Está en la página 1de 30

Malpraktek atau Tidak dr Ayu?

Lihat Empat Poin Ini


Mencuatnya kasus vonis penjara terhadap dokter Dewa Ayu Sasiary Prawan, 38 tahun,
beserta dua koleganya menyedot perhatian masyarakat. Banyak yang bertanya-tanya
argumen siapa yang benar? Apakah argumen keluarga korban yang dikabulkan oleh
Mahkamah Agung atau argumen para dokter, pengurus Ikatan Dokter Indonesia, yang
juga
diamini
oleh
Pengadilan
Negeri
Manado.
Kasus dokter Ayu dan kawan-kawan berawal dari meninggalnya pasien yang mereka
tangani, Julia Fransiska Maketey, di Rumah Sakit R.D. Kandou Malalayang, Manado,
Sulawesi Utara, pada 10 April 2010. Keluarga Julia menggugat ke pengadilan negeri.
Hasilnya, Ayu dan kedua rekannya dinyatakan tidak bersalah. Namun, di tingkat kasasi,
ketiga dokter itu divonis 10 bulan penjara.
Majelis hakim kasasi memvonis Dewa Ayu Sasiary serta dua rekannya, Hendy Siagian
dan Hendry Simanjuntak, bersalah saat menangani Julia Fransiska Maketey. Julia
akhirnya meninggal saat melahirkan. Berikut ini pertimbangan majelis kasasi seperti
yang tercantum dalam putusan yang dirumuskan dalam sidang 18 September 2012.
Berikut ini beberapa poin penting yang menjadi perdebatan soal ada atau tidak
malpraktek
dalam
kasus
dokter
Ayu:
1.
Pemeriksaan
jantung
baru
dilakukan
setelah
operasi.
Menurut dr. Januar, pengurus Ikatan Dokter Indonesia, operasi yang dilakukan terhadap
Siska, tak memerlukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan jantung.
"Operasinya bersifat darurat, cepat, dan segera. Karena jika tidak dilakukan, bayi dan
pasien
pasti
meninggal,"
ucap
dokter
kandungan
ini.
2. Penyebab kematian masuknya udara ke bilik kanan jantung. Ini karena saat
pemberian
obat
atau
infus
karena
komplikasi
persalinan.
Menurut O.C. Kaligis, pengacara Ayu, putusan Mahkamah Agung tak berdasar. Dalam
persidangan di pengadilan negeri, kata Kaligis, sudah dihadirkan saksi ahli kedokteran
yang menyatakan Ayu dan dua rekannya tak melakukan kesalahan prosedural. Para
saksi itu antara lain Reggy Lefran, dokter kepala bagian jantung Rumah Sakit Profesor
Kandou Malalayang; Murhady Saleh, dokter spesialis obygin Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta; dan dokter forensik Johanis.
Dalam sidang itu, misalnya, dokter forensik Johanis menyatakan hasil visum et
repertum emboli yang menyebabkan pasien meninggal BUKAN karena hasil operasi.

Kasus

itu,

kata

dia,

jarang

terjadi

dan

tidak

dapat

diantisipasi.

Para ahli itu juga menyebutkan Ayu, Hendry, dan Hendy telah menjalani sidang Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran pada 24 Februari 2011. Hasil sidang menyatakan
ketiganya
telah
melakukan
operasi
sesuai
dengan
prosedur.
3. Terdakwa tidak punya kompetensi operasi karena hanya residence atau
mahasiswa dokter spesialis dan tak punya surat izin praktek (SIP)
Ketua Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dr. Nurdadi, SPOG dalam
wawancara dengan sebuah stasiun televisi mengatakan tidak benar mereka tidak
memiliki kompetensi. "Mereka memiiki kompetensi. Pendidikan kedokteran adalah
pendidikan berjenjang. Bukan orang yang tak bisa operasi dibiarkan melakukan
operasi,"
katanya.
Soal surat izin praktek juga dibantah. Semua mahasiswa kedokteran spesialis yang
berpraktek di rumah sakit memiliki izin. Kalau tidak, mana mungkin rumah sakit
pendidikan seperti di RS Cipto Mangunkusumo mau mempekerjakan para dokter itu.
4.
Terjadi
pembiaran
pasien
selama
delapan
jam.
Menurut Januar, pengurus Ikatan Dokter Indonesia, saat menerima pasien Siska, Ayu
telah memeriksa dan memperkirakan pasien tersebut bisa melahirkan secara normal.
Namun, hingga pukul 18.00, ternyata hal itu tak terjadi. "Sehingga diputuskan operasi,"
ujar
Januar.
Sesuai prosedur kedokteran saat air ketuban pecah, biasanya dokter akan menunggu
pembukaan leher rahim lengkap sebelum bayi dilahirkan secara normal. Untuk
mencapai pembukaan lengkap, pembukaan 10, butuh waktu yang berbeda-beda untuk
tiap pasien. Bisa cepat bisa berjam-jam. Menunggu pembukaan lengkap itulah yang
dilakukan dokter Ayu.
*Sumber : TEMPO.CO, Jakarta - RABU, 27 NOVEMBER 2013 | 08:08 WIB

Diduga malpraktik, dokter dilaporkan ke polisi


Seorang dokter klinik, dr Ali Maimun dilaporkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPKT)
Polda Jawa Tengah, Kamis (29/8/2013) karena diduga melakukan malpraktik yang
berujung
meninggalnya
pasien.
Pasien yang meninggal itu bernama Siti Sundari (38), seorang buruh tani warga
RT3/RW2,
Desa
Kenduren,
Kecamatan
Wedung,
Kabupaten
Demak.
Pihak keluarga melapor sekira pukul 10.00 WIB. Pelapornya bernama Shodiqin (25),
adik korban, warga Bajawa RT02/RW01, Kelurahan Ngedukelu, Kecamatan Bajawa,
Kabupaten
Demak.
Turut mendampingi laporan, ayah korban Kusaeri dan Supiati. Selain itu tiga anak
korban ikut Siti Sujianti (14), Endang Dwi Ningsih (12) dan Riski Aditia (4). Suami
korban
tak
ikut
karena
sedang
berada
di
Sulawesi.
Kusaeri mengatakan kalau anak pertama dari tujuh bersaudara itu periksa ke klinik
dokter
itu
pada
7
Mei
2013.
Anaknya
mengeluh
sakit
kepala.
Mau suntik katanya. Terus dikasih pil, disuruh minum tiga kali sehari. Dua hari setelah
minum obat itu, badannya malah bengkak-bengkak, melepuh, mata dan mulut sulit
dibuka,
katanya
saat
ditemui
di
Mapolda.
Melihat kondisi yang mengkhawatirkan, kata dia, pihak keluarga lalu membawa ke
dokter lain, dr Haryanto. Dokter itu menyarankan agar dibawa ke Puskesmas sebelum
akhirnya
dirujuk
ke
RSUD
Demak.
Sempat dirawat 34 hari. Kondisinya sudah mendingan. Lalu dirawat di rumah 20 hari.
Tapi kondisinya kembali memburuk. Keluarga lalu membawanya ke RSI Sultan Agung
Semarang, baru dirawat satu jam ternyata meninggal. Itu pada 2 Juli lalu, tambahnya.
Shodiqin mengatakan sempat mendatangi tempat praktik dokter itu, yakni di Klinik
Ketapang, Jalan Raya Ketapang -Berahan Wetan, Wedung, Kabupaten Demak.
Saya malah disodori uang, katanya untuk tali asih. Awalnya Rp1,5juta dan Rp2,5juta
itu waktu kakak saya di rumah sakit. Waktu sudah pulang datang lagi mau dikasih
Rp2juta. Tiga kali itu dokternya datang sendiri. Waktu kakak saya sudah meninggal, dua
kali lagi disodori Rp10juta semua, yang datang orang suruhannya. Tapi semuanya kami

tolak,

kami

ingin

pertanggungjawaban,

tambahnya.

Kakaknya kini sudah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Duren,


Wedung, Demak. Dokter Ali Maimun itu Kepala Puskesmas Wedung Demak.
Harapannya agar laporan ini diproses, tanggung jawab dokter itu sampai di mana, agar
punya
perhatian,
katanya.
Laporan
itu
sudah
teregister
resmi
dengan
tanda
bukti
lapor
TBL/304/VIII/2013/Reskrimum. Laporan diterima dan ditandatangani Brigadir Hery
Susaktyo P selaku penerima dan Komisaris Polisi Y Heru Irianto, selaku Kepala Siaga II
SPKT
Polda
Jawa
Tengah.
Pada laporan itu diketahui dr Ali Maimun diduga melakukan tindak pidana malpraktik
sebagaimana Pasal 190 ayat (2) UU RI 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Direktur
Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah, Komisaris Besar Purwadi Ariyanto,
sempat terlihat masuk di ruang SPKT dan berbincang dengan Kusaeri.
Laporannya

malpraktik.

Tapi

lihat

dulu

nanti,

penyelidikan

dulu,

ucapnya.

Dikonfirmasi terpisah, seorang karyawan dr Ali Maimun di Klinik Ketapang yang


mengaku bernama Uma, membenarkan bahwa Siti Sundari pernah berobat di sana.
Iya betul ini kliniknya dr Ali Maimun. Untuk Siti Sundari itu dulu pernah sekali berobat di
sini, dikasih obat yang sama tetapi tidak apa-apa itu. Kalau lebih jelasnya nanti ke
Dokter Ali saja ya, nanti saya sampaikan, katanya saat dikonfirmasi SINDO melalui
sambungan telepon selulernya.
*Sumber : Sindonews.com - Jum'at, 30 Agustus 2013 04:18 WIB

Usai disuntik, warga Tibojong alami kejang-kejang


Sukriyadi (39), pasien Vip Asoka Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tenriawaru
Watampone
mengalami
kejang-kejang
usai
disuntik
oleh
perawat.
Diduga obat cair suntikan itu bermasalah lantaran tidak terteranya masa berlaku obat
yang disuntikkan ke pasien warga Jl Yos Sudarso, Kelurahan Tibojong, Kecamatan
Tanete
Riattang
Timur.
Menurut keluarga pasien, Riyanto, obat cairan resep dokter itu dibelinya dari apotik di
luar RSUD Tenriawaru Watampone. Itu diakuinya dibeli lantaran harga obatnya yang
lebih murah dibandingkan di apotik RSUD Tenriawaru Watampone. Saat perawat
menyuntikkan Syukriadi yang merupakan korban kecelakaan lantas itu, tiba-tiba dia
mendadak
kejang.
"Saya beli obat dari luar pak, karena harganya lebih murah. Setelah diperhatikan tidak
ada jangka masa berlakunya dan saya curiga obat yang dibeli dari apotik luar ini
bermasalah,"
Kata
Riyanto,
Senin
(8/4/2013).
Aparat Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Polres Bone yang tiba di lokasi
menenangkan
keluarga
korban
yang
mengamuk.
Saat pemeriksaan, pihak apotik yang berada di depan RSUD Tenriawaru Watampone
itu tidak bisa bertindak lantaran pihak pengelola apotik memberikan jaminan obat yang
dipesan si keluarga pasien tersebut sesuai dengan prosedur dan izin penjualan apotik
dilengkapi
dengan
dokumen.
"Jika pihak keluarga korban keberatan, bisa melaporkan ke Polisi untuk diproses," kata
Paur
Humas
Polres
Bone,
Ipda
A
Rachman.
Sementara itu, Humas RSUD Tenriawaru Watampone, Ramly SH, saat dikonfirmasi
tidak berhasil. andi ilham
*Sumber : Sindonews.com - Senin, 8 April 2013 19:54 WIB

Malapraktik, bayi patah tulang usai dilahirkan


Keluarga pasangan Tazul Arifin (33) dan Siti Solikhah (27) warga Kelurahan
Kebondalem RT 3 RW 3 Kecamatan/Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, hanya bisa
bersedih. Lantaran anak keduanya, Mutiara Anindiya Larasati yang dilahirkan 9 Januari
2012
lalu
patah
tulang
akibat
ulah
dokter
yang
menanganinya.
Diketahui, patah tulang terjadi pada tulang paha kaki sebelah kiri bayi tersebut. Patah
tulang kaki terjadi usai Solikhah menjalani operasi Caesar di Rumah Sakit Umum
Daerah
(RSUD)
Dr
M
Ashari
Pemalang.
Solikhah mengatakan, patah tulang di kaki bayinya terjadi karena diduga tim medis
RSUD kurang hati-hati saat mengambil bayi dalam proses operasi Caesar. Operasi
Caesar dilakukan karena posisi bayi dalam kandungan tidak normal.
"Bayi dalam keadaan melintang saat dalam kandungan," tutur Solikhah, di Kabupaten
Pemalang,
Selasa
(26/02).
Begitu bayi berhasil dikeluarkan, ternyata tulang kakinya patah. "Kata dokter, proses
kelahirannya
apes,"
ungkap
Solikhah.
Lantas RSUD segera menangani tulang bayi dengan memberikan lapisan gips. Karena
gerakan
bayi,
makagips pun
copot.
Saat ini, perawatan terhadap tulang bayi terus dilakukan. Bahkan, RSUD siap
bertanggung
jawab
atas
patahnya
tulang
kaki
bayi.
"Kami siap menanggung biaya perawatan tulang kaki bayi sampai sembuh," jelas
dokter kandungan yang menangani persalinan di RSUD tersebut, dr Muhamad Taufan
Sinatra.
*Sumber : Sindonews.com - Selasa, 26 Februari 2013 20:18 WIB

Salah beri resep salep, pasien buta


Sakura (44), warga Lingkungan Pallengoreng Kelurahan Biru Kecamatan Tanete
Riattang, Kabupaten Bone diduga korban malpraktik oleh oknum dokter di Puskesmas
Biru
berinisial
DW.
Pasalnya, warga ini langsung mengalami kebutaan setelah menggunakan resep dokter
berupa salep kulit saat berobat dan memeriksakan diri menggunakan Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda) di Puskesmas setempat sekira pukul 09.00, Wita,
Selasa,
5
Januari
2013,
lalu.
Mulanya warga yang berprofesi sebagai petani ini memeriksakan diri dengan keluhan
sakit dibagian kepalanya. Namun, dokter yang menjelaskan cara pemakaian kepada
pasiennya dengan mengoleskan salep kulit dengan tempat obat warna putih dan coklat
yang
diresepkan
itu
di
bagian
pinggir
mata
atas
dan
bawah.
"Setiba dirumah, saya oleskan salep kulit itu ke bagian mataku, tidak lama kedua mata
saya terasa panas dan tidak melihat sama sekali," ujar Sakura yang ditemui dengan
kondisi
kedua
matanya
merah,
Selasa
5
Februari
2013.
Akibat kebutaan yang dialaminya, berselang 20 menit kemudian, Sakura kemudian
kembali ke Puskesmas menemui oknum dokter yang memberikan resep kulit untuk
meminta
pertanggungjawabannya.
Kerabat korban, Ros, mengatakan oknum dokter yang membawa adiknya itu sudah
mengakui kesalahannya dan minta maaf hingga telah membawanya ke Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Tenriawaru Watampone, dan telah diberikan pengobatan tetes
mata.
"Saya sangat sesalkan oknum dokter itu, adik saya hanya sakit kepala kenapa dikasi
obat salep kulit. Dia harus bertanggung jawab terhadap kesembuhan adik saya"
keluhnya.
Ros mengungkapkan, oknum dokter itu juga telah mengambil bukti obat untuk
menutupi kesalahannya, karena menurutnya kadar dosis di dalam obat tersebut tinggi.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bone, Dr Alimuddin
mengaku belum mengetahui kasus tersebut, namun pihaknya akan menelesuri dulu
siapa yang salah apakah dokter atau penjaga apotik yang salah memberikan obat.

"Yang jelas jika kesalahan memang karena dokter ataupun perawatnya kita akan
berikan sanksi sesuai undang-udang kesehatan," jelas Alimuddin.
*Sumber : Sindonews.com - Rabu, 6 Februari 2013 01:36 WIB

Pasien cacat, dokter digugat di Majelis Kehormatan

Orang tua korban dugaan malapraktik Rumah Sakit (RS) Labuang Baji Makassar,
Chandra, akhirnya mengajukan gugatan terhadap dokter yang dinilai lalai sehingga
menyebabkan cacatnya Ilham (16), ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia
(MKDKI).
Chandra mengatakan, gugatan sudah dilayangkan pekan kemarin. Hal ini dilakukan
agar dokter yang bertanggung jawab ditindak tegas. Ini untuk mengingatkan agar dokter
dalam menjalankan profesinya harus mematuhi standar profesi dan mengedepankan
nilai
kemanusiaan.
Tidak betul kalau dikatakan RS tidak melakukan pembiaran. Anak saya empat hari
kakinya membusuk pasca operasi tidak ditindaki. Padahal sesuai standar mestinya
perbannya harus diganti. Nanti isteri saya marah baru lah perbannya diganti. Ini
namanya sudah malapraktik, ungkap Ahmad Chandra kepada SINDO seusai rapat
dengar
pendapat
di
Komisi
E
DPRD,
Senin
(8/7/2013).
Tidak hanya itu, dalam operasi Ilham tidak ditangani oleh dokter ahli, melainkan hanya
seorang assisten dokter bernama dr Fadil yang diketahui merupakan kemanakan kadis
Kesehatan
Provinsi
Sulsel
Rachmat
Latif.
Achmad kemudian diminta segera menandatangani surat persetujuan untuk dilakukan
operasi, karena menurut Fadil, urat syaraf di bagian betis Ilham ada yang putus.
Dia menyayangkan adanya perlakuan dokter yang dinilai diskriminatif terhadap pasien
pengguna Jamkesda yang masuk dalam program kesehatan gratis. apa gunanya
kesehatan gratis kalau dokter tidak menaati. Pemerintah sudah punya program bagus
tapi
petugas
kesehatannya
lalai,
jelas
dia
Selama diopname satu bulan, setiap minggunya Ilham harus dioperasi atau Ilham
mengalami operasi selama empat kali selama di rawat di RS labuang baji. Daging mati
dan nanah yang terdapat di bekas operasi Ilham justru dibersihkan setelah sampai ke
rumah
oleh
perawat
yang
diambil
oleh
Chandra.
Ilham kemudian dilarikan ke Wahidin dan akhirnya Ilham harus diamputasi. Sampai hari
ini
Ilham
masih
menjalani
perawatan
di
RS
Wahidin.
Saya minta direktur Rumah Sakit mau mengevaluasi ini. Tenaga kesehatan yang tidak
benar
tidak
usah
dipakai,
katanya.
Selain ke MKDI lanjut Chandra, kasus Ilham juga telah dibawa ke Komnas HAM,
Komnas Perlindungan anak. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pusat dan DPR RI. Chandra

berjanji tidak akan berhenti memperjuangkan kasus ini sampai anaknya mendapat
keadilan.
Sementara itu, Direktur RS Labuang Baji, Enrico Marentek, mengatakan pada dasarnya
pihaknya ingin menjalankan pelayanan ke masyarakat. Karena itu, pihaknya siap jika
Chandra
akan
menggugat
ke
majelis
kehormatan.
Kita juga sudah bentuk tim internal untuk mengevaluasi kinerja dokter yang dianggap
bertanggung jawab. Tim sementara bekerja sehingga hasilnya belum bisa kami
umumkan,
katanya.
Penanggung jawab bagian ortopedi Dr Nasser mengatakan, Dr Fadil menjalankan
sudah sesuai protap. Residen memang diberi wewenang untuk melakukan operasi
karena
RS
Labuang
Baji
adalah
RS
jejaring
pendidikan.
Dia sudah meminta supervisi dari saya melalui telepon sebagai atasannya langsung.
Dan dalam operasi ini kita tidak memerlukan dokter syaraf cukup ortopedi, katanya.
Sementara itu Ketua Majelis Kehormatan Kedokteran Indonesia (MKKI) Sulsel Prof
Syarifuddin Wahid mengatakan, sesuai dengan UU tentang praktek kedokteran pasien
memang berhak untuk mengajukan keberatan kepada MKKDI. Hanya saja di Sulsel
belum
ada,
sehingga
ini
akan
langsung
diproses
ke
pusat.
Majelis yang memutuskan, apakah dokter itu salah atau tidak. Karena majelis ini
dibentuk berdasarkan undang-undang, kata Dekan Fakultas Kedokteran UMI ini.
*Sumber : Sindonews.com - Senin, 8 Juli 2013 15:53 WIB

Dugaan malpraktik Bayi Edwin, RS Harapan Bunda bisa


dipidana

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait langsung
mendatangi RS Harapan Bunda begitu mendapat laporan dari Gonti Sihombing (34),
ayah bayi Edwin Timothy Sihombing. Bayi 2,5 bulan itu diamputasi jari telunjuk
kanannya oleh tim medis RS Harapan Bunda karena mengalami pembusukan setelah
diinfus.
Menurut Arist, kasus pemotongan jari kepada Edwin ini bisa mengarah dugaan
malpraktik yang dilakukan oleh RS Harapan Bunda.
"Jika dugaan itu benar, maka itu masuk tindak pidana. Dalam hal ini, kita akan
menyurati Kementerian Kesehatan, untuk melakukan tindak lanjut. Bisa ditutup itu
rumah sakit," kata Arist di kantor Komnas PA, usai mendatangi RS Harapan Bunda,
Rabu (10/4).
Dia memaparkan ada beberapa kejanggalan medis yang dilakukan dokter di rumah
sakit tersebut yang menyebabkan telapak tangan Edwin membengkak.
"Ada indikasi, ini malpraktik. Indikasi pertama, bayi Edwin dibawa ke RS Harapan
Bunda pada 20 Februari 2013 karena sakit flu. Namun oleh dr Lenny S Budi disuntikkan
obat antikejang. Apa hubungannya sakit flu dengan suntikan antikejang?"
Indikasi kedua, dikatakan Arist, adanya keanehan saat menginfus Edwin saat baru
masuk ke RS harapan Bunda tanggal 20 Februari 2013. Dokter Lenny S Budi yang
pertama memeriksa Edwin sering kali memindahkan selang infus dari lengan bayi
tersebut.
"Pertama kali masuk Edwin diinfus di lengan sebelah kanan, lalu hari kedua di pindah
ke lengan sebelah kiri. Puncaknya sang dokter menginfus bayi Edwin di punggung
telapak tangan kanan, yang menyebabkan pembengkakan sehingga membusuk,"
jelasnya.
Arist melanjutkan, kejanggalan lainnya adalah, cara dokter bedah tulang Zaenal Abidin
yang mengamputasi jari telunjuk kanan Edwin yang dinilai telah menyalahi prosedur
dan kode etik dokter.

"Dokter yang namanya Zaenal itu main potong. Katanya dia dokter bedah tulang. Itu
kita pertanyakan, kenapa main potong. Tindakan memotong dengan gunting tanpa obat
bius itu terindikasi malpraktik," kata Arist.
"Ada lagi, dokter Zaenal ini melakukan tindak amputasi di ruang rawat inap juga sudah
membuktikan ada kesalahan prosedur dan kode etik. Harusnya kan di ruang operasi,"
kata Arist menambahkan amputasi juga dilakukan tanpa ada persetujuan pihak
orangtua.
*Sumber : Merdeka.com - Rabu, 10 April 2013 15:47

Lumpuh usai operasi caesar, guru SD adukan malpraktik


Seorang perempuan Mariana (38) mengadu ke Polresta Medan, Jumat (1/2). Warga
Jalan Tuasan, Medan, ini melaporkan malpraktik yang dialaminya saat melahirkan
dengan
cara
operasi
caesar.
Mariana datang ke Mapolresta Medan digendong suaminya, Taufan (40). Anaknya juga

ikut. Membawa sejumlah dokumen medis, mereka mengadu ke Sentra Pelayanan


Kepolisian
Terpadu
Polresta
Medan.
Saat ditanya wartawan, Mariana menyatakan setelah dioperasi caesar di salah satu
rumah sakit swasta di Medan, dia sekarang harus tertatih-tatih berjalan. Bahkan
sebelumnya Guru SD Muhammadiyah 2 Kampung Dadap harus ngesot.
"Saya masuk ke sana dalam keadaan sehat, hanya mau melahirkan, pulangnya kok jadi
seperti
ini,"
ucapnya
kepada
wartawan.
Dia menceritakan, malpraktik itu terjadi saat dia melahirkan anak keduanya pada 24
Desember 2012. Seperti anak pertama, kelahiran juga dilakukan secara caesar.
"Setelah darah diperiksa, saya diberi infus sampai 3 botol, kemudian disuntik dua kali,
setelah operasi saya seperti ini, tidak bisa jalan normal," ucapnya.
Keluarga Mariana pernah meminta pertanggungjawaban rumah sakit. Menurut Taufan,
dokter yang menangani istrinya sempat mengaku lalai. "Dia bilang suntikan pertama
memang salah, yang benar suntikan kedua, saat suntikan kedua itulah bius bekerja,"
ucapnya.
Belakangan, sang dokter memberi Mariana alat terapi. Namun, pihak keluarga tidak
yakin karena menurut mereka alat itu hanya untuk urut badan capai yang banyak dijual
di
mal-mal.
Belakangan, lanjut dia, pihak rumah sakit menyatakan ada keretakan di tulang panggul
Mariana. Padahal hasil kroscek di RS lain menyatakan tidak ada masalah pada
perempuan
itu.
"Sekarang pihak rumah sakit tidak mau lagi bertanggung jawab. Padahal saya tidak
minta uang, saya hanya minta kondisi istri saya dikembalikan seperti semula," ucap
Taufan.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Medan Kompol M Yoris Marzuki menyatakan
sudah menerima laporan itu. Selanjutnya, Mariana direkomendasikan ke Ikatan Dokter
Indonesia
(IDI)
untuk
diperiksa.
"Jika hasil dari IDI nanti menyatakan ada kesalahan dalam prosedur penanganan
medis, laporan korban akan kami proses sesuai hukum berlaku," jelasnya.
*Sumber : Merdeka.com - Jumat, 1 Februari 2013 14:11

Diduga malpraktik, dokter di RS Persahabatan dipolisikan


Pandapotan Manurung (41) melaporkan dokter BHS, yang sehari-hari bekerja di RS
Persahabatan ke polisi, atas dugaan kasus malpraktik yang dilakukannya. Akibat
malpraktik yang dilakukan BHS, Pandapotan harus kehilangan istrinya, Ana Marlina
(38) setelah menjalani perawatan penyakit tiroid di rumah sakit itu. Pelaporan dia
lakukan
pada
Senin
(22/4)
kemarin.
Pandapotan menceritakan kisah pilu yang menimpa dirinya. Kejadian bermula saat

istrinya menjalani perawatan di RS Persahabatan pada 10 Maret 2013 silam.


"Dokter mengatakan yang dialami istri saya adalah tiroid dan harus diangkat melalui
operasi. Apa resikonya saya tanya sama dokter, pertama katanya kalau tidak dioperasi
akan rentan dan tubuh akan lemah, kedua kalau dikaruniai anak akan melahirkan anak
yang
cebol,"
kata
Pandapotan,
saat
dihubungi,
Selasa
(23/4).
Alhasil, pada 11 Maret 2013 dokter pun melakukan operasi. Namun Pandapotan sendiri
diberi
tahu
pihak
Rumah
Sakit
hanya
melalui
SMS.
"Sekitar 11.30 WIB, dokter memberikan botol obat isinya daging dan cairan. Itu asumsi
saya
tiroid
dan
daging
diangkat,"
tutur
Pandapotan.
Anehnya, setelah menjalani operasi, istri Pandapotan malah merasakan sakit yang
teramat di bagian lehernya. "Sore harinya istri saya sadar, dan dia bisa bicara bersuara
serak dan pelan, tidak lama kemudian mengalami kesakitan di leher," ujarnya.
Keesokan harinya, Pandapotan mendapati bahwa terjadi pembekakan di bagian leher
sang istri. "Erangan semakin luar biasa, ada bengkak dari leher sampai tulang pipi di
bawah mata. Saya minta suster buat panggil dokter karena sepertinya terjadi infeksi di
leher istri saya. Tapi suster nggak bisa panggil dokter dengan alasan yang tidak jelas,"
katanya
lirih.
Rabu (13/4/2013) sekitar pukul 02.00 WIB dini hari, Pandapotan mengatakan sang istri
sudah tak tahan dan meminta pindah dari rumah sakit tersebut. Namun perawat yang
ditemuinya tidak mengizinkan. Perawat memintanya menunggu dokter BHS, yang
sebelumnya
menangani
sang
istri.
"Rabu pagi jam 7 datang, dan dokter menjelaskan rasa sakit dan bengkak di pipinya
karena bekuan darah yang menyumbat saluran teroid, dan harus dilakukan operasi
kembali,"
kata
Pandapotan.
Operasi kedua pun dilakukan pihak rumah sakit terhadap istrinya di hari yang sama.
Sekitar pukul 14.00 WIB, dokter BHS memanggilnya dan menjelaskan kelenjar tiroid
yang dialami sang istri menjadi kanker ganas melekat dan melilit saluran makanan dan
pernapasan.
"Pada saat dilakukan pengangkatan yang disebut kanker ganas itu, dokter bilang
saluran makanan jadi tipis, pada saat dikasih makan, saluran makannya putus. Tapi di
ruang
perawatan
diubah
lagi
dibilang
sobek,"
ujarnya.

Menurut dokter, akibat kejadian itu saluran makanan perlu disambung dengan bantuan
alat. Tetapi pihak rumah sakit mengatakan tidak memiliki alat yang dimaksud. Sang istri
kemudian menjalani perawatan di ICU sampai kemudian dikembalikan di ruang rawat
inap.
Sampai pada Sabtu (23/3/2013) pagi, saat dirinya diminta menebus obat, dia melihat
kondisi
istrinya
sudah
mendapati
perawatan
darurat.
"Saya lihat istri lagi ditekan-tekan dadanya saya cuma histeris dan berdoa. Dokter di
ICU
kemudian
bilang
istri
saya
tidak
tertolong,"
katanya.
Pandapotan pun menduga dokter BHS telah melakukan malpraktik sehingga
menyebabkan
istrinya
meninggal.
Keluarga kemudian melaporkan dugaan malpraktik tersebut ke Polda Metro Jaya Senin
(22/4/2013)
dengan
nomor
laporan
LP/1316/IV/2013/Dit
Reskrimum.
Saat dikonfirmasi, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto membenarkan
pelaporan
tersebut.
"Iya benar, pelapor Pandapotan Manurung, terlapor Dr. BHS. Sekarang sedang
didalami," ucap Rikwanto singkat.
*Sumber : Merdeka.com - Selasa, 23 April 2013 10:05

Diduga malpraktik, bocah 4 tahun alami benjolan di perut


Fidri Adrianoor, bocah berusia empat tahun, mengalami luka benjolan di bagian
perutnya setelah menjalani operasi di Rumah Sakit Umum (RSU) Kotabatu,
Banjarmasin, Kalimantan Selatan, beberapa waktu lalu. Tidak terima dengan keadaan
Fidri, keluarga pun melaporkan kasus ini ke Komisi Nasional Perlindungan Anak
(Komnas
PA).
Paman korban, Muhammad Hafidz Halim, menceritakan peristiwa itu berawal saat Fiqri
mengalami demam tinggi. Keluarga kemudian membawa Fiqri ke RSUD Kotabatu pada
22 Juni 2013. Saat dibawa ke RSUD Kotabatu, dr Jon Kenedy memeriksa dan
mendiagnosis usus Fiqri terbelit karena makanan dan harus dioperasi.

"Keluarga menyetujui dan dilakukan operasi pada tanggal 23 Juni 2013," katanya
kepada wartawan saat ditemui di Komnas PA, Jalan TB Simatupang, Pasar Rebo,
Jakarta
Timur,
Kamis
(11/7).
Hafidz melanjutkan, setelah dioperasi, keponakannya itu mengalami kejang-kejang
sampai hari ketiga yang dirawat di ruang ICU. Melihat kondisi yang tak kunjung
membaik, pihak keluarga mempertanyakan gejala kejang-kejang tersebut kepada
dokter
yang
menangani
operasi
tersebut.
"Dokternya

malah

bilang

gak

apa-apa,

nanti

juga

sembuh,"

ucap

Hafidz.

Menurut Hafidz, pihak keluarga sempat meminta rujukan agar balita tersebut
dipindahkan ke Rumah Sakit Ulin, Banjarmasin. Saat itu dokter tidak mengizinkan. Akan
tetapi balita tersebut ditinggalkan tanpa kontrol dokter yang bersangkutan.
Hafidz mengatakan kalau dokter justru meninggalkan pasiennya dengan pergi ke
Australia. "Akhirnya permintaan kami dikabulkan, ponakan saya dirujuk ke rumah sakit
di
Banjarmasin,"
katanya.
Selama dipindah ke Rumah Sakit Ulin Banjarmasin, Fiqri mengalami koma selama 11
hari. Singkat cerita, setelah sadar keluarga membawa Fiqri ke pengobatan akupuntur.
Sekitar dua bulan kemudian timbul benjolan sebesar biji kacang di sekitar tempat
operasinya. Hafidz mengatakan pihak keluarga kembali mendatangi dokter yang
menangani
operasi
di
Kota
Baru.
"Dokter cuma meminta kamu untuk menempel uang benggolan (uang koin) logam, atau
nggak dioperasi aja lagi. Tapi kami tidak mau di operasi karena takut semakin parah,"
lanjutnya.
Seiring berjalan waktu, bekas benjolan kecil tersebut berubah menjadi sebesar
genggaman tangan. Benjolan pada perut pasien akan timbul bila batuk atau diduga
mengalami
hernia
incisional
yang
terjadi
pada
tempat
operasi.
"Nah maka itu kami minta bantuan Komnas PA untuk membantu masalah kami, dan
menuntut
rumah
sakit
itu,"
jelasnya.
Sementara itu, Ketua Komnas PA Aris Merdeka Sirait mengatakan jika melihat dari
runutan kronologi, pihaknya menduga rumah sakit tersebut melakukan pelanggaran
kode
etik
kedokteran.
"Itu rumah sakit dibiayai dengan APBD tetapi bisa teledor seperti itu, kalau kita lihat

dokter tersebut dapat dipidanakan karena telah terjadi malpraktik, karena menurut
orang tuanya anak tersebut sampai tidak bisa operasi," tandasnya.
*Sumber : Merdeka.com - Kamis, 11 Juli 2013 15:59

Diduga korban malpraktik, tangan bocah 5 tahun ini


membusuk
Puvelia Audriana Putri, bocah 5 tahun ini kedua tangannya mengalami pembusukan. Itu
terjadi setelah ditangani secara medis di klinik Eka Medika Purwakarta Februari lalu.
Diduga
Puvelia
menjadi
korban
malpraktik.
Kini Puvelia dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Kondisi
tangannya
kian
memprihatinkan.
"Saya sendiri enggak mau memojokkan satu pihak dulu, tapi anak saya kondisinya
memang jadi kaya kebakar setelah di bawa ke klinik," kata ibu Puvelia, Siti Halimah (28)
saat
ditemui
di
RSHS
Bandung,
Jumat
(21/3).
Dia mengaku, pihak klinik tidak bisa menjelaskan mengapa Puvelia kondisinya bisa
membusuk. "Tidak bisa menjelaskan jadi anak saya tiba-tiba dirujuk ke sini (RSHS),"
terangnya.

Awal mula kejadian, diawali saat korban tengah mengalami gejala tifus. Kemudian ia
membawa anaknya ke klinik dekat rumahnya. Di klinik tersebut korban diinfus di tangan
kiri. Tak menemukan perubahan, infus kemudian dipindah ke tangan kanan.
"Lalu saya minta pulang saja, tapi saya penasaran kemudian kembali dibawa ke klinik,
tapi setelahnya tangan anak saya malah kaya kebakar hitam-hitam," ujarnya.
Oleh sebab itu, sejak 24 Februari lalu, Puvelia dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin
(RSHS) Bandung. Di rumah sakit ini Puve mendapat pelayanan intensif.
"Sampai sekarang anak saya masih di rawat intensif, di sini juga belum bisa
menjelaskan, waktu awal datang disebutkan RSHS bahwa anak saya mengalami
gangguan
di
paru-paru,"
ungkapnya.
Sejak mendapat perawatan, di RSHS menurut dia kondisi organ tubuh lain berangsur
membaik. "Tapi untuk tangan masih (membusuk) hitam-hitam kaya melepuh," terang
Siti.
*Sumber : Merdeka.com - Jumat, 21 Maret 2014 14:16

Remaja 14 tahun diduga jadi korban malpraktik di Bekasi


Seorang remaja berusia 14 tahun, Usman Permana, diduga menjadi korban malpraktik
salah seorang dokter di sebuah rumah sakit di sekitar Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Dugaan ini muncul lantaran mulut Usman membengkak pasca menjalani operasi di
Rumah
Sakit
(RS)
Medirosa,
Cikarang.
Atas kejadian ini, keluarga Usman yang tinggal di Kampung Walahir Poncol RT 02/05,
Desa Karang Raharja, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, mengadukan pihak RS
tempat
Usman
dirawat
dan
dioperasi
kepada
Polres
Bekasi.
Orang tua Usman, Rudi Suherman mengatakan, kondisi mulut anaknya semakin parah
pasca menjalani operasi pada 9 April 2013 lalu. Sebelum dioperasi, kata dia, dokter
memvonis
Usman
menderita
tumor
mulut.
"Sekitar tujuh bulan lalu mulai mengalami sakit. Karena semakin bengkak, kemudian
kami bawa ke RS Medirosa Cikarang. Kata dokter kena tumor mulut," ujar Rudi di
Bekasi,
Rabu
(5/6).

Rudi mengatakan, bocah kelas VIII di MTs Assuqiah, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi
ini mulai dirawat sejak 8 April 2013. Pihak RS meminta keluarga Usman menyiapkan
biaya
sebesar
Rp
20
juta.
Pihak keluarga menyanggupi dan mulai mencari dana untuk biaya operasi Usman.
Setelah
biayanya
didapat,
operasi
kemudian
dijalankan.
Usai dioperasi, keluarga rutin membawa Usman check up di rumah sakit tersebut.
Tetapi, setelah hari keempat check up, dokter terkejut melihat kondisi mulut Usman
yang semakin membengkak. Dokter pun akhirnya menyarankan Usman dirujuk ke RS
Dharmais,
Jakarta.
"Saat di RS Dharmais kami kesulitan, kata rumah sakit (Dharmais) surat rujukannya
salah,"
ungkapnya.
Meski demikian, RS Dharmais tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan terhadap
penyakit
yang
diderita
anak
kedua
dari
dua
bersaudara
tersebut.
Secara Terpisah, pihak RS Medirosa, Cikarang Selatan, melalui staf humas dan
marketing, Sri Medali Dewi, mengaku masih mempelajari serta akan meminta klarifikasi
dari dokter yang melakukan penanganan. Dalam waktu dekat ini, kata dia, pihaknya
akan memberikan keterangan kepada media.
*Sumber : Merdeka.com - Rabu, 5 Juni 2013 21:00

Diduga Malpraktek, Pasien Usus Buntu Meninggal Usai


Dioperasi

Husnani (33) tidak kuasa menahan rasa sedih. Anak tertuanya, Tasmin atau akrab
disapa Alfiawan (19) mahasiswa Universitas Muhammadiah Kendari Jurusan Fakultas
Hukum meninggal, sesaat setelah menjalani operasi usus buntu oleh dokter ahli di
Rumah Sakit Prayoga, Kendari, Selasa (28/1/2014).
Ibu dari tiga anak menganggap bahwa kematian anaknya ini disebabkan oleh mall
praktek. Sebab, setelah dioperasi, anaknya merasakan hal-hal yang tidak wajar.
Setelah dioperasi oleh dokter, anak saya langsung terus merasa kesakitan dan
perutnya langsung membengkak, serta suhu badannya naik secara drastis, tutur
Husnani sambil menahan tangis di RS. Prayoga, Selasa (28/12014).
Ia juga mengaku sempat menanyakan keganjalan yang dialami oleh anaknya setelah
operasi, namum pihak rumah sakit menjelaskan bahwa itu adalah gejala yang biasa
dialami pasien dengan penyakit seperti itu. Saat saya menanyakan ke suster penjaga
mengapa perut anaknya membengkak secara tiba-tiba, pihak rumah sakit mengatakan
bahwa itu hal yang biasa pada pasien yang melakukan operasi usus buntu, jelasnya.

Dikatakan Husnani, pihak keluarga mengaku bingung dengan pelayanan pihak rumah
sakit. Pihak rumah sakit juga tidak memberikan resep obat, untuk dikonsumsi anaknya
pasca operasi. Bahkan perawat jaga yang datang juga tidak menyarankan obat dan
langusung menyuntikan sesuatu pada impus Alfiawan yang dibawanya dari ruang jaga.
Suster yang datang hanya langsung menyuntikan obat tanpa kami tahu suntikan apa
itu, dan obat apa yang dia pakai. Sebenarnya Alfiawan sudah menunjukkan kemajuan,
karena dua jam seusai dilakukannya operasi, dia telah mengeluarkan gas dari dalam
tubuhnya. Setelah dua jam dioperasi dia (almarhum-red) meminta minum kepada saya,
katanya dia sudah kentut, kata Hasnani.
Namun Ibunya itu masih belum berani memberikan makanan dan minuman yang
diminta anaknya, dia melakukan hal tersebut karena mengaku dilarang dokter. saya
sedih karena saya sebelumnya sangat meminta dibelikan teh gelas, namun saya tidak
berani memberikannya. Tiga menit sebelum meninggal, anakku memberontak kesakitan
pada bagian perutnya, suhu badannya naik dengan sangat tinggi, dia sempat
memberontak karena tidak tahan dengan sakit di perutnya, dua kipas angin yang kami
siapkan juga tidak dia rasakan karena badannya yang sangat panas, ujarnya Husnani
mengaku, anak kesayangannya itu belum pernah masuk ke rumah sakit.
Saat mendengar bahwa Alfiawan akan menginap di rumah sakit, pihak keluarga
langsung menjenguk Alfiawan. Dia dioperasi pada Senin (27/1) sekitar pukul 15.00
sampai 17.30 dan dirawat ruang anemium dua. Dia menghembuskan nafas terakhirnya
sekitar pukul 11.30 wita, Selasa (281/20142) dan akan dikebumikan di kampung
halamannya di Desa Lalobao, Kecamatan Andoolo, Kabupaten Konawe Selatan.
Hingga kini keluarga korban membutuhkan kejelasan penyebab meninggalnya Alfiawan,
mahasiswa semester enam Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari.
Husnani menjelaskan, awalnya Minggu (26/1/2014) Alfiawan untuk sementara menetap
di rumah pamannya di lorong Anawai Lepo Lepo, Kendari. Namun keesokan harinya,
Alfiawan pergi ke RS Prayoga untuk memeriksa kesehatanya. Hal itu dilakukannya
setelah Husnani meminta anaknya untuk memeriksa penyakitnya tersebut. Usai
pemeriksaan, dokter menyuruhnya untuk melakukan rawat inap untuk segera dilakukan
operasi.

Dia sempat menelpon saya mengenai penyakitnya, setelah saya menyuruhnya ke


rumah sakit ternyata dia bilang langsung mau di operasi, saat itu juga saya dan suami
saya langsung menjenguknya ke rumah sakit, ungkap Husnani sedih.
Sementara itu, perawat jaga yang enggan menyebutkan nama dikonfirmasi mengaku
tidak mengetahui tentang penyebab kematian pasien. Sebab, saat itu ada perawat lain
yang bertugas. Saya baru ganti piket hari ini, ada petugas lain kemarin yang jaga.
Dokter yang tangani pasien juga belum masuk, nanti mi kita tanyakan langsung sama
dokternya, singkatnya di RS. Prayoga Kendari.
*Sumber : KENDARI, SUARAKENDARI. COM 28 Januari2014

Diduga lakukan Malpraktek, Klinik mangkir dari panggilan


Dinas Kesehatan
Klinik EM mangkir dari panggilan Dinas Kesehatan (Dinkes) Purwakarta, Padahal surat
pemanggilan dinas sudah dilayangkan tiga hari kebelakang, Jika terbukti salah Dinkes
pun akan cabut izin kesehatan Klinik tersebut.
Sebelumnya Klinik EM diduga telah melakukan Malpraktek terhadap salah satu
pasiennya Pupelia (6) sehingga menyebabkan pasien tersebut dirawat di RSUD Hasan
Sadikin Bandung.
Sekretaris Dinkes Didi Suardi mengatakan pihaknya sudah melayangkan surat
panggilan kepada penanggung jawab klinik EM tetapi hingga Selasa (18/3) pihak Klinik
EM pun tak kunjung memenuhi panggilan dari Dinas Kesehatan kabupaten Purwakarta.
Pihaknya telah memanggil dan telah melayangkan surat beberapa hari yang lalu,
namun pihak Klinik EM belum memenuhi panggilan sampai hari iniujarnya melalui
selulernya Selasa (18/3)
Dinkes pun akan bersikap tegas jika terbukti bersalah dengan memberikan sanksi
mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin kesehatannya, sampai sejauh ini beredar
kabar bahwa Dokter yang menangani Pupelia (6) korban Malpraktik sudah berada di
luar kota, dokter tersebut beralasan ada keperluan ke luar kota.
Kalau memang terbukti bersalah izin kesehatannya akan dicabut, dan kita serahkan ke
BPMPTSPtambah Didi.

Sementara itu saat akan dikonfirmasi Ridha pihak dari Klinik EM melalui selularnya
belum bisa memberikan jawaban.
Pupelia (6) merupakan pasien di Klinik EM yang kini masih dirawat di RSUD Hasan
Sadikin Bandung, sebelumnya, pasca pemberian cairan Infuse Pupelia mengalami
pembengkakan pada kedua belah tangannya hingga akhirnya harus diamputasi.
Berawal dugaan warga Desa Palinggihan Kecamatan Plered ini menderita Tifus,
kemudian pihak keluarga membawanya ke Klinik EM, pihak klinik pun lalu memberikan
cairan infus, mulanya Infus disalurkan melalui tangan kiri pasien, karena tidak ada
perubahan akhirnya pihak klinik memindahkan ke tangan sebelah kanan.
Akibat tak kunjung ada perubahan, pihak keluarga pun akhirnya meminta untuk
dipulangkan, Kabarnya pihak keluarga akan membawa ke rumah sakit di Bandung,
namun naas setelah beberapa hari kondisi kedua tangan pasien semakin membengkak
dan mulai terlihat gosong.
Korbannya sekarang di RSUD Hasan Sadikin, sebelumnya keluarga juga meminta
agar hal ini tidak diekspos karena khawatir, tapi sekarang kondisinya semakin parah,
hampir menjalar ke daerah ketiak pembusukannya, jelas Euis bibi korban.
Sebelumnya juga pihak pengelola Klinik EM mengaku bahwa pihak keluarga memaksa
agar pasien pulang. Dengan alasan akan dirujuk ke RSUD Hasan Sadikin.
Keluarga pasien yang memaksa pulang, alasannya akan di rujuk tapi kenyataannya
tidak demikian, karena setelah 3 hari dibawa pulang korban jadi parah, kata Ridho
pengelola klinik.
Pihak Klinik sendiri membantah melakukan Malpraktik kepada pasien yang masih anakanak tersebut. Karena diduga pembusukan terjadi setelah dibawa pulang ke rumah.
Diduga bekas luka infusnya terinfeksi sewaktu dirumah, karena saat di klinik tidak ada
yang bengkak, tegas Ridho
*Sumber : Sidaknews.com - 18 Maret 2014

Dugaan Keteledoran Dokter Anestesi


Kejadian ini berawal saat ibu saya hendak menjalani operasi hernia di salah satu
Rumah Sakit swasta di Semarang (12 Maret 2014). Pelayanan administrasi yang baik
dan penanganan yang ramah dari perawat dan dokter awalnya membuat kami yakin
atas pilihan kami di RS ini. Singkat cerita, operasi berjalan lancar dari awal sampai
akhir.
Namun , sesampainya ibu selesai dioperasi dan tiba di kamar pasien, kami terkejut
ketika ibu berlinangan air mata dengan mata yang bengap. Dengan kepala yang masih
berat sambil terbata-bata , ibu bercerita kalau ibu merasakan semua rasa sakitnya
proses operasi dari awal sampai akhir. Ibu merasakan bagaimana sakitnya dokter
merobek pangkal pahanya beberapa kali dan saat dokter merapikan organ dalam dan
saat penjahitan. Masya Allah sakit sekali. Ibu saya berteriak-teriak menyebut nama
Allah dan ngeget-nggeget menahan sakit. Ya Allah dok, ini kok sakit sekali kata ibu
sambil mencengkeram erat tangan perawat. Tim operasi juga sudah tahu ibu kesakitan,
namun karena sudah terlanjur disobek pahanya , operasi tetap dilanjutkan
Sebenarnya ibu sudah disuntik bius lokal 1 jam sebelum dan saat akan operasi oleh
dokter anastesi. Saat operasi, dokter menanyakan apakah ibu saya bisa mengangkat
kakinya dan ternyata tidak bisa. Itu yang menjadikan tanda bagi dokter kalau bius
sudah bekerja dan langsung main sobek paha ibu. Yang jadi pertanyaan saya, paha
yang akan disobek, kenapa kaki yang jadi patokan ? Itupun dokter tidak njiwit paha ibu
dan melihat apakah ibu masih merasakan atau tidak.
Kami sudah menanyakan kepada pihak RS melalui perawatnya akan kejadian ini
(dokter anestesi sulit ditemui). Perawat bilang, hal itu bisa terjadi karena tingkat rasa
nyeri tiap-tiap orang berbeda-beda dan ibu saya tergolong mempunyai tingkat nyeri
yang tinggi. Namun menurut pengetahuan saya yang dangkal ini, namanya dibius ya
gak merasakan sakit apapun.

Apa mungkin gara-gara kami pemegang kartu BPJS mendapatkan perlakuan yang tidak
maksimal seperti ini ? Jujur, kami mempunyai kesan pihak RS memandang sebelah
mata kepada pemegang kartu BPJS, mulai dari ngrasani dan memberi kode antara
dokter dan perawat terhadap pasien BPJS sampai kesan diminta segera meninggalkan
RS setelah selesai operasi. Kalau memang tidak menyukai sistem BPJS, tolong jangan
pasien yang dikorbankan. Itu urusan pemerintah dengan pihak penyelenggara
kesehatan. Semoga ini menjadi pembelajaran bagi kita semua.
*Sumber : Kompasiana.com - 24 March 2014 | 11:54

Maut Setelah Gigi Dicabut


"ANAKKU BERTERIAK INGIN SEMBUH"
Setelah giginya dicabut dokter gigi sebuah rumah sakit, bocah usia sembilan tahun ini
malah mengalami perdarahan. Beberapa hari kemudian, dia meninggal. "Semua ini
karena karena kesalahan dokter," ujar sang ibunda, Dahniar Br Lumbangaol (45), saat
ditemui di rumahnya di Kampung Bulak, Sawangan, Bogor.
Keluarga kami sekarang sudah tak lengkap lagi. Yosua Christian (9), anak sulungku
yang kelas 3 SD itu, tak mungkin hadir di tengah-tengah kami. Dua minggu setelah
kami bawa ke Rumah Sakit Fatmawati karena sakit gigi, Yosua meninggal. Yang
membuat aku dan suamiku, Yanto Situmorang (43) sakit hati, Yosua meninggal setelah
giginya dicabut oleh dokter Didi Alamsyah SpBM dari Rumah Sakit (RS) Fatmawati,
Jakarta.
Sampai sekarang masih terbersit tanya, "Kenapa dokter mencabut gigi Yosua tanpa izin
kami, orang tuanya?" Bukankah seharusnya gusi bengkak itu harus dirawat dan diberi
obat dulu.
Sebelum kami bawa ke RS Fatmawati, Senin (16/1) Yosua kami bawa ke Puskesmas
Bappenas di Cinangka Wates, Bogor, karena gusi bengkak. Meski Yosua sudah dikasih
obat, tetap tak ada perubahan. Seminggu kemudian kami bawa lagi ke Puskesmas
yang sama, tetap saja tak sembuh.
Lalu, Yosua yang kesakitan, kami bawa ke klinik di UI. Yosua disarankan dibawa
berobat ke RS besar. Akhirnya, kami membawanya ke RS Fatmawati tanggal 30
Januari lalu. Yosua segera ditangani dan disuntik oleh dr. Didi. Mulut Yosua juga

dirontgen. Tanpa konsultasi kepada kami, setelah itu geraham kiri Yosua dicabut.
Akaibatnya terjadi perdarahan. Darah keluar terus-menerus dari bekas gigi dicabut itu.
Sepengetahuan kami, dr Didi tidak mengambil tindakan apa-apa. Dia cuma memberi
kain kasa untuk menghentikan darah yang keluar. Begitu Didi pergi, perdarahan tidak
juga berhenti. Perawat memberi kain kasa lagi.
SUSAH MAKAN
Setelah darah diyakini berhenti, Yosua segera dibawa bapaknya pulang. Namun, di
perjalanan dengan menggunakan sepeda motor, Yosua kembali merintih kesakitan.
Sampai di rumah, darah sudah menggenang di kerah bapaknya. Ternyata selama di
perjalanan, Yosua menahan sakit, sehingga kepalanya terus-terusan berada di pundak
bapaknya.
Kondisi Yosua sungguh menyedihkan. Darah segar sudah ngumpul di mulutnya. Sore
itu juga, kami memeriksakan ke klinik gigi dekat rumah. Klinik tak berani mengambil
tindakan karena tahu Yosua sudah ditangani dokter RS Fatmawati. Mereka hanya
menyumpal dengan tampon agar darah berhenti. Syukurlah akhirnya perdarahan
berhenti. Namun, pihak klinik menyarankan agar Yosua kembali diperiksa di RS
Fatmawati.
Awal Februari, kami datang lagi ke RS Fatmawati. Dr Didi yang memeriksa malah
berucap, "Lo kok gigi Yosua goyang semua." Saat itu, Yosua periksa darah. Hasil darah
bisa diketahui dua hari kemudian. Hasilnya di hari Jumat (3/2) itu, trombosit Yosua
makin turun menjadi 28.000. Eh, dr Didi malah bilang, "Terserah, Yosua mau dirawat di
RS atau tidak."
Sehari kemudian, kondisi Yosua terus merosot. Kami kembali membawanya ke RS. Tak
lama di situ, perawat minta Yosua dirawat di kamar saja. Karena ketiadaan biaya, aku
minta kamar khusus gakin saja. Yosua dirawat di kamar Isolasi 303.
Sungguh miris melihat kondisi Yosua. Kondisinya saat di IGD pun sudah tidak stabil.
Dia sempat manggil-manggil aku, bapak, dan adiknya. Malah dia juga memanggilmanggil dokter. Tampaknya dia memang berusaha untuk sembuh. Namun, fisiknya
sudah sungguh lemah dan tak berdaya.
Yang kami sesalkan, dr. Didi malah tak melakukan tindakan apa-apa. Dia masih bisa
bilang, "Terserah Ibu kalau Yosua harus dirawat lagi di rumah sakit." Duh, rasanya
pedih banget dengar penjelasan seperti itu. Bahkan perawat mengungkapkan, kalau
trombosit sudah mencapai 28.000, Yosua boleh di rawat di rumah asal diberi makanan
cukup dan bergizi.

Sedih mendengarnya. Yosua sudah semakin susah makan karena gusinya bengkak.
Agar fisiknya tetap kuat. Yosua diberi infus dan susu.Padahal, sehari sebelum giginya
dicabut, anak itu sempat makan sepiring nasi soto. Wah, makannya lahap sekali
KONDISI KIAN BURUK
Seminggu dirawat, tetapi kondisi Yosua tak berubah. Aku menyesalkan tindakan RS.
Selama di RS, Yosua tak mendapat perawatan apa-apa. Giginya yang goyang juga tak
disentuh. Bahkan dr. Didi yang menangani Yosua hanya dua kali mengontrol.
Sebelum meninggal, Yosua muntah darah. Dari mulut dan hidungnya keluar darah
bergumpal-gumpal. Dia sempat muntah darah lagi beberapa jam sebelum meninggal.
Aku dan suamiku panik melihat kondisinya. Saat itu, kepanikan suamiku sudah tak
teratasi. Dia segera berteriak dengan histeris agar perawat melihat kondisi Yosua.
Akhirnya dokter datang. Lalu, suamiku diminta membeli obat di apotek rumah sakit.
Belum sempat obat diberikan, kondisi Yosua makin memburuk. Badannya sudah
kuning. Yosua masih memanggil-manggil perawat. Para dokter tampak memompa dada
Yosua. Namun, nyawa Yosua tak bisa diselamatkan lagi. Dia meninggal jam 10.00.
(Dahniar menangis sesenggukan. Kepergian si buah hati membuatnya terpukul.
Bahkan, suaminya, Yanto Situmorang, masih tidak percaya anaknya sudah tiada.
Dahniar dan Yanto menuding, kepergian anaknya tak lepas dari kelalaian pihak RS,
dalam hal ini dr. Didi yang mencabut gigi anaknya.)
Karena diperlakukan tak semestinya Selasa (14/2) kami adukan pihak RS Fatmawati
terutama dr. Didi ke Polda Metro Jaya. Tujuannya agar kasus serupa tak dialami orang
lain.
*Sumber : tabloidnova.com - 8 June 2014 12:13 WIB

Dokter RSUD Kupang Dituding Abaikan Pasien


Raldi Banamtuan, 1 tahun, warga Oebesa, Kecamatan Soe, Kabupaten Timur Tengah
Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin, 4 Maret 2013, meninggal dunia di
Rumah
Sakit
Umum
Daerah
(RSUD)
Johanes,
Kupang.
Ayah Raldi, Yunus Banamtuan, menjelaskan anaknya meninggal dunia setelah dokter
yang merawatnya tidak melakukan pemeriksaan rutin (visit). Raldi, yang menderita
gangguan saluran kencing, merupakan pasien rujukan dari RSUD Soe, ibu kota
Kabupaten TTS. Raldi mulai dirawat di RSUD Kupang pada Senin, 25 Februari 2013
dan
menjalani
operasi
pada
Selasa,
26
Februari
2013.
Setelah operasi, Raldi tidak pernah diperiksa oleh dokter yang menanganinya, yakni dr
Widy. Sesuai informasi yang diterima pihak keluarga Raldi, dr Widy sedang berada di
luar kota. Sampai Raldi meninggal dunia, dokter Widy tak kelihatan, kata Yunus.
Dokter Widy membantah tuduhan keluarga Raldi. Sebab, setelah operasi, dokter selalu
melakukan pemeriksaan rutin. Menurut dia, sesuai surat rujukan, korban mengalami
sakitruptur uretra (robek pada saluran kencing) karena ketika dirawat di RSU Soe,
Raldi
mencabut
kateter
yang
di
pasang
pihak
rumah
sakit.
Widy menjelaskan, dokter membuat saluran kecing sementara karena Raldi tidak bisa
buang air kecil. Widi juga memaparkan bahwa sebenarnya Raldi mengalami tumor
ganas yang telah menyebar ke hati. Kami sudah jelaskan kepada keluarganya bahwa
korban
menderita
tumor
ganas,
ujarnya.
Itu sebabnya, Widi mengatakan bahwa Raldi meninggal karena tumor ganas, bukan

karena penyakit saluran kecing yang dideritanya. Kami tahu itu setelah melakukan
operasi terhadap korban, ucapnya.
*Sumber : TEMPO.COM - SENIN, 04 MARET 2013 | 13:15 WIB

También podría gustarte