Está en la página 1de 8

JST Kesehatan, Januari 2015, Vol.5 No.

1 : 66 73

ISSN 2252-5416

ASTIGMAT KORNEA ANTERIOR SETELAH FAKOEMULSIFIKASI DENGAN


INSISI KORNEA TEMPORAL UKURAN 2,75 MILIMETER PADA PENDERITA
KATARAK
Anterior Corneal Astigmatism after Phacoemulsification with 2,7 Millimeter Clear Corneal
Incision to Anterior Corneal Astigmatism
Fajar Ferdian, Ahmad Afifudin, Hamzah
Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin
(E-mail: fajar_ferdian95@yahoo.com)
ABSTRAK
Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di seluruh dunia. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm
terhadap astigmat kornea anterior. Penelitian ini menggunakan metode penelitian observasional
dengan studi prospektif pada 32 pasien katarak senilis Fakoemulsifikasi dilakukan dengan insisi
kornea temporal ukuran 2,75 mm dan menggunakan lensa acrylic foldable (Alcon tipe SN60WF) di
Klinik Mata Celebes Eye Center ORBITA Makassar selama periode Maret 2014 Juli 2014.
Penentuan nilai astigmat kornea anterior dilakukan dengan pengukuran keratometri sebelum
fakoemulsifikasi, hari pertama dan hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi. Terjadi perubahan rerata
nilai astigmat kornea anterior setelah fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal ukuran 2,75
mm dimana sebelum fakoemulsifikasi nilai astigmat kornea sebesar 0,920 D, pada hari pertama nilai
astigmat kornea meningkat menjadi 1,044 D dan hari ketujuh nilai astigmat kornea menurun menjadi
0,775 D. Penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara rerata nilai astigmat
kornea pada hari pertama dengan hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi dengan insisi kornea
temporal ukuran 2,75 mm. Tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara nilai astigmat
sebelum fakoemulsifikasi dengan hari pertama serta hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi dengan
insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm.
Kata Kunci: Katarak Senilis, Fakoemulsifikasi, Insisi Kornea Temporal
ABSTRACT
Cataract is the leading cause of blindness worldwide. The objective of this study was to evaluate the
effect of phacoemulsification with 2.7mm clear corneal incision to anterior corneal astigmatism.
This study used research observational design with prospective study in 32 senile cataract patients.
Phacoemulsification were conducted with 2.7mm clear corneal incision and using acrylic foldable
lens (Alcon type SN60WF) in Celebes Eye Center eye clinic in Makassar within period March 2014
until July 2014. Determination of anterior astigmatism were done by keratometry evaluation, before,
day one after, and day seven after phacoemulsification. Mean value changes were occurred for
anterior corneal astigmatism after phacoemulsification with 2.7mm clear corneal incision whereas
before phacoemulsification, the corneal astigmatism was 0.902D, day one after phacoemulsification
the corneal astigmatism increased to 1.044D, and at day seven corneal astigmatism decreased to
0.775D. The study found that there was a significant difference between mean value of corneal
astigmatism in day one to day seven after phacoemulsification with 2.7mm clear corneal incision.
However, there was no significant difference between astigmatism before phacoemulsification with
day one and day seven after phacoemulsification with 2.7mm clear corneal incision.
Keywords: Senile Cataract, Phacoemulsification, Clear Corneal Incision

66

Katarak Senilis, Fakoemulsifikasi, Insisi Kornea Temporal

ISSN 2252-5416

jenis operasi yang tidak memberikan efek


astigmat setelah operasi (Soekardi, 2004).
Dengan berkembangnya teknik
bedah mikro katarak serta makin majunya cara mengatasi komplikasi bedah
katarak, maka komplikasi setelah operasi
sudah banyak berkurang. Insidensi
endoftalmitis setelah fakoemulsifikasi
dengan insisi kornea temporal sangat
rendah (0,05%). Hal ini membuat perhatian para ahli bedah katarak mulai
beralih pada masalah kelainan refraksi
yang
ditimbulkan
setelah
bedah.
Kelainan refraksi yang seringkali terjadi
setelah operasi katarak adalah timbulnya
astigmat yang tinggi sehingga rehabilitasi
penglihatan pada mata masih memerlukan kaca mata atau lensa kontak.
Rowan dan Thygeson menyatakan 6
minggu setelah operasi katarak rerata
penurunan astigmat sebesar 2.5 dioptri
pada 79 penderita. Pada pasien dengan
pre existing astigmat dengan nilai
astigmat <0,75 D, fakoemulsifikasi tidak
boleh menginduksi astigmat kornea atau
tidak menambah pre existing astigmat
Meminimalkan panjang insisi di sclera
atau kornea efektif menurunkan SIA.
Insisi kornea dengan ukuran 4 mm dapat
menginduksi SIA sebesar 0,40 - 0,75 D,
insisi kornea dengan ukuran 2,75 mm
dapat menyebabkan SIA sebesar 0,25
0,70 D, insisi kornea dengan ukuran 2
mm dapat menyebabkan SIA sebesar 0,05
0,10 D (Lindstrom, 2009).
Pada penelitian yang membandingkan antara insisi 12-14 mm di
kornea-sklera pada ekstracapsuler cataract extraction (ECCE) dengan insisi 3,2
mm pada kornea di aksis yang paling
curam pada fakoemulsifikasi didapatkan
SIA yang berbeda signifikan. Astigmat
kornea pada kelompok fakoemulsifikasi
di bawah satu dioptri hampir sama
dengan nilai sebelum operasi. Sedangkan
astigmat kornea pada ECCE meningkat
sampai lebih dari tiga dioptri, tiga
minggu setelah operasi akan menurun
dan stabil pada bulan ke delapan dan dua
belas sampai kurang dari 1.5 D
(Lindstrom, 2009)

PENDAHULUAN
Katarak merupakan penyebab utama
kebutaan di seluruh dunia. Di negara
berkembang, terhitung sekitar 75%
penyebab kebutaan adalah katarak.
Diperkirakan sekitar 12 orang menjadi
buta setiap menit di dunia dan empat
orang di antaranya berada di Asia
Tenggara. Di Indonesia, diperkirakan
setiap menit ada orang yang menjadi buta
dengan berbagai sebab, dan sebagian
besar dari mereka berada di daerah yang
tertinggal.
Tujuan utama dari bedah katarak
modern adalah untuk memperoleh tajam
penglihatan tanpa koreksi dengan waktu
sembuh yang cepat serta komplikasi
bedah yang sangat minimal. Rehabilitasi
visus yang lebih cepat dapat diperoleh
dengan cara mengurangi ukuran insisi
sehingga luka bedah akan lebih cepat
sembuh, komplikasi yang minimal, dan
induksi astigmat setelah operasi yang
rendah sehingga akan memberikan
kepuasan pada pasien. Tetapi walaupun
dengan fasilitas yang bagus dan
keterampilan ahli bedah katarak yang
baik, hasil visus setelah operasi masih
sering disertai dengan astigmat kornea
setelah operasi atau yang biasa disebut
surgical induced astigmatism (SIA),
sehingga membuat pasien tetap memakai
kacamata. Oleh karena itu sangat penting
untuk melakukan operasi katarak tanpa
menginduksi astigmat setelah operasi
atau tidak menambah pre existing
astigmat
dan
memberikan
tajam
penglihatan yang terbaik tanpa koreksi
serta penyembuhan yang cepat (Ilyas,
2005).
Untuk mencapai tujuan tersebut di
atas ahli bedah katarak harus melakukan
operasi katarak dengan cara terbaik
sehingga SIA dapat diminimalisasi.
Karena banyak studi yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa ukuran,
tempat dan tipe insisi mempunyai
pengaruh langsung terhadap besar
astigmat setelah operasi dan pada
akhirnya mempengaruhi hasil operasi
katarak maka sangat perlu untuk memilih
67

Fajar Ferdian

ISSN 2252-5416

Dalam sebuah penelitian yang membandingkan hasil fakoemulsifikasi tanpa


jahitan antara insisi 2.2 mm dengan insisi
3.5 mm, secara statistik tidak didapatkan
perbedaan antara kelompok 2,2 mm
dengan 3,5 mm (Kohnen et al., 2005).
Howard Fine menganjurkan letak insisi
kornea di bagian limbus temporal karena
diameter kornea horizontal lebih panjang
dari diameter vertikal kornea, sehingga
limbus temporal letaknya lebih jauh dari
aksis visual dibandingkan dari arah
superior. Pendataran kornea akibat insisi
temporal ini akan lebih kecil pengaruhnya terhadap induksi astigmat yang
terjadi pada aksis visual (Lindstrom,
2009).
Untuk mengurangi pre existing
astigmat, insisi dapat dilakukan pada
aksis yang curam ('insisi on-axis),
sehingga
menyebabkan
pendataran
kornea. Insisi kornea dengan panjang 3,0
mm menyebabkan pendataran kornea
bagian temporal antara 0,28 dan 0,53 D.
Sebuah insisi kornea sebesar 2,75 mm
bagian superior atau superotemporal
menyebabkan pendataran hingga 1,2 D.
Insisi sebesar 6 mm dapat bermanifestasi
2-3 D silinder, insisi yang lebih panjang
di lokasi yang sama dapat mengakibatkan
silinder yang lebih berat (Jacoebic,
2008).
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka tujuan penelitian ini untuk
mengetahui pengaruh fakoemulsifikasi
dengan insisi kornea temporal ukuran
2,75 mm terhadap astigmat kornea
anterior.

2,75 mm terhadap astigmat kornea


anterior setelah operasi fakoemulsifikasi.
Populasi dan sampel
Populasi penelitian ini adalah pasien
katarak baik yang menderita astigmat
kornea maupun yang tidak menderita
astigmat. Sampel penelitian adalah pasien
katarak yang akan menjalani fakoemulsifikasi dengan menggunakan lensa
foldable (Alcon tipe SN60WF) di Klinik
Mata Orbita Makassar. Sampel penelitian
ini diambil dari populasi pasien yang
telah teridentifikasi dan memenuhi
kriteria secara consecutive sampling. dan
dalam penelitian ini jumlah sampel yang
diteliti adalah sebanyak 35 sampel
penelitian.
Metode pengumpulan data
Penderita
katarak yang sudah
teridentifikasi dan memenuhi syarat
(inklusi dan eksklusi), selanjutnya dicatat
umur, jenis kelamin, dan diperiksa
autokeratometrinya untuk menilai SIA
yang terjadi setelah operasi fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal
ukuran 2,75 mm. Pada penelitian ini
digunakan beberapa sarana penunjang
berupa : a) trial lens set dan tes Snellen,
b) Lampu senter; c) Slit Lamp
Biomikroskop; d) Non contact tonometer
(NCT 10 Shin Nippon); e) Mikroskop
Operasi (Moeller); f) Autorefraktokeratometer (KR 8900 Top Con); g)
Mesin
fakoemulsifikasi
(Compact
sovereign); h) Formulir persetujuan
pasien dan kartu responden; i) Bahan dan
alat-alat operasi; dan j) Biometri (IOL
Master).

BAHAN DAN METODE


Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di Klinik Mata
Orbita Makassar yang berlangsung
selama 3 bulan atau sampai jumlah
sampel terpenuhi.

Analisis data
Seluruh data yang diperoleh,
dikelompokan sesuai dengan tujuan dan
jenis data. Untuk selanjutnya diuji
dengan menggunakan: 1) Analisis bivariat. Uji perbedaan ini rerata digunakan
untuk membandingkan derajat astigmat
sebelum dan sesudah fakoemulsifikasi
dengan insisi kornea temporal ukuran
2,75 mm. Untuk itu digunakan uji T

Desain dan variabel penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian
observasional
dengan
pendekatan
prospektif untuk menilai bagaimana
pengaruh insisi kornea temporal ukuran
68

Katarak Senilis, Fakoemulsifikasi, Insisi Kornea Temporal

berpasangan bila data berdistribusi secara


normal dengan varians yang sama.
Sedangkan data lainnya akan menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test.
Untuk data kategorikal akan digunakan
uji McNemar untuk menilai adanya
perubahan berdasarkan waktu pengukuran, Pengelolaan data dan uji statistik
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS; dan 2) Penilaian hasil uji
hipotesis. Penilaian hasil uji hipotesis
dinyatakan sebagai berikut : a) tidak
bermakna bila p > 0,05.; b) bermakna
bila p < 0,05; dan c) sangat bermakna
bila p < 0,01.

ISSN 2252-5416

lebih rendah daripada hari pertama


dengan nilai p<0,05.
Perbandingan
jenis
astigmat
sebelum fakoemulsifikasi dengan hari
pertama setelah fakoemulsifikasi, Terdapat perubahan jenis astigmat yang
signifikan, dimana persentase ATR yang
berubah menjadi WTR sebesar 39,3%
sedangkan WTR menjadi ATR sebesar
3,6% dengan nilai p<0,01 (Tabel 1).
Perbandingan jenis astigmat sebelum fakoemulsifikasi dengan hari ketujuh
setelah fakoemulsifikasi, Terdapat perubahan jenis astigmat yang signifikan,
dimana persentase ATR yang berubah
menjadi WTR sebesar 50% sedangkan
WTR menjadi ATR sebesar 7,1 %
dengan nilai p<0,01 (Tabel 2).
Perbandingan jenis astigmat hari
pertama dengan hari ketujuh setelah
fakoemulsifikasi dimana tidak ditemukan
adanya perubahan yang signifikan antara
jenis astigmat dengan nilai p>0,01 (Tabel
3).
Perbandingan nilai astigmat menurut
jenis astigmat dimana pada astigmat
WTR tidak ditemukan adanya perbedaan
yang signifikan antara rerata nilai
astigmat sebelum dan setelah fakoemulsifikasi sedangkan pada astigmat
ATR terdapat perbedaan yang signifikan
antara rerata nilai astigmat hari pertama
dengan hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi dimana nilai astigmat pada
hari ketujuh lebih rendah dibandingkan
hari pertama dengan nilai p<0,01 (Tabel
4).
Perbandingan antara rerata nilai
visus menurut jenis astigmat. Pada
astigmat ATR didapatkan perbedaan
yang signifikan antara rerata nilai visus
sebelum fakoemulsifikasi dengan hari
pertama dan hari ketujuh setelah
fakoemulsifikasi, Rerata nilai visus hari
pertama lebih baik daripada visus
sebelum fakoemulsifikasi dengan nilai p
<0,01. Rerata nilai visus hari ketujuh
lebih baik dibandingkan visus hari
pertama setelah fakoemulsifikasi dengan
nilai p<0,05.

HASIL
Telah dilakukan penelitian observasional dengan pendekatan studi prospektif untuk menilai astigmat kornea
anterior sebelum dan setelah fakoemulsifikasi pada penderita katarak
dengan insisi kornea temporal ukuran
2,75 mm di klinik mata Celebes Eye
Center/ORBITA
Makassar
selama
periode Maret sampai dengan Juli 2014.
Jumlah sampel yang diperoleh pada
penelitian sebesar 35 mata dengan jumlah
pasien 32 orang. Berdasarkan umur
bervariasi antara 46 92 tahun dengan
rerata 65 10 tahun. Untuk jenis kelamin
subyek laki-laki sebanyak 21 orang
(65,6%) dan perempuan 11 orang
(34,4%). Rerata astigmat kornea sebesar
0,92 0,6 D dan rerata keratometri yang
flat 43,71 + 1,65 serta rerata keratometri
yang steep 44,02 1,64.
Berdasarkan
hasil
penelitian
memperlihatkan perbandingan rerata nilai
astigmat kornea sebelum fakoemulsifikasi dengan hari pertama dan hari
ketujuh setelah fakoemulsifikasi. Tidak
ada perbedaan antara rerata nilai astigmat
kornea anterior sebelum fakoemulsifikasi
dengan hari pertama dan hari ketujuh
setelah fakoemulsifikasi dengan nilai
p>0,05. Tetapi terdapat perbedaan yang
signifikan antara rerata nilai astigmat hari
pertama dengan hari ketujuh dimana
rerata nilai astigmat kornea hari ketujuh

69

Fajar Ferdian

ISSN 2252-5416

Tabel 1. Perbandingan Jenis Astigmat Pre-op dengan Hari 1

ATR
Jenis Astigmat pre
WTR
Total

N
%
N
%
N
%

Jenis SIA hari 1


ATR
WTR
13
11
46,4%
39,3%
1
3
3,6%
10,7%
14
14
50,0%
50,0%

Total
24
85,7%
4
14,3%
28
100,0%

McNemar test (p=0,006)


Tabel 2. Perbandingan Jenis Astigmat Pre-op dengan Hari Ketujuh

ATR
Jenis Asitgmat pre
WTR
Total

N
%
N
%
N
%

Jenis SIA minggu 1


ATR
WTR
10
14
35,7%
50,0%
2
2
7,1%
7,1%
12
16
42,9%
57,1%

Total
24
85,7%
4
14,3%
28
100,0%

McNemar test (p=0,004)


Tabel 3. Perbandingan Jenis Astigmat Hari 1 dengan Minggu 1

ATR
Jenis SIA hari 1
WTR
Total

n
%
n
%
n
%

Jenis SIA minggu 1


ATR
WTR
10
4
35,7%
14,3%
2
12
7,1%
42,9%
12
16
42,9%
57,1%

Total
14
50,0%
14
50,0%
28
100,0%

McNemar test (p=0,687)


Tabel 4. Perbandingan Nilai Astigmat menurut Jenis Astigmat
Jenis Asitgmat pre
Nilai Astigmat pre
Pair 1
Nilai SIA hari 1
Nilai Astigmat pre
ATR Pair 2
Nilai SIA minggu 1
Nilai SIA hari 1
Pair 3
Nilai SIA minggu 1
Nilai Astigmat pre
Pair 1
Nilai SIA hari 1
Nilai Astigmat pre
WTR Pair 2
Nilai SIA minggu 1
Nilai SIA hari 1
Pair 3
Nilai SIA minggu 1
Wilcoxon Signed Rank test

n
24
24
24
24
24
24
4
4
4
4
4
4

70

Mean
1,067
1,155
1,067
0,769
1,155
0,769
0,950
1,055
0,950
0,952
1,055
0,952

SD
0,6127
0,6865
0,6127
0,4871
0,6865
0,4871
0,5802
0,3465
0,5802
0,3342
0,3465
0,3342

p
0,548
0,110
0,002
0,715
0,715
1,000

Katarak Senilis, Fakoemulsifikasi, Insisi Kornea Temporal

ISSN 2252-5416

Tabel 5. Perbandingan Rerata Visus menurut Jenis Astigmat


Jenis Asitgmat
Pair 1
ATR

Pair 2
Pair 3
Pair 1

WTR

Pair 2
Pair 3

Mean

SD

VOS pre

24

1,514

0,8066

VOS hari 1

24

0,508

0,3103

VOS pre

24

1,514

0,8066

VOS minggu 1

24

0,232

0,1472

VOS hari 1

24

0,508

0,3103

VOS minggu 1

24

0,232

0,1472

VOS pre

1,016

1,3577

VOS hari 1

0,500

0,0000

VOS pre

1,016

1,3577

VOS minggu 1

0,133

0,1155

VOS hari 1

0,500

0,0000

VOS minggu 1

0,133

0,1155

Pada astigmat WTR tidak ada perbedaan


yang signifikan antara rerata nilai visus
sebelum fakoemulsifikasi dengan rerata
nilai visus pada hari pertama dan hari
ketujuh setelah fakoemulsifikasi dengan
nilai p>0,05 (Tabel 5)

P
0,002
0,002
0,002
0,109
0,109
0,102

Pada mata normal, permukaan


kornea yang melengkung teratur akan
memfokuskan sinar pada satu titik. Pada
astigmat,
pemantulan
sinar
tidak
difokuskan pada satu titik di retina. Sinar
pada astigmat direfraksikan tidak sama
pada semua arah sehingga pada retina
tidak didapatkan satu titik fokus refraksi.
Sebagian sinar dapat terfokus pada
bagian depan retina sedang sebagian
sinar lain difokuskan di belakang retina
(Vaughan,2009).
Astigmat adalah suatu keadaan
asferis dari kelengkungan kornea atau
lensa dimana meridian yang tidak sama
mengakibatkan berkas cahaya difokuskan
lebih dari satu titik. Astigmat dapat
terjadi karena perubahan bentuk kornea
yang sferis menjadi asferis, dimana
semakin lonjong bentuk kornea maka
semakin tinggi astigmat mata tersebut.
Penyebab umum astigmat adalah
kelainan bentuk kornea. Lensa kristalina
juga dapat berperan untuk timbulnya
astigmat.
Astigmat
paling
sering
disebabkan oleh terlalu besarnya
lengkung kornea pada salah satu
bidangnya. Astigmat setelah operasi

PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang bermakna antara
rerata nilai astigmat kornea pada hari
pertama dengan hari ketujuh setelah
fakoemulsifikasi dengan insisi kornea
temporal ukuran 2,75 mm. Tetapi tidak
terdapat perbedaan yang bermakna antara
nilai astigmat sebelum fakoemulsifikasi
dengan hari pertama serta hari ketujuh
setelah fakoemulsifikasi dengan insisi
kornea temporal ukuran 2,75 mm. Terjadi
perubahan rerata nilai astigmat kornea
anterior setelah fakoemulsifikasi dengan
insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm
dimana sebelum fakoemulsifikasi nilai
astigmat kornea sebesar 0,920 D, pada
hari pertama nilai astigmat kornea
meningkat menjadi 1,044 D dan hari
ketujuh nilai astigmat kornea menurun
menjadi 0,775 D.

71

Fajar Ferdian

ISSN 2252-5416

katarak dapat terjadi bila jahitan terlalu


erat (Khurana, 2005).
Permukaan kornea (terutama bagian
anterior) mungkin merupakan penyebab
astigmat terbesar pada mata. Tetapi
bukan merupakan satu-satunya penyebab.
Pada satu penelitian di sekolah anak-anak
menemukan bahwa tingkat refraksi
astigmat dan astigmat pada kornea
hampir sama besar tetapi refraksi
astigmat lebih dominan oblique (76%
dari 6-7 tahun; 59% dari 12-13 tahun),
sedangkan astigmat kornea lebih dominan with the rule (80% dari umur 6-7
tahun; 82% dari umur 12-13 tahun)
(Gudmundsdottir et al., 2005).
Penderita astigmat sebagian besar
adalah WTR. Insisi yang ditempatkan
pada
kornea
akan
menyebabkan
pendataran pada arah yang berhadapan
dengan insisi tersebut. Artinya, jika
melakukan insisi dari temporal cenderung
menyebabkan pendataran pada aksis
horizontal kornea, dimana hal ini akan
mengakibatkan induksi astigmat WTR.
Sebaliknya jika melakukan insisi kornea
dari superior cenderung mengakibatkan
induksi ATR. Induksi astigmat bergantung dari panjangnya insisi, yaitu
semakin panjang insisi akan semakin
besar induksi astigmat (Soekardi, 2004).
Proporsi astigmat WTR pada kornea
bagian anterior biasanya akan berkurang,
sebaliknya untuk astigmat ATR akan
bertambah seiring waktu. Pada kornea
bagian posterior akan sebagian besar
menggambarkan astigmat ATR di semua
kelompok umur. Ada suatu gambaran
yang signifikan tentang astigmat ATR
berhubungan dengan meningkatnya usia
baik pada kornea bagian anterior maupun
total keseluruhan (rerata perubahan -0,18
dan -0,16 D selama 5 tahun) dan astigmat
WTR pada permukaan posterior kornea
(rerata perubahan 0,0222 D selama 5
tahun) Berdasarkan pertambahan usia,
telah dilakukan observasi pada permukaan anterior dan posterior kornea.
Pada kornea bagian posterior proporsi
astigmat WTR dan ATR adalah 0% dan
98,3% pada umur 21-30 tahun serta 9,1%

dan 88,6% pada kelompok usia > 71


tahun.
Pada nilai astigmat kecil, gejalanya
hanya terasa pandangan yang kabur.
Kelainan astigmat sebesar 1-2 dioptri
akan menyebabkan penurunan tajam
penglihatan sampai level 20/30-20/50,
sedangkan astigmat sebesar 2-3 dioptri
berhubungan dengan tajam penglihatan
sebesar 20/70-20/100. Tapi terkadang
pada astigmat yang tidak dikoreksi,
menyebabkan sakit kepala atau kelelahan
mata, dan mengaburkan pandangan ke
segala arah. Pada anak-anak, keadaan ini
sebagian besar tidak diketahui, oleh
karena mereka tidak menyadari dan tidak
mau mengeluh tentang kaburnya
pandangan mereka (Istiantoro, 2008).
Karena sebagian besar astigmat
disebabkan oleh kornea, maka dengan
mempergunakan keratometer, maka
derajat
astigmat
dapat
diketahui.
Keratometer adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur jari-jari
kelengkungan kornea anterior. Keratometer digunakan untuk memperkirakan
kekuatan refraksi dari kornea. Kornea
bagian sentral dapat dimisalkan sebagai
suatu cermin sferis yang cembung yang
mempunyai kekuatan yang kuat sekitar
250 dioptri.
Perubahan astigmat kornea pada
setelah operasi katarak dapat diketahui
dengan mengukur jari jari kelengkungan
kornea anterior, meridian vertikal dan
horizontal, sebelum dan sesudah operasi.
Keratometer digunakan untuk mengukur
dua meridian utama kornea. Perbedaan
antara kedua hasil pengukuran ini adalah
keratometri astigmat Apabila yang terjadi
astigmat regular maka kedua meridian
akan pependikular satu sama lain.
Evaluasi rutin kurvatura kornea sebelum
dan setelah operasi membantu ahli bedah
untuk mengevaluasi pengaruh tehnik
insisi dan penjahitan terhadap astigmat
(Liesegang et al., 2008).
Retinoskopi strik adalah suatu alat
untuk menentukan kelainan refraksi
sferis-silinder secara objektif, untuk
mengetahui apakah astigmat yang terjadi
72

Katarak Senilis, Fakoemulsifikasi, Insisi Kornea Temporal

reguler atau ireguler, dapat juga untuk


mengetahui adanya kekeruhan dan
iregularitas. Pemeriksa menempatkan
lensa sferis atau silinder sampai kelainan
refraksi bisa dinetralkan (Langston,
2008).

ISSN 2252-5416

DAFTAR PUSTAKA
Gudmundsdottir et al. (2005). Five-year
refractive changes in an adut
population: Reykjavik Eye Study.
Ophthalmology. Vol.112 No.4.
Ilyas. (2005). Ilmu Penyakit Mata. Edisi
3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Istiantoro. (2008). Tips and trick
phaecoemulsification. Edisi pertama.
JEC.
Jacobiec. (2008). Principle and practice
of Ophthalmology, Astigmat and
Cataract Surgery. Edisi 3 Vol. 1
Elseviere.
Khurana.
(2005).
Comprehensive
Ophthalmology. Fourth edition. New
age publisher.
Kohnen et al. (2005). Comparison of the
induced astigmatism after temporal
clear corneal tunnel incisions of
different sizes. J Cataract Refract
Surg.
Langston. (2008). Manual of cular
diagnosis and therapy. Lippincot
William & wilkins.
Liesegang et al. (2008). Basic and
Clinical Science Course. External
Disease and Cornea. Section 8. San
Fransisco: American Academy of
Ophthalmology.
Lindstrom. (2009) Control of astigmatism in cataract patient, 24: 289304.
Soekardi. (2004). Transisi menuju
fekoemulsifikasi. Edisi pertama.
Cetakan pertama. Jakarta: Penerbit
Granit.
Vaughan. (2009). Oftalmologi Umum.
Optik dan refraksi. Edisi keempat
belas. Widya Medika.

KESIMPULAN DAN SARAN


Peneliti menyimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara
astigmat kornea sebelum fakoemulsifikasi dengan hari pertama setelah
fakoemulsifikasi dengan nilai P>0,05,
namun ada kecenderungan nilai astigmat
akan meningkat satu hari setelah
fakoemulsifikasi. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara astigmat
kornea sebelum fakoemulsifikasi dengan
astigmat setelah fakoemulsifikasi hari
ketujuh dengan nilai P>0,05, namun ada
kecenderungan bahwa nilai astigmat akan
menurun
setelah
fakoemulsifikasi.
Terdapat hubungan yang bermakna
antara astigmat hari pertama setelah
fakoemulsifikasi dengan hari ketujuh
setelah fakoemulsifikasi dengan nilai
P<0,05 dimana nilai astigmat akan
menurun. Sampel pada penelitian ini
sangat terbatas dan waktu kontrol juga
sangat pendek cuma satu minggu
sehingga
dipandang
perlu
untuk
dilakukan penelitian lanjutan dengan
jumlah sampel yang lebih besar dan
waktu kontrol yang lebih lama. Penelitian
ini hanya melihat bagaimana perubahan
astigmat sebelum dan setelah fakoemulsifikasi
dengan
insisi
kornea
temporal, sehingga dipandang perlu
untuk dilakukan penelitian yang membandingkan variabel lainnya.

73

También podría gustarte