Está en la página 1de 16

ARTIKEL FARMAKOLOGI

OBAT ANTI HIPERTENSI

DOKTER PENGAMPU :

Dr.Ave Olivia Rahman,M.Sc


OLEH :
Calvindo Dwinanda

G1A114067

M. Fahmi Ibnu Tsaqif

G1A114114

PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2015/2016

PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik sistem
kardiovaskular, yang mana patofisiologinya adalah multi faktor, sehingga tidak bisa diterangkan
dengan hanya satu mekanisme tunggal. Menurut Kaplan hipertensi banyak menyangkut faktor
genetik, lingkungan dan pusat-pusat regulasi hemodinamik. Kalau disederhanakan sebetulnya
hipertensi adalah interaksi cardiac output (CO) dan total peripheral resistence (TPR).
Ada lebih dari sepuluh guideline yang telah disosialisasikan di seluruh dunia, tiap Negara
mempunyai guideline atau konsensus sendiri-sendiri sesuai dengan bukti klinis yang mereka
yakini, atau berdasarkan suatu kesimpulan studi metaanalisa. Maka pendekatan klinis hipertensi
hendaknya mengacu kepada guideline yang ada, yang bukti epidemiologis klinisnya kuat.
Sebagaimana diketahui hipertensi adalah penyebab kematian nomor satu di dunia, disusul
merokok lalu dislipidemia. Hipertensi juga merupakan faktor risiko independen, sebab terlibat
dalam proses terjadinya mortalitas dan morbiditas dari kejadian penyakit kardiovaskular (PKV).
Jadi hipertensi bukanlah suatu penanda risiko (risk marker) tapi memang betul-betui suatu faktor
risiko yang independen.
Hipertensi ditemukan pada semua populasi dengan angka kejadian yang berbeda-beda,
sebab ada factor-faktor genetic,ras,regional,sosiobudaya, yang juga menyangkut gaya hidup yang
berbeda. Hipertensi akan makin meningkat bersama dengan bertambahnya umur. 26% pada
populasi muda (umur dibawah 50 tahun) dan 74% pada populasi tua (umur diatas 50 tahun).
Menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) 1999-2000, prevalensi
tekanan darah tinggi pada populasi dewasa yang berumur diatas 20 tahun di Amerika Serikat
sebagai berikut: Normal 38%, prehipertensi 31%, hipertensi 31%.1
ISI
Terapi yang paling superior
Terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien Petunjuk dari JNC 7 merekomendasikan
diuretik tipe tiazid bila memungkinkan sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien, baik
sendiri atau dikombinasi dengan salah satu dari kelas lain (ACEI, ARB, penyekat beta, CCB).2
Diuretik tipe thiazide sudah menjadi terapi utama antihipertensi pada kebanyakan trial. Pada trial
ini, termasuk yang baru diterbitkan Antihypertensive and LipidLowering Treatment to Prevent

Heart Attack Trial (ALLHAT), diuretik tidak tertandingi dalam mencegah komplikasi
kardiovaskular akibat hipertensi. Kecuali pada the Second Australian National Blood Pressure
Trial; dimana dilaporkan hasil lebih baik dengan ACEI dibanding dengan diuretik pada laki-laki
kulit putih. Diuretik meningkatkan efikasi antihipertensi dari banyak regimen obat, berguna
dalam mengontrol tekanan darah, dan harganya lebih dapat dijangkau dibanding obat
antihipertensi lainnya. Sayangnya disamping kenyataan ini, diuretik tetap kurang digunakan
(underused). Pada gambar 2 dapat dilihat algoritme pengobatan hipertensi. Rekomendasi ini
terutama untuk pasien tanpa indikasi khusus dan berdasarkan bukti terbaik yang ada yang
menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas. Walaupun begitu, diuretik juga berguna pada
pasien dengan indikasi tertentu, tetapi tidak selalu sebagai obat pilihan pertama.
Diuretik
Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk kebanyakan pasien
dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontrol tekanan darah, diuretik
salah satu obat yang direkomendasikan. Empat subkelas diuretik digunakan untuk mengobati
hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik penahan kalium
adalah obat antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila
dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop. Selanjutnya diuretik ini dapat menggantikan
kalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. Antagonis aldosteron
(spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula kerja yang lambat (s/d 6 minggu untuk
spironolakton). Tetapi, JNC 7 melihatnya sebagai kelas yang independen karena bukti
mendukung indikasi khusus. Pada pasien dengan fungsi ginjal cukup ( GFR> 30 ml/menit),
tiazid paling efektif untuk menurunkan tekanan darah. Bila fungsi ginjal berkurang, diuretic yang
lebih kuat diperlukan untuk mengatasi peningkatan retensi sodium dan air. Furosemid 2x/hari
dapat digunakan. Jadwal minum diuretik harus pagi hari untuk yang 1x/hari, pagi dan sore untuk
yang 2x/hari untuk meminimalkan diuresis pada malam hari. Dengan penggunaan secara kronis,
diuretik tiazide, diuretik penahan kalium, dan antagonis aldosteron jarang menyebabkan diuresis
yang nyata. Perbedaan farmakokinetik yang penting dalam golongan tiazid adalah waktu paruh
dan lama efek diuretiknya. Hubungan perbedaan ini secara klinis tidak diketahui karena waktu
paruh dari kebanyakan obat antihipertensi tidak berhubungan dengan lama kerja hipotensinya.
Lagi pula, diuretik dapat menurunkan tekanan darah terutama dengan mekanisme extrarenal.
Diuretik sangat efektif menurunkan tekanan darah bila dikombinasi dengan kebanyakan obat
antihipertensif lain. Kebanyakan obat antihipertensi menimbulkan retensi natrium dan air;
masalah ini diatasi dengan pemberian diuretik bersamaan. Efek samping diuretik tiazid termasuk
hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan
disfungsi seksual. Diuretik loop dapat menyebabkan efek samping yang sama, walau efek pada
lemak serum dan glukosa tidak begitu bermakna, dan kadang-kadang dapat terjadi hipokalsemia.
Studi jangka pendek menunjukkan kalau indapamide tidak mempengaruhi lemak atau glukosa

atau disfungsi seksual. Semua efek samping diatas berhubungan dengan dosis. Kebanyakan efek
samping ini teridentifikasi dengan pemberian tiazid dosis tinggi (misalnya HCT 100mg/hari).
Guideline sekarang menyarankan dosis HCT atau klortalidone 12.5 25 mg/hari, dimana efek
samping metabolic akan sangat berkurang. Diuretik penahan kalium dapat menyebabkan
hiperkalemia, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada pasien
yang menerima ACEI, ARB, NSAID, atau supplemen kalium. Hiperkalemia sangat bermasalah
terutama dengan eplerenone, antagonis aldosteron yang terbaru. Karena sangat selektif antagonis
aldosteron, kemampuannya menyebabkan hyperkalemia melebihi diuretik penahan kalium
lainnya, bahkan spironolakton. Eplerenone dikontraindikasikan untuk pasien dengan gangguan
fungsi ginjal atau diabetes tipe 2 dengan proteinuria. Kalau spironolakton menyebabkan
gynecomastia pada 10% pasien, dengan eplerenon gynecomastia jarang terjadi.4

Pedoman pada pasien yang terdiagnosis Hipertensi


Pedoman tatalaksana hipertensi menurut JNC 8 dibuat berdasarkan laporan dari anggota
panel yang ditunjuk, antara lain Paul A James MD, Suzanne Oparil MD, dan Barry L Carter
PharmD. Rekomendasi yang diusulkan adalah sebagai berikut:
Rekomendasi 1
Pada populasi umum yang berumur 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika
tekanan darah sistolik 150 mmHg dan diastolik 90 mmHg. Target terapi adalah
menurunkan tekanan darah sistolik menjadi <150 mmHg dan diastolik menjadi < 90 mmHg.
(Rekomendasi kuat, tingkat rekomendasi A).
Pada populasi umum yang berumur 60 tahun, bila terapi farmakologi menghasilkan
penurunan tekanan darah sitolik yang lebih rendah dari target (misalnya < 140 mmHg) dan
pasien dapat mentoleransi dengan baik, tanpa efek samping terhadap kesehatan dan kualitas
hidup, maka terapi tersebut tidak perlu disesuaikan lagi (Opini ahli, tingkat rekomendasi E).
Rekomendasi 2
Pada populasi umum berumur < 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika tekanan
darah diastoliknya 90 mmHg. Target penurunan tekanan darahnya adalah < 90 mmHg.
(Untuk umur 30 59 tahun, rekomendasi kuat, tingkat rekomendasi A) (Untuk umur 18 29
tahun, opini ahli, tingkat rekomendasi E).
Rekomendasi 3

Pada populasi umum berumur < 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika tekanan
darah sistoliknya 140 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik
menjadi < 140 mmHg (Opini ahli, rekomendasi E).
Rekomendasi 4
Pada populasi berumur 18 tahun yang menderita penyakit ginjal kronik, terapi
farmakologi dimulai ketika tekanan darah sistoliknya 140 mmHg atau tekanan darah
diastoliknya 90 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi <140
mmHg dan diastolik < 90 mmHg. (Opini ahli, tingkat rekomendasi E)
Rekomendasi 5
Pada populasi berumur 18 tahun yang menderita diabetes, terapi farmakologi dimulai
ketika tekanan darah sistoliknya 140 mmHg atau diatoliknya 90 mmHg. Target terapi
adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi <140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg.
(Opini ahli, tingkat rekomendasi E)
Rekomendasi 6
Pada populasi umum yang bukan ras berkulit hitam, termasuk yang menderita diabetes, terapi
antihipertensi awal hendaknya termasuk diuretika tipe tiazida, penghambat saluran
kalsium, penghambat enzim ACE, atau penghambat reseptor angiotensin. (Rekomendasi
sedang, tingkat rekomendasi B).
Rekomendasi 7
Pada populasi umum ras berkulit hitam, termasuk yang menderita diabetes, terapi antihipertensi
awal hendaknya termasuk diuretika tipe tiazida atau penghambat saluran kalsium. (Untuk
populasi kulit hitam secara umum: rekomendasi sedang, tingkat rekomendasi B) (Untuk ras kulit
hitam dengan diabetes: rekomendasi lemah, tingkat rekomendasi C)
Rekomendasi 8
Pada populasi berumur 18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi antihipertensi awal
atau tambahan hendaknya temasuk penghambat enzim ACE atau penghambat reseptor
angiotensin untuk memperbaiki fungsi ginjal. Hal ini berlaku bagi semua pasien penderita

penyakit ginjal kronik tanpa melihat ras atau status diabetes.(Rekomendasi sedang, tingkat
rekomendasi B).
Rekomendasi 9
Tujuan utama tatalaksana hipertensi adalah untuk mencapai dan menjaga target tekanan
darah.Bila target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu sebulan terapi, naikkan dosis obat
awal atau tambahkan obat kedua dari kelompok obat hipertensi pada rekomendasi 6 (diuretika
tipe tiazida, penghambat saluran kalsium, penghambat enzim ACE, dan penghambat reseptor
angiotensin). Penilaian terhadap tekanan darah hendaknya tetap dilakukan, sesuaikan regimen
terapi sampai target tekanan darah tercapai. Bila target tekanan darah tidak tercapai dengan terapi
oleh 2 jenis obat, tambahkan obat ketiga dari kelompok obat yang tersedia. Jangan menggunakan
obat golongan penghambat ACE dan penghambat reseptor angiotensin bersama-sama pada satu
pasien.
Bila target tekanan darah tidak tercapai dengan obat-obat antihipertensi yang tersedia pada
rekomendasi 6 oleh karena kontra indikasi atau kebutuhan untuk menggunakan lebih dari 3
macam obat, maka obat antihipertensi dari kelompok yang lain dapat digunakan. Pertimbangkan
untuk merujuk pasien ke spesialis hipertensi.
Pedoman pemilihan obat antihipertensi tanpa penyakit kormobid lain menurut JNC-8:

Farmakologis hipertensi.
a. Farmakologis
Dalam beberapa kasus hipertensi, pasien kadang perlu mengonsumsi obat-obatan seumur
hidup. Namun, jika tekanan darah telah terkendali dalam bertahun-tahun, Anda mungkin
boleh menghentikan pengobatan.
Pemberian obat anti hipertensi dilakukan jika dalam waktu 2 minggu atau 1 bulan pasca
modifikasi gaya hidup target tekanan darah belum tercapai yang dilakukan dengan cara
pemberian monoterapi pada kasus hipertensi derajat I dan kombinasi 2 obat hipertensi
pada hipertensi derajat II serta sesuai indikasi pada pasien dengan indikasi khusus.
Strategi
untuk
memberikan
dosis
obat
antihipertensi:

Dan berikut table yang menunjukan kontraindikasi pemakaian obat antihipertensi pada
pasien

hipertensi

dengan

komorbid

lainnya:

Pada kasus krisis hipertensi yaitu tekanan darah lebih dari 180/110 mmHg perlu
dibedakan antara hipertensi urgency (tanpa kerusakan organ tubuh) dan hipertensi emergency
(dengan kerusakan organ tubuh). Hipertensi urgency dapat diobati secara rawat jalan dengan
terapi anti hipertensi oral, dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah secara perlahan dalam 24
- 48 jam. Obat yang dianjurkan adalah captopril 50 mg sublingual atau oral. Pemberian

nifedipine sublingual atau oral tidak lagi direkomendasikan untuk hipertensi urgency karena
dapat menyebabkan hipotensi berat dan iskemia organ.
Hipertensi emergency memerlukan penanganan cepat, termasuk perawatan ICU. Terapi
dengan obat anti hipertensi secara intravena sangat disarankan dalam kondisi ini. Pemilihan obat
harus didasarkan karakteristik obat yang spesifik (efek samping). Penurunan tekanan darah harus
terkontrol untuk menghindari hipoperfusi organ dan iskemia atau infark. Obat-obatan yang biasa
dipakai adalah labetalol, sodium nitroprusside, Nicardipine, Minoxidil, Fenoldopam3

Dibawah ini kami akan mencantumkan beberapa obat yang dapat dikombinasikan:
Terapi Kombinasi
Rasional kombinasi obat antihipertensi:
Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan:46
1. Mempunyai efek aditif
2. Mempunyai efek sinergisme
3. Mempunyai sifat saling mengisi
4. Penurunan efek samping masing-masing obat
5. Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu
6. Adanya fixed dose combination akan meningkatkan kepatuhan pasien
(adherence)
Fixed-dose combination yang paling efektif adalah sebagai berikut:47
1. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan diuretik
Kombinasi ini merupakan kombinasi lini pertama bagi pasien hipertensi tanpa komorbid.
2. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretic
Penambahan diuretik dosis rendah akan meningkatkan efikasi antihipertensi dari ARB.
3. Penyekat beta dengan diuretik
Diuretik adalah obat utamanya, dan penyekat beta ditambahkan untuk menurunkan
tekanan darah.
4. Diuretik dengan agen penahan kalium
5. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan antagonis kalsium

6. Agonis -2 dengan diuretic


Metildopa harus diberikan bersama diuretik untuk mencegah tumpulnya efek
antihipertensi yang terjadi dengan penggunaan jangka panjang, kecuali pada kehamilan.
7. Penyekat -1 dengan diuretic

Menurut European Society of Hypertension 2003, kombinasi dua obat untuk


hipertensi ini dapat dilihat pada gambar 3 dimana kombinasi obat yang
dihubungkan dengan garis tebal adalah kombinasi yang paling efektif.
Gambar 3. Kombinasi yang memungkinkan dari kelas yang berbeda untuk obatobat
Antihipertensi

Dan berikut adalah table beberapa kombinasi obat antihipertensi yang harus dihindari
karena dapat berinteraksi dengan yang lain:

Kesimpulan
Pasien hipertensi esensial tanpa disertai oleh penyakit penyerta sebanyak 277 pasien atau
sebanyak 72,9%. Adapun terapi yang paling sering diberikan pada pasien hipertensi tanpa
penyakit penyerta menggunakan golongan diuretik karena dinilai paling aman dan efektif. Pasien
hipertensi yang disertai dengan penyakit penyerta sebanyak 103 pasien atau sebanyak 27,1% dari
keseluruhan pasien. Penyakit penyerta terbanyak pada penderrita hipertensi esensial adalah
diabetes melitus dengan jumlah sebanyak 63 pasien atau 61,2% dari 103 pasien hipertensi yang
disertai dengan penyakit penyerta. Kombinasi obat yang paling sering pada hipertensi esensial

yang disertai dengan penyakit penyerta ini adalah dari golongan diuretik dan ACE-inhibitor atau
dari golongan diuretik dan ARB.2
Berdasarkan artikel diatas, pemberian obat anti hipertensi dilakukan jika dalam waktu 1
bulan pasca terapi non farmakologis target tekanan darah belum tercapai yang dilakukan dengan
cara pemberian monoterapi pada kasus hipertensi derajat I dan kombinasi 2 obat hipertensi pada
hipertensi derajat II serta sesuai indikasi pada pasien dengan indikasi khusus.
Jika pasien berusia 60 tahun atau 60 tahun tanpa penyakit ginjal kronis dan tanpa
diabetes, diberikan antihipertensi golongan diuretik atau ACEI atau ARB atau CCB sebagai
monoterapi atau kombinasi dengan golongan antihipertensi lainnya.
Pasien semua usia dengan diabetes, diberikan antihipertensi golongan diuretik atau ACEI
atau ARB atau CCB sebagai monoterapi atau kombinasi dengan golongan antihipertensi lainnya.
Pasien semua usia dengan penyakit ginjal kronis diberikan antihipertensi golongan ACEI
atau ARB sebagai monoterapi atau kombinasi dengan golongan antihipertensi lainnya.

Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II Edisi VI. Jakarta: InternalPublishing.
2. Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Hipertensi Esensial di Poliklinik Ginjal
Hipertensi RSUP DR. M. Djamil Tahun 2011
3. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults
Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC
8)
4. Pharmatceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan 2006
5. An Update Management Concept in Hypertension Ria Bandiara SubBagian Ginjal
Hipertensi Bag. Ilmu penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr.Hasan Sadikin Bandung

También podría gustarte