Está en la página 1de 5

MENGEMBANGKAN MASELA, MEMBANGUN

INDONESIA DARI PINGGIRAN

Untuk kesekian kalinya pembuat kebijakan dan pengambil keputusan di


sektor migas Indonesia berada dipersimpangan jalan dalam upaya
mensejahterakan rakyatnya. Terkait dengan rencana pengembangan Blok LNG
Masela di provinsi Maluku, pemerintah seperti harus berlomba dengan waktu
untuk menetapkan Plan Of Development (POD) blok tersebut. Tenggat awal
yang telah ditetapkan sendiri adalah pada tanggal 10 Oktober 2015.
Indonesia dengan perkiraan cadangan Proven (P1) sebesar kurang lebih
150 TCF (ESDM; 2015) dikaruniai sumber daya gas alam yang cukup besar
untuk digunakan bagi kemajuan bangsa. Namun harus diakui pula, pengelolaan
dan pemanfaatan gas sampai saat ini, khususnya gas alam masih belum efisien
dan efektif. Tidak bisa dimungkiri lagi, daerah Kalimantan Timur sebagai salah
satu provinsi penghasil devisa melalui ekspor LNG dan juga minyak, masih
harus mengalami pemadaman listrik bergilir. Begitu juga beberapa daerah lain,
mengalami nasib yang sama. Ibarat tikus mati di lumbung padi. Kondisi sangat
memprihatinkan ini sudah saatnya harus diakhiri. Keberpihakan dan kehadiran
pemerintah pada saat diperlukan seperti dicanangkan dalam program
Nawacita Presiden Jokowi sangat dinantikan.
Kurangnya infrastruktur pipa gas dan tanki penampungan (storage) selalu
dijadikan sebagai alasan utama untuk kembali mengekspor sebagian besar
atau bahkan semua produksi gas bumi yang sangat berharga itu dalam bentuk
LNG ke berbagai negara seperti Jepang, Korea, China dan lain-lain. Sebagian
gas alam itu juga terus dialirkan melalui pipa dari Panaran (Batam) ke
Singapura. Di sisi lain, banyak pembangkit listrik Combined Cycle PT. PLN justru
tidak mendapat pasokan gas untuk memutar turbin sehingga gagal
mengalirkan listrik memadai ke rumah-rumah penduduk dan industri. Alhasil,
ketika Singapura menghelat acara lomba F1 pertama dunia di malam hari
dengan gemerlap lampu terang benderang, tetangganya di Batam harus
berbagi gulita karena pemadaman bergilir. Penundaan rencana pembangunan
1

pipa gas Kalimantan-Jawa (Kalija) pada tahun 2006 yang diiringi dengan krisis
financial pada 2008 telah membawa akibat kita harus menjual gas pada kurun
2009-10 dengan harga SALE sangat murah.
Nampaknya kebijakan ekspor gas yang sangat merugikan itu, ditengarai
masih akan terus dipelihara untuk beberapa tahun mendatang. Hal ini terlihat
dari praktek Domestic Market Obligation yang kurang implementatif dan
tidak diiringi law enforcement memadai. Akibatnya devisa hasil penjualan
gas malah justru habis dan ter off set ketika Negara harus membeli Bahan
Bakar Minyak (BBM) untuk berbagai keperluan. Pada akhirnya kebijakan
ekspor gas ke Jepang, China, dan Korea, justru menurunkan daya saing industri
nasional, terutama industri yang bergantung kepada pemanfaatan gas baik
untuk kebutuhan energy primer, industri petrokimia, olahan karet, keramik,
hingga besi dan baja. Negara pengimpor gas kita justru mendapatkan sumber
energy sangat murah, bersih dan berkesinambungan untuk mendorong
industri mereka yang sudah mencapai tingkat efisiensi jauh di atas berbagai
industri nasional.
Pengembangan blok Masela menjadi kesempatan emas pemerintah
sekarang untuk memperlihatkan komitmennya dalam membangun Indonesia
di era keterbukaan. Juga, momentum untuk memperlihatkan kinerja
pemerintah yang lebih berpihak kepada masyarakat luas, membangun dari
pinggiran dengan rencana pengembangan wilayah terintegrasi yang didukung
oleh sumber daya setempat. Dengan volume sekitar 1400 mmscfd, hampir 2
kali lipat volume South Sumatera West Java (SSWJ) dari Sumsel yang dibawa ke
Jabar, Blok Masela menjanjikan ketersediaan pasokan gas alam jangka panjang
yang sangat dibutuhkan ekonomi nasional.
Saat ini pemerintah sedang memfinalisasi pilihan teknologi dan sistem
terbaik untuk mengelola Blok Masela ini. Pilihan akhirnya mengerucut pada
dua opsi, yaitu Floating LNG (FLNG) dengan membangun kilang semi terapung
atau Onshore/land LNG (OLNG) dengan membawa gas melalui pipa ke pulau
terdekat yang layak. Dari salah satu acuan, secara financial besaran pendanaan
yang dibutuhkan Blok Masela ini memperlihatkan bahwa pilihan FLNG sedikit
lebih irit dibanding OLNG. Perkiraan sementara kebutuhan pendanaan untuk
FLNG adalah sebesar $ 15 milyar, sedangkan OLNG akan menghabiskan dana
sebesar $ 19 milyar. Situasi terkini memperlihatan pula adanya keinginan
2

pemerintah untuk meningkatkan POD dari 2,5 MTPA menjadi tiga kali lipat 7,5
MTPA.
Dari sumber lain diperoleh acuan penting tentang harga satuan
pembangunan FLNG yang berkisar dari $ 3,5 - $ 4,6 milyar/MTPA, sementara
untuk OLNG Plant berkisar dari $ 2,37-2,74 milyar/MTPA, serta Deepwater
offshore platforms mempunyai harga satuan $ 3.25-4.04 milyar per MTPA. JIka
menggunakan acuan ini, maka OLNG menjadi pilihan karena lebih murah
daripada FLNG. Artinya pemerintah masih harus menghitung ulang perkiraan
biaya untuk FLNG dan pilihan OLNG.
Terkait total pendanaan yang dibutuhkan, perlu juga kiranya diklarifikasi
tentang Cost-Recovery yang dimasukkan ke dalam perhitungan FLNG yang ada
saat ini. Perlakuan cost recovery untuk sisi hilir (downstream) dianggap
melanggar kaidah atau praktek bisnis hilir migas, sekaligus tidak sejalan dengan
UU 22/2001 tentang Migas. Perlu menjadi catatan juga bahwa pemerintah
sebaiknya tegas dalam pemisahan bisnis hulu dan hilir migas sehingga kisruh
pengenaan dan perhitungan Cost- Recovery yang sarat dengan rentseeker
behavior itu bisa sekaligus dieliminasi guna efisiensi bisnis migas secara
umum, mulai dari hulu hingga hilir.
Membandingkan aspek finansial semata untuk proyek sebesar Blok LNG
Masela tentu saja merupakan kekeliruan. Seyogyanya perencanaan suatu
proyek besar telah mempertimbangkan aspek ekonomi secara menyeluruh,
termasuk lingkungan.
Dari sisi industri, selain menurunkan daya saing industri nasional terhadap
produk-produk industri olahan yang berasal dari China, Jepang, dan Korea,
melanggengkan ekspor LNG keluar negeri juga merontokkan kemampuan
industri nasional disemua bidang. Secara tidak langsung kondisi tersebut telah
menutup jutaan lapangan kerja bagi insinyur Indonesia dan tenaga kerja
terdidik dan unskilled lainnya. Dari hasil telaahan Rauf Purnama, setiap 1
MMBTU ekspor gas alam yang dihargai pasar saat ini sekitar 3,6-8 US$, jika
diolah dengan ammonia akan memberikan nilai tambah (value added) berlipat
dengan antara lain sebesar $17,31 untuk pupuk Urea; $37,50 untuk bahan
peledak; $25.00 untuk tekstil dan karpet; serta $ 33,13 untuk Boiler. Haruslah
diakui, Indonesia sudah terlalu lama menyia-nyiakan kesempatan
3

pengembangan berbagai industri sekunder dan tertier utama berbasiskan gas


alam di berbagai wilayah di dalam negeri.
Selain terbatasnya pasokan gas untuk pembangkit dan sektor industri,
beberapa kota besar kita seperti Jakarta akhirnya harus mengurangi dan
menghentikan pasokan gas transportasi yang 10 tahun lalu telah mampu
mendorong konversi pemakaian BBM kepada gas tabung (CNG) untuk
kendaraan bermotor, baik pribadi maupun umum. Kita juga sangat prihatin
akan ketergantungan sektor rumah tangga terhadap LPG dalam penggunaan
aktivitas rumah tangga sehari-hari. Sejatinya tabung-tabung LPG hanyalah
temporary solution atas minumnya jaringan distribusi gas rumah tangga.
Apalagi pemanfaatan tabung-tabung gas mini dengan kapasitas hanya 3
kilogram, terasa sangat melecehkan pola pikir bangsa Indonesia yang
dikaruniai kekayaan sumber alam melimpah.
Pilihan pembangunan blok Masela ini dengan OLNG yang membutuhkan
tambahan pipa diperkirakan juga akan membuka lapangan pekerjaan serta
tambahan pemanfaatan komponen lokal yang sebagian besar sudah dapat
diproduksi di dalam negeri. Di samping itu, pembukaan area baru untuk
kawasan yang cukup luas di Indonesia bagian timur untuk industri LNG dapat
dipastikan akan membuka kawasan baru yang bisa dirancang menjadi kawasan
industri baru sekaligus hunian pintar (smart city). Penambahan kawasan
industri baru di blok Masela dengan pipanisasi ke Pulau Tanimbar atau Aru
akan memperkuat posisi pembangunan sosial ekonomi maupun geo-politik
Indonesia terhadap Australia.
Di sisi lain, jika pilihan FLNG yang dipilih, alternative pemanfaatan
pengembangan wilayah agak berkurang mengingat fasilitas yang tersedia
nantinya hanyalah berupa kilang raksasa terapung yang secara kontinu akan
memompakan gas yang dikandung blok ini untuk dikirim melalui pipa-pipa ke
dermaga dan selanjutnya di masukan ke dalam kapal-kapal tangker raksasa
yang akan membawanya menjauh, meninggalkan tanah Maluku manise.
Memperhatikan uraian di atas, rasanya pemerintah sebaiknya menunda
tenggat/date line kepastian POD dan pilihan teknologi yang akan digunakan
agar bisa memberikan tambahan waktu untuk menentukan pilhan yang paling
tepat mengingat skala proyek yang besar dan vital bagi kemajuan bangsa.
4

Namun jika memang harus diputuskan sesuai dateline, maka pilihan untuk
mengembangkan blok Masela melalui pipanisasi (OLNG) ke salah satu pulau
terdekat yang memadai, adalah prioritas utama. Hal ini diharapkan akan dapat
memberikan kesempatan pemanfaatan gas alam yang digali dari dalam tanah
Indonesia untuk sebanyak-banyaknya kemashalatan bangsa Indonesia. Bukan
hanya untuk pembangkit listrik, pegembangan berbagai industri dalam negeri,
tetapi juga menjadi tonggak sejarah (milestone) keberpihakan pemerintah
untuk secara nyata membangun daerah dan wilayah penghasil sumber daya.
Hal ini sangat sejalan dengan Nawacita dan kebijakan Presiden Jokowi yang
memberikan arahan dalam berbagai kesempatan untuk benar-benar memulai
pembangunan dari pinggiran.

Lapangan Banteng, 6 Oktober 2015


Di edit oleh Eddy Satriya (satriyaeddy@gmail.com )dari berbagai sumber naskah presentasi,
komunikasi WAG serta email seluruh partisipan Rumah F.

También podría gustarte