Está en la página 1de 6

[Mahabharata] ABHIMANYU GUGUR

(1)

"Menembus lingkaran ke tujuh, yang paling dalam, ini yang paling sulit... " kata
Harjuna yang baru menceritakan setengah kisahnya malam itu pada istrinya
tercinta, Subadra. Ia baru menyadari istrinya sudah lelap tertidur, mungkin
karena tak terlalu tertarik dengan ceritanya tentang formasi militer itu.
Sudah tujuh bulan Subadra mengandung, dan setiap malam sang suami dengan rajin
mendongeng pada istrinya, tentang berbagai kisah kehidupan. Dan tentu yang
paling banyak ia ceritakan adalah kisah-kisah kesatriaan dan keprajuritan,
taktik peperangan, dan sebagainya. Subadra kadang tertarik kadang bosan. Tapi ia
tahu kakandanya bukan hanya bercerita untuknya, melainkan untuk janin yang
sedang ia kandung. Ya, mereka berdua berharap kalau janin ini lahir sebagai
laki-laki, kiranya ia menjadi kesatria utama, pandai, luhur budi dan berani.
Mereka rupanya percaya janin sudah mulai bisa mendengar, dan cerita-cerita
kehidupan dan keprajuritan dari ayahanda kiranya dapat menjadi bekal kelak
baginya dalam mengarungi kehidupan.
Malam itu Harjuna bercerita tentang sebuah taktik peperangan, yaitu tentang
sebuah formasi pertahanan yang paling sulit ditembus. Formasi itu bernama
Chakrawyuha. Formasi itu berbentuk bunga teratai yang terdiri atas tujuh lapis.
Formasi pertahanan yang sekaligus dapat digunakan untuk menyerang, dan sangat
efektif melumpuhkan lawan yang mencoba menembusnya. Harjuna bercerita tentang
rahasia menembus formasi itu, yang ia pelajari dari gurunya, Resi Dhorna. Di
antara murid-murid sang resi memang hanya ialah yang diberi tahu rahasia ini,
karena sayangnya pada Harjuna murid terkasihnya.
Namun demikianlah, Subadra tertidur ketika sang suami baru menceritakan rahasia
menembus formasi tujuh lapis itu, dan Harjuna pun tak melanjutkan ceritanya.
Tak tahu ia bahwa janin itu menendang-nendang perut ibunya yang sedang tertidur,
mungkin protes karena masih ingin mendengar cerita sang ayahanda. Harjuna pun
tak melanjutkan ceritanya tentang bagaimana cara keluar dari formasi pertahanan
itu apabila telah ditembus, melihat istri terkasihnya sudah tertidur.
Maka tak lama kemudian bayi itu pun lahirlah. Abhimanyu, ia diberi nama. Ia pun
tumbuh menjadi seorang anak yang tampan, cerdas, dan tangkas. Persis seperti
ayahnya penengah Pandawa yang ketampanannya melumpuhkan hati setiap wanita.
Namun sejak kecil ia hanya diasuh oleh ibunya Subadra, dan uwaknya prabu

Dwaraka, Sri Kresna. Karena baru saja ia berusia tiga tahun ayahandanya bersama
saudara-saudaranya Pandawa harus pergi untuk menjalani pengasingan akibat
kekalahan Yudhistira dalam permainan dadu melawan Kurawa. Sri Kresna pun
mendidik dan melatih anak yang cerdas dan berbakat ini dengan berbagai ajaran
budi pekerti serta ketangkasan, kesaktian dan keprajuritan. Maka dalam usia yang
masih muda dapat dikatakan ia hampir menyamai kecakapan ayahandanya Harjuna,
mahir memainkan hampir semua peralatan peperangan: panah, pedang, gada, keris,
tombak, dan lain-lain.
Tiga belas tahun sejak kelahiran Abhimanyu, Pandawa selesai menjalani hukumannya
dan saat itu mereka berada di Wirata. Dalam usaha mempertahankan Wirata dari
serangan Hastina, Pandawa berhasil membantu para pangeran Wirata mengusir bala
tentara Hastina. Prabu Matsyapati pun ingin menyatakan terima kasihnya kepada
Pandawa, dengan menawarkan putri bungsunya Utari pada Harjuna. Namun Harjuna
merasa Utari seperti anak baginya, dan ia pun mengusulkan agar anaknyalah,
Abhimanyu, yang ditikahkan dengan Utari. Semua setuju, maka menikahlah kedua
pasangan muda ini, Abhimanyu dan Utari.
Sayang saat-saat bahagia sebagai keluarga tidaklah lama, karena tak lama
kemudian Bharatayuda pun pecahlah, dan Abhimanyu pun berangkat ke medan perang
Kurusetra, menyertai ayah dan paman-pamannya untuk membela kehormatan dan hak
mereka atas tahta Indraprasta. Abhimanyu pun menjadi kesatria paling muda dalam
peperangan tersebut, karena usianya baru menginjak enam belas tahun. Sedang
istrinya Utari tengah mengandung buah hati mereka.
- Bharatayuda, hari ketiga belas Perang saudara di medan Kurusetra ini berlangsung makin dahsyat. Kedua pihak
telah kehilangan banyak korban. Di pihak Kurawa, Resi Bhisma telah jatuh oleh
panah-panah Srikandhi dan Harjuna. Demikian pula pihak Pandawa, telah kehilangan
banyak kesatria utamanya termasuk ketiga pangeran Wirata, yaitu Utara, Seta, dan
Wratsangka.
Hari ini pihak Kurawa dikomandai langsung oleh sang guru, Pendeta Dhorna. Sang
resi diberi tugas khusus oleh Prabu Duryudana untuk menangkap hidup-hidup Prabu
Yudhistira, dengan maksud agar Pandawa menyerah. Maka sang resi pun menyusun
kekuatan Hastina dalam sebuah formasi yang tak dikenal banyak kesatria, yaitu
formasi Chakrawyuha. Formasi bunga teratai tujuh lapis yang rumit, membentuk
labirin sehingga sulit ditembus balatentara Pandawa. Setiap lapisan yang
terdiri atas ratusan prajurit berputar sehingga menyulitkan dan membingungkan
lawan yang mencoba menembusnya.

Hanya beberapa orang di antara Pandawa yang mengetahui rahasia menembus formasi
Chakrawyuha ini. Mereka adalah Harjuna, Sri Kresna, dan Pradyumna (putra Sri
Kresna). Saat ini Harjuna sedang berada jauh di sudut lain medan pertempuran
bersama Sri Kresna yang menjadi kusirnya. Sedang Pradyumna tak terlibat dalam
Bharatayuda.
Benar ampuh formasi ini, dalam waktu tak berapa lama balatentara Pandawa
terlihat kewalahan, dengan banyak sekali prajuritnya yang terperangkap formasi
tentara Hastina ini.
Di tengah kebingunan Pandawa dengan serangan Hastina ini, Abhimanyu mendekati
prabu Yudhistira dan para pamannya Pandawa. Ia katakan bahwa ia tahu bagaimana
menembus formasi itu. Ia tahu rahasia tersebut dari ayahnya. Namun ia tak tahu
bagaimana cara keluar darinya apabila ia berhasil menembusnya nanti.
Tak ada cara lain bagi Pandawa untuk menghindari kekalahan hari itu, kecuali
mengandalkan keponakannya yang masih muda ini. Dan mereka pun berjanji apabila
Abhimanyu telah dapat menembus formasi itu, tentara Pandawa akan dikerahkan di
belakangnya untuk memporak-porandakan formasi tersebut dan melindungi Abhimanyu
dari keroyokan musuh.
Sejenak Abhimanyu mengingat-ingat di bawah alam sadar, bayangan yang ia terima
ketika ia masih berada dalam alam rahim. 'Serang dan lumpuhkan kedua kelompok
pasukan lawan di samping kanan dan kiri, bukan yang di hadapanmu. Lapisan yang
berputar akan meninggalkan ruang kosong dan dari situlah kau dapat menembus
lapisan Chakrawyuha', demikian yang ia ingat dari cerita ayahandanya.
Dengan tekad bulat ia pun memerintahkan saisnya memacu kereta kudanya, mengarah
pada pusat formasi di mana Resi Dhorna berada.
(2)

Abhimanyu menoleh sekali lagi ke belakang. Memandang uwak dan pamannya yang
melepasnya dengan penuh harapan. Tersenyum ia, bangga ia rasakan karena semua
orang mengandalkan kemenangan pasukan pada pundaknya. Ia bertekad akan membuat
bangga ayahnya Harjuna, uwaknya Sri Kresna, dan uwak serta pamannya para
Pandawa. "Kami percayakan kemenangan padamu, Anakku. Jangan khawatir, kami siap
di belakangmu, segera setelah kau dapat membuka formasi itu kami akan menerebos
dan memporakporandakan Chakrawyuha." demikian kata-kata terakhir Prabu
Yudhistira, membuatnya yakin bahwa ia akan berhasil dengan tugasnya
membuka jalan bagi pasukan Pandawa.

Ia perintahkan saisnya Sumitra untuk memacu kudanya, dan melesatlah kereta kuda
itu bagai panah lepas dari busurnya menuju pusat Chakrawyuha. Barisan Pandawa
segera mengikuti dari belakang.
Abhimanyu melancarkan panah-panahnya pada dua kelompok pasukan di kanan dan
kiri, dan ketika barisan ini bergerak memutar, Sumitra mengarahkan kereta pada
ruang kosong yang tinggalkan pasukan yang kini tak bernyawa itu dan kereta
itupun berhasil menerobos masuk formasi itu.
Namun tak sesuai rencana, rupanya pasukan Hastina mencium rencana Pandawa
sehingga segera setelah Abhimanyu masuk, sebagian pasukan di lapis kedua menutup
ruang kosong itu atas komando Jayadrata dan formasi itupun tertutup kembali.
Pasukan Pandawa kini harus berjuang kembali membuka formasi itu, namun tak ada
yang tahu rahasia yang hanya diketahui Abhimanyu, dan tertahanlah pasukan
Pandawa di luar Chakrawyuha.
Kini Abhimanyu terkurung di tengah formasi. Ia tahu kini ia tinggal sendirian.
Tak ada jalan lain baginya kecuali berjuang di dalam kurungan pasukan Hastina
itu. Ia lancarkan panah-panahnya untuk membuka lapisan demi lapisan Chakrawyuha.
Di setiap lapisan formasi ia harus bertarung dengan para kesatria utama Hastina.
Tapi tak ada seorang pun dari mereka yang dapat mengalahkan kehebatan anak
Harjuna. Mereka yang berani mendekat ia hadapi dengan pedangnya
yang menyambar-nyambar bagai kilat. Berturut-turut Salya, Karna, Dursasana,
Sangkuni, satu persatu mencoba melumpuhkan kesatria muda ini namun tak ada
seorang pun yang berhasil. Tubuh-tubuh mereka bercucuran darah disambar
panah-panah Abhimanyu.
Pasukan Hastina pun porak poranda. Formasi Chakrawyuha berantakan, kecuali
lapisan depan di bawah komando Jayadrata yang berjuang mati-matian menahan
pasukan Pandawa agar tak bisa memasuki formasi yang kini berantakan di dalam
itu.
Abhimanyu terus mengamuk meluluhlantakkan pasukan Hastina, bagai api yang
membakar hutan yang kering di musim kemarau. Ratusan pasukan Hastina
bergelimpangan, dan nyata-nyata kemenangan Hastina kini beralih pada pasukan
Pandawa.
Laksmana putra prabu Duryudana kini menyerang. Kedua kesatria cakap ini pun
beradu pedang cukup lama, namun kesaktian Abhimanyu dapat mengalahkan putra
mahkota Hastina dan gugurlah Laksamana.

Prabu Duryudana yang marah bukan kepalang dengan gugurnya anak yang disayanginya
melesat maju dan menyerang, namun terpaksa berbalik kembali karena kewalahan
dengan amukan panah-panah anak Subadra.
Pendeta Dhorna hanya dapat berdecak kagum dan melontarkan kata-kata pujian
melihat sepak terjang anak muda ini, kehebatannya sama dengan ayahnya, murid
yang paling ia kasihi, kalau tidak melebihinya.
Duryudana kesal dengan sikap sang resi, dan memerintahkannya untuk segera
mengatasi kekalahan ini.
Tak ada yang akan mampu mengatasi anak ini lewat duel, kata resi Dhorna, bahkan
dirinya pun tak akan dapat melumpuhkannya. Tak ada jalan lain bagi mereka,
menurut Dhorna, kecuali melancarkan serangan secara bersama-sama.
Demikianlah, aturan peperangan itu untuk pertama kali dilanggar.
Kesatria-kesatria utama Hastina bersama-sama menghadapi anak Subadra. Abhimanyu
yang melihat kelicikan ini mencaci mereka, para kesatria utama Hastina, dan
menantang satu persatu untuk duel secara kesatria.
Namun tak ada yang menghiraukan tantangan ini. Mereka membentuk formasi baru,
mengurung Abhimanyu dari segala arah dan melancarkan panah-panah mereka pada
Abhimanyu. Ketika Abhimanyu mengarahkan panahnya pada Salya, Karna yang berada
di belakang Abhimanyu melepaskan panahnya, mengarah pada busur Abhimanyu dan
patahlah busur itu. Salya yang terlepas dari ancaman maut melepaskan anak-anak
panahnya pada kusir Sumitra dan Sumitra pun perlaya. Sementara Dursasana
melepaskan panah-panahnya pada kuda-kuda Abhimanyu, dan tersungkurlah kuda-kuda
itu. Abhimanyu melocat dari keretanya, kini ia hanya bersenjatakan pedang,
berdiri di tanah siap menghadapi keroyokan kesatria Hastina.
Namun ia tak gentar dengan keroyokan ini. Ditebasnya setiap pasukan Hastina yang
mendekat, dipatahkannya panah-panah yang mengarah pada tubuhnya.
Namun kembali Karna berhasil melepaskan panah-panahnya dan mematahkan pedang
Abhimanyu.
Abhimanyu segera mengambil gada dari pasukan Hastina yang mati, dan ia pun
kembali mengamuk dengan gada, menyebabkan kematian puluhan pasukan Hastina.
Namun gada ini pun berhasil dihancurkan panah-panah sakti Resi Dhorna.
Kini tak ada senjata yang tersisa di tangan anak Harjuna. Sementara panah-panah
tertancap pada tubuhnya dari berbagai arah, yang dilancarkan para kesatria

Hastina.
Tak kehilangan akal dan keberanian, Abhimanyu meraih roda keretanya yang
porak-poranda, ia gunakan sebagai tameng sekaligus alat penghancur. Dengan tubuh
bagai landak karena panah-panah yang menancap, ia putar-putar roda itu sambil
menyerang setiap tentara Hastina di depannya. Kembali puluhan pasukan Hastina
bergelimpangan.
Namun kembali resi Dhorna dapat menghancurkan roda itu dengan panah-panahnya dan
kini Abhimanyu kehilangan semua senjata. Sementara tubuhnya pun makin lemah, ia
mulai limbung, darah bercucuran deras akibat puluhan panah yang memanggang
tubuhnya. Dan akhirnya ia pun terduduk karena kelelahan dan rasa sakit yang luar
biasa. Dursala, anak Dursasana yang berada dekat tak menyia-nyiakan kesempatan
ini. Ia segera meloncat dengan gadanya, sekuat tenaga ia pukulkan gadanya ke kepala
Abhimanyu, dan Abhimanyu pun tersungkur. Gugurlah putra Harjuna yang luar biasa
ini.
Sekian.
Salam penggemar wayang,
Teddy T.
(dari komik Mahabharata R.A. Kosasih)

También podría gustarte