Está en la página 1de 14

PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN KETEPENG CINA

(Senna alata L.) SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP


PERTUMBUHAN Acinetobacter baumannii SECARA IN VITRO
Made Mahamita Gandari. 2015
email : _________________
Tugas akhir, Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran,
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Pembimbing : Iva Puspitasari, dr., SpMK
ABSTRAK
Acinetobacter baumannii merupakan jenis bakteri patogen yang bersifat
aerobik gram negatif dan secara alami relatif peka terhadap beberapa antibiotik.
Infeksi Acinetobacter baumannii berbentuk penyakit oportunistik, yaitu penyakit
infeksi yang disebabkan oleh organisme yang biasanya tidak menyebabkan
penyakit pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang normal, tetapi dapat
menyebabkan penyakit pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang buruk.
Untuk mengatasi hal tersebut Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai
lebih aman dari pada penggunaan obat modern, salah satu tanaman tersebut adalah
ketepeng cina (Senna alata L.. Aktifitas ekstrak Senna alata sebagai antibakteri
telah dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol daun
ketepeng cina (Senna alata L.) sebagai antibakteri terhadap pertumbuhan
Acinetobacter baumannii secara in vitro. Sampel pada penelitian ini adalah
Serbuk daun Ketepeng cina (Senna alata L.) yang diperoleh dari Materia Medica
Malang serta koloni kuman A. baumannii yang disesuaikan dengan standar 0,5
Mc Farland (108 CFU/ml), diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik RS
Dr. Kariadi Semarang dengan jumlah penelitian sebanyak 8 kali.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa etanol daun ketepeng cina (Senna
alata L.) pada berbagai konsentrasi dapat menghambat pertumbuhan
Acinetobacter baumannii. Hal ini terbukti dengan nilai probabilitas sebesar 0,000
(p < 0,05)

Kata kunci

: Rhinitis, Debu Rumah, Universitas Wijaya Kusuma

PENDAHULUAN
Pada negara-negara berkembang
seperti halnya Indonesia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan dan ang-

ka kematian (mortality). Kasus-kasus


seperti demam berdarah, diare, tuberculosis, dan lain-lain, masih merebak di
beberapa wilayah, termasuk kota-kota
besar di Indonesia.

Rumah sakit sebagai sebuah unit


pelayanan medis tentunya tidak lepas
dari pengobatan dan perawatan penderita - penderita dengan kasus penyakit
infeksi, dimana terdapat kemungkinan
adanya bermacam-macam mikroba
yang menyebabkan infeksi pada pasien
- pasien tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan pasien mendapatkan infeksi
baru selama perawatan di rumah sakit.
Infeksi seperti ini sering disebut Infeksi
Nosokomial. Infeksi ini menyebabkan
1,7 juta kematian setiap hari di seluruh
dunia (WHO, 2011).
Infeksi nosokomial adalah infeksi
yang didapatkan setelah penderita
dirawat di rumah sakit, baik tumbuh
pada saat dirawat, juga pada penderita
yang pulang dari rumah sakit. Infeksi
terjadi lebih dari 48 jam setelah masuk
rumah sakit biasanya dianggap nosokomial. Definisi dari infeksi nosokomial tersebut telah membantu untuk
mengidentifikasi infeksi tertentu (misalnya urinari, pulmonari). Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung
pada karakteristik mikroorganisme,
resistensi terhadap zat-zat antibiotika,
tingkat virulensi dan banyaknya materi
infeksius. Infeksi ini dapat disebabkan
oleh mikroorganisme yang didapat dari
orang lain (cross infection) atau
disebabkan oleh flora normal dari
pasien itu sendiri (endogenous infection) (Ducel, 2002). Infeksi nosokomial dapat terjadi oleh karena tindakan
iatrogenik terutama yang mengalami
tindakan-tindakan instrumenisasi ataupun intervensi pada saat dirawat di
rumah sakit, misalnya pemasangan kateter, infus, tindakan-tindakan operatif
lainnya (Duffi, 2002).
Angka kejadian infeksi nosokomial yaitu 2-12% (rata-rata 5%) dari
semua penderita yang dirawat di rumah
sakit. Angka kematian 1-3% dari semua

kasus yang dirawat di rumah sakit di


USA 1,5 juta per tahun dan meninggal
15.000 orang (Hermawan, 2007).
Dengan data tersebut, sangat nyata
bahwa infeksi nosokomial merupakan
penyebab kesakitan dan kematian.
Infeksi
nosokomial
selain
meningkatkan kesakitan pada pasien,
juga membebani biaya perawatan
kesehatan secara signifikan, lamanya
masa perawatan, meningkatnya ketidakmampuan,
peningkatan
biaya
pengobatan dan masa penyembuhan
yang memanjang, menambah pengeluaran pasien semakin banyak dan itu
semua kadangkala harus ditanggung
sendiri oleh pasien yang akhirnya
semakin memperburuk keadaan pasien.
Selain menjadi beban fisik, Infeksi
nosokomial itu sendiri menjadi beban
mental dan juga dapat mempengaruhi
psikologis pasien (Smeltzer et al.,
2002).
Selain itu infeksi nosokomial ini
telah menjadi isu sentral disebabkan
terjadinya peningkatan kasus resistensi
bakteri penyebab infeksi nosokomial.
Salah satu bakteri penyebab infeksi
nosokomial adalah Acinetobacter, infeksi bakteri ini telah lama menjadi
masalah klinis di negara-negara tropis
dan menjadi wabah di rumah sakit di
daerah beriklim sedang. Yang paling
mengkhawatirkan adalah kemampuan
organisme tersebut untuk mengakumulasi beragam mekanisme perlawanan, munculnya strain yang resisten
terhadap semua antibiotik tersedia
secara komersial, dan kurangnya agen
antimikroba baru dalam pengembangan
(Munoz-Prize et al., 2008).
Penelitian di Indonesia didapatkan Acinetobacter sebagai salah satu
bakteri gram negatif yang paling sering
menginfeksi yaitu sebesar 25, 8%
(Moehario, 2002). Menurut CDC

infeksi yang disebabkan Acinetobacter,


sp ini sekitar 80% adalah bakteri
Acinetobacter baumannii (Rosenbaum,
2010).
Acinetobacter baumannii merupakan jenis bakteri patogen yang
bersifat aerobik gram negatif dan
secara alami relatif peka terhadap
beberapa antibiotik. Infeksi Acinetobacter baumannii berbentuk penyakit
oportunistik, yaitu penyakit infeksi
yang disebabkan oleh organisme yang
biasanya tidak menyebabkan penyakit
pada orang dengan sistem kekebalan
tubuh yang normal, tetapi dapat
menyebabkan penyakit pada orang
dengan sistem kekebalan tubuh yang
buruk. Acinetobacter baumannii secara
langsung
menyebabkan
infeksi
nosokomial yang signifakan, terutama
di unit perawatan intensif ( ICU ) di
mana menyebabkan infeksi yang
mencakup bakteremia, radang paruparu, meningitis, infeksi saluran kemih,
dan infeksi luka (Maragakis, 2008).
Kemampuan untuk bertahan hidup
dalam jangka waktu yang panjang pada
permukaan benda mati disertai kondisi
yang lembab memungkinnya menjadi
pathogen potensial di rumah sakit dan
dapat menyebar dalam jumlah banyak
ke pasien lain (Al-Dabaibah, 2012).
Acinetobacter baumannii memasuki tubuh lewat luka terbuka, kateter
dan tabung pernapasan. Infeksinya bisa
terjadi pada orang dengan sistem
kekebalan yang kurang mencukupi,
orang tua, anak-anak atau penderita
penyakit yang berhubungan dengan
sistem kekebalan tubuh. Invasinya pada
umumnya tidak menjadi ancaman pada
orang-orang yang sehat, tetapi petugas
kesehatan dan pengunjung rumah sakit
dapat membawa bakteri kepada pasien
yang ada dan fasilitas medis lainnya.
Acinetobacter baumannii tidak menye-

babkan penyakit yang spesifik, namun


bakteri tersebut dapat menjadi salah
satu pencetus timbulnya penyakitpenyakit baru. Pasien yang awalnya
tidak mengidap penyakit akibat Acinetobacter baumannii, bisa jadi terinfeksi
bakteri tersebut dan memperparah
kondisinya selama dirawat di rumah
sakit (Maragakis, 2008).
Pengobatan lini pertama untuk
penyakit infeksi, terutama yang
disebabkan oleh bakteri adalah dengan
pemberian antibiotika. Penggunaan
antibiotika yang berulang pada beberapa jalur bakteri tertentu dapat menyebabkan terjadinya resistensi, karena
pada bakteri terjadi mekanisme pertahanan diri agar tetap bertahan di alam
(Ending, 2013).
Berdasarkan uji sensitivitas yang
dilakukan di beberapa Negara terhadap
Acinetobacter baumannii dapat diketahui telah terjadi resistensi terhadap
beberapa antibiotika antara lain ceftriaxone (90.9%), piperacillin (90.9%),
ceftazidime (84.1%), amikacin (85.2%)
and ciprofloxacin (90.9%) (Mostofi,
2011). Oleh karena itu akan diupayakan untuk menyelesaikan masalah
melalui paradigma baru dalam bidang
kesehatan, yaitu menggunakan ramuan
alami dan obat-obatan tradisional
(Ending, 2013).
Penggunaan obat tradisional masih memegang peranan penting dalam
usaha pemeliharaan kesehatan. Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional yang pada awalnya dilakukan
secara empirik oleh masyarakat tradisional, sekarang telah menjadi salah satu
alternative pengobatan bagi masyarakat
modern (Wiguna, 2011). Menurut
World Health Organization (WHO),
negara-negara Asia dan Afrika, dan
Amerika Latin menggunakan obat
herbal sebagai pelengkap pengobatan

primer. Bahkan di Afrika, 80% dari


menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer dan untuk pemeliharaan
kesehatan. Terbukti dengan data WHO
bahwa di beberapa lebih memilih obat
tradisional untuk menjaga kesehatan.
WHO merekomendasi penggunaan
obat tradisional termasuk herbal dalam
pemeliharaan kesehatan masyarakat,
pencegahan dan pengobatan penyakit,
terutama untuk penyakit kronis,
penyakit degeneratif dan kanker. WHO
juga mendukung upaya-upaya dalam
peningkatan keamanan dan khasiat dari
obat tradisional (WHO, 2003).
Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada
penggunaan obat modern. Hal ini
disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih
sedikit dari pada obat modern. Hal ini
juga didukung dari banyaknya masyarakat yang tetap memanfaatkan sejumlah tanaman untuk mengobati suatu
penyakit berdasarkan pengalaman empiris yang diwariskan secara turuntemurun. Tanaman obat tersebut dianggap mempunyai keuntungan yang lebih
banyak, antara lain harga yang relatif
murah sehingga dapat dijangkau oleh
masyarakat luas, praktis dalam
pemakaian, bahan baku yang mudah
diperoleh, dan efek samping yang
sejauh ini dianggap lebih kecil daripada
efek samping yang ditimbulkan dari
penggunaan obat sintetik (Katno dan
Pramono, 2005).
Indonesia menduduki urutan
kedua setelah Brazil yang memiliki
keanekaragaman hayati terkaya di dunia, sehingga mendapat julukan live
laboratory. Dari 30.000 jenis tumbuhan
obat yang dimiliki Indonesia, baru
sekitar 1.200 spesies yang telah diteliti
dan dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Oleh karena itu, dibutuhkan usaha

untuk memaksimalkan potensi tersebut


dengan memanfaatkan berbagai tanaman yang dianggap memiliki khasiat
sebagai tanaman obat. Salah satu
tanaman tersebut adalah ketepeng cina
(Senna alata L.) (Depkes RI, 2007).
Aktifitas ekstrak Senna alata
sebagai antibakteri telah dibuktikan
oleh beberapa hasil penelitian. Beberapa penelitian yang terkait dengan
pemanfaatan daun ketepeng cina sebagai tanaman obat, telah banyak
memberikan bukti akan khasiat dari
senyawa-senyawa yang terkandung dalam daun tanaman tersebut. Kusmardi
dan kawan-kawan telah melaporkan
adanya kandungan senyawa flavonoid
pada daun ketepeng cina. Diduga senyawa flavonoid tersebut cukup tinggi,
sehingga memiliki kemampuan dalam
memperbaiki sistem imun (Kusmardi,
et al., 2007). Flavonoid juga mempunyai aktivitas antibiotik, antiinflamasi,
dan antimalaria (Lenny, 2006).
Penelitian Idu et al., (2006) melaporkan
bahwa Senna alata dalam bentuk ekstrak
metanol
mempunyai
daya
antibakteri terhadap S. aureus dan
E.coli, tetapi ekstrak air hanya aktif
terhadap S. aureus tetapi tidak aktif
terhadap E. coli. Owoyale et al., (2005)
melaporkan ekstrak etanol Senna alata
dapat menghambat pertumbuhan S.
aureus dan E.coli. Tanaman Ketepeng
Cina telah digunakan sebagai obat
cacing, sariawan, sembelit, panu,
kurap, kudis dan gatal-gatal (Makinde,
2007). Daun Ketepeng Cina dapat
mengobati konstipasi, sifilis, diabetes,
intestinal parasitosis dan hernia. Selain
itu, Ketepeng Cina banyak dimanfaatkan sebagai antiparasit, antimalaria,
antiherpes, antiinfluenza dan antibronkhitis (Kusmardi, et al., 2007).
Selain itu, dalam sebuah penelitian
mengenai daya toksisitas berbagai

fraksi ekstrak daun dan bunga ketepeng


cina, Hartati dan kawan-kawan telah
membuktikan adanya kandungan senyawa antrakuinon pada daun ketepeng
cina (Hartati, et al., 2007). Secara
empiris daun ketepeng cina juga telah
lama digunakan sebagai obat tradisional yang berkhasiat sebagai antiradang, membunuh serangga (insektisidal), menghilangkan gatal, pencahar
(laksative), meluruhkan cacing usus
(vermifuge), dan obat untuk penyakit
kulit yang disebabkan oleh parasit
(Dalimartha, 2008). Mengingat pemanfaatannya yang cukup luas terhadap
berbagai penyakit terutama penyakit
infeksi, sangat mungkin jika efek yang
ditimbulkan adalah efek positif sebagai
antiinfeksi, termasuk penyakit infeksi
akibat bakteri yang banyak dijumpai di
Indonesia sebagai negara tropis.
Berdasarkan latar belakang di
atas, maka penulis bermaksud melakukan penelitian tentang uji aktivitas
ekstrak etanol daun ketepeng cina
sebagai antibakteri terhadap Acinetobacter baumannii secara in vitro.
Ekstrak etanol daun ketepeng cina
diharapkan mampu mengobati pasien
yang terinfeksi bakteri tersebut tanpa
menimbulkan efek samping yang berlebihan seperti pada penggunaan obat
antibiotik. Selain alasan efek samping
yang rendah, pemilihan ekstrak etanol
ketepeng cina dikarenakan bahan
bakunya yang alami (herbal) sehingga
aman untuk dikonsumsi
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Posttest Only Control
Group Design. Rancangan ini termasuk
penelitian eksperimental yang paling

sederhana tetapi cukup adekuat. Dalam


rancangan penelitian ini, sampel dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan
(Pratiknya, 2008). Pengaruh perlakuan
diukur pada kelompok perlakuan
dengan cara membandingkan kelompok tersebut dengan kelompok kontrol
dan tidak dilakukan pretest (Notoatmodjo, 2010)..
Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah
Serbuk daun Ketepeng cina (Senna
alata L.) yang diperoleh dari Materia
Medica Malang serta koloni kuman A.
baumannii yang disesuaikan dengan
standar 0,5 Mc Farland (108 CFU/ml),
diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik RS Dr. Kariadi Semarang dengan jumlah penelitian sebanyak 8 kali.
Analisis Data
Data hasil penelitian diuji dengan
uji normalitas Kolmogorov-Smirnov,
selanjutnya diuji dengan uji homogenitas Levene (Dahlan, 2009). Jika
data berdistribusi normal dan homogen
analisis data yang digunakan adalah uji
One Way ANOVA, dan jika data tidak
berdistribusi normal maka dipilih
analisis data menggunakan Uji Kruskal
- Wallis dilanjutkan dengan uji Post
Hoc multiple comparisons dengan
metode Mann-Whitney. Uji KruskalWallis dilakukan untuk membuktikan
bahwa ekstrak etanol daun Ketepeng
cina (Senna alata L.) memiliki daya
hambat antibakteri secara statistik,
selanjutnya dilakukan perbandingan
dengan kontrol negatif maupun kontrol
positif

HASIL PENELITIAN

Tabel 2. Hasil Uji Post-Hoc LSD

Uji Statistik
Untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan antar kelompok, maka
digunakan uji One Way ANOVA.

(I) Kelompok

(J) Kelompok

K-

K+

Mean Difference
(I-J)

.000

.29725

.000

.29725

.000

.29725

.000

39.06

-8.00000

.29725

.000

312.5

4.18750*

.29725

.000

156.25

7.75000

.29725

.000

78.13

3.00000*

.29725

.000

39.06

9.12500

.29725

.000

156.25

3.56250

.29725

.000

78.13

-1.18750*

.29725

.000

39.06

4.93750

.29725

.000

78.13

-4.75000*

.29725

.000

39.06

1.37500

.29725

.000

6.12500

.29725

.000

312.5
156.25

ANOVA

K+

Diameter Zona
Hambat
Sum of
Squares
Between
Groups
Within
Groups
Total

1443.151
14.844
1457.995

Mean
Square

df

5 288.630 816.672
42

Sig.

312.5

.000

.353

156.25

47

Sumber: Data Hasil Penelitian, 2015


Berdasarkan hasil di atas,
signifikansi p-value adalah 0,000 (p <
0,05) sehingga H0 ditolak, maka dapat
disimpulkan ada perbedaan bermakna
antara konsentrasi ekstrak daun
ketepeng cina (Senna alata l.) kontrol
negatif, dan kontrol positif.
Analisis Post-Hoc Test
Selanjutnya dilakukan uji PostHoc untuk mengetahui lebih rinci
mengenai pasangan kelompok yang
saling berbeda secara signifikan dan
pasangan kelompok yang tidak berbeda
sehingga akan diketahui perlakuan
mana yang paling berpengaruh
terhadap pertumbuhan Acinetobacter
baumannii.

78.13

Sig.

.29725

78.13

Tabel 1. Hasil Uji One Way ANOVA

Std. Error

-17.12500*

39.06

-12.93750
-9.37500

-14.12500

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Sumber: Data Hasil Penelitian, 2015


Tabel di atas menunjukkan
bahwa etanol daun ketepeng cina
(Senna alata L.) pada berbagai
konsentrasi dapat menghambat pertumbuhan Acinetobacter baumannii. Hal
ini terbukti dengan nilai probabilitas
sebesar 0,000 (p < 0,05)
PEMBAHASAN
Senna alata l. dengan nama
umum daun ketepeng cina banyak
dikenal oleh masyarakat sebagai obat
berbagai macam penyakit. Tumbuhan
ini termasuk dalam famili Fabacaea
yang juga digunakan oleh masyarakat
sebagai pagar alami.
Pembuatan ekstrak etanol daun
ketepeng cina (Senna alata L.) dilakukan dengan menggunakan metode
maserasi yaitu dengan cara merendam
serbuk simplisia dalam cairan penyari.

Metode ini dipilih karena mempunyai


beberapa keuntungan. Proses maserasi
ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena
dengan perendaman, sampel tumbuhan
akan terjadi pemecahan dinding dan
membran sel akibat perbedaan tekanan
antara di dalam dan di luar sel sehingga
metabolit sekunder yang ada di dalam
sitoplasma akan terlarut dengan pelarut
organik (Darwis, 2000) selain itu,
pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diperoleh.
Cairan penyari yang digunakan
dalam proses maserasi ekstrak daun
ketepeng cina (Senna alata L.) ini
adalah menggunakan pelarut etanol.
Etanol digunakan sebagai cairan penyari karena memiliki banyak kelebihan
antara lain tidak beracun, netral, lebih
selektif, kapang dan kuman sulit
tumbuh dalam etanol 20% ke atas,
absorbsinya baik, dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan dan
memerlukan panas yang sedikit untuk
pemekatan. Penyarian dengan etanol
tidak menyebabkan pembengkakan
membran sel, memperbaiki stabilitas
bahan obat terlarut, yang umumnya
berlaku sebagai cairan pengekstraksi
adalah campuran bahan pelarut yang
berlainan, terutama campuran etanol
air. Pada penggunaan etanol, sering
dihasilkan suatu bahan yang optimal
dan bahan pengotor hanya dalam skala
kecil yang larut dalam cairan pengekstraksi. Kerja dari campuran hidroalkohol dengan air, dan karena kedua
pelarut mudah campur, memungkinkan
kombinasi yang fleksibel untuk membentuk campuran pelarut yang sesuai
untuk menguji fraksi bahan aktif dan
bahan obat (Voight dalam Fauziyah,
2008).
Bakteri Acinetobacter baumanni
adalah bakteri gram negatif, yang pada

pewarnaan gram dan pengamatan


dibawah mikroskop Acinetobacter
bau-mannii
akan
menunjukkan
gambaran batang dan berwarna merah
(Gram negatif). Koloni bakteri ini
berukuran kurang lebih 1 2 mm, tidak
berwarna, berbentuk bulat, mukoid dan
permu-kaan yang halus. Bakteri
tersebut tidak dapat mereduksi nitrat.
Acinetobacter baumannii merupakan
bakteri patogen opportunistik atau
patogen nosokomial yang mudah
tumbuh di segala macam media,
khususnya media yang cocok untuk
bakteri gram negatif.. pengaruh ekstrak
etanol daun ketepeng cina (Senna alata
L.) berbagai konsentrasi sebagai
antibakteri terhadap A. baumannii
dilakukan secara in vitro dengan
metode difusi cara sumuran. Aktivitas
antibakteri ini dapat langsung dilihat
secara visual yaitu adanya zona bening
yang ada di sekitar sumuran.
Konsentrasi larutan uji untuk aktivitas
antibakteri terhadap A. baumannii
adalah 312,5 mg/ml, 156,25 mg/ml,
78,13 mg/ml, dan 39,06 mg/ml.
Ekstrak etanol daun ketepeng
cina (Senna alata L.) pekat masingmasing dilarutkan dengan pelarut
NaCMC 0,5% sebelum diujikan terhadap bakteri yang sekaligus sebagai
kontrol negatif. NaCMC merupakan zat
yang berwarna putih atau sedikit
kekuningan, turunan dari selulosa dan
sering dipakai dalam industri pangan
dan sebagai pelarut dalam bidang
farmasi. Pemilihan NaCMC sebagai
kontrol negatif disebabkan sifatnya
yang tidak berbau, tidak berasa, tidak
bersifat toksik dan non-bakterisidal
(Panitia Farmakope Indonesia, 1995).
Kontrol positif yang digunakan
adalah meropenem sediaan bubuk yang
dilarutkan dalam aquades steril.
Pemilihan obat ini sebagai kontrol

positif dikarenakan berdasarkan mekanisme antibakteri salah satu senyawa


kimia yang terdapat pada daun
ketepeng cina yaitu alkaloid yang
menghambat sintesis dinding mikroba.
Meropenem menyebabkan kematian
sel bakteri dengan cepat oleh ikatan
kovalen pada Penicillin binding
proteins (PBPs), dimana terlibat dalam
biosintesis mucopeptides di dinding sel
bakteri. Efek bakterisida menghambat
pertumbuhan sel dan pembelahan serta
hilangnya integritas dinding sel,
sehingga menyebabkan dinding sel
lisis. Meropenem menyamai atau
melebihi MIC diperlukan untuk mengobati patogen pada jaringan di perut,
empedu, cairan blister atau eksudat
inflamasi, CSF, jaringan ginekologi,
jaringan saluran pernafasan , dan
jaringan saluran kemih (Craig, 1997).
Dosis kontrol positif yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 50 mg/ml.
Penelitian ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui pengaruh
ekstrak etanol daun ketepeng cina
(Senna alata l.) sebagai antibakteri
terhadap pertumbuhan Acinetobacter
baumannii secara in vitro. Hasil
penelitian ini didapatkan bahwa ekstrak
etanol daun ketepeng cina (Senna alata
L.)
terbukti
memiliki
aktivitas
antibakteri terhadap A. baumannii secara in vitro. Hal ini dapat diketahui dari
terbentuknya zona hambat pertumbuhan A. baumannii (Gambar 4.1) setelah kontak dengan berbagai tingkat
konsentrasi ekstrak etanol daun ketepeng cina (Senna alata L.) yang ditunjukkan dengan adanya zona bening di
sekitar sumuran pada media Mueller
Hinton, kemudian dibandingkan dengan kontrol negatif (NaCMC 0,5%) yang
dianggap
tidak
memiliki
daya
antibakteri (tidak mangandung senyawa antibakteri), dimana tidak terbentuk

zona bening pada sekeliling sumuran


yang diberi kontrol negatif. Hal ini
mengindikasikan bahwa sampel bakteri
yang digunakan adalah bakteri yang
masih
hidup.
Sedangkan
pada
sekeliling sumuran yang berisi kontrol
positif yaitu Meropenem terdapat zona
bening. Pada zona bening ini tidak
terdapat bakteri yang tumbuh. Hal ini
mengindikasikan bahwa sampel A.
baumannii yang digunakan masih memiliki sensitivitas terhadap antibakteri
Meropenem.
Zona hambat pertumbuhan A.
baumannii oleh ekstrak etanol daun
ketepeng cina mulai terbentuk dari
konsentrasi 39,06 mg/ml sampai 312,5
mg/ml, seperti yang dapat dilihat pada
Tabel 4.1, sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa konsentrasi terkecil
dari ekstrak etanol daun ketepeng cina
(Senna alata L.) yang dapat menghambat pertumbuhan A. baumannii secara kualitatif (menggunakan jangka
sorong) adalah sebesar 39,06 mg/ml
dengan kata lain KHM ekstrak etanol
daun ketepeng cina (Senna alata L.)
terhadap A. baumannii secara kualitatif
adalah sebesar 39,06 mg/ml. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak etanol
daun ketepeng cina (Senna alata l.)
efektif dalam menghambat pertumbuhan Acinetobacter baumannii. Hasil
ini disebabkan oleh kandungan dari
ekstrak etanol daun ketepeng cina
(Senna alata l.) yang berfungsi dalam
menghambat pertumbuhan Acinetobacter baumannii. Sedangkan untuk
menentukan KHM secara kuantitatif,
maka dilakukan Uji Regresi Linear.
Hasil penelitian yang diperoleh
kemudian diolah dan dianalisis dengan
menggunakan program SPSS 16.0 for
Windows. Uji hipotesis penelitian ini
menggunakan uji parametrik One Way
ANOVA untuk menguji perbedaan

antar kelompok. Setelah dilakukan


penelitian, hasil yang didapat menunjukan bahwa ada perbedaan yang
bermakna pada diameter zona hambat
yang terbentuk antara kelompok perlakuan yang diberi ekstrak etanol daun
ketepeng cina (Senna alata l.) dengan
kelompok kontrol negatif, atau dapat
diartikan bahwa ada pengaruh pemberian ekstrak etanol daun ketepeng cina
(Senna alata l.) terhadap pertumbuhan
Acinetobacter baumannii.
Analisis data diawali dengan uji
normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk
penentuan normal atau tidaknya pendistribusian data dan hasilnya data
terdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji Homogenitas untuk melihat
varian data yang digunakan homogen
atau tidak dan hasilnya menunjukkan
bahwa data yang digunakan sudah
homogen sehingga bisa dilanjutkan
dengan uji One Way ANOVA
(Lampiran 3).
Hasil uji One Way ANOVA
menyatakan bahwa terdapat perbedaan
aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun
ketepeng cina (Senna alata l.) terhadap
pertumbuhan Acinetobacter baumannii. Pada uji Post Hoc multiple
comparisons dengan uji post-hoc LSD
dilakukan perbandingan dengan kontrol
negatif untuk menilai daya hambat
antibakteri secara statistik. Didapatkan
pada konsentrasi 312,5 mg/ml; 156,25
mg/ml; 78,13 mg/ml; dan 39,06 mg/ml
memiliki daya hambat yang bermakna
secara statistik. Selain itu, pada uji ini
juga dilakukan perbandingan dengan
kontrol positif yang bertujuan untuk
menilai besarnya potensi daya hambat
antibakteri. Didapatkan pada konsentrasi 312,5 mg/ml; 156,25 mg/ml;
78,13 mg/ml; dan 39,06 mg/ml
memiliki potensi daya hambat antibakteri ekstrak yang berbeda secara

signifikan
apabila
dibandingkan
dengan kontrol positif yang berupa
siprofloksasin.
Terbentuknya clear zone/ zona
bening disekitar cakram ini disebabkan
karena kandungan kimia dari ketepeng
cina ini yaitu antara lain:minyak atsiri,
glikosida, alkaloid, flavonoid, antraquinon, saponin dan tanin (Idu et al.,
2006). Senyawa - senyawa tersebut
merupakan senyawa fenolik yang artinya memiliki gugus fenol. Cara kerja
gugus fenol sebagai antibakteri adalah
dengan cara berinteraksi dengan sel
bakteri melalui proses adsorbsi yang
melibatkan ikatan hidrogen. Gugus
fenol pada konsentrasi 1,0% bersifat
bakterisid karena dapat menyebabkan
koagulasi protein dan membran sel
bakteri mengalami lisis. Konsentrasi
0,2% bersifat bakteriostatik karena
terbentuk kompleks protein fenol
dengan ikatan yang lemah dan diikuti
penetrasi fenol ke dalam sel bakteri
yang dapat menyebabkan presifitasi
dan denaturasi protein intraseluler pada
sel bakteri (Bruneton, 1993). Selain itu
tanin dapat melisis sel bakteri serta
minyak atsiri yang dapat bersifat
sebagai koagulator protein. Protein
yang
menggumpal
tidak
dapat
berfungsi lagi sehingga akan mengganggu pembentukan dinding sel
bakteri. Lisisnya sel bakteri tersebut
disebabkan karena tidak berfungsinya
lagi dinding sel yang mempertahankan
bentuk dan melindungi bakteri (Brooks
et al., 2008).
Daun ketepeng cina (Senna alata
L.) juga dilaporkan memiliki potensi
untuk merangsang respon imun.
Ketepeng cina yang mengandung
flavonoid yang cukup tinggi, diduga
memiliki kemampuan dalam memperbaiki sistem imun, sehingga memiliki
potensi
sebagai
imunostimulan.

Flavonoid berpotensi bekerja terhadap


limfokin yang dihasilkan oleh sel T
sehingga akan merangsang sel-sel
fagosit untuk melakukan respon
fagositosis (Kusmardi, et al., 2007).
Flavonoid merupakan bagian
penting dari diet manusia karena
memiliki
banyak
manfaat
bagi
kesehatan. Fungsi flavonoid bagi tubuh
manusia adalah sebagai antioksidan
sehingga sangat baik untuk pencegahan
kanker. Manfaat lainnya antara lain
untuk melindungi struktur sel, memiliki
hubungan sinergis dengan vitamin C
(meningkatkan efektivitas vitamin C),
antiinflamasi,
mencegah
keropos
tulang, dan sebagai antibiotic (Lenny,
2006). Dalam fungsinya sebagai
antibakteri, flavonoid memiliki kemampuan untuk terlarut dan berikatan
dengan protein ekstraseluler dan
protein integral (Cowan, 1999).
Permeabilitas dinding sel terganggu sehingga dinding sel pecah
karena tidak mampu menahan tekanan
sitoplasma akibat mekanisme tersebut
(Lasmayanty, 2007). Pada daun
binahong, ada 3 jenis flavonoid yang
ditemukan, antara lain kampherol,
luteolin, dan quercetin (Agarwal dan
Kamal, 2007). Di antara ketiga jenis
flavonoid tersebut, quercetin memiliki
aktivitas antibakteri terkuat (Akroum et
al., 2009). Menurut Chusnie dan Lamb
serta Ferry dalam Dewi (2009) bahwa
quercetin memiliki aktivitas antibakteri
dengan cara menghambat fungsi DNA
gyrase, sehingga kemampuan replikasi
dan translasi bakeri dihambat. Quercetin menghambat aktivitas superkoil
dari enzim gyrase bakteri S. aureus dan
menginduksi terjadinya pembelahan
rantai ganda DNA (Brooks et al.,
2007).
Selain itu Daun ketepeng cina
(Senna alata L.) juga mengandung

Saponin. Saponin merupakan senyawa


aktif permukaan yang kuat yang
menimbulkan busa jika dikocok dalam
air dan pada konsentrasi yang rendah
sering menyebabkan hemolisis sel
darah merah. Beberapa saponin bekerja
sebagai antimikroba dan saponin
tertentu menjadi penting karena dapat
diperoleh dari beberapa tumbuhan
dengan hasil yang baik dan digunakan
sebagai bahan baku untuk sintesis
hormon steroid yang digunakan dalam
bidang kesehatan. Saponin merupakan
glukosida yang larut dalam air dan
etanol, tetapi tidak larut dalam eter.
Saponin bekerja sebagai antimikroba
dalam larutan yang sangat encer
(Robinson, 1995). Senyawa saponin
bekerja dengan merusak membran
sitoplasma dan membunuh sel (Assani,
1994 dalam Aulia, 2008)
PENUTUP
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
1. Pemberian ekstrak etanol daun
ketepeng cina (Senna alata l.)
berpengaruh terhadap pertumbuhan Acinetobacter baumannii.
2. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa diameter zona hambat
pertumbuhan Acinetobacter baumannii oleh ekstrak etanol daun
ketepeng cina (Senna alata l.)
mulai terbentuk dari konsentrasi
39,06 mg/ml sampai 312,5 mg/ml.
Hal ini menunjukkan bahwa
ekstrak etanol daun ketepeng cina
(Senna alata l.) efektif dalam
menghambat pertumbuhan Acinetobacter baumannii..
Saran

1.

2.

3.

Perlu dilakukan penelitian lebih


lanjut tentang pengaruh pemberian
ekstrak etanol daun ketepeng cina
(Senna alata l.) terhadap pertumbuhan Acinetobacter baumannii dengan variasi konsentrasi
yang lebih beragam untuk mengetahui konsentrasi yang paling baik
dan kuat dalam menghambat
pertumbuhan Acinetobacter baumannii.
Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut tentang pengaruh pemberian
ekstrak etanol daun ketepeng cina
(Senna alata l.) terhadap pertumbuhan bakteri pathogen jenis
lain.
Hasil penelitian dapat digunakan
sebagai masukan untuk penggunaan ekstrak etanol daun ketepeng
cina (Senna alata l.) konsentrasi
78,13 mg/ml sebagai salah satu
obat alternatif dalam menangani
penyakit akibat Acinetobacter
baumannii.

Aulia, I.A. 2008. Uji Aktivitas


Antibakteri Fraksi Etil Asetat
Ekstrak Etanolik Daun Arbenan
(Duchesnea
indica
(Andr.)
Focke) Terhadap Staphylococcus
aureus
Dan
Pseudomonas
aeruginosa
Multiresisten
Antibiotik
Beserta
Profil
Kromatografi Lapis Tipisnya.
Skripsi
Fakultas
Farmasi
Universitas
Muhammadiyah,
Surakarta
Brooks, G.F., Butel, J.S., & Morse, S.
A.
2004.
Mikrobiologi
Kedokteran. Edisi 29. Alih
bahasa oleh Hartanto et al. 2007.
Jakarta: EGC
Bruneton J. 1993. Pharmacognosy,
Phytochemistry,
Medicinal
Plants. Lavoisier Publishing,
Paris

DAFTAR PUSTAKA

Cowan,M.M. (1999). Plant Product as


Antimicrobial Agents. Oxford.
Miamy University. Hal. 331

Akroum, S., D. Bendjeddou, D.


Satta and K. Lalaoul. 2009.
Antibacterial activity and acute
toxicity effect of flavonoids
extracted
from
mentha
longifolia.
American-Eurasian
Journal of Scientific Research.
Vol. 4 (2): 93-96

Craig, W. A. 1997. The Pharmacology


of
Meropenem,
A
New
Carbapenem Antibiotic. Clinical
Infectious
Diseases1997;
24(Suppl 2):S266-75 hal. S271S273

Al-Dabaibah, N., Obeidat, M.N., and


Shehabi,
A.A.
2012.
Epidemiology
Features
of
Acinetobacter
baumannii
Colonizing Respiratory Tracts of
ICU Patients. The International
Arabic Journal Of Antimicrobial
Agents 2012; Vol. 2 No. 2:1 doi:
10.3823/710. Hal 1.

Dahlan, M. S. 2009. Statistik untuk


Kedokteran dan Kesehatan.
Jakarta: Salemba Medika. Hal
178
Dalimartha, Setiawan. 2008. Atlas
Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid
6. Jakarta : Pustaka Bunda. hal
90-94

Darwis D. 2000. Teknik Dasar


Laboratorium Dalam Penelitian
Senyawa Bahan Alam Hayati,
Workshop
Pengembangan
Sumber Daya Manusia Dalam
Bidang Kimia Organik Bahan
Alam Hayati, FMIPA Universitas
Andalas Padang
Depkes
RI.
2007.
Pedoman
Pengobatan
Dasar
Di
Puskesmas. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
hal 158-162.
Ducel, G. 2002. Prevention of hospitalacquired infections 2nd edition :
World Health Organization. Hal
4.
Duffi, JR. 2012. Nosocomial infection
important acute care nursingsensitive outcomes indicators.
AACN-CLIN 2002; 13(3):358-66
Hal. 359
Ending, A., Irwanto, A.R., and
Noorhamdani AS. 2013. Uji
Efektivitas Ekstrak Etanol Kulit
Buah
Manggis
(Garcinia
mangostana
L)
Sebagai
Antibakteri
Terhadap
Acinetobacter baumannii Secara
In Vitro. Malang, Jawa Timur:
Laboratorium
Mikrobiologi
FKUB, Laboratorium Anatomi
FKUB, Mahasiswa Program
Studi Pendidikan Dokter FKUB.
Hal 3.
Hartati, Kristijanto, and Asmorowati R.
S. 2007. Toksisitas Ekstrak Kasar
Bunga dan Daun Ketepeng Cina
(Senna alata L. Roxb.) Terhadap
Larva Udang Artemia Salina

Leach. Biota Vol. 12 (2): 78-82.


hal. 80
Hermawan, A. G., 2007. The Role of
Cefepime: Empirical Treatment
in Critical Illness. Jakarta: Dexa
Media No 2, Vol 20. Hal 60
Holtom. C. Brooks. et al. 2008.
Turnover
and
Retention
Research: A Glance at the Past, a
Closer Review of the Present,
and a Venture into the Future.
The Academy of Management
Annals. 2(1): 231-274
Idu, M., Oronsaye, F.E., Igeleke. and
Omonigho,
S.E.
2006.
Preliminary investigation on the
phytochemistry
and
antimicrobial avtivity of Senna
alata L.Leaves. Journal of
Applied Science 6(110): 2481-5.
hal 2481.
Katno and Pramono. 2005. Tingkat
Manfaat
dan
Keamanan
Tanaman Obat dan Obat
Tradisional. Balai Penelitian
Tanaman Obat Tawangmangu.
Fakultas Farmasi, UGM. hal. 2
Kusmardi,. Kumala, S., and Triana, E.
E. 2007. Efek Imunomodulator
Ekstrak daun Ketepeng Cina
(Cassia alata L.) Terhadap
Aktivitas
dan
Kapasitas
Fagositosis Makrofag. Jakarta :
Makara Kesehatan Volume 11
Nomor 2. 11(2):50-3. Hal 50-51.
Lasmayanty
M.
2007.
Potensi
antibakteri propolis lebah madu
Trigona spp. terhadap bakteri
kariogenik
(Streptococcus
mutans)
[skripsi].
Bogor:

Fakultas Matematika dan Ilmu


Pengetahuan
Alam,
Institut
Pertanian Bogor
Lenny,
Sovia.
2006.
Senyawa
Flavonoida,
Fenilpropanoida,
dan Alkaloida. Medan : Fakultas
MIPA Universitas Sumatera
Utara. hal.5-17
Makinde AA, Igoli JO, TAAma L,
Shaibu SJ, and Garba A.
Antimicrobial activity of Cassia
alata. Afr J. of Biotech. 2007;
6(13): 1509-10. Hal 1509.
Maragakis, L. L. and Perl, T. M. 2008.
Acinetobacter baumannii: Epide
miology,
Antimicrobial
Resistance,
and
Treatment
Options. USA: CID 2008:46. Hal
1254-1259.
Moehario L. K., Tjoa E., Kiranasari A.,
Ningsih I., Rosana Y., and
Kurniawati A. 2009. Trends in
antimicrobial susceptibility of
gram-negative bacteria isolated
from blood in Jakarta from 2002
to 2008. Italy: J Infect Dev Ctries
2009;3(11):843-848. Hal 344.
Mostofi, S., Mirnejad, R., and
Masjedian, F. 2011. Multi-drug
resistance
in
Acinetobacter
baumannii strains isolated from
clinical specimens from three
hospitals in Tehran-Iran. African
Journal
of
Microbiology
Research 2011; Vol. 5(21), pp.
3579-3982. Hal 3581.
Munoz-Prize, L. S. and Weinstein, R.
A. 2008. Acinetobacter Infection:
N Engl J Med. 358:1271- 81. Hal
1271

Notoatmodjo,
Soekidjo.
2010.
Metodologi
Penelitian
Kesehatan. Jakarta: PT Rineka
Cipta. Hal 10-18
Nurul

Fauziyah.
2008.
Efek
Antiinflamasi Ekstrak Etanol
Daun Petai Cina (Leucaena
glauca, Benth) Pada Tikus Putih
Jantan Galur Wistar. Skripsi.
Fakultas Farmasi. Universitas
Muhammadiyah
Surakarta.
Surakarta

Oyowale, J.A., Olatunji, G.A. and


Oguntoye, S.O. 2005. Antifungal
and antibacterial activities of an
Alcoholic extract of Senna alata
Leaves; Journal of applied
Sciences
and
Enviromental
Management 9(3): 105-107. hal
105.
Panitia Farmakope Indonesia. 1995.
Farmakope Indonesia. Edisi IV.
Jakarta :Departemen Kesehatan
RI
Praktiknya, A. W. 2008. Dasar-dasar
Metodologi
Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan. Edisi
1 Cetakan 7. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada. Hal 147-165
Rahayu, Dewi Sri. 2009. Penentuan
Aktivitas
Antioksidan
dari
Ekstrak Etanol Daun Ketapang
(Terminalia catappa L) dengan
Metode
1,1-Difenil-2Pikrilhidrazil
(DPPH).
Jurnal.Semarang:
Universitas
Dipenogoro
Robinson, T. 1995. Kandungan
Organik Tumbuhan Tingkat
Tinggi. Terjemahan oleh Prof. Dr.

Kosasih Padmawinata. Edisi VI.


Bandung: penerbit ITB. hal. 97
Rosenbaum, P., dkk. 2010. Guide to
the Elimination of Multidrugresistant
Acinetobacter
baumannii
Transmission
in
Healthcare Settings: An APIC
Guide. Hal 6.
Smeltzer, S.C. and Bare, G.B. 2002.
Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth.
(Edisi 8). Jakarta: EGC Hal. 79
WHO. 2003. Traditional medicine
http://www.who.int
(diakses
tanggal 8 Oktober 2014)
WHO. 2011. Report on the Burden of
Endemic Health Care-Associated
Infection Worldwide. Swiss :
World Health Organization.
http://whqlibdoc.who.int/publicat
ions/2011/9789241501507_eng.p
df (diakses 1 Oktober 2014)
Wiguna, D. P. 2011. Pengaruh Fraksi
Air Ekstrak Etanol Daun
Karamunting
(Rhodomyrtus
tomentosa
(Ait.)
Hassk.)
Terhadap Fungsi Hati Dan
Fungsi Ginjal Mencit Putih.
Padang:
Fakultas
Farmasi
Universitas Andalas. Hal 1.

También podría gustarte