Está en la página 1de 28

PERAN PEMUDA & MAHASISWA DALAM

MEMBANGUN KEMANDIRIAN BANGSA


DALAM ASPEK TEKNOLOGI DAN ENERGI
MASA DEPAN
Daftar Isi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Nasional

Siswono : Kemandirian Bangsa Harus Ditegakkan


Masad Masrur : Gerakan Menanm Sejuta Pohon Untuk Hijaunya Jakarta.
Bambang Ismawan : Kemandirian Suatu Refleksi
Kwiek Kian Gie : Membangun Kemandirian Bangsa
Masad Masrur : Membangun Kemandirian dan Karakter Bangsa
Ichary Soekirno : Mempertanyakan Kemandirian Bangsa
Masad Masrur : Pemuda, Di antara Pragmatisme dan Idealisme
Mumu Muhajir : Quo Vadis Kemandirian Bangsa

25/03/07 18:32

1. Siswono: Kemandirian Bangsa Harus DIbangkitkan


Jakarta (ANTARA News) - Penasihat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Siswono
Yudhohusodo,menegaskan bahwa semangat kemandirian bangsa dan nasionalisme harus dibangkitkan
kembali agar bangsa ini tidak terus-menerus terbenam dalam keterpurukan.
Tanpa semangat itu, maka Indonesia akan semakin jauh tertinggal di banding bangsa lain yang semula
berada di garis belakang Indonesia, seperti Vietnam dan Bangladesh dan Mongolia, ujarnya di Jakarta,
akhir pekan lalu.
Siswono menjelaskan bahwa peringkat berbagai bidang Indoensia semula berada tidak terlalu jauh
dengan negara-negara maju. Peringkat kualitas Indonesia berada di atas Vietnam atau Bangladesh.
Namun Indonesia justru banyak mengalami kemerosotan prestasi yang pernah dicapai.
Indonesia yang negara agraris justru menjadi pengimpor sapi sebanyak 600 ribu ton/tahun. Indoensia
juga pengimpor beras, jagung dan kedelai serta gandum. Sebanyak 25% daging sapi Indonesia harus
diimpor dari negara lain.
Laporan UNDP tahun 2004 menunjukkan, Human Development Index (HDI) Indoneia terus merosot dan
berada di 111 negara dari 175 negara. Posisi itu jauh lebih rendah dibanding semua negara ASEAN.
Misalnya, Malaysia menempati peringkat 59 dan Thailand di peringkat 76.
Indonesia yang merupakan produsen dan eksportir gula terbesar di dunia di era penjajahan Belanda,
justru kini mengimpor sedikitnya 30% dari seluruh kebutuhannya.
"Kemandirian bangsa harus dibangkitkan kembali dengan kepercayaan diri," katanya.
Dia mencontohkan, India adalah salah satu negara yang tetap mengedepankan kemandirian dan
kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa.
"Saya baru saja dari India. Produk otomotif India 90% produksi sendiri. Walaupun tidak terlalu nyaman,
tetapi produk sendiri," katanya.
India baru saja menemukan menemukan lahan tambang. Semua dikerjakan dan diolah sendiri. "Kita
sebaliknya. Ketemu tembaga dikasih Freeport. Ketemu minyak di Cepu di kasih Exxon," katanya.
Padahal dengan dukungan tenaga-tenaga ahli dan permodalan yang tersedia, Indonesia mampu
mengolah sendiri, seperti dilakukan beberapa perusahaan India dan RRC.
China dan India yang sedang menanjak menapak sukses adalah bukti inti kemajuan suatu bangsa yang
mengandalkan kemandirian dan kepercayaan diri. Kemandirian politik merupakan cara untuk bisa
melepaskan ketergantungan dan intervensi. Kemandirian politik itu bisa diwujudkan setelah adanya
kemandirian ekonomi.
"Kita menyaksikan bahwa makna kemandirian ekonomi yang dianut India dan China bukan kemandirian
yang bersifat mengisolasi diri. Dengan cerdik, RRC dan India memanfaatkan globalisasi ekonomi untuk
meningkatkan perekonomian dan kualitas hidup rakyatnya," demikian Siwono. (*) Copyright 2008
ANTARA

by masadmasrur @ 2007-11-21 - 02:50:18

2.

Gerakan Menanam Sejuta Pohon Untuk Hijaunya Jakarta


Oleh Masad Masrur

Istilah lingkungan atau lingkungan hidup seringkali bagi bangsa Indonesia tidak lain merupakan
Wawasan Nusantara, yang menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera
dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang memberikan kondisi alamiah dan kedudukan
dengan peranan strategis yang tinggi nilainya. Masalah lingkungan hidup di Indonesia adalah
banjir, kemarau panjang, tsunami, gempa bumi, gunung berapi, kebakaran hutan, gunung
lumpur, tanah longsor.
Gejala alam ini sama sekali bukan semata-mata karena aktivitas alam tanpa faktor manusia
yang menyebabkannya. Banyak aktivitas manusia yang mengganggu keseimbangan
lingkungan alam yang mengakibatkan permasalahan lingkungan yang akut. Masalah
lingkungan hidup di Indonesia saat ini, yang rata-rata diakibatkan oleh kelalaian manusia antara
lain adalah penebangan hutan secara liar/pembalakan hutan; polusi air dari limbah industri dan
pertambangan; polusi udara di daerak perkotaan (Jakarta merupakan kota dengan udara paling
kotor ke 3 di dunia); asap dan kabut dari kebakaran hutan; kebakaran hutan permanen/tidak
dapat dipadamkan; perambahan suaka alam/suaka margasatwa; perburuan liar, perdagangan
dan pembasmian hewan liar yang dilindungi; penghancuran terumbu karang; pembuangan
sampah B3/radioaktif dari negara maju; pembuangan sampah tanpa pemisahan/pengolahan;
semburan lumpur liar di Sidoarjo, Jawa Timur.
Permasalahan tersebut bukan saja makin memperparah kondisi lingkungan hidup, tetapi kondisi
bumi akibat efek rumah kaca juga makin menghawatirkan. Efek rumah kaca atau global
warming disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-gas
lainnya di atmosfer, akibat kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara dan
bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk
mengabsorbsinya. Energi yang masuk ke bumi mengalami : 25% dipantulkan oleh awan atau
partikel lain di atmosfer 25% diserap awan 45% diadsorpsi permukaan bumi 5% dipantulkan
kembali oleh permukaan bumi. Energi yang diadsoprsi dipantulkan kembali dalam bentuk
radiasi infra merah oleh awan dan permukaan bumi.
Dampak pemanasan global Menurut perkiraan, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu bumi
rata-rata 1-5C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan
menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5C sekitar tahun 2030. Dengan
meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan semakin banyak gelombang panas
yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu
permukaan bumi menjadi meningkat. Meningkatnya suhu permukaan bumi akan
mengakibatkan adanya perubahan iklim yang sangat ekstrim di bumi. Hal ini dapat
mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga mengurangi
kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer. Pemanasan global
mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan
naiknya permukaan air laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air
laut sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan
negara kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar.
Pemanasan global dan memperbaiki lingkungan hidup manusia hanya bisa dilakukan dengan
cara; Pertama, membatasi emisi CO2 dan menyembunyikan karbon yang juga membantu
mencegah karbon dioksida memasuki atmosfer atau mengambil CO2 yang ada. Kedua,
menghemat energi terutama mingak bumi dan memanfaatkan energi alternatif terutama dari
energi terbarukan. Keempat, memanfaatkan kekayaan laut sebagi seumber energi alternatif.
Dan keenam, yang paling penting adalah memanfaatkan tumbuhan sebagai pencegah
sekaligus sumber energi baru.
Pohon-pohon yang ditanam dalam aksi ini memang tak hanya berbiji, namun beberapa di
antaranya tergolong pohon langka. Sebut saja, palem sadeng (Livistona rotundifolia), pohon
kepel (Stelechocarpus burahol), sawo kecik (Manilkara kauki) atau trembesi (Samanea saman).
Ada pula kersen (Mutingia calabura), cemara angin (Casuarinas avisatifolia), tanjung
(Mimusops elengi), dan beringin (Ficus benyamina). Pohon yang ditanam umumnya telah
berusia lebih dari 2 tahun dengan tinggi rata-rata 2 meter.*

[Artikel - Th. II - No. 3 - Mei 2003]


www.ekonomirakyat.org

Bambang Ismawan
3.

KEMANDIRIAN, SUATU REFLEKSI

Kemandirian (self-reliance) adalah suatu konsep yang sering dihubungkan dengan pembangunan.
Dalam konsep ini program-program pembangunan dirancang secara sistematis agar individu maupun
masyarakat menjadi subyek dari pembangunan. Walaupun kemandirian, sebagai filosofi pembangunan,
juga dianut oleh negara-negara yang telah maju secara ekonomi, tetapi konsep ini lebih banyak
dihubungkan dengan pembangunan yang dilaksanakan oleh negara-negara sedang berkembang.
Mengapa persepsi ini muncul? Penjajahan yang berlangsung lama, yang dengan efektif menggunakan
kekuasaan feodal pribumi, telah meninggalkan warisan berupa tatanan ekonomi sosial serta mentalitas
masyarakat yang tidak siap mengemban kemerdekaan yang telah diraih. Dalam kondisi semacam inilah
negara-negara sedang berkembang bergaul dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju secara
ekonomi. Tidak bisa lain, untuk mengejar ketertinggalannya di bidang ekonomi, negara-negara tersebut
harus melakukan pelbagai program pembangunan. Sayangnya, pembangunan yang mereka laksanakan
seringkali terfokus hanya pada bidang ekonomi, dengan sasaran utama meningkatkan produksi dan
pendapatan, dan jarang memperhatikan faktor manusia sebagai subyek. Dalam praktik sering kita jumpai
martabat manusia merosot hingga sekedar menjadi alat untuk mencapai tujuan ekonomi.
Lebih ironis lagi, pembangunan di bidang ekonomi ini tidak menjamin terwujudnya perbaikan ekonomi
masyarakat secara merata. Dua hal yang menjadi penyebabnya adalah: pertama, pembangunan
ekonomi itu hanya mengutamakan pertumbuhan. Kedua, tidak efisiennya sistem birokrasi yang
dikembangkan oleh pemerintah. Ketidakefisienan ini telah menimbulkan kesenjangan dalam kepemilikan
akses atas pembangunan. Dengan kata lain, hanya individu-individu atau kelompok masyarakat tertentu
yang memkmati hasil pembangunan tersebut. Golongan yang diuntungkan ini adalah mereka yang dekat
dengan elit kekuasaan, atau mereka yang secara sosial ekonomi memang mampu meraih kesempatan
yang ada.
Tentu saja golongan yang diuntungkan ini merupakan golongan kecil dari masyarakat. Sebagian besar
masyarakat, karena berada dalam tingkat sosial ekonomi yang memprihatinkan, tidak mampu mengambil
manfaat atas hasil-hasil pembangunan. Golongan terakhir ini hidup di perkampungan-perkampungan
kumuh di perkotaan dan di perdesaan. Karena tekanan struktur kekuasaan, sosial, ekonomi, maupun
politik begitu besar, mereka tertinggal jauh dari kemajuan ekonomi yang semakin menyulitkan kehidupan
sehari-hari.
Karena itulah, satu-satunya tujuan hidup bagi golongan miskin hanyalah menyelamatkan diri dari tekanan
hidup dengan jalan sangat selfish. Bila kemiskinan yang mereka tanggungkan sudah demikian parah,
seperti kasus kemiskinan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, sebagaimana dilaporkan oleh tim peneliti
Universitas Satya Wacana, Salatiga (1980), mereka bahkan juga kehilangan kepercayaan pada diri
sendiri. Para petani di daerah itu menolak menerima uluran bantuan berupa temak kambing.
Melihat uraian sekilas di atas, tampak konsep kemandirian menjadi faktor sangat penting dalam
pembangunan. Konsep ini tidak hanya mencakup pengertian kecukupan diri (self-sufficiency) di bidang
ekonomi, tetapi juga meliputi faktor manusia secara pribadi, yang di dalamnya mengandung unsur
penemuan diri (self-discovery) berdasarkan kepercayaan diri (sef-confidence). Kemandirian adalah satu
sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi pelbagai masalah demi mencapai
satu tujuan, tanpa menutup diri terhadap pelbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan.
Dalam pengertian sosial atau pergaulan antar manusia (kelompok, komunitas), kemandirian juga
bermakna sebagai organisasi diri (sef-organization) atau manajemen diri (self-management). Unsur-unsur
tersebut saling berinteraksi dan melengkapi sehingga muncul suatu keseimbangan. Pada aras ini,
pencarian pola yang tepat, agar interaksi antar unsur selalu mencapai keseimbangan, menjadi sangat
penting. Setiap keseimbangan yang dicapai akan menjadi landasan bagi perkembangan berikutnya.
Proses kemandirian adalah proses yang berjalan tanpa ujung.
Dalam konteks pembangunan, sikap mandiri harus dijadikan tolok ukur keberhasilan, yakni apakah rakyat
atau masyarakat menjadi lebih mandiri (baca: bebas) atau malah semakin bergantung. Misalnya, apakah
petani kita lebih bebas atau malah semakin bergantung pada basil industri (seperti pupuk), apakah
industri kita lebih bebas atau malah semakin bergantung pada bahan baku impor, atau apakah negara
kita lebih mampu memupuk modal atau malah semakin bergantung pada utang luar negeri.
Sebagai implikasi dari saling berkaitnya unsur-unsur dalam kemandirian, proyek-proyek di bidang
ekonomi bagi golongan miskin harus dirancang secara tepat, sesuai dengan tingkat keseimbangan yang

ada pada mereka. Kemiskinan yang mereka tanggungkan tidak boleh kita lihat semata sebagai masalah
fisik, melainkan juga harus dilihat sebagai tantangan atau dorongan bagi hadirnya harapan baru atau
kondisi yang lebih baik. Proyek yang dibangun, dengan dernikian, harus dapat dijangkau oleh
kernampuan yang ada pada mereka. Dengan kata lain, proyek itu harus memungkinkan golongan miskin
ikut berpartisipasi, baik pada tingkat implementasi maupun tingkat pengambilan keputusan, sehingga
mereka memiliki landasan bagi terbentuknya proses self-management.
Agar interaksi unsur-unsur dalam kemandirian menjadi efektif dan perkembangan ke arah selfish bisa
dihindari, perkembangan pribadi individu yang positif bisa dibangun. lewat KSM (Kelompok Swadaya
Masyarakat) yang dibentuk dan diselenggarakan secara wajar dan bertahap. Dalam kelompok semacam
inilah proses belajar-mengajar akan berlangsung, di mana kesenjangan antara penerima pelajaran dan
pengajar yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial-ekonomi, bisa dihindari. Dengan
demikian, kecenderungan ke arab selfish akan terkikis dan diganti oleh empati yang akan menumbuhkan
rasa kebersamaan. Bila kemampuan individu yang bertindak sebagai murid dari proses perkembangan
golongan miskin. Proses ini menuntut komitmen, dedikasi, dan pandangan hidup yang baik dari
pendamping. Artinya, mereka harus memperhatikan proses kemandirian yang terjadi dalam KSM seperti
yang terjadi pada dirinya sendiri.**
Drs. Bambang Ismawan, MS, Ketua Yayasan Bina Swadaya, Sekretaris Jenderal Gema PKM (Gerakan
Bersama Pengembangan Keuangan Mikro) Indonesia dan Sekjen HKTI.

[Artikel - Th. I - No. 7 - September 2002]


www.ekonomirakyat.org

Kwik Kian Gie


4.

MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA

Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Panitia Nasional Peringatan 100 tahun Bung
Hatta, dan merasa sangat terhormat dijadikan pembicara utama dalam kesempatan ini. Kepada
Keluarga Besar Bung Hatta saya mengucapkan selamat atas ulang tahunnya yang ke 100. Tidak
berlebihan rasanya kalau dikatakan bahwa bangsa Indonesia beruntung dikaruniai oleh Tuhan
salah seorang putera terbaiknya yang memenuhi panggilan zamannya dengan memerdekakan
bangsa Indonesia, yang memainkan peran penting dalam meletakkan landasan dan dasar-dasar
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa mengurangi ruang lingkup kiprah Bung Hatta
dalam pembentukan negara bangsa, perannya terbesar adalah dalam bidang ekonomi dengan
pikiran-pikirannya tentang bagaimana mengisi kemerdekaan dengan pembangunan ekonomi
yang mewujudkan kemakmuran dan keadilan dalam pembagian manfaatnya.

Secara pribadi saya merasa bersyukur dan merasa bangga bahwa saya memperoleh kesempatan
beberapa kali berdiskusi dengan Bung Hatta tentang berbagai hal, antara lain tentang alma mater kita,
yaitu Nederlandsche Handelshoogeschool yang meningkatkan diri menjadi Nederlandse Economische
Hogeschool dan kemudian memperluas dirinya menjadi Erasmus Universiteit Rotterdam sampai
sekarang. Kesemuanya ini membuat saya lebih-lebih lagi merasa bahagia dapat bersumbang saran pada
rangkaian diskusi hari ini.
Para Hadirin Yth.,
Aneh rasanya bahwa 57 tahun setelah kita merdeka dan berhasil membentuk negara bangsa yang
berbentuk kesatuan dalam kemajemukan, kita merasa perlu berbicara tentang "Membangun Kekuatan
Nasional untuk Kemandirian Bangsa." Bukankah kita sudah lama merdeka dan berdaulat yang dengan
sendirinya juga mandiri ?
Marilah kita lihat kenyataan dewasa ini. Negara kita yang kaya akan minyak telah menjadi importir neto
minyak untuk kebutuhan bangsa kita. Negara yang dikaruniai dengan hutan yang demikian luas dan
lebatnya sehingga menjadikannya negara produsen eksportir kayu terbesar di dunia dihadapkan pada
hutan-hutan yang gundul dan dana reboisasi yang praktis nihil karena dikorup. Walaupun telah gundul,
masih saja terjadi penebangan liar yang diselundupkan ke luar negeri dengan nilai sekitar 2 milyar dollar
AS. Sumber daya mineral kita dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab dengan manfaat terbesar
jatuh pada kontraktor asing dan kroni Indonesianya secara individual. Rakyat yang adalah pemilik dari
bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memperoleh manfaat yang sangat
minimal.
Ikan kita dicuri oleh kapal-kapal asing yang nilainya diperkirakan antara 3 sampai 4 milyar dollar AS.
Hampir semua produk pertanian diimpor. Pasir kita dicuri dengan nilai yang minimal sekitar 3 milyar dollar
AS. Republik Indonesia yang demikian besarnya dan sudah 57 tahun merdeka dibuat lima kali bertekuk
lutut harus membebaskan pulau Batam dari pengenaan pajak pertambahan nilai setiap kali batas waktu
untuk diberlakukannya pengenaan PPn sudah mendekat. Semua orang menjadikan tidak datangnya
investor asing menjadi ancaman untuk semua sikap yang sedikit saja mencerminkan pikiran yang
mandiri.
Industri-industri yang kita banggakan hanyalah industri manufaktur yang sifatnya industri tukang jahit dan
perakitan yang bekerja atas upah kerja dari para majikan asing dengan laba yang berlipat-lipat ganda dari
upah atau maakloon yang membuat pemilik industri perakitan dan industri penjahitan itu cukup kaya atas
penderitaan kaum buruh Indonesia seperti yang dapat kita saksikan di film "New Rulers of the World"
buatan John Pilger. Pembangunan dibiayai dengan utang luar negeri melalui organisasi yang bernama
IGGI/CGI yang penggunaannya diawasi oleh lembaga-lembaga internasional. Sejak tahun 1967 setiap
tahunnya pemerintah mengemis utang dari IGGI/CGI sambil dimintai pertanggungan jawan tentang
bagaimana dirinya mengurus Indonesia ? Anehnya, setiap tahun mereka bangga kalau utang yang
diperoleh bertambah. Mereka merasa bangga dapat memberikan pertanggungan jawab kepada IGGI
ketimbang kepada parlemennya sendiri. Utang dipicu terus tanpa kendali sehingga sudah lama
pemerintah hanya mampu membayar cicilan utang pokok yang jatuh tempo dengan utang baru atau
dengan cara gali lubang tutup lubang. Sementara ini dilakukan terus, sejak tahun 1999 kita sudah tidak
mampu membayar cicilan pokok yang jatuh tempo. Maka dimintalah penjadwalan kembali. Hal yang
sama diulangi di tahun 2000 dan lagi di tahun 2002. Kali ini pembayaran bunganya juga sudah tidak
sanggup dibayar sehingga juga harus ditunda pembayarannya. Jumlahnya ditambahkan pada utang
pokok yang dengan sendirinya juga menggelembung yang mengandung kewajiban pembayaran bunga
oleh pemerintah.
Bank-bank kita digerogoti oleh para pemiliknya sendiri. Bank yang kalah clearing dan harus diskors
diselamatkan oleh Bank Indonesia dengan menciptakan apa yang dinamakan fasilitas diskonto. Setelah

itu masih kalah clearing lagi, dan diselamatkan lagi dengan fasilitas diskono ke II. Uang masyarakat yang
dipercayakan kepada bank-bank dalam negeri dipakai sendiri oleh para pemilik bank untuk mendanai
pembentukan konglomerat sambil melakukan mark up. Pelanggaran Legal Lending Limit dilanggar
selama bertahun-tahun dalam jumlah yang menghancurkan banknya dengan perlindungan oleh Bank
Indonesia sendiri. Maka ketika krisis ekonomi melanda Indonesia di akhir tahun 1997, terkuaklah betapa
bank sudah hancur lebur.
Kepercayaan masyarakat menurun drastis. Rupiah melemah dari Rp. 2.400 per dollar menjadi Rp.
16.000 per dollar. Dalam kondisi yang seperti ini Indonesia yang anggota IMF dan patuh membayar
iurannya menggunakan haknya untuk minta bantuan.
Kita mengetahui bahwa paket bantuan dari IMF disertai dengan conditionalities yang harus dipenuhi oleh
pemerintah Indonesia. Namun tidak kita perkirakan semula bahwa isinya demikian tidak masuk akal dan
demikian menekan serta merugikannya. Juga tidak kita perkirakan pada awalnya bahwa kehadiran IMF di
Indonesia menjadikan semua lembaga internasional seperti CGI, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia
bersatu padu dalam sikap dan persyaratan di bawah komando IMF. IMF mensyaratkan bahwa
pemerintah melaksanakan kebijakan dan program yang ditentukan olehnya, yang dituangkan dalam
Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) atau lebih memasyarakat dengan nama Letter
of Intent atau LOI.
Bank Dunia setiap tahunnya juga menyusun apa yang dinamakan Country Strategy Report tentang
Indonesia yang harus dilaksanakan kalau tidak mau diisolasi oleh negara-negara CGI yang sampai
sekarang setiap tahun memberikan pinjaman kepada Indonesia. Justru karena jumlah utang
keseluruhannya sudah melampaui batas-batas kepantasan dan prinsip kesinambungan, untuk sementara
dan entah sampai kapan kita tidak dapat hidup tanpa berutang terus setiap tahunnya kalau kita tidak mau
bahwa puluhan juta anak miskin kekurangan gizi dan putus sekolah.
Kalau kita baca setiap LOI dan setiap Country Strategy Report serta setiap keikut sertaan lembagalembaga internasional dalam perumusan kebijakan pemerintah, kita tidak dapat melepaskan diri dari
kenyataan bahwa yang memerintah Indonesia sudah bukan pemerintah Indonesia sendiri. Jelas sekali
bahwa kita sudah lama merdeka secara politik, tetapi sudah kehilangan kedaulatan dan kemandirian
dalam mengatur diri sendiri.
Para Hadirin yang terhormat,
Kondisi ini sudah merupakan lingkaran setan yang disebabkan karena terjerumusnya pemerintah kita ke
dalam lubang yang disebut jebakan utang atau debt trap. Karakteristiknya adalah yang secara populer
dapat digambarkan dengan kata "dilematis" atau "maju kena mundur kena." Memerintah memang selalu
harus memecahkahkan masalah-masalah dilematis seperti ini, tetapi masalahnya tidak mendasar,
masalahnya adalah pilihan-pilihan yang sifatnya teknokratik. Kondisi dilematis yang kita hadapi sekarang
adalah kehilangan kemandirian dalam merumuskan kebijakan. Karena itu masalahnya menjadi sangat
mendasar, apakah putera puteri terbaik bangsa kita yang masih belum menjual dirinya untuk dijadikan
kroni atau komprador dari bangsa-bangsa lain dibenarkan untuk hanya bertopang dagu, ataukah
melakukan terobosan-terobosan untuk keluar dari situasi dan kondisi yang serba tidak lagi berdaulat dan
mandiri.
Hari ini kita berbicara tentang "membangun kekuatan nasional untuk kemandirian bangsa." Apa yang
tersurat dan tersirat dari tema pokok diskusi hari ini ? Ada dua hal. Yang satu adalah bahwa kita memang
sama-sama merasakan atau bahkan meyakini bahwa setelah 57 tahun merdeka kita telah kehilangan
kemandirian. Yang lain adalah bahwa kita tidak mau menerimanya, sehingga kita merasa perlu

membangun kekuatan nasional untuk kemandirian bangsa. Membangun kekuatan nasional tidak dapat
dilepaskan dari semangat nasionalisme. Pengertian nasionalisme itu memang dipertanyakan dalam dunia
yang sedang dalam arus besar globalisasi. Banyak kaum teknokrat kita yang mempertanyakan apakah
nasionalisme masih relevan sekarang ini ? Maka masalah ini akan kami bahas cukup panjang lebar.
Kalau selama penjajahan yang tiga setengah abad lamanya itu kita dihadapkan pada kekuatan senjata
kaum penjajah, yang kita hadapi sekarang bukanlah senjata, melainkan pikiran-pikiran yang membuat
kita tidak dapat bergerak secara merdeka. Mengapa ? Bukankah kita negara yang sudah merdeka dan
berdaulat penuh ? Memang, tetapi kalau kita berani melanggar pikiran-pikiran yang dominan atau main
stream thoughts dari masyarakat internasional, kita dianggap melakukan pelanggaran kontrak, dianggap
melakukan contract breuk yang harus dihukum dengan diisolasinya Indonesia dari masyarakat
internasional. Beranikah kita menghadapi isolasi dengan segala konsekwensinya ? Musuh kita untuk
meraih kembali kemandirian bangsa bukan hanya aturan main yang ditentukan oleh lembaga-lembaga
internasional, tetapi di dalam Indonesia diperkuat oleh sekelompok elit intelektual bangsa Indonesia yang
besar pengaruhnya dalam pembentukan opini publik, betapapun tidak masuk akalnya pikiran-pikiran
mainstream yang menjelma menjadi aturan, konvensi, dogma dan doktrin yang bagaikan sabda Tuhan
yang mutlak.
Kita tidak mungkin memperoleh kembali kemandirian kalau kita tidak berani melakukan terobosan yang
inovatif dan kreatif. Inovasi dan kreativitas memang selalu harus menerobos penghalang yang sudah
menjadi aturan main, konvensi, dogma dan doktrin. Namun untuk melakukan itu semuanya ada biayanya,
ada resikonya dalam bentuk kesengsaraan sementara. Ketika itu nanti terjadi, adalah para komprador
dan kroni bangsa kita sendiri yang menghujat dan menakut-nakuti melalui penguasaan dan pengendalian
pembentukan opini publik. Ini tidak mengherankan. Dalam setiap zaman selalu ada saja pengkhianat
bangsa, komprador dan kroni yang dengan bangga dan dengan senang hati menyediakan dirinya untuk
melayani kepentingan kekuatan-kekuatan global ketimbang membela kepentingan rakyatnya sendiri.
Dalam bidang ekonomi kelompok ini sangat kuat karena mereka berkesempatan membangun jaringan
nasional maupun internasional. Mereka adalah Mafia Ekonom Orde Baru.
Maka untuk meraih kemandirian, kita harus menggalang kekuatan nasional untuk melibas atau paling
tidak mengkerdilkan pengaruh Mafia Ekonom Orde Baru itu. Mereka tidak punya pendirian. Mereka
sudah mulai berpengaruh ketika Bung Karno mendirikan KOTOE. Mereka menjadi pemegang kendali
mutlak selama zaman Orde Baru. Dalam era Gus Dur, mereka melekatkan diri melalui pembentukan
berbagai dewan penasihat, tim asistensi dan sebagainya yang disponsori dan dipaksakan kepada Gus
Dur oleh kekuatan-kekuatan internasional. Dalam era Megawati sekarang ini, mereka bahkan
mengendalikan banyak Eselon I dan II dari semua departemen dengan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB)
yang rapi bagaikan kabinet. Para angggotanya tidak patuh kepada Presiden Megawati, tetapi kepada
Presidennya sendiri yang dilengkapi dengan para Menteri tanpa bentuk pula, tetapi de facto yang
berkuasa atas bagian-bagian penting dari birokrasi resmi.
Bagaimana caranya ? Slogan para komprador itu adalah bahwa nasionalisme sudah mati dan tidak
relevan lagi dengan arus globalisasi yang semakin hari semakin deras. Doktrin mereka adalah bahwa
Indonesia harus menjadi bagian dari borderless world, tidak boleh memasang pagar apapun juga untuk
melindungi dirinya sendiri. Sistem lalu lintas devisa haruslah bebas mengambang total, BUMN harus
dijual kepada swasta, sebaiknya swasta asing, karena hanya merekalah yang mampu mengurus
perusahaan. Pendeknya liberalisasi total, globalisasi total, dan asingisasi total. Slogan propaganda
mereka adalah "Apakah A Seng lebih baik daripada Asing ?", dan "BUMN minta diinjeksi uang oleh
pemerintah, tetapi perusahaan asing membayar pajak kepada pemerintah."

Maka dalam rangka membangun kekuatan nasional, yang pertama harus kita lakukan adalah
menumbangkan doktrin-doktrin anti nasionalisme yang terus menerus tanpa bosannya harus kita ulangi
lagi dan ulangi lagi. Cara inilah yang diterapkan oleh Bung Karno dalam menggalang kekuatan nasional.
Mafia Ekonom Orde Baru paham betul tentang hal ini. Itulah sebabnya mereka mencemooh yang ingin
menggalang kekuatan nasional melalui kampanye atau pengulangan tentang yang salah dan
perbaikannya akan diperjuangkan sebagai membosankan, tidak mempunyai pokok pembicaraan lain,
sudah kuno, dan seterusnya.
Marilah kita bahas apakah benar bahwa nasioanlisme memang sudah mati dan tidak relevan lagi ? Tidak
dapat dipungkiri bahwa tatanan dunia telah berubah banyak, dan globalisasi adalah hal yang riil. Namun
kalau dikatakan bahwa nasioanlisme sudah mati dan tidak relevan lagi adalah kesalahan besar. Lagi-lagi
adalah kelompok Mafia Ekonom Orde Baru yang sangat gigih menyuarakan bahwa nasionalisme adalah
bagaikan katak dalam tempurung, hanya dianut oleh orang-ornag kuno yang tidak berpendidikan dan
sudah sangat ketinggalan zaman tentang bagaimana dunia bekerja.
Presiden George W. Bush, baik dalam tutur katanya maupun dalam simbolisme-nya jelas seorang
nasionalis sejati. Setiap hari dia menyematkan pin bendera Amerika Serikat pada dadanya, hal yang
dilakukan oleh banyak dari para menterinya. Lebih dari itu, Bush menganjurkan supaya setiap orang
Amerika setiap harinya menyematkan bendera Amerika di dadanya, dan hampir setiap department store
menjualnya. Sebaliknya dengan susah payah saya mencari pin bendera merah putih di Jakarta dan tidak
berhasil dengan kwalitas yang baik. Akhirnya saya membelinya dari Amerika melalui internet. Sekarang
dengan mengacu pada pengalaman di tahun 1942, semua majalah di Amerika dianjurkan untuk
memasang bendera Amerika pada cover-nya. Kata-katanya adalah : "July 1942 United we stand. In July
1942, America's magazine publishers joined together to inspire the nation by featuring the American flag
on their covers. Be inspired." Bagaimana Mafia Ekonom Orde Baru ? Beranikah Anda menghujat Amerika
sebagai ketinggalan zaman, katak dalam tempurung, tidak mengerti globalisasi dan seterusnya ?
Pada tanggal 18 Maret 2002 Uni Eropa berkumpul di Barcelona menyelenggarakan konperensi tingkat
tinggi yang kesimpulannya penuh dengan nasionalisme Eropa. Memang sudah bukan negara-negara
Eropa secara individual, tetapi menjadi Uni Eropa. Jelas sekali semangat kebangkitan kembali
nasioanlisme Eropa yang terang-terangan membandingkan dirinya dengan Amerika Serikat dengan
semangat yang tidak mau kalah. Kita tidak perlu mengemukakan fakta-fakta betapa Malaysia, Jepang
dan RRC tidak pernah tidak nasionalistis.
Jauh sebelum itu, Edith Cresson sebagai Menteri Perdagangan Perancis membeli paberik elektronik
Thomson dengan teknologi primitif untuk dijadikan BUMN. Paberik ini dibeli dan dijadikan BUMN karena
kalah bersaing dengan Jepang dan mengalami kerugian besar. Ketika ditanya oleh parlemen Perancis
mengapa, karena tidak menguasai hajat hidup orang banyak, dijawab bahwa dia tidak bisa melihat
pasaran cosumers electronics Perancis di dominasi oleh Jepang. Bukankah ini nasionalisme ? Ataukah
harus dikatakan bahwa parlemen Perancis adalah katak dalam tempurung ? Philips membeli Grundig
yang adalah saingannya dan hampir bangkrut. Ketika saya tanyakan langsung kepada Prof. Dekker,
Komisaris Utama Philips dia menjawab bahwa dia tidak bisa menerima pasaran elektronik Jerman
didominasi oleh Jepang.
Ketika Hollywood dibeli oleh Sony, Sony dibuat bangkrut oleh para artis yang menandatangani kontrak
dan terang-terangan tidak muncul ketika harus dibuat filmnya. Mereka menantang Sony supaya semua
artis dituntut. Apakah sikap ini bukan nasionalisme Amerika ? Dan apakah ini nasionalisme sempit ?
Ketika IMF menekan kami untuk membebaskan bea masuk beras dan gula sampai nol persen, Eropa,

Amerika dan Jepang memberlakukan bea masuk yang tinggi untuk produk-produk pertanian demi
melindungi para petaninya. Apakah itu bukan nasionalisme, yang bahkan sangat tidak adil dan mau
menangnya sendiri ?
Dengan mengatakan ini saya menjalani resiko disebut kampungan, karena hanya dapat menyebutkan
fakta-fakta dari negara lain, tetapi tidak mempunyai daya nalar untuk menjelaskan mengapa nasionalisme
masih relevan dalam era globalisasi yang semakin dipicu oleh revolusi micro chips dan revolusi
telekomunikasi yang masih belum berakhir ?
Mungkin saya kampungan. Namun izinkanlah saya memeras otak mencoba memahami fenomena yang
sedang berlangsung tanpa memusnahkan bangsa sendiri, dan tanpa membuat bangsa kita menjadi kuli
di negaranya sendiri dan menjadi bangsa kuli dari bangsa-bangsa lainnya di dunia.
Para Hadirin Yth.,
Tadi telah saya katakan bahwa kita tidak mungkin membangun kekuatan nasional tanpa dilandasi oleh
semangat nasionalisme, karena semangat nasionalisme itulah yang merupakan ruhnya kekuatan
nasional. Tetapi nasionalisme itu sendiri sekarang di persimpangan jalan. Maka marilah kita berupaya
memperoleh kejelasan terlebih dahulu tentang hal ini.
Memang harus diakui bahwa walaupun kita telah merdeka 57 tahun lamanya, pengertian dan
penghayatan nasionalisme oleh banyak orang, dibawah sadarnya masih banyak didominasi oleh
nasionalisme pra kemerdekaan, baik yang membela maupun yang menentangnya, termasuk Mafia
Ekonom Orde Baru. Karena itulah Mafia Ekonom Orde Baru tidak dapat membayangkan adanya
perasaan nasionalisme yang dapat bersinergi dengan globalisasi. Nasionalisme pra kemerdekaan
fokusnya sederhana dan tunggal, yaitu menumbangkan resim kolonial untuk menjadi negara yang
merdeka dan berdaulat. Apakah founding fathers kita tidak pernah memikirkan apa yang harus dilakukan
oleh bangsa Indonesia setelah memperoleh kemerdekaannya, serta apa tujuan yang lebih lanjut dari
sekedar merdeka secara politik ? Kalau kita mempelajari sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita,
jelas sekali jangakauan pemikiran para founding fathers kita yang sangat luas dan jauh kedepan. Bung
Hatta sendiri merupakan monumen dalam pemikiran pembangunan ekonomi. Tetapi karena perjuangan
kemerdekaan itu sendiri adalah perjuangan yang panjang dan sangat berat, fokus segala pemikiran dan
upaya memang seolah-olah hanya terpusat pada kemerdekaan politik belaka. Kemudian setelah kita
merdeka, kita langsung dihadapkan pada masalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan sebagai
nation state yang kokoh dan bersatu padu. Segala pemikiran dan upaya disedot oleh pemahaman dan
penghayatan negara bangsa, atau oleh nation and character building. Yang saya rasakan, betapa
sedikitnya generasi saya (apalagi generasi muda sekarang) yang memahami dan menghayati betapa
sulitnya menempa penduduk negara kepulauan kita menjadi satu bangsa kesatuan, terutama setelah
dijajah dengan politik divide et empera selama 3,5 abad. Kurangnya penghayatan inilah yang membuat
banyak di kalangan elit kita mencemooh Bung Karno sebagai diktator demagoog yang hanya pandai
mengombang ambingkan sentimen massa dengan retorikanya yang kosong dan keblinger, tetapi tidak
becus mengurus perekonomian negaranya. Namun banyak juga yang bisa melihat sisi lain dari periode
kepemimpinannya, yaitu panggilan sejarah untuk memimpin di dalam sebuah periode pembentukan
persatuan dan kesatuan negara bangsa yang baru saja merdeka, tetapi bangsa yang sangat pluralistik
dengan kepulauannya, yang selama 3,5 abad dijajah dengan cara divide et empera tadi. Maka bagi saya,
periode antara 1945 sampai 1966 adalah periode perjuangan keras dan sulit, melalui segala trial and
errors-nya untuk tiba pada pembentukan nasion dan karakter bangsa dengan negara kesatuan yang
mengenal sistem kabinet presidensiil, yang terobsesi terhadap pengambilan keputusan secara
musyawarah dan mufakat, tetapi tidak mengharamkan pemungutan suara kalau alternatifnya adalah
tanpa keputusan atau kekalutan. Dan karena itu, menjadi negara bangsa yang demokrasinya bisa

menghindari diktatur mayoritas dan tirani minoritas. Bangsa yang tidak menganut faham bahwa
konsensus nasional adalah 50 % ditambah 1. Bangsa yang secara moril melalui obesesi musyawarah
mufakat selalu mendengarkan dan mencoba meyakinkan minoritas sampai habis-habisan sebelum
mengambil jalan pintas melalui pemungutan suara. Bangsa, yang partai mayoritasnya tidak
meninggalkan ruang sidang untuk ke WC atau minum kopi selama partai minoritas berbicara, dan hanya
masuk untuk menolak segala usulannya. Tetapi bangsa yang mayoritasnya terobsesi untuk mencapai
keputusan secara musyawarah dan mufakat, sehingga mendengarkan dan menanggapi minoritas secara
sungguh-sungguh, walaupun minoritasnya hanya 10% saja. Pembentukan bangsa bercirikan pluralistik
yang mempunyai satu bahasa nasional. Bangsa dengan toleransi beragama yang sulit dicari duanya.
Masih segar di dalam ingatan kita keinginan Quebec di Kanada untuk memisahkan diri karena kesatuan
bahasa mereka yang lain dengan bagian-bagian lain dari Kanada, yaitu Perancis versus Inggeris. Masih
kita saksikan sampai sekarang betapa bangsa Irlandia yang letaknya di Eropa Barat itu masih saling
membunuh karena perbedaan agama. Masih segar juga di ingatan kita betapa bangsa Belgia yang
sekecil itu dan juga terletak di Eropa Barat masih saling membunuh karena perbedaan bahasa di
kalangan mereka. Kalau kita tempatkan kondisi kita dalam perspektif ini, sia-siakah periode antara 1945
dan 1966 yang diwarnai oleh pergulatan keras dan tampak semerawut itu untuk pembentukan nasion dan
karakter ? Dan apakah itu bukan nasionalisme yang masih besar dampak poistifnya sampai hari ini ?
Bung Karno juga dicemooh sebagai orang yang suka gemerlapan, suka terhadap proyek-proyek mercu
suar. Yang dijadikan ajang ejekan ketika itu adalah pembangunan Hotel Indonesia, Tugu Monumen
Nasional dan jalan-jalan raya Thamrin, Jenderal Sudirman, Jenderal Gatot Subroto, bypass ke Tanjung
Priok dan sebagainya. Tetapi begitu berkuasa, para pengejek itu langsung saja membangun proyekproyek yang jauh lebih banyak dan jauh lebih megah daripada era Bung Karno. Kantor-kantor pemerintah
dibangun sebagai gedung-gedung pencakar langit yang sangat mewah, walaupun dibiayai dengan utang.
Sebaliknya, dapatkah kita membayangkan apa jadinya Jakarta sekarang tanpa jalan-jalan tersebut ?
Dalam waktu singkta, jalan-jalan yang dinamakan mercu suarnya Bung Karno itu menjadi macet, dan
para teknokrat Mafia Ekonom Orde Baru merasa wajar-wajar dan sah-sah saja membangun jalan tol
yang dimonopoli oleh Ibu Tutut Soeharto. Bisakah kita membayangkan bagaimana Jakarta tanpa Hotel
Indonesia sebelum munculnya hotel-hotel berbintang lainnya ? Hotel Indonesia juga menjadi kerdil dalam
waktu singkat, dan para teknokrat Mafia Ekonom Orde Baru itu merasa wajar-wajar dan sah-sah saja
bahwa kredit dalam jumlah raksasa dipakai untuk mendanai pembangunan hotel-hotel mentereng,
terutama Hotel Grand Hyatt dengan serampangan yang akhirnya menjadi macet semuanya. Setelah
semua bank rusak, para teknokrat Mafia Ekonom Orde Baru juga merasa normal-normal saja bahwa
pemerintah menginjeksi dengan surat utang yang berpotensi membengkak sampai menjadi kewajiban
membayar dengan jumlah ribuan trilyun rupiah. Mengapa ? Karena IMF menganggap wajar. Dengan
mengemukakan ini semuanya, saya hanya ingin mengingatkan betapa tipisnya apresiasi dan
penghayatan kita terhadap perspektif sejarah dari nasionalisme, yang dari periode ke periode mempunyai
panggilan zamannya sendiri-sendiri, yang membutuhkan gaya kepemimpinan yang sendiri-sendiri pula,
dan yang mempunyai prioritasnya sendiri-sendiri pula, karena keterbatasan kita sebagai manusia untuk
melakukan segalanya seketika.
Bagi saya, periode antara 1945 sampai 1966 adalah periode pembentukan negara bangsa yang produktif
dan telah menghasilkan kehidupan bernegara dan berbangsa seperti yang saya gambarkan tadi.
Eksesnya ada, tetapi zaman apa yang tidak membawa ekses ? Periode ini adalah tahap akhir dari
nasionalisme lama.
Dengan nasion seperti itu sebagai landasan, kita memulai periode baru di tahun 1966 dibawah
kepemimpinan Pak Harto. Periode ini bercirikan pembangunan ekonomi secara pragmatik dan
teknokratik. Stabilitas sebagai syarat mutlak bagi pembangunan ekonomi yang berkesinambungan
diserahkan kepada ABRI. Strategi pembangunan diserahkan kepada kaum teknokrat yang berintikan

para cendekiawan dari Universitas Indonesia. Kekalutan moneter ditanggulangi dengan terbosoanterobosan sanering uang panas. Inflasi yang 600% diturunkan sampai pada proporsi yang wajar melalui
penarikan uang dengan insentif pemutihan modal dan bunga deposito yang sampai 60% setahun.
Hubungan dengan lembaga-lembaga internasional dan dengan negara-negara Barat yang membeku
dibuka kembali, yang memungkinkan mengalirnya bantuan luar negeri dan investasi modal asing.
Berbagai insentif bagi penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri diberikan, seperti yang
tertuang di dalam undang-undang PMA dan PMDN. Hasilnya menjakjubkan. Angka-angka statistik
mengenai pertumbuhan meyakinkan, sedangkan secara fisik dapat kita saksikan, bahwa praktis tidak ada
lagi jalan yang berlubang-lubang. Sandang dan pangan serba cukup kalau dibandingkan dengan situasi
tahun 1965-1966. Di kota-kota kecil dan pedesaan kita saksikan kemakmuran dan kesejahteraan yang
mencolok kalau dibandingkan dengan tahun 1965-1966. Di perkotaan, terutama di Jakarta, asalkan kita
tidak memasmuki daerah-daerah kumuh, kita tidak merasa berada di negara yang sedang berkembang.
Jalan-jalan macet dengan mobil yang harganya ratusan juta sampai milyaran rupiah. Para entrepreneur
dan eksekutif berlalu lalang di restoran-restoran dan hotel-hotel termahal yang harganya dicantumkan
dalam US $, dan tidak kalah mahal dengan negara-negara maju.
Indonesia yang mengenal sistem lalu lintas devisa bebas dan membuka pintu lebar-lebar terhadap modal
asing memang terkait erat dengan intensifnya sebuah gejala yang kita kenal dengan globalisasi. Seorang
eksekutif dari perusahaan transnasional garmen di New York yang mengendalikan perusahaannya di
seluruh dunia melalui tilpun, facsimile, computer dan modemnya, lebih tergantung pada para
perancangnya yang ada di Itali, para akhli marketingnya yang ada di Paris, para pemasok mesin yang
ada di Jepang dan para konglomerat eksportir tukang jahit yang ada di Jakarta, daripada perusahaanperusahaan yang ada di tetangganya di New York. Banyak dari wiraswasta kita yang lebih tergantung
pada sumber dana dan pasar internasional daripada sumber dana dan pasar domestik. Banyak
usahawan kita yang bermitra dengan perusahaan-perusahaan atau para hartawan internasional, yang
beraneka ragam tingkat kemandiriannya di dalam perusahaan patungan itu. Perusahaan
transnasionalnya merasa dia lihay karena bisa menggunakan orang sangat ternama menjadi
kompradornya. Sebaliknya orang Indonesia yang bersangkutan sangat bangga, bahwa dia bisa menjadi
kaya tanpa modal dan tanpa konsep, asalkan nurut saja dengan keinginan mitra asingnya. Mereka
berpendidikan Barat, bisa bergaul dan berbahasa Inggeris dengan fasih. Perilaku dan tata nilainya
mengenai apa yang sopan dan apa yang tidak sopan sudah Barat. Basa basi dan humornya sudah Barat.
Dia adalah kosmopolit yang universal. Di luar negeri, terutama di negara-negara maju dan kaya, dia
mempunyai villa yang mentereng dan mobil yang mahal.
Dalam suasana seperti ini lalu muncul kelompok cukup berpengaruh yang mulai beranggapan bahwa
nasionalisme sudah mati. Nasionalisme adalah mencapai kemerdekaan politik. Urusan mempertahankan
kemerdekaan supaya tidak di aneksasi oleh negara lain adalah urusan ABRI yang mereka gaji melalui
pembayaran pajak. Urusan keamanan dan kententeraman adalah urusan polisi yang juga mereka gaji
melalui pembayaran pajak. Demikian juga dengan para birokrat yang menjaga, supaya kehidupan ini
menjadi nyaman, tenteram dan damai, supaya mereka bisa berkiprah secara kontinu. Ya, itu semuanya
diakui. Tetapi terkadang dirasakan menjengkelkan karena memeras. Maka kalau perlu, digantilah fungsi
douane dengan SGS.
Tetapi mereka adalah kelompok kosmopolit yang universal. Mereka yang mengendalikan arus barang,
arus jasa dan arus uang yang tidak mengenal batas-batas negara. Merekalah yang membangkitkan
pendapatan dengan jaringan nasional maupun jaringan internasionalnya. Mereka yang mengalami setiap
menit, bahwa uang tidak mengenal batas-batas negara. Negara bangsa adalah mesti, karena biasanya
memang harus ada, walaupun nyatanya batas-batas politiknya pun bisa berubah-ubah seperti yang
sedang terjadi di Eropa, baik Barat maupun Timur. Negara bangsa atau nation states mempunyai

kehidupannya sendiri, sedangkan satuan-satuan produksi, distribusi dengan jaringan internasionalnya


adalah corporate states yang batasan-batasannya tidak sama dengan batasan-batasan wilayah geografis
dan politik. Karena itu, bagi mereka nation states haruslah berfungsi dan bersifat melayani corporate
states, harus ondergeschikt pada corporate states.
Mereka heran apabila dalam zaman seperti ini masih ada orang yang betreriak nasionalisme dan
patriotisme. Apa yang mau dijadikan sasaran patriotisme-nya ?
Walaupun ada, dan bahkan cukup banyak dan cukup besar lobi dan pengaruhnya dari kelompok yang
baru saya gambarkan tadi, tetapi di tengah-tengah bangsa kita toh masih ada yang berpendapat dan
berkeyakinan bahwa nasionalisme dan patriotisme masih relevan. Saya termasuk kelompok ini. Maka
menjadi menarik apa argumentasinya ? Punyakah kita argumentasi yang sekuat argumentasi mereka ?
Bukankah kaum nasionalis di zaman sekarang orang-orang kerdil, sempit seperti katak di dalam
tempurung ? Perlukah manusia merasa mempunyai ikatan sebagai bangsa, kalau dunia ini sudah terkait
dengan komunikasi dan transparansi yang demikian intens-nya ? Memang manusia selalu membutuhkan
kelompok. Tetapi bukankah kelompok ini diikat dengan kepentingan materi melalui uang yang konvertibel
di seluruh dunia ? Bukankah kesetiaan kita yang relevan adalah kesetiaan kepada coprorate state-nya
masing-masing yang bisa mempunyai markas besar di mana saja atas dasar pehitungan untung rugi
materialistik dan pragmatik ?
Kalau memang ada ikatan dalam rangka negara bangsa atau nation state yang bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan meyakinkan, itulah nasioanlisme baru yang bisa menjawab
tantangan zaman sekarang. Adakah itu ? Bagaimana gambarannya, apa bentuknya dan apa
argumentasinya ? Marilah kita telusuri.
Izinkanlah saya memulai dengan dialog dalam kampanye pemilu yang untuk pertama kalinya saya alami
di dalam hidup saya, yaitu di bulan Maret tahun 1987 di Petak Sinkiang, Jakarta. Ketika kepada massa
saya tanyakan, kalau saya hidup di dalam keluarga yang sangat rukun dan harmonis, apakah berarti kita
memusuhi keluarga tetangga kita ? Massa menjawab serentak dengan "tidaaak". Lalu saya tanyakan
lagi, kalau satu RT sangat rukun, saling membantu dan harmonis, apakah RT itu mesti bermusuhan
dengan RT lainnya ? Dijawab lagi "tidaaak". Karena dalam rangka kampanye, lalu saya tanyakan lagi,
apakah kalau warga PDI bersatu padu, memperkuat diri, memperbaiki diri, saling asah, asih dan asuh,
apakah dengan sendirinya bermusuhan dengan PPP dan GOLKAR ? Dijawab lagi dengan "tidaaak".
Saya bertanya lagi, bagaimana kalau partai politik, RT, RW dan keluarga kita bubarkan saja, karena toh
tidak relevan ? Dengan serentak dijawab lagi : "tidaaak". Setibanya di rumah saya merenung, mengapa
saya tanyakan yang terakhir, yaitu apakah tidak lebih baik dibubarkan saja kalau tidak berhadapan
dengan musuh bersama ? Saya tiba pada kesimpulan, bahwa di bawah sadar, saya ternyata kerdil,
karena saya hanya melihat manfaat pembentukan kelompok kalau menghadapi musuh. Saya tidak
melihat bahwa pembentukan kelompok yang mempunyai kesamaan, apapun kesamaan itu, ternyata
mempunyai daya sinergi untuk membangkitkan hal-hal yang baik dan berguna bagi umat manusia. Tetapi
massa yang "bodoh" itu, secara naluriah ternyata pandai. Maka mereka berpendapat, bahwa walaupun
tidak ada musuh, pembentukan kelompok tetap perlu, tetap tidak perlu dibubarkan. Berlakukah opini yang
demikian itu bagi negara bangsa ?
Maka yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah negara bangsa yang sudah tidak mempunyai
musuh penjajah lagi masih berguna ? Apakah negara bangsa yang kecuali tidak dijajah, juga semakin
lama semakin tidak mempunyai perbedaan ideologi lagi dengan bangsa-bangsa lainnya, masih relevan
dipertahankan ? Beberapa entrepreneur dan eksekutif tadi mengatakan masih perlu, tetapi hanya untuk
menjaga ketertiban, menjaga keamanan dan keselamatan bagi dirinya, serta membangun infra struktur

yang dibutuhkan oleh corporate state-nya. Maka baginya, nation state haruslah tunduk dan hanya
melayani corporate state yang mereka miliki dan kendalikan.
Tadi telah saya katakan bahwa saya bukan penganut faham yang demikian. Saya tetap yakin, bahwa
manusia adalah makhluk sosial, yang selalu membutuhkan identifikasi dengan kelompok yang
mempunyai kesamaan-kesamaan tertentu. Kesamaan yang paling mendasar adalah kesamaan senasib
sepenanggungan dan atas dasar ini mempunyai kehendak membentuk negara bangsa. Kelompok
sebagai bangsa selalu mempunyai naluri mengambil nilai tambah dari bangsa lainnya. Caranya yang
paling primitif adalah peperangan fisik, saling memusanahkan dan saling menghalau, supaya
memperbesar lahan nafkahnya. Peperangan-peperangan yang demikian adalah peperangan-peperangan
kecil dari suku-suku primitif atau tribeswar. Dalam bentuknya yang sudah lebih modern lagi, negara
bangsa yang lebih kuat menaklukkan dan menjajah bangsa lainnya dengan senjata. Tujuan akhirnya
adalah melakukan penghisapan nilai tambah dari negara yang terjajah. Maka kolonialisme menjadi mode
di mana-mana di seluruh penjuru dunia, dan kita menjadi korban Belanda selama 3,5 abad. Dengan
dimensi yang lebih modern dan lebih besar lagi, Jerman Nazi di belahan Eropa dan Jepang di belahan
Asia Timur ingin menundukkan bangsa-bangsa di sekitarnya untuk mengambil nilai tambah dari seluruh
Eropa bagi Jerman dan di seluruh Asia Timur Raya bagi Jepang. Jepang, bahkan ingin melebarkan
sayapnya lagi ke Pasifik dengan menggempur Pear Harbour. Berkecamuklah Perang Dunia ke II yang
diakhiri dengan bom atom yang dahsyat. Setelah itu, terbentuk pengelompokan-pengelompokan antar
negara dengan blok-blok superpowers, NATO dan Pakta Warsawa, masing-masing dibawah pimpinan
Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mereka mulai melakukan perlombaan persenjataan. Tetapi senjatanya
sudah bukan bom atom lagi, melainkan yang lebih dahsyat lagi, yaitu bom dan rudal nuklir. Kalau sampai
senjata itu dipakai di dalam pertempuran dengan skala global, akan musnahlah semua kehidupan di bumi
ini. Jepang dan Jerman yang dikalahkan dalam perang dunia ke II nampaknya yang paling jeli mengenali,
bahwa pengambilan nilai tambah dari bangsa lain tidak bisa lagi dilakukan dengan senjata. Karena
senjatanya sudah nuklir dengan daya musnah yang sangat dahsyat, pengambilan nilai tambah melalui
penjajahan dengan senjata yang mengundang peperangan nuklir tidak akan terjadi. Tidak akan terjadi,
karena manusia juga mempunyai naluri mempertahankan diri. Maka Jepang dan Jerman, tetapi terutama
Jepang yang paling mengerti dan segera mempraktekkan bahwa pengambilan nilai tambah dari bangsabangsa lain memang tidak berbeda dengan peperangan antar bangsa, tetapi senjatanya harus diganti
dengan senjata teknologi dan manajemen. Divisi-divisi militernya harus diganti dengan perusahaanperusahaan transnasional. Kegiatan intelijen sangat penting, tetapi yang dicuri sekarang adalah rahasia
membuat micro chips, dan mencuri teknologi paling canggih.
Mereka membuat dirinya unggul dalam produksi, distribusi, dalam pemenuhan kebutuhan manusia
seluruh jagad, dan melalui cara ini selalu sangat jeli dan tajam menggait nilai tambah yang setinggitingginya. Caranya sangat beragam disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara bangsa yang sedang
"dikerjain". Yang masih primitif dijadikan ajang mencari bahan baku dan pasaran bagi barang jadinya.
Yang lebih canggih disuruh menjadi tukang jahit. Yang buruhnya masih murah dimasuki dalam bentuk
merelokasi industrinya yang di negaranya sendiri sudah usang. Kalau sudah sangat canggih seperti
Eropa Barat dan AS dimasuki dengan investasi langsung, membeli real estate, membeli salah satu studio
terbesar di Hollywood, dan seterusnya dan sebagainya. Caranya bermitra juga sangat luwes. Yang bisa
dijadikan komprador boneka ya dijadikan kopmrador. Yang agak pandai dan ingin mempunyai suara
sedikit dalam pengambilan keputusan ya dijadikan eksekutif sesuai kemampuannya. Tetapi selalu
didasarkan atas perhitungan yang tajam. Senjatanya, sekali lagi, adalah manajemen dan teknologi.
Maka tidak tertutup kemungkinan bahwa nilai tambah yang diraih dari negara-negara terbelakang oleh
negara-negara maju sangat besar. Mungkin sekali jauh lebih besar daripada ketika menjajah model kuno
zaman kolonial abad ke 18.

Tetapi di dalam penampilannya ada perbedaan yang sangat besar. Kalau dulu yang terjajah merasa
sangat dihina, merasa sakit dan juga secara materi merasa sengsara. Sekarang lain lagi. Yang dijajah
adalah negara yang sudah merdeka dan berdaulat. Elit yang berkuasa tidak merasa dihina. Mereka
menjadi kaya dan mentereng karena korupsi, walaupun pada hakekatnya adalah komprador suruhannya
belaka. Tetapi kalau yang menjadi suruhan didukung oleh pemerintah dari negara yang merdeka, dan toh
bisa menjadi kaya raya, dan dengan kekayaannya ini lalu bisa sangat bergaya di negaranya sendiri
maupun di mana saja di seluruh penjuru dunia, penggaitan nilai tambah yang demikian bisa dirasakan
sangat nyaman oleh yang sedang di eksploitasi.
Dari uraian tadi jelas, bahwa percaturan dunia diwarnai oleh hubungan antar negara yang semuanya
sudah merdeka secara politik, menyempitnya perbedaan ideologi antar negara, sedang berlangsungnya
proses regionalisasi negara bangsa di mana-mana, menciptakan pengelompokan-pengelompokan baru
atas pertimbangan yang lebih banyak di dominasi oleh pertimbangan ekonomnis, tetapi di motori oleh
semangat nasioanlisme baru dengan daerah geografis yang lebih luas.
Nasionalisme baru adalah nasionalisme yang mengenali dengan tajam interaksi antarbangsa zaman
sekarang dan mampu mengantisipasi perkembangannya. Maksudnya tidak hanya memantau sambil
menutup dirinya, tetapi ikut bermain di dalam percaturan dan interaksi antar bangsa di dunia. Namun
orientasi dari pengenalan dan kewaspadaan ini bukan untuk kemakmuran orang seorang, melainkan
untuk seluruh bangsanya seadil mungkin. Semanagt nasioanlisme baru dalam menciptakan dan merebut
nilai tambah tidak mau kalah dengan bangsa lain, tetapi tidak melalui penutupan diri, melainkan melalui
semangat saling mengungguli.
Dengan demikian, seorang nasionalis baru adalah orang yang menghitung dengan tajam dan enggan
menerima tawaran menjadi komprador mitra dagang asing, kalau dari perhitungannya dia tahu bahwa
nilai tambah secara tidak adil dan tidak seimbang lebih menguntungkan mitra asingnya daripada
bangsanya. Seorang nasionalis baru adalah orang yang merasa sangat terganggu ketika di luar negeri
menyaksikan alangkah kalahnya negaranya sendiri dalam segala bidang, dalam kemakmuran, dalam
penguasaan teknologi dan manajemen, dalam kebersihan, dalam keadilan sosialnya, dan
menterjemahkan rasa malu itu ke dalam semangat tidak mau kalah dan ingin mengejar ketinggalannya.
Orang yang bukan nasionalis baru adalah orang yang ketika menyaksikan semuanya itu lalu
berkeinginan menetap saja di luar negeri, atau tidak menetap, tetapi membeli rumah, mobil, minta izin
tinggal, supaya dari waktu ke waktu bisa menikmati kemakmuran negara lain itu, dan memikirkan
bagaimana dia bisa meningkatkan kemakmurannya di luar negeri yang sudah nyaman dengan menggait
nilai tambah dari negaranya sendiri, kalau perlu hanya sebagai komprador saja. Seorang nasionalis baru
ketika mengunjungi paberik langsung melakukan catatan-catatan dan pemotretan-pemotretan dengan
semangat ingin meniru membuat barang. Orang yang bukan nasionalis baru hanya berkeinginan
memilkiki produk untuk konsumsinya sendiri supaya bisa lebih bergaya. Seorang yang bukan nasionalis
baru tanpa perasaan terganggu memakai barang mewah buatan luar negeri dengan bangganya,
sedangkan nasionalis baru juga memakainya, tetapi selalu diliputi perasaan penasaran mengapa
bangsanya tidak bisa membuat barang yang sama. Seorang yang bukan nasionalis baru mau saja
bermitra dengan perusahaan asing untuk menggait nilai tambah bagi si asing tanpa perasaan terganggu.
Seorang nasionalis baru mungkin juga melakukan dan berbuat yang sama, tetapi selalu diganggu oleh
perasaan penasaran, mengapa dia tidak bermitra juga dengan perusahaan asing di negara si asing juga,
supaya sama derajatnya. Seorang nasionalis baru berusaha keras supaya memperlakukan para akhli
Indonesia sama dan sederajat dalam perlakuan, dalam kepercayan dan dalam penggajian dengan para
akhli asing, asalkan pendidikannya di sekolah yang sama di luar negeri, dan pengetahuan yang
dimilikinya maupun kepandaiannya sama. Seorang yang bukan nasionalis baru cenderung masih dilekati

oleh jiwa yang terjajah, yang selalu lebih menghargai para akhli asing, terutama yang bule, walaupun
pilihan yang dihadapinya, yang bangsanya sendiri juga tamatan dari sekolah yang sama, dan bisa
menunjukkan bahwa dia paling sedikit sama pandainya, sama pengalamannya, dan lebih mengenal
Indonesia daripada para akhli asing itu.
Karena nasionalisme baru begitu terkait dengan interaksi bangsa-bangsa lain, ekspor memegang
peranan penting. Kalau kita analisa tahapan-tahapan kemampuan sesuatu bangsa dalam ekspor, bisa
kita bedakan sebagai berikut :
1. Mengekspor barang buatannya sebagai "tukang jahit". Design, spesifikasi, cara membuatnya, mesinmesinnya, prosedur produksi dan administrasinya, bahan bakunya, semuanya ditentukan oleh
perusahaan asing yang akan menampung produknya untuk dipasarkan di luar negeri. Merk juga harus
memakai merk dari prinsipal. Untuk jasanya, mitra Indonesia yang "tukang jahit" ini memperoleh imbalan
sekedarnya. Biasanya sangat kecil. Tetapi dari bekerja sebagai "tukang jahit" ini, dia menguasai
pengetahuan dan ketrampilan untuk membuat produk yang eksak sama. Maka dia mulai meningkatkan
dirinya ke dalam tahapan yang berikutnya, yaitu
2. Membuat barang yang eksak sama, tetapi memakai merknya sendiri. Dengan demikian ternyata
bahwa harga pokoknya jauh lebih rendah dari harga yang dijual di luar negeri dengan merk prinsipalnya.
Jadi dia sekarang sudah bisa membuat barang yang kwalitasnya eksak sama, tetapi dengan memakai
merknya sendiri.
Ini adalah tindakan yang sangat prinsipiil dan krusial, karena dia sekarang dipaksa untuk bisa
meyakinkan konsumen di luar negeri, bahwa produknya tidak kalah dalam kwalitas, tetapi sangat menang
murah dalam harga. Hanya merknya yang masih belum terkenal. Dia harus melakukan promosi dan
advertensi supaya merknya dikenal dan diakui sebagai sama baiknya dengan merk lain yang ditiru.
Tahap berikutnya adalah :
3. Dia mulai memasukkan features, kemampuan-kemampuan tambahan dari produk yang tadinya ditiru
100 %. Contohnya adalah PC buatan Taiwan, yang meniru IBM, tetapi ditambah kemampuannya,
sedangkan harganya jauh lebih murah. Tindakan ini memperkuat kedudukannya di pasar. Tahapan
selanjutnya adalah :
4. Dia sudah berani merubah design produknya supaya tampak lebih indah dan lebih cantik. Dia sudah
mulai berani beradu dalam bidang estetika.
5. Dia melakukan penelitan dan pengembangan sendiri, sehingga untuk barang yang fungsinya sama,
yaitu memenuhi kebutuhan manusia akan barang yang dihasilkannya, dia sudah mendasarkan diri pada
penemuan dan terbosoan teknologi sendiri. Misalnya, TV yang sama-sama TV-nya sudah meningkat dari
sistem analog menjadi sistem digital. Musik yang tadinya atas dasar pita diganti menjadi piringan laser,
dan sekarang compact disc.
Jelas bahwa untuk meningkatkan kemampuan dari tahapan ke tahapan seperti yang digambarkan tadi,
orang membutuhkan dedikasi semangat yang luar biasa besarnya. Juga membutuhkan berani
mempertaruhkan modalnya untuk pnelitian dan untuk merugi kalau gagal.
Pertanyaannya adalah kekuatan apa yang bisa membuatnya demikian, kalau dia sebagai komprador,
sebagai tukang jahit saja sudah bisa menjadi sangat kaya ? Kekuatan penggerak atau driving force ini
bagi bangsa Jepang dan Jerman jelas adalah obsesi untuk unggul, obsesi supaya seluruh bangsanya
disegani dan dihargai di mana-mana diseluruh penjuru dunia. Mereka adalah nasionalis modern. Orang
yang bukan nasionalis baru sudah akan sangat puas dengan menjadi kaya sebagai komprador.
Kebanggaannya adalah kebanggaan karena dia kaya, dan karena itu bisa hidup di luar dengan gaya
orang-orang di luar negeri yang sudah maju. Dia cenderung mengindentikkan dirinya dengan bangsa
yang sudah maju di negaranya. Walaupun tidak suka, dia memaksakan dirinya minum wine, lebih
menyukai steak, dan bahkan tartar atau daging mentah serta bekecot dengan nama yang lebih keren
atau escargot. Dia berbuat sebisanya supaya bisa berbicara mengenai musik klasik Barat, supaya bisa
berbicara mengenai lukisan. Dia tidak mempunyai kebutuhan supaya dengan pengalamannya dan
kontaknya meningkatkan kemampuan seluruh bangsanya supaya bisa menjadi bangsa yang lebih

disegani oleh bangsa-bangsa lain.


Sampai sekarang saya hanya berbicara mengenai nasionalisme baru dalam kaitannya dengan
percaturan ekonomi dan bisnis dunia, karena dengan telah lama merdekanya Indonesia, dan dengan
semakin tiadanya perbedaan ideologi antar bangsa, kegiatan bangsa-bangsa lebih terpusat pada
perolehan nilai tambah dari mana saja.
Namun dapatkah nasionalisme dan patriotisme ada kalau tidak ada demokrasi dan keadilan ?
Kadar besar kecilnya demokrasi sangat berpengaruh terhadap nasionalisme baru. Bagi mereka yang
merasa tidak cukup mempunyai hak-hak demokrasi, adalah lumrah apabila mereka ini lambat laun
tergelincir pada suasana batin yang apatis, yang masa bodoh. Mereka dalam bentuknya yang ekstrim
bisa merasa warga negara kelas dua atau lebih rendah lagi. Mereka tidak lagi atau kurang merasa
merupakan bagian dari bangsanya, sehingga semua naluri yang masih ada untuk membela bangsanya
secara keseluruhan semakin lama semakin pudar. Karena itu, demokrasi adalah syarat mutlak bagi
nasionalisme. Demokrasi memberikan perasaan bahwa dia ikut memiliki negara bangsanya. Karena itu
demokrasi adalah syarat mutlak bagi nasionalisme baru yang begitu gamblang, sehingga tidak banyak
yang bisa di analisa kecuali menyebutnya. Bagi saya, kalau kita berbicara mengenai nasionalisme baru,
sebenarnya sudah termasuk di dalamnya sebagai satu nafas adalah juga patriotisme, demokrasi dan
keadilan sosial ekonomi. Hanya dengan itu semuanya sebagai satu paket, semuanya menjadi bisa ada.
Kalau salah satu daripadanya tidak ada, keseluruhannya menjadi kabur.
KESIMPULAN
Istilah nasionalisme baru memang pada tempatnya, karena dengan telah lamanya kita merdeka, dan
dengan berubahnya dunia dengan segala dinamkianya, fokus nasionalisme yang ingin kemerdekaan bagi
bangsa kita secara politik sudah lama kita peroleh.
Setelah itu kita dihadapkan pada masalah sangat mendasar, yaitu masalah nation dan character building
bagi bangsa yang wilayahnya berkepulauan, pluralistik, berbhineka. Dengan sumpah pemuda, di tahun
1928 kita sudah bertekad untuk membentuk negara bangsa yang berbentuk negara kesatuan, negara
yang tunggal ika. Dapat kita bayangkan betapa beratnya periode antara tahun 1945 dan 1966. Seperti
tadi telah saya kemukakan, kita telah berhasil dengan cukup gemilang.
Dalam mengisi kemerdekaan dengan pembangunan ekonomi secara nyata yang teknokratik dan
pragmatik, negara kita terbuka bagi dunia luar. Sektor swasta secara sistematis diberi kesempatan yang
lebih besar. Semua orang berkiprah dalam bidang pembangunan ekonomi, dalam bidang produksi dan
distribusi. Semuanya berlangsung di dalam suasana interaksi antar bangsa yang semakin intens, di
dalam dunia yang semakin mengecil dengan revolusi microchips dan revolusi telekomunikasi melalui
satelit. Dalam suasana seperti ini kita berkiprah secara intens pula, sehingga kurang sempat memikirkan,
masihkah nasionalisme relevan ? Pendangakalan intelektualisme terjadi karena terdesak oleh intens-nya
dunia produksi, distribusi dan konsumsi, dan intensnya interaksi antar bangsa, dimana Indonesia
termasuk di dalamnya.
Setelah penelusuran dalam bidang ekonomi, bisnis, produksi, distribusi, konsumsi, regionalisasi dan
internasionalisasi, saya tiba pada kesimpulan bahwa lebih daripada yang sudah-sudah ternyata
nasionalisme, patriotisme, demokrasi dan keadilan sosial ekonomi masih sangat relevan. Pertarungan
memperoleh nilai tambah masih valid, tetapi bentuknya berubah. Penghisapan nilai tambah melalui
senjata dan pendudukan berganti menjadi teknologi dan manajemen. Divisi-divisi militernya berubah
menjadi perusahaan-perusahaan transnasional. Proses penghisapannya melalui kemitraan dan investasi
langsung, lebih beraneka ragam, lebih luwes dan lebih sophisticated sehingga sangat sulit dikenali.

Untuk pengenalan apakah di dalam interaksi antar bangsa ini kita diuntungkan atau dirugikan
membutuhkan kalkulasi yang konkret. Benarkah bahwa di dalam kenyataannya kita lebih diuntungkan
oleh modal asing karena adanya lapangan kerja, karena adanya transfer of knowledge dan transfer of
technology. Benarkah bahwa kita diuntungkan secara fair dan adil karena pendapatan pajak. Bukankah
keuntungan mereka jauh lebih besar dari kita dan kita akan bisa mendapatkan lebih seandainya kita mau
bekerja keras dan mau membebaskan diri dari konvensi, dogma, doktrin serta mitos-mitos yang oleh
negara-negara maju dipaksakan kepada kita melalui para kompradornya yang sangat berpengaruh.
Kesemuanya ini hanya dapat diketahui kalau kita melakukan kalkulasi yang eksak dan konkret. Bukan
sekedar merumuskannya secara garis besar. Nasionalisme baru menuntut kemampuan-kemampuan
baru dan dimensi pemikiran mikro yang bagi kita relatif baru ini.
Tidak ada negara yang bangkrut seperti halnya perusahaan, karena negara dapat berutang. Tetapi yang
demikian itu bisa kita peroleh sebagai komprador dengan nilai tambah yang tidak sebanding kecilnya.
Maka yang menjadi masalah bagi kita bukannya akan bangkrut atau tidak secara ekonomis, tetapi akan
menjadi bangsa kelas terkemuka atau kelas belakang. Apakah kita akan menjadi bangsa yang
diremehkan atau menjadi bangsa yang disegani.
Modal kita hanya semangat, yaitu nasionalisme baru, patriotisme baru, demokrasi dan keadilan sosial
ekonomi.
Akhir kata, apakah yang menjadi driving force terbetuknya Eropa bersatu ? Keuntungan materi
sematakah ataukah Eropa Barat sebagai kelompok negara yang demikian tuanya, akhirnya menemukan
kembali nasionalisme barunya juga ?
Kita sering mendengarkan bahwa Jepang maju karena mempunyai sistem life time employment,
mempunyai TQC dan QCC, mempunyai MITI, mempunyai sistem pendidikan yang terseleksi sejak SD
dengan jalur elit yang berkesinambungan. Tetapi jarang yang menanyakan, mengapa justru Jepang
mempunyai segalanya ini dan bangsa lain tidak punya ? Bisakah jawabnya adalah karena bangsa
Jepang tidak pernah pudar nasioanlisme dan patriotisme-nya, dan bangsa Jepanglah yang paling awal
mampu menterjemahkannya ke dalam nasioanlisme baru, yang arena pertempurannya adalah perolehan
nilai tambah dari bangsa-bangsa yang telah merdeka. Dan karena itu senjatanya harus berubah menjadi
penguasaan teknologi dan manajemen ?
Relevansi mengenai pentingnya keterkaitan dengan negara bangsanya mungkin bisa lebih ditonjolkan
dengan contoh, bahwa apabila negara melalui pemerintahnya membela kepentingannya dengan
memberikan subsidi seperti sertifikat ekspor, dia justru terkena sanksi penutupan negara penerima
barangnya, seperti halnya dengan AS belum lama berselang dalam hal ekspor tekstil. Dalam keadaan
sulit dia berteriak minta perlindungan dan subsidi. Apabila subsidi diberikan, dia akan terkena sanksi oleh
negara pengimpor barangnya. Apakah negara bangsanya masih dirasa tidak relevan dalam kaitannya
corporate states versus nation states ?
Kalau nasionalisme baru toh harus diberi definisi, saya kira definisi yang paling tepat adalah semangat
yang selalu ingin meningkatkan kemampuan penciptaan kekayaan negaranya, tetapi bersedia bekerja
sama dengan bangsa-bangsa lain, dengan syarat bahwa di dalam kerjasama ini kita tidak dirugikan dan
tidak merugikan negara lain. Sifat kerjasama dan interaksi adalah untuk mencapai sinergi dan tidak saling
menghisap.
Para Hadirin Yth.,

Ketidak mandirian kita sekarang sudah memasuki tahapan yang sangat membahayakan. Saya tidak perlu
berpanjang lebar karena sudah diperdebatkan dan diliput secara panjang lebar.
Kita sedang dalam proses dipaksa untuk benar-benar mengeluarkan uang ribuan trilyun rupiah
membayar obligasi rekapitalisasi perbankan beserta bunganya. Perkiraan yang dihitung dengan cermat
oleh BPPN menunjukkan bahwa kewajiban pemerintah untuk membayar obligasi rekap beserta bunganya
bervariasi antara 1000 sampai 14.000 trilyun rupiah. Maka kalau kita ingin mengenakkan diri sendiri, tidak
mungkin pemerintah harus membayar kurang dari tiga ribu trilyun rupiah. Obligasi atau surat utang yang
semula dimaksud sekedar sebagai instrumen sekarang dipaksakan oleh IMF untuk dibayar betul.
Obligasi yang tadinya harus ditarik kembali sebelum bank dijual, sekarang dipaksakan harus tetap
melekat pada bank yang dijual seperti halnya dengan BCA. Dalam LOI terbaru, tidak lebih lambat dari
bulan September Bank Niaga harus dijual dengan pola yang sama, dan Bank Danamon serta Bank
Mandiri juga harus dijual dengan pola yang sama. Telah dibuktikan pula bahwa utang pokok obligasi yang
jatuh tempo memang tidak mampu dibayar dan ditunda pembayarannya. Bahkan, sudah dan akan
diterbitkan obligasi baru, yang kesemuanya akan menjadikan APBN kita di tahun-tahun mendatang pasti
tidak sustainable. Tetapi IMF tidak mau tahu, mengajukan berbagai perhitungan yang sama sekali tidak
masuk akal, dan lagi-lagi, dibela oleh Mafia Ekonom Orde Baru. Bukankah mengherankan dan
mengejutkan bahwa selama 32 tahun Orde Baru pemerintah tidak pernah berutang dalam negeri, karena
takut terjadi crowding out. Tetapi sekarang merasa tidak apa-apa menerbitkan surat utang yang bersamasama dengan bunganya mengakibatkan kewajiban pembayaran oleh pemerintah sebesar ribuan trilyun
rupiah ?
IMF melakukan tekanan pada Tim Ekonomi pemerintah untuk melakukan semuanya yang jelas karena
sudah kehilangan kemandiriannya, dan dampak ketiadaan kemandirian ini sudah membawa kita pada
ambang kehancuran. Maka sebagai tindak lanjut dari diskusi hari ini kita memang sudah harus
membangun kekuatan nasional untuk memperoleh kemandirian kita sendiri demi menyelematkan
kemerdekaan, kedaulatan dan kemandirian bangsa, sehingga dengan demikian dapat menghindarkan diri
dari ketergantungan yang permanen dari masyarakat internasional.
Drs. Kwik Kian Gie, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Kepala Bappenas
Pidato dalam Seminar "Membangun Kekuatan Nasional untuk Kemandirian Bangsa" dalam rangka memperingati
100 Tahun Bung Hatta, Jakarta, 19 Desember 2002.

by masadmasrur @ 2007-08-18 - 17:31:50

5.

Membangun Kemandirian dan Karakter Bangsa*


Oleh Masad Masrur

Pada pembukaan rapat Majelis Pimpinan Paripurna Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI) di Jakarta akhir April tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap, dengan
kebersamaan dan keterpaduan, Indonesia dapat mempercepat kemandiriannya dan
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya sehingga terbebas dari intervensi pihak mana pun.
Menurut presiden, harus ada perubahan paradigma tentang kemajuan sebuah bangsa.
Kemajuan ini bukan dilihat melalui statistik ekonomi, namun lewat kesejahteraan masyarakat.
Karakter bangsa menjadi faktor utama untuk meningkatkan daya saing bangsa, selain
pendidikan dan teknologi. Bila bangsa memiliki karakter kuat, maka bangsa Indonesia akan
mengalami kemajuan seperti China dan India. Dua negara tersebut memang belum mencapai
kemajuan seperti negara Amerika. Akan tetapi jika dihitung dari keadaan pada tahun 70-an, apa
yang dicapai saat ini merupakan prestasi yang luar biasa. China misalnya, bangkit dari
keterpurukan dan berhasil menjadi raksasa ekonomi baru Asia. Sedangkan India menjadi
negara satu-satunya di Asia yang mampu mencukupi nyaris seluruh kebutuhan
warganegaranya dengan produk dalam negeri. Harus diakui, dua negara itu bisa mandiri karena
memiliki karakter atau jatidiri kebangsaan yang sangat kuat. Bangsa China sangat menonjol
dalam hal disiplin dan semangat kerja. Perpaduan dua karakter itu, ditambah dengan tegasnya
law enforcement yang diterapkan pemerintah untuk membasmi penyelewengan dan
penyimpangan, membuat negara ini mampu mencapai efisiensi besar-besaran dan dalam
waktu singkat tumbuh menjadi negara industri. Sekarang, nyaris tak ada negara di Asia yang
terbebas dari "serbuan" produk-produk bikinan China. Ini adalah bukti tak terbantahkan dari
kemajuan yang telah dicapai bangsa China.
Sedangkan India dengan semangat swadeshinya (kurang lebih berarti: membuat sendiri)
mampu menggugah semangat warganegaranya untuk terus menghasilkan karya di berbagai
bidang bagi kebutuhan mereka sendiri. Prinsip "memenuhi kebutuhan sendiri" telah membuat
India tumbuh menjadi negara paling mandiri di Asia saat ini. Berbagai kebutuhan hidup mulai
dari perangkat mandi hingga mobil dan mesin-mesin industri, dibuat sendiri oleh bangsa India.
Ketergantungan India terhadap produk impor sangat rendah, sebaliknya banyak barang-barang
produksi India mulai laku di pasar global. Ekonomi India memang bukan yang terbaik di Asia,
namun semua orang tahu hutang luar negeri India nyaris tidak ada.
Berkaca dari dua negara di atas, peluang Indonesia untuk mencapai kemajuan sebenarnya
sangat besar. Sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia jauh lebih banyak dibanding India dan
China. Demikian pula sumber daya manusia tak ada masalah. Masalah utama yang dihadapi
adalah belum adanya karakter yang kuat, yang dapat dipergunakan bangsa ini sebagai wahana
untuk melaju menghadapi tantangan global. Kedisiplinan, kemandirian, etos kerja, ketaatan
terhadap hukum, produktivitas dan swadeshi bangsa ini masih terbilang rendah. Karena itu,
langkah pertama untuk mengejar ketertinggalan adalah dengan memperkuat karakter bangsa.
Karakter dan Kemandirian Bangsa Indonesia
Setiap warga bangsa, terutama pemuda Indonesia, harus membangun kembali karakter dan

kemandirian. Tanpa karakter, bangsa Indonesia akan kehilangan semuanya. Dalam sejarahnya
Indonesia mencatat banyak tokoh yang menegakkan wajah bangsa ini karena semata-mata
karakter yang dibangunnya.Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, KH Ahmad
Dahlan, dan tokoh lainnya adalah orang-orang yang meneladani bangsa ini dengan karakter
mereka yang kuat dan karena itu menginspirasi bangsa ini dalam perjuangannya.
Pada Simposium Nasional Majelis Sinergi Kalam Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia
(ICMI) tahun lalu di Jakarta, Hatta Rajasa, yang juga Menteri Perhubungan, mengemukakan,
memiliki karakter sungguh penting karena itu akan menentukan nasib. Ia menyayangkan
Indonesia saat ini tengah mengalami degradasi karakter berbangsa. Hampir tidak ada berita
yang menyajikan tentang sesuatu yang baik. Kita hanya pandai mengolok-olok diri kita sendiri,
padahal ada setumpuk keberhasilan yang dicapai," tuturnya. Mobilisasi potensi, ia
mencontohkan, India memiliki slogan, kalau bisa membuat, mengapa harus membeli. Di
Indonesia, tutur Hatta, slogan itu berubah menjadi kalau bisa membeli, mengapa harus
membuat. Itu amat disayangkan karena sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang luar biasa.
Saat ini India sangat berkembang dan maju dalam berbagai riset teknologi yang mereka
lakukan. Indonesia, yang sebenarnya memiliki potensi yang sama, justru jauh tertinggal.
Kemampuan pengembangan pesawat terbang kita mandek. Saat ini India sangat berkembang
dan maju dalam berbagai riset teknologi yang mereka lakukan. Indonesia, yang sebenarnya
memiliki potensi yang sama, justru jauh tertinggal. Kemampuan pengembangan pesawat
terbang kita mandek. "Oleh karena itu, penting untuk mereaktifasi karakter luhur bangsa,
menginisiasi kembali karakter bangsa yang mampu memacu dan memobilisasi potensi
domestik. Internalisasi karakter itu membutuhkan inovasi dan sikap kompetitif," ujar Hatta.
Langkah-langkah tersebut, tutur Hatta, harus dimulai saat ini dan diawali oleh setiap warga
bangsa. Muslimin Nasution menegaskan, pembangunan karakter itu sangat baik dilakukan di
taman kanak-kanak, sekolah-sekolah dasar, serta sekolah menengah pertama.
Langkah-langkah tersebut, tutur Hatta, harus dimulai saat ini dan diawali oleh setiap warga
bangsa. Muslimin Nasution menegaskan, pembangunan karakter itu sangat baik dilakukan di
taman kanak-kanak, sekolah-sekolah dasar, serta sekolah menengah pertama. Dalam semua
proses itu, Ketua Dewan Penasihat ICMI Jimly Asshiddiqie mengemukakan, generasi muda
harus berani menawarkan pemikiran-pemikiran alternatif, yang inovatif, dan dapat diterapkan.
Pemuda, menurut Jimly, harus kreatif dalam mengelola kemampuan dan kesempatan yang ada
demi kepentingan semakin banyak orang.
Ia mencontohkan, seorang sarjana sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengelola
pertanian dengan cara yang lebih baik. Sarjana itu dapat mengelola lahan dan hasil pertanian
seperti ia mengelola pabrik atau kantor. dengan manajemen pertanian yang baik dan memadai,
setidaknya hasil para petani dapat lebih meningkat.
Ia mencontohkan, seorang sarjana sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengelola
pertanian dengan cara yang lebih baik. Sarjana itu dapat mengelola lahan dan hasil pertanian
seperti ia mengelola pabrik atau kantor. dengan manajemen pertanian yang baik dan memadai,
setidaknya hasil para petani dapat lebih meningkat.*

PIKIRAN RAKYAT Minggu,20 Mei 2007

6.

Mempertanyakan Kemandirian Bangsa


Oleh Dr. Ichary SoekirnO

PERKUMPULAN Boedi Oetomo hakikatnya bertujuan mengangkat derajat bangsa, dengan


"Memadjoekan pengajaran, petanian, peternakan dan dagang, teknik dan peroesahaan,
membangoenkan kembali kesenian dan pengetahoean boemipoetera, mempertahankan tjita-tjita

manoesia jang oemoem dan selanjutnya semoea jang dapat menjadi jaminan kehidoepan jang
pantas bagi rakyat".
Suasana batin saat itu, ada jurang perbedaan antara rakyat pribumi dan bangsa penjajah. Tokoh
Mas Dr. Wahidin Sudiro Husodo, beserta R.Gunawan Mangunkusumo dan R. Soetomo telah
menggugah bangsanya untuk bangkit dan sadar, agar mampu menyejajarkan diri dengan bangsa
lain. Sejak lahir Boedi Oetomo, diikuti pula berdirinya sejumlah perkumpulan kebangsaan lain
sebagai pergerakan kebangsaan. Momentum kebangkitan yang mampu menimbulkan kesadaran
akan perlunya kemandirian, daya saing dan persatuan dengan membangun kekuatan diri bagi
harkat dan martabat bangsanya. Dalam peringatan berdirinya sepuluh tahun Boedi Oetomo
ditahun 1918 telah dikatakan, jelaslah bagi kami, bahwa tak ada orang yang akan menolong kita,
jika kita tidak menolong diri kita sendiri. Sungguh ironis, kini hampir satu abad kemudian,
suasana batin kita terasa masih gamang terhadap makna kemandirian dan rasa kebangsaan kita.
Apakah kita lupa pada akar sejarah perjalanan bangsanya sendiri? Di tengah badai krisis-bangsa
berkelanjutan, tampaknya kita terlena terhadap hakikat dimensi kebudayaan dalam dimensi
pembangunan nasional maupun daerah. Inti kebudayaan adalah pemahaman diri masyarakat,
cara bagaimana masyarakat menafsirkan dirinya, sejarah dan tujuannya; tanpa inti ini,
kebudayaan tidak akan memiliki satu kesatuan yang utuh.
Apa spirit dan relevansi Hari Kebangkitan Nasional terhadap portrait diri kita terkini?
Perhatikanlah wajah asli "kekitaan Indonesia" yang ditampilkan selama krisis berkepanjangan di
segala aspek kehidupan kita. Tampak jelas, "titik lemah kita" sebagai nation, ketika budaya
bangsa bersentuhan dengan nilai budaya rasional-global. Dari sudut kemandirian, terlihat kita
rapuh dan rentan di tengah gempuran budaya mondial-universal yang bermuatan persaingan
mutu dan kemampuan daya saing bangsa. Kita telah didorong tanpa pilihan, untuk menjadi
bagian tak terpisahkan dari dunia global. Dunia semakin diwarnai oleh gejolak dominasi dan
ketimpangan Utara-Selatan, ibarat "Goliath si kuat" dan "Liliput si mungil" disatukan dalam
kelas tanding yang sama. Arenanya sama, satu bumi, namun amatir dan profesional disatukan
untuk bertarung, berkompetisi dalam sistem, standar, dan ketaatan (compliance) global. Ada
pengulangan sejarah, ada kemiripan yang serupa tapi tak sama dengan zaman penjajahan 1908.
Waspadakah kita bahwa sejak lama ada skenario "dunia diformat baru, seolah tanpa batas
berlabel globalisasi & human right"? Di arus tekanan mondial-global, terasa kita dalam posisi
lemah dalam skenario kemandirian, persatuan, dan rasa kebangsaan kita. Dalam proses
pembangunan bangsa agaknya kita lengah akan nilai-nilai dan kekuatan sejarah perjalanan
bangsanya.
Sebagai pembanding sesama Asia, tengoklah sekelumit sejarah Jepang. Dentuman meriam
Portugis pada 1543, tidak membuat para shogun menjadi techno-phobia malah termotivasi dalam
konteks tantangan, ancaman, peluang, dan perubahan bagi bangsanya. "Dekrit Shogun Tokugawa
1638" telah menutup rapat Jepang lebih dari dua abad. Meskipun bukan pertama, isolasi dibuka
paksa 1853 oleh armada perang Amerika yang dipimpin Komodor Perry. Superioritas teknologi
modern, telah membuka lebar "mata kesadaran" para shogun, akan hakikat kemandirian melalui
penguasaan iptek sebagai kebanggaan, kehormatan, kekuatan bagi harkat-martabat suatu bangsanegara. Tahun 1868 kekuasaan Meiji dengan kebijaksanaan politik a.l. "memperkuatmeninggikan Jepang melalui penguasaan iptek" telah mampu mentransformasikan bangsanya
tanpa kehilangan jati diri, sifat tradisional atau nilai lain yang dijunjung tinggi masyarakatnya.
slogannya antara lain "iptek barat, etika-tradisional-budaya Jepang". Takayashi Kido, salah satu
dari 3 tokoh pemimpin samurai, tahun 1872 bersama sejumlah remaja, antara lain Chokichi
Kikkawa berusia 13 tahun berangkat dengan kapal uap ke Amerika. Pada 1879 si "kecil" tersebut
masuk Universitas Harvard dan lulus 1883. Kido & Kikkawa merupakan contoh dari dua
generasi berbeda, baik usia maupun status, telah menjembatani modernisasi Jepang dalam upaya
regenerasi dan kemandirian Jepang. Para shogun memiliki visi jauh ke depan, dalam contoh dan

keteladanan dalam upaya membangun kemandirian dan upaya mencerdaskan generasi mudanya
bagi kemajuan peradaban dan kebudayaan bangsanya, karena martabat as a nation ada di sana.
Generasi pendahulu Jepang telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi generasi penerus. Kini
secara ekonomi maupun iptek, Jepang merupakan salah satu dari kelompok negara maju yang
disegani.
Lebih jauh, sebagai pembanding negara adidaya, sekilas tentang upaya penguasaan iptek. Pada 8
Desember 1941 terjadi penyerangan Pearl Harbour, sehari kemudian diikuti naskah deklarasi
perang. Tujuh hari berikutnya Presiden amerika menyetujui penelitian dan pengembangan
uranium bagi produksi bom baru. Lahirlah projek sains berskala raksasa bernama proyek
Manhattan, yang mengembangkan dua jenis bom baru dengan bahan dasar berbeda, Uranium235 dan plutonium-239. Pada tanggal 18 september '42, uranium terbaik tiba dari KatangaKongo, pembelian rahasia dengan Belgia. Kemudian pada 16 Juli '45, percobaan bom pertama
dengan nama trinity, di gurun Alama Gordo-New Mexico. Sains telah diaplikasikan dalam
bentuk dua jenis bom atom little boy dan fat man berturut-turut dijatuhkan pada 6 dan 9 Agustus
1945, dengan pesawat B-29 yang berpangkalan di Pulau Tinian. Dunia terguncang, terbukti sains
dapat ditransformasikan pada ujud yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ada analisis
menyangsikan alasan penggunaan sebenarnya, atau demonstrasi prestige & power? Bukankah
Jerman beberapa bulan sebelumnya telah bertekuk lutut di Eropa, dan Jepang sudah diambang
kejatuhan? Bahkan di musim semi 1946, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Amerika, Jenderal
Eisenhower menyirkulasikan memo penting bahwa 'sumber daya Iptek sebagai aset militer,
sebagai kebutuhan tetap dan perlu memberi dukungan luas terhadap program riset dan institusi
pendidikan'.
Ada hal yang bisa dipetik maknanya dari kilas balik tersebut. Pertama, 20 Mei 1908 senantiasa
mengingatkan kita akan kesadaran dan kearifan generasi pendahulu dalam upaya membangun
kemandirian, daya saing dan kebangsaan kita. Kedua, ada lesson learned dari keteladanan para
shogun/para samurai yang telah menanamkan visi dan tonggak jauh ke depan, dalam konsep
integrated-strategic bagi pencapaian kesejahteraan dan kebahagiaan bangsanya. Mereka telah
menyadari bahwa iptek harus berkembang seiring dengan kemampuan masyarakatnya dalam
menguasai, memproduksi, menggunakan bahkan menjualnya. Sains dan teknologi harus
merupakan suatu aktivitas yang mengambil tempat di masyarakatnya dan memantulkan
gambaran sosial, politik, budaya dan sistem ekonominya. Ketiga, dari segi kemandirian
penguasaan iptek modern, Amerika, Jepang, maupun negara maju lainnya telah lama
mendominasi "permainan iptek", termasuk pembenaran invasi karena kekuatan advance science
& high technology yang dimiliki, di samping kekuatan ekonominya. Penulis jadi ingat buku
Bertrand Russell berjudul The impact of science on society (1952). Dikatakan dua wajah sains
yang dari dulu kala, sering diperdebatkan yaitu kebaikan dan keburukan. Wajah terahir memiliki
dua setan kuno, digunakan manusia secara intensif dalam bentuk "tirani" dan perang.
Tanggal 20 Mei adalah momentum yang tepat, untuk menengok kembali portrait-diri kita,
kekitaan dan maturity bangsa di usia NKRI lebih dari 60 tahun. Tampak kita sering meremehkan
bangsanya sendiri, mudah mencemooh segala upaya membangun kemandirian di tanah airnya
sendiri. Bukan hal tak mungkin pula, ke depan di sektor apa pun kita akan terus "terjajah bahkan
akan tereliminasi di rumahnya sendiri". Ke manakah wisdom dan respect, tanggung jawab sosial,
dan love & care kita terhadap tali persaudaraan & kesatuan bangsa? Kemanakah kepekaan suara
hati dan kejujuran diri kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bertanah air Indonesia?
Mengapa kita semakin melupakan nilai-nilai & akar sejarah perjalanan bangsanya sendiri?
Lupakah kita akan makna character & nation building yang didengungkan oleh generasi
pendahulu kita? Sejarah mencatat, suatu keluarga atau negara akan kuat dan maju, bila berhenti
merusak rumahnya sendiri, berhenti bertengkar, mulai kerja keras dan bersatu dalam kasih dan
sayang. Sebuah renungan kesadaran dan tanggung jawab moral kita di Hari Kebangkitan

Nasional, dalam memantapkan optimisme maupun perjuangan dalam mengangkat harkat dan
martabat Indonesia, tidak lebih!***
Penulis, dosen dan peneliti Universitas Padjadjaran, Bandung.

by masadmasrur @ 2007-06-29 - 18:24:59

7.

Pemuda di Antara Pragmatisme dan Idealisme


Oleh: Masad Masrur
Redaktur Pelaksana Jurnal Elcendikia ICMI DKI Jakarta

Sesungguhnya, pemuda saat ini sedang megayuh di dua karang; Pragmatisme dan idealisme.
Pilihan ini sungguh tak mudah dilakukan, sebab diantaranya menjanjikan kemudahan dan
kesenangan.
Pada konteks waktu sekarang, ketika masyarakat melihat pemuda, sering terjadi persepsi yang
cukup negatif mengenai pemuda. Pemuda selalu dikaitkan dengan narkoba, seks bebas,
tawuran atau hidup yang serba hura-hura. Tidak jarang pendapat dari sejumlah mantan
pemimpin memberikan pernyataan kesimpulan bahwa generasi muda sekarang sudah tidak
nasionalis dan tidak memiliki jiwa patriotis lagi. Penilaian ini terutama dilakukan oleh pemuda
dalam periode Mempertahankan Kemerdekaan, yang tampil memanggul senjata. Mereka
rata-rata adalah pemuda-pemuda yang ketika itu berusia 14-23-an tahun. Mereka inilah nanti
yang disebut sebagai sebuah angkatan baru, yaitu angkatan 1945.
Dalam proses perjuangan bangsa, yang tampil ke permukaan untuk melakukan perubahan
memang mereka yang dikategorikan pemuda. Mereka itu tidak sekedar pemuda dalam
pengertian usia, melainkan juga memiliki sifat-sifat dalam arti kualitas tertentu; misalnya mereka
pada umumnya cerdas, tetapi juga biasanya memiliki keberanian, kualitas lain yang juga
menjadi ukuran bagi pemuda yang mengubah itu ialah adanya kejujuran.
Mereka yang tampil sebagai penggerak dan pemikir dalam periode Pergerakan Rakyat, adalah
pemuda-pemuda yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, mereka adalah pelajar-pelajar,
mahasiswa-mahasiswa bahkan sarjana-sarjana di pelbagai bidang ilmu. Dengan latar
pendidikan yang demikian itu, tentu misalnya jika mereka bersedia untuk berkolaborasi,
bekerja di instansi-instansi pemerintah kolonial. Tentu saja mereka akan mendapatkan posisi
tertentu yang akan memberikan peluang bagi mereka untuk menikmati kehidupan yang lebih
baik, lebih enak. Sebagai contoh, Bung Karno dan Bung Hatta lebih bersedia untuk tampil
sebagai pemimpin pergerakan padahal jika mereka berdua bersedia bekerja pada lembagalembaga pemerintah kolonial tentu mereka akan memperoleh peluang untuk mendapatkan
fasilitas-fasilitas kebendaan yang akan membawanya pada situasi penikmatan kehidupan

sebagimana yang pada umumnya diharapkan oleh orang pada dirinya.


Apa yang kita saksikan ialah pemuda tampil untuk mengubah nasib bangsanya dari bangsa
yang terjajah-tertindas menjadi bangsa merdeka yang menegakkan Negara merdeka. Karena
sikapnya itu, mereka semua menerima imbalan, yaitu kenyataan hidup yang menderita. Para
pejuang ini menampilkan sebuah keberanian yang khas, yaitu berani menderita.
Realitas Kepemudaan
Sesungguhnya, pemuda bukan hanya sekedar lapisan sosial dalam masyarakat yang
memainkan peran penting dalam perubahan sosial. Tetapi, jauh dari itu, pemuda merupakan
konsep yang menerobos definisi pelapisan sosial tersebut, terutama terkait dengan konsepsi
tentang nilai-nilai.
Taufik Abdullah menilai; Pemuda atau generasi muda adalah konsep-konsep yang sering
diberarti oleh nilai-nilai. Hal ini terutama disebabkan karena keduanya bukanlah semata-mata
istilah ilmiah tetapi sering lebih merupakan pengertian ideologis dan kultural. Pemuda harapan
bangsa, Pemuda pemilik masa depan atau Pemuda harus dibina dan sebagainya,
memperlihatkan betapa saratnya nilai yang telah terlekat pada kata pemuda tersebut. Catatan
Taufik tersebut menarik, dan dalam konteks Indonesia menemukan relevansinya. Sebab
berbicara soal sosok pemuda, memang kerap identik dengan, membicarakan nilai-nilai yang
dilekatkan padanya. Dan, sosok pemuda, selalu dikaitkan dengan peran sosial (dan politik)
yang dilakukannya. Hal ini dapat dipahami, mengingat sosok pemuda telah tercitra sebagai
sosok yang melekat dengan hakikat perubahan sosial (politik).
Realitas kepemudaan kita di dalam spektrum yang luas itu merupakan refleksi yang muncul,
tatkala memotret realitas kepemudaan kita dewasa ini. Pertama, pemuda kita berada dalam,
meminjam Mohammad Hatta, Mendayung diantara dua karang. Sesungguhnya fenomena ini
bersifat klasik dan sudah muncul sejak dulu: bahwa pemuda memiliki idealisme (cita-cita utama)
di satu sisi, namun di sisi lain dihadapkan pada realitas kehidupan yang kerap jauh dengan
segenap cita-cita dan harapan yang ada. Posisi pemuda berada di antara karang idealisme
dan karang pragmatisme.
Kedua, pemuda masa kini memiliki tantangan yang lebih kompleks dibanding dengan generasi
muda masa lalu. Dinamika kehidupan masa kini, dipengaruhi oleh banyaknya faktor, yang satu
pihak menciptakan kemajuan-kemajuan dalam fasilitas kehidupan (akibat perkembangan
teknologi), pihak lain cenderung mengarah sebaliknya, mendorong kemunduran. Lingkungan
eksternal yang demikian cepat berubah, menuntut respon yang tepat dan cerdas agar tidak
terjebak pada kemunduran.
Ketiga, pemuda masa kini memiliki referensi yang lebih beragam, untuk menentukan sikapnya
dalam memandang ragam persoalan mutakhir. Referensi itu didapat dari makin berjalannya
waktu, dengan beragam kejadian yang melingkupinya, sehingga pemuda bisa menengok ke
belakang, proses sejarah kehidupan bangsa. Referensi itu juga didapat dari pola pergaulan
mereka yang makin luas, antara lain seiring dengan tingkat pendidikan yang ditempuh.
Referensi itu tidak hanya didapat dari para orang tua mereka, namun dari proses pergaulan dan
pengalaman pendidikan (pencerdasan) yang dicapainya, melalui proses dialektika dan
perkembangan wacana.
Keempat, pemuda dewasa ini berada diposisi pergeseran nilai. Apa yang dipandang tidak
pantas di masa lampau, bisa jadi tidak demikian halnya kini. Apa yang dulu dianggap baik, bisa
jadi tidak demikian halnya kini. Pergeseran nilai-nilai kehidupan (cara memandang hidup dan
memaknai sesuatu) dalam masyarakat, biasanya memikirkan aspek-aspek normatif. Lagi-lagi,
pemuda dituntut untuk mampu menyikapi realitas pergeseran nilai tersebut dengan ragam
referensi yang dimilikinya, pemuda berupaya meresponsnya cara tepat, sehingga tidak terjebak
pada lingkaran hipokritas (kemunafikan).
Pemuda dewasa ini diharapkan pada realitas-realitas yang terkait dengan idealisme,
kompleksitas tantangan, ragam referensi, dan posisinya ditengah pergeseran nilai. Kemana
arah kecenderungan mereka dalam menyikapi dan menentukan pilihan, tak lepas dari
bagaimana pemuda mampu memposisikan diri. Disinilah terjadi pergulatan diseputar
bagaimana nilai-nilai direinterpretasi dan direaktualisasi secara tepat, tak mengingkari
semangat zaman.

Idealisme versus Pragmatisme


Secara obyektif dibalik idealisme atas sosok pemuda, terdapat banyak hal yang masih jauh dari
harapan. Ada kalanya pemuda di puja-puja sehagai pahlawan, tetapi di kala yang lain, pemuda
dicela dan dinafikan. Dalam hal ini perlu dipahami, pemuda memang tidak bermakna tunggal,
melainkan jamak (plural).
Secara ekstrim ada dua wajah berbeda. Ada sosok-sosok pemuda yang idealis, yang mencoba
merealisasikan idealismenya itu ke konteks realitas. Lantas pemuda memainkan perannya yang
nyata di tengah-tengah publik luas. Sosok-sosok pemuda seperti ini, tentu tergolong sebagai
sosok-sosok yang dinanti-nantikan kehadirannya. Sebaliknya, ada pula sosok-sosok pemuda
yang loyo. Yang tergerus oleh penyakit-penyakit zaman, yang menyerah dan terlindas oleh
kereta api sejarah. Mereka tidak berperan, sebab telah menjadikan dirinya sebagai bagian dari
penyakit sosial. Tidak sedikit pemuda yang terjerat narkotika dan obat-obatan terlarang
(narkoba), terjerat oleh kriminalitas, dan perbuatan jahat dan fatal lainnya. Tentu saja ini
merupakan sebuah sisi gelap dari sosok pemuda.
Sesungguhnya, yang perlu diprihatinkan lebih serius juga adalah, konteks cara pandang dan
cara berpikir kalangan muda. Penyakit-penyakit sosial yang kelihatan tersebut akan diperparah
oleh kekeliruan cara pandang (paradigma) dan cara berpikir, dalam merespon dan menyikapi
sesuatu secara dewasa. Cara pandang, cara berpikir yang salah akan berimbas pada cara
bertindak yang salah, dan sebentuk gaya hidup yang salah pula. Gaya hidup yang salah inilah
yang memunculkan penyakit sosial, di mana pemuda loyo tak berguna. Cara pandang, cara
berpikir, dan cara bertindak yang salah itulah pragmatisme. Demikian fatal adanya.
Singkat kata, dua wajah yang berbeda itu adalah idealisme versus pragmatisme. Kondisi
eksternal yang ada saat ini, di tengah derasnya globalisasi, ditambah dengan situasi multikrisis
yang tak kunjung reda, kita masih berada di terowongan gelap, dan belum tahu kapan pintu
keluarnya, tampak sekali lebih banyak mendukung aksi-aksi pragmatisme.
Tawaran-tawaran jalan pintas untuk mengelola hidup secara praktis ditawarkan, walaupun
hanya sebatas angan-angan. Tatkala jalan pintas menjadi pilihan utama untuk menuntaskan
banyak hal, maka, banyak hal yang lebih krusial, lebih penting dan maknawi ditinggalkan dan
diabaikan. Nilai-nilai kewajaran hidup tergeser oleh ideologi pragmatisme. Sementara,
idealisme makin menjadi hal yang langka, terkepung oleh pesan-pesan pragmatisme, yang
sedemikian menghujam dan menukik (demikian ofensif).[]

8.

QUO VADIS Kemandirian Bangsa Dalam Bidang Energi


Mumu Muhajir
(mumu.muhajir@yahoo.co.id)
Balikpapan, 5 Desember 2006

Apa arti kemandirian?


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Balai Pustaka, mandiri berarti keadaan
dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain. Sementara kemandirian berarti hal atau
keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Jika dikaitkan dengan judul di
atas berarti keadaan di mana suatu bangsa bisa berdiri sendiri dalam hal kebutuhan energinya
tanpa bergantung pada bangsa lain.
Isu tentang kemandirian bangsa dalam bidang energi ini mencuat kembali akhir-akhir ini ketika
muncul beberapa berita di media massa yang menunjukan bahwa dalam sektor energi, terutama
sektor hulu migas [eksplorasi dan eksploitasi migas], hampir seluruhnya dikuasai oleh pihak
asing.<!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]--> Penguasaan itu tidak hanya terjadi pada
lapangan migas yang sedang dikerjakan tetapi juga pada penguasaan cadangan energi yang ada
di Indonesia. Beberapa pihak sangat mengkhawatirkan keadaan ini dan mengharapkan
pemerintah melakukan tindakan cepat dan tegas untuk menyelesaikan permasalahan ini,
termasuk dengan mengajukan pilihan nasionalisasi sektor energi.
Tetapi ada juga beberapa pihak yang merasa bahwa hal itu adalah hal yang wajar
ditengah ketidakmampuan bangsa dalam mengusahakan sendiri kebutuhan energinya.
Para pihak ini, termasuk di dalamnya adalah pernyataan dari beberapa pejabat Departemen
ESDM, berpendapat bahwa janganlah dilihat siapa-nya tapi lihat apa yang diperbuatnya; bahwa
tidak ada masalah pihak asing menjadi dominan dalam usaha pertambangan migas asalkan bisa
tunduk dalam koridor hukum dan kebijakan Negara Indonesia; atau bahwa ada yang berpendapat
lebih lugas : siapapun, baik nasional ataupun asing, akan diterima dengan tangan terbuka asalkan
menguntungkan negara Indonesia.
Tanpa bermaksud untuk memihak, penulis akan mencoba memaparkan bagaimana sebenarnya
bangsa Indonesia melihat kekayaan minyak dan gas buminya dan umumnya kekayaan sumber
daya alam lainnya, pilihan apa yang tersedia dan dikerjakan oleh bangsa ini ? Penulis akan
mencoba membongkarnya dari sisi peraturan-peraturan hukum yang pernah dan sedang berlaku
yang mengatur mengenai pengelolaan kekayaan minyak dan gas bumi di Indonesia.

También podría gustarte