Está en la página 1de 46

ORANG-ORANG BALIAGA

ORANG-ORANG BALIAGA

1. PENDUDUK ASLI PULAU BALI


Di dalam sebuah kitab yang berjudul MARKANDEYA PURANA dan agastya parwa
TEREBUTLAH SEORANG Yogi yang bernama: MARKANDEYA.
Beliau bertapa dibukit Damalung. Tempat ini terletak di pegunungan Dieng di Jawa Tengah.
Di dalam pertapaan ini beliau sering diganggu oleh jin dan syaitan (wengker). Karenanya
terpaksalah beliau pindah dari tempat itu. Beliau menuju arah ke timur dan sampailah di lereng
Gunung Raung yang terletak di Jawa Timur. Disitulah beliau melanjutkan tapanya. Berkat
keteguhan imannya maka akhirnya terdengarlah sabda gaib. Beliau diharuskan membuka hutan
rimba raja kejurusan Timur, untuk perpindahan penduduk.
Di kaki Gunung Raung itu terdapat beberapa buah desa. Penduduknya disebut Wong-Aga.
Suku bangsa ini adalah keturunan dari percampuran darah antara orang-orang Jawa dengan orangorang Hindu yang datang dari . Mereka itulah digerakkan oleh MARKANDEYA. Puncak Gunung
Agung yang remang-remang kelihatan dari situ, menambah kegembiraan mereka. Mereka yakin
disekitar tempat itu terdapat tanah yang subur, penuh dengan sumber-sumber mata air.
Pada suatu hari yang telah ditetapkan berangkatlah mereka dengan penuh perlengkapan dan
perbekalan. Rombongan ini terdiri dari 8000 orang. Sampai di suatu tempat yang banyak mata
airnya, MARKANDEYA lalu memerintahkan orang-orang Aga itu melakukan perabasan. Akan
tetapi setelah beberapa bulan mereka bekerja, banyaklah rombongan itu meninggal dunia. yang mati
diterkam binatang buas, banyak pula yang ditimpa penyakit deman panas. Karenanya semangat
mereka bekerja makin berkurang. MARKANDEYA yakin kalau pekerjaannya akan menemui
kegagalan, maka diperintahkanlah agar orang-orang Aga itu menghentikan pekerjaannya.
Sedangkan beliau sendiri segera kembali ke lereng Gunung Raung ketempat pertapaannya se4mula.
Disitulah beliau bertapa kembali, akhirnya terdengarlah sabda gaib lagi yang memberi petunjuk
kepadanya bagaimana caranya untuk melanjutkan usahanya itu.
Keberangkatan MARKANDEYA untuk kedua kalinya ini, disertai oleh 4000 orang-orang
Aga. Merekapun lengkap denan perbekalan dan peralatan. Sedangkan MARKANDEYA terus
menuju kelereng Gunung Agung. Disitu beliau memendam 5 () jenis logam yang disebut PANCA
DATU. Tempat itu diberinya nama BASUKI atau BESAKIH. Menurut kepercayaan bahwa kelima

ORANG-ORANG BALIAGA
jenis logam tersebut dapat menolak segala bencana. Sesudah itu barulah beliau memerintahkan
sekalian pengikutnya merabas hutan, dan ternyata usaha mereka kini berhasil. Tiap-tiap orang
mendapat pembagian tanah yang cukup luas untuk sawah ladang dan pekarangan. Tempat ini
bernama desa PUAKAN, terletak disebelah Utara desa Taro di Kecamatan Tegallalang Gianyar.
Puakan berarti pembagian Desa itu mengingkatkan kita, bahwa disanalah MARKANDEYA pulang
memutuskan pembagian tanah kepada orang-orang Aga. Setelah MARKANDEYA selesai
membagi-bagikan tanah kepada sekalian pengikutnya lalu beliau berpidnah-pindah tempat untuk
bertapa atau beryoga. Beliau selalu mendoakan agar sekalian pengikut-pengikutnya tetap mendapat
kebahagiaan di tempatnya yang baru itu. Sebuah desa bernama Pajogan mengingatkan kita dimana
MARKANDEYA pernah beryoga, dan tiada jauh dari tempat itu terdapatlah sebuah pura bernama
Pecampuhan. Di situlah beliau memadukan ciptanya. Pecampuhan berarti perpaduan. Pura ini
disebut Pula Gunung Lebah yang terletak disebelah Barat desa Ubud Gianyar. Dari situ beliau
menuju arah ke utara, sampai di suatu tempat dimana beliau bertapa pula yang kemudian diberinya
nama Sarwada. Disitu kini terdapat sebuah pura besar, dan desa disekitarnya bernama Taro. Kedua
nama itu memberikan pengertian bahwa segala keinginannya telah tercapai. Sarwada berarti serba
ada dan Taro berarti keinginan. Dari Sarwada beliau berpindah tempat arah kebarat. Pada suatu
tempat beliau membuat sebuah AMNDALA tempat memuja Dewa-dewa. Tempat itu bernama pura
Murwa yang terletak di desa Pajaragan Gianyar. Murwa berarti tempat para dewa-desa.
Keturunan dari orang-orang Aga itulah yang sekarang disebut WONG BALI AGA atau
WONG BALI MULA, sebagai penduduk asli Pulau Bali. Mereka itu tinggal di desa; Sembiran,
Cempaga, Sidhatapa, Padawa, Sobleg, Beratan, Tigawasa, Bakung, Sangsit, Tangawan, Timbrah,
Kutapang, Sental-kawan, Lembongan (Nusa-Penida), Batur, Bantang, Dausa-Catur, Kintamani,
Kedisan, Sukawana, Lampu, Kembangsari, Kutadalem, Bajung, Abang, Satra, Trunyan, Kayubihi,
Kayag, Pangootan, Cekang, Abianbase, Sambaan Camengawon, Pengalu, Pasokan, Lot,
Tebhuwana, Marga, Angkal Gadungan, Blahkiuh dan Plaga. Desa-desa tersebut kebanyakan terletak
di daerah pegunungan, sehingga timbul pengertian bahwa Aga berarti gunung.
Mengingat bahwa MARKANDEYA pulang kembali kelereng Gunung Raung, ketika
usahanya yang pertama itu gagal, maka daerah yang dibukannya itu disebut . pula yang mengartikan
kata itu teguh atau mulia. Itu dapat dimengerti karena betapa teguhnya orang mempertahankan
kepercayaan leluhurnya yang dianggapnya mulia itu.

ORANG-ORANG BALIAGA

2. PUTUSNYA PULAU BALI DENGAN PULAU JAWA


Kisah perjalanan MARKANDEYA BERSAMA orang-orang Aga dari Jawa Timur ke tiada
menyebutkan suatu alat-alat pengangkutan untuk menyebrang. Hal itu mempertebal kepercayaan
orang-orang bahwa Pulau Bali dengan pulau Jawa dijaman purba adalah menjadi satu daratan.
Di dalam kitab NEGARA-KERTAGAMA karangan Prapanca terdapatlah suatu kalimat
yang berbunyi Samudra nanggung bhumi. Kalimat ini ternyatalah suatu perhitungan tahun Saka
yang mempergunakan perhitungan Tjandra Sangkala. Samudra berarti angka 4, nanggung berarti
2, dan bhumi berarti 1. Peristiwa itu terjadi di dalam tahun Saka 124, Samudra nanggung bhumi
sama artinya dengan Segara Rupek, sebagai termuat di dalam kitab Wewatekan. Dengan
demikian putusnya pulau dengan pulau Jawa terjadi dalam tahun Saka 124; Samudra nanggung
bhumi sama artinya dengan Segara Rupek, sebagai termuat didalam kitab Wewatekan. Dengan
demikian putusnya pulau dengan pulau Jawa terjadi dalam tahun Saka 124 (tahun 202 M). Kisah
putusnya kedua pulau ini termuat didalam kitab, Usana ; yang menguraikan antara lain :
terebutlah seorang pendeta besar bersama Mpu Sidhimantra. Pendeta itu bertempat tinggal di Jawa
Timur dan bersahabat karib dengan seekor ular besar yang bernama Naga Basukih. Naga itu diam
pada sebuah goa besar di Besakih yang terletak dikaki Gunung Agung. Persahabatan Mpu
Sidhiamantra dengan Naga Basukih demikian eratnya sehingga tiap-tiap bulan purnama Mpu
Sidhimantra pergi ke Besakih untuk membawakan makanan baginya. Makanannya itu terdiri dari
madu, susu dan mentega. Pada suatu ketika Mpu Sidhimantra ditimpa suatu penyakit, maka untuk
mengantarkan makanan tersebut beliau menyuruh anaknya yang bernama : Ida Manik Angkeran.
Ketika hendak berangkat, Ida Manik Angkeran mengambil genta ayahnya. Mendengar suara
genta itu maka keluarlah Naga Basukih dari goanya. Melihat rupa Naga-Basukih yang angker ini,
maka bersujudlah Ida Manik Angkeran dihadapannya. Beliau menceritakan akan kedatangannya itu
serta menyerahkan makanan untuk Naga itu. Maka dengan senang hati Naga-Basukih menerima
kiriman tersebut sambil mempersilahkan ular besar itu masuk kedalam goanya.
Naga Basukih lalu masuk kedalam goanya, sedang sebagian ekornya yang panjang itu
masih berada di luar. Ida Manik Angkeran sangat kagum melihat keadaan ular itu. Tetapi ketika
dilihatnya sebuah batu permata yang amat besar melekat pada ujung ekor Naga itu, timbullah
keinginannya yang jahat. Karena terdorong oleh keinginannya itu, lalau ujung ekor ular itu
dipenggalnya. Batu permata itu dibawanya lari, yang akan dijadikannya modal berjudi seumur
hidup. Akan tetapi baru sampai pada sebuah hutan cemara Ida Manik Angkeran lalu mati terbakar.
3

ORANG-ORANG BALIAGA
Disitulah Ida Manik Angkeran menemui ajalnya. Tempat itu sekarang bernama hutan CemaraGosong. Gosong artinya terbakar. Kematiannya itu disebabkan oleh kesaktian ular itu yang dapat
menjilat jejak kaki Ida Manik Angkeran, ketika beliau lari membawa permata itu.
Mpu Sidhimantra amat cemas hatinya, mengenangkan perjalanan anaknya yang tiada
kembali itu. Tatkala beliau mengetahui bahwa gentanya telah hilang, yakinlah beliau kalau anaknya
telah mendapat nasib yang buruk didalam perjalanan. Segeralah beliau datang mendapatkan
sahabatnya di Besakih dan menceritakan soal anaknya yang tiada kembali itu. Mendengar uraian
Mpu Sidhimantra itu, lalu Naga-Basukih menceritakan segala kelancangan tidnakan Ida Manik
Angkeran, sampai beliau menemui ajalnya di hutan Cemara Gosong. Alangkah malunya Mpu
Sidhimantra mendengar akan tabiat anaknya itu. Mungkin tabiat anaknya itu diliputi oleh
kegemarannya bermain duji. Mpu Sidhimantra lalu mohon ampun atas kelancangan tabiat anaknya
itu sambil bermohon kepada ular besar itu agar anaknya dihidupkan kembali. Jika permohonannya
ini terkabulkan, maka beliau rela menyerahkan anaknya itu untuk mengabdikan dirinya di Besakih.
Permohonan Mpu Sidhimantra itu diluluskan oleh Naga-Basukih, dan Ida Manik
Angkareanpun hidup kembali sebagai sedia kala. Maka semenjak itu Ida Manik Angkeran menetap
di sebagai Abdi Pura (Pemangku) di Besakih turun temurun hingga kini. Untuk menajga agar
jangan sampai Ida Manik Angkeran kembali ke Jawa, maka Mpu Sidhimantra lalu menggoreskan
tongkatnya pada suatu tempat yang semping sewaktu beliau kembali pulang ke Jawa. Tempat itu
lalu berubah menjadi laut yang diberinya nama Segara-Ruipek. Itulah yang kini bernma Selat
Bali, yang menceraikan pulau dengan Pulau Jawa.
Walaupun keterangan kitab Usana-Bali sebagai tersebut diatas merupakan cerita dongeng,
akan tetapi keturunan Ida Manik Angkeran yang bernama : I Gusti Ngurah Sidemen hingga kini
masih tetap menjadi Pemangku di Besakih. Kecuali kitab Usana-Bali, Negara-Kertagama dan
Wewatekan yang mengungkapkan terjadinya peristiwa tersebut diatas, para akhli sejarah bangsa
Barat ada yang menafsirkan putusnya pulau dengan pulau Jawa adalah : disebabkan karena
meletusnya Gunung berapi yang terletak disitu. Penafsiran ini didasarkanpada bukti-bukti, bahwa
disepanjang Selat-Bali terdapat sumber-sumber mata air panas yang disebut Banyu Wedang. Banyu
berarti air dan Wedang berarti panas. pula yang berpendapat, bahwa Selat itu terjadi bersamaan
dengan Selat-Sunda, laut jawa dan sebagainya, ketika Gunung-gunung yang dikutub utara dan
selatan mencair. Kiranya pendapat yang mendasarkan pada teori yang terkahir inilah yang
mengandung kebenaran.

ORANG-ORANG BALIAGA

3. PAHAM HINDU BERKEMBANG DI BALI


Seorang musyafir bangsa Yunani bernama Jambulos dapat berkunjung ke Bali pada tahun
50 M. Tujuh bulan lamanya ia menetap di Pulau Bali. Keindahan alam pulau Bali dan
keramahtamahan penduduknya sangat berkesan dihatinya. Tambahan pula ia dapat mengahadap ke
istana baginda raja. Peradaban dan susunan masyarakat sudah teratur bgaik. Penduduknya berbadan
tegap dan sehat, menandakan kesuburan pulau Bali, sehingga rakyat tiada pernah kelaoparan karena
kekurangan makanan. Penduduknya kebanyakan bercocok tanam, mengusahakan sawah ladang.
Mereka tinggal berkampung-kampung. Beberapa buah kampung menjadi satu desa yang dikepalai
oleh seorang kepala desa. Mereka menyembah Dewa-dewa yang disangkanya berkahyangan di
sorga. Dewa yang mereka paling muliakan ialah dewa Bahma dan Wisnu. Dengan demikian paham
Hindu pada waktu itu sudah berkembang di Bali.
Kecuali dari keterangan Yambulos sebagai terebut diatas, juga pemakaian tarich Isaka dan
huruf Dewanegari (ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya). Dapat membenarkan, bahwa paham Hindu telah
berkembang di Bali. Di India tarich Isaka ini diresmikan oleh seorang raja bernama : Kaniskha
sejak tahun 78 sesudah Masehi. Kerajaannya bernama : Kushana degnan ibu kotanya Purusha-pura
yang sekarang disebut Pashawar. Baginda raja itu memuliakan agama Budha. Sedangkan huruf
Dewanegari adalah diciptakan oleh Aji Saka, Aji Saka ialah seorang Hindu yang mendirikan sebuah
kerajaan di Jawa setelah mengalahkan raja di Jawa yang bernama Dewata Cengkar. Baginda raja
Dewata Cengkar katanya gemar memakan daging manusia, terutama daging anak-anaka. Ceritra ini
adalah melambangkan, bahwa peradaban orang-orang Hindu yang datang ke Jawa lebih tinggi.
Dalam pada itu didalam kitab-kitab perpustakaan di Bali yang disebut Purana diokisahkan
pula antara lain sebagai berikut : ketika pulau Bali mengalami kegoncangan, Hyang pasupati
(Hyang Mahadewsa) yang berkahyangan di puncak Gunung Mahameru, segera menitahkan kepada
pekalian Dewa-deswa agar memindahkan sebagian Gunung Himalaya dari Yambudwipa (India) ke
Bali; guna menyelamatkan pulau Bali dari kehancuran. Maka semenjak itulah terdapat 4 (empat)
buah Gunung di Bali, yang terletak disekitar Gunung Agung. Gunug-gunung trsebut ialah :
1. Gunung Lempuyang Kahyangan Bhatara Hyang Geni Jaya terletak disebelah Timur.
2. Gunung Andakesa Kahyangan Bhatara Hyang Tugu terletak disebelah Selatan.
3. Gunung Watu Karu kahyangan Bhatara Hyang Tumuwah terletak disebelah Barat, dan
4. Gunung Beratan kahyangan Bhatara Hyang Dhanawa atau yang disebut juga Bhatara Manik
5

ORANG-ORANG BALIAGA
Kumayang terletak disebelah utara.
Perpidnahan keempat Gunung itu adalah lambang dari masuknya paham Catuir Lokapala
dari India ke Bali. Catur berarti 4 dan lokapala berarti mata angin. Paham itu mengajarkan, bahwa
pulau Bali telah dijaga kuat oleh keempat Dewa itu, sehingga pulau Bali selamat dari segala
gangguan dan beencana, serta melindungi kemuliaan dan kesucian Gunung Agung. Memperhatikan
nama dewa-dewa itu, ternyata masyarakat di Bali masih tetap memegang teguh kepercayaan
leluhurnya. Sebab di India nama Dewa-dewa didalam paham Catur Lokapala itu ialah : Indra,
Yama, Waruna, dan Kwera. Memang pahanm Catur Lokapala itu mengesankan, bahwa paham
Hindu mulai berkembang di Bali. Walaupun demikian masyarakat di Bali masih tetap memegang
keasliannya. Ternyata dari keteguhan imannya tetap merupakan kebesaran mahadewa yang
berkahyangan di Gunung Agung hingga sekarang.

4. PERPADUAN AGAMA SIWA BUDHA DI BALI


Perpindahan keempat buah Gunung dari India ke Bali yang melambangkan masuknya
paham Catur Lokapala itu terjadi dalam tahun 11 Isaka. Perhitungan tahun Isaka itu, dinyatakan
dengan sebutan Candra Sangkala yang berbunyi Rudira Bhumi. Rudira dan Bhumi masingmasing berarti angka 1, dengan demikian Rudira Bhumi berarti angka 11,. Diterangkan juga
selanjutnya didalam kitab Purana itu bahwa Gunung Agung pernah meletus di dalam tahun 13
Isaka, dengan sebutan Candra Sangkala Gni Bhudara. Gni = 3 dan Bhudara = 1. Letusan Gunung
Agung itu menimbulkan gempa bumi yang amat hebat disertai hujan lebat tiada henti-hentinya
siang dan malam selama 2 (dua) bulan. Sesudah itu turunlah 2 orang Dewa dan seorang Dewi di
Bali. Dewa-dewa dan Dewi itu ialah : Putra Jaya, Geni Jaya, dan Dewi Danuh.
Diantara ketiga Dewa dan Dewi itu, Putra Jayalah paling dimuliakan, sebab itu disebut pula
Mahadewa, berkahyangan di puncak. Gunung Agung sebagai Siwa. Sedangkan Geni Jaya
berkahyangan di puncak Gunung Lempuyang sebagai Brahma, dan Dewi Danuh berkahyangan di
Danau Batur. Dipuja sebagai Wisnu. Adanya ketiga Dewa dan Dewi itu ialah mengesankan, bahwa
disamping paham Catur Lokapala, paham Tri Murti pun telah masuk ke Bali. Paham itu
mengajarkan, bahwa Tri Murti terdiri dari tiga Dewa, yakni, Brahma sebagai Dewa Pencipta
(Utpeti), Wisnu sebagai Pemelihara (Stiti) dan Siwa sebagai Dewa Pembinasa (Pralina). Pendapat
umum di Bali, bahwa Siwa itu bukan saja sebagai Dewa Pembinasa, tetapi juga sebagai Guru besar
yang pengasih dan penyayang. Dalam pada itu diberikan julukan Bhatara Guru. Juga Siwa telah

ORANG-ORANG BALIAGA
menyelamatkan pulau Bali dari kehancuran, ketika dia memerintahkan Dewa-dewa memindahkan
sebahagian Gunung Mahameru dari Yambudwipa ke Bali. Karenanya siwalah paling dimuliakan
oleh penduduk di Bali.
Di Besakih terdapat pemujaan bagi ketiga Dewa-dewa itu yakni : di pura Kiduling Kreteg
tempat memuja Brahma, di pura Gelap tempat memuja Siwa, dan di pura Batu Madeg tempat
memuja Wisnu. Pura Penataran Agung terletak di tengah-tengah, karena dianggap paling
terkemuka. Disitulah penduduk Bali mengadakan upacara persembahyangan tiap-tiap tahun sekali,
yang dinamai Bhatara Turun Kabeh. Upacara ini jatuh pada Purnamaning ke Dasa yang
disebut juga Wesaka. Perayaan besar diadakan tiap-tiap 5 (lima) tahun sekali yang disebut Pancja
Balikrama, dan yang paling besar dilangsungkan tiap-tiap 100 (seratus) tahun sekali yang disebut
upacara EKA DASA RUDRA. Perkataan Rudra ialah pengganti nama Siwa, tatkala berganti wujud
sebagai Mahakala.
Di atas telah diterangkan bahwa Siwa yang disebut juga Mahadewa berkahyangan di
Gunung Agung. Karena Gunung Agung adalah Gunung yang tertinggi dipulau Bali, maka biasa
juga disebut Giri. Telangkir. Giri berarti Gunung, To berarti orang dan langkir berarti menjulang
tinggi. Perkataan Langkir didalam bahasa Sansekerta berarti Mahadesa. Sedangkan Mahadewa
didalam ajaran Agama Buddha Mahayana dianggap Lokanata atau Lokaswara, yang lebih terkenal
lagi dengan sebuatan Awalokiteswara, yang berarti seorang Buddha yang tinggi kedudukannya.
Baik penganut Agama Siwa, maupun penganut Agama Buddha di Bali, sama-sama memuja
dan memuliakan kebesaran Gunung Agung, karena Mahadewa yang berkahyangan disitu
dianggapnya Siwa oleh penganut Agama Siwa, sedangkan penganut Agama buddha memandang
Mahadewa itu ialah Buddha. Pemimpin mereka masing-masing disebut Pedanda. Perpaduan
kedua pemimpin Agama itulah disebut Pedanda Siwa Segata (Dwijendra) yang berkewajiban
memimpin upacara perayaan disitu.
Memperhatikan tentang kesanggupan penduduk pulau Bali telah dapat mempersatukan
ajaran kedua Agama yang berlainan sifatnya itu, betul-betul patut diganggakan. Perpaduan kedua
paham Agama itulah menjadi dasar kerukunan tata hidup penduduk di Bali, baik didalam
keagamaan maupun dibidang adat-istiadat yang akhirnya melahirkan tradisi gotong royong.

5. BESAKIH
Di dalam sebuah kitab kuno yang berjudul Babad Gunung Agung disebutkan, bahwa
7

ORANG-ORANG BALIAGA
gunung Agung telah meletus untuk kedua kalinya pada tahun Isaka 70 (tahun 148 M). Ini jatuh pada
hari Jumat Keliwon Wuku Telu, Sasih Kelima. Semanjak itulah dikawah Gunung itu terdapat
sejenis benda yang disebut Salodaka. Salodaka itu dipandang mempunyai kekuatan gaib oleh
penduduk di Bali, karenanya biasa dipergunakan didalam upakara keagamaan. Lebiyh lanjut
diterangkan didalam Babad Gunung Agung itu, bahwa Gunung tersebut mel4tus lagi untuk ketiga
kalinya pada tahun 111 Isaka. Perhitungan tahun itu disebutkan dengan Candra Sangkala 189 M.
Perhitungan tahun itu disebutkan degan Candra Sangkala Wak-sasi-sak. Yang masing-masing kata
itu berarti angka 1. Sejak itulah mulai diadakan perayaan besar di pura Besakih yang disebut EKA
DASA RUDRA BUAT KEPERTAMA KALINYA. Perayaan itu maksudnya untuk memuja
kebesaran Mahadewa yang berkahyangan di puncak Gunung Agung. Sebelum perayaan itu
dilangsungkan, terlebih dahulu dilakukan perayaan korban yang disebut Pecaruan Agung atau
Tawur Agung. Perayaan ini maksudnya agar Siwa yang berwujud Mahakala atau Rudra itu,
membatalkan maksudnya untuk membinasakan dunia. Pada waktu itu Siwa ditakuti, tetapi sesudah
hilang murkanya, lalau dipuja-puja sebagai Dewata mulia. Pemujaan itu terletak, dimana
MARKANDEYA dijaman dahulu memendam 5 (lima) jenid logam yang disebut Panca Datu.
Dibawah Pura Penataran Agung terdapat sebuah pura yang disebut Pura Basukihan
Sebutan itu mengingatkan kata kepada seekor ular raksasa yakni Naga Basukih. Naga Basukih
itulah yang mengikat Bhadawang-Nala yang mendukung pulau Bali. Bhadawang-Nala itu ialah
seekor binatang kura-kura yang amat besar (Empas), yang hidup didasar bumi. Apabila binatang itu
bergerak duniapun akan goncang dan hancur karenanya. Itulah sebabnya maka Naga Basukih selalu
siap membelitnya erat-erat, jangan sampai Bhadawang-Nala dapat bergerak. Demikianlah
kepercayaan penduduk Bali, sehingga untuk Naga Basukih itu patut dibuatkan suatu pemujaan.
Tempat pemujaan itulah yang disebut Pura Basukihan, yang terletak dibawah Pura Penataran Agung
sebagai tersebut diatas.
Disekitar tempat itu kini terdapat sebuah desa yang disebut desa Besakih. Desa itu dianggap
suci oleh sekalian penduduk di Bali. Dua buah prasasti yang kinimasih tersimpan di pura Penataran
Agung, menyebutkan tentang kesucian desa Besakih itu dengan ucapan : Desa hulungdang ring
Basuki dan Desa hila hila ring Basuki. Dari ucapan prasasti-prasasti tersebut diatas, dapatlah
dinyatakan, bahwa segenap penduduk di Bali memandang desa Besakih itu tempat yang suci.
Pandangan itu dapat dimengerti, karena disitulah letaknya pura-pura yang besar, tempat mereka
melakukan ibadat sepanjang masa untuk memuja kebesaran dan kemuliaan Gunung Agung.

ORANG-ORANG BALIAGA
Mengingat bahwa perayaan besar yang disebut Bhatara Turun Kabeh yang diadakan tiaptiap tahun sekali di pura Penataran Agung itu jatuh pada Purnamaning ke Dasa atau Wesakha,
dapatlah dipastikan, bahwa perayaan itu ditujukan untuk memuja kemuliaan Budha. Sebagaimana
dimaklumi, segenap penganut amaga Buddha diseluruh dunia, merayakan kelahiran Buddha
Gautama pada waktu itu. Buddha Gautama adalah pencipta dan penyebar agama Buddha. Beliau
lahir, serta kemudian mencapai ilmu kesempurnaan, dan akhirnya wafat tepat pada hari
purnamaning ke Dasa atau Wesakha. Itulah sebabnya Buddha Gautama disebut juga Tathagata,
artinya Buddha yang sudah mendapatkan kesempurnaan dilapangan kerochanian.
Dalam uraian yang lalu telah diterangkan bahwa agama Siwa dan Buddha dapat
dipertemukan di Bali. Mereka sama-sama memuliakan kebesaran Gunung Agung dengan
melakukan pemujaan di pura Bnesakih. Karenanya Besakih bukan saja tempat yang suci, tetapi juga
tempat pemersatu bagi segenap penduduk yang beragama Siwa Buddha di Bali.

6. ORANG-ORANG HINDU DATANG KE BALI


Kira-kira pada bulan Maret atau April tahun 250 M (Sasih Kesanga tahun 172 Isaka)
datanglah serombongan orang-orang Hindu dari Jawa ke Bali. Rombongan itu terdiri dari orangorang Bangsawan, prajurit, pemuka-pemuka agama, pendeta Siwa Buddha, akhli pertukangan dan
kesenian serta rakyat biasa lainnya yang berjumlah 40) orang. Hal itu termuat didalam sebuah
prasasti yang kini disimpan di pura Puseh desa Sading di Kabupaten Badung. Pemimpin-pemimpin
agama itu terdiri dari : 1. Sri Bayu, 2. Sri Geni Jaya Sakti, 3. Sri Syambu, 4. Sri Brahma, 5. Sri
indra dan Sri Wisnu. Sedangkan yang memimpin rombongan itu ialah Baginda Maharaja Jaya Sakti.
Kedatangan mereka itu ke Bali, mula-mula menuju pada sebuah gunung yang disebut Adri Karang.
Adri berarti Gunung dan Karang berarti batu karang. Tempat itu terletak di Bali bahagian Timur.
Baginda Maharaja Jaya Sakti akhirnya bertolak kembali ke Jawa, dan pimpinan atas rombongan
tesebut diserahkan kepada Sri Bayu yang kemudian bergelar Prabhu Maharaja Bima. Dibawah
pimpinan Sri Bayulah para peimpin-pemimpin agama menyebarkan agama di Bali, serta para akhliakhli lainnya mengajarkan kejakapannya masing-masing kepada orang-orang Bali-Aga. Sri Bayu
membuat sebuah sastra atau pesangerahan di Banti4ran (Tabanan). Disitulah beliau mula-mula
mengajarkan tentang Tata Susila yang disebut sila Krama. Ajaran itu melarang penduduk
melakukan perkawinan terhadap saudara sapupu, terutama terhadap ibu bapak yang melahirkannya.
Sri Geni Jaya Sakti mendirikan pertapaan di Gunung Lempuyang. Pertapaannya disebut Karangsama. Asma berarti asrama. Perkataan tersebut lama kelamaan berubah bunyinya menjadi
9

ORANG-ORANG BALIAGA
Karangasem.
Demikian banyaknya para peimpin-pemimpin Agama menyebarkan Agama di Bali,
sehingga sampai sekarang masih terdapat orang-orang Balia-Aga yang memeluk Agama Bayu,
Agama Syambu, Agama Kala, Agama Brahma, Agama Wisnu dan Agama Indra. Agama Bayu
mengajarkan agar penganutnya mnyembah Dewa Bintang dan Dewa Angin, serta para waktu
meninggal mayatnya tidak dikuburkan. Mayat tersebut harus diletakkan ditebing-tebing sungai yang
dianggapnya keramat. Agama itu hingga kini masih dianut oleh orang-orang desa Trunyan
(Kintamani). Agama Syambhu mengajarkan, agar penganutnya menyembah Dewa-dewa yang
bersemayam pada Patung-Patung atau arca-arca, serta pada waktu matinya mayat tersebut harus
segera ditanam, setelah dimandikan denna air petpetan ketan. Agama Kala mengajarkan agar
penganutnya menyembah segala yang dianggapnya angker. Upacara pada waktu mati
mempergunakan daun bidara, serta mayat terebut harus dibuang kedalam jurang. Penanut Agama itu
terdapat di desa Sembiran. Agama Brahma mengajarkan kepada penganutnya menyembah Dewa
Agni. Pada waktu mati mayatnya dimandikan dengan air delima dan segera dibakar dikuburan.
Agama Wisnu mengajarkan agar penganutnya menyembah Dewa hujan. Upacara pada waktu mati
mempergunakan air bunga (yeh kumkuman) untuk memandikan mayatnya, dan segera dihanyut ke
dalam sungai. Agama Indra mengajarkan kepada penganutnya menyembah Dewa Gunung dan
Bulan. Pada waktua mati, mayatnya dimandikan dengan air beras, kemudian diletakkan di tebingtebing sungai atau didalam goa-goa. Agama ini dianut oleh penduduk di Tenganan (Karangasem).
Memperhatikan akan kedatangan orang-orang Hindu itu tepat pada sasih Kesanga, maka
perayaan Hari Raya Nyepi yang diadakan tiap-tiap tahun sekali di Bali, dapat juga dikirakan untuk
menghormati hari kedatangan para leluhurnya di jaman bahari. Keturunan orang-orang Hindu itulah
yang kini disebut orang-orang Bali Hindu, disamping orang-orang Bali-Aga yang telah lebih dahulu
mendiami pulau Bali. Sesudah kedatangan orng-orang Hindu seperti tersebut pada sebuah prasasti
yang disimpan di pura Puseh desa Sading (Badung), tiada terdengar lagi berita-berita mengenai
pulau Bali selama 3 abad lamanya. Hal itu mungkin karena orang-orang yang datang itu dapat
menyesuaikan dirinya pada orang-orang Bali-Aga, atau mungkin pula catatan-catatan yang dibuat
pada jaman itu belum diketemukan hingga sekarang. Akan tetapi catatan-catatan resmi yang
terdapat di Negeri Cina menunjukkan bahwa pada tahun 518 dan tahun 671 ada utusan dari baginda
raja di Bali menghadap kepada raja Cina yang berkuasa pada waktu itu. Kemungkinan dari sejak
jaman itulah uang kepeng bolong beredar di Bali, sesudah raja-raja di Bali mengadakan hubungan
dagang dengan kerajaan kerajaan Cina.
10

ORANG-ORANG BALIAGA

7. PENGARUH SIWA BUDHA MELUAS DI BALI


Di dalam kitab sejarah sunda yang bernama : Hikayat parahyangan menyebutkan antara
lain, bahwa bekas sebuah kerajaan kecil di Jawa Tengah yang bernama : Kaling, lama-kelamaan
menjelma menjadi sebuah kerajaan besar. Kerajaan tersebut lalu berubah namanya menjadi
Mataram dengan ibu kotanya di Medang. Seorang rajanya yang amat mashyur bernama : Sanjaya,
yang mampu memperluas kekuasaannya hingga meliputi seluruh kepulauan Nusantara bahagian
timur. Baginda raja memuliakan Agama Siwa. Karenanya banyaklah candi-candi Siwa dibangun
pada waktu itu, baik di pulau Jawa maupun di Pulau Bali. Kebesaran kerajaan Mataram di Bawah
pimpinan Baginda raja Sanjaya, diabadikan pada sebuah piagam yang terletak di desa Canggal Di
wilayah keresidenan Kedu di Jawa Tengah. Piagam tersebut ditulis pada sebuah batu besar, yang
bertahun Isaka 654 atau tahun 732 Masehi. Setelah baginda mangkat, kerajaan Mataram yang luas
itu dipimpin oleh salah seorang putranyayang bernama : Panjapana. Beliau mempergunakan gelar
Rake panangkarana, serta memuliakan Agama Buddha Mahayana. Maka banyak pula candi-candi
Buddha didirikan pada waktu itu, diantaranya candi Borobudur yang dibangun kira-kira pada tahun
775 Masehi.
Perkembangan Agama Siwa-Budha yang terjadi di Jawa, sangat luas pengaruhnya di Bali.
Kemungkinan pada waktu itulah banyak para ulama yang dissebut Rsi, Muni, Bhiksu dan
sebagainya datang di Bali. Mereka mendirikan tempat-tempat pertapaan yang disebut Wihara atau
Bihara, yang hingga kini masih banyak terdapat di daeah Gianyar, yakni : ditebing tebing sungai :
pakerisan, ialah :
1. Gunung Kawi, terletak di sebelah Timur Desa Tapak Siring,
2. Krobokan, terletak pada pertemuan batang air sungai Krobokan,
3. Goa Garbha, terletak disebelah Timur desa patemon, dekat sebuah pura Pangukur-Ukuran.
Wos ialah :
1) Goa raksasa, terletak dekat pura Gunung Lebah disebelah Barat desa Ubud, Gianyar.
2) Jukut Paku, terletak diantara desa Negari dan Singakerta,
3) Negari, terletak di desa negari.
Kungkang, ialah :
1) Telaga Waja, terletak dekat desa Sapat.
11

ORANG-ORANG BALIAGA
Lain dari pada Wihara-wihara atau Bihara-bihara seperti tersebut di atas, terdapat pula
tempat pertapaan lagi, yakni :
1) Goa Gajah, terletak disebelah Barat desa Bedulu Gianyar.
2) Yeh Pulu, terletak disebelah selatan desa Bedulu.
3) Gunung Kawi, terletak disebelah Selatan Desa Bbira Gianyar.
Disamping wihara-wihara yang merupakan goa tempat para ulama bertapa, juga didekat
desa Riang Gede terdapat sebuah patilasan merupakan sebuah candi. Patilasan itu disebut Goa
Patinggi, yang tingginya lebih dari 20 m, dan bentuknya sama dengan candi Kalebutan yangt
terdapat disebelah Barat Desa Pejeng.
Menilik dari keterangan-keterangan yang tersebut didalam prasasti-prasasti, ternyatalah
Bihara-bihara itu sebahagian tempat pertapa siwa dan yang lainnya adalah untuk pertapa buddha.
Kedua golongan pemeluk Agama itu dapat hidup rukun berdampingan, satu antara lain saling
hormat menghormati pahamnya masing-masing. Hal itu tidaklah mengherankan, karena mereka
sama-sama menyebutkan bahwa hidup ini adalah samsara atau sangsara. Hal itu disebabkan karena
kita dibelenggu oleh perbuatankita sendiri yang disebut Karma. Untuk melepaskan diri dari ikatan
samsara yang berwujud kelahiran dan kematian, maka di dalam ajaran Agama diberikan petunjuk
4 jalan yang disebut Marga, keemapat marga terebut yakni : Karma-marga, Jnaayana Marga,
Bakti nmarga dan Yoga marga. Sebab itlah para Bhiksu-bhiksu itu membuat bihara-bihara tempat
mengarhkan pandangannya menuju cita-cita untuk mencapai moksa, mukti atau nirwana, di alam
baka kelak.
Menurut penyelidikan para akhli arkeologi, mereka berpendapat bahwa bihara-bihara itu
didirikan didalam abad ke VIII. Pendapat mereka itu diperkuat lagi dengan terdapatnya beratusratus benda-benda kuna disebelah selatan desa Pejeng. Benda-benda tersebut terbuat dari tanah liat,
bentuknya bulat kecil bergaris tengah 2 cm. Tiap-tiap 2 buah dibalut pula dnegan tanah liat,
bentuknya menyerupai stupa-stupa kecil. Sedangkan pada kedua belah permukaan benda itu
terdapat tulisan-tulisan kuna yang berbunyi sebagai berikut :
Ye dharma hatu prabhawa.
Hetun tesan tathagato hiyawadat.
Tesanca yo hirodha.

12

ORANG-ORANG BALIAGA
Ewam wadi mahacramunah.
Menurut Dr. R. Goris, bahasa sansekerta tersebut di atas berarti :
Keadaan tentang sebab-sebab kejadian itu, sudah diterangkan oleh tathaguta (Buddha).
Tuan Mahatapa itu telah menerangkan juga apa yang harus diperbuat orang supaya dapat
menghilangkan sebab-sebab itu.
Ternyatalah ucapan-ucapan itu ialah mantera-mantera ajaran Agama Buddha, yang dapat
menolak marabahaya.[1]
Rupanya disana pada jaman purba menjadi tempat pemuasatan Agama buddha di Bali.
Tulisan-tulisan yang bunyinya serupa itu, terdapat juga diatas pintu candi kalasan di Jawa Tengah,
dan bertahun Isaka 700 (778 M). Dengan demikian dapatlah dipastikan bahwa di dalam abad VIII
pengaruh siwa-Buddha meluas di Bali.

[1] Benda-benda tersebut diketemukan di dalam tahun 1925, dan kini sebagian disimpan di Museum Kota
Denpasar, dan sebagian lagi di pura Penataran Sasih di desa Pejeng.

13

ORANG-ORANG BALIAGA

DINASTI WARMADEWA BERKUASA DI

1. SRI KESARI WARMADEWA


Di

dalam

sebuahkitab

kuna

yang

bernama

Saja

Purana,

tersebutlah

seorang raja di yang bernama Sri Wira Dalem Kesari. Beliau mendirikan istana dilingkungan desa
Besakih. Baginda amat tekun beribadat, memuja dewa-dewa yang berkahyangan di Gunung Agung.
Tempat pemujaan baginda terdapat disitu bernama Pemerajan Selonding. Beliau memperbesar dan
memperluas pura Penataran Agung di Besakih, yang ketika itu bentuknya masih amat sederhana.
Untuk memperlengkapinya, maka didirinkanlah beberapa buah pura-pura disekitar pura penataran
Agung, dengan diberi nama masing-masing sebagai beriakut :
1. Pura Gelap, untuk memuja Iswara (Siwa).
2. Pura Kiduling Kreteg, untuk memuja Brahma,
3. Pura Ulun Kulkul, untuk memuja Mahadewa, (Buddha),
4. Pura Batu Madeg, untuk memuja Wisnu,
5. Pura Manik Mas, untuk memuja Ratu Mas Malilit,
6. Pura Basukihan, untuk memuja Naga Basukih,
7. Ura Pucak, untuk memuja hiyang Kiwa-Tengten,
8. Pura Pengubengan, untuk memuja sekalian Dewa-dewa,
9. Pura tirtha, untuk memuja sumber mata air suci dan
10. Pura Dalem Puri, untuk memuja Durga.
Lain daripada itu baginda mendirikan lagi 6 buah pura besar yang disebut Sad-Kahyangan Poura
Sad-Kahyangan tersebut ialah :
1. Pura Penataran Agung, terletak dilereng Gunung Agung,
2. Pura Bukit Gamongan, terletak di lereng Gunung-Lempuyang,
3. Pura Batukaru, terletak diereng Gunung Batukaru,
4. Pura Uluwatu, terletak di tanah tinggi Bukit Badung,
5. Pura Erjeruk, terletak disebelah selatan desa Sukawati,
14

ORANG-ORANG BALIAGA
6. Pura Penataran Sasih, terletak di desa Pejeng.
Sekalian pura-pura itu adalah untuk persembahyangan bersama atau untuk umum, disamping
mendirikan pura-pura baru Baginda pula memerintahkan agar perayaan NYEPI tiap-triap tahun
harus dilakukan pada bulan KESANGA yang disebut Tjairtra-Masa. Memperhatikan bahwa
Baginda adalah seorang raja Rsi. Semasa Baginda berkuasa, beberapa peraturan yang merupakan
undang-undang telah dibuat. Peraturan-peraturan itu ditulis pada sebuah kepingan tembaga yang
disebut prasasti, dan disimpan di pura-pura. Diantara prasasti-prasasti itu ada yang menyangkut
soal-soal kewajiban tiap-tiap desa untuk memelihara pura-pura, ketentuan membayar pajak,
peraturan dipantai apabila ada prahu berlabuh, peraturan soal waris, ijin kepada para bhiksu untuk
mendirikan : Setra atau Pesanggrahan, larangan meraas hutan pada tempat Badinda berburu,
ketentuan perbatasan pada tiap-tiap desa agar jangan sampai timbul perselisihan, dan banyak lagi
peraturan-peraturan yang lain. Semua penduduk pulau merasa aman dan damai, disamping cukup
menimati kemakmuran daerahnya sendiri. Kebudayaan berkembang dengan pesatnya. Keindahan
dankemegahan pura Besakih, hingga sekarang tetap dikagumi oleh dunia. Pada waktu itu telah
banyak terdapat tenaga akhli. Akhli membuat prahu disebut undahagi-ancang, pandai membuat
bangunan-bangunan disebut undahagi-batu, pandai membuat terowongan untuk saluran air disebut
undahagi pengarung, yang kini disebut tukang bung. Dilihat dari banyaknya tenaga-tenaga ahli pada
waktu itu, dapat pula dipastikan, bahwa pada jaman itu telah terjadi perhubungan dnegan kerajaankerajaan lain di luar negeri.
Sehubungan denganuraian di atas, bahwa pura Belanjong yang terletak di desa Sanur Badung
dapat menyingkap kegelapan itu lebih jauh. Belanjong berasal dari dua patah kata yakni : belahan
dan jong atau jung. Belah berarti pecah dan jong atau jung berarti prahu. Di pura itu terdapat sebuah
batu besar, yang kedua belah mukanya terdapat tulisan-tulisan kuna, sebagian mempergunakan
bahasa kuna dan sebagian lagi mempergunakan bahasa Sansekerta. Tulisan-tulisan itu menyebutkan
nama seorang raja bernama Kesari Warmadewa, beristana di Singhadwala. Tersebut juga di dalam
tulisan-tulisan itu bilangan tahun Isaka dengan mempergunakan Candra-Sangkala yang berbunyi
Kecara-Wahni-Murti. Kecara berarti angka sembilan, Wahni berarti angka tiga dan Murti berarti
angka delapan. Jadi Candra-Sangkala itu menunjukkan bilangan tahun Isaka delapan tiga sembilan
(917M). pula beberapa akhli sejarah yang membaca bahwa Candra Sangkala itu berbunyi : SaraWahni-Murti sehingga menunjukkan bilangan tahun Isaka 835 (913 M). Pendapat yang belakangan
itulah dibenarkan oleh kebanyakan para akhli sejarah.

15

ORANG-ORANG BALIAGA
Dengan terdapatnya piagam tersebut, dapatlah dipastikan bahwa Sri-wira-Dalem-Kesari tiada lain
dari Kesari Warmadewa yang terletak dilingkungan desa Besakih. Beliau memerintah di Bali kirakira dari tahun 882 M s/d tahun 914 M seperti tersebut di dala prasasti-prasasti yang kini masih
disimpan di desa Sukawana, Bebetin, Terunyan, Bangli, (dipura Kehen), Gobeleg, dan Angsari.
Memperhatikan gelar beliau yang mempergunakan sebutan Warmadewa, para akhli sejarah
menduga bahwa beliau adalah keturunan raja-raja Syaelendra di Sriwijaya (), yang datang ke untuk
mengembangkan Agama Buddha Mahayana. Sebagai mana diketahui bahwa kerajaan Sriwijaya
adalah menjadi pusat Agama Buddha Mahayana di Asia Tenggara. Disitu terdapat Sekolah Tinggi
Agama Buddha bernama Nalanda.
Peninggalan sebuah benda besar yang terbuat dari pada prunggu, tiada lain daripada sebuah lonceng
6yang didatangkan oleh beliau dari Kamboja. Lonceng itu digunakan untuk memberikan isyarat
agar para Biksu-biksu Buddha dapat serentak melakukan kewajibannya beribadat dibiaranya
masing-masing. Benda itu kini disimpan di desa Pejeng (Gianyar) pada sebuah pura yang bernama
pura Penataran Sasih. Penataran berarti pemujaan, dan sasih berarti bulan, karena benda itu
disangkanya bulan yang jatuh dari langit. Sampai sekarang benda itu masih dihormati dan
dimuliakan oleh penduduk di . Adanya benda yang bersejarah itu dapatlah dinyatakan, bahwa
Agama Buddha Mahayana berkembang pesat di . Maklumlah karena Baginda raja Sri Kesari
Warmadewa sendiri memeluk agama Buddha Mahayana, sehingga beliau memimpin rakyatnya
kejurusan itu. Kemungkinan pula pura SAD-KAHYANGAN yang diciptakan Baginda itu untuk
memuja 6 Diyani Buddha, yaitu penyebar Agama Buddha yang patung-patungnya terdapat di Candi
(Djawa Tengah). Keyakinan ini diperkuat pula oleh perayaan besar di Besakih, yang diadakan tiaptiap Purnamaning ke Dasa yakni bertepatan dengan hari Buddha sedunia (Waesakha). Disamping
sebuah benda yang disangka BULAN yang kini disimpan di pura Penataran Sasih (Pejeng
Gianyar), gambelan Sayundingpun yang kini disimpan di pura Besakih adalah peninggalah beliau
juga. Keturunan dari Baginda Raja itulah selanjutnya memerintah di pulau berturut-turut.
Kebanyakan nama-nama beliau mempergunakan sebutan Warmadewa, menandakan bahwa Baginda
Raja itu adalah keturunan dari Sri Kesari Warmadewa.

2. SRI UGRASINA
Setelah pemerintahan Sri Kesari Warmadewa berakhir, tersebutlah seorang raja bernama Sri
ugrasena Warmadewa memerintah di . Walaupun baginda raja tidak mempergunakan gelar
Warmadewa sebagai gelar keturunan, dapatlah dipastikan bahwa Baginda adalah putra Sri kesari
16

ORANG-ORANG BALIAGA
Warmadewa. Hal itu tersebut di dalam prasasti-prasasti yang dibuat pada waktu beliau memerintah
yakni dari tahun 915 s/d 942, dengan pusat pemerintahan masih tetap di Singha-Mandawa yang
terletak di sekitar desa Bekasih.
Di dalam prasasti Srokadan jelas tersebut bahwa Baginda raja Sri Urgasena beristana di SinghaMandawa dalam tahun 915 M. Prasasti itu juga mempergunakan bahasa kuna. Bagaimana
bentuknya bahasa kuna itu ? sekedar diketahui, baiklah disini dikutipkan sebuahkalimat yang
termuat didalam prasasti Srokadan antara lain berbunyi sebagai berikut :
ANAM MANUWA DI SADUNGAN MAKA BLAH HULU KAYU.
Anak wanus : berarti penduduk, di sedungan berarti di desa Sadungan, maka blah : berrti dibawah
kekuasaan, hulu : berarti kepula dan kayu : berarti hutan.
Jadi arti keseluruhannya ialah : penduduk desa di Sadungan dibawah kekuasaan Kepala Kehutanan.
Lebgih lanjut dijelaskan bahwa desa Sadunganitu terletak di sebelah Barat sungai Sangsang, dan
disebelah Timur sungai Melangit. Disebelah Selatan desa tesebut terdapat rumput dan disebelah
utaranya aialah hutan lebat, tempat Baginda raja berburu. Maksud daripada prasasti itu
selengkapnya ialah larangan bagi penduduk desa Sadungan untuk merabas hutan tempat baginda
raja berburu. Yang dimaksudkan deswa Sadungan seperti tersebut didalam prasasti ituialah tiada
laind ari desa Srokadan yang sekarang ini, menilik letak desa itu adalah perbatasan dengan sungai
Sangsang dan sungai Melangit. Desa itu terletak di daerah kabupaten Bangli.
Kecuali prasasti Srokadan, banyak lagi prasasti-prasasti dibuat dibawah pemerintahan Sri Ugrasena.
Prasasti-prasasti itu kini disimpan di desa Babahan, sembiran, Pengotan, Batunya (dekat danau
Beratan), Dausa, Serai (Kintamani) dan di desa Gobleg. Menilik dari tulisan-tulisan yang terdapat di
dalam prasasti-prasasti seperti tersebut di atas, tidaklah banyak beliau mengadakan perubahan di ,
hanya dibidnag pertukangan dan kesenian mendapat kemajuan, dnegan adanya sebutan-sebutan
didalam prasasti itu seperti : Pande bvesi, Pande Mas, pemukul (tukang tabuh-tabuhan), Mangjahit
kajang (tukang tenun), dan mangnila (tukang celup).

3. SRI TABANENDRA WARMADEWA


Baginda raja Sri Tabanandra Warmadewa yang berkuasa di , adalah raja yang ketiga dari keturunan
Sri Kesari Warmadewa. Baginda adalah putra Sri Ugrasena, yang mewarisi kerajaan
Singhamandawa. Istri Baginda berasal dari Jawa Timur bernama Sri Subhadika Dharmadewi.

17

ORANG-ORANG BALIAGA
Baginda putri itu adalah salah seorang putri dari Baginda Raja Mpu Sendok yang menguasai Jawa
Timur.
Didalam prasasti yang kini masih dismpan di desa Manikliyu (Kintramani), kecuali menyebutkan
nama Baginda Sri Tabanendra Warmadewa, ditjantumkan pula nama Baginda putri. Hal ini
menandakan bahwa permaisuri beliau ikut berkuasa di dalam pemerintahan. Kemungkinan pada
waktu akan diadakan perkawinan Baginda raja sudah mengadekan perjanjian, untuk mengikut
sertakan nama Baginda Putri di dalam pemerintahan. Walaupun demikian hal itu tidak banyak
menyebabkan perubahan-perubahan selama beliau memerintah dari tahun 943 s.d 961, terbukti dari
ucapan prasasti itu sendiri masih mempergunakan bahasa kuna.

4. SRI CANDRABHAYA SINGHA WARMADEWA


Terebutlah seorang raja bergelar Sri mayadhanawa, yang berkuasa di pada suatu masa. Istana
Baginda terletak di Bata-Anyar di desa Bedulu (Gianyar). Baginda adalah seorang raja yang amat
sakti. Patih Baginda bernama : Jala Wong. Di bawah Patih terdapat seorang Tumenggung dan
seorang Demung, masing-masing bernama : Mangsa dan Senayakan. Lain dari itu terdapat juga 2
orang Menteri yang bernama : Wira Datiya dan Senakala. Sekaloiannya itu adalah orang-orang sakti
dan berani. Karena Baginda raja tekebur dengan kesaktiannya, ditambah pula dengan patihnya yang
gagah perkasa itu, tindakan beliau akhirnya menjadi kejam dan lalim. Baginda mengingkari adanya
Dewa-dewa yang bersemayam di kahyangan. Adanya pura-pura yang demikian banyaknya di
dianggapnya sebagai momok kemelaratan. Semua Pendeta dan Pertapa dipandangnya sebagai racun
masyarakat. Maka ketika penduduk berduyun-duyun pergi ke Besakih, untuk melakukan
persembahyangan dipura Dalem Puri sengajalah Baginda pergi kesana untuk mencegahnya. Beliau
diiringkan oleh Patih Kala Wong, dan duduk di halaman sebuah pura yang bernama pura Manik
Mas. Ketika penduduk yang berduyun-duyun itu liwat disitu, merekapun lalu dijegahya, seraya
Baginda bersabda :
- Engkau orang-orang kemana membawa sajen, dan apa yang engkau harapkan?.
- Tuanku Syah Alam, hambaMu pergi ke pura Dalem Puri bersmbahyang membawa sesaji untuk
Bhatari Durga.
- Engkau bersembahyang di pura Dalem Puri, apakah yang engkau pinta?.
- Hambamu mohon air suci mengharapkan tanam-tanaman hambamu berhasil baik, serta hambamu
hidup selamat panjang umur.
18

ORANG-ORANG BALIAGA
- Jikalau demikian maksudmu, aku tak, pandanglah diriku Dewa sejati. Baik di pura Dalem Puri,
maupun di Besakih, tidak ada Dewa berkahyangan, percuma engkau menyembah disana. Pada
dirikulah engkau harus berbakti mempersembahkan sesaji itu.
Demikianlah soal jawab yang terjadi di halaman pura Manik Mas, disitus pura Besakih antara
Baginda raja Mayadhanawa dengan penduduk yang hendak bersembahyang ke pura Dalem Puri.
Akhirnya semua penduduk lalu pulang kembali membwa sesajennya yang masih suci dengan
perasaan marah bercampur sedih. Semanjak itu pemujaan dewa-dewa di Besakih terhenti sementara
waktu, karena seorangpun rakyat di Balitiada berani melanggar larangan Baginda raja Sri
Mayadhanawa.
Mahadewa yang berkahyangan di puncak Gunung Agung mengetahui hal itu, segera
mempermaklumkan kehadapan Prama Siwa yang berkahyangan di puncak Gunung Semeru di Jawa
Timur. Mendengar permakluman itu Parama Siwa menjadi murka, lalu menitahkan Indra agar
segera berangkat ke guna melenyapkan kejahatan itu. Angkatan perang dari Jawa yang besar
jumlahnya lalu bertolak ke di bawah pimpinan Indra. Mula-mula mereka berkumpul di Besakih.
Disitu mereka mendapat penerangan dan petunjuk mengenai cara-cara penyerbuan yang akan
diarahkan keistana Batu Anyar di Bedulu.
Pada suatu hari yang telah direncanakan, bergeraklah pasukan Indra yang sudah bergabung dengan
pasukan menuju desa Bedulu. Sementara itu Sri Mayadhanawapun sudah siap dengan sekalian
tentaranya, menunggu kedatangan musuhnya itu. Maka terjadilah pertepuran hebat di sebelah Timur
desa Bedulu. Akhirnya tentara Mayadhanawa dan Patih Kala Wong melarika diri arah keutara
menuju tanah pegunungan.
Beberapa buah nama desa yang terletak disepanjang jalan raja Tampaksiring, menjadi bukti nyata
dari kisah pelarian Sri Mayadhanawa bersama patih Kala Wong. Nama-nama Desa tersebut ialah
desa Laplapan, Blusung, Tampaksiring dan desa Manukaya. Disebelah Timur desa itulah Baginda
menciptakan sebuah pancuran yang nirnya mengandung racun. Aliran air pancuran itu menjadi
sebuah anak sungai, yang kini biasa disebut tukad cenik.
Ketika pengejaran tentara Indra tiba disitu, haripun sudah malam. Mereka semuanya merasa payah
dan lesu, lalu bermalam disitu, Tempat itu kini bernama hutan pagulingan. Pagulingan berarti
tempat tidur. Beberapa diantara pasukan Indra mengetahui adanya sebuah pancuran yang terletak
diata jauh dari situ. Untuk menghilangkan rasa lesu dan melepaskan dahaganya, mereka berramairamai pergi ke pancuran itu. sekedar minum, ada pula yang mandi dan merendam diri. Akhirnya
19

ORANG-ORANG BALIAGA
semua pasukan itu menjadi sakit, bahkan banyak pula yang mati. Indra mengetahui hal itu, lalau
segera memancangkan 2 buah tombak disebelah Timur pancuran itu. Kemudian menyemburlah air
suci dari dalam tanah, dimana tombak itu dipancangkan. Air suci itu dipercikkan kepada tentara
yang sudah meninggal, sehingga mereka segar bugar hidup kembali. Sri Mayadenawa mengetahui
bahwa tipu muslihatnya telah gagal, segera melarikan diri arah kebarat bersama patihnya yang setia
itu. Sampai disebuah jurang yang bernama Pangkung Patas, Baginda berdua lalu berganti wujud,
berubah menjadi 2 buah patung besar. Ketika pasukan Indra sampai disitu, tahulah mereka bahwa
kedua patung itu tiada lain dari pada Mayadhanawa dan Kala Wong. Indra lalu segera memanah
kedua patung itu.
Kisah Mayadhanawa seperti tersebut diatas ini sangat meluas di . Kisah ini termuat di dalam
perpustakaan kuna, yang bernama Kusuma Dewa, Usana Bali dan Raja Purana. Malah
diceritakan dalam kitab tersebut, bahwa Baginda Sri Mayadhanawa, adalah putra dari Dewi Danuh
yang kawin dengan Bhagawan Kasiyapa. Tetapi dengan terdapatnya sebuah Piagam batu bertulis di
pura. Tirta Empul Tampaksiring, ternyatalah kisah Sri mayadhanawa seperti tersebut di ats
kebanyakan merupakan kiasan belaka. Piagam tersebut berbunyi antara lain : Pada tahun Isaka 884
(th. 962 M) Sasih Kapat (kira-kira pada bulan Oktober / Nopember), ketika itulah Baginda raja Sri
Candrabhaya singha Warmadewa membangun permandian Thirta Empul dari pernyataan piagam
itu dapatlah dipastikan bahwa di dalam tahun 962, bertachta di Bali seorang raja bergelar Sri
Candrabhaya Singha Waradewa. Baginda Raja itu tiada lain dari Putra Machkota raja suami isteri,
yakni Sri Tabhanendra Warmadewa dengan Sri Subhadrika Dharmadewi. Sri Subhadrika
Dharmadewi itu ialah salah seorang putri dari Mpu Sendok raja di Jawa Timur. Perbedaan
keterangan-keterangan yang terdapat di dalam kitab-kitab perpustakaan kuna seperti usana , kusuma
Dewa dan raja Purana dengan piagam batu bertulis yang terdapat di Thirta Empul, dapatlah
disimpulkan sebagai berikut. Kemungkinan Sri mayadhanawa berasal dari sekitar danau Batur,
kalau memperhatikan dari nama Baginda. Maya berarti gaib, dan Dhanawa berarti berasal dari
daerah Danau. Ayah Baginda bernama Bhagawan Kasiyapa. Menurut cerita Hindu, Bhagawan
Kasiyapa adalah penganut Agama Buiddha. Rajanya Sri mayadhanawa adalah penganut dari aliran
Agama Buddha Hinayana. Paham ini tiada mengakui adanya Dewa-dewa dibawah kekuasaan
Mahadewa, seperti yang diajarkan oleh Agama Siwa dan Buddha Mahayana. Itulah pokok pangkal
perbedaan Agama Buddha Hinayana yang dipimpin oleh Sri Mayadhanawa dengan agama Siwa
Buddha Mahayana dibawah kekuasaan Baginda raja Sri Cadrabhaya Singha Warmadewa.
Kemudian Sri Mayadhanawa dinobatkan di Bata Anyar (Bedulu), tentunya bermaksud untuk
20

ORANG-ORANG BALIAGA
menjauhkan diri dari kraton Singha Mandawa yang terletak dilingkungan desa Besakih. Disamping
itu dapatlah beliau dengan diam-diam menyusun kekuatan, serta mempengaruhi para pertapa yang
berada dibihara-bihara, yang kebanyakan terletak disekitar tempat itu. Setelah Sri Mayadanawa
memandang bahwa kekuatan pasukannya sudah melebihi kekuatan pasukan Sri Candrabhaya
Singha Warmadewa, maka pemberontakanpun meletuslah. Baginda raja Sri Candrabhaya Singha
Warmadewa meminta bantuan ke Jawa Timur. Maklumlah ibu Baginda berasal dari situ, ialah salah
seorang putri dari raja Mpu Sendok.
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa di dalam pertempuran yang seru itu, Sri Mayadhanawa
menderita kekalahan. Dengan demikian jalanlah bahwa peperangan Mayadhanawa itu tiada tara
penganut-penganut Agama Siwa Buddha Mahayana dengan penganut-penganut Agama Buddha
Mahayana. Syukurlah pemberontakan Sri mayadhanawa dapat dikalahkan oleh Baginda raja Sri
Candrabhaya Singha Warmadewa. Kalau tiada, niscaya sekalian pura-pura di Bali yang tiada
terbilang banyaknya hanya tinggal merupakan bangunan-bangunan kuna yang terbengkalai. Sudah
sepantasnyalah pura Thirta empul di Tampaksiring, hingga sekarang tetap dipuja dan dimuliakan
oleh penduduk di Bali. Pura tersebut dapat dipadnang sebagai perlambang tegaknya keadilan di
pulau Bali. Itu adalah diciptakan oleh Baginda raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa yang
berkuasa di Bali dari tahun 962 s/d 975.

5. SRI DJANUSADHU WARMADEWA


Setelah Baginda raja Sri Candrabhaya singha Warmadewa mangkat, maka pemerintahan di
dilanjutkan oleh Baginda raja Sri Janusadhu Warmadewa. Istri Baginda berasal dari Jawa Timur,
bergelar sri wijaya mahadewi. Baginda putri adalah salah seorang putri dari raja yang berkuasa
disitu.
Dibawah kekuasaan Baginda suami istri, rakyat bali sibuk membangun, mereka membangun segala
yang hancur, yang diakibatkan oleh peperangan Mayadhanawa. Daerah-daerah yang paling hebat
menderita ialah disekitar istana Bata Anyar di Bedulu, dan disekitar Tampaksiring. Sebuah desa
yang bernama : Sawa Gunung, yang terletak disebelah Timur laut desa Bedulu, adalah bekas
dimana pertempuran paling hebat terjadi. Sawa bararti mayat dan gunung menunjukkan banyaknya.
Dari perkataan itu dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa mayat disitu bertumpuk-tumpuk banyaknya,
sehingga merupakan gunung. Disamping memperbaiki pura-pura tempat peribadatan, juga dibidang
lainnya tiada ketinggalan. Dalam hal ini tiada seikit bantuan yang diperoleh dari Jawa timur.

21

ORANG-ORANG BALIAGA
Maklumlah Bagtinda berasal dari situ. Sehingga dalam waktu singkat penduduk merasakan telah
pulih dari kehancuran. Tambahan pula Baginda selalu bertindak tega dan bijaksana. Beliaulah
membangun dari kehancuran, serta meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi keturunan beliau
selanjutnya, selama beliau memerintah dari tahun 975 s.d tahun 988.

6. GUNAPRIYA DHARMAPATNI / DHARMADAYANA WARMADEWA


Sebuah piagam batu bertuilis yang bertahun 1006 1007 menyebutkan bahwa seorang putri dari
Jawa bernama Mahendradatha kawin dengan seorang Pangeran di Bali bernama : Udayana. Piagam
tersebut kini terdapat di (India Timur), yang dipindahkan dari Jawa semasa pemerintahan Raffles.
Memang nama Baginda suami istri di Bali lebih terkenal dengan sebutan mahendradatta dan
Udayana. Tetapi didalam prasasti-prasasti dan piagam-piagam yang dibuat pada waktu Baginda
berkuasa, Baginda suami istri mempergunakan gelar Gunapriya Dharmapatni dan Dharmodayana
Warmadewa. Gelar tersebut adalah gelar Baginda yang resmi ketika dinobatkan menjadi raja di
Bali. Baginda berkuasa selama 23 tahund ari tahun 988 sampai tahun 1011. Baginda
Dharmodayana Warmadewa adalah putra mahkota Sri Janusadhu Warmadewa, sedangkan
Gunapriya Dharmaopatni adalah salah seorang putri dari Sri Makutawangsa Wardana yang menjadi
raja di Jawa Tiur. Didalam prasasti-prasasti maupun didalam piagam-piaram nama baginda raja
putri selalu dituliskan terlebih dahulu, dan kemudian barulah nama baginda Dharmodayana
Warmadewa. Hal itu menunjukkan bahwa ketika itu diperintah oleh Baginda raja suami istri, malah
Baginda putrilah yang lebih berkuasa. Prasasti-prasasti tersebut kini masih tersipan di desa Bebetin,
Serai, Buahan, Batur, Sading, dan sebuah piagam batu bertulis terletak di Gunung Penulisan.
Perkawinan Baginda Putri gunapriya Dharmapatni dengan baginda raja Dharmodayana
Warmadewa, ternyata banyak membwa perubahan di . Perubahan itu terjadi di dalam struktur
pemerintahan, yang keudian berpengaruh pula dibidang kebudayaan. Semenjak itu mulailah
dipergunakan bahasa Jawa Kuna (Bahasa Kawi) didalam pembuatan prasasti-prasasti, yang
sebelumnya hanya mempergunakan bahasa Bali Kuna. Pada pemerintahan pusat terbentuklah suatu
Badan penasehat yang mendampingi Baginda raja. Badan tersebut keanggautaannya amat luas,
diantaranya terdiri dari para pendeta Siwa buddha dan para Senapati. Badan itu sebelumnya haya
beranggautakan 3 orang. Duduknya para pendeta Siwa Buddha didalam badan tesebut, itu
mencerminkan bahwa penghargaan pemerintah terhadap Agama siwa maupun Agama Buddha sama
saja pada waktu itu di Bali. Sedangkan para Senapati tersebut, diberikan memegang suatu daerah
yang cukup luas. Didalam wilayahnya itu kekuasaan Senapati amat besar. Mereka berhak mengadili
22

ORANG-ORANG BALIAGA
dan mereka pula menjadi hulubalang. Para Senapati itulah berlomba-lomba memajukan wilayahnya,
yang berarti pula mendapat kemajuan yang pesat. Diantara sekian banyak Senapati, ternyatalah
beberapa orang baru datang dri Jawa. Kemungkinan kedatngan mereka di , bersamaan dengan
ketika perkawinan Baginda raja suami istri dilangsungkan. Di antaranya ialah Senapati Kuturan,
yang namanya hingga kini termashur di .
Dari perkawinan Agung itu terlahirlah beberapa orang putra dan putri. Salah seorang putra Baginda
bernama : Airlanggaha, yang lahir pada tahun 991. Sesudah berusia 16 tahun raja putra itu
bertolak ke Jawa Timur hendak dikawinkan dengan salah seorang putri dari Baginda raja Sri
Dharmawangsa. Putri tersebut juga menjadi kemenakan dari ibunda Baginda Mahendradatta. Akan
tetapi baru saja Airlangga tiba di Jawa timur, tiba-tiba kerajaan bakal mertuanya itu diserang oleh
musuh sehingga hancur lebur. Walaupun demikian pada akhirnya, Airlanggha berhasil menciptakan
sebuah kerajaan yang besar dan kuat di Jawa timur. Nama Airlanggha menjadi amat masyur
diseluruh Nusantara.
Ibu Airlanggha yaitu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni ternyata lebih dahulu mangkat,
dibandingkan dnegan Baginda raja Udayana. Kemangkatan Baginda terjadi kira-kira pada tahun
1001 di desa buruan dekat Kutri (Gianyar). Di atas sebuah bukit di desa Kutri, bernama Bukit
Dharma, kini terdapat sebuah patug besar. Patung itu merupakan Durgamdhesa / Sura Mardhini
yaitu lukisan Durga sedang membunuh syaitan yang bersiluman di dalam tubuh seekor kerbau.
Patung itu melambangkan kebesaran Baginda yang telahmangkat. Melihat bentuk perlambang
Baginda yang demikian dahsyatnya dapatlah dikirakan, bahwa Baginda memeluk paksa Bhairawa.
Kemungkinan pula Baginda menjadi pimpinan Desti di Bali.
Baginda raja dharmodayana Warmadewa, mangkat kira-kira dalam tahun 1011, dan dicandikan di
Banyu Weka. Sebagai perlambang dari kebesaran Baginda semasa hidupnya, maka dibuatkan
pulalah sebuah patung Buddha disamping patung Durgamahesa Asura Mardhini. Dari perlambang
terebut, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Baginda raja Udayana semasa hidupnya memeluk
Agama Buddha Mahayana. Perbedaan Agama bagi Baginda suami, istri, tidaklah sampai
menimbulkan perselisihan yang menghambat roda pemerintahan di . Sementara itukini terdapat dua
buah candi kembar ditebing sungai Pakerisan, kira-kira 2 Km jauhnya dari Bukit Dharma
tersebut. Dekat candi itu terdapat beberapa buah pancuran yang sirnya dianggap suci. Menurut pra
ahli sejarah, kedua candi kembar tersebut adalah penyimpanan abu dari Baginda raja suami istri,
yakni Baginda Mahendradatta dan Udayana. Ketika Airlanggha sudah dinobatkan menjadi raja di

23

ORANG-ORANG BALIAGA
Jawa Timur, maka sebagian dari abu Baginda raja Udayana dibawa ke Jawa untuk dipuja-puja.
Sedangkan tempat penyimpanan abu tersebut kini terdapat dilereng Gunung penanggungan (Jawa
timur) pada sebuah permandian yang bernama Jalatunda.
Dari keterangan-keterangan tersebut diatas, dapatlah disimpulkan bahwa semasa pemerintahan
Baginda Mahendradatta / Udayana di Bali, perhubungan dengan Jawa Timur sangat eratnya. Pada
waktu itulah pusat pemerintahan di dipindahkan dari lereng Gunung Agung ke tanah datar disekitar
desa Buruan dekat Kutri (Gianyar).

7. SENAPATI KUTURAN
Didalam pasal yang lalu telah diterangkan, bahwa pada jamannya gunapriya Dharmapatni /
Dharmadayana Warmadewa berkuasa di , tersebutlah Senapati yang ikut menjadi anggota Badan
Penasehat itu, ternyata nama Senapati Kuturan paling sering dituliskan didalam prasasti-prasasti
yang kini masih disimpan dibeberapa desa di Bali. Hal itu menunjukkan bahwa Senapati Kurutan
memegang kekausaan yang tertinggi didalam Badan tersebut. Tidaklah patut diragukan, bahwa
kekuasaan yang dipercayakan oleh Baginda raja suami istri kepada senapati Kuturan adalah
berdasarkan kecakapan dan keahlian yang dimiliki olehnya. Baginda raja suami istri sengaja
mengundang Senapati Kuturan untuk menertibkan kemasyarakatan penduduk di . Tambahan pula
pada waktu itu, sudah tiba saatnya bagi Senapati Kuturan untuk menjalankan bhiksuka atau
sunyasa, yaknihidup mengembara guna mengamalkan dharma selaku guru Agama.
Kedatangan Senapati Kuturan dari Jawa ke kira-kira pada akhir abad ke X atau tiada lama sebelum
tahun 993. Pada masa itu masih terasa bekas-bekas kehancuran yang diakibatkan oleh
Mayadhanawa, terutama dibidang adat dan Agama. Untuk menertibkan dan menegakkan sendisendi kemasyarakatan di Bali Senapati Kuturan segera mengadakan pertemuan besar yang dihadiri
oleh para peuka-pemuka rakyat, pendeta Siwa Buddha dan lain seagainya. Dalam pertemuan itu
diputuskanlah bahwa paham Tri Murti harus ditegakkan kembali. Maka semenjak itu terciptalah
pura Kahyangan Tiga yakni tiga buah pura yang masing-masing disebut :
1. Pura Puseh untuk memuja kebesaran Brahma,
2. Pura Desa yang disebut juga pura Bale Agung untuk memuja kebesaran Wisnu, dan
3. Pura Dalem untuk memuja kebesaran Durga (sakti Siwa).
Pura Kahyangan Tiga itu didirikan pada tiap-tiap desa. Inilah yang menjadi dasar kekuatan desa

24

ORANG-ORANG BALIAGA
pekraman masyarakat di yang berintikan adat istiadat dan Agama. Tiap-tiap orang yang sudah
menjadi kepala rumah tangga, diwajibkan turut mekrama desa, serta mendapatkan sebidang tanah
untuk sawah ladang, dan sebuah pekarangan untuk bertempat tinggal. Tanah-tanah tersebut adalah
hak milik dari pura Kahyangan Tiga itu, yang berarti pula menjadi hak milik desa pekraman di
tempat itu. Juga ditentukan, bahwa barang siapa pindah dari desa itu, ia harus menyerahkan kembali
tanah dan pekarangannya kepada desa. Akan tetapi ditempat lain, ia akan menerima sebidang tanah
dan pekarangan, sebab ia ikut menjadi anggota desa ditepat yang baru itu.
Peraturan hak milik yang berdasarkan adat istiadat dan Agama itu, dapat memperkuat ikatan tiaptiap desa di . Rasa senasib dan sepenanggungan didalam dewa ditimbulkan oleh peraturan itu. Tiaptiap orang mengabdi untuk kepentingan desa, yang berarti pula untuk kebahagiaan hidup bersama.
Kerukunan orang-orang desa akhirnya menciptakan kekompakan rakyat, di dalam menghadapi
sesuatu yang menyangkut negerinya. Inilah yang menjadi dasar kekuatan kerajaan Baginda suami
istri di . Semua tenaga rakyatnya dapat dipersatukan dalam ikatan yang kuat, berpusat pada pura
Kahyangan Tiga. Untuk tegak berlakunya peraturan itu, maka ditiap-tiap desa dibentuk sebuah
badan yang disebut pengurus desa. Pengurus desa tersebut terdiri dari 9 orang, yakni 3 orang
Pemangku selaku abdi pura, 2 orang Rubayan sebagai penegak adat dan Agama, 2orang singgukan
sebagai pelaksana dan 2 orang Bahu sebagai penasehat. Kesembilan orang pengurus desa itulah
yang bertanggung jawab, dan sewaktu-waktu mengadakan sidang di Bale Agung yang terletak di
Pura Desa.
Disamping pura Kahyangan Tiga yang harus diiliki oleh tiap-tiap desa, ditiap-tiap pekarangan
rumahpun didirikan sebuah tempat eribadat yang disebut Sanggah. Sanggah itu ialah tempat
untuk memuja arwah leluhur yang dianggap sudah bersatu dengan Dewa-dewa. Perkataan itu
berasal dari bahasa Sansekerta, dengan sebutan Sangham yang berarti ikatan bathin dari orangorang suci yang beragama Buddha. Pendirian Sanggah atau Sangham itu berdasarkan atas 3 asas
yang disebut Tri-Srana yakni :
1. Buddha Saranam gatayani, artinya dibawah kebesaran Buddha aku berlindung,
2. Dharma Sarana gatayani, artinya dibawah hukum dharma aku beralindung, dan
3. Sangham saranam garayani artinya dibawah Sanggah ini aku bersujud.
Menurut ajaran orang-orang Hindu, hukum dharma itu bukanlah berdasarkan atas sesuatu ajaran
dari orang-orang suci. Hukum dharma berdasarkan atas pengertian yang sehat dari setiap orang

25

ORANG-ORANG BALIAGA
yang sujud mengabdikan diri terhadap ilmu ketuhanan. Pengertianyang sehat itu menimbulkan
kesucian pikiran, sehingga tiap-tiap orang akan berbuat kebajikan serta menjajagi setiap nyawa dari
sekalian makhluk yang ada, dengan jalan, 1. Manacika, 2. Wacika dan 3. Kayika yang berarti
berpikir yang baik, berbicara yang baik dan berbuat yang baik.
Demikianlah caranya Senapati Kuturan menanamkan dasar-dasar pengertian dibidang keagamaan
kepada sekalian penduduk di . Disamping soal-soal adat dan Agama, juga struktur pemerintahan
mendapat pembahasan yang mendalam didalam pertemuan besar itu. Maka diputuskanlah untuk
membentuk suatu Badan Penasehat yang mendampingi baginda raja suami istri didalam
pemerintahan. Badan Penasehat tersebut bernama Pakira-kiran I jero mekabehan, atau Palap
knan. Keanggotaannya amat luas terdiri dari para Senapati dan Mpungku Siwa Sogata. Berkat
kecakapan dan kebijakasanaan Senapati Kuturan mendampingi Baginda didalam pemerintahan,
maka didalam waktu singkat pulau mengalami perubahan besar. Ketertiban dan keamanan
terpelihara dengan baik. Persatuan dikalangan rakyat terjalin dengan erat, diikat oleh adat desa
pekeraman didalam pura kahyangan Tiga. Pada waktu inilah dinasti Warmadewa mencapai puncak
kejayaan, dan penduduk pulau hidup didalam jaman keemasan. Ibu yang sejak semula berpusat di
Singha-Mandawa, lalu dipindahkan kesebuah tanah datar disekitar desa Buruan dekat Desa Kutri
disebelah Barat Gianyar. Tepat dimana pertemuan besar tersebut dilangsungkan kini terdapat sebuah
pura besar yang bernama Samuan-Tiga. Nama pura tersebut mengesankan, bahwa disanalah azasazas paham Tri-Murti ditegakkan kembali, setelah dihancurkan oleh pemberontakan Mayadanawa.
Pura itu melambangkan, bahawa Senapati Kuturan berhasil menertibkan dan menegakkan
kemasyarakatan penduduk di . Setelah kira-kira 8 tahun beliau berusaha dengan keras mendampingi
Baginda raja di dalam pemerintahan, maka didalam tahun 1001 Senapati Kuturan mengalih ke
bagian Timur. Beliau mendirikan sebuah asrama pada sebuah dataran tinggi di teluk pantai desa
(Karangasem). Tempat tersebut bernama Silaukti, yang melambangkan, bahwa disanalah pusatnya
kesusilaan pada masa itu di .
Dalam tahun 1007 datanglah Mpu Bharada ke . Beliau mendarat diteluk Pantai desa dan terus
menghadap kepada Mpu Kuturan di asrama Silayukti. Setelah beberapa hari disana, kedua Mpu
tersebut lalu mengunjungi saudara-saudaranya, yakni Mpu Ghana di desa Gelgel, Mpu Geni Jaya di
Gunung Lempuyang dan terakhir pada Mpu Semeru di Besakih. Ternyata kelima para Mpu tersebut
adalah bersaudara kandung, empat orang membuat asramanya di . Hanya saudaranya yang paling
kecil, yakni : Mpu Bharada bertempat tinggal di Jawa berasrama di lembah Tulis. Kedatangannya di
Bali adalah sebagai utusan Baginda Airlangga ayang sedang menderita ditengah hutan Wonogiri.
26

ORANG-ORANG BALIAGA
Setelah diperbincangkan secara mendalam oleh sekalian saudaranya, maka kemudian Mpu Bharada
dan Mpu Kuturan lalu bersama-sama menghadap ayahnda Baginda raja Udayana. Mpu Bharada lalu
mempermaklumkan penderitaan anaknda Baginda Airlangga, yang hidup terkatung-katung di
tengah hutan. Hal itu disebabkan karena kerajaan bakal mertuanya telah dihancurkan oleh tentara
kerajaan Sri Wijaya, dan Baginda raja Dharmawangsa gugur didalam pertempuran.
Mendengar permakluan Mpu Bharada trsebut, Baginda raja Udayana lalu segera memanggil semua
panglima-panglima perang untuk menyiapkan suatu pasukan yang kuat. Angkatan perang inilah
yang kemudian mampu mengusir tentara pendudukan Sri Wijaya di Jawa Timur, sehingga Airlangga
dapat membangun kerajaannya kembali.
Kedatangan Mpu Bharada di Bali dituliskan didalam 2 buah prasasti yang kini sebuah disimpan di
pura Batu Madeg di Besakih dan sebuah lagi disimpan di pura Gaduh Sakti di desa selat
Karangasem. Kedua prasasti tersebut mempergunakan bilangan tahun Candra Sangkala. Prasasti
yang disimpan di pura Batu Madeg menunjukkan tahun Isaka 929 (tahun 1007 M) dengan sebutan
Candra Sangkala yang berbunyi Iti watek nawa sanga apit lawang. Sedangkan yang disimpan di
pura Gaduh sakti juga menunjukkan bilangan tahun yang sama, dengan sebutan Candra Sangkala
Lawang ngapit lawang Hal itu menunjukkan bahwa pada saat itulah Mpu Bharada mengadkan
pertemuan dengan saudara-saudaranya di , yakni : Mpu Geni Jaya, Mpu Sumeru, Mpu dan Mpu
Kuturan. Keempat Mpu inilah yang mengadakan keturunan warga Pasek Sanak Pitu di Bali dan di
yang masing-masing disebut Pasek, Kubayan, Dengka, Gaduh, Ngukuhin dan Salahin.1).
Sedangkan Mpu Bharada mengadakan keturunan para Mpu di Jawa, yang kemudian banyak
mengalih ke .
Di dalam kitab Purana Tatwa disebutkan, bahwa Mpu Kuturan mempunyai seorang anak
peremapuan bernama Diyah Ratnamanggali, yang kemudian kawin denan Mpu Bahula putra dari
Mpu Bharada. Memperhatikan uraian kitab tersebut, sekarang dapatlah dipastikan bahwa ibu Diyah
Ratnamanggali yang disbut Walunateng Girah tiada lain dari pada istri Mpu Kuturan. Nama-bnama
tersebut amat populer di yakni tersebut didalam cerita atau lakon Calon Arang. Walunateng Girah
yang tersebut juga Ni Rangda, akhirnya dapat dikalahkan oleh Mpu Bharada, berkat kesaktian
ilmunya yang disebut ASTA SIDHI.
Kembali diceritakan Mpu Kuturan yang berasrama di Silayikti. Setelah beliau berhasil memulihkan
ketertiban dan menanamkan dasar-dasar pengertian dibidang adat dan agama, kemudian lalu beliau
hidup sebagai seorang bhiksuka atau sannyasa. Pada masa inilah berkembang Agama Buddha
27

ORANG-ORANG BALIAGA
dengan pesatnya, dan Silayukti adalah menjadi pusatnya. Disamping menyebarkan Agama Buddha
juga Mpu Kuturan banyak megnarang kitab-kitab suci, diantaranya yang paling terkenal ialah
Purana Tatwa. Dewa Tatwa dan Widhisastra. Purana Tatwa dan Desa Tatwa memuat sejarah para
Pandita dan para Dewa-dewa, sedangkan Wiodhisastra memuat pelajaran bagaimana caranya
memuja Dewa-dewa. Juga kitaqb suci Kusuma Dewa yang mula-mula dikarang oleh Sang Kalputih,
kemudian disempurnakan lagi oleh Mpu Kuturan. Syarat-syarat bagaimana caranya membangun
pura-pura, membuat arca-arca dimasukkan ke dalam kitab itu. Lain dari pada itu, banyak lagi
karangan-karangan Mpu Kuturan yang mengandung filsafat dan ajaran Agama, yang hingga kini
masih tetap menjadi pegangan bagi sekalian penduduk di , didalam halnya melakukan ibadat.
Seorang sarjana yang sudah terkenal namanya di , yakni Dr. R. Goris mengagumi kecerdasan Mpu
Kuturan sebagai seorng filosoof Besar dan sebagai seorang Negarawan yang bijaksana. Dr. R. Goris
membandingkan Mpu Kuturan dengan kedudukan Cardinal doe Plassio dua do Richaliou dalam
dunia Kristen di Eropa pada abad ke XVII, hampir setimbang katanya. Karenanya didalam prasastiprasasti nama beliau dituliskan dengan sebutan Senapati Kuturan, sedangkan sebagai Maha Guru
Agama Buddha beliau mendapat gelar Mpu Kuturan.
Demikianlah adanya kisah Senapati Mpu Kuturan di Bali, yang hidup kira-kira sampai pertengahan
abad ke XI bagian kedua. Hingga kini nama Senapati Mpu Kuturan masih termasyur di , sesuai
denanucapan Babad pasek yang menyebutkan datangnya Mpu Kuturan ke sebagai berikut :
Kunang sira Mpu Kuturan, turun wontening benda, turun maring kakisiking Bali ring Silayukti kaladiwe
udha sewa wara pahing, thiti sukla paksa pawaka, sirsa caksu, isakyem gni suku babahan udani dita
923, neher winangunaken paryangan mareng Silayikti, ayoga anyukla brahma cari dan seterusnya.
Artinya lebih kurang sebagai berikut ;
Konon Mpu Kuturan pergi berlayar ke Bali dengan biduk dari pada kiambang, layarnya dari pada daun
benda, tiba di pantai pulau Bali pada suatu tempat bernama Silayukti, ialah pada hari Rabu Kliwon
Wuku Paheng, bulan terang pananggal 13,, rah 3 tenggek w, tahun Isaka 923 (tahun 1001 M), lalu
mendirikan tepat pertapaan disana bernama Silayukti dimana beliau beryoga selaku sukla Brahma
carin, dan seterusnya.
Memperhatikan uraian kitab Babad Pasek tersebut diatas, yang menceritakan kedatangan Mpu
Kuturan ke denan mempergunakan biduk kapu-kapu atau kiambang, dapatlah disimpulkan sebagai
berikut : Kapu-kapu adalah sejenis tumbuh-tumbuhan yang hidupnya selalu mengambang di atas

28

ORANG-ORANG BALIAGA
permukaan air. Demikian juga para pujangga di jaman bahari telah meyakinkan, bahwa selama
dunia terkembang ajaran-ajaran Senapati Mpu Kuturan akan selalu dijunjung tinggi oleh sekalian
umat beragama.
1) Arwah para Mpu-mpu tersebut hingga kini tetap dihormati oleh segenap warga Pasek sanak pitu di
dan , yang pura padharmanya masing-masing terletak di :
a. Gunung Lempuyang untuk Mpu Geni Jaya. Hari piodalannya jatuh pada Purnamaning Kapat.
b. Pura Pasek Besakih untuk Mpu sumeru. Hari piodalannya jatuh pada Purnamaning Kawulu.
c. Pura Dasar Bhuwana di Gelgel untuk Mpu . Hari Piodalannya jatuh pada hari Coma Kliwon wuku
Kuningan.
d. Pura Selayukti untuk Mpu Kuturan. Hari piodalannya jatuh pada hari Buddha Kliwon wuku pahang.

8. SRI ADNYADEWI / DHARMAWANGSA WARDHANA


Upacara pejenazahan almarhum Baginda raja Dharmodayana Warmadewa di dalam tahun 1011,
ternyata mendapat penghormatan yang sangat besar dari seluruh lapiosan masyarakat di . Semua
pembesar-pembesar kerajaan, pemimpin-pemimpin agama Siwa Buddha, para pemuka-pemuka
rakyat Bali Aga turut hadir. Uturan dari Jawa tampak hadir Mpu Bharada yang diiringkan oleh
beberapa pembesar lainnya sebagai wakil dari Baginda Raja Sri Airlangga. Almarhum dicandikan di
Br. Weka (Banyu WekaO, yakni pada suatu tempat yang terletak di tebing sungai pakerisan.
Kemungkinan pada waktu itulah sebagian dari abu baginda dititipkan kepada Mpu Bharada untuk
dibawa ke Jawa Timur. Selanjutnya pemerintahan di dipegang oleh putra mahkota Baginda yang
bergelar Sri Adnyadewi. Didalam memutar roda pemerintahan, beliau didampingi oleh Adinda
baginda yang bergelar Dharmawangsa Wardhana.
Sebuah prasasti yang kini masih disimpan didesa Sembiran menyebutkan, bahwa penduduk desa
Julan menghadap ke pada Baginda Sri Ratu Adnyadewi. Mereka mepermaklumkan keadaan desa
Julah ayang telah hancur lebur dibinasakan oleh musuh dari seberang. Banyak orang-orang Julah
yang gugur di dalam pertempuran dan banyak pula yang menjadi tawanan. Penduduk yang mulamulanya terdiri dari 800 kepala keluarga kini hanya tinggal 50 kepala keluarga. Mereka terpaksa
menyelamatkan jiwanya dengan menyembunyikan dirinya ketengah-tengah hutan, karena melihat
kekuatan musuh yang menyerang jauh lebih besar. Kini desa Julah telah berubah menjadi tanah
tandus yang sunyi. Rumah-ruah habis terbakar, dan kekayaan penduduk habis dirampasnya.

29

ORANG-ORANG BALIAGA
Karenanya mereka bermohon kehadapan Baginda Sri Ratu, agar penduduk desa Julah dibebaskan
dari pajak dan dibebaskan pula dari pekerjaan rodi. Permohonan orng-orang desa itu diperkuat pula
oleh keterangan-keternagan para pegawai kerajaan yagn bertugas mewilayahkan desa Julah disertai
pula oleh seorag Muni yang bernama Wiyambara. Mendengar pengaduan serta permohonan orangorang desa tersebut, Baginda Sri Ratu lalu segera memanggil anggota-anggota Badan penasehat
kerajaan guna memberikan pertimbangan dialam hal itu. Akhirnya berulah diambil keputusan
bahwa orang-orang desa Julah sejak itu dibebaskan dari pajak dan pekerjaan rodi seperti termuat
didalam prasasti Sambiron. Prasasti itu diterbitkan didalam Sasih Katiga penanggal ping enem
tahun Isaka 938 atau didalam tahun 1016 Masehi.
Memperhatikan peristiwa seperti tersebut di atas, ternyata pergantian pimpinan di dari Baginda
Dharmadayana Warmadewa kepada Baginda Sri Ratu Adnyadewi mendapat tantangan dari luar.
Akan tetapi kemudian setelah pemerintahan di dipegang oleh adinda baginda yang bergelar Sri
Dharma Wangsa Wardhana marakata pangkaja Sthanotugadewa, ternyata wajah pulau mengalami
perubahan kembali. Keamanan dan kemakmuran dapat diciptakan dengan baik, sehingga kesenian
dan kebudayaan berkembang dengan suburnya. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa buah
prasasti desa Ujung, yang diterbitkan selama beliau berkuasa di . Di dalam prasasti Batuan yang
diterbitkan pada hari Rabu Wage Ukir, sasih Kenem tahun Isaka 944 atau didalam tahun 1022
Masehi, dengan jelas menerangkan adati-istiadat dan kewajiban orang orang desa Batuan, serta
bermacam-macam kesenian yang terdapat di desa itu. Diantaranya pada waktu itu telah terdapat
adanya tari-tarian beserta juru tabuhya yang dilengkapi dengan juru serulingnya dan juru kidung,
adanya gamelan angklung bambu dan lain sebagainya. Disamping itu terdapat pula bebeapa ahli
seni seperti : tukang membuat perhiasan, tukang gambar dan tukang patung, tukang membuat
gemelan, tukang membuat trowongan, tukang besi dan bermacam-macam tukang lagi yang lainnya.
Sampai dengan tukang membuat periuk belanga dan menganyam tikar dituliskan didalam prasasti
itu, yang mana menyimpulkan bahwa desa Batuan sejak sepuluh abad yang lalu telahmenjadi pusat
kesenian dan kebudayaan di . Juga didalam prasasti itu dijelaskan bahwa perpisahan desa Batuan
dengan desa sukawati dimulai sejak waktu itu, berdasarkan permohonan orng-orang desa Batuan
yang telah memikul tanggung jawab kerajaan terlalu banyak. Sedangkan didalam prasasti Bauahan
yang diterbitkan pada hari Selasa Pahing wuku medangkungan, sasih Kawula tahun Isaka 947
atau tahun 1025 masehi menjelaskan, bahwa baginda raja memperkenankan permohonan orangorang desa Buahan yag terletak ditepi Danau Batur, untuk membeli seluas tanah milik kerajaan
yang akan dijadikannya daerah perkebunan dan peternakan. Dengan tindakannya yang demikian itu
30

ORANG-ORANG BALIAGA
dapatlah dilihat bahwa Baginda Raja Sri Dharmawangsa Wardhana selalu berusaha membimbing
kehidupan rakyat kearah kemakmuran. Selanjutnya didalam prasasti desa Ujung yang diterbitkan
pada hari Sabtu wuku Kulawu, panglong ping duwa, sasih kapat tahun Icaka 962 atau tahun 1040
Masehi, menyebutkan pula kebijaksanaan baginda seperti yang termuat didalam prasasti Buahan.
Akan tetapi desa Ujung sekanga yang terletak dipantai Tanggara Kabupaten Karangasem, didalam
prasasti tersebut dituliskan dengan nama desa Junghyang, Jung berarti perahu, sedangkan perkataan
hyang berarti sesuatu yang dimuliakan. Kemungkinan Baginda Raja Sri Dharmawangsa
Wardhana menempatkan beberapa buah perahu kerajaan di pelabuhan itu, mengingat dengan
adanya dua buah pura besar yang terletak dikabupaten karangasem, yakni pura Besakih dan pura
Lempuyang. Kecuali menuebutkan adanya d3esa Ujung, juga prasasti tersebut menyebutkan adanya
desa Tranggana yang terletak di pinggir pantai. Penduduknya terdiri dari orang-orang Bali Aga yang
berasal dari desa Paneges. Mereka memuliakan agama Indra dengan menyembah patung Dewa
Mariti yang terletak di pura candi Dasa. Akhirnya penduduk desa tersebut memindahkan desanya
agak ke pedalaman, akibat deburan-ceburan ombak yang selalu mengganggu kehidupannya.
Karenanya baginda raja memperkenankan mereka bebas dari pajak, serta dibebankannya pula untuk
memperluas sawah ladang mereka pada hutan-hutan kerajaan yang terletak disekitar desa tersebut.
Memperhatikan nama desa tersebut di atas, serta adanya orang-orang Bali Aga yang menjadi
penduduk desa itu, ditambah pula dengan agama yang dimuliakannya, maka para ahli sejarah
tidaklah ragu-ragu lagi menentukannya, bahwa desa tersebut tiada lain dari desa Tenganan yang
hingga kinimasih tetap kuat mempertahankan adat istiadatnya seperti yang diwariskan oleh nenek
moyang mereka di jaman purba. Adapun adat istiadat mereka sangat berlainan denan tata cara
orang-orang lainnya yang memuliakan agama Siwa Buddha, baik dalam melakukan peribatatana
maupun dalam mengatur tata kemasyarakatan. Disana berlaku hukum yang mengakui adanya hak
milik bersanma (Cominal bezit), dan bukan menjadi hak milik perorangan (individu bezit).
Karenanya rumah-rumah penduduk disana tampak seragam bentuknya disamping adat istiadat dan
peradaban mereka yang sangat berlainan. Justru inilah yang menyebabkan para ahli sejarah makin
menaruh perhatian, sampai dengan seorang sarjana bangsa Belanda yakni tuan Dr. V. E. Korn
menuliskan adat istiadat desa Tenganan didalam bukunya yang berjudul De Doras republik
Tenganan Pagringsingan yang diterbitkan oleh C.A. Mees, Santpoort dalam tahun 1933. Walaupun
demikian orang-orang Tenganan mengakui pula adanya pura Kahyagan Tiga yang diciptakan oleh
Mpu Kuturan, sebagai landasan yang fundamentil untuk menegakkan tata tertib keagamaan dan
kemasyarakatan di .
31

ORANG-ORANG BALIAGA
Demikianlah keadaan pulau sampai menjelang pertengahan abad ke XI dibawah pemerintahan
seorang raja yang arif bijaksana, yakni Baginda Raja Dharmawangsa Wardhana Marakata pangkaja
Sthanottunggadewa. Selanjutnya pemerintahan di dipegang oleh adinda baginda yang bergelar anak
wungsu. Beliau juga adalah putra baginda raja suami istri yang bergelar Mahendradatta Gunaprya
Dharmapatni / Dharmadayana Warmadewa, yakni adik Sri Airlangga yang terkecil.

9. ANAK WUNGSU
Menjelang tahun 1042 Masehi, ternyata Baginda Raja Airlangga di Jawa Timur mengalami suatu
kesulitan yang sangat sukar untuk diatasinya. Beliau merasa sangat khawatir mengenangkan
perkembangan selanjutnya, mengingat dengan sikap kedua putra baginda yang ingin berebutan
untuk menduduki singhasana kerajaan. Karenanya dititahkanlah Mpu Bharada apergi ke , untuk
merundingkan

pengangkatan

salah

seorang

putranya,

mengingat

dengan

baginda

raja

Dharmawangsa Wardhana tidak mempunyai keturunan. Kedatngan Mpu Bharada disambut dengan
baik oleh para pemuka-pemuka rakyat di , lebih-lebih oleh Mpu Kuturan yakni saudara kandungnya
sendiri yangketika itu telah sejak lama berasraa di Silayikti. Mengingat dnegan pentingnya maksud
kunjungan Mpu Bharada pada waktu itu, maka Mpu Kuturan lalu segera memanggil semua
anggota-anggota Badan penasehat Kerajaan, untuk merundingkan pesan Baginda Raja Airlangga,
kecuali anggota Badan penasehat, tampak hadir pula para pemimpin-pemimpin agama siwa
Buddha, para senapati yang didampingi oleh pegawai bawahannya, sehingga halam asrama silayikti
menjadi penuh. Didalam perundingan itu telah diputuskanlah dengan suara bulat bahwa
pemerintahan Baginda raja Airlangga tidak dapat dipenuhi. Penolakan tersebut berlandaskan suatu
alasan yang kuat, mengingat dengan adanya Baginda Anak Wungsu yang telah cukup dewasa untuk
kemudian dinobatkan menjadi raja di , sebagai penerus dinasti Warmadesa.
Demikianlah kegagalan yang dicapai oleh Mpu Bharada pada tahun 1042 didalam pertemuan besar
yang diadakan di silayikti Baginda Airlangga setelah mendengar laporan tersebut, dapat pula
membenarkan keinginan para pemimpin rakyat di Bali untuk menobatkan adik Baginda yang
palingkecil itu. Karenanya terpaksalah Baginda membagi kerajaannya menajdi w bagian, yakni : 1.
atau panjalu dengan ibu kotanya di Daha, dan 2. Janggala atau Singasari dengan ibu kotanya di
Kahuripan. Kebijaksanaan tersebut adalah satu-satunya jalan yang masih terlihat oleh Baginda
Airlangga, untuk menghindari perebutan kekuasaan yang mungkin telah menjadi ramalannya.
Peristiwa itu terjadi didalam tahun 1042, dibawah kebijaksanaan Mpu Bharada yang mengaturnya.
Setelah pembagian kedua kerajaan itu selesai,maka Baginda Raja Airlangga lalu meletakan
32

ORANG-ORANG BALIAGA
jabatannya. Kemudian beliau mengasingkan diri untuk bertapa di lereng Gunung Pucangan.
Disitulah Baginda mengakhiri hidupnya pada tahun 1049, sebagai seorang pertapa yang suci.
Kebesaran Baginda selama hidupnya, dilambangkan dengan sebuah patung yang berbentuk
Garudamukha. Patung itu merupakan Dewa Wisnu mengendarai seekor burung Garuda, yang
melambangkan keperwiraan Baginda didalam membasi kejahatan.
Penobatan anak Wungsu menjadi raja di , konon bersamaan waktunya dengan kemangkatan
saudaranya di Jawa Timur yakni dalam tahun 1049. Lebih dari 20 buah prasasti yang kini terdapat
di menyebutkan jamannya Anak Wungsu berkuasa di . Prasasti-prasasti tersebut sebagaimana
mempergunakan bahasa kuna dan sebagian lagi mempergunakan bahasa Jawa kuna. Prasastiprasasti yang sekian banyaknya itu, kini terdapat di desa :
1. Trunyan (Bangli) bertahun 1049.
2. Bebetin (Buleleng) bertahun 1050.
3. Dewan (Klungkung) bertahun 1053.
4. Sukawana (Bangli) bertahun 1054.
5. Batunya (Tbanan) bertahun 1055.
6. Sangsit (Buleleng) bertahun 1058.
7. Dausa (Bangli) bertahun 1061.
8. Sawan/Blantih (Buleleng) bertahun 1065.
9. Sembiran (Buleleng) bertahun 1065.
10. Sorai (Bangli) bertahun 1067.
11. Pengootan (Bangli) bertahun 1069.
12. Manikliu (Bangli) tidak bertahun.
13. Pandak (Badung) bertahun 1071.
14. Klungkung bertahun 1073
15. Sawan (Buleleng) bertahun 1073.
Disamping adanya sekian banyak prasasti yang menunjukkan kekuasaan Baginda Anak Wungsu di
Bali juga kebesaran Baginda diwujudkan denn beberapa buah patung. Diantaranya kini terdapat

33

ORANG-ORANG BALIAGA
dipura Pagulingan di desa Pejeng, yakni sebuah patung raksasa yang menakutkan. Juga arca kembar
yang terdapat di Gunung Penulisan, melambangkan kebesaran Baginda anak Wungsu beserta
dengan permaisurinya yang bergelar Bhatari Mandul. Menilik dari gelarnya para ahli sejarah
berpendapat, Baginda Anak Wungsu tidak mengadakan keturuan dengan permaisurinya itu. Sebab
mandul berarti tidak mempunyai anak. Sementara itu di desa Tampaksiring terdapat juga 2 buah
arca laki perempuan, yang terletak di pura Penataran. Kedua arca itu juga diduga melambangkan
kebesaran Baginda Anak Wungsu bersama permaisurinya. Rupanya dengan permaisurinya inilah
Anak Wungsu menurunkan putra yang kelak akan menggantikan tachta kerajaan di seperti yang
akan diceritakan pada pasal yang akan datang. Demikianlah adanya kekuasaan di dibawah
pemerintahan Baginda raja yang bergelar Anak Wungsu, sebagai penyambung dinasti Warmadewa.
Kini ditebing sungai pakerisan disebelah Timur desa Tampaksiring (Gianyar), terdapatlah candicandi yang banyak jumlahnya. ahli sejarah berpendapat, bahwa tempat tersebut adalah
penjenazahan (kuburan) raja-raja jaman kuna di . Tepat itu sekarang disebut Gunung Kawi, dimana
terdapat tulisan-tulisan kuna yang berbunyi Haji Lumahang Jalu. Artinya ialah Baginda raja yang
wafat di Jalu. Kemungkinan tempat itulah dijaman dahulu bernama demikian. Beberapa para ahli,
ada juga yang menafsirkan bahwa kalimat tersebut menunjukkan Candra Sangkala, yan berarti
tahun Isaka 1023 atau tahun 1101 Masehi. Pada tahun itulah candi-candi tersebut dibuat oleh dinasti
Warmadewa, yang memerintah turun temurun di . Disamping candi-candi itu, disitu terdapat pula
sebuah goa yang didalamnya merupakan sebuah kuburan. Disitulah Baginda Anak Wungsu
dijenazahkan kira-kira dalam tahun 1077. Tiada jauh dari tempat itu terdapat sebuah wihara, dimana
Baginda raja anak Wungsu dahulunya bertapa mengheningkan cipta.

10. SRI SAKALINDU / SRI SURADHIPA


Setelah berakhirnya pemerintahan Anak Wungsu pada tahun 1077, maka tersebutlah seorang raja
putri yang berkuasa di dengan gelar Sri Sakalendu Kirana Isana Gunadharma Laksmidhara
Wijayotunggadewi. Nama Baginda ratu itu tersebut didalam prasasti, yang sekarang disimpan di
desa Pengootan dan di desa Sawan/Blantih. Dua buah prasasti yang disimpan di desa Pengootan
(Bangli) itu menunjukkan tahun 1088 dan 1101, sedangkan prasasti yang disimpan di desa Sawan /
Blantih itumenunjukkan tahun 1098. Ketiga prasasti tersebut sudah mempergunakan bahasa Jawa
kuna seluruhnya, hal mana menunjukkan bahwa pengaruh kekuasaan kerajaan Jawa Timur amat
luas di . Para ahli sejarah berkecendrungan, kalau Baginda ratu itu adalah putri mahkota raja Anak
Wungsu, yang dilahirkan oleh permaisuri yang diarcakan di pura Penataran di desa Tampaksiring,
34

ORANG-ORANG BALIAGA
dan bukan dari Bhatari Mandul yang diartjakan di atas gunung Penulisan. Kecendrungan pendapat
para ahli sejarah itu, berdasarkan pada nama Baginda yang panjang itu. Menilik dari nama itulah,
maka dapat dikira-kirakan bahwa ibunda Baginda ratu berasal dari Jawa Timur, yakni keturunan
dari Mpu Sendok.
Di desa pejeng terdapat sebuah pura bernama pura Penataran Panglan. Dihalaman pura itu terdapat
2 buah arca yang letaknya berdampingan, satu merupakan Hariti dan yang satu merupkan Darwati,
da keduanya bertahun Isaka 1013 (tahun 1991 M). Hariti berarti Indra dan parwati adalah sakti
Siwa. Kedua arca itu melambangkan kebesaran Baginda berkuasa di , yang memuliakan Indra dan
Siwa. Jelaslah pada masa itu terjadi perubahan besr dibidang kebudayaan. Pengaruh kebudayaan
Jawa timur makin meluas di , terbukti dengantulisan yang terdapat pada prasasti prasasti maupun
pada piagam-piagam semuanya mempergunakan bahasa Jawa kuna. Sedangkan dibidang Agama,
Agama Buddha mengalami kemunduran dan Agama Siwa pesat majunya pada masa itu.
Kemunduran yang dialami oleh Agama Buddha dapatlah dinyatakan semenjak Mpu Kuturan
meninggal dunia kira-kira dalam pertengahan abad ke XI. Mpu Penanda yang meneruskan
pimpinan Agama Buddha di Bali, dan kemudian dibantu pula oleh Mpu Pastika, namun hasilnya
sia-sia belaka. Maka semenjak itulah tempat suci di Silayikti untuk pemusatan Agama Buddha
megalami kemunduran, sedangkan Agama Siwa mendapat kesepatan untuk mengembangkan
sayapnya. Mpu Pananda dan Mpu Pastika kemudian menamatkan risayat hidupnya di . Di Silayikti
sekarang terdapat tepat pemujaan untuk arwah para Mpu itu, disamping tempat pemujaan untuk
arwah Mpu Kuturan.
Kembali diceritakan kedua arca Hariti dan Parwati tersebut di atas. Kecuali bilangan tahun Isaka
yang terdapat dibelakang arca itu, juga tulisan-tulisan kuna yang menerangkan bahwa Baginda ratu
semasa hidupnya pernah melakukan pertapaan pada sebuah goa, dan sesudah mangkat dicandikan
di sungai Pelasa. Kemungkinan bekas goa dan sungai Palasa itu berletak disebelah Brat desa
Pejeng, dimana sekarang terdapat bangun-bangunan peninggalan perbakala yang disebut candi
kelebutan.
Demikianlah adanya Baginda ratu Sri Sakalendu Kirana Isana Gunadharma Laksmidhara
Widyayottunggadewi bertahta di Bali, kira-kira sejak tahun 1078 hingga tahun 1114, untuk
menggantikan ayahnda Baginda raja Anak Wungsu. Kemudian tersebutlah seorang raja bergelar Sri
Suradhipa erkuasa di . Gelar raja itu tersebut didalam sebuah prasasti yang kini disimpan di pura
Desa di Desa Gobleg (Buleleng). Prasasti itu enunjukkan tahun 1115 dan mengutarakan adat istiadat

35

ORANG-ORANG BALIAGA
desa r. Taber yang berkewajiban menyelenggarakan pemujaan Dewa Indra yang berkahyangan di
Bukit Tunggal. ahli sejarah berpendapat, bahwa Sri Suradhipa adalah keturunan dari dinasti
Warmadewa, putra dari Sri Sukalendu Kirana Isana Gunaharma Laksmidhara Wijayotunggadewi.
Nama Baginda yang demikian singkatnya, menunjukkan kesedrhanaan Baginda semasa hiodupnya.
Penjenazahan Baginda setelahangkat kemungkinan juga bertempat di Gunung Kawi (Tampaksiring)
karena tempat itu dipandang tempat pemakaman raja-raja. Demikianlah pendapat para ahli
penyelidik sejarah di dalam hal ini.

11. SRI JAYASAKTI JAYAKASUNU DAN SRI


JAYAPANGUS
Setelah Baginda Sri Suradhipa mengakhiri pemerintahannya di , maka tersebutlah nama-nama raja
berturut-turut : Sri Jayasakti, Sri Jayakasunu dan Sri Jayapangus. Menilik dari gelar yang
dipergunakan oleh Baginda raja tersebut, besarlah kemungkinannya kalau pada jaman itu telah
terjadi percampuran antara keturunan Warmadewa dengan keturunan Maharaja Jayasakti yang
pernah memimpin perpindahan orang-orang Hindu di masa lampau ke . Dari catatan-catatan yang
tersebut didalam prasasti, dapatlah diketahui, bahwa Baginda Sri Jayasakti memerintah di Bali ulai
tahun 1133 sampai tahun 1150. Prasasti-prasasti tersebut kini terdapat di desa : Manikliu
(Kintamani), Buahan (Kintamani ) dan di desa Perasi (Karangasem). Selanjutnya pemerintahan
dipegang oleh putra Baginda yang bergelar Sri Jayakasunu. Di dalam kitab perpustakaan kuna yang
bernama Raja Purana, Aji Jayakasunu dan Catur Yuga menerangkan bahwa Baginda Sri
Jayakasunulah yag mula-maula menciptakan adanya hari-hari raya di Bali yang disebut Galungan
dan Kuningan. Hari raya tersebut dirayakan tiap-tiap 210 hari sekali, yang jatuh pada hari Rabu
Kliwon wuku Dungulan. Hari raya terebutr hingga kini masih dimuliakan oleh segenap penduduk di
, dan dianggapnya sebagai hari kebangsaanya. Demikian pentingnya dianggap hari raya Galungan
dan Kuningan oleh segenap penduduk di , maka di bawah ini baiklah dibentangkan lebih dalam,
sejarah kebangkitanya hari raya tersebut.
Tersebutlah didalam kitab Aji Jayakasunu bahwa Baginda raja mula-mula mengabaikan ibadat
untuk memuja 6 buah pura di yang disebut Sadkahyangan. Sebagaimana telah diterangkan pada
pasal-pasal yang lalu, bahwa pura Sadkahyangan itumula-mula diciptakanoleh Sri Kesari
Warmadewa. Olah karena itu turunlah Dewa-dewa dari kahyagnan, datang memberikan nasehat
kepada Baginda raja Sri Jayakasunu, agar supaya adat istiadat serta syarat-syarat keagamaan
dipulihkan kembali sebagai sedia kala. Hal itu katanya akan membawa kesentausaan bagi pulau .
36

ORANG-ORANG BALIAGA
Ketika Baginda tiada mengindahkan nasehat Dewa-dewa itu, maka berjangkitlah penyakit menular
di . Demikian hebatnya penyakit menular berkecamuk, tiadalah terhitung banyaknya penduduk
yang mati karenanya. Disamping itu tanaman-tanaman yang tubuh di sawahmaupun di ladang tiada
ketinggalan pula dari serangan penyakit, sehingga penduduk banyak yang mati kelaparan. Mula
petaka yang demikian hebat itulah menimpa penduduk pulau pada waktu itu. Melihat kesengsaraan
rakyat yang sangat menyedihkan itu, terpaksa Baginda harus percaya kepada nasehat para Dewadewa. Baginda insyaf akan kekeliruan langkahnya, sehingga rakyat menderita kesengsaraan, akibat
kemurkaan Dewa-dewa yang berkahyangan di pura Sadkahyagan. Maka dititahkanlah kepada
rakyat untuk memohon ampun kehadapan Dewa-dewa serta kembali melakukan pemujaan pada
pura-pura Sadkahyangan sebagai sedia kala. Sementara itu Baginda raja Sri Jayakasunu pergi
bertapa kelereng Gunung Agung pada sebuah pura yang bernama Dalem Puri. Disitulah Baginda
tekun melakukan tapa semadhi, memuja kebesaran Bhatari Durga, guna mendapatkan warah-wqrah
(sabda). Berkat ketekunannya, Baginda lalu mendengar suara gaib dari angkasa. Dalam suara gaib
itu diterangkan, bahwa kesentausaan penduduk pulau akan acapkali terganggu, disebabkan karena
mengganasnya Sang Kalatiga. Kala-kala tersebut ialah : Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta
Dungulan dan Sang Bhuta Aungkurat. Ketiga Bhuta kala itu akan menghinggapi tubuh manusia,
mengakibatkan kesehatan dan ingatan mereka akan terganggu. Bahkan mengakibatkan pula
kematian bagi anak-anak atau orang-orang yang belum cukup uur. Untuk mencegah kejadian yang
menyedihkan itu, Bhatari Durga memberi petunjuk bagaimana caranya melakukan peribadatan, agar
terwunud kesentausaan dan kesejahteraan bagi segenap penduduk di pulau ini. Sesudah Baginda
mendengar suara gaib dari Bhatari Durga barulah Baginda mengumumka adanya hari-hari raya
yang disebut Galungan dan Kuningan, dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Enam hari ebelum menjelang hari raya Galungan, sekalian penduduk diwajibkan melakukan
pembersihan diri lahir batin, berturut-turut selama dua hari. Hal itu disebut Nyugi. Hari yang
kepertama disebut sugi-Manek-Jawa dan hari yang kedua disebut Sugi Manek _ Bali. Perkatan
Sugi berarti cuci muka, dan Manek atau Manik berarti air suci atau air hidup.
2) Dua hari sebelum hari raya Galungan disebut hari penjajaan. Pada waktu itu segenap penduduk harus
membuat jajan untuk sesaji (bebanten).
3) Sehari sebelum hari raya Galungan disebut hari Penampahan. Pada hari itu diwajibkanmenyembelih
ternak untuk keperluan hari esoknya, yakni hari raya Galungan. Pun pada hari itu pula diwajibkan
menadakan upacara kurban, yang disebut : Pabeyakala atau Pabeyakawon. Upacara itu harus

37

ORANG-ORANG BALIAGA
dilangsungkan tepat pada waktu tengah hari, pada tiap-tiap halaman rumah tangga.
4) Besoknya barulah disebut hari raya Galungan. Hari tersebut jatuh pada hari Rabu Kliwon Wuku
dungulan. Hari itu disongsong oleh segenap penduduk Bali dengan perasaan lega dan gembira.
Mereka pergi bersembahyang ke pura-pura, begitu juga pada tempat-tempat pemujaan yang disebut
Sanggah, yang diciptakan olehMpu Kuturan semasa Baginda Gunapryadharmapatni / Dharmodyana
berkuasa di Bali. Mereka percaya bahwa pada hari itu sekalian Dewa-dewa beserta roh-roh leluhur
turun ke dunia.
5) Sepurluh hari kemudian barulah tiba hari raya Kuningan. Hari tersebut jatuh pada hari Sabtu Kliwon
wuku Kuningan. Sifat hari raya Kuningan itu lebih sederhana jika dibandingkan dengan hari raya
Galungan. Pada hari itu pagi-pagi benar penduduk sudah menyuguhkan sesajen serta melakukan
persembahyangan. Sebab mereka percaya sesudah menjelang tengah hari sekalian roh-roh leluhur
beserta para Dewa-dewa itu sudah pulang kembali ke sorga.
Demikianlah adanya hari raya Galungan dan Kuningan, yang mula-mula diciptakan oleh Baginda
raja Sri Jayakasunu. Kalau dibandingkan dengan hari-hari raya di India, maka adalah persamaannya
dengan hari raya Sradha dan Widjayadasami. Hari raya tersebut dilangsungkan dalam sasih Ketiga,
kira-kira dalam bulan September. Hari raya tersebut ditujukan untuk menghormati arwah-arwah
leluhurnya. Juga dibeberapa daerah pegunungan di Jawa, masih terhadap hari-hari raya yang seupa
itu, kalau ditinjau dari segi azas dan tujuannya. Di dalam kitab Raja Purana, gelar Baginda raja Srio
Jayakasunu biasa disebut dengan Sri Jayasunu. Sunu berarti putra, yang meandakan bahwa Baginda
raja Sri Jayakasunu adalah putra dari Baginda raja Sri Jaya, yang tidad lain dari Sri jaya Sakti.
Demikianlah keadaan pulau Bali, dibawah pemerintahan Baginda raja Sri Jayakasunu, yang
berakhir dengan terwujudnya kembali suasana aman dan sejahtera, rakyat terhindar dari bahaya
kelaparan. Baginda mengakhiri pemerintahannya dalam tahun 1177 Masehi.
Selanjutnya Pulau Bali diperintah oleh seorang raja bergelar Sri jayapangus. Baginda raja adalah
putra mahkita dari Sri jayakasunu. Banyaklah peninggalan-peninggalan prasasti yang kinimasih
disimpan di beberapa buah deswa di Bali, yang dibuat pada masa Baginda berkuasa. Jumlahnya
tiada kurang dari 30 buah, 23 buah diantaranya dikeluarkan dalam tahun 1181, kebanyakan diantara
prasasti-prasasti itu menyangkut soal adat-istiadat desa atau pekraman, disamping beberapa buah
prasasti menyangkut soal sengketa mengenai perbatasan. Dapatlah dimaklumi bahwa pada
jamannya Sri Jayakasunu berkuasa, penduduk pulau Bali pernah meganalami suatu serangan
penyakit menular yang menimbulkan banyak korban, disamping tanam-tanaman mereka tiada
38

ORANG-ORANG BALIAGA
menjadi. Dengan sendirinya keadaan itu menimbulkan banyak efek yang merugikan, diantaranya
merusak sendi-sendi adat seperti yang telah ditetapkan di dalam prasasti. Karenanya sudah
seyogianyalah Baginda raja Sri Jayapagus megnadakan tindakan-tindakan penertiban dalam hal itu.
Disamping itu sebuah kitab kuna yang bernama Purana Tatwa menerangkan, bahwa pada tahun
Isaka 1111 (tahun 1189 M) datanglah 7 orang gara-gara Agama dari Jawa ke Bali. Kedatangan
mereka itu ialah untuk menyelenggarakan perayaan besar di Besakih atas udangan Baginda raja
yang berkuasa di . Ketujuh guru-guru Agama tersebut ialah : Mpu Ketak, Mpu Kanandha, Mpu
Wira Adnyana, Mpu With a Dharma, Mpu Ragharunting, Mpu preteka dan Mpu Dangka. Walaupun
didalam kitab Purana Tatwa tersebut, tiada menyebutkan nama raja yang berkuasa di , sudah dapat
lah dipastikan bahwa Baginda itu tiada lain dari Sri Jayapangus yang berkuasa ketika itu.
Bagindalah yang mengundang ketujuh orang guru Agama dari jawa ke yang biasa disebut Sapta
Pandita, Pada waktu itulah dilangsungkan upacara besar di Besakih yang disebut Ekadasa rudra.
Upacara trsebut adalah upacara yang kesebelas kalinya, yang diadakan tiap-tiap 100 tahun sekali.
Selanjutnya diterangkan juga di dalam kitab itu, bahwa Baginda raja Sri Jayapangus beristana di
Pejeng, yang kini bernama desa Pejeng. Kiranya dapatlah dibenarkan keterangan kitab tersebut,
dengan terdapatnya sebuah pura besar yang terletak disitu. Pura itu bernama pura Pusering Jagat,
yang berarti pusat dunia atau pusat kerajaan. Pura itulah lambang kebesaran Baginda berkuasa di ,
tempat sekalian rakyat memusatkan setianya terhadap rajanya.
Demikianlah adanya Baginda berkausa di , kira-kira sejak tahun 1177 sampai tahun 1199.

12. DINASTI WARMADEWA MEROSOT DI BALI


Didalam uraian-uraian yang lalu telah dijelaskan, bahwa raja-raja yang berkuasa di adalah berasal
dari keturunan Warmadewa yang disebut juga dinasti Salonding. Dinasti itu berkuasa di Bali sejak
penghabisan abad ke IX, atau pada tahun 882 M seperti termuat didalam prasasti sukawana,
Debetin, Trunyan, kehen, Gobleg dan Angsarai. Penegak pertamanya adalah Sri Kesari Warmadewa
yang mendirikan istananya di singha Mandawa di lingkungan desa Besakih. Dalam
perkembangannya ternyatalah dinasti ini banyak mengalami perubahan, menurut pasang surutya
perkembangan keadaan di . Lebih-lebih perkembangan keadaan di jawa Timur sangat
mempengaruhi, bahkan dapat menentukan. Perubahan yang paling besar tampak ialah pada
jamannya Gunapryadharmapatni / Dharmodyana Wardana. Semenjak itu kebudayaan Jawa Timur
makin meluas di , terbukti dengan adanya dua macam bahasa yang dipergunakan didalam prasasti-

39

ORANG-ORANG BALIAGA
prasasti. Disamping itujuga diadakan perombakan dibidnag pemeritnahan, sehingga struktur
pemerintahan disesuaikan denanpemerintahan di Jawa Timur. Juga perkawinan yang sering terjadi
antara keturunan Mpu Sendok Dharma Wangsa Erlangga dengan keturunan raja-raja di , lebih
memperjepat merosotnya keaslian dinasti Warmadewa.
Demikianlah sesudah Sri Jayapangus mengakhiri kekuasaannya di kira-kira pada tahun 1199, maka
tersebutlah seorang raja sebagai penggantinya bergelar Sri Ekajaya Lencana. Adanya Baginda raja
tersebut berkuasa di , termuat di dalam prasasti yang masih tersimpan di desa Kintamani. Prasasti
itu bertahun 1200. Menilik dari gelar yang dipergunakan oleh Baginda raja dapatlah dipastikan
bahwa Baginda adalah aputra maahkota dari Sri Jayapangus. Sedangkan gelar Lancana yang
dipergunakan adalah mengambil dari ghelar ibunya yang beraal dari kerajaan (Jawa timur).
Akan tetapi setelah 4 tahun kemudian, tersebutlah didalam sebuah prasasti yang kini masih
tersimpan di pura Keben (Bangli), menyatakan antara lain bahwa pada waktuitu Sri dhanadhiraja
beserta dengan permaisurinya berkuasa di . Lebihjauh prasasti itu menerangkan adanya perayaanperayaan pada beberapa buah pura yang terdapat disitu, diantaranya pura Hiyang Wukir yang
menjadi pemujaan umum bagi penduduk disitu.
Adanya prasasti yang bertahun 1204 itu menunjukkan bahwa didalam waktu yang amat singkat di
bali telah terjadi pergantian kekuasaan. Hingga kinimasih tetap menjadi dugaan para ahli sejarah,
apakah Sri Danadhiraja itu putra mahkota dari Sri Ekajaya Lancana, ataukah dari dinasti lain yang
mengadakan perebutan kekuasaan di . Sementara belum terdapat kepastian, para ahli sejarah
menduga bahwa Seri Dhanadhiraja juga putra Sri Jayapangus yang lahir dari istri selir. Jadi Baginda
raja Sri Dhanadhiraja adalah bersaudara dengan Sri Ekajaya Lancana, hanya ibu Baginda berlainan.
Kemudian denan terdapatnya sebuah prasasti didesa Bulian yang bertahun 1260, menyebutkan
bahwa Baginda raja yang berkuasa di bergelar Bhatara parameswara Sri Hiyangning Hiang
Adidewa Lancana. Memperhatikan gelar yang dipergunakan Baginda itu, jelaslah Baginda putra
mahkota dari Sri Ekajaya Lancana, yang telah berhasil menduduki kerajaan di setelah Baginda raja
Sri Dhanadhiraja.
Akan tetapi ketika tentara kerajaan Singasari menggempur pada tahun 1284, raja yang tertundukkan
itu bergelar Sri Pujungan yang beristana di Pejang atau di desa Pejeng (Gianyar) sekarang. Rupanya
Sri Pujungan juga telah pernah mengadakan perebutan akekuasaan di , dan berhasil menggulingkan
Baginda raja Bhatara parameswara Sri Hiyang ing Hiyang Adidewa Lancana. Setelah berhasil
tentara singasari menaklukan kerajaan di pada tahun 1284, maka dikirimlah pegawai-pegawai tinggi
40

ORANG-ORANG BALIAGA
dari Singasari untuk memerintah di . Kepala Pemerintahan di pegang oleh Kebo Parud dengan
pangkat Raja patih. Pangkat-pangkat lainnya juga mempergunakan nama-nama binatang,
diantaranya : Kebo, Mahisa untuk pangkat patih, Lembu untuk pangkat para Menteri dan Djaran
atau Kuda untuk pangkat para Senapati. Catatan menenai adanya kekuasaan Raja Patih dibawah
pimpinan Kebo parud termuat didalam sebuah prasasti bertahun 1296 yang kini tersimpan di desa
Pengootan (Bangli), dan sebuah lagi yang bertahun 1300 disimpan di desa sukawana (Bangli).
Di atas telah digambarkan, bahwa perkembangan keadaan di Jawa timur sangat mempengaruhi
keadaan di . Demikianlah dengan hancurnya kerajaan singasari di bawah kekuasaan Sri Kertanegara
pada bulan Mei 1292, memberi kesempatan kepada keturunan Warmadewa menyusun kekuatan
untuk mengglingkan kekuasaan Kebo parud di . Bangkitnya kekuasaan di dibawah dinasti
Warmadewa itu dinyatakanoleh w buah prasasti yang tersapat di desa Tjampaga (Buleleng) masingmasing bertahun 1324, dan sebuah prasasti yang terdapat di desa tuimbu (Karangasem) bertahun
1324. Di dalam prasasti-prasasti tersebut dinyatakan, bahwa yang menjadi raja di ketika itu ialah Sri
Maharaja Sri Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa. Rupanya baginda raja Sri Mahaguru
inilah yang menggulingkan kekuasaan Kebo parud, tiada lama sesudah tahun 1300. Sebab sesudah
tahun 1300 itu tiada sebuahpun terdapat peninggalan-peninggalan kuno yang menyatakan Kebo
Parud masih berkuasa di .
Sementara itu kitab-kitab perpustakaan kuna di yang bernama Usana dan Purana Tatwa
menernangkan bahwa pada suatu jaman di pernah bertahta raja Suami-istri yang bergelar Sri
Masula-Masuli. Baginda raja suami istri itu adalah bersaudara kandung, yang lahir bersamaan pada
suatu saat dari sebuah kelapa yang terdapat di pura Batu Madeg di Besakih. Karenanya baginda
suami istri lalu disebut Dalem Luncing. Dalem berarti Susuhunan dan Buncing berarti kawin. ahli
sejarah menafsirkan bahwa Baginda Sri Masula-Masuli yang disebutkan didalam kitab Usana dan
kitab Purana Tatwa itu tiada lain dari Baginda Sri Bharara Mahaguru beserta permaisurinya seperti
tersebut didalam prasasti yang terdapat di desa tumbu (Karangasem). Lebih jauh diterangkan
dalamkitab Usana itu, bahwa kekausaan Baginda Sri Masula-Masuli meliputi , , dan Madura.
Kiranya kekuasaan Baginda yang demikianluasnya dapat dibenarkan, mengingat dengan adanya
kerajaan Majapahit di Jawa tiur yang masih sangat lemah akibat pertentangan yang terjadi disitu
tiada henti-hentinya. Kesempatan itulah yang memungkinkan Baginda Sri Masula-Masuli untuk
memperluas kekuasaanya. Akan tetapi setelah Gajah Mada menjadi Apatih Mangkubui diistana
Majapahit, sukarlah Baginda raja di mempertahankan kekuasannya. Kemerosotan dinasti
Warmadewa yang telah terlihat sejak beberapa keturunan raja-raja yang lalu, kini hampir menjelang
41

ORANG-ORANG BALIAGA
keruntuhannya bersama dengan hancur leburnya istana di Bedahulu. Hingga kini di terdapat sebutan
Manakan Salah atau Makan Buncing. Peraturan itu dikeluarkan pada jamannya Sri Masula-Masuli
berkuasa di , yang maksudnya agar jangan sampai penduduk di menyamai kelahiran Baginda.
Barang siapa melahirkan anak kembar buncing, dinyatakan berdosa dan diangap cemar. Ibu beserta
kedua bayinya itu seketika harus diasingkan kedekat kuburan selama 42 hari. Sesudah itu orangorang desa diwajibkan mengadkan upacara yang disebut Masadi, jalan untuk membersihkan kutuk
dan malapetaka. Tetapi kini peraturan Manakan Salah di Bali sudah tidak terpakai lagi, walaupun
dibeberapa tempat masih ada juga yang melaksanakan.

13. SRI ASTHASURA RATNA BHUMIBANTEN


Pada sebuah pura besar di desa Pejeng (Gianyar) terdapatlah sebuah lukisan kuna, yang berbentuk
mata panah dan orang. Pura tersebut ialah pura Puserin Jagat yang didirikan oleh Sri Jayapangus.
ahli sejarah menerangkan bahwa lukisan tersebut adalah lambang tahun Candra Sangkala, yang
menunjukkan bilangan tahun Isaka 1251 atau 1329 Masehi. Pada waktu itulah dinobatkan seorang
raja di yang bergelar Sri Asthasura Ratna Bhumibanten. Raja tersebut adalah putra Sri MasulaMasuli, yang telah teerkenal degan sebutan Dalem buncing di . Sebuah arca yang terdapat di pura
Tegeh Koripan diatas Gunung Penulisan, adalah melambangkan Baginda raja Sri Asthasura Ratna
Bhumibanten ketika berkuasa di . Arca itu dibuat dalam tahun Isaka 1254 (tahun 1332 M), aseperti
yang tergores pada punggung arca tersebut. Goresan itu merupakan mata, kapak, segara atau
gunung, yang merupakan tahun Candra Sangkala. Baginda juga berasal dari keturunan Warmadewa,
yang menjadi raja terakhir di . Selanjutnya sebuah kitab kuasa yang bernama Udana Jawa,
menerangkan bahwa Baginda tersebut bergelar Sri Gajah Wahana atau Sri Tapolung, serta beristana
di Bheda Ulu. Adapun kisahnya lebih jauh adalah sebagai berikut :
Tersebutlah seorang raja yang amat sakti, bergelar Baginda raja Sri Gajah Wahana, namanya
termasyur diseluruh Nusantara. Baginda beristana di Beha-Ulu, dengan mempunyai 2 orang patih
terkemuka masing-masing bernama : pasung Geragis dan Kebo Iwa. Pasung Gerigis bertepat
tinggal di desa Tengkulak, sedangkan Kebo Iwa bertempat tinggal di desa Blahbatuh. Kedua patih
itu amat setia kepada Baginda raja. Jikalau pasung Gerigis terkenal akan keperwiraanya berperang,
mahir didalam siasat pertempuran, disamping ahli didalam bidang pemerintahan, maka Kebo Iwa
masyur amanya dibidang bangunan-bangunan. Banyak peninggalan bangunan-bangunan kuno di
yang patut dikagumi karena besarnya adalah dibuat oleh Kebo Iwa. Rakyat kagum pula akan
kekuatannya Kebo Iwa, yang sanggup memikul batu-batu besar serta barang-barang berat yang
42

ORANG-ORANG BALIAGA
lainnya. Yang lebih megagumkan lagiialah besarnya tubuh Kebo Iwa, serta tingginya melebihi dari
ukuran manusia biasa. Karenanya seorangpun tiada yang sanggup menandingi kekuatannya kebo
Iwa. Selama hidupnya ia tetap membujang, sebab itu ia disebut Kebo Taruna. Taruna berarti
membujang.
Adapun Baginda Sri Gajah Wahana yang telah termasyug kesaktiannya itu, sudah acap kali pergi ke
sorga menghadap Dewa-Dewa, sambil menikmati keindahan alam disitu. Pada suatu hari, ketika
Baginda hendak kesorga, duduklah Baginda diatas sebuah batu besar di desa Penelokan ditepi
danau Batur. Disitu Baginda mengheningkan cipta, kemudian leher baginda dipenggal oleh pasung
gerigis yang selalu mengawalnya. Melayanglah Kepala Baginda Keangkasa, didorong olehkepulan
asap dari kepundan Gunung Batur. Sedangkan badan Baginda masih kelihatan utuh, tetap duduk
bersila diatas batu besar itu. Akan tetapi sampai matahari hampir terbenam, kepala Baginda belum
juga kunjung datang. Pasung Gegiris medja di cemas, takut kalau-kalau Baginda mendapat bencana
di sorga, sehingga menemui ajalnya disitu. Kebetulan ada w orang yang datang liwat disitu
memikul seekor babi yang amat besar. Babi itu lalu dibeli oleh pasung Gegiris, serta lehernya
segera di penggal. Kemudian kepala babi yang besar itu dilekatkanpada leher baginda, adan
ternyata bangkitlah Baginda dari tempat duduknya. Ketika itujuga datnag kepala Baginda dari
sorga, dan tercengang melihat tindakan pasung Gerigis yang amat gegabah itu. Baginda amat murka
serta mengutuk agar dikemudian hari dikalahkan dengan tipu muslihat oleh musuh. Semenjak itu
Baginda digelari Sri Tapalung atau Dalem Beda Ulu. Tapolung (tapa ulung) berarti tapa Baginda
jatuh, dan Beda-Ulu berarti kepala Baginda raja berbeda, karena Aginda raja berkepala babi. Katakata itu bermaksud memberikan suatu pengertian bahwa Baginda yang dahulunya termasyur akan
kesaktiannya, kini kesaktian Baginda telah hilang lenyap.
Perubahan Baginda yang amat besar itu, menimbulkanpula perubahan didalam sepak terjang
Baginda memerintah pulau . Baginda menjadi lalim dan kejam terhadap rakyatnya. Beberapa
peraturan peraturan dikenakan kepada penduduk, diantaranya sebuahlarangan yang amat keras,
agar jangan sampai penduduk berani melihat wajah Baginda raja. Baginda selalu bersemayam
diatas sebuah panggung yang tinggi, serta siap sedia dengan membawa panah. Keadaan itu
terdengar sampai keistana kerajaan Majapahit. Katanya penduduk selalu diliputi oleh rasa takut,
akibat tindakan Baginda yang amat kejam itu. Kesempatan itulah dipergunakaoleh Gajah Mada,
yang menjadi patih Mangkubumi dikerajaan Majapahit, untuk meninjau serta menaklukan
dikemudian hari.

43

ORANG-ORANG BALIAGA
Pada suatu hari berangkatlah Gajah Mada beserta dengan beberapa pengiringnya menuju pulau .
Mereka mendarat di pantai lebih, dan kemudian menuju kesebuah desa yang teletk disebel;ah timur
Bedulu bersama desa Samprangan. Disitulah Gajah Mada berdiam bersama rombongannya,
menunggu perkenan Baginda raja untuk bisa menghadap. Sementara itu datnglah Pasung Gerigis
kedesa Samprangan menemui Gajah Mada, serta mengeukaan ajaaran-ajaran tentang sikap tiap-tiap
orang yang akan menghadap. Gajah Mada berjanji akanmematuhi segala larangan itu. Sebelum
menghadap keistana Beda-Ulu, Gajah Mada beserta rombongan Majapahit itu diperkenalkan oleh
pasung Gerigis kepada patih kebo Iwa di Blahbatuh. Dari situ mereka bersama-sama pergi kedesa
Tengkulak, singgah dirumah patih pasung Gerigis. Selaku tanda penghormatan atas kedatangan
seorang Patih Mangkubui dari kerajaan majapahit, maka Gajah Mada mendapat sambutan
kenegaraan, serta peladenan yang cukup memuaskan. Beberapa hari kemudian barulah Gajah Mada
diantarkan oleh pasung Gerigis dan Kebo Iwa pergi menghadap keistana Beda Ulu. Mereka bertiga
duduk bersila dihadapan panggung tepat Baginda raja bersemayam, sambil menundukkan kepala
menyatakan horamt khidmatnya. Atas pertanyaan Baginda, Gajah mada lalu menerangkan maksud
kuntungannya ke , tiada lain untuk mengikat tali persahabatan serta perdamaian, atas titah Baginda
raja di Majapahit. Disampaikannya pularasa kekaguman Baginda raja di majapahit,a memandang
kesaktian Baginda yangmulia di , serta kebijaksanaan patih pasung Gerigis didalam membantu
Baginda memutar roda pemerintahan di . Apalagi dengan adanya patih Kebo Iwa, yangmenjadi
tulang punggung kekuatan kerajaan Baginda, sehingga tiap-tiap kerajaan lain pasti akan mengikuti
jajah kerajaan Majapahit untuk ikut menggalang persahabatan dengan kerajaan Baginda di Bali.
Demikian pandainya Gajah mada bertutur kata memikat hati Baginda raja di , akhirnya atas
perohonan Gajah Mada diperkenankanlah patih Kebo Iwa untuk pergi ke Majapahit. Keberangkatan
Kebo Iwa itu nanti, dimaksudkan oleh Gajah Mada sebagai kunjungan balasan. Disamping itu juga
akan diberikan hadian seorang wanita cantik untuk istri Kebo Iwa sendiri, selaku bukti bahwa
Baginda raja di Majapahit mengakui keagungan dan kemuliaan Baginda raja di .
Mendengar pujian dan sanjungan Gajah Mada itu, Baginda raja Sri Tapolung menjadi amat bangga,
karena dimabukan oleh kesaktian yang menyelubungi diri Baginda, selalu tanda kehormatan, Gajah
mada lalu disuguhkan makanan menurut kegearannya. Disapaing daging telur dan kacang-kacang,
disuguhkan pula sayur paku aplecing yang sesitannya panjang-panjang, serta air minum tersedia
dengan kendi. Dihadapan Baginda rajalah Gajah Mada makan. Sikap Gajah Mada yang sejak
semula tunduk menghadap kebawah, kinikadang-kadang berubah. Ketika makan nasi Gajah Mada
masih mampu mempertahankan sikapnya tunduk menghadap ketanah, tetap ketika memakan sayur
44

ORANG-ORANG BALIAGA
paku mapelecing yang sebitannya panjang-panjang, dan ketika meminum air yang tersedia didalam
kendi terpaksalah Gajah Mada menengadah ke atas denan sendirinya terlihatlah wajah Baginda
yang berkepala babi itu. Seketika itujuga Baginda menjadi murka, dan segera ingin melepaskan
anak panahnya. Akan tetapi kekejaman itu tiada jadi dilaksanakan oleh Baginda, mengingat Gajah
Mada sedang makan, dan sebagai utusan Gajah Mada tiada boleh dibunuh. Baginda insyaf dan
mengakui kekalahannya berhadapan dengan Gajah mada yang amat cerdik itu. Akhirnya Gajah
Mada diperkenankan mohon diri pulang kembali ke Jawa, beserta denan seorang patih kebanggaan
penduduk Bali Jalah Kebo Iwa.
Setelah tiba di Majapahit Kebo Iwa mendapat sabutan yang meriah, selaku Patih dari kerajaan Beda
Ulu yang mengadakan kunuhngan balasan. Akhirnya pada suatuhari diajaklah Kebo Iwa pergi untuk
menemui seorang gadis yang akan mejadi calon istrinya. Dari jauh tampaklah seorang gadis yang
berdiri dibelakang tembok pekarangan rumah. Sebenarnya gadis itu adalah sebuah patung yang
dibuat dari anyaman bambu, yang telah dihiasi sangat indah. Gadis itulah katanya mengajukan
sebuah permohonan yang disampaikan kepada Kebo Iwa melalui seorang budaknya, untuk
dibuatkan sebuah suur permandian dikaki Gunung Kelud. Mendengar permohonan itu Kebo Iwa
lalu menyanggupi, serta segera berangkat menuju Gunung Kelud. Disitulah Kebo Iwa menggali
sebuah suur, dengan mempergunakan kekuatan kukunya yang tajam dan kuat itu. Sementara itu
Gajah mada telah menyiapka beribu-ribu rakyatnya yang membawa kapur, guna menimbuni sumur
itu sampai penuh. Kebo Iwa akhirnya mati lemas. Semanjak itu Gunung Keloud seing meletus dan
menimbulkan malapetaka, karena kutukan Kebo Iwa yang tiada berdosa.
Demikianlah antara lain termuat didalam kitab Usana Jawa yang menerangkan adanya sebuah
kerajaan di Bali, yang berpusat di Beda Ulu. Sungguh sulit menerima keseluruhannya keterangan
kitab usaha Jawa tersebut karena itu sebagian besar merupakan gongeng dan tahayul belaka.
Walaupun demikian, kitab trersebut dapat pula dipergunakan sebagai bahan perbandingan di dalam
meneliti suatu perkembangan sejarah di . Mengenai gelar Dalem Beda Ulu, yang diberikan kepada
Baginda raja Sri Gajah Wahana, bukanlah sesungguhnya Baginda raja di berkepala babi. Beda Ulu
berarti tidak mengakui pimpinan. Yang dimaksud tiada lain, bahwa Baginda raja Sri Gajah Wahana
tidak mau tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Baginda raja di menghendaki agar kerajaannya
tetap berdaulat, dan sejajar dengan kerajaan-kerajaan lain yang berada di atas bui ini. Sedangkan
gelar Tapolung bukanlah sesungguhya tapa Baginda telah jatuh, yang berarti kesaktian Baginda
berkurang. Gelar itumenunjukkan bahwa kerajaan Baginda dapat ditaklukan, terbukti dari hasil
penyerangan Majapahit ke , seperti yang akan diuraikan pada pasal yang berikut ini.
45

ORANG-ORANG BALIAGA
Kecuali keteranganyang termuat didalam itab Usana Jawa tersebut, dengan terdapatnya sebuah arca
yang terletak di halaman pura Penataran Sasih di desa Pejeng (/gianyar), dapat lah dipergunakan
sebagai bahan yang lebih meyakinkan. Pada punggung artca itu terdapat tulisan-tulisan kuna, yang
berbunyi : Kreta rasa tinggal ing wong. Ternyatalah tulisan-tulisan itu menunjukkan tahun Isaka
1264 (tahun 1342), yang dinyatakan denan Candra Sangkala. Kreta berarti r, rasa berarti 6, tingal
berarti w dan wong berarti 1. Pada tahun itulah Baginda raja Sri Anthasura Ratna Bhuibanten atau
yang lebih terkenal dengan sebutan Sri Gajah Wahana, atau Sri Tapolung mangkat. Bagindalah raja
terakhir di , dari keturunan raja-raja yang berasal dari dinasti Warmadewa, yang menguasai pulau
sejak penghabisan abad ke IX (tahun 882)

46

También podría gustarte