Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PENDAHULUAN
Menurut WHO, Emerging infectious diseases (EID) adalah penyakit yang pertama
kali muncul dalam suatu populasi, atau penyakit yang telah ada sebelumnya tetapi mengalami
peningkatan insidendsi atau area geografis dengan cepat. Emerging infectious diseases
merupakan penyakit infeksi yang kejadiannya pada manusia meningkat dalam dua dasawarsa/
dekade terakhir atau cendedrung akan meningkat di masa mendatang. Secara umum EID
dapat dibagi dalam tiga kelompok penyakit, yaitu:
a. Penyakit menular baru (New Emerging Infectious Diseases)
b. Penyakit menular lama yang cenderung meningkat (Emerging Infectious Diseases)
c. Penyakit menular lama yang menimbulakan masalah baru (Re-Emerging Infectious
Diseases)
Penyakit-penyait infeksi terus menjadi tantangan utama di daerah Asia Tenggara.
Diperkirakan bahawa penyakit bertanggung jawab atas sekitar 40% dari 14 juta kematian
setiap tahun di region Asia Tenggara dan sekitar 28% merupakan penyakit infeksi yang
menjadi permasalahan global.
Perkembangan berbagai penyakit re-emerging diseases dan new emerging diseases
kembali mengancam derajat kesehatan masyarakat. Penyakit menular tergolong re-emerging
diseases yang menjadi perhatian saat ini adalah Poliomyelitis, Tuberkulosis, Dengue Demam
Berdarah, HIV-AIDS, Demam Typhoid & Salmonellosis, Leptospirosis, Anthrax, Rabies, Pes,
Filariasis, Kolera & penyakit diare lainnya, Pneumococcal pneumonia & penyakit ISPA
lainnya, Diptheria, Lepra, Infeksi Helicobacter, Ricketsiosis, Pertussis, Gonorrhea & penyakit
infeksi menular seksual lainnya, Viral hepatitis, Campak, Varicella/Cacar Air, Chikungunya,
Herpes, Japanese encephalitis, Infectious Mononucleosis, infeksi HPV, Influenza, Malaria
dan lain-lain.
Pemerintah Indonesia menetapkan pengendalian tuberkulosis sebagai prioritas
kesehatan nasional. Pada tahun 1999, telah dicanangkan Gerakan Nasional Terpadu
Pemberantsan Tuberkulosis atau Gerdunas untuk mempromosikan percepatan pemberantasan
tuberkulosis dengan pendekatan integratif, mencakup rumah sakit dan sektor swastadan
semua pengambil kebijakan lain, termasuk penderita dan masyakata. Padatahun 2001, semua
propinsi dan kabupaten telah mencanangkan Gerdunas, meskipun tidak semua operasional
secara penuh.
Untuk membangun pondasi pemberantasan tuberkulosis yang berkelanjutan, telah
ditetapkan Rencana Strategis Program Penangulangan Tubekulosis 2002-2006. Pemerintah
Indonesia juga menyediakan sejumlah besar dana untuk pengendalian tuberkulosis. Mulai
tahun 2005, upaya ini didukung oleh pemberian pelayanan kesehatan termasuk pemeriksaan,
obat-obatan dan tindakan medis secra gratis bagi seluruh penduduk miskin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil
dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri
dalam paru. TB paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan
granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. TB paru dapat menular melalui udara, waktu
seseorang dengan TB aktif pada paru batuk, bersin atau bicara.
2.2 Etiologi
Penyakit TB paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga
dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA) . Sumber penularan adalah penderita
tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan.
Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman
tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut
dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
2.3 Epidemiologi
A. Personal
1. Umur
TB Paru Menyerang siapa saja tua, muda bahkan anak-anak. Sebagian besar penderita
TB Paru di Negara berkembang berumur dibawah 50 tahun. Data WHO menunjukkan
bahwa kasus Tb paru di negara berkembang banyak terdapat pada umur produktif 1529 tahun. Penelitian Rizkiyani pada tahun 2008 menunjukkan jumlah penderita baru TB
Paru positif 87,6% berasal dari usia produktif (15-54 tahun) sedangkan 12,4 % terjadi
pada usia lanjut ( 55 tahun).
2. Jenis Kelamin
Penyakit TB Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak, lakilaki dan perempuan.TB
paru menyerang sebagian besar laki-laki usia produktif . Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita TB Paru. Hal ini disebabkan lakilaki lebih banyak melakukan mobilisasi dan mengkonsumsi alkohol dan rokok.
Penelitian Umar dengan penelitian prospektif observasional analitik di RS Persahabatan
tahun 2005 melaporkan bahwa laki-laki 0,5 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada
wanita pada penderita TB Paru.
3. Status gizi
Status nutrisi merupakan salah satu faktor yang menetukan fungsi seluruh sistem
tubuh termasuk sistem imun.Sistem kekebalan dibutuhkan manusia untuk memproteksi
tubuh terutama mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh `mikroorganisme.
Bila daya tahan tubuh sedang rendah, kuman TB paru akan mudah masuk ke dalam
tubuh. Kuman ini akan berkumpul dalam paru-paru kemudian berkembang biak.Tetapi,
orang yang terinfeksi kuman TB Paru belum tentu menderita TB paru. Hal ini
bergantung pada daya tahan tubuh orang tersebut.
Apabila, daya tahan tubuh kuat maka kuman akan terus tertidur di dalam tubuh
(dormant) dan tidak berkembang menjadi penyakt namun apabila daya tahan tubuh
lemah makan kuman TB akan berkembang menjadi penyakit. Penyakit TB paru Lebih
dominan terjadi pada masyarakat yang status gizi rendah karena sistem imun yang
lemah sehingga memudahkan kuman TB Masuk dan berkembang biak.
4. Merokok
Merokok sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Di dalam rokok terdapat 45 jenis
bahan kimia beracun. Merokok dapat mengiritasi paru-paru yang sakit sehingga
mempersulit untuk menormalkan kembali keadaannya. Pada perokok banyak dijumpai
gejala berupa batuk kronis, berdahak dan gangguan pernapasan. Apabila dilakukan uji
fungsi paru-paru maka pada perokok jauh lebih buruk dibandingkan dengan yang bukan
perokok.
Penelitian Umar dengan penelitian prospektif observasional analitik di RS
Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa penderita yang mempunyai kebiasaan
merokok 7,7 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada yang tidak merokok pada penderita
TB Paru.
5. Kemiskinan
Kemiskinan menghalangi manusia mendapatkan kebutuhan dasar untuk hidup dan
mengurangi kemampuannya untuk mengatasi stres dan infeksi. Hal ini dapat dilihat dari
perumahan yang terlalu padat atau kondisi kerja yang buruk menyebabkan daya tahan
tubuh turun yang memudahkan terjadinya penyakit infeksi. Orang yang hidup dengan
kondisi ini juga sering menderita gizi buruk yang memudahkan tuberkulosis
berkembang. Penelitian Umar dengan penelitian prospektif observasional analitik di RS
Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa penderita yang memiliki pendapatan
rendah 7,5 kali lebih sulit sembuh dari pada pendapatan menengah ke atas pada
penderita TB Paru.
6. Penyakit lain
Penyakit lain khususnya penyakit infeksi seperti HIV/AIDS lebih mudah terserang
penyakit TB Paru karena penderita mengalami daya tahan tubuh menurun sehingga
tidak dapat mengendalikan kuman yang masuk ke dalam tubuh.Di beberapa negara di
Afrika sub-Sahara 20-70% pasien dengan tuberkulosis menunjukkan HIV positif.
Penyakit lain yang mempengaruhi TB Paru juga adalah penyakit kronis lain (seperti
Diabetes Melitus). Penelitian Umar dengan penelitian prospektif observasional analitik
di RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa penderita yang memiliki penyakit
kronis selain TB Paru 0,3 kali lebih sulit sembuh dari pada penyakit akut pada penyakit
TB Paru.
B. Tempat
1. Lingkungan
TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang ditularkan melalui
udara. Keadaan berbagai lingkungan yang dapat mempengaruhi penyebaran TB paru
salah satunya adalah lingkungan yang kumuh,kotor. Penderita TB Paru lebih banyak
terdapat pada masyarakat yang menetap pada lingkungan yang kumuh dan kotor.
2. Kondisi sosial ekonomi
Sebagai penderita TB paru adalah dari kalangan miskin. Data WHO pada tahun 2011
yang menyatakan bahwa angka kematian akibat TB paru sebagaian besar berada di
negara yang relatif miskin.
C. Waktu
Penyakit TB paru dapat menyerang siapa saja, dimana saja, dan kapan saja tanpa
mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh pada saat itu kuman akan
berkembang biak dan berpotensi untuk terjadinya TB paru.
D. Distribusi Frekuensi
Sebagian besar negara maju diperkirakan insiden tuberkulosis setiap tahunnya hanya
10-20 dari 100.000 penduduk. Diperkirakan lebih dari 1,5 miliar orang di seluruh dunia
dan setiap tahun sekitar 3 juta orang mati karena penyakit ini. Angka kematian di negara
maju sudah mengalami penurunan sementara di negara berkembang angkanya masih
cukup tinggi. Di Afrika setiap tahunnya insiden penderita TB Paru 165 per 100.000
penduduk, sementara di Asia 110 per 100.000 penduduk. Di Asia jumlah penduduk lebih
banyak dari Afrika sehingga insiden per tahunnya di benua Asia lebih banyak 3,7 kali dari
Afrika.
Pada tahun 2000 di kawasan Asia Tenggara lebih dari 3,9 juta insiden TB Paru dan
lebih dari 1,3 juta kematian. WHO memperkirakan bahwa CFR TB Paru di Indonesia
setiap tahunnya sebesar 39% (175.000 jumlah kematian akibat tuberkulosis dari 445.000
kasus). Menurut jenis kelamin penderita TB Paru pada pria selalu lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita. Data Profil Kesehatan 2005 menyatakan bahwa di Indonesia
jumlah TB Paru BTA positif pada laki-laki lebih tinggi 58,70% (93.114 kasus) dari wanita
41,30% (65.526 kasus).
2.4 Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran
pernafasan, kuman TB Paru tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya,
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran
langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak negatif
(tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan
seseorang terinfeksi TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang
menjadi penderita Tuberkulosis paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantarannya
gizi buruk atau HIV/AIDS.
bila kekebalan tubuh lemah maka kuman tuberkulosis paru akan mudah
menyebabkan penyakit tuberkulosis paru.
e. Status gizi
Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan
berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi
kuman tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan
mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan kalori dan
protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru.
f. Penyakit infeksi HIV
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sitem daya tahan tubuh seluler
(cellular immunity) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis,
maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan
kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita
tuberkulosis paru akan meningkat, dengan demikian penularan tuberkulosis paru di
masyarakat akan meningkat pula.
3. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host (pejamu) baik
benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat
interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Faktor lingkungan
memegang peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah yang
tidak memenuhi syarat. Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang
memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya.19) Adapun
syarat-syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis yang berpengaruh
terhadap kejadian tuberkulosis paru antara lain :
a. Kepadatan Penghuni Rumah
Ukuran luas ruangan suatu rumah erat kaitannya dengan kejadian
tuberkulosis paru. Disamping itu Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru
Bradbury mendapat kesimpulan secara statistik bahwa kejadian tuberkulosis
paru paling besar diakibatkan oleh keadaan rumah yangtidak memenuhi syarat
pada luas ruangannya. Semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula
udara di dalam rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena jumlah
penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam
ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya.
Dengan meningkatnya kadar CO2 di udara dalam rumah, maka akan
memberi kesempatan tumbuh dan berkembang biak lebih bagi Mycobacterium
tuberculosis. Dengan demikian akan semakin banyak kuman yang terhisap oleh
penghuni rumah melalui saluran pernafasan. Menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia kepadatan penghuni diketahui dengan membandingkan luas
lantai rumah dengan jumlah penghuni, dengan ketentuan untuk daerah
perkotaan 6 m per orang daerah pedesaan 10 m per orang.
b. Kelembaban Rumah
Kelembaban udara dalam rumah minimal 40% 70 % dan suhu ruangan
yang ideal antara 180C 300C. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal,
misalnya terlalu panas akan berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan
tidak cocoknya untuk istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan
Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan
tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian
Tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung
menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga
dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya.
f. Dinding
Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun
angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga
kerahasiaan (privacy) penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding adalah
dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau batu dan sebagainya. Tetapi dari
beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau
tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah
dibersihkan.
2.5 Patogenesis
Sumber penularan TB Paru adalah penderita TB BTA+ , Pada waktu batuk / bersin,
penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk dropler (percikan dahak).
2.5.1 Infeksi Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau
afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal
sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib
sebagai berikut:
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c. Menyebar dengan cara perkontinuitatum menyebar kesekitarnya.
1) Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis.
Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus
yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut,
yang dikenal sebagai epituberkulosis.
2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan.
3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya
tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh
secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran
ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti itu berkulosismilier, meningitis
tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia
dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan:
2.6 Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi TB Paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu1:
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada Tb Paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2.
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.
2.7 Tanda dan Gejala
Gejala
a) Gejala sistemik/umum
o Penurunan nafsu makan dan berat badan.
o Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
o Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan
bersifat hilang timbul.
b) Gejala khusus
o Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat
penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara
"mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
o Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
Tanda
Tanda-tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung luas dan kelainan
struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis dapat normal atau dapat ditemukan
tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda pemeriksaan fisik paru tersebut dapat
berupa: fokal fremitus meingkat, perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler atau
adanya ronkhi terutama di apeks paru.
Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda seperti : deviasi trakea ke sisi paru
yang terinfeksi, tanda konsolidasi, suara napas amporik pada cavitas atau tanda adanya
penebalan pleura.
2.8 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis/
jasmani, pemeriksaan bakteriologi. Dengan ditemukannya basil tuberkulosis, dapat
dipastikan bahwa proses masih aktif dan perlu diberikan pengobatan yang sesuai.
2.8.1. Pemeriksaan Jasmani
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak menemukan kelainan. Kelainan
paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan
segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma dan mediastinum.
2.8.2. Pemeriksaan Bakteriologi
ELISA ini adalah pengenceran serum yang tinggi dan perlu dilakukan untuk
mencegah ikatan nonspesifik dari imunoglobulin manusia pada plastik.
b. ICT (Immun Chromatografic Tuberculosis)
Uji ICT adalah uji serologi untuk mendeteksi antibodi M. Tuberkulosis dalam
serum. Uji ini merupakan uji diagnostik tuberkulosis yang menggunakan 5 antigen
spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M. Tuberculosis.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomanan yang ditempel dengan alat yang berbentuk
sisir plastik.
d. Uji peroksidase anti peroksidase
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang
terjadi.
e.Uji serologi yang baru/ IgG TB
Uji ini adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi antibodi
IgG dengan antigen spesifik untuk mikobakterium tuberkulosis. Di luar negeri
metode ini lebih sering digunakan untuk mendiagnosa TB ekstraparu, tetapi kurang
baik untuk diagnosa TB pada anak.
2.8.7. Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien efusi pleura untuk menegakkan diagnosis.
2.8.8. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis. Bahan
jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi.
2.8.9. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju Endap Darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai
indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED
yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit juga kurang spesifik.
2.8.10. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di Indonesia
dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan berfungsi bila didapatkan
konversi, hasil uji positif yang didapat besar. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji
tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
2.9
Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan kuman tahan asam yang
sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali
timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat.
Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah
dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelah yang
dimiliki mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan
penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat dibandingkan antibakteri
lain:
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin, Streptomisin,
Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin, Amikasin, Kuinolon.
2.10 Komplikasi
TB paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
komplikasi.Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita TB paru dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1. Komplikasi dini: komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.
2. Komplikasi pada stadium lanjut: Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi pada
penderita stadium lanjut adalah:
a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok hipovolemik
b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
d. Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya
2.11. Pencegahan
2.11.1. Pencegahan Primer
a. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara:
i. Makan makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna
ii. Usahakan setiap hari tidur cukup dan teratur
iii. Lakukanlah olahraga di tempat-tempat yang mempunyai udara segar.
iv. Meningkatkan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG.
b. Kebersihan Lingkungan
i. Lengkapi perumahan dengan ventilasi yang cukup
ii. Memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan
pemberantasan
serta manfaat penegakan diagnosa dini
iii. Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang meningkatkan risiko terjadinya
infeksi, misalnya kepadatan hunian
2.11.2. Pencegahan Sekunder
a. Case finding
i. X-foto toraks yang dikerjakan secara massal
ii. Uji tuberkulin secara Mountoux
iii. Bagi imigran yang datang dari negara-negara dengan prevalensi TB Paru yang
tinggi
dilakukan skrining dengan foto toraks, tes PPD, pemeriksaan BTA dan kultur,
bekerjasama dengan WHO.
b. Perawatan khusus penderita dan mengobati penderita.
Penderita tuberkulosis yang baru didiagnosa, diberikan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
yang mempunyai efek sterilisasi sekaligus mempunyai efek yang dapat mencegah
pertumbuhan kuman-kuman resisten seperti isoniazid (H), rifampisis (R) dan
pirazinamid (Z).
2.11.3. Pencegahan Tertier
a. Membuat stategi menyembuhkan penderita TB Paru yaitu pemberian paduan obat
efektif
dengan konsep Directly Observed Treatment Short-course (DOTS).
b. Penderita dengan initial drug resitance yang tinggi terhadap INH diberi obat etambutol
karena jarang initial resitance terhadap INH. Streptomisin dapat dipakai pada populasi
tertentu untuk meningkatkan complance pengobatan.
c. Memberi pengobatan secara teratur dan supervisi yang ketat dalam jangka waktu 9-12
bulan pada acquired resistance (penderita kambuh setelah pengobatan).
BAB III
KESIMPULAN
Emerging infectious diseases (EID) adalah penyakit yang pertama kali muncul dalam
suatu populasi, atau penyakit yang telah ada sebelumnya tetapi mengalami peningkatan
insidendsi atau area geografis dengan cepat. Emerging infectious diseases merupakan
penyakit infeksi yang kejadiannya pada manusia meningkat dalam dua dasawarsa/ dekade
terakhir atau cendedrung akan meningkat di masa mendatang.
Perkembangan berbagai penyakit re-emerging diseases dan new emerging diseases
kembali mengancam derajat kesehatan masyarakat. Penyakit menular tergolong re-emerging
diseases yang menjadi perhatian saat ini adalah Poliomyelitis, Tuberkulosis, Dengue Demam
Berdarah, HIV-AIDS, Demam Typhoid & Salmonellosis, Leptospirosis, Anthrax, Rabies, Pes,
Filariasis, Kolera & penyakit diare lainnya, Pneumococcal pneumonia & penyakit ISPA
lainnya, Diptheria, Lepra, Infeksi Helicobacter, Ricketsiosis, Pertussis, Gonorrhea & penyakit
infeksi menular seksual lainnya, Viral hepatitis, Campak, Varicella/Cacar Air, Chikungunya,
Herpes, Japanese encephalitis, Infectious Mononucleosis, infeksi HPV, Influenza, Malaria
dan lain-lain.
Penting dilakukannya deteksi dini dan penatalaksaan emerging dan re-emerging disease
ini dengan pemantauan secara berkelanjutan dengan memanfaatkan fungsi laboratorium
klinis dan pathologis, pendekatan secara epidemiologi dan kesehatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. 2001. Departemen Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,
Jakarta : Departemen Kesehatan RI
2. Ahmadi, Umar Fahmi. 2005. Menejemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas
3. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. 2004. Profil Kesehatan Jawa Tengah. Semarang
4. Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap. 2006. Laporan Monitoring Evaluasi Program TBC
Tingkat Kabupaten Cilacap Tahun 2006
6. Data Tipe Rumah di Wilayah Kecamatan Gandrungmangu tahun. 2006. Kantor
Kecamatan Gandrungmangu Cilacap
7. Amir M. dan Assegaf H. 1989. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga
University Press
8. Wajdi, Halim, Soebijanto, Irawati, Susi. 2005. Kesehatan Lingkungan Rumah dan
Kejadian Penyakit TB Paru di Kabupaten Agam Sumatera Barat. Jurnal Sains Kesehatan
UGM: Jogyakarta
9. Subagyo, Agus. 2007. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Penyakit
Tuberkulosis Paru di Kabupaten Banyumas, Program Magister Kesehatan Lingkungan.
UNDIP: Semarang
10. Stanford S., John P., Herbert MS. 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi, Edisi
4. Jogyakarta : Gajah Mada University Press
11. Miller F. J. W. 1982. Tuberculosis in Children Evolution, Epidemiology Treatment,
Prevention, Churchil Livingstone. Edinburgh London Melbourne and New York
12. Soemirat, Juli. 2000. Epidemiologi Lingkungan. Yogyakarta : Gajah Mada University
Press
13. Misnadiarly, Simanjuntak, Ch Pudjarwoto. 1990. Pengaruh Faktor Gizi dan Pemberian
BCG terhadap Timbulnya Penyakit tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokteran
14. Sanropie, Djasio, dkk. 1989. Pengawasan Penyehatan Pemukiman untuk Institusi