Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
pipa gas Kalimantan-Jawa (Kalija) pada tahun 2006 yang diiringi dengan krisis
financial pada 2008 telah membawa akibat kita harus menjual gas pada kurun
2009-10 dengan harga SALE sangat murah.
Nampaknya kebijakan ekspor gas yang sangat merugikan itu, ditengarai
masih akan terus dipelihara untuk beberapa tahun mendatang. Hal ini terlihat
dari praktek Domestic Market Obligation yang kurang implementatif dan
tidak diiringi law enforcement memadai. Akibatnya devisa hasil penjualan
gas malah justru habis dan ter off set ketika Negara harus membeli Bahan
Bakar Minyak (BBM) untuk berbagai keperluan. Pada akhirnya kebijakan
ekspor gas ke Jepang, China, dan Korea, justru menurunkan daya saing industri
nasional, terutama industri yang bergantung kepada pemanfaatan gas baik
untuk kebutuhan energy primer, industri petrokimia, olahan karet, keramik,
hingga besi dan baja. Negara pengimpor gas kita justru mendapatkan sumber
energy sangat murah, bersih dan berkesinambungan untuk mendorong
industri mereka yang sudah mencapai tingkat efisiensi jauh di atas berbagai
industri nasional.
Pengembangan blok Masela menjadi kesempatan emas pemerintah
sekarang untuk memperlihatkan komitmennya dalam membangun Indonesia
di era keterbukaan. Juga, momentum untuk memperlihatkan kinerja
pemerintah yang lebih berpihak kepada masyarakat luas, membangun dari
pinggiran dengan rencana pengembangan wilayah terintegrasi yang didukung
oleh sumber daya setempat. Dengan volume sekitar 1400 mmscfd, hampir 2
kali lipat volume South Sumatera West Java (SSWJ) dari Sumsel yang dibawa ke
Jabar, Blok Masela menjanjikan ketersediaan pasokan gas alam jangka panjang
yang sangat dibutuhkan ekonomi nasional.
Saat ini pemerintah sedang memfinalisasi pilihan teknologi dan sistem
terbaik untuk mengelola Blok Masela ini. Pilihan akhirnya mengerucut pada
dua opsi, yaitu Floating LNG (FLNG) dengan membangun kilang semi terapung
atau Onshore/land LNG (OLNG) dengan membawa gas melalui pipa ke pulau
terdekat yang layak. Dari salah satu acuan, secara financial besaran pendanaan
yang dibutuhkan Blok Masela ini memperlihatkan bahwa pilihan FLNG sedikit
lebih irit dibanding OLNG. Perkiraan sementara kebutuhan pendanaan untuk
FLNG adalah sebesar $ 15 milyar, sedangkan OLNG akan menghabiskan dana
sebesar $ 19 milyar. Situasi terkini memperlihatan pula adanya keinginan
2
pemerintah untuk meningkatkan POD dari 2,5 MTPA menjadi tiga kali lipat 7,5
MTPA.
Dari sumber lain diperoleh acuan penting tentang harga satuan
pembangunan FLNG yang berkisar dari $ 3,5 - $ 4,6 milyar/MTPA, sementara
untuk OLNG Plant berkisar dari $ 2,37-2,74 milyar/MTPA, serta Deepwater
offshore platforms mempunyai harga satuan $ 3.25-4.04 milyar per MTPA. JIka
menggunakan acuan ini, maka OLNG menjadi pilihan karena lebih murah
daripada FLNG. Artinya pemerintah masih harus menghitung ulang perkiraan
biaya untuk FLNG dan pilihan OLNG.
Terkait total pendanaan yang dibutuhkan, perlu juga kiranya diklarifikasi
tentang Cost-Recovery yang dimasukkan ke dalam perhitungan FLNG yang ada
saat ini. Perlakuan cost recovery untuk sisi hilir (downstream) dianggap
melanggar kaidah atau praktek bisnis hilir migas, sekaligus tidak sejalan dengan
UU 22/2001 tentang Migas. Perlu menjadi catatan juga bahwa pemerintah
sebaiknya tegas dalam pemisahan bisnis hulu dan hilir migas sehingga kisruh
pengenaan dan perhitungan Cost- Recovery yang sarat dengan rentseeker
behavior itu bisa sekaligus dieliminasi guna efisiensi bisnis migas secara
umum, mulai dari hulu hingga hilir.
Membandingkan aspek finansial semata untuk proyek sebesar Blok LNG
Masela tentu saja merupakan kekeliruan. Seyogyanya perencanaan suatu
proyek besar telah mempertimbangkan aspek ekonomi secara menyeluruh,
termasuk lingkungan.
Dari sisi industri, selain menurunkan daya saing industri nasional terhadap
produk-produk industri olahan yang berasal dari China, Jepang, dan Korea,
melanggengkan ekspor LNG keluar negeri juga merontokkan kemampuan
industri nasional disemua bidang. Secara tidak langsung kondisi tersebut telah
menutup jutaan lapangan kerja bagi insinyur Indonesia dan tenaga kerja
terdidik dan unskilled lainnya. Dari hasil telaahan Rauf Purnama, setiap 1
MMBTU ekspor gas alam yang dihargai pasar saat ini sekitar 3,6-8 US$, jika
diolah dengan ammonia akan memberikan nilai tambah (value added) berlipat
dengan antara lain sebesar $17,31 untuk pupuk Urea; $37,50 untuk bahan
peledak; $25.00 untuk tekstil dan karpet; serta $ 33,13 untuk Boiler. Haruslah
diakui, Indonesia sudah terlalu lama menyia-nyiakan kesempatan
3
Namun jika memang harus diputuskan sesuai dateline, maka pilihan untuk
mengembangkan blok Masela melalui pipanisasi (OLNG) ke salah satu pulau
terdekat yang memadai, adalah prioritas utama. Hal ini diharapkan akan dapat
memberikan kesempatan pemanfaatan gas alam yang digali dari dalam tanah
Indonesia untuk sebanyak-banyaknya kemashalatan bangsa Indonesia. Bukan
hanya untuk pembangkit listrik, pegembangan berbagai industri dalam negeri,
tetapi juga menjadi tonggak sejarah (milestone) keberpihakan pemerintah
untuk secara nyata membangun daerah dan wilayah penghasil sumber daya.
Hal ini sangat sejalan dengan Nawacita dan kebijakan Presiden Jokowi yang
memberikan arahan dalam berbagai kesempatan untuk benar-benar memulai
pembangunan dari pinggiran.