Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Pembimbing
Dr. Afaf Susilawati, SpA.
Disusun oleh
Jesica The (11.2014.273)
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA JAKARTA UTARA
Periode 04 Desember 2015 20 Februari 2016
Nama Mahasiswa
: Jesica The
Tanda Tangan :
NIM
: 112014273
Dokter Pembimbing
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap
: An. AA (00-23-19-82)
Tanggal lahir
: 01 Maret 2002
Umur
: 13 tahun 9 bulan 20 hari
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jl. Rawa Binangun, Cilincing
Suku bangsa
: Betawi
Agama
: Islam
Pendidikan
: SMP
Tanggal masuk RS : 17 Desember 2015
Tanggal periksa
: 22 Desember 2015
IDENTITAS ORANG TUA
Ayah
Nama lengkap
: Tn. S
Umur
: 52 tahun
Suku Bangsa
: Betawi
Alamat
: Jl. Rawa Binangun, Cilincing
Agama
: Islam
Pendidikan terakhir : SLTA
Pekerjaan
: Tidak bekerja (sudah pensiun)
Ibu
Nama lengkap
: Ny. SM
Tanggal lahir (umur) : 6 Maret 1967
Suku bangsa
: Betawi
Alamat
: Jl. Rawa Binangun, Cilincing
Agama
: Islam
Pendidikan terakhir : SMEA
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
II.
ANAMNESIS
Diambil dari
: Alloanamnesis dari Ibu pasien pada 22 Desember 2015 pukul 16.30 WIB
Keluhan utama:
Demam sejak dua hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan tambahan:
Demam disertai pusing, mual, menggigil, dan badan terasa pegal-pegal.
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak dua hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mendadak demam tinggi yang
berlangsung sepanjang hari. Pasien sudah minum obat parasetamol tetapi demam hanya turun
sedikit dan suhu kembali tinggi. Keluhan demam disertai pusing, mual, menggigil, dan badan
terasa pegal. Pasien tidak ada keluhan muntah ataupun batuk pilek. Mimisan, gusi berdarah,
bintik-bintik merah, dan BAB hitam disangkal. Di lingkungan sekitar rumah tidak ada yang
mengalami DBD. Di sekolah ada teman yang baru sakit DBD dan banyak nyamuk
disekolahnya. Pasien belum BAB sejak dua hari lalu. BAK lancar.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
(-) Sepsis
(-) Meningocephalitis
(+) Tuberkulosis pada usia 3 bulan, berobat tuntas
(-) Alergi lainnya
(-) Asma
(-) Gastritis
(-) Diare akut
(-) Amoebiasis
(-) Disentri
(-) Difteri
(-) Tifus abdominalis
(-) Polio
(-) Cacar air
(-) Penyakit jantung bawaan (-) Batuk rejan
(-) ISK
(-) Demam rematik akut
(-) Influenza
Lain-lain:
(-) Glomerulonephiritis
(-) Operasi
RIWAYAT KELUARGA
Penyakit
Ya
Tidak
Alergi
Asma
Tuberculosis
Hubungan
Bibi pasien
Hipertensi
Diabetes
Kejang Demam
Epilepsi
: Tidak ada
Kelahiran
Tempat kelahiran
: Puskesmas
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan
: Spontan, tanpa penyulit
Masa gestasi
: Cukup bulan
Keadaan bayi
Berat badan lahir
: 2700 gram
Panjang badan lahir
: Tidak ingat
Lingkar kepala
: Tidak diketahui
Pucat/Biru/Kuning/Kejang : Tidak pucat, tidak biru, tidak kuning, tidak kejang
Nilai APGAR
: Ibu pasien tidak tahu, tetapi bayi langsung menangis,
suara nyaring, kulit kemerahan, dan bergerak aktif.
Kelainan bawaan
: Tidak ada
RIWAYAT IMUNISASI
Imunisasi dasar sudah lengkap
Waktu Pemberian
Imunisasi Dasar
Booster
BCG
Bulan
1 2 3
I
DPT
II
III
IV
Hib
II
III
IV
II
III
IV
III
Imunisasi
Polio (OPV)
Hepatitis B
I
I
II
Campak
12
18
Tahun
2
3
RIWAYAT PERKEMBANGAN
Sektor Personal Sosial
: Usia 5 bulan
Case Besar : Demam Berdarah Dengue | 4
Tepuk tangan
: Usia 7 bulan
Sektor Bahasa
Mengoceh
Memanggil papa mama
Tengkurap
Merangkak
Duduk
Berdiri
Berjalan
: Usia 4 bulan
: Usia 6 bulan
: Usia 7 bulan
: Usia 9 bulan
: Usia 12 bulan
RIWAYAT NUTRISI
Susu
Makanan padat
Makanan sekarang
Variasi
: bervariasi
Frekuensi
: 3 kali/hari
III.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda-tanda vital
:
Frekuensi nadi
: 95 x/menit, kuat angkat, isi cukup, reguler.
Tekanan darah
: 90/70
Frekuensi napas
: 24 x/menit
Suhu tubuh
: 38,4C
Data antropometri
Berat badan
: 43 kg
Case Besar : Demam Berdarah Dengue | 5
Tinggi badan
Lingkar kepala
Lingkar dada
Lingkar lengan atas
Status gizi
: 152 cm
: 51 cm
: 75 cm
: 24 cm
: BB/U
PB/U
BB/PB
PEMERIKSAAN SISTEMATIS
Kepala
Kepala
: Normosefali, rambut berwarna hitam, tidak mudah dicabut.
Mata
: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor, refleks
cahaya langsung +/+ , refleks cahaya tidak langsung +/+
Telinga: Normotia, nyeri tekan tragus -/-, secret -/-, benjolan -/-, fistula -/ Hidung
: Bentuk normal, deviasi septum (-), cavum nasi lapang, napas cuping
hidung -/-, secret -/ Bibir
: Bibir merah muda, tidak kering, sianosis (-)
Gigi-geligi
: Karies (-)
Lidah
: Normoglosia, warna merah muda, lidah kotor (-), tremor (-).
Tonsil
: T1-T1, tidak hiperemis
Tenggorok
: Faring hiperemis (-), granular (-)
Leher
KGB tidak teraba membesar, kelnjar tiroid tidak teraba membesar, trakea letak ditengah.
Thoraks
Dinding thoraks
Paru
Inspeksi
: Retraksi sela iga -/-, gerak simetris pada statis dan dinamis
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
: Anus (+)
Genitalia
Anggota gerak
:
Tonus : Normotonus
Kekuatan:
+5
+5
+5
+5
Edema:
Sianosis
: < 2 detik
: Positive
Tulang Belakang
Kulit
Pemeriksaan Neurologis
IV.
Sign(-)
Saraf Kranialis I-XII :Kesan dalam batas normal
Refleks Patologis
:-
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Rutin
Hemoglobin
Leukosit
18 Des
11.6
3.53
19 Des
11.8
5.34
20 Des
11.2
6.01
21 Des
10.8
6.17
Hematokrit
Jumlah
10^3/uL
36.0 47.0 %
37.2
163
337 109000
32.7
79000
32.5
62000
31.5
83000
29.9
74000
Trombosit
10^3/uL
Darah Rutin
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Jumlah
Nilai Rujukan
12.5 16.1 g/dL
4.00 10.50 10^3/Ul
36.0 47.0 %
163 337 10^3/uL
22 Des
9.3
4.15
26.2
68000
Trombosit
CRP
< 0.30 mg/dl
Serologi (TGL : 18 Desember 2015)
WIDAL
S. typhi O
S. paratyphi AO
S. paratyphi BO
S. paratyphi CO
23 Des
10.6
6.2
29.2
104000
24 Des
9.9
6.82
27.3
154000
25 Des
9.2
6.93
25.9
204000
9.49
Hasil
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
Rujukan
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
V.
RESUME
Seorang anak laki-laki berusia 13 tahun 9 bulan 20 hari datang dengan keluhan demam sejak
2 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam mendadak tinggi sepanjang hari. Demam disertai
pusing, mengigil, mual, dan badan terasa pegal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, demam, nadi kuat,
tekanan darah 90/70 mmHg, pada pemeriksaan abdomen didapatkan adanya pembesaran
hepar 2 cm dibawah arcus costa dekstra, dan hasil tes Rumple Leed positif.
Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan adanya penurunan Hb, trombositopenia,
hemokonsentrasi, dan peningkatan CRP.
VI.
DIAGNOSIS KERJA
Demam Berdarah Dengue Grade I
Infeksi Akut
Dasar diagnosis :
Case Besar : Demam Berdarah Dengue | 8
VII.
ada
Tidak terdapat tanda-tanda syok
Hasil Rumple Leed positif
Terdapat hepatomegali sekitar 2 cm dibawah arcus costa dekstra
Hasil laboratorium : Trombositopenia, leukosit normal, Hematokrit naik,
Hemoglobin turun, CRP meningkat
DIAGNOSIS BANDING
Demam Dengue
VIII. PENATALAKSANAAN
Medika mentosa:
Non-medikamentosa:
Tirah baring, perbanyak konsumsi cairan.
IX.
X.
PROGNOSIS
Ad vitam
: bonam
Ad fungsionam
: bonam
Ad sanasionam
: bonam
FOLLOW UP
17 Desember 2015
S
O
Demam (+) disertai pusing, mual, menggigil, dan badan terasa pegal-pegal. Muntah(-).
BAB belum. BAK lancar.
HR: 112x/ menit, RR: 26x/ menit, suhu: 38,5oC
Mata: Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/Pulmo: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/Cor: BJ I/II reguler, murmur -, gallop Abdomen: supel, bising usus (+), nyeri tekan
Case Besar : Demam Berdarah Dengue | 9
Demam (+) . Mual (+). BAB belum. BAK lancar. Mimisan (-) Gusi berdarah (-)
Demam masih ada dan disertai pusing, mual, menggigil dan badan terasa pegal-pegal.
BAB belum. BAK lancar. Mimisan (-) Gusi berdarah (-) bintik merah (-)
HR: 104/ menit, RR: 24x/ menit, suhu: 38,2oC
Mata: Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/Pulmo: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/Cor: BJ I/II reguler, murmur -, gallop Abdomen: supel, bising usus (+), nyeri tekan
Case Besar : Demam Berdarah Dengue | 10
Demam sepanjang hari. Mual (+). Belum BAB. BAK lancar. Mimisan (-) Gusi berdarah(-).
Demam(+). Mual (-). BAB belum. BAK lancar. Mimisan (-) Gusi berdarah (-).
Demam (+) hari ke 8. Mual (-), muntah(-). Sakit tenggorokan(+). BAB belum. BAK
Faringitis Akut
IVFD asering 120 cc/jam
Parasetamol 3x1
FC Troches 1x1
Diuresis = 2,65 cc/jam
Demam hari ke 9. Sakit tenggorokan(+). Muntah(-) Mual(-). BAB 2 kali. BAK lancar.
Diuresis 7 cc/kgBB/jam
Tanggal 24 Desember 2015
S
Demam hari ke 8. Mual(-). Muntah (-). Sakit menelan sudah berkurang. Mimisan (-) Gusi
Demam (+) hari ke 9. Mual (-). BAK lancar. BAB cair 4x. Sakit tenggorokan (+). Mimisan
Faringitis Akut
IVFD asering 120 cc/jam
Meropenem 2x1 gram
Glibotik 2x150 mg
Case Besar : Demam Berdarah Dengue | 13
Parasetamol 3x1
FC Troches 1x1
Tanggal 26 Desember 2015
S
Demam sudah tidak ada. Tenggorokan sakit (+). Mual (-). BAB cair (-).
Demam sudah tidak ada. Tenggorokan sakit sudah berkurang. Mual (-). BAB
cair (-).
HR: 90x/ menit, RR: 22x/ menit, suhu: 36,7oC
Mata: Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/Pulmo: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/Cor: BJ I/II reguler, murmur -, gallop Abdomen: supel, bising usus (+), nyeri tekan
Stopper
FC Troches 1x1
Boleh pulang
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue
bervariasi mulai dari yang paling ringan , demam berdarah dengue (DBD) sampai yang
paling berat yakni demam berdarah dengue disertai syok (DSS). 1
I.
ETIOLOGI
Demam Dengue merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus genus
Flavivirus, famili Flaviviridae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN3, DEN-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang
lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan
4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai
daerah di Indonesia dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN 3 merupakan serotype
yang paling dominan dan banyak berhubungan dengan manifestasi klinis yang berat. 1,2,3
II.
EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis
besar jumlah kasus meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai
puncaknya pada bulan Januari. Faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran
kasus Demam Berdarah Dengue sangat kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk yang tinggi,
urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, tidak ada kontrol vektor nyamuk yang
efektif di daerah endemis.
Sampai akhir tahun 2005, DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan
35 kabupaten/kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat
dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 43,42 per 100,000
penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban
udara. Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan
tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan
kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit berbeda untuk
setiap tempat. 1,3
III.
CARA PENULARAN
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue,
yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui
nyamuk betina Aedes Aegypti. Aedes Albopictus, Aedes Polynesiensis dan beberapa spesies
yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang
berperan.Virus dengue akan masuk ke nyamuk Aedes Aegypti pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang
biak dalam waktu 8 10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat di tularkan kembali
pada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di
dalam tubuh nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya. Didalam tubuh
manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4 6 hari (intrinsic incubation period)
sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk dapat terjadi bila
nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas
sampai 5 hari setelah demam timbul. 4
IV.
PATOFISIOLOGI
Setelah seseorang mendapat gigitan nyamuk yang terinfeksi virus dengue, virus
tersebut akan bereplikasi di kelenjar limfonodi regional, dan disebarkan melalui sistem
limfatik dan aliran darah menuju jaringan yang lainnya. Replikasi di dalam sistem
reticuloendothelial dan kulit menyebabkan viremia. Periode inkubasi berkisar dari 3-14 hari,
tetapi biasanya 4-7 hari. Infeksi virus dengue dengan serotipe yang lebih dari satu
menyebabkan suatu spektrum penyakit, dari tanpa keluhan atau demam ringan, sampai
perdarahan yang parah dan fatal, tergantung pada usia pasien dan kondisi imunnya. Virus
dengue bisa menimbulkan infeksi primer dan infeksi sekunder. Infeksi primer mempunyai
gejala seperti DD yaitu demam ringan sampai tinggi, sakit kepala, nyeri otot dan ruam kulit.
Viremia terjadi sebelum timbulnya demam dan keluhan lainnya, puncaknya 2-3 hari setelah
dimulainya keluhan. 3
Respon imun termasuk produksi antibodi IgM pada hari ke 5 timbulnya keluhan dan
menetap sampai 30-60 hari. Pada infeksi primer antibodi IgM positif. Antibodi IgG tampak
pada hari ke 14 dan menetap sepanjang hidup. Infeksi sekunder menyebabkan demam tinggi,
dan pada beberapa kasus disertai dengan perdarahan dan kegagalan sirkulasi, infeksi
sekunder dihubungkan dengan DBD dan DSS. Infeksi sekunder menunjukkan antibodi IgG
tampak pada hari ke 1-2, setelah dimulainya keluhan, bersamaan dengan antibodi IgM.
Pasien dengan infeksi sekunder menunjukkan hasil IgG positif, biasanya disertai dengan IgM
positif, tetapi tidak selalu. Di negara-negara endemik virus dengue, mayoritas pasien
mengalami infeksi sekunder. 3
Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan
antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan
volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesa hemorargik. Penyelidikan
volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin
sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai
dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat,
syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya
plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. 1
Menigginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok
terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstravaskular (ruang intertisial dan
rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah
meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu
rongga peritoneum, pleura, dan pericardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang
diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema. Pada sebagian besar kasus, plasma yang
menghilang dapat diganti secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma.
Pada masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut
dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan
kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat destruktif atau akibat radang, sehingga
menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya
disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja cepat. 1
Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian
besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai
terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens
dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya
masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme
lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop
membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa dan
Case Besar : Demam Berdarah Dengue | 17
hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat
menjadi penyebab yaitu virus dengue. Komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel
endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih
lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis
terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan
fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. 1
Sistem koagulasi dan fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan
memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi
memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VII, X dan
fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation Products
(FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktifitas
antitrombin III. Di samping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktifitas faktor VII, faktor
II dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen dan faktor VIII. Hal ini menimbulkan
dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh
konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis
pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas a-2 plasmin inhibitor dan penurunan
aktifitas plasminogen. 1
Seluruh penelitian di atas membuktikan bahwa (1) pada DBD stadium akut telah
terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular coagulation (DIC)
secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC
tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk
sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya
akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki
syok ireversibel disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya
diakhiri dengan kematian (3) perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler,
gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah akibat
kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia gangguan faktor
pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama
yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik (4) Antitrombin III yang
merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan antitrombin III, respons
pemberian heparin akan berkurang. 1
Sistem Komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3
proaktivator, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat
hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini
menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur
klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa
penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan
oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilaktoksin yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan
histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas
kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik. Komplemen juga bereaksi
dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang
mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan.
Di samping itu komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin
seperti tumor necrosis factor (TNF), interferin gamma, interleukin (IL-2 dan IL-1). Buktibukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah (1) ditemukannya
kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun yang
bersirkulasi (circulating immune complex), baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3)
adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit. 1
Respons Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit
atopik yang berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan longsama menyebutnya sebagai
transformed lymphocytes dalam persentase yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk DBD
oleh karena proporsinya sangat berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%). Penelitian yang
lebih mendalam dilakukan oleh Sutaryo yang menyebutnya sebagai limfosit plasma biru
(LPB). Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa
LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari demam keenam. 1
V.
PATOGENESIS
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang befungsi
menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antibody dan
neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yaitu (1) Kelompok
monoklonal reaktif yang tidak mempunya sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus,
dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu
replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant spesificity. Antibody
non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya
kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Teori ini pula
yang mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe dengue yang
berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat.1
Dasar utama hipotesis ialah meningkatnya reaksi immunologis yang berlangsung
sebagai (a) sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer (b) Non neutralizing
antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat (sitofilik) pada sel, bertindak
sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit
mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme aferen (c) virus dengue kemudian
akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah terinfeksi (d) selanjutnya sel
monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati, limpa dan sumsum
tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD
dengan dan tanpa renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi (e) sel monosit yang telah
terakitvasi akan mengadakan interaksi dengan sistem humoral dan sistem komplemen dengan
akibat dilepaskannya mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi
sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor. 1
Aktivasi Limfosit T
Limfosit T juga memegang peran penting dalam patogenesis DBD. Akibat rangsang
monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan
interferon (IFN-a dan y). Pada infeksi sekunder oleh virus dengue (serotipe berbeda dengan
infeksi pertama), limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus dengue, monosit akan mengalami
lisis dan mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.
Hipotesis kedua patogenesis DBD mempunya konsep dasar bahwa keempat serotipe virus
dengue mempunyai potensi patogen yang sama dan gejala berat terjadi sebagai akibat
serotipe/galur serotipe virus dengue yang paling virulen. 1
VI.
SPEKTRUM KLINIS
Case Besar : Demam Berdarah Dengue | 20
Derajat
Gejala
Demam disertai minimal dengan
2 gejala:
DBD
DBD
4000 sel/mm3),
Trombositopenia (trombosit <
- Nyeri kepala
- Nyeri retro-orbital,
100000 sel/mm3)
- Nyeri otot
- Tidak ada bukti perembesan
- Nyeri sendi atau tulang
plasma
- Ruam kulit makulopapular
- Manifestasi perdarhan
- Tidak ada perembesan plasma
Demam ditambah uji tourniquet Trombositopenia <100.000,
positif
DBD
Laboratorium
Leukopenia ( jumlah leukosit
dan
adanya
II
perembesan plasma
Seperti derajat I
III
perdarahan spontan
Ht meningkat 20%
Seperti derajat I atau II ditambah Trombositopenia <100.000,
IV
diuresis menurun)
Syok berat disertai
VII.
Kriteria Klinis
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi ( 20
mmhg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak
gelisah.
Kriteria Laboratorium
Trombositopenia ( 100.000/mikroliter)
Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas,
mendukung diagnosis DSS. Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok
membedakan DSS dari syok sepsis. 2,3,4,5
Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada wajah (wajah kemerahan), leher,
dan dada
3.
a. Fase Demam
Fase demam merupakan fase viremia yang menyebabkan demam tinggi. Pada
anamnesis didapatkan demam tinggi 2-7 hari yang dapat mencapai 40 0C hingga
kejang demam, dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi,
nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan
nyeri perut. Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Manifestasi perdarahan :
Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.
kapiler.
Perembesan
plasma
yang
mengakibatkan
IX.
DIAGNOSIS BANDING
Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam dengue
dan penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk membedakan
dengan campak, rubela, demam chikungunya, leptospirosis, malaria, demam tifoid,
perlu ditanyakan gejala penyerta lainnya yang terjadi bersama demam. Pemeriksaan
laboratorium diperlukan sesuai indikasi. Penyakit darah seperti trombositopenia
purpura idiopatik (ITP), leukemia, atau anemia aplastik, dapat dibedakan dari
pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap disertai pemeriksaan pungsi sumsum
tulang apabila diperlukan. Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu
dipikirkan apabila anak mengalami demam disertai syok. 2-7
X.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
1.
Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari ke-5 sakit, mencapai
puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/ menghilang pada
akhir minggu keempat sakit.
Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit
ke-14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada
infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.
Tabel 2. Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada infeksi dengue
Diagnosis
Keterangan
IgG
Apabila klinis mengarah ke
Infeksi primer
Positif
Negative
Infeksi sekunder
Positif
Positif
Infeksi lampau
Negative
Positif
Bukan dengue
Negative
Negative
infeksi
dengue,
pada
fase
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas indikasi :
Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan
radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%
Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama
daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang kiri,
kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.
XI.
TATALAKSANA
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang
perawatan biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan
intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan
perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan
koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan
edukasi untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting
untuk mengurangi angka kematian, di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit
diprediksi. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam
waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana
DBD atau DSS terletak pada keterampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa
peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis/syok) dengan baik. 1
suhu (fase afebris, fase kritis, fase syok), maka dasar pengobatannya adalah penggantian
volume plasma yang hilang. Walau demikian, penggantian cairan harus diberikan secara hatihati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2 atau 3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok
mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-48 jam berikutnya harus selalu
disesuaikan dengan tanda-tanda vital, kadar hematokrit dan jumlah volume urin. Penggantian
volume cairan harus adekuat, dengan volume seminimal mungkin yang dapat secara adekuat
mengatasi kebocoran plasma. Secara umum, volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan
rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus menerus muntah,
tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadinya dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya syok, (2) nilai hematokrit
cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. 1
Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan
elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%. Bila terdapat
Case Besar : Demam Berdarah Dengue | 31
asidosis, dari jumlah cairan total dikeluarkan dan diganti dengan larutan yang berisi 0,167
mol/liter natrium bikarbonat yang akan menjadi 3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9% +
glukosa ditambah natrium bikarbonat. Apabila terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20%
atau lebih, maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma yakni
volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare
ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan ditambah defisit 6% (5-8%). Pemilihan jenis dan
volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan pasien serta derajat
kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak gemuk,
kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama. 1
Jumlah cairan rumatan diperhitungkan untuk 24 jam. Oleh karena kecepatan
perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu
turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan
plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume cairan
yang berlebihan setelah perembesan plasma berhenti akan mengakibatkan distres pernafasan
sebagai akibat dari edema paru. Demikian pula pada saat fase konvalesens terjadi reabsorbsi
cairan ekstravaskular, akan menyebabkan edema paru dan distres pernafasan apabila cairan
intravena tetap diberikan. Pasien harus dirawat dan segera ditangani bila dijumpai tanda-tanda
syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekskremitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah,
tekanan nadi menyempit (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak
kadar hematokrit atau kadar hematokrit yang meningkat terus menerus walaupun telah diberi
cairang intravena. Larutan kristaloid yang direkomendasikan oleh WHO adalah larutan ringer
laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), ringer asetat (RA) atau
dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), NaCl 0,9 % atau dekstrosa 5% dalam
larutan garam faali. Sedangkan larutan koloid adalah dekstran-40 dan plasma darah. 2-7
Tanda Kegawatan
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit infeksi dengue,
seperti berikut :
Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa transisi ke fase
bebas demam / sejalan dengan proses penyakit
Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi yang hebat,
warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria
Penurunan kesadaran
Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala lain
Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok, serta
mudah dan cepat utk dilakukan
Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal setiap 2-4 jam
pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.
Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih sering pada
pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.
Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien dengan
syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan.
Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan ideal)
Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral atau muntah
Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak ada
respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.
Volume cairan rumatan + defisit 5% harus diberikan untuk menjaga volume dan
cairan intravaskular yang adekuat.
Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk
menghitung volume cairan. 2,3,4,5,10
Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis dan hematokrit.
Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak ada
perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka perhatikan ABCS
yang terdiri dari, A Acidosis: gas darah, B Bleeding: hematokrit, C Calsium: elektrolit,
Ca++ dan S Sugar: gula darah (dekstrostik).
Fase Demam
Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau cairan oral
apabila anak masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam.
Pemberian makanan : Susu, jus buah, teh manis, oralit direkomendasikan jika
diet lunak tidak dapat dikonsumsi. Air putih tidak cukup untuk menggantikan
Cairan: cairan per oral + cairan intravena rumatan per hari + 5% deficit.
Diberikan untuk 48 jam atau lebih. Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan
kecepatan kehilangan plasma, sesuai keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan
hematokrit 2,3,4,5,10
2. Fase Kritis
Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan +
deficit, disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam. 2,3,4,5,10
Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah sudah didapat
cairan selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III
Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat diberikan
bersama koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan koreksi hasil
laboratorium yang tidak normal
Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena pusat /
jalur arteri)
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala setiap 4-6 jam selama fase kritis (lebih sering
diperiksa bila tanda vital tidak stabil atau perdarahan). Pemeriksaan kadar hematokrit
merupakan pemeriksaan laboratorium terbaik untuk pengawasan hasil pengobatan
yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan
intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dan tekanan nadi. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia,
pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternative walaupun tidak
terlalu sensitive.
Menghindari pemasangan prosedur invasive seperti nasogastris tube jika memang
tidak didapatkan tanda perdarahan saluran cerna.
Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila
pasien sadar atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan darurat
Case Besar : Demam Berdarah Dengue | 39
atau setelah dua kali kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal
pemberian cairan melalui oral. Cairan intraosesus harus dikerjakan secara cepat dalam
2-5 menit
Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa proton dapat
digunakan.
Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti suspense
trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan larutan tersebut ini dapat
menyebabkan kelebihan cairan. 2,3,4,5,10
4. DBD Ensefalopati
DBD ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan syok atau tidak. Ensefalopati
terbagi atas ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik dan
ensefalopati tanpa syok.
a. Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik, maka penilaian
ensefalopati harus diulang setelah syok teratasi. Apabila kesadaran membaik
setelah syok teratasi, maka kesadaran menurun atau kejang disebabkan karena
hipoksia yang terjadi pada syok. Pertahankan oksigenasi jalan napas yg adekuat
dengan terapi oksigen.
b. Jika ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa krisis sudah dilewati
maka: Cegah / turunkan peningkatan tekanan intrakranial dengan memberikan
cairan intravena minimal untuk mempertahankan volume intravaskular, total
cairan intravena tidak boleh >80% cairan rumatan. Ganti ke cairan kristaloid
dengan koloid segera apabila hematokrit terus meningkat dan volume cairan
intravena dibutuhkan pada kasus dengan perembesan plasma yang hebat. Diuretik
diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala kelebihan cairan. Posisikan pasien
Case Besar : Demam Berdarah Dengue | 40
dengan kepala lebih tinggi 30 derajat. Intubasi segera untuk mencegah hiperkarbia
dan melindungi jalan napas. Dipertimbangkan steroid untuk menurunkan tekanan
intrakranial, dengan pemberian deksametasone 0,15mg/kg berat badan/dosis
intravena setiap 6-8 jam. Menurunkan produksi amonia dengan memberikan
laktulosa 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare osmotic dan antibiotik
lokal akan mengganggu flora usus maka tidak perlu diberikan. Pertahankan gula
darah 80-100 mg/dl, kecepatan infus glukosa yang dianjurkan 4-6 mg/kg/jam.
Perbaiki asam basa dan ketidakseimbangan elektrolit. Vitamin K1 intravena
dengan dosis:umur < 1tahun: 3mg, <5 tahun: 5mg, >5 tahun:10mg. Anti kejang
phenobarbital, dilantin, atau diazepam IV sesuai indikasi. Transfusi darah, lebih
baik PRC segar sesuai indikasi. Komponen darah lain seperti suspense trombosit
dan plasma segar beku tidak diberikan karena kelebihan cairan dapat
meningkatkan tekanan intrakranial. Terapi antibiotik empirik apabila disertai
infeksi bakterial. Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa proton untuk
mencegah perdarahan saluran cerna. Hindari obat yang tidak diperlukan karena
sebagai besar obat dimetabolisme di hati. Hemodialisis pada kasus perburukan
klinis dapat dipertimbangkan. 2,3,4,5,10
5. Fase Konvalesen atau Penyembuhan
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta monitor tiap
12-24 jam. Setelah 24-48 jam kebocoran plasma, maka akan memasuki fase
konvalesen. Indicator pasien dalam fase konvalesen adalah didapatinya perbaikan
kondisi secara keseluruhan dan didapat meningkatnya nafsu makan, tanda vital stabil,
sering didapat, keadaan bradikardi, hematokrit menjadi normal kembali, peningkatan
diuresis, dan didapat ruam konvalesen.
Tatalaksana pada fase konvalesen yakni penghentian cairan intravena, biarkan
pasien istirahat, tidak dilakukan tindakan invasive seperti penyuntikan. Beberapa
pasien akan mengalami fluid overload jika saat fase demam sebelumnya mendapat
cairan berlebih. Overload cairan sebagai komplikasi cairan berlebihan dapat terjadi
saat fase kritis maupun fase konvalesen, yang dapat menyebabkan perburukan kondisi
pasien oleh karena edema paru ataupun gagal jantung. Sehingga untuk mencegah hal
tersebut, lakukan monitoring ketat dalam pemberian cairan yang dalam jumlah
minimal dapat mempertahankan sirkulasi yang dibutuhkan pasien DBD. Penyebab
Case Besar : Demam Berdarah Dengue | 41
overload cairan adalah terlalu dini pemberian cairan pada fase awal demam,
penggunaan cairan hipotonis, tidak segera menurunkan jumlah cairan setelah
memasuki fase konvalesen, tidak menggunakan cairan koloid saat ada indikasi, tidak
memberikan transfusi darah saat ada indikasi, dan tidak memberikan cairan sesuai BB
ideal. Tanda dan gejala overload cairan seperti distress pernapasan, dispnea, takipnea,
pembesaran perut dengan asites massif, nadi meningkat, ronkhi, mengi dikedua paru,
perfusi jelek jika didapat gagal napas.
Tatalaksana overload cairan dengan memberikan diuretic furosemid (1
mg/kgBB/dosis) tetapi dengan syarat pasien tidak dalam kondisi fase perembesan
plasma. Pada saat diberikan diuretic sebaiknya dilakukan pemasangan kateter urin
untuk memantau diuresis. Setelah pemberian furosemid 1 mg/kgBB intravena,
dipantau tanda-tanda vital setiap 15 menit paling tidak selama 1 jam dan dimonitor
tanda-tanda syok. Pencatatan urin dilakukan setiap jam untuk menyesuaikan
pemberian carian. Urin yang adekuat adalah 0,5 ml/kgBB/jam. Pemberian furosemid
harus selalu disertai dengan pemantauan balans cairan.
Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis : Bebas demam
minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik, nafsu makan telah kembali,
perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi teratur,
diuresis baik, minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok, dan tidak ada kegawatan
napas karena efusi pleura, tidak ada asites, serta trombosit >50.000 /mm 3. Pada kasus
DBD tanpa komplikasi, pada umumnya jumlah trombosit akan meningkat ke nilai
normal dalam 3-5 hari. 2,3,4,5,10
XII. KOMPLIKASI
Demam Dengue
Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptic, trombositopenia hebat,
dan trauma.
Edema paru dan atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading
pemeriksaan
laboratorium,
didapatkan
adanya
trombositopenia,
penurunan Hb, hemokosentrasi lebih dari 20% (Ht tertinggi 32.7% dan Ht terendah
25.9%), dan peningkatan CRP. Hemokosentrasi menunjukkan adanya tanda
perembesan plasma.
Terapi secara medika mentosa dilakukan secara simptomatis dan diberikan
antibiotic karena disertai dengan infeksi sekunder. Terapi cairan adalah langkah utama
untuk memperbaiki kurangnya cairan akibat perembesan plasma guna mencegah
terjadinya komplikasi seperti syok. Terapi cairan diberikan berdasarkan berat badan
Case Besar : Demam Berdarah Dengue | 43
ideal pasien yakni 43 kg dan diberikan cairan rumatan ditambah deficit 5% menjadi
4110 ml yang diberikan menjadi 170 cc/jam. Sedangkan pada pasien hanya diberikan
120 cc/jam.
Pada pasien ini, didapat demam terus menerus yang mendadak tinggi, tidak
didapat tanda perdarahan (mimisan, BAB hitam, gusi berdarah, muntah berwarna
coklat, dan petekie), tidak didapati tanda-tanda syok, hepatomgeali pada pemeriksaan
abdomen, Rumple Leed positif, trombositopenia, hemokonsentrasi > 20%, dan
peningkatan CRT sehingga, dapat ditegakkan diagnosis DBD derajat I dan infeksi
akut.
Daftar Pustaka
1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi & pediatri tropis.
Ed 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012.h.155-80.
2. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines
for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO;
2011.h.1-67.
3. Karyanti MR. Diagnosis dan tatalaksana terkini dengue. Divisi infeksi dan pediatric
tropic. FKUI : Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Diunduh dalam bentuk pdf pada
tanggal 21 Januari 2016.
4. World Health Organization. Handbook for clinical management of dengue. Switzerland:
WHO; 2012.h.5-60. Diunduh pada tanggal 21 Januari 2016.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. 2010. Available
from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
6. Hadinegoro SR, Satari HI. Demam Berdarah Dengue : naskah lengkap pelatihan bagi
dokter spesialis anak & dokter spesialis penyakit dalam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.
7. Shepperd,
Suzanne
Moore.
Dengue.
Ed
2011.
Tersedia
dari
URL
http://emedicine.medscape.com/article/215840-overview.
8. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman pelayanan medis. Jilid 1. Jakarta: IDAI; 2010.h.141-9.
9. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman pelayanan medis. Jilid 2. Jakarta: IDAI; 2011.h.343-5.
10. Gunardi H, Tehuteru ES, Kurniati N, Advani N, Setyanto DB, Wulandari HF, dkk.
Kumpulan tips pediatric. Ed 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2011.h. 81-93, 115-25.