Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik
antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question. Atas
tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda
akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan
pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda
menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25
Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah
konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee
of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal
sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia
yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat
sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili
oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.
Selanjutnya PBB membentuk Komisi PBB yang terdiri atas tiga negara: satu dipilih
oleh Indonesia, satu oleh Belanda dan yang satu lagi dipilih bersama. Komisi Tiga
Negara ini terdiri atas Amreika Serikat, Australia dan Belgia. Sjahrir memilih Australia,
dan bukan India, karena India sudah dianggap oleh dunia sebagai pro Indonesia,
sedangkan Australia adalah negara bangsa kulit putih, yang dianggap lebih obyektif
pendiriannya dalam mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Perkiraan
Belanda dengan mengadakan agresi militernya yang pertama meleset sama sekali;
karena tanpa diperhitungkan sejak semula, bahwa Dewan Keamanan PBB akan
bertindak atas usul India dan Australia.
India dan Australia sangat aktif mendukung Republik di dalam PBB, di mana Uni
Soviet juga memberika dukungannta. Akan tetapi, peranan yang paling penting akhirnya
dimainkan oleh Amerika Serikat. Mereka yang menentukan kebijakan Belanda, bahkan
yang lebih progresif di antara mereka, merasa yakin bahwa sejarah dan pikiran sehat
memberi mereka hak untuk menetukan perkembangan Indonesia, tetapi hak ini hanya
dapat dijalankan dengan menghancurkan Republik terdahulu. Sekutu-sekutu utama
negeri Belanda terutama Inggris, Australia, dan Amerika (negara yang paling diandalkan
Belanda untuk memberi bantuan pembangunan kembali di masa sesudah perang) tidak
mengakui hak semacam itu kecuali jika rakyat Indonesia mengakuinya, yang jelas tidak
demikian apabila pihak Belanda harus menyandarkan diri pada penaklukan militer.
Mereka mulai mendesak negeri Belanda supaya mengambil sikap yang tidak begitu
kaku, dan PBB menjadi forum umum untuk memeriksa tindakan-tindakan Belanda.
Untuk pertama kali sejak PBB didirikan pada tahun 1945, badan ini mengambil
tindakan mengentikan penyerangan militer di dunia dan memaksa agresor agar
menghentikan serangannya. Belanda yang menginginkan supaya masalah Indonesia
dianggap sebagai suatu persoalan dalam negeri antara Belanda dan jajahannya, telah
gagal, dan masalah Indonesia-Belanda menjadi menjadi masalah internasional.
Kedudukan Republik Indonesia menjadi sejajar dengan kedudukan negara Belanda
dalam pandangan dunia umumnya.
F. Dampak Agresi Militer I bagi Bangsa Indonesia
Dampak yang diperoleh bangsa Indonesia akibat adanya agresi militer I oleh pihak
Belanda yaitu sempat dikuasainya beberapa daerah-daerah perkebunan yang cukup luas,
di Sumatera Timur, Palembang, Jawa Barat dan Jawa Timur. Meski PBB telah turut
membantu mengatasi agresi militer yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia dengan
diadakan penghentian tembak menembak, tidak berarti bahwa tindakan militer Belanda
langsung terhenti. Mereka terus-menerus mengadakan gerakan pembersihan untuk
mengamankan dareah-dareah yang telah didudukinya. Dalam gerakan pembersihan ini
sering pula terjadi tindakan kejam oleh pasukan Belanda, terutama di dareah-daerah
yang sudah mereka duduki namun tidak dapat dikuasai, umpamanya dareah sekitar
Krawang-Bekasi Di sekitar Bekasi beroperasi pasukan kita yang dipimpin oleh Lukas
Kustrayo. Setelah pembentukan BKR ia langsung bergabung, dan pasukan yang
dibentuknya beroperasi di sekitar Bekasi. Setelah Belanda meyerang pada bulan Juli
1947 Lukas tetap beroperasi di sana dan tetap menganggu kehadiran Belanda di daerah
itu, juga setelah diadakan pengehentian tembak- menembak. Kegiatan Lukas sangat
menjengkelkan Belanda, sehingga Lukas diberi julukan Tijger van West Jawa
(Harimau Jawa Barat).
Belanda terus-menerus berusaha mengejar Lukas dan pasukannya, tetapi selalu
tidak berhasil. Setelah mereka mengetahui bahwa Lukas bermarkas di desa Rawagede,
mereka menyerbu desa itu pada tanggal 9 Desember 1947, dan lagi-lagi Lukas dan
pasukannya lolos. dalam kemarahan dan frustasi karena usaha mereka tidak berhasil,
pasukan Belanda menembaki rakyat desa Rawagede secara membabi buta dan
membunuh 491 orang dewasa dan anak-anak. Kekejaman Belanda ini tidak pernah kita
ungkapkan ke dunia luar, karena pada waktu itu memang kita tidak mempunyai aparat
untuk melakukanya. Kekejaman Belanda lain yang dapat disebut adalah pembantaian
rakyat Sulawesi Selatan pada bulan Januari 1948 oleh pasukan Kapten Wasterling, yang
juga tidak pernah dihukum. Juga peristiwa kapten api maut di Jawa Timur, ketika
prajurit-prajurit Republik Indonesia yang tertawan oleh Belanda diamsukkan dalam
gerbong kereta api yang kemudian ditutup rapat tanpa ventilasi, sehingga semua
tawanan mati lemas karena kepanasan dan kehabisan udara.
PERJANJIAN LINGGARJATI
Upaya untuk memperjuangkan kemerdekaan RI selain dengan kekerasan, ada juga yang
dengan kelembutan. Upaya ini biasanya dengan melakukan perundingan atau membuat
sebuah perjanjian dengan Belanda. Salah satunya adalah perundingan/perjanjian
Linggarjati. Berikut merupakan penjelasannya :
Sebab / Latar Belakang perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Republik
Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda. Sebelumnya,
diplomat dari Inggris, Sir Archibald Clark Kerr mengundang Indonesia dan Belanda untuk
berunding di Hoogwe Veluwe dari tanggal 14 25 April 1946 untuk menyelesaikan
konflik. Namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui
kedaulatannya atas Jawa, Sumatera, dan Madura, namun Belanda hanya mengakui
Indonesia atas Jawa dan Madura saja. Sehingga dengan gagalnya perundingan di Hoogwe
Veluwe ini, maka kemudian diselenggarakan kembali perundingan di Linggarjati, Jawa
Barat.
Pelaksanaan dan Isi Perundingan Linggarjati
Perundingan Linggarjati terlaksana pada 11 15 November 1946 di Linggarjati, dekat
Cirebon. Dalam perundingan ini, dihadiri oleh perwakilan dari Indonesia dan Belanda.
Delegasi Belanda dipimpin oleh Prof. Scermerhorn, dengan anggotanya:
Max Van Poll,
F. de Baer, dan
H.J. Van Mook.
Sedangkan Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir dengan anggotanya ialah:
Mr. Moh. Roem,
Mr. Susanto Tirtoprojo, dan
A.K. Gani
Sebagai penengah dan pemimpin sidang adalah Lord Killearn, juga ada saksi-saksi yakni
Amir Syarifudin, dr. Leimena, dr. Sudarsono, dan Ali Budiarjo. Presiden Sukarno dan
Wakil Presiden Moh. Hatta juga hadir di dalam perundingan Linggarjati itu.
Pada tanggal 15 November 1946, hasil perundingan diumumkan dan disetujui oleh kedua
belah pihak. Secara resmi, naskah hasil perundingan ditandatangani oleh Pemerintah
Indonesia dan Belanda pada tanggal 25 Maret 1947. Perundingan ini menghasilkan pokokpokok sebagai berikut :
RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda
sebagai ketua
Adapun isi dari perundingan Linggarjati secara lengkap terdiri dari 17 pasal dan 1
pasal penutup.
Terjadi pro dan kontra mengenai perjanjian Linggarjati tetapi akhirnya Indonesia
menandatangani perjanjian ini pada 25 Maret 1947 dengan alasan :
Adanya keyakinan bahwa bagaimanapun juga jalan damai merupakan jalan yang
paling baik dan aman untuk mencapai tujuan Bangsa Indonesia.
Cara damai akan mendatangkan simpati dan dukungan internasional yang harus
diperhitungkan oleh lawan.
terikat lagi dengan perjanjian LInggarjati. Agresipun dilakukan keesokan harinya pada
tanggal 21 Juli 1947 dimana Belanda melancarkan serangan ke daerah Jawa dan Sumatera.