Está en la página 1de 18

BAB I

PENDAHULUAN
Menurut WHO, Emerging infectious diseases (EID) adalah penyakit yang pertama
kali muncul dalam suatu populasi, atau penyakit yang telah ada sebelumnya tetapi mengalami
peningkatan insidendsi atau area geografis dengan cepat. Emerging infectious diseases
merupakan penyakit infeksi yang kejadiannya pada manusia meningkat dalam dua dasawarsa/
dekade terakhir atau cendedrung akan meningkat di masa mendatang. Secara umum EID
dapat dibagi dalam tiga kelompok penyakit, yaitu:
a. Penyakit menular baru (New Emerging Infectious Diseases)
b. Penyakit menular lama yang cenderung meningkat (Emerging Infectious Diseases)
c. Penyakit menular lama yang menimbulakan masalah baru (Re-Emerging Infectious
Diseases)
Penyakit-penyait infeksi terus menjadi tantangan utama di daerah Asia Tenggara.
Diperkirakan bahawa penyakit bertanggung jawab atas sekitar 40% dari 14 juta kematian
setiap tahun di region Asia Tenggara dan sekitar 28% merupakan penyakit infeksi yang
menjadi permasalahan global.
Perkembangan berbagai penyakit re-emerging diseases dan new emerging diseases
kembali mengancam derajat kesehatan masyarakat. Penyakit menular tergolong re-emerging
diseases yang menjadi perhatian saat ini adalah Poliomyelitis, Tuberkulosis, Dengue Demam
Berdarah, HIV-AIDS, Demam Typhoid & Salmonellosis, Leptospirosis, Anthrax, Rabies, Pes,
Filariasis, Kolera & penyakit diare lainnya, Pneumococcal pneumonia & penyakit ISPA
lainnya, Diptheria, Lepra, Infeksi Helicobacter, Ricketsiosis, Pertussis, Gonorrhea & penyakit
infeksi menular seksual lainnya, Viral hepatitis, Campak, Varicella/Cacar Air, Chikungunya,
Herpes, Japanese encephalitis, Infectious Mononucleosis, infeksi HPV, Influenza, Malaria
dan lain-lain.
Pemerintah Indonesia menetapkan pengendalian tuberkulosis sebagai prioritas
kesehatan nasional. Pada tahun 1999, telah dicanangkan Gerakan Nasional Terpadu
Pemberantsan Tuberkulosis atau Gerdunas untuk mempromosikan percepatan pemberantasan
tuberkulosis dengan pendekatan integratif, mencakup rumah sakit dan sektor swastadan
semua pengambil kebijakan lain, termasuk penderita dan masyakata. Padatahun 2001, semua
propinsi dan kabupaten telah mencanangkan Gerdunas, meskipun tidak semua operasional
secara penuh.
Untuk membangun pondasi pemberantasan tuberkulosis yang berkelanjutan, telah
ditetapkan Rencana Strategis Program Penangulangan Tubekulosis 2002-2006. Pemerintah
Indonesia juga menyediakan sejumlah besar dana untuk pengendalian tuberkulosis. Mulai
tahun 2005, upaya ini didukung oleh pemberian pelayanan kesehatan termasuk pemeriksaan,
obat-obatan dan tindakan medis secra gratis bagi seluruh penduduk miskin.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil
dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri
dalam paru. TB paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan
granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. TB paru dapat menular melalui udara, waktu
seseorang dengan TB aktif pada paru batuk, bersin atau bicara.
2.2 Etiologi
Penyakit TB paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga
dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA) . Sumber penularan adalah penderita
tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan.
Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman
tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut
dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
2.3 Epidemiologi
A. Personal
1. Umur
TB Paru Menyerang siapa saja tua, muda bahkan anak-anak. Sebagian besar penderita
TB Paru di Negara berkembang berumur dibawah 50 tahun. Data WHO menunjukkan
bahwa kasus Tb paru di negara berkembang banyak terdapat pada umur produktif 1529 tahun. Penelitian Rizkiyani pada tahun 2008 menunjukkan jumlah penderita baru TB
Paru positif 87,6% berasal dari usia produktif (15-54 tahun) sedangkan 12,4 % terjadi
pada usia lanjut ( 55 tahun).
2. Jenis Kelamin
Penyakit TB Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak, lakilaki dan perempuan.TB
paru menyerang sebagian besar laki-laki usia produktif . Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita TB Paru. Hal ini disebabkan lakilaki lebih banyak melakukan mobilisasi dan mengkonsumsi alkohol dan rokok.
Penelitian Umar dengan penelitian prospektif observasional analitik di RS Persahabatan
tahun 2005 melaporkan bahwa laki-laki 0,5 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada
wanita pada penderita TB Paru.

3. Status gizi
Status nutrisi merupakan salah satu faktor yang menetukan fungsi seluruh sistem
tubuh termasuk sistem imun.Sistem kekebalan dibutuhkan manusia untuk memproteksi
tubuh terutama mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh `mikroorganisme.
Bila daya tahan tubuh sedang rendah, kuman TB paru akan mudah masuk ke dalam
tubuh. Kuman ini akan berkumpul dalam paru-paru kemudian berkembang biak.Tetapi,
orang yang terinfeksi kuman TB Paru belum tentu menderita TB paru. Hal ini
bergantung pada daya tahan tubuh orang tersebut.
Apabila, daya tahan tubuh kuat maka kuman akan terus tertidur di dalam tubuh
(dormant) dan tidak berkembang menjadi penyakt namun apabila daya tahan tubuh
lemah makan kuman TB akan berkembang menjadi penyakit. Penyakit TB paru Lebih
dominan terjadi pada masyarakat yang status gizi rendah karena sistem imun yang
lemah sehingga memudahkan kuman TB Masuk dan berkembang biak.
4. Merokok
Merokok sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Di dalam rokok terdapat 45 jenis
bahan kimia beracun. Merokok dapat mengiritasi paru-paru yang sakit sehingga
mempersulit untuk menormalkan kembali keadaannya. Pada perokok banyak dijumpai
gejala berupa batuk kronis, berdahak dan gangguan pernapasan. Apabila dilakukan uji
fungsi paru-paru maka pada perokok jauh lebih buruk dibandingkan dengan yang bukan
perokok.
Penelitian Umar dengan penelitian prospektif observasional analitik di RS
Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa penderita yang mempunyai kebiasaan
merokok 7,7 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada yang tidak merokok pada penderita
TB Paru.
5. Kemiskinan
Kemiskinan menghalangi manusia mendapatkan kebutuhan dasar untuk hidup dan
mengurangi kemampuannya untuk mengatasi stres dan infeksi. Hal ini dapat dilihat dari
perumahan yang terlalu padat atau kondisi kerja yang buruk menyebabkan daya tahan
tubuh turun yang memudahkan terjadinya penyakit infeksi. Orang yang hidup dengan
kondisi ini juga sering menderita gizi buruk yang memudahkan tuberkulosis
berkembang. Penelitian Umar dengan penelitian prospektif observasional analitik di RS
Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa penderita yang memiliki pendapatan
rendah 7,5 kali lebih sulit sembuh dari pada pendapatan menengah ke atas pada
penderita TB Paru.
6. Penyakit lain
Penyakit lain khususnya penyakit infeksi seperti HIV/AIDS lebih mudah terserang
penyakit TB Paru karena penderita mengalami daya tahan tubuh menurun sehingga
tidak dapat mengendalikan kuman yang masuk ke dalam tubuh.Di beberapa negara di
Afrika sub-Sahara 20-70% pasien dengan tuberkulosis menunjukkan HIV positif.
Penyakit lain yang mempengaruhi TB Paru juga adalah penyakit kronis lain (seperti
Diabetes Melitus). Penelitian Umar dengan penelitian prospektif observasional analitik
di RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa penderita yang memiliki penyakit
kronis selain TB Paru 0,3 kali lebih sulit sembuh dari pada penyakit akut pada penyakit
TB Paru.
B. Tempat

1. Lingkungan
TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang ditularkan melalui
udara. Keadaan berbagai lingkungan yang dapat mempengaruhi penyebaran TB paru
salah satunya adalah lingkungan yang kumuh,kotor. Penderita TB Paru lebih banyak
terdapat pada masyarakat yang menetap pada lingkungan yang kumuh dan kotor.
2. Kondisi sosial ekonomi
Sebagai penderita TB paru adalah dari kalangan miskin. Data WHO pada tahun 2011
yang menyatakan bahwa angka kematian akibat TB paru sebagaian besar berada di
negara yang relatif miskin.
C. Waktu
Penyakit TB paru dapat menyerang siapa saja, dimana saja, dan kapan saja tanpa
mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh pada saat itu kuman akan
berkembang biak dan berpotensi untuk terjadinya TB paru.
D. Distribusi Frekuensi
Sebagian besar negara maju diperkirakan insiden tuberkulosis setiap tahunnya hanya
10-20 dari 100.000 penduduk. Diperkirakan lebih dari 1,5 miliar orang di seluruh dunia
dan setiap tahun sekitar 3 juta orang mati karena penyakit ini. Angka kematian di negara
maju sudah mengalami penurunan sementara di negara berkembang angkanya masih
cukup tinggi. Di Afrika setiap tahunnya insiden penderita TB Paru 165 per 100.000
penduduk, sementara di Asia 110 per 100.000 penduduk. Di Asia jumlah penduduk lebih
banyak dari Afrika sehingga insiden per tahunnya di benua Asia lebih banyak 3,7 kali dari
Afrika.
Pada tahun 2000 di kawasan Asia Tenggara lebih dari 3,9 juta insiden TB Paru dan
lebih dari 1,3 juta kematian. WHO memperkirakan bahwa CFR TB Paru di Indonesia
setiap tahunnya sebesar 39% (175.000 jumlah kematian akibat tuberkulosis dari 445.000
kasus). Menurut jenis kelamin penderita TB Paru pada pria selalu lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita. Data Profil Kesehatan 2005 menyatakan bahwa di Indonesia
jumlah TB Paru BTA positif pada laki-laki lebih tinggi 58,70% (93.114 kasus) dari wanita
41,30% (65.526 kasus).
2.4 Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran
pernafasan, kuman TB Paru tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya,
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran
langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak negatif
(tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan
seseorang terinfeksi TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang
menjadi penderita Tuberkulosis paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantarannya
gizi buruk atau HIV/AIDS.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru:


1. Agent
Agent (A) adalah penyebab yang esensial yang harus ada, apabila penyakit timbul
atau manifestasi, tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi/mencukupi syarat
untuk menimbulkan penyakit. Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar
penykit dapat manifestasi. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis
adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi.
Pathogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada
host. Pathogenitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah. Infektifitas
adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan berkembangbiak
di dalmnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas kuman tuberkulosis paru
termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi
host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi kuman tuberkulosis termasuk tingkat
tinggi.
2. Host
Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan
arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam (lawan dari
percobaan)
Host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah manusia. Beberapa faktor host yang
mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah :
a. Jenis kelamin
Dari catatan statistik meski tidak selamanya konsisten, mayoritas penderita
tuberkulosis paru adalah wanita. Hal ini masih memerlukan penyelidikan dan
penelitian lebih lanjut, baik pada tingkat behavioural, tingkat kejiwaan, sistem
pertahanan tubuh, maupun tingkat molekuler. Untuk sementara, diduga jenis
kelamin wanita merupakan faktor risiko yang masih memerlukan evidence pada
masing-masing wilayah, sebagai dasar pengendalian atau dasar manajemen.
b. Umur
Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru. Risiko untuk
mendapatkan tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal
terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga
dewasa memliki daya tahan terhadap tuberkulosis paru dengan baik. Puncaknya
tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok
menjelang usia tua.
c. Kondisi sosial ekonomi
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia
menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin.
d. Kekebalan
Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu : kekebalan alamiah dan buatan.
Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis
paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan
diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillis Calmette Guerin). Tetapi

bila kekebalan tubuh lemah maka kuman tuberkulosis paru akan mudah
menyebabkan penyakit tuberkulosis paru.
e. Status gizi
Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan
berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi
kuman tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan
mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan kalori dan
protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru.
f. Penyakit infeksi HIV
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sitem daya tahan tubuh seluler
(cellular immunity) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis,
maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan
kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita
tuberkulosis paru akan meningkat, dengan demikian penularan tuberkulosis paru di
masyarakat akan meningkat pula.
3. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host (pejamu) baik
benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat
interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Faktor lingkungan
memegang peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah yang
tidak memenuhi syarat. Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang
memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya.19) Adapun
syarat-syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis yang berpengaruh
terhadap kejadian tuberkulosis paru antara lain :
a. Kepadatan Penghuni Rumah
Ukuran luas ruangan suatu rumah erat kaitannya dengan kejadian
tuberkulosis paru. Disamping itu Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru
Bradbury mendapat kesimpulan secara statistik bahwa kejadian tuberkulosis
paru paling besar diakibatkan oleh keadaan rumah yangtidak memenuhi syarat
pada luas ruangannya. Semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula
udara di dalam rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena jumlah
penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam
ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya.
Dengan meningkatnya kadar CO2 di udara dalam rumah, maka akan
memberi kesempatan tumbuh dan berkembang biak lebih bagi Mycobacterium
tuberculosis. Dengan demikian akan semakin banyak kuman yang terhisap oleh
penghuni rumah melalui saluran pernafasan. Menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia kepadatan penghuni diketahui dengan membandingkan luas
lantai rumah dengan jumlah penghuni, dengan ketentuan untuk daerah
perkotaan 6 m per orang daerah pedesaan 10 m per orang.
b. Kelembaban Rumah
Kelembaban udara dalam rumah minimal 40% 70 % dan suhu ruangan
yang ideal antara 180C 300C. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal,
misalnya terlalu panas akan berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan
tidak cocoknya untuk istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan

tidak menyenangkan dan pada orang-orang tertentu dapat menimbulkan alergi.


Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah
berkembangbiaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan
virus.
Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara, selain
itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung
menjadi kering seingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme.
Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk BakteriBakteri termasuk bakteri tuberkulosis. Kelembaban di dalam rumah menurut
Departemen Pekerjaan Umum (1986) dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu :
a. Kelembaban yang naik dari tanah ( rising damp )
b. Merembes melalui dinding ( percolating damp )
c. Bocor melalui atap ( roof leaks )
Untuk mengatasi kelembaban, maka perhatikan kondisi drainase atau saluran
air di sekeliling rumah, lantai harus kedap air, sambungan pondasi dengan
dinding harus kedap air, atap tidak bocor dan tersedia ventilasi yang cukup.
c. Ventilasi
Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknya udara
juga sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran udaradi dalam rumah
tersebut tetap segar. Menurut indikator pengawasan rumah , luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10%luas lantai rumah. Luas
ventilasi rumah yang <10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan)
akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksien dan bertambahnya
Konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Di
samping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan
kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ruangan yan tinggi akam menjadi media yang baik
untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman
tuberkulosis.
Tidak adanya ventilasi yang baik pada suatu ruangan makin membahayakan
kesehatan atau kehidupan, jika dalam ruangan tersebut terjadi pencemaran oleh
bakteri seperti oleh penderita tuberkulosis atau berbagai zat kimia organik atau
anorganik. Ventilasi berfungsi juga untuk membebaskan uadar ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situ
selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara
akan selalu mengalir. Selain itu, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran udara dan sinar
matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada
di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.
d. Pencahayaan Sinar Matahari
Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai
daya untuk membunuh bakteri. Hal ini telah dibuktikan oleh Robert Koch
(1843-1910). Dari hasil penelitian dengan melewatkan cahaya matahari pada
berbagai warna kaca terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis didapatkan
data sebagaimana pada tabel berikut.
e. Lantai rumah

Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan
tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian
Tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung
menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga
dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya.
f. Dinding
Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun
angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga
kerahasiaan (privacy) penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding adalah
dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau batu dan sebagainya. Tetapi dari
beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau
tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah
dibersihkan.
2.5 Patogenesis
Sumber penularan TB Paru adalah penderita TB BTA+ , Pada waktu batuk / bersin,
penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk dropler (percikan dahak).
2.5.1 Infeksi Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau
afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal
sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib
sebagai berikut:
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c. Menyebar dengan cara perkontinuitatum menyebar kesekitarnya.
1) Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis.
Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus
yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut,
yang dikenal sebagai epituberkulosis.
2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan.
3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya
tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh
secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran
ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti itu berkulosismilier, meningitis
tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia
dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan:

Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang


pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ).
Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.
2.5.2 Infeksi Post Primer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis
primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai
nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis,
tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama
menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan.
Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen
apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu
sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai
berikut:
1) Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat sarang tersebut akan
meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis.
Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan
menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
2) Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan
menjadi:
Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini
akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas.
Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh
dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai
kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped).

2.6 Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi TB Paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu1:
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada Tb Paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2.

Tuberkulosis paru BTA negatif


Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

d. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan


sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
3. Kasus setelah putus berobat (default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.
2.7 Tanda dan Gejala
Gejala
a) Gejala sistemik/umum
o Penurunan nafsu makan dan berat badan.
o Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
o Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan
bersifat hilang timbul.
b) Gejala khusus
o Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat
penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara
"mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
o Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
Tanda
Tanda-tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung luas dan kelainan
struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis dapat normal atau dapat ditemukan
tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda pemeriksaan fisik paru tersebut dapat
berupa: fokal fremitus meingkat, perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler atau
adanya ronkhi terutama di apeks paru.
Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda seperti : deviasi trakea ke sisi paru
yang terinfeksi, tanda konsolidasi, suara napas amporik pada cavitas atau tanda adanya
penebalan pleura.
2.8 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis/
jasmani, pemeriksaan bakteriologi. Dengan ditemukannya basil tuberkulosis, dapat
dipastikan bahwa proses masih aktif dan perlu diberikan pengobatan yang sesuai.
2.8.1. Pemeriksaan Jasmani
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak menemukan kelainan. Kelainan
paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan
segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma dan mediastinum.
2.8.2. Pemeriksaan Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti


yang sangat penting dalam menegakkan diagnosa. Bahannya dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar, urin, feses dan jaringan biopsi. Pemeriksaan bakteriologi dapat
dilakukan dengan cara pemeriksaan mikroskopis dan biakan.
a. Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan hapusan dahak mikroskopis langsung yang
merupakan metode diagnosis standar. Pemeriksaan ini untuk mengidentifikasi BTA
yang memegang peranan utama dalam diagnosis TB Paru. Selain tidak memerlukan
biaya mahal, cepat, mudah dilakukan, akurat, pemeriksaan mikroskopis merupakan
teknologi diagnostik yang paling sesuai karena mengindikasikan derajat penularan,
risiko kematian serta prioritas pengobatan.
b. Pemeriksaan biakan kuman
Melakukan pemeriksaan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti
dan dapat mendeteksi mikobakterium tuberkulosis dan juga Mycobacterium Other
Than Tuberculosis (MOTT).
2.8.3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,
top lordotik, oblik, CT Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
2.8.4. Pemeriksaan BACTEC
Merupakan pemeriksaan teknik yang lebih terbaru yang dapat mengidentifikasi
kuman tuberkulosis secara lebih cepat. Metode yang digunakan adalah metode
radiometrik. M.Tuberkulosis metabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan
CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi
salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan
diagnosis dan melakukan uji kepekaan.
2.8.5. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pemeriksaan ini adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk
DNA M.Tuberkulosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah
kemungkinan kontaminasi. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk
menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara benar
dan sesuai dengan standar internasional.
Pada tuberkulosis pasca primer, penyebaran kuman terjadi secara bronkogen,
sehingga penggunaan sampel darah untuk uji PCR tidak disarankan. Sebaliknya bila
sampel yang diperiksa merupakan dahak dari penderita yang dicurigai menderita
tuberkulosis paru, masih ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum
menggunakan PCR sebagai sarana diagnosis tuberkulosis paru.
2.8.6. Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi dilakukan dengan beberapa metode seperti:
a. Enzym Linked Immunsorbent Assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons
humoral berupa proses antigen antibodi yang terjadi. Kelemahan utama dari teknik

ELISA ini adalah pengenceran serum yang tinggi dan perlu dilakukan untuk
mencegah ikatan nonspesifik dari imunoglobulin manusia pada plastik.
b. ICT (Immun Chromatografic Tuberculosis)
Uji ICT adalah uji serologi untuk mendeteksi antibodi M. Tuberkulosis dalam
serum. Uji ini merupakan uji diagnostik tuberkulosis yang menggunakan 5 antigen
spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M. Tuberculosis.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomanan yang ditempel dengan alat yang berbentuk
sisir plastik.
d. Uji peroksidase anti peroksidase
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang
terjadi.
e.Uji serologi yang baru/ IgG TB
Uji ini adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi antibodi
IgG dengan antigen spesifik untuk mikobakterium tuberkulosis. Di luar negeri
metode ini lebih sering digunakan untuk mendiagnosa TB ekstraparu, tetapi kurang
baik untuk diagnosa TB pada anak.
2.8.7. Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien efusi pleura untuk menegakkan diagnosis.
2.8.8. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis. Bahan
jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi.
2.8.9. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju Endap Darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai
indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED
yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit juga kurang spesifik.
2.8.10. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di Indonesia
dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan berfungsi bila didapatkan
konversi, hasil uji positif yang didapat besar. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji
tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.

2.9

Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan kuman tahan asam yang
sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali
timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat.
Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah
dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelah yang
dimiliki mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan
penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat dibandingkan antibakteri
lain:
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin, Streptomisin,
Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin, Amikasin, Kuinolon.
2.10 Komplikasi
TB paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
komplikasi.Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita TB paru dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1. Komplikasi dini: komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.
2. Komplikasi pada stadium lanjut: Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi pada
penderita stadium lanjut adalah:
a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok hipovolemik
b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
d. Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah

e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya
2.11. Pencegahan
2.11.1. Pencegahan Primer
a. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara:
i. Makan makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna
ii. Usahakan setiap hari tidur cukup dan teratur
iii. Lakukanlah olahraga di tempat-tempat yang mempunyai udara segar.
iv. Meningkatkan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG.
b. Kebersihan Lingkungan
i. Lengkapi perumahan dengan ventilasi yang cukup
ii. Memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan
pemberantasan
serta manfaat penegakan diagnosa dini
iii. Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang meningkatkan risiko terjadinya
infeksi, misalnya kepadatan hunian
2.11.2. Pencegahan Sekunder
a. Case finding
i. X-foto toraks yang dikerjakan secara massal
ii. Uji tuberkulin secara Mountoux
iii. Bagi imigran yang datang dari negara-negara dengan prevalensi TB Paru yang
tinggi
dilakukan skrining dengan foto toraks, tes PPD, pemeriksaan BTA dan kultur,
bekerjasama dengan WHO.
b. Perawatan khusus penderita dan mengobati penderita.
Penderita tuberkulosis yang baru didiagnosa, diberikan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
yang mempunyai efek sterilisasi sekaligus mempunyai efek yang dapat mencegah
pertumbuhan kuman-kuman resisten seperti isoniazid (H), rifampisis (R) dan
pirazinamid (Z).
2.11.3. Pencegahan Tertier
a. Membuat stategi menyembuhkan penderita TB Paru yaitu pemberian paduan obat
efektif
dengan konsep Directly Observed Treatment Short-course (DOTS).
b. Penderita dengan initial drug resitance yang tinggi terhadap INH diberi obat etambutol
karena jarang initial resitance terhadap INH. Streptomisin dapat dipakai pada populasi
tertentu untuk meningkatkan complance pengobatan.
c. Memberi pengobatan secara teratur dan supervisi yang ketat dalam jangka waktu 9-12
bulan pada acquired resistance (penderita kambuh setelah pengobatan).

BAB III
KESIMPULAN
Emerging infectious diseases (EID) adalah penyakit yang pertama kali muncul dalam
suatu populasi, atau penyakit yang telah ada sebelumnya tetapi mengalami peningkatan
insidendsi atau area geografis dengan cepat. Emerging infectious diseases merupakan
penyakit infeksi yang kejadiannya pada manusia meningkat dalam dua dasawarsa/ dekade
terakhir atau cendedrung akan meningkat di masa mendatang.
Perkembangan berbagai penyakit re-emerging diseases dan new emerging diseases
kembali mengancam derajat kesehatan masyarakat. Penyakit menular tergolong re-emerging
diseases yang menjadi perhatian saat ini adalah Poliomyelitis, Tuberkulosis, Dengue Demam
Berdarah, HIV-AIDS, Demam Typhoid & Salmonellosis, Leptospirosis, Anthrax, Rabies, Pes,
Filariasis, Kolera & penyakit diare lainnya, Pneumococcal pneumonia & penyakit ISPA
lainnya, Diptheria, Lepra, Infeksi Helicobacter, Ricketsiosis, Pertussis, Gonorrhea & penyakit
infeksi menular seksual lainnya, Viral hepatitis, Campak, Varicella/Cacar Air, Chikungunya,
Herpes, Japanese encephalitis, Infectious Mononucleosis, infeksi HPV, Influenza, Malaria
dan lain-lain.
Penting dilakukannya deteksi dini dan penatalaksaan emerging dan re-emerging disease
ini dengan pemantauan secara berkelanjutan dengan memanfaatkan fungsi laboratorium
klinis dan pathologis, pendekatan secara epidemiologi dan kesehatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. 2001. Departemen Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,
Jakarta : Departemen Kesehatan RI
2. Ahmadi, Umar Fahmi. 2005. Menejemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas
3. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. 2004. Profil Kesehatan Jawa Tengah. Semarang
4. Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap. 2006. Laporan Monitoring Evaluasi Program TBC
Tingkat Kabupaten Cilacap Tahun 2006
6. Data Tipe Rumah di Wilayah Kecamatan Gandrungmangu tahun. 2006. Kantor
Kecamatan Gandrungmangu Cilacap
7. Amir M. dan Assegaf H. 1989. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga
University Press
8. Wajdi, Halim, Soebijanto, Irawati, Susi. 2005. Kesehatan Lingkungan Rumah dan
Kejadian Penyakit TB Paru di Kabupaten Agam Sumatera Barat. Jurnal Sains Kesehatan
UGM: Jogyakarta
9. Subagyo, Agus. 2007. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Penyakit
Tuberkulosis Paru di Kabupaten Banyumas, Program Magister Kesehatan Lingkungan.
UNDIP: Semarang
10. Stanford S., John P., Herbert MS. 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi, Edisi
4. Jogyakarta : Gajah Mada University Press
11. Miller F. J. W. 1982. Tuberculosis in Children Evolution, Epidemiology Treatment,
Prevention, Churchil Livingstone. Edinburgh London Melbourne and New York
12. Soemirat, Juli. 2000. Epidemiologi Lingkungan. Yogyakarta : Gajah Mada University
Press
13. Misnadiarly, Simanjuntak, Ch Pudjarwoto. 1990. Pengaruh Faktor Gizi dan Pemberian
BCG terhadap Timbulnya Penyakit tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokteran
14. Sanropie, Djasio, dkk. 1989. Pengawasan Penyehatan Pemukiman untuk Institusi

Pendidikan Sanitasi Lingkungan. Jakarta : Pusdiknakes Depkes RI


15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1994. Pengawasan kualitas Kesehatan
Lingkungan dan Pemukiman. Dirjen P2M & PLP: Jakarta
16. Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar, Jakarta:
Rineka Cipta
17. Azwar A. 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara: Jakarta
18. Smith P.G. dan Moss A. R. 1994. Epidemiology of Tuberculosis Patoghenesis. Protection
and control. ASM Press: Washington DC

También podría gustarte