Está en la página 1de 16

Terapan Riwayat Alamiah Penyakit Demam Berdarah Dengue dan Tahap

Pencegahannya
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan
penyebarannya semakin luas. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang terutama
menyerang anak-anak. DBD adalah penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam
manifestasi perdarahan dan bertendensi mengakibatkan renjatan atau syok yang
menyebabkan kematian. Penyakit ini selalu terjadi tiap tahun di berbagai tempat di
Indonesia terutama pada saat musim hujan.
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B, yaitu
arthropode-borne virus atau virus yang disebarkan oleh artropoda dan termasuk genus
Flavivirus dari famili Flaviridae. Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes
aegypti (di daerah perkotaan) dan Aedes albopictus (di daerah pedesaan). Nyamuk yang
menjadi vektor penyakit DBD adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi saat menggigit
manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darahnya) (Widoyono,
2008).
telah

Mayoritas kasus DBD dilaporkan dari Asia di mana penyakit ini


mempengaruhi

sebagian

besar

negara,

dan

merupakan

penyebab utama rawat inap dan kematian di kalangan anak-anak.


Dampak DF / DBD terhadap kesehatan masyarakat yang nyata terjadi
selama wabah penyakit ini (Gubler, 2002).
Perjalanan penyakit DBD sering sukar diramalkan, karena sebagian penderita
dengan renjatan yang berat dapat disembuhkan walaupun hanya dengan pengobatan
yang sederhana. Selain itu hal ini juga terjadi karena pengawasan yang minim,
sehingga tahap awal penularan epidemi biasanya tidak terdeteksi,
dengan kasus yang banyak tidak dilaporkan sampai epidemi ini diakui
sebagai demam berdarah, yang biasanya terjadi dekat dengan
transmisi puncak; kemudian menjadi terlalu banyak dilaporkan.
Keadaan darurat pengendalian nyamuk biasanya dimulai pada waktu
tersebut, tetapi upaya ini biasanya salah arah, terlalu sedikit dan
terlalu terlambat untuk memiliki berbagai pengaruh pada epidemi
(Gubler, 2002).

Berikut ini penjelasan tentang riwayat alamiah penyakit deman berdarah dengue
beserta tahap-tahap pencegahannya:
1. Fase suseptibel (rentan)
Fase suseptibel adalah tahap awal perjalanan penyakit dimulai dari
tepaparnya individu yang rentan (suseptibel). Fase suseptibel dari demam berdarah
dengue menurut Gurbler et al, dalam sumantri (2008) adalah pada saat nyamuk
Aedes aegypti yang tidak infektif kemudian menjadi infektif setelah menggigit
manusia yang sakit atau dalam keadaan viremia (masa virus bereplikasi cepat dalam
tubuh manusia). Nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi
penular sepanjang hidupnya. Ketika menggigit manusia nyamuk mensekresikan
kelenjar saliva melalui proboscis terlebih dahulu agar darah yang akan dihisap tidak
membeku. Bersama sekresi saliva inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk antar
manusia.
2. Fase Subklinis (asismtomatis)
Fase sublinis adalah waktu yang diperlukan dari mulai paparan agen kausal
hingga timbulnya manifestasi klinis disebut dengan masa inkubasi (penyakit infeksi)
atau masa laten (penyakit kronis). Pada fase ini penyakit belum menampakkan tanda
dan gejala klinis, atau disebut dengan fase subklinis (asimtomatis). Masa inkubasi ini
dapat berlangsung dalam hitungan detik pada reaksi toksik atau hipersensitivitas.
Fase subklinis dari demam berdarah dengue adalah setelah virus dengue
masuk bersama air liur nyamuk ke dalam tubuh, virus tersebut kemudian
memperbanyak diri dan menginfeksi sel-sel darah putih serta kelenjar getah bening
untuk kemudian masuk ke dalam sistem sirkulasi darah. Virus ini berada di dalam
darah hanya selama 3 hari sejak ditularkan oleh nyamuk. (Lestari, 2007). Pada fase
subklinis ini, jumlah trombosit masih normal selama 3 hari pertama (Rena, 2009).
Sebagai perlawanan, tubuh akan membentuk antibodi, selanjutnya akan terbentuk
kompleks virus-antibodi dengan virus yang berfungsi sebagai antigennya. Kompleks
antigen-antibodi ini akan melepaskan zat-zat yang merusak sel-sel pembuluh darah,
yang disebut dengan proses autoimun. Proses tersebut menyebabkan permeabilitas
kapiler meningkat yang salah satunya ditunjukkan dengan melebarnya pori-pori
pembuluh darah kapiler. Hal tersebut akan mengakibatkan bocornya sel-sel darah,
antara lain trombosit dan eritrosit (Widoyono, 2008). Jika hal ini terjadi, maka
2

penyakit DBD akan memasuki fase klinis dimana sudah mulai ditemukan gejala dan
tanda secara klinis adanya suatu penyakit.
Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya akan
sakit demam berdarah dengue. Ada yang mengalami demam ringan dan sembuh
dengan sendirinya, atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit.
Tahapan pencegahan yang dapat diterapkan untuk menghindari terjadinya
fase suseptibel dan fase subklinis atau yang sering disebut dengan fase
prepatogenesis ada dua, yaitu:
1. Health Promotion, dapat dilakukan dengan berbagai cara
antara lain:
a) Pendidikan

dan

masyarakat.
Hal
ini

Penyuluhan
dimaksudkan

tentang
untuk

kesehatan

pada

memberikan

dan

meningkatkan pengetahuan masyrakat tentang kesehatan.


Selain

itu

juga

dilakukan

untuk

membina

peran

serta

masyarakat melalui berbagai jalur komunikasi dan informasi


kepada masyarakat, seperti melalui televisi, radio dan media
massa lainnya, kerja bakti dan lomba-lomba yang berkaitan
dengan kesehatan di kelurahan atau desa, sekolah atau
tempat-tempat umum lainnya.
b) Memberdayakan kearifan lokal yang ada.
Misalnya kearifan lokal masyarakat di pedesaan yaitu
gotong royong. Hal ini jika dilakukan secara rutin tiap
minggunya

dalam

bentuk

bersama-sama

membersihkan

lingkungan sekitar akan sangat berguna untuk meningkatkan


status kesehatan.
c) Perbaikan suplai dan penyimpanan air.
Air sebagai sumber kehidupan memegang peranan yang
sangat penting dalam kelanjutan dan kesejahteraan hidup
manusia. Permasalahan sanitasi air bersih menjadi salah satu
permasalahan kesehatan lingkungan di Indonesia. Oleh karena
itu, perbaikan suplai dan penyimpanan air sangat penting
untuk dilakukan mengingat permasalahan atau penyakit
berupa water borne disease sangat beraneka ragam. Bahkan

air juga bisa menjadi tempat hidup dan perkembangbiakan


vektor penyakit lain seperti demam berdarah dengue (DBD).
d) Menekan angka pertumbuhan penduduk.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Antonius (2005)
dalam Suyasa (2008) bahwa daerah yang terjangkit DBD pada
umumnya adalah kota atau wilayah yang padat penduduk.
Rumah-rumah

yang

saling

berdekatan

memudahkan

penularan penyakit ini, mengingat nyamuk Aedes aegypti


jarak terbangnya maksimal 200 meter. Hubungan yang baik
antar daerah memudahkan penyebaran penyakit ke daerah
lain. Selain itu, hal ini juga berkaitan erat dengan mobilitas
penduduk yang memudahkan penularan dari satu tempat ke
tempat lainnya dan biasanya penyakit menjalar dimulai dari
satu

sumber

penularan

kemudian

mengikuti

lalu

lintas

penduduk. Hal ini juga didukung oleh pernyataan (Gubler,


2002) bahwa ada banyak faktor yang bertanggung jawab
untuk kebangkitan dramatis epidemi DF / DBD pada tahuntahun dari abad ke-20, namun beberapa di antaranya tidak
dipahami dengan baik. Demografis dan perubahan sosial
seperti pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan transportasi
modern memberikan kontribusi besar terhadap kejadian
meningkat

dan

penyebaran

geografis

aktivitas

demam

berdarah.
e) Perbaikan sanitasi lingkungan, tata ruang kota dan kebijakan
pemerintah.
Hal ini erat kaitannya dengan pemukiman penduduk,
tempat-tempat umum, sarana dan prasarana kota, dan lainlain. Penataan ruang kota yang baik akan meningkatkan
status kesehatan masyarakat setempat. Selain itu sanitasi
lingkungan juga harus diperbaiki karena beberapa hal berikut
ini:

Keberadaan Densitas Aedes aegypti pada Daerah Endemis


Demam Berdarah di beberapa daerah menunjukkan bahwa
tempat perindukkan nyamuk Aedes aegypti yang paling
banyak berupa bak mandi, kemudian diikuti gentong, bak

WC, tempayan, ember dan tempat wudhu (Suyasa, 2008).


Keberadaan pot tanaman hias. Keberadaan pot tanaman
hias di rumah khususnya tanaman hias yang menggunakan
media

air

sebagai

pertumbuhan

pada

kenyataannya

terdapat genangan air. Genangan air ini dijadikan sebagai


-

breeding place nyamuk Aedes aegypti.


Keberadaan saluran air hujan. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian

Arman

(2005)

yang

menunjukkan

adanya

hubungan antara keberadaan saluran air hujan dengan


endemisitas demam berdarah dengue. Perubahan musim
dari kemarau ke penghujan menjadi titik rawan ledakan
kasus demam berdarah, apalagi didukung oleh keberadaan
-

saluran air hujan yang dapat menampung genangan air.


Keberadaan kontainer. Genangan yang disukai sebagai
tempat perindukkan nyamuk ini berupa genangan air yang
tertampung di suatu wadah yang biasa disebut kontainer
atau tempat penampungan air bukan genangan air di

tanah.
2. Specific protection
a. Abatisasi
Program ini secara massal memberikan bubuk abate
secara cuma-cuma kepada seluruh rumah, terutama di
wilayah yang endemis DBD semasa musim penghujan.
Tujuannya agar kalau sampai menetas, jentik nyamuknya mati
dan tidak sampai terlanjur menjadi nyamuk dewasa yang
akan menambah besar populasinya (Nadesul, 2007). Abitasasi
selektif atau larvasidasi selektif, yaitu kegiatan memberikan
atau menaburkan larvasida ke dalam penampungan air yang
positif terdapat jentik aedes (Widoyono, 2008).
b. Fogging focus (FF).

Fogging focus adalah kegiatan menyemprot dengan


insektisida (malation, losban) untuk membunuh nyamuk
dewasa dalam radius 1 RW per 400 rumah per 1 dukuh
(Widoyono,

2008).

Penyemprotan

bisa

membahayakan

kesehatan jika dilakukan tidak dengan hati-hati. Oleh karena


itu, takaran insektisida yang dipakai harus diukur dengan
cermat, dan tidak sampai berlebihan (Nadesul, 2007).
c. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
Pemeriksaan Jentik Berkala adalah kegiatan reguler tiga
bulan

sekali,

dengan

cara

mengambil

sampel

100

rumah/desa/kelurahan. Pengambilan sampel dapat dilakukan


dengan cara random atau metode spiral (dengan rumah di
tengah sebagai pusatnya) atau metode zig-zag. Dengan
kegiatan ini akan didapatkan angka kepadatan jentik atau
House Index (HI) (Widoyono, 2008). Pembersihan jentik bisa
dilakukan dengan pogram Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN), menggunakan ikan, dan larvasidasi. Tidak semua jenis
ikan memangsa jentik nyamuk Aedes, hanya ikan jenis
gambusia, seperti ikan kepala timah. Selain itu ada beberapa
pemangsa jentik nyamuk Aedes yang ada di alam, yaitu
burung air, serangga, dan ikan. Namun pemangsa itu sudah
semakin langka, sehingga campur tangan manusia memang
diperlukan (Nadesul, 2007).
d. Penggerakan PSN
Kegiatan PSN dengan menguras dan menyikat TPA
seperti bak mandi atau WC, drum seminggu sekali, menutup
rapat-rapat TPA seperti gentong air atau tempayan, mengubur
atau

menyingkirkan

barang-barang

bekas

yang

dapat

menampung air hujan serta mengganti air vas bunga, tempat


minum burung seminggu sekali merupakan upaya untuk
melakukan PSN DBD. Masyarakat diharapkan rutin melakukan
kegiatan

tersebut

dan

pihak

pemerintah

melakukan

pemeriksaan

jentik

berkala,

sehingga

pencegahan

dan

pemberantasan penyakit DBD dapat berjalan dengan baik.


e. Pencegahan gigitan nyamuk.
Pencegahan gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan
pemakaian

kawat

menggunakan
melakukan

kasa,

obat

menggunakan

nyamuk

kebiasaan

(bakar,

beresiko

kelambu,

oles),

dan

tidur

siang,

seperti

tidak
dan

menggantung baju. Pemakaian kasa pada ventilasi yang


dilakukan

merupakan

pencegahan

secara

fisik

terhadap

nyamuk yang bertujuan agar nyamuk tidak sampai masuk


rumah ataupun kamar tidur.
f. Pengendalian vektor.
Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur
dalam Kepmenkes No.581 tahun 1992, bahwa kegiatan
pemberantasan

sarang

nyamuk

(PSN)

dilakukan

secara

periodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam


bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus. Keberhasilan kegiatan
PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ).
Apabila

ABJ

lebih

atau

sama

dengan

95%

diharapkan

penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Sejak tahun


2004 telah diperkenalkan suatu metode komunikasi atau
penyampaian informasi atau pesan yang berdampak pada
perubahan

perilaku

dalam

pelaksanaan

pendekatan

sosial

budaya

setempat

PSN

melalui

yaitu

Metode

Communication for Behavioral Impact (COMBI) (Pusat Data


dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI, 2010).
Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan
obat untuk penyakit DBD belum ada dan masih dalam proses
penelitian, sehingga pengendaliannya terutama ditujukan
untuk memutus rantai penularan, yaitu dengan pengendalian
vektornya. Beberapa

metode pengendalian

vektor

telah

banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian


DBD di tingkat pusat dan di daerah yaitu: 1. Manajemen

lingkungan,

2.

Pengendalian

Biologis,

3.

Pengendalian

Kimiawi, 4. Partisipasi masyarakat, 5. Perlindungan Individu


dan 6. Peraturan perundangan.
3. Fase klinis (proses ekspresi)
Tahap selanjutnya adalah fase klinis yang merupakan tahap ekspresi dari
penyakit tersebut. Pada saat ini mulai timbul tanda (sign) dan gejala (symptom)
penyakit secara klinis, dan penjamu yang mengalami manifestasi klinis. Gejala klinis
paling awal disebut dengan gejala prodromal. Periode waktu untuk mengekspresikan
penyakit klinis hingga terjadi hasil akhir penyakit disebut dengan durasi penyakit.
Fase klinis dari demam berdarah dengue ditandai dengan badan yang
mengalami gejala demam dengan suhu tinggi antara 39 sampai 40 derajat celcius.
Akibat pertempuran antara antibodi dan virus dengue terjadi penurunan kadar
trombosit dan bocornya pembuluh darah sehingga membuat plasma darah mengalir
ke luar. Penurunan trombosit ini mulai bisa dideteksi pada hari ketiga. Masa kritis
penderita demam berdarah berlangusng sesudahnya, yakni pada hari keempat dan
kelima. Pada fase ini suhu badan turun dan biasanya diikuti oleh sindrom shock
dengue karena perubahan yang tiba-tiba. Muka penderita pun menjadi memerah atau
facial flush. Biasanya penderita juga mengalami sakit kepala, tubuh bagian balakang,
otot, tulang dan perut (antara pusar dan ulu hati). Tidak jarang diikuti dengan muntah
yang berlanjut dan suhu dingin dan lembab pada ujung jari serta kaki (Lestari, 2007).
Tersangka DBD akan mengalami demam tinggi yang mendadak terus menerus
selama kurang dari seminggu, tidak disertai infeksi saluran pernapasan bagian atas,
dan badan lemah dan lesu. Jika ada kedaruratan maka akan muncul tanda-tanda syok,
muntah terus menerus, kejang, muntah darah, dan batuk darah sehingga penderita
harus segera menjalani rawat inap. Sedangkan jika tidak terjadi kedaruratan, maka
perlu dilakukan uji torniket positif dan uji torniket negatif yang berguna untuk
melihat permeabillitas pembuluh darah sebagai cara untuk menentukan langkah
penanganan selanjutnya (Arif dkk, 2000).
Manifestasi klinis DBD sangat bervariasi, WHO (1975) dalam Rampengan
(2008) membagi menjadi 4 derajat, yaitu:

Derajat I: Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala yang tidak khas dan satusatunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif.

Derajat II: Gejala derajat I, disertai dengan gejala perdarahan spontan di kulit dan

atau perdarahan lain.


Derajat III: Derajat II disertai dengan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi menyempit (< 20 mmHg), atau hipotensi (sistolis 80

mmHg) disertai kulit yang dingin, lembab, dan penderita gelisah.


Derajat IV: Derajat III ditambah syok berat dengan nadi yang tak teraba dan
tekanan darah yang tak terukur, dapat disertai dengan penurunan kesadaran,

sianosis dan asidosis.


4. Fase penyembuhan, kecacatan, atau kematian
Setelah terinfeksi virus dengue maka penderita akan kebal
menyeluruh

(seumur

hidup)

terhadap

virus

dengue

yang

menyerangya saat itu (misalnya, serotipe 1). Namun hanya


mempunyai kekebalan sebagian (selama 6 bulan) terhadap virus
dengue lain (serotipe 2, 3, dan 4). Demikian seterusnya sampai
akhirnya penderita akan mengalami kekebalan terhadap seluruh
serotipe tersebut (Satari, 2004).
Tahap pemulihan bergantung pada penderita dalam melewati fase kritisnya.
Tahap pemulihan dapat dilakukan dengan pemberian infus atau transfer trombosit.
Bila penderita dapat melewati masa kritisnya maka pada hari keenam dan ketujuh
penderita akan berangsur membaik dan kembali normal pada hari ketujuh dan
kedelapan, namun apabila penderita tidak dapat melewati masa kritisnya maka akan
menimbulkan kematian (Lestari, 2007).
Pencegahan yang dilakukan pada fase klinis dan fase penyembuhan atau yang
sering disebut dengan tahap patogenesis ada tiga, yaitu:
1. Early Diagnosis dan Prompt Treatment
Pengendalian penyakit menular akan berjalan efektif kalau
penyakit menular yang bersangkutan memiliki metode deteksi
dini untuk diagnostik. Menurut Achmadi (2008) dalam Buletin
Jendela Epidemiologi Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi,
Kemenkes RI, 2010, Alat deteksi dini akan sangat efektif pula
apabila diikuti dengan pengobatan (prompt treatment) secara
dini. Gabungan keduanya yakni early diagnostic dan prompt

treatment, merupakan pendekatan yang amat ampuh untuk


mengendalikan penyakit menular.
Konsep ini mengutamakan deteksi dini yakni deteksi virus
(antigen) secara dini dengan metode antigen capture (NS1 atau
non-structural protein 1) untuk mendeteksi adanya virus dalam
tubuh. Deteksi virus bisa dilakukan sehari sebelum penderita
menderita demam, hingga virus hilang pada hari ke sembilan.
Setelah diketahui ada nya virus, penderita diberi antiviral yang
efektif membunuh virus DBD (Pusat Data dan Surveilans
Epidemiologi, Kemenkes RI, 2010).
Deteksi dini dilakukan oleh petugas surveilans atau kader
dengan mencari kasus DBD secara pro aktif disekitar penderita
pertama yang diketahui alamatnya, atau menggunakan petugas
yang siaga, dengan mendirikan Pos-pos DBD disetiap RW, atau
Kelurahan.
Beberapa metode lain untuk melakukan pencegahan pada
tahap Early Diagnosis dan Prompt Treatment antara lain sebagai
berikut:
a. Pelacakan

penderita.

Pelacakan

penderita

(penyelidikan

epidemiologis) yaitu kegiatan mendatangi rumah-rumah dari


kasus yang dilaporkan (indeks kasus) untuk mencari penderita
lain dan memeriksa angka jentik dalam radius 100 m dari
rumah indeks (Widoyono, 2008).
b. Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari
penderita lain. Jika terdapat tersangka kasus DBD maka harus
segera dilakukan penanganan kasus termasuk merujuk ke Unit
Pelayanan Kesehatan (UPK) terdekat (Widoyono, 2008).
c. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium penting
dan bermanfaat untuk mengetahui beberapa hal. Pertama,
dapat lebih dini mengetahui benar ada infeksi virus dengue.
Kedua, sudah seberapa parah penyakitnya berlangsung, apa
sedang terancam syok, dan tindakan medis apa yang perlu
segera

dilakukan.

Ketiga,

untuk

memonitor

apakah

10

penyakitnya sudah dalam proses menyembuh (Nadesul, 2007).


Selain itu dengan melakukan pemeriksaan darah berkala,
sekurang-kurangnya setiap 4-6 jam dapat diketahui pasien
DBD masih dalam stadium yang ringan atau sudah stadium
berat. Pemeriksaan juga dilakukan pada bagian hati penderita.
Hati yang lunak menjadi tanda penderita demam berdarah
mendekati fase kritis. Selain itu, pemeriksaan laboratorium
akan dilakukan pada hari ketiga, kelima, dan selanjutnya untuk
mengetahui keadaan penderita secara lebih pasti. Berikut ini
beberapa pemeriksaan darah yang mungkin dilakukan pada
penderita DBD:
- Pemeriksaan darah tepi untuk mengetahui jumlah leukosit.
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengantisipasi terjadinya
-

leukopenia.
Pemeriksaan limfosit atipikal (sel darah putih yang muncul
pada infeksi virus). Jika terjadi peningatan, mengindikasikan
dalam waktu kurang lebih 24 jam penderita akan bebas

demam dan memasuki fase kritis.


Pemeriksaan trombositopenia dan trombosit. Jika terjadi
penurunan jumlah keduanya, mengindikasikan penderita
DBD memasuki fase kritis dan memerlukan perawatan ketat

di rumah sakit (Satari, 2004).


d. Pengobatan penderita demam

berdarah

dapat

dilakukan

dengan cara:
- Pemberian cairan yang cukup untuk mengurangi rasa haus
dan dehidrasi akibat dari demam tinggi, anoreksia, dan
muntah. Penderita diberi minum sebanyak 1, 5- 2 liter dalam
-

24 jam.
Antipiretik, seperti golongan Acetaminofen (parasetamol)
dan

jangan

diberikan golongan

salisilat

karena

dapat

menyebabkan bertambahnya perdarahan.


Surface cooling
Antikonvulsan.
Pada penderita kejang dapat diberikan diazepam (valium)
dan fenobarbital (luminal) (Rampengan, 2008).

11

Secara

universal

belum

ditemukan

adanya

vaksin

sebagai alat pencegahan penyakit demam dengue maupun


demam dengue berdarah ini (Pusat Data dan Surveilans
Epidemiologi, Kemenkes RI, 2010). Riset masih dalam progress
untuk mengembangkan vaksin dengue tetravalent yang efektif
dan aman. Dalam keadaan tidak adanya vaksin dengue untuk
kesehatan masyarakat pada saat sekarang, pencegahan dan
pertahanan outbreak dengue akan menjadi pengendalian
vektor

jangka

panjang

yang

efektif

dengan

partisipasi

komunitas dan surveilans epidemiologi yang agresif.


2. Disability Limitation
Pembatasan kecacatan

yang

dilakukan

adalah

untuk

menghilangkan gangguan kemampuan bekerja yang diakibatkan


suatu penyakit. Dampak dari penyakit DBD yang tidak segera
diatasi, antara lain:
- Paru-paru basah. Hal ini bisa terjadi karena cairan plasma
merembes keluar dari pembuluh, ruang-ruang tubuh, seperti di
antara selaput paru (pleura) juga terjadi penumpukan. Pada
anak-anak sering terjadi bendungan cairan pada selubung
-

paru-parunya (pleural effusion).


Komplikasi pada mata, otak, dan buah zakar. Pada mata dapat
terjadi

kelumpuhan saraf bola mata, sehingga mungkin

nantinya

akan

terjadi

kejulingan

atau bisa

juga

terjadi

peradangan pada tirai mata (iris) kalau bukan pada kornea


yang berakhir dengan gangguan penglihatan. Peradangan
pada otak bisa menyisakan kelumpuhan atau gangguan saraf
lainnya (Nadesul, 2007).
Umumnya penyakit DBD berlangsung tidak lebih dari satu
minggu. Oleh karena itu, sebagian besar penderita DBD tidak
menunjukkan
misalnya

gejala

perdarahan

sisa.
paru

Komplikasi
dan

pada

sepsis.

Jika

penderita
virus

DBD

dengue

menyerang otak, dan tergolong ganas serta daya tahan tubuh


penderita rendah, kerusakan daerah otak cukup luas. Oleh

12

karena itu, mungkin dapat meninggalkan gejala sisa. Namun,


keadaan ini jarang terjadi (Satari, 2004). Selain itu, jika keadaan
penderita bertambah parah atau akibat jumlah cairan yang
masuk tidak memadai maka penderita akan memasuki fase syok.
Perdarahan yang tak terkontrol dari berbgaai organ tubuh yang
sulit dihentikan juga dapat terjadi sebagai akibat terjadinya
gangguan pembekuan darah secara menyeluruh. Ketika sudah
mengalami

perdarahan

menunjukkan

bahwa

kegawatan

penyakitnya sudah masuk dalam derajat II yang merupakan satu


tingkat di bawah fase DDS (Dengue Shock Syndrome). Fase DDS
merupakan kondisi paling parah atau stadium akhir dari infeksi virus dengue
ini. Jika seorang penderita DBD sudah masuk dalam fase ini, maka risiko
kematian yang mengancamnya menjadi cukup besar. Bahkan, kalaupun penderita
berhasil lolos dari fase ini, besar kemungkinan pula ia akan mengalami kecacatan
akibat kegagalan salah satu atau beberapa fungsi organnya, mulai dari otak, ginjal,
hingga hati.
Pembatasan

kecacatan

dapat

dilakukan

dengan

pengobatan dan perawatan. Obat-obatan yang diberikan kepada


pasien DBD hanya bersifat meringankan keluhan dan gejalanya
semata. Obat demam, obat mual, dan vitamin tak begitu besar
peranannya untuk meredakan penyakitnya. Jauh lebih penting
upaya pemberian cairan atau tranfusi darah, tranfusi sel
trombosit, atau pemberian cairan plasma. Pada tubuh pasien
DBD yang terjadi adalah darah mengalami kehilangan plasma.
Plasma

merembes

keluar

pembuluh

darah.

Pada

tingkat

kekentalan tertentu, sirkulasi terganggu. Infus cairan mencegah


terjadinya kegagalan sirkulasi, sehingga syok yang timbul dapat
3.

dicegah (Nadesul, 2007).


Rehabilitation
Setelah sembuh dari penyakit demam berdarah dengue, kadang-kadang
orang menjadi cacat, untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang
diperlukan latihan tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran

13

orang tersebut, ia tidak akan segan melakukan latihan-latihan yang dianjurkan.


Disamping itu oorang yang cacat setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang
malu untuk kembali ke masyarakat. Sering terjadi pula masyarakat tidak mau
menerima mereka sebagai anggoota masyarakat yang normal. Oleh sebab itu,
pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja untuk orang yang cacat tersebut,
tetapi juga perlu pendidikan kesehatan pada masyarakat. Rehabilitasi pada
penderita DBD yang mengalami kelumpuhan saraf mata yang
menyebabkan kejulingan terdiri atas:
1. Rehabilitasi fisik, yaitu agar bekas penderita memperoleh
perbaikan fisik semaksimal-maksimalnya. Misalnya dengan
donor mata agar saraf mata dapat berfungsi dengan normal
kembali.
2. Rehabilitasi

mental,

yaitu

agar

bekas

penderita

dapat

menyesuaikan diri dalam hubungan perorangan dan sosial


secara memuaskan. Seringkali bersamaan dengan terjadinya
cacat badaniah muncul pula kelainan-kelainan atau gangguan
mental. Untuk hal ini bekas penderita perlu mendapatkan
bimbingan kejiwaan sebelum kembali ke dalam masyarakat.
3. Rehabilitasi sosial vokasional, yaitu agar bekas penderita
menempati suatu pekerjaan atau jabatan dalam masyarakat
dengan kapasitas kerja yang semaksimal-maksimalnya sesuai
dengan kemampuan dan ketidak mampuannya.
4. Rehabilitasi aesthesis, perlu dilakukan untuk mengembalikan
rasa keindahan, walaupun kadang-kadang fungsi dari alat
tubuhnya itu sendiri tidak dapat dikembalikan misalnya
dengan menggunakan mata palsu.

14

Daftar Pustaka
Arif, Mansjoer dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.
Gubler, Duane J. 2002. Epidemic Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever
as A Public Health, Social, and Economic Problem in The 21 st
Century. TRENDS in Microbiology Vol. 10 No.2 February 2002.
Page 100-103.
Lestari, Keri. 2007. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Indonesia. Farmaka, Vol. 5 No. 3, Desember
2007. Jatinangor: Fakultas Farmasi Universitas Padjadajaran.
Nadesul, Hendrawan. 2007. Cara Mudah Mengalahkan Demam
Berdarah. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI. 2010. Buletin
Jendela Epidemiologi: Topik Utama Demam Berdarah Dengue.
Volume 2, Agustus 2010. ISSN-2087-1546.
Rampengan, T.H dan Laurenzt I.R. 2008. Penyakit Infeksi Tropik pada
Anak. Edisi 2. Jakarta: Bumi Aksara.
Rena, Ni Made Renny a, dkk. 2009. Kelainan Hematologi pada Demam
Berdarah Dengue. J Peny Dalam, Volume 10 Nomor 3
September 2009. Denpasar: FK Unud RSUP Sanglah Denpasar.

15

Satari, Hindra I dan Meiliasari, Mila. 2004. Demam Berdarah:


Perawatan di Rumah dan Rumah Sakit plus Menu. Jakarta:
Puspa Swara.
Sumantri, Arif. 2008.

Model

Pencegahan

Berbasis

Lingkungan

terhadap Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di


Provinsi DKI Jakarta. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Suyasa, dkk. 2008. Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku
Masyarakat dengan Keberadaan Vektor Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan.
Ecotrophic 3(1):1-6. ISSN: 1907-5626.
WHO. 1999. Demam Berdarah Dengue: Diagnosis, Pengobatan,
Pencegahan, dan Pengendalian. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Widoyono. 2008.
Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan,
Pencegahan, dan Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.

16

También podría gustarte