Está en la página 1de 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi nosokomial merupakan infeksi silang yang terjadi akibat perpindahan
mikroorganisme melalui petugas kesehatan dan alat yang dipergunakan saat melakukan
tindakan. Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang
disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama
seseorang tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama
seseorang itu dirawat atau setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara
umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari
72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk
rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien berada
dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial ( Light RW, 2001).
Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh.
Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam
tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self infection atau auto
infection, sementara infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme
yang berasal dari rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien lainnya (Soeparman, dkk,
2001).
Rumah sakit merupakan suatu tempat dimana orang yang sakit dirawat dan
ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Rumah sakit ada lah tempatpasien
mendapatkan terapi dan perawatan agar sembuh dari penyakit yang diderita. Selain untuk
mencari kesembuhan, rumah sakit juga merupakan depot bagi berbagai macam penyakit
yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang berstatus karier. Kuman
penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah sakit seperti udara, air,
lantai, makanan dan benda-benda medis maupun non medis. Terjadinya infeksi nosokomial
akan menimbulkan banyak kerugian, antara lainnya adalah lama hari perawatan bertambah
panjang,penderitaan bertambah dan biaya meningkat (Suwarni, A, 2001).
Dari hasil studi deskriptif Suwarni, A di semua rumah sakit di Yogyakarta tahun 1999
menunjukkan bahwa proporsi kejadian infeksi nosokomial berkisar antara 0,0% hingga
12,06%, dengan rata-rata keseluruhan 4,26%. Untuk rerata lama perawatan berkisar antara
1

4,3 11,2 hari, dengan rata-rata keseluruhan 6,7 hari. Setelah diteliti lebih lanjut maka
didapatkan bahwa angka kuman lantai ruang perawatan mempunyai hubungan bermakna
dengan infeksi nosokomial (Suwarni, A, 2001).
Saat ini, insiden kejadian penyakit infeksi merupakan yang tertinggi di Indonesia. Di
samping itu infeksi nosokomial sering menimbulkan kematian, memperpanjang waktu
rawat nginap, menambah beban penderita dengan biaya tambahan untuk perawatan clan
pengobatan pasien (Dep.Kes RI Jakarta, 1983).
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di
negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi
masih menjadi penyebab utama. Suatu penelitian yang yang dilakukan oleh WHO
menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari
Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi
nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0% (Ducel, G, 2002).
Walaupun ilmu pengetahuan dan penelitian tentang mikrobiologi meningkat dengan
pesat pada 3 dekad terakhir serta sedikit demi sedikit resiko infeksi dapat dicegah, tetapi
semakin meningkatnya pasien-pasien dengan penyakit immunocompromised, bakteri yang
resisten antibiotik, super infeksi virus dan jamur, dan prosedur invasif, masih
menyebabkan infeksi nosokomial menimbulkan kematian sebanyak 88.000 kasus setiap
tahun. Selain itu, jika kita bandingkan kuman yang ada di masyarakat, mikroorganisme
yang berada di rumah sakit lebih berbahaya dan lebih resisten terhadap obat, karena
diperlukan antibiotik yang lebih poten atau suatu kombinasi antibiotik. Semua kondisi ini
dapat meningkatkan resiko infeksi kepada si pasien (Ducel,G, 2002).

1.2 Tujuan Pembahasan


Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan berguna
bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya dibagi
menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah
wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan
melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana pemikiran
ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu menganalisis suatu
persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini
ialah sebagai berikut :
a. Melengkapi tugas small group discussion skenario lima, modul dua puluh enam
(Penyakit Tropis) tentang Infeksi Nosokomial.
b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.
c. Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam menghadapi
ujian akhir modul.
Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat diharapkan
dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh tujuan tersebut
dapat tercapai dengan baik

1.3 Metode dan Teknik


Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang sering
digunakan

dalam

pembahasan-pembahasan

makalah

sederhana,

yaitu

dengan

menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber
data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh
informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang
didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan
dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.
Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.

BAB II
3

PEMBAHASAN

2.1 Infeksi Nosokomial


2.1.1 Defenisi
Infeksi adalah invasi tubuh oleh patogen atau mikroorganisme yang mampu
menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Berdasarkan uraian di atas peneliti
menyimpulkan bahwa infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh invasi patogen atau
mikroorganisme yang berkembang biak dan bertahan hidup dengan cara menyebar dari
satu orang ke orang lain sehingga menimbulkan sakit pada seseorang.
Istilah nosokomial berasal dari bahasa Yunani yaitu nosokomeion yang berarti rumah
sakit (nosos = penyakit, komeo= merawat). Infeksi nosokomial dapat diartikan infeksi
yang berasal atau terjadi di rumah sakit. Infeksi yang timbul dalam kurun waktu 48 jam
setelah dirawat di rumah sakit sampai dengan 30 hari lepas rawat dianggap sebagai infeksi
nosokomial.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien dari rumah sakit pada saat
pasien menjalani proses asuhan keperawatan. Infeksi nosokomial pada umumnya terjadi
pada pasien yang dirawat di ruang seperti ruang perawatan anak, perawatan penyakit
dalam, perawatan intensif, dan perawatan isolasi (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial
menurut Brooker (2008) adalah infeksi yang didapat darirumah sakit yang terjadi pada
pasien yang dirawat selama 72 jam dan pasien tersebut tidak menunjukkan tanda dan
gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit.
Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa infeksi nosokomial adalah
infeksi yang diperoleh dari rumah sakit yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan
pasien tersebut selama dirawat maupun sesudah dirawat yang dapat terjadi karena
intervensi yang dilakukan di rumah sakit seperti pemasangan infus, kateter, dan tindakantindakan operatif lainnya.
Suatu infeksi pada pasien dapat dinyatakan sebagai infeksi nosokomial bila
memenuhi beberapa kriteria :
1. Pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda klinis infeksi
tersebut.
2. Pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi
infeksi tersebut.

3. Tanda klinis infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 48 jam sejak mulai
perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa infeksi sebelumnya.
2.1.2

Jenis infeksi nosokomial


Penyakit infeksi nosokomial dapat timbul karena beberapa penyebab, menurut

Darmaji (2008) salah satu penyebabnya adalah mikroba pathogen seperti bakteri, virus,
jamur, dan lain-lain. Mikroba sebagai makhluk hidup (biotis) harus berkembang biak,
bergerak, dan berpindah tempat untuk bertahan hidup. Jenis infeksi nosokomial yang
sering terjadi menurut Tietjen dkk (2004) berdasarkan survey yang dilakukan yaitu:
1. Infeksi tempat pembedahan atau infeksi luka operasi
Menurut Vannesa (2010) infeksi luka operasi adalah sebuah luka bedah atau infeksi
yang harus terjadi dalam waktu 30 hari dari operasi bedah. Tanda dan gejala setidaknya
adanya salah satu dari tanda dan gejala berikut ini:
a.
b.
c.
d.

Bernanah dari tempat pembedahan


Purulen dari luka atau drain ditempatkan di luka
Organisme terisolasi dari budaya luka aseptik diperoleh
Harus setidaknya satu dari tanda-tanda dan gejala infeksi rasa sakit atau nyeri,

pembengkakan lokal, atau kemerahan / panas.


2. Infeksi Saluran kemih (ISK)
Infeksi saluran kemih kemungkinan terjadi terutama setelah tindakan kateterisasi.
Tindakan infasive lainnya seperti tindakan operatif vagina, oleh karena itu pencegahan
infeksi saluran kemih (nosokomial) merupakan suatu keharusan. Sebagai penyebab adalah
bakteri gram negative terutama Psudomonas sp. dan kelompok Enterobacter dengan
manifestasi klinisnya adalah nyeri suprasimfisis, nyeri pinggang, disuria, serta urin yang
keruh atau piuria (Darmaji, 2008).
3. Febris Puerperalis
Febris puerperalis atau demam nifas merupakan infeksi yang muncul pascapersalinan
pervaginam. Tidak semua persalinan berjalan spontan. Diperkirakan 7-8% akan mengalami
kesulitan atau distoria (patologis). Untuk menyelesaikan persalinan distosia ini diperlukan
adanya tindakan infasife yang sering kali membutuhkan instrument medis. Resiko adanya
terjadinya trauma jalan lahir serta trauma pada janin. Trauma jalan lahir yang terjadi
berupa robekan, laserasi, serta pendarahan yang dapat menimbulkan infeksi. Trauma juga
terjadi karena pengunaan instrument medis untuk mengatasi persalinan. Terjadinya infeksi
karena mikrobia pathogen terutama berasal dari flora normal vagina dan kulit di sekitar
5

perineum, serta instrument medis dan operator. Beberapa penelitian menyebutkan bakteri
penyebab infeksi yaitu Stapylococcus Haemolyticus, Streptococcus Aureus, Escherichia
Coli.
4. Infeksi Saluran Cerna
Seorang pasien yang sedang dirawat dapat digolongakn terjangkit infeksi saluran cerna
apabila ditemukan gejala-gejala: adanya nyeri perut secara mendadak kadang-kadang
diserati nyeri kepala, nausea dan muntah-muntah yang diikuti diare, dapat disertai/tanpa
demam. Dikeadaan dengan sindrom gastroenteritis manifestasi klinis ini dapat muncul
setelah beberapa saat penderita mengkonsumsi makanan/minuman yang disajikan.
5. Infeksi Saluran Napas Bawah
Saluran napas bawah adalah organ vital untuk ventilasi, namun demikian tidak jarang
jaringan lunak pada saluran napas ini harus bersentuhan dengan peralatan medis untuk
berbagai indikasi, baik sebagai upaya menegakkan diagnosis, atau bagian dari terapi,
maupun sebagai upaya penunjang untuk kasus-kasus di luar kepentingan saluran napas itu
sendiri. Sebagai contoh: tindakan anestesi umum yang harus menggunakan pipa
endotrakeal, pipa orofaringeal, atau pipa nasofaringeal, tindakan laringoskopi atau
bronkoskopi, tindakan invasif yang lebih jauh seperti trakeostomi, pemasangan ventilator.
Semua tindakan medis infasif pada contoh kasus-kasus tersebut tentunya bukan tanpa
resiko bagi penderitanya. Resiko paling besarnya adalah menyebarnya mikrobia pathogen
ke organ yang terdekat, yaitu paru yang dapat menimbulkan peradangan parenkim paru
(Darmaji, 2008)
6. Bakteremia dan septicemia
Bakteremia dan septicemia adalah infeksi siskemik yang terjadi akibat penyebaran
bakteri atau produknya dari suatu focus infeksi kedalam peredaran darah. Menurut Tietjen,
dkk (2006) Septicemia merupakan keadaan yang gawat, oleh karena itu harus ditangani
secara cepat dan tepat untuk menghindari terjadinya akibat yang fatal. Bila terlambat, ada
kecenderungan mengarah ke keadaan syok dengan angka kematian yang tinggi (50-90%).
Sebagai pemicu timbulnya bakteremia dan septicemia karena adanya tindakan medis
infasif misalnya pemasangan kateter intravaskuler untuk berbagai keperluan seperti
pemberian obat, nutrisi parental, hemodialisis, dan sebagainya. Manifestasi klinisnya
berupa reaksi inflamasi siskemik, yaitu demam yang tinggi, serta nadi dan frekuensi
pernapasan meningkat. Demam yang ada akan bertahan selama minimal 24 jam dengan
atau tanpa pemberian antipiretik. Pada anak, secara umum tampak letargi, tidak mau
makan/minum, muntah, atau diare. Pada daerah kateter vena yang terpasang, kulit tampak
6

merah, edema disertai nyeri, dan kadang-kadang ditemukan eksudat.


2.1.3

Penyebab Infeksi Nosokomial


Mikroorganisme penyebab infeksi dapat berupa : bakteri, virus, fungi dan parasit,

penyebab utamanya adalah bakteri dan virus, kadang-kadang jamur dan jarang disebabkan
oleh parasit. Peranannya dalam menyebabkan infeksi nosokomial tergantung dari
patogenesis atau virulensi dan jumlahnya.
2.1.4

Faktor-faktor Pencetus Infeksi Nosokomial


Faktor-faktor yang mempengaruhi proses infeksi menurut Darmadi (2008) adalah:

petugas kesehatan, peralatan medis, lingkungan, makanan dan minuman, penderita lain,
pengunjung atau keluarga.
1. Petugas kesehatan
Petugas kesehatan khususnya perawat dapat menjadi sumber utama tertapar infeksi
yang dapat menularkan berbagai kuman ke pasien maupun tempat lain karena perawat ratarata setiap harinya 7-8 jam melakukan kontak langsung dengan pasien. Salah satu upaya
dalam pencegahan infeksi nosokomial yang paling penting adalah perilaku cuci tangan
karena tangan merupakan sumber penularan utama yang paling efisien untuk penularan
infeksi nosokomial. Perilaku mencuci tangan perawat yang kurang adekuat akan
memindahkan organisme-organisme bakteri pathogen secara langsung kepada hopes yang
menyebabkan infeksi nosokomial di semua jenis lingkungan pasien.
2. Lingkungan
Lingkungan rumah sakit yang tidak bersih juga bias menyebabkan infeksi nosokomial
sebab mikroorganisme penyebab infeksi bias tumbuh dan berkembang pada lingkungan
yang tidak bersih.
3. Peralatan medis
Peralatan medis yang dimaksud adalah alat yang digunakan melakukan tindakan
keperawatan, misalnya jarum, kateter, kassa, instrument, dan sebagainya. Bila peralatan
medis tidak dikelola kebersihan dan kesterilannya maka akan menyebabkan infeksi
nosokomial.
4. Makanan atau minuman
Hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita apakah sudah sesuai dengan
standart kebersihan bahan yang layak untuk dikonsumsi bila tidak bersih itu juga akan
menyebabkan infeksi terutama pada saluran pencernaan yang sedang mengalami iritasi.
7

5. Penderita lain
Keberadaan penderita lain dalam satu kamar atau ruangan atau bangsal perawatan
dapat merupakan sumber penularan.
6. Pengunjung
Pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke dalam lingkungan
rumah sakit, atau sebaliknya, yang dapat ditularkan dari dalam rumah sakit ke luar rumah
sakit. Infeksi nosokomial berasal dari proses penyebaran dari pelayanan kesehatan salah
satunya rumah sakit. Rumah sakit merupakan tempat berbagai macam penyakit yang
berasal dari pasien maupun dari pengunjung yang berstatus karier. Kuman penyakit ini
dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah sakit, seperti: udara, air, lantai, makanan
dan benda-benda medis maupun non medis (Darmadi, 2008). Salah satu sumber penularan
infeksi nosokomial di rumah sakit adalah perawat, yang dapat menyebarkan melalui kontak
langsung kepada pasien. Cara penularan terutama melalui tangan dan dari petugas
kesehatan maupun tenaga kesehatan yang lain, jarum infeksi, kateter urine, kateter
intravena, perban, dan cara keliru menangani luka ataupun peralatan operasi yang
terkontaminasi (Hidayat, 2008).
Kondisi-kondisi yang mempermudah terjadinya Infeksi nosokomial :
Menurut (Farida, 1999) Infeksi nosokomial mudah terjadi karena adanya beberapa keadaan
tertentu, yaitu sebagai berikut:
1. Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang sakit atau pasien, sehingga
jumlah dan jenis kuman penyakit yang ada lebih banyak dari pada ditempat lain.
2. Pasien mempunyai daya tahan tubuh rendah, sehingga mudah tertular.
3. Rumah sakit sering kali melakukan tindakan invasif mulai dari sederhana misalnya
suntikan sampai tindakan yang lebih besar, operasi. Dalam melakukan tindakan sering
kali petugas kurang memperhatikan tindakan aseptik dan antiseptik.
4. Mikroorganisme yang ada cenderung lebih resisten terhadap antibiotik, akibat
penggunaan berbagai macam antibiotik yang sering tidak rasional.
5. Adanya kontak langsung antara pasienatau petugas dengan pasien, yang dapat
menularkan kuman patogen.
6. Penggunaan alat-alat kedokteran yang terkontaminasi dengan kuman
Sumber infeksi nosokomial dapat berasal dari pasien, petugas rumah sakit,
pengunjung ataupun lingkungan rumah sakit. Selain itu setiap tindakan baik tindakan
invasif maupun non invasif yang akan dilakukan pada pasien mempunyai resiko terhadap

infeksi nosokomial. Menurut Farida (1999) sumber infeksi tindakan invasif (operasi)
adalah:
1. Petugas :
a. Tidak/kurang memahami cara-cara penularan
b. Tidak/kurang memperhatikan kebersihan perorangan
c. Tidak menguasai cara mengerjakan tindakan
d. Tidak memperhatikan/melaksanakan aseptik dan antiseptik
e. Tidak mematuhi SOP (standar operating procedure)
f. Menderita penyakit tertentu/infeksi/carier
2. Alat:
a. Kotor
b. Tidak steril
c. Rusak/karatan
d. Penyimpanan kurang baik
3. Pasien:
a. Persiapan diruang rawat kurang baik
b. Higiene pasien kurang baik
c. Keadaan gizi kurang baik (malnutrisi)
d. Sedang mendapat pengobatan imunosupresif
4. Lingkungan
a. Penerangan/sinar matahari kurang cukup
b. Sirkulasi udarah kurang baik
c. Kebersihan
d. kurang (banyak serangga, kotor, air tergenang)
e. Terlalu banyak peralatan diruangan
5. Banyak petugas diruangan

2.1.5

Patogenesis
Infeksi nosokomial disebabkan oleh virus, jamur, parasit; dan bakteri merupakan

patogen paling sering pada infeksi nosokomial. Patogen tersebut harus diperiksa pada
semua pasien dengan demam yang sebelumnya dirawat karena penyakit tanpa gejala
demam.
Faktor predisposisi terjadinya infeksi nosokomial pada seseorang antara lain :
a. Status imun yang rendah (pada usia lanjut dan bayi prematur).
b. Tindakan invasif, misalnya intubasi endotrakea, pemasangan kateter, pipa saluran
bedah, dan trakeostomi.
c. Pemakaian obat imunosupresif dan antimikroba.
d. Transfusi darah berulang.
9

Penularan oleh patogen di rumah sakit dapat terjadi melalui beberapa cara :
1. Penularan melalui kontak merupakan bentuk penularan yang sering dan penting infeksi
nosokomial. Ada 3 bentuk, yaitu:
a. Penularan melalui kontak langsung: melibatkan kontak tubuh dengan tubuh antara
pejamu yang rentan dengan yang terinfeksi.
b. Penularan melalui kontak tidak langsung: melibatkan kontak pada pejamu yang
rentan dengan benda yang terkontaminasi misalnya jarum suntik, pakaian, dan
sarung tangan.
c. Penularan melalui droplet, terjadi ketika individu yang terinfeksi batuk, bersin,
berbicara, atau melalui prosedur medis tertentu, misalnya bronkoskopi.
2. Penularan melalui udara yang mengandung mikroorganisme yang mengalami
evaporasi, atau partikel debu yang mengandung agen infeksius. Mikroorganisme yang
terbawa melalui udara dapat terhirup pejamu yang rentan yang berada pada ruangan
yang sama atau pada jarak yang jauh dari sumber infeksi. Sebagai contoh
mikroorganisme Legionella, Mycobacterium tuberculosis, Rubeola, dan virus varisela
3. Penularan melalui makanan, air, obat-obatan dan peralatan yang terkontaminasi.
4. Penularan melalui vektor, misalnya nyamuk, lalat, tikus, dan kutu.

Pasien lain

Personil rumah

Pengunjung

sakit

Penderita
Infeksi Sendiri

Mesin + Peralatan

Makanan
Sumber infeksi di rumah sakit
10

Tempat Keluar
Ekskreta : Sekreta; tetes

Sumber
Pejamu Rentan

Manusia: air & larutan;

Kekebalan lemah; pasca

obat; Peralatan

Cara Penularan
Kontak (langsung; tak

bedah; luka bakar;

langsung, tetes); melalui

penyakit kronis; usia

udara, benda; vektor

Penyebab Infeksi

muda/tua

Bakteri, jamur, virus,


parasit

Tempat Masuk
Lapisan mukosa; luka;
saluran cerna, urin, napas
Beberapa jamur, misalnya Candida albicans, Aspergillus sp., Cryptococcus
neoformans,

Cryptosporidium

yang

merupakan

organisme

oportunistik

dapat

menyebabkan infeksi selama pasien mendapat pengobatan dengan antibiotika spektrum


luas dan dalam keadaan imunosupresif berat.
Mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial.
Lokasi

Jenis mikroorganisme

Persentase

Saluran kemih

Gram-negative enteric

50%

Jamur

25%

Enterococci

10%

Staphylococcus aureus

20%

Pseudomonas

16%

Coagulase-negative Staphylococci

15%

Luka operasi

11

Enterococci, jamur, Enterobacter,

<10%

dan Escherichia coli


Darah

2.1.6

Coagulase-negative Staphylococci

40%

Enterococci

11,2%

Jamur

9,65%

Staphylococcus aureus

9,3%

Enterobacter species

6,2%

Pseudomonas

4,9%

Gejala Klinis
Tanda dan gejala sistemik infeksi nosokomial sama dengan infeksi lainnya, yaitu

demam, takikardia, takipneu, ruam kulit, dan malaise. Gejala dan tanda tersebut timbul
dalam waktu 48 jam atau lebih setelah pasien di rawat di rumah sakit, atau dalam 30 hari
setelah pasien keluar dari rumah sakit.
Sumber infeksi nosokomial dapat dicurigai jika terdapat penggunaan alat dalam
prosedur medis, sebagai contoh pemasangan pipa endotrakeal yang dapat dihubungkan
dengan sinusitis, otitis, trakeitis, dan pneumonia; pemasangan kateter intravaskular dapat
menyebabkan flebitis; kateter Foley dapat dihubungkan dengan infeksi saluran kemih oleh
karena kandida.

2.1.7

Tatalaksana
Pengobatan infeksi nosokomial bergantung pada etiologi yang mendasarinya. Infeksi

nosokomial pada daerah bedah atau ulkus dekubitus dapat dilakukan debridement. Sampel
dari jaringan harus di kultur untuk identifikasi patogen yang dicurigai.
Pada skabies nosokomial dapat diobati dengan antiskabies topikal atau oral.
Penggunaan antiskabies topikal, yaitu permetrin 5%, dan lindan 1% dianjurkan 2 kali
selang seminggu, sedangkan sulfur presipitatum 5-10% selama 3 hari berturut-turut.
Ivermektin oral diberikan dengan dosis 200 g/kgBB sebagai dosis tunggal dan dapat
diulang dalam 10-14 hari. Ivermektin oral diindikasikan pada pasien imunosupresif,
penyakit yang berat, pada keadaan wabah dan kasus dengan lesi yang berat.

12

2.1.8

Pencegahan
Pencegahan infeksi nosokomial memerlukan rencana yang terintegrasi dan

terprogram, terdiri atas:


1. Membatasi penularan organisme dari atau antar pasien dengan cara mencuci
tangan, menggunakan sarung tangan, tindakan aseptik, isolasi pasien, sterilisasi,
dan desinfeksi.
2. Mengontrol risiko penularan dari lingkungan.
3. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotik profilaksis yang tepat, nutrisi
yang cukup, dan vaksinasi.
4. Mengurangi risiko infeksi endogen dengan cara mengurangi prosedur invasif dan
menggunakan antimikroba secara optimal.
5. Pengamatan infeksi, identifikasi, dan pengendalian wabah.
6. Pencegahan infeksi pada tenaga medis.
7. Edukasi terhadap tenaga medis.
Pengurangan penularan infeksi dari orang ke orang dapat melalui :
1. Mencuci tangan. Tangan tidak pernah bebas dari berbagai macam kuman. Kuman
tersebut dapat berasal dari benda atau alat yang terkontaminasi, atau merupakan
flora normal. Kebiasaan cuci tangan sebelum melakukan suatu pekerjaan menjadi
penting dalam upaya pencegahan infeksi. Kepatuhan mencuci tangan pada tenaga
medis belum optimal karena beberapa alasan, yaitu kurangnya peralatan yang
tersedia, alergi terhadap bahan pembersih tangan, kurangnya pengetahuan tenaga
medis mengenai prosedur cuci tangan, dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
mencuci tangan.
2. Higiene personal. Kuku harus bersih dan dipotong pendek, kumis, dan janggut
harus dipotong pendek dan bersih serta rambut harus diikat.
3. Pakaian. Bahan pakaian harus dari bahan yang mudah dicuci dan didekontaminasi.
Pakaian harus diganti setelah terpajan darah, menjadi basah karena keringat
berlebihan, atau terpajan cairan lainnya.
4. Penggunaan masker bertujuan untuk melindungi pasien dan tenaga medis.
Penggunaan masker oleh tenaga medis saat bekerja di ruang operasi dan saat
merawat pasien imunokompromais memberikan perlindungan untuk pasien. Tenaga
medis harus memakai masker ketika merawat pasien dengan infeksi yang
ditularkan melalui udara, atau ketika melakukan bronkoskopi. Pasien dengan
infeksi yang ditularkan melalui udara harus menggunakan masker ketika berada di
luar ruang isolasi.

13

5. Penggunaan sarung tangan perlu saat melakukan tindakan bedah, merawat pasien
imunokompromais, dan saat melakukan tindakan invasif.
6. Tindakan injeksi yang aman dengan menggunakan jarum dan spuit steril; jika
mungkin gunakan yang sekali pakai.
Untuk mengurangi penularan mikroorganisme dari peralatan dan lingkungan,
diperlukan tindakan pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi. Kebijakan dan prosedur
tertulis yang diperbaharui secara rutin harus dikembangkan pada setiap fasilitas rumah
sakit.
Pasien dengan skabies harus diisolasi selama 24 jam setelah pengobatan. Tenaga
medis harus menggunakan sarung tangan saat kontak dengan pasien dan selama 24 jam
setelah pengobatan. Pada skabies Norwegia, selain sarung tangan, tenaga medis juga harus
menggunakan baju panjang dan sepatu tertutup. Pakaian dan peralatan tidur harus dicuci
dengan air panas dan dijemur. Barang yang tidak bisa dicuci harus diberi insektisidal
misalnya kloramine 5%, dan disimpan di dalam kantung plastik selama 10 hari atau dalam
lemari pendingin pada suhu 200C selama 72 jam.
2.1.9

Kewaspadaan Universal
Fokus utama penanganan masalah infeksi dalam pelayanan kesehatan adalah

mencegah infeksi. Salah satu upaya pencegahan infeksi nosokomial adalah menerapkan
Universal Precaution pada petugas kesehatan atau petugas pelayanan kesehatan. Universal
Precaution adalah kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh yang tidak membedakan
perlakuan terhadap setiap pasien, dan tidak tergantung pada diagnosis penyakitnya (Irianto,
2010). Kewaspadaan universal dimaksudkan untuk melindungi petugas layanan kesehatan
dan pasien lain terhadap penularan berbagai infeksi dalam darah dan cairan tubuh lain.
Menurut WHO (2005) kewaspadaan universal diterapkan dengan cara :
a. Cuci tangan setelah berhubungan dengan pasien atau setelah membuka sarung
b.
c.
d.
e.

tangan
Segera cuci tangan setelah ada hubungan dengan cairan tubuh
Pakai sarung tangan bila mungkin akan ada hubungan dengan cairan tubuh
Pakai masker dan kacamata pelindung bila mungkin ada percikan cairan tubuh
Tangani dan buang jarum suntik dan alat tajam lain secara aman; yang sekali pakai

f.
g.
h.
i.

tidak boleh dipakai ulang


Bersihkan dan disinfeksikan tumpahan cairan tubuh dengan bahan yang cocok
Patuhi standar untuk disinfeksi dan sterilisasi alat medis
Tangani semua bahan yang tercemar dengan cairan tubuh sesuai dengan prosedur
Buang limbah sesuai prosedur.

14

2.1.10 Prosedur Aseptik


2.1.10.1 Mencuci Tangan
Mencuci tangan adalah proses membuang kotoran dan debu secara mekanis dari kulit
kedua belah tangan dengan memakai sabun dan air (Tietjen dkk, 2004). Perilaku mencuci
tangan perawat yang kurang adekuat akan memindahkan organisme-organisme bakteri
pathogen secara langsung kepada hospes yang menyebabkan infeksi nosokomial di semua
jenis lingkungan pasien. Mencuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum perawat memeriksa
(kontak langsung) dengan pasien dan sebelum memakai sarung tangan bedah steril
sebelum pembedahan atau sarung tangan pemeriksaan untuk tindakan rutin, seperti
pemeriksaan panggul. Mencuci tangan juga sebaiknya dilakukan setelah perawat
melakukan kontak yang lama dan intensif dengan pasien, setelah memegang instrument
atau alat yang kotor, dan setelah menyentuh selaput lendir, darah serta setelah melepaskan
sarung tangan. Jadi paling tidak perawat mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan
tindakan keperawatan ke pasien (WHO, 2005).
Mencuci kedua tangan merupakan prosedur awal yang dilakukan perawat dalam
memberikan tindakan keperawatan yang bertujuan membersihkan tangan dari segala
kotoran, mencegah terjadinya infeksi silang melalui tangan dan mempersiapkan bedah atau
tindakan pembedahan. Menurut WHO (2005) kebersihan tangan adalah ukuran utama
untuk mengurangi infeksi. Meskipun mencuci tangan terlihat suatu tindakan yang
sederhana, tetapi hal itu kurang adanya dukungan dengan tidak dilaksanakannya perilaku
mencuci tangan di kalangan penyedia layanan kesehatan di seluruh dunia yang mempunyai
masalah infeksi nosokomial. Setelah baru-baru ini pemahaman epidemiologi dari
kebersihan tangan kepatuhan, pendekatan baru telah terbukti efektif.
Ada 10 langkah yang menjadi pedoman dalam WHO untuk mensosialisasikan cuci
tangan dengan sabun dan air. Langkah mencuci tangan yang benar menurut WHO (2005)
adalah:
1.
2.
3.
4.

Basahi tangan dengan air.


Tuangkan sabun ketelapak tangan.
Ratakan sabun dengan kedua tangan sampai kedua telapak tangan terkena sabun.
Gosok punggung tangan kanan dengan tangan kiri sampai sela-sela jari-jari kemudian

bergantian tangan kiri.


5. Telapak tangan saling bersentuhan dengan jari yang disilangkan pada sela-sela jari.
6. Letakkan punggung jari pada telapak satunya dengan jari saling mengunci.
7. Mengosok ibu jari dengan menggengam ibu jari kiri dengan tangan kanan lalu diputar
begitu pula sebaliknya

15

8. Menggosok jari-jari tangan kanan pada telapak tangan kiri untuk membersihkan
kotoran kuku tangan kanan, begitu pula sebaliknya.
9. Bilas dengan air yang mengalir.
10. Pakai handuk kering dan bersih atau tissue sekali pakai untuk mengeringkan tangan.
2.1.10.2

Sterilisasi
Sterilisasi merupakan upaya pembunuhan atau pengahncuran semua bentuk

kehidupan mikroba yang dilakukan dirumah sakit melalui proses fisik maupun kimiawi.
Strelisisasi juga dapat dikatakan sebagai tindakan untuk membunuh kuman pathogen atau
apatogen beserta spora yang terdapat pada alat perawatan atau kedokteran dengan cara
merembus, menggunakan panas tinggi, atau bahan kimia. Sterilisasai adalah tahap awal
yang penting dari proses pengujian mikrobiologi. Ada 5 metode umum sterilisasi yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.

Sterilisasi uap (panas lembap)


Sterilisasi panas kering
Sterilisasi dengan penyaringan
Sterilisasi gas
Sterilisasi dengan radiasi

1. Sterilisasi Uap
Sterilisasi uap dilakukan dengan autoklaf menggunakan uap air dalam tekanan sebagai
pensterilnya. Bila ada kelembapan (uap air) bakteri akan terkoagulasi dan dirusak pada
temperature yang lebih rendah dibandingkan bila tidak ada kelembapan. Mekanisme
penghancuran bakteri oleh uap air panas adalah karena terjadinya denaturasi dan koagulasi
beberapa protein esensial dari organism tersebut :
Prinsip cara kerja autoklaf
Seperti yang telah dijelaskan sebagian pada bab pengenalan alat, autoklaf adalah alat
untuk mensterilkan berbagai macam alat & bahan yang menggunakan tekanan 15 psi (2
atm) dan suhu 1210 C. Untuk cara kerja penggunaan autoklaf telah disampaikan di depan.
Suhu dan tekanan tinggi yang diberikan kepada alat dan media yang disterilisasi
memberikan kekuatan yang lebih besar untuk membunuh sel dibanding dengan udara
panas. Biasanya untuk mesterilkan media digunakan suhu 121o C dan tekanan 15 lb/in2 (SI
= 103,4 Kpa) selama 15 menit. Alasan digunakan suhu 121 o C atau 249,8o F adalah karena
air mendidih pada suhu tersebut jika digunakan tekanan 15 psi. Untuk tekanan 0 psi pada
ketinggian di permukaan laut (sea level) air mendidih pada suhu 100 o C, sedangkan untuk
autoklaf yang diletakkan di ketinggian sama, menggunakan tekanan 15 psi maka air akan
memdididh pada suhu 121o C. Ingat kejadian ini hanya berlaku untuk sea level, jika
16

dilaboratorium terletak pada ketinggian tertentu, maka pengaturan tekanan perlu disetting
ulang. Misalnya autoklaf diletakkan pada ketinggian 2700 kaki dpl, maka tekanan
dinaikkan menjadi 20 psi supaya tercapai suhu 121 o C untuk mendidihkan air. Semua
bentuk kehidupan akan mati jika dididihkan pada suhu 121o C dan tekanan 15 psi selama
15 menit.
Pada saat sumber panas dinyalakan, air dalam autoklaf lama kelamaan akan mendidih
dan uap air yang terbentuk mendesak udara yang mengisi autoklaf. Setelah semua udara
dalam autoklaf diganti dengan uap air, katup uap/udara ditutup sehingga tekanan udara
dalam autoklaf naik. Pada saat tercapai tekanan dan suhu yang sesuai, maka proses
sterilisasi dimulai dantimer mulai menghitung waktu mundur. Setelah proses sterilisasi
selesai, sumber panas dimatikan dan tekanan dibiarkan turun perlahan hingga mencapai 0
psi. Autoklaf tidak boleh dibuka sebelum tekanan mencapai 0 psi.
Untuk mendeteksi bahwa autoklaf bekerja dengan sempurna dapat digunakan mikroba
pengguji

yang

bersifat

termofilik

dan

memiliki

endospora

yaitu

Bacillus

stearothermophillus,lazimnya mikroba ini tersedia secara komersial dalam bentuk spore


strip. Kertas spore strip ini dimasukkan dalam autoklaf dan disterilkan. Setelah proses
sterilisai lalu ditumbuhkan pada media. Jika media tetap bening maka menunjukkan
autoklaf telah bekerja dengan baik.
2. Sterilisasi Panas Kering
Sterilisasi panas kering biasanya dilakukan dengan menggunakan oven pensteril karena
panas kering kurang efektif untuk membunuh mikroba dibandingkan dengan uap air panas
maka metode ini memerlukan temperature yang lebih tinggi dan waktu yang lebih panjang.
Sterilisasi panas kering biasanya ditetapkan pada temperature 160-1700C dengan waktu 1-2
jam.
Sterilisasi panas kering umumnya digunakan untuk senyawa-senyawa yang tidak
efektif untuk disterilkan dengan uap air panas, karena sifatnya yang tidak dapat ditembus
atau tidak tahan dengan uap air.Senyawa-senyawa tersebut meliputi minyak lemak, gliserin
(berbagai jenis minyak), dan serbuk yang tidak stabil dengan uap air.Metode ini juga
efektif untuk mensterilkan alat-alat gelas dan bedah.
Karena suhunya sterilisasi yang tinggi sterilisasi panas kering tidak dapat digunakan
untuk alat-alat gelas yang membutuhkan keakuratan (contoh:alat ukur) dan penutup karet
atau plastik.
3. Sterilisasi dengan penyaringan

17

Sterilisasi dengan penyaringan dilakukan untuk mensterilisasi cairan yang mudah rusak
jika terkena panas atu mudah menguap (volatile). Cairan yang disterilisasi dilewatkan ke
suatu saringan (ditekan dengan gaya sentrifugasi atau pompa vakum) yang berpori dengan
diameter yang cukup kecil untuk menyaring bakteri. Virus tidak akan tersaring dengan
metode ini.
4. Sterilisasi gas
Sterilisasi gas digunakan dalam pemaparan gas atau uap untuk membunuh
mikroorganisme dan sporanya. Meskipun gas dengan cepat berpenetrasi ke dalam pori dan
serbuk padat. Sterilisasi adalah fenomena permukaan dan mikroorganisme yang terkristal
akan dibunuh. Sterilisasi gas biasanya digunakan untuk bahan yang tidak bisa difiltrasi,
tidak tahan panas dan tidak tahan radiasi atau cahaya.
5. Sterilisasi dengan radiasi
Radiasi sinar gama atau partikel elektron dapat digunakan untuk mensterilkan jaringan
yang telah diawetkan maupun jaringan segar. Untuk jaringan yang dikeringkan secara
liofilisasi, sterilisasi radiasi dilakukan pada temperatur kamar (proses dingin) dan tidak
mengubah struktur jaringan, tidak meninggalkan residu dan sangat efektif untuk
membunuh mikroba dan virus sampai batas tertentu. Sterilisasi jaringan beku dilakukan
pada suhu -40o Celsius. Teknologi ini sangat aman untuk diaplikasikan pada jaringan
biologi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada sterilisasi, di antaranya:
a. Sterilisator (alat untuk mensteril) harus siap pakai, bersih dan masih berfungsi.
b. Peralatan yang akan disterilisasi harus dibungkus dan diberi label yang jelas dengan
c.
d.
e.
f.

menyebutkan jenis peralatan, jumlah, tanggal pelaksanaan steril.


Penataan alat harus berprinsip semua bagian dapat steril.
Tidak boleh menambah peralatan dalam sterilisator sebelum waktu mensteril selesai.
Memindahkan alat steril ke dalam tempatnya dengan korentang steril.
Saat mendinginkan alat steril tidak boleh membuka pembungkusnya, bila terbuka
harus dilakukan sterilisasi ulang.

2.1.10.3

Desinfeksi
Desinfeksi adalah proses pembuangan semua mikroorganisme patogen pada objek

yang tidak hidup dengan pengecualian pada endospora bakteri. Desinfeksi juga dikatakan
suatu tindakan yang dilakukan untuk membunuh kuman patogen dan apatogen tetapi tidak
dengan membunuh spora yang terdapat pada alat perawatan ataupun kedokteran.
Desinfeksi dilakukan dengan menggunakan bahan desinfektan melalui cara mencuci,
18

mengoles, merendam dan menjcmur dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi, dan
mengondisikan alat dalam keadaan siap pakai.
Kemampuan desinfeksi ditentukan oleh waktu sebelum pembersihan objek,
kandungan rat organik, tipe dan tingkat kontaminasi mikroba, konsentrasi dan waktu
pemaparan, kealamian objek, suhu, dan derajat keasaman (pH).
Disinfektan yang tidak berbahaya bagi permukaan tubuh dapat digunakan dan bahan
ini dinamakan antiseptik. Antiseptik adalah zat yang dapat menghambat atau
menghancurkan mikroorganisme pada jaringan hidup, sedang desinfeksi digunakan pada
benda mati. Desinfektan dapat pula digunakan sebagai antiseptik atau sebaliknya
tergantung dari toksisitasnya.
Desinfektan akan membantu mencegah infeksi terhadap pasien yang berasal dari
peralatan maupun dari staf medis yang ada di RS dan juga membantu mencegah
tertularnya

tenaga medis

oleh penyakit pasien. Disinfektan dapat membunuh

mikroorganisme patogen pada benda mati.


Kriteria desinfeksi yang ideal:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Bekerja dengan cepat untuk menginaktivasi mikroorganisme pada suhu kamar


Aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh bahan organik, pH, temperatur dan kelembaban
Tidak toksik pada hewan dan manusia
Tidak bersifat korosif
Tidak berwarna dan meninggalkan noda
Tidak berbau/ baunya disenangi
Bersifat biodegradable/ mudah diurai
Larutan stabil
Mudah digunakan dan ekonomis
Aktivitas berspektrum luas

Tujuan dari sterilisasi dan desinfeksi adalah:


a.
b.
c.
d.

Mencegah terjadinya infeksi


Mencegah makanan menjadi rusak
Mencegah kontaminasi mikroorganisme dalam industry
Mencegah kontaminasi terhadap bahan- bahan yg dipakai dalam melakukan biakan
murni.

Hasil proses desinfeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor:


a.
b.
c.
d.
e.

Beban organik (beban biologis) yang dijumpai pada benda.


Tipe dan tingkat kontaminasi mikroba.
Pembersihan/dekontaminasi benda sbelumnya.
Konsentrasi desinfektan dan waktu pajanan.
Struktur fisik benda.
19

f. Suhu dan PH dari proses desinfeksi

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang berasal atau terjadi di rumah sakit.
Dalam bidang dermatologi, infeksi tersebut tidak menjadi perhatian karena tidak
menyebabkan kematian secara langsung, tetapi secara umum menjadi penting karena
berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas. Pengelupasan kulit yang luas pada
beberapa dermatosis, dan penggunaan glukokortikoid atau obat imunosupresif lainnya
dalam jangka panjang pada beberapa penyakit kulit merupakan faktor risiko terjadinya
infeksi nosokomial. Beberapa penyakit kulit juga dapat menimbulkan infeksi
nosokomial. Pemahaman akan tindakan pencegahan diperlukan untuk mengatasi
infeksi nosokomial.

20

3.2 Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan
mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :
a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.
b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.
Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-pihak
yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun
serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususunya
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara semester VII/2014
dalam penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan

DAFTAR PUSTAKA
21

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21521/5/Chapter%20I.pdf
http://perdoski.org/doc/mdvi/fulltext/20/115/Infeksi_Nososkomial_%2836-41%29.pdf
1. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27606/4/Chapter%20II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32297/4/Chapter%20II.pdf

22

También podría gustarte

  • Sistem Imun
    Sistem Imun
    Documento24 páginas
    Sistem Imun
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Aún no hay calificaciones
  • Lapsus Tinnitus
    Lapsus Tinnitus
    Documento22 páginas
    Lapsus Tinnitus
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Aún no hay calificaciones
  • Gangguan Psikiatri Anak
    Gangguan Psikiatri Anak
    Documento27 páginas
    Gangguan Psikiatri Anak
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Aún no hay calificaciones
  • LAPSUS Pedikulosis
    LAPSUS Pedikulosis
    Documento11 páginas
    LAPSUS Pedikulosis
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Aún no hay calificaciones
  • 9.a. Kuliah Kekhususan Trauma Tempur
    9.a. Kuliah Kekhususan Trauma Tempur
    Documento62 páginas
    9.a. Kuliah Kekhususan Trauma Tempur
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Aún no hay calificaciones
  • Intoksikasi Narkotika, Obat
    Intoksikasi Narkotika, Obat
    Documento65 páginas
    Intoksikasi Narkotika, Obat
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Aún no hay calificaciones
  • Intoksikasi Narkotika, Obat
    Intoksikasi Narkotika, Obat
    Documento65 páginas
    Intoksikasi Narkotika, Obat
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Aún no hay calificaciones
  • Trauma Thorax 2
    Trauma Thorax 2
    Documento55 páginas
    Trauma Thorax 2
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Aún no hay calificaciones
  • Sistem Imun
    Sistem Imun
    Documento21 páginas
    Sistem Imun
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Aún no hay calificaciones
  • Cedera
    Cedera
    Documento18 páginas
    Cedera
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Aún no hay calificaciones