Está en la página 1de 6

Mengenal Lebih Dekat Teori Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economic)

Diposting pada : Minggu, 29 Juli 2012 15:50 | Dilihat : 387 Kali


EBNEWS - Akhir-akhir ini perdebatan pemikiran ekonomi
yang mainstream dan non-mainstream kembali menarik. Salah satunya adalah
perdebatan Ilmu Ekonomi Kelembagaan Lama (Old Institutional Economics atau
OIE), Ekonomi Neo Klasik (Neo Clasical Economcis atau NCE) dan Ekonomi
Kelembagaan Baru (New Institutional Economics atau NIE). Perdebatan muncul
sejak pemberian hadiah nobel ekonomi kepada Ronald Coase pada tahun 1991
dengan tulisannya yang berjudul The Nature Of The Firm (1937) dan The
Problem Of Social Cost(1960), Douglas C. North pada tahun 1993 dengan isu-isu
Kelembagaan dan Komitmen yang Kredibel (Institutions and Commitment
Credibility), sampai dengan dianugerahkannya hadiah nobel di bidang ekonomi
tahun 2009, kepada Elinor Ostrom dalam analisis Ekonomi Tata Kelola, terutama
Kepentingan Umum (Economic Governance, especially Commons) dan Oliver E.
Williamson dalam analisis Ekonomi Tata Kelola terutama Batasan Perusahaan
(Economic Governance, especially Boundaries of the Firm).
Tidak dapat dipungkiri, materi-materi bahan ekonomika kelembagaan banyak
disarikan dari berbagai jurnal terpilih seperti: American Economic Review, The
Journal of Institutional and Theoretical Economics, Journal of Economic
Perspectives, Journal of Economic Literature, dan The Journal of Law and
Economics. Perkembangan NIE semakin meningkat dengan munculnya
masyarakat dunia pencinta teori NIE seperti International Society for New
Institutional Economics (ISNIE) dan European School on the New Institutional
Economics (ESNIE).
Teori OIE merupakan cabang Ilmu Ekonomi yang tidak memiliki teori dasar
ekonomi ortodoks ekonomi klasik ataupun neoklasik. Mereka menentang
pemikiran neoklasikal karena dianggap tidak memasukkan sisisisi humanistic dalam pendekatannya (Haris, et al., 1995 dan North, 1990). Mereka
mengatakan bahwa teori OIE bukan lembaga secara fisik melainkan perilaku
ekonomi yang didorong oleh pertimbangan dan perasaan yang secara umum
berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu. Sedangkan teori NCE masih
mendominasi sebagai mainstream pemikiran ekonomi yang masih menekankan
kepada mekanisme pasar. NCE dibangun dengan pendekatan teori dan banyak
menggunakan asumsi-asumsi. Asumsi tersebut antara lain adanya informasi yang
sempurna (perfect information) yang didapatkan oleh pelaku ekonomi dan tidak
adanya biaya transaksi (zero transaction cost). Asumsi lain yang digunakan NCE
adalah lingkungan yang kompetitif yang dihadapi oleh pelaku ekonomi, atau
persaingan sangat sempurna (perfect competition). NCE juga menganggap setiap
pelaku menghadapi situasi yang sama (stagnan rational behaviour) dan mereka
bebas keluar masuk pasar (Furubotn and Richter, 1993 dan North, 1990).
Teori NIE hadir karena mampu memodifikasi, mengembangkan, dan membuka

kotak hitam (black box) dari lemahnya aplikasi penggunaan teori NCE di dalam
memecahkan persoalan persoalan ekonomi dalam dunia nyata. NIE mengambarkan
adanya ketidaksempurnaan informasi dan adanya biaya transaksi. Setiap pelaku
ekonomi tidak dapat secara bebas keluar masuk dalam pasar karena tidak semua
pelaku memiliki informasi yang sama. Informasi yang tidak sempurna
menimbulkan konsekuensi biaya transaksi (transaction cost). Semakin informasi
tidak sempurna (adanyaasymmetric information) semakin tinggi biaya transaksi
yang dikeluarkan pelaku ekonomi. Dalam pandangan NIE, perlu adanya usahausaha untuk meminimalkan biaya transaksi. Ada tiga alasan yang mendasari
pentingnya peran NIE. Pertama, NIE merupakan suatu teori yang muncul dengan
kerangka NCE, tetapi menawarkan jawaban untuk menyempurnakan dan
mengembangkan teori tersebut. Kedua, NIE penting dalam konteks kebijakan
ekonomi tahun 90-an karena NIEmenentang dominasi peran pasar oleh kaum
ortodoks NCE. Ketiga, NIE penting karena merupakan teori yang dibangun dengan
menyesuaikan perubahan institusi dalam kaitannya untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi (Furubotn and Richter, 1993 dan Harris, et al.,1995).
Perdebatan ketiga teori tersebut semakin menarik apabila dilihat dari paradigma
metodologi penelitian yang dipergunakan (Creswell, 2003, Darlinton dan Scott,
2002, Hussey dan Hussey, 1997). Selama sepuluh tahun mengamati hasil-hasil
penelitian ketiga teori OIE, NCE, dan NIE,paradigma metodologi penelitian
teori OIE lebih cenderung fenomonologis yang dicirikan dengan sampel kecil,
studi kasus, induktif, observasi langsung, kualitatif, dan bertujuan ingin
memodifikasi teori daripada menguji teori. Sedang paradigma metodologi
penelitannya NCE cenderung positivis yang dicirikan dengan sampel besar,
deduktif, kuantitatif, modeling, dan bertujuan untuk menguji hipotesis atau tes
teori. Berbeda dengan OIE dan NCE, paradigma metodologi
penelitian NIEstrukturnya lebih bersifat formal dan informal atau cenderung
campuran antara positivis dan fenomonologis. Paradigma ini dicirikan dengan
penggabungan metodologi kuantitatif dan kualitatif, menggunakan data
trianggulasi dan bertujuan untuk memodifikasi teori.
Pada tahun 2000, Williamson telah memperkenalkan evolusi teori NIE melalui
empat level analisis sosial seperti di Gambar 1. Garis panah penuh menunjukkan
hubungan antara yang lebih tinggi dan yang lebih rendah di mana level yang lebih
tinggi menentukan kendala pada level di bawahnya. Garis panah putus-putus
menunjukkan hubungan berkebalikan yang menghubungkan level lebih rendah dan
level lebih tinggi.
Williamson (2000) menjelaskan level kelembagaan paling awal adalah level I,
yaitu teori sosial (social theory) yang merupakan aturan informal yang telah
melekat dalam masyarakat, seperti tradisi, agama, norma, adat, dan konvensi
keterkandungan atau mindset (embeddedness). Analisis level I sangat dipengaruhi
oleh sejarah ekonomi dan ilmu pengetahuan sosial lainnya. Pada level ini,

perubahan terjadi sangat lambat, spontan, dan alamiah pada hitungan abad sampai
milenium.
Menurut Williamson, level II terkait dengan lingkungan kelembagaan
(institutional environment). Level II menekankan ekonomi kepemilikan
(economics of property rights) yang terdiri dari aturan main (hukum), politik dan
birokrasi yang meliputi fungsi eksekutif, legislatif, hukum, maupun fungsi
birokrasi pemerintahan. Definisi hak milik (property rights) dan hukum kontrak
(contract law) merupakan gambaran penting. Pada level ini biasanya disebut level
aturan main hak dan kewajiban atau level menuju lingkungan kelembagaan
ekonomisasi order pertama.
Level III menekankan struktur tata kelola yang menekankan kontrak dan biaya
transaksi (transaction cost economics). Meskipun hak milik tetap penting, fungsi
sistem hukum mendefinisikan hukum kontrak dan perlindungan kontrak tidak bisa
diabaikan. Pada level ini, biasanya disebut level bagaimana aturan main hak dan
kewajiban dimainkan atau level menuju struktur tata kelola ekonomisasi order
kedua.
Level IV menekankan efisiensi sumber daya dan struktur insentif yang merupakan
kerangka kerja neoklasik. Analisis marjinal dikembangkan di mana digambarkan
sebagai fungsi produksi. Penyesuaian harga dan output bersifat lebih atau kurang
kontinu. Pada level ini, biasanya disebut level menuju kondisi marjinal
eonomisasi order ketiga.
Model Williamson Empat Level Analisis Sosial dalam struktur ekonomi
institusional baru dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 1
Dalam makalah ini, penulis mencoba menggunakan keempat level dari model
Williamson untuk menganalisis organisasi publik di Indonesia (Jaya, 2010).
Beberapa kesimpulan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, pada organisasi publik, aturan informal yang merupakan tradisi, norma,
adat, agama, dan kebiasaan baik yang bersifat produktif maupun tidak produktif,
belum kompatibel dalam mendukung aturan formal. Budaya
primordialisme, patron-klien, raja-raja kecil, pangreh praja, dan upeti adalah
budaya informal yang melekat (embededness) sebagai mindset perilaku pelaku
birokrasi menciptakan biaya tinggi. Budaya transaksional masih menonjol.
Kedua, hak kepemilikan (property rights) kewenangan belum optimal dalam
tataran birokrasi organisasi publik di zaman transisi perubahan paradigma
sentralistis menuju desentralistis. Sistem aturan kewenangan (system of rules)
yang pada organisasi publik belum memberikan fungsi dan hak dan kewajiban
yang jelas (lack clarity of function).
Ketiga, perilaku yang terbatas (bounded rationality) dan perilaku yang oportunis
(oppourtunistic behaviour) menyebabkan hubungan kontrak tidak jelas di
organisasi publik, berakibat meningkatkan biaya transaksi ekonomi (transaction

cost economics). Kebijakan birokrasi kontinu dan diskontinu telah menggeser pola
penyalahgunaan kekuasaan abuse of power oleh segelintir oknum di lembaga
publik.
Keempat, kompleksitas permasalahan di organisasi publik seperti ketidakjelasan
aturan kepemilikan kewenangan (institutional environment) dan ketidakjelasan tata
kelola (institutional governance), seperti ketidakjelasan kontrak-kontrak hubungan
kewenangan, dan ketidakjelasan hubungan principal-agent menghasilkan
ketidakjelasan struktur insentif.
Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa konsep ekonomi kelembagaan baru
dapat digunakan untuk memahami: (1) kompleksitas pengelolaan kebijakan
organisasi publikyang berkelanjutan dan sekaligus dapat dijadikan umbrella bagi
masalah yang terjadi dalam kebijakan organisasi publik di Indonesia, (2)
sistematisasi aturan-aturan yang menyangkut persoalan kewenangan, organisasi,
penatausahaan, sumber daya manusia, keuangan, hubungan hierarki, pengawasan,
serta prosedur perencanaan dan administrasi.

Daftar Pustaka
Coase, R.H., 1993. Coase on Posner on Coase. Journal of Institutional and
Theoretical Economics 149, pp. 96-98.
Creswell, J.W., 2003. Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches. United State of America: Sage Publications, Inc.
Darlinton, I and Scott, D., 2002. Qualitative Research in Practice Stories from the
Field. Crows Nest: Allen & Unwin.
Furobotn, E.G. and Richter, R., 1998. Institutions and Economics Theory, the
Contribution of the New Institutional Economics. Michigan: the University of
Michigan Press.
Haris, John, et al., 1995. Introduction: Development and Significance of NIE
dalam John Harris, et al., The New Institutional Economics and Third World
Development. London and New York: Routledge.
Jaya, Wihana K., 2010. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Gadjah Mada Press.
North, D.C., 1990. Institutions: Institutional Change and Economic Performance.
Cambridge: Press Syndicate of the University of Cambridge.
North, D.C., 1993. Institutions and Credibility Commitment. Journal of
Institutional and Theoretical Economics 149:11-23.
Williamson, Oliver E., 2000. The New Institutional Economics: Taking Stock,
Looking Ahead.Journal of Economics Literature 38(3):595-613.
--Artikel Dosen: Prof. Dr. Wihana Kirana Jaya, M.Soc.Sc

Dimuat pada majalan EBNEWS Edisi 12 Tahun 2012

Related news items:


21/09/15 - Seminar Nasional Perpajakan 2015
04/12/14 - Business and Alumni Gathering: Pengembangan Pendidikan
Tinggi di Indonesia
18/03/14 - Seminar: Menghidupkan Ekonomi Kerakyatan: Success Story
Jawa Timur
12/10/12 - Pesan Dekan
29/05/12 - Seminar Nasional: Tantangan Dan Peluang Reformasi Birokrasi
Di Indonesia
29/03/12 - Jejaring Sosial Online dalam Perspektif Indonesia
29/11/11 - Internet Financial Reporting dan Tempelan Multimedia pada
Statement Keuangan Elektronik
29/08/11 - Penegakan Hukum dan Pencegahan Tindak Kejahatan dalam
Tinjauan Ilmu Ekonomi
27/11/10 - Menggagas Reformasi dari Kampus Biru
29/07/10 - Penyimpangan dari Rasionalitas: Bukti dari Laboratory
Experiments
Terakhir diperbarui pada Jumat, 15 Januari 2016 13:30

También podría gustarte