Está en la página 1de 16

Bab V

TAUBAT

Taubat merupakan suatu tindakan atau perbuatan penyesalaan atas dosa dan
kesalahan yang dilakukan. Taubat memiliki banyak keutamaan, terbukti banyak ayat-
ayat al-qur’an yang menyerukan agar manusia bertaubat. Diantaranya firman Allah dalam
surat An Nur ayat 31:

    


  
Artinya: bertaubatlah kamu kepada Allah hai orang-orang yang beriman, supaya kamu
.(beruntung (bahagia
Meskipun taubat merupakan sesuatu yang wajib dilakukan jika berbuat dosa, ada
:beberapa syarat yang harus dipenuhi suoaya taubat kiat diterima oleh Allah SWT yaitu
harus segera menghentikan perbuatan maksiat yang menyebabkan dosa yang telah .1
dilakukan.ketika kita meniatkan untuk bertaubat, maka perbuatan yang menyebabkan
.dosa tersebut harus segera dihentikan
harus merasa menyesal atas perbuatan maksiat yang telah terlanjur dilakukan. Saat .2
menyatakan diri untuk bertaubat maka dalam hati kita harus benar=benar harus merasa
menyesal karna telah terlanjur telah melakukan perbuatan yang menyebabkan dosa
.tersebut
niat dalam hati untuk bersunggusungguh tidak mengulangi perbuatan dosa atau .3
.maksiat itu kembali. Dan hal itu harus dibuktikan secara sungguh-sungguh pula
menyelesaikan urusanya dengan orng-orang yang berhak dengan minta maaf atau.4
.mengembalikan apa yang harus dikembalikanya
Bagimana cara melakukan taubat? Dalam perjalanan terdahulu sudah pernah dibahas
tentang ucapan “Astakhfirullah Hal Adzim” dimana tindakanya disebut dengan
beristiqfar. Apabila kita bertaubat memohon ampun kepada Allah maka hal tersebut
.”dilakukan dengan mengucapkan “Astakhfirullah Haladzim
Bertaubay memiliki keutamaan yang sangat tinggi nilainya dihadapan Allah
SWT. Dengan bertaubat insya Allah dosa dan kesalahan yang kita lakukan akan
.diampuni Allah

Bab VI
Adab terhad Orang yang Kena Musibah

A. Pengertian Adab Ketika Terkena Musibah

Manusia adalah makhluk sosial atau makhluk yang bermasyarakat. Artinya,


manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Kita di dunia ini tidak
selamanya hidup dalam keadaan berkecukupan. Manusia ada kalanya sehat, ada kalanya
sakit, adakalanya senang adakalanya susah. Kita sangat merasa membutuhkan bantuan
orang lain. Jadi adab kepada orang yang kena musibah adalah membantu atau menolong
mereka untuk meringankan penderitaannya, serta menghiburnya dalam kesusahan. Allah
SWT akan senantiasa menolong hambanya yang suka memberi pertolongan kepada orang
lain. Sebagaimana dalam suatu hadis Nabi Muhammad saw. bersabda:

:
“Allah senantiasa akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong
saudaranya sendiri.” (H.R Muslim)

Kita sering melihat ataupun menyaksikan bencana alam yang menimpa saudara kita,
mulai dari banjir, angin puyuh, kemarau berkepanjangan, kecelakaan, sampai dengan
peristiwa gempa bumi dan tsunami. Semua hal di atas menunjukkan bahwa betapa
lemahnya manusia dalam, menghadapi segala peristiwa yang ada. Adapun orang yang
kena musibah itu, harus sabar dan tawakkal dan menganggap bahwa apa yang menimpa
mereka adalah takdir Allah SWT.
Dalam gambar pada halaman berikut, menerangkan bahwa manusia memang makhluk
yang lemah, mereka masih bergantung kepada manusia lainnya. Tanga orang lain, kita
tidak bisa hidup. Apalagi kalau kita sedang sakit atau kesusahan, mau tidak mau kita
sangat membutuhkan bantuan orang lain. Dalam hal ini orang yang sangat kita harapkan
bantuannya adalah orang yang paling dekat rumahnya dengan rumah kita, tetangga kita.
Misalnya saja, tengah malam salah seorang keluarga kita jatuh sakit, sedangkan di rumah
tidak ada persediaan obat, maka biasanya kita minta tolong kepada tetangga kita, siapa
tahu dia punya persediaan obat di rumahnya. Atau jika harus dibawa ke dokter,
sedangkan kita tidak punya kendaraan, maka orang yang paling dekat dengan rumah kita
sebagai tempat minta pertolongannya untuk mengantarkan kita ke dokter / rumah sakit.
Ketika kita sekeluarga bepergian, kita menitipkan rumah kita kepada tetangga.
Dalam hal ini, bukan cuma orang dekat dari rumah kita, harus berbuat baik, tetapi lebih
dari pada itu kita sepantasnya berbuat baik kepada siapa saja yang membutuhkan
pertolongan. Agama kita menyuruh untuk saling tolong menolong antar sesama,
sebagaimana Allah berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 2:

Artinya :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan………”
Agar kita terhindar dari segala bencana, sebaiknya setelah kita melaksanakan ibadah atau
shalat lima waktu, kita memohon kepada Allah agar kita diberi keselamatan di dunia
maupun di akhirat, sebagaimana doanya :

B. Sikap Terhadap Musibah

Jika seorang muslim tertimpa bencana atau cobaan, hendaknya ia bersikap sebagai
berikut :
1. Agar mengerti, segala yang menimpa kepada manusia, baik itu sehat atau sakit, kaya
atau miskin, senang atau susah semua itu datangnya dari Allah SWT, yang menimpakan
taqdir dan ketentuan hanya Allah.
2. Menerima dan rela terhadap apa yang menimpanya, seraya mengucapkan :
Artinya :
“Segala puji bagi Allah, Allah yang menentukan dan apa yang Allah kehendaki pasti
akan terjadi. (H.R. Bukhari)
3. Jika menimpa suatu musibah atas dirinya, ia tidak menyesalinya dan berkata: “Jika”
(berandai-andai sesuatu yang sudah terjadi) termasuk dari perbuatan setan. Hal tersebut
dijelaskan dalam Hadits Rasulullah saw :

Artinya :
".....Lobalah kamu terhadap apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan
kepada Allah dan janganlah kamu patch semangat. Bila sesuatu menimpamu, maka
janganlah kamu mengatakan : Seandainya aku berbuat demikian dan seterusnya. Karena
ucapan seandainya membuka peluang perbuatan setan. Tetapi ucapkanlah : Segala
sesuatu atas kehendak dan kekuasaan Allah dan apa yang la kehendaki pasti terjadi. "
(H.R. Muslim)
4. Berserah diri (bertawakakal) kepada Allah SWT seraya mengucapkan :
(Cukuplah hanya Allah SWT sebaik-baik tempat berserah diri), mudah-mudahan Allah
SWT menggantikannya dengan yang lebih baik. Dan juga berucap : (Sesungguhnya
segala sesuatu itu milik Allah SWT dan kepada-Nya semua kembali). Dan juga terucap :

Artinya :
“Ya Allah tolonglah aku dalam musibah ini dan gantikanlah dengan yang baik-baik”
(H.R. Bukhari)
Semua do’a diatas merupakan do’a yang disunnahkan oleh Rasulullah saw.
5. Berusaha tabah menjalani hidup dan tidak menjadikan hal tersebut sebagai trauma
yang selalu menghantui dalam menjalani kehidupan ini.

C. Contoh Sederhana
Sudah menjadi kebiasaan di rumah Arif, setelah mandi sore, Arif beserta kedua orang
tuanya senang nonton berita dalam negeri di salah satu siaran televisi. Salah satu berita
pada saat itu adalah terjadinya tanah longsor di daerah Banjarnegara yang mengakibatkan
tewasnya puluhan orang dan hancurnya ratusan tempat tinggal. Mendengar berita itu,
Arif spontan berucap, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun". Kemudian Arif
mengungkapkan idenya kepada Ayahnya "Pak, bagaimana kalau Arif mengumpulkan
bantuan untuk korban tanah longsor itu?", tanya Arif kepada Bapaknya. Bapaknya
menjawab, "Waahh, itu ide yang bagus, tapi kamu harus 'mengajak teman-teman kamu
untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan sosial ini, dan bapak akan menyumbang 100 Kg
beras". "Kalau ibu mau nyumbang apa?", tanya Arif kepada Ibunya. "Ibu akan
menyumbang 100 dos makanan bayi, siapa tahu ada anak-anak yang ditinggal oleh
ibunya dan memerlukan makanan itu". Terima kasih Ayah, terima kasih ibu, besok di
sekolah Arif akan mengajak teman¬teman sekolah Arif untuk menyumbang bagi korban
bencana tersebut, tandas Arif sambil mempersiapkan dirinya untuk berangkat ke Mesjid
untuk shalat berjama'ah Maghrib.
Dari cerita di atas, menggambarkan bagaimana cara kita dalam membantu saudara-
saudara kita yang terkena bencana atau musibah. Hal ini patut kita contoh, bukan saja
untuk hal-hal seperti di atas, tetapi bisa jadi berpartisipasi dalam bidang pembangunan
dan kebersihan lingkungan dan sebagainya.

ADAB MENJENGUK ORANG SAKIT


Dari Al-Barra` bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu dia berkata : nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh
perkara : beliau memerintahkan kami agar mengikuti iringan jenazah, mengunjungi orang
sakit, menjawab undangan, menolong orang yang dizhalimi, berbuat baik bagi orang
yang bersumpah, menjawab salam, menjawab orang yang bersin, dan beliau melarang
kami memakai bejana yang terbuat dari perak, cincin emas, kain sutra, kain yang
bercampur dengan sutra, al-qissi dan al-istibraq.
Adab adab Menjenguk Orang Sakit

Keutamaan Menjenguk Orang Sakit.


Banyak Atsar menyebutkan keutamaannya di sini kami menyebutkan
diantaranya : hadits Tsauban radhiaallahu ‘anhu bekas budak rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam riwayatkan yang mana dia berkata : rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda : “barang siapa yang menjenguk orang sakit maka dia senantiasa berada
di taman kurma di surga sampai di kembali (ke rumah)”.
Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia bersabda : saya mendengar
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : ” Barang siapa yang mengunjungi orang
sakit niscaya dia berada dalam naungan rahmat sampai apabila dia duduk tinggal
padanya” dan di dalam lafazh yang lain : ” Barang siapa yang mengunjungi orang sakit
niscaya dia mendapatkan rahmat maka apabila dia duduk di sampingnya dia tetap berada
di dalam rahmat, dan apabila dia keluar dari orang yang sakit dia teus diliputi rahmat
sampai dia kembali ke rumahya”. Dan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata :
rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : “sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
berfirman di hari kiamat : wahai anak cucu Adam saya sakit dan kalian tidak
menjengukku, anak cucu Adam berkata : wahai rabb bagaimana kami menjenguk engkau
sedangkan engkaulah rabb semesta alam? Allah berfirman : tidakkah kamu tahu bahwa
hambaku fulan sakit dan kamu tidak menjenguknya? Tidakkah kamu tahu kalau saja
kamu mengunjunginya niscaya kamu akan mendapatiku berada di sisinya….al-hadits”.
Dan dari Ali radhiallahu ‘anhu dia berkata : saya mendengar rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallambersabda : “barang siapa yang mendatangi saudaranya yang muslim dalam
rangka menjenguknya, niscaya dia berjalan di kebun surga sampai dia duduk, dan apabila
dia duduk niscaya rahmat Allah akan meliputinya, dan apabila dia pergi menjenguk di
waktu pagi niscaya tujuh puluh malaikat akan mendoakannya sampai dia mendapati sore
hari dan apabila di waktu sore tujuh puluh malaikat akan mendoakannya sampai dia
mendapati pagi”.
Dan setelah menyebutkan hadits-hadtis yang shahih dalam menjelaskan keutamaan
mengunjungi orang yang sakit, dan pahala bagi orang yang mengunjungi dapatkan dari
kunjungainnya, maka tidak sepantasnya meremehkan hal tersebut, bahkan harus untuk
bersegera kepadanya, dan selalu berada di atas amalan tersebut, sehingga rahmat dzat
yang Maha penyayang dan Maha pengasih dapat diraih, dan di dalam mengunjungi orang
sakit ada beberapa manfaat lainnya selain yang disebutkan tadi diantaranya :
membersihkan hatinya (orang yang sakit), memeriksan kebutuhan-kebutuhannya,
mengambil nasehat dari musibah yang menimpanya sebagaimana Ibnul Jauzi katakan.

Mengunjungi Anak Kecil yang Sakit.


Anak kecil apabila sakit maka mereka juga dikunjungi, sebagaimana orang-orang
dewasa. Yang demikian itu dikarenakan adanya makna yang menyebabkan orang dewasa
dikunjungi seperti adanya doa bagi yang sakit, meringankan sakitnya, meruqyahnya
dengan ruqyah syar’iyyah, dan akan mendapatkan pahala mengunjungi orang sakit bagi
orang yang berkunjung.
Dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma dia berkata : ” Sesungguhnya salah seorang
anak perempuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus seseorang kepada
beliau –dan ketika itu perawi sedang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Sa’ad
dan Ubai- yang mana kami mengira bahwa anak perempuan saya akan menjumpai
ajalnya maka mari kita menyaksikannya bersama, maka nabi mengutus utusan kepadanya
dengan ucapan salam dan berkata : “sesungguhnya milik Allah apa yang dia ambil dan
apa yang dia berikan dan setiap sesuatu telah ditetapkan ajalnya di sisiNya, maka
hendaknya kamu mengharap pahala dan bersabar”.
Namun anak perempuan beliau kembali mengutus utusan dengan mengucapkan sumpah
atas beliau, maka nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambangkit dan kami pun bangkit
bersama beliau, ketika beliau berada di tempat kejadian anak kecil itu diangkat ke
pangkuan nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan nafasnya tersengal-senggal,
kedua mata nabi berlinangkan air mata, maka Sa’ad berkata padanya : apa ini wahai
rasulullah? Beliau berkata : ini adalah rahmat yang Allah berikan di hati-hati yang Allah
kehendaki dari para hambanya, dan Allah tidak akan menyayangi dari para hambanya
kecuali mereka yang penyayang”.

Kunjungan Wanita kepada Laki-laki Yang Sakit :


Mengunjungi laki-laki yang sakit boleh bagi wanita walaupun mereka bukan
mahram mereka, akan tetapi hal itu disyaratkan apabila aman dari fitnah, adanya sitar
(hijab), tidak adanya khalwat (berdua-duaan), maka apabila syarat-syarat ini ada maka
mengunjungi laki-laki yang sakit yang bukan mahram boleh bagi wanita dan demikian
pula sebaliknya, dari Aisyah radhiallahu ‘anha dari ayahnya, dia berkata : ” Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, Abu Bakar dan Bilal
radhiallahu ‘anhuma menderita demam, Aisyah berkata : Maka saya pun masuk kepada
mereka berdua dan saya berkata : Wahai ayahku bagaimana keadaanmu? Dan wahai Bilal
bagaimana keadaanmu? …..al-hadits“. Dalam riwayat Ahmad : Urwah berkata : “ Ketika
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Al-Madinah para sahabat beliau mengeluh sakit
demikian pula Abu Bakar, ‘Amir bin Fuhairah maula Abu Bakar dan Bilal mengeluh
sakit, maka Aisyah meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk
mengunjungi mereka, dan Nabi mengizinkannya, dan Aisyah berkata kepada Abu Bakar :
bagaimana keadaanmu? ….al-hadits“.
Dan dari Ibnu Syihab dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif bahwasanya dia
mengabarkan kepadanya : ” Bahwa ada seorang wanita yang miskin sedang sakit maka
dia mengabarkan kepada Rasulullan Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sakitnya wanita
tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengunjungi orang-orang
miskin dan menanyakan tentang keadaan mereka….al-hadits”
Ibnu Abdil Bar berkata : “ Pada hadits ini menunjukkan pembolehan kunjungan wanita
kepada laki-laki walaupun laki-laki tersebut bukan mahramnya, dan masalah ini –
menurut saya (penulis) agar wanita itu Mutajallah , dan apabila bukan Mutajallah maka
tidak boleh, kecuali dia bertanya kepadanya dan tidak melihat kepadanya.

Mengunjungi Orang Sakit Yang Sedang Pingsan :


Sebagian manusia menjauhkan diri untuk mengunjungi orang sakit yang tidak
sadar akan kehadiran orang-orang yang ada di sekitarnya, seperti orang yang dalam
kondisi pingsan yang muncul berulang-ulang, atau mereka yang dalam kehilangan
kesadaran dalam jangka waktu lama, dengan alasan orang yang sakit ini tidak menyadari
keberadaannya dan tidak merasakannya maka kalau begitu tidak perlu untuk
menjenguknya, ini adalah pemahaman yang salah dan argumen yang tidak ada dalilnya,
dan dalil yang shahih justru menyelisihinya.
Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma dia berkata : ” Saya pernah sakit maka nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan Abu Bakar mendatangiku untuk menjengukku dengan
berjalan kaki, maka mereka mendapatiku dalam keadaan pingsan, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berwudhu` dan memercikkan wudhu’nya kepadaku, aku pun sadar dan
mendapati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dekatku, maka saya berkata : “ Wahai
Rasulullah, apa yang seharusnya saya perbuat terhadap hartaku, bagaimana saya
memutuskan warisan hartaku? Namun beliau tidak menjawabku dengan satu kata pun
sampai ayat tentang warisan turun”.
Ibnu Hajar berkata : “ Sekedar mengetahui keadaan orang yang sakit dengan
menjenguknya tidak menjadikan pensyariatan menjenguknya terhenti. Karena di balik hal
itu dapat membalut kekhawatiran keluarganya, dan mengharapkan berkah doa dari orang
yang menjenguknya, meletakkan tangannya di atas orang yang sakit, mengusap
badannya, meniupkan bacaan kepadanya ketika memohonkan perlindungan dan yang
selainnya,.

Menjenguk Orang Musyrik Yang Sakit :


Sebagian ulama berpendapat makruh menjenguk orang kafir dikarenakan di
dalam perkara menjenguk mereka terkandung adanya pemuliaan. Sebagian ulama lainnya
membolehkan menjenguk mereka apabila diharapkan masuk islam, dan pendapat ini
lebih sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Anas bin Malik
radhiallahu ‘anhu telah meriwayatkan : ” Bahwa seorang budak milik orang Yahudi yang
pernah membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit maka Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mendatanginya dalam rangka menjenguknya, beliau berkata : Masuklah kamu
ke dalam islam, maka orang itu pun masuk islam”.
Dan dari Sa’id bin Al-Musyyib dari ayahnya beliau berkata : ketika kematian menghadiri
Abu Thalib Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammendatanginya dan berkata :
“katakanlah laa ilaaha illallaah satu kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi
Allah”.

Waktu Menjenguk Orang Yang Sakit :


Tidak didapati adanya nash-nash dari al-ma’shum Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menjelaskan waktu-waktu tertentu untuk menjenguk orang yang sakit dan
menziarahinya, maka selama demikian perkaranya dibolehkan menziarahi orang yang
sakit pada waktu apapun di malam atau siang hari selama tidak adanya hal yang
memberatkan mereka. Karena diantara makna yang terkandung dalam menjenguk orang
yang sakit adalah untuk meringankan derita orang yang sakit dan untuk menyenangkan
hatinya bukan untuk memberatkannya Waktu ziarahi itu bervariasi tergantung perbedaan
zaman dan tempat, terkadang berziarah di malam hari merupakan waktu yang
dipersilahkan akan tetapi terkadang dimakruhkan di waktu yang lain.
Al-Marwadzi berkata : “ Saya bersama Abu Abdullah pernah menjenguk orang sakit di
malam hari dan waktu itu di bulan Ramadhan, kemudian beliau berkata kepada saya : di
bulan Ramadhan orang sakit itu di jenguk di malam hari “.
Dan demikian pula di waktu zhuhur karena kebiasaan yang berlaku manusia sedang tidur
siang dan mereka tinggal untuk beristirahat. Al-Atsram berkata : dikatakan kepada Abu
Abdillah : seseorang sedang sakit dan ketika itu matahari sedang naik di waktu musim
panas, maka beliau berkata : ini bukan waktu menjenguk.
Maka zaman perlu diperhatikan di dalam menjenguk orang sakit, maka waktu menjenguk
yang telah dikenali oleh penduduk negeri ini dan yang telah menjadi kebiasaan mereka
untuk menjenguk dan berziarah terkadang bukan waktu yang biasa dilakukan oleh
sebagian penduduk negeri lainnya.
ADAB TERHADAP KEDUA ORANG TUA
Senin, 23 Maret 09
Seorang Muslim tentu mengetahui hak kedua orang tua atas dirinya dan kewajiban
berbakti, menaati dan berbuat baik terhadap keduanya. Bukan hanya karena mereka
berdua menjadi sebab keberadaannya, atau karena mereka telah berbuat baik terhadapnya
dan memenuhi kebutuhannya, atau karena mereka adalah manusia paling berjasa dan
utama bagi dirinya, akan tetapi lebih dari itu karena Allah Ta’ala telah menetapkan
kewajiban atas anak untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya, bahkan
perintah tersebut penyebutannya disertakan dengan kewajiban hamba yang paling utama
yaitu kewajiban beribadah hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak menyekutukanNya.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23)
Hak kedua orang tua merupakan hak terbesar yang harus dilaksanakan oleh setiap
muslim, berikut ini adalah beberapa petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam berbakti kepada kedua orang tua baik semasa hidup keduanya atau sepeninggal
mereka.

Hak-Hak yang Wajib Dilaksanakan Semasa Hidup Orang Tua.

1. Menaati mereka selama tidak mendurhakai Allah Ta’ala.


Menaati kedua orang tua hukumnya wajib atas setiap muslim, sedang
mendurhakai keduanya merupakan perbuatan yang diharamkan, kecuali jika mereka
menyuruh untuk menyekutukan Allah Ta’ala (berbuat syirik) atau bermaksiat kepadaNya.
Allah Ta’ala berfirman, artinya, “Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka
janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,
….” (QS.Luqman:15)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada ketaatan untuk
mendurhakai Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam melakukan kebaikan”. (HR.
Al-Bukhari)

2. Berbakti dan merendahkan diri di hadapan kedua orang tua


Allah Ta’ala berfirman, artinya, “…dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan «ah» dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah
dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai
Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku
waktu kecil’.” (QS. Al-Israa’: 23-24)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh merugi, sungguh merugi, dan
sungguh merugi orang yang mendapatkan kedua orang tuanya yang sudah renta atau
salah seorang dari mereka kemudian hal itu tidak dapat memasukkannya ke dalam
surga.” (HR.Muslim)
Di antara bakti terhadap kedua orang tua adalah menjauhkan ucapan dan perbuatan yang
dapat menyakiti mereka, walaupun berupa isyarat atau dengan ucapan ‘ah’, tidak
mengeraskan suara melebihi suara mereka. Rendahkanlah diri dihadapan keduanya
dengan cara mendahulukan segala urusan mereka.

3. Berbicara dengan lemah lembut di hadapan mereka

4. Menyediakan makanan untuk mereka


Hal ini juga termasuk bentuk bakti kepada kedua orang tua, terutama jika hal
tersebut merupakan hasil jerih payah sendiri. Lebih-lebih jika kondisi keduanya sudah
renta. Sudah seyogyanya, mereka disediakan makanan dan minuman yang terbaik dan
lebih mendahulukan mereka berdua dari pada dirinya, anaknya dan istrinya.

5. Meminta izin kepada mereka sebelum berjihad dan pergi untuk urusan lainnya
Izin kepada orang tua diperlukan untuk jihad yang belum ditentukan
(kewajibannya untuk dirinya-pent). Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah apakah aku boleh ikut
berjihad?” Beliau balik bertanya, ‘Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?’
Laki-laki tersebut menjawab, ‘Masih’. Beliau bersabda, ‘Berjihadlah (dengan cara
berbakti) kepada keduanya’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim), dan masih banyak hadits
yang semakna dengan hadits tersebut.

6. Memberikan harta kepada orang tua sebesar yang mereka inginkan.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada seorang laki-laki
ketika ia berkata, “Ayahku ingin mengambil hartaku”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan
Ibnu Majah).
Oleh sebab itu, hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang
menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil, serta telah berbuat baik
kepadanya.

7. Membuat keduanya ridha dengan berbuat baik kepada orang-orang yang


dicintainya.
Hendaknya seseorang membuat kedua orang tuanya ridha dengan berbuat baik
kepada orang-orang yang mereka cintai. Yaitu dengan memuliakan mereka,
menyambung tali silaturrahim dengan mereka, menunaikan janji-janji (orang tua) kepada
mereka, dan lain sebagainya.

8. Memenuhi sumpah / Nazar kedua orang tua


Jika kedua orang tua bersumpah untuk suatu perkara tertentu yang di dalamnya
tidak terdapat perbuatan maksiat, maka wajib bagi seorang anak untuk memenuhi sumpah
keduanya karena hal itu termasuk hak mereka.

9. Tidak Mencaci maki kedua orang tua.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Termasuk dosa besar adalah
seseorang mencaci maki orang tuanya.” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apa
ada orang yang mencaci maki orang tuanya?’ Beliau menjawab, “ Ada. ia mencaci maki
ayah orang lain kemudian orang tersebut membalas mencaci maki orang tuanya. Ia
mencaci maki ibu orang lain lalu orang itu membalas mencaci maki ibunya.” (HR. al-
Bukhari dan Muslim)
Terkadang perbuatan tersebut tidak dirasakan oleh seorang anak, dan dilakukan dengan
bergurau padahal hal ini merupakan perbuatan dosa besar.

10. Mendahulukan berbakti kepada ibu daripada ayah


Seorang lelaki pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Siapa yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?” beliau menjawab,
“Ibumu.” Lelaki itu bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau kembali menjawab,
“Ibumu”. Lelaki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab,
“Ibumu”. Lalu siapa lagi? Tanyanya. “Ayahmu,” jawab beliau.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Hadits di atas tidak bermakna lebih menaati ibu daripada ayah. Sebab, menaati ayah lebih
didahulukan jika keduanya menyuruh pada waktu yang sama dan dalam hal yang
dibolehkan syari’at. Alasannya, ibu sendiri diwajibkan taat kepada suaminya.
Maksud ‘lebih mendahulukan berbuat baik kepada ibu’ dalam hadits tersebut adalah
bersikap lebih halus dan lembut kepada ibu daripada ayah. Sebagian Ulama salaf berkata,
“Hak ayah lebih besar dan hak ibu patut untuk dipenuhi.”

11. Mendahulukan berbakti kepada kedua orang tua daripada berbuat baik kepada
istri
Di antara hadits yang menunjukkan hal tersebut adalah kisah tiga orang yang terjebak di
dalam gua lalu mereka tidak bisa keluar kemudian mereka bertawasul dengan amal baik
mereka, di antara amal mereka, ‘ada yang mendahulukan memberi susu untuk kedua
orang tuanya, walaupun anak dan istrinya membutuhkan’.
Hak-Hak Orang Tua Setelah Mereka Meninggal Dunia
1. Mengurus jenazahnya dan banyak mendoakan keduanya, karena hal ini
merupakan bakti seorang anak kepada kedua orang tuanya.
2. Beristighfar (memohonkan ampun kepada Allah Ta’ala) untuk mereka berdua, karena
merekalah orang yang paling utama untuk didoakan agar Allah Ta’ala mengampuni dosa-
dosa mereka dan menerima amal baik mereka.
3. Menunaikan janji dan wasiat kedua orang tua yang belum terpenuhi semasa hidup
mereka, dan melanjutkan amal-amal baik yang pernah mereka kerjakan selama hidup
mereka. Sebab, pahala akan terus mengalir kepada mereka berdua apabila amal baik
tersebut dilanjutkan.
4. Memuliakan teman atau sahabat dekat kedua orang tua, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah bersabda, “Sesungguhnya bakti anak yang terbaik adalah seorang anak
yang menyambung tali persahabatan dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya
meninggal”. (HR. Muslim)
5. Menyambung tali silaturrahim dengan kerabat Ibu dan Ayah. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang ingin menyambung silaturrahim ayahnya
yang ada dikuburannya, maka sambunglah tali silaturrahim dengan saudara-saudara
ayahnya setelah ia meninggal”. (HR. Ibnu Hibban).

Semoga petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berbakti kepada kedua
orang tua di atas dapat kita wujudkan dalam kehidupan kita. Karena hal tersebut
merupakan hak mereka berdua sekaligus sebagai kewajiban kita sebagai anak yang shalih
untuk melakukannya. Wallahu a’lam.

Bab VII

AKHLAK TERPUJI TOKOH

A. KISAH SITI MASYITAH


Masyithah pelayan putri Fir’aun. Ia ibu yang melahirkan putra-putra berlian.
Wanita yang berani mempersembahkan jiwa-raga untuk agama Allah swt. Ia seorang
bunda yang memiliki sifat kasih sayang dan kelembutan. Mencintai anak-anaknya dengan
cinta fitrah ibu yang tulus. Masyithoh berjuang, bekerja, dan rela letih untuk
membahagiakan mereka di dunia dan di akhirat.
Bayangkan, anaknya yang terkecil direnggut dari belaian tangannya. Si sulung diambil
paksa. Keduanya dilemparkan ke tengah tungku panas timah membara. Masyithah
menyaksikan itu semua dengan mata kepalanya sendiri. Kalbu ibu mana yang tidak
bergetar. Hati ibu mana yang tidak hancur bersama luruhnya jasad buah hatinya. Jiwa ibu
mana yang tidak tersembelih dan membekaskan rasa sakit dengan luka menganga?
Masyithah melihat sendiri si sulung dan si bungsu menjerit kesakitan terpanggang di
tungku timah panas membara.
Itulah peristiwa dahsyat yang dihadapi Masyithah, sosok yang menakjubkan dalam cinta
kepada Allah swt. Ia seorang ibu mukminah yang sangat sabar dan memiliki anak-anak
yang shalih lagi baik hati. Cinta yang bersemayam dalam hati mereka adalah gejolak
iman yang mampu melahirkan sebuah pengorbanan yang sempurna. Kehidupan dunia
tidak mampu mengalihkan mereka dari cita-cita meraih keridhaan Sang Pencipta. Inilah
hakikat yang sebenar-benarnya: Iman yang baik akan mampu mengalahkan tarikan dunia
dengan segala isinya.

Tuhanku Allah
Tidak diragukan lagi, siapa yang pernah merasakan pahitnya kezhaliman
meskipun sesaat, mencicipi sakitnya siksaan meskipun sebentar, pasti akan tahu mengapa
Rasulullah saw bersabda, ”Kezhaliman akan membawa kegelapan di hari kiamat.”
(Bukhari)
Masyithah telah merasakan beragam kezhaliman dan penyiksaan. Semua
ketidaknyamanan itu dihadapinya dengan tegar sampai akhirnya ia bertemu dengan
Tuhannya dengan ridha dan diridhai. Masyithah mengajarkan kepada kita tentang
sempurna dalam berkorban dan total dalam berderma. Ia telah sukses mendidik anak-
anaknya untuk mempersembahkan nyawa mereka untuk Allah swt.
Rasulullah saw. bercerita kepada kita, “Ketika menjalani Isra’ dan Mi’raj, aku mencium
bau yang sangat harum.” “Wahai Jibril, bau harum apa ini?” tanya Rasulullah. Jibril
menjawab, “Ini bau harum Masyithah –pelayan putri Fir’aun– dan anak-anaknya.” Saya
bertanya, “Apa kelebihan Masyithah?”
Jibril menjawab, ”Suatu hari Masyithah menyisir rambut putri Fir’aun. Sisirnya jatuh dari
tangannya. Ia berkata, ‘Bismillah.’ Putri Fir’aun kaget dan berkata kepadanya, ‘Dengan
menyebut nama ayahku.’ Ia menolak. ‘Tidak. Akan tetapi Tuhan saya dan Tuhan ayah
kamu adalah Allah.’ Ia menyuruh putri itu untuk menceritakan peristiwa tersebut kepada
ayahnya.
Putri itu pun menceritakan kepada Fir’aun. Maka Fir’aun memanggil Masyithah. Fir’aun
bertanya, “Wahai Fulanah, apakah engkau punya Tuhan selain aku?” Ia menjawab, “Ya,
Tuhan saya dan Tuhan kamu adalah Allah.” Fir’aun marah besar. Ia memerintahkan
dibuatkan tungku besar yang diisi timah panas; agar Masyithah dan anak-anaknya
dilemparkan ke dalamnya. Masyithah tidak menyerah. Begitu juga anak-anaknya.
Masyithoh meminta satu hal kepada Fir’aun, “Saya minta tulangku dan tulang anak-
anakku dibungkus menyatu dengan kain kafan.” Fir’aun menuruti permintaannya.

Bismillah
Sungguh, Masyithah wanita terhormat lagi mulia. Ia hidup di istana raja. Ia dekat
kekuasaan karena tugasnya merawat anak Fir’aun. Akan tetapi keimanan kepada Allah
swt. telah membuncah di kalbunya. Kadang ia menyembunyikan keimanannya seperti
yang dilakukan istri atau keluarga Fir’aun yang muslim lainnya.
Bedanya ketika iman telah memenuhi kalbu, maka lisan akan mengucapkan apa yang
terpendam dalam kalbu tanpa beban, tanpa paksaan, dan tanpa rasa takut. Inilah yang
dilakukan Masyithah. Ia mengatakan dengan dilandasi fitrah yang suci, ”Bismillah”,
tanpa memikirkan resiko yang akan dialaminya. Ia telah mengungkapkan isi kalbunya
yang telah disimpannya berhari-hari bahkan bertahun-tahun. Ia memproklamasikannya
dengan bangga dan gembira. Bahkan, ketika putri Fir’aun memintanya untuk mengakui
ketuhanan ayahnya, ia menolak tegas dengan mengatakan, ”Tuhan saya dan Tuhan ayah
kamu adalah Allah.”
Ia tidak takut siksaan. Ia tidak gentar dengan kekuatan Fir’aun yang terkenal bengis dan
tidak berperikemanusiaan. Apa pun yang terjadi, ia hadapi dengan tegar.

Ujian Kalbu
Sungguh ujian berat menimpa wanita mulia ini beserta anak-anaknya. Fir’aun
menghukum karena mereka beriman kepada Allah swt. dan rela dengan agama yang
mereka anut. Tanpa belas kasih Fir’aun melempar anak-anak Masyithah satu demi satu
ke tungku besar berisikan timah panas yang mendidih. Fir’aun melakukanya untuk
menakut-nakuti Masyithah. Fir’aun berharap naluri keibuan Masyithah iba akan nasib
anak-anaknya dan itu membuatnya lemah lalu mau kembali mengakui Fir’aun sebagai
Tuhan. Akan tetapi Allah swt. memperlihatkan kepada Fir’aun bahwa yang
menggenggam kalbu Masyithah adalah diri-Nya. Apakah Fir’aun mampu menguasai
kalbu seseorang yang telah beriman? Mungkin ia bisa membunuh jasadnya, tapi
mampukah membunuh ruhnya? Itu mustahil dilakukan Fir’aun.
Apa yang dihadapi Masyithah adalah ujian yang berat bagi kalbu orang yang beriman.
Namun, dorongan keimanan yang kuat membuatnya bertahan dan keluar menjadi
pemenang. Masyithah dan anak-anaknya membuktikan keimanannya kepada Allah
dengan mewakafkan diri hancur disiksa dengan cara yang sangat tidak
berperikemanusiaan oleh Fir’aun.

Pelajaran dari Kisah Masyithah


Masyithah telah wafat. Tapi, kisahnya belumlah berakhir. Sampai saat ini,
kisahnya masih terngiang di telinga orang-orang yang rindu bertemu dengan Allah swt.
Karena, Masyithah telah memberi cambuk yang senantiasa memotivasi kita untuk meraih
kehidupan yang baik dan lebih baik lagi.
Ada sejumlah pelajaran yang bisa kita petik dari kisah Masyithah, di antaranya:
· Iman adalah senjata yang sangat ampuh. Karena, iman adalah kekuatan yang bersumber
dari ma’iyatullah (kebersamaan dengan Allah swt dan lindungan-Nya). Allah swt
berfirman, ”Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang
yang berbuat kebaikan.” (An-Nahl:128)
· Sabar dalam menghadapi cobaan dan teguh dalam pendirian, itulah yang dibuktikan
oleh Masyithoh dan anak-anaknya. Rasulullah saw bersabda, ”Mukmin yang kuat lebih
baik dan lebih dicintai Allah dibanding mukmin yang lemah, dan masing-masing dari
keduanya mendapatkan kebaikan.” (Muslim)
· Selalu ada permusuhan abadi antara hak dan batil, antara kebaikan dan keburukan.
Meskipun keburukan banyak dan beragam, namun pasti ujungnya akan lenyap. Karena
yang asli adalah kebaikan.
· Allah swt. akan meneguhkan orang-orang yang beriman ketika mereka dalam kondisi
membutuhkan keteguhan tersebut. Sebab, ujian itu sunnatullah. Pasti akan datang kepada
setiap orang yang mengaku beriman.
· Muslim yang sejati tidak akan tunduk kecuali kepada Allah swt. Dan ia senantiasa
melaksanakan kewajiban amar ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
· Peran dan kontribusi kaum wanita muslimah tidaklah lebih kecil dibanding pria dalam
mengibarkan panji kebenaran. Para wanita memiliki peran yang besar dalam dakwah
ilallah sejak zaman dahulu. Syahidnya Masithah akibat siksaan Fir’aun adalah bukti
puncak pengorbanan yang pernah dilakukan wanita dalam sejarah.
· Balasan amal yang didapat seseorang adalah sesuai dengan kadar amal perbuatan itu
sendiri. Allah swt. telah menghancurkan Fir’aun dan menghinakannya namanya dalam
catatan sejarah yang akan terus dikenang sepanjang kehidupan manusia sebagai manusia
terjahat. Sedangkan Masyithah diabadikan namanya dengan harum, dan menjadikan
dirinya dan anak-anaknya wangi semerbak di langit tujuh karena perbuatannya yang baik.
Jibril mencerita hal ini kepada Rasulullah, dan Rasulullah menyampaikannya kepada kita
untuk dijadikan teladan.
· Allah swt. tidak akan menyiksa seseorang karena dosa orang lain.
· Sungguh, cerita seperti ini berulang dan akan terus berulang sepanjang waktu. Selalu
akan ada orang zhalim dengan beragam bentuk kezhalimannya dan selalu ada orang yang
akan menentang mereka meski tahu ada siksaan dan cobaan menyertai usaha baiknya itu.
Kisah tetap satu: cobaan akan terjadi, tapi para pahlawan selalu memiliki kemiripan.
Ending-nya tidak akan berubah, sebagaimana firman Allah swt. dalam surat Ar Rum: 47,
”Dan sesungguhnya kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang Rasul kepada
kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang
cukup), lalu kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa, dan kami
selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.”
Kisah Ashabul Kahfi
Mereka adalah para pemuda yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala serta Dia mengilhami
mereka keimanan, sehingga mereka mengenal Allah dan mengingkari keyakinan kaum
mereka yang menyembah berhala. Mereka mengadakan pertemuan untuk membicarakan
masalah akidah mereka disertai dengan perasaan takut akan kekejaman dan kekerasan
kaum mereka, seraya berkata, artinya,

“Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru Ilah selain Dia,
sesungguhnya kami kalau demikian ،K.” (Al-Kahfi: 14), yakni jika seruan kami ditujukan
kepada selain-Nya, ،§maka sungguh kami telah mengucapkan perkataan yang amat jauh
dari kebenaran.” (Al-Kahfi: 14), yakni perkataan keji, dusta dan zhalim. Sedangkan
“kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai ilah-ilah (untuk disembah). Mengapa
mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah
yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allah.”
(Al-Kahfi: 15).
Setelah mereka sepakat mengenai keyakinan tersebut dan menyadari bahwa mereka tidak
mungkin menjelaskannya kepada kaum mereka, maka mereka memohon kepada Allah
Ta’ala supaya dimudahkan urusan mereka, artinya, “Wahai Rabb kami berikanlah rahmat
kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam
urusan kami (ini).” (Al-Kahfi: 10).
Kemudian mereka berlindung ke gua, lalu Allah Subhannahu wa Ta’ala memudahkan
urusan mereka, melapangkan lubang gua serta menempatkan pintunya di sebelah utara,
sehingga tidak terkena sinar matahari; baik ketika terbit maupun saat terbenam, dan
mereka tertidur dalam gua di bawah penjagaan serta perlindungan Allah Subhannahu wa
Ta’ala selama tiga ratus sembilan tahun. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah melindungi
mereka dari rasa takut, karena posisi mereka (gua) berdekatan dengan kota kaum mereka.
Allah Subhannahu wa Ta’ala senantiasa menjaga dan melindungi mereka dalam gua
tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,artinya, “Dan kamu mengira mereka
itu bangun padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri”
(Al-Kahfi: 18), supaya bumi tidak membusukan tubuh mereka.
Kemudian Allah Subhannahu wa Ta’ala membangunkan mereka setelah tertidur dalam
jangka waktu yang cukup lama “supaya mereka saling bertanya diantara mereka sendiri.”
(Al-Kahfi: 19). Akhirnya mereka menemukan jawaban yang sesungguhnya, sebagaimana
hal tersebut ditegaskan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, artinya,
“Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu berada (di
sini).” Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” Berkata (yang
lain lagi): “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka
suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu
ini.” (Al-Kahfi: 19). Allah Subhannahu wa Ta’ala menjelaskan kisah ini hingga akhir.
Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Dan Faidah-Faidah Yang Dapat Diambil Dari Kisah
Tersebut
Di dalam kisah tersebut terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Subhannahu wa Ta’ala dan
faidah-faidah yang bermanfaat, di antaranya:
* Bahwa kisah ashhabul kahfi, meskipun sangat mengagumkan, tetapi bukan merupakan
tanda kekuasaan Allah Subhannahu wa Ta’ala yang paling mengagumkan, karena Allah
Subhannahu wa Ta’ala memiliki tanda-tanda kekuasaan tersendiri dan kisah-kisah lain
yang di dalamnya terdapat pelajaran berharga bagi orang-orang yang berkenan
merenungkannya.
* bahwa orang yang memohon perlindungan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala, maka
Allah akan melindungi dan menyayanginya, dan menjadikan nya sebab-sebab untuk
menunjukkan orang-orang yang sesat. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah melindungi
ashhabul kahfi dalam tidur mereka yang cukup lama dengan memelihara keimanan dan
tubuh mereka dari gangguan serta pembunuhan kaum mereka dan Allah Subhannahu wa
Ta’ala menjadikan bangunnya mereka dari tidur mereka sebagai tanda kesempurnaan
kekuasaan-Nya, kebaikan-Nya yang banyak dan bermacam-macam, supaya hamba-
hamba-Nya mengetahui bahwa janji Allah Subhannahu wa Ta’ala pasti benar.
* Adalah perintah menuntut ilmu-ilmu yang bermanfaat dan mendiskusikannya, karena
Allah Ta’ala telah mengutus mereka untuk tujuan tersebut dan mengilhami mereka untuk
berdiskusi di antara mereka seputar keyakinan mereka dan pengetahuan masyarakat
mengenai keyakinan atau perilaku mereka sehingga diperoleh bukti-bukti dan
pengetahuan bahwa janji Allah pasti benar dan sesungguhnya kiamat itu pasti terjadi
tanpa ada keraguan di dalamnya.
* Adalah berkenaan dengan etika seseorang yang merasa samar mengenai sesuatu ilmu,
maka hendaklah ia mengembalikannya kepada gurunya dan berusaha untuk memahami
dengan seksama pelajaran yang telah diketahuinya.
* Bahwa sah mewakilkan dan mengadakan kerja sama dalam jual beli. Hal tersebut
merujuk perkataan mereka,artinya, “Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke
kota dengan membawa uang perakmu ini”, kemudian “،K maka hendaklah dia membawa
makanan itu untukmu.” (Al-Kahfi: 19).
* Bahwa diperbolehkannya memakan makanan yang baik-baik dan memilih makanan-
makanan yang layak dan sesuai dengan selera seseorang selama tidak melebihi batas-
batas kewajaran. Sedang jika melebihi batas-batas kewajaran maka hal tersebut termasuk
perbuatan yang dilarang. Hal itu didasarkan kepada perkataan salah seorang dari
mereka,artinya, “،K dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka
hendaklah dia membawa makanan itu untukmu.” (Al-Kahfi: 19).
* Adalah berkenaan dengan anjuran supaya memelihara, melindungi serta menjauhkan
diri dari perbuatan yang dapat menimbulkan fitnah dalam urusan agama dan harus
menyembunyikan ilmu yang mendorong manusia berbuat jahat.
* Adalah berkenaan dengan keterangan yang menjelaskan perhatian dan kecintaan para
pemuda itu kepada agama yang benar, pelarian mereka untuk menjauhkan diri dari semua
fitnah dalam urusan agama mereka dan pengasingan diri mereka dengan meninggalkan
kampung halaman serta kebiasaan mereka untuk menempuh jalan Allah Subhannahu wa
Ta’ala.
* Adalah berkenaan dengan keterangan yang menjelaskan hal-hal yang tercakup dalam
kejahatan, seperti kemadharatan dan kerusakan yang mengundang kemurkaan Allah ƒ¹
dan kewajiban meninggalkannya, dan meniggalkannya merupakan jalan yang harus
ditempuh oleh kaum mukminin.
* Bahwa firman Allah Subhannahu wa Ta’ala,artinya, “Orang-orang yang berkuasa atas
urusan mereka berkata, “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan
di atasnya.” (Al-Kahfi: 21) menunjukkan bahwa orang-orang yang berkuasa yang
dimaksud ialah para penguasa ketika mereka dibangunkan dari tidur mereka yaitu para
penguasa yang telah beragama dengan agama yang benar, karena para penguasa itu
mengagungkan dan memuliakan mereka, sehingga para penguasa tersebut berniat
membangun sebuah rumah peribadatan di atas gua mereka.
Meski hal itu dilarang khususnya dalam syari’at agama, maka yang dimaksud ialah
menjelaskan tentang ketakutan luar biasa yang dirasakan Ashhabul Kahfi ketika membela
dan mempertahankan keimanan mereka sehingga harus berlindung di sebuah gua dan
setelah itu Allah Subhannahu wa Ta’ala membalas perjuangan mereka dengan
penghormatan dan pengagungan dari manusia. Hal itu merupakan kebiasaan Allah
Subhannahu wa Ta’ala dalam membalas seseorang yang telah memikul penderitaan
karena-Nya serta menetapkan baginya balasan yang terpuji.
* Bahwa pembahasan yang panjang lebar dan bertele-tele dalam masalah-masalah yang
tidak penting; maka hal itu tidak perlu mendapatkan perhatian yang serius. Hal itu
merujuk firman Allah Ta’ala,artinya, “Karena itu janganlah kamu (Muhammad)
bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu
menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara
mereka.” (Al-Kahfi: 22).
* Bahwa bertanya kepada seseorang yang tidak berilmu dalam masalah yang akan
dimintai pertanggungan jawab di dalamnya atau orang yang tidak dapat dipercaya adalah
terlarang. Hal itu merujuk firman Allah Ta’ala,artinya, “،K dan jangan kamu menanyakan
tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.” (Al-Kahfi:
22).

También podría gustarte