Está en la página 1de 16

Afatul Lisan (Bahaya Lidah)

1) Makna Afatul Lisan


Afatul lisan adalah dua ungkapan kata yang memiliki arti bahaya lidah, hal ini bukan berarti
lidah selalu membawa mudharat bagi manusia, karena lidah juga bermanfaat bagi manusia.
Dengan lidah seseorang dapat berbicara dan menyampaikan maksud yang diinginkan. Namun
harus disadari pula bahwa betapa banyak orang yang tergelincir karena lidahnya, akibat
ketidakmampuan pemilik lidah menjaga dari ucapan dan kata-kata yang keluar dari lidah
tersebut. Karena itu sangatlah urgent dalam kehidupan seorang muslim memahami bahaya
dari lisan sebagaimana juga memahami akan manfaat lisan tersebut.
Dua hal penting yang sering diingatkan Islam kepada kita-manusia- adalah menjaga dan
memelihara dengan baik lidah dan tingkah laku. Rasulullah saw. berpesan kepada kita semua
yaitu:


Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Kiamat hendaklah berkata yang baik atau
diam.
Pesan ini menekankan tentang pentingnya menjaga tutur kata, tidak mengucapkan hal yang
buruk dan menyakiti hati, karena bertutur sembarang tanpa pikir akan membawa kepada
krisis lain yaitu permusuhan, kekacauan bahkan pertumpahan darah.
Maka dengan menjaga lidah dan tutur kata, dapat dipastikan akan terjalinnya kehidupan yang
tenteram, damai dan sejahtera di tengah masyarakat sepanjang masa. Dalam konteks inilah
Rasulullah saw berpesan supaya menjaga lidah dan tingkah laku agar tidak mengganggu dan
melampaui batas atau menyentuh hak dan muruah (wibawa) orang lain.
Lidah memang tak bertulang, pepatah itu menggambarkan betapa sulit mengatur lidah ini.
Terkadang dalam tempat-tempat perkumpulan, keadaan menjadi semakin seru bahkan akan
menjadi segar, bila seseorang menyodorkan gosip baru. Terlebih bila sang pencetus gosip
pernah merasa dirugikan oleh sang calon pesakitan. Yang ini bisa jadi akan tambah seru. Dia
pernah disakiti, disinggung, dipermalukan, dijahili, ataupun yang serupa dengan itu. Maka
rem lidah benar-benar sering blong.
2) Hakikat Lidah
Lidah adalah salah satu dari nikmat Allah. Manusia wajib memeliharanya dari dosa dan
kemaksiatan, menjaganya dari ucapan-ucapan yang bisa menimbulkan penyesalan dan
kerugian. Lidah akan menjadi saksi pada hari kiamat.
Allah SWT berfirman:

Pada hari ketika lidah, tangan dan kaki menjadi saksi atas mereka terhadap apa-apa yang
dahulu mereka kerjakan. (QS. 24: 24)
Lidah juga termasuk nikmat Allah SWT yang sangat besar bagi manusia. Kebaikan yang
diucapkannya akan melahirkan manfaat yang luas dan kejelekan yang dikatakannya
membuahkan ekor keburukan yang panjang. Karena dia tidak bertulang, dia tidak sulit untuk
digerakkan dan dipergunakan. Dia adalah alat paling penting yang bisa dimanfaatkan oleh
setan dalam menjerumuskan manusia.
Dalam hadits disebutkan:
Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang
menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan
barat. (Muttafaq alaih, dari Abu Hurairah)
Dan lidah juga merupakan sarana mempermudah manusia menyampaikan maksud yang
diinginkan kepada orang yang diajak bicara sehingga dengan itu orang yang diajak bicara
akan memahami maksud dari orang tersebut. Jika lisan tidak ada maka seseorang akan sulit
berbicara dan menyampaikan sesuatu yang diinginkan kecuali dengan bahasa isyarat.
3) Fenomena Bahaya Lisan
1. a) Alkalaamu fimaa laa yanihi (Ungkapan yang tidak berguna)
dakwatuna.com Nabi Saw. telah bersabda: Barang siapa mampu menjaga apa yang
terdapat antara dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk
surga. ( Muttafaq alaih, dari Sahl bin Saad)
Kita hendaknya hanya mengucapkan sesuatu yang bermanfaat, karena ucapan yang mubah
dapat mengarah kapada hal yang makruh atau haram. Rasulullah saw bersabda:


Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berbicara yang
baik atau diam. (Muttafaq alaih, dari Abu Hurairah)
Bila seseorang telah mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas segala ucapan lidahnya,
maka dia akan tahu bahaya kata-kata yang diucapkan lidah, dan dia pun akan
mempertimbangkan dengan matang sebelum lidahnya dipergunakan. Allah berfirman:

Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, kecuali di dekatnya ada malaikat Raqib dan
Atid. (QS. Qoof: 18)
1. b) Fudhulul Kalaam (Berbicara yang berlebihan)
Lidah memiliki kesempatan yang sangat luas untuk taat kepada Allah dan berdzikir
kepadanya, tetapi juga memungkinkan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan berbicara
berlebihan. Semestinya kita mampu mengendalikan lidah untuk berdzikir dan taat kepada

Allah, sehingga bisa meninggikan derajat kita. Sedangkan banyak berbicara tanpa dzikir
kepada Allah akan mengeraskan hati, dan menjauhkan diri dari Allah Azza wa Jalla.
Menuju surga cepat dengan lisan, menuju nerakapun cepat dengan lisan. Lisan bagai jaring
kalau menjaringnya baik akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya jika tidak hasilnya
akan sedikit dan melelahkan. Kata orang lidah tidak bertulang, maka lebih senang
mengatakan apa-apa tanpa berpikir. Bahaya lidah ini sebenarnya besar sekali. Nabi
Muhammad SAW juga pernah bersabda, Tiada akan lurus keimanan seorang hamba,
sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. dan
seorang hamba tidak akan memasuki syurga, selagi tetangganya belum aman dari
kejahatannya.
Allah telah memberikan batasan tentang pembicaraan agar arahan pembicaran kita
bermanfaat dan berdampak terhadap sesama, sebagaimana firman-Nya:





Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi shodaqoh atau berbuat maruf atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari
keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (Annisa: 114)
1. c) Al-khoudh fil baathil (Ungkapan yang mendekati kebatilan dan maksiat)
Orang-orang sufi lebih tekun menggunakan mulutnya untuk berdzikir dari pada berbincangbincang, memperingatkan dengan prihatin; Manusia paling sering tertimpa bahaya dan paling
banyak mendapatkan kesusahan adalah lidahnya terlepas dan hatinya tertutup. Ia tidak dapat
berdiam diri, dan kalau berkata tidak bisa mengungkapkan yang baik-baik.
Hasan Al Bashri semasa mudanya pernah merayu seorang wanita cantik di tempat sepi,
perempuan itu menegur, Apakah engkau tidak malu? Hasan Al Bashri menoleh ke kanan
dan ke kiri, lalu mengawasi pula sekelilingnya, setelah ia yakin di tempat itu hanya ada
mereka berdua, dan tidak terlihat siapapun, Hasan Al Bashri bertanya, Malu kepada siapa?
Di sini tidak ada orang lain yang menyaksikan perbuatan kita. Wanita itu menjawab, Malu
kepada Dzat yang mengetahui khianatnya mata dan apa yang disembunyikan di dalam hati
Lemas sekujur tubuh Hasan Al Bashri. Ia menggigil ketakutan hanya karena jawaban
sederhana itu, sehingga ia bertobat tidak ingin mengulangi perbuatan jeleknya lagi. Karena
itulah Rasulullah saw. mengingatkan, Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
kiamat, ucapkanlah yang bermanfaat, atau lebih baik diam saja.
1. d) Al-Miraa wal-jidaal (Berbantahan, bertengkar dan debat kusir).
Jidaal adalah menentang ucapan orang lain guna menyalahkan secara lafadz dan makna.
Perdebatan dalam isu-isu agama dan ibadah tidak banyak faedah yang didapat kecuali jika
dilangsungkan dengan etika debat yang benar, saling menghormati antar peserta dan dengan
kekuatan ilmiah yang meyakinkan. Biasanya debat yang tidak dikawal oleh akhlak lebih
banyak mengundang kepada pertengkaran dan permusuhan yang merugikan.

Tidak dinafikan debat merupakan salah satu uslub (cara) yang sangat efektif dan berkesan
dalam menyebarkan Islam, dakwah dan kebenaran, tetapi ia adalah langkah ketiga dan
terakhir, yaitu setelah terjadi kebuntuan dimana pendekatan dengan hikmah dan
nasihat/pengajaran yang baik tidak berhasil. Itupun dilangsungkan dengan akhlak dan adab
yang tinggi.
Allah berfirman:



Serulah ke jalan Tuhanmu wahai Muhammad dengan hikmat kebijaksanaan dan nasihat
pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik (AlNahl: 125).
Ayat di atas meletakkan debat pada tempat terakhir, yaitu selepas pendekatan hikmah dan
nasihat yang baik. Debat menjadi langkah terakhir, bukan karena kurang berkesan atau tidak
ada faedahnya, tetapi karena kesukaran mematuhi aturan, akhlak, adab-adabnya.
Debat selalu dirusak oleh tidak adanya ikhlas antara dua kubu yang terkait. Pendebat selalu
menginginkan kemenangan sekalipun ia tidak mempunyai hujjah. Pendebat tidak bersedia
mengalah, sekalipun ternyata ia berada pada pihak yang salah. Pendebat akan memilih untuk
berkata ya apabila lawan berkata tidak dan berkata tidak apabila lawan berkata ya.
Debat selalu dikuasai oleh pihak yang handal bercakap, sekalipun tidak berisi. Keadaannya
bagaikan dua pasukan pemain sepak bola yang masing-masing mempunyai suporter yang
tidak pernah mengaku kalah sekalipun tidak pernah bermain. Kalaupun ada yang mengaku,
tetapi hanya dalam gelanggang, di luar belum tentu. Begitulah debat yang tidak berakhlak
dan biasa kita saksikan.
Etika debat yang perlu dipatuhi untuk menghasilkan natijah yang baik bahkan sekaligus debat
disifatkan sebagai terbaik ialah:
1. Hindari penggunaan bahasa yang rendah, tindakan yang kasar dan tidak menghormati
pemikiran lawan. Jika perlu, adakan penengah untuk menengahi perjalanan debat.
Penengah perlu diberi hak memberi kartu kuning atau merah, bahkan menskor
pendebat yang melanggar disiplin debat dan aturan.
2. Hendaklah lebih banyak mencari titik persamaan antara kedua belah pihak. Kurangi
usaha mencari titik perbedaan. Lebih banyak persamaan yang ditemui, lebih banyak
hasil yang diperoleh. Arahkan sepenuhnya kepada titik-titik persamaan.
Debat Alquran yang berlangsung antara Nabi s.a.w. dengan Yahudi dan Nashara bahkan
dengan kaum musyrikin menjadi contoh untuk dipelajari, disiplin, akhlak dan etikanya.
Dikemukakan di sini debat antara Nabi dengan musyrikin dalam ayat 24-26 surah Saba yang
bermaksud; Allah berfirman:




Bertanyalah wahai Muhammad, siapa yang memberi rezeki kepada kamu dari langit dan
bumi? Terangkanlah jawabnya ialah Allah. Sesungguhnya tiap-tiap satu golongan, sama ada
kami atau kamu tetap di atas hidayat atau tenggelam dalam kesesatan. Katakanlah: Tuhan
akan menghimpunkan kita semua pada hari kiamat, kemudian akan menyelesaikan krisis di
antara kita dengan penyelesaian yang benar.
Debat nabi-nabi jelas beretika dan halus budi bahasanya. Setiap patah kata dalam
ungkapannya dapat menjadi contoh bagi para dai yang mencintai kebenaran. Tetapi sayang,
sebagian pendebat sekarang banyak menyimpang jauh dari panduan nabi-nabi, mereka
berdebat seolah-olah berperang. Segala isu yang muncul dalam dakwah, besar kemungkinan
ada persamaannya dalam politik.
1. e)Al-Khushumah istifa-ulhaq (Banyak omong yang berlebih-lebihan ingin
mendapatkan haknya).
Mulutmu harimaumu. Pepatah ini mengingatkan kita agar lebih hati-hati dalam berucap dan
mengeluarkan pernyataan. Bahwa sumber dari segala bencana di dunia ini bukan pada
bencana alam, letusan gunung berapi, banjir, ataupun gempa bumi, melainkan bersumber
pada mulut kita sendiri.
Rasulullah saw bersabda: Orang yang amat dibenci di sisi Allah adalah orang yang banyak
omong. (al hadits)
Menurut ilmu kedokteran, dalam tubuh manusia terdapat banyak lubang, tetapi di antara
lubang-lubang itu, hanya lubang mulut yang paling banyak mengandung virus. Ada lubang
telinga, lubang hidung, bahkan lubang saluran pembuangan kotoran, tetapi semua itu tidak
ada artinya jika dibandingkan dengan lubang mulut. Mulut manusia memang berbisa.
Secara lahiriyah mulut manusia itu mengandung banyak virus, terlebih secara batiniah. Itulah
sebabnya, ketika Rasulullah didatangi seseorang yang hendak menanyakan tentang Islam
dengan satu pertanyaan yang tidak perlu dan disusul dengan pertanyaan lainnya, maka
Rasulullah memberi jawaban singkat:

Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah. Sahabat tersebut bertanya,
dengan cara apa kami memeliharanya? Rasulullah memberi isyarat kepada lisannya.
1. f)Al Mizaah (Bercanda dan senda gurau)
Rasullullah acapkali bercanda. Rasullullah saw. Bersabda:



Sesungguhnya saya (Nabi Muhammad saw) suka bersendagurau dan saya tidak akan
mengatakan kecuali yang benar-benar.
Seperti kisah Rasullullah bersama seorang nenek yang menanyakan apakah si dia (nenek)
akan masuk surga. Dan dijawab Rasul saw, bahwa hanya orang muda saja penghuni syurga.

Si nenek pun terkejut, dan akhirnya Rasullullah menerangkan bahwa biarpun orang tua akan
menjadi muda kembali bila masuk surga.
Rasullullah saw. Bersabda: Sesungguhnya engkau (hai ibu tua) tidak lagi berupa seorang
tua-bangka pada waktu itu (yakni setelah masuk syurga). Karena Allah Taala berfirman:
Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung .
Maksudnya: tanpa melalui kelahiran dan langsung menjadi gadis. Dan Kami jadikan
mereka gadis-gadis perawan
Pada hadits tersebut dan hadits-hadits yang lain, banyak menceritakan bagaimana Rasullullah
saw. bercanda, dan sesungguhnya bercanda yang benar saja yang diperbolehkan. Beberapa
dai banyak yang menggunakan banyolan-banyolan dalam penyampaian dakwahnya,
terkadang sudah keterlaluan. Padahal Islam adalah agama yang serius, bukan dijadikan bahan
tertawaan. Masyarakat yang mendengar dai-dai ini berbanyol, hanya mendapatkan ketawanya
saja, sedangkan ilmunya hilang terbawa gelak tawanya. Dan sesungguhnya Allah sangat
murka pada sesuatu yang berlebihan, termasuk tertawa. Padahal dalam suatu hadits yang
menyebutkan bahwa sesungguhnya bercanda itu menyempitkan hati. Di hadist tsb,
menerangkan bahwa Rasullulllah tak pernah terlihat palate (langit-langit tenggorokan)-nya
bila beliau sedang ketawa, hanya senyuman-lah yang selalu menghiasi pribadi beliau saw.
1. g) Bidzaatul lisan wal qoulul faahisy was-sab (Ungkapan yang menyakitkan
/nyelekit)
Secara sadar atau tidak banyak kita jumpai perkataan yang menjurus kepada mencaci,
menghina, merendahkan, mengejek dan mempermainkan nama Allah, sifat-sifat-Nya, rasulrasul-Nya, kitab-kitab-Nya, ayat-ayat-Nya dan hukum-hukum-Nya serta hukum-hukum yang
diterangkan oleh rasul-Nya. Dan juga perkataan yang menolak, menafikan dan mengingkari
segala perkara dari alim ulama dimana semua orang tahu bahwa perkara itu dari agama.
Mislanya seperti katanya mengenai mana-mana hukum Islam:

Hukum apa ini?

Hukum ini sudah usang.

Zaman sekarang tidak pantas diharamkan riba karena menghalangi kemajuan.

Dalam zaman yang serba maju ini kaum wanita tak perlu dibungkus-bungkus.

Berzina jikalau suka sama suka apalah haramnya?

Minum arak kalau dengan tujuan hendak menyehatkan badan untuk beribadat apalah
salahnya?

Berjudi kalau masing-masing sudah rela menerima untung ruginya apa salahnya?

Kalau diberlakukan hukum-hukum Islam sampai kiamat kita tak maju-maju.

Ini perbuatan tidak beradab diceritakan bahwa Nabi Muhammad saw. setelah
makan: menjilat sisa makanan di jarinya.

Untuk itu Imam Al Bashri mengemukakan bahwa lidah orang berakal itu terletak di belakang
akalnya. Jika ia hendak berkata, dipikirkannya lebih dahulu. Kalau perkataan itu kira-kira
bakal bermanfaat baginya, ia akan mengucapkannya,. Kalau dirasakannya akan
membahayakan dirinya, ia memilih diam. Sedangkan hati orang dungu terletak di belakang
lidahnya. Jika ia mau berkata, langsung saja diucapkannya. Apalagi mengatakan yang tidak
pernah dikerjakan, dan membungkus keburukan hati dan keculasan perangai dengan ucapan
indah yang berbunga-bunga. Barangkali manusia dapat dikelabui, tetapi apakah Allah swt.
dapat ditipu?
1. h)Al Lanu (Melaknat, walaupun binatang atau benda, apatah lagi manusia)
Akhir-akhir ini kebiasaan melaknat (mengutuk) banyak merebak di tengah-tengah
masyarakat, baik yang tua maupun yang muda, laki-laki maupun wanita, dewasa maupun
anak-anak, sehingga didapati seseorang melaknat anaknya, saudaranya, tetangganya, bahkan
melaknat kedua orang tuanya dengan mengatakan, Terlaknatlah kedua orang tuaku atau
terlaknatlah ibuku, aku akan melakukan ini dan ini (seperti terkutuk bapakku jika aku tidak
melakukan ini dan ini). Biasanya dipakai untuk mengancam atau menantang.
Tidak diragukan lagi ucapan seperti itu adalah ucapan keji dan mungkar yang tidak
mendatangkan ridha Allah , seperti dalam firman-Nya:


Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. (al-Fajr: 14)
Dan firman Allah:

Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan
yang lebih baik, sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. (AlIsra: 53)
Dan beberapa hadits Nabi yang melarang hal tersebut di antaranya: Hadits Abu Dawud Tsabit
bin ad-Dhahak berbunyi: Melaknat seorang mukmin adalah seperti membunuhnya.
(Mutafaqun alaihi)
Hadits dari Abu Hurairah berbunyi: Tidak pantas bagi seorang shiddiq (orang yang
mengikuti kebenaran) menjadi tukang laknat. (HR Muslim)
Dan Hadits dari Abu Darda berbunyi: Tukang-tukang laknat tidak akan menjadi pemberi
syafaat dan pemberi kesaksian pada hari kiamat. (HR Muslim)
Hadits Abdullah bin Masud berbunyi: Seorang mukmin bukanlah tukang cela dan tukang
laknat dan bukanlah orang yang suka berkata keji lagi kotor. (HR Tirmidzi) ; Hadits ini
dicantumkan oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab beliau Shahih Jami Tirmidzi no 610 dan
Silsilah Hadits Shahih no 320

Di dalam Silsilah Hadits Shahih tercantum sebuah hadits yang berbunyi: Apabila sebuah
laknat terucap dari mulut seseorang, maka ia (laknat itu) akan mencari sasarannya. Jika ia
tidak menemukan jalan menuju sasarannya, maka ia akan kembali kepada orang yang
mengucapkannya.
Hakikat laknat adalah menjauhkan sesuatu dari rahmat Allah. Seseorang yang melaknat
berarti telah menyatakan bahwa sesuatu telah dijauhkan dari rahmat Allah, padahal itu
termasuk perkara gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Maka perbuatan seperti
ini termasuk berdusta dan mengada-ada atas nama Allah Dalam sebuah hadits dari Abu
Hurairah
ia
berkata,
Aku
mendengar
Rasulullah
bersabda,
Dahulu kala ada dua orang Bani Israil yang bersaudara. Salah seorang di antara keduanya
sering berbuat dosa, sedangkan yang lain tekun beribadah. Yang tekun beribadah selalu
mendapati saudaranya berbuat dosa, ia berkata, Tahanlah dirimu dari perbuatan dosa! Pada
suatu hari, ia melihat hal serupa, ia berkata, Tahanlah dirimu. Saudaranya berkata, Biarkan
aku bersama Rabbku! Apakah engkau diutus sebagai pengawasku? Maka ia pun berkata
kepada saudaranya tersebut, Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu atau demi Allah,
Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga. Kemudian ruh keduanya dicabut, lalu
bertemu kembali di hadapan Allah Rabbul Alamin. Allah berkata kepada yang tekun
beribadah, Apakah engkau mengetahui tentang Aku? Atau apakah engkau berkuasa atas apa
yang ada ditangan-Ku? Kemudian Allah berkata kepada saudaranya, Masuklah ke dalam
surga dengan rahmat-Ku. Dan Allah berkata kepadanya, Seret ia ke neraka!'
Abu Hurairah berkata, Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, orang tersebut telah
mengatakan sebuah kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya. (HR Abu Dawud
dengan sanad hasan) Cobalah perhatikan kalimat yang diucapkan oleh seorang ahli ibadah
tadi ternyata lebih besar daripada dosa yang dilakukan saudaranya, karena ia berani
bersumpah atas nama Allah. Hanya Allah sajalah yang dimintai pertolongan-Nya. Merupakan
musibah besar jika seseorang berani melaknat ibunya. Para sahabat sempat menganggap
mustahil perbuatan seperti itu, lalu Rasulullah menjelaskan maksudnya kepada mereka, yaitu
dengan mencela ayah ibu orang lain hingga orang tersebut mencaci ayah ibunya.(Muttafaqun
alaihi)
1. i)Al Ghina wasy-syir (Bernyanyi dan bersyair)
Allah berfirman:


Dan di antara manusia (ada) yang mempergunakan lahwul hadits untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu bahan olokolokan. (Luqman: 6)
Mengenai ayat ini Ibnu Abbas ra berkata bahwa Lahwal hadist dalam ayat ini berarti
Nyanyian. Ibnu Masud r.a menerangkan bahwa Lahwal hadist itu adalah al-Ghina
(nyanyian).
Allah berfirman:

Maka apakah kamu merasa heran dengan pemberitaan ini dan kamu mentertawakan dan
tidak menangis sedang kamu bernyanyi-nyanyi. (An-Najm: 59-60)
Kata Ikrimah r.a dari Ibnu Abbas r.a bahwa kata As-Sumud dalam akhir ayat ini berarti AlGhina menurut dialek Himyar. Dia menambahkan bahwa jika mendengar Alquran dibacakan,
mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.
Dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari sahabat Abi Amir dan Abi Malik
Al Asyari Rasulullah saw bersabda: Akan muncul dari kalangan ummatku sekelompok
orang yang menghalalkan farj (perzinahan), sutera, khamar dan alat-alat musik. (lihat Fatul
Bari, 10/51).
Nyanyian dan musik merupakan dua pintu yang dilalui setan untuk merusak hati dan jiwa.
Kaitannya dengan hal itu, Imam Al-Hafiz Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: Diantara tipu
daya setan musuh Allah dan diantara jerat yang dipasangnya untuk orang yang sedikit
ilmu, akal dan agamanya, sehingga orang yang bersangkutan tersebut terjebak kedalamnya
untuk mendengarkan kidung dan nyanyian yang diiringi musik yang diharamkan. Satu hal
yang mengherankan adalah sebagian manusia yang mengaku memiliki konsentrasi untuk
ibadah justru telah menjadikan nyanyian, tarian dan lagu-lagu lain sebagai wahana untuk
beribadah sehingga mereka meninggalkan Alquran.
Ibnu Qayyim dalam kitabnya Ighatsatul-Lahfan min Mashayidisy-Syaithan menamai
nyanyian seperti itu dengan sepuluh nama, yaitu: lahwun (main-main), laghwun (pekerjaan
sia-sia), zuur (kebathilan), muka (siulan), tasydiah (tepuk tangan), ruqyatuz-zina (jimat dalam
perzinahan), pedomannya setan, penumbuh nifak didalam hati, suara kedunguan, suara yang
penuh dosa, suara setan atau seruling setan.
Ada beberapa nyanyian yang diperbolehkan yaitu: Menyanyi pada hari raya. Hal itu
berdasarkan hadits Aisyah: Suatu ketika Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam masuk ke bilik
Aisyah, sedang di sisinya ada dua orang hamba sahaya wanita yang masing-masing
memukul rebana (dalam riwayat lain ia berkata: dan di sisi saya terdapat dua orang
hamba sahaya yang sedang menyanyi.), lalu Abu Bakar mencegah keduanya. Tetapi
Rasulullah malah bersabda: Biarkanlah mereka karena sesungguhnya masing-masing kaum
memiliki hari raya, sedangkan hari raya kita adalah pada hari ini. (HR. Bukhari)
Menyanyi dengan rebana ketika berlangsung pesta pernikahan, untuk menyemarakkan
suasana sekaligus memperluas kabar pernikahannya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda: Pembeda antara yang halal dengan yang haram adalah memukul rebana dan suara
(lagu) pada saat pernikahan. (Hadits shahih riwayat Ahmad). Yang dimaksud di sini adalah
khusus untuk kaum wanita. Nasyid Islami (nyanyian Islami tanpa diiringi dengan musik)
yang disenandungkan saat bekerja sehingga bisa lebih membangkitkan semangat, terutama
jika di dalamnya terdapat doa.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyenandungkan syair Ibnu Rawahah dan
menyemangati para sahabat saat menggali parit. Beliau bersenandung: Ya Allah tiada
kehidupan kecuali kehidupan akherat maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin.
Seketika kaum Muhajirin dan Anshar menyambutnya dengan senandung lain: Kita telah
membaiat Muhammad, kita selamanya selalu dalam jihad. Ketika menggali tanah bersama
para sahabatnya, Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam juga bersenandung dengan syair Ibnu
Rawahah yang lain: Demi Allah, jika bukan karena Allah, tentu kita tidak mendapat

petunjuk, tidak pula kita bersedekah, tidak pula mengerjakan shalat. Maka turunkanlah
ketenangan kepada kami, mantapkan langkah dan pendirian kami jika bertemu (musuh)
Orang-orang musyrik telah mendurhakai kami, jika mereka mengingin-kan fitnah maka kami
menolaknya. Dengan suara koor dan tinggi mereka balas bersenandung Kami menolaknya,
kami menolaknya. (Muttafaq Alaih)
1. j)Attaqour fil kalaam (Berfasih-fasih dalam berbicara untuk menarik perhatian)
Salah satu modal untuk dapat diterima dalam menjalin hubungan dengan orang lain adalah
menarik perhatian. Untuk itu kerap kali orang berakting untuk mendapatkan perhatian orang
lain. Namun kadang orang sering kebablasan dalam akting yang dimainkan, sehingga sering
dijuluki over acting, sok gagah, sok fasih. Misalnya saja ada orang yang sering menggunakan
action Inggris untuk menunjukkan bahwa dia dapat berbahasa Inggris. Atau dengan action
Arab untuk menunjukkan dia dapat berbahasa Arab, walaupun pada kenyataannya tidak.
Pernah dalam kampanye Pemilu seorang jurkam sebuah parpol besar (dengan penuh
semangat berpidato di hadapan massanya) berkata, Saudara-saudara parpol kami sangat
berempati dan antonius dengan nasib rakyat jelata (Maksudnya mungkin antusias).
1. k) Ifsyaaussirri (Membocorkan rahasia)
Mudrik bin Aun Al-Ahmas berkata: Ketika aku berada di sisi Umar radhiyallahu anhu,
datanglah utusan An-Numan. Umar radhiyallahu anhu pun menanyakannya tentang keadaan
pasukan. Utusan itu menyebutkan orang-orang yang terluka dan terbunuh di Nahawand, ia
berkata: Si Fulan bin Fulan, Fulan bin Fulan dan lain-lain yang tidak engkau kenal. Umar
radhiyallahu anhu berkata: Akan tetapi Allah Subhanahu wa Taala mengetahui mereka.
Dalam riwayat lain disebutkan: Akan tetapi Dzat Yang telah mengkaruniakan mereka
syahadah (mati syahid) mengetahui wajah dan nasab mereka.
Hubungan istri adalah hubungan yang khas, di mana keduanya bisa saling meleburkan diri
menjadi satu kesatuan. Di sana ada cinta, juga kasih dan sayang. Karenanya, dalam
kehidupan suami istri pasti terjadi hubungan intim yang tidak ada orang lain yang
mengetahuinya, kecuali mereka berdua. Saat-saat itu suami mencurahkan segala kasih
sayangnya kepada istri, demikian juga sebaliknya.
Hubungan yang demikian, sekalipun berbaur antara cinta dan nafsu tapi Allah telah
mensakralkannya. Hubungan itu suci dan berpahala. Hunbungan itu baru ternoda jika ada
salah seorang di antaranya, baik suami atau istri yang membuka rahasia mereka berdua
kepada orang lain. Baik karena ingin mengungkapkan rasa bahagianya maupun karena rasa
kecewa.
Membuka rahasia rumah tangga kepada pihak lain sama sekali tidak mendatangkan
keuntungan, justru bencana dan malapetaka. Rumah tangga bisa berantakan karena salah satu
pihak merasa tersinggung dan terhina karenanya. Kehidupan rumah tangga terganggu, bahkan
tidak tertutup kemungkinan jika kemudian masalahnya berkembang sampai akhirnya terjadi
perceraian.
Jika anggota badan yang terluka bisa dijahit dan diperban. Akan tetapi jika hati yang terluka
bisa dibawa sampai mati. Hari ini bisa ditekan, tapi besok bisa muncul kembali. Itulah
sebabnya kenapa kita harus menjaga rahasia istri atau suami.

Dari Abu Said Al-Khudri ra beliau berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya sejelekjelek orang di sisi Allah pada hari qiamat kelak adalah suami yang sudah mencurahkan
segala kasih sayangnya kepada istrinya dan istrinya pun sudah menyerahkan segala kasih
sayangnya kepadanya, kemudian dia (suami) menyebarkan rahasia istrinya (dan istrinya
membuka rahasia suaminya). (HR. Muslim)
1. l) Alkadzibu (Dusta atau berbohong dalam perkataan, janji dan sumpah)
Allah SWT berfirman

Hendaklah kita menjauhi perkataan-perkataan dusta. (Al-Hajj: 30)
Dalam peribahasa mengatakan, kerana lidah (mulut) badan binasa ini mengingatkan kita
untuk hidup dalam suasana yang tenteram, aman dan damai, hendaklah diawasi lidah kerana
melalui tutur kata akan menjadi lebih benar, beradab dan bahasanya lebih santun.
Suka berbohong bukan saja menimbulkan kemarahan orang yang mendengarnya, malah
menimbulkan implikasi buruk kepada si pembohong itu sendiri. Dari Abu Hurairah r.a.
katanya Rasulullah s.a.w. bersabda: Tidak beriman seseorang dengan sempurna sehingga
ditinggalkan pembohongan walaupun senda gurau, bersengketa atau perbalahan.
Tabiat suka berbohong termasuk dalam kategori dosa besar setelah syirik (menyekutukan
Allah) dan durhaka terhadap kedua orang tua. Ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah saw:
Maukah aku tunjukkan perihal dosa-dosa besar? Kami menjawab: Ya, tentu mau wahai
Rasulullah. Rasulullah menjelaskan: Menyektukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua.
Oh ya, (ada lagi) yaitu perkataan dusta. (Riwayat Muttafaq Alaih)
Berkata Imam Nawawi di kitabnya Al-Adzkar (halaman 326): Ketahuilah! Sesungguhnya
menurut madzhab Ahlus Sunnah bahwa dusta itu ialah: Mengkabarkan tentang sesuatu yang
berlainan (berbeda/menyalahi) keadaannya. Baik dilakukan dengan sengaja atau karena
kebodohan (tidak sengaja), akan tetapi tidak berdosa kalau karena kebodohan (tidak sengaja)
dan berdosa kalau dilakukan dengan sengaja.
1. m)Al Ghiibah (Menceritakan keburukan orang lain)
Dalam sebuah perjalanan ke suatu daerah, para sahabat diatur agar setiap dua orang yang
mampu, membantu seorang yang tak mampu (tentang makan-minum). Kebetulan Salman Al
Farisi diikutkan pada dua orang, tetapi ketika itu ia lupa tidak melayani keperluan keduanya.
Ia disuruh minta lauk pauk kepada Rasulullah saw. Dan setelah ia berangkat, keduanya
berkata, Seandainya ia pergi ke sumur, pasti surutlah sumurnya.
Sewaktu Salman menghadap, beliau bersabda, Sampaikan kepada kedua temanmu bahwa
kalian sudah makan lauk pauknya. Setelah ia menyampaikan kepada mereka berdua, lalu
keduanya menghadap kepada Nabi saw dan katanya, Kami tidak makan lauk pauk dan
seharian kami tidak makan daging. Kemudian Rasulullah bersabda, Kalian telah
mengatakan saudaramu (Salman) begini-begitu. Maukah kalian memakan daging orang
mati? Mereka menjawab, Tidak! Jika kalian tidak mau makan daging orang mati, maka

janganlah kalian ghibah mengatakan kejelekan orang lain, sebab yang demikian itu berarti
memakan daging saudaranya sendiri.
Menurut Ibnu Abbas, kisah tersebut yang melatarbelakangi diturunkannya surat Al-Hujarat:
12





Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (buruk), karena
setengahnya itu dosa, dan janganlah menyelidiki kesalahan orang lain, dan jangan pula
setengah kamu menggunjing (ghibah) atas sebagian yang lainnya. Maukah seseorang di
antara kamu makan daging saudaranya yang mati? Pasti kamu jijik (tidak mau).
Bertaqwalah kepada Allah, bahwasannya Allah menerima taubat lagi Penyayang.
Dari Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari An-Naufal, dari Al-Sakkuni, dari Abu Abdillah ra
berkata: Rasulullah SAW bersabda: Kerusakan yang dilakukan oleh ghibah
(mengumpat/memfitnah) pada iman seorang mukmin lebih cepat daripada kerusakan yang
disebabkan oleh penyakit aklah (penyakit yang memakan daging di tubuh manusia) pada
tubuhnya.
Diriwayatkan dari Abu Dzar berkata: Ya Rasulullah, apakah ghibah itu? Rasul menjawab:
Menyebutkan tentang saudaramu akan sesuatu yang membuat dia merasa jijik. Aku
berkata: Ya Rasulullah, bagaimana jika hal tersebut memang ada pada dirinya? Rasul
menjawab: Ketahuilah, bahwa menyebut tentang sesuatu yang memang ada pada dirinya,
berarti kamu telah mengumpatnya. Abu Dzar berkata: Nabi SAW bersabda: Ghibah
merupakan suatu dosa yang lebih besar daripada berzina. Kataku: Bagaimana itu, ya
Rasulullah? Rasul menjawab: Itu karena orang yang berzina, jika dia bertobat kepada
Allah, Allah menerima tobatnya. Namun ghibah tidak diampuni oleh Allah, hingga korban
daripada ghibah mengampuninya.
1. n)Al-madhu (Sanjungan yang menjerumuskan)
Imam Ats-Tsauri menuturkan: Apabila engkau bukan termasuk orang yang takjub terhadap
diri sendiri, hal lain yang perlu diingat ialah; hindarilah sifat senang disanjung orang.
Maksudnya bukan orang lain tidak boleh memuji perbuatanmu itu, tetapi janganlah kamu
meminta pujian dari orang lain. Hendaknya engkau selalu berhubungan dengan Allah
Subhanahu wa Taala (dengan selalu mengingatnya).
Dalam sebuah hadits disebutkan: Barangsiapa yang mencari ridha Allah Subhanahu wa
Taala, meskipun menimbulkan kemarahan manusia, niscaya Allah Subhanahu wa Taala
akan meridhainya dan akan membuat manusia ridha terhadapnya. Dan barangsiapa yang
mencari kesenangan manusia, hingga membuat Allah murka maka Allah murka kepadanya
dan membuat manusia murka terhadapnya. (HR. At-Tirmidzi).
Jenis pujian lain adalah memuji diri sendiri atas kekurangan yang ada padanya. Ini termasuk
rekomendasi terhadap diri sendiri. Sebagian orang sengaja memuji diri sendiri di hadapan
orang banyak. Padahal Allah SWT telah berfirman:

Janganlah kamu menganggap diri kamu suci (An-Najm: 32).


Dan perbuatan tadi termasuk menganggap suci diri sendiri. Rabbah Al-Qaisi pernah ditanya:
Apakah yang dapat merusak amalan seseorang? Beliau menjawab: Sanjungan orang dan
lupa terhadap Allah Subhanahu wa Taala yang telah memberi nikmat
Seorang penyair berkata:
Sungguh
aneh
orang
yang
memuji
dirinya
sendiri
Namun tidak menyadari bahwa pujiannya itu sendiri adalah kekurangan dirinya
Seorang
pemuda
memuji
diri
atas
kekurangan
yang
ada
padanya,
Menyebut-nyebut aibnya sendiri hingga diketahui kejelekannya
Pujian sesekali perlu diberikan. Hal ini membuat orang lain berusaha untuk bekerja lebih baik
lagi. Karena, pada dasarnya semua orang mendambakan penghargaan walaupun hanya berupa
kata-kata pujian.
Rasulullah saw. memberikan reward kepada para sahabatnya selalu disertai doa. Misalnya
Saad Bin Abi Waqash pernah didoakan Rasulullah tentang dua hal yaitu kalau berdoa pasti
dikabulkan Allah dan kalau memanah pasti kena sasaran. Inilah sanjungan yang dilandasi
persahabatan yang dibangun atas dasar cinta kepada Allah.
Biasanya kita dapati pada masyarakat yang budaya paternalistiknya sangat kuat; budaya
Asal Bapak Senang; budaya Yes Man dan sebagainya. Berbagai gelar, acap kali disematkan
sebagai tanda loyalnya bawahan terhadap atasan, misalnya Bapak Revolusi, Wali ul Amri,
Bapak Pembangunan dan banyak bentuk-bentuk sanjungan yang pada akhirnya justru akan
menghancurkan orang tersebut. Seperti Firaun yang selalu disanjung, dipuja oleh rakyatnya
dan pada gilirannya Firaun mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan. Dan kita tahu bagaimana
akhir dari kehidupan Firaun itu sangat tragis dan mengenaskan. Dan hanya Allah yang pantas
mendapat segala jenis sanjungan dan pujian.
1. o) Assukhriyah wal istihza (Menyebutkan hal yang bikin malu kejelekan
diceritakan untuk ditertawakan)
Menjelang perpisahannya dengan Nabi Musa as, Nabi Khidir as, memberi nasihat, Hai
Musa, janganlah terlalu banyak bicara, dan jangan pergi tanpa perlu, dan jangan banyak
tertawa, juga jangan mentertawakan orang yang berbuat salah, dan tangisilah dosa-dosa yang
telah kamu perbuat, hai putra Ali Imran. (Tanbighul Ghafilin: 192-193).
Tertawa, tentu saja, bukanlah sesuatu yang dilarang. Siapa saja boleh tertawa selagi ingin.
Dengan tertawa menunjukkan, bahwa seseorang sedang dalam keadaan senang.
Bahkan tertawa bisa menjadi ilham bagi seorang penulis untuk membuat sebuah buku. Akan
tetapi, tertawa dalam pengertian mengeluarkan suara meledak-ledak oleh sebab rasa suka,
geli apalagi mengandung unsur menghina seseorang, ini akan lain ceritanya.
Tidak didapati dalam ajaran di luar Islam yang mengatur tata hidup sedemikian rupa, hingga
masalah tertawa.
Allah swt berfirman:



Maka hendaklah mereka sedikit tertawa dan banyak menangis sebagai pembalasan dari
apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. At-Taubah: 82).
Dalam salah satu haditsnya Rasulullah saw bersabda: Seandainya kamu mengetahui apa
yang aku ketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa, . (HR.Abu Dzar ra) . Rasulullah
saw tidak pernah tertawa, kecuali hanya tersenyum, tidak menoleh kecuali dengan wajah
penuh (maksudnya: tidak melirik). (Jafar Auf, Masud dari Auf Abdillah)
Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa tersenyum itu hukumnya
sunah, sedang tertawa terbahak-bahak makruh. Maka bagi mereka yang tetap ingin sehat
akalnya, seyogyanya menjauhi tertawa dengan cara demikian (terbahak-bahak atau meledakledak), kata Al-Faqih Abu Laits Samarqandi. Dengan kata lain, orang yang tidak bisa
mengendalikan diri dan gemar tertawa, akan membuat fungsi akalnya terganggu, lengah dan
lupa diri, yang berarti membuka pintu bagi syetan untuk masuknya godaan. Dalam surat AnNajm (53): 59-61 Allah memperingatkan,


Apakah dengan ajaran ini, kalian taajub (heran)? Kamu tertawa dan tidak menangis.
Sedangkan kalian lengah. (An-Najm: 59-61)
Ibnu Abbas ra berkata, Barangsiapa tertawa di saat berbuat maksiat, maka akan bercucuran
tangis di neraka. Tertawa yang berlebihan, termasuk di antara 3 perkara yang menyebabkan
hati seorang menjadi bebal dan membatu. Sedang dua penyebab yang lainnya yaitu: belum
lapar sudah makan lagi dan gemar omong kosong (bicara ke sana kemari yang tak berguna).
Terkadang kita mendapati seseorang yang kesibukannya membuat orang tertawa-tawa,
sehingga bukan semata menjadi hiburan hati, tapi sudah mengarah pada membuat orang
menjadi lengah dan lupa.
Kepada yang berbuat seperti ini Rasulullah saw memberi peringatan: Celakalah orang yang
berdusta supaya ditertawakan orang lain. Celakalah dia, celakalah dia! (HR. Tirmidzi)
1. p) An-namiimah (Adu domba atau menghasut)
Adu domba merupakan perangai tercela yang menanamkan dendam diantara manusia, ini
merupakan sifat yang dibenci setiap muslim dan muslimah. Sifat yang buruk ini tidak boleh
diremehkan, karena diantara ciri-ciri adu domba dan yang telah ditetapkan baginya, bahwa ia
bisa memisahkan seseorang dengan kerabatnya, seseorang dengan teman-temannya, bahkan
dirinya dengan anggota saudaranya sendiri.
Adu domba bisa menimbulkan tindak pembunuhan, bahkan peperangan antara dua kabilah.
Di dalam masyarakat kita banyak terdapat peristiwa yang menunjukkan betapa besar akibat
yang ditimbulkan adu domba. Sedangkan istri yang ideal mempunyai sikap yang pasti dalam
menghadapi adu domba sesuai dengan hukum syariat tentang adu domba, bahwa nabi perbah
bersabda:

Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba. (muttafaq alaihi).
1. q) Al khotho fi daqo-iqul kalaam (Bertanya yang bukan-bukan, hingga
memberatkan orang yang menjawab)
Abu Hurairah radhiallahu anhu, menceritakan bahwasanya di mendengar Rasulullah
Shallallahu alaihi Wasallam bersabda:


Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya maka jauhilah ia, dan apa yang aku
perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan
kalian, karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang yang sebelum kalian adalah
karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka (yang mereka ajukan) dan perselisihan
mereka dengan para Nabi-Nabi (yang diutus kepada) mereka. (H.R.Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits tersebut kita diperintahkan untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh
Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam dan menjauhi apa saja yang dilarang oleh beliau.
Larangan tersebut dimaksudkan agar kita tidak terjebak dengan apa yang telah menimpa
umat-umat terdahulu yang hancur dan binasa gara-gara terlalu banyak bertanya kepada NabiNabi mereka tentang sesuatu yang tidak ada faedahnya begitu juga seringnya mereka
berselisih dan membantah Nabi-Nabi mereka tersebut.
Secara global, barangsiapa yang melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi saw dan
menjauhi apa yang dilarang oleh beliau dan memfokuskan diri pada apa yang diperintahkan
kepadanya, terlepas dari yang lainnya maka dia akan mendapakan keselamatan di dunia dan
akhirat sedangkan orang yang berbuat sebaliknya dengan menyibukkan dirinya berdasarkan
pertimbangan logika dan perasaan semata, maka dia telah terjerumus kedalam apa yang
dilarang oleh Nabi saw sama seperti halnya Ahlul Kitab yang binasa lantaran terlalu banyak
bertanya dan berselisih dengan para Nabi mereka dan ketidaktundukan serta ketidaktaatan
mereka kepada para Rasul yang diutus kepada mereka.
4) Menjauhi Bahaya Lidah
1. Menjaga mulutnya agar tidak kemasukan barang haram.
2. Menjaga mulutnya agar tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya
dikatakan.
Masuk keluarnya sesuatu dari mulut itu harus benar-benar dijaga, sebab letak keselamatan
manusia, dunia dan akhiratnya itu terletak pada kemampuannya untuk menjaga hal tersebut di
atas.
Abu Bakar ash-Shiddiq, khalifah pertama pengganti Rasulullah pernah meletakkan tongkat di
mulutnya untuk menjaga ucapannya. Lalu ia menunjuk lisannya seraya berkata: Inilah yang
dapat mengeluarkanku dari tempat tempat keluar (maksudnya: keluar dari batas-batas
kebenaran).
Sebagai khalifah, Abu Bakar dikenal orang yang paling hemat dalam berbicara. Ketika
ditunjuk menjadi khalifah, ia hanya berpidato sebentar.

Meskipun pidatonya sebentar, tapi kata-katanya dihafal oleh para sahabat, juga kaum
muslimin hingga sekarang. Singkat tapi padat. Penuh arti dan konsisten. Apa yang dikatakan,
itulah yang ada di dalam pikiran dan perasaannya. Antara ucapan dan tindakannya tidak
terdapat perbedaan. Antara ucapannya hari ini dan besok tidak saling bertentangan.
Meskipun Abu Bakar memerintah kaum muslimin dalam tempo yang amat singkat, tapi
banyak hal yang bisa diselesaikan. Ancaman disintegrasi (pemurtadan), kerusuhan rasial antar
suku dan golongan, dan berbagai gejolak dalam negeri segera dapat diatasi, bukan dengan
kata-kata, tapi tindakan. Bukan dengan lelucon, humor, apalagi gaya ketoprakan.
Pemimpin model Abu Bakar inilah yang kita nantikan saat ini untuk memimpin bangsa
Indonesia menuju gerbang masa depan.
Semua pemimpin seharusnya dapat menahan diri dari perkataan yang tidak benar,
mengandung fitnah, dan adu domba. Mereka harus menahan diri dari ucapan yang dapat
menyakiti atau melukai perasaan orang lain, walaupun mengandung substansi yang benar.
Pemimpin adalah orang yang hemat berbicara, sedikit berkata-kata, dan berbicara seperlunya
saja.

También podría gustarte