Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PENDAHULUAN
4,3 11,2 hari, dengan rata-rata keseluruhan 6,7 hari. Setelah diteliti lebih lanjut maka
didapatkan bahwa angka kuman lantai ruang perawatan mempunyai hubungan bermakna
dengan infeksi nosokomial (Suwarni, A, 2001).
Saat ini, insiden kejadian penyakit infeksi merupakan yang tertinggi di Indonesia. Di
samping itu infeksi nosokomial sering menimbulkan kematian, memperpanjang waktu
rawat nginap, menambah beban penderita dengan biaya tambahan untuk perawatan clan
pengobatan pasien (Dep.Kes RI Jakarta, 1983).
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di
negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi
masih menjadi penyebab utama. Suatu penelitian yang yang dilakukan oleh WHO
menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari
Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi
nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0% (Ducel, G, 2002).
Walaupun ilmu pengetahuan dan penelitian tentang mikrobiologi meningkat dengan
pesat pada 3 dekad terakhir serta sedikit demi sedikit resiko infeksi dapat dicegah, tetapi
semakin meningkatnya pasien-pasien dengan penyakit immunocompromised, bakteri yang
resisten antibiotik, super infeksi virus dan jamur, dan prosedur invasif, masih
menyebabkan infeksi nosokomial menimbulkan kematian sebanyak 88.000 kasus setiap
tahun. Selain itu, jika kita bandingkan kuman yang ada di masyarakat, mikroorganisme
yang berada di rumah sakit lebih berbahaya dan lebih resisten terhadap obat, karena
diperlukan antibiotik yang lebih poten atau suatu kombinasi antibiotik. Semua kondisi ini
dapat meningkatkan resiko infeksi kepada si pasien (Ducel,G, 2002).
dalam
pembahasan-pembahasan
makalah
sederhana,
yaitu
dengan
menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber
data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh
informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang
didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan
dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.
Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.
BAB II
3
PEMBAHASAN
3. Tanda klinis infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 48 jam sejak mulai
perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa infeksi sebelumnya.
2.1.2
Darmaji (2008) salah satu penyebabnya adalah mikroba pathogen seperti bakteri, virus,
jamur, dan lain-lain. Mikroba sebagai makhluk hidup (biotis) harus berkembang biak,
bergerak, dan berpindah tempat untuk bertahan hidup. Jenis infeksi nosokomial yang
sering terjadi menurut Tietjen dkk (2004) berdasarkan survey yang dilakukan yaitu:
1. Infeksi tempat pembedahan atau infeksi luka operasi
Menurut Vannesa (2010) infeksi luka operasi adalah sebuah luka bedah atau infeksi
yang harus terjadi dalam waktu 30 hari dari operasi bedah. Tanda dan gejala setidaknya
adanya salah satu dari tanda dan gejala berikut ini:
a.
b.
c.
d.
perineum, serta instrument medis dan operator. Beberapa penelitian menyebutkan bakteri
penyebab infeksi yaitu Stapylococcus Haemolyticus, Streptococcus Aureus, Escherichia
Coli.
4. Infeksi Saluran Cerna
Seorang pasien yang sedang dirawat dapat digolongakn terjangkit infeksi saluran cerna
apabila ditemukan gejala-gejala: adanya nyeri perut secara mendadak kadang-kadang
diserati nyeri kepala, nausea dan muntah-muntah yang diikuti diare, dapat disertai/tanpa
demam. Dikeadaan dengan sindrom gastroenteritis manifestasi klinis ini dapat muncul
setelah beberapa saat penderita mengkonsumsi makanan/minuman yang disajikan.
5. Infeksi Saluran Napas Bawah
Saluran napas bawah adalah organ vital untuk ventilasi, namun demikian tidak jarang
jaringan lunak pada saluran napas ini harus bersentuhan dengan peralatan medis untuk
berbagai indikasi, baik sebagai upaya menegakkan diagnosis, atau bagian dari terapi,
maupun sebagai upaya penunjang untuk kasus-kasus di luar kepentingan saluran napas itu
sendiri. Sebagai contoh: tindakan anestesi umum yang harus menggunakan pipa
endotrakeal, pipa orofaringeal, atau pipa nasofaringeal, tindakan laringoskopi atau
bronkoskopi, tindakan invasif yang lebih jauh seperti trakeostomi, pemasangan ventilator.
Semua tindakan medis infasif pada contoh kasus-kasus tersebut tentunya bukan tanpa
resiko bagi penderitanya. Resiko paling besarnya adalah menyebarnya mikrobia pathogen
ke organ yang terdekat, yaitu paru yang dapat menimbulkan peradangan parenkim paru
(Darmaji, 2008)
6. Bakteremia dan septicemia
Bakteremia dan septicemia adalah infeksi siskemik yang terjadi akibat penyebaran
bakteri atau produknya dari suatu focus infeksi kedalam peredaran darah. Menurut Tietjen,
dkk (2006) Septicemia merupakan keadaan yang gawat, oleh karena itu harus ditangani
secara cepat dan tepat untuk menghindari terjadinya akibat yang fatal. Bila terlambat, ada
kecenderungan mengarah ke keadaan syok dengan angka kematian yang tinggi (50-90%).
Sebagai pemicu timbulnya bakteremia dan septicemia karena adanya tindakan medis
infasif misalnya pemasangan kateter intravaskuler untuk berbagai keperluan seperti
pemberian obat, nutrisi parental, hemodialisis, dan sebagainya. Manifestasi klinisnya
berupa reaksi inflamasi siskemik, yaitu demam yang tinggi, serta nadi dan frekuensi
pernapasan meningkat. Demam yang ada akan bertahan selama minimal 24 jam dengan
atau tanpa pemberian antipiretik. Pada anak, secara umum tampak letargi, tidak mau
makan/minum, muntah, atau diare. Pada daerah kateter vena yang terpasang, kulit tampak
6
penyebab utamanya adalah bakteri dan virus, kadang-kadang jamur dan jarang disebabkan
oleh parasit. Peranannya dalam menyebabkan infeksi nosokomial tergantung dari
patogenesis atau virulensi dan jumlahnya.
2.1.4
petugas kesehatan, peralatan medis, lingkungan, makanan dan minuman, penderita lain,
pengunjung atau keluarga.
1. Petugas kesehatan
Petugas kesehatan khususnya perawat dapat menjadi sumber utama tertapar infeksi
yang dapat menularkan berbagai kuman ke pasien maupun tempat lain karena perawat ratarata setiap harinya 7-8 jam melakukan kontak langsung dengan pasien. Salah satu upaya
dalam pencegahan infeksi nosokomial yang paling penting adalah perilaku cuci tangan
karena tangan merupakan sumber penularan utama yang paling efisien untuk penularan
infeksi nosokomial. Perilaku mencuci tangan perawat yang kurang adekuat akan
memindahkan organisme-organisme bakteri pathogen secara langsung kepada hopes yang
menyebabkan infeksi nosokomial di semua jenis lingkungan pasien.
2. Lingkungan
Lingkungan rumah sakit yang tidak bersih juga bias menyebabkan infeksi nosokomial
sebab mikroorganisme penyebab infeksi bias tumbuh dan berkembang pada lingkungan
yang tidak bersih.
3. Peralatan medis
Peralatan medis yang dimaksud adalah alat yang digunakan melakukan tindakan
keperawatan, misalnya jarum, kateter, kassa, instrument, dan sebagainya. Bila peralatan
medis tidak dikelola kebersihan dan kesterilannya maka akan menyebabkan infeksi
nosokomial.
4. Makanan atau minuman
Hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita apakah sudah sesuai dengan
standart kebersihan bahan yang layak untuk dikonsumsi bila tidak bersih itu juga akan
menyebabkan infeksi terutama pada saluran pencernaan yang sedang mengalami iritasi.
7
5. Penderita lain
Keberadaan penderita lain dalam satu kamar atau ruangan atau bangsal perawatan
dapat merupakan sumber penularan.
6. Pengunjung
Pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke dalam lingkungan
rumah sakit, atau sebaliknya, yang dapat ditularkan dari dalam rumah sakit ke luar rumah
sakit. Infeksi nosokomial berasal dari proses penyebaran dari pelayanan kesehatan salah
satunya rumah sakit. Rumah sakit merupakan tempat berbagai macam penyakit yang
berasal dari pasien maupun dari pengunjung yang berstatus karier. Kuman penyakit ini
dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah sakit, seperti: udara, air, lantai, makanan
dan benda-benda medis maupun non medis (Darmadi, 2008). Salah satu sumber penularan
infeksi nosokomial di rumah sakit adalah perawat, yang dapat menyebarkan melalui kontak
langsung kepada pasien. Cara penularan terutama melalui tangan dan dari petugas
kesehatan maupun tenaga kesehatan yang lain, jarum infeksi, kateter urine, kateter
intravena, perban, dan cara keliru menangani luka ataupun peralatan operasi yang
terkontaminasi (Hidayat, 2008).
Kondisi-kondisi yang mempermudah terjadinya Infeksi nosokomial :
Menurut (Farida, 1999) Infeksi nosokomial mudah terjadi karena adanya beberapa keadaan
tertentu, yaitu sebagai berikut:
1. Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang sakit atau pasien, sehingga
jumlah dan jenis kuman penyakit yang ada lebih banyak dari pada ditempat lain.
2. Pasien mempunyai daya tahan tubuh rendah, sehingga mudah tertular.
3. Rumah sakit sering kali melakukan tindakan invasif mulai dari sederhana misalnya
suntikan sampai tindakan yang lebih besar, operasi. Dalam melakukan tindakan sering
kali petugas kurang memperhatikan tindakan aseptik dan antiseptik.
4. Mikroorganisme yang ada cenderung lebih resisten terhadap antibiotik, akibat
penggunaan berbagai macam antibiotik yang sering tidak rasional.
5. Adanya kontak langsung antara pasienatau petugas dengan pasien, yang dapat
menularkan kuman patogen.
6. Penggunaan alat-alat kedokteran yang terkontaminasi dengan kuman
Sumber infeksi nosokomial dapat berasal dari pasien, petugas rumah sakit,
pengunjung ataupun lingkungan rumah sakit. Selain itu setiap tindakan baik tindakan
invasif maupun non invasif yang akan dilakukan pada pasien mempunyai resiko terhadap
infeksi nosokomial. Menurut Farida (1999) sumber infeksi tindakan invasif (operasi)
adalah:
1. Petugas :
a. Tidak/kurang memahami cara-cara penularan
b. Tidak/kurang memperhatikan kebersihan perorangan
c. Tidak menguasai cara mengerjakan tindakan
d. Tidak memperhatikan/melaksanakan aseptik dan antiseptik
e. Tidak mematuhi SOP (standar operating procedure)
f. Menderita penyakit tertentu/infeksi/carier
2. Alat:
a. Kotor
b. Tidak steril
c. Rusak/karatan
d. Penyimpanan kurang baik
3. Pasien:
a. Persiapan diruang rawat kurang baik
b. Higiene pasien kurang baik
c. Keadaan gizi kurang baik (malnutrisi)
d. Sedang mendapat pengobatan imunosupresif
4. Lingkungan
a. Penerangan/sinar matahari kurang cukup
b. Sirkulasi udarah kurang baik
c. Kebersihan
d. kurang (banyak serangga, kotor, air tergenang)
e. Terlalu banyak peralatan diruangan
5. Banyak petugas diruangan
2.1.5
Patogenesis
Infeksi nosokomial disebabkan oleh virus, jamur, parasit; dan bakteri merupakan
patogen paling sering pada infeksi nosokomial. Patogen tersebut harus diperiksa pada
semua pasien dengan demam yang sebelumnya dirawat karena penyakit tanpa gejala
demam.
Faktor predisposisi terjadinya infeksi nosokomial pada seseorang antara lain :
a. Status imun yang rendah (pada usia lanjut dan bayi prematur).
b. Tindakan invasif, misalnya intubasi endotrakea, pemasangan kateter, pipa saluran
bedah, dan trakeostomi.
c. Pemakaian obat imunosupresif dan antimikroba.
d. Transfusi darah berulang.
9
Penularan oleh patogen di rumah sakit dapat terjadi melalui beberapa cara :
1. Penularan melalui kontak merupakan bentuk penularan yang sering dan penting infeksi
nosokomial. Ada 3 bentuk, yaitu:
a. Penularan melalui kontak langsung: melibatkan kontak tubuh dengan tubuh antara
pejamu yang rentan dengan yang terinfeksi.
b. Penularan melalui kontak tidak langsung: melibatkan kontak pada pejamu yang
rentan dengan benda yang terkontaminasi misalnya jarum suntik, pakaian, dan
sarung tangan.
c. Penularan melalui droplet, terjadi ketika individu yang terinfeksi batuk, bersin,
berbicara, atau melalui prosedur medis tertentu, misalnya bronkoskopi.
2. Penularan melalui udara yang mengandung mikroorganisme yang mengalami
evaporasi, atau partikel debu yang mengandung agen infeksius. Mikroorganisme yang
terbawa melalui udara dapat terhirup pejamu yang rentan yang berada pada ruangan
yang sama atau pada jarak yang jauh dari sumber infeksi. Sebagai contoh
mikroorganisme Legionella, Mycobacterium tuberculosis, Rubeola, dan virus varisela
3. Penularan melalui makanan, air, obat-obatan dan peralatan yang terkontaminasi.
4. Penularan melalui vektor, misalnya nyamuk, lalat, tikus, dan kutu.
Pasien lain
Personil rumah
Pengunjung
sakit
Penderita
Infeksi Sendiri
Mesin + Peralatan
Makanan
Sumber infeksi di rumah sakit
10
Tempat Keluar
Ekskreta : Sekreta; tetes
Sumber
Pejamu Rentan
obat; Peralatan
Cara Penularan
Kontak (langsung; tak
Penyebab Infeksi
muda/tua
Tempat Masuk
Lapisan mukosa; luka;
saluran cerna, urin, napas
Beberapa jamur, misalnya Candida albicans, Aspergillus sp., Cryptococcus
neoformans,
Cryptosporidium
yang
merupakan
organisme
oportunistik
dapat
Jenis mikroorganisme
Persentase
Saluran kemih
Gram-negative enteric
50%
Jamur
25%
Enterococci
10%
Staphylococcus aureus
20%
Pseudomonas
16%
Coagulase-negative Staphylococci
15%
Luka operasi
11
<10%
2.1.6
Coagulase-negative Staphylococci
40%
Enterococci
11,2%
Jamur
9,65%
Staphylococcus aureus
9,3%
Enterobacter species
6,2%
Pseudomonas
4,9%
Gejala Klinis
Tanda dan gejala sistemik infeksi nosokomial sama dengan infeksi lainnya, yaitu
demam, takikardia, takipneu, ruam kulit, dan malaise. Gejala dan tanda tersebut timbul
dalam waktu 48 jam atau lebih setelah pasien di rawat di rumah sakit, atau dalam 30 hari
setelah pasien keluar dari rumah sakit.
Sumber infeksi nosokomial dapat dicurigai jika terdapat penggunaan alat dalam
prosedur medis, sebagai contoh pemasangan pipa endotrakeal yang dapat dihubungkan
dengan sinusitis, otitis, trakeitis, dan pneumonia; pemasangan kateter intravaskular dapat
menyebabkan flebitis; kateter Foley dapat dihubungkan dengan infeksi saluran kemih oleh
karena kandida.
2.1.7
Tatalaksana
Pengobatan infeksi nosokomial bergantung pada etiologi yang mendasarinya. Infeksi
nosokomial pada daerah bedah atau ulkus dekubitus dapat dilakukan debridement. Sampel
dari jaringan harus di kultur untuk identifikasi patogen yang dicurigai.
Pada skabies nosokomial dapat diobati dengan antiskabies topikal atau oral.
Penggunaan antiskabies topikal, yaitu permetrin 5%, dan lindan 1% dianjurkan 2 kali
selang seminggu, sedangkan sulfur presipitatum 5-10% selama 3 hari berturut-turut.
Ivermektin oral diberikan dengan dosis 200 g/kgBB sebagai dosis tunggal dan dapat
diulang dalam 10-14 hari. Ivermektin oral diindikasikan pada pasien imunosupresif,
penyakit yang berat, pada keadaan wabah dan kasus dengan lesi yang berat.
12
2.1.8
Pencegahan
Pencegahan infeksi nosokomial memerlukan rencana yang terintegrasi dan
13
5. Penggunaan sarung tangan perlu saat melakukan tindakan bedah, merawat pasien
imunokompromais, dan saat melakukan tindakan invasif.
6. Tindakan injeksi yang aman dengan menggunakan jarum dan spuit steril; jika
mungkin gunakan yang sekali pakai.
Untuk mengurangi penularan mikroorganisme dari peralatan dan lingkungan,
diperlukan tindakan pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi. Kebijakan dan prosedur
tertulis yang diperbaharui secara rutin harus dikembangkan pada setiap fasilitas rumah
sakit.
Pasien dengan skabies harus diisolasi selama 24 jam setelah pengobatan. Tenaga
medis harus menggunakan sarung tangan saat kontak dengan pasien dan selama 24 jam
setelah pengobatan. Pada skabies Norwegia, selain sarung tangan, tenaga medis juga harus
menggunakan baju panjang dan sepatu tertutup. Pakaian dan peralatan tidur harus dicuci
dengan air panas dan dijemur. Barang yang tidak bisa dicuci harus diberi insektisidal
misalnya kloramine 5%, dan disimpan di dalam kantung plastik selama 10 hari atau dalam
lemari pendingin pada suhu 200C selama 72 jam.
2.1.9
Kewaspadaan Universal
Fokus utama penanganan masalah infeksi dalam pelayanan kesehatan adalah
mencegah infeksi. Salah satu upaya pencegahan infeksi nosokomial adalah menerapkan
Universal Precaution pada petugas kesehatan atau petugas pelayanan kesehatan. Universal
Precaution adalah kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh yang tidak membedakan
perlakuan terhadap setiap pasien, dan tidak tergantung pada diagnosis penyakitnya (Irianto,
2010). Kewaspadaan universal dimaksudkan untuk melindungi petugas layanan kesehatan
dan pasien lain terhadap penularan berbagai infeksi dalam darah dan cairan tubuh lain.
Menurut WHO (2005) kewaspadaan universal diterapkan dengan cara :
a. Cuci tangan setelah berhubungan dengan pasien atau setelah membuka sarung
b.
c.
d.
e.
tangan
Segera cuci tangan setelah ada hubungan dengan cairan tubuh
Pakai sarung tangan bila mungkin akan ada hubungan dengan cairan tubuh
Pakai masker dan kacamata pelindung bila mungkin ada percikan cairan tubuh
Tangani dan buang jarum suntik dan alat tajam lain secara aman; yang sekali pakai
f.
g.
h.
i.
14
15
8. Menggosok jari-jari tangan kanan pada telapak tangan kiri untuk membersihkan
kotoran kuku tangan kanan, begitu pula sebaliknya.
9. Bilas dengan air yang mengalir.
10. Pakai handuk kering dan bersih atau tissue sekali pakai untuk mengeringkan tangan.
2.1.10.2
Sterilisasi
Sterilisasi merupakan upaya pembunuhan atau pengahncuran semua bentuk
kehidupan mikroba yang dilakukan dirumah sakit melalui proses fisik maupun kimiawi.
Strelisisasi juga dapat dikatakan sebagai tindakan untuk membunuh kuman pathogen atau
apatogen beserta spora yang terdapat pada alat perawatan atau kedokteran dengan cara
merembus, menggunakan panas tinggi, atau bahan kimia. Sterilisasai adalah tahap awal
yang penting dari proses pengujian mikrobiologi. Ada 5 metode umum sterilisasi yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
1. Sterilisasi Uap
Sterilisasi uap dilakukan dengan autoklaf menggunakan uap air dalam tekanan sebagai
pensterilnya. Bila ada kelembapan (uap air) bakteri akan terkoagulasi dan dirusak pada
temperature yang lebih rendah dibandingkan bila tidak ada kelembapan. Mekanisme
penghancuran bakteri oleh uap air panas adalah karena terjadinya denaturasi dan koagulasi
beberapa protein esensial dari organism tersebut :
Prinsip cara kerja autoklaf
Seperti yang telah dijelaskan sebagian pada bab pengenalan alat, autoklaf adalah alat
untuk mensterilkan berbagai macam alat & bahan yang menggunakan tekanan 15 psi (2
atm) dan suhu 1210 C. Untuk cara kerja penggunaan autoklaf telah disampaikan di depan.
Suhu dan tekanan tinggi yang diberikan kepada alat dan media yang disterilisasi
memberikan kekuatan yang lebih besar untuk membunuh sel dibanding dengan udara
panas. Biasanya untuk mesterilkan media digunakan suhu 121o C dan tekanan 15 lb/in2 (SI
= 103,4 Kpa) selama 15 menit. Alasan digunakan suhu 121 o C atau 249,8o F adalah karena
air mendidih pada suhu tersebut jika digunakan tekanan 15 psi. Untuk tekanan 0 psi pada
ketinggian di permukaan laut (sea level) air mendidih pada suhu 100 o C, sedangkan untuk
autoklaf yang diletakkan di ketinggian sama, menggunakan tekanan 15 psi maka air akan
memdididh pada suhu 121o C. Ingat kejadian ini hanya berlaku untuk sea level, jika
16
dilaboratorium terletak pada ketinggian tertentu, maka pengaturan tekanan perlu disetting
ulang. Misalnya autoklaf diletakkan pada ketinggian 2700 kaki dpl, maka tekanan
dinaikkan menjadi 20 psi supaya tercapai suhu 121 o C untuk mendidihkan air. Semua
bentuk kehidupan akan mati jika dididihkan pada suhu 121o C dan tekanan 15 psi selama
15 menit.
Pada saat sumber panas dinyalakan, air dalam autoklaf lama kelamaan akan mendidih
dan uap air yang terbentuk mendesak udara yang mengisi autoklaf. Setelah semua udara
dalam autoklaf diganti dengan uap air, katup uap/udara ditutup sehingga tekanan udara
dalam autoklaf naik. Pada saat tercapai tekanan dan suhu yang sesuai, maka proses
sterilisasi dimulai dantimer mulai menghitung waktu mundur. Setelah proses sterilisasi
selesai, sumber panas dimatikan dan tekanan dibiarkan turun perlahan hingga mencapai 0
psi. Autoklaf tidak boleh dibuka sebelum tekanan mencapai 0 psi.
Untuk mendeteksi bahwa autoklaf bekerja dengan sempurna dapat digunakan mikroba
pengguji
yang
bersifat
termofilik
dan
memiliki
endospora
yaitu
Bacillus
17
Sterilisasi dengan penyaringan dilakukan untuk mensterilisasi cairan yang mudah rusak
jika terkena panas atu mudah menguap (volatile). Cairan yang disterilisasi dilewatkan ke
suatu saringan (ditekan dengan gaya sentrifugasi atau pompa vakum) yang berpori dengan
diameter yang cukup kecil untuk menyaring bakteri. Virus tidak akan tersaring dengan
metode ini.
4. Sterilisasi gas
Sterilisasi gas digunakan dalam pemaparan gas atau uap untuk membunuh
mikroorganisme dan sporanya. Meskipun gas dengan cepat berpenetrasi ke dalam pori dan
serbuk padat. Sterilisasi adalah fenomena permukaan dan mikroorganisme yang terkristal
akan dibunuh. Sterilisasi gas biasanya digunakan untuk bahan yang tidak bisa difiltrasi,
tidak tahan panas dan tidak tahan radiasi atau cahaya.
5. Sterilisasi dengan radiasi
Radiasi sinar gama atau partikel elektron dapat digunakan untuk mensterilkan jaringan
yang telah diawetkan maupun jaringan segar. Untuk jaringan yang dikeringkan secara
liofilisasi, sterilisasi radiasi dilakukan pada temperatur kamar (proses dingin) dan tidak
mengubah struktur jaringan, tidak meninggalkan residu dan sangat efektif untuk
membunuh mikroba dan virus sampai batas tertentu. Sterilisasi jaringan beku dilakukan
pada suhu -40o Celsius. Teknologi ini sangat aman untuk diaplikasikan pada jaringan
biologi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada sterilisasi, di antaranya:
a. Sterilisator (alat untuk mensteril) harus siap pakai, bersih dan masih berfungsi.
b. Peralatan yang akan disterilisasi harus dibungkus dan diberi label yang jelas dengan
c.
d.
e.
f.
2.1.10.3
Desinfeksi
Desinfeksi adalah proses pembuangan semua mikroorganisme patogen pada objek
yang tidak hidup dengan pengecualian pada endospora bakteri. Desinfeksi juga dikatakan
suatu tindakan yang dilakukan untuk membunuh kuman patogen dan apatogen tetapi tidak
dengan membunuh spora yang terdapat pada alat perawatan ataupun kedokteran.
Desinfeksi dilakukan dengan menggunakan bahan desinfektan melalui cara mencuci,
18
mengoles, merendam dan menjcmur dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi, dan
mengondisikan alat dalam keadaan siap pakai.
Kemampuan desinfeksi ditentukan oleh waktu sebelum pembersihan objek,
kandungan rat organik, tipe dan tingkat kontaminasi mikroba, konsentrasi dan waktu
pemaparan, kealamian objek, suhu, dan derajat keasaman (pH).
Disinfektan yang tidak berbahaya bagi permukaan tubuh dapat digunakan dan bahan
ini dinamakan antiseptik. Antiseptik adalah zat yang dapat menghambat atau
menghancurkan mikroorganisme pada jaringan hidup, sedang desinfeksi digunakan pada
benda mati. Desinfektan dapat pula digunakan sebagai antiseptik atau sebaliknya
tergantung dari toksisitasnya.
Desinfektan akan membantu mencegah infeksi terhadap pasien yang berasal dari
peralatan maupun dari staf medis yang ada di RS dan juga membantu mencegah
tertularnya
tenaga medis
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang berasal atau terjadi di rumah sakit.
Dalam bidang dermatologi, infeksi tersebut tidak menjadi perhatian karena tidak
menyebabkan kematian secara langsung, tetapi secara umum menjadi penting karena
berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas. Pengelupasan kulit yang luas pada
beberapa dermatosis, dan penggunaan glukokortikoid atau obat imunosupresif lainnya
dalam jangka panjang pada beberapa penyakit kulit merupakan faktor risiko terjadinya
infeksi nosokomial. Beberapa penyakit kulit juga dapat menimbulkan infeksi
nosokomial. Pemahaman akan tindakan pencegahan diperlukan untuk mengatasi
infeksi nosokomial.
20
3.2 Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan
mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :
a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.
b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.
Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-pihak
yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun
serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususunya
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara semester VII/2014
dalam penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA
21
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21521/5/Chapter%20I.pdf
http://perdoski.org/doc/mdvi/fulltext/20/115/Infeksi_Nososkomial_%2836-41%29.pdf
1. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27606/4/Chapter%20II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32297/4/Chapter%20II.pdf
22