Está en la página 1de 7

1.

Jelaskan perlindungan hukum terhadap nasabah dan


masyarakat yang menggunakan jasa bank!
Pertama, untuk memberikan perlindungan hukum bagi
nasabah deposan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
mengamanatkan dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) dan mewajibkan setiap bank untuk menjamin dana
masyarakat yang disimpan dalam bank yang bersangkutan.
Amanat
dimaksud
telah
direalisasikan
dengan
diundangkannya

Undang-Undang

Nomor

24

Tahun

2004

tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Fungsinya adalah


menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif
dalam memelihara stabiltas sistem perbankan sesuai dengan
kewenangannya.
Kedua, perlindungan hukum bagi nasabah, khususnya
dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dengan bank. Hal
ini diatur melalui PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah sebagaimana telah diubah dengan PBI
No. 10/10/PBI/2008[12] dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang
Mediasi Perbankan sebagaimana telah diubah dengan PBI No.
10/1/PBI/2008.
Pasal 1 angka 4 PBI No. 7/7/PBI/2005, mendefinisikan
Pengaduan sebagai ungkapan ketidakpuasan Nasabah yang
disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial pada
Nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank.
Sesuai dengan Pasal 2 PBI No. 7/7/PBI/2005, bank wajib
menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis tentang
penerimaan

pengaduan,

penangangan

dan

penyelesaian

pengaduan, serta pemantauan penanganan dan penyelesaian


pengaduan.
Ketentuan mengenai kebijakan dan prosedur tertulis
dimaksud diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI)
No. 7/24/DPNP tertanggal 18 Juli 2005, yaitu sebagai berikut:
a) Kewajiban Bank untuk menyelesaikan Pengaduan

mencakup

kewajiban

menyelesaikan

Pengaduan

yang

diajukan secara lisan dan atau tertulis oleh Nasabah dan atau
Perwakilan Nasabah, termasuk yang diajukan oleh suatu
lembaga, badan hukum, dan atau bank lain yang menjadi
Nasabah Bank tersebut.
b) Setiap Nasabah, termasuk walk-in customer, memiliki hak
untuk mengajukan pengaduan.
c) Pengajuan pengaduan dapat dilakukan oleh Perwakilan
Nasabah yang bertindak untuk dan atas nama Nasabah
berdasarkan surat kuasa khusus dari Nasabah.
2. Apa yang dimaksud CDD (customer do diligent), apa yang
harus dilakukan customer dan apa yang harus dilakukan
bank?
Customer Due Diligence (CDD) merupakan suatu prinsip
kebijakan yang diterapkan dalam rangka mengetahui identitas
nasabah,

memantau

kegiatan

transaksi

nasabah,

mengidentifikasi dan melaporkan transaksi keuangan yang


mencurigakan yang dilakukan Bank untuk memastikan bahwa
transaksi

tersebut

sesuai

dengan

dengan

profil

Calon

Nasabah, WIC, atau Nasabah.


Kewajiban Bank
a. Wajib menerapkan prinsip mengenali nasabah yang telah
ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas dan Pengatur;
b. Wajib menerapkan prinsip mengenali nasabahnya yang
sekurang-kurangnya

memuat

identifikasi

nasabah,

verifikasi nasabah, dan pemantauan transaksi nasabah.


c. Wajib

mengetahui

bahwa

nasabah

yang

melakukan

transaksi dengan bank itu bertindak untuk diri sendiri atau


untuk dan atas nama orang lain.

d. Wajib

menolak

dan/atau

transaksi

dokumen

nasabah

pendukung

yang

apabila

identitas

diberikan

tidak

lengkap.
e. Wajib

menyimpan

catatan

dan

dokumen

mengenai

identitas pelaku transaksi paling singkat (lima) tahun sejak


berakhirnya hubungan usaha dengan nasabah.
f. Bank wajib melakukan pertemuan langsung (face to face)
dengan Calon Nasabah pada awal melakukan hubungan
usaha dalam rangka meyakini kebenaran identitas Calon
Nasabah.
Kewajiban Nasabah
Wajib memberikan identitas dan informasi yang benar
yang dibutuhkan oleh pihak Bank dan sekurang-kurangnya
memuat identitas diri, sumber dana (penghasilan), dan tujuan
transaksi dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Bank
dan melampirkan dokumen pendukungnya.
3. Kapan bank boleh menunda dan memutuskan transaksi
dengan masyarakat?
Bank dapat menghentikan atau melakukan pemutusan
hubungan usaha dengan nasabahnya jika:
a. Nasabah menolak untuk mematuhi prinsip mengenai bank,
atau
b. Bank meragukan kebenaran informasi yang disampaikan
oleh nasabah.
Menurut pasal 39 Ayat (2) bank boleh menunda
transaksi nasabahnya apabila nasabah tidak melengkapi
infomasi yang sebagaimana telah diatur dalam pasal 37 ayat
(1) huruf a angka 1, diantaranya adalah yang tidak meliputi:
a. nama Nasabah atau WIC pengirim;

b. nomor rekening Nasabah pengirim;


c. alamat Nasabah atau WIC pengirim;
d. nomor dokumen identitas, nomor identifikasi, atau
e. tempat dan tanggal lahir dari Nasabah atau WIC pengirim;
f. sumber dana Nasabah atau WIC pengirim
g. nama Nasabah atau WIC penerima;
h. nomor rekening Nasabah penerima;
i. alamat WIC penerima;
j. jumlah uang dan jenis mata uang; dan
k. tanggal transaksi;
Kemudian

pada

pasal

40

dikatakan

pula

apabila

memenuhi kriteria mencurigakan sebagaimana dimaksud


dalam ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang, Bank wajib melaporkan transfer dana
tersebut sebagai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.
4. Bagaimana bentuk UU Perlindungan Konsumen pada
masyarakat dan nasabah?
Pengaturan melalui UUPK yang sangat terkait dengan
perlindungan

hukum

bagi

nasabah

selaku

konsumen

perbankan adalah ketentuan mengenai klausula baku. Dari


peraturan

perundang

undangan

di

bidang

perbankan

ketentuan yang memberikan perlindungan hukum bagi nasabah


bank selaku konsumen antara lain adalah dengan diintrodusirnya
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Undang - Undang
Nomor 10 Tahun 1998. Di tingkat teknis payung hukum yang
melindungi nasabah antara lain adanya pengaturan mengenai
penyelesaian pengaduan nasabah dan mediasi perbankan
dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Pencantuman klausul - klausula dalam perjanjian kredit /
pembiayaan

pada

bank

sepatutnya

merupakan

upaya

kemitraan, karena baik bank selaku kreditur maupun nasabah

saling

membutuhkan

dalam

upaya

mengembangkan

usahanya masing - masing. Untuk itu dalam memberikan


perlindungan terhadap nasabah perlu adanya upaya edukasi
dan penjelasan mengenai isi perjanjian dimaksud. Adanya
kondisi

demikian,

melatar

belakangi

UUPK

memberikan

pengaturan mengenai klausula baku, yaitu sebagai berikut :


Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan / atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila :
a)

Menyatakan

pengalihan

tanggungjawab

pelaku

usaha.
b) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen.
c) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyeraha kembali uang yang dibayarkan atas barang
dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
d) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha bail secara
langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
e)

Mengatur

perihal

pembuktian

atas

hilangnya

kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli


oleh konsumen
5. Menurut pendapat anda, apakah perlindungan jasa keuangan
sudah cukup baik di Indonesia, berikan alasannya!
Sesungguhnya tanggung jawab pemerintah

sangat

besar dan strategis dalam melindungi kepentingan konsumen.


Di samping menyangkut pendidikan konsumen, pemerintah
juga diminta untuk mewujudkan kebijakan persaingan usaha
yang sehat dan efektif yang memungkinkan konsumen

membuat pilihan terbaik dengan manfaat terbesar di antara


produk barang dan jasa yang beredar. Lebih lanjut pemerintah
juga mesti dapat memastikan bahwa segala informasi yang
disampaikan oleh pelaku usaha kepada konsumen tentang
produk atau layanan jasanya adalah benar adanya.
Dalam hal layanan jasa keuangan, pemerintah juga
dituntut untuk memastikan bahwa tata kelola usaha penyedia
layanan jasa keuangan baik dan sehat, sehingga tidak
melunturkan

kepercayaan

konsumen.

Melalui

berbagai

kebijakan dan peraturan, sudah semestinya jasa keuangan


diawasi

dan

diatur

sedemikian

rupa

sehingga

mampu

mengelola dana masyarakat dengan akuntabel, transparan


dan bertanggung jawab. Melalui pengaturan yang ketat dan
tepat,

serta

dibarengi

dengan

pengawasan

yang

berkelanjutan, diharapkan risiko kerugian konsumen dapat


diminimalkan.
Namun sayang sekali, sampai saat ini konsumen jasa
keuangan (baik bank maupun bukan bank), masih belum
dapat menikmati perlindungan dari pemerintah. Campur
tangan Bank Indonesia maupun Pemerintah (Pusat dan
Daerah) dalam memastikan jasa keuangan yang sehat, relatif
masih sangat terbatas. Bahkan di sana sini masih ditemukan
kekosongan hukum, yakni ketiadaan otoritas publik di
daerah yang mengawasi dan melakukan penegakan hukum
atas perilaku usaha yang merugikan konsumen; seperti
misalnya praktik usaha negatif perusahaan asuransi maupun
lembaga pembiayaan konsumen. Seiring dengan era otonomi
daerah, semestinya kekosongan hukum tersebut harus segera
teratasi,

demi

perlindungan

dan

pemenuhan

hak-hak

konsumen.
Konsumen sangat membutuhkan adanya akses keadilan,
khususnya

ketika

konsumen

mengalami

kerugian

ketika

mengakses layanan jasa keuangan. Bagaimanapun juga


konsumen

yang

dirugikan

berhak

atas

ganti

kerugian;

sebaliknya pelaku usaha wajib memberikan ganti kerugian


kepada konsumen. Di sinilah arti penting adanya mekanisme
pemberian

ganti

rugi

yang

cepat,

murah,

dan

efektif.

Ketidaktahuan dan lemahnya daya tawar konsumen sudah


semestinya ditutup dengan ketersediaan mekanisme ganti
rugi yang efektif.

También podría gustarte