Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
TAUBAT
Taubat merupakan suatu tindakan atau perbuatan penyesalaan atas dosa dan
kesalahan yang dilakukan. Taubat memiliki banyak keutamaan, terbukti banyak ayat-
ayat al-qur’an yang menyerukan agar manusia bertaubat. Diantaranya firman Allah dalam
surat An Nur ayat 31:
Bab VI
Adab terhad Orang yang Kena Musibah
:
“Allah senantiasa akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong
saudaranya sendiri.” (H.R Muslim)
Kita sering melihat ataupun menyaksikan bencana alam yang menimpa saudara kita,
mulai dari banjir, angin puyuh, kemarau berkepanjangan, kecelakaan, sampai dengan
peristiwa gempa bumi dan tsunami. Semua hal di atas menunjukkan bahwa betapa
lemahnya manusia dalam, menghadapi segala peristiwa yang ada. Adapun orang yang
kena musibah itu, harus sabar dan tawakkal dan menganggap bahwa apa yang menimpa
mereka adalah takdir Allah SWT.
Dalam gambar pada halaman berikut, menerangkan bahwa manusia memang makhluk
yang lemah, mereka masih bergantung kepada manusia lainnya. Tanga orang lain, kita
tidak bisa hidup. Apalagi kalau kita sedang sakit atau kesusahan, mau tidak mau kita
sangat membutuhkan bantuan orang lain. Dalam hal ini orang yang sangat kita harapkan
bantuannya adalah orang yang paling dekat rumahnya dengan rumah kita, tetangga kita.
Misalnya saja, tengah malam salah seorang keluarga kita jatuh sakit, sedangkan di rumah
tidak ada persediaan obat, maka biasanya kita minta tolong kepada tetangga kita, siapa
tahu dia punya persediaan obat di rumahnya. Atau jika harus dibawa ke dokter,
sedangkan kita tidak punya kendaraan, maka orang yang paling dekat dengan rumah kita
sebagai tempat minta pertolongannya untuk mengantarkan kita ke dokter / rumah sakit.
Ketika kita sekeluarga bepergian, kita menitipkan rumah kita kepada tetangga.
Dalam hal ini, bukan cuma orang dekat dari rumah kita, harus berbuat baik, tetapi lebih
dari pada itu kita sepantasnya berbuat baik kepada siapa saja yang membutuhkan
pertolongan. Agama kita menyuruh untuk saling tolong menolong antar sesama,
sebagaimana Allah berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 2:
Artinya :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan………”
Agar kita terhindar dari segala bencana, sebaiknya setelah kita melaksanakan ibadah atau
shalat lima waktu, kita memohon kepada Allah agar kita diberi keselamatan di dunia
maupun di akhirat, sebagaimana doanya :
Jika seorang muslim tertimpa bencana atau cobaan, hendaknya ia bersikap sebagai
berikut :
1. Agar mengerti, segala yang menimpa kepada manusia, baik itu sehat atau sakit, kaya
atau miskin, senang atau susah semua itu datangnya dari Allah SWT, yang menimpakan
taqdir dan ketentuan hanya Allah.
2. Menerima dan rela terhadap apa yang menimpanya, seraya mengucapkan :
Artinya :
“Segala puji bagi Allah, Allah yang menentukan dan apa yang Allah kehendaki pasti
akan terjadi. (H.R. Bukhari)
3. Jika menimpa suatu musibah atas dirinya, ia tidak menyesalinya dan berkata: “Jika”
(berandai-andai sesuatu yang sudah terjadi) termasuk dari perbuatan setan. Hal tersebut
dijelaskan dalam Hadits Rasulullah saw :
Artinya :
".....Lobalah kamu terhadap apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan
kepada Allah dan janganlah kamu patch semangat. Bila sesuatu menimpamu, maka
janganlah kamu mengatakan : Seandainya aku berbuat demikian dan seterusnya. Karena
ucapan seandainya membuka peluang perbuatan setan. Tetapi ucapkanlah : Segala
sesuatu atas kehendak dan kekuasaan Allah dan apa yang la kehendaki pasti terjadi. "
(H.R. Muslim)
4. Berserah diri (bertawakakal) kepada Allah SWT seraya mengucapkan :
(Cukuplah hanya Allah SWT sebaik-baik tempat berserah diri), mudah-mudahan Allah
SWT menggantikannya dengan yang lebih baik. Dan juga berucap : (Sesungguhnya
segala sesuatu itu milik Allah SWT dan kepada-Nya semua kembali). Dan juga terucap :
Artinya :
“Ya Allah tolonglah aku dalam musibah ini dan gantikanlah dengan yang baik-baik”
(H.R. Bukhari)
Semua do’a diatas merupakan do’a yang disunnahkan oleh Rasulullah saw.
5. Berusaha tabah menjalani hidup dan tidak menjadikan hal tersebut sebagai trauma
yang selalu menghantui dalam menjalani kehidupan ini.
C. Contoh Sederhana
Sudah menjadi kebiasaan di rumah Arif, setelah mandi sore, Arif beserta kedua orang
tuanya senang nonton berita dalam negeri di salah satu siaran televisi. Salah satu berita
pada saat itu adalah terjadinya tanah longsor di daerah Banjarnegara yang mengakibatkan
tewasnya puluhan orang dan hancurnya ratusan tempat tinggal. Mendengar berita itu,
Arif spontan berucap, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun". Kemudian Arif
mengungkapkan idenya kepada Ayahnya "Pak, bagaimana kalau Arif mengumpulkan
bantuan untuk korban tanah longsor itu?", tanya Arif kepada Bapaknya. Bapaknya
menjawab, "Waahh, itu ide yang bagus, tapi kamu harus 'mengajak teman-teman kamu
untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan sosial ini, dan bapak akan menyumbang 100 Kg
beras". "Kalau ibu mau nyumbang apa?", tanya Arif kepada Ibunya. "Ibu akan
menyumbang 100 dos makanan bayi, siapa tahu ada anak-anak yang ditinggal oleh
ibunya dan memerlukan makanan itu". Terima kasih Ayah, terima kasih ibu, besok di
sekolah Arif akan mengajak teman¬teman sekolah Arif untuk menyumbang bagi korban
bencana tersebut, tandas Arif sambil mempersiapkan dirinya untuk berangkat ke Mesjid
untuk shalat berjama'ah Maghrib.
Dari cerita di atas, menggambarkan bagaimana cara kita dalam membantu saudara-
saudara kita yang terkena bencana atau musibah. Hal ini patut kita contoh, bukan saja
untuk hal-hal seperti di atas, tetapi bisa jadi berpartisipasi dalam bidang pembangunan
dan kebersihan lingkungan dan sebagainya.
5. Meminta izin kepada mereka sebelum berjihad dan pergi untuk urusan lainnya
Izin kepada orang tua diperlukan untuk jihad yang belum ditentukan
(kewajibannya untuk dirinya-pent). Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah apakah aku boleh ikut
berjihad?” Beliau balik bertanya, ‘Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?’
Laki-laki tersebut menjawab, ‘Masih’. Beliau bersabda, ‘Berjihadlah (dengan cara
berbakti) kepada keduanya’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim), dan masih banyak hadits
yang semakna dengan hadits tersebut.
11. Mendahulukan berbakti kepada kedua orang tua daripada berbuat baik kepada
istri
Di antara hadits yang menunjukkan hal tersebut adalah kisah tiga orang yang terjebak di
dalam gua lalu mereka tidak bisa keluar kemudian mereka bertawasul dengan amal baik
mereka, di antara amal mereka, ‘ada yang mendahulukan memberi susu untuk kedua
orang tuanya, walaupun anak dan istrinya membutuhkan’.
Hak-Hak Orang Tua Setelah Mereka Meninggal Dunia
1. Mengurus jenazahnya dan banyak mendoakan keduanya, karena hal ini
merupakan bakti seorang anak kepada kedua orang tuanya.
2. Beristighfar (memohonkan ampun kepada Allah Ta’ala) untuk mereka berdua, karena
merekalah orang yang paling utama untuk didoakan agar Allah Ta’ala mengampuni dosa-
dosa mereka dan menerima amal baik mereka.
3. Menunaikan janji dan wasiat kedua orang tua yang belum terpenuhi semasa hidup
mereka, dan melanjutkan amal-amal baik yang pernah mereka kerjakan selama hidup
mereka. Sebab, pahala akan terus mengalir kepada mereka berdua apabila amal baik
tersebut dilanjutkan.
4. Memuliakan teman atau sahabat dekat kedua orang tua, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah bersabda, “Sesungguhnya bakti anak yang terbaik adalah seorang anak
yang menyambung tali persahabatan dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya
meninggal”. (HR. Muslim)
5. Menyambung tali silaturrahim dengan kerabat Ibu dan Ayah. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang ingin menyambung silaturrahim ayahnya
yang ada dikuburannya, maka sambunglah tali silaturrahim dengan saudara-saudara
ayahnya setelah ia meninggal”. (HR. Ibnu Hibban).
Semoga petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berbakti kepada kedua
orang tua di atas dapat kita wujudkan dalam kehidupan kita. Karena hal tersebut
merupakan hak mereka berdua sekaligus sebagai kewajiban kita sebagai anak yang shalih
untuk melakukannya. Wallahu a’lam.
Bab VII
Tuhanku Allah
Tidak diragukan lagi, siapa yang pernah merasakan pahitnya kezhaliman
meskipun sesaat, mencicipi sakitnya siksaan meskipun sebentar, pasti akan tahu mengapa
Rasulullah saw bersabda, ”Kezhaliman akan membawa kegelapan di hari kiamat.”
(Bukhari)
Masyithah telah merasakan beragam kezhaliman dan penyiksaan. Semua
ketidaknyamanan itu dihadapinya dengan tegar sampai akhirnya ia bertemu dengan
Tuhannya dengan ridha dan diridhai. Masyithah mengajarkan kepada kita tentang
sempurna dalam berkorban dan total dalam berderma. Ia telah sukses mendidik anak-
anaknya untuk mempersembahkan nyawa mereka untuk Allah swt.
Rasulullah saw. bercerita kepada kita, “Ketika menjalani Isra’ dan Mi’raj, aku mencium
bau yang sangat harum.” “Wahai Jibril, bau harum apa ini?” tanya Rasulullah. Jibril
menjawab, “Ini bau harum Masyithah –pelayan putri Fir’aun– dan anak-anaknya.” Saya
bertanya, “Apa kelebihan Masyithah?”
Jibril menjawab, ”Suatu hari Masyithah menyisir rambut putri Fir’aun. Sisirnya jatuh dari
tangannya. Ia berkata, ‘Bismillah.’ Putri Fir’aun kaget dan berkata kepadanya, ‘Dengan
menyebut nama ayahku.’ Ia menolak. ‘Tidak. Akan tetapi Tuhan saya dan Tuhan ayah
kamu adalah Allah.’ Ia menyuruh putri itu untuk menceritakan peristiwa tersebut kepada
ayahnya.
Putri itu pun menceritakan kepada Fir’aun. Maka Fir’aun memanggil Masyithah. Fir’aun
bertanya, “Wahai Fulanah, apakah engkau punya Tuhan selain aku?” Ia menjawab, “Ya,
Tuhan saya dan Tuhan kamu adalah Allah.” Fir’aun marah besar. Ia memerintahkan
dibuatkan tungku besar yang diisi timah panas; agar Masyithah dan anak-anaknya
dilemparkan ke dalamnya. Masyithah tidak menyerah. Begitu juga anak-anaknya.
Masyithoh meminta satu hal kepada Fir’aun, “Saya minta tulangku dan tulang anak-
anakku dibungkus menyatu dengan kain kafan.” Fir’aun menuruti permintaannya.
Bismillah
Sungguh, Masyithah wanita terhormat lagi mulia. Ia hidup di istana raja. Ia dekat
kekuasaan karena tugasnya merawat anak Fir’aun. Akan tetapi keimanan kepada Allah
swt. telah membuncah di kalbunya. Kadang ia menyembunyikan keimanannya seperti
yang dilakukan istri atau keluarga Fir’aun yang muslim lainnya.
Bedanya ketika iman telah memenuhi kalbu, maka lisan akan mengucapkan apa yang
terpendam dalam kalbu tanpa beban, tanpa paksaan, dan tanpa rasa takut. Inilah yang
dilakukan Masyithah. Ia mengatakan dengan dilandasi fitrah yang suci, ”Bismillah”,
tanpa memikirkan resiko yang akan dialaminya. Ia telah mengungkapkan isi kalbunya
yang telah disimpannya berhari-hari bahkan bertahun-tahun. Ia memproklamasikannya
dengan bangga dan gembira. Bahkan, ketika putri Fir’aun memintanya untuk mengakui
ketuhanan ayahnya, ia menolak tegas dengan mengatakan, ”Tuhan saya dan Tuhan ayah
kamu adalah Allah.”
Ia tidak takut siksaan. Ia tidak gentar dengan kekuatan Fir’aun yang terkenal bengis dan
tidak berperikemanusiaan. Apa pun yang terjadi, ia hadapi dengan tegar.
Ujian Kalbu
Sungguh ujian berat menimpa wanita mulia ini beserta anak-anaknya. Fir’aun
menghukum karena mereka beriman kepada Allah swt. dan rela dengan agama yang
mereka anut. Tanpa belas kasih Fir’aun melempar anak-anak Masyithah satu demi satu
ke tungku besar berisikan timah panas yang mendidih. Fir’aun melakukanya untuk
menakut-nakuti Masyithah. Fir’aun berharap naluri keibuan Masyithah iba akan nasib
anak-anaknya dan itu membuatnya lemah lalu mau kembali mengakui Fir’aun sebagai
Tuhan. Akan tetapi Allah swt. memperlihatkan kepada Fir’aun bahwa yang
menggenggam kalbu Masyithah adalah diri-Nya. Apakah Fir’aun mampu menguasai
kalbu seseorang yang telah beriman? Mungkin ia bisa membunuh jasadnya, tapi
mampukah membunuh ruhnya? Itu mustahil dilakukan Fir’aun.
Apa yang dihadapi Masyithah adalah ujian yang berat bagi kalbu orang yang beriman.
Namun, dorongan keimanan yang kuat membuatnya bertahan dan keluar menjadi
pemenang. Masyithah dan anak-anaknya membuktikan keimanannya kepada Allah
dengan mewakafkan diri hancur disiksa dengan cara yang sangat tidak
berperikemanusiaan oleh Fir’aun.
“Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru Ilah selain Dia,
sesungguhnya kami kalau demikian ،K.” (Al-Kahfi: 14), yakni jika seruan kami ditujukan
kepada selain-Nya, ،§maka sungguh kami telah mengucapkan perkataan yang amat jauh
dari kebenaran.” (Al-Kahfi: 14), yakni perkataan keji, dusta dan zhalim. Sedangkan
“kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai ilah-ilah (untuk disembah). Mengapa
mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah
yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allah.”
(Al-Kahfi: 15).
Setelah mereka sepakat mengenai keyakinan tersebut dan menyadari bahwa mereka tidak
mungkin menjelaskannya kepada kaum mereka, maka mereka memohon kepada Allah
Ta’ala supaya dimudahkan urusan mereka, artinya, “Wahai Rabb kami berikanlah rahmat
kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam
urusan kami (ini).” (Al-Kahfi: 10).
Kemudian mereka berlindung ke gua, lalu Allah Subhannahu wa Ta’ala memudahkan
urusan mereka, melapangkan lubang gua serta menempatkan pintunya di sebelah utara,
sehingga tidak terkena sinar matahari; baik ketika terbit maupun saat terbenam, dan
mereka tertidur dalam gua di bawah penjagaan serta perlindungan Allah Subhannahu wa
Ta’ala selama tiga ratus sembilan tahun. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah melindungi
mereka dari rasa takut, karena posisi mereka (gua) berdekatan dengan kota kaum mereka.
Allah Subhannahu wa Ta’ala senantiasa menjaga dan melindungi mereka dalam gua
tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,artinya, “Dan kamu mengira mereka
itu bangun padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri”
(Al-Kahfi: 18), supaya bumi tidak membusukan tubuh mereka.
Kemudian Allah Subhannahu wa Ta’ala membangunkan mereka setelah tertidur dalam
jangka waktu yang cukup lama “supaya mereka saling bertanya diantara mereka sendiri.”
(Al-Kahfi: 19). Akhirnya mereka menemukan jawaban yang sesungguhnya, sebagaimana
hal tersebut ditegaskan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, artinya,
“Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu berada (di
sini).” Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” Berkata (yang
lain lagi): “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka
suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu
ini.” (Al-Kahfi: 19). Allah Subhannahu wa Ta’ala menjelaskan kisah ini hingga akhir.
Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Dan Faidah-Faidah Yang Dapat Diambil Dari Kisah
Tersebut
Di dalam kisah tersebut terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Subhannahu wa Ta’ala dan
faidah-faidah yang bermanfaat, di antaranya:
* Bahwa kisah ashhabul kahfi, meskipun sangat mengagumkan, tetapi bukan merupakan
tanda kekuasaan Allah Subhannahu wa Ta’ala yang paling mengagumkan, karena Allah
Subhannahu wa Ta’ala memiliki tanda-tanda kekuasaan tersendiri dan kisah-kisah lain
yang di dalamnya terdapat pelajaran berharga bagi orang-orang yang berkenan
merenungkannya.
* bahwa orang yang memohon perlindungan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala, maka
Allah akan melindungi dan menyayanginya, dan menjadikan nya sebab-sebab untuk
menunjukkan orang-orang yang sesat. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah melindungi
ashhabul kahfi dalam tidur mereka yang cukup lama dengan memelihara keimanan dan
tubuh mereka dari gangguan serta pembunuhan kaum mereka dan Allah Subhannahu wa
Ta’ala menjadikan bangunnya mereka dari tidur mereka sebagai tanda kesempurnaan
kekuasaan-Nya, kebaikan-Nya yang banyak dan bermacam-macam, supaya hamba-
hamba-Nya mengetahui bahwa janji Allah Subhannahu wa Ta’ala pasti benar.
* Adalah perintah menuntut ilmu-ilmu yang bermanfaat dan mendiskusikannya, karena
Allah Ta’ala telah mengutus mereka untuk tujuan tersebut dan mengilhami mereka untuk
berdiskusi di antara mereka seputar keyakinan mereka dan pengetahuan masyarakat
mengenai keyakinan atau perilaku mereka sehingga diperoleh bukti-bukti dan
pengetahuan bahwa janji Allah pasti benar dan sesungguhnya kiamat itu pasti terjadi
tanpa ada keraguan di dalamnya.
* Adalah berkenaan dengan etika seseorang yang merasa samar mengenai sesuatu ilmu,
maka hendaklah ia mengembalikannya kepada gurunya dan berusaha untuk memahami
dengan seksama pelajaran yang telah diketahuinya.
* Bahwa sah mewakilkan dan mengadakan kerja sama dalam jual beli. Hal tersebut
merujuk perkataan mereka,artinya, “Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke
kota dengan membawa uang perakmu ini”, kemudian “،K maka hendaklah dia membawa
makanan itu untukmu.” (Al-Kahfi: 19).
* Bahwa diperbolehkannya memakan makanan yang baik-baik dan memilih makanan-
makanan yang layak dan sesuai dengan selera seseorang selama tidak melebihi batas-
batas kewajaran. Sedang jika melebihi batas-batas kewajaran maka hal tersebut termasuk
perbuatan yang dilarang. Hal itu didasarkan kepada perkataan salah seorang dari
mereka,artinya, “،K dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka
hendaklah dia membawa makanan itu untukmu.” (Al-Kahfi: 19).
* Adalah berkenaan dengan anjuran supaya memelihara, melindungi serta menjauhkan
diri dari perbuatan yang dapat menimbulkan fitnah dalam urusan agama dan harus
menyembunyikan ilmu yang mendorong manusia berbuat jahat.
* Adalah berkenaan dengan keterangan yang menjelaskan perhatian dan kecintaan para
pemuda itu kepada agama yang benar, pelarian mereka untuk menjauhkan diri dari semua
fitnah dalam urusan agama mereka dan pengasingan diri mereka dengan meninggalkan
kampung halaman serta kebiasaan mereka untuk menempuh jalan Allah Subhannahu wa
Ta’ala.
* Adalah berkenaan dengan keterangan yang menjelaskan hal-hal yang tercakup dalam
kejahatan, seperti kemadharatan dan kerusakan yang mengundang kemurkaan Allah ƒ¹
dan kewajiban meninggalkannya, dan meniggalkannya merupakan jalan yang harus
ditempuh oleh kaum mukminin.
* Bahwa firman Allah Subhannahu wa Ta’ala,artinya, “Orang-orang yang berkuasa atas
urusan mereka berkata, “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan
di atasnya.” (Al-Kahfi: 21) menunjukkan bahwa orang-orang yang berkuasa yang
dimaksud ialah para penguasa ketika mereka dibangunkan dari tidur mereka yaitu para
penguasa yang telah beragama dengan agama yang benar, karena para penguasa itu
mengagungkan dan memuliakan mereka, sehingga para penguasa tersebut berniat
membangun sebuah rumah peribadatan di atas gua mereka.
Meski hal itu dilarang khususnya dalam syari’at agama, maka yang dimaksud ialah
menjelaskan tentang ketakutan luar biasa yang dirasakan Ashhabul Kahfi ketika membela
dan mempertahankan keimanan mereka sehingga harus berlindung di sebuah gua dan
setelah itu Allah Subhannahu wa Ta’ala membalas perjuangan mereka dengan
penghormatan dan pengagungan dari manusia. Hal itu merupakan kebiasaan Allah
Subhannahu wa Ta’ala dalam membalas seseorang yang telah memikul penderitaan
karena-Nya serta menetapkan baginya balasan yang terpuji.
* Bahwa pembahasan yang panjang lebar dan bertele-tele dalam masalah-masalah yang
tidak penting; maka hal itu tidak perlu mendapatkan perhatian yang serius. Hal itu
merujuk firman Allah Ta’ala,artinya, “Karena itu janganlah kamu (Muhammad)
bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu
menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara
mereka.” (Al-Kahfi: 22).
* Bahwa bertanya kepada seseorang yang tidak berilmu dalam masalah yang akan
dimintai pertanggungan jawab di dalamnya atau orang yang tidak dapat dipercaya adalah
terlarang. Hal itu merujuk firman Allah Ta’ala,artinya, “،K dan jangan kamu menanyakan
tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.” (Al-Kahfi:
22).