Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Kasus
itu,
kata
dia,
jarang
terjadi
dan
tidak
dapat
diantisipasi.
Para ahli itu juga menyebutkan Ayu, Hendry, dan Hendy telah menjalani sidang Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran pada 24 Februari 2011. Hasil sidang menyatakan
ketiganya
telah
melakukan
operasi
sesuai
dengan
prosedur.
3. Terdakwa tidak punya kompetensi operasi karena hanya residence atau
mahasiswa dokter spesialis dan tak punya surat izin praktek (SIP)
Ketua Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dr. Nurdadi, SPOG dalam
wawancara dengan sebuah stasiun televisi mengatakan tidak benar mereka tidak
memiliki kompetensi. "Mereka memiiki kompetensi. Pendidikan kedokteran adalah
pendidikan berjenjang. Bukan orang yang tak bisa operasi dibiarkan melakukan
operasi,"
katanya.
Soal surat izin praktek juga dibantah. Semua mahasiswa kedokteran spesialis yang
berpraktek di rumah sakit memiliki izin. Kalau tidak, mana mungkin rumah sakit
pendidikan seperti di RS Cipto Mangunkusumo mau mempekerjakan para dokter itu.
4.
Terjadi
pembiaran
pasien
selama
delapan
jam.
Menurut Januar, pengurus Ikatan Dokter Indonesia, saat menerima pasien Siska, Ayu
telah memeriksa dan memperkirakan pasien tersebut bisa melahirkan secara normal.
Namun, hingga pukul 18.00, ternyata hal itu tak terjadi. "Sehingga diputuskan operasi,"
ujar
Januar.
Sesuai prosedur kedokteran saat air ketuban pecah, biasanya dokter akan menunggu
pembukaan leher rahim lengkap sebelum bayi dilahirkan secara normal. Untuk
mencapai pembukaan lengkap, pembukaan 10, butuh waktu yang berbeda-beda untuk
tiap pasien. Bisa cepat bisa berjam-jam. Menunggu pembukaan lengkap itulah yang
dilakukan dokter Ayu.
*Sumber : TEMPO.CO, Jakarta - RABU, 27 NOVEMBER 2013 | 08:08 WIB
tolak,
kami
ingin
pertanggungjawaban,
tambahnya.
malpraktik.
Tapi
lihat
dulu
nanti,
penyelidikan
dulu,
ucapnya.
"Yang jelas jika kesalahan memang karena dokter ataupun perawatnya kita akan
berikan sanksi sesuai undang-udang kesehatan," jelas Alimuddin.
*Sumber : Sindonews.com - Rabu, 6 Februari 2013 01:36 WIB
Orang tua korban dugaan malapraktik Rumah Sakit (RS) Labuang Baji Makassar,
Chandra, akhirnya mengajukan gugatan terhadap dokter yang dinilai lalai sehingga
menyebabkan cacatnya Ilham (16), ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia
(MKDKI).
Chandra mengatakan, gugatan sudah dilayangkan pekan kemarin. Hal ini dilakukan
agar dokter yang bertanggung jawab ditindak tegas. Ini untuk mengingatkan agar dokter
dalam menjalankan profesinya harus mematuhi standar profesi dan mengedepankan
nilai
kemanusiaan.
Tidak betul kalau dikatakan RS tidak melakukan pembiaran. Anak saya empat hari
kakinya membusuk pasca operasi tidak ditindaki. Padahal sesuai standar mestinya
perbannya harus diganti. Nanti isteri saya marah baru lah perbannya diganti. Ini
namanya sudah malapraktik, ungkap Ahmad Chandra kepada SINDO seusai rapat
dengar
pendapat
di
Komisi
E
DPRD,
Senin
(8/7/2013).
Tidak hanya itu, dalam operasi Ilham tidak ditangani oleh dokter ahli, melainkan hanya
seorang assisten dokter bernama dr Fadil yang diketahui merupakan kemanakan kadis
Kesehatan
Provinsi
Sulsel
Rachmat
Latif.
Achmad kemudian diminta segera menandatangani surat persetujuan untuk dilakukan
operasi, karena menurut Fadil, urat syaraf di bagian betis Ilham ada yang putus.
Dia menyayangkan adanya perlakuan dokter yang dinilai diskriminatif terhadap pasien
pengguna Jamkesda yang masuk dalam program kesehatan gratis. apa gunanya
kesehatan gratis kalau dokter tidak menaati. Pemerintah sudah punya program bagus
tapi
petugas
kesehatannya
lalai,
jelas
dia
Selama diopname satu bulan, setiap minggunya Ilham harus dioperasi atau Ilham
mengalami operasi selama empat kali selama di rawat di RS labuang baji. Daging mati
dan nanah yang terdapat di bekas operasi Ilham justru dibersihkan setelah sampai ke
rumah
oleh
perawat
yang
diambil
oleh
Chandra.
Ilham kemudian dilarikan ke Wahidin dan akhirnya Ilham harus diamputasi. Sampai hari
ini
Ilham
masih
menjalani
perawatan
di
RS
Wahidin.
Saya minta direktur Rumah Sakit mau mengevaluasi ini. Tenaga kesehatan yang tidak
benar
tidak
usah
dipakai,
katanya.
Selain ke MKDI lanjut Chandra, kasus Ilham juga telah dibawa ke Komnas HAM,
Komnas Perlindungan anak. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pusat dan DPR RI. Chandra
berjanji tidak akan berhenti memperjuangkan kasus ini sampai anaknya mendapat
keadilan.
Sementara itu, Direktur RS Labuang Baji, Enrico Marentek, mengatakan pada dasarnya
pihaknya ingin menjalankan pelayanan ke masyarakat. Karena itu, pihaknya siap jika
Chandra
akan
menggugat
ke
majelis
kehormatan.
Kita juga sudah bentuk tim internal untuk mengevaluasi kinerja dokter yang dianggap
bertanggung jawab. Tim sementara bekerja sehingga hasilnya belum bisa kami
umumkan,
katanya.
Penanggung jawab bagian ortopedi Dr Nasser mengatakan, Dr Fadil menjalankan
sudah sesuai protap. Residen memang diberi wewenang untuk melakukan operasi
karena
RS
Labuang
Baji
adalah
RS
jejaring
pendidikan.
Dia sudah meminta supervisi dari saya melalui telepon sebagai atasannya langsung.
Dan dalam operasi ini kita tidak memerlukan dokter syaraf cukup ortopedi, katanya.
Sementara itu Ketua Majelis Kehormatan Kedokteran Indonesia (MKKI) Sulsel Prof
Syarifuddin Wahid mengatakan, sesuai dengan UU tentang praktek kedokteran pasien
memang berhak untuk mengajukan keberatan kepada MKKDI. Hanya saja di Sulsel
belum
ada,
sehingga
ini
akan
langsung
diproses
ke
pusat.
Majelis yang memutuskan, apakah dokter itu salah atau tidak. Karena majelis ini
dibentuk berdasarkan undang-undang, kata Dekan Fakultas Kedokteran UMI ini.
*Sumber : Sindonews.com - Senin, 8 Juli 2013 15:53 WIB
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait langsung
mendatangi RS Harapan Bunda begitu mendapat laporan dari Gonti Sihombing (34),
ayah bayi Edwin Timothy Sihombing. Bayi 2,5 bulan itu diamputasi jari telunjuk
kanannya oleh tim medis RS Harapan Bunda karena mengalami pembusukan setelah
diinfus.
Menurut Arist, kasus pemotongan jari kepada Edwin ini bisa mengarah dugaan
malpraktik yang dilakukan oleh RS Harapan Bunda.
"Jika dugaan itu benar, maka itu masuk tindak pidana. Dalam hal ini, kita akan
menyurati Kementerian Kesehatan, untuk melakukan tindak lanjut. Bisa ditutup itu
rumah sakit," kata Arist di kantor Komnas PA, usai mendatangi RS Harapan Bunda,
Rabu (10/4).
Dia memaparkan ada beberapa kejanggalan medis yang dilakukan dokter di rumah
sakit tersebut yang menyebabkan telapak tangan Edwin membengkak.
"Ada indikasi, ini malpraktik. Indikasi pertama, bayi Edwin dibawa ke RS Harapan
Bunda pada 20 Februari 2013 karena sakit flu. Namun oleh dr Lenny S Budi disuntikkan
obat antikejang. Apa hubungannya sakit flu dengan suntikan antikejang?"
Indikasi kedua, dikatakan Arist, adanya keanehan saat menginfus Edwin saat baru
masuk ke RS harapan Bunda tanggal 20 Februari 2013. Dokter Lenny S Budi yang
pertama memeriksa Edwin sering kali memindahkan selang infus dari lengan bayi
tersebut.
"Pertama kali masuk Edwin diinfus di lengan sebelah kanan, lalu hari kedua di pindah
ke lengan sebelah kiri. Puncaknya sang dokter menginfus bayi Edwin di punggung
telapak tangan kanan, yang menyebabkan pembengkakan sehingga membusuk,"
jelasnya.
Arist melanjutkan, kejanggalan lainnya adalah, cara dokter bedah tulang Zaenal Abidin
yang mengamputasi jari telunjuk kanan Edwin yang dinilai telah menyalahi prosedur
dan kode etik dokter.
"Dokter yang namanya Zaenal itu main potong. Katanya dia dokter bedah tulang. Itu
kita pertanyakan, kenapa main potong. Tindakan memotong dengan gunting tanpa obat
bius itu terindikasi malpraktik," kata Arist.
"Ada lagi, dokter Zaenal ini melakukan tindak amputasi di ruang rawat inap juga sudah
membuktikan ada kesalahan prosedur dan kode etik. Harusnya kan di ruang operasi,"
kata Arist menambahkan amputasi juga dilakukan tanpa ada persetujuan pihak
orangtua.
*Sumber : Merdeka.com - Rabu, 10 April 2013 15:47
Menurut dokter, akibat kejadian itu saluran makanan perlu disambung dengan bantuan
alat. Tetapi pihak rumah sakit mengatakan tidak memiliki alat yang dimaksud. Sang istri
kemudian menjalani perawatan di ICU sampai kemudian dikembalikan di ruang rawat
inap.
Sampai pada Sabtu (23/3/2013) pagi, saat dirinya diminta menebus obat, dia melihat
kondisi
istrinya
sudah
mendapati
perawatan
darurat.
"Saya lihat istri lagi ditekan-tekan dadanya saya cuma histeris dan berdoa. Dokter di
ICU
kemudian
bilang
istri
saya
tidak
tertolong,"
katanya.
Pandapotan pun menduga dokter BHS telah melakukan malpraktik sehingga
menyebabkan
istrinya
meninggal.
Keluarga kemudian melaporkan dugaan malpraktik tersebut ke Polda Metro Jaya Senin
(22/4/2013)
dengan
nomor
laporan
LP/1316/IV/2013/Dit
Reskrimum.
Saat dikonfirmasi, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto membenarkan
pelaporan
tersebut.
"Iya benar, pelapor Pandapotan Manurung, terlapor Dr. BHS. Sekarang sedang
didalami," ucap Rikwanto singkat.
*Sumber : Merdeka.com - Selasa, 23 April 2013 10:05
"Keluarga menyetujui dan dilakukan operasi pada tanggal 23 Juni 2013," katanya
kepada wartawan saat ditemui di Komnas PA, Jalan TB Simatupang, Pasar Rebo,
Jakarta
Timur,
Kamis
(11/7).
Hafidz melanjutkan, setelah dioperasi, keponakannya itu mengalami kejang-kejang
sampai hari ketiga yang dirawat di ruang ICU. Melihat kondisi yang tak kunjung
membaik, pihak keluarga mempertanyakan gejala kejang-kejang tersebut kepada
dokter
yang
menangani
operasi
tersebut.
"Dokternya
malah
bilang
gak
apa-apa,
nanti
juga
sembuh,"
ucap
Hafidz.
Menurut Hafidz, pihak keluarga sempat meminta rujukan agar balita tersebut
dipindahkan ke Rumah Sakit Ulin, Banjarmasin. Saat itu dokter tidak mengizinkan. Akan
tetapi balita tersebut ditinggalkan tanpa kontrol dokter yang bersangkutan.
Hafidz mengatakan kalau dokter justru meninggalkan pasiennya dengan pergi ke
Australia. "Akhirnya permintaan kami dikabulkan, ponakan saya dirujuk ke rumah sakit
di
Banjarmasin,"
katanya.
Selama dipindah ke Rumah Sakit Ulin Banjarmasin, Fiqri mengalami koma selama 11
hari. Singkat cerita, setelah sadar keluarga membawa Fiqri ke pengobatan akupuntur.
Sekitar dua bulan kemudian timbul benjolan sebesar biji kacang di sekitar tempat
operasinya. Hafidz mengatakan pihak keluarga kembali mendatangi dokter yang
menangani
operasi
di
Kota
Baru.
"Dokter cuma meminta kamu untuk menempel uang benggolan (uang koin) logam, atau
nggak dioperasi aja lagi. Tapi kami tidak mau di operasi karena takut semakin parah,"
lanjutnya.
Seiring berjalan waktu, bekas benjolan kecil tersebut berubah menjadi sebesar
genggaman tangan. Benjolan pada perut pasien akan timbul bila batuk atau diduga
mengalami
hernia
incisional
yang
terjadi
pada
tempat
operasi.
"Nah maka itu kami minta bantuan Komnas PA untuk membantu masalah kami, dan
menuntut
rumah
sakit
itu,"
jelasnya.
Sementara itu, Ketua Komnas PA Aris Merdeka Sirait mengatakan jika melihat dari
runutan kronologi, pihaknya menduga rumah sakit tersebut melakukan pelanggaran
kode
etik
kedokteran.
"Itu rumah sakit dibiayai dengan APBD tetapi bisa teledor seperti itu, kalau kita lihat
dokter tersebut dapat dipidanakan karena telah terjadi malpraktik, karena menurut
orang tuanya anak tersebut sampai tidak bisa operasi," tandasnya.
*Sumber : Merdeka.com - Kamis, 11 Juli 2013 15:59
Awal mula kejadian, diawali saat korban tengah mengalami gejala tifus. Kemudian ia
membawa anaknya ke klinik dekat rumahnya. Di klinik tersebut korban diinfus di tangan
kiri. Tak menemukan perubahan, infus kemudian dipindah ke tangan kanan.
"Lalu saya minta pulang saja, tapi saya penasaran kemudian kembali dibawa ke klinik,
tapi setelahnya tangan anak saya malah kaya kebakar hitam-hitam," ujarnya.
Oleh sebab itu, sejak 24 Februari lalu, Puvelia dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin
(RSHS) Bandung. Di rumah sakit ini Puve mendapat pelayanan intensif.
"Sampai sekarang anak saya masih di rawat intensif, di sini juga belum bisa
menjelaskan, waktu awal datang disebutkan RSHS bahwa anak saya mengalami
gangguan
di
paru-paru,"
ungkapnya.
Sejak mendapat perawatan, di RSHS menurut dia kondisi organ tubuh lain berangsur
membaik. "Tapi untuk tangan masih (membusuk) hitam-hitam kaya melepuh," terang
Siti.
*Sumber : Merdeka.com - Jumat, 21 Maret 2014 14:16
Rudi mengatakan, bocah kelas VIII di MTs Assuqiah, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi
ini mulai dirawat sejak 8 April 2013. Pihak RS meminta keluarga Usman menyiapkan
biaya
sebesar
Rp
20
juta.
Pihak keluarga menyanggupi dan mulai mencari dana untuk biaya operasi Usman.
Setelah
biayanya
didapat,
operasi
kemudian
dijalankan.
Usai dioperasi, keluarga rutin membawa Usman check up di rumah sakit tersebut.
Tetapi, setelah hari keempat check up, dokter terkejut melihat kondisi mulut Usman
yang semakin membengkak. Dokter pun akhirnya menyarankan Usman dirujuk ke RS
Dharmais,
Jakarta.
"Saat di RS Dharmais kami kesulitan, kata rumah sakit (Dharmais) surat rujukannya
salah,"
ungkapnya.
Meski demikian, RS Dharmais tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan terhadap
penyakit
yang
diderita
anak
kedua
dari
dua
bersaudara
tersebut.
Secara Terpisah, pihak RS Medirosa, Cikarang Selatan, melalui staf humas dan
marketing, Sri Medali Dewi, mengaku masih mempelajari serta akan meminta klarifikasi
dari dokter yang melakukan penanganan. Dalam waktu dekat ini, kata dia, pihaknya
akan memberikan keterangan kepada media.
*Sumber : Merdeka.com - Rabu, 5 Juni 2013 21:00
Husnani (33) tidak kuasa menahan rasa sedih. Anak tertuanya, Tasmin atau akrab
disapa Alfiawan (19) mahasiswa Universitas Muhammadiah Kendari Jurusan Fakultas
Hukum meninggal, sesaat setelah menjalani operasi usus buntu oleh dokter ahli di
Rumah Sakit Prayoga, Kendari, Selasa (28/1/2014).
Ibu dari tiga anak menganggap bahwa kematian anaknya ini disebabkan oleh mall
praktek. Sebab, setelah dioperasi, anaknya merasakan hal-hal yang tidak wajar.
Setelah dioperasi oleh dokter, anak saya langsung terus merasa kesakitan dan
perutnya langsung membengkak, serta suhu badannya naik secara drastis, tutur
Husnani sambil menahan tangis di RS. Prayoga, Selasa (28/12014).
Ia juga mengaku sempat menanyakan keganjalan yang dialami oleh anaknya setelah
operasi, namum pihak rumah sakit menjelaskan bahwa itu adalah gejala yang biasa
dialami pasien dengan penyakit seperti itu. Saat saya menanyakan ke suster penjaga
mengapa perut anaknya membengkak secara tiba-tiba, pihak rumah sakit mengatakan
bahwa itu hal yang biasa pada pasien yang melakukan operasi usus buntu, jelasnya.
Dikatakan Husnani, pihak keluarga mengaku bingung dengan pelayanan pihak rumah
sakit. Pihak rumah sakit juga tidak memberikan resep obat, untuk dikonsumsi anaknya
pasca operasi. Bahkan perawat jaga yang datang juga tidak menyarankan obat dan
langusung menyuntikan sesuatu pada impus Alfiawan yang dibawanya dari ruang jaga.
Suster yang datang hanya langsung menyuntikan obat tanpa kami tahu suntikan apa
itu, dan obat apa yang dia pakai. Sebenarnya Alfiawan sudah menunjukkan kemajuan,
karena dua jam seusai dilakukannya operasi, dia telah mengeluarkan gas dari dalam
tubuhnya. Setelah dua jam dioperasi dia (almarhum-red) meminta minum kepada saya,
katanya dia sudah kentut, kata Hasnani.
Namun Ibunya itu masih belum berani memberikan makanan dan minuman yang
diminta anaknya, dia melakukan hal tersebut karena mengaku dilarang dokter. saya
sedih karena saya sebelumnya sangat meminta dibelikan teh gelas, namun saya tidak
berani memberikannya. Tiga menit sebelum meninggal, anakku memberontak kesakitan
pada bagian perutnya, suhu badannya naik dengan sangat tinggi, dia sempat
memberontak karena tidak tahan dengan sakit di perutnya, dua kipas angin yang kami
siapkan juga tidak dia rasakan karena badannya yang sangat panas, ujarnya Husnani
mengaku, anak kesayangannya itu belum pernah masuk ke rumah sakit.
Saat mendengar bahwa Alfiawan akan menginap di rumah sakit, pihak keluarga
langsung menjenguk Alfiawan. Dia dioperasi pada Senin (27/1) sekitar pukul 15.00
sampai 17.30 dan dirawat ruang anemium dua. Dia menghembuskan nafas terakhirnya
sekitar pukul 11.30 wita, Selasa (281/20142) dan akan dikebumikan di kampung
halamannya di Desa Lalobao, Kecamatan Andoolo, Kabupaten Konawe Selatan.
Hingga kini keluarga korban membutuhkan kejelasan penyebab meninggalnya Alfiawan,
mahasiswa semester enam Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari.
Husnani menjelaskan, awalnya Minggu (26/1/2014) Alfiawan untuk sementara menetap
di rumah pamannya di lorong Anawai Lepo Lepo, Kendari. Namun keesokan harinya,
Alfiawan pergi ke RS Prayoga untuk memeriksa kesehatanya. Hal itu dilakukannya
setelah Husnani meminta anaknya untuk memeriksa penyakitnya tersebut. Usai
pemeriksaan, dokter menyuruhnya untuk melakukan rawat inap untuk segera dilakukan
operasi.
Sementara itu saat akan dikonfirmasi Ridha pihak dari Klinik EM melalui selularnya
belum bisa memberikan jawaban.
Pupelia (6) merupakan pasien di Klinik EM yang kini masih dirawat di RSUD Hasan
Sadikin Bandung, sebelumnya, pasca pemberian cairan Infuse Pupelia mengalami
pembengkakan pada kedua belah tangannya hingga akhirnya harus diamputasi.
Berawal dugaan warga Desa Palinggihan Kecamatan Plered ini menderita Tifus,
kemudian pihak keluarga membawanya ke Klinik EM, pihak klinik pun lalu memberikan
cairan infus, mulanya Infus disalurkan melalui tangan kiri pasien, karena tidak ada
perubahan akhirnya pihak klinik memindahkan ke tangan sebelah kanan.
Akibat tak kunjung ada perubahan, pihak keluarga pun akhirnya meminta untuk
dipulangkan, Kabarnya pihak keluarga akan membawa ke rumah sakit di Bandung,
namun naas setelah beberapa hari kondisi kedua tangan pasien semakin membengkak
dan mulai terlihat gosong.
Korbannya sekarang di RSUD Hasan Sadikin, sebelumnya keluarga juga meminta
agar hal ini tidak diekspos karena khawatir, tapi sekarang kondisinya semakin parah,
hampir menjalar ke daerah ketiak pembusukannya, jelas Euis bibi korban.
Sebelumnya juga pihak pengelola Klinik EM mengaku bahwa pihak keluarga memaksa
agar pasien pulang. Dengan alasan akan dirujuk ke RSUD Hasan Sadikin.
Keluarga pasien yang memaksa pulang, alasannya akan di rujuk tapi kenyataannya
tidak demikian, karena setelah 3 hari dibawa pulang korban jadi parah, kata Ridho
pengelola klinik.
Pihak Klinik sendiri membantah melakukan Malpraktik kepada pasien yang masih anakanak tersebut. Karena diduga pembusukan terjadi setelah dibawa pulang ke rumah.
Diduga bekas luka infusnya terinfeksi sewaktu dirumah, karena saat di klinik tidak ada
yang bengkak, tegas Ridho
*Sumber : Sidaknews.com - 18 Maret 2014
Apa mungkin gara-gara kami pemegang kartu BPJS mendapatkan perlakuan yang tidak
maksimal seperti ini ? Jujur, kami mempunyai kesan pihak RS memandang sebelah
mata kepada pemegang kartu BPJS, mulai dari ngrasani dan memberi kode antara
dokter dan perawat terhadap pasien BPJS sampai kesan diminta segera meninggalkan
RS setelah selesai operasi. Kalau memang tidak menyukai sistem BPJS, tolong jangan
pasien yang dikorbankan. Itu urusan pemerintah dengan pihak penyelenggara
kesehatan. Semoga ini menjadi pembelajaran bagi kita semua.
*Sumber : Kompasiana.com - 24 March 2014 | 11:54
dirontgen. Tanpa konsultasi kepada kami, setelah itu geraham kiri Yosua dicabut.
Akaibatnya terjadi perdarahan. Darah keluar terus-menerus dari bekas gigi dicabut itu.
Sepengetahuan kami, dr Didi tidak mengambil tindakan apa-apa. Dia cuma memberi
kain kasa untuk menghentikan darah yang keluar. Begitu Didi pergi, perdarahan tidak
juga berhenti. Perawat memberi kain kasa lagi.
SUSAH MAKAN
Setelah darah diyakini berhenti, Yosua segera dibawa bapaknya pulang. Namun, di
perjalanan dengan menggunakan sepeda motor, Yosua kembali merintih kesakitan.
Sampai di rumah, darah sudah menggenang di kerah bapaknya. Ternyata selama di
perjalanan, Yosua menahan sakit, sehingga kepalanya terus-terusan berada di pundak
bapaknya.
Kondisi Yosua sungguh menyedihkan. Darah segar sudah ngumpul di mulutnya. Sore
itu juga, kami memeriksakan ke klinik gigi dekat rumah. Klinik tak berani mengambil
tindakan karena tahu Yosua sudah ditangani dokter RS Fatmawati. Mereka hanya
menyumpal dengan tampon agar darah berhenti. Syukurlah akhirnya perdarahan
berhenti. Namun, pihak klinik menyarankan agar Yosua kembali diperiksa di RS
Fatmawati.
Awal Februari, kami datang lagi ke RS Fatmawati. Dr Didi yang memeriksa malah
berucap, "Lo kok gigi Yosua goyang semua." Saat itu, Yosua periksa darah. Hasil darah
bisa diketahui dua hari kemudian. Hasilnya di hari Jumat (3/2) itu, trombosit Yosua
makin turun menjadi 28.000. Eh, dr Didi malah bilang, "Terserah, Yosua mau dirawat di
RS atau tidak."
Sehari kemudian, kondisi Yosua terus merosot. Kami kembali membawanya ke RS. Tak
lama di situ, perawat minta Yosua dirawat di kamar saja. Karena ketiadaan biaya, aku
minta kamar khusus gakin saja. Yosua dirawat di kamar Isolasi 303.
Sungguh miris melihat kondisi Yosua. Kondisinya saat di IGD pun sudah tidak stabil.
Dia sempat manggil-manggil aku, bapak, dan adiknya. Malah dia juga memanggilmanggil dokter. Tampaknya dia memang berusaha untuk sembuh. Namun, fisiknya
sudah sungguh lemah dan tak berdaya.
Yang kami sesalkan, dr. Didi malah tak melakukan tindakan apa-apa. Dia masih bisa
bilang, "Terserah Ibu kalau Yosua harus dirawat lagi di rumah sakit." Duh, rasanya
pedih banget dengar penjelasan seperti itu. Bahkan perawat mengungkapkan, kalau
trombosit sudah mencapai 28.000, Yosua boleh di rawat di rumah asal diberi makanan
cukup dan bergizi.
Sedih mendengarnya. Yosua sudah semakin susah makan karena gusinya bengkak.
Agar fisiknya tetap kuat. Yosua diberi infus dan susu.Padahal, sehari sebelum giginya
dicabut, anak itu sempat makan sepiring nasi soto. Wah, makannya lahap sekali
KONDISI KIAN BURUK
Seminggu dirawat, tetapi kondisi Yosua tak berubah. Aku menyesalkan tindakan RS.
Selama di RS, Yosua tak mendapat perawatan apa-apa. Giginya yang goyang juga tak
disentuh. Bahkan dr. Didi yang menangani Yosua hanya dua kali mengontrol.
Sebelum meninggal, Yosua muntah darah. Dari mulut dan hidungnya keluar darah
bergumpal-gumpal. Dia sempat muntah darah lagi beberapa jam sebelum meninggal.
Aku dan suamiku panik melihat kondisinya. Saat itu, kepanikan suamiku sudah tak
teratasi. Dia segera berteriak dengan histeris agar perawat melihat kondisi Yosua.
Akhirnya dokter datang. Lalu, suamiku diminta membeli obat di apotek rumah sakit.
Belum sempat obat diberikan, kondisi Yosua makin memburuk. Badannya sudah
kuning. Yosua masih memanggil-manggil perawat. Para dokter tampak memompa dada
Yosua. Namun, nyawa Yosua tak bisa diselamatkan lagi. Dia meninggal jam 10.00.
(Dahniar menangis sesenggukan. Kepergian si buah hati membuatnya terpukul.
Bahkan, suaminya, Yanto Situmorang, masih tidak percaya anaknya sudah tiada.
Dahniar dan Yanto menuding, kepergian anaknya tak lepas dari kelalaian pihak RS,
dalam hal ini dr. Didi yang mencabut gigi anaknya.)
Karena diperlakukan tak semestinya Selasa (14/2) kami adukan pihak RS Fatmawati
terutama dr. Didi ke Polda Metro Jaya. Tujuannya agar kasus serupa tak dialami orang
lain.
*Sumber : tabloidnova.com - 8 June 2014 12:13 WIB
karena penyakit saluran kecing yang dideritanya. Kami tahu itu setelah melakukan
operasi terhadap korban, ucapnya.
*Sumber : TEMPO.COM - SENIN, 04 MARET 2013 | 13:15 WIB