Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Infeksi saluran napas bawah merupakan masalah utama dalam bidang
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru, sebelah distal dari
2.2
Epidemiologi
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi pneumonia tahun
2013 sebesar 4,5 persen. Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi
pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur (4,6% dan
10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%), Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi
Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan (2,4% dan 4,8%). Period prevalensi
pneumonia balita di Indonesia adalah 18,5 per mil. Balita dengan pneumonia yang
berobat hanya 1,6 per mil. Lima provinsi yang mempunyai insiden pneumonia
balita tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (38,5%), Aceh (35,6%), Bangka
Belitung (34,8%), Sulawesi Barat (34,8%), dan Kalimantan Tengah (32,7%).
Insidens tertinggi pneumonia balita terdapat pada kelompok umur 12-23 bulan
(21,7%)2.
2.3
Faktor Resiko
Faktor resiko pneumonia pada anak dapat dilihat pada tabel dibawah ini4.
2.4
Postnatal
Malnutrisi
Polusi udara
didalam
ekslusif
Tidak
imunisasi
Sanitasi dan
padat
Menderita
lainnya
Defisiensi vitamin A
mendapatkan
hygiene
penyakit
Etiologi
3 minggu
sampai 3 bulan
4 bulan sampai
5 tahun
Bakteri
Chlamydia trachomatis
Streptococcus pneumoniae
pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus sitomegalo
Virus Herpes simpleks
Bakteri
Bordetella pertusis
Haemophilus influenzae
Virus
Virus Adeno
Virus Influenza
Virus Parainfluenza 1,2,3
Respiratory Syncytial
tipe B
Moraxella catharalis
Staphylococcus aureus
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus sitomegalo
Virus
Bakteri
Chlamydia pneumoniae
Bakteri
Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae
Streptococcus pneumoniae
Virus
Virus Adeno
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial
tipe B
Moraxella catharalis
Neisseria meningitidis
Staphylococcus aureus
Virus
Virus Varisela-Zoster
5 tahun sampai
remaja
virus
Bakteri
Chlamydia pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Streptococcus pneumoniae
Bakteri
Haemophillus influenzae
Legionella sp
Staphylococcus aureus
Virus
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial
Virus
Virus Varisela-Zoster
2.5
Patofisiologi
Umumnya mikroorganisme terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
napas. Selanjutnya akan terjadi respon berupa empat tahap dari penumonia yaitu6:
1. Kongesti (4-12 jam), ditandai dengan adanya eksudat serosa yang masuk ke
dalam alveoli melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor.
2. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya), ditandai dengan tampakan paru yang
merah dan bergranula karena sel darah merah, fibrin, PMN, cairan edema,
dan mikroorganisme mengisi alveoli.
3. Hepatisasi kelabu (3-8 hari), yaitu ditandai dengan paru yang tampak kelabu
karena deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat leukosit PMN di alveoli
dan terjadi proses fagositosis yang cepat.
4. Resolusi (7-11 hari), ditandai dengan eksudat yang mengalami lisis, jumlah
makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin
menipis, mikroorganisme penyebab dan debris menghilang.
tertentu
sering
menimbulkan
gambaran
patologis
tertentu
bila
koagulase
dan
virulensi
bakteri.
Staphylococcus
yang
tidak
2.6
Manifestasi Kinis
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak
sering, dan faktor patogenesis. Secara umum gambaran klinis pneumonia adalah
sebagai berikut5:
a. Gejala infeksi umum: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu
makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare, kadangkadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dinding dada,
takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
c. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti perkusi pekak,
suara napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil,
gejala biasanya lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan
auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.
2.7
Diagnosis
Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan serologis
merupakan dasar untuk terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan pemeriksan laboratorium
penunjang yang memadai. Oleh karena itu, diagnosis pneumonia pada anak
umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukan keterlibatan
sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya
pnumonia adalah demam, sianosis, lebih dari satu gejala respiratori berikut:
takipnea, batuk, sesak, napas cuping hidung, retraksi dinding dada, ronki, dan
suara napas yang melemah5.
1.
Pneumonia ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
Napas dikatakan cepat jika7:
a. Pada anak berumur 2 bulan sampai 11 bulan: 50 kali/menit
b. Pada anak berumur 1 tahun sampai 5 tahun: 40 kali/menit
2.
Pneumonia berat
Batuk atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini7:
a. Kepala terangguk-angguk
b. Pernapasan cuping hidung
c. Tarikan dinding dada bagian bawah
d. Foto dada menunjukan gambaran pneumonia
e. Napas cepat
Crackles (ronki)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia yang disebabkan oleh virus dan mikoplasma
umumnya leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi,
pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.00040.000/mm3
dengan
predominan
PMN.
Leukopenia
(<5.000/mm3)
menunjukan prognosis yang buruk. WBC dan jumlah granulosit lebih tinggi
pada pasien dengan infeksi bakteri dibandingkan pada mereka dengan infeksi
virus. Untuk leukosit dengan nilai cut-off
spesifisitas 86% dan 95% , untuk granulosit dengan cut-off 10,0 dan 15,0 x 103
memiliki spesifisitas 84 % dan 97%. Jumlah neutrofil mutlak (ANC) telah
diusulkan sebagai penanda untuk infeksi bakteri yang serius . ANC lebih dari
10.000/mm3 merupakan penanda infeksi bkteri dengan nilai sensitivitas (75%)
dan spesifisitas (75%). Pada infeksi Chlamydia pneumoniae kadang
ditemukan eosinofilia. Kadang-kadang terdapat anemia dengan laju endap
darah (LED) yang meningkat5,8.
b. C-Reactive Protein
C-reactive protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh
hepatosit sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara
cepat distimulasi oleh sitokin, terutama interleukin (IL)-6, IL-1, dan tumor
nekrosis faktor (TNF). Secara klinis CRP digunakan untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri. Kadar CRP
lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri superfisialis daripada bakteri
profunda. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi
antibiotik5.
c. Uji Serologis
uji serologis untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Akan
teteapi, diagnosis infeksi Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan
peningkatan titer antibodi seperti titer antistreptolisin O, streptozim, atau
antiDnase B. Peningkatan titer dapat juga berarti adanya infeksi terdahulu.
Untuk konfirmasi diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen5.
Secara
umum,
uji
serologis
tidak
terlalu
bermanfaat
untuk
mendiagnosis infeksi bakteri tipik. Akan tetapi, untuk deteksi bakteri atipik
seperti Mikoplasma dan Klamidia, serta beberapa virus seperti RSV,
Sitomegalo, Campak, Parainfluenza 1,2,3, Influenza A dan B, dan Adeno,
peningkatan antibodi IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis5.
d. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis tidak rutin dilakukan kecuali untuk
pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorokan, sekret
nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.
10
2.8
Tatalaksana
Penetalaksanaan pneumonia menurut panduan WHO di bagi menjadi dua
11
distres
pernapasan
berat)
maka
ditambahkan
12
13
14
Beri
makanan
sesuai
dengan
kebutuhan
dan
2.9
Pencegahan
15
2.10 Komplikasi
Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sering menyebabkan pembentukan
cairan inflamasi yang terkumpul di dalam rongga pleura yang berdekatan,
menyebabkan efusi parapneumonia atau jika terlalu purulen akan menyebabkan
empiema. Diseksi udara di dalam jaringan paru-paru dapat menyebabkan
pneumatokel atau kantong udara. Pembentukan jaringan parut pada saluran napas
dan jaringan paru dapat menyebabkan pelebaran bronkus, sehingga menyebabkan
bronkiektasis dan peningkatan risiko infeksi3.
Pneumonia yang menyebabkan nekrosis jaringan paru dapat berkembang
menjadi abses paru. Bagian paru yang paling sering terkena adalah segmen
posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah. Abses paru sering
disebabkan oleh bakteri anaerob, kelompok Streptokokus, E. coli, Klebsiella
pneumoniae, P. aeruginosa , dan S. Aureus3.
16
2.11 Prognosis
Sebagian besar anak-anak yang mengalami peumonia sembuh dengan cepat
dan sempurna. Kelainan pada radiografi kembali normal dalam waktu 6 sampai 8
minggu. Dalam beberapa kasus, pneumonia dapat bertahan lebih dari 1 bulan atau
mungkin berulang. Pneumonia berat yang disebebabkan oleh adenovirus dapat
mengakibatkan obliterans bronkiolitis, merupakan suatu proses inflamasi subakut
di mana saluran udara kecil digantikan oleh jaringan parut. Sindrom paru
hiperlusen unilateral, atau Swyer-James Syndrome merupakan gejala sisa dari
pneumonia yang menyebabkan nekrosis jaringan paru dikaitkan dengan infeksi
adenovirus tipe 213.
17
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1
a.
Identitas
Identitas Pasien
b.
Nama lengkap
: An. AI
Umur
: 3 bulan 2 hari
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Gunung Sari
: Anak Kandung
Identitas keluarga
Nama
Umur
Pendidikan/Berapa tahun
Pekerjaan
:
Ibu
Ny. Widawati
23 th
SD/Tamat
IRT
Ayah
Tn. M Zunaini
28 th
SMA/Tamat
Wiraswasta
18
c.
Masuk RS tanggal
: 2 Mei 2014
d.
Diagnosis Masuk
: Pneumonia
e.
Keluar RS tanggal
: 12 Mei 2014
f.
Lama Perawatan
: 10 hari
g.
: Rawat jalan
3.2
a.
b.
Sesak dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Menurut ibu pasien, sesak terjadi saat
pasien menarik napas dan saat sesak terdengar bunyi seperti suara grok-grok. Saat
sesak pasien tidak sampai kebiruan, dan pasien masih kuat menyusu, namun ibu
pasien tidak menghitung berapa kali pasien menyusu dalam sehari.
Pasien juga dikeluhkan mengalami demam sehari sebelum masuk rumah
sakit. Demam dirasakan tidak begitu tinggi, turun-naik dengan pola tidak
menentu. Saat pasien demam, ibu pasien tidak memberikan obat apapun dan tidak
dikompres. Demam tidak disertai menggigil dan kejang.
Selain itu, pasien juga dikeluhkan mengalami batuk sejak tanggal 26 maret
2014, yang disertai dahak, dahak masih bisa dikeluarkan dan berwarna putih
kental. Ibu pasien mengeluhkan batuk memberat saat pagi dan malam hari. Saat
batuk, pasien hanya digendong dan diberikan minyak kayu putih saja. Batuk
awalnya ringan dan jarang-jarang, tapi lama-kelamaan makin memberat sejak 1
19
bulan lalu. Menurut ibu pasien, batuk mengganggu tidur pasien, dan saat batuk
pasien kesulitan bernapas.
Pasien juga mengalami muntah sebelum masuk rumah sakit, muntah
sebanyak 2 kali, masing-masing berjumlah kira-kira seperempat gelas belimbing
(50 ml) dan berwarna putih. Muntah diawali batuk-batuk yang lama.
Menurut ibu pasien, pasien buang air besar lancar dan normal, sehari
pasien buang air besar 1-3 kali, dengan konsistensi lunak, berwarna kuning
kecoklatan, tidak ditemukan darah (buang air besar berwarna merah atau hitam),
tidak ditemukan lendir. Pasien buang air kecil lancar dan normal, 5-6 kali perhari,
setiap buang air kecil kira-kira berjumlah setengah gelas (100 ml), berwarna
kuning jernih, dan tidak berwarna merah seperti teh.
c.
d.
Terdapat riwayat sesak napas pada keluarga lain yang tinggal tidak
serumah yaitu kakek dan sepupu pasien.
20
f. Riwayat Pengobatan
Pada saat sesak, batuk, demam 1,5 bulan yang lalu, pasien dibawa ke
Puskesmas Gunung Sari. Di Puskemas Gunung Sari, pasien diberikan terapi
berupa oksigen dan obat puyer. Setelah itu pasien di rujuk ke RSUP NTB di IGD
pasien mendapatkan pengobatan berupa oksigen, infuse, antibiotik, serta penurun
panas. Saat di bangsal anak pasien mendapatkan pengobatan berupa oksigen,
infuse, antibiotik, penurun panas, dan dilakukan nebulisasi.
g.
Riwayat Pribadi
1.
Puskesmas Gunung Sari, ibu pasien melakukan pemeriksaan sebanyak 3 kali dan
21
tidak ditemukan kelainan pada ibu dan janin. Saat hamil ibu pasien juga tidak
pernah menderita sakit, ibu pasien tidak pernah meminum obat-obatan atau jamujamuan. Selama hamil ibu pasien rutin mengkonsumsi obat penambah darah yang
diberikan dari puskesmas. Pasien merupakan anak pertama, lahir spontan di
Puskesmas Gunung Sari, cukup bulan, ditolong bidan dan dokter, ibu pasien lupa
berat badan pasien saat lahir, lahir langsung menangis, pasien tidak berwarna
kebiruan atau kuning setelah lahir.
2.
Riwayat Nutrisi
Saat ini pasien masih diberikan ASI dan ibu pasien belum memberikan
makanan lain selain ASI. Menurut ibu pasien, nafsu makan pasien tidak
mengalami penurunan saat sakit.
3.
sudah bisa tengkurap dengan kepala diangkat, bereaksi terhadap suara, menatap
muka seseorang, dan tersenyum sacara spontan.
4.
Vaksinasi
Ibu pasien menyatakan pasien baru mendapatkan imunisasi yang diberikan
dengan disuntik sebanyak dua kali di bagian paha yaitu saat pasien baru lahir dan
saat usia pasien 1 bulan. Pasien juga baru mendapatkan satu kali imunisasi yang
22
5.
: Sedang
RR
: 57 kali permenit
Nadi
T ax
: 37,0 C
23
b. Status Gizi
Berat badan : 5 kg
Panjang badan : 57 cm
24
25
26
27
c. Status General :
Kepala dan Leher
1. Kepala
Bentuk : normosefali
Ubun-ubun besar : terbuka dan teraba datar
Rambut : berwarna hitam, tipis, dan distribusi jarang-jarang
2. Mata
a. Konjungtiva kanan dan kiri tidak tampak anemis
b. Sklera kanan dan kiri tidak tampak ikterus
c. Pupil kanan dan kiri isokor
d. Refleks pupil kanan dan kiri normal
e. Alis dan bulu mata tidak mudah dicabut
f. Kornea tampak jernih
3. Telinga
a. Bentuk: telinga kanan dan kiri tampak simetris, tidak ditemukan
deformitas
b. Sekret: tidak ditemukan adanya sekret pada telinga kanan dan kiri
c. Serumen: terlihat sedikit serumen pada telingan kanan
4. Hidung
a. Bentuk : hidung tampak simetris
b. Pernafasan cuping hidung: tidak ada
c. Tidak tampak sekret pada lubang hidung kanan dan kiri
28
5. Mulut
a. Bibir: mukosa bibir berwarna kemerahan dan basah dengan
bercak berwarna putih, tidak tampak sianosis.
b. Rongga mulut: bentuk lidah normal, berwarna kemerahan,
tampak bercak putih pada rongga mulut dan lidah pasien.
6. Leher
Tidak tampak pembesaran kelenjar getah pada leher pasien
Thorak
1. Inspeksi: pergerakan dinding dada tampak simetris antara kanan dan
kiri, tampak retraksi subcostal minimal
2. Palpasi: pergerakan dinding dada simetris
3. Perkusi: sonor di kedua lapang paru
4. Auskultasi :
i. Pulmo: terdapat rhonki basah halus di kedua paru pada
bagian basal paru, terdengar wheezing di kedua lapang
paru.
ii. Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
1. Inspeksi: perut tidak tampak distensi, tidak tampak adanya masa
2. Auskultasi: Bising usus normal
3. Perkusi: Timpani di semua kuadran
4. Palpasi: tidak teraba masa
29
Ekstremitas
Akral hangat
Edema
Sianosis
Kelainan bentuk
Tungkai Atas
Kanan
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Kiri
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Tungkai Bawah
Kanan
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Kiri
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
3.4 Resume
Pasien laki-laki, berusia 3 bulan, dengan berat badan 5 kg, status gizi baik,
datang dengan keluhan sesak napas. Sesak dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Pasien
juga dikeluhkan demam sehari sebelum masuk rumah sakit, demam turun-naik
dengan pola tidak menentu. Selain itu, pasien juga dikeluhkan mengalami batuk
sejak tanggal 26 maret 2014, yang disertai dahak, dahak masih bisa keluar dan
berwarna putih kental. Pasien juga mengalami muntah sebelum masuk rumah
sakit, muntah sebanyak 2 kali, masing-masing berjumlah kira-kira seperempat
gelas belimbing (50 ml) dan berwarna putih. Sebelumnya pasien pernah dirawat di
RSUP NTB karena pneumonia berat 1,5 bulan yang lalu. Pasien dirawat selama
18 hari. Terdapat riwayat keluarga dengan keluhan serupa (sesak napas, demam,
batuk, dan batuk).
Didapatkan keadaan umum sedang, RR: 57 kali permenit, nadi: 138 kali
permenit, Tax: 37,0C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan retraksi subcostal
minimal, rhonki basah halus di kedua paru pada bagian basal, dan wheezing di
kedua paru
3.5
Pemeriksaan Penunjang
30
3.7
L 13,0 - 18,0
L 4,5 - 5,5
L 40,0 - 50,0
82,0 - 92,0
27,0 - 31,0
32,0 - 37,0
4,0 11,0
150 400
Diagnosis Kerja
Pneumonia Berat
Diagnosis Banding
3.8
9,5 g/dl
3,20 x 106/uL
28,0 %
87,5 fL
29,7 pg
33,9 g/dl
12,90 x 103/uL
375 x 103/uL
Bronkiolitis
Rencana awal
Rencana terapi :
a. O2 1 liter per menit
b. Infuse D5 NS 10 ttm/menit
c. Cefotaxime 3 x 175 mg
d. Combivent setiap 8 jam. Kemudian dilanjutkan dengan suction post
nebulisasi
e. klaritromisin 2 x 50 mg
f. Fisioterapi dada
31
3.9
Follow UP Pasien
Assessment
Batuk
Ku: sedang
muntah
Nadi: 138 x /
Pertussis
Sesak
menit
cough
Pasien
RR: 57 x/menit
tidak
Tax: 37,0 C
normokromik
demam
Tidak
tampak
normositer et causa
pasien
napas
cuping
defisiensi
masih mau
hidung
menyusu
Planning
Anemia
mg
besi
Kemudian
suction
Tampak retraksi
post
nebulisasi
e. Klaritromisin 2 x 50
Terdengar
rhonki
jam.
dilanjutkan dengan
tahap awal
subcostal
d. Combivent setiap 8
mg
basah
f.Fisioterapi dada
halus di kedua
paru
Terdengar
wheezing
di
kedua paru
Sabtu, 3 Mei 2014
Subyektif
Obyektif
Assessment
Batuk
Ku : sedang
Sesak
Nadi : 125 x /
Pertussis
Pasien
menit
cough
Planning
tidak
RR : 49 x/menit
Anemia
demam
Tax : 36,3 C
normokromik
pasien
SPO2:
normositer et causa
masih mau
98%
defisiensi
mg
besi
d. Combivent setiap 8
jam.
Kemudian
32
menyusu
dengan oksigen
tahap awal
dilanjutkan dengan
suction
Tidak
tampak
nebulisasi
napas
cuping
e. Klaritromisin 2 x 50
mg
hidung
post
Tampak retraksi
subcostal
minimal
Terdengar
rhonki
basah
halus di kedua
paru
Terdengar
wheezing
di
kedua paru
Minggu, 4 Mei 2014
Subyektif
Obyektif
Assessment
Batuk
Ku : sedang
Sesak
Nadi : 137 x /
Pertussis
Pasien
menit
cough
Planning
tidak
RR : 52 x/menit
Anemia
demam
Tax : 36,7 C
normokromik
pasien
SPO2
normositer et causa
97%
masih mau
dengan oksigen
defisiensi
menyusu
1 liter permenit
tahap awal
Tidak
tampak
napas
cuping
hidung
mg
besi
d. Combivent setiap 8
jam.
Kemudian
dilanjutkan dengan
suction
post
nebulisasi
e. Klaritromisin 2 x 50
mg
Tampak retraksi
subcostal
33
minimal
Terdengar
rhonki
basah
halus di kedua
paru
Terdengar
wheezing
di
kedua paru
Senin, 5 Mei 2014
Subyektif
Obyektif
Assessment
Planing
Batuk
Ku : sedang
Sesak
Nadi : 132 x /
Pertussis
Pasien
menit
cough
Pneumonia lobaris
like b. Infuse D5 NS 10
ttm/menit
c. Cefotaxime
tidak
RR : 54 x/menit
Anemia
demam
Tax : 36,5 C
normokromik
Pasien
SPO2
normositer et causa
98%
masih mau
dengan oksigen
defisiensi
menyusu
1 liter permenit
tahap awal
Tidak
tampak
napas
cuping
hidung
Tidak
tampak
Terdengar
rhonki
175 mg
besi
d. Combivent setiap 8
jam.
Kemudian
dilanjutkan dengan
suction
post
nebulisasi
e. Klaritromisin 2 x
50 mg
retraksi minimal
f. Dexamethasone 3
x 3 mg
g. Fisioterapi
basah
gentle
dada:
clapping,
halus
positioning
Terdengar
superior
wheezing
massage
lobus
dextra,
Atelektasis
34
lobus
superior
dextra
Selasa 6 Mei 2014
Subyektif
Obyektif
Assessment
Planning
Batuk
Ku : Sedang
Sesak
Nadi : 138 x /
Pasien
menit
Pneumonia lobaris
Pertussis
cough
like b. Infuse D5 NS 10
ttm/menit
c. Cefotaxime
tidak
RR : 58 x/menit
demam
Tax : 37,0 C
normokromik
pasien
normositer et causa
Anemia
masih mau
oksigen 1 liter
defisiensi
menyusu
permenit
tahap awal
Tidak
napas
175 mg
besi
d. Combivent setiap 8
jam.
Kemudian
dilanjutkan dengan
suction
tampak
post
nebulisasi
cuping
e. Klaritromisin 2 x
hidung
Tampak
50 mg
retraksi
f. Dexamethasone 3
subcostal
x 3 mg
minimal
Terdengar
rhonki
basah halus
Terdengar
wheezing
minimal
Rabu, 7 Mei 2014
Subyektif
Obyektif
Assessment
Planning
a. O2 dilepas
Batuk
Ku : Sedang
berkurang
Nadi : 124 x /
Sesak
menit
Pneumonia lobaris
Pertussis
cough
like b. Infuse D5 NS 10
ttm/menit
berkurang
RR : 44 x/menit
Pasien
Tax : 36,7 C
normokromik
tidak
normositer et causa
Anemia
c. Cefotaxime
175 mg
d. Combivent setiap 8
35
demam
oksigen 1 liter
defisiensi
pasien
permenit
tahap awal
besi
jam.
Kemudian
dilanjutkan dengan
tampak
suction
menyusu
cuping
nebulisasi
napas
post
e. Klaritromisin 2 x
hidung
Tampak
50 mg
retraksi
f. Dexamethasone 3
subcostal
x 3 mg
minimal
Terdengar
rhonki
basah halus
Tidak
terdengar
wheezing
Kamis, 8 Mei 2014
Subyektif
Obyektif
Assessment
Planning
a. Infuse dilepas
Batuk
Ku : Sedang
berkurang
Nadi : 121 x /
Pneumonia lobaris
Pertussis
like b. Cefotaxime
175 mg
Tidak sesak
Pasien
RR : 41 x/menit
tidak
Tax : 37,3 C
normokromik
demam
normositer et causa
pasien
menit
cough
tampak
tahap awal
50 mg
besi
d. Salbutamol/
metilprednisolon di
puyer 3 x 1
cuping
hidung
Tampak
retraksi
subcostal
minimal
Terdengar
c. Klaritromisin 2 x
Anemia
defisiensi
oksigen
rhonki
sedang
Terdengar
36
wheezing
minimal
Jumat, 9 Mei 2014
Subyektif
Obyektif
Assessment
Planning
a. Cefotaxime
Batuk
Ku : Sedang
berkurang
Nadi : 128 x /
Pneumonia lobaris
Pertussis
like
Tidak sesak
Pasien
RR : 42 x/menit
tidak
Tax : 37,0 C
normokromik
demam
normositer et causa
pasien
cough
c. Salbutamol/
besi
metilprednisolon
dipuyer 3 x 1
d. Enystin drop 3 x
tahap awal
tampak
175 mg
50 mg
Anemia
defisiensi
oksigen
b. Klaritromisin 2 x
menit
0,5 ml
cuping
e. Oral hygiene
hidung
Tampak
bercak
retraksi
subcostal
minimal
Tidak
terdengar
rhonki
Terdengar
wheezing
minimal
Oral thrush
Sabtu, 10 Mei 2014
Subyektif
Obyektif
Assessment
Planning
a. Cefotaxime
Pasien
menit
Pneumonia lobaris
Pertussis
cough
like
175 mg
b. Klaritromisin 2 x
37
tidak
RR : 45 x/menit
demam
Tax : 36,9 C
normokromik
pasien
normositer et causa
masih mau
menyusu
defisiensi
oksigen
Tidak
c. Enystin drop 3 x
0,5 ml
besi d. Salbutamol/
metilprednisolon
tahap awal
tampak
napas
50 mg
Anemia
dipuyer 3 x 1
cuping
hidung
Tidak
tampak
retraksi
Tidak
terdengar
rhonki
Tidak
terdengar
wheezing
Senin, 12 Mei 2014
Subyektif
Obyektif
Tidak
Sesak
Assessment
Nadi : 125 x /
menit
Pasien
RR : 40 x/menit
tidak
Tax : 36,6 C
demam
Tidak
pasien
napas
masih mau
hidung
menyusu
Tidak
cuping
Pneumonia
a. BPL
lobaris
b. Kontrol
Pertussis
like
cough
tampak
Planning
Anemia
defisiensi besi
ke
anak
c. Enystin drop 3 x
0,5 ml
d. Cefadroxil 2 x 2,5
ml
tampak
retraksi
Terdengar
poli
rhonki
basah halus
Terdengar
wheezing minimal
38
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1
Pembahasan
Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan pneumonia berat + pertussis like
39
40
positif, bakteri intrasel, dan bakteri tanpa dinding sel. Eritromisin, Klaritromisin,
azitromisin, roksitromisin. Klaritromisin lebih dipilih karena memiliki efektivitas
klinis yang lebih baik.
Diagnosis anemia normokromik normositer et causa defisiensi besi tahap
awal ditegakan berdasarkan nilai HB pasien 9,5 g/dL dengan MCV, MCH, MCHC
masih dalam batas normal. Namun untuk penegakan diagnosis pasti dari anemia
defisiensi besi perlu dilakukan pemeriksaan Fe serum dan TIBC. Perbandingan
antara Fe serum dan TIBC (saturasi transferin) menggambarkan suplai besi ke
eritroid sumsum tulang. Bila saturasi transferin (ST) < 16% menunjukan suplai
besi yang tidak adekuat, ST < 7% diagnosis anemia defisiensi besi dapat
ditegakan, nilai ST 7-16% dapat digunakan untuk diagnosis anemia defisiensi besi
jika nilai MCV rendah. Penatalaksanaan anemia defisiensi besi umumnya berupa
pemberian preparat Fe secara peroral atau parenteral.
Pada kasus ini diperlukan pemantauan secara berkala untuk menilai ada
tidaknya komplikasi, menilai tanda klinis pasien. Pada kasus pneumonia berat
anak paling sedikit dipantau setiap 3 jam sekali oleh perawat dan 1 hari sekali
oleh dokter. Jika tidak ada komplikasi, maka dalam 2 hari telah tampak perbaikan
klinis berupa bernapas tidak cepat, tidak ada tarikan dinding dada, bebas demam,
anak mau makan dan minum atau mau menyusu.
41
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair., 2010, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru,
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo,
Surabaya.
Riset Kesehatan Dasar., 2013, Period Prevalence Pneumonia Balita, dan
Prevalensi Pneumonia Menurut Provinsi, Indonesia 2013, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI,
Jakarta
42
Behrman RE, Vaughan VC, 1992, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Bagian II, Ed 12,
Jakarta: EGC.
Don, Massimilliano., 2009, Community-Acquired Pneumonia,University of
Tampere: Italy
Setyanto, Budi, D., 2008, Buku Ajar Respirologi Anak Ed.1 , Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M., Patofisiologi Ed 6, Jakarta: EGC
WHO Indonesia., 2008, Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota, Alih bahasa: Tim
Adaptasi Indonesia, Jakarta: Depkes RI.
M, Korppi., 1993, White Blood Cell and Differential Counts in Acute Respiratory
Viral and Bacterial Infections in Children , Scand Journal Infection
Disease, no. 25, vol. 4, hh.435-40.
Bradley, John et al., 2011, The Management of Community-Acquired Pneumonia
in Infants and Children Older Than 3 Months of Age: Clinical Practice
Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the
Infectious Diseases Society of America, Infectious Diseases Society of
America: San Diego
43