Está en la página 1de 2

Pertambahan Kasus AIDS di Sumatera Utara

Oleh Syaiful W. Harahap*

“Sebulan, 31 orang terjangkit AIDS.” Ini judul berita di Harian ”WASPADA”, Medan
(16/8-2010). Ini tidak akurat karena tidak bisa diketahui secara pasti kapan seseorang
tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas pada orang yang baru tertular HIV.
Lagi pula yang menular bukan AIDS tapi HIV karena yang menular adalah virus yaitu
HIV. Sedangkan AIDS adalah terminologi yang disepakati secara internasional yang
merujuk kepada kondisi seseorang yang sudah tertular HIV antara 5-15 tahun yang
ditandai dengan penyakit-penyakit infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.

Disebutkan: ” Dalam jangka waktu sebulan terakhir ini, terhitung sejak Juni - Juli 2010
terjadi kenaikan angka orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yakni sebanyak 31 penderita di
Sumatera Utara.” Di judul disebutkan pertambahan kasus dalam kurun waktu sebulan,
tapi dalam berita disebutkan angka itu terdeteksi pada kurun waktu Juni – Juli 2010.
Tidak pula ada penjelasan berapa kasus HIV-positif dan AIDS dari 31 kasus itu.

Di bagian lain disebutkan: ” ....2.260 penderita HIV/AIDS dengan rincian HIV sebanyak
884 penderita dan AIDS 1.376 penderita.” Sayang, fakta ini tidak dibawa ke realitas
sosial sehingga angka ini tidak berbicara. Padahal, angka AIDS itu merupakan ’bencana’
karena ketika mereka terdeteksi HIV pada masa AIDS berarti mereka sudah tertular HIV
antara 5 atau 15 tahun sebelum tes HIV (terdeteksi). Sedangkan yang terdeteksi HIV
minimal mereka sudah tertular HIV tiga bulan. Pada rentang waktu itu pun mereka tidak
menyadari sudah mengidap HIV sehingga menjadi mata rantai penyebaran HIV pula.
Tidak bisa diketahui dengan pasti kapan seseorang tertular HIV.

Pada rentang waktu sebelum terdeteksi 1.376 penderita AIDS itu sudah menjadi mata
rantai penyebaran HIV secara horizontal tanpa mereka sadari. Jika semuanya bersuami
atau beristri maka sudah ada 2.752 (1.376 x 2) penduduk Sumut yang tertular HIV.
Angka ini belum termasuk anak-anak yang tertular dari ibunya (vertikal), dan pasangan
mereka di luar pernikahan, seperti pacar, selingkuhan atau pekerja seks. Pacar,
selingkuhan atau pekerja seks yang tetular kemudian menjadi mata rantai penyebaran
HIV pula. Begitu seterusnya sehingga kasus HIV bagiakan deret ukur.

Disebutkan: " .... kebanyakan datang setelah mereka menderita AIDS," kata Project
Officer Global Fund, Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, Andi Ilham Lubis. Ini
bukti bahwa banyak kasus terdeteksi pada masa AIDS. Maka, kalau angka kasus AIDS
dibawa ke realitas sosial akan tampak betapa penyebaran HIV sudah ’merajalela’ tanpa
bisa dikontrol.

Ada lagi pernyataan: ”Bisa mengenai kepada siapa saja ... (maksudnya penularan HIV).”
Ini tidak akurat karena yang berisiko tinggi tertular HIV tidak semua orang, tapi hanya
orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah atau sering melakukan hubungan
seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau
dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks atau pelaku kawin-cerai.
Soalnya, ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif sehingga ada risiko
penularan.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro”


Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

También podría gustarte