beam Rheometer) dan Direct
Tension Tester untuk mencegah terjadinya retak pada temperatur dingin, dan titik
nyala untuk keamaan dari bahaya kebakaran saat pemanasan.

V. Perbandingan Antara Spesifikasi Aspal Kelas Penetrasi dengan


Spesifikasi Aspal Kelas Kinerja

Perbandingan antara spesifikasi aspal keras kelas penetrasi dengan spesifikasi aspal
keras kelas kinerja secara singkat dapat dilihat pada Tabel 2. Hal-hal yang
dibandingkan pada Tabel 2 meliputi pendekatan yang digunakan, kriteria klasifikasi
aspal, kriteria pemilihan jenis aspal, antisipasi terjadinya kerusakan deformasi/alur
pada perkerasan, keawetan aspal selama pencampuran di AMP hingga penghamparan
campuran, keawetan aspal selama masa pelayanan di lapangan, antisipasi kerusakan
retak struktur pada perkerasan, antisipasi kerusakan temperatur dingin pada

4
perkerasan, kemurnian aspal, keamanan pemanasan aspal, kemudahan pelaksanaan.

Tabel 2 Perbandingan antara Spesifikasi Aspal Kelas Penetrasi dengan


Spesifikasi Aspal Kelas kinerja.
Parameter dalam Spesifikasi Aspal Keras
Karakteristik Aspal
Spesifikasi Kelas Penetrasi Spesifikasi Kelas Kinerja
Pendekatan Empiris Mekanistis
Kriteria klasifikasi aspal Nilai penetrasi Temperatur maksimum dan
minimum rata-rata
perkerasan di lapangan
Kriteria pemilihan jenis aspal Tidak ada petunjuk khusus Berdasarkan temperatur
(biasanya diserahkan pada maksimum dan minimum
pengalaman pemakai) perkerasan di lapangan
Antisipasi terjadinya kerusakan Penetrasi , Titik Lembek DSR-original & DSR-TFOT
deformasi/alur pada perkerasan, original
Keawetan aspal selama TFOT, Pen TFOT TFOT
pencampuran di AMP hingga
penghamparan
Keawetan aspal selama masa - PAV, DSR-PAV
pelayanan di lapangan
Antisipasi kerusakan retak Daktilitas, kadar parafin DSR-PAV
struktur pada perkerasan
Antisipasi kerusakan retak Daktilitas, kadar parafin Creep stiffness, Direct
temperatur dingin pada tension
perkerasan
Kemurnian aspal Kelarutan dalam TCE -
Keamanan pemanasan aspal Titik Nyala Titik Nyala
Kemudahan Perkiraan temperatur Viskositas, Perkiraan
pelaksanaan/Workability pencampuran dan pemadatan temperatur pencampuran
dan pemadatan

5.1 Kriteria Pemilihan Jenis Aspal

Pada spesifikasi aspal keras kelas penetrasi, aspal keras dibagi ke dalam beberapa
kelas berdasarkan nilai penetrasi. Pemilihan kelas penetrasi yang cocok untuk suatu
konstruksi perkerasan di suatu daerah tertentu tidak ada petunjuk yang detail. Dalam
"Introduction to Asphalt MS-5 Asphalt Institute" hanya terdapat tabel yang berjudul
Guide For Uses of Asphalt. Pada tabel tersebut terdapat rekomendasi penggunaan
aspal untuk beberapa tipe konstruksi perkerasan. Namun tidak terdapat kriteria
pemilihan kelas penetrasi yang mengakomodir perbedaan kondisi daerah sehingga
tidak ada kriteria yang jelas antara penggunaan untuk daerah tropis dengan yang
bukan tropis. Hal ini tampaknya masih diserahkan pada pengalaman dan kebijakan
masing-masing pemegang keputusan (pemakai/praktisi/pemerintah). Sebagai contoh,
di Indonesia banyak digunakan aspal pen 60, padahal dengan kondisi lapangan yang
tidak terlalu berbeda, di Malaysia lebih banyak digunaan aspal pen 80.

Berbeda dengan spesifikasi aspal keras kelas penetrasi, pada spesifikasi aspal keras
kelas kinerja sudah terdapat kriteria penggunaan untuk masing-masing kelas kinerja.
Sebagai contoh, untuk di Indonesia yang memiliki temperatur perkerasan maksimum
sekitar 62 oC dan minimum 10 oC dapat menggunakan aspal keras kelas PG 64-10. PG
64-10 artinya aspal dapat digunakan pada perkerasan yang memiliki temperatur

5
maksimum lebih kecil dari 64 oC dan temperatur minimum lebih besar dari -10 oC.
Dengan demikian maka pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja tampak jelas
perbedaan kriteria aspal untuk digunakan di daerah dingin dengan untuk di daerah
panas.

Kendala yang terdapat pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja yaitu batasan
temperatur minimum rata-rata perkerasan tidak ada yang cocok dengan kondisi di
Indonesia. Batasan minimum tersebut paling tinggi -10 oC padahal di Indonesia
umumnya temperatur minimum perkerasan jalan di atas 0 oC. Oleh karena itu, jika akan
diterapkan spesifikasi aspal keras kelas kinerja di Indonesia perlu dilakukan pengkajian
untuk mendapatkan kelas baru yang lebih cocok.

5.2 Antisipasi Kerusakan Deformasi pada Perkerasan

Pada spesifikasi aspal keras kelas penetrasi, kerusakan deformasi dan alur pada beton
aspal perkerasan lentur dicegah dengan membatasi nilai penetrasi, nilai titik lembek aspal
dan Penetration Index atau PI (PI tidak masuk dalam spesifikasi) sesuai kelasnya. Di
Indonesia terdapat tiga kelas penetrasi yaitu pen 40 (penetrasi 40-50), pen 60 (penetrasi
60-79) dan pen 80 (penetrasi 80-100). Hubungan antara nilai penetrasi dengan deformasi
ditunjukkan pada Gambar-1. Dari Gambar-1 tersebut tampak bahwa pada nilai PI yang
sama, makin tinggi nilai penetrasi aspal maka makin tinggi resiko terjadi kerusakan
deformasi pada perkerasan. Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko deformasi biasanya
diambil aspal dengan nilai penetrasi rendah atau dengan menambahkan bahan tambah
(misalnya asbuton) yang dapat menurunkan nilai penetrasi. Namun penurunan nilai
penetrasi untuk mengurangi resiko deformasi ini kontradiksi dengan resiko retak
sehingga kemunkinan terjadinya retak pada perkerasan juga perlu dipertimbangkan.

Temperatur udara (cuaca) di lapangan juga perlu diperhatikan dalam memilih nilai
penetrasi aspal. Makin tinggi temperatur udara akan menyebabkan makin tinggi resiko
deformasi dan makin rendah resiko retak. Dengan demikian maka untuk penggunaan di
daerah panas dapat dipilih aspal dengan nilai penetrasi yang lebih rendah dibanding aspal
untuk digunakan digunakan pada daerah dingin.

 B (pen tinggi)
Resiko deformasi 
 A (pen rendah)
Log
penetrasi


Resiko retak 

15oC 25oC 65oC

Gambar-1. Log penetrasi vs temperatur (Syahdanulirwan, 2004)

Jika aspal dengan nilai penetrasi yang sama memiliki nilai titik lembek yang lebih tinggi,
ini berarti aspal relatif lebih tahan (tidak mudah lembek) pada temperatur tinggi sehingga
resiko deformasi lebih rendah. Nilia titik lembek dapat dinyatakan bersama dengan nilai

6
penetrasi dalam bentuk PI. Pada nilai penetrasi yang sama, makin tinggi nilai titik
lembek maka makin tinggi nilai PI. Dengan demikian maka makin tinggi nilai PI maka
makin kecil resiko deformasi. Mengurangi resiko deformasi dengan menaikan nilai titik
lembek atau PI tidak kontradiksi dengan resiko retak, bahkan resiko retakpun menurun
sebagaimana yang tampak pada Gambar-2, namun kontradiksi dengan kemudahan
pelaksanaan (workability). Persamaan PI dengan nilai penetrasi dan titik lembek adalah
sebagai berikut:
20 - 500A Log 800 - log (pen pada 25oC)
PI = A =
50A + 1
Titik lembek - 25 oC

 D (PI rendah)
Resiko deformasi 

C (PI tinggi)
Log
penetrasi


Resiko retak 

15oC 25oC 65oC

Gambar-2. Log penetrasi vs temperatur (Syahdanulirwan, 2004)

Pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja, kerusakan deformasi pada beton aspal
perkerasan lentur diantisipasi dengan pengujian DSR (G*/sin minimum 1 kPa pada
temperatur tertinggi) terhadap aspal original dan pengujian DSR (G*/sin minimum 2
kPa pada temperatur tertinggi) terhadap aspal residu TFOT. Kerusakan deformasi ini
diantisipasi juga dengan pengujian terhadap campuran beton aspal dengan Wheel
Tracking Machine yang mengukur kecepatan deformasi serta stabilitas dinamis
campuran.

5.3 Keawetan Aspal Selama Pencampuran Hingga Penghamparan

Baik spesifikasi aspal keras kelas penetrasi maupun spesifikasi aspal keras kelas
kinerja, kedua-duanya menggunakan TFOT (Thin Film Oven Test) untuk mensimulasi
pengkondisian aspal selama pencampuran di AMP (Asphalt Mixing Plant/Unit
Pencampur Aspal) hingga selesai penghamparan. Aspal setelah TFOT tidak boleh
berkurang beratnya lebih dari 0,8% pada spesifikasi aspal keras kelas penetrasi dan
1% untuk spesifikasi aspal keras kelas kinerja. Banyaknya berat aspal yang hilang
menunjukkan banyakya fraksi ringan yang dapat menguap selama pencampuran di
AMP hingga penghamparan di lapangan.

Selama pencampuran di AMP hingga selesai penghamparan di lapangan, ada


kemungkinan aspal berubah sifatnya sebagai akibat dari pemanasan. Perubahan sifat
aspal ini tidak boleh melewati batas-batas tertentu. Pada spesifikasi aspal keras kelas
penetrasi, batasan perubahan sifat aspal ini yaitu minimum memiliki nilai penetrasi 54%

7
dari nilai penetrasi aspal sebelum TFOT. Makin tidak berubah (mendekati 100%) nilai
penetrasi setelah TFOT maka aspal dianggap makin baik karena makin awet.
Sedangkan pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja, batasan sifat aspal setelah
TFOT yaitu nilai DSR pada temperatur maksimum design harus berubah dari aspal
aslinya minimum G*/Sin 1 kPa menjadi aspal setelah TFOT minimum G*/Sin 2 kPa.
Ini berarti pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja justru dikehendaki perubahan sifat
aspal menjadi relatif lebih keras setelah TFOT agar aspal tidak menjadi penyebab
terjadinya kerusakan deformasi pada campuran sebagaimana yang dijelaskan pada
butir 4.3 di atas.

Potensi retak tidak dilakukan pengujian terhadap aspal residu TFOT karena sudah
tercakup pada pengujian DSR terhadap Aspal residu PAV. Apabila setelah PAV aspal
masih tahan retak maka sudah dapat dipastikan setelah TFOT juga tahan retak.

5.4 Keawetan Aspal Selama Masa Pelayanan Perkerasan

Aspal yang baik diharapkan akan tetap berfungsi dengan baik sebagai bahan pengikat
selama masa pelayanan perkerasan beton aspal di lapangan. Aspal yang mudah
rusak, misalnya mudah teroksidasi, selama masa pelayanan di lapangan dapat
menyebabkan terjadi kerusakan pada perkerasan beton aspal sebelum masa
pelayanan berakhir.

Pada spesifikasi aspal keras kelas penetrasi, tidak terdapat persyaratan yang
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kerusakan aspal selama masa pelayanan.
Namun di luar spesifikasi, terdapat parameter malten yang memprediksi keawetan
berdasarkan komposisi kimia aspal. Dilihat dari segi komposisi kimianya, berdasarkan
tingkat kereaktifan terhadap asam sulfat (H2SO4), aspal terdiri dari beberapa fraksi yaitu
aspalten (A) dan malten. Aspalten adalah fraksi padat dalam aspal dan tidak reaktif
terhadap H2SO4, sedangkan malten adalah fraksi cair dalam aspal. Malten terdiri dari
beberapa fraksi yaitu nitrogen base (N) yang reaktif dengan H 2SO4 85%, acidafin-1(A1)
yang tidak reaktif dengan H2SO4 85% tapi reaktif dengan H2SO4 pekat, acidafin-2 (A2)
yang tidak reaktif dengan H2SO4 85% dan H2SO4 pekat tapi reaktif dengan H2SO4 + SO3
dan parafin (P) yang tidak reaktif dengan asam sulfat apapun. Dari empat fraksi malten
ini Rostler membuat formula keawetan yang disebut Rostler Indeks Durability (RDR).
RDR ini diharapkan dapat mengindikasikan tingkat keawetan aspal di lapangan.
Formula parameter malten tersebut yaitu "(N+A 1)/(A2+P)" dengan kriteria sebagai
berikut.

Tabel 3. Durability classification of paving asphalts (Rostler, -)


Durability groups (N+A1)/(A2+P) Dyrability rating
0 < 0,4 Decreasing durability with decreasing parameter
value, because of cheesy consistency of asphalts
I 0,4 to 1,0 Superior
II 1,0 to 1,2 Good
III 1,2 to 1,5 Satisfactory
IV 1,5 to 1,7 Fair
V > 1,7 Inferior

Terhadap RDR, Goodrich berpendapat bahwa "The RDR does not consider the
asphalten content and that it has limited correlation with field data" (SHRP,1989).
Alternatif lain, Gotolski membuat formula yang mengakomodir kadar aspalten dan
disebut Gotolski Ratio (GR) dengan formula "(N+A 1+A2)/(P+A)". Dari hasil kajian RDR
dan GR, para ahli ada yang berpendapat bahwa RDR lebih erat hubungannya dengan

8
temperatur susceptibility sedang GR lebih erat hubungannya dengan agging. Namun
pendapat ini dibantah oleh Anderson dan Dukaz yang menyatakan bahwa "There is no
substantiation of the claim that the RDR is more closely associated with temperature
sesceptibility of an asphalt and the GR relates more closely to aging. RDR and GR are
associated with a variable reactivity of asphalts to sulfuric acid and nothing more"
(SHRP, 1989).

Pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja, untuk memprediksi sifat aspal selama masa
pelayanan dilapangan, digunakan pengujian PAV (Pressure Aging Vessel). Pengujian
PAV dianggap dapat mensimulasi kondisi aspal selama 5-10 tahun masa pelayanan di
lapangan. Pengkondisiannya dilakukan dengan cara aspal dikondisikan dulu dengan
TFOT dan kemudian aspal residu TFOT dikondisikan dengan PAV yaitu diberi tekanan
dan temperatur tertentu selama 20 jam.

5.5 Antisipasi Retak pada Perkerasan

Pada spesifikasi aspal keras kelas penetrasi, potensi retak pada perkerasan eton aspal
dapat diindikasikan dengan nilai daktilitas aspal. Selain itu, nilai penetrasi, titik lembek,
PI dan kadar parafin juga dapat mengindikasikan potensi retak.

Seperti tampak pada Gambar-1, aspal dengan nilai penetrasi yang lebih rendah pada
nilai PI yang sama memiliki resiko retak yang lebih tinggi dibanding aspal yang memiliki
nilai penetrasi tinggi. Begitupun berdasarkan Gambar-2, aspal dengan nilai penetrasi
yang sama tetapi nilai PI lebih tinggi akan memiliki resiko retak yang lebih rendah
dibanding aspal dengan nilai PI rendah. Namun penurunan resiko retak dengan
menaikan nilai penetrasi aspal kontradiksi dengan resiko deformasi, sedangkan
dengan menaikkan nilai PI (yang berarti juga menaikkan titik lembek) kontradiksi
dengan workability.

Pengujian kadar parafin dalam aspal keras juga dimaksudkan agar campuran beraspal
perkerasan jalan tidak mudah mengalami kerusakan retak. Aspal yang memiliki kadar
parafin yang lebih tinggi akan memiliki sifat yang lebih rapun dan kelekatannya pada
agregat lebih lemah dibanding aspal yang memiliki kadar parafin yang lebih rendah. Di
Indenesia, sesuai Surat Keputusan Dirjen Bina Marga Nomor KPTS/II/3/1973, kadar
parafin dalam aspal keras maksimum 2%.

Pada spesifikasi aspal keras kelas penetrasi tidak dibedakan antara retak struktur
dengan retak akibat temperatur dingin sehingga pengujianpun umumnya dilakukan
pada temperatur standar 25oC. Sedangkan pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja,
pengujian untuk mengindikasikan retak struktur digunakan pengujian DSR terhadap
aspal yang sudah dikondisikan dengan PAV, sedangkan retak akibat temperatur dingin
diindikasikan oleh pengujian BBR (Bending Beam Rheometer) dan direct tension test.

Aspal dianggap tahan terhadap retak struktur apabila setelah dikondisikan dengan
PAV memiliki nilai "G*sin" hasil uji DSR tidak lebih dari 5000 kPa pada temperatur
tertentu. Sedangkan aspal dianggap tahan terhadap retak pada temperatur dingin
apabila memiliki nilai Creep Stiffness hasil uji BBR maksimu 300 MPa dan memiliki nilai
Direct Tension minimum 1% pada temperatur tertentu.

Ada sebagian pendapat yang beranggapan bahwa pengujian BBR dan direct tension
tidak relevan untuk pengujian aspal di Indonesia. Alasannya karena temperatur
terendah di Indonesia umumnya masih jauh di atas 0 oC, padahal temperatur pengujian
BBR dan direct tension dimaksudkan untuk menguji potensi retak pada temperatur

9
sesuai spesifikasi aspal keras kelas kinerja yang paling tinggi -10 oC. Menanggapi hal
tersebut, pengujian BBR dan direct tension harus dipertahankan dengan temperatur
pengujian disesuaikan dengan temperatur minimum perkerasan di Indonesia. Apabila
BBR dan direct tension dihilangkan maka potensi retak pada temperatur rendah serta
sifat kohesi dan adhesi aspal menjadi tidak terkontrol.

Pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja, potensi retak tidak diuji pada aspal residu
TFOT karena apabila aspal residu PAV (yang juga telah di-TFOT) tahan terhadap
kemungkinan retak maka otomatis aspal residu TFOT juga akan tahan terhadap
kemungkinan retak.

5.6 Keamanan Terhadap Pemanasan

Aspal termasuk senyawa hidrokarbon rantai tinggi yang pada temperatur tertentu dapat
terbakar. Oleh karena itu, khususnya untuk penggunaan aspal pada temperatur tinggi
seperti hot mix, bahaya kebakaran aspal perlu mendapat perhatian khusus sehingga
masuk ke dalam persyaratan spesifikasi aspal. Untuk menghindari terjadinya bahaya
kebakaran ini, baik spesifikasi aspal keras kelas penetrasi maupun spesifikasi aspal
keras kelas kinerja sama-sama memiliki persyaratan titik nyala aspal. Di lapangan,
pemanasan aspal harus lebih rendah dari titik nyala aspal.

5.7 Kemurnian Aspal

Aspal keras yang tidak murni (terkontaminasi) dapat memiliki karakteristik yang tidak
sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya, aspal keras yang terkontaminasi fraksi
minyak yang lebih ringan dari aspal (seperti kerosin, solar, minyak bakar, oli, oli bekas,
dan sebagainya) maka aspal akan menjadi lebih lunak, memiliki kandungan fraksi
ringan yang lebih tinggi dan lebih mudah terbakar. Aspal yang lunak akan
menyebabkan perkerasan beraspal mudah mengalami kerusakan deformasi.
Sedangkan aspal yang memiliki kandungan fraksi ringan yang tinggi akan tidak awet
dan mudah menjadi keras karena fraksi ringan akan menguap saat pemanasan di AMP
atau pada saat pelayanan perkerasan di lapangan. Selain itu, dengan banyaknya fraksi
ringan maka titik nyala aspal akan menjadi lebih rendah.

Pada spesifikasi aspal keras kelas penetrasi, kontaminasi aspal oleh fraksi ringan
dapat dikendalikan melalui pengujian penetrasi, titik lembek, titik nyala, TFOT dan
penetrasi setelah TFOT. Pengujian penetrasi dan titik lembek dapat mendeteksi
apakah aspal terlalu lunak dari yang diinginkan. Pengujian titik nyala dapat mendeteksi
apakah aspal masih berada dalam batas aman pemanasan. Sedangkan pengujian
TFOT dan penetrasi setelah TFOT masing-masing dapat mendeteksi berapa
kandungan fraksi ringan dan sampai sejauhmana pengerasan aspal akibat hilangnya
fraksi ringan saat TFOT.

Pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja, kontaminasi aspal keras oleh minyak ringan
atau bahan lain yang mengandung banyak minyak ringan dapat dikendalikan dengan
pengujian DSR, TFOT, DSR setelah TFOT, DSR setelah PAV dan titik nyala.
Pengujian DSR dan DSR setelah TFOT dapat mendeteksi apakah aspal masih tahan
terhadap kemungkinan kerusakan deformasi pada perkerasan di lapangan. Pengujian
TFOT dapat mendeteksi apakah kadar minyak ringan dalam aspal masih dalam batas
toleransi. Pengujian DSR setelah PAV dapat mendeteksi apakah aspal setelah TFOT
dan PAV tidak mengalami pengerasan, misalnya akibat penguapan minyak ringan,
yang dapat menyebabkan kerusakan retak pada perkerasan beraspal. Sedangkan

10
pengujian titik nyala dapat mendeteksi apakah aspal masih berada dalam batas aman
saat pemanasan.

Aspal keras dapat juga terkontaminasi mineral atau bahan lain yang tidak larut dalam
pelarut organik trikloroethilene (C2HCl3). Untuk mendetekasinya, pada spesifikasi aspal
keras kelas penetrasi telah disyaratkan bahwa nilai kelarutan aspal dalam C 2HCl3
minimum 99%. Sedangkan pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja tidak terdapat
jenis pengujian yang disyaratkan yang dapat mendeteksi kontaminasi aspal oleh
mineral, khususnya mineral halus yang tidak dapat terdeteksi secara visual.

5.8 Kemudahan Kerja (Workability)

Pada beton aspal campuran panas, kemudahan pelaksanaan di antaranya mencakup


kemudahan penanganan aspal saat proses pencampuran, penghamparan dan
pemadatan di lapangan. Untuk dapat dircampur, dihampar dan dipadatkan dengan
baik, aspal harus pada kekentalan tertentu yaitu kekentalan 170 cSt (atau dinyatakan
dengan temperatur pencampuran, oC) untuk pencampuran dan kekentalan 280 cSt
(atau dinyataan dengan temperatur pemadatan, oC) untuk pemadatan. Pada aspal
keras, untuk mencapai kekentalan tersebut aspal harus dipanaskan.

Pada spesifikasi aspal keras kelas penetrasi, selain dapat dilihat dari temperatur
pencampuran dan pemadatan, kemudahan pelaksanaan juga dapat dilihat
berdasarkan nilai penetrasi, titik lembek dan PI aspal. Aspal yang memiliki nilai
penetrasi lebih rendah (pada PI yang sama) akan memerlukan usaha pemanasan yang
lebih tinggi dalam mencapai temperatur pencampuran dan temperatur pemadatan
dibanding aspal yang memiliki nilai penetrasi lebih tinggi (lihat Gambar-1). Sedangkan
aspal yang memiliki nilai PI lebih tinggi (pada nilai penetrasi yang sama) akan
memerlukan usaha pemanasan yang lebih tinggi dibanding aspal yang memiliki nilai PI
lebih rendah sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar-2.

Pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja, selain dapat dilihat dari temperatur
pencampuran dan temperatur pemadatan, kemudahan pelaksanaan aspal dapat dilihat
pula pada hasil pengujian kekentalan pada temperatur 135 oC. Aspal dianggap memiliki
kemudahan dalam pelaksanaan apabila kekentalan pada 135 oC tidak lebih dari 3000
centi Poises.

VI. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan pembahasan mengenai perbandingan spesifikasi aspal keras antara


kelas penetrasi dengan kelas kinerja, dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai
berikut:

 Agar aspal keras yang digunakan dapat sesuai dengan performa beton aspal
perkerasan lentur yang diinginkan, aspal keras harus memiliki karakteristik yang
memenuhi persyaratan yang terdapat pada spesifikasi aspal keras untuk beton
aspal perkerasan lentur.
 Saat ini, spesifikasi aspal keras yang digunakan di Indonesia masih spesifikasi
kelas penetrasi yang menggunakan pendekatan empiris. Padahal sesuai
perkembangan terakini teknologi di bidang perkerasan jalan telah berkembang
spesifikasi aspal keras kelas kinerja yang menggunakan pendekatan mekanis yang
secara logika lebih dapat dipahami.
 Baik spesifikasi aspal keras kelas penetrasi ataupun spesifikasi aspal keras kelas

11
kinerja, keduanya memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing.
 Jika spesifikasi aspal keras kelas penetrasi tetap dipertahankan untuk digunakan di
Indonesia, khusus untuk penggunaan pada perkerasan di lalulintas berat,
sebaiknya spesifikasi aspal keras kelas penetrasi dilengkapi dengan mengambil
beberapa pengujian dan batasan yang terdapat pada spesifikasi aspal keras kelas
kinerja tetapi belum tercakup dalam spesifikasi aspal keras kelas penetrasi.
Misalnya pengujian PAV untuk mensimulasi kondisi masa pelayanan di lapangan,
digunakannya temperatur lapangan sebagai batasan pemilihan jenis aspal, dan
sebagainya.
 Untuk menerapkan spesifikasi aspal keras kelas kinerja terlebih dahulu harus
dilakukan pengkajian untuk menyesuaikan dengan kondisi di Indonesia.
Penyesuaian diantaranya mengenai batasan temperatur minimum rata-rata.
 Pengujian kelarutan aspal dalam C2HCl3 perlu dilakukan meskipun pada spesifikasi
aspal keras kelas kinerja tidak disyaratkan. Hal ini untuk mengontrol kontaminasi
aspal oleh mineral atau bahan-bahan lain yang tidak larut dalam C 2HCl3 yang
mungkin mengganggu.

Daftar Pustaka

(1) AASHTO, "Standard Specificaion for Transportation Material and Methods of


Sampling and Testing, Part I: Specification", AASHTO, Washington, 1982.
(2) AASHTO, "Standard Specificaion for Transportation Material and Methods of
Sampling and Testing, Part I: Methods", AASHTO, Washongton, 1982.
(3) Asphalt Institut, "Mix Design Methods for Asphalt Concrete and Other Hot-Mix
Types MS-2", Asphalt Institute, Lexington, 1993.
(4) Asphalt Institute, "Performance Graded Asphalt Binder Specification and Testing
Superpave Series No.1 (SP-1)", Asphalt Institute, Lexington-USA, 1997.
(5) Broome, D.C., "The Testing of Bituminuous Mixtures", Edward Arnold & CO.,
London, 1975.
(6) Chris A. Bell, "Summary Report on Aging of Asphalt-Aggregate Systems",
Associate Professor of Civil Engineering Oregon State Universiy, Corvallis, 1989.
(7) Dirjen Bina Marga, "Manual Aspal", Dirjen Bina Marga, Jakarta, 1973.
(8) Petersen, J.C., "Binder Characterization and Evaluation Volume 4: Test Methods",
SHRP National Research Council, Washington, 1994.
(9) Shell Bitumen, "The Shell Bitumen Industrial Handbook", Shell Bitumen, London,
1995.
(10) Syahdanulirwan, "Karakteristik Aspal Yang Diperlukan Sebagai Bahan Jalan
-Jurnal Litbang Jalan Volume 20 Nomor 4 Bulan Desember 2004", Puslitbang
Prasarana Transportasi, Bandug, 2004.

Penulis:

Drs. Madi Hermadi, SSi., Peneliti Muda bidang prasarana transportasi di Pusat
Penelitian dan Pengembangan Prasarana Transportasi.

12

También podría gustarte